hubungan antara rinosinusitis kronis dengan polip nasal dan asma aspek klinis dan radiologis,...

22
Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis dengan Polip Nasal dan Asma: Aspek Klinis dan Radiologis, Alergi, dan Penanda Inflamasi Jūratė Staikūnienė, Saulius Vaitkus1, Lidija Marija Japertienė2, Silvija Ryškienė3 Kata Kunci: rinosinusitis kronik; polip nasal; asma Abstrak: Rinosinusitis kronik (cronic rhinosinusitis, CRS) baik yang disertai dengan ataupun tidak disertai dengan polip nasal mewakili stage inflamasi yang berbeda dari sebuah penyakit inflamasi kronis mukosa cavum nasi dan sinus paranasal. Koeksistensi rinosinusitis kronik dengan polip nasal dan asma serta karakteristik proses inflamasi yang hampir mirip diantara keduanya, agaknya menunjukkan proses terjadinya penyakit yang mirip. Dalam penelitian ini, kami mengevaluasi berbagai perbedaan temuan-temuan radiologis foto sinus, inflamasi sistemik dan penanda alergi, serta fungsi paru penderita rinosinusitis kronik dengan polip nasal dan asma. Sebanyak 121 pasien rinosinusitis kronik dirujuk menuju institusi kesehatan tersier untuk dievaluasi; sedangkan terdapat 23 pasien yang sehat sebagai

Upload: sofinakusnadi

Post on 02-Dec-2015

264 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pembacaan jurnal THT Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis dengan Polip Nasal dan

Asma: Aspek Klinis dan Radiologis, Alergi, dan Penanda

Inflamasi

Jūratė Staikūnienė, Saulius Vaitkus1, Lidija Marija Japertienė2, Silvija

Ryškienė3

Kata Kunci: rinosinusitis kronik; polip nasal; asma

Abstrak: Rinosinusitis kronik (cronic rhinosinusitis, CRS) baik yang

disertai dengan ataupun tidak disertai dengan polip nasal mewakili stage inflamasi

yang berbeda dari sebuah penyakit inflamasi kronis mukosa cavum nasi dan sinus

paranasal. Koeksistensi rinosinusitis kronik dengan polip nasal dan asma serta

karakteristik proses inflamasi yang hampir mirip diantara keduanya, agaknya

menunjukkan proses terjadinya penyakit yang mirip. Dalam penelitian ini, kami

mengevaluasi berbagai perbedaan temuan-temuan radiologis foto sinus, inflamasi

sistemik dan penanda alergi, serta fungsi paru penderita rinosinusitis kronik

dengan polip nasal dan asma.

Sebanyak 121 pasien rinosinusitis kronik dirujuk menuju institusi

kesehatan tersier untuk dievaluasi; sedangkan terdapat 23 pasien yang sehat

sebagai kelompok kontrol. Pada pasien ini dilakukan CT scan sinus dan endoskopi

nasal. Rinitis alergi didiagnosa berdasarkan anamnesis riwayat kesehatan pasien

dan hasil tes alergi (skin prick test) yang positif terhadap beberapa alergen

tertentu. Intoleransi terhadap aspirin dinilai berdasarkan anamnesis riwayat. Selain

itu juga dilakukan pengukuran kadar IgE total, IgE spesifik Aspergillus fumigatus,

hitung leukosit dan eosinofil pada darah perifer.

Pada 84 pasien (69.4%) ditemukann terjadinya polip nasal, sementara pada

pasien tersebut ditemukan terjadinya asma terkait polip nasal (91.7%) dan rinitis

(45.5%). Sebanyak 44 pasien rinosinusitis kronik yang juga menderita polip nasal

dan asma memiliki berbagai karakteristik, sbb: terjadi pada kelompok usia yang

Page 2: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

lebih tua (P<0.01), ditemukannya berbagai tanda dan gejala pada nasal dan

saluran pernapasan yang lebih kentara yang berlangsung lebih lama (P<0.001),

tingginya berbagai tindakan pembedahan yang telah dilakukan sebelumnya

(P<0.01), gambaran penyakit sinus pada foto nCTscan yang lebih parah

(P<0.001), tingginya hitung total leukosit dan osinofil serta kadar IgE total

(P<0.01), terjadinya obstruksi bronkial (P<0.05), insidensi terjadinya rinitis alergi

yang lebih (P<0.01), dan sensitivitas yang tinggi terhadap tungau rumahan D.

pteronyssinus (47.7%, P<0.01) dan alergen yang berasal dari berbagai jamur

(29.5%, P<0.01) dibandingkan dengan pasien dengan rinosinusitis kronik

terisolasi. Perluasan perubahan hasil CT scan sinus nampak lebih kentara pada

individu asmatik dan berhubungan dengan durasi terjadinya asma yang lebih lama

(P<0.0001), tindakan pembedahan sebelumnya yang lebih sering (P=0.001),

hitung jumlah leukosit dalam darah (P=0,025, dan usia (P=0.039).

Konklusi. Data penelitian kami menunjukkan bahwasanya pasien CRS

terbagi kedalam beberapa kelompok yang memiliki ciri-ciri klinis yang berbeda-

beda dan ketika dihubungkan dengan polip nasal dan asma, dapat menyebabkan

gangguan/penyakit respiratorik yang parah, yang memiliki karakteristik, sbb:

sering terjadi pada usia tua, terjadinya gejala-gejala nasal dalam durasi yang lebih

lama, kadar penanda inflamasi sistemik yang tinggi, obstruksi bronkial yang lebih

kentara,dan insidensi terjadinya rinitis alergi

Introduksi

Rinosinusitis kronik (chronic rhinosinusitis, CRS) merupakan sebuah

penyakit inflamatoris dari mukosa cavum nasi dan sinus paranasal yang telah

berlangsung setidaknya lebih dari 12 minggu. Berdasarkan dijumpai ataupun

tidaknya polip nasal pada pemeriksaan endoskopi, secara klinis CRS dibagi ke

dalam CRS dengan atau tanpa polip nasal (nasal polyps, NPs). Patogenesis

terjadinya CRS belum sepenuhnya dapat dipahami, walaupun berbagai faktor

seperti: kerentanan genetik, infeksi, kelainan anatomi, dan ketidakseimbangan

imunologis lokal digadang turut berperan dalam patogenesis terjadinya CRS.

Page 3: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan jumlah eosinofil

dalam darah dan parahnya inflamasi eosinofilik yang terjadi berkaitan dengan

danya keterlibatan mukosa sinonasal yang luas, keparahan derajat penyakit sinus

yang terjadi, dan ukuran polip nasal yang terjadi, sehingga dapat dikatakan

bahwasanya CRS baik yang disertai maupun tanpa polip nasal merupakan suatu

penyakit inflamatoris kronis yang rentang gejalanya terbentang pada suatu

spektrum dengan dua ujung. Baru-baru ini diketemukan adanya perbedaan

ekspresi berbagai mediator inflamasi dan karakteristik seluler pada jaringan

mukosa pasien CRS dan polip nasal. Sebagian penelitian telah mengkonfirmasi

bahwasanya eosinofil dan peningkatan berbagai produk lain terkait inflamasi

menjadi tanda khas yang dijumpai pada kasus polip nasal yang terjadi akibat

adanya proses inflamasi. Ditemukan terjadinya peningkatan jumlah berbagai

mediator inflamasi, seperti: interleukin (IL-5) yang merupakan sebuah faktor

diferensiasi dan kehidupan eosinofil, protein kationik eosinofil (eosinophil

cationic protein, ECP), eotaxin yang berperan dalam kemotaksis dan aktivasi

eosinofil, serta IgE baik pada pasien dengan CRS ataupun NP dibandingkan

dengan pasien kelompok kontrol. Dilaporkan berbagai sitokin, metaloproteinase

dan inhinitornya, enzim-enzim pro-inflamasi (group II subfamily secretory

phospholipase A2) mungkin turut berperan dalam patogenesis CRS yang disertai

ataupun tanpa disertai NP.

Lebih lanjut, pemahaman terhadap hubungan yang terjadi antara berbagai

penyakit pada saluran pernapasan atas dan bawah penting adanya karena

seringnya prevalensi terjadinya rinosinusitis dan asma serta beban dan penderitaan

yang ditimbulkannya bagi penderita dan sistem pelayanan kesehatan.

Rinosinusitis terjadi bersamaan (koeksistensi) dengan asma pada 34-50% pasien.

Baru-baru ini, > 84% foto CT scan sinus pasien asma yang hebat menunjukkan

adanya abnormalitas dimana terdapat hubungan antara perubahan hasil CT yang

terjadi dengan eosinofilia pada sputum dan gangguan fungsi paru. Rinosinusitis

dan asma yang terjadi mewakili serangkaian tumpang tindih “overlapping”

penyakit yang terjadi melalui mekanisme yang hampir sama yang didalamnya

Page 4: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

terjadi inflamasi kronik serta remodeling pada mukosa saluran napas. Pada CRS

dan NP, pada mukosa sinus dapat dijumpai eosinofiln dan limfosit T yang

mensekresikan interleukin-5, sebagaimana dapat juga dijumpai pada mukosa sinus

pasien asma bronkial. Sumsum tulang dapat berperan dalam menyediakan

hubungan antara saluran pernapasan atas dan bawah dalam menyebabkan

common disease. Peningkatan hitung jumlah eosinofil yang terjadi pada asma

seringkali berhubungan dengan derajat keparahan asma yang terjadi dan penderita

asma seringkali juga menderita poliposis nasal yang lebih parah. Dari sini, masih

terdapat beberapa pertanyaan yang belum dapat terjawab dengan pasti, terutama

berupa faktor-faktor apa sajakah yang menentukan manifestasi klinis pada

gangguan pada saluran napas dan bagaimanakah pendekatan penatalaksanaannya.

Tujuan dari penelitian ini adalah mencari dan memperbandingkan

hubungan yang mungkin terjadi antara rinosinusitis kronik dengan polip nasal dan

asma guna mendeteksi perbedaan gambaran radiologis sinus, inflamasi sistemik

dan penanda alergi, serta fungsi paru. Untuk memnuhi berbagai tujuan tersebut,

kami melakukan pengukuran terhadap kadar IgE serum, hitung jumlah leukosit

dan eosinofil, fungsi paru, dan sensitivitas terhadap berbagai inhalan baik pada

pasien dengan atau tanpa NP dan dengan ataupun tanpa asma yang terjadi secara

bersamaan.

Material dan Metode

Pasien

Kami mengumpulkan berbagai data yang diperoleh dari 121 pasien rinosinusitis

kronis yang dirujuk ke institusi pelayanan kesehatan tersier kami, the Kaunas

Medical University Hospital – Department of Pulmonology and Immunology and

Department of Otorhinolaryngology, sejak tahun 2002 hingga tahun 2005.

Sinusitis kronis didiagnosis melalui anamnesis riwayat, endoskopi nasal, dan

perluasan penyakit sinus pada gambaran CT scan berdasarkan kategori yang

dibuat oleh Lund dan Mackay. Polip nasal dideteksi melalui endoskopi nasal dan

dinilai dalam skala 0-3. Polip yang memiliki sebagai skor 1 apabila masih terbatas

Page 5: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

pada meatus media saja, skor 2 apabila telah mencapai konka inferior atau

mengisi cavum nasi. Diagnosis asma dibuat berdasarkan GINA yang diperoleh

melalui anamnesis riwayat dan uji fungsi paru (uji obstruksi bronkial balik,

hiperreaktivitas bronkial terhadap metakolin), kemudiaa dikategorikan derajat

keparahannya ke dalam asma intermiten, ringan, sedang, dan berat. Pasien

kemudian dibagi ke dalam 4 kelompok berdasarkan gambaran CT scan yang

menunjukkan adanya polip dan asma. Kelompok-kelompok tersebut adalah sbb:

CRS, tanpa polip, tanpa asma (kelompok 1, CRS); CRS dengan asma, tanpa polip

(kelompok 2, CRS+A); CRS dengan polip, tanpa asma (kelompok 3, CRS+NP);

CRS dengan polip dan asma (kelompok 4, CRS+NP+A). Diagnosis rinitis alergi

dibuat berdasarkan gejala-gejala yang timbul dan hasil uji skin prick test yang

positif terhadap berbagai alergen inhalan. Intoleransi aspirin dinilai melalui

anamnesis riwayat. Pasien yang menggunakan obat steroid sistemik selama 4

minggu terakhir sebelum pengambilan sampel darah akan dieksklusikan. Kesemua

pasien memberikan informed consent tertulis dan the Ethics Committee of the

Kaunas University of Medicine telah menyetujui metode kerja penelitian ini.

Alergi dan Penanda Inflamasi

Sensitivitas terhadap berbagai alergen dideteksi melalui pelaksanaan skin

prick tests.Sensitisasi terhadap berbagai alergen rumahan diuji menggunakan

ekstrak alergen yang berasaln dari tungau rumahan D. pteronyssinus, bulu kucing,

anjing, kecoak, campuran berbagai jamur seperti: Aspergillus, Penicillium,

Cladosporium, Alternaria spp. (Bayer Corporation, AS). Ekstrak alergen yang

berasal dari serbuk sari dari tanaman Beerch, rumput Timothy, dan Mugwort

digunakan sebagai media dalam mendeteksi adanya sensitivitas kulit terhadap

serbuk sari. Histamin (10 mg/mL) digunakan sebagai kontrol positif, sementara

diluent of allergen extract (terlarutnya ekstrak alergen) digunakan sebagai kontrol

negatif. Skin prick test dinyatakan positif apabila diameter bintul yang terbentuk ≥

3 mm atau lebih dari kontrol negatif. Kadar serum IgE total dan IgE spesifik

Aspergillus fumigatus diukur menggunakan assay ELISA “M.A.S.T. Diagnostica”

(Laboratoriums-Pr.parate GmbH, Jerman) sesuai dengan instruksi pabrik. Kadar

Page 6: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

IgE yang > 100 kU/L dan IgE spesifik Aspergillus fumigatus > 0.35 kU/L

dipertimbangkan terjadi peningkatan dari kadar normal. Nilai hitung jumlah

leukosit dan eosinofil pada sampel darah perifer dinilai menggunakan automatic

cell calculator ADVIA 120.

Pemeriksaan Fungsi Paru (Siprometri)

Semua pengukuran dalam pemeriksaan fungsi paru ini dilakukan dalam

keadaan pasien duduk. Volum ekspirasi paksa 1 detik (forced expired volume in

one second, FEV1) dan kapasitas vital (vital capacity, VC) diperoleh

melaluikurva aliran (flow/volume curves) menggunakan spirometer “Custo VitM”

(Custo Med, Jerman). Tiga nilai VC dan FEV1 paling besar pertama yang

diperoleh melalui teknik ekspirasi yang memuaskan akan digunakan dalam

pengukuran. Kesemua data dinyatakan dalam nilai prediksi normal/predicted

normal values (% pred), selain itu juga dihitung nilai FEV1/VC (%). Standar

spirometri yang digunakan menggunakan standar rekomendasi dari European

Respiratory Society. Fungsi paru dipertimbangkan normal apabila nilai FEV1

80% predicted, FEV1/VC 88% predicted untuk laki-laki dan 89% predicted untuk

wanita.

Analisis Statistik

Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS Windows 12.0 version.

Analisis frekuensi terjadinya berbagai gejala dan distribusi skor Ct scan sinus

diperoleh melalui ANOVA. Perbedaan proporsi diuji menggunakan metode Chi-

square. Ketika dilakukan perbandingan antar kelompok, uji non parametrik

Kruskal-Wallis digunakan untuk menetapkan variabilitas signifikan antar

kelompok. Uji Mann-Whitney kemudian digunakan dalam perbandingan antar

kelompok. Data ditampilkan dalam nilai-nilai individual dan diekspresikan dalam

plot Box-and-Whisker yang mewakili rata-rata, kuartil atas dan bawah, dan nilai

minimum dan maksimum. Korelasi yang terjadi dianalisis menggunakan koefisien

Spearman. Nilai P <0.05 dipertimbangkan secara statistik signifikan.

Page 7: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

Hasil

Subyek penelitian berupa 144 orang dimana 121 orang merupakan pasien

yang secara klinis didiagnosis menderita rinosinusitis kronis (41 pria dan 80

wanita), sedangkan sisanya, yakni 23 individu non-atopik tanpa gejala-gejala

nasal (6 pria dan 17 wanita) yang dimasukkan ke dalam kelompok kontrol. Rerata

SD umur pasien dengan rinosinusitis kronis adalah 49.1±13.7 tahun (berkisar

antara 16–73 tahun), sementara rerata SD umur pasien kelompok kontrol adalah

1.9±15.8 years (berkisar antara 16–78 tahun). Pada dua kelompok penelitian ini

tidak dijumpai adanya perbedaan kumur dan jenis kelamin yang signifikan.

Karakteristik demografik, klinis, dan fungsi dari kelompok pasien dengan

rinosinusitis kronis terangkum dalam Tabel. Melalui endoskopi nasal, polip nasal

ditemukan terjadi pada 84 pasien (69.4%), dimana > dari separuh (53.6%) pasien

menderita polip derajat #. Skor perubahan yang diamati dari foto CT scan berkisar

antara 1 hingga 24 (13.8±6.9) dengan nilai tertinggi sebesar 24 dalam skala 0-24.

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor CT scan dengan jenis

kelamin. Pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap aspirin memiliki

perubahan gambaran radiologis yang lebih besar (rerata skor CT sinus 18.3±6.3)

dibandingkan dengan pasien yang toleran aspirin (rerata skor CT sinus 13.1±6.8)

dengan nilai P=0.005). Lebih dari separuh pasien (64.5%) mengeluhkan adanya

gangguan olfaktorius (gangguan penghidu); hilangnya fungsi penghidu terjadi

pada 30.6% pasien yang hanya menderita polip nasal saja. Tidak terdapat

perbedaan perubahan gambaran radiologis sinus antara pasien dengan hiposmia

dan anosmia, tetapi pada pasien dengan NP derajat yang lebih tinggi memiliki

skor CT sinus yang lebih tinggi (P<0.01). Lebih dari separuh pasien (58.7%) telah

mendapatkan penatalaksanaan berupa tindakan bedah terkait penyakit sinus

kroniknya sebanyak 1 hingga 10 kali (rerata 2.37±2.2), dimana laki-laki lebih

sering meminta dilakukannya tindakan pembedahan (P=0.02). Kurang dari

separuh (2.8%) telah menjalani tindakan pemedahan hingga 10 kali. Asma

Page 8: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

ditemukan terjadi pada 48 pasien (39.6%); 32 (66.6%) pasien diantaranya

menderita asma dengan derajat keparahan sedang (moderat). Mayoritas pasien

asma (91.7%) juga menderita NP. Durasi lamanya asma yang diderita pasien asma

tanpa NP berkisar antara 11.7±11.3 tahun, sedangkan pada penderita asma dengan

NP berkisar antara 9.9±9.7. Rinitis alergi dan sensitivitas terhadap alergen umum

terjadi pada 46.6% pasien dan insidensinya berbeda-beda dengan signifikan pada

masing-masing kelompok, lebih sering dihubungkan dengan pasien penderita

asma. Kebanyakan pasien memiliki hasil skin test yang positif hanya terhadap

perennial indoors allergens (21.5%), dapat juga terhadap kedua perennial and

pollen allergens (14%). Kurang dari 1/3 pasien (28.9%) memiliki hasil skin test

positif terhadap tungau rumahan D. pteronyssinus, 14% terhadap kecoak, 13.2%

terhadap berbagai jamur, dan 11.6% terhadap serbuk sari rereumputan. Ditemukan

adanya perbedaan pola sensitisasi yang signifikan terhadap perennial inhalant

allergens pada keempat kelompok tersebut (Tabel). Seropositivitas terhadap IgE

spesifik Aspergillus fumigatus ditemukan pada 19 (30.2%) dari 63 pasien yang

menjalani pemeriksaan.

Pasien CRS nyatanya memiliki hitung jumlah eosinofil yang lebih tinggi

daripada kelompok kontrol (P<0.05) (Gambar 1). Pemeriksaan fungsi paru pasien

CRS menunjukkan adanya penurunan rasio FEV1/VC ratio, sebuah penanda

terjadinya obstruksi bronkial a marker of bronchial obstruction, apabila

dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0.05). Dibandingkan dengan

kelompok kontrol, pasien dengan CRS, NP dan asma (kelompok 4) memiliki

kadar IgE yang lebih tinggi, terjadinya eosinofilia, dan penurunan rasio FEV1/VC

yang signifikan (P<0.01). Umur pasien, durasi terjadinya berbagai gejala nasal,

perubahan gambaran radiologis sinus, parameter imunologis (kadar IgE, hitung

jumlah leukosit dan eosinofil pada darah perifer), pola sensitivitas kulit terhadap

berbagai alergen yang diujikan, dan hasil pemeriksaan fungsi paru dari pasien

CRS tanpa NP tidak berbeda secara signifikan dengan hasil yang diperoleh pada

kelompok pasien CRS tanpa NP yang disertai asma (kelompok 1 dan 2) (Tabel,

Gambar 1). Pasien CRS tanpa asma dan tanpa NP (kelompok 1) secara signifikan

Page 9: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

berusia lebih muda, memiliki rerata skor CT yang lebih rendah (P<0.001), dan

hitung jumlah leukosit dan eosinofil yang lebih rendah dibandingkan dengan

pasien yang menderita NP (kelompok 3) (P<0.05). Dalam perbandingan, pasien

yang menderita isolated CRS (kelompok 1) dengan pasien CRS dengan NP dan

asma (kelompok 4), pasien yang berada dalam kelompok 4 ini memiliki

karakteristik umur yang lebih tua (P<0.01), durasi terjadinya berbagai gejala nasal

yang lebih lama (P<0.001), frekuensi dilakukannya pembedahan yang lebih tinggi

(P<0.01), gambaran radiologis CT scan penyakit sinus yang lebih parah

(P<0.001), penanda inflamasi sistemik yang lebih kentara, diantaranya: kadar total

IgE (P<0.01), obstruksi bronkial yang lebih parah (P<0.05), insidensi terjadinya

rinitis alergi yang lebih tinggi (P<0.01) dan sensitivitas terhadap tungau rumahan

D. pteronyssinus (47.7% dibandingkan dengan 15.2%, P<0.01) dan alergen jamur

(29.5% dibandingkan dengan 6.1%, P<0.01). Dalam perbandingan antara pasien

yang menderita Np dengan asma dan yang tanpa disertai asma (kelompok 3 dan

4), pasien yang mengalami berbagai gejala akibat adanya gangguan pada saluran

pernapasan atas dan bawah memiliki nilai hitung jumlah eosinofil yang lebih

tinggi (P<0.05), manifestasi penyakit sinus yang lebih parah (P<0.05), obstruksi

bronkial yang lebih kentara (P<0.01), dan lebih sering terjadinya rinitis alergi

secara bersamaan (P<0.05), sensitisasi terhadap alergen tungau rumahan D.

pteronyssinus (47.7% dibandingkan dengan 20%, P<0.01), berbagai jamur

(29.5% dibandingkan dengan 2.5%, P<0.01), dan alergen yang berasal dari anjing

(11.4% dibandingkan dengan 2.5%, P<0.05).

Dalam perbandingan antara pasien CRS tanpa NP dengan asma (kelompok

2) dengan pasien CRS dengan NP tanpa asma (kelompok 2) didapatkan perbedaan

hanya pada nilai FEV (P<0.05). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

pasien CRS dengan asma baik yang menderita NP maupun tidak menderita NP

(kelompok 2 dan 4) dalam aspek umur, durasi terjadinya gejala-gejala nasal,

perubahan gambaran radiologis sinus, penanda inflamasi sistemik, fungsi paru,

dan alergi terhadap alergen inhalasi.

Page 10: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

Pasien dengan CRS dan asma memiliki perubahan gambaran radiologis

yang lebih kentara dimana abnormalitas yang paling parah ditemukan terjadi pada

asma derajat berat (Gambar 2). Luasnya perubahan CT scan sinus yang terjadi

berkorelasi positif dan signifikan terhadap jumlah tindakan pembedahan yang

dilakukan sebelumnya (r=0.31, P=0.001), angka hitung jumlah leukosit (r=0.24,

P=0.025), durasi terjadinya asma (r=0.36, P<0.0001), dan umur (r=0.19,

P=0.039), selain itu terdapat beberapa temuan diantaranya tingginya hitung

jumlah eosinofil (r=0.2, P=0.072), dan kadar IgE serum (r=0.22, P=0.078). Tidak

dijumpai adanya hubungan yang signifikan antara perubahan gambaran radiologis

sinus dengan hasil pemeriksaan spirometri.

Diskusi

Penelitian baru-baru ini mengenai proses biologis yang terjadi pada saluran

pernapasan mengidentifikasikan bahwasanya inflamasi berperan penting dalam

terjadinya CRS dan asma; meskipun hal ini telah jelas, masih terdapat beberapa

pertanyaan yang tersisa, termasuk mengenai berbagai faktor yang menentukan

manifestasi klinis kelainan yang terjadi pada saluran pernapasan dan pendekatan

penatalaksanaan. Dalam penelitian ini, peneliti bertujuan mengkarakterisisasikan

CRSyang terjadi dan hubungannya dengan polip nasal dan asma. Hasil dari

penelitian ini mengindikasikan adanya perbedaan yang kentara dari berbagai

aspek klinis, diantaranya: gambaran radiologis, alerfi, fungsi paru, dan penanda

inflamasi sistemik diantara beberapa sub-kelompok CRS.

Sebagaimana yang telah diketahui, subyek penelitian ini adalah pasien

yang telah mengalami berbagai gejala-gejala nasal yang telah terjadi selama lebih

dari satu dekade yang kemudian dirujuk menuju institusi pelayanan kesehatan

tersier. Pasien-pasien ini memiliki skor CT sinus yang tinggi, dan telah

berulangkali menjalani berbagai tindakan pembedahan terhadap penyakit sinus

yang dideritanya. Pada dasarnya, pasien-pasien ini dapat dikategorikan sebagai

pasien CRS berat dengan gejala-gejala yang sudah parah. Data penelitian kami

menunjukkan bahwasanya pada pasien-pasien ini sering terjadi gangguan

Page 11: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

olfaktorius (penghidu), meskipun adanya kehilangan kemampuan penghidu total

lebih spesifik ke arah kasus NP ataupun CRS yang disertai NP. Riwayat

intoleransi terhadap aspirin merupakan salah satu faktor yang memperburuk

terjadinya polip nasal dan seringkali dihubungkan dengan asma. Beberapa peneliti

lain memberikan perhatian khusus terhadap insidensi terjadinya sinusitis pada

pasien asmatik yang kurang terdeteksi melalui pemeriksaan radiografi

konvensional dimana terdapat kesulitan dalam menentukan diagnosis yang akurat

hanya dengan menggunakan pemeriksaan radiografi sinus konvensional. Pada

penelitian kami, digunakan CT scan sebagai teknik radiografi yang paling cocok

guna mempelajari sinus-sinus paranasal. Sebagaimana yang telah dideskripsikan

oleh beberapa peneliti lain, skoring gambaran CT scan dengan menggunakan skor

Lund-Mackay dapat menunjukkan bahwasanya pada pasien NP terjadi opasifikasi

yang lebih ekstensif dibandingkan dengan pasien CRS. Endoskopi nasal

memungkinkan dilakukannya investigasi langsung saluran pernapasan atas dan

perluasan serta derajat keparahan poliposis sinonasal yang terjadi. Yang harus

diperhatikan, hampir lebih dari separuh pasien dengan NP terdeteksi ketika polip

telah memenuhi/menyumbat cavum nasi, dimana hal ini mengindikasikan masih

terdapatnya penatalaksanaan pasien CRS yang inadekuat, inefektif, dan terlambat,

ataupun terlamabat dirujuk menuju sarana pelayanan kesehatan tersier.

CRS dapat dipertimbangkan sebagai kondisi progresif kronik dari kelainan

yang terjadi pada saluran pernapasan atas dimana semakin lama durasi terjadinya

berbagai gejala nasal biasanya menyebabkan perubahan gambaran radiologis

sinus yang lebih kentara (parah) dan tingginya insisdensi terjadinya polip nasal

dan asma. Pada penelitian kami, peneliti menemukan terjadinya 91.7% pasien

yang menderita asma juga menderita NP. Insidensi koeksistensi asma dengan NP

ini juga terjadi pada 34-50% pasien CRS. Yang harus diperhatikan adalah separuh

lebih kasus asma persisten merupakan asma derajat sedang, yang mana data ini

dapat mengklarifikasi mengapa pada pasien asmatik terjadi obstruksi bronkial

yang lebih parah dan penurunan FEV1 yang lebih kentara dibandingkan dengan

pasien CRS tanpa asma dan kelompok kontrol. Penelitian kami mendeskripsikan

Page 12: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

adanya keterkaitan antara derajat keparahan penyakit saluran pernapasan atas dan

bawah seperti asma berat yang terdiagnosis bersamaan dengan NP dengan

perubahan gambaran radiologis sinus yang lebih parah.

Sejumlah peneliti telah mengobservasi pola aktivitas beberapa sitokin dan

mediator inflamasi pada bebagai sub-kelompok rinosinusitis kronik. Polip nasal

seringkali dikaitkan dengan inflamasi eosinofilik yang terjadi, yang ditandai

dengan adanya peningkatan kadar protein kationik eosinofil sebagai tanda

terjadinya aktivasi eosinofil dan eotaxin, sebuah CC kemokin yang bekerjasama

dengan IL-5 dalam mengaktivasi esoinofil. Meskipun, kadar beberapa penanda

inflamasi dalam tubuh pasien dengan isolated symptomps CRS tidak jauh berbeda

dengan kadar substansi bersangkutan pada kelompok kontrol, kami membuktikan

bahwa pasien dengan NP dan asma memiliki angka hitung jumlah leukosit,

eosinofil, dan kadar IgE tertinggi. Baru-baru ini terbukti adanya korelasi positif

antara derajat yang diperoleh berdasarkan hasil foto CT scan dengan kedua

penanda inflamasi diatas, begitu pula dengan hitung jumlah leukosit dan durasi

terjadinya asma. Data yang kami peroleh menyatakan bahwasanya CRS dan asma

bukan merupakan proses penyakit yang terlokalisir, melainkan menjadi sebuah

bagian dari penyakit inflamasi sistemik yang mempengaruhi saluran pernapasan

dan nampaknya peningkatan kadar mediator dan sel-sel yang terlibat dalam

inflamasi pada darah perifer berkontribusi terhadap perluasan inflamasi pada nasal

dan paranasal menuju saluran pernapasan bawah.

Pada sejumlah penelitian dilaporkan dijumpainya hubungan antara alergi

dan sinusitis yang terjadi pada 25-70% pasien, sementara peran serta aktivitas

alergi sendiri belum sepenuhnya diketahui. Data penelitian kami membuktikan

bahwasanya pada hampir separuh kasus CRS juga terjadi rinitis alergi dan

dijumpai adanya hipersensitivitas terhadap alergen yang dihirup, sementara pada

pasien yang rentan alergi mudah terjadi asma. Skin prick test yang kami lakukan

dengan menggunakan beberapa aeroalergen dapat dipertimbangkan sebagai sarana

diagnosis adanya sensitisasi IgE terhadap beberapa alergen yang diujikan karena

sensitif, murah, mudah, dan aman penggunaannya.

Page 13: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

Dari berbagai studi epidemiologi, pada pasien asma seringkali dihubungkan

dengan adanya sensitisasi terhadap indoor allergens, khususnya debu tungau

rumahan. Sepertiga dari pasien seringkali memiliki alergi terhadap perennial

indoor allergens dan debu tungau rumahan Dermatophagoides pteronyssinus,

alergen-alergen tadi merupakan agen lokal penyebab alergi yang paling banyak

terjadi. Alergi terhadap perennial allergen ini seringkali menjadi faktor penyebab

inflamasi yang terjadi pada pasien CRS. Sedangkan rinosinusitis yang terjadi

akibat infeksi fungal dapat dengan mudah diidentifikasikan dengan kriteria

diagnostik yang jelas. Dalam penelitian ini kami juga mendeteksi terjadinya alergi

tipe I terhadap alergen jamur yang diperantarai oleh IgE, termasuk alergen jenis

jamur yang paling sering ditemui Aspergillus fumigatus. Sensitivitas kulit

terhadap alergen jamur Aspergillus, yang ditentukan melalui hasil skin prick test

yang positif, dijumpai pada 13.2% pasien, sementara pada hampir sepertiga kasus,

ditemukannya IgE spesifik terhadap Aspergillus fumigatus pada serum. Terdapat

hubungan antara alergen jamur dengan keparahan asma yang terjadi, bahkan

istilah “asma berat dengan sensitisasi fungal” juga telah diajukan oleh beberapa

peneliti. Pada penelitian kami, pasien CRS dan asma seringkali memiliki alergi

terhadap jamur yang telah diketahui berperan sebagai disease-aggravating factor.

Kesimpulan

Data penelitian kami mengindikasikan bahwasanya pasien CRS terdiri

berbagai kelompok yang memiliki karakteristik klinis yang berbeda-beda. CSR

dihubungkan dengan terjadinya polip nasal dan asma sebagai bentuk gangguan

pada saluran pernapasan yang sering terjadi dengan karakteristik sebagai berikut:

pasien yang telah tua, lamanya durasi terjadinya berbagai gejala nasal, perluasan

perubahan gambaran radiologis sinus, obstruksi bronkial yang lebih parah dan

tingginya insidensi terjadinya rinitis alergi dan sensitisasi terhadap berbagai

alergen rumahan. Selain itu juga dijumpai peningkatan berbagai penanda

inflamasi sistemik, diantaranya: hitung jumlah leukosit dan eosinofil serta kadar

IgE yang dapat menyebabkan perluasan penyakit sinus kronis menjadi polip nasal

dan asma. Dari berbagai aspek klinis yang telah diobservasi, pasien CRS baik

Page 14: Hubungan Antara Rinosinusitis Kronis Dengan Polip Nasal Dan Asma Aspek Klinis Dan Radiologis, Alergi, Dan Penanda Inflamasi

yang mengenai saluran pernapasan atas maupun bawah perlu untuk dievaluasi

secara terus menerus dan mendapatkan perawatan yang baik.