laporan akhir ekpd 2009 aceh - unsyiah

111

Upload: ekpd

Post on 18-Nov-2014

2.893 views

Category:

Education


13 download

DESCRIPTION

Dokumen Laporan Akhir EKPD 2009 Provinsi Aceh oleh Universitas Syiah Kuala

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH
Page 2: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

1

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar belakang dan Tujuan

Luas wilayah republik Indonesia terbagi habis keseluruh daerah (provinsi

dan kabupaten/kota), dengan pemahaman daerah adalah daerahnya pusat, dan

pusat adalah pusatnya daerah. Dengan demikian RPJM Nasional dilaksanakan

diseluruh wilayah nusantara Republik Indonesia, oleh pemerintah, swasta, dan

masyarakat luas. Dengan demikian setiap daerah (provinsi dan kabupaten kota)

wajib menyusun RPJM Daerah yang berlandaskan RPJM Nasional serta

menyesuaikan dengan situasi dan kondisi daerahnya masing-masing.

Berlandaskan RPJMD dan RKPD sesuai dengan petunjuk sistem perencanaan

pembangunan nasional (UU No. 25/2004) setiap daerah melakukan proses

perencanaan, sehingga pelaksanaan kegiatan pembangunan daerah pada setiap

tahunnya tercermin dalam APBD.

Dalam situasi dan kondisi yang sedemikian rupa, kegiatan pembangunan

di sesuatu wilayah dalam daerah tertentu, dana pembangunannya dapat

bersumber dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten / Kota, dan dana

Investasi swasta domestik dan atau investasi asing. Proses pembangunan

Daerah yang telah, sedang, dan akan berlangsung di Aceh adalah dengan

menggunakan dana dari berbagai sumber yang telah tersebut di atas yang akan

dimonitor dan dievaluasi oleh Tim EKPD provinsi, guna dapat memberikan

gambaran sejauh mana ke tiga agenda yang tersebut dalam RPJM Nasional

dapat terlaksana di provinsi Aceh. Dalam kaitan ini, ingin diketahui sejauh mana

pelaksanaan empat tahun RPJM Nasional dan daerah (2005, 2006, 2007, dan

2008) di provinsi Aceh dapat mencapai sasaran atau tjujuan pembangunan yang

telah direncanakan, apakah mampu memberikan solusi terhadap masalah-

masalah yang dihadapi oleh daerah, dalam upaya meningkatkan kemakmuran

dan kesejahteraan masyarakat secara lebih adil dan merata. Hal tersebut antara

lain juga dapat diamati pada arah perubahan porsi penduduk miskin, tingkat

pengangguran, dan kinerja pembangunan daerah, tidak hanya dapat diamati pada

Page 3: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

2

peningkatan PDRB per kapita, tetapi juga dapat terlihat pada perubahan angka

IPM dan indikator-indikator sosial lainnya. Dengan demikian hasil evaluasi kinerja

pembangunan daerah ini diharapkan dapat menilai relevansi dan efektivitas

kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004 – 2008.

Sesuai dengan harapan tersebut beserta hasil pembahasan dalam seminar

pembekalan EKPD pada awal bulan Juli 2009, maka evaluasi kinerja

pembangunan daerah ini berupaya dapat memberukan informasi penting yang

bersifat kuantitatif dan kualitatif tentang proses pembangunan nasional regional

yang dilaporkan oleh setiap provinsi. Loaporan evaluasi kinerja proses

pembangunan daerah ini menunjukan keterkaitannya sejak dari perencanaan,

implementasinya (pelaksanaan), penggunaan dana dan pemanfaatan sumber

daya, output, outcome, bila mungkin sampai kepada dampaknya yang diterima

dan dirasakan oleh masyarakat bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di

daerah ini. Justeru karena itulah hasil evaluasini diharapkan dapat berguna

sebagai masukan bagi para pengambil keputuisan dan penentu kebijakan dalam

menelusuri dan mengawal untuk tercapainya tujuan pembangunan nasional dan

regional di negeri ini.

I.2 Keluaran (output)

Sesuai dengan latarbelakang maka pelaksanaan Evaluasi Kinerja

Pembangunan Daerah di provinsi Aceh diharapkan dapat memberikan sebuah

gambaran yang jelas temntang : data dan informasi proses pelaksanaan

pembangunan di Aceh sejak dari perencanaan jangka panjang, menengah, dan

tahunan sampai dengan APBN dan APBD. Keterkaitannya antardokumen

perencanan, serta relevansi dan efektifitasnya dalam mencapai target, tujuan dan

visi pembangunan, secara nasional, regional dan daerah.

Di lain pihak diharapkan dapat memberikan gambaran tentang proses

pembangunan daerah tentang deviasi antara target, tujuan, dan visi

pembangunan dengan kenyataan realisasinya, beserta factor-faktor yang telah

mempengaruhi capaian pertumbuhan dan perubahan dalam proses

Page 4: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

3

pembangungan yang telah berlangsung selama empat tahun pelaksanaan RPJM

Nasional dan RPJM Daerah di Aceh.

I.3. Metodologi Pengkajian.

Wilayah penelitian ini meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),

namun sebagai bahan komparatif digunakan juga data dari provinsi/wilayah

lainnya sesuai dengan kebutuhan. Obyek kajian terutama yang berkaitan dengan

proses pembangunan yang berlangsung di daerah penelitian periode 2004-2008,

namun sebagai bahan perbandingan juga digunakan data tren 1996-2006.

Data yang diperlukan, di samping data primer, juga data sekunder yang

telah dikumpulkan oleh dinas, lembaga atau Badan-badan resmi lainnya yang

berada dalam lingkungan NAD. Data primer dapat bersumber dari studi lapangan,

baik yang dilakukan oleh Tim, ataupun hasil kajian para pakar yang dapat diyakini

secara akademik. Di samping data kuantitatif, juga data kualitatif hasil penelitian

lainnya yang telah disebutkan dalam bagian pendahuluan, ataupun yang

tercantum dalam daftar kepustakaan, seperti berbagai dokumen perencanaan

pembangunan yang disusun oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan

Kabupaten/Kota, serta berbagai hasil monitoring dan evaluasi kegiatan

pembangunan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan resmi.

1.4. Sistematika Penulisan Laporan

Laporan hasil EKPD ini disajikan dalam tiga Bab serta dilengkapi dengan

kesimpulan dan daftar bacaan yang dirujuk dalam analisis dan evaluasi kinerja

pembangunan di daerah. Berturut-turut dilaporkan sebagai berikut, yaitu : Bab I

adalah Pendahuluan yang dirinci kedalam empat subbab. Bab II menyajikan hasil

evaluasi yang dirinci kedalam lima subbab, dan kesimpulan disajikan dalam Bab

III, dan ditutup dengan daftar bacaan yang dirujuk dalam analisis dan evaluasi.

Page 5: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

5

BAB II

HASIL EVALUASI

Dalam upaya menelusuri masalah pembangunan daerah yang sesuai

dengan tugas dan fungsi Tim EKPD 2009, maka kedudukan daerah dalam

kancah perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan politik nasional perlu

diketahui dan ditelaah, baik yang menyangkut dengan kebijakan dan kinerja

maupun kecenderungan yang telah terjadi pada beberapa tahun yang lalu,

sehingga dapat merupakan masukan untuk lebih memperjelas gambaran

permasalahan pembangunan daerah dalam proses pembangunan nasional,

pada masa kini dan terutama empat tahun pelaksanaan RPJM Nasional di Aceh.

Aceh adalah salah satu dari sepuluh propinsi di Sumatera, yang memiliki

ciri, kinerja, demografi, kondisi geografis dan struktur ekonominya yang tidak

jauh berbeda dengan perekonomian Sumatera secara keseluruhannya.

Walaupun demikian, kondisi konflik yang berkepanjangan sejak tiga dasawarsa

terakhir ditambah dengan krisis ekonomi 19

97 berlanjut menjadi krisis multi dimensi, bencana alam gempa bumi dan

tsunami yang sangat dahsyat (26 Desember 2004), telah mempengaruhi

berbagai kegiatan produktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan

keamanan masyarakat Aceh. Sehingga berdampak pada berbagai kegiatan

produktif masyarakat, yang berlangsung secara tersendat-sendat, jauh berada di

bawah titik optimal, terutama di sektor pertanian (sektor ini menyumbang sekitar

56 persen terhadap PDRB dan memberi pekerjaan kepada sekitar 60 persen

penduduk Aceh).

Page 6: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

6

Gambar I.1 Pertumbuhan PDRB per kapita pada Harga Konstan 2000, periode 2000 – 2008 (dalam %)

Grafik 1.2. Laju Pertumbuhan PDRB per kapita Tanpa Migas atas

Dasar Harga Konstan 2000 periode 2003-2008 ( % )

Page 7: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

7

Situasi dan kondisi Aceh seperti gambaran tersebut tercermin pada laju

pertumbuhan PDRB per kapita (tanpa migas), rata-rata hanya 1,57 persen per

tahun selama periode 1996-2006, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-

rata Sumatera (2,60 persen), dan rata-rata pertumbuhan PDB per kapita

nasional (2,49 persen). Dalam periode tersebut pertumbuhan ekonomi NAD

yang terendah terjadi pada tahun 1998 yaitu merosot -7,33 %, sebagai akibat

dari krisis moneter pada medio 1997 yang semakin meluas menjadi krisis

ekonomi dan multidimensi. Sedangkan dalam tahun yang sama kemerosotan

perekonomian regional Sumatera (-11,8 %), Jawa (-21,12 %), dan Nasional (-

16,83 %) jauh lebih drastis. Sebaliknya dalam periode yang sama laju

pertumbuhan tertinggi ekonomi NAD (6,62 %) terlihat pada tahun 2006, relatif

lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi regional Sumatera

(4,74%), Jawa (4,59%), dan Nasional (4,73 %). Secara lebih rinci dapat diikuti

tren grafik pada Gambar I.1.

Fluktuasi perkembangan pendapatan per kapita tersebut dampaknya

terlihat pada kualitas kehidupan masyarakat yang kurang berkembang yang

indikasinya dapat disaksikan, antara lain pada :tingkat pengangguran yang

cenderung meningkat, porsi penduduk miskin tendensi membengkak yaitu

sebelum gempa bumi dan tsunami (26 Desember 2004) Aceh merupakan

propinsi keempat termiskin (40 %), dan sesudah tsunami kondisi semakin

memburuk, sehingga Aceh menempati posisi kedua termiskin (48 %) di

Indonesia. Di samping itu juga terlihat tingkat urbanisasi yang tak terbendung,

sehingga sektor informal perkotaan semakin lebih padat.

Pemerintah daerah perkotaan mengalami kesukaran dan

keterbatasannya dalam penyediaan berbagai fasilitas publik kepada

penduduknya, Prasarana dan sarana sosial, ekonomi tak terurus sebagai mana

semestinya, seperti : fasilitas pendidikan, kesehatan, air minum, pembuangan

sampah, kesehatan lingkungan, serta berbagai fasilitas publik lainnya yang

berkaitan dengan prasarana transportasi tak terurus dan kurang terlengkapi.

Page 8: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

8

Dewasa ini, lebih dari 70% penduduk Aceh bertempat tinggal di wilayah

pedesaan dan lebih dari 60% hidup di sektor pertanian, dalam jabatannya

sebagai petani, peternak, nelayan, dan perambah yang mengolah sumber daya

lahan dalam berbagai kondisi dan cuaca, sejak dari sawah, ladang, tegalan

lembah dan ngarai, hutan dan belukar sampai ke lautan lepas di arungi oleh

mereka itu. Dalam kondisi yang sedemikian rupa, membangun masyarakat desa

yang berbasis pertanian berarti membangun sebagian besar penduduk Aceh

yang berada di wilayah pedesaan.

Khususnya di subsektor pertanian perkebunan, Aceh memiliki potensi

beberapa komoditas agribisnis, seperti: karet, kopi, kakao, kelapa sawit yang

tersebar di berbagai kabupaten. Namun demikian pengembangan beberapa

komoditas ini belum terkoordinasi dengan baik. Selain itu, kebijakan

pembangunan sektor pertanian sering tidak sinergis dengan pembangunan di

sektor nonpertanian. Hal ini bermakna keterkaitan antarsektor, dan antarlembaga

pelaku pembangunan masih sangat lemah (kurang konsisten / tidak terintegrasi

secara lebih sempurna.

Apabila ditinjau lebih jauh sumbangan masing-masing subsektor

pertanian dalam komposisi NTB sektor pertanian (Gambar I.2) menunjukkan

bahwa subsektor tanaman pangan memberi kontribusi terbesar, dan selanjutnya

diikuti oleh subsektor perkebunan. Khusus untuk subsektor perkebunan ini,

tahun 2004 mengalami penurunan yang sangat drastis (57,8%) dibanding tahun

2003. Menurut informasi yang diperoleh hal ini terutama disebabkan kondisi

keamanan yang tidak mendukung, sehingga banyak usaha produksi perkebunan

mengalami hambatan yang menyebabkan kebun terlantar, baik di perkebunan

rakyat maupun di perkebunan besar.

Sementara itu, sebelum terjadi bencana tsunami perekonomian Provinsi

NAD didominasi oleh sektor pertanianigas, dan industri pengolahan. Struktur

sektor pertanian terhadap PDRB tahun 2003 mencapai lebih dari 28%, sektor

migas dan industri pengolahan masing-masing mencapai hampir 20%.

Page 9: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

9

Terhentinya aktivitas kegiatan ekonomi tersebut membawa dampak pada

meningkatnya jumlah pengangguran. Diperkirakan antara 600 ribu - 800 ribu

orang (sekitar 25% dari total kesempatan kerja yang ada) kehilangan pekerjaan.

Sehubungan dengan hal tersebut, pembangunan di sektor pertanian ke

depan perlu dilakukan secara terpadu dan seimbang dengan pembangunan di

sektor nonpertanian (pembangunan pertanian yang ditunjang dengan

pembangunan agroindustri dan perdagangan). Salah satu prasyarat supaya hal

tersebut dapat diwujudkan adalah tersedianya data dan informasi secara

lengkap, tepat waktu, akurat dan mutakhir tentang kondisi nyata daerah,

khususnya yang berhubungan dengan bidang pertanian. Untuk itu, perlu

dilakukan pemantauan dan evaluasi kinerja pembangunan di bidang pertanian

sehingga dapat mengukur tingkat keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran

pembangunan pertanian.

Kondisi kemiskinan di Provinsi NAD sangat memprihatinkan karena

tingkat kemiskinannya relatif tinggi pada tahun 2005 hampir mencapai 50 persen

(World Bank : 2005). Sebelum krisis, kondisi ekonomi dan kemiskinan di Provinsi

NAD relatif lebih baik ditandai oleh tingkat kemiskinan relatif kecil sekitar 20

persen, namun akibat krisis multidimensi (ekonomi, sosial, dan politik) yang

terjadi di Indonesia, tentunya secara langsung berefek kepada Aceh,

menyebabkan kondisi ekonomi dan tingkat kemiskinan kembali mengalami

kondisi yang memprihatinkan. Hal ini terjadi ditunjukkan oleh penduduk yang

awalnya berada pada pendapatan menengah kembali ke posisi berpendapatan

rendah dan tingkat kemiskinan mau tidak mau kembali meningkat. Namun

setelah krisis tahun 1998 tersebut sejak tahun 2000 Aceh bangkit kembali

karena tingkat kemiskinan kembali menurun karena pendapatan masyarakat

kembali meningkat. Kondisi tersebut tidak lama bertahan, karena pada 26

Desember tahun 2004 Aceh mengalami musibah yang cukup berat yaitu gempa

dan tsunami, yang melumpuhkan ekonomi dan menghancur potensi ekonomi

dan seluruh aspek lainnya. Keadaan tersebut membuat penduduk NAD baik

yang langsung maupun tidak langsung terkena musibah tersebut kehilangan

Page 10: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

10

pekerjaan dan pendapatan mereka akibatnya penduduk miskin kembali

meningkat.

Peningkatan angka kemiskinan yang terus memprihatinkan tersebut juga

semakin terpuruk diakibatkan oleh tingkat inflasi Aceh yang relatif besar bahkan

melebihi tingkat inflasi Indonesia secara keseluruhan, seperti yang terjadi pada

bulan Desember 2005 inflasi di NAD sebesar 41,5 persen sedangkan inflasi

Indonesia hanya sebesar 17,1 persen (World Bank, Aceh Economic Update :

April 2007). Tingkat kemiskinan tersebut semakin membesar yaitu mencapai 48

persen pada tahun 2005 dan menduduki urutan kedua termiskin setelah Provinsi

Papua pada, padahal pada tahun 2004 tingkat kemiskinan di Provinsi NAD

perkotaan dan perdesaan hanya sebesar 28,37 persen dan berada di urutan ke

empat setelah Provinsi Papua, Maluku, dan Gorontalo, sedangkan rata-rata

Indonesia hanya sebesar 16,65 persen. Tingkat kemiskinan tahun 2004 tersebut

lebih besar terjadi di perdesaan yaitu sebesar 32,57 persen dari seluruh

penduduk di perdesaan sedangkan di perkotaan hanya sebesar 17,49 persen

dari jumlah penduduk di perkotaan (BPS:2005).

Tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh tetap tinggi hingga tahun 2006

disebabkan oleh kebijakan nasional akibat larangan impor beras yang

menyebabkan naiknya harga beras hingga 33 persen. Kondisi tersebut ditambah

lagi dengan dampak kenaikan BBM, meskipun diimbangi oleh Program

Langsung Tunai (SLT), namun hal tersebut tidak banyak membantu karena

program SLT tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Diperkirakan tingkat

kemiskinan dapat diturunkan pada tahun 2007, namun penurunannya relatif kecil

karena sangat tergantung kepada perubahan harga-harga kebutuhan pokok

terutama beras dan beberapa komoditi lain, kecuali apabila pertumbuhan

ekonomi dapat meningkat secara berarti.

Aspek ketenagakerjaan sangat erat kaitannya dengan aspek kemiskinan,

hal tersebut berhubungan dengan potensi tidaknya penduduk dalam

keberhasilan menciptakan nilai kerja yang pada gilirannya dapat menghasilkan

Page 11: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

11

produksi dan pendapatan. Ketenagakerjaan memperlihatkan kemungkinan

terciptanya kesempatan kerja dan adanya pengangguran yang terjadi. Jumlah

penduduk terdiri atas Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja, di mana

angkatan kerja merupakan penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang siap

masuk ke pasar kerja untuk menciptakan produksi dan menghasilkan

pendapatan. Jumlah angkatan kerja yang besar merupakan potensi sumber daya

manusia yang besar pula bagi usaha menciptakan pertumbuhan ekonomi dan

pembangunan secara menyeluruh. Jika angkatan kerja tersebut dapat

digunakan sebagaimana mestinya, dengan kata lain banyak angkatan kerja yang

produktif dalam menghasilkan produksi dan pendapatan, maka ekonomi akan

tumbuh dan pembangunan akan berjalan dengan baik. Angkatan kerja yang

bekerja atau penyerapan tenaga kerja relatif sedikit, hanya akan memperbesar

tingkat pengangguran yang pada gilirannya akan memperbesar ketergantungan

penduduk tidak produktif terhadap tenaga kerja produktif dan bahkan akan

memperburuk tingkat kemiskinan.

Aspek ketenagakerjaan cukup penting tidak hanya untuk mencapai

keberhasilan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga

dan kesejahteraan seluruh masyarakat dan perekonomian. Dalam suatu

perekonomian, sebagian dari masyarakat, umumnya yang telah memasuki usia

kerja, diharapkan memasuki lapangan pekerjaan tertentu dan aktif dalam

berbagai kegiatan ekonomi. Usia kerja yang dipakai dalam menentukan

angkatan kerja adalah umur 15 tahun ke atas. Berdasarkan sensus penduduk

Aceh Nias tahun 2005 dari jumlah penduduk Provinsi Aceh sebanyak 3.970.853

jiwa, jumlah penduduk usia 15 tahun atau termasuk angkatan kerja di seluruh

kabupaten/kota sebanyak 2.677.900 jiwa atau Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(TPAK) yaitu proporsi penduduk usia kerja mencapai 67,44 persen. TPAK

Provinsi Aceh tersebut tidak jauh berbeda dengan TPAK sebesar 66,8 persen.

Lebih jelas gambaran TPAK daerah kabupaten/kota di Provinsi NAD hasil

sensus penduduk Aceh Nias tahun 2007 menunjukkan bahwa TPAK yang

tertinggi adalah di Daerah Aceh Barat, Pidie, Aceh Jaya, Banda Aceh, Aceh

Page 12: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

12

Besar, dan Sabang, mencapai di atas 70 persen melebihi TPAK nasional sekitar

66,8 persen. Gambaran TPAK tersebut menunjukkan jumlah penawaran tenaga

kerja relatif tinggi, namun tidak selalu diikuti dengan peningkatan yang berarti

dalam permintaan tenaga kerja atau kesempatan kerja yang memadai.

Kemungkinan hal ini akan menimbulkan keterbatasan bagi tenaga kerja untuk

mendapatkan pekerjaan baik lowongan pekerjaan yang diciptakan oleh pelaku

ekonomi, maupun pekerjaan dengan mempersiapkan usaha secara mandiri.

Jumlah angkatan kerja yang cukup besar tersebut banyak menimbulkan

permasalahan, karena tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut pada

umumnya relatif rendah terutama di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan.

Tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut umumnya berpendidikan SMP dan

SD ke bawah, sehingga kemungkinan besar mereka hanya dapat memasuki

lowongan pekerjaan antara lain sebagai buruh atau kuli, apakah sebagai buruh

di sektor pertanian, ataupun industri dan sektor-sektor lain yaitu sektor

perdagangan dan konstruksi. Hal ini ditunjukkan oleh kesempatan kerja pada

saat ini banyak tenaga kerja yang bekerja hanya sebagai buruh.

Tingkat pengangguran di Aceh meningkat dari 6 persen pada tahun 2000

menjadi 12 persen pada 2005 dan tahun 2006. Meningkatnya jumlah

pengangguran tersebut terjadi sebagai akibat pergeseran dalam struktur

kesempatan kerja/usaha dari sektor pertanian ke sektor lainnya, khususnya

sektor jasa yang diakibatkan oleh kebutuhan tenaga kerja dalam usaha

rehabilitasi dan konstruksi di Propinsi NAD akibat gempa dan tsunami. Kondisi

tersebut disebabkan juga oleh peningkatan tenaga kerja sejak tsunami hanya

meningkat sebesar 5 persen. Rendahnya kesempatan kerja tersebut terjadi juga

disebabkan oleh penawaran tenaga kerja yang terus meningkat tidak diimbangi

oleh permintaan tenaga kerja atau terbukanya kesempatan kerja baru setiap

tahunnya.

Tingkat pengangguran di Provinsi NAD mengalami peningkatan dari

sekitar 6 persen pada tahun 2000 menjadi 12 persen pada tahun 2006 (World

Bank, 2007).

Page 13: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

13

Berdasarkan lapangan usaha dan status pekerjaan, sumbangan sektor

pertanian di Provinsi NAD masih dominan terhadap penyerapan tenaga kerja

dan sumbangan yang relatif tinggi sumbangan nilai tambahnya terhadap PDRB.

Proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian selama tahun 2003 hingga

tahun 2006 masih tinggi, yaitu di atas 50 persen. Angka tersebut meski terus

menurun, tetapi masih tinggi, diikuti dengan peningkatan proporsi penduduk

yang bekerja di sektor jasa. Sektor jasa mengalami peningkatan sebesar 18

persen pada tahun 2006 dari tahun 2005, namun sektor perdagangan

mengalami penurunan sebesar 3 persen pada tahun 2006 dari tahun 2005.

Sektor lain yang mengalami peningkatan adalah konstruksi dari tahun 2003

sebanyak 48076 orang menjadi 74402 orang pada tahun 2006, di mana

komposisinya pada tahun 2006 meningkat menjadi 5 persen dari 3 persen pada

tahun 2003. Kenaikan komposisi tersebut ditunjukkan oleh peningkatan jumlah

tenaga kerja sebesar 28 persen pada tahun 2006 dari tahun 2005. Kenaikan

tersebut terjadi karena di Provinsi Aceh sedang dilakukan rekonstruksi dan

rehabilitasi akibat gempa dan tsunami, sehingga dikhawatirkan komposisi

tersebut akan menurun kembali setelah proses rekonstruksi dan rehabilitasi

selesai. Jumlah tenaga kerja di sektor lain mengalami penurunan seperti sektor

transportasi dan sektor keuangan yang menurun cukup besar. Lebih jelas

penyerapan tenaga kerja berdasarkan sektor lapangan usaha tahun 2003-2007.

Penyerapan tenaga kerja yang sektor pertanian pada tahun 2006 sebesar

56 persen dari seluruh tenaga kerja, namun angka tersebut menurun

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu tahun 2003 mencapai 62 persen

dan tahun 2005 sebesar 60 persen. Penyerapan tenaga kerja yang cukup besar

lebih dari separuh tenaga kerja Aceh tidak diiringi oleh membaiknya tingkat

produksi di sektor pertanian, artinya tingkat produktivitas sektor pertanian tetap

saja rendah. Penyerapan tenaga kerja di sektor yaitu sektor jasa mencapai 15

persen pada tahun 2006 meningkat 12 persen dari tahun 2005 dan konstruksi

sebesar 5 persen pada tahun 2006 meningkat dari 4 persen pada tahun 2005.

Proporsi penyerapan tenaga di sektor lain relatif kecil yaitu manufaktur,

Page 14: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

14

transportasi, pertambangan, listrik, gas dan air, dan keuangan hanya di bawah 3

persen dan pada umumnya tidak banyak mengalami perkembangan. (World

Bank : 2007). Gambaran kondisi tersebut di atas menunjukkan keterbatasan

kesempatan kerja di sektor nonpertanian, terutama sektor industri atau

manufaktur yang menjadi tumpuan terbukanya kesempatan kerja di perkotaan.

Harapan lain adalah terjadinya transformasi pertanian ke sektor industri yang

akan mendorong peningkatan sektor pertanian itu sendiri sehingga dapat

meningkatkan pendapatan bahkan kesejahteraan penduduk di sektor pertanian

atau pedesaan.

Pengembangan UKM seyogianya menjadi salah satu sasaran penting

bagi suatu program pembangunan. Hal ini didasari oleh beberapa argumen,

yang pertama menyangkut dengan penyerapan tenaga kerja. Teknik produksi

pada UKM pada umumnya bersifat padat tenaga kerja, sehingga pengembangan

usaha UKM dapat mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja serta

mengurangi pengangguran. Kedua, pengembangan UKM melalui

pengembangan usaha dapat meningkatkan penerimaan dalam negara dan

pemerintah daerah dalam bentuk penerimaan pajak maupun nonpajak. Ketiga,

karena biaya/permodalan bagi pendirian UKM relatif rendah, maka

pengembangan UKM dapat mendorong partisipasi yang lebih luas dalam

berusaha. Keempat, pengembangan UKM, yang menghasilkan produk yang

mempunyai pasar internasional dapat meningkatkan pemasukan devisa

nasional. Kelima, pengembangan UKM dapat pula berkontribusi bagi

pengurangan kemiskinan.

Seiring dengan perkembangan waktu terdapat sejumlah faktor yang dapat

memberikan dampak terhadap perkembangan UKM di Aceh; baik dampak positif

maupun negatif. Salah satu faktor penting yang memberikan dampak bagi

perkembangan UKM di Aceh adalah kebijakan pemerintah daerah. Pembahasan

ini akan terfokus pada kajian Kebijakan Pemerintah Daerah Aceh yang

menyangkut pengembangan UKM.

Page 15: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

15

Berbagai kegiatan produktif yang dilakukan oleh masyarakat, swasta, dan

pemerintah, baik di sektor pertanian ataupun nonpertanian, tidaklah berdiri

sendiri tetapi terjalin hubungan keterkaitan antarsektor dan antardaerah,

sehingga terjadi arus barang dan jasa, baik sebagai input maupun output dalam

proses produksi dan distribusi antarwilayah. Kelancaran arus barang dan jasa ini

sangat tergantung pada ketersediaan prasarana dan sarana transportasi darat,

laut dan udara yang memadai untuk mendukung proses produksi dan

pemasaran domestik dan luar negeri (impor dan ekspor) Berbagai masalah

dalam bidang prasarana dan saran akan diungkapkan dalam bagian isu-isu

strategis.

Masalah institusi bersama dengan kualitas sumber daya manusia (SDM)

yang mendukungnya, terutama di sektor publik masih belum mampu

memberikan pelayanannya pada berbagai kegiatan-kegiatan pemerintahan dan

pembangunan yang efektif dan efisien untuk menggapai tujuan pembangunan

yang merupakan harapan dari seluruh stakeholders.

Aceh memperoleh arus dana masuk capital inflow yang relatif besar

terutama dalam tiga tahun terakhir, namun arah investasi masih belum mampu

memasuki radius sasaran yang dikehendaki sebagai solusi untuk memecahkan

sederetan masalah, yang antara lain terungkap dalam kajian ini (terutama

berkenaan dengan penurunan pengangguran, kemiskinan, peningkatan UKM,

pelayanan pendidikan dan kesehatan, penyediaan prasarana yang memadai). Di

lain pihak penggunaan pengeluaran publik, tingkat efektivitas dan tingkat

efisiensinya masih relatif lebih rendah.

Masalah-masalah tersebut merupakan beberapa isu penting yang perlu

dikaji dan dibahas sehingga dapat memberikan beberapa solusi bagi para

pengambil keputusan, tidak hanya untuk meningkatkan upaya pembangunan di

daerah ini, tetapi juga untuk dapat memberikan solusi terhadap masalah-

masalah dan isu-isu penting di daerah ini, baik untuk masa kini maupun pada

masa-masa mendatang.

Page 16: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

16

2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI 2.1.1. Capaian indikator

Sebagaimana diketahui dimasa lalu Pemerintah Nanggroe Aceh

Darussalam (Pemerintah Aceh) telah mengalami berbagai persoalan yang

sangat berat. Konflik bersenjata berkepanjangan diiringi dengan kasus korupsi,

lemahnya kapasitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), tidak efisiensinya

pelayanan publik serta aturan hukum yang tidak jelas dan timpang tindih

hubungan pemerintahan baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun

hubungan pemerintahan antara daerah tingkat provinsi dengan daerah

kabupaten/kota.

Di lain sisi, reformasi birokrasi baik pada Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan

kepemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokraksi pada tataran

Pemerintah Daerah diarahkan untuk melakukan koreksi dan penyempurnaan

terhadap segala kekurangan yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan

desentralisasi sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan fungsi utama birokrasi

yaitu pelayanan publik yang secara langsung bersentuhan dengan pemenuhan

kebutuhan masyarakat.

Selanjutnya pasca konflik yang berkepanjangan di Aceh, ternyata tidak

hanya menyisakan angka-angka korban dari tindak kekerasan, namun juga

statistik penyimpangan dana publik yang jumlahnya mencapai ratusan juta

rupiah. Angka-angka ini hanyalah sebagian dari kondisi yang terbaca di balik

realitas konflik Aceh, belum lagi fakta-fakta yang tersembunyi di belakang meja

birokrasi Aceh. Jadi alangkah wajar, jika tersirat pandangan dari khalayak

pengamat dan aktivis pro demokrasi bahwa konflik Aceh (pada saat itu) sulit

diselesaikan akibat dua faktor utama, yaitu pertama, kebijakan pemerintah pusat

(RI) yang lebih mengedepankan tindakan kekerasan, dan kedua, prilaku

pemerintah dan komponen swasta di Aceh serta kerap melakukan KKN. Oleh

Page 17: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

17

karena itu ada beberapa mekanisme yang dapat dikaji dalam membahas tentang

keadilan dan demokrasi melalui penguatan dan proses yang dapat dilalui.

Secara sederhana, demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem

politik yang berupaya untuk menghantarkan keputusan-keputusan politik secara

partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui

persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat.

Dalam konteks tersebut yang didukung pula oleh banyak literatur ilmu politik

disepakti bahwa kualitas demokrasi juga amat ditentukan oleh berkualitas atau

tidaknya proses rekruitmen para kepala daerah dan wakil kepala daerah yang

memperoleh mandat untuk memimpin pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi

di tingkat lokal akan mendapatkan kekuatannya apabila seleksi para kepala

daerah dan wakil kepala daerah berjalan dengan (kompetisi yang) adil.

Di lain pihak adanya perjanjian damai Pemerintah Republik Indonesia (RI)

dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005, di Helsinki,

Finlandia, telah memutuskan beberapa mandat yang harus dilaksanakan oleh

kedua belah pihak. Beberapa mandat tersebut diantaranya: decomissioning dan

demobilisasi, rehabilitasi-integrasi, pembuatan Undang-Undang Pemerintahan

Aceh (UU-PA) yang akan menjadi hukum baru bagi penyelesaian Aceh secara

komprehensif dan berkelanjutan, tanpa melupakan penegakan dalam bidang

hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk amanat yang paling utama yaitu

pembentukan Undang-undang yang khusus mengatur tentang Aceh atau

kemudian disebut dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.

2.1.1.1. Kondisi Pelayanan Publik di Beberapa Daerah di Aceh Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2008

tentang Pelayanan Publik, telah memberikan dampak positif atas pelaksanaan

dan pelayanan kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang

baik sesuai dengan good governance dan clean Goverment. Pelayanan publik

menjadi tugas semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat ikut

menciptakan proses kearah pelayanan publik yang baik dan dalam bentuk

Page 18: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

18

kesinambungan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ketua tim penilai kinerja

pelayanan publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Bambang

Anom, menyatakan pelayanan publik bukan hanya tergantung pada figur

pimpinan seperti bupati dan walikota di daerah. "Pelayanan publik itu dilakukan

berdasarkan sistem yang terus menerus berkesinambungan. Jadi, bukan hanya

pada figur publik," katanya, sore ini. Jika tolok ukur pada figur pimpinan maka

kebijakan pelayanan publik tersebut akan berganti saat masa jabatan gubernur,

bupati dan walikota berakhir. "Kalau itu terjadi maka berdampak pada

terganggunya kebijakan peningkatan pelayanan publik karena pimpinan daerah

berganti," ujarnya. Oleh karena itu, dikatakan, pemerintah menerbitkan Undang

Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik yang mengatur masalah

tersebut. "UU ini mengatur hubungan dan kepastian hukum antara

penyelenggara dan masyarakat pengguna layanan serta memperkuat dan

memberi perlindungan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan

publik," jelasnya. Menurutnya, UU tersebut akan memberikan sanksi tegas bagi

pimpinan penyelenggara atau aparatur pemerintahan yang lalai dalam melayani

masyarakat.

Dipihak lain, dinilai Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah telah berhasil

meningkatkan pelayanan publik sesuai nilai-nilai yang ditentukan. "Sebagai

bentuk penghargaan maka Pemerintah pusat akan memberikan Piala Citra Bakti

Abdi Negara yang akan diserahkan langsung Presiden RI, Susilo Bambang

Yudhoyono di istana negara," katanya. Penilaian pelayanan publik bukan

semata-mata untuk memperoleh piala tersebut, tapi akan menjadi rangsangan

dalam upaya meningkatkan kesadaran aparatur pemerintahan untuk

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin

mengatakan, pihaknya terus berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi

masyarakat dengan motto "kalau bisa dipercepat, mengapa harus

diperlambat". Oleh karena itu pemerintah kabupaten telah memberi

pendelegasian kewenangan kepada para camat guna melayani masyarakat,

khususnya di daerah terpencil. Hal ini membuktikan bahwa pelayanan publik

Page 19: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

19

sudah mulai menjadi perhatian dari setiap daerah, bahkan daerah yang selama

ini kurang perhatiannnya sekarang telah berubah kearah yang lebih baik.

Selanjutnya berkenaan dengan sistem pelayanan terpadu Pemerintah Aceh

melalui Gubenur Aceh yang diwakili Asisten I Bidang Pemerintahan Drs Martin

Deski MM telah membuka simposium dan peluncuran buku panduan pelayanan

perizinan terpadu. Kegiatan tersebut berlangsung di gedung Serbaguna

Bappeda Sabang, diselenggarakan pihak Logica bekerjasama dengan Badan

Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Provinsi Aceh, yang diikuti 71 peserta dari

23 kabupeten/kota.

Gubenur dalam sambutannya yang disampaikan Asisten I Bidang Pemerintahan

Martin Deski mengatakan, pelayanan terpadu satu pintu yang sudah dibentuk,

ada yang menghadapi hambatan dan tantangan, pemahaman terhadap pola

pelayanan terpadu masih banyak yang keliru. Karenanya diharapkan dukungan

semua pihak untuk membantu sepenuhnya proses pelaksanaan pelayanan

publik pada pelayanan terpadu satu pintu di setiap kabupaten/kota.

Terbentuknya pelayanan terpadu di Aceh merupakan respons terhadap instruksi

Presiden dalam mendorong perbaikan iklim usaha penyederhanaan birokrasi di

bidang perizinan. Pemerintah Aceh sudah mengimplementasikan pelayanan

perizinan terpadu sesuai amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)

Nomor 24 Tahun 2006 tentang pelayanan terpadu satu pintu, di mana pelayanan

yang diberikan lebih transparan dan mudah diakses.

Menurut Gubernur pelayanan publik harus mendapat prioritas utama karena

merupakan tugas dan fungsi yang melekat pada setiap aparatur. Oleh karena itu,

upaya perbaikan sistem pelayanan publik harus dilakukan secara terus menerus,

berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Salah satu bentuk

perubahan dalam pelayanan publik adalah melalui pelaksanaan pelayanan

perizinan terpadu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Page 20: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

20

Dalam kaitan itu, perlu untuk mengeluarkan suatu panduan mendirikan dan

mengembangkan lembaga pelayanan perizinan terpadu. Dalam kesempatan itu

diluncurkan buku yang berisi tentang pemahaman umum penyelenggaraan

pelayanan perizinan terpadu, langkah-langkah pembentukan penyelenggaraan,

dan hal-hal yang dapat dilakukan dalam mengembangkannya. Buku tersebut

dapat menjadi panduan bagi kabupaten/kota dalam Provinsi Aceh sehingga

menjadi suatu pedoman dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan

sebagai inovasi pelayanan, dengan harapan agar masyarakat merasa puas

terhadap pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah daerah, ujarnya

2.1.1.2. Penanganan Kasus Korupsi di Aceh

Berdasarkan data dan penelitian, sampai tahun 2009 ada sejumlah kasus tindak

pidana korupsi yang telah dilaporkan dan ditangani. Dan ada beberapa kasus

yang telah diproses dibebaskan oleh lembaga peradilan di Aceh, kondisi ini

menunjukkan pola penanganan kasus korupsi khususnya atas peradilan yang

ditangani majelis hakim dan jaksa penuntut umum tergolong dalam bagian paling

buruk rapornya, mengingat kasus korupsi merupakan salah satu indikator dalam

pelaksanaan pemerintahan menunju ke good Governance dan Clean Goverment

yang dicanangkan oleh Presiden SBY dalam program kerjanya. Di samping itu

masih banyak lagi kasus-kasus yang belum memperoleh kekuatan hukum yang

tetap dan bahkan belum tersentuh penanganan hukum.

Seharusnya upaya pemberantasan korupsi dapat berkaca atas keinginan dan

capaian visi dan misi pemerintah SBY di atas serta upaya reformasi birokrasi

peradilan dan lingkungan Mahkamah Agung, jika ditelaah lebih jauh di Aceh

hingga saat ini belum mampu diwujudkan lembaga peradilan, perwujudan tata

kelola peradilan yang bersih dan terhindar dari upaya intrik dan permainan

menjadi agenda penting yang harus segera dirubah. Jika hal ini belum mampu

dilakukan maka dipastikan evaluasi yang dilakukan oleh tim Kejagung hanya

merupakan agenda rutin dan tidak menghasilkan masukan apa-apa.

Page 21: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

21

Selain itu, selama ini berdasarkan telaah penanganan kasus dan implimentasi

penuntasan kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh pihak Kejati

maupun Kejari, tercatat dalam penanganan kasus korupsi sangat kental upaya

kejar target yang dibebankan Kejagung. Hal ini dibuktikan dengan penanganan

lebih dititik beratkan pada kasus-kasus kecil saja, seharusnya yang menjadi

prioritas adalah kasus-kasus yang besar yang menjadi tugas utama pihak

kejaksaan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi di Aceh.

Sudah saatnya pihak kejaksaan di Aceh, majelis hakim serta para jaksa yang

bertugas di wilayah hukum peradilan Aceh melakukan upaya pembenahan

internal dengan menunjukkan sikap profesionalitas aparat kejaksaan dalam

menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi.

Karena, jika sikap profesionalitas pihak kejaksaan tidak ditonjolkan dan menjadi

titik fokus utama agenda perubahan secara manajerial dan struktur, maka ini

akan menambah preseden buruk bagi penegakan hukum di Aceh khususnya

dalam menangani kasus tindak pidana korupsi, katanya. Sebagai contoh ada

beberpa kasus korupsi yang belum memperoleh kekuatan hukum dan

penanganan di Aceh sampai saat ini, bahkan banayak kasus yang tidak

tersentuh hukum lagi (lihat Lampiran) :

Selanjutnya indikasi meningkatnya kasus korupsi di Aceh ditandai dengan

banyaknya proyek yang tidak sesuai harapan dan cenderung asal asalan. Pasca

tsunami dan penandatanganan MoU Helsinki, banyak proyek rehabilitasi dan

pembangunan infrastruktur di Aceh, sehingga sangat mungkin terjadi

penyelewengan atau korupsi. Bahkan pasca Pemilihan Kepala Deerah (Pilkada)

di Aceh, para Bupati terpilih banyak yang menyelewengkan APBD untuk

kepentingan pribadi atau kelompoknya, termasuk uang reintegrasi yang

seharusnya diterima mantan anggota GAM juga dikorupsi. Saat ini Polisi NAD

sedang menyidik 14 kasus dugaan korupsi yang terjadi di Aceh sepanjang tahun

2007. Empat di antaranya kasus dugaan korupsi yang terjadi pada Badan

Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Kapolda Aceh Irjen Rismawan

Page 22: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

22

menyebutkan, 14 kasus tersebut kini sudah masuk dalam tahap penyidikan dan

masih menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan

Pembangunan(BPKP).

Kapolda menegaskan, polisi tidak main-main dalam menangani tindak pindana

korupsi yang terjadi di Aceh. Agar data yang diperoleh polisi lebih akurat, Polda

meminta bantuan BPKP untuk mengaudit proyek-proyek yang terindikasi korupsi,

agar segera diketahui berapa kerugian yang disebabkannya. Pihaknya meminta

seluruh jajaran Polres yang menangani kasus dugaan korupsi ini agar

mengusutnya hingga tuntas, sehingga upaya-upaya yang merugikan negara bisa

dihilangkan.

Di lain pihak ada 14 kasus yang sedang ditangani polisi itu, di antaranya, proyek

pembangunan irigasi pada supervisi jaringan sub di Arakundo, Lap-136 sub

Jambo pada paket LA-9 dengan indikasi korupsi sebesar Rp1,1 miliar lebih. Lalu,

kasus pembangunan pengamanan pantai di Pidie, Lhokseumawe, dan Aceh

Utara dengan nilai indikasi korupsi Rp270,7 juta lebih. Ada juga kasus dugaan

korupsi rehabilitasi Krueng Neg, Krueng Doy, dan Krueng Titi Panjang sebesar

Rp200,6 juta lebih. Selain itu, dugaan tindakan korupsi proyek jaringan irigasi di

tujuh wilayah di kabupaten/kota di Aceh, sebesar Rp2,7 miliar lebih. Kasus lain

yaitu SID Drainase Induk Kota Banda Aceh sebesar Rp329,8 juta dan kasus SID

Kanal Banjir Kota Banda Aceh senilai Rp281 juta. Di Aceh Barat, kasus korupsi

SID Drainase Induk Kota Meulaboh sebesar Rp218 juta lebih. Di Kabupaten

Pidie yakni SID Sungai dan Muara Panteraja sebesar Rp134 juta dan kasus

jaringan irigasi di Krueng Aceh kanan di Kabupaten Aceh Besar senilai Rp855,5

juta. Polisi, BPKP dan aparat yang berwenang di NAD sebaiknya menuntaskan

kasus korupsi yang semakin meningkat di Aceh. Korupsi uang reintegrasi juga

harus diusut tuntas, kemana uang yang seharusnya di terima mantan anggota

GAM itu.

Page 23: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

23

Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menurunkan tim ke Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD), untuk melakukan evaluasi terhadap banyaknya vonis bebas

pengadilan terhadap para terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi yang

merugikan negara mencapai belasan miliar. Tim melakukan penelitian dan

pengumpulan data terkait berbagai perkara korupsi yang disidangkan di

pengadilan Aceh. Penelitian yang dipusatkan di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati)

Aceh di Jalan Tgk Moh. Daud Beureueh tersebut diikuti sejumlah kalangan,

terdiri dari jaksa Kejati dan Kejari, dosen/akademisi, hakim, dan penasihat

hukum. Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan data tentang putusan bebas

perkara pidana, faktor-faktor penyebab terjadinya putusan bebas dan bagaimana

jaksa menyikapi adanya putusan bebas dan bagaimana upaya meningkatkan

kualitas penuntut umum dalam penanganan perkara,

Selanjutnya koordinator Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh

mengatakan, evaluasi Tim Kejagung patut diberikan apresiasi, karena

berdasarkan monitoring khusus tentang peradilan hingga saat ini tercatat wilayah

hukum Aceh paling banyak membebaskan terdakwa korupsi.

Berdasarkan investigasi, tercatat periode tahun 2007-2009 ada delapan kasus

tindak pidana korupsi yang dibebaskan oleh lembaga peradilan di Aceh, kondisi

ini menunjukkan pola penanganan kasus korupsi khususnya atas peradilan yang

ditangani majelis hakim dan jaksa penuntut umum tergolong dalam bagian paling

buruk rapornya,

Seharusnya, kita dapat berkaca atas keinginan dan capaian visi dan misi

pemerintah serta upaya reformasi birokrasi peradilan dan lingkungan Mahkamah

Agung, jika ditelaah lebih jauh di Aceh hingga saat ini belum mampu diwujudkan

lembaga peradilan, perwujudan tata kelola peradilan yang bersih dan terhindar

dari upaya intrik dan permainan menjadi agenda penting yang harus segera

dirubah. Jika hal ini belum mampu dilakukan maka dipastikan evaluasi yang

dilakukan oleh tim Kejagung hanya merupakan agenda rutin dan tidak

menghasilkan masukan apa-apa.

Page 24: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

24

Selain itu, ujarnya, selama ini berdasarkan telaah penanganan kasus dan

implimentasi penuntasan kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh

pihak Kejati maupun Kejari, tercatat dalam penanganan kasus korupsi sangat

kental upaya kejar target yang dibebankan Kejagung. Hal ini dibuktikan dengan

penanganan lebih dititik beratkan pada kasus-kasus kecil saja, seharusnya yang

menjadi prioritas adalah kasus-kasus yang besar yang menjadi tugas utama

pihak kejaksaan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi di Aceh. Sudah

saatnya pihak kejaksaan di Aceh, majelis hakim serta para jaksa yang bertugas

di wilayah hukum peradilan Aceh melakukan upaya pembenahan internal

dengan menunjukkan sikap profesionalitas aparat kejaksaan dalam menangani

kasus-kasus tindak pidana korupsi.

Karena, jika sikap profesionalitas pihak kejaksaan tidak ditonjolkan dan menjadi

titik fokus utama agenda perubahan secara manajerial dan struktur, maka ini

akan menambah preseden buruk bagi penegakan hukum di Aceh khususnya

dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.

Bahkan kalangan anggota DPRA menilai kinerja aparat penegak hukum di Aceh

masih berjalan lamban sehingga memunculkan berbagai sorotan, termasuk dari

LSM antikorupsi. “Mengacu pada kasus-kasus yang disorot LSM GeRAK dan

MaTA, mengindikasikan masih lambannya kinerja aparat penegak hukum di

daerah ini,” kata seorang anggota DPRA dari Partai Aceh, Menurut Darmuda,

pihak Dewan mendukung GeRAK dan MaTA untuk terus mengawal dan

mengontrol kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi hingga ke pengadilan dan

KPK. Termasuk di dalamnya soal dana masyarakat Aceh Utara Rp 220 miliar

yang hingga kini belum kembali. Menanggapi berbagai sorotan publik maupun

LSM antikorupsi terhadap pengusutan kasus korupsi, Darmuda berharap agar

kinerja aparat penegak hukum di Aceh perlu terus dtingkatkan supaya

kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum menjadi lebih tinggi lagi.

Harapan yang lebih kurang sama juga disampaikan seorang anggota DPRA

lainnya dari Partai Golkar, Djuriat Suparjo. Dalam penilaian anggota DPRA dari

Page 25: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

25

Partai Aceh, Darmuda, jika tunggakan dugaan korupsi yang telah masuk ke

jaksa maupun polisi lambat diserahkan ke pengadilan, bisa menimbulkan

kecurigaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum

itu sendiri. Wakil Ketua I DPRA Bidang Pemerintahan dan Hukum, Amir Helmi

SH mengatakan, dirinya sependapat dengan apa yang disampaikan GeRAK dan

MaTA bahwa dugaan kasus korupsi yang telah ditangani jaksa dan polisi

harusnya segera diserahkan ke pengadilan. Minimal yang telah didata GeRAK

dan MaTA sebanyak 16 kasus yang hingga kini belum dilimpahkan ke

pengadilan untuk disidangkan. “Sebanyak 16 kasus dugaan tindak pidana

korupsi yang telah didaftar GeRAK dan MaTA itu sebagian merupakan temuan

dari Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh (TAKPA) dan sudah disidik polisi dan

jaksa. Hendaknya diproses secepatnya ke pengadilan. Jika ada yang benar-

benar tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan langsung saja dihentikan, kemudian

dipublikasikan kepada publik dengan transparan dan bukti yang kuat,” kata Amir

Helmi.

Koordinator Lapangan Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh, Tgk Abdullah Madyah

mengatakan, pihaknya juga merasa heran kenapa sampai saat ini kejaksaan

belum melimpahkan kasus dugaan korupsi pengelolaan dana operasional di

TVRI yang menjadi temuan TAKPA. Padahal pengusutan kasus itu sudah

berlangsung sejak hampir dua tahun oleh jaksa tinggi. Pihak BPKP yang diminta

untuk melakukan audit, kata Abdullah Madyah, pernah menjelaskan, bahwa

masih ada data yang kurang untuk melengkapi hasil audit guna membawa kasus

dugaan korupsi dana operasional TVRI itu ke pengadilan. Tapi pihak jaksa belum

menyampaikan tambahan data itu kepada BPKP. “Apakah karena faktor itu

sehingga kasusnya belum juga ke pengadilan atau ada faktor lain,” tandas

Koordinator Lapangan TAKPA itu

2.1.1.3. Pelaksanaan Demokrasi dan HAM di Aceh

Page 26: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

26

Pada dasarnya pelaksanaan pesta demokrasi di Aceh telah berjalan dengan

baik meskipun ada beberapa hambatan yang terjadi. Dimulai dengan pemilihan

umum (Pemilu) 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2006 sampai

dengan Pemilu 2009. Pemilu 2009 baru saja berakhir, baik pemilu Legislatif

maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden semua telah dilaksanakan. Dalam

pelaksanaan Pemilu legislatif ditemukan banyak kekurangan-kekurangan di

sana-sini. Bukan hanya dalam prosedur penghitungan suara, namun ternyata

dari sisi pemilihnya sendiri masih banyak yang belum mengerti masalah pemilu,

mulai dari tidak terdaftarnya dalam DPT maupun tidak dimanfaatkannya hak-hak

sebagai warga negara yaitu hak untuk memilih. Menyikapi hal demikian tentunya

menuai berbagai keprihatinan berbagai pihak.

Dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga negara

yang mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping hak-hak

warga negara Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak warga negara

untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-undang No. 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005

tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk

menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak

sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan wakil presiden. Hak

memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right)

setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara.

Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-

Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia

dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.

Bagi Daerah Aceh, yang sejak tahun 1959 telah memperoleh status sebagai

daerah istimewa berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Nomor I/missi/1959

Page 27: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

27

dan kemudian dikuatkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 belumlah memadai. Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2001 tanggal 9 Agustus 2001 tentang Otonomi

Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.

Salah satu hal yang khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001

adalah Pemilihan Kepala Daerah, yang meliputi pemilihan Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota secara langsung

oleh rakyat setiap lima tahun sekali, melalui pemilihan yang langsung, umum,

bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Kebijakan ini akan semakin mewujudkan

realitas pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari kacamata

payung regulasi, Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam dilengkapi dengan

kerangka hukum yang komplet, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Nomor 2 Tahun 2003 yang kemudian

diubah dengan Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pemilihan

Gubernur/Wakil Gubernur.

Pemilihan langsung Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota di Nanggroe Aceh Darussalam dimaksudkan untuk

menjalankan hak-hak dan kebebasan; bebas dari diskriminasi berdasarkan ras,

warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul sosial, kelahiran atau status

lainnya, serta aliran politik. Ketentuan ini terdapat pada setiap instrumen hak

asasi manusia. Prinsip non diskriminasi harus diberlakukan pada setiap tahap

dan proses pemilihan. Demikian juga semua prinsip yang diperlukan bagi suatu

pemilihan umum, yaitu langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil

harus diimplementasikan dalam semua tahap pemilihan, yang meliputi

pendaftaran pemilih, pencalonan, pemungutan suara, penghitungan suara,

pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan calon terpilih.

Page 28: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

28

Dengan pemilihan secara langsung ini, diharapkan dapat dicapai beberapa hal

yaitu :

1. Rakyat yang telah mempunyai hak untuk memilih, dapat berpartisipasi

secara langsung dalam menentukan pemimpin daerah, sehingga

pemimpin daerah tersebut sesuai dengan aspirasi rakyat dan mempunyai

ikatan batin dengan rakyat.

2. Pemimpin daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung, akan

mendapat legitimasi yang cukup sehingga dapat lebih efektif dalam

menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan,

yang berorientasi pada kepentingan rakyat.

3. Pemimpin daerah yang terpilih secara langsung, lebih terikat dan

berkepentingan dengan rakyat pemilih, oleh karenanya akan terdorong

untuk berbuat yang terbaik bagi rakyatnya.

4. Memperkuat otonomi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bidang

politik sehingga ketergantungan politik antara Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam dengan Pemerintah Pusat akan berkurang dan fungsi

pemerintah daerah tidak lagi hanya merupakan perpanjangan tangan dari

pemerintah pusat.

5. Memperbaiki citra DPRD yang selama ini banyak pihak mensinyalir telah

melakukan politik uang dalam setiap pemilihan Kepala Daerah.

Untuk memwujudkan dan menghasilkan pemimpin daerah

sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka segala sesuatu yang

menyangkut dengan pemilihan itu diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam. Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati

dan Walikota/Wakil Walikota akan berjalan dengan lancar, aman dan tertib

apabila dilaksanakan oleh penyelenggara dan diawasi oleh pengawas yang

kapabel dan kredibel, serta disertai dengan penyediaan dan pengelolaan

logistik yang memadai. Untuk itu dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2001 ditegaskan bahwa pemilihan dilaksanakan oleh Komisi Independen

Pemilihan dan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan. Kedua institusi ini

dibentuk oleh DPRD serta bersifat independen dan non-partisan. Pilkada di

Page 29: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

29

Aceh telah mengalami beberapa pasang surut, yaitu rencana awal 25

Oktober 2005 sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun

Nomor 2 Tahun 2004. Tetapi karena bencana alam gempa bumi dan tsunami

mengakibatkan banyak dokumen yang hilang sehingga apa yang telah

dijadwalkan tersebut tidak mungkin diselenggarakan lagi sehingga jadwal

tersebut berubah lagi menjadi 29 Desember 2005 sesuai dengan Qanun

Nomor 3 Tahun 2005. Jadwal inipun kemudian di rubah lagi menjadi 26 April

2006 akibat adanya dinamika politik yang berkembang di Provinsi NAD

seperti lahirnya MoU Helsinki yaitu perjanjian damai antara GAM dan

Pemerintah RI tanggal 15 Agustus 2005. Di dalam butir 1.2.2. disebutkan

bahwa, dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan

memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih

untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006. Kemudian butir

2.2.3. Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan Pemerintah

di Aceh untuk memilih kepala pemerintahan Aceh dan pejabat terpilih lainnya

pada bulan April 2006. Itulah sebabnya, maka jadwal yang telah ditetapkan

KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 26 April 2006, itupun harus

diperbaiki kembali sesuai dengan UUPA yang baru. UUPA disahkan DPR RI

tanggal 11 Juli 2006 dan dinyatakan berlaku tanggal 1 Agustus 2006. UUPA

inipun harus ditindaklanjuti lagi dengan Qanun sebagai perubahan Qanun

Nomor 3 Tahun 2005 menjadi qanun Nomor 7 Tahun 2006. Hal ini karena

beberapa pasal yang tidak sesuai lagi dengan kondisi terakhir sesuai

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Akhirnya

KIP dengan tidak bosan-bosannya kembali memperbaharui dan merubah

jadwal Pilkada di Aceh sesuai dengan Keputusan KIP Nomor 18 Tahun 2006

sebagaimana tersebut di atas menjadi tanggal 11 Desember 2006.

Disamping itu tingkat partisipasi pemilih baik pada pemilihan legislatif

(pilleg) maupun pada Pilpres 2009 sangat tinggi saat ditetapkannya Daftar

Pemilih Tetap (DPT) di tingkat provinsi. Ketua Pokja Pendaftaran Pemilih

(KIP) Aceh mengatakan bahwa pelaksanaan jumlah pemilih di Aceh sudah

Page 30: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

30

cukup tinggi dan dimungkinkan akan bertambah lagi. Karena belum ada data

yang akurat, maka KIP belum dapat memperkirakan berapa persen tingkat

partisipasi masyarakat pada awalnya yang masuk DPT dan berhak memilih

pada Pilpres mendatang. “ namun secara keseluruhan, tingkat partisipasi

masyarakat dalam pilleg dan Pilpres kemudian dapat terlihat setelah DPT

ditetapkan. Sesuai dengan data yang dikeluarkan KIP, Daftar Pemilih Pilpres

2009 sebanyak 3.004.432 orang, dan terjadi pengurangan jumlah pemilih

sebanyak 5.533 orang dari DPT pemilu legislatif 2009 yang mencapai

3.009.965 orang. Berkurangnya dalam pemilihan pilpres, Ketua pokja KIP

menjelaskan dan tidak ingin terlalu jauh berspekulasi. “Hal yang terpenting

adalah kami sudah melakukan upaya maksimal untuk mengimbau agar

masyarakat mendaftarkan dirinya kepada petugas dengan beberapa hari

masa perpanjangan dari jadwal semula,” jelasnya. Menurut KIP terkait

pemutakhiran data pemilih ini pihaknya akan terus memonitor. Dalam

beberapa hari terakhir, KIP dan pemerintah juga telah berupaya maksimal

menghimbau agar masyarakat yang belum terdaftar masih punya

kesempatan untuk mendaftarkan dirinya hingga batas waktu penetapan di

DPT di Provinsi. “Bilapun nanti ada angka yang tidak sesuai kita akan

upayakan melihat kembali karena penetapan DPT di tingkat provinsi

nantinya” ujar Akmal yang beberapa hari ini juga turut memanfaatkan fasilitas

jejaring sosial Facebook untuk menghimbau masyarakat yang belum

terdaftar, untuk mendaftarkan dirinya kepada petugas PPS di desa mereka.

Dia sebutkan, data pemilih yang mendaftar hingga 28 Mei 2009 oleh PPS

atau PPK segera disampaikan ke KIP kabupaten/kota. Selanjutnya, pada 29

Mei 2009 KIP Kab/Kota harus segera menyampaikannya ke KIP Provinsi dan

pada 30 Mei 2009 semua data harus masuk ke KPU Pusat. KPU akan

mengumumkan daftar pemilih tetap (DPT) Pilpres pada 31 Mei 2009. Dari

data dapat dijelaskan bahwa adanya peningkatan partisipasi masyarakat

terhadap pemilihan anggota legislatif itu dikarenakan bahwa masyarakat

Aceh ingin perubahan pada lembaga legislatif ini, disamping dalam pemilihan

Page 31: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

31

legislatif kehadiran Partai lokal (Parlok) telah membawa keingitahuan dari

masyarakat untuk menentukan calon-calonnya dalam parlemen.

Dari uraian diatas kemudian dapat dijelaskan bahwa akibat dari rasa

keingintahuan masyarakat dan kerja keras dari KIP dalam mensosialisasikan

kepentingan dalam pemilu dan penggunaan hak demokrasi, maka

peningkatan partisipasi masyarakat di Aceh cukup tinggi. Tingkat partisipasi

ini bahkan melampaui tingkat presentase nasional. Ini dapat disimpulkan

bahwa masyarakat Aceh sangat besar perhatian pada pemenuhan hak-hak

politik termasuk hak untuk memilih dan dipilih. Masyarakat Aceh berusaha

untuk menjadi yang patuh terhadap kepentingan yang lebih besar termasu

menyalurkan aspirasinya pada pemilihan pilleg dan pilpres.

2.1.1.4. HAM dan Penerapan Syariat Islam Dalam Perspektif Gender

Pada prinsip enerapan syariat Islam di Aceh, sedikit telah mengundang

kontroversi dalam beberapa persoalan diantaranya menyangkut diskriminasi

terhadap kaum perempuan. Kalangan aktivis perempuan berpendapat bahwa

penerapan syariat Islam di Aceh lebih memojokkan kaum perempuan,

dibandingkan menyelesaikan persoalan Aceh yang lebih besar, termasuk

menjaga perdamaian. Namun hal ini tbeberentunya masih menjadi

perdebatan dikalangan masyarakat Aceh itu sendiri, sehingga ada beberapa

qanun yang telah dibahas dan ditetapkan oleh DPRAceh belum mi

pemeremperoleh pengesahan dari Gubernur atau Pemerintah Pusat

(misalnya Qanun Jinayah).

Disisi yang lain mantan Kepala Dinas Syariat Islam NAD (Prof. Alyasa

Abubakar), beberapa waktu yang lalu membantah adanya diskriminasi dalam

pemberlakuan hukum syariat Islam di Aceh antara Laki-laki dan Perempuan.

"Ada anggapan sebahagian orang, bahwa qanun khalwat memojokkan

perempuan. Boleh, kemudian pertanyaan saya, apa dan siapa yang terpojok,

kalau orang bersalah merasa terpojok, saya sangat setuju. Mestinya orang

Page 32: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

32

yang punya pemikiran seperti itu, harus melihat dan mempelajari lebih jauh

soal hukum islam," "Banyak diantara orang kita Aceh mengaku beragama

Islam membuat stateman yang jelas sangat bertentangan dengan Al-Quran

seperti pernyataan ibu Khairani yang mengatakan, dengan berlakunya syariat

islam di privinsi NAD sesuai dengan qanun nomor 14 tahun 2003 tentang

khalwat, kaum perempuan dipojokkan. Dan perempuan telah dipaksa

mengunakan busana muslim (jilbab)," Di sisi lain, terkait dengan urusan hak

asasi manusia, penerapan hukum Islam di Aceh dipandang oleh sebagian

kalangan di Aceh tidak melanggar HAM. penerapan hukum syariat islam

bukan untuk menghukum orang, akan tetapi pada prinsipnya justru

melindungi, menjaga keamanan dan ketertiban semua orang. "hukum islam

memiliki tujuan filosofis, artinya ada makna di balik tekstual," dengan

mencontohkan ketika seorang hendak mencuri. Aturan syariat mencuri diberi

sangsi atau hukuman, kerena pelaku tahu hukumannya berat, lantas si

pencuri mengurungkan niatnya "Inikan berarti hukum islam mengayomi dan

melindungi, melindungi orang yang hendak mencuri sehingga tidak jadi

berbuat dosa. Kemudian si empunya barang juga terlindung karena

barangnya tidak jadi dicuri, pada akhirnya tidak ada yang terhukum, lantas

dimana melanggar HAM,"

Korban pelaksanaan hukuman yang diberikan akibat melanggar syariat juga

kebanyakan dari kalangan masyarakat bawah seperti yang terjadi di Aceh

Tamiang. Syuhibun Anwar mengatakan selain tidak mempunyai pekerjaan

yang tetap, tersangka hukum cambuk juga minim pengetahuan tentang

agama, sehingga sangat mudah terjerumus ke dalam perbuatan yang

dilarang agama. ”Banyak yang terhukum cambuk yang melanggar qanun

syariat Islam di Aceh Tamiang tergolong miskin, ekonomi menengah ke

bawah, karena tidak memiliki pekerjaan yang tetap” Ironisnya, di sisi lain,

koruptor-koruptor di Aceh sama sekali belum tersentuh sedikitpun oleh

hukum syariat Islam yang diterapkan di Aceh. Karenanya, Pemerintah NAD

diharapkan serius untuk membuat qanun hukuman cambuk bagi pelaku

Page 33: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

33

koruptor di Aceh. "Jadi hukum cambuk bukan saja untuk rakyat kecil dan

penjahat kecil saja, melainkan juga untuk penjahat kelas kakap seperti

koruptor,"

Dalam pantauan KontraS Aceh Penerapan Syariat Islam sepanjang tahun

2006, saja pemerintahan telah menggelar sebanyak 9 (sembilan) kali hukum

cambuk bagi 37 orang pelaku pelanggar ”syariah”, 9 orang pelaku khalwat

(Mesum), 10 orang pelaku khamar (pengkonsumsi minuman keras), dan 19

orang pelaku maisir (perjudian). "Walaupun kedua pelaku meusum itu

masing-masing menerima hukuman cambuk sebanyak lima dan empat kali,

tapi banyak pelanggar lain yang harus lebih dulu dihukum, ketimbang dua

pelaku itu," Dampak lain dari penerapan syariat yang kontroversial tersebut

adalah munculnya aksi kekerasan oleh warga terhadap pelanggar Syariah di

beberapa tempat. Aksi kekerasan ini biasanya bermula dari tindakan

pengkapan atau penggerebekan oleh warga terhadap pelaku pelanggar

syariah yang berbuntut pada aksi pemukulan atau kakerasan lainnya, seperti

arak-arakan atau mempertontonkan pelanggar Syariah di depan umum

sebelum ada putusan pengadilan terhadapnya.

Berkaitan dengan uraian di atas, maka persoalan gender di Aceh masih

belum sepenuhnya menjadi perhatian dari setiap orang atau pemerintah. Hal

ini disebabkan masih banyak aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah

Aceh atau pemerintah kabupaten/kota yang belum menyentuh permasalahan

gender secara keseluruhan, bahkan ada peraturan yang dianggap melangar

hak-hak perempuan seperti hak-hak atas larangan penggunaan celana jean

bagi perempuan di suatu kabupaten (Aceh Barat) oleh Keputusan Bupatinya.

1.2. Analisis Relevansi Sesuai dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat

dijelaskan bahwa pada dasarnya capaian pembangunan daerah (Aceh) telah

sejalan dengan pembangunan nasional. Secara garis besar capaian daerah

telah sesuai namun dalam beberapa hal masih ada beberapa kendala dan

Page 34: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

34

masih kurang, akan tetapi dalam hal-hal tertentu capaian daerah lebih tinggi

dari nasional. Capaian daerah (Aceh) yang lebih tinggi dan lebih baik antara

lain berkaitan dengan partisipasi dan pelaksanaan demokrasi dalam pemilu,

dimana masyarakat Aceh sangat besar dan tinggi perhatian dalam

menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Ini menandakan bahwa capaian

dan program pemerintah Aceh telah mencapai presentase yang cukup

signifikan terhadap partisisipasi ini.

Dilain sisi sebagaimana hasil penelitian dari Lembaga Partnership Jakarta

yang menyebutkan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat parah.

Pernyataan ini sudah jamak diketahui semua pihak baik di level eksekutif,

legislatif, judikatif, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pengusaha,

universitas, lembaga donor, dan seterusnya. Namun bila kemudian muncul

pertanyaan, sejauhmana pemerintah serius berupaya memberantasnya?

Apakah semua pihak sudah mengetahui berapa banyak peraturan dan

kebijakan yang dihasilkan pemerintah ––bersama legislatif–– dan unit atau

lembaga formal apa saja yang telah dibentuk untuk memberantas faktor

penyebab kemiskinan dan loss generation tersebut? Jawabannya tentu

sangat bervariasi. Bayangkan saja, kita sudah memiliki puluhan kebijakan

dan peraturan perundang-undangan serta lembaga yang berfungsi untuk

memberantas korupsi. Dari sisi kelembagaan saja di tingkat pusat misalnya

ada BPK, BPKP, KPK, inspektorat jenderal pada masing-masing departemen,

unit-unit pengawas pada lembaga pemerintah nondepartemen (LPND),

Kepolisian Negara RI, Komisi Ombudsman Nasional (KON), Timtastipikor.

Sementara di daerah ada BPKP perwakilan, BPK perwakilan, KPK

perwakilan (khusus di NAD), inspektorat propinsi/kabupaten/kota atau badan

pengawasan daerah (Bawasda) dan seterusnya. Namun sampai saat ini,

dengan sejumlah lembaga tersebut masih saja dirasakan kuantitas dan

kualitas korupsi belum menurun sesuai dengan harapan masyarakat. Bahkan

persoalan baru seperti bagaimana dengan pembagian tugas pokok dan

fungsi (tupoksi) dan kewenangan antarlembaga tersebut, bagaimana

Page 35: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

35

antarlembaga itu berkoordinasi secara optimal sehingga menghasilkan

sinergi yang bermanfaat dalam menimbulkan deterent effect (efek jera) pada

para pelaku korupsi menjadi faktor yang menambah kerumitan penuntasan

kasus-kasus korupsi. Tidak jarang timbul perbedaan penanganan dan tafsir

atas suatu permasalahan. Peran Bawasda dalam pemberantasan korupsi

Pascareformasi melalui penerapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang

pemerintahan daerah, maka peran inspektorat daerah/Bawasda menjadi lebih

krusial dibandingkan dengan masa Orde Baru dimana perannya pada masa

itu memang sengaja ditumpulkan. Bahkan ada anekdot Bawasda sebagai

instansi “buangan” bagi pegawai negeri yang dianggap nyeleneh. Penegasan

tentang strategisnya peranan Bawasda juga terlihat pada UU No 32 Tahun

2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 pada pasal 223 tentang

pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah

diejawantahkan ke dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). PP No. 79

Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pun telah menegaskan bahwa

dalam pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dilakukan

secara berjenjang dan berlapis (pasal 26). Artinya Bawasda masa Orde Baru

yang begitu dikerdilkan dengan banyak tujuan itu mendadak menjadi

tumpuan dalam pengawasan pelaksanaan roda pemerintahan daerah.

Masalahnya kemudian adalah bagaimana Bawasda dapat segera berfungsi

maksimal bila persoalan internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja

dan produktivitasnya belum dituntaskan secara komprehensif. Minimal ada

tiga penghambat internal yang dapat digarisbawahi yaitu pertama, masalah

kompetensi personal yaitu skills dan wawasan pengetahuan yang mencakup

penguasaan peraturan perundang-undangan dan tren korupsi yang semakin

canggih dan beragam. Apalagi saat ini banyak peraturan perundang-

undangan kerapkali berubah dan tumpang tindih. Kedua, tentang

ketersediaan SDM baik secara kuantitas dan kualitas. Dengan status instansi

yang selama ini relatif diterlantarkan maka pola rekrutmen pegawai yang

handal dengan tingkat pendidikan yang memadai menjadi sangat berbeda

Page 36: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

36

dengan lembaga lain yang berfungsi sebagai lembaga pengawas. Sebutlah

misalnya BPKP dan BPK yang telah memiliki puluhan pegawai dengan

tingkat pendidikan strata S2 dan S3 (doktoral) baik lulusan dalam maupun

luar negeri yang terkemuka. Kecuali itu masalah lemahnya daya tarik

pegawai yang bersedia ditempatkan di lembaga tersebut. Ketiga, masalah

kapabilitas yang dikaitkan dengan ketersediaan anggaran. Sedang tiga

persoalan eksternal, pertama, kepala Bawasda masih selevel dengan kepala

dinas lainnya dan setingkat lebih rendah dari sekretaris daerah (PP No. 8

Tahun 2003 pasal 19 dan 20). Dengan budaya ketimuran dan ewuh pakewuh

yang telah lama ditanamkan dan mendarah daging di birokrasi maka sulit

bagi Kepala Bawasda untuk bersikap berseberangan dengan sekretaris

daerah maupun kepala daerah. Karenanya usulan eselonisasi kepala

Bawasda yang setara dengan sekretaris daerah bisa menjadi alternatif.

Kedua, otoritas tupoksi sekadar berupa penyampaian temuan kepada kepala

daerah dengan tidak ada jaminan temuan tersebut akan ditindaklanjuti.

Tentang hal ini dapat disiasati dengan merevisi peraturan daerah yang

berkaitan dengan Bawasda dimana Kepala Bawasda dapat dimintakan

klarifikasi perkembangan temuan secara regular kepada DPRD, tanpa harus

mendapat izin atau persetujuan dari kepala daerah. Ketiga, masalah

kerahasiaan hasil temuan yang kerap menghambat partisipasi kontrol

masyarakat secara aktif. Padahal di beberapa daerah kerahasiaan temuan

sebenarnya sudah banyak yang dipublikasikan. Artinya sifat dari kerahasiaan

itu relatif tidak efektif lagi walau sifanya masih kasuistis. Sebenarnya baik

pemerintah pusat maupun Pemda dapat dengan mudah menyelesaikan

faktor-faktor penghambat itu. Faktor internal dapat dituntaskan misalnya

dengan memberikan dana yang cukup dan capacity building yang relevan

dalam membangun kompetensi, jumlah dan kapabilitas pegawai. Sedangkan

penyelesaian penyebab eksternal yaitu dengan cara memberikan terobosan

hukum dengan merevisi PP No. 8 Tahun 2003 yang memberi tempat yang

lebih independen pada Bawasda. Bila dianalogikan di level pusat mungkin

seperti model KPK.

Page 37: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

37

Berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh akan

memposisikan Bawasda sebagai lembaga internal pengawasan yang sangat

strategis sebab dengan status otonomi khusus maka dana APBD NAD yang

harus diawasi menjadi sangat besar yaitu Rp 8 trilyun plus dana

dekonsentrasi/perbantuan. Semakin strategis dan pentingnya Bawasda juga

dengan disinyalirnya kinerja Badan Rekonstruksi rehabilitasi (BRR) Aceh-

Nias sudah tidak efektif dalam membangun NAD pascatsunami. Sehingga

diharapkan secara berangsur mengalihkan kewenangan dan tanggungjawab

pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi NAD ke pemerintah daerah

(Kompas, 16 September 2006, hal 4). Dapat dibayangkan Bawasda akan

benar-benar ketumpuan pekerjaan yang sangat berat yang mungkin sudah

melebihi daya serapnya. Karenanya demi memaksimalkan fungsi

pengawasan Bawasda, gubernur/bupati/walikota terpilih pada pilkada

Desember 2006 harus mengambil langkah-langkah segera dan strategis

dengan menata dan memperkuat Bawasda baik dari sisi keterampilan dan

jumlah pegawainya, meningkatkan profesionalisme pegawai, merevisi atau

menyusun qanun yang lebih memberi ruang independensi Bawasda. Juga

yang harus tidak dilupakan adalah penerapan pola rekrutmen kepala

Bawasda sesuai dengan kompetensi dan pengalaman yang dimiliki. Kalau

perlu melalui mekanisme terbuka (fit and proper test) dan dilakukan oleh

lembaga independen. Sebab bila tidak, korupsi akan berpotensi merusak

perdamaian yang dengan susah payah dibangun oleh semua pihak.

Seiring dengan masalah korupsi ini, capaian pemerintah Aceh dilihat dari

presentase penanganan masih jauh dari sasaran nasional, hal ini disebabkan

masih banyak kasus-kasus korupsi di Aceh yang belum tersentuh hukum.

Demikian juga halnya dengan permasalahan gender, dalam capaian dan

target pemerintah Aceh masih jauh dari capaian nasional, hal ini disebabkan

persoalan gender masih manjadi persoalan utama di Aceh, khususnya

berkenaan dengan penerapan syariat Islam. Banyak aturan yang dikeluarkan

Page 38: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

38

masih memelukan pengujian secara hukum dan HAM, karena ada sebagaian

aturn yang bertentangan dengan konsep gender seperti lahirnya Qanun

jinayah dan qanun-qanun dalam penyelenggaraan syariat Islam di Aceh.

Sebagai contoh lahirnya Qanun Jinayah dan keputusan bupati Aceh barat

dalam hal pelarangan penggunaan atau pemakaian celana jean bagi wanita,

ini telah menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat, sehingga konsep

gender ini tidak berjalan dengan baik.

1.3. Analisis Efektivitas Secara garis besar efektifitas kinerja pembangunan daerah khususnya

berkaitan dengan capaian indikator sebagaimana telah disebutkan di atas,

telah dapat dijalanakan dengan baik, sehingga kinerja pemerintah Aceh

semakin membaik dari tahun ke tahun. Kondisi Aceh yang hancur pasca

musibah tsunami telah menjadi tolok ukur untuk meningkatkan kinerja dari

segala struktur pemerintahan baik pada tingkat provinsi maupun ditingkat

kabupaten/kota.

Lahirnya berbagai pengaturan dan kebijakan baik dalam bentuk regulasi

daerah (Qanun) maupun nasional (UU) yang mendukung arah kebijakan

pemerintah Aceh telah menyebabkan dilakukannya berbagai kebijakan yang

berkaitan dengan pengaturan tersebut. Ditetapkannya Qanun (Perda) dalam

mendukung kinerja pemerintah yang telah dicanangkan pemerintah pusat

seperti Qanun Pelayanan Publik menjadikan Aceh lebih baik dari tahun

ketahun dalam meningkatkan pelayanan dan terciptanya Good Governance

di Aceh. Sejalan dengan ditetapkan Qanun Pelayanan publik, pemerintah

Aceh juga telah melakukan berbagai kegiatan dalam memberikan pelayanan

publik dengan baik melalui penetapan berbagai sistem pelayanan terpadu

(one stop service) pada tingkat provinsi dan juga disetiap daerah

kabupaten/kota. Beberapa daerah kabupaten/kota di Aceh telah merapkan

sistem pelayan terpadu untuk mendukung pelayanan publik yang baik dan

Page 39: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

39

memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengurus semua

kepentingan di bidang pemerintahan dan lain sebagainya.

Berkenaan dengan efektivitas kinerkja pemerintah Aceh dalam mendukung

proses partisipasi masyarakat dalam demokrasi dan HAM, melalui sistem

pemilu dan institusi pelaksana pemilu (KIP). Pemerintah Aceh telah

mengalokasikan dana dan fasilitas baik dari sumber pemerintah maupun

donatur-donatur yang mendukung kinerja institusi (KIP) ini. Bahkan dalam

pelaksanaan dilapangan banyak donaturt/sponsor yang mendukung kinerja

KIP ini sehingga memudahkan dalam penataan dan pelayanan kepada

masyarakat, salah satunya adalah adanya sosialisasi yang terus menerus

dan sistematis dilakukan, sehingga masyarakat menjadi perhatian terhadap

penggunaan hak pilihnya. Hal ini kemudian yang menyebabkan Aceh

memperoleh presentase partisipasi pemilih labih baik dari nasional.

2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Dari data analisis yang dapat dijelaskan antara lain berkitan dengan

partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan demokrasi khususnya keterlibatan

dalam ikut pemilu, untuk presentase nasional 70.20 % maka untuk Aceh

meningkat sampat 75.40 untuk pemilihan anggota legislatif. Selanjutnya

peningkatan terus terjadi dalam pemilihan Presiden dari presentase nasional

71%, maka untuk partisipasi masyarakat di Aceh meningkat menjadi 77,7 %

(sumber data KPU Pusat dan KIP Aceh). Hal ini menunjukkan bahwa betapa

besar partisipasi masyarakat dalam mengikuti pemilu baik dalam pemilihan

anggota legislatif maupun presidfen. Hal ini juga berkaitan langsung dengan

keinginan rakyat Aceh dalam menyongsong perubahan, sehingga dalam

pemilihan anggota legislatif khususnya di aceh partai politik lokal telah

mendominasi hasil pemilihan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa adanya

partisipasi masyarakat Aceh adalah sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi

dan penegakan hak-hak rakyat (HAM).

Page 40: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

40

Dalam hal perspektif gender. khususnya di Aceh peran wanita dalam

berbagai kegiatan mulai meningkat dari tahun ke tahun, hanya saja jika

dibandingkan dengan kondisi nasional, konsepsi kesetaraan gender di Aceh

masih rendah, walaupun dalam waktu-waktu tertentu keterlibatan dalam

berpastisipasi sangat tinggi. Misalnya dalam mendukung dan ikut berperan dan

berpartisipasi dalam penyusunan Undang-undang pemerintahan Aceh di tahun

2005-2006. meskipun diosaat itu kondisi Aceh masih dalam masa rekonstruksi

dan rehabilitasi. Hal ini dapat dilihat dari indek presentase antara 20% sampai

dengan 45 %, yang dibandingkan secara nasional berkisar antara 60 % sampai

65,8 %, sehingga keberadaan gender dalam pelaksanaan demokrasi dan

pemenuhan HAM di Aceh masih rendah. Konsekuensi dari masih rendahnya

peran masayarakat khususnya dalam menjalankan peran gender, dikarenakan

masih terdapat aturan-aturan hukum lokal yang dapat membatasi runag gerak

dari kaum wanita khususnya, sehingga peran masyarakat dalam kesetaraan

gender meenjadi lebih rendah. Di samping itu karena konflik yang

berkepanjangan banyak wanita di Aceh yang merasakan bahwa melakukan

pekerjaan diluar rumah merupakan hal yang tabu (dilarang) oleh agama dan adat

yang berlaku, misalnya melakukan pekerjaan sampai malam hari.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas. maka analisis capaian kedepan

yang harus dilakukan antara lain berkaitan dengan arah kebijakan pembangunan

dibidang pemerintahan khususnya pelayanan publik, politik (demokrasi), dan

hukum serta penegakan HAM adalah sebagai berikut :

2.1.2.1. Bidang Pemerintahan dan Pelayanan Publik a) Menciptakan aparatur pemerintah yang bersih, berwibawa,

professional dan Islami;

b) Menciptakan kinerja aparatur yang baik;

c) Mereview struktur kelembagaan pemerintah daerah sesuai dengan

potensi, kewenangan dan kebutuhan;

d) Pembagian job description yang tepat dan terarah sesuai dengan

kebutuhan;

Page 41: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

41

e) Memanfaatkan sarana dan prasarana kerja yang berdaya guna dan

berhasil guna;

f) Melakukan pengaturan yang tegas tentang batas kewenangan antara

pemerintah provinsi dan kabupaten/kota;

g) Melakukan upaya pro-aktif menfasilitasi penyelesaian masalah tata

ruang dan penataan batas wilayah administrasi bagi kabupaten/kota

pemekaran;

h) Melakukan regulasi tentang pendelegasian kewenangan

bupati/walikota kepada camat, imuem mukim dan geuchik;

i) Melakukan pemetaan dan pemberian nama-nama pulau kecil dan

terluar;

j) Melakukan toponomi pulau-pulau kecil dan terluar;

k) Melakukan penetapan batas wilayah administrasi, titik kordinat, dan

penguasaan wilayah secara ekonomi dan sosial budaya;

l) Melakukan pembenahan struktur kelembagaan diklat;

m) Meningkatkan kapasitas SDM tenaga pengajar diklat;

n) Melakukan penyempurnaan materi dan kurikulum diklat;

o) Merevitalisasi baperjakat dalam penempatan dan penjenjangan karir

aparatur;

p) Meningkatkan kualitas SDM;

q) Memberikan reward and punishment secara tepat dan tegas.

2.1.2.2. Bidang Politik a) Terjaminnya kesatuan dan persatuan bangsa dalam kerangka NKRI;

b) Melakukan rekruitment kader politik yang bebas, adil dan islami;

c) Membangun wahana politik yang konstruktif melalui partai lokal;

d) Menciptakan keputusan politik yang memihak kepada kepentingan

masyarakat;

e) Melaksanakan pendidikan politik yang sehat;

f) Memberikan penghargaan terhadap perbedaan pendapat dalam

politik;

Page 42: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

42

g) Membangun etika politik melalui rasa saling percaya dan menghargai

(sportifitas) di dalam kelompok masyarakat;

h) Merevitalisasi fungsi partai politik;

i) Memberikan motivasi kepada seluruh partai politik.

2.1.2.3. Bidang Hukum dan HAM a) Melakukan pengkajian yang mendalam terhadap pembangunan

hukum dan HAM di Aceh;

b) Menyusun prioritas, arah, dan orientasi pembangunan hukum Aceh;

c) Melakukan penyusunan Prolega (Program Legislasi Aceh);

d) Mempercepat prakarsa penyusunan materi hukum sesuai dengan

amanah UUPA;

e) Meningkatkan penguatan kapasitas aparat penegak hukum pada

setiap level;

f) Memberikan dukungan sarana dan prasarana hukum;

g) Memberikan bantuan hukum dalam kasus prodeo;

h) Meningkatkan penyuluhan hukum kepada masyarakat;

i) Melakukan sosialisasi pelbagai macam peraturan perundang-

undangan kepada masyarakat;

j) Melakukan pemetaan/inventarisir kebijakan daerah kabupaten/kota

yang bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan

perundang-undangan lebih tinggi;

k) Memberi arahan terhadap kebijakan daerah kabupaten/kota yang

bertentangan dengan kepentingan umum dan kepentingan lebih tinggi;

l) Meningkatkan kapasitas aparatur Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS);

m) Penyediaan sarana dan prasarana aparatur Penyidik Pegawai Negeri

Sipil (PPNS).

2.1.3. Rekomendasi Kebijakan

Page 43: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

43

Sejalan dengan proses yang telah dilakukan sebagai bagian dari perlayanan

publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (Good

Governance) menuju kepada Pemerintah Yang bersih (Clean Goverment) maka

perlu berbagai penegakan dan kebijakan yang dapat ditempuh. Penegakan dan

kebijakan itu antara lain melalui penegakan hukum yang intensive dan kebijakan

pemerintahan yang berdaya guna dalam melayani mesyarakat.

Fungsi pelayanan publik yang dijalankan oleh aparat pemerintahan adalah suatu

kewajiban moral dalam menjalankan konstitusi negara, sehingga tujuan untuk

memberikan kemudahan kepada masyarakat merupakan hal yang harus

dilakukan. Adanya pelayanan yang cepat dan tepat melalui mekanisme one stop

service (pelayan satu atap) merupakan wujud nyata yang harus dilakukan oleh

pemerintah dalam melayani masyarakatnya. Hal ini dilakukan agar pelayanan

kepada masyarakat tidak terhambat apalagi jika dalam pelayanan itu

memberatkan masyarakat atau menggunakan kewenangan untuk merugikan

masyarakat dan negara dalam bentuk korupsi.

Munculnya kasus-kasus korupsi dalam penyelenggaraan negara dan

pemerintahn serta pelaksanaan demokrasi dan HAM yang tidak memihak kaum

rentan telah menyebabkan berbagai persoalan dalam kehidupan masyarakat.

Termasuk pelaksanaan dalam pemenuhan HAM pada kesetaraan gender, hal ini

menyababkan timbulnya kebijakan yang dapat memunculkan pertentangan dari

aspek hukum dan HAM. Misalnya munculnya kebijakan pada tingkat Pemerintah

kabupaten/kota yang menerapkan hukum syariat dalam menjalankan otonomi

khusus kadang kala berbenturan dengan kebijakan dan hukum nasional dan

Internasional, sehingga muncul berbagai protes dari kaum yang merasa lahirnya

kebijakan itu tidak tepat untuk diterapkan dalam waktu sekarang ini.

Berkenaan dengan penyelesaian kasus korupsi selain meningkatkan proses

penyelidikan hukum, juga meningkatkan kinerja SKPD/Aceh seperti Bawasda

dalam penanganan beberapa kasus yang berkaitan dengan pelayanan publik

Page 44: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

44

yang menyebabkan kerugian daerah. Di samping itu kasus-kasus dalam

pelaksanaan demokrasi penyelenggaraan pemilihan umum, baik dalam

pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif sampai pemilihan presiden

dapat dihindari kesalahan yang merugikan masyarakat banyak seperti daftar

pemilihan tetap (DPT) yang bermasalah tidak terulang kembali. Maka persiapan

yang cukup dan pendelegasian wewenang kepada institusi yang ditunjuk

sebagai pelaksana dapat dilakukan lebih cepat dan cukup waktu disertai sumber

dana yang cukup. Institusi pelaksana KPU adalah orang-orang yang profesional

dan mempunyai integritas dan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan konstitusi

negara dengan baik dan konsekuen.

Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, maka dapat diberikan beberapa

rekomendasi kebijakan antara lain :

1. Perlu peningkatan sistem pelayanan terpadu yang lebih menyentuh pada

kepentingan rakyat, termasuk membuka istem pelayanan pada tingkat

pemerintahan yang lebih rendah seperti di tingkat Kecamatan atau jika

mungkin di tingkat desa (gampoeng).

2. Untuk mencegah timbulnya perbedaan penafsiran dalam penerapan hukum

baik pada peraturan perundang-undangan UUPA dan Perda/Qanun serta

peraturan kebijakan lainnya, pemerintah Aceh wajib konsisten dalam

penggunaan hukum dan aturan yang berlaku, dan hukum itu tidak

bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, namun tidak juga melupakan

asas kekhususan yang telah diterimanya dengan segala kewenangan. Hal ini

sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat

termasuk mencegah munculnya perdebatan pada sebua peraturan dan

kebijakan, misalnya Qanun jinayah dan kebijakan pelarangan penggunaan

celana jean bagi wanita.

3. Berkaitan dengan kasus-kasus korupsi seharusnya pemerintah Aceh

mendukung sepenuhnya cara-cara yang telah ditempuh pada tingkat

nasional, dan harapan semua kasus korupsi yang telah menjadi target

penyelasaian segera dituntaskan, dan tidak ada salahnya jika kasus itu

Page 45: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

45

disampaikan kepada masyarakat secara transparan agar masyarakat tidak

menduga-duga akan kinerja pemerintah Aceh dalam menangani kasus

korupsi, termasuk kasus-kasus yang melibatkan aparat pemerintah itu sendiri

seperti keterlibatan Bupati/Walikota dan lain sebagainya.

4. Berkenaan dengan telah meningkatnya partisipasi masyarakat terhadap

penggunaan hak pilih dalam pemilu, maka pemerintah Aceh diharapkan terus

berupaya untuk mempertahankan kondisi ini, khususnya dengan terus

meningkatkan sosialisasi akan pentingnya hidup berdemokrasi, sehingga

proses perdamaian dan kenyamanan terus terjaga di Aceh.

5. Dalam upaya meningkatkan peran gender di Aceh, pemerintah Aceh sangat

diharapkan untuk dapat menempatkan persoalan gender ini dalam perspektif

tersendiri, dengan tidak mengurangi arti kekhususan dengan penerapan

Syariat Islam serta menghargai unsur-unsur HAM yang universal, sehingga

kalangan minoritas (gender) dapat menjalankan fungsinya dengan baik

termasuk dalam mengakses segala kegiatan yang berkenaan dengan

pelayanan publik dan pemerintah.

Page 46: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

46

2. 2. TINGKAT KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA 2.2.1 Indeks Pembangunan Manusia, Pendidikan, Kesehatan dan Keluarga Berencana

A. Indeks Pembangunan Manusia Kualitas sumberdaya manusia akan sangat menentukan kualitas

kehidupan dan pembangunan manusia dalam suatu negara dan daerah.

Keberhasilan dalam meningkatkan kualitasnya pada berbagai aspek akan

mempengaruhi sinergi pembangunan dan dapat mempercepat

pembangunan baik pembangunan ekonomi maupun non ekonomi. Hal

tersebut disebabkan oleh besar kecilnya peranan sumberdaya manusia

yang terlibat dalam pembangunan langsung ataupun tidak langsung,

tentunya sangat tergantung pada membaiknya kualitas manusia tersebut.

Untuk melihat kualitas sumberdaya manusia dapat ditunjukkan oleh

perubahan membaiknya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM

tersebut terdiri dari berbagai indikator, yaitu Pertama bidang pendidikan

antara lain tingkat partisipasi sekolah, angka putus sekolah, dan angka

melek huruf. Selanjutnya kedua bidang kesehatan yaitu Umur harapan

hidup, Angka kematian bayi, Angka kematian ibu dan lainnya. Ketiga

Keluarga Berencana yaitu angka akseptor KB dan laju pertumbuhan

penduduk alami.

Pembangunan daerah saat ini sejalan dengan pembangunan

nasional, lebih besar perhatiannya pada pembangunan sumberdaya

manusia ditandai dengan meningkatnya dana pembangunan di sektor

pendidikan dan kesehatan mencapai 20 persen dari total anggaran

pembangunan daerah. Pembangunan yang dilakukan diharapkan

memberikan perkembangan dan kemajuan yang berarti di berbagai aspek.

Indeks Pembangunan Manusia ditunjukkan sebagai berikut.

Page 47: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

47

Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Aceh

mengalami tren positif dan terus mengikuti tren perkembangan Indeks

Pembangunan Nasional bahkan hampir menyamai IPM nasional. IPM

Propinsi Aceh tersebut termasuk dalam kategori menengah ke atas yaitu

antara IPM 66 hingga 80. Perkembangan IPM tersebut menempatkan Aceh

pada urutan ke 17 pada tahun 2007 dari urutan 18 pada tahun 2006

dengan Shortfall sebesar 3,06. Namun pada tahun 2008 IPM Aceh tidak

mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara

lain perkembangan ekonomi daerah pada tahun 2008 tidak menguntungkan

akibat dampak krisis ekonomi global dan inflasi yang relatif tinggi dan

penggunaan anggaran yang relatif rendah.

B. Pendidikan Sejalan dengan Angka Partisipasi Murni SD/MI yang relatif tinggi

dan sarana prasarana sekolah yang membaik, maka Angka Putus Sekolah

SD/MI mengalami perkembangan yang positif. Hal ini ditunjukkan Angka

Putus Sekolah rata di bawah satu persen yang lebih kecil dari Angka Putus

Sekolah SD/MI Nasional umumnya lebih dari dua persen. Tidak demikian

halnya dengan Angka Putus Sekolah SLTP sederajat di Aceh. Pada

umumnya di atas lima persen, bahkan mencapai 7,57 persen pada tahun

Page 48: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

48

2005, meskipun tren perkembangannya positif, sebagaimana ditunjukkan

grafik berikut.

Angka Putus Sekolah SLTP sederajat setiap tahunnya lebih besar

dari angka nasional, terutama pada tahun 2005 akibat tsunami terjadi

perbedaan dengan angka nasional sebesar 5,60 persen, sedangkan tahun

lainnya menunjukkan perbedaan di bawah tiga persen. Angka putus

sekolah SLTP sederajat ini yang relatif tinggi disebabkan di samping

kesadaran masyarakat yang relatif rendah dan akibat keterbatasan

ekonomi khususnya di pedesaan dan jumlah sarana prasarana sekolah

SLTP tidak tersebar sebanyak sekolah SD sederajat.

Page 49: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

49

C. Kesehatan Selain IPM dan pendidikan, kualitas sumberdaya manusia ditentukan

oleh indikator kesehatan. Salah satu indikator kesehatan masyarakat

ditunjukkan oleh tinggi rendahnya usia atau umur harapan hidup rata-rata

penduduk. Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk di Propinsi Aceh

menunjukkan tren yang positif mengikuti trendi nasional, Umur Harapan

Hidup perempuan relatif lebih tinggi dibandingkan laki-laki, pada tahun

2006 dan 2007 Umur Harapan Hidup perempuan 69 tahun sedangkan laki-

laki 67 tahun dan 68 tahun. UHH Aceh dan Nasional ditunjukkan pada

Grafik berikut.

Umur Harapan Hidup penduduk di Propinsi Aceh dapat dikatakan

hampir menyamai Umur Harapan Hidup penduduk secara nasional. Namun

sebenarnya Aceh bisa lebih tinggi dari Nasional, jika anggaran

pembangunan di daerah dapat digunakan secara maksimal, mengingat

dana pembangunan propinsi Aceh sangat signifikan. Selama dua tahun

terakhir jumlah dana pembangunan hanya terserap sekitar……….. persen

Selain UHH kualitas kesehatan SDM diperlihatkan oleh Angka

Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI). AKB di Propinsi Aceh

menunjukkan trendi membaik, namun rata-rata masih di atas AKB nasional

walaupun pada tahun 2007 sama dengan angka nasional, seperti

ditunjukkan pada grafik berikut.

Page 50: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

50

Besarnya angka kematian bayi di Aceh terjadi terutama di pedesaan.

Hal ini disebabkan oleh sarana dan prasarana yang masih terbatas seperti

bidan dan dokter di desa. Meskipun semakin banyak tercatat jumlah bidan

kontrak di desa, namun mereka kebanyakan tidak tinggal dan menetap di

desa akibatnya pelayanan tidak maksimal. Di samping itu AKB secara

signifikan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu, terlihat pada tahun

2007 kematian 67 bayi pada ibu yang tidak sekolah, 65 bayi pada ibu yang

tidak tamat SD, 43 bayi pada ibu yang tamat SD, 36 bayi pada ibu tidak

Page 51: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

51

tamat SLTP dan 23 bayi meninggal pada ibu yang tamat SLTP. Rendahnya

pendidikan ibu tersebut menyebabkan bayi meninggal dengan berat badan

rendah dan gangguan perinatal dalam kandungan.

Angka Kematian Bayi yang tidak mengalami perubahan yang berarti

diiringi dengan angka gizi kurang dan gizi buruk yang masih relatif tinggi di

berbagai kabupaten kota di Propinsi Aceh. Angka Kematian Ibu pada

tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 200 orang dan 209 orang

jumlahnya lebih baik dari angka nasional. Sebesar 255 orang dan 228

orang. Angka Gizi Kurang (AGK) dan Angka Gizi Buruk (AGB) di Propinsi

Aceh pada tahun 2007 Aceh masih cukup besar. AGK mencapai jumlah

20719 jiwa dan AGB sebanyak 3969 jiwa yang tersebar di 23 kabupaten

kota seperti tergambar pada grafik berikut.

Angka Gizi Kurang dan Angka Gizi Buruk yang masih tinggi

digambarkan di atas di sebabkan oleh beberapa hal, antara lain tingkat

pendidikan dan tingkat pendapatan keluarga yang relatif rendah. Di

samping itu pelayanan publik di bidang kesehatan yang relatif buruk antara

lain banyak bidan yang enggan tinggal di desa meskipun sudah terikat

kontrak kerja dengan Depkes, sehingga kegiatan penyuluhan kesehatan

Page 52: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

52

bayi melalui posyandu tidak bekerja dengan baik. Di samping itu serapan

dana pembangunan selama tiga tahun terakhir termasuk tahun 2009 relatif

rendah, hingga saat ini Dana Pembangunan APBA tahun 2009 baru

terserap sekitar 40 persen. Faktor lain juga terlihat pada Dana Otsus 2008

yang banyak diperuntukkan bagi peningkatan pendidikan dan kesehatan

masih banyak dipertanyakan oleh kabupaten n kota dan Dana Otsus tahun

2009 hingga saat ini baru terealisasi sekitar 20-25 persen.

D. Keluarga Berencana

Permasalahan kualitas SDM sangat erat kaitannya dengan jumlah

penduduk. Semakin besar jumlah penduduk semakin besar kebutuhan

sejumlah sarana prasarana dasar yang dibutuhkan seperti sarana

kesehatan dan pendidikan. Untuk mengatur pertumbuhan penduduk alami

berbagai upaya telah dilakukan antara lain Program Keluarga Berencana

dengan memfasilitasi masyarakat kurang mampu membeli alat kontrasepsi,

dan penyuluhan-penyuluhan penting KB dan keluarga kecil sejahtera.

Angka Peserta Keluarga Berencana di Provinsi Aceh relatif

Masih rendah seperti terlihat pada grafik berikut.

Peserta Keluarga Berencana Provinsi Aceh relatif rendah sekitar 43

persen dibandingkan angka peserta KB nasional rata-rata sekitar 56 persen

Page 53: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

53

dari seluruh pasangan usia subur yang ada. Rendahnya angka tersebut

terutama disebabkan rendah pengetahuan masyarakat pentingnya KB dan

pelayanan publik yang relatif kurang serta serapan dana pembangunan

yang masih rendah. Angka peserta KB tersebut berimplikasi kepada

tingkat pertumbuhan penduduk alami yang terjadi di daerah. Pertumbuhan

penduduk Aceh secara umum masih di bawah trendi pertumbuhan

penduduk nasional, terlihat pada grafik berikut.

Pertumbuhan penduduk Aceh tahun 2004 dan 2005 sangat rendah

akibat dampak tsunami yang menelankan lebih dari 200 ribu orang dan

menyebabkan berkurangnya pasangan usia subur yang relatif besar,

sehingga laju pertumbuhan penduduk hanya 0,56 persen tahun 2004 dan

0,20 persen pada tahun 2005. Pada tahun 2006 pertumbuhan penduduk

kembali di atas satu persen, karena kondisi Aceh sudah mulai pulih

dengan berjalannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan rakyat

yang hancur akibat tsunami, sedangkan angka peserta KB tidak signifikan

mempengaruhi pertumbuhan penduduk pada kondisi tersebut.

Page 54: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

54

2.2.2 Indikator Yang Menonjol di Bidang Pendidikan A. Tingkat Partisipasi Murni Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidayah (SD/MI)

Meskipun indikator lain tidak mengalami perkembangan yang berarti

dibandingkan nasional, tidak demikian dengan Angka Partisipasi Murni

(APM) pada tingkat pendidikan SD/MI. APM pada sekolah SD/MI di Aceh

menunjukkan trendi perkembangan yang positif, umumnya di atas 95

persen lebih besar dari angka nasional dengan rata-rata di bawah 95

persen. Tingkat kesadaran yang tinggi dari masyarakat berperan penting

dalam mewujudkan APM (SD/MI) tersebut, di samping itu fasilitas sekolah

SD sederajat di Aceh terus membaik, terutama akibat Rehabilitasi dan

Rekonstruksi sarana prasarana sekolah dasar dan sederajat setelah

tsunami tahun 2004 dan membaiknya keamanan setelah MoU Helsinki

pada tahun 2005.

Angka Partisipasi Murni pada tingkat SD dan MI angka yang relatif

tinggi dan mengalami trendi positif. Hal tersebut menunjukkan kesadaran

yang tinggi dari masyarakat untuk mendidik anak-anak usia dini pada

pendidikan formal hingga di daerah perdesaan. Keadaan ini juga didukung

oleh penyediaan sarana prasarana Sekolah Dasar dan Sederajat pasca

Page 55: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

55

tsunami dan konflik oleh berbagai pihak, antara lain Dinas Pendidikan dan

Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias.

B. Angka Melek Huruf Sejalan dengan Angka Partisipasi Murni dan Angka Putus Sekolah

SD/MI Aceh lebih baik dari nasional, maka Angka Melek Huruf di Aceh

relatif lebih tinggi dari nasional, ditunjukkan pada grafik berikut.

Angka Melek Huruf di Aceh relatif stabil dan masih di atas 95

persen, hal ini disebabkan selain partisipasi sekolah dasar yang tinggi,

penduduk yang tidak tamat SD sederajat lebih kecil dibandingkan angka

nasional, hal ini terlihat pada tahun 2006 jumlah penduduk tidak tamat SD

di Aceh hanya 28 persen sedangkan nasional mencapai sebesar 40,86

persen. Padahal Aceh pada tahun 2006 baru pulih dari dampak tsunami

dan konflik keamanan. Hal yang lain juga mempengaruhi angka melek

huruf ini akibat perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat

hingga ke pedesaan seperti Koran dan telepon seluler. Meskipun Angka

Melek Huruf di Aceh sangat positif, namun masih ada persoalan di mana

angkanya masih di dominasi oleh laki-laki artinya perempuan lebih relatif

kecil dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan kemungkinan besar

Page 56: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

56

pelaksanaan program dan proyek pemberantasan buta huruf tidak

memperhatikan kesetaraan gender terutama di pedesaan.

2.3.3 Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan gambaran dari capaian berbagai indikator di atas

permasalahan peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Provinsi Aceh

adalah :

1. Meskipun prasarana publik di Aceh sudah meningkat, namun pelayanan

masyarakat masih buruk. Sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan

saat ini sudah memadai baik secara kuantitas maupun kualitas belum di

berdayakan secara optimal. Perlu terus diupayakan secara konsisten

sistem insentif dan sanksi yang tegas agar tenaga pendidik dan tenaga

kesehatan lebih profesional dan bertanggung jawab.

2. Pencairan anggaran pembangunan yang dilakukan sekarang ini kurang

mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan masyarakat,

sebagian besar tidak tepat sasaran dan lebih banyak digunakan untuk

kegiatan aparatur pada dinas-dinas pendidikan. Di samping itu fasilitas-

fasilitas pendidikan yang senjang antar wilayah dan kesejahteraan para

pendidik atau guru yang relatif rendah yang berimplikasi kepada tingkat

pendidikan masyarakat yang relatif rendah.

3. Sulit diperoleh database yang valid yang berkaitan dengan secara

spesifik berdasarkan kondisi wilayah atau kabupaten/kota. Akibatnya

berbagai kebijakan dan dana pembangunan yang dilakukan sering tidak

fokus dan tidak tepat sasaran, sehingga bantuan dan dana pembangunan

di bidang ekonomi dalam upaya menciptakan kesempatan berusaha kurang

efektif dan optimal. Kondisi tersebut menyebabkan strategi pembangunan

ekonomi dan sosial di seluruh daerah Aceh cenderung homogen dan tidak

sesuai dengan potensi lokal dan kebutuhan daerah.

4 . Hubungan dan koordinasi ataupun kerja sama antara Dinas yang terkait

Dinas Pendidikan, Kesehatan, dan BKKBN untuk meningkatkan kualitas

sumberdaya manusia harus lebih sinergi.

Page 57: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

57

5. Kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki pengumpulan dan

pengolahan data. Keterbatasan data dan rendahnya kualitas data membuat

penyusunan program dan anggaran sangat sulit. Data yang akurat juga

diperlukan untuk penyusunan program, pemantauan dan evaluasi yang

berdasar bukti. Pengumpulan data dan pengolahan data hendaknya

digabungkan dengan identifikasi indikator yang sesuai, yang pada

gilirannya dapat memberikan informasi untuk penyusunan kebijakan dan

program.

2.5 TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL 2.5.1 Capaian Indikator Kemiskinan dan Pengangguran

A. Presentasi Penduduk Miskin Penduduk miskin di Provinsi Aceh secara rata-rata masih relatif

besar lebih dari 25 persen dari tahun 2004 hingga tahun 2007, sedangkan

tahun 2008 menurun menjadi 23,53 persen. Lebih jauh dapat dilihat pada

grafik berikut.

Dari grafik Angka Kemiskinan Provinsi Aceh mengalami trendi positif

di mana angka kemiskinan tersebut terus menurun, namun angka

kemiskinan tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan Angka

Kemiskinan Nasional berkisar pada 17 persen. Kondisi kemiskinan di

Page 58: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

58

Provinsi Aceh tersebut terkonsentrasi di pedesaan hingga mencapai 30

persen sedangkan di perkotaan rata-rata hanya 19 persen.

Banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan masih membelenggu

masyarakat khususnya di perdesaan. Faktor yang dimaksud antara lain:

Pertama, tingkat kemiskinan yang begitu parah di perdesaan antara

lain disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan sehingga kualitas

mereka sebagai tenaga kerja relatif, sehingga upaya pengentasan

kemiskinan banyak mengalami hambatan. Selanjutnya kemiskinan di

perdesaan tersebut terjadi karena pengembangan ekonomi di sentra rakyat

khususnya di sektor pertanian masih sangat terbatas akibat keterbatasan

modal usaha dan sarana produksi yang dimiliki masyarakat.

Kedua, terbatasnya lahan pertanian yang dimiliki dan dapat

diperoleh masyarakat pedesaan untuk melakukan usaha pertanian.

Akhirnya kemiskinan tersebut terjadi karena rendahnya pengetahuan

penguasaan teknologi yang diterapkan sehingga produksi dan produktivitas

menjadi rendah dan berimplikasi kepada rendahnya pendapatan.

Ketiga, keterbelakangan ekonomi untuk melakukan pemekaran

daerah agar ekonomi daerah dapat meningkat. Pemekaran daerah tingkat

II di Provinsi Aceh menimbulkan proses pemisahan administratif yang

sering menimbulkan masalah kepemimpinan dan pembentukan dinas dan

biaya yang besar dalam penyediaan perkantoran dan lain-lain, sehingga

menurunkan kemampuan dan strategi pembangunan yang koheren secara

besar-besaran. Hal tersebut mengakibatkan upaya-upaya pembangunan

khususnya bidang ekonomi mengalami hambatan sehingga kemiskinan dan

pengangguran tetap saja tinggi.

Keempat, setelah masa rekonstruksi dan rehabilitasi selama empat

tahun dampak akibat bencana tsunami tahun 2004 banyak prasarana dan

sarana yang sudah dibangun kembali. Namun di beberapa sektor yang lain,

seperti angka sambungan listrik rumah tangga dan kepadatan jalan lebih

tinggi dari rata-rata nasional, namun fasilitas lain seperti sambungan listrik,

sarana air bersih, sarana irigasi jauh di bawah rata-rata nasional. Hal ini

terkait secara langsung kepada kesempatan berusaha yang relatif kecil di

Page 59: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

59

Provinsi Aceh, yang juga mempengaruhi tingginya pengangguran dan

kemiskinan.

B. Tingkat Pengangguran Terbuka

Pada umumnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi

Aceh dan trendi TPT nasional sama- sama mengalami perkembangan

yang positif, namun TPT nasional lebih baik dibandingkan TPT Provinsi

Aceh dari tahun 2006 hingga tahun 2008. Lebih jelas ditunjukkan pada

grafik berikut.

Tingkat pengangguran Terbuka yang relatif tinggi tersebut terjadi

sebagai akibat pergeseran dalam struktur kesempatan kerja/usaha dari

sektor pertanian ke sektor lainnya, khususnya sektor jasa yang diakibatkan

oleh kebutuhan tenaga kerja dalam usaha rehabilitasi dan konstruksi di

Propinsi Aceh akibat gempa dan tsunami. Di samping itu kesempatan kerja

yang tercipta hanya sebesar 5 persen. Rendahnya kesempatan kerja

tersebut terjadi juga disebabkan oleh penawaran tenaga kerja yang terus

meningkat tidak diimbangi oleh permintaan tenaga kerja atau terbukanya

kesempatan kerja baru setiap tahunnya. Tingkat Pengangguran Provinsi

Aceh sekitar 9,35 persen pada tahun 2004 menjadi lebih dari 10 persen

pada tahun 2006 (World Bank:2007). Tingkat pengangguran di Provinsi

Page 60: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

60

Aceh relatif tinggi, hal ini berimplikasi kepada hasil produksi yang akan

diperoleh pada tahun berikutnya, di samping itu juga berpengaruh kepada

upaya-upaya yang harus dilakukan untuk membuka kesempatan kerja baru

agar pertambahan angkatan kerja di masa yang akan datang tidak

meningkatkan jumlah dan tingkat pengangguran

Hasil Analisis Pengeluaran Publik Aceh oleh Bank Dunia, (2006),

pembangunan ekonomi di Propinsi NAD ditujukan untuk meningkatkan

pertumbuhan dan upaya menciptakan kesempatan kerja yang dilakukan di

berbagai bidang yaitu, bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur antara

lain sarana jalan dan transportasi, irigasi, serta air dan irigasi diiringi

pengeluaran di berbagai sektor sebagai upaya menciptakan kesempatan

kerja. Pengeluaran pembangunan daerah di Aceh dari tahun 2004 hingga

2005 mengalami peningkatan, namun tahun 2005 lebih kecil dibandingkan

tahun 2004, namun bila dilihat pengeluaran pembangunan berdasarkan

sektor pada umumnya mengalami penurunan.

2.5.2 Indikator yang Menonjol 2.5.3 Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan evaluasi terhadap capaian pembangunan pada bidang

kesejahteraan sosial yang telah dilakukan dan permasalahan yang terjadi

maka rekomendasi yang dapat diberikan sebagai berikut:

1. Mengingat jumlah angkatan kerja dan pengangguran lebih banyak di

perdesaan, maka fokus pembangunan di perdesaan lebih diutamakan di

bidang pertanian, baik subsektor tanaman pangan, perkebunan maupun

perikanan yang titik beratnya adalah peningkatan produksi. Jalan keluar

yang utama adalah peningkatan produktivitas pertanian skala kecil dan

upaya pergeseran ke arah pertanian komersial. Kondisi tersebut

dilakukan karena harga komoditas pertanian dunia saat ini telah banyak

menopang pertumbuhan output.

2. Untuk meningkatkan kualitas pelaku pembangunan pemerintahan

sangat penting yang juga diikuti dengan sistem perencanaan,

pelaksanaan, dan pengelolaan dana-dana pembangunan yang sesuai

prosedur dan bertanggung jawab kepada perundang-undangan dan

Page 61: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

61

hukum yang telah ditetapkan. Di samping itu tingkat transparansi dan

keterlibatan publik dalam pembangunan harus diupayakan lebih tinggi,

agar masyarakat mempunyai sharing yang lebih besar dalam

pembangunan.

3. Pembelanjaan untuk aparat pemerintah terlalu tinggi. Pemerintah

Daerah menghabiskan sebagian besar anggaran untuk belanja

pegawai, sehingga mengurangi pembelanjaan untuk pembangunan di

berbagai bidang termasuk bidang pendidikan. Pembelanjaan publik

harus diperuntukkan bagi kegiatan yang berkaitan dengan

pembangunan yang dapat memperbaiki pemberian pelayan dan

kesejahteraan sosial serta menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial

jangka panjang, bukan bagi aparatur.

4. Sudah saatnya sekarang dilakukan perbaikan-perbaikan perencanaan

dalam penanggulangan kemiskinan dengan mengidentifikasi dan

mengacu kepada akar persoalan dan potensi yang terjadi di masing-

masing daerah, jika tidak masalah kemiskinan akan sulit dikurangi

bahkan dihapuskan.

Page 62: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 62 

 

62  

2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI ACEH 2.3.1.1. Capaian pendapatan regional

Pendapatan regional Aceh mengalami perlambatan, sedangkan

PDRB non-migas menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004 besaran

PDRB real Aceh yang dengan tahun dasar 2000 adalah Rp.40.3 triliun, dan

pada tahun berikutnya mengalami penurunan sehingga angka pada tahun

2007 menjadi sekitar Rp. 36 trilliun. Sebaliknya nilai PDRB non-migas Aceh

pada tahun 2004 adalah sekitar Rp.22 trilliun, dan menunjukkan trend

peningkatan pada tahun berikutnya sehingga menjadi Rp.26 trilliun

(diagram.1).

Diagram.1: Pendapatan regional Aceh mengalami perlambatan, sedangkan PDRB non-migas menunjukkan peningkatan.

Sumber: BPS Aceh

Namun laju pertumbuhan Aceh menurun tajam, kontras dengan

nasional, dan secara rata-rata Aceh tumbuh lebih lambat dari nasional

sepanjang 2004 hingga 2008. Pertumbuhan PDRB dan PDRB non-migas

Aceh mengalami penurunan dari tahun 2004 ke 2005; masing-masing dari -

9.63 persen menjadi -10.12 persen dan 1.76 persen menjadi 1.21 persen.

Selanjutnya terjadi peningkatan pertumbuhan yang relatif cukup tajam

pada tahun 2006 untuk PDRB dan PDRB non-migas sehingga menjadi

masing-masing 1.6 persen dan 7.71 persen. Namun pada tahun 2007

Page 63: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 63 

 

63  

pertumbuhan PDRB dan PDRB non-migas Aceh kembali mengalami

penurunan menjadi masing-masing -2.25 persen dan 7.41 persen.

Penurunan pertumbuhan Aceh terus berlangsung secara tajam dimana

pada tahun 2008 tingkat pertumbuhan PDRB dan PDRB non-migas

menjadi masing-masing -8.32 persen dan 1.89 persen. Secara kontras

pertumbuhan PDRB secara nasional menunjukkan percepatan dari 4.25

persen pada tahun 2004 menjadi 6.3 persen pada tahun 2008. Secara rata-

rata dalam rentang tahun 2004 hingga 2008 PDRB real dan PDRB real

non-migas Aceh tumbuh masing-masing -5.75 persen dan 4 persen,

sedangkan secara nasional PDRB tumbuh 5.35 persen (diagram.2).

Diagram.2: Laju Pertumbuhan Nasional dan Provinsi Aceh Periode 2004 – 2008 (dalam persentase)

Sumber: BPS Aceh

Penurunan pertumbuhan PDRB real Aceh yang tajam lebih

disebabkan oleh penurunan di sektor migas. Pada tahun 2004 hingga 2005

pertumbuhan PDRB real dan sektor migas (pertambangan dan industri

migas) Aceh mengalami penurunan masing dari -9.63 menjadi -10.12

persen dan dari -20.56 persen menjadi -24.06 persen. Selanjutnya pada

Page 64: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 64 

 

64  

tahun 2006 pertumbuhan PDRB Aceh dan sektor migas mengalami

peningkatan menjadi masing-masing -8.51 persen dan 1.56 persen. Pada

tahun 2007, pertumbuhan PDRB dan sektor migas Aceh kembali

mengalami penurunan yang besarannya adalah masing-masing -20.86

persen dan -2.25 persen. Selain daripada itu, sektor migas masih

memberikan kontribusi terbesar terhadap ekonomi Aceh dimana secara

rata-rata untuk tahun 2004 hingga 2007 sumbangan sektor ini adalah 36.14

persen (Tabel.1). Namun perlu dicatat bahwa pada tahun 2007 sektor

pertambangan migas turun menjadi urutan kedua setelah sektor pertanian

sebagai penyumbang terbesar terhadap PDRB Aceh.

Diagram.3: Penurunan pertumbuhan PDRB real Aceh lebih disebabkan oleh penurunan di sektor migas

sSumber: BPS dan hasil perhitungan Proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami memberi pengaruh signifikan

terhadap pertumbuhan PDRB non-migas Aceh sejak tahun 2005. trend in terlihat

khususnya pada sektor konstruksi yang naik dari -16.19 persen pada tahun 2005

menjadi 48.49 persen pada tahun 2006 seiring dengan meningkatnya secara

signifikan laju kegiatan pembangunan kembali rumah dan prasarana umum pasca

tsunami di Aceh pada tahun tersebut. Peningkatan laju pertumbuhan juga terjadi

secara cukup besar pada sektor pengangkutan transporatsi dan komunikasi yang

meningkat

Page 65: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 65 

 

65  

Tabel.1: Kontribusi Sektoral terhadap PDRB Aceh

Sektor Ekonomi 2004 2005 2006 2007 rata-rata

Sektor migas (pertambangan

dan industri migas). 44.86% 37.91% 34.15% 27.65% 36.14%

sektor pertanian 19.99% 21.37% 21.36% 22.94% 21.41%

sektor perdagangan hotel dan

restoran 12.05% 14.29% 15.12% 15.73% 14.30%

sektor jasa-jasa 10.38% 12.66% 13.02% 15.23% 12.82%

sektor pengangkutan dan

komunikasi 3.76% 4.78% 5.22% 5.93% 4.92%

sektor konstruksi 3.75% 3.50% 5.11% 5.96% 4.58%

sektor manufaktur non-migas 3.38% 3.57% 3.55% 3.95% 3.61%

sektor Jasa keuangan 1.21% 1.22% 1.34% 1.42% 1.30%

sektor pertambangan non-migas 0.47% 0.53% 0.94% 0.98% 0.73%

sektor listrik dan air minum 0.15% 0.16% 0.18% 0.23% 0.18%

PDRB Aceh 100% 100% 100% 100%

Sumber: BPS dan hasil perhitungan

pada tahun 2004 hingga 2005 dari 3.67 persen menjadi 14.39 persen

seiring tingginya kegiatan pengiriman bantuan tanggap darurat pasca

tsunami. Selanjutnya sektor yang juga mengalami peningkatan yang cukup

tajam adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran (tabel.3).

Pendapatan regional non-migas Aceh didominasi oleh sektor

pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa. Sektor

pertanian tetap merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB non-

migas Aceh walaupun kontribusinya terus menurun sejak 2004. Secara

rata-rata untuk rentang tahun 2004 hingga 2007 kontribusi sektor ini

berkisar 33.7 persen. Sektor pertanian diikuti oleh sektor perdagangan,

hotel dan restoran sebagai penyumbang terbesar terhadap PDRB non-

migas Aceh dengan rata-rata kontribusi sebesar 22.39 persen. Sedangkan

sektor yang memberikan kontribusi ketiga terbesar untuk PDRB non-migas

Page 66: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 66 

 

66  

Aceh adalah sektor jasa yang secara rata-rata menyumbangkan sekitar 20

persen (tabel.2).

Tabel.2: Kontribusi Sektoral terhadap PDRB non-migas Aceh

Sektor Ekonomi 2004 2005 2006 2007 rata-rata

sektor pertanian 36.25% 34.42% 32.44% 31.70%

33.70

%

sektor perdagangan hotel dan

restoran 21.85% 23.02% 22.96% 21.74%

22.39

%

sektor jasa-jasa 18.83% 20.40% 19.77% 21.05%

20.01

%

sektor pengangkutan dan

komunikasi 6.81% 7.70% 7.93% 8.20% 7.66%

sektor konstruksi 6.80% 5.63% 7.77% 8.24% 7.11%

sektor manufaktur non-migas 6.14% 5.75% 5.40% 5.46% 5.69%

sektor Jasa keuangan 2.19% 1.96% 2.03% 1.96% 2.04%

Sektor Pertambangan non-

migas 0.86% 0.86% 1.42% 1.35% 1.12%

sektor listrik dan air minum 0.27% 0.26% 0.27% 0.31% 0.28%

PDRB non-migas Aceh 100.00

%

100.00

%

100.00

%

100.00

%

Kontribusi sektor manufaktur

terhadap PDRB secara

nasional 28.07% 27.41% 27.54% 27.06%

27.52

%

Sumber: BPS dan hasil perhitungan

Sektor manufaktur non-migas Aceh memegang peranan yang kecil

terhadap PDRB non-migas relatif dengan nasional. Dalam perekonomian

Aceh, sektor manufaktur non-migas memberi kontribusi bagi PDRB non-

migas secara rata-rata dari tahun 2004 hingga tahun 2007 hanya sebesar

5.69 persen. Angka ini jauh dibawah proporsi sektor manufaktur terhadap

Page 67: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 67 

 

67  

PDRB secara rata-rata nasional pada rentang tahun yang sama yang

berkisar 27.52 persen.

Trend terkini menunjukkan terjadinya penurunan tingkat

pertumbuhan yang signifikan di sektor perdagangan, hotel dan restoran

serta sektor konstruksi. Sektor konstruksi menglami penurunan tingkat

pertumbuhan yang signifikan pada tahun 2006 hingga ke tahun 2007 dari

48.49 persen menjadi 13.93 persen. Selanjutnya sektor perdagangan, hotel

dan restoran mengalami penurunan dalam tahun yang sama dari 7.41

persen menjadi 1.7 persen. Sebab dari trend ini adalah menurunnya

kegiatan sektor-sektor tersebut sebagai akibat kegiatan rehabilitasi dan

rekonstruksi Aceh pasca tsunami memasuki tahap penyelesaian.

Penurunan tingkat pertumbuhan di kedua sektor ekonomi yang cukup

dominan ini, serta pada beberapa sektor lain, berkontribusi kepada

penurunan tingkat pertumbuhan PDRB non-migas Aceh pada tahun 2007.

Tabel.3: Pertumbuhan non-migas Aceh berdasarkan sektor ekonomi.

2004 2005 2006 2007 rata-rata

Pertumbuhan sektor pertanian 6.04% -3.89% 1.52% 4.95% 2.16%

pertumbuhan sektor manufaktur

non-migas

-

37.32% -5.11% 1.08% 8.57% -8.20%

Pertumbuhan sektor konstruksi 0.92% -16.19% 48.49% 13.93% 11.79%

Pertumbuhan sektor perdagangan

hotel dan restoran -2.68% 6.64% 7.41% 1.70% 3.27%

Pertumbuhan sektor

pengangkutan dan komunikasi 3.67% 14.39% 10.99% 10.95% 10.00%

Pertumbuhan sektor jasa-jasa 20.14% 9.65% 4.41% 14.33% 12.13%

Pertumbuhan PDRB Aceh -9.63% -10.12% 1.56% -2.25% -5.11%

Pertumbuhan PBRD non-migas

Aceh 1.76% 1.21% 7.71% 7.41% 4.52%

Sumber: BPS dan hasil perhitungan

Page 68: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 68 

 

68  

Mengingat sektor-sektor yang mengalami penurunan sangat erat dengan

intensitas kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, diperlukan sektor

ekonomi lain yang dapat mendongkrak perekonomian Aceh, seperti sektor

pertanian dan sektor manufaktur non-migas.

Sektor pertanian mengalami penurunan pertumbuhan yang cukup

tajam, dan walaupun positif namun tingkat akselerasi pertumbuhan sektor

manufaktur menunjukkan penurunan. Akibat bencana gema dan tsunami,

sektor pertanian dan sektor manufaktur non-migas mengalami

pertumbuhan negatif. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi berhasil

mengangkat pertumbuhan kedua sektor tersebut sehingga pertumbuhan

pada rentang tahun 2005 hingga 2006 untuk masing sektor pertanian

meningkat dari -3.89 persen menjadi 1.52 persen. Sedangkan sektor

manufaktur non-migas meningkat dari tahun 2004 ke 2006 dari -37.22

persen menjadi 1.08 persen. Walaupun sektor pertanian dan manifaktur

mengalami peningkatan tingkat pertumbuhan pada tahun 2007 menjadi

masing-masing 4.95 persen dan 8.57 persen ,namun pada tahun 2008

tingkat pertumbuhan sektor pertanian turun tajam menjadi 0.81 persen.

Selanjutnya walaupun data untuk sektor manufaktur non-migas untuk tahun

2008 yang terpublikasi belum tersedia namun dapat diperhatikan bahwa

tingkat akselerasi pertumbuhan sektor menunjukkan penurunan

(diagram.4). Bila trend penurunan pertumbuhan kedua sektor diatas terus

berlangsung maka sulit kiranya bagi Aceh untuk dapat meningkatkan

pertumbunan PDRB non-migas untuk tahun-tahun mendatang seiring

dengan berakhirnya masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca gempa

dan tsunami.

Page 69: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 69 

 

69  

Diagram.4: Sektor pertanian mengalami penurunan pertumbuhan yang cukup tajam, dan walaupun positif namun tingkat akselerasi pertumbuhan sektor manufaktur menunjukkan penurunan.

Sumber: BPS dan hasil perhitungan 2.3.1.2. Capaian pendapatan perkapita dan inflasi.

Pendapatan per kapita Aceh berada diatas namun tanpa migas

berada dibawah nilai nasional. Pada tahun 2004, tingkat pendapatan per

kapita Aceh dan non-migas Aceh dan nasional adalah masing-masing

sekitar Rp.11.9 Juta, Rp.7.1 juta dan Rp.10.6 juta. Pola perbedaan ynag

sama terkihat pada tahun-tahun berikutnya dimana pendapatan perkapita,

nonmigas perkaita Aceh serta pendapatan per kapita nasional adalah

masing sebesar Rp.19 juta, Rp.14 juta dan 17.6 juta pada tahun 2007

(tabel.4).

Pendapatan per kapita non-migas Aceh yang rendah terhadap nasional

diakibatkan oleh pertumbuhan pendapatan per kapita Aceh yang rendah relatif

dengan nasional. Pada tahun 2005 hingga tahun 2007 tingkat pertumbuhan

pendapatan perkapita berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan -3.74 persen.

Pertumbuhan pendapatan non-migas per kapita Aceh untuk tahun 2005 hingga

tahun 2007 juga berfluktuasi dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 5.31 persen.

Sebaliknya tingkat rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita nasional dalam

Page 70: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 70 

 

70  

Tabel.4: Pendapatan perkapita Aceh berada diatas namun tanpa migas berada dibawah nilai nasional.

2004 2005 2006 2007

Pendapatan per

kapita (dengan

migas) Aceh 11,937,287 13,973,799 17,558,047 19,048,748

pendapatan per

kapita tanpa Migas

Aceh 7,147,062 8,697,939 11,136,862 14,000,089

Pendapatan per

kapita nasional 10,610,000 12,680,000 15,030,000 17,580,000

Sumber: BPS dan hasil perhitungan. rentang tahun yang sama adalah 8.47 persen (tabel.4). Trend ini disebabkan oleh

trend migrasiyang terjadi di Aceh yang digerakkan oleh kegiatan rehabilitasi dan

rekonstruksi Aceh pasca gempa dan tsunami, serta tingginya pertumbuhan

ekonomi Aceh pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi tahun 2006. Kegiatan tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami

menyebabkan tingkat inflasi Aceh lebih tinggi dari nasional. Pada tahun 2004

tingkat inflasi Aceh berada pada 7.16 persen, lebih rendah dari tingkat inflasi

nasional sebesar 6.1 persen. Pada tahun 2005 tingkat inflasi Aceh meningkat

tajam menjadi 29.35 persen. Tingkat inflasi ini adalah tiga kali lipat dari tingkat

inflasi nasional yang besarnya adalah 10.5 persen. Pada tahun 2006 inflasi Aceh

turun tajam dan berada berada pada tingkat 10.51 persen, lebih rendah dari inflasi

nasional yang besarnya 13.1 persen. Pada tahun 2007, tingkat inflasi turun

kembali menjadi 7.59 persen, namun angka ini masih lebih tinggi dari angka inflasi

nasional yang besarnya adalah 6 persen, dan demikina halnya dengan tahun

2008 dimana angka

Page 71: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 71 

 

71  

Tabel.5: Trend pendapatan per kapita Aceh yang rendah terhadap nasional diakibatkan oleh pertumbuhan pendapatan per kapita Aceh yang rendah relatif dengan nasional.

2005 2006 2007 rata-rata

pertumbuhan

pendapatan

perkapita Aceh

(real) -6.97% 2.67% -6.92% -3.74%

pertumbuhan

pendapatan

per kapita non-

migas Aceh

(real) 4.76% 8.88% 2.28% 5.31%

Pertumbuhan

pendapatan

per kapita

nasional (real) 9.01% 5.43% 10.97% 8.47%

Sumber: BPS dan hasil perhitungan

inflasi Aceh adalah sekitar 12 persen sedangkan angka rata-rata

nasioanal adalah sekitar 11 persen (diagram.5). Sebab kenaikan inflasi

yang tinggi di Aceh pada tahun 2005 disebabkan oleh tarikan permintaan

(demand pull) dari kegiatan tanggap darurat dan rehabilitasi dan

rekonstruksi Aceh pasca tsunami.

Page 72: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 72 

 

72  

Diagram.5: Kegiatan tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami menyebabkan tingkat inflasi Aceh lebih tinggi dari nasional.

Sumber: BPS dan hasil perhitungan 2.3.1.2. Ekspor dan investasi

Nilai ekspor Aceh untuk tahun 2004 hingga 2007 menunjukkan trend

peningkatan. Pada tahun 2004, nilai ekspor Aceh yang berkisar US$ 47

juta. Pada tiga tahun berikutnya nilai ekspor Aceh mengalami fluktuasi dan

pada tahun 2007 nilai tersebut menjadi berkisar US$. 88 juta (diagram.7).

Diagram.7: Nilai ekspor Aceh untuk tahun 2004 hingga 2007 menunjukkan trend peningkatan.

Sumber: BPS dan hasil perhitungan.

Page 73: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 73 

 

73  

Namun proporsi nilai ekspor terhadap PDRB Aceh untuk rentang

2004 hingga 2007 adalah jauh dibawah rata-rata nasional. Pada tahun

2004 proporsi ekspor non-migas Aceh terhadap PDRB non-migas Aceh

adalah 1.47 persen, jauh dibawah nilai proporsi nasional sebasar 20.1

persen. Secara rata-rata untuk rentang tahun 2004 hingga 2007, proporsi

ekspor non-migas Aceh terhadap PDRB non-migas Aceh hanyalah 1.17

persen, sedangkan nilai nasional adalah 20.41 persen (tabel.5). Rendahnya

proporsi nilai ekspor Aceh terhadap PDRB disebabkan oleh minimnya

investasi di Aceh, khususnya yang berorientasi ekspor.

Tabel.5: Namun proporsi nilai ekspor terhadap PDRB Aceh untuk rentang 2004 hingga 2007 adalah jauh dibawah rata-rata nasional

2004 2005 2006 2007

rata-

rata

Persentase

ekspor non-

migas terhadap

PDRB non-migas

Aceh 1.47% 1.56% 0.28% 1.36% 1.17%

Persentase

ekspor terhadap

PDRB 20.1% 20.8% 19.5% 21.3% 20.41%

Sumber: BPS dan hasil perhitungan. Realisasi investasi di Aceh, baik PMA maupun PMDN, yang tercatat

adalah nihil. Dari tahun 2004 hingga 2007 tidak tercatat realisasi investasi

di Aceh, walaupun baru pada tahun 2007 tercatat rencana penanaman

modal asing yang telah disetujui bernilai US$.65 juta. Hal ini bertolak

belakang dengan kenyataan secara rata-rata nasional dimana untuk

realisasi PMA tercatat pertumbuhan sekitar 24 persen dan untuk PMDN

adalah 32.5 persen. Terdapat sejumlah faktor yang menghambat realisasi

investasi di Aceh.

Kondisi jalan di Aceh, khususnya di tingkat kabupaten/kota masih

relatif rendah sehingga dapat mempengaruhi minat investasi. Kondisi untuk

Page 74: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 74 

 

74  

jalan nasional di Aceh untuk tahun 2007 adalah relatif memadai dengan

sekitar 65 persen berada dalam kondisi baik. Sebaliknya kondisi jalan

provinsi dan kabuapten/kota pada tahun yang sama adalah lebih rendah

dimana hanya 26 persen jalan province berada dalam kondisi baik

sedangkan untuk jalan kabupaten/kota hanya 18%. Selanjutnya terlihat

bahwa proporsi jalan nasional dalam kondisi baik telah meiningkat dari 7

persen pada tahun 2004 menjadi 65 persen sebagai hasil dari upaya

rekonstruksi Aceh. Namun untuk kondisi jalan provinsi hanya terjadi sedikit

peningkatan proporsi jalan dalam kondisi baik. Bahkan untuk jalan

kabupaten/kota terlihat bahwa proporsi kondisi jalan dalam keadaan baik

semakin kecil bahkan proposi jalam dalam keadaan buruk cukup tinggi dan

tidak berubah sejak tahun 2005 (tabel.6). Fakta diatas tentu akan

berpengaruh kepada ongkos transportasi barang dari dan ke Aceh. Dan

dengan potensi perkembangan Ekonomi Aceh yang tertumpu pada sektor

pertanian (World Bank, 2009), yang letaknya terkonsentrasi didaerah

pedesaan sehingga harus melalui jalan provinsi dan kabupaten, maka hal

ini akan berpengaruh pada ongkos melakukan investasi di Aceh.

Namun masalah pasokan listrik, kutipan tidak resmi dan persepsi keamanan

merupakan isu yang cukup signifikan yang menghambat realisasi investasi di

Aceh. Menurut penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2009) yang melakukan

survey persepsi pelaku usaha, mengidentifikasi bahwa masalah rendahnya

pasokan listrik di Aceh menjadi penyebab tingginya ongkos melakukan usaha di

Aceh. Frekeunsi padam listrik di Aceh lebih tinggi dari nasional, dan untuk

menjamin pasokan listrik, calon pengusaha harus menyediakan pembangkit listrik

sendiri. Hal ini tentu mengurangi tingkat kelayakan investasi untuk skala usaha

kecil dan menengah di Aceh . Selanjutnya dalam survey ini diidentifikasi bahwa

korupsi serta kutipan liar mejadi faktor penting bagi penghambat minat investasi di

Aceh. Hal ini menambah ongkos yang harus dikeluarkan oleh calon investor

dalam mempertimbangkan melakukan investasi di Aceh. Dan terakhir dan yang

tidak kalah pentingnya adalah persepsi dunia tentang keamanan berusaha di

Aceh. Persepsi tentang resiko kembalinya kondisi

Page 75: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 75 

 

75  

Tabel.6: Kondisi jalan di Aceh, khususnya di tingkat kabupaten/kota masih relatif rendah

Persentase kondisi jalan nasional

2004 2005 2006 2007

Baik 7% 40% 40% 65%

Sedang 62% 34% 29% 17%

Buruk 31% 26% 31% 18%

Persentase kondisi jalan Provinsi

2004 2005 2006 2007

Baik 13% 29% 23% 26%

Sedang 39% 46% 36% 37%

Buruk 48% 25% 40% 37%

Persentase kondisi jalan kabupaten/kota

2004 2005 2006 2007

Baik 20% 18% 18% 18%

konflik di Aceh menyebabkan calon investor mengenakan faktor

diskonto yang lebih besar dalam mempertimbangkan melakukan investasi

di Aceh. Resiko ini menyebabkan ongkos melakukan usaha di Aceh masih

lebih tinggi daripada daerah lain di Indonesia.

2.3.1.3. Analisis relevansi Pertumbuhan ekonomi yang rendah relatif dengan rata-rata nasional

merupakan permasalahan pembangunan Aceh, namun permasalahan ini

tidak menjadi sasaran eksplisit dalam kebijakan pembangunan daerah. Permasalahan pertama yang teridentifikasi pada bidang ekonomi pada

dokumen Rencana Pembanguna jangka Menengah Aceh (RPJMD) 2007-

2012 adalah pertumbuhan ekonomi rendah yang ditandai dengan

pertumbuhan PDRB Aceh yang negatif serta pertumbuhan PDRB non-

migas rendah. Permasalahan lain yang berkenaan dengan masih besarnya

kontribusi sektor pertambangan migas terhadap PDRB Aceh. Dalam

dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah Aceh ini tidak

Page 76: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 76 

 

76  

terdapat strategi pembangunan yang khusus menangani kedua

permasalahan ini, namun strategi pembangunan yang menyangkut

peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan proporsi sumbangan

sektor non pertambangan migas terkait dengan masalah pembangunan

ekonomi Aceh lainnya.

Berdasarkan analisa pada bahagian sebelumnya terlihat bahwa

tingkat pertumbuhan PDRB Aceh masih berada dibawah rata-rata

pertumbuhan PDRB nasional-dan nilainya masih negatif. Sebaliknya

pertumbuhan PDRB non-migas Aceh untuk tahun 2006 dan 2007 berada

diatas rata-rata nasional, namun tingakat pertumbuhan rata-ratanya untuk

rentang waktu 2004 hingga 2007 masih sedikit dibahwa rata-rata nasional.

Selanjutnya pada analisa pada bahagian tersebut disebutkan pula bahwa

pada tahun 2007 pertambangan migas telah digantikan oleh sektor

pertanian sebagai penyumbang terbesar PDRB Aceh. Hal ini pada satu sisi

dapat dipandang sebagai salah satu hasil kebijakan Pemerintah Aceh di

sektor pertanian. Namun disisi lain, penurunan kontribusi pertambangan

migas disebabkan oleh menurunya cadangan migas di Aceh. Selanjutnya

pada bahagian tersebut terlihat pula bahwa sektor manufaktur masih

memegang peranan kecil terhadap PDRB dan PDRB non-migas Aceh

relatif dengan nasional. Selanjutnya bila dirujuk pada nilai pendapatan

perkapita maupun tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita Aceh masih

dibawah rata-rata nasional.

Realisasi investasi merupakan masalah pembangunan yang penting

dan menjadi salah satu sasaran pembangunan Aceh namun capaiannya

pada tahun 2007 masih belum menggembirakan. Permasalahan

pembangunan ekonomi lainnya yang berlaku di Aceh menurut RPJMD

adalah realisasi investasi PMA dan PMDN yang rendah di Aceh.

Menanggapi hal ini Pemerintah Aceh mencantumkan “peningkatan realisasi

investasi” sebagai salah satu strategi pembangunan untuk 2007 hingga

2012. Berkenaan dengan hal tersebut Arah Kebijakan Umum Daerah (AKU)

mengandung sasaran “mendorong investor luar masuk ke Aceh”,

“Meningkatkan hubungan kerjasama regiaonal IMT-GT”, serta membangun

sistem pelayanan perizinan satu atap. Namun seperti yang telah

Page 77: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 77 

 

77  

dikemukakan pada pemabahasan sebelumnya, hingga tahun 2008 realisasi

investasi baik PMA dan PMDN masih nihil.

Ekspor walaupun tidak teridentifikasi secara eksplisit sebagai

permasalahan dalam RPJMD Aceh namun pemerintah Aceh menyertakan

peningkatan nilai ekspor Aceh sebagai salah satu strategi pembangunan

serta sebagai Arah Kebijakan Pembangunan Daerah. Dalam hal ini

Pemerintah Aceh menyadari pentingnya perluasan pasar bagi produk-

produk unggulan Aceh bagi pembangunan ekonomi Aceh. Berdasarkan

hasil analisa terdahulu ditunjukkan bahwa nilai ekspor Aceh menunjukkan

trend peningkatan, namun sumbangan ekspor terhapa PDRB masih relatif

kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nasional. mengingat bahwa Aceh

memiliki potensi yang cukup besar di sektor pertanian dalam artian luas

maka diharapkan peningkatan ekspor di masa depan akan berasal dari

sektor tersebut. Selanjutnya peningkatan ekspor dari sektor unggulan ini

diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh di masa depan.

Untuk mengurangi ongkos melakukan usaha, Pemerintah Aceh

melakukan kebijakan membentuk kantor pelayanan perizinan satu atap,

namun untuk menarik minat investasi diperlukan kebijakan lebih lanjut yang

dapat menstimulasi pengurangan “ongkos serta resiko” melakukan usaha di

Aceh. Permasalahan pembangunan Aceh lainnya adalah prosedur

perizinan usaha yang belum mencerminkan prinsip-prinsip pelayanan yang

mudah murah dan cepat. Dalam hal ini Pemerintah Aceh menempatkan

pembentukan kantor pelayanan perizinan satu atap dalam startegi

pembangunan dan Arah Kebijakan Umum Daerah. Stretegi ini

dimaksudkan untuk mengurangi ongkos dalam melakukan usaha di Aceh

serta menstimulasi investasi baru masuk ke Aceh. Dalam hal ini

Pemerintah Aceh telah merealisasikan pendirian Kantor Pelayanan

Perizinan Terpadu Satu Pintu (P2TSP) di tingkat provinsi serta lembaga

sejenis di sejumlah kabupaten/kota. Namun Pemerintah Aceh dapat

melakukan upaya lebih jauh untuk menarik investasi dengan cara

menghasilkan kebijakan pembangunan yang sasarannya adalah untuk

mengurangi kemungkinan kutipan liar terhadap sektor swasta dan

membangun kepercayaan pengusaha bahwa melakukan investasi di Aceh

Page 78: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 78 

 

78  

adalah aman dan menguntungkan, seperti yang dikemukan oleh World

Bank (2009).

Jalan menjadi salah satu permasalahan penting yang tertuang dalam

kebijakan daerah, namun perlu dipikirkan tentang perbaikan dalam

pengelolaan dan perawatan jalan yang lebih efisien. Permasalahan

pembangunan ekonomi Aceh lainnya adalah kondisi infrastruktur jalan yang

masih kurang memadai. Dalam hal ini pemerintah Aceh menjadikan

perbaikan jalan baik yang hancur akibat tsunami maupun lainnya menjadi

startegi pembangunan yang ingin dicapai serta Arah Kebijakan Umum yang

dituju. Berdasarkan analisa pada bahagian sebelumnya tersaji bahwa telah

terjadi peningkatan proporsi jalan nasional dalam kondisi baik. Sebaliknya

kondisi jalan untuk kabupaten/kota masih belum terdapat peningkatan

proporsi jalan dalam kondisi baik. Dengan mengingat bahwa potensi

pembangunan ekonomi Aceh ada di pertanian dan di pedesaan, maka

masalah ini perlu perhatian yang serius untuk dapat menarik investasi ke

Aceh. Mengingat bahwa proporsi pengeluaran untuk sektor Pekerjaan

Umum baik dalam APBD Provinsi maupun kabupaten/kota adalah cukup

signifikan (World Bank 2008), maka Pemerintah Aceh perlu mengajukan

strategi pembangunan yang dapat memperbaiki mekanisme pengelolaan

dan perawatan badan jalan yang lebih efisien.

Pasokan listrik yang kurang memadai merupakan permasalahan

dalam pembangunan ekonomi Aceh, namun kebijakan pembangunan yang

ada belum secara langsung menangani permasalahan ini. Permasalahan

pembangunan lainnya yang adalah keterbatasa pasokan listrik. Dalam

menyikapi masalah ini, Pemerintah Aceh mengajukan Strategi kebijakan

memperluas sambungan listrik di pedesaan. Tanpa menafikan pentingnya

hak masyarakat desa akan akses terhadap listrik diakomodir dalam

kebijakan pemerintah provinsi, kebijakan ini tidak menyentuh permasalahan

utama yang dihadapi dibidang kelistrikan di Aceh. Mengingat masalah

pasokan listrik yang memadai menjadi salah satu pertimbangan penting

dalam melakukan investasi di suatu daerah, Pemerintah Aceh perlu

mengajukan strategi kebijakan untuk menanggulangi permasalahan ini

secara eksplisit dalam kebijakan pembangunannya.

Page 79: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 79 

 

79  

2.3.1.4. Analisis efektivitas Pertumbuhan PDRB non-migas pada tahun 2006 dan 2007 adalah

lebih tinggi dari rata-rata nasional, namun sumbangan signifikan

berhubungan dengan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, sedangkan

perlambatan akselerasi tingkat pertumbuhan sektor pertanian perlu

diwaspadai. Pertumbuhan yang tinggi ini disumbangkan oleh sektor yang

berkenaan dengan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi (sektor konstruksi,

perdagangan hotel dan restoran serta sektor transportasi), serta oleh sektor

pertanian dan lainnya. Namun seperti yang telah disajikan pada bahagian

awal dari tulisan ini bahwa sektor yang berkenaan dengan kegiatan

rekonstruksi telah mengalami penurunan tingkat pertumbuhan sehingga

sektor-sektor ini tidak dapat diharapkan untuk dapat mendorong

pertumbuhan ekonomi di masa depan seiring dengan berakhirnya masa

rekonstruksi. Selanjutnya telah pula disajikan bahwa telah terjadi

peningkatan pertumbuhan di sektor pertanian dan manufaktur namun

seperti yang telah ditunjukkan pada bahagian awal tulisan bahwa

terindikasi adanya penurunan akselerasi tingkat pertumbuhan kedua

sektor-sehingga perlu diwapadai oleh pengambil kebijakan di Aceh.

Permasalahan ini perlu diperhatikan secara serius mengingat bahwa sektor

pertanian telah menggantikan sektor pertambangan migas sebagai

penyumbang terbesar tehadap PDRB Aceh.

Kebijakan menggalakkan investasi masuk ke Aceh belum

membuahkan hasil. Mengingat bahwa realisasi PMA dan PMDN di Aceh

masih nihil, kontras dengan kondisi rata-rata nasional, masalah ini perlu

menjadi perhatian penting bagi Pemerintah Aceh.

Kebijakan peningkatan ekspor masih perlu diintensifkan mengingat

potensi ekonomi Aceh di sektor pertanian masih relatif besar. Walaupun

telah ditunjukkan bahwa trend nilai ekspor Aceh meningkat namun proporsi

ekspor Aceh terhadap PDRB masih kecil bila dibandingkan dengan rata-

rata nasional. Kebijakan menggalakkan ekspor perlu terus ditempuh oleh

Pemerintah Aceh mengingat potensi ekonomi yang masih cukup besar

disektor pertanian dalam artian luas.

Page 80: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 80 

 

80  

Kebijakan mengenai kelistrikan masih belum menuju kepada

permasalahan. Walaupun maslah kurangnya pasokan listrik merupakan

masalah yang berlaku secara nasional, namun dalam World Bank (2009)

ditunjukkan bahwa frekeuensi pemadam listrik di Aceh masih lebih tinggi

dari rata-rata nasional. Hal ini akan member ipengaruh yang cukup besar

bagi ongkos melakukan usaha di Aceh serta mempengaruhi minat

investasi. Mengingat akan hal ini diperlukan perhatian yang serius baik oleh

pemerintah daerah maupun nasional untuk mengajukan kebijakan untuk

melakukan intervensi untuk menangani permasalahan ini. 2.3.2. Analisis capaian indikator spesifik dan menonjol

Penurunan pertumbuhan sektor migas menyebabkan serta

berakhirnya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi menyebabkan penurunan

PDRB dan PDRB non-migas Aceh secara tajam, sehingga segera

diperlukan sektor lain, seperti sektor pertanian, agar dapat mendongkarak

pertumbuhan di masa depan. Seperti yang telah diuraikan pada bahagian

awal dari tulisan ini bahwa telah terjadi penurunan tajam pada pertumbuhan

PDRB yang lebih disebabkan oleh menurunnya tingkat produksi migas

sebagai akibat menipisnya cadangan migas. Sebaliknya penurunan PDRB

non-migas Aceh lebih disebabkan menurunnya sektor-sektor ekonomi yang

terkait dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi seperti sektor

konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran yang memegang peranan

cukup penting dalam PDRB non-migas. Agar Aceh dapat meningkatkan

pertumbuhnan ekonomi dimasa depan diperlukan peningkatan

pertumbuhan di sektor ekonomi lain. Dengan mengingat bahwa Aceh

memiliki potensi sumber daya alam yang relatif cukup besar, khususnya di

sektor pertanian, maka diharapkan sektor ini, beserta dengan sektor

manufaktur yang berbasis pertanian akan menjadi “mesin pendorong”

pertumbuhan Aceh.

Namun capaian sektor pertanian serta serta manufaktur non-migas

belum menunjukkan arah yang positif. Dan seperti yang diulas pada

bahagian awal tulisan bahwa telah terjadi penurunan pertumbuhan sektor

peratnian yang cukup tajam, serta sektor manufaktur menunjukkan indikasi

akan melambat, maka kedua sektor ini belum berperan sebagi motor

Page 81: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 81 

 

81  

penggerak ekonomi Aceh. Pemerintah daerah telah menjadikan reviltalisasi

pertanian sebagai salah sasaran pembangunan yang ingin dicapai dalam

RPJMD. Namun merujuk capaian tingkat pertumbuhan sektor pertanian

pada tahun 2008 maka pemerintah daerah perlu mempertajam kebijaknnya

di sektor ini. Dalam dalam hal ini Pemerintah Aceh perlu merancang

kebijakan-kebijakan yang dapat menstimulasi jumlah output serta tingkat

produktivitas di sektor ini.

Perluasan kapasitas produksi serta pasar penting bagi pertumbuhan

Aceh masa mendatang namun capaian realisasi investasi dan ekspor Aceh

masih jauh lebih rendah dari rata-rata nasional. Peningkatan ekspor serta

investasi masuk ke Aceh merupakan sasaran-sasaran pembangunan yang

ingin dicapai oleh Pemerintah Aceh. Namun seperti ynag telah diuraikan

sebelumnya bahwa capaian realisasi investasi domestic maupun asing

hingga tahun 2008 masih nihil. Sama halnya, capaian ekspor Aceh masih

jauh dibawah capaian nasional. Mengingat bahwa peningkatan

pertumbuhan di sektor yang menjadi “kunci pendorong pertumbuhan

ekonomi”, seperti sektor pertanian, membutuhkan peningkatan kapasitas

produksi serta pemasaran, maka Pemerintah Aceh perlu menjadikan

peningkatan realisasi investasi serta ekpspor sebagai salah satu prioritas

pembangunan yang mendesak.

2.3.3. Rekomendasi kebijakan Merujuk pada pembahasan yang telah disajikan pada beberapa

bahagian dalam tulisan ini, berikut disajikan sejumlah saran kebijakan yang

seyoyianya dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi pengambil

keputusan dalam hal kebijakan Pembangunan ekonomi Aceh.

1. Pemerintah Aceh perlu mengajukan kebijakan yang secara eksplisit

menjadikan peningkatan pertumbuhan ekonomi non-migas, dan

peningkatan pertumbuhan pendapatan per kapita non-migas sebagai

sasaran yang ingin dicapai

2. Untuk menanggapi turunnya laju pertumbuhan ekonomi non-migas

sebagai akibat berakhirnya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca

tsunami, Pemerintah Aceh perlu menjadikan penggalangan

Page 82: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

 82 

 

82  

pertumbuhan sektor pertanian dalam artian luas serta manufaktur yang

berbasis pertanian sebagai salah satu prioritas pembangungan yang

mendesak.

3. Mengingat bahwa telah terjadi penurunan tajam dari pertumbuhan

sektor pertanian, yang dipandang sebagai “sektor kunci”, Pemerintah

Aceh perlu meneliti kembali serta mempertajam kebijakan-kebijakan

yang menyangkut dengan revitalisasi pertanian. Diperlukan kebijakan-

kebijakan yang dapat menstimulasi peningkatkan output serta tingkat

produktivitas di sektor ini.

4. Karena realisasi investasi swasta baru dapat mendongkrak

pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Aceh perlu mengintensifkan upaya-

upaya untuk meningkatkan minat investasi melalui pengidentifikasian

potensi daerah, promosi potensi daerah kepada calon investor serta

mengajukan kebijakan agar pemerintah daerah dapat lebih proaktif dan

membantu calon investor untuk merealisasikan kegiatan usahanya di

Aceh.

5. Dalam menggalakkan ekspor diperlukan terobosan kebijakan untuk

dapat menghasilkan surplus produksi komoditi-komoditi unggulan Aceh

sehingga dapat meningkatkan ekspor. Surplus produksi dapat

dihasilkan melalui kebijakan yang bertujuan memfasilitasi peningkatkan

produktivitas usaha-usaha potensi ekonomi Aceh yang sedang berjalan,

serta meningkatkan realisasi investasi di sektor potensi ekonomi Aceh.

6. Dalam  hal mengurangi  ongkos melakukan  usaha  di  Aceh,  Pemerintah  Aceh  dapat 

melakukan  advokasi  ke  pemerintah  pusat  atau  ke  Perusahaan  Listrik Negara  untuk 

menambah  pasokan  listrik  ke  Aceh.  Selanjutnya  Pemerintah  Aceh  bekerjasama 

dengan  lembaga  kepolisian,  peradilan  serta  lembaga  lain  yang  terkait  untuk 

menghilangkan  kemungkinan  adanya  kutipan  liar  terhadap  sektor  usaha  serta 

menumbuhkan  persepsi  masyarakat  khususnya  dunia  usaha  bahwa  “Melakukan 

investasi di Aceh adalah aman dan menguntungkan!” . Selain daripada itu Pemerintah 

Aceh  perlu  mengkaji  mekanisme  yang  dapat  memperbaiki  pengelolaan  dan 

pemeliharaan sarana  transportasi di Aceh.

 

 

Page 83: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

83

2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM KEHUTANAN Ciri sumberdaya hutan yang penting adalah peran gandanya sebagai

sistem penunjang kehidupan. Hutan tropika merupakan paru-paru dunia dan

sumber keragaman hayati yang tinggi. Peran tersebut menyebabkan relatif

tingginya kepentingan berbagai pihak terhadap pelestarian sumberdaya hutan.

Provinsi Aceh memiliki wilayah seluas 57,365.57 km2 yang terdiri dari dataran

rendah, perbukitan pegunungan sampai dataran tinggi. Luas hutan di Provinsi

Aceh adalah 3.588.135 ha (62,55 %), sedangkan padang rumput dan alang-alang

seluas 299.726 ha (4,0%). Selain itu, wilayah Aceh memiliki areal perkebunan,

besar dan kecil seluas 687.450 ha (11,83%) (Aceh Dalam Angka, 2008). Data ini

menunjukkan sebagian besar wilayah dataran Aceh masih merupakan hutan

lebat. Namun dari luas lahan tersebut sebagian besar sudah terekploitasi untuk

pengembangan perkebunan rakyat, pembukaan lahan perkebunan baru yang

diperuntukkan bagi eks kombatan GAM, masih terjadinya illegal logging meskipun

adanya larangan pemerintah (Perda) terkait dengan hal tersebut.

Menurut Aceh dalam Angka 2008, luas tanah terbuka (tandus, rusak, dan

land clearing) di Aceh seluas 44.439 ha (0,75%). Sekarang diperhitungkan tingkat

kerusakan hutan di Aceh semakin luas seiring dengan semakin maraknya

pembukaan lahan hutan untuk lahan pertanian. Sementara persentase luas lahan

rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis tingkat nasional pada tahun 2008

adalah seluas 0.26 %. Berarti persentase luas lahan tandus atau kritis di Aceh

lebih besar daripada tingkat nasional. Hal ini bermakna tingkat kerusakan hutan di

Aceh masih parah dari tingkat nasional.

Di Provinsi Aceh angka akurat dalam bentuk perkembangan tahunan

berkaitan dengan data ketiga aspek tadi belum tersedia secara valid. Namun

menurut keterangan dari pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh

dan data statistik kehutanan Aceh upaya rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan

kritis, rehabilitasi lahan luar hutan, dan konservasi hutan dilakukan secara

berkesenambungan setiap tahunnya. Berdasarkan data statistik kehutanan Aceh

2002-2007 lahan kritis di Aceh mencapai 1.655.508.109 ha, sedangkan rencana

rehabilitasi secara keseluruhan mencapai 73.762,00 ha. Terkait dengan kualitas

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di sektor kehutanan dilihat

Page 84: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

84

dari tiga aspek yaitu: (1) perbandingan Persentase luas lahan rehabilitasi

dalam hutan terhadap lahan kritis, (2) Rehabilitasi lahan luar hutan, dan (3)

luas kawasan konservasi. Kondisi perbandingan antara ketiga aspek tersebut

antara Provinsi Aceh dan Nasional dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Persentase Luas Lahan Rehabilitasi Dalam Hutan

Terhadap Lahan Kritis, Rehabilitasi Lahan Luar Hutan, dan Luas

Kawasan Konservasi Antara Provinsi Aceh Dan Nasional

Tahun Persentase Luas

Lahan Rehabilitasi

Dalam Hutan

Terhadap Lahan

Kritis (%)

Rehabilitasi Lahan Luar

Hutan (ha)

Luas Kawasan

Konservasi (ha)

Aceh Nasional Aceh Nasional Aceh Nasional

2004 - 1.03 12.023.00 390.896.00 - 22.715297.35

2005 - 0.93 14.260.00 70.410.00 - 22.703.151.16

2006 0.67 0.83 11.364.00 301.020.00 - 22.702.527.17

2007 0.53 0.26 18.040.00 239.236.00 852.533 20.040.048.01

2008 0.53 0.26 18.040.00 239.236.00 852.533 20.040.048.01

Tabel 1 menunjukkan indikator yang positif dilihat dari perbandingan

persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis, rehabilitasi

lahan luar hutan, dan luas kawasan konservasi baik di Provinsi Aceh maupun

Nasional, meskipun data Provinsi Aceh tidak lengkap. Indikator positif tersebut di

Aceh ada kaitannya dengan program rehabilitasi hutan yang diprogramkan dan

dilaksanakan secara multiyears dan berkelanjutan. Di samping itu, didukung oleh

adanya program Pemerintah Aceh (Irwandi Yusuf) pada Tahun 2007 yang

mencanangkan ”Aceh Green”. Terkait dengan program tersebut Pemeritah Aceh

sudah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan penebangan

kayu secara liar (illegal logging) dan tidak dikeluarkannya HPH sehingga

diharapkan program ini dapat mencegah meluasnya ekspoitasi terhadap

semberdaya hutan di Aceh.

Relevansi

Permasalahan di bidang kehutanan bahwa selama tiga dekade terakhir,

Page 85: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

85

sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional

dan daerah. Hal tersebut memberi dampak positif antara lain terhadap

peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan

wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain kebijakan pembangunan

pada masa lalu tersebut juga menyebabkan berbagai permasalahan baik

ekonomi, sosial, dan lingkungan. Adanya musibah bencana alam dan tsunami di

Provinsi Aceh pada akhir tahun 2004 juga telah memperbesar degradasi kawasan

lindung daerah pesisir yang sebelumnya memang telah berada dalam kondisi

yang relatif kritis akibat “tekanan penduduk” untuk berbagai keperluan.

Sumberdaya alam berupa hutan mangrove sebagian besar telah rusak dan

bahkan hilang sehingga akan berdampak negatif bagi kualitas lingkungan.

Selanjutnya, meningkatnya kebutuhan terhadap kayu untuk kegiatan rehabilitasi

dan rekonstruksi dalam pembangunan perumahan dan bangunan publik lainnya

setelah tsunami menyebabkan eksploitasi terhadap hutan di Aceh juga meningkat

dengan Tajam.

Selain itu, tingginya angka kemiskinan di Aceh merupakan alasan bagi

petani kecil untuk terus membakar hutan guna dijadikan kebun pertanian.

Contohnya di wilayah pengunungan Seulawah, sebagian hutan lindung sudah

ditebang dan dibakar oleh masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian. Namun

sayangnya, pencegahan oleh Polisi Kehutanan baru dilakukan setelah ekpolitasi

hutan bagitu meluas. Kondisi serupa juga terjadi di wilayah hutan lainnya, seperti

Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) dan Suaka Marga Satwa Rawa Singkil

serta Suaka Alam lainnya di Provinsi Aceh.

Persoalan meningkatnya degradasi hutan juga disebabkan oleh

pengelolaan hutan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala

besar, perubahan peruntukan kawasan hutan baik legal maupun illegal, over

cutting dan illegal logging, perambahan, okupasi lahan dan kebakaran hutan

maupun bencana alam. Pada aspek sosial-ekonomi masyarakat lokal, dampak

kegiatan pengusahaan hutan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di

sekitarnya tidak cukup nyata. Kondisi tersebut menjadi tekanan yang

menyebabkan sulit tercapainya pengelolaan hutan secara lestari.

Permasalahan mendasar yang mengakibatkan terjadinya kelemahan

tersebut antara lain disebabkan oleh orientasi yang terlalu bertumpu pada

Page 86: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

86

paradigma pertumbuhan ekonomi dan menitikberatkan pada produksi primer,

kebijakan alokasi sumberdaya yang tidak adil, sistem pengelolaan yang tidak

memenuhi kaidah kelestarian, KKN, lemahnya penegakan hukum dan

pengawasan, serta koordinasi antar sektor yang belum berjalan baik.

Saat ini kesenjangan bahan baku merupakan masalah besar yang sangat

berpengaruh terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Kekurangan bahan baku

untuk industri pengolahan kayu telah mendorong banyaknya penebangan melebihi

ketentuan (overcuting) maupun penebangan ilegal. Sementara itu upaya

pengembangan sumber bahan baku dengan membangun hutan tanaman tidak

sesuai dengan target yang ditetapkan, sehingga belum dapat diandalkan sebagai

sumber bahan baku.

Pengembangan alternatif pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu dari

hutan rakyat akan merupakan salah satu opsi yang strategis. Selain itu,

Kebakaran hutan merupakan masalah besar yang secara signifikan mengancam

pula kelestarian sumberdaya hutan, sementara penanganannya belum berjalan

baik. Kondisi ini pun tidak terlepas dari lemahnya sistem pengawasan yang

diakibatkan oleh orientasi pada produksi kayu dan kurang memperhatikan

kelestarian sumberdaya hutan sebagai indikator kinerja.

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, ada beberapa

‘tantangan (threat)’ berikut perlu diantisipasi dalam melaksanakan pembangunan

Kehutanan di Provinsi Aceh, antara lain:

1) ketidakseimbangan antara permintaan dan penyediaan bahan baku kayu;

2) perambahan, pencurian kayu dan illegal logging serta penyelundupan kayu

yang belum dapat dihentikan;

3) kebakaran hutan yang belum mampu diatasi dengan baik;

4) banyaknya penduduk miskin yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan;

5) masih rendahnya keberhasilan pengembangan hutan tanaman baru (HTI);

6) masih rendahnya kualitas dan pemanfaatan iptek;

7) adanya kecenderungan persyaratan ecolabelling hasil hutan di pasar

internasional,

8) kurangnya minat pengusaha untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu dan

jasa lingkungan;

9) luasnya areal kawasan hutan mangrove dan kawasan lindung pantai yang

Page 87: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

87

rusak akibat musibah tsunami;

10) keinginan Pemerintah Provinsi untuk menjadi Provinsi Aceh sebagai “Green

Province”.

Khusus bagi Provinsi Aceh adanya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001

merupakan titik awal bagi provinsi ini untuk mengatur dan mengelola sumberdaya

alam serta pemanfaatannya secara lebih baik dan “mandiri” bagi kemakmuran

rakyat di Provinsi Aceh dalam kerangka pembangunan nasional. Undang-undang

tersebut menempatkan titik berat Otonomi pada Provinsi yang pelaksanaannya

diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota. Kekhususan ini memberikan

kesempatan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan

berada pada tingkat Provinsi dengan tetap mengakomodir kepentingan daerah

Kabupaten/Kota.

Menyusul terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2001 telah ditetapkan sejumlah

Qanun (Peraturan Daerah), diantaranya Qanun Kehutanan dan Qanun Perizinan

Kehutanan. Qanun – qanun ini merumuskan kembali ruang lingkup pengurusan

hutan di Provinsi Aceh dan pembagian kewenangan kewenangan Provinsi dan

Kabupaten/Kota dalam bidang kehutanan, dengan mengacu kepada UU Nomor

41 tahun 1999. Merujuk pada agenda pembangunan Aceh, terintegrasi dengan

Kebijakan Umum Pembangunan Aceh Hijau, Dinas Kehutanan dan Perkebunan

melakukan pengelompokan kegiatan sesuai dengan kebijakan prioritas, sasaran

dan indikator strategis, serta program penganggaran, dengan tetap

memperhatikan kegiatan-kegiatan pokok yang telah ditetapkan. Kebijakan prioritas

itu adalah:

1) Re-design (penataan ulang) hutan Aceh untuk mewujudkan pembangunan

Aceh yang berimbang secara ekologi, ekonomi dan sosial;

2) Reforestasi yaitu peningkatan dan efektivitas rehabilitasi hutan dan lahan

3) Reduksi deforestasi yaitu menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan

dan pemanfaatan serta pengembangan sistem pengamanan hutan yang lebih

efektif

4) Tercukupinya kebutuhan konsumsi dan bahan industri pengolahan perkebunan

serta meningkatkan ekspor

5) Terpelihara dan terehabilitasi kembali kebun rakyat yang terlantar akibat

gempa/tsunami dan konflik

Page 88: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

88

6) Terbinanya mutu produk yang mempunyai daya saing di pasar dalam maupun

luar negeri

7) Terbentuknya Agribisnis perkebunan yang dapat mensejahterakan petani dan

pelaku usaha

8) Terfasilitasinya pembangunan perkebunan oleh investor dalam rangka

terbukanya kesempatan kerja dan berusaha di pedesaan

9) Memberdayakan petugas, kelompok tani dan lembaga masyarakat lainnya

dalam rangka mempercepat pembangunan perkebunan.

Sembilan kebijakan prioritas tersebut akan diimplementasikan dalam

bentuk program dan kegiatan. Untuk tahun 2009 pelaksanaan program dan

kegiatan tersebut dituangkan dalam Rencana Kerja Dinas Kehutanan dan

Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009.

Apabila dilihat dari program pemerintah Aceh ”Aceh Green” hingga

keluarnya Qanun Bidang Kehutanan serta Perkebunan serta kebijakan prioritas

Dinas Kehutan dan Perkebunan Provinsi Aceh menunjukkan pembangunan

kehutanan yang dijalankan untuk beberapa hal masih relevan dengan kebutuhan

Pemerintah Aceh. Namun belum secara menyeluruh relevan dalam menjawab

permasalahan yang sedang dihadapi daerah. Berdasarkan kebijakan prioritas

pemerintah belum jelas bagaimana program untuk mengatasi persoalan: (1)

ketidakseimbangan antara permintaan dan penyediaan bahan baku kayu,

terutama setelah terjadinya tsunami di Aceh yang permintaan kayu meningkat

tajam untuk rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan penduduk; (2) perambahan,

pencurian kayu dan illegal logging serta penyelundupan kayu yang belum dapat

dihentikan; dan (3) kebakaran hutan yang belum mampu diatasi dengan baik.

Efektivitas

Fungsi hutan sebagai mata rantai kehidupan saat ini belum mendapat

penilaian yang wajar. Publik pada umumnya masih menilai hutan hanya sebagai

penghasil kayu dan penyedia lahan untuk berbagai keperluan, seperti untuk

kebutuhan pertanian. Multifungsi hutan serta forward dan backward linkages

kehutanan yang sangat panjang dan luas belum mendapat tempat yang

semestinya. Hal ini misalnya terlihat dari proporsi anggaran pembangunan

kehutanan dan perkebunan yang masih sangat terbatas. Persepsi yang

cenderung undervalued tersebut telah menyebabkan banyak kawasan hutan yang

Page 89: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

89

mengalami degradasi. Oleh karena itu upaya memantapkan batas kawasan

hutan, meningkatkan rehabilitasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi

lingkungan menjadi sangat penting.

Selain itu, upaya merehabilitasi hutan perlu dilakukan lebih cepat dari laju

degradasinya sehingga hasilnya dapat lebih nyata. Berdasarkan data yang ada

saat ini, menunjukkan bahwa indikasi kawasan hutan yang perlu direhabilitasi

adalah seluas 1.626.800 ha, baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar

kawasan hutan. Kondisi ini memerlukan adanya komitmen yang kuat dari semua

pihak. Berbagai upaya pembangunan di bidang kehutanan dan perkebunan telah

dilaksanakan untuk memulihkan ekonomi rakyat yang semakin terpuruk sebagai

akibat dari krisis multi dimensi yang melanda hampir seluruh wilayah dalam

Provinsi Aceh.

Apabila dilihat dari kebijakan prioritas Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Provinsi Aceh, sebagian besar pemanfaatan lahan hutan saat ini terkonsentrasi

untuk pengembangan perkebunan rakyat. Adanya program Aceh Green

menyebabkan seluruh HPH baru tidak dikeluarkan di Aceh. Luas areal

perkebunan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai dengan tahun 2007

mencapai 818.098 Ha yang terdiri dari Perkebunan Rakyat 617.418 Ha dengan

produksi 887.991 ton dan Perkebunan Besar 200.680 Ha produksi 424.493 ton

(Statistik Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

2007). Perkebunan rakyat menangani berbagai jenis komoditi meliputi 24 jenis

komoditi dengan fokus utama pada beberapa komoditi, yang bersifat unggulan

nasional yaitu karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, kakao dan lada. Sedangkan

komoditi unggulan daerah yaitu pala, pinang, cengkeh, nilam, dan kemiri. Petani

yang terlibat didalam pembangunan perkebunan berjumlah 718.127 KK dengan

wilayah penyebaran meliputi 22 Kabupaten/Kota (tidak termasuk Kota Banda

Aceh).

Berdasarkan SK Gubernur No.19 Tahun 1999 Tanggal 19 Mei 1999 bahwa

arahan fungsi hutan Provinsi Aceh sebagai berikut: kawasan lindung pada

kawasan hutan : 2.697.033 ha, meliputi hutan konservasi seluas 852.533 ha dan

hutan lindung 1.844.500 ha. Sementara itu, kawasan budidaya hutan 638.580 ha,

meliputi hutan produksi 638.580 ha (hutan produksi terbatas 37.300 ha dan hutan

produksi tetap 601.280 ha).

Page 90: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

90

Pemerintah Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) berkaitan

dengan program ”Aceh Green” sebagai salah satu bentuk komitmen untuk

memelihara hutan Aceh. Perda ini melarang penebangan kayu liar dan

menghentikan pengeluaran HPH dalam upaya penyelamatan hutan Aceh.

Program ini dinilai banyak kalangan telah mampu memperkecil angka

perambahan hutan di Aceh, meskipun masih ditemukan beberapa kasus terkait

illegal logging. Penegakan hukum terhadap pelaku illegal logging semakin ketat.

Hal ini terindikasi dari semakin sulitnya pelaku illegal logging yang dilakukan oleh

para oknum masyarakat atau pihak berwenang yang lolos dari jeratan hukum

yang dimuat dalam surat kabar Harian Serambi Indonesia.

Dinas Kehutanan Provinsi mencanangkan program rehabilitasi lahan kritis

melalui penanaman kembali hutan kayu jati di wilayah pengunungan Aceh Besar

dan kayu sentang di Wilayah Aceh Timur. Selain itu, pemerintah Aceh juga

membina masyarakat sekitar hutan untuk penananam tanaman tahunan seperti

pohon durian, pala, dan rambutan serta beberapa jenis pohon hutan lainnya.

Melalui beberapa kebijakan yang telah dipaparkan tadi, pemerintah Aceh

diharapkan mampu mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan hutan

secara berkelanjutan.

Apabila dikaitkan efektifitas pelaksanaan dari 9 kebijakan prioritas Dinas

Kehutanan dan Perkebunan, ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Dinas

Kehutanan dan Perkebunan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi

rakyat. Namun demikian, muncul beberapa isu terkait bidang kehutanan yang

berdampak pada efektivitas pelaksanaan program pembangunan di bidang

kehutanan dan perkebunan, yaitu:

1. Belum selesainya redesain Hak Pengusahaan Hutan.

2. Kondisi lapangan yang cukup berat, assesibilitas yang rendah serta luasnya

areal yang harus dikelola.

3. Gangguan kekeringan, gejala elnino yang memicu terjadinya kebakaran

hutan.

4. Terbatasnya anggaran, penguasaan teknologi, dan mutu SDM dalam

menunjang keberhasilan pembangunan kehutanan.

5. Kesulitan memperoleh benih atau bibit yang bermutu tinggi dalam jumlah

yang cukup untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan serta

Page 91: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

91

pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).

6. Praktek pengelolaan hutan yang belum sesuai dengan azaz kelestarian

hutan.

7. Penegakan hukum (law enforcement) yang belum berjalan sepenuhnya.

8. Sistem pendanaan tahunan rutin dan pembangunan yang tidak sejalan

dengan pelaksanaan kegiatan yang ditentukan oleh kondisi musim dan iklim.

9. Sistem dan aturan perbankan yang kurang mendorong investasi di sektor

kehutanan.

10. Sikap sebagian kelompok masyarakat terhadap hutan belum sepenuhnya

menunjang pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.

11. Tingkat ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap lahan hutan dan

hasil hutan yang relatif masih tinggi.

Berdasarkan berbagai isu yang telah disebutkan tadi, maka dapat

dikatakan bahwa efektivitas pelaksanaan program pembangunan di bidang

Kehutanan dalam upaya memeliharan kualitas pengelolaan sumberdaya alam

belum berjalan secara optimal di Provinsi Aceh. Hal ini diindikasikan oleh

kebijakan prioritas dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh yang

belum sepenuhnya sesuai untuk mengatasi berbagai persoalan tadi, terutama

menyangkut redesain Hak Pengusahaan Hutan dan Penegakan hukum (law

enforcement).

Sehubungan dengan hal tersebut supaya mencapai tujuan Pemerintah

Aceh “Aceh Green”, maka diperlukan kebijakan pemerintah daerah yang konsisten

dan terpadu dalam mewujudkan program proritas di bidang kehutanan sehingga

berdampak positif terhadap kualitas pengelolaan sumberdaya alam dan hutan di

Aceh. Untuk itu, diperlukan tim independent sebagai bagian dari pengendalian

dan pengawasan dalam mengatasi masalah eksploitasi sumberdaya hutan

sehingga pengelolaan sumberdaya alam akan menjadi lebih baik di daerah

Provinsi Aceh pada masa mendatang.

KELAUTAN Aceh merupakan salah satu propinsi yang memiliki wilayah pesisir terbesar

di Pulau Sumatera. Dengan dikelilingi tidak kurang 1.865 km garis pantai dan

memiliki ± 180 pulau, Aceh kaya akan sumber daya laut baik sumberdaya hayati

Page 92: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

92

maupun sumberdaya non hayati. Selain itu, Provinsi Aceh juga berbatasan

langsung dengan dua perairan laut yang sangat penting, yaitu : Laut Andaman

dan Selat Malaka di bagian utara dan timur serta Laut India di bagian barat.

Dengan posisi tersebut memungkinkan Aceh memiliki luas laut 591.089 Km2

(teritorial 56.563 Km2 & ZEEI 534.520 Km2).

Berdasarkan potensi tersebut sudah seharusnya Provinsi Aceh memanfaat-

kannya sebagai salah satu pilar dalam pengembangan perekonomian untuk

menciptakan masyarakat Aceh yang lebih sejahtera. Namun sangat disayangkan

potensi kelautan dan perikanan Aceh masih belum dimanfaatkan secara optimal

karena berbagai hal, antara lain akibat sumberdaya manusia yang terbatas, konflik

yang berkepanjangan di masa lampau dan bencana alam tsunami tahun 2004

silam.

Selain itu, sebagian nelayan di Aceh pun masih hidup di bawah garis

kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga potensi kelautan dan

perikanan ini masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan

perekonomian masyarakat. Kondisi ini menjadi ironi ketika kekayaan potensi

kelautan dan perikanan melimpah, sementara nelayan Aceh hidup dalam

kemiskinan. Untuk itu perlu dilakukan upaya yang lebih terstruktur dan strategis

agar potensi tersebut dapat menjadi salah satu pilar dalam pembangunan

perekonomian Aceh. Sebagai salah satu Dinas yang bertanggungjawab dalam

pengelolaan perikanan Aceh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh.

Saat ini tercatat jumlah nelayan di Propinsi Aceh sebanyak 61,768 nelayan

dimana 58% merupakan nelayan penuh dan 42% merupakan nelayan sambilan.

Sebagian besar nelayan tersebut adalah nelayan tradisional dan pekerjaan ini

merupakan pekerjaan turunan yang diturunkan setiap ayah yang bekerja sebagai

nelayan kepada setiap anaknya. Dalam 20 tahun terakhir terjadi perubahan

distribusi nelayan di kawasan pesisir Aceh. Jumlah nelayan di Kawasan Pantai

Utara dan Timur Aceh nelayan meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu

tersebut sedangkan jumlah nelayan di Kawasan Pantai Barat Aceh menurun 1,5

kali.

Di Provinsi Aceh memiliki suatu lembaga adat berkaitan dengan

pengaturan dan pengelolaan sumberdaya kelautan yang disebut dengan Panglima

Laot. Berdasarkan adat masyarakat, apabila terjadi pelanggaran atau sengketa di

Page 93: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

93

wilayah laut, maka panglima laot akan berusaha mencari solusinya secara damai

menurut adat masyarakat setempat. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hukom

adat laot maka warga tersebut sebelum ditangani oleh pihak polisi, biasanya

diselesaikan lebih dahulu secara adat. Apabila tidak ada titik temu antara pihak

yang melanggar atau yang terlibat konflik barulah kemudian diserahkan kepada

polisi untuk memutuskan perkaranya.

Provinsi Aceh memiliki wilayah pantai dan laut yang cukup luas, membujur

dari wilayah barat, timur dan utara. Sebelah barat pantai Aceh terbentang luas dan

berhadapan dengan Lautan India, sebelah utara Aceh berbatasan dengan Laut

Andaman, dan sebelah timur Aceh berbatasan dengan Selat Malaka. Namun

luasnya lautan wilayah Provinsi Aceh belum dapat dimanfaatkan secara optimal

untuk meningkatkan pendapatan para nelayan. Sebagian besar nelayan hanya

mengandalkan pendapatannya dari perikanan tangkap, semetara dari usaha

sektor lain seperti budidaya rumput laut dan turumbu karang belum dilakukan

secara optimal. Data berkaitan dengan produksi budidaya ikan dengan cara

keramba/jaring apung dan produksi perikanan laut di Provinsi Aceh dapat dilihat

pada Tabel 2 (Aceh Dalam Angka, 2008).

Tabel 2. Produksi Budidaya Ikan Dengan Cara keramba/Jaring Apung dan

Produksi

Perikanan Laut di Provinsi Aceh

No. Tahun Produksi Ikan (Ton)

Keramba/Jaring

Apung

Perairan

Umum/Terbuka

Perikanan Laut

1. 2004 1.759,8 1.539,6 102.721,4

2. 2005 347,2 1.630,0 81.162,2

3. 2006 389,4 1.419,8 123.883,9

4. 2007 483,7 1.367,0 127.837,4

Sumber: Aceh Dalam Angka, 2008

Tabel 2 menunjukkan bahwa setelah tsunami (tahun 2005) produksi di

bidang perikanan menurun drastis di Provinsi Aceh. Kemudian pada tahun-tahun

berikutnya mulai meningkat, bahkan melebihi dari saat sebelum tsunami. Kondisi

Page 94: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

94

ini tergambar dari produksi perikanan laut. Begitu juga halnya produksi ikan dari

hasil keramba/jaring apung, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun setelah

tsunami, meskipun belum mencapai hasil seperti sebelum tsunami. Ilustrasi dari

data ini juga mengindikasikan bahwa terjadinya tsunami di Aceh tahun 2004

berdampak negatif terhadap kondisi sumberdaya kelautan di Provinsi Aceh,

meskipun kemudian berbagai upaya untuk pengelolaan sumberdaya kelautan

terus dilakukan, seperti pemeliharaan terumbu karang, rumput laut dan

penanaman kembali tanaman bakau yang hancur akibat tsunami di hampir

seluruh wilayah pesisir Aceh.

Setelah tsunami, di beberapa wilayah, seperti Sabang (Pulau Weh) dan

Sinabang (Pulau Simeulu) dan beberapa pantai di wilayah Aceh Besar, Aceh

Jaya, dan Aceh Barat, masyarakat sudah mulai kembali memperkuat hukum adat

laut terkait dengan pemeliharaan turumbu karang dan rumput laut. Menurut hukum

adat, masyarakat yang melanggar ketentuan yang disepakati bersama, maka si

pelanggar akan didenda sesuai dengan adat yang berlaku. Salah satu contoh

kasus pelanggaran hukum adat laut di Desa Ie Melee Kota Sabang. Menurut

hukum adat laut yang ditetapkan, tidak boleh warga menjaring ikan sekitar dekat

pantai Desa Ie Melee dengan batas yang sudah disepakati bersama supaya

turumbu karang di wilayah tersebut tetap terpelihara. Namun tiba-tiba ada seorang

nelayan (masih muda) warga dari desa lain yang melanggar aturan adat tersebut.

Akibatnya, warga tersebut ditangkap dan diadili secara adat dengan denda yang

telah disepakati secara adat. Kondisi ini membuat masyarakat lain jera dan tidak

berani melanggar hukum adat laut.

Sumber daya kelautan dan perikanan yang Aceh miliki tidak hanya dalam

bentuk ikan. Aceh juga memiliki potensi lainnya seperti: terumbu karang dan

mangrove. Kedua ekosistem ini sangat penting bagi perikanan Aceh mengingat

bahwa kedua ekosistem ini memiliki fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan,

tempat makan dan habitat hidup berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Rusak

dan berkurangnya kedua ekosistem ini diyakini akan mengurangi hasil tangkapan

nelayan yang artinya akan mengurangi produksi perikanan Aceh.

Terumbu karang di Aceh tersebar terutama di bagian utara Aceh (Pulau

Weh dan Pulau Aceh), pesisir barat Aceh dan pulau-pulau kecil lepas pantai

(Kepulauan Banyak) serta Simeulue. Secara umum, persentase tutupan karang

Page 95: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

95

hidup di perairan Aceh memiliki kondisi tutupan karang yang berbeda-beda.

Persentase tutupan karang di Aceh berkisar dari 0 sampai dengan 80%.

Umumnya kondisi karang yang baik ditemukan di lokasi yang pengawasan dan

pengelolaanya relatif baik, seperti kawasan timur Pulau Weh dimana masyarakat

di wilayah tersebut menginisiasi kawasan lautnya sebagai kawasan konservasi

daerah sehingga pemakaian alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang

dilarang untuk digunakan (lihat Tabel 3).

Tabel 3. Persentase Tutupan Karang Hidup Rata-Rata Dibeberapa Lokasi Di Aceh

Lokasi Persentase tutupan karang (%)

Tahun Sumber Data

Pulau Weh (Reef crest)

Pulau Weh (Reef slope)

± 35,6

± 32,1 2005 Campbell et. al

Pulau Aceh (Reef crest)

Pulau Aceh (Reef slope)

± 12,4

± 4,6 2005 Campbell et. al

Pulau Weh dan Pulau

Aceh ± 24 2006 Ardiwijaya et.al

Pulau Banyak

Pulau Weh dan Pulau

Aceh

Timur Banda Aceh

± 38,9

± 24,5

± 24,5

2006 Foster et.al

Pulau Weh dan Pulau

Aceh ± 24 2007 Ardiwijaya et.al

Kepulauan Banyak dan

Simeulue ± 38,7 2007 Herdiana et. al

Pulau Weh

Pulau Aceh

± 29,8

± 10,7 2007 Rudi et.al

Pulau Weh dan Pulau

Aceh ± 28 2008 Ardiwijaya et.al

Tabel 3 menunjukkan persentase tutupan karang hidup rata-rata

dibeberapa lokasi di Aceh yang memiliki terumbu karang dari beberapa sumber.

Perbedaan nilai tutupan karang ini dapat disebabkan oleh berbedanya metode

pengukuran dan pengambilan data yang dilakukan. Berdasarkan kategori yang

Page 96: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

96

dibuat oleh Gomez and Yap (1998), dimana kondisi terumbu karang dibagi

menjadi empat kategori berdasarkan persentase tutupan karangnya, yaitu:

“sangat baik” (75-100% tutupan karang); “baik” (50-74,9% tutupan karang); “cukup

baik” (25-49,9% tutupan karang), dan; “buruk” (0-24,9% tutupan karang), maka

dari tabel diatas dapat dikatakan bahwa rata-rata kondisi terumbu karang di Aceh

dalam keadaan cukup baik.

Kerusakan terumbu karang di Aceh utamanya disebabkan oleh faktor

manusia, diantaranya penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan

dan dapat merusak terumbu karang, seperti penggunaan pukat harimau, bom dan

racun. Penggunaan bom masih sangat marak saat ini di Kepulauan Banyak dan

Pulau Aceh. Selain itu faktor alami juga dapat merusak terumbu karang di Aceh.

Tingginya sedimentasi di daerah Lampuuk menyebabkan kematian karang di

wilayah tersebut (Baird et.al 2005). Pemangsaan oleh predator seperti bintang laut

berduri (Acanthaster plancii) dapat merusak terumbu karang. Berdasarkan laporan

Herdiana et.al (2007) telah terjadi pemangsaan besar-besaran oleh bintang laut

berduri terhadap karang di Kepulauan Bayak. Populasi bintang luat tersebut sudah

termasuk kedalam kategori membahayakan.

Sementara itu luas konservasi laut di Aceh baru dilakukan di dua wilayah,

yaitu kawasan Pulau Weh, yakni PulaRubiah dan Simeulu (Pulau Banyak). Namun

belum ada data yang valid berkaitan dengan besarnya luas konservasi laut di

Aceh. Kondisi jumlah tindak pidana perikanan, persentase terumbu karang dalam

keadaan baik, luas konservasi laut, dan persentase kabupaten/kota yang memiliki

Standar Pelayanan Minimum Lingkungan Hidup belum tersedia data yang valid di

Provinsi Aceh. Apabila dibandingkan dengan data di tingkat nasional

menunjukkan bahwa indikator yang positif terhadap pengelolaan sumberdaya

kelautan (lihat Tabel 4). Belum lengkapnya data pengelolaan sumberdaya kelautan yang dapat digunakan

untuk membandingkan dengan data yang sama di tingkat nasional menyebabkan analisis

secara kuantitatif sulit dilakukan. Namun demikian, secara deskriptif kualitatif, seperti

yang diindikasikan dari data Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tindak

pidata kelautan di Aceh meskipun tidak begitu signifikan (Sumber data: Dit Pol Air Polda

Page 97: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

97

Tabel 4. Perbandingan Data Indikator Hasil Laut Provinsi Aceh dan Nasional

N

o

Indikator

Hasil

Kelautan

Capaian Tahun

2004 2005 2006 2007 2008

Ace

h

Nas Ace

h

Nas Ace

h

Nas Ace

h

Nas Ace

h

Nas

1. Jumlah

tindak

pidana

perikana

n

- 200 - 174 - 139 12 116 15 62

2. Persenta

se

terumbu

karang

dalam

keadaan

baik

- 31.4

6

33,8

5

31.4

9

31.3

7

29.4

9 31.3

5

30.6

2

28 30.9

6

3 Luas

kawasan

konserva

si laut

- 8.60 - 8.60 - 8.60 - 9.30 - 13.5

Sumber: Data EKPD 2009

Aceh, 2007). Selain itu, adanya upaya yang dilakukan oleh masyarakat lokal ke

arah yang semakin positif dalam mengelola sumberdaya kelautan pasca konflik

dan tsunami, seperti penerapan kembali hukum adat laut terkait dengan

pemeliharaan turumbu karang menyebabkan kasus pidana kelautan semakin

meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian (Agussabti, Indra, dan Lukman, 2009)

menunjukkan bahwa kondisi kemiskinan nelayan kecil di pesisir pantai timur Aceh

Page 98: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

98

(Desa Matang Rayek, Kecamatan Idi Rayek) semakin parah karena sudah

rusaknya terumbu karang sehingga hasil tangkapan ikan di dekat pesisir pantai

semakin menurun. Nelayan yang menangkap ikan di sekitar pinggir pantai hanya

memperoleh pendapatan sekitar Rp 20.000-30.000 per harinya. Padahal dulunya

dikatakan nelayan bisa memperoleh rata-rata pendapatan Rp 50.000 per harinya.

Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa hukum adat laut yang

sudah diberlakukan di Aceh dalam upaya mengelola sumberdaya kelautan,

meskipun belum optimal dalam penerapannya, yaitu: (1) larangan menjaring atau

memasang jaring di sekitar pantai supaya terumbu karang tidak rusak, dan (2)

larangan meracun atau memasang bom dalam menangkap ikan supaya ikan-ikan

kecil masih bisa berkembang. Meskipun belum ada data secara kuantitatif, tetapi

beberapa kasus dan penerapan hukum adat laut seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya pada tahap selanjutnya akan memperkecil jumlah tindak pidana

perikanan, meningkatkan persentase terumbu karang dalam keadaan baik, dan

semakin terpeliharanya kawasan konservasi laut dalam wilayah Provinsi Aceh.

Relevansi Permasalahan yang umumnya dijumpai terkait dengan pembangunan di

bidang perikanan dan kelautan di Aceh antara lain: (1) potensi sumberdaya

manusia yang masih terbatas dengan tingkat pendidikan yang rendah, sebagian

besar nelayan tersebut adalah nelayan tradisional dan pekerjaan ini merupakan

pekerjaan turunan yang diturunkan setiap ayah yang bekerja sebagai nelayan

kepada setiap anaknya; (2) konflik yang berkepanjangan di masa lampau; (3)

bencana alam tsunami tahun 2004 yang menghacur berbagai potensi perikanan

Aceh; (4) sebagian besar nelayan di Aceh hidup di bawah garis kemiskinan; (5)

maraknya pencurian ikan atau tindak pidana di wilayah perairan Aceh, dan (6)

semakin meningkatnya kerusakan terumbu karang di wilayah pesisir Aceh akibat

penjaringan ikan sebagai akibat meningkatnya aktivitas penangkapan ikan.

Berbagai persoalan tadi menyebabkan potensi kelautan dan perikanan di Aceh

masih belum bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat

secara optimal. Hal ini menjadi sebuah ironi mengingat nelayan Aceh hidup miskin

di tengah kekayaan potensi kelautan dan perikanan Aceh. Untuk itu perlu

Page 99: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

99

dilakukan upaya yang lebih terstruktur dan strategis agar potensi tersebut dapat

menjadi salah satu pilar dalam pembangunan perekonomian Aceh.

Sementara itu, strategi pengembangan perikanan lebih diarahkan pada

kegiatan budidaya dengan target dan orientasi produksi daripada penyelamatan

kekayaan potensi kelautan dan peningkatan sumberdaya nalayan di Aceh. Hal ini

seperti tertuang dalam Master Plan Dinas Perikanan Aceh yang menitik beratkan

strategi pengembangan perikanan Aceh pada tiga tujuan, yaitu: (1) melaksanakan

manajemen budidaya yang memenuhi persyaratan budidaya udang di lingkungan

yang sudah tercemari penyakit viral SCHM (Shrimp Culture Health Management);

(2) membangun jaringan irigasi yang dapat memenuhi persyaratan SCHM; dan (3)

memenuhi persyaratan kemandirian agribisnis budidaya udang Provinsi Aceh.

Strategi pengembangan perikanan ini dinilai satu pihak dapat meningkatkan

pendapatan nelayan, namun di pihak lain masih kurang relevan dengan

permasalahan di bidang kelautan dan perikanan seperti yang telah disebutkan

sebelumnya. Sumber daya kelautan dan perikanan yang Aceh miliki tidak hanya

dalam bentuk ikan. Aceh juga memiliki potensi lainnya seperti: terumbu karang

dan mangrove. Kedua ekosistem ini sangat penting bagi perikanan Aceh

mengingat bahwa ekosistem ini memiliki fungsi ekologis sebagai tempat

pemijahan, tempat makan dan habitat hidup berbagai jenis ikan dan biota laut

lainnya. Rusak dan berkurangnya kedua ekosistem ini diyakini akan mengurangi

hasil tangkapan nelayan yang artinya akan mengurangi produksi perikanan Aceh.

Selain itu, perlunya kebijakan pemerintah secara terpadu berkaitan dengan

pengembangan budidaya perikanan, penguatan lembaga lokal (Panglima Laot),

dan program yang ditujukan untuk pelestarian sumberdaya kelautan dan

perikanan Aceh.

Efektifitas

Apabila dilihat dari rencana induk pengembangan perikanan budidaya

Provinsi Aceh tahun 2006 - 2010 lebih ditujukan pada momentum besarnya

perhatian dunia internasional untuk membangun kembali Provinsi Aceh setelah

konflik dan tsunami tahun 2005 sehingga dapat memanfaatkan semaksimal

mungkin potensi perikanan dalam wilayah Provinsi Aceh. Seluruh program

tersebut kalau dilaksanakan secara terus menerus dan terarah pada gilirannya

Page 100: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

100

akan mewujudkan agribisnis perikanan budidaya payau, laut, dan air tawar

Provinsi Aceh yang mandiri.

Salah satu undang-undang yang mengatur pengelolaan perikanan di

Propinsi Aceh adalah Undang-undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk

mengelola sumberdaya yang dimilikinya. Terdapat beberapa bab yang

menjelaskan mengenai perikanan ; Bab 162: (1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah

Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya kelautan

yang ada diwilayahnya; (2) Kewenangan untuk mengelola sumberdaya kelautan

seperti yang disebutkan dalam pasal 1 meliputi: (a) konservasi dan pengelolaan

sumberdaya kelautan; (b) pengaturan administrasi dan perizinan usaha perikanan

dan/atau pembudidayaan ikan; (c) pengaturan tata ruang di wilayah laut, pesisir

dan pulau-pulau kecil; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan

atas wilayah laut yang menjadi kewenangannya; (e) pengakuan dan pemeliharaan

Hukum Adat Laot dan membantu keamanan laut; dan (f) perpartisipasi secara aktif

untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Pemerintah

Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengeluarkan

izin untuk kegiatan penangkapan ikan dan pengusahaan sumberdaya alam laut

lainnya di laut sekitar aceh sesuai dengan kewenangannya; dan (4) pengelolaan

sumberdaya kelautan yang disebutkan pada pasal satu (1), pasal dua (2), dan

pasal tiga (3) dilaksanakan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan

konservasi lingkungan.

Mengingat tidak hanya sektor perikanan saja yang terkait dengan kawasan

pesisir dan laut akan tetapi juga berbagai sektor lainnya seperti pariwisata,

transportasi, pertambangan dan lain-lain maka Pemerintah Propinsi Aceh juga

merujuk pada Undang-undang no 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil. Hal ini dilakukan untuk mengharmonisasikan semua

pembangunan dari berbagai sektor perekonomian di kawasan pesisir. Untuk

mencegah terjadinya tumpang tindihnya berbagai kegiatan perekonomian di

kawasan pesisir perlu dilakukan pengaturan tata ruang penggunaan kawasan

pesisir. Berdasarkan Undang-Undang No 31/2004 tentang perikanan, Pemerintah

wajib membuat Rencana Manajemen Perikanan (RPP memiliki kolaborasi yang

sangat erat diantara pemerintah dan semua stakeholdernya). Sampai saat ini,

Page 101: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

101

RPP di Provinsi belum diaplikasikan secara optimal untuk membangun sektor

perikanan. Oleh sebab itu dapat dinilai bahwa efektifitas pembangunan sektor

perikanan di Provinsi Aceh belum mencapai tujuan pembangunan daerah dalam

jangka panjang karena masih sangat terfokus pada upaya pengembangan

budidaya dan belum dikembangkan secara terpadu untuk mencapai tujuan

pembangunan daerah dalam mewujudkan kelestarian sumberdaya kelautan

secara berkelanjutan di Provinsi Aceh.

Selain hukum dan undang-undang formal, Provinsi Aceh juga memiliki

kearifan lokal dan hukum adat yang sudah lama diaplikasikan dalam kehidupan

masyarakat pesisir Aceh yaitu lembaga adat Panglima Laot. Oleh sebab itu,

hukum adat ini sebaiknya diadaptasi dalam berbagai sistem perencanaan dan

pengembangan sektor perikanan di Aceh. Dengan demikian, adopsi dan adaptasi

kearifan local yang terdapat dalam masyarakat diharapkan akan dapat

mewujudkan kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan di

Provinsi Aceh Pada masa mendatang.

TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL Persentase penduduk miskin Perekonomian Aceh pada dasarnya memiliki basis sumber daya alam yang

kuat walaupun sebelumnya pernah mengalami konflik dan bencana tsunami.

Selama periode 2005-2007 pertumbuhan ekonomi Aceh (dengan migas)

mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dimana tahun 2005 tumbuh negatif 10,1

% dan meningkat pada tahun 2006 menjadi 1,6 %, akan tetapi kembali mengalami

penurunan sebesar -2,21 % pada tahun 2007. Selama tiga tahun terakhir struktur

perekonomian Aceh telah berubah secara berarti, terutama dampak daripada

kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.

Perekonomian Aceh di luar sektor minyak dan gas bumi masih bertumpu

pada pertanian. Pada tahun 2007, sektor pertanian memberi kontribusi 31,69

persen dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nonmigas Aceh. Di

antaranya tanaman bahan makanan (food crops) masih merupakan yang paling

dominan (13,23 persen), tanaman perkebunan yang memberi kontribusi 6,42

persen dalam output regional, sektor-sektor lain (peternakan, kehutanan, dan

perikanan) mempunyai peran masing-masing di bawah 5 persen. Kendati

Page 102: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

102

pendapatan per kapita penduduk Aceh yang berada pada tingkat Rp 11 juta dan

mendekati rata-rata nasional pada tahun 2006, namun tingkat kemiskinan di Aceh

masih tinggi.

Menurut BPS, angka kemiskinan di Aceh Tahun 2004 sebesar 28,4%,

Tahun 2006 sebesar 26,5%, dan Tahun 2008 sebesar 23,5%; sedangkan angka

kemiskinan di tingkat nasional pada tahun 2008 adalah 15,42%. Maknanya,

meskipun ada penurunan tingkat kemiskinan di Aceh setelah berbagai progam

pemberdayaan ekonomi dilakukan pasca konflik dan tsunami, namun angka

kemiskinan di Aceh hingga tahun 2008 masih lebih tinggi dan masih juah di atas

angka kemiskinan di tingkat nasional. Perubahan angka kemiskinan antara

Provinsi Aceh dan Tingkat Nasional dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perubahan angka kemiskinan antara Provinsi Aceh dan Tingkat Nasional

No Tahun Angka Kemiskinan (%)

Provinsi Aceh Tingkat Nasional

1. 2004 28,4 16.66

2. 2005

-

16.69

2 2006 28.28 17.75

4.

2007 26.65 16.58

3 2008 23.53 15.42

Sumber: Data BPS dan EKPD 2009

Tabel 3 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Provinsi Aceh masih

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kemiskinan di tingkat nasional.

Namun demikian, angka kemiskinan menunjukkan adanya penurunan baik pada

tingkat nasional maupun di Provinsi Aceh. Di Provinsi Aceh, program Dana

Alokasi Gampong dan beberapa program lainnya telah diluncurkan dalam upaya

pengentasan kemiskinan. Namun persoalan yang kemudian muncul bahwa tidak

semua program yang diluncurkan tersebut berdasarkan kebutuhan masyarakat

Page 103: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

103

lokal. Akibatnya, berbagai bantuan yang disalurkan belum mampu memberikan

dampak yang optimal dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat.

Berkiatan dengan masih tingginya angka kemiskinan di Provinsi Aceh,

Pemerintah Aceh prioritas pembangunan Aceh untuk mempercepat pembangkitan

ekonomi masyarakat dalam mengurangi angka kemiskinan tersebut, yaitu: (1)

pemberdayaan ekonomi masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan

penanggulangan kemiskinan; (2) pembangunan dan pemeliharaan Infrastruktur

dan sumber daya energi pendukung investasi; (3) peningkatan mutu pendidikan

dan pemerataan kesempatan belajar; (4) peningkatan mutu dan pemerataan

pelayanan kesehatan; (5) pembangunan syariat islam, sosial dan budaya; (6)

penciptaan pemerintahan yang baik dan bersih serta penyehatan birokrasi

pemerintahan; dan (7) penanganan dan pengurangan resiko bencana daerah.

Relevansi Relevansi ini penting untuk melihat sejauh mana program yang dilakukan

pemerintah daerah ada hubungannya program pemerintah pusat. Merujuk data

yang telah ditampilkan sebelumnya, dilihat sudut program yang diluncurkan

sebagian besar ada relevansinya antara program pemerintah daerah dengan

pemerintah pusat dalam pengentasan kemiskinan. Salah satu kebijakan baru yang

akan dikembangkan adalah sistem perekonomian “gampong” yang akan

mengakomodasi kebutuhan modal usaha kecil dan menengah, khususnya pada

sektor pertanian melalui program “Pemakmu Gampong”. Saat ini Pemerintah

Aceh juga sedang giatnya meluncurkan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dengan alokasi dana Rp 150 juta per desa.

Tetapi dilihat dari substansi bantuan yang diberikan dalam pengentasan

kemiskinan, sebagian program dalam pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan

pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin.

Hasil penelitian Agussabti, Indra, dan Lukman (2009) menunjukkan adanya

perbedaan penyebab kemiskinan yang dirasakan masyarakat berdasarkan tipologi

wilayah. Di wilayah desa pesisir, kemiskinan yang dirasakan masyarakat

disebabkan semakin sulitnya memperoleh ikan di dekat pantai akibat semakin

hancurnya terumbu karang sebagai sumberdaya kelautan yang dapat

Page 104: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

104

mengundang kehadiran ikan. Hanya nelayan yang memiliki modal dan bot besar

bisa menangkap ikan lebih banyak di lautan jauh dari pantai.

Di Wilayah desa pengunungan, kemiskinan yang dirasakan masyarakat

disebabkan oleh sulitnya prasarana jalan yang tembus ke sentra produksi.

Akibatnya kurangnya tersedia prasarana jalan ke sentra produksi menyebabkan

perawatan dan hasil penen pertanian masyarakat tidak optimal. Selain itu, banyak

hasil panen masyarakat yang tidak bisa dipasarkan karena akses masyarakat

terhadap jalan sangat sulit. Akibatnya pendapatan masyarakat tetap rendah.

Di wilayah desa biasa, kemiskinan yang dirasakan masyarakat disebabkan

oleh rendahnya nilai tukar hasil pertanian masyarakat dengan bahan pangan

olahan, seperti minyak goreng, gula dan lainnya. Karenanya, meskipun hasil

panen dirasakan banyak oleh masyarakat, namun ketika dipertukarkan dengan

pangan olahan maka nilainya kecil dan tidak seimbang. Kondisi ini bisa di atasi

bila kebijakan pemerintah di arahkan pada penetapan harga pertanian yang adil

dan stabil.

Di wilayah desa kota, kemiskinan yang dirasakan masyarakat disebabkan

oleh rendahnya keterampilan yang bisa dipertukarkan. Rendahnya keterampilan

yang bisa dipertukarkan tersebut membuat mereka hanya tergantung atau

tertumpu pada satu jenis pekerjaan kasar saja, seperti buruh bangunan, buruh di

pasar dan lainnya. Akibatnya, apabila pekerjaan buruh tidak tersedia pada hari

tersebut, maka mereka menganggur dan tidak bisa bekerja lain sehingga tidak

memiliki pendapatan pada hari tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut

berarti diperlukan adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam peluncuran

program pemberdayaan masyarakat miskin pada masa mendatang. Selain itu,

hasil penelitian tadi juga menunjukkan bahwa faktor modal bukanlah faktor utama

penyebab miskin (lihat Grafik 1).

Grafik 1 menunjukkan faktor utama penyebab miskin secara berurutan

adalah (1) kurangnya usaha/kurangnya kreatif, (2) berasal dari golongan miskin

(orang miskin ada kecenderungan kawin dengan sesama miskin), (3) rendahnya

pendidikan/keterampilan, dan (5) faktor lainnya, seperti cacat, sakit, dan tua.

Page 105: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

105

Faktor Utama Penyebab Miskin

24.6726.00

29.50

8.67

30.00

8.00

30.0033.33

7.50

33.0032.00 31.33 30.5033.00

2.000.67

2.50 3.00

23.00

11.33

0.005.00

10.0015.0020.0025.0030.0035.00

DesaPesisir

Desa Kota

DesaUpland

DesaBiasa

(Flatland)

Wilayah Penelitian

Pers

enta

se Rendah pendidikan/ketrampilanKeterbatasan M odal/LahanDari Golongan M iskinKurangusaha/kurang kreatifLainnya (cacat, sakit , tua)

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa kurang

relevansi antara bantuan yang diberikan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dengan kemutuhan masyarakat miskin. Hal ini terindikasi dari bias

bantuan pemerintah yang cenderung hanya mengandalkan program pemberian

bantuan modal usaha tanpa adanya pedampingan yang optimal dalam upaya

pengentasan kemiskinan. Padahal menurut hasil penelitian ini, hal yang paling

penting dilakukan pemerintah adalah program bantuan modal usaha yang diikuti

oleh pedampingan yang dapat mendorong kreatifitas kerja masyarakat daripada

program yang hanya sekedar pemberian modal usaha yang membuat masyarakat

semakin kurang kreatif dan tergantung pada pihak luar.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kombinasi program yang

sebaiknya dilakukan pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah

pemberian bantuan modal usaha yang diikuti dengan: (1) pedampingan input,

menyediakan bahan baku awal yang memungkinkan mereka dapat mengem-

bangkan usahanya; (2) pedampingan proses, menyediakan keahlian/pengetahuan

dan ketrampilan yang memungkinkan mereka memiliki keahlian yang dapat

dipertukarkan dalam mengolah input menjadi output; dan (3) pedampingan output,

pada tahap awal menampung input yang dihasilkan masyarakat dan selanjutnya

Page 106: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

106

membangun networking pasar yang memungkinkan masyarakat dapat

mengembangkan kemandiriannya.

Efektivitas Mengukur efektitas dari sebuah program pembangunan sebenarnya

haruslah dibandingkan antara target dan sasaran dengan capaian program. Ada

beberapa program pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan, seperti

bantuan modal usaha, bantuan langsung tunai (BLT), bantuan Askeskin, dan

bantuan pertanian. Oleh sebab itu, kajian tentang jumlah penerima bantuan dan

persepsi manfaat yang dirasakan masyarakat dapat menjadi indikator untuk

melihat tingkat efektifitas program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.

Kedua indikator ini dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian Agussabti, Indra,

dan Lukman (2009) seperti terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jenis Bantuan yang Diterima Masyarakat Miskin Selain Zakat Fitrah

Wilayah

Penelitia

n

Jenis Bantuan Selain Zakat Fitrah tidak

menerim

a

bantuan

Tota

l

Bantua

n Modal

Usaha

BL

T

Askeski

n

Bantuan

Pertania

n

LSM

(uang/barang

)

Desa

Pesisir 2 9 20 0 32 87 150

Desa

Kota 3 5 10 0 7 125 150

Desa

Upland 4 48 24 1 123 200

Desa

Biasa

(Flatland

) 1 5 10 0 0 134 150

Tabel 4 menunjukkan bahwa bantuan pemerintah yang hampir merata

diterima oleh masyarakat miskin adalah bantuan dari pemerintah pusat, yaitu

Askeskin dan BLT. Sementara bantuan dari pemerintah daerah seperti bantuan

modal usaha dan bantuan pertanian masih sedikit sekali yang menerimanya. Oleh

Page 107: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

107

sebab itu, berdasarkan indikator ini bantuan pemerintah daerah dapat dikatakan

kurang mencapai sasaran dan belum efektif dalam pengentasan kemiskinan.

Begitupun terhadap bantuan pemerintah pusat seperti Askeskin, sebagian

besar masyarakat miskin menyatakan apabila mereka berobat dengan

menggunakan Askeskin sering obat yang diberikan tidak menyembuhkan penyakit

yang diderita, sehingga mereka menduga obat yang diberikan melalui Askeskin

kualitasnya rendah. Oleh sebab itu, jika mereka ada sedikit uang jarang

menggunakan Askeskin untuk berobat.

Begitu juga bantuan BLT, banyak masyarakat miskin menilai bantuan ini

hanya bersifat sementara dan belum dapat melepaskan kondisi dari belenggu

kemiskinan karena jumlah bantuan per Kepala Keluarga belum memadai untuk

dijadikan sebagai modal kerja. Selain itu, peluncuran modal tersebut diberikan

secara bertahap sehingga tidak bisa dimanfaatkan sebagai modal kerja.

Namun demikian, masyarakat miskin merasakan adanya manfaat bantuan

pemerintah tersebut karena dapat sedikit membantu dalam memenuhi kebutuhan

mereka sehari-hari yang dirasakan begitu berat menghimpitnya. Adanya manfaat

bantuan pemerintah yang dirasakan masyarakat miskin dapat dilihat pada Gambar

1.

Manfaat Bantuan Pemerintah Yang Dirasakan Masyarakat Miskin

61.33, 40%

16.67, 11%25.50, 17%

49.00, 32%

Desa Pesisir

Desa Kota

Desa Upland

Desa Biasa(Flatland)

Gambar 1. Manfaat Bantuan Pemerintah yang Dirasakan Masyarakat

Miskin

Gambar 1 menunjukkan bahwa hanya sebagian masyarakat yang

menyatakan bahwa ada manfaat dari bantuan yang diberikan pemerintah. Hal ini

dikarenakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada orang miskin kurang

mampu membangun kemandirian mereka dalam mengembangkan usaha dan

Page 108: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

108

meningkatkan pendapatannya secara berkelanjutan. Bantuan modal usaha yang

disalurkan pemerintah daerah melalui LKM umumnya dimanfaat oleh egen di

desa, bukan masyarakat miskin, karena berbagai syarat yang diharuskan tidak

mampu dipenuhi oleh mereka yang miskin. Oleh sebab itu, berdasarkan dua

indikator dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa program pemerintah

daerah dalam pengentasan kemiskinan belum efektif.

Mengingat kondisi ekonomi masyarakat miskin di Aceh masih ditandai

dengan kegiatan-kegiatan ekonomi primer berbasis sumberdaya alam, maka

strategi pengentasan kemiskinan harus memberi manfaat ekonomi yang mampu

meningkatnya pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja di kalangan

masyarakat miskin. Sesuai dengan penyebab utama kemiskinan yang dirasakan

masyarakat Aceh berdasarkan kejian penelitian yang telah dipaparkan

sebelumnya, yakni kurangnya usaha/kurangnya kreatif dan rendahnya

pendidikan/keterampilan, maka ada 2 strategi yang harus dilakukan dalam upaya

pengentasan kemiskinan, yaitu strategi umum dan strategi khusus.

Strategi umum dalam pengentasan kemiskinan dapat ditempuh dalam

bentuk kebijakan berupa: (1) membangun infrastruktur perdesaan (jalan ke sentra

produksi) di wilayah penelitian, terutama di wilayah upland, untuk menyokong

pertumbuhan ekonomi, (2) menyediakan fasilitas umum (pendidikan, kesehatan,

listrik, air bersih, dan irigasi) yang tidak saja memberikan pelayanan pada

masyarakat miskin, tapi juga sekaligus mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi.

Strategi khusus dalam pengentasan kemiskinan dapat ditempuh: (1)

memberikan modal usaha dengan sasaran khusus untuk kaum perempuan dalam

kegiatan ekonomi melalui program “home industri” berbasis bahan baku pertanian

dan perikanan. Program ini harus diikuti dengan pedampingan input, proses dan

output. Melalui peningkatan peran perempuan dalam perekonomian maka

penghidupan keluarga miskin diharapkan menjadi lebih sejahtera, khususnya

pada rumahtangga yang kepala keluarganya janda; dan (2) pemberian bantuan

modal usaha dengan sasaran khusus untuk rumah tangga miskin yang diikuti

dengan: (a) pedampingan input, menyediakan bahan baku awal yang

memungkinkan mereka dapat mengem-bangkan usahanya; (b) pedampingan

proses, menyediakan keahlian/pengetahuan dan ketrampilan yang memungkinkan

mereka memiliki keahlian yang dapat dipertukarkan dalam mengolah input

Page 109: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

109

menjadi output; dan (c) pedampingan output, pada tahap awal menampung input

yang dihasilkan masyarakat dan selanjutnya membangun networking pasar yang

memungkinkan masyarakat dapat mengembangkan usahanya secara mandiri.

Page 110: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Aron, Janine, 2000. “Growth and Institutions : A Review of the Evidence”, The

World Bank Research Observer, Volume 15 Number 1. February 2000, p.99 – 136.

Asia Foundation (2007): Aceh Programs. Asia Foundation Jakarta. Armstrong, Harvey and Taylor, Jim. 2005. Regional Economics and Policy, Third

Edition. Blackwell Publishing,

Bappenas, 2006. Berjuang Membangun Kembali Indonesia, Laporan Kinerja Dua Tahun SBY – JK. Kementrian Negara PPN / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.

------------, 2006. Pembangunan Daerah Dalam Angka, Deputi Bidang

Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementrian Negara PPN / Bappenas, Jakarta.

BPS. 2006. PDRB Propinsi-Propinsi di Indonesia menurut Lapangan Usaha,

Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia

Badan Pusat Statistik (edisi beberapa tahun): Survei Usaha Terintegrasi: Profil Usaha Kecil dan menengah tidak berbadan hukum, Badan Pusat Statistik, Jakarta - Indonesia.

Bank Indonesia (2006): Kajian ekonomi regional provinsi NAD:kajian triwulan,

triwulan II-2007, Kantor Bank Indonesia Banda Aceh. BRR (2007): Report to CFAN stakeholders on BRR economic development and

livelihood activities in Aceh-Nias. Barenz. Eberhard Peter (2006): Local economic development and microfinance in

NAD: BDS component Strategy Report.

Deliarnov, 2006. Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga, Jl. H. Bapping Raya No. 100, Ciracas (anggota IKAPI), Jakarta.

Kiryanto (2007): Urgensi Redefinisi Sektor UMKM, Koran harian Suara Merdeka.

Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia Menuju Negara Industri Baru 2030 ?, Penerbit ANDI Yogyakarta.

Republik Indonesia, 2006. Buku Pegangan 2006 Penyelenggaraan Pemerintahan

dan Pembangunan Daerah..

Page 111: Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH

Republik Indonesia (1995): Undang-undang No.19 tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Republik Indonesia (2005): Peraturan pemerintah No.7 tahun 2005 tentang

Rencana pembangunan jangka menengah tahun 2004-2009. Serambi Indonesia (2007), Razia senjata berlanjut: 105 Senpi, 6 bahan peledak,

518 amunisi diamankan, Koran harian, edisi tanggal 8 November 2007.

The World Bank 2006. Aceh Public Expenditure Analysis, Spending for Reconstruction and Poverty Redction,The World Bank Office Jakarta,

------------, 2006. Making The New Indonesia Work for The Poor, The World Bank

Office Jakarta.

------------, 2007 a. Spending for Development : Making the Most of Indonesia’s New Opportunities, Indonesia Public Expenditure Review 2007. The World Bank Office Jakarta.

------------, 2007 b. 2007. Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh, Mengukur kinerja

Pemerintah Daerah di Aceh. The World Bank Office Jakarta. Van Den Berg, Hendrik 2005. Economic Growth and Development, An Analysis of

Our Greatest Economic Achievements and Our Most Exciting Challenges, Mc – Graw – Hilll, Irwin, Singapure, Sydney, Toronto.

World Bank (2006.a): Making the new Indonesia work for the poor, The World

Bank Office Jakarta. World Bank (2006.b): Aceh public expenditure analysis: spending for

reconstruction and poverty reduction, The World Bank Office Jakarta. World Bank (2006.c): Aceh village survey 2006: an evaluation of infrastrucre and

sosial conditions in villages, The World Bank Office Jakarta.