laporan awal metalografi

34
LAPORAN AWAL PRAKTIKUM MATERIAL TEKNIK METALOGRAFI DAN HST RINANDITYO 1206263093 KELOMPOK 15 LABORATORIUM METALURGI FISIK DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FTUI

Upload: rinandityo2508

Post on 01-Jan-2016

126 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

laporan awal metalografi praktikum material teknik UI

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan awal metalografi

LAPORAN AWAL

PRAKTIKUM MATERIAL TEKNIK

METALOGRAFI DAN HST

RINANDITYO

1206263093

KELOMPOK 15

LABORATORIUM METALURGI FISIK

DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FTUI

2013

Page 2: Laporan awal metalografi

BAB 1 PREPARASI/PERSIAPAN SAMPEL

I.1 Cutting

I.1.1 Tujuan Percobaan

Menentukan teknik pemotongan yang tepat dalam pengambilan sampel

serta prosedur proses pemotongan sampel sehingga didapat benda uji yang

representatif.

I.1.2 Dasar Teori

Pemilihan sampel dilakukan pada daerah yang akan diamati mikrostruktur

maupun makrostrukturrnya. Sebagai contoh, untuk pengamatan mikrostruktur

material yang mengalami kegagalan, maka sampel akan diambil sedekat mungkin

pada daerah kegagalan untuk dibandingkan pada sampel yang diambil jauh dari

daerah gagal

Teknik pemotongan terbagi dua, yaitu :

1. Teknik pemotongan dengan deformasi besar, menggunakan gerinda

2. Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan low speed

diamond saw

Pemotongan memerlukan pelumas untuk menghindari deformasi pada material,

memudahkan pemotongan, dan memperpanjang umur alat potong. Kriteria

pelumas yang baik adalah :

1. Koefisien friksi rendah

2. Pendingin yang baik

3. Mampu mengikat serpihan logam

4. Mengandung anti karat

5. Mengandung bahan pembersih

6. Tidak bersenyawa dengan material potong

Page 3: Laporan awal metalografi

I.1.3 Metodologi Penelitian

I.1.3.1 Alat dan Bahan

- sampel

- pelumas

- low speed saw blade

I.1.3.1 Flowchart proses

Pemotongan dengan low speed diamond saw :

I.2 Mounting

I.2.1 Tujuan Percobaan

Menempatkan sampel pada suatu media, untuk memudahkan penanganan sampel

yang berukuran kecil dan tidak beraturan tanpa merusak sampel.

I.2.2 Dasar Teori

Spesimen berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan akan sulit

untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir.

Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus

Page 4: Laporan awal metalografi

ditempatkan pada suatu media (media mounting). Syarat-syarat yang harus

dimiliki bahan mounting adalah :

1. Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)

2. Sifat eksotermis rendah

3. Viskositas rendah

4. Penyusutan linier rendah

5. Sifat adhesi baik

6. Memiliki kekerasan yang dekat dengan sampel

7. Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan

yang terdapat pada sampel

8. Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus

konduksif

Media mounting yang dipilih sesuai dengan material dan jenis reagen etsa yang

akan digunakan. Umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik yang

dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur hardener atau bakelit.

Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana

dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan, tetapi

bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga

kurang cocok untuk material-material yang keras. Teknik mounting yang paling

baik adalah menggunakan thermosetting resin menggunakan bakelit.

Thermosetting mounting membutuhkan alat khusus, karena dibutuhkan aplikasi

tekanan dan panas pada mold saat mounting.

Page 5: Laporan awal metalografi

I.2.3 Metodologi Penelitian

I.2.3.1 Alat dan Bahan

- Cetakan

- Isolasi

- Sampel

- Resin

- Hardener

I.2.3.2 Flowchart Proses

Page 6: Laporan awal metalografi

I.3 Pengamplasan/Grinding

I.3.1 Tujuan Percobaan

Meratakan dan menghaluskan permukaan sampel dengan cara menggosokan

kain abrasif/amplas dengan sampel

I.3.2 Dasar Teori

Sampel yang baru saja dipotong, atau yang telah terkorosi memiliki

permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar

pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan

kertas amplas yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan

pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (hingga 150 mesh)

ke nomor mesh yang tinggi (180 hingga 600 mesh). Ukuran grit pertama yang

dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang

ditimbulkan oleh pemotongan, seperti pada tabel:

Jenis alat potongUkuran kertas amplas (grit)

untuk pengamplasan pertama

Gergaji pita 60 – 120

Gergaji abrasif 120 – 240

Gergaji kawat / intan kecepatan rendah 320 – 400

Tabel 1.1 Ukuran grit pengamplasan pertama dengan alat potong yang

berbeda

Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air.

Air memperkecil kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah

struktur mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Hal

lainnya adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang

baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya.

I.3.3 Metodologi Penelitian

I.3.3.1 Alat dan Bahan

Kertas amplas

Mesin pengamplas

Air

Sampel

Page 7: Laporan awal metalografi

I.3.3.2 Flowchart Proses

Page 8: Laporan awal metalografi

I.4 Pemolesan

I.4.1 Tujuan Percobaan

Mendapatkan permukaan sampel yang halus dan mengkilat seperti kaca

tanpa gores.

I.4.2 Dasar Teori

Dalam pengamatan menggunakan mikroskop, permukaan sampel yang

diamati harus rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka

pengamatan struktur mikro sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari

mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel seperti yang

dijelaskan pada gambar berikut:

Permukaan halus Permukaan kasar

Gambar 1.1 Hubungan permukaan sampel dengan cahaya mikroskop

Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu

kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara

lain yaitu sebagai berikut :

1. Pemolesan Elektrolit Kimia

Hubungan rapat arus & tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan

material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada

permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa.

Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.

2. Pemolesan Kimia Mekanis

Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang

dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur

dengan larutan pengetsa yang umum digunakan.

Page 9: Laporan awal metalografi

3. Pemolesan Elektro Mekanis

Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada piring

pemoles.

I.4.3 Metodologi Penelitian

I.4.3.1 Alat dan Bahan

Kain poles

Mesin pemoles

Alumina

Sampel

I.4.3.2 Flowchart Proses

Page 10: Laporan awal metalografi

I.5 Etsa

I.5.1 Tujuan Percobaan

1. Mengamati dan mengidentifikasi detil struktur logam dengan bantuan

mikroskop optik setelah terlebih dahulu dilakukan proses etsa pada sampel

2. Mengetahui perbedaan antara etsa kimia dengan elektro etsa serta

aplikasinya

3. Dapat melakukan preparasi sampel metalografi secara baik dan benar

4.

I.5.2 Dasar Teori

Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara

selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik

menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel sehingga detil struktur

yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam.

I.5.2.1 Jenis-jenis etsa

I.5.2.1.1 Etsa Kimia

Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia dimana

zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga

pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. Contohnya antara

lain :

a) Nitrid acid/acital: asam nitrit + 95% (khusus untuk baja karbon) yang

bertujuan untuk mendapatkan perlit, ferit, danferit dari martensit.

b) Picral: asam picric + alkohol (khusus untuk baja)yang bertujuan untuk

mendapatkan perlit, ferit, dan ferit dari martensit.

c) Ferric chloride: ferric chloride + HCL + air untuk melihat struktur pada

SS, nikel austenitic, dan paduan tembaga.

d) Hydroflouric acid: HF + air untuk mengamati struktur pada alumunium

dan paduannya.

Keterangan:

1. Hindari waktu etsa yang terlalu lama (umunya sekitar 4-30 detik)

2. Setelah di etsa, segera dicuci dengan air mengalir lalu dengan alkohol

kemudian dikeringkan dengan hair dryer.

Page 11: Laporan awal metalografi

I.5.2.1.2 Elektro Etsa

Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elekto etsa. Cara ini

dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu

pengetsaan.

Gambar berikut ini menunjukkan hubungan antara rapat arus dan tegangan

pada sampel.

Gambar 1.2 Hubungan rapat arus dan tegangan

Kurva tersebut terbagi menjadi beberapa daerah karakteristik, antara lain, yaitu:

Daerah A – B : daerah proses etsa, dimana ion logam sebagai anoda, larut dalam

larutan elektrolit.

Daerah B – C : daerah tidak stabil, karena permukaan logam merupakan

gabungan dari daerah pasif dan aktif yang disebabkan oleh perbedaan energi

bebas antara butir dan batas butir.

Daerah C – D : daerah poles, terjadi kestabilan, meskipun tegangan ditambahkan.

Hal ini disebabkan oleh stabilnya larutan. Meskipun pada daerah ini logam

berubah menjadi logam oksida, tetapi oleh larutan elektrolit logam itu dilarutkan

kembali.

Daerah D – E : terjadi evolusi oksigen pada anoda, dimana gelembung gas

melekat dan menetap pada permukaan anoda untuk waktu yang lama, sehingga

menyebabkan pitting. Dengan penambahan tegangan, rapat arus melonjak tinggi

tak terkendali.

Skema peralatan elektro etsa standar dapat dilihat pada gambar berikut:

Page 12: Laporan awal metalografi

Gambar 1.3 Skema peralatan elektro etsa standar

I.5.3 Metodologi Penelitian

I.5.3.1 Alat dan Bahan

Blower/dryer

Cawan gelas dan pipet

Alat elektro etsa (rectifier, amperemeter, penjepit sampel konduktif)

Zat etsa: FeCl3, Nital 2%, HF 0.5%, dan asam oksalat (H2C2O4) 15g/100

ml air

Air, alkohol, tissue

I.5.3.2 Flowchart Proses

Etsa kimia :

Etsa elektronik :

Page 13: Laporan awal metalografi
Page 14: Laporan awal metalografi

BAB 2 PEMBUATAN FOTO DAN ANALISA STRUKTUR MAKRO DAN

MIKRO

II.1 Tujuan Percobaan

1. Mengetahui proses pengambilan foto mikrostruktur

2. Mengetahui bentuk-bentuk perpatahan pada sampel makro

3. Menganalisa struktur mikro dan sifat-sifatnya

4. Mengenali fasa-fasa dalam struktur mikro

II.2 Dasar Teori

Metalografi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik

mikrostruktur suatu logam dan paduannya serta hubungannya dengan sifat-sifat

logam dan paduannya tersebut. Ada beberapa metode yang dipakai yaitu:

mikroskop (optik maupun elektron), difraksi (sinar x, elektron dan neutron),

analisis (X-ray flouresence, elektron mikroprobe) dan juga stereometric

metalografi.

Pengamatan metalografi dengan mikroskop umunya dibagi menjadi dua,

yaitu:

1. Metalografi makro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran

10-100x.

2. Metalografi mikro, yaitu pengamatan struktur dengan perbesaran di

atas 100x.

II.2.1 Makrostruktur

II.2.1.1 Mode Perpatahan Material

Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan perpatahan,

seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 2.1 Mode perpatahan dari material ulet ke getas

Page 15: Laporan awal metalografi

Perpatahan ulet memberikan karakteristik berserabut (fibrous) dan gelap (dull),

sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan berbutir

(granular) dan terang. Perpatahan ulet umumnyalebih disukai karen bahan ulet

umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum

terjadinya kerusakan.

Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu bisa diamati dengan mata telanjang

ataupun menggunakan SEM. Berikut ciri-ciri perpatahan ulet dan getas:

a. Perpatahan ulet

1. Dapat terlihat jelas deformasi plastis yang terjadi

2. Karakteristik berserabut (fibrous) dan gelap (dull)

b. Perpatahan getas

1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada

material

2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin

membelah atom-atom material (transgranular)

3. Pada material lunak denga butir kasa (coarse grain) maka dapat

dilihat pola-pola yang dinamakan chevrons or fan-like pattern yang

berkembang keluar dan dareah awal kegagalan.

4. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan

yang bercahaya dan mulus.

II.2.2 Mikrostruktur

Struktur yang terdapat pada material tergantung pada komposisi unsur-unsur

pembentuk, yang dapat dilihat dari diagram fasa. Contoh fasa pada baja dapat

dilihat pada diagram fasa Fe-Fe3C.

Page 16: Laporan awal metalografi

Diagram 2.1 Diagram fasa Fe-Fe3C

Baja didefinisikan sebagai material ferrous dengan kadar karbon kurang dari

2.14% C. Baja karbon terbagi atas 2 jenis, yaitu baja hypoeutectoid (< 0.8%C)

dan hypereutectoid (> 0.8% C). Pada kadar 0.8% C terbentuk fasa perlit, yaitu

fasa yang terbentuk lamel-lamel yang merupakan paduan antara ferit sebagai

matriksnya dan sementit sebagai lamelnya. Fasa sementit merupakan fasa yang

terbentuk dengan kadar karbon maksimum 6.67% C. Sementara kadar karbon

maksimum pada ferrit adalah 0.02% C.

II.2.2.1 Mikrostruktur Baja Karbon Pada Heat & Surface Treatment

Perlakuan panas adalah rangkaian siklus pemanasan dan pendinginan

terhadap logam dalam keadaan padat, yang bertujuan untuk menghasilkan sifat-

sifat (mekanis, fisik, dan kimia) yang diinginkan. Dasar dari perlakuan panas baja

adalah transformasi fasa dan dekomposisi austenit. Ada beberapa macam proses

perlakuan panas yaitu annealing, speroidisasi, normalisasi, tempering, dan

quenching. Masing-masing memiliki proses dan media pendinginan yang

berbeda-beda.

Page 17: Laporan awal metalografi

Dasar dari transformasi fasa pada heat treatment adalah diagram TTT (Time

Temperature Transformation) dan CCT (Continuous Cooling Transformation).

Perlakuan panas ini akan menyebabkan pembentukan fasa martensit dan bainit.

Perlakuan permukaan adalah suatu perlakuan yang menghasilkan

terbentuknya kulit lapisan pada permukaan logam dimana lapisan tersebut

memiliki sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan dengan bagian dalam logam.

Beberapa contoh kasus perlakuan permukaan yaitu karburisasi, nitridisasi,

sianidasi, karbonitridasi, flame hardening, dan induction hardening. Sampel yang

digunakan disini merupakan hasil karburisasi dimana terjadi difusi karbon ke

dalam permukaan logam akibat reaksi dekomposisi:

CO ↔ CO2 + C(Fe)

II.2.2.2 Mikrostruktur Besi Tuang

Besi tuang pada dasarnya merupakan perpaduan antara besi dengan karbon,

dimana pada diagram Fe-Fe3C terlihat bahwa besi tuang mengandung kadar

karbon lebih besar dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk menjenuhkan

austenit pada temperatur eutektik, yaitu pada rentang 2.14% - 6.67%. Besi tuang

komersial mengandung karbon pada kisaran 2.5 – 4% C, karena kadar C yang

terlalu tinggi membuat besi tuang menjadi sangat rapuh. Secara metalografi besi

tuang dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan kadar karbon, impurities, paduan, serta

proses perlakuan panas, yaitu :

- Besi tuang putih: besi tuang dimana semua kadar karbonnya terpadu dalam

bentuk sementit

- Besi tuang melleable: dimana hampir semua karbonnya dalam bentuk

partikel tak beraturan yang dikenal dengan karbon temper. Besi tuang

melleable diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada besi tuang.

- Besi tuang kelabu: dimana semua atau hampir semua karbonnya dalam

bentuk flake.

- Besi tuang nodular: dimana semua atau hampir semua karbonnya dalam

bentuk spheroidal. Bentuk spheroidal ini terjadi akibat adanya penambahan

elemen paduan khusus yang dikenal nodulizer.

Page 18: Laporan awal metalografi

II.2.2.3 Mikrostruktur Baja Perkakas

Pada umumnya semua baja dapat digunakan sebagai perkakas. Namun

istilah baja perkakas dibatasi pada baja dengan kualitas tinggi yang mampu

digunakan sebagai perkakas. Tingginya kualitas baja perkakas diperoleh melalui

penambahan paduan Cr, W, dan Mo, dan perlakuan khusus. Umumnya

mikrostrukturnya berupa matriks martensit dengan partikel karbida, grafit dan

presipitat.

Klasifikasi baja perkakas berdasarkan AISI (American Iron and Steel

Institute) dibagi seperti ditunjukkan pada tabel berikut:

Grup Simbol Tipe

Water-hardening W

Shock-resisting S

Cold-work

O Oil hardening

A Medium-alloy air hardening

D High-carbon high-chromium

Hot-work H

H1-H19: Chromium-based

H20-H39: Tungsten-based

H40-H59: Molybdenum-based

Mold PP1-P19: termasuk dalam karbon rendah

P20-P39: termasuk tipe low-alloy lain

Special-purposeL Karbon-tungsten

F

Tabel 2.1 Klasifikasi baja perkakas ANSI

II.2.2.4 Mikrostruktur Paduan Aluminium

Aluminium alloys terdiri atas kristal utama padatan aluminium (biasanya

berbentuk dendritik) ditambah produk hasil reaksi dengan paduan. Elemen

paduan yang tidak berada dalam keadaan padat biasanya membentuk fasa

campuran pada eutektik, kecuali silikon yang muncul sebagai produk utama. Pada

paduan Al-Si eutektik terjadi sekitar 12% Si.

Page 19: Laporan awal metalografi

II.2.2.5 Mikrustruktur Paduan Tembaga

Paduan tembaga yang akan dibahas di sini adalah paduan tembaga dengan

elemen dasar seng. Kuningan merupakan paduan Cu-Zn. Kelarutan Zn dalam

larutan padat fasa α meningkat dari 32.5% pada 903oC ke 39% pada 454oC. Fasa

α berbentuk FCC, sementara fasa β berbentuk BCC.

II.2.2.6 Mikrostruktur Material Hasil Lasan

Fasa yang terbentuk sebagai hasil proses las pada baja ditentukan oleh

kecepatan pendinginan dari fasa γ (austenit). Semakin dekat dengan daerah fusi,

temperatur baja semakin tinggi dan kecepatan pendinginan akan semakin tinggi.

Gambar berikut menjelaskan daerah daerah yang terbentuk setelah proses

pengelasan :

Gambar 1.2 Daerah butir hasil pengelasan

Pada logam las terbentuk beberapa area, diantaranya :

a. Daerah logam las (daerah fusi), daerah dimana logam filler yang cair

bercampur dengan logam induk yang dipanaskan sampai temperatur cair.

Bentuknya butir columnar dan widmanstatten, yaitu bentuk memanjang

karena logam cair mendapat pendinginan yang amat cepat, seperti struktur

produk cor.

b. Daerah Pertumbuhan butir, dimana logam induk yang tidak mencair

butirnya tumbuh membesar karena pemanasan yang amat tinggi akibat

proses pengelasan.

Page 20: Laporan awal metalografi

c. Daerah rekristalisasi/penghalusan butir, karena temperatur sedikit lebih

rendah dari daerah b maka akan terbentuk austenit, yang ketika mendingin

akan terjadi ferit dan perlit yang halus karena pendinginan yang cepat.

d. Daerah transisi, ketika proses welding sebagian fasa austenit masih

menjadi ferit, jadi waktu pendinginan, terdapat campuran ferit baru dan

ferit yang ada sebelumnya. Daerah b, c, dan d disebut daerah terpengaruh

panas (HAZ)

e. Daerah tak terpengaruh panas (unaffected zone), fasa logam induk yang

tidak berubah fasa karena tidak terkena panas pada pengelasan.

II.3 Metodologi Penelitian

II.3.1 Alat dan Bahan

Sampel

Mikroskop optik kamera

Mikroskop Elektron

II.3.2 Frowchart pengujian

Page 21: Laporan awal metalografi

BAB 3 PERCOBAAN JOMINI

III.1 Tujuan Percobaan

1. Mendapatkan hubungan antara jarak permukaan pada pendinginan

langsung dengan sifat kemampukerasan bahan.

2. Mendapatkan hubungan antara kecepatan pendinginan dengan fasa

yang terbentuk serta mendapatkan sifat kekerasan dari fasa tersebut.

III.2 Dasar Teori

Proses kombinasi pemanasan dan pendinginan yang bertujuan mengubah

struktur mikro dan sifat mekanis logam disebut perlakuan panas (heat treatment).

Logam yang didinginkan dengan kecepatan dan media pendingin berbeda

memberikan perubahan struktur mikro yang berbeda pula. Setiap struktur mikro

yang terbentuk (martensit, bainit, ferit dan perlit) merupakan hasil transformasi

fasa austenit. Tiap fasa tersebut terbentuk pada kondisi pendinginan yang

berbeda-beda sebagaimana yang dapat dilihat pada diagram CCT dan TTT. Tiap

fasa memiliki nilai kekerasan yang berbeda-beda. Dengan pengujian Jominy

(jominy test) dapat dibuktikan bahwa laju pendinginan yang berbeda-beda akan

menghasilkan kekerasan bahan yang berbeda.

Gambar 3.1 Pembentukan fasa pada percobaan jominy dari diagram CCT

Karena kekerasan merupakan salah satu faktor yang penting dalam

mendesain suatu material, maka akan lebih ekonomis apabila spesifikasi material

didasarkan atas perlakuan panas material tersebut. Oleh karena itu, diperlukan

suatu pengujian yang dapat memprediksi kemampukerasan dari material tersebut.

Page 22: Laporan awal metalografi

Pada baja, pendinginan yang cepat dari fasa austenit menghasilkan fasa martensit

yang sangat keras. Kemampuan baja untuk menghasilkan fasa martensit di

seluruh bagian produk disebut sebagai kemampukerasan baja. Semakin besar

persentase martensit pada baja, semakin besar kemampukerasannya. Baja dengan

paduan C, Cr, Mo, V, dst akan meningkatkan kemampukerasan baja. Baja dengan

kemampukerasan tinggi memiliki 100 % fasa martensit pada pendinginan cepat.

Pengujian yang sangat luas dipakai ialah end-quench hardenability test atau

jominy test. Pengujian ini telah distandarisasikan oleh ASTM, SAE, dan AISI.

Perlakuan yang sangat penting dalam pengujian jominy ialah setiap bagian dari

sampel akan merespon pendinginan yang diberikan. Salah satu parameter

pengujian ialah derajat pendinginan yang menentukan terbentuknya fasa

martensit. Pengukuran kemampukerasan didapat dengan mengukur kekerasan

sepanjang batang sampel. Nilai kekerasan diukur mulai dari ujung batang yang

dekat dengan media pendingin yang mana didapat 100% martensit, pada ujung

sebaliknya yang akan didapat 0% martensit dan terdapat campuran fasa ferit dan

perlit, serta diantaranya yang akan didapat gabungan antara martensit dan ferit-

perlit.

Gambar 3.2 Pengujian jominy

Page 23: Laporan awal metalografi

Makin lambat laju pendinginan logam, makin banyak matriks perlit yang

ditampilkan dan kekerasan makin turun. Penambahan kadar karbon atau paduan

atau bertambah besarnya ukuran butir akan menyebabkan grafik bergeser kekanan

sehingga memudahkan pembentukan struktur martensit. Pergeseran grafik

kekanan juga menggambarkan sifat kemampukerasan bahan tersebut. Untuk

pendinginan lambat akan mendapatkan struktur:

a. Bainit bawah; struktur seperti jarum mirip martensit

b. Bainit atas; struktur seperti perlit dengan sifat lapisan yang lebih halus

c. Perlit halus; struktur perlit yang halus dengan lapisan ferit dan sementit

d. Perlit kasar; struktur sama dengan perlit halus namun lamel lebih kasar

dan kekerasan lebih rendah.

III.3 Metodologi Penelitian

III.3.1 Alat dan Bahan

1. Batang baja sebagai benda uji dengan d = 2.5 cm, L = 10 cm

2. Oven Muffle temperatur max. 11000C

3. Kran air dengan tekanan cukup

4. Amplas

5. Alat penguji kekerasan Brinell

6. Mikroskop pengukur jejak

Page 24: Laporan awal metalografi

III.3.2 Flowchart Proses

Dimana: P = Beban yang digunakan, Kg

D = Diameter bola, mm

D = diameter indentasi, mm

Page 25: Laporan awal metalografi

BAB 4 DAFTAR PUSTAKA

- Modul Praktikum Metalografi dan HST Laboratorium Metalografi dan HST Departemen Metalurgi dan Material Fakultas Teknik Universitas Indonesia Depok 2013

- http://www.sv.vt.edu/classes/MSE2094_NoteBook/96ClassProj/ examples/kimcon.html

- http://www.doitpoms.ac.uk/tlplib/jominy/uses1.php - http://www.keytometals.com/page.aspx?

ID=CheckArticle&site=kts&NM=105