laporan boraks klp 1

36
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan makanan selalu diusahakan untuk menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik. Untuk mendapatkan makanan sepe yang diinginkan maka sering pada proses pembuatannya dilakukan penambahan “bahan tambahan makanan (BTM)” yang disebut zat aktif kimia ( food additi (Pane, 2012 ). Salah satu makanan yang sering ditambahkan zat tambahan adalah tahu yaitu berupa penambahan boraks sebagai bahan pengawet. Konsentrasi bahan pengawet yang diizinkan oleh peraturan sifatnya ada penghambatan dan bukannya mematikan organisme-organisme pencemar, o karena itu populasi mikroba dari bahan pangan yang akan diawetka dipertahankan seminimum mungkin dengan cara penanganan dan pengola secara higienis. Bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk justru ditambahkan kedalam makanan misalnya boraks akan sangat membahayakan konsumen (Pane, 2012 ). Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi dan diambil sarinya (Triastuti dkk, 2013). Sekarang ini marak sekali peng boraks untuk mengawetkan tahu. Meningkatnya pertumbuhan industri makanan Indonesia, telahterjadi peningkatan produksi makanan yang beredardi masyarakat. Sudah tidak asinglagibahwa banyak zat-zat berbahaya yang langsung dicampur sebagai bahan tambahan makanan, salah satu zat yang ser digunakan yaitu „Boraks‟ atau „Bleng‟. Menurut Peraturan Menteri Nomor: 722/MenKes/Per/IX/88 tentang BTP, borakstermasukbahan yang berbahaya dan beracun sehinggatidak boleh digunakansebagaiBTP. Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks memang tidak serta berakibat buruk secara langsung, tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi sedikit k diserap dalam tubuh. Seringnya mengonsumsi makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan gangguan otak, hati, dan ginjal (Triastuti dkk, 2013). Penggunaan boraks dalam waktu lama dan jumlah yang banyak da menyebabkan kanker. Namun pelanggaran peraturan di atasmasih sering

Upload: timothy-olson

Post on 09-Oct-2015

74 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

qwerty

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPengelolaan makanan selalu diusahakan untuk menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik. Untuk mendapatkan makanan seperti yang diinginkan maka sering pada proses pembuatannya dilakukan penambahan bahan tambahan makanan (BTM) yang disebut zat aktif kimia (food additive) (Pane, 2012).Salah satu makanan yang sering ditambahkan zat tambahan adalah tahu yaitu berupa penambahan boraks sebagai bahan pengawet.Konsentrasi bahan pengawet yang diizinkan oleh peraturan sifatnya adalah penghambatan dan bukannya mematikan organisme-organisme pencemar, oleh karena itu populasi mikroba dari bahan pangan yang akan diawetkan harus dipertahankan seminimum mungkin dengan cara penanganan dan pengolahan secara higienis. Bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan, justru ditambahkan kedalam makanan misalnya boraks akan sangat membahayakan konsumen (Pane, 2012).Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasikan dan diambil sarinya (Triastuti dkk, 2013). Sekarang ini marak sekali penggunaan boraks untuk mengawetkan tahu. Meningkatnya pertumbuhan industri makanan di Indonesia, telah terjadi peningkatan produksi makanan yang beredar di masyarakat. Sudah tidak asing lagi bahwa banyak zat-zat berbahaya yang langsung dicampur sebagai bahan tambahan makanan, salah satu zat yang sering digunakan yaitu Boraks atau Bleng. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 722/MenKes/Per/IX/88 tentang BTP, boraks termasuk bahan yang berbahaya dan beracun sehingga tidak boleh digunakan sebagai BTP. Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks memang tidak serta berakibat buruk secara langsung, tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi sedikit karena diserap dalam tubuh. Seringnya mengonsumsi makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan gangguan otak, hati, dan ginjal (Triastuti dkk, 2013).Penggunaan boraks dalam waktu lama dan jumlah yang banyak dapat menyebabkan kanker. Namun pelanggaran peraturan di atas masih sering dilakukan oleh produsen makanan. Menurut Pane (2012), hal ini terjadi selain karena kurangnya pengetahuan para produsen juga karena harga pengawet yang khusus digunakan untuk industri relatif lebih murah dibandingkan dengan harga pengawet yang khusus digunakan untuk makanan maupun minuman.Untuk menjamin keamanan makanan yang konsumen konsumsi maka diperlukan suatu metode untuk mengidentifikasi kandungan boraks dalam makanan tahu. Metode yang dapat digunakan dapat berupa uji kualitatif yaitu uji nyala, uji warna kertas kurkuma, dan uji kertas kunyit dengan metode ini hanya dapat menentukan identitas boraks saja, sedangkan uji kuantitatif atau penetapan kadar dapat menggunakan spektrofotometri UV-Vis (Triastuti dkk, 2013). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan identifikasi dan kuantifikasi boraks dalam sampel makanan tahu dengan metode Spektrofotometri UV-Vis.

1.2 Tujuan1.2.1 Menetapkan kadar senyawa boraks dalam tahu dengan metode spektrofotometri UV-Vis.1.2.2 Melakukan validasi metode analisis senyawa boraks dalam tahu dengan metode spektrofotometri UV-Vis.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami, bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan dan untuk memperbaiki karakter pangan agar memiliki kualitas yang meningkat (Syah, 2005). Menurut peraturan Menteri Kesehatan R.I.No.329/Menkes/PER/XII/76, yang dimaksudkan dengan adiktif makanan adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu termasuk kedalamnya aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, antigumpal, pemucat, dan pengental (Winarno, 1992). Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan. Bahan tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila, tidak digunakan untuk menyembunyikan atau menutupi penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan dan tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk pangan serta tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (BPOM, 2003). Pada umumnya dalam pengolahan makanan selalu diusahakan untuk menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik. Atribut kualitas makanan meliputi: Sifat Indrawi atau organolepfik, yaitu sifat-sifat yang dapat dinilai dengan panca indra seperti sifat kenampakan; (bentuk, ukuran, warna); cita rasa (flavor); asam, asin, manis, pahit; tekstur, yaitu sifat yang dinilai dengan indra peraba (halus, lembut, kasar). Kandungan dan nilai gizi, yaitu: karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan lain-lain . Keamanan makanan yang dikonsumsi, yaitu terbebas dari bahan-bahan kimia berbahaya/pencemar atau racun yang bersifat mikrobiologis.

Makanan yang tersaji harus tersedia dalam bentuk dan aroma yang lebih menarik, rasa enak, warna dan konsistensinya baik serta awet. Untuk mendapatkan makanan seperti yang diinginkan maka sering pada proses pembuatannya dilakukan penambahan bahan tambahan makanan(BTM) yang disebut zat adiktif kimia (food additive) (Widyaningsih, 2006). Pemakaian BTM (Bahan Tambahan Makanan) yang aman merupakan pertimbangan yang penting. Jumlah BTM (Bahan Tambahan Makanan) yang diizinkan untuk digunanakan dalam pangan harus merupakan kebutuhan minimum untuk mendapatkan pengaruh yang dikehendaki. Pada prinsipnya konsumen harus diberi informasi adanya bahan tambahan makanan (BTM) dalam bahan baku makanan. Pernyataan yang tertera atau etiket harus diberikan informasi adanya BTM (Bahan Tambahan Makanan) kepada konsumen. Hal ini merupakan metode yang paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut (Baliwati, 2004). Pada umumnya bahan tambahan dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: Adiktif sengaja, yaitu adiktif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan sebagainya. Adiktif tidak sengaja, yaitu adiktif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah yang sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan (Winarno, 2004). Tujuan penggunaan bahan tambahan makanan adalah untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi, dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preperasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu: Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna dan pengeras. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu: bahan yang tidak mempunyai reaksi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu pestisida dan antibiotika (Cahyadi, 2006) Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet kimia adalah semua bahan yang bila ditambahkan pada pangan dapat mencegah atau menghambat kerusakan kimia maupun biologis makanan. Garam dapur, gula cuka, rempah atau minyak rempah tidak termasuk pengawet kimia (BSN, 1995).Pengawet makanan digunakan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan biologis dan kimia pada makanan. Untuk mencegah kerusakan kimia terdiri dari antioksidan (mencegah autooksidasi dari pigmen, lemak, vitamin dan aroma), senyawa antibrowning (mencegah pencoklatan secara enzimatis maupun non enzimatis) dan senyawa antistaling (mencegah perubahan tekstur), sedangkan untuk mencegah kerusakan secara biologis dikenal sebagai antimikroba. Dalam memilih bahan antimikroba yang akan digunakan sebagai pengawet makanan harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu spektrum aktivitas antimikroba, sifat fisika-kimia dan komposisi makanan yang diawetkan, jenis dan proses pengawetan serta sistem penyimpanan yang digunakan (Davidson dan Branen 2005). Pemakaian pengawet pada tahu pada umumnya bertujuan untuk memperpanjang masa simpan dengan cara mengurangi atau menghambat perkembangan mikroorganisme.

2.2 Boraks Boraks adalah senyawa dengan nama kimia natrium tetraborat (NaB4O7). berbentuk padat, jika terlarut dalam air akan menjadi natrium hidroksida dan asam borat (H3BO3). Dengan demikian bahaya boraks identik dengan bahaya asam borat (Khamid, 1993).

Gambar 1. Rumus Bangun Boraks

Boraks atau Natrium tetraborat memiliki berat molekul 381,37. Rumus molekul Na2B4O7.10H2O. Pemeriannya berupa hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak berbau. Larutan bersifat basa terhadap fenolftalein. Pada waktu mekar di udara kering dan hangat, hablur sering dilapisi serbuk warna putih. Kelarutan boraks yaitu larut dalam air; mudah larut dalam air mendidih dan dalam gliserin; tidak larut dalam etanol. Senyawa-senyawa asam borat mempunyai sifat-sifat kimia sebagai berikut : jarak lebur sekitar 171o C. Larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagian air mendidih, 5 bagian gliserol 85%, dan tidak larut dalam eter. Kelarutan dalam air bertambah dengan penambahan asam klorida, asam sitrat atau asam tartrat. Mudah menguap dengan pemanasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 100o C yang secara perlahan berubah menjad asam metaborat (HBO2). (Khamid, 2006).Baik boraks ataupun asam borat memiliki khasiat antiseptika (zat yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme). Pemakaiannya dalam obat biasanya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut, bahkan juga untuk pencuci mata. Boraks juga digunakan sebagai bahan solder, bahan pembersih, pengawet kayu dan antiseptik kayu (Khamid, 2006). Asam borat dapat dibuat dengan menambahkan asam sulfat atau klorida pada boraks. Larutannya dalam air (3%) digunakan sebagai obat cuci mata yang dikenal sebagai boorwater. Asam borat juga digunakan sebagai obat kumur, semprot hidung dan salep luka kecil. Tetapi bahan ini tidak boleh diminum atau digunakan pada bekas luka luas, karena beracun bila terserap oleh tubuh (Winarno dan Rahayu, 1994).Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai pengawet makanan. Boraks sering disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai makanan seperti bakso, mie basah, pisang molen, siomay, lontong, ketupat dan pangsit. Selain bertujuan untuk mengawetkan, boraks juga dapat membuat tekstur makanan menjadi lebih kenyal dan memperbaiki penampilan makanan (Vepriati, 2007). Boraks ditambahkan ke dalam makanan untuk memperbaiki tekstur makanan sehingga menghasilkan rupa yang bagus. Bakso mengandung boraks memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari kekenyalan bakso yang menggunakan banyak daging. Bakso yang mengandung boraks sangat renyah dan disukai dan tahan lama. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diperoleh data bahwa senyawa asam borat ini didapati pada lontong agar teksturnya menjadi bagus dan kebanyakan pada bakso. Banyak juga disalahgunakan dalam pemuatan mie basah, bakso dan lontong yang menggunakan boraks apabila dipegang akan terasa sangat kenyal sedangkan kerupuk merasa sangat renyah (Cahyadi, 2006).Boraks biasanya bersifat iritan dan racun bagi sel-sel tubuh, berbahaya bagi susunan saraf pusat, ginjal dan hati. Jika tertkena dengan kulit dapat menimbulkan iritasi. Dan jika tertelan akan menimbulkan kerusakan pada usus, otak atau ginjal. Boraks menimbulkan efek racun pada manusia, toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan oleh konsumen. Boraks apabila terdapat pada makanan, maka dalam waktu jangka lama walau hanya sedikit akan terjadi akumulasi (penumpukan) dalam otak, hati, ginjal dan jaringan lemak. Pemakaian dalam jumlah banyak dapat menyebabkan demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan, kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan kematian (Khamid, 1993). Penting diketahui bahwa selain lewat mulut, boraks bisa masuk ke dalam tubuh lewat membran mukosa dan permukaan kulit yang luka. Skipworth pernah melaporkan bahwa keracunan asam borat bisa terjadi gara-gara bedak tabur mengandung boraks. Kerena itu disarankan agar bedak tabur untuk anak-anak tidak mengandung asam borat lebih dari 5% (Khamid, 1993). Dalam dosis cukup tinggi dalam tubuh, akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, kram perut, sianosis, kompulsi. Pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuhnya sebanyak 5 gram atau lebih dapat menyebabkan kematian, sedangkan untuk orang dewasa kematian terjadi pada dosis 10-20 gram atau lebih (Winarno dan Rahayu, 1994).Ekskresi asam borat terutama melalui ginjal dan asam borat adalah satu satunya senyawa yang dapat diidentifikasi dalam urin dan ditemukan dalam jumlah > 90% dari total boron yang dikonsumsi. Asam borat adalah asam lemah dengan nilai pKa = 9,2 dan terutama berada dalam bentuk tidak terdisosiasi (undissociated acid) yaitu H3BO3 dalam larutan air pada pH fisiologis, seperti halnya garam borat. Nilai pKa suatu asam adalah nilai pH dimana konsentrasi molekul asam yang terdisosiasi dan yang tidak terdisosiasi berada dalam jumlah yang seimbang. Ketika pH turun, konsentrasi asam yang tidak terdisosiasi akan meningkat. Asam kuat memiliki nilai pKa rendah ( 1) dan asam lemah memiliki nilai pKa tinggi (Brown, 1996). Asam lemah yang berfungsi sebagai pengawet adalah yang tidak terdisosiasi pada kondisi pH dari makanan. Aktifitas antimikrobialnya tidak hanya disebabkan oleh konsentrasi H+, tetapi juga karena efek penghambatan dari asam tidak terdisosiasi atau anionnya. Dalam bentuk tidak terdisosiasi beberapa asam lemah bersifat lipofilik, sehingga dapat dengan mudah menembus membran sel mikroba. Di dalam sel mikroba, asam akan terdisosiasi karena pH intraseluler lebih tinggi (bersifat basa) dari pada pH ekstraseluler, dan akan terjadi peningkatan H+ yang tidak terkendali di dalam sitoplasma sel sehingga terjadi pengasaman dan menghambat metabolisme dan transport intraseluler (Davidson et al. 2005; Brown, 1996). Untuk mencegah penurunan pH sitoplasma sel, maka mikroorganisme berusaha mengeluarkan proton-proton hasil disosiasi tersebut ke luar sel. Untuk mengeluarkan proton dari dalam sel dibutuhkan energi, sehingga pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat bahkan berhenti sama sekali (Fardiaz 1992).

2.3 Spektrofotometri UV-VisSpektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara suatu radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet, cahaya tampak, infra merah dan serapan atom. Jangkauan panjang gleombang untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, daerah cahaya tampat 380-780 nm, daerah infra merah dekat 780-3000 nm, dan daerah infra merah 2,5-40 m atau 4000-250 cm-1 (Depkes RI, 1995).Prinsip penentuan spektrofotometer UV-Vis adalah aplikasi dari Hukum Lambert-Beer, yaitu:

A = - log T = - log It / Io = . b . C

Dimana : A = Absorbansi dari sampel yang akan diukurT = TransmitansiIo = Intensitas sinar masukIt = Intensitas sinar yang diteruskan = Koefisien ekstingsib = Tebal kuvet yang digunakanC = Konsentrasi dari sampel(Tahir, 2008)Dalam Hukum Lambert-Beer juga menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan. Dalam Hukum Lambert Beer tersebut ada beberapa pembatasan yaitu : Sinar yang digunakan dianggap monokromatis. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama. Senyawa yang diserap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut. Tidak terjadi peristiwa fluoresensi atau fosforesensi. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan.(Gandjar dan Rohman, 2007)

Berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis spektrofotometri UV-Vis yaitu :a. Pembentukan molekul yang dapat menyerap sinar UV-Vis Hal ini perlu dilakukan jika senyawa yang dianalisis tidak menyerap pada daerah tersebut. Cara yang digunakan adalah dengan merubah menjadi senyawa lain atau direaksikan dengan pereaksi tertentu. Pereaksi yang digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu : Reaksinya selektif dan sensitif Reaksinya cepat, kuantitatif dan reprodusibel Hasil reaksi stabil dalam jangka waktu yang lama b. Waktu OperasionalTujuannya adalah untuk mengetahui waktu pengukuran yang stabil. Waktu operasional ditentukan dengan mengukur hubungan antara waktu pengukuran dengan absorbansi larutan (Gandjar dan Rohman, 2007)

c. Pemilihan Panjang GelombangPanjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk memilih panjang gelombang maksimal, dilakukan dengan membuat kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu.Ada beberapa alasan menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu: Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena pada panjang gelombang maksimal tersebut perubahan absorbansi untuk setiapsatuan konsentrasi adalah yang paling besar. Di sekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi. Jika dilakukan pengukuran ulang, maka kesalahan yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan panjang gelombang maksimal.(Gandjar dan Rohman, 2007)d. Pembuatan Kurva BakuDibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi (y) dengan konsentrasi (x) (Gandjar dan Rohman, 2007).Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva baku berupa garis lurus (gambar 2).

Gambar 2. Plot Hukum Lambert Beer (Gandjar dan Rohman, 2007)Kemiringan atau slope adalah a (absortivitas) atau (absortivitas molar). Kurva baku sebaiknya sering diperiksa ulang. Penyimpangan dari garis lurus biasanya disebabkan oleh: kekuatan ion yang tinggi perubahan suhu reaksi ikutan yang terjadi (Gandjar dan Rohman, 2007)e. Pembacaan Absorbansi Sampel atau CuplikanAbsorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2-0,8 atau 15%-70% jika dibaca sebagai transmittan. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa kesalahan dalam pembacaan T adalah 0,005 atau 0,5%. (Gandjar dan Rohman, 2007).Penyebab kesalahan sistematik yang sering terjadi dalam analisis menggunakan spektrofotometer adalah: Serapan oleh pelarutHal ini dapat diatasi dengan penggunaan blangko, yaitu larutan yang berisi matrik selain komponen yang akan dianalisis (Tahir, 2008). Serapan oleh kuvetKuvet yang biasa digunakan adalah dari bahan gelas atau kuarsa. Dibandingkan dengan kuvet dari bahan gelas, kuvet kuarsa memberikan kualitas yang lebih baik, namun tentu saja harganya jauh lebih mahal. Serapan oleh kuvet ini diatasi dengan penggunaan jenis, ukuran, dan bahan kuvet yang sama untuk tempat blangko dan sampel. (Tahir, 2008). Kesalahan fotometrik normal pada pengukuran dengan absorbansi sangat rendah atau sangat tinggi, hal ini dapat diatur dengan pengaturan konsentrasi, sesuai dengan kisaran sensitivitas dari alat yang digunakan. (melalui pengenceran atau pemekatan) (Tahir, 2008).

Sama seperti pHmeter, untuk mengatasi kesalahan pada pemakaian spektrofotometer UV-Vis maka perlu dilakukan kalibrasi. Kalibrasi dalam spektrofotometer UV-Vis dilakukan dengan menggunakan blangko:Setting nilai absorbansi = 0Setting nilai transmitansi = 100 Penentuan kalibrasi dilakukan dengan mengikuti prosedur sebagai berikut: Dilakukan dengan larutan blangko (berisi pelarut murni yang digunakan dalam sampel) dengan kuvet yang sama. Setiap perubahan panjang gelombang diusahakan dilakukan proses kalibrasi. Proses kalibrasi pada pengukuran dalam waktu yang lama untuk satu macam panjang gelombang, dilakukan secara periodik selang waktu per 30 menit. Dengan adanya proses kalibrasi pada spektrofotometer UV-Vis ini maka akan membantu pemakai untuk memperoleh hasil yang akurat dan presisi (Tahir, 2008).

2.4 Validasi MetodeValidasi metode analisis menurut Unites States Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis (Gandjar dan Rohman, 2007). Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis, karenanya suatu metode harus divalidasi ketika: metode baru dikembangkan untuk mengatasi problem analisis tertentu, metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karena munculnya suatu problem yang mengarahkan bahwa metode baku itu harus direvisi, penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode baku telah berubah seiring dengan berjalannya waktu, metode baku digunakan di laboratorium yang berbeda, dikerjakan oleh analis yang berbeda atau dikerjakan dengan alat yang berbeda, dan untuk mendemonstrasikan kesetaraan antar dua metode seperti antara metode baru dan metode baku (Gandjar dan Rohman, 2007).Menurut USP, ada 8 langkah dalam validasi metode analisis, yaitu presisi, akurasi, batas deteksi, batas kuantifikasi, spesifitas, linearitas dan rentang, kekasaran (ruggedness), dan ketahanann (robutness) (Swartz dan Krull, 1997)Sementara itu, ICH (International Conference on Harmonization) membagi karakteristik validasi metode yang sedikit berbeda dengan USP. Menurut ICH, ada 9 langkah dalam validasi metode analisis, yaitu presisi, akurasi, batas deteksi, batas kuantifikasi, spesifitas, linearitas, kisaran (range), ketahanan (robustness), dan kesesuaian sistem (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.1 Linearitas Kebanyakan metode analisis didasarkan pada proses-proses yang metodenya menghasilkan suatu respon yang linear dan yang meningkat atau menurun secaa linear sebanding dengan konsentrasi analit (Harmita, 2004). Persamaan suatu garis lurus menghasilkan y = a + bxLinearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004). Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit. Perlakuan matematik dalam pengujian linearitas adalah melalui persamaan garis lurus dengan metode kuadrat terkecil antara hasil analisis terhadap konsentrasi analit. Dalam beberapa kasus, untuk memperoleh hubungan proporsional antara hasil pengukuran dengan konsentrasi analit, data yang diperoleh diolah melalui transformasi matematik dulu sebelum dibuat analisis regresinya. Dalam praktek, digunakan satu seri larutan yang berbeda konsentrasinya antara 50 150% kadar analit dalam sampel. Di dalam pustaka, sering ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0 200%. Jumlah sampel yang dianalisis sekurang-kurangnya delapan buah sampel blanko. Sebagai parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada analisis regresi linier y = a + bx. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau 1 bergantung pada arah garis. Sedangkan nilai a menunjukkan kepekaan analisis terutama instrumen yang digunakan. Parameter lain yang harus dihitung adalah simpangan baku residual (Sy). Dengan menggunakan kalkulator atau perangkat lunak komputer, semua perhitungan matematik tersebut dapat diukur (Harmita, 2004).

2.4.2 Batas Deteksi (Limit of Detection, LOD) dan Batas Kuantitasi (Limit of Quantitation, LOQ)Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas (Harmita, 2004). Batas deteksi dapat ditentukan meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi (Gandjar dan Rohman, 2007).Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004). Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blangko dan formula di bawah ini dapat digunakan untuk perhitungan:

Q= LOD (batas deteksi) atau LOQ (batas kuantitasi) k = 3 untuk batas deteksi atau 10 untuk batas kuantitasi Sb = Simpangan baku respon analitik dari blangko Sl = Arah garis linear (kepekaan arah) dari kurva antara respon terhadapkonsentrasi = slope (b pada persamaan garis y = a+bx) Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = a + bx, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x.) (Harmita, 2004). a. Batas deteksi (Q) Karena k = 3 atau 10 Simpangan baku (Sb) = Sy/x, maka

b. Batas kuantitasi (Q)

Cara lain untuk menentukan batas deteksi dan kuantitasi adalah melalui penentuan rasio S/N (signal to noise ratio). Nilai simpangan baku blanko ditentukan dengan cara menghitung tinggi derau pada pengukuran blanko sebanyak 20 kali pada titik analit memberikan respon. Simpangan baku blanko juga dihitung dari tinggi derau puncak ke puncak, jika diambil dari tinggi puncak derau atas dan bawah (Np-p) maka s0 = Np-p/5 sedangkan kalau dari puncak derau bawah saja (puncak negatif) maka s0 = Np/2, selanjutnya perhitungan seperti tersebut di atas (Harmita, 2004).

BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan3.1.1 Alat Gelas beaker- Labu ukur Gelas ukur- Neraca analitik Pipet ukur- Spektrofotometer UV-Vis Pipet tetes- Tanur Erlenmeyer- Oven Sendok tanduk- Kurs porselen Batang pengaduk- Kertas perkamen Corong gelas- Aluminium foil Pemijar- Kertas saring Whatman No.42 Ballfiller - Cawan porselen Hot plate- Lap Mortir dan penggerus- Corong

3.1.2 Bahan Sampel Tahu Larutan H2SO4 pekat Larutan HCl 10% Kalsium karbonat Metanol Kertas kurkuma Kertas tumerik Larutan stok baku asam borat 1mg/mL Kunyit Aquades

3.2 Prosedur Kerja3.2.1 Pembuatan Larutan HCl 10% Perhitungan:Diketahui: Larutan yang tersedia = HCl 37 % b/v Volume yang dibuat = 5 mLDitanya: Volume HCl 10% diperlukan = ......?Jawab:C1 x V1= C2 x V237% x V1= 10% x 5 mLV1= 1,35 mL Pembuatan:Dipipet 1,35 mL dari larutan HCl 37% b/v, dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL, ditambahkan aquades hingga tanda batas. Digojog hingga homogen.3.2.2 Pembuatan Larutan Stok Baku Asam Borat a. Larutan Stok Baku Induk Asam Borat 1mg/mL Perhitungan:Diketahui:Massa Asam borat= 10 mgV akuades= 10 mLDitanya: Konsentrasi (C) =.?Perhitungan:

Pembuatan:Ditimbang serbuk asam borat sebanyak 10 mg, kemudian serbuk dimasukkan ke dalam beaker glass. Selanjutnya serbuk tersebut dilarutkan dengan 5 mL akuades dan diaduk hingga serbuk terlarut sempurna. Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 10mL, ditambahkan akuades hingga tanda batas 10 mL, digojog kembali sampai larutan menjadi homogen. Konsentrasi larutan stok baku asam borat yang diperoleh sebesar 1 mg/mL.b. Larutan Stok Baku Asam Borat 0,1 mg/mL Perhitungan:Diketahui: C1= 1 mg/mL C2= 0,1 mg/mL V2 = 25 mLDitanya: V1 =........?Perhitungan: V1 . C1= V2. C2V1 . 1 mg/mL= 25 mL. 0,1 mg/mLV1= 2,5 mL Pembuatan:Untuk membuat larutan asam borat dengan konsentrasi 0,1 mg/mL, maka dipipet 2,5 mL larutan asam borat 1 mg/mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL dan ditambahkan akuades ad sampai tanda batas, digojog hingga homogen. c. Larutan Seri Konsentrasi Asam Borat Konsentrasi 10g/mL; 20 g/mL; 40 g/mL; 60 g/mL ; 80 g/mL1. Perhitungan larutan seri konsentrasi 10 g/mL Perhitungan:Diketahui: C1= 100 g/mLC2= 10 g/mLV2= 5 mLDitanya: V1= ........?Jawab:V1 . C1= V2. C2V1 . 100 g/mL5 mL. 10 g/mLV1= 0,5 mL

Pembuatan:Untuk membuat larutan asam borat dengan konsentrasi 10 g/mL, maka dipipet 0,5 mL larutan asam borat 100 g/mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan akuades ad tanpa batas, digojog hingga homogen. 2. Perhitungan larutan seri konsentrasi 20 g/mL PerhitunganDiketahui: C1= 100 g/mLC2= 20 g/mLV2= 5 mLDitanya: V1= ........?Jawab:V1 . C1= V2. C2V1 . 100 g/mL5 mL. 20 g/mLV1= 1 mL Pembuatan:Untuk membuat larutan asam borat dengan konsentrasi 20 g/mL, maka dipipet 1 mL larutan asam borat 100 g/mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan akuades ad tanpa batas, digojog hingga homogen. 3. Perhitungan larutan seri konsentrasi 40 g/mL Perhitungan:Diketahui: C1= 100 g/mLC2= 40 g/mLV2= 5 mLDitanya: V1= ........?Jawab:V1 . C1= V2. C2V1 . 100 g/mL5 mL. 40 g/mLV1= 2 mL Pembuatan:Untuk membuat larutan asam borat dengan konsentrasi 40 g/mL, maka dipipet 2 mL larutan asam borat 100 g/mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan akuades ad tanpa batas, digojog hingga homogen. 4. Perhitungan larutan seri konsentrasi 60 g/mL Perhitungan:Diketahui: C1= 100 g/mLC2= 60 g/mLV2= 5 mLDitanya: V1= ........?Jawab:V1 . C1= V2. C2V1 . 100 g/mL5 mL. 60 g/mLV1= 3 mL Pembuatan:Untuk membuat larutan asam borat dengan konsentrasi 60 g/mL, maka dipipet 3 mL larutan asam borat 100 g/mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan akuades ad tanpa batas, digojog hingga homogen. 5. Perhitungan larutan seri konsentrasi 80 g/mL Perhitungan:Diketahui: C1= 100 g/mLC2= 80 g/mLV2= 5 mLDitanya: V1= ........?Jawab:V1 . C1= V2. C2V1 . 100 g/mL5 mL. 80 g/mLV1= 4 mL

Pembuatan:Untuk membuat larutan asam borat dengan konsentrasi 80 g/mL, maka dipipet 4 mL larutan asam borat 100 g/mL kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL dan ditambahkan akuades ad tanpa batas, digojog hingga homogen. 3.2.3 Metode Uji NyalaSampel ditimbang sebanyak 10 gram dan dipotong-potong kecil kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 120C selama 6 jam. Sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin, dipijarkan pada tanur dalam suhu 800C. Sisa pemijaran ditambahkan 1-2 tetes asam sulfat pekat dan 5-6 tetes metanol, kemudian dibakar. Bila timbul nyala hijau menunjukkan adanya positif mengandung boraks.3.2.4 Metode Uji Warna Kertas KurkumaSampel ditimbang sebanyak 50 gram dan dipanaskan dalam oven pada suhu 120C. Setelah tahu kering, tahu ditambahkan dengan 10 gram kalsium karbonat. Kemudian dimasukkan ke dalam tanur hingga menjadi abu selama 6 jam dan dinginkan. Abu ditambahkan 3 ml asam klorida 10%, lalu dicelupkan kertas kurkumin. Bila kertas kurkumin yang berwarna kuning berubah menjadi berwarna merah kecoklatan menunjukkan positif mengandung boraks.3.2.5 Metode Uji Warna Kertas Kunyit Pada Pengujian Boraksa. Pembuatan Kertas TumerikBeberapa potong kunyit ukuran sedang ditumbuk dan disaring hingga dihasilkan cairan kunyit berwarna kuning. Kemudian dicelupkan kertas saring ke dalam cairan kunyit tersebut dan keringkan. Satu sendok teh boraks dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air dan diaduk rata yang berfungsi sebagai kontrol positif. Larutan diteteskan pada kertas tumerik yang sudah disiapkan. Diamati perubahan warna pada kertas tumerik. Warna yang dihasilkan tersebut akan dipergunakan sebagai kontrol positif.

c. Pengujian Sampel TahuBahan yang akan diuji ditumbuk dan diberi sedikit air. Diteteskan air larutan dari bahan makanan yang diuji tersebut pada kertas tumerik. Diamati perubahan warna apa yang terjadi pada kertas tumerik. Apabila perubahan warna sama dengan pada kertas tumerik kontrol positif, maka bahan makanan tersebut mengandung boraks.3.2.6 Pembuatan Larutan bakuDitimbang sebanyak 10 mg boraks, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 kemudian ditambahkan akuades hingga tanda batas, lalu dikocok hingga homogen (Konsentrasi 1 mg/mL). Dipipet 2,5 mL dari larutan 1 mg/mL, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL dan ditambahkan akuades hingga tanda batas, digojog hingga homogen (konsentrasi 0,1 mg/mL).3.2.7 Pembuatan Larutan SampelSampel tahu yang telah dihaluskan masing-masing ditimbang sebanyak 10 gram di dalam kurs porselen, lalu dikeringkan di oven pada suhu 60C hingga benar-benar kering, kemudian diabukan pada suhu 600C selama 8 jam. Ke dalam abu yang telah dingin ditambahkan 20 ml aquades panas, sambil diaduk dengan batang pengaduk. Kemudian disaring melalui kertas saring ke dalam labu ukur, bilas kertas saring dengan akuades panas, kemudian ditambahkan akuades hingga garis tanda, kocok larutan sampel tersebut.3.2.7 Uji Kuantitatif dengan Spektrofotometri UV-VisUji kualitatif sampel tahu yang diduga mengandung boraks dilakukan dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Pengukuran serapan untuk masing-masing konsentrasi larutan baku 10, 20, 40, 60, 80 ppm pada panjang gelombang 545 nm. Dilakukan pengukuran serapan untuk sampel tahu yang akan dianalisis pada panjang gelombang maksimum. Dicatat harga serapan tiap larutan. Dibuat kurva standar antara konsentrasi (ppm) vs absorbansi (A). ditentukan persamaan garis dengan metode regresi linier.3.3 Skema Kerja3.3.1 Pembuatan Larutan HCl 10%

Dipipet 1,35 mL dari larutan HCl 37% b/v

Dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL

Ditambahkan aquades hingga tanda batas. Digojog hingga homogen.

3.3.2 Metode Uji Nyala

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram dan dipotong-potong kecil

Sampel dimasukkan dalam oven pada suhu 120C selama 6 jam

Kemudian sampel dimasukkan ke dalam cawan porselin, dipijarkan pada tanur dalam suhu 800C

Sisa pemijaran ditambahkan 1-2 tetes asam sulfat pekat dan 5-6 tetes metanol, kemudian dibakar

Bila timbul nyala hijau menunjukkan adanya positif mengandung boraks

3.3.3 Metode Uji Warna Kertas Kurkuma

Sampel ditimbang sebanyak 50 gram dan dipanaskan dalam oven pada suhu 120C

Setelah tahu kering, tahu ditambahkan dengan 10 gram kalsium karbonat

Kemudian dimasukkan ke dalam tanur hingga menjadi abu selama 6 jam dan dinginkan

Abu ditambahkan 3 ml asam klorida 10%, lalu dicelupkan kertas kurkumin

Bila kertas kurkumin yang berwarna kuning berubah menjadi berwarna merah kecoklatan menunjukkan positif mengandung boraks.

3.3.4 Uji Warna Kertas Kunyit Pada Pengujian Boraksa. Pembuatan Kertas Tumerik

Beberapa potong kunyit ukuran sedang ditumbuk dan disaring sampai dihasilkan cairan kunyit berwarna kuning

Kemudian dicelupkan kertas saring ke dalam cairan kunyit tersebut dan keringkan

Satu sendok teh boraks dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air dan diaduk rata

Larutan diteteskan pada kertas tumerik yang sudah disiapkan. Diamati perubahan warna pada kertas tumerik

Warna yang dihasilkan tersebut akan dipergunakan sebagai kontrol positif

b. Bahan yang akan diuji ditumbuk dan diberi sedikit airPengujian Sampel

Diteteskan air larutan dari bahan makanan yang diuji tersebut pada kertas tumerik

Diamati perubahan warna apa yang terjadi pada kertas tumerik

Apabila perubahan warna sama dengan pada kertas tumerik kontrol positif, maka bahan makanan tersebut mengandung boraks

3.3.5 Pembuatan Larutan baku

Ditimbang sebanyak 10 mg boraks, dimasukkan ke dalam labu ukur 10 kemudian ditambahkan akuades hingga tanda batas, lalu dikocok hingga homogen (konsentrasi 1 mg/mL)

Dipipet 2,5 mL dari larutan 1 mg/mL, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 25 mL dan ditambahkan akuades hingga tanda batas, digojog hingga homogen (konsentrasi 0,1 mg/mL).

3.3.6 Pembuatan Larutan Sampel

Sampel tahu yang telah dihaluskan masing-masing ditimbang sebanyak 10 gram di dalam kurs porselen

Lalu dikeringkan di oven pada suhu 60C hingga benar-benar kering, kemudian diabukan pada suhu 600C selama 8 jam

Ke dalam abu yang telah dingin ditambahkan 20 ml aquades panas, sambil diaduk dengan batang pengaduk

Kemudian disaring melalui kertas saring ke dalam labu ukur, bilas kertas saring dengan akuades panas, kemudian ditambahkan akuades hingga garis tanda, kocok larutan sampel tersebut

3.3.7 Uji Kuantitatif dengan Spektrofotometri UV-Vis

Dilakukan pengukuran serapan untuk masing-masing konsentrasi larutan baku 10, 20, 40, 60, 80 ppm pada panjang gelombang 545 nm

Dilakukan pengukuran serapan untuk sampel tahu yang akan dianalisis pada panjang gelombang maksimum

Dicatat harga serapan tiap larutan. Dibuat kurva standar antara konsentrasi (ppm) vs absorbansi (A). Ditentukan persamaan garis dengan metode regresi linier

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil4.1.1Hasil Pengamatan Metode Uji Nyala

4.1.2 Hasil Pengamatan Uji Warna Kertas Kurkumin

4.1.3 Hasil Pengamatan Uji warna Kertas Tumerik

4.1.4 Hasil Kualitatif

4.2PembahasanPentingnya dilakukan penetapan kadar boraks pada sampel tahu adalah karena boraks merupakan salah satu bahan tambahan yang dilarang penggunaannya di dalam makanan. Makanan yang mengandung bahan tersebut dinyatakan sebagai makanan berbahaya karena boraks dapat menyebabkan gangguan otak, hati, lemak, dan ginjal. Boraks dalam jumlah banyak dapat menyebabkan demam, anuria, merangsang sistem saraf pusat, menimbulkan depresi, apatis, sianosis, menurunkan tekanan darah, kerusakan ginjal, pingsan, koma, bahkan kematian (EGVM 2003, Ellenhorn 1997). Berdasarkan bahaya yang diakibatkan oleh penggunaan boraks tersebut maka perlu dilakukan analisis boraks pada sampel tahu. Selain itu juga perlu adanya jaminan bahwa tahu yang dikonsumsi terbebas dari kandungan boraks. Analisis pada boraks dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Sebelum dilakukan analisis kuantitatif, pertama-tama dilakukan analisis kualitatif untuk mengetahui keberadaan boraks dalam sampel tahu uji. Analisis kualitatif pada sampel tahu dilakukan dengan tiga metode yaitu uji nyala api dan uji dengan kertas tumerik. Pemeriksaan adanya boraks dengan metode uji nyala dilakukan pada standar boraks dan sampel tahu. Standar dan sampel direaksikan dengan pereaksi asam sulfat pekat dan metanol. Reaksi tersebut menghasilkan nyala warna hijau. Selain itu, pada dasarnya setiap unsur memiliki nyala khas yang hanya dimiliki oleh unsur itu sendiri. Dalam boraks terdapat unsur Br atau Boron. Unsur Boron memiliki nyala spesifik yaitu hijau sehingga uji positif adanya boraks akan menghasilkan nyala hijau. Analisis kualitatif dengan uji nyala api dilakukan dengan cara memijar sampel dalam tanur dengan suhu 800C selama 6 jam dalam kurs porselin. Sisa pemijaran ditambahkan 1-2 tetes asam sulfat pekat dan 5-6 tetes metanol. kemudian dibakar. Apabila timbul nyala hijau, maka menandakan adanya boraks (Roth, 1998; Tumbel, 2010; Silalahi et al., 2010). Pada metode ini dilakukan dengan menambahkan H2SO4 dan metanol ke dalam sampel. H2SO4 pada metode ini berperan untuk memberikan suasana asam pada larutan sehingga boraks dapat terionisasi menjadi asam borat (Eagleton, 1993). Selanjutnya methanol yang terprotonasi tersebut akan bereaksi dengan asam borat pada sampel sehingga membentuk metil borat. Apabila senyawa metil borat ini terbakar oleh nyala maka akan menghasilkan nyala berwarna hijau (Basset et al., 1991). Adapun reaksi yang terjadi pada pembentukan senyawa metilborat ini adalah:

Dalam pelaksanaan uji nyala, hasil nyala yang diperoleh untuk baku pembanding berwarna hijau dan untuk sampel lainnya berwarna kuning. Hal ini menyatakan bahwa sampel tahu tidak mengandung boraks, karena sampel tidak menghasilkan nyala hijau.Selanjutnya dilakukan uji dengan menggunakan kertas kurkumin. Uji ini memerlukan kertas tumerik. Selanjutnya, dibuat kertas tumerik yang berfungsi sebagai kontrol positif dengan meneteskan beberapa mL larutan boraks pada kertas tumerik. Warna yang dihasilkan tersebut akan dipergunakan sebagai kontrol positif. Pada kertas tumerik tersebut juga diteteskan larutan sampel sisa pemijaran. Warna yang timbul diamati dan dibandingkan dengan kontrol positif. Uji ini didasarkan pada reaksi yang terjadi antara asam borat dengan kurkumin yang menghasilkan kompleks berwarna dari garam dikurkuminato-boronium (rososianin) (Balaban et al., 2008; Triastuti dkk, 2013). Adapun reaksi kompleks yang terbentuk antara kurkumin dan asam borat yaitu:

Gambar 4.1 Kompleks Risosiasin

Pada uji ini, hasil uji kualitatif boraks dengan metode kertas tumerik juga menunjukkan hasil negatif apabila dibandingkan dengan kontrol positif. Dari dua metode uji kualitatif boraks yaitu uji nyala dan uji kertas tumerik pada sampel tahu menunjukkan bahwa tidak ada sampel tahu yang mengandung boraks (hasil negatif). Oleh karena hasil uji kualitatif dari dua metode tersebut negatif, maka analisis kuantitatif tidak perlu dilakukan karena berdasarkan hasil uji kualitatif memberikan hasil negatif adanya boraks pada sampel tahu uji. Namun pada jurnal tetap saja dilakukan metode secara kuantitatif yang hasilnya sudah jelas negative, dimana seluruh konsentrasi sampel adalah nol untuk kandungan boraks.

BAB VPENUTUP

Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan pada jurnal, maka dapat disimpulkan bahwa dari kedua uji kualitatif adanya boraks pada tahu melalui uji nyala dan uji dengan kertas tumerik, seluruhnya menunjukkan hasil yang negatif sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada zat pengawet boraks pada sampel tahu yang diuji.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 1995. Bakso Ikan. SNI 01-3819-1995. Jakarta: Badan Standardisasi NasionalBalaban, A. T., C. Parkanyi., I. Ghiviriga., J-J Aaron., Z. Zajickova., dan O. R. Martinez. 2008. CurcuminBenzodioxaborole Chelates. Arkivoc. Hal. 1-9.Baliwati YF, Roosita K., 2004. Sistem pangan dan gizi. Penebar Swadaya. Depok.BPOM. 2003. Bahan Tambahan Pangan. Direktorat SPKP, Deputi III. Jakarta.Brown, S. 1996. Strategy Manufacturing for Competitive Advantage. London: Prentice Hall.Basset J. et al. 1991. Vogel Analisis Kuantittif Anorganik. Jakarta: Buku Kedokteran EGCCahyadi, W., 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.Davidson PM, Sofos JN, Branen AL. 2005. Antimicrobials in Food. Boca Raton: CRC PressDepkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Eagleton, M. 1993. Concise Encyclopedia Chemistry. Berlin: Walter de Gruyter. Hal. 142-143.Ellenhorn MJ. 1997. Ellenhorns Medical Toxicology : Diagnosis and Treatment of Human Poisoning. Canada: Williams & Wilkins Inc. Expert Group on Vitamins and Minerals (EGVM). 2003. Safe Upper Levels for Vitamins and Minerals. United Kingdom: Food Standards Agency. United Kingdom.Fardiaz dan D. Fardiaz. 1992. Pengantar Teknologi Pangan, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.Gandjar, Ibnu Gholib, dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka PelajarHarmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Makalah Ilmu Kefarmasian. Vol. I, No. 3 117-135.Khamid, I.R. 1993. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Jakarta. Penerbit Kompas.Khamid, I.R. 2006. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Jakarta. Penerbit Kompas.Pane, I. S., D. Nuraini dan I. Chayaya. 2012. Analisis Kandungan Boraks (Na2B4O7 10 H2O) Pada Roti Tawar Yang Bermerek Dan Tidak bermerek Yang Dijual Di Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2012. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.Roth, H. J. 1988. Analisis Farmasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Silalahi, J., I. Meliala, dan L. Panjaitan. 2010. Pemeriksaan Boraks di dalam Tahu di Medan. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol.60, No. 11. Hal 521-525.Swartz, M. E. dan Krull, I. S. 1997. Analytical Method Development and Validation. USA : Marcel DekkerSyah, D, dkk. 2005. Manfaat Dan Bahaya Tambahan Pangan. Himpunan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian IPB. BandungTahir I.2008. Arti Penting kalibrasi Pada Proses Pengukuran Analitik: Aplikasi vepriati, 2007. Dasar teknologi pembuatan dendeng dan bakso. Universitas Sebelasmaret. Surakarta.Triastuti, E., Fatimawali, dan M. R. J. Runtuwene. 2013. Analisis Boraks Pada Tahu yang Diproduksi di Kota Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol 2. No. 01.Tumbel, M. 2010. Analisis Kandungan Boraks Dalam Mie Basah yang Beredar di Kota Makassar. Jurnal Chemica. Vol 11. No 1.Widyaningsih, Tri D. dan Murtini, ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk Pangan. Trubus agrisarana. Jakarta. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Winarno, F. G., 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.Winarno, F. G., dan T. S. Rahayu, 1994. Bahan Makanan untuk Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sninar Harapan, Jakarta.

JURNAL AWALPRAKTIKUM ANALISIS MAKANAN DAN KOSMETIKPENETAPAN KADAR BORAKS PADA SAMPEL TAHU DENGAN SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

OLEH :KELOMPOK I

I Gusti Agung Putu Deddy Mahardika (0708505032)A.A. Made Istri Rismayanti(1108505048)I Wayan Suparwata (1108505053)

JURUSAN FARMASIFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS UDAYANA201428