laporan kasus 2

Upload: ayniz-nie

Post on 08-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fgfghjh

TRANSCRIPT

Laporan Kasus

DEMAM TIFOID

OlehRiza Wulandari0808151223

Pembimbing :dr. Zaitul Wardana RK, SpPD-DTM&H

KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAURSUD ARIFIN ACHMAD2013

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangDemam tifoid merupakan penyakit endemik yang termasuk dalam masalah kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia karena dapat membawa dampak peningkatan angka morbiditas maupun angka mortalitas. Di Indonesia kasus demam tifoid telah tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.1Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang dengan bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyers patch. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara berkembang.1Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 kasus.2 Di Indonesia terdapat 900.000 kasus dengan angka kematian sekitar 20.000 kasus.3 Menurut data Hasil Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia untuk semua umur.4 Demam tifoid lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun.5 Menurut laporan WHO 2003, insidensi demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus pertahun.2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiDemam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh Salmonella enterica serotype paratyphi A, B, atau C (demam paratifoid).6

2.2 EtiologiDemam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut.6

2.3 PatogenesisPatogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan.7 Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis.8 Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler.8 Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik.2 Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif.8 Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.7,8 Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag.8 Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi.6,8 Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen.7 Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik.9 Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyers patches di mukosa ileum terminal.9 Ulserasi pada Peyers patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang meng-akibatkan nekrosis dan iskemia.7 Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.9

2.4. Gejala KlinisMasa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran inokulum dan daya tahan tubuh penjamu. Masa inkubasi rata-rata 3 60 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 6,10a. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam menetap persisten . Peningkatan suhu seperti naik tangga setiap hari sampai dengan 40 atau 41oC . Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. Bradikardia relatif dapat ditemukan. Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.b. Ganguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. c. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

2.5 DiagnosisUntuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :2,6a.Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid. b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positif menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sumsum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama. c.Diagnosis serologik 1. Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :10 a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

2. Pemeriksaan Tubex Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D.9 Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan.11 Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan.11 Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja.11 Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot.12 Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya.11

2.6 PenatalaksanaanTerapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.13 Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.13 Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.13 Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone.14 Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.14 Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1.11Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.1 Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.14Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.14 Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari.

Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.14 Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi.11 Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang minimal. Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari.11 Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan.14 Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.1,2,11Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksispada sumsum tulang.11Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.1 Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat.1 Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun 2003 dapat dilihatdi tabel 2.11 Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik.1,2 Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.1,2

2.7 PencegahanStrategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari.13 Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi.13 Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid.13 Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:1,2 Vaksin Vi Polysaccharide Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%. Vaksin Ty21a Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi perlindungan 67-82%. Vaksin Vi-conjugate Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar 89%.

BAB IIIILUSTRASI KASUS

Identitas pasienNama : Tn. VSUmur: 18 TahunPekerjaan: PelajarAlamat: TampanMasuk RS: 31 Agustus 2013

ANAMNESIS (Autoanamnesis)Keluhan Utama: Demam sejak 10 hari SMRSRiwayat Penyakit Sekarang: Sejak 10 hari SMRS, pasien mengeluhkan demam. Demam meningkat pada sore hari serta menurun pada pagi hari. Awalnya, demam dirasakan naik turun. Namun dalam beberapa hari terakhir, demam terjadi secara terus menerus. Menggigil (-), nyeri kepala (+), nyeri otot (+), lemas (+), mual (+), muntah (+) berisi makan dengan frekuensi 6x/hari dengan jumlah + gelas/x muntah, nyeri ulu hati (+), bintik-bintik merah di perut (-), perut terasa kembung (+), batuk (-), nyeri tenggorokan (-), riwayat batuk lama (-), penurunan berat badan (-), nafsu makan menurun (+), nyeri saat BAK (-), perut pasien terasa kembung dan pasien tidak BAB sejak 4 hari terakhir. Pasien berobat ke klinik dan diberi obat paracetamol dan amoksilin, namun keluhan tidak berkurang.

Riwayat Penyakit DahuluTidak pernah mengeluhkan keluhan seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada anggota keluarga menderita penyakit yang sama

Riwayat Kebiasaan Pasien merupakan seorang pelajar SMA Pasien sering membeli makanan di luar Riwayat bepergian ke daerah lain disangkal

PEMERIKSAAN FISIKStatus Generalis Keadaan Umum: Tampak sakit sedang Kesadaran : Komposmentis Tekanan darah: TD 110/70 mmHg Nadi : 68 x/menit Nafas : 16 x/menit Suhu : 39,1C Keadaan gizi: BB = 50TB = 160IMT = 19,53Pemeriksaan Kepaladan Leher Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+) Leher: pembesaran KGB (-) Lidah : kotor (+), typhoid tongue (-)

Pemeriksaan ThoraksParu: Inspeksi: gerakan dada simetris kiri dan kanan, retraksi (-) Palpasi: vokal fremitus kiri = kanan Perkusi: sonor di kedua lapangan paru Auskultasi: suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung : Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat Palpasi: ictus cordis tidak teraba Perkusi: batas jantung dbn Auskultasi: bunyi jantung I dan II (+) normal, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Abdomen Inspeksi: tampak datar, venektasi (-), scar (-), rose spot (-) Auskultasi: bising usus (+) normal Palpasi: supel, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae, permukaan rata, tepi tumpul, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-), lien tidak teraba Perkusi: timpaniPemeriksaan EkstremitasAkral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG: Laboratorium darah rutinHb: 12 gr/dlHt: 39,0 % Leukosit: 10.900/uLTrombosit: 346.000/mm3 Widal : Antigen H = positif titer 1/160 Antigen O = positif titer 1/320

Resume:Tn. VS datang ke RSUD AA dengan keluhan febris tipe continua sejak 10 hari SMRS, meningkat pada sore hari. Cephalgia (+), myalgia (+), nausea (+), vomitus (+), konstipasi (+) sejak 4 hari SMRS. Pasien berobat ke klinik 24 jam dan diberi antipiretik dan antibiotik, namun keluhan tidak berkurang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya bradikardi relatif, hepatomegali dan nyeri tekan epigastrium (+). Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis dan Widal antigen H reaktif dengan titer 1/160 dan antigen O reaktif dengan titer 1/320.

Daftar Masalah1. Demam typhoid .

Analisis MasalahDemam pada pasien ini sudah berlangsung selama 10 hari, demam naik turun dan meningkat pada sore hari dan pada beberapa hari terakhir demam terjadi terus menerus. Demam lebih dari 7 hari dapat dipikirkan kemungkinan demam tifoid, malaria dan tuberkulosis. Karakteristik demam pada demam tifoid adalah selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari, kemudian dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada malaria, demam yang terjadi diawali dengan menggigil karena pasien merasa kedinginan, lalu timbul demam dan kemudian pasien berkeringat banyak lalu demam turun. Pada pasien ini tidak terdapat karakteristik demam malaria. Penyakit tuberkulosis selain demam pasien juga mengeluhkan batuk berdahak dan penurunan berat badan, namun pada pasien ini tidak ada gejala batuk berdahak maupun penurunan berat badan.Demam juga disertai gejala nyeri kepala, nyeri otot, lemas, dan mual. Keluhan tersebut dirasakan pasien bersamaan dengan timbulnya demam. Pasien tidak pernah mengeluhkan hal tersebut sebelumnya. Keluhan yang dirasakan pasien ini merupakan gejala prodromal dari demam yang diderita pasien. Pasien sudah 4 hari tidak BAB, selama ini pasien tidak ada keluhan BAB, BAB pasien teratur dengan konsistensi normal. Konstipasi terjadi bila frekuensi BAB kurang dari 3 kali seminggu dengan konsistensi keras, kesulitan mengeluarkan feses serta mengalami sensasi tidak puas pada saat BAB. Keluhan pada pasien ini dikarenakan kurangnya intake makanan sehingga pembentukan massa feses sedikit.Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya bradikardi relatif, hepatomegali dan nyeri tekan epigastrium. Penyakit dengan gejala demam dan hepatomegali seperti demam tifoid, demam berdarah dengue dan hepatitis. Demam berdarah dengue ditandai dengan gejala demam 2-7 hari dengan tipe demam bifasik, ada manifestasi perdarahan, serta trombositopenia dan hemokonsentrasi. Pada hepatitis, demam dengan gejala prodromal pada minggu pertama dan adanya fase ikterik pada minggu kedua. Pada pasien ini dapat disingkirkan kemungkinan demam berdarah dengue dan hepatitis. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Leukosit: 10.900/uL, Widal dengan antigen H reaktif titer 1/160, antigen O titer 1/320. Dengan didukung pemeriksaan penunjang ini, demam pada pasien mengarah ke diagnosis demam typhoid.

Diagnosis Kerja : demam tifoid

PenatalaksanaanNon-Farmakologis Tirah baring Diet rendah serat

Farmakologis IVFD RL 20 tpm Inf. Levofloxacin 1x500 mg Inj. Ranitidin 3x25 mg Paracetamol tab 3x500 mg Domperidon tab 3x10 mg

FOLLOW UP TanggalSubjektif Objektif Assesment Planning

1 September 2013Demam (+), nyeri kepala (+), mual (+), muntah (+) berkurang, nyeri ulu hati (+), BAB (-)

Kes : CMTD : 110/70 mmHg HR : 72x/iRR : 16 x/iT : 38,20CDemam typhoid Tirah baringDiet rendah serat IVFD RL 20 tpm Inf. Levofloxacin 1x500 mg Inj. Ranitidin 3x25 mg Paracetamol tab 3x500 mg Domperidon tab 3x10 mg

2 September 2013Demam (+), nyeri kepala (-), mual (+), muntah (-), nyeri ulu hati (-), BAB (+) sedikitKes : CMTD : 130/80 mmHg HR : 68 x/iRR : 16 x/iT : 38,00CDemam typhoid Tirah baringDiet rendah serat IVFD RL 20 tpm Inf. Levofloxacin 1x500 mg Inj. Ranitidin 3x25 mg Paracetamol tab 3x500 mg Domperidon tab 3x10 mg

3 September 2013Demam (-), nyeri kepala (-), mual (-), BAB (+)Kes : CMTD : 120/70 mmHg HR : 80 x/iRR : 16 x/iT : 37,20CDemam typhoidTirah baringDiet rendah serat IVFD RL 20 tpm Inf. Levofloxacin 1x500 mg Inj. Ranitidin 3x25 mg Paracetamol tab 3x500 mg Domperidon tab 3x10 mg

4 September 2013Pasien boleh pulang

BAB IVPEMBAHASAN

Pada pasien ini, ditegakkan diagnosis demam typhoid. Hal ini didasarkan karena pada anamnesis didapatkan adanya demam tipe continua sejak 10 hari SMRS yang meningkat pada sore hari dengan adanya gejala prodormal dan gangguan pada saluran cerna. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya bradikardi relatif, nyeri tekan epigastrium dan hepatomegali. Dari pemeriksaan penunjang ditemukan pada test Widal antigen antigen H reaktif dengan titer 1/160 dan antigen O reaktif dengan titer 1/320.Pasien memiliki riwayat pengobatan pada saat demam terjadi yaitu berobat di klinik dan diberi Parasetamol dan Amoksisilin, namun keluhan pasien tidak berkurang. Hal ini dikarenakan demam yang dikeluhkan pasien tidak diterapi dengan antibiotik yang sesuai dengan etiologi dari demamnya itu sendiri. Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian serta eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.13 Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.13Pada pasien ini penatalaksanaan non farmakologis dengan tirah baring dan pemberian diet rendah serat. Penderita demam tifoid memerlukan istirahat total serta pemberian nutrisi yang adekuat melalui total parenteral nutrisi dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.1,2 Makanan dengan rendah serat dan rendah sisa bertujuan untuk memberikan makanan sesuai kebutuhan gizi yang sedikit mungkin meninggalkan sisa sehingga dapat membatasi volume feses, dan tidak merangsang saluran cerna, juga ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus.1,2 Pasien ini dirawat karena adanya mual muntah yang berat, tidak nafsu makan serta badan lemas, sehingga ditakutkan intake nutrisi, cairan dan elektrolit pasien tidak akan adekuat jika pasien dilakukan rawat jalan. Pasien dianjurkan untuk tirah baring sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.7Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini adalah IVFD RL 20 tpm, infus Levofloxacin 1x500 mg selama 3 hari, Paracetamol tab 3x500 mg, injeksi Ranitidin 3x25 mg dan Domperidon 3x10 mg sebagai terapi simptomatik dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum pasien. Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%.1 Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari.14 Berdasarkan hasil follow up, terjadi penurunan demam pada hari ketiga. Sesuai dengan literatur bahwa penurunan demam pada pemberian Levofloxacin paling cepat yaitu 2-4 hari.11

DAFTAR PUSTAKA

1. Muliawan SY, Surjawidjaya JE. Diagnosis dini demam tifoid dengan menggunakan protein membran luar S. Typhi sebagai antigen spesifik. CDK.1999;124:11-3. 2. Department of Vaccines and Biologicals. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva: WHO; 2003. 3. Crump JA, Mintz ED. The global burden of typhoid fever. Bulletin of the World Health Organization. 2004; 82(5):346-53. 4. Anonim. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2009. 5. Ochiai RL, Acosta JC, Danovaro-Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK, Agtini M, et al. A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for controls. Bull World Health Organ. 2008;86:260-8.6. Widodo Darmowandoyo. Demam Tifoid. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi pertama. 2006. Jakarta ;Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI: 1752-577. Typhoid fever. Surgery in Africa-Monthly Review [Internet]. 2006 Feb 11 [cited 2011 Mar 3 ].Available from: http://www.ptolemy.ca/members/archives/2006/typhoid_fever.htm8. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006; 14: 266-72.9. Parry CM. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever [Internet]. 2005 [cited 2011 Mar 3]. Available from: www.cambridge.org10. Karsinah, Suharto, W. Mardiastuti, M. Lucky. Batang negatif gram. Dalam: Staf Pengajar FK UI, penyunting. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1994;168-73. 11. Mehta KK. Changing trends in typhoid fever. Medicine Update 2008; 18: 201-4.12. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. BMJ 2006; 333: 78-8213. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366: 749-62.14. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever [Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from: www.who-int/vaccines-documents/15. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2008.

4