metalografi kuantitatif

Upload: rhidiyan-waroko

Post on 10-Jul-2015

1.888 views

Category:

Documents


186 download

TRANSCRIPT

MMS 310801 - KARAKTERISASI MATERIAL 1

METALOGRAFI KUANTITATIF

Rhidiyan Waroko 0806331935DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

1. Terminologi Stereologi Stereologi atau quantitatif metallography adalah ilmu yang mempelajari tentang karakterisasi kuantitatif dari suatu geometri mikrostruktur material. Tujuan dari stereologi ini adalah menjelaskan tentang karakterisasi geometri yang ada pada mikrostruktur (butir, void, precipitat, dislokasi) dalam bentuk kuantitatif (jumlah dan ukuran). International Society for Stereology membuat simbol dan peraturan dasar prosedur. Ada 5 simbol dasar yang digunakan.

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Simbol-simbol tersebut yaitu: P = point S = surface L = line V = volume A = area Pengukuran dasar stereologi antara lain: Pp = jumlah test point dari satu fasa dibagi dengan jumlah semua test point. PL = jumlah titik potong antara garis dengan feature dibagi dengan panjang test-line. NL = jumlah feature yang terpotong oleh test line dibagi dengan panjang test-line. PA = jumlah point features dengan test area.

NA =

jumlah features dibagi dengan test area

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

Notasi standard dari International Society for StereologySymbo l

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Unit

Dekripsi

Nama umum

PPp L PL LL A mm mmmm/mm mm

Jumlah elemen titik atau test pointFraksi titik Panjang dari elemen garis atau test-line length Jumlah titik potong antara garis dengan feature dibagi dengan panjang test-line Jumlah panjang garis potong dengan total testline length Bidang area features atau test-area Lineal FrictionPoint Count

S VAA Sv Vv

mm mm

Permukaan area Volume dari struktur 3D elemenFraksi area Fraksi volume

mm /mm Jumlah area permukaan dibagi dengan total test area mm /mm Permukaan dibagi dengan total test volume mm /mm Volume struktur dibagi dengan total test volume

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Symbo l

Unit

Dekripsi Jumlah features

Nama umum

N NL PA LA NA PV mm mm mm/mm mm mm

jumlah feature yang terpotong oleh test line dibagi dengan panjang test-line. Jumlah titik feature dibagi dengan total test area Panjang linear feature dibagi total test area jumlah features dibagi dengan test area Jumlah point per test volume

Lineal density Perimeter Areal density

LV NV

mm/mm mm

Panjang feature per test volume Jumlah feature per test volume Volumetric density

L A S

mm mm mm

Rata-rata linear intercept distance, LL/NL Rata-rata areal intercept, AA/NA Rata-rata particle surface area, SV/NV

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

2. Fraksi Volume Penghitungan fraksi volume adalah salah satu pengukuran yang memiliki arti penting dalam stereologi. Prosedur penghitungan yang paling simpel adalah dengan melihat microstrukturnya lalu perkirakan jumlah fraksi volumenya. Tapi teknik ini memiliki hasil yang tidak akurat. Cara lain adalah dengan membandingkan foto mikrostruktur dengan literatur yang ada.

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Fraksi Volume

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Fraksi Volume Terdapat tiga dasar prosedur pengukuran yang telah banyak dikembangkan. Pengukuran tersebut dilakukan dengan cara melihat struktur dua dimensi dari mikrostrukrur. Prosedur tersebut adalah: Areal Analysis Lineal Analysis Point Counting

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

2.1. Areal Analysis Rata-rata fraksi area (AA) diperoleh pada bidang dua dimensi yang dianggap juga sebagai fraksi volume VV.

Dimana

= luas area fasa a

AT = total area yang diukur. Metode ini tidak efektif dipakai pada butir-butir yang halus

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

2.2. Lineal Analysis Pada metode lineal analysis ini, Rosiwal, geologist Jerman, mengatakan bahwa terdapat kesamaan antara fraksi linear LL dan fraksi volume VV.

Dimana

LL

= panjang garis didalam fasa = total panjang garis

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

2.3. Point Counting Metode ini adalah dengan cara menghitung jumlah titik yang ada dalam suatu fasa dibagi dengan jumlah seluruh titik. Titik-titik tersebut didapat dari sebuah grid. Grid yang digunankan adalah grid dengan total titiknya 9, 16, 25 dan 100. Untuk yang memiliki fraksi volume yang tinggi, lebih efektif menggunakan grid dengan densitas titik yang rendah dan sebaliknya (misalnya untuk fraksi volume 50% menggunkan grid yang 25). Berikut adalah rumus penghitungan dengan metode point counting:

Dimana : PT = nP0 = jumlah titik Pa = jumlah titik di fasa a

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Perbandingan metode areal analysis, lineal analysis dan point counting.

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

2.4. Statistical Analysis Analisis statistik di- Koefisien deviasi: gunakan untuk meningkatkan kepresisian dan keakuratan hasil data CV menggambarkan nilai yang didapat. deviasi dalam bentuk %. Ada beberapa unsur penghitungan penting 95% confidence limit dalam analisis statistik ini. Standar deviasi: nilai N adalah jumlah percobaan, dan nilai t didapat dari tabel berikut:MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Nilai t untuk menghitung confidence limit

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Nilai relative accuracy didapat dari hasil 95% CL dibagi dengan niali rata-rata.

Nilai %RA menggambarkan keakuratan data. Dari nilai-nilai yang didapat diatas, De Hoff, memberikan suatu formula untuk menghitung jumlah sample N yang efektif untuk diukur dan menghasilkan nilai akurasi 95%. Formula tersebut adalah:

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Contoh analisa statistik dari data point-count

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Contoh perhitungan analisa statistikDari penghitungan berikut, di dapat nilai 95% CL adalah 3,4 %, berarti nilai fraksi volume yang didapat adalah 31,2 3,4 % dengan akurasi 95 %. Artinya, dalam 100 kali penghitungan kemungkinan didapat nilai diantara 27.8-34.6 % ada 95 kali.

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

2.5. Comparison of Method Telah banyak metode yang dikembangkan untuk meningkatkan effisiensi dan akurasi penghitungan fraksi volume. Sampai saat ini, telah diketahui metode penghitungan fraksi volume yaitu: Areal analysis (planimetri) Lineal analysis One-dimensional random point counting One-dimensional systematic point counting Two-dimensional random point counting Two-dimensional systematic point counting Dari metode diatas, harus dipilih metode apa yang cocok pada kondisi tertentu.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Dari metode diatas, metode two-dimensiona systematic point counting adalah metode yang menghasilkan variansi data terendah, tetapi selama densiti grid yang digunakan rendah (untuk fraksi volume sekitar 1-50% digunakan grid dengan jumlah titik 6-300). Pada fraksi volume sekitar 20%, dilakukan penghitungan dengan 7 operator maka diketahui metode yang tepat untuk kondisi ini. Areal analysis menghasilkan salah hitung yang paling rendah. Akurasi terendah didapat dari metode lineal analysis. untuk kondisi ini yang lebih disukai adalah metode areal analysis. Akurasi penghitungan yang didapat tidak hanya berasal dari metode penghitungan, tetapi juga operator yang menghitung. Berikut adalah contoh percobaan point counting untuk macam-macam variabel percobaan.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Hasil dari penghitungan point counting dalam beberapa kondisi

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Hasil dari penghitungan point counting dalam beberapa kondisi

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Hasil dari penghitungan point counting dalam beberapa kondisi

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Pembahasan dari percobaan diatas

Sampel yang digunakan adalah sampel yang memilki fasa sekitar 3, 30 dan 45% (sampel A, B dan C) Pada jumlah percobaan yang tetap, jika waktu pengukuran meningkat maka fraksi volume juga meningkat. Pada jumlah grid yang konstan (PT = 2000), jika fraksi volume meningkat maka akurasi meningkat. Pada waktu pengukuran yang konstan, maka grid dengan densiti titik yang tinggi menghasilkan nilai akurasi yang tinggi.

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Kesimpulan Point counting dengan systematic two-dimensional adalah metode yang optimum untuk mengestimasi fraksi volume. Tetapi tidak efektif digunakan untuk fraksi volume lebih dari 50%. Analisa statistik sangat perlu digunakan untuk mencapai keakuratan yang maksimal. Untuk fraksi volume yang rendah, grid tinggi lebih efektif untuk digunakan ( misal grid 100) dan sebaliknya (misal grid 25). Sampel harus dikontrol untuk meminimalisir permukaan kasar sampel.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3. Ukuran Butir Menentukan ukuran butir adalah hal yang sangat penting dalam pengukuran metalografi karena pengaruhnya terhadap propertis material.

Material yang memiliki ukuran butir yang kecil akan memiliki propertis mekanik yang kuat sedangkan sebaliknya, material yang memiliki buti yang besar akan meiliki propertis mekanik yang lemah.

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.1. Bentuk Butir Dasarnya, butir harus ada dalam bentuk yang paling memenuhi ruang dan interface antar permukaan butir harus memenuhi hukum tegangan permukaan. Pada tahun 1894, Lord Kelvin menunjukkan bentuk butir yang paling optimal dalam hal bentuk yang memenuhi ruang dan dengan area permukaan yang minimal adalah bentuk tetraidecahedron, dimana memiliki 14 permukaan. Dari penelitian Williams dan Smith, rata-rata jumlah rusuk per sisi adalah 5.02-5.06 dan rata-rata jumlah sisi per butir adalah 12.48.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2. Mengukur Besar Butir Ada beberapa faktor penting pengukuran besar butir, yaitu: Average diameter Average area Number of grain per unit area average intercept length Number of grains per unit volume Average diameter based in average grain volume Standar yang menjelaskan tentang penghitungan ukuran butir adalah ASTM E 112. Untuk menentukan ukuran butir, maka batas-batas butir harus ditampilkan secara jelas. Metode yang digunakan adalah dengan memodifikasi etsa.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.1. Menampilkan batas butir Pada baja, untuk menampilkan batas butir pada struktur austenite dapat langsung dilakukan dengan menggunakan hot-stage microscope atau electron-emission microscope. Metode lain adalah dengan memanaskan sampel yang sudah dihaluskan permukaannya (polishing) sampai ke temperature tertentu lalu sampel di etsa. Metode ini disebut thermal etching. Prosedur yang paling banyak digunakan untuk menggambarkan batas butir austenite adalah dengan metode karburisasi yang dikembangkan oleh McQuid dan Ehn. Pada metode ini permukaan sampel dihaluskan dan di etsa (biasanya dengan nital dan alkaline sodium)MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Gambar mikrostruktur setelah di etsa

Nital 2%

Alkaline sodium picrate - boiling

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Gambar mikrostruktur setelah di etsa

Alkaline sodium picrate - electrolyte

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.2. Standard Chart Method Standar untuk penghitungan ukuran butir ini telah banyak mengalami revisi, dari ASTM E2 pada tahun 1930, ASTM E 91 pada tahun 1957 dan terakhir yang masih valid hingga saat ini adalah ASTM E 112

Dalam ASTM E 112, terdapat bagan yang menghubungkan ASTM garin size number, jumlah butir 2 per inci pada perbesarn 100X, jumlah butir per 1 mm, rata-rata diameter butir yang dihitung dengan metode Jeffrie dan rata-rata panjang garis potong yang dihitung dengan menggunakan metode Heyn.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Untuk mendapatkan nilai G pada tabel ASTM E112, maka nilai G didapat dari perhitungan sebagai berikut:

Nilai n adalah jumlah butir per inci persegi pada perbesaran 100X. Standar penghitungan lain contohnya pada standar ISO adalah dimana jumlah butir dihitung pada 1 mm persegi pada perbesaran 1X. Penghitungannya sebagai berikut:

maka

G = Gm 0.045

dan

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Standar Jerman menggunakan metode sendiri. Digambarkan nilai K yang dihitung berdasarkan jumlah rata-rata butir Z per cm persegi pada perbesaran 100X, yaitu: K = 3,7 + 3,33 Log Z sebagai contoh untuk nilai K = 5, maka nilai Z = 2,5 butir per cm persegi pada 100X atau sama dengan 16 butir per inci persegi, sehingga memiliki nilai ASTM 5. Jika penghitungan menggunakan perbesaran yang berbeda, maka nilainya dapat dikonversi dengan formula sebagai berikut:

M adalah perbesaran, Mb perbesaran pada standar, Q nilai tambah Misalkan butir dengan ASTM 8 diuji dengan perbesaran sekian sehingga menghasilkan nilai Q = 2, maka nilai ASTM sebenarnya adalah 8+2= 10.

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.3 Jeffries Planimetric Method Menghitung jumlah butir pada area uji dan dihubungkan dengan nilai ASTM. Metode ini dengan menambahkan area uji (diameter 79,8 atau luas area 5000 mm persegi), diatas foto mikrostrukturnya. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut: dimana NA adalah jumlah butir per mm persegi pada 1X, n1 adalah jumlah butir didalam area uji, n2 adalah jumlah butir yang berpotongan dengan garis uji, f adalah jeffries factor.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Dengan diketahui nilai f, maka didapat nilai perbesaran M yaitu dengan formula: Nilai rata-rata luas butir A : atau Nilai rata-rata diameter butir :

Nilai ukuran butir ASTM, G, dapat dihitung: atau G = [3,322 log NA] 2,95

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

NA = (2) (44+25/2) = 113 Maka nilai G adalah

G=[3.22 log(113)]-2.95 = 3.87 (sekitar 4)

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.4 Triple Point-Count Method Metode ini dengan cara menghitung jumlah triple point P yang ada didalam area uji. Dimana AT total luas daerah uji pada perbesaran 1X. Nilai ASTM yang didapat adalah: dengan NA jumlah butir per inci persegi di 100 X. Jika NA dalam mm persegi maka : G = [3,322 log NA] 2,95 Jika perbesaran M yang digunakan berbeda maka:

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

NA = ((141/2) + 1)/0.02 = 3574 Maka nilai ASTM yang diperoleh: G = [3,322 log NA] 2,95 = 8,85 (sekitar 9)

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.5. Heyn Intercept Method Metode ini dilakukan dengan cara membuat garis uji LT pada gambar diperbesaran tertentu. Perbesaran ini ditentukan biasanya sampai garis uji memotong 50-150 butir agar manghasilkan penghitungan yang akurat. Untuk struktur satu fasa, maka jumlah butir yang terpotong sama dengan jumlah batas butir yang terpotong (NL = PL). dimana LT = panjang garis uji Maka didapat nilai panjang garis potong rata-rata:

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Ujung garis uji sering berhenti di dalam butir, maka butir tersebut akan dihitung dengan nilai , jika melewati triple point, maka dihitung 1 . Selanjutnya, akan didapat nilai ASTM, G, dengan formula sebagai berikut: G = [-6,6457 log L3] 3,298 (L3, mm) G = [-6, 6353 log L3] 12,6 (L3, in) Menghitung jumlah butir per inci persegi pada 100X 2 2 NA (100X, in ) = 0.8 (M/100) NL1 NL2 1/2 Luas butir rata-rata L3 = (p/4)

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.6. Nonequalized grain Adalah butir yang sangat jelas distorsinya. Dalam kasus ini besar butir harus diukur melalui tiga bidangnya. Jumlah butir per mm kubik NV adalah NV = 0,8 (NA,t NA,l NA,p)1/2 Nilai ASTM adalah G = [2,214 log NV] 2,74 Rata-rata jumlah butir per mm kubik (NA) 1/3 NA = (NA,t NA,l NA,p) , kemudian G adalah G = [3,322 log NA] 2,95 3 3/2 3 NV = (NA) = 0,7(NL) maka NV = 0,5659(NL)MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Jika metode garis potong digunakan untuk mengevaluasi noequiaxed grains, garis lurus lebih efektif digunakan. Garis tersebut harus berorientasi terhadap tiga arah. Untuk menentukkan nilai ASTM, langkah-langkah berikut harus dilakukan. Yaitu: 1. NL = 1/3 (NL,1 + NL,t +NL,p) 2. 3. G = [-6,6457 log L3] 3,298 (L3, mm) 4. G = [-6, 6353 log L3] 12,6 (L3, in) NV didapat dari NV = 0.566 NL,l NL,t NL,p G = [2,214 log NV] 2,74MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.7. Duplex grain Adalah butir yang memiliki persebaran ukuran, antara coarse grain dan fine grain. Ada dua tipe duplex, yaitu yang beraglomerasi butir-butir kecilnya dalam matrix butir-butir besar (vice versa) dan butir kecil yang menyebar diluar distribusi normal Jika duplex grain ada pada kondisi butir-butir kecil yang teraglomerasi dalam butir-butir besar, analisa dapat dilakukan dengan menghitung fraksi volume fine dan coarse grain. Kemudian besar butir dapat diukur dengan menganalisa butir yang ada di daerah uji. Analisa lebih sulit dilakukan untuk duplex grain yang terdistribusi.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Untuk metode yng termudah adalah dengan menggunakn garis potong. ASTM mengembangkan prosedur untuk menghitung besar butir pada struktur butir duplex, yaitu dengan cara titik potong. Grid yang digunakan adalah garis lurus yang pararel dengan jarak 5 mm, dan diukur dari berbagai sudut:0, 45, 90 dan 135. Kemudian menentukan jumlah potongan dan panjang potongan. Fraksi volume masing daerah (fine dan coarse grain) dapat ditentukan dengan membagi panjang potongan daerh tertentu dengan total panjang potongan. Panjang potongan dimasing-masing daerah dibagi dengan perbesaran M, jumlah intercept dibagi dengan angka tersebut menghasilkan nilai NL untuk masing-masing daerha. Kemudain L3 dan G dapat dikalkulasikan

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Contoh struktur duplex

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.8. Struktur Dua Fasa Banyak padusan komersial yang mikrostrukturnya memilikki lebih dari satu fasa. Contohnya adalah baja, yang terdapat fasa pearlite dan ferrite. Untuk baja, penting untuk menghitung ukuran butir ferrite karena pengaruhnya ke propertis. Jika fasa kedua memiliki ukuran yang relatif sama dengan fasa laennya, maka penggunaan tabel pembanding dapat digunakan untk mengestimasi besar butir. Jika tidak, intercept method cocok untuk digunakan. Pertama menentukan fraksi volume dari matrix dengan point counting dan lineal analysis. Kemudian cari fraksi volume dari fasa kedua. Kemudian linear test grid digunakan sehingga didapat jumlah butir matrix Na . Dari kedau hasil diatas didapat nilai L3 adalah: dimana VV adalah fraksi volume, LT adalah panjang total garis. Nilai G ditarik dari tabel ASTM berdasarkan nilai L3 yang didapat.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Contoh struktur dua fasa

gambar dengan

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.9. Snyder-Graff Intercept Method Efektif digunakan untuk butir yang halus (ASTM > 9) Nilai besar butir ASTM adalah G = [6,635 log(S-G)] + 2.66 Dimana S-G adalah jumlah intercept. Penghitungan point seperti metode Heyn. NL = 7.874 (S-G) (mm) atau NL = 200 (S-G) (inci) nilai L3 bisa didapat dari rumus sebelumnya, kemudian nilai G adalah: G = [-6,6457 log L3] 3,298 (L3, mm) G = [-6, 6353 log L3] 12,6 (L3, in)

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.10. Fracture Grain Size Untuk material yang memiliki kekerasan tinggi, besar butir dapat ditentukan dengan membandingkan tekstur permukaan setelah fracturenya material tersebut dengan sebuah standar ASTM grain size scale yang memiliki 10 grade. Teknik ini mengacu kepada Shepherd fracture grain size method, oleh Erpi pada tahun 1931. Fracture grain size method hanya dapat digunakan unutk material yang memiliki fasa high-carbon martensite. Jika intergranular fracture-nya terlihat jelas, maka skalanya di standar adalah 1-6. Besar butir lebih dari 10, tidak menggunakan standar tersebut, karena butirnya yang sangat halus. Sample yang digunakan sebaiknya setelah mengalami perpatahan brittle supaya keakuratannya tinggi.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.11. Keakuratan Mengestimasi Besar Butir Ada tiga kendala yang akan mengurangi keakuratan pengukuran butir. Pertama adalah keterbatasan kemampuan seperti keterbatasan resolusi , kurang tampaknya batas butir, overetching, salah hitung dll. Kedua adalah sample yang persiapan sampel yang tidak tepat, seperi permukaannya kurang memenuhi syarat dll. Ketiga menentukan area uji yang kurang representatif pada sampel. Hillard menemukan bahwa uji dengan metode Jeffries akan menghasilkan standar deviasi yang lebih rendah.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.2.12. Hubungan Nilai L3 Terhadap parameter butir lainnya Panjang garis potong rata-rata L3 digunakan untuk menarik korelasi antara besar butir dan sifat mekanik. Korelasi tersebut karena L3 memiliki hubungan secara langsung dengan area permukaan per unit volume SV. Jika butir semakin kecil, SV semakin besar. Didalam struktur single fasa: SV = 2PL = 2NL Untuk struktur dua fasa: SV = 2PL = 4NL L3 memiliki hubungan juga dengan diameter rata-rata D, yaitu untuk bentuk butir spherical, maka nilai D=1,5 L3, untuk bentuk polyhedron D=1.68 L3 , untuk bentuk butir polyhedron dengan minimum surface area, maka D=1,74 L3.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.3. Grain Size Distribution Planar grain size distribution dasar penghitungannya adalah luas butir dan diameter. Untuk menggunakan metode diatas, sampel harus dipolishing dan di etsa supaya strukturnya terlihat jelas. Umumnya menggunakan light microscope tapi pada butir yang lebih halus, digunakan TEM. Ukuran butir diklasifikasikan berdasarkan diameternya menjadi beberapa kelas. Dari data tersebut, dicari nilai NV per kelasnya. Dari nilai Nv tersebut, didapat besar diameter butir ratarata yaitu:MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Standar deviasi dari diameter butir adalah: bisa diperoleh dari persamaan: NA = NV Nilai s(Dg) (geometric standar deviation) adalah: Nilai

Nilai G adalah:G = [2,215 log Nv] 2,95

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Banyak metode lain yang telah dikembangkan untuk menentukan NV untuk besar butir dan partikel terdistribusi. Salah satu yang populer adalah metode Saltykov. Metode ini juga menggunakan klasifikasi berdasarkan besar butir. Pembatasan metode ini adalah: Butir bisa jadi monodispersed atau polydispersed Butir memiliki bentuk yang sama, perbedaan hanya diukurannya saja. Butir harus tersebar merata Butir hanya terpotong sekali oleh random plane. Menghitung kemungkinan jumlah butir yang masuk kedalam kelas tersebut adalah:

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Untuk menghitung NV pada masing-masing kelas, dapat menggunakan formula berikut:

Dimana Di adalah diameter maksimum dikelas tersebut. Perhitungan ini akan berhenti jika NA,i x = NA,0

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Dari tabel diatas, dapat diambil contoh perhitungan NV untuk masing-masing kelas, yaitu:MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Hanson telah mengembangkan formula untuk mencari hubungan antara nilai NA dan NL untuk menghitung NV, yaitu:

Formula lain yang menghunbungkan NL, NV, dan NA, untuk struktur octahedron yaitu:

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

3.4. Kesimpulan Besar butir dapat diukur dengan sejumlah prosedur kemudian dibandingkan dengan ASTM grain size number. Lineal analysis menghasilkan nilai G yang paling baik. Intercept method tepat digunakan untuk struktur butir dua fasa, duplex dan struktur terdistorsi. Pengukuran grain size distribution dan penghitungan nilai NV, V rata-rata dan D rata-rata memerlukan assumsi bentuk butir, karena penghitungannya menganggap bentuk butirnya sama untuk penyerdahanaan perhitungan.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

4. Inclusion Rating Method Inclusi adalah adanya material lain yang masuk kedalam mikrostruktur material sangat mempengaruhi propertis dari material. Inclusi biasanya dikategorikan menjadi dua yaitu exogeneous dan indigenous. Exogeneous inclusion adalah inclusi dari luar, misalnya dari slag dan refractori. Indigenous inclusion adalah inclusi yang ditambhakan dalam proses seperti endapan sulfida dan deoksidation. Indigenous inclusion biasanya dibedakan menjadi dua katageri, yaitu oksida dan sulfida. Ada beberapa metode yang digunakan untuk menjelaskan conten inclusi, yaitu: Chart compariso Counting Volume fraction determinationMMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

4.1. Chart Comparison Methods Metode ini telah banyak digunakan untuk menghitung conten inclusi dalam mikrostruktur. Chart ini akan menggambarkan perbedaan inclusi berdasarkan jenis, besar, kuantitas dan distribusinya. Hal-hal yang mempengaruhi perhitungan inclusi adalah: Jumlah hot working dan inclusi plastis. Jumlah, lokasi dan orientasi sampel. Preparasi sampel Perbesaran dan resolusi Area uji tiap bidang dan sampel Pemilihan bidang. Preparasi sampel menjadi hal yang sangat penting karena permukaan harus benar-benar halus.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

Kebanyakkan chart standar yang digunakan adalah yang menggunkan perbesaran 100X supaya menampilkan permukaan yang besar agar mudah untuk diperhatikan. Untuk baja dengan kadar inclusi yang rendah, sebaiknya menggunakan perbesaran yang tinggi untuk memudahkan deteksi dan klasifikasi. ASTM E45 telah banyak digunakan unutk melakukan penghitungan jumlah inclusi dalam baja. Terdapat tiga metode chart dan satu metode non-chart. JK chart digunakan unutk berbagai macam baja. SAE chart digunakan untuk baja low-carbon carburizing. Modified JK chart digunakan untuk untuk baja dengan conten inclusi yang rendah. MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

4.2. Nonchart Rating Method Nonchart metode telah banyak diajjukan untuk mencari conten inclusi. Epstein technique terdapat di metode B pada ASTM E45. Dari sekian banyak metode yang dijelaskan dalam berbagai standar, hanya JIS G 0555 yang metodenya menggunakan prinsip stereologi, yaitu dengan point-counting. Vv dari inclusi dapat dicari dengan menggunakan pointcounting pada perbesaran 500X dengan grid 100-titik dan juga menggunaka lineal analysis pada perbesaran 1000X. Umumnya jika fraksi volume naik, relative akurasi juga meningkat. Relative akurasi rata-rata yang didapat adalah 26,1% unutk point counting dan 28,8% untuk lineal analysis.MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

4.3. Inclusion Deformability Baja-baja pada mesin biasanya mengandung inclusi sulfida dan mangan untuk meningkatkan machineabilitynya. Banyak penelitian yang menunjukkan pengaruh bentuk dan kuantitas sulfida terhadap sifat machieability. Teknik yang simpel yaitu dengan mengukur rasio lengthto-width dari sulfida di ingot, billet (stage berbeda pada saat hot reduction) Dari perhitungan tersebut, ukuran inclusi V, adalah 2 V = 1.08LW

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1

DEPARTMENT OF METALLURGY AND MATERIALS ENGINEERING UNIVERSITY OF INDONESIA

4.4. Kesimpulan Inclusi sangat mempengaruhi sifat mekanik dari material. Pada baja-baja yang digunakan untuk komponen mesin, biasanya terdapat inclusi sulfida dan mangan untuk meningkatkan macheability. Metode dengan menggunakan chart adalh metode yang paling banyak digunakan Standar penghitungannya ada di ASTM E45 dan JIS G 0555.

MMS310801-KARAKTERISASI MATERIAL1