laporan kasus sindroma nefrotik

36
BAB I IDENTITAS PASEN Nama : Tn. S Usia : 18 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Status Perkawinan : Belum Menikah Pendidikan : SMA Agama : Islam Pekerjaan : Tidak Bekerja Alamat : KP. Jembatan. Penggilingan. Cakung. Jakarta Timur. I. ANAMNESIS Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan BAK berbuih, 4 hari SMRS Keluhan Tambahan : Mata Bengkak setisp bangun tidur, Lemas, Mual Muntah Riwayat Penyakit Sekarang

Upload: firdhatriasurya

Post on 17-Jul-2016

317 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sindroma Nefrotik

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

BAB I

IDENTITAS PASEN

Nama : Tn. S

Usia : 18 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Belum Menikah

Pendidikan : SMA

Agama : Islam

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat : KP. Jembatan. Penggilingan. Cakung. Jakarta Timur.

I. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan BAK berbuih, 4 hari

SMRS

Keluhan Tambahan : Mata Bengkak setisp bangun tidur, Lemas, Mual Muntah

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli dengan untuk kontrol rutin. Pasien mengeluh BAK berbuih

sejak 1 minggu SMRS. Nyeri saat buang air kecil (-). Sebelumnya pada bulan agustus

2014 pasien datang dengan keluhan bengkak tubuh yang dialami 1 minggu sebelum

datang ke poli. Bengkak dirsakan timbul secara perlahan, bengkak pertama kali muncul

pada daerah wajah dan tampak pada saat bangun tidur. Pasien juga mengaku bengkak

menjalar ke tangan, perut dan terakhir menjalar sampai ke kaki. Bengkak dirasakan

semakin lama bertambah. Bengkak pada kaki jika ditekan bengkak membentuk

Page 2: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

cekungan. Tidak ada demam. Badan terasa lemas dan nafsu makan menurun. Saat ini

pasien tidak mengeluhkan adanya demam. Mual-muntah (+). Nyeri pada dada (-). Nyeri

Perut (+). Riwayat kencing berpasir (-), BAK berbuih (+), BAK selalu tuntas (+), nyeri

pada saat BAK (-), BAK berdarah (-). BAB Tidak ada keluhan. Riwayat mengkonsumsi

obat-obatan yang rutin di konsumsi (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami keluhan yang sama bengkak seluruh tubuh pada

bulan agustus tahun 2014.

Hipertensi (-)

Diabetes Melitus (-)

Penyakit Jantung (-)

Asma (-)

Alergi (-)

Riwayat sindroma Nefrotik (+)

Riwayat penyakit Keluarga

Ayah Hipertensi

Ibu tidak ada keluhan

Hiperglikemia, Asma, Jantung disangkal oleh keluarga pasien

Riwayat penyakit ginjal d keluarga di sangkal

Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi apapun

Page 3: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

Riwayat Psikososial

Pasien tidak bekerja.

Makan dan minum kadang teratur

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Komposmentis

Status Gizi :

BB : 55 kg

BB Ketika sakit : 49 kg

TB : 170 cm

Kesimpulan : Underweight

A. TANDA VITAL

Tekanan Darah : 110/ 80 mmHg

Nadi : 84x/menit

RR : 20x/menit

Suhu : 37.2ºC

B. STATUS GENERALIS

Kepala : Normochepal, rambut hitam

Mata : Konjungtiva Anemis -/-, Sklera Ikterik -/-, Edema Palpera (-/-)

Hidung : Notmonasi, Septum Deviasi -/- , Epitaksis -/-

Telinga : Normotia (+) , Sekret -/-

Mulut : Bibir lembab, tidak ada perdarahan gusi (-)

Page 4: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

C. THORAX

Paru – paru :

Inspeksi : Retraksi pada paru ka/ki -/-

Palpasi : Vocal Fremitus ka/ki sama

Perkusi : Suara sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Ronki -/-

Jantung :

Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS 5 Linea Midclavicula

Perkusi :

Batas Atas : ICS III Linea Parasternalis Dextra

Batas Kanan : ICS IV Linea Parasternalis Dextra

Batas Kiri : ICS V Linea Midclavicula Sinistra

Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Tampak Cembung

Palpasi : Supel, hepar lien tidak teraba, Nyeri tekan (-)

Perkusi : Tympani pada seluruh lapangan abdomen

Auskultasi : BU (+) 7x/menit

Extremitas : Atas Bawah

Akral : Hangat

Edema : +/+

RCT < 2 detik : < 2”

Page 5: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

III. RESUME

Pasien laki-laki 18 tahun dengan ke poli untuk kontrol rutin. Pasien mengeluh

BAK berbuih sejak 1 minggu SMRS. Nyeri saat BAK (-),Riwayat kencing

berpasir (-), BAK berbuih (+), BAK selalu tuntas (+). Nausea vomitus (+).

Nyeri Perut (+). Riwayat sindroma nefrotik sebelumnya (+). Edema palpebra

(+). Malaise (+).

Tekanan Darah : 110/ 80 mmHg

Nadi : 84x/menit

RR : 20x/menit

Suhu : 37.2ºC

Cholestrol LDL H 265 mg/dL

Cholinesterase H 14.187kU/L

Urinalisis

Albumin Urine 4+

IV. DAFTAR MASALAH

Sindroma Nerfrotik

Page 6: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

V. ASSESMENT

Sindroma Nefrotik

S: BAK berbuih, Bengkak pada kelopah maa seiap bangun tidur. Riwayat

sindroma nefrotik sebelumnya.

O: Tekanan Darah : 110/ 80 mmHg ; Nadi: 84x/menit; RR: 20x/menit;

Suhu: 37.2ºC. Edema +/+

A: Sindroma nefrotik

P:

Non-medikamentosa

Diet untuk pasien sindrom nefrotik adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian

besar terdiri dari karbohidrat. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki

hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan.

Dianjurkan diet protein normal 0,8-1,0 g/kgBB/hari.

Medikamentosa

Kortikosteroid

ACE inhibitors dan angiotensin receptor blocker

OAINS

Siklofosfamid dan Klorambusil

Siklosporin A

Diuretik

Antikoagulan

Penurun Lemak

Antibiotik

Page 7: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

VI. HASIL LABORATORIUM

Tanggal Test Hasil

03/10/2014 Albumin L 2.8

SGPT 20.30

Test Urin

Color Yellow

Clarity Slightly cloudy

pH 7.0

Spesific Gravity L 1.010

Urobilinogen <1

Bilirubin Negative

Albumin Urine 2+

Glucose urine Negative

Keton Negative

Leukosyt esterase 1+

Nitrit Negative

Blood urine 1+

Leukosit Banyak

Eritrosit 3-6

Epitel Positif

Krital urine Negative

Page 8: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

Bacterial +

Cast Positif

Granula 2-4

19/12/14 Cholestrol LDL H 265 mg/dL

Cholinesterase H 14.187kU/L

Urinalisis

Albumin Urine 4+

HASIL EKG

Page 9: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

BAB II

PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinis glomerulonefritis yang

ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥ 3,5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan

lipiduria (Prodjosudjadi, 2007). Sindrom nefrotik selalu disebabkan oleh kelainan di

glomerolus. Pada sindrom nefrotik, albumin menembus kapiler glomerolus, sebuah

fenomena abnormal yang bisa disebabkan oleh kelainan pada muatan listrik di membran

basal glomerolus, perubahan biokimia di membran basal, atau deposit imun (Appel,

2006). Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi sindrom nefrotik

primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab

tidak diketahui dan sindrom nefrotik sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu

(Gunawan, 2006).

Page 10: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

Kasus sindrom nefrotik cukup mudah ditemukan. Di Departemen Ilmu Kesehatan

Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian

besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal

ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000 (Indoskripsi, 2008). Sindrom nefrotik

menarik untuk dipelajari berdasarkan fakta bahwa prognosis sindrom nefrotik sangat

berbeda bila dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Sekarang, semua tipe sindrom

nefrotik dapat diberi penatalaksanaan dengan hasil efektif, ditunjukkan dengan perbaikan

pada banyak kasus (Appel, 2006). Angka mortalitas dari sindrom nefrotik perubahan

minimal telah menurun dari 50% menjadi 5% dengan majunya terapi dan pemberian

steroid (Betz dan Sowden, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran lebih dalam

mengenai suatu penyakit sangat penting untuk kemajuan di bidang kesehatan.

BAB III

SINDROM NEFROTIK

A. Definisi Sindrom Nefrotik

Sindrom nefrotik adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria

masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang

dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas (Gunawan, 2006).

Sindrom nefrotik selalu disebabkan oleh penyakit glomerolus dengan albuminuria berat (>3–

3.5 g/hari) (Appel, 2006).

B. Anatomi Mikroskopis Ginjal

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna

vertebralis. Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh karena adanya

Page 11: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh. Kutub atasnya terletak setinggi vertebra

thorakalis XII, sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi vertebra thorakalis XI

(Wilson, 2006).

Parenkim ginjal terdiri atas dua daerah khusus: korteks ginjal yang terletak di sebelah

luar dan tampak granuler, serta daerah bagian dalam yang berupa segitiga bergaris-garis

(piramid ginjal) yang secara kolektif disebut sebagai medula ginjal (Sherwood, 2001). Tiap-

tiap piramid dipisahkan oleh kolumna Bertini. Dasar piramid ini ditutup oleh korteks,

sedangkan puncaknya (papila marginalis) membentuk duktus papilaris Bellini masuk ke

dalam kaliks minor. Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor, yang selanjutnya

bersatu menjadi pelvis renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter (Wilson, 2006).

Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional (satuan terkecil yang mampu

membentuk urin) berukuran mikroskopik yang disebut nefron (Sherwood, 2001). Setiap

nefron terdiri dari kapsul Bowman dan kapiler glomerolus yang dilingkupinya, tubulus

kontortus proksimal, ansa Henle, tubulus kontortus distal yang mengosongkan diri ke tubulus

pengumpul (Wilson, 2006). Setiap ginjal memperoleh pasokan darah dari arteri renalis. Pada

saat memasuki ginjal, arteri renalis bercabang-cabgang hingga akhirnya menjadi arteriol

aferen dengan setiap pembuluh tersebut memperdarahi sebuah nefron (Sherwood, 2001;

Wilson, 2006).

C. Faal Glomerolus

Glomerolus merupakan bagian dominan pada komponen vaskuler nefron (Sherwood,

2001). Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke

tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik

intrakapiler dan tekanan koloid osmotik (Rauf, 2002).

Lapisan-lapisan pada membran glomerolus berfungsi sebagai saringan molekul yang

menahan sel darah merah dan protein plasma, tetapi melewatkan H2O dan zat terlarut lain

yang ukuran molekulernya cukup kecil. Walaupun protein plasma tidak dapat difiltrasi

karena tidak dapat melewati pori-pori di atas, pori-pori tersebut sebenarnya cukup besar

untuk melewatkan albumin yang merupakan protein plasma terkecil. Namun, glikoprotein

Page 12: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

pada membran basal glomerolus bermuatan sangat negatif sehingga akan menolak albumin

dan protein plasma lain yang juga bermuatan negatif. Sebagian penyakit yang ditandai oleh

adanya albuminuria diperkirakan disebabkan oleh gangguan muatan negatif di dalam

membran glomerolus, yang menyebabkan membran lebih permeabel terhadap albumin

walaupun ukuran pori-pori tidak berubah (Sherwood, 2002).

Dalam keadaan normal, ginjal menerima 20% sampai 25% dari curah jantung atau 1.200-

1.250 mL/menit (RBF) (Sherwood, 2001; Wilson, 2006). Bila hematokrit normal dianggap

45%, maka aliran plasma ginjal (RPF) sama dengan 660 mL/menit (Wilson, 2006). Dalam

keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerolus difiltrasi dengan tekanan

filtrasi netto 10 mmHg, menghasilkan laju filtrasi glomerolus rata-rata (GFR) 125 mL/menit

(Sherwood, 2001). Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau diambil berbagai

zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang dieksresi sebagai urin

(Wilson, 2006).

D. Etiologi

Etiologi sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi (Prodjosudjadi, 2007):

a. Glomerulonefritis primer dengan sebab tidak diketahui (idiopatik) dengan berbagai

macam kelainan histopatologi, meliputi:

o Glomerulonefritis lesi minimal

o Glomerulosklerosis fokal

o Glomerulonefritis membranosa

o Glomerulonefritis membranoproliferatif

o Glomerulonefritis proliferatif lain

b. Glomerulonefritis sekunder akibat:

o Infeksi, seperti infeksi HIV, hapatitis virus B dan C, sifilis, malaria, skistosoma,

tuberkulosis, dan lepra.

o Keganasan, seperti adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin,

mieloma multipel, dan karsinoma ginjal.

Page 13: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

o Penyakit jaringan penghubung, seperti pada lupus eritematosus sistemik, artritis

reumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)

o Efek obat dan toksin, seperti obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas,

penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, dan heroin.

o Lain-lain, meliputi diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik,

refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.

Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab

sindrom nefrotik. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin

serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer

pasien sindrom nefrotik yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T

(Gunawan, 2006).

E. Manifestasi Klinis

Proteinuria

Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat

kerusakan glomerolus. Dalam keadaan nomal membran basal glomerolus mempunyai

mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang

pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan

listrik (charge barrier). Pada sindrom nefrotik, kedua mekanisme tersebut ikut terganggu.

Selain itu, konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui

membran basal glomerolus (Prodjosudjadi, 2007).

Derajat proteinuria tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan

glomerulus. Pada nefropati lesi minimal, proteinuria disebabkan terutama oleh hilangnya

charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh

hilangnya size selectivity (Gunawan, 2006). 

Page 14: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

Hipoalbuminemia

Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati,

dan kehilangan albumin melalui urin (Prodjosudjadi, 2007). Pada sindrom nefrotik,

hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan

katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat sebagai usaha

kompensasi (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin),

tetapi mungkin normal atau menurun (Gunawan, 2006).

Edema

Edema pada sindrom nefrotik dapat diterangkan dengan teori underfill dan

overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia menyebabkan penurunan

tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan

interstisium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan

bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia. Ginjal melakukan kompensasi dengan

meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki

volume intravaskuler, tetapi juga mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga

edema semakin berlanjut (Prodjosudjadi, 2007).

Namun, pada awal tahun 1940an, khususnya pada dua dekade terakhir, banyak

studi yang mendukung adanya konsep yang berlawanan dengan teori underfill. Meskipun

beberapa pasien dengan sindrom nefrotik lesi minimal memiliki volume plasma yang

endah, banyak pasien dengan sindrom nefrotik tidak memiliki manifestasi klinis seperti

yang diharapkn pada teori underfill (penurunan volume plasma, peningkatan sodium-

retaining hormones, dan sebagainya) (Hamm dan Batuman, 2003).

Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Teori ini menjelaskan bahawa retensi

natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan

ekstravaskuler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerolus

akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema (Prodjosudjadi,

2007).

Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya

disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa

Page 15: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat

selama fase diuresis (Gunawan, 2006).

Hiperlipidemi

Kadar kolesterol umumnya meningkat, sedangkan trigliserida bervariasi dari

normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya

LDL. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL. Selain itu

ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan lipoprotein

(Lp)a, sedangkan HDL cenderung normal atau rendah (Prodjosudjadi, 2007).

Keadaan ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan

katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan

intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid

distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik (Gunawan,

2006).  

Lipiduria

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber

lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membran basalis glomerulus yang

permeabel (Gunawan, 2006).

Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan

plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X,

trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta

menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI) (Gunawan, 2006).  

Metabolisme kalsium dan tulang

Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada

manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga

menyebabkan penurunan kadar plasma, sedangkan kadar vitamin D bebas tidak

Page 16: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada sindrom nefrotik umumnya normal

maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tidak terkontrol jarang dijumpai. Pada

sindrom nefrotik juga terjadi kehilangan hormon tiroid yang terikat protein melalui urin

dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin bebas dan thyroxine-stimulating hormone

tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan (Prodjosudjadi, 2007).

Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal,

penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan

terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, dan

Haemophilus. Pada sindrom nefrotik juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel

T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis (Gunawan, 2006).  

Gangguan fungsi ginjal

Pasien sindrom nefrotik mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut

melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan/atau sepsis sering

menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan

menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema internal yang menyebabkan

terjadinya kompresi pada tubulus ginjal (Prodjosudjadi, 2007).

Komplikasi lain pada sindrom nefrotik

Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada sindrom nefrotik dewasa terutama

apabila disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang

tinggi. Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena

hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi

tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi sindrom nefrotik terutama dikaitkan dengan

retensi natrium dan air (Prodjosudjadi, 2007).

F. Pemeriksaan

1. Anamnesis

Perlu diperhatikan masalah penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat

penyakit sistemik lain (Prodjosudjadi, 2007).

Page 17: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

2. Pemeriksaan fisik

Terdapat edema anasarka. Tidak jarang mata tertutup akibat edema pada kelopak mata.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan urin, meliputi protein urin, urinalisis, hamaturia, dipstick urin, berat

jenis urin, dan pemeriksaan sedimen. Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam

(fase oliguria) (Betz dan Sowden, 2002; Prodjosudjadi, 2007).

Pemeriksaan darah, meliputi kadar albumin dalam serum, kolesterol serum,

trigliserid, hemoglobin, hematokrit, laju endap darah (LED), dan elektrolit serum

(Betz dan Sowden, 2002; Prodjosudjadi, 2007).

Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan

diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab sindrom nefrotik sekunder.

Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya

mahal karena itu sebaiknya hanya dilakukan berdasarkan indikasi yang kuat

(Prodjosudjadi, 2007).

G. Diagnosis

Diagnosis sindrom nefrotik dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

laboratorium berupa proteinuria masif (>3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari),

hipoalbuminemia (<3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.

Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis trombosis

vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada sindrom nefrotik primer untuk

menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon

terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal (Gunawan, 2006).

H. Penatalaksanaan

Pengobatan sindrom nefrotik terdiri dari pengobatan spesifik terhadap penyakit dasar

dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan

mengobati komplikasi.

1. Non-medikamentosa

Page 18: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

Diet untuk pasien sindrom nefrotik adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar terdiri dari

karbohidrat. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi

risiko komplikasi yang ditimbulkan. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1,0 g/kgBB/hari.

Pada pasien dengan diet protein 0,6 g/kgBB/hari ditambah dengan jumlah gram protein

sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat,

dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-

2 gram natrium/hari) disertai diuretik dan tirah baring.

2. Medikamentosa

Kortikosteroid

Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang

memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa

pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang

baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Pada kebanyakan pasien nefropati

membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk

jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka pemakaian

glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini tidak direkomendasikan.

Regimen penggunaan kortikosteroid pada sindrom nefrotik bermacam-macam, di

antaranya prednison 125 mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis

dikurangi bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat diulangi.

Regimen lain pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat

badan/hari selama 4 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4

minggu. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu

namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.

Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m2 luas permukaan tubuh atau 2 mg/kg

berat badan/hari selama 4 minggu, diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2

hari selama 4 minggu.

Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi

parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuri minimal (<200 mg/24

jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum <300 mg/dl, diuresis lancar, dan edema

Page 19: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

hilang. Remisi parsial jika proteinuri <3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol

serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika

klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah

pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid memberi remisi

lengkap pada 67% kasus sindrom nefrotik nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau

parsial pada 50% sindrom nefrotik nefropati membranosa dan 20%-40% pada

glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian

kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis,

hipertensi, diabetes mellitus.

ACE inhibitors dan angiotensin receptor blocker

Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid, untuk mengurangi

proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan angiotensin converting enzyme

inhibitor (ACEI), misalnya kaptopril atau enalapril dosis rendah, dan dosis

ditingkatkan setelah 2 minggu, atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal

indometasin 3x50 mg. Angiotensin converting enzyme inhibitor mengurangi

ultrafiltrasi protein glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus

dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek antiproteinurik obat ini

berlangsung lama (kurang lebih dua bulan setelah obat dihentikan). Angiotensin

receptor blocker (ARB) ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena

menghambat inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin, faktor

pertumbuhan, adhesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal pada ginjal. Kombinasi

ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek antiproteinuri lebih besar pada

glomerulonefritis primer dibandingkan pemakaian ACEI saja atau ARB saja.

OAINS

Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) dapat digunakan pada pasien nefropati

membranosa dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis

prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal, penurunan tekanan kapiler

glomerulus, area permukaan filtrasi dan mengurangi proteinuria sampai 75%. Selain

itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-related antigenic dan mencegah

agregasi trombosit. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan

Page 20: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini tidak boleh diberikan

bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.

Siklofosfamid dan Klorambusil

Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau resisten terhadap

kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan siklofosfamid atau klorambusil.

Siklofosfamid memberi remisi yang lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2

tahun) dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Efek samping siklofosfamid

adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia, sistitis hemoragik dan infertilitas bila

diberikan lebih dari 6 bulan. Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2

mg/kgBB/hari selama 8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia dan

agranulositosis.

Pada nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon dan

klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal dan dapat mempertahankan

fungsi ginjal dibandingkan dengan metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini

berkurang sesuai dengan waktu (dalam 4 tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi).

Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari intravena 3 hari, lalu 0,4

mg/kg/hari peroral selama 27 hari diikuti klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan

berselang seling. Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalah siklofosfamid 2

mg/kg/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2 hari selama beberapa bulan ( maksimal

6 bulan).

Siklosporin A

Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah diberi siklofosfamid

atau untuk memperpanjang masa remisi setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5

mg/kg/hari selama 6 bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25%

setiap 2 bulan). Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi dengan

prednisolon pada kasus sindrom nefrotik yang gagal dengan kombinasi terapi lain.

Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival, hipertrikosis, hiperurisemi,

hipertensi dan nefrotoksis

Diuretik

Page 21: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

Untuk mengurangi edema diberikan diuretik (furosemid 40 mg/hari atau golongan

tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium sparing diuretic

(spironolakton). Bila resisten dengan furosemid oral dapat dikombinasi dengan tiazid,

metalazon, atau asetazolamid.

Pada pasien sindrom nefrotik dapat terjadi resistensi terhadap diuretik (500 mg

furosemid dan 200 mg spironolakton). Resistensi terhadap diuretik ini bersifat

multifaktorial. Diduga hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat

ke tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan merupakan

mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian dapat diberikan infus salt-poor

human albumin. Dikatakan terapi ini dapat meningkatkan volume plasma,

meningkatkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin, dan ekskresi natrium. Namun

demikian infus albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat

diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah dan bahkan edema

paru pada pasien hipervolemi.

Antikoagulan

Risiko tromboemboli meningkat pada sindrom nefrotik dan perlu mendapat

penanganan. Walaupun pemberian jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu

studi terbukti memberikan keuntungan. Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas

yaitu tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus sindroma nefrotik

(paling sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75 mg) atau

aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan deposisi fibrin/trombus.

Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi secara bermakna penurunan fungsi ginjal

dan terjadinya gagal ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami

proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi tromboemboli, harus

diberikan heparin intravena/infus selama 5 hari, diikuti pemberian warfarin oral

sampai 3 bulan atau setelah terjadi kesembuhan sindrom nefrotik. Pemberian heparin

dengan pantauan activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol

Page 22: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT) yang biasa

dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR) 2-3 kali normal.

Penurun Lemak

Dislipidemia pada sindrom nefrotik belum secara meyakinkan meningkatkan

risiko penyakit kardiovaskuler, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong

pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin

seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL,

trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.

Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko terjadinya

aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat digunakan penghambat

hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG Co-A) reductase yang efektif menurunkan

kolesterol plasma. Obat golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping

minimal. Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna kadar

trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat dapat toksis pada kadar

biasa karena kadar klofibrat bebas yang meningkat menyebabkan kerusakan otot dan

gagal ginjal akut. Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL,

tetapi efeknya minimal terhadap trigliserid. Asam nikotinat (niasin) dapat menurunkan

kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan

kolestipol efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat

ini tidak dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang

memperburuk defisiensi vitamin D pada sindroma nefrotik.

Antibiotik

Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis)

diberikan antibiotik yang sesuai dan dapat disertai pemberian imunoglobulin G

intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus. Pemakaian

imunosupresan menimbulkan masalah infeksi virus seperti campak, herpes.

Penyulit lain yang dapat terjadi di antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal

akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan penanganan pada

Page 23: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

umumnya. Bila terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi

ginjal. Pada pasien glomerulo-sklerosis fokal segmental yang menjalani transplantasi ginjal,

15%-55% akan kembali terjadi sindrom nefrotik. Rekurensi mungkin disebabkan oleh

adanya faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang meningkatkan

permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein plasma A menurunkan ekskresi protein

urin pada pasien sindrom nefrotik karena glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati

membranosa maupun sindrom nefrotik sekunder karena diabetes melitus. Diduga

imunoadsorpsi melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau faktor yang

meningkatkan permeabilitas glomerulus.

I. Prognosis

Mortalitas dan prognosis pasien dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi,

berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya terhadap

pengobatan (Betz dan Sowden, 2002).

BAB III

PENUTUP

Sindrom nefrotik merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh

proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia, lipiduria dan

hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi

yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan

patofisiologi dapat dijadikan sebagai pedoman pengobatan pada sebagian besar pasien

sindrom nefrotik. Penatalaksanaan sindrom nefrotik meliputi terapi spesifik untuk

kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan atau mengurangi

proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia serta mencegah dan mengatasi komplikasi.

Page 24: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

DAFTAR PUSTAKA

Appel, G. B. 2006. Improved Outcomes in Nephrotic Syndrome. CCJM. 73: 161-166.

http://www.ccjm.org/content/73/2/161.full.pdf

Betz, C. L. dan Sowden, L. L. 2002. Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta, Penerbit Buku

Kedokteran EGC. pp: 335-336.

Gunawan, C. A. 2006. Sindrom Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/

18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.html (2 Mei 2009)

Hamm, L. L. dan Batuman, V. 2003. Edema in the Nephrotic Syndrome: New Aspect of an Old

Enigma. JASN. 14: 3288–3289. http://jasn.asnjournals.org/cgi/reprint/14/12/3288

Page 25: Laporan Kasus Sindroma Nefrotik

Indoskripsi. 2008. Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. http://one.indoskripsi.com/judul-

skripsi-tugas-makalah/kedokteran/sindrom-nefrotik (2 Mei 2009)

Prodjosudjadi, W. 2007. Sindrom Nefrotik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed:

Aru W. Sudoyo dkk. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. pp: 547-549.

Rauf, S. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UH.

p: 4.

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2, Alih Bahasa: Brahm U.

Pendit. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp: 463-475.

Wilson, L. M. 2006. Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih. Dalam: Patofisiologi

Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Ed: Sylvia A. Price dan Lorraine M.

Wilson. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

pp: 867-875.