Download - Laporan Akhir EKPD 2009 Aceh - UNSYIAH
1
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar belakang dan Tujuan
Luas wilayah republik Indonesia terbagi habis keseluruh daerah (provinsi
dan kabupaten/kota), dengan pemahaman daerah adalah daerahnya pusat, dan
pusat adalah pusatnya daerah. Dengan demikian RPJM Nasional dilaksanakan
diseluruh wilayah nusantara Republik Indonesia, oleh pemerintah, swasta, dan
masyarakat luas. Dengan demikian setiap daerah (provinsi dan kabupaten kota)
wajib menyusun RPJM Daerah yang berlandaskan RPJM Nasional serta
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi daerahnya masing-masing.
Berlandaskan RPJMD dan RKPD sesuai dengan petunjuk sistem perencanaan
pembangunan nasional (UU No. 25/2004) setiap daerah melakukan proses
perencanaan, sehingga pelaksanaan kegiatan pembangunan daerah pada setiap
tahunnya tercermin dalam APBD.
Dalam situasi dan kondisi yang sedemikian rupa, kegiatan pembangunan
di sesuatu wilayah dalam daerah tertentu, dana pembangunannya dapat
bersumber dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten / Kota, dan dana
Investasi swasta domestik dan atau investasi asing. Proses pembangunan
Daerah yang telah, sedang, dan akan berlangsung di Aceh adalah dengan
menggunakan dana dari berbagai sumber yang telah tersebut di atas yang akan
dimonitor dan dievaluasi oleh Tim EKPD provinsi, guna dapat memberikan
gambaran sejauh mana ke tiga agenda yang tersebut dalam RPJM Nasional
dapat terlaksana di provinsi Aceh. Dalam kaitan ini, ingin diketahui sejauh mana
pelaksanaan empat tahun RPJM Nasional dan daerah (2005, 2006, 2007, dan
2008) di provinsi Aceh dapat mencapai sasaran atau tjujuan pembangunan yang
telah direncanakan, apakah mampu memberikan solusi terhadap masalah-
masalah yang dihadapi oleh daerah, dalam upaya meningkatkan kemakmuran
dan kesejahteraan masyarakat secara lebih adil dan merata. Hal tersebut antara
lain juga dapat diamati pada arah perubahan porsi penduduk miskin, tingkat
pengangguran, dan kinerja pembangunan daerah, tidak hanya dapat diamati pada
2
peningkatan PDRB per kapita, tetapi juga dapat terlihat pada perubahan angka
IPM dan indikator-indikator sosial lainnya. Dengan demikian hasil evaluasi kinerja
pembangunan daerah ini diharapkan dapat menilai relevansi dan efektivitas
kinerja pembangunan daerah dalam rentang waktu 2004 – 2008.
Sesuai dengan harapan tersebut beserta hasil pembahasan dalam seminar
pembekalan EKPD pada awal bulan Juli 2009, maka evaluasi kinerja
pembangunan daerah ini berupaya dapat memberukan informasi penting yang
bersifat kuantitatif dan kualitatif tentang proses pembangunan nasional regional
yang dilaporkan oleh setiap provinsi. Loaporan evaluasi kinerja proses
pembangunan daerah ini menunjukan keterkaitannya sejak dari perencanaan,
implementasinya (pelaksanaan), penggunaan dana dan pemanfaatan sumber
daya, output, outcome, bila mungkin sampai kepada dampaknya yang diterima
dan dirasakan oleh masyarakat bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di
daerah ini. Justeru karena itulah hasil evaluasini diharapkan dapat berguna
sebagai masukan bagi para pengambil keputuisan dan penentu kebijakan dalam
menelusuri dan mengawal untuk tercapainya tujuan pembangunan nasional dan
regional di negeri ini.
I.2 Keluaran (output)
Sesuai dengan latarbelakang maka pelaksanaan Evaluasi Kinerja
Pembangunan Daerah di provinsi Aceh diharapkan dapat memberikan sebuah
gambaran yang jelas temntang : data dan informasi proses pelaksanaan
pembangunan di Aceh sejak dari perencanaan jangka panjang, menengah, dan
tahunan sampai dengan APBN dan APBD. Keterkaitannya antardokumen
perencanan, serta relevansi dan efektifitasnya dalam mencapai target, tujuan dan
visi pembangunan, secara nasional, regional dan daerah.
Di lain pihak diharapkan dapat memberikan gambaran tentang proses
pembangunan daerah tentang deviasi antara target, tujuan, dan visi
pembangunan dengan kenyataan realisasinya, beserta factor-faktor yang telah
mempengaruhi capaian pertumbuhan dan perubahan dalam proses
3
pembangungan yang telah berlangsung selama empat tahun pelaksanaan RPJM
Nasional dan RPJM Daerah di Aceh.
I.3. Metodologi Pengkajian.
Wilayah penelitian ini meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
namun sebagai bahan komparatif digunakan juga data dari provinsi/wilayah
lainnya sesuai dengan kebutuhan. Obyek kajian terutama yang berkaitan dengan
proses pembangunan yang berlangsung di daerah penelitian periode 2004-2008,
namun sebagai bahan perbandingan juga digunakan data tren 1996-2006.
Data yang diperlukan, di samping data primer, juga data sekunder yang
telah dikumpulkan oleh dinas, lembaga atau Badan-badan resmi lainnya yang
berada dalam lingkungan NAD. Data primer dapat bersumber dari studi lapangan,
baik yang dilakukan oleh Tim, ataupun hasil kajian para pakar yang dapat diyakini
secara akademik. Di samping data kuantitatif, juga data kualitatif hasil penelitian
lainnya yang telah disebutkan dalam bagian pendahuluan, ataupun yang
tercantum dalam daftar kepustakaan, seperti berbagai dokumen perencanaan
pembangunan yang disusun oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, dan
Kabupaten/Kota, serta berbagai hasil monitoring dan evaluasi kegiatan
pembangunan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan resmi.
1.4. Sistematika Penulisan Laporan
Laporan hasil EKPD ini disajikan dalam tiga Bab serta dilengkapi dengan
kesimpulan dan daftar bacaan yang dirujuk dalam analisis dan evaluasi kinerja
pembangunan di daerah. Berturut-turut dilaporkan sebagai berikut, yaitu : Bab I
adalah Pendahuluan yang dirinci kedalam empat subbab. Bab II menyajikan hasil
evaluasi yang dirinci kedalam lima subbab, dan kesimpulan disajikan dalam Bab
III, dan ditutup dengan daftar bacaan yang dirujuk dalam analisis dan evaluasi.
5
BAB II
HASIL EVALUASI
Dalam upaya menelusuri masalah pembangunan daerah yang sesuai
dengan tugas dan fungsi Tim EKPD 2009, maka kedudukan daerah dalam
kancah perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan politik nasional perlu
diketahui dan ditelaah, baik yang menyangkut dengan kebijakan dan kinerja
maupun kecenderungan yang telah terjadi pada beberapa tahun yang lalu,
sehingga dapat merupakan masukan untuk lebih memperjelas gambaran
permasalahan pembangunan daerah dalam proses pembangunan nasional,
pada masa kini dan terutama empat tahun pelaksanaan RPJM Nasional di Aceh.
Aceh adalah salah satu dari sepuluh propinsi di Sumatera, yang memiliki
ciri, kinerja, demografi, kondisi geografis dan struktur ekonominya yang tidak
jauh berbeda dengan perekonomian Sumatera secara keseluruhannya.
Walaupun demikian, kondisi konflik yang berkepanjangan sejak tiga dasawarsa
terakhir ditambah dengan krisis ekonomi 19
97 berlanjut menjadi krisis multi dimensi, bencana alam gempa bumi dan
tsunami yang sangat dahsyat (26 Desember 2004), telah mempengaruhi
berbagai kegiatan produktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan
keamanan masyarakat Aceh. Sehingga berdampak pada berbagai kegiatan
produktif masyarakat, yang berlangsung secara tersendat-sendat, jauh berada di
bawah titik optimal, terutama di sektor pertanian (sektor ini menyumbang sekitar
56 persen terhadap PDRB dan memberi pekerjaan kepada sekitar 60 persen
penduduk Aceh).
6
Gambar I.1 Pertumbuhan PDRB per kapita pada Harga Konstan 2000, periode 2000 – 2008 (dalam %)
Grafik 1.2. Laju Pertumbuhan PDRB per kapita Tanpa Migas atas
Dasar Harga Konstan 2000 periode 2003-2008 ( % )
7
Situasi dan kondisi Aceh seperti gambaran tersebut tercermin pada laju
pertumbuhan PDRB per kapita (tanpa migas), rata-rata hanya 1,57 persen per
tahun selama periode 1996-2006, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-
rata Sumatera (2,60 persen), dan rata-rata pertumbuhan PDB per kapita
nasional (2,49 persen). Dalam periode tersebut pertumbuhan ekonomi NAD
yang terendah terjadi pada tahun 1998 yaitu merosot -7,33 %, sebagai akibat
dari krisis moneter pada medio 1997 yang semakin meluas menjadi krisis
ekonomi dan multidimensi. Sedangkan dalam tahun yang sama kemerosotan
perekonomian regional Sumatera (-11,8 %), Jawa (-21,12 %), dan Nasional (-
16,83 %) jauh lebih drastis. Sebaliknya dalam periode yang sama laju
pertumbuhan tertinggi ekonomi NAD (6,62 %) terlihat pada tahun 2006, relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi regional Sumatera
(4,74%), Jawa (4,59%), dan Nasional (4,73 %). Secara lebih rinci dapat diikuti
tren grafik pada Gambar I.1.
Fluktuasi perkembangan pendapatan per kapita tersebut dampaknya
terlihat pada kualitas kehidupan masyarakat yang kurang berkembang yang
indikasinya dapat disaksikan, antara lain pada :tingkat pengangguran yang
cenderung meningkat, porsi penduduk miskin tendensi membengkak yaitu
sebelum gempa bumi dan tsunami (26 Desember 2004) Aceh merupakan
propinsi keempat termiskin (40 %), dan sesudah tsunami kondisi semakin
memburuk, sehingga Aceh menempati posisi kedua termiskin (48 %) di
Indonesia. Di samping itu juga terlihat tingkat urbanisasi yang tak terbendung,
sehingga sektor informal perkotaan semakin lebih padat.
Pemerintah daerah perkotaan mengalami kesukaran dan
keterbatasannya dalam penyediaan berbagai fasilitas publik kepada
penduduknya, Prasarana dan sarana sosial, ekonomi tak terurus sebagai mana
semestinya, seperti : fasilitas pendidikan, kesehatan, air minum, pembuangan
sampah, kesehatan lingkungan, serta berbagai fasilitas publik lainnya yang
berkaitan dengan prasarana transportasi tak terurus dan kurang terlengkapi.
8
Dewasa ini, lebih dari 70% penduduk Aceh bertempat tinggal di wilayah
pedesaan dan lebih dari 60% hidup di sektor pertanian, dalam jabatannya
sebagai petani, peternak, nelayan, dan perambah yang mengolah sumber daya
lahan dalam berbagai kondisi dan cuaca, sejak dari sawah, ladang, tegalan
lembah dan ngarai, hutan dan belukar sampai ke lautan lepas di arungi oleh
mereka itu. Dalam kondisi yang sedemikian rupa, membangun masyarakat desa
yang berbasis pertanian berarti membangun sebagian besar penduduk Aceh
yang berada di wilayah pedesaan.
Khususnya di subsektor pertanian perkebunan, Aceh memiliki potensi
beberapa komoditas agribisnis, seperti: karet, kopi, kakao, kelapa sawit yang
tersebar di berbagai kabupaten. Namun demikian pengembangan beberapa
komoditas ini belum terkoordinasi dengan baik. Selain itu, kebijakan
pembangunan sektor pertanian sering tidak sinergis dengan pembangunan di
sektor nonpertanian. Hal ini bermakna keterkaitan antarsektor, dan antarlembaga
pelaku pembangunan masih sangat lemah (kurang konsisten / tidak terintegrasi
secara lebih sempurna.
Apabila ditinjau lebih jauh sumbangan masing-masing subsektor
pertanian dalam komposisi NTB sektor pertanian (Gambar I.2) menunjukkan
bahwa subsektor tanaman pangan memberi kontribusi terbesar, dan selanjutnya
diikuti oleh subsektor perkebunan. Khusus untuk subsektor perkebunan ini,
tahun 2004 mengalami penurunan yang sangat drastis (57,8%) dibanding tahun
2003. Menurut informasi yang diperoleh hal ini terutama disebabkan kondisi
keamanan yang tidak mendukung, sehingga banyak usaha produksi perkebunan
mengalami hambatan yang menyebabkan kebun terlantar, baik di perkebunan
rakyat maupun di perkebunan besar.
Sementara itu, sebelum terjadi bencana tsunami perekonomian Provinsi
NAD didominasi oleh sektor pertanianigas, dan industri pengolahan. Struktur
sektor pertanian terhadap PDRB tahun 2003 mencapai lebih dari 28%, sektor
migas dan industri pengolahan masing-masing mencapai hampir 20%.
9
Terhentinya aktivitas kegiatan ekonomi tersebut membawa dampak pada
meningkatnya jumlah pengangguran. Diperkirakan antara 600 ribu - 800 ribu
orang (sekitar 25% dari total kesempatan kerja yang ada) kehilangan pekerjaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pembangunan di sektor pertanian ke
depan perlu dilakukan secara terpadu dan seimbang dengan pembangunan di
sektor nonpertanian (pembangunan pertanian yang ditunjang dengan
pembangunan agroindustri dan perdagangan). Salah satu prasyarat supaya hal
tersebut dapat diwujudkan adalah tersedianya data dan informasi secara
lengkap, tepat waktu, akurat dan mutakhir tentang kondisi nyata daerah,
khususnya yang berhubungan dengan bidang pertanian. Untuk itu, perlu
dilakukan pemantauan dan evaluasi kinerja pembangunan di bidang pertanian
sehingga dapat mengukur tingkat keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran
pembangunan pertanian.
Kondisi kemiskinan di Provinsi NAD sangat memprihatinkan karena
tingkat kemiskinannya relatif tinggi pada tahun 2005 hampir mencapai 50 persen
(World Bank : 2005). Sebelum krisis, kondisi ekonomi dan kemiskinan di Provinsi
NAD relatif lebih baik ditandai oleh tingkat kemiskinan relatif kecil sekitar 20
persen, namun akibat krisis multidimensi (ekonomi, sosial, dan politik) yang
terjadi di Indonesia, tentunya secara langsung berefek kepada Aceh,
menyebabkan kondisi ekonomi dan tingkat kemiskinan kembali mengalami
kondisi yang memprihatinkan. Hal ini terjadi ditunjukkan oleh penduduk yang
awalnya berada pada pendapatan menengah kembali ke posisi berpendapatan
rendah dan tingkat kemiskinan mau tidak mau kembali meningkat. Namun
setelah krisis tahun 1998 tersebut sejak tahun 2000 Aceh bangkit kembali
karena tingkat kemiskinan kembali menurun karena pendapatan masyarakat
kembali meningkat. Kondisi tersebut tidak lama bertahan, karena pada 26
Desember tahun 2004 Aceh mengalami musibah yang cukup berat yaitu gempa
dan tsunami, yang melumpuhkan ekonomi dan menghancur potensi ekonomi
dan seluruh aspek lainnya. Keadaan tersebut membuat penduduk NAD baik
yang langsung maupun tidak langsung terkena musibah tersebut kehilangan
10
pekerjaan dan pendapatan mereka akibatnya penduduk miskin kembali
meningkat.
Peningkatan angka kemiskinan yang terus memprihatinkan tersebut juga
semakin terpuruk diakibatkan oleh tingkat inflasi Aceh yang relatif besar bahkan
melebihi tingkat inflasi Indonesia secara keseluruhan, seperti yang terjadi pada
bulan Desember 2005 inflasi di NAD sebesar 41,5 persen sedangkan inflasi
Indonesia hanya sebesar 17,1 persen (World Bank, Aceh Economic Update :
April 2007). Tingkat kemiskinan tersebut semakin membesar yaitu mencapai 48
persen pada tahun 2005 dan menduduki urutan kedua termiskin setelah Provinsi
Papua pada, padahal pada tahun 2004 tingkat kemiskinan di Provinsi NAD
perkotaan dan perdesaan hanya sebesar 28,37 persen dan berada di urutan ke
empat setelah Provinsi Papua, Maluku, dan Gorontalo, sedangkan rata-rata
Indonesia hanya sebesar 16,65 persen. Tingkat kemiskinan tahun 2004 tersebut
lebih besar terjadi di perdesaan yaitu sebesar 32,57 persen dari seluruh
penduduk di perdesaan sedangkan di perkotaan hanya sebesar 17,49 persen
dari jumlah penduduk di perkotaan (BPS:2005).
Tingkat kemiskinan di Provinsi Aceh tetap tinggi hingga tahun 2006
disebabkan oleh kebijakan nasional akibat larangan impor beras yang
menyebabkan naiknya harga beras hingga 33 persen. Kondisi tersebut ditambah
lagi dengan dampak kenaikan BBM, meskipun diimbangi oleh Program
Langsung Tunai (SLT), namun hal tersebut tidak banyak membantu karena
program SLT tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Diperkirakan tingkat
kemiskinan dapat diturunkan pada tahun 2007, namun penurunannya relatif kecil
karena sangat tergantung kepada perubahan harga-harga kebutuhan pokok
terutama beras dan beberapa komoditi lain, kecuali apabila pertumbuhan
ekonomi dapat meningkat secara berarti.
Aspek ketenagakerjaan sangat erat kaitannya dengan aspek kemiskinan,
hal tersebut berhubungan dengan potensi tidaknya penduduk dalam
keberhasilan menciptakan nilai kerja yang pada gilirannya dapat menghasilkan
11
produksi dan pendapatan. Ketenagakerjaan memperlihatkan kemungkinan
terciptanya kesempatan kerja dan adanya pengangguran yang terjadi. Jumlah
penduduk terdiri atas Angkatan Kerja dan Bukan Angkatan Kerja, di mana
angkatan kerja merupakan penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang siap
masuk ke pasar kerja untuk menciptakan produksi dan menghasilkan
pendapatan. Jumlah angkatan kerja yang besar merupakan potensi sumber daya
manusia yang besar pula bagi usaha menciptakan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan secara menyeluruh. Jika angkatan kerja tersebut dapat
digunakan sebagaimana mestinya, dengan kata lain banyak angkatan kerja yang
produktif dalam menghasilkan produksi dan pendapatan, maka ekonomi akan
tumbuh dan pembangunan akan berjalan dengan baik. Angkatan kerja yang
bekerja atau penyerapan tenaga kerja relatif sedikit, hanya akan memperbesar
tingkat pengangguran yang pada gilirannya akan memperbesar ketergantungan
penduduk tidak produktif terhadap tenaga kerja produktif dan bahkan akan
memperburuk tingkat kemiskinan.
Aspek ketenagakerjaan cukup penting tidak hanya untuk mencapai
keberhasilan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga
dan kesejahteraan seluruh masyarakat dan perekonomian. Dalam suatu
perekonomian, sebagian dari masyarakat, umumnya yang telah memasuki usia
kerja, diharapkan memasuki lapangan pekerjaan tertentu dan aktif dalam
berbagai kegiatan ekonomi. Usia kerja yang dipakai dalam menentukan
angkatan kerja adalah umur 15 tahun ke atas. Berdasarkan sensus penduduk
Aceh Nias tahun 2005 dari jumlah penduduk Provinsi Aceh sebanyak 3.970.853
jiwa, jumlah penduduk usia 15 tahun atau termasuk angkatan kerja di seluruh
kabupaten/kota sebanyak 2.677.900 jiwa atau Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) yaitu proporsi penduduk usia kerja mencapai 67,44 persen. TPAK
Provinsi Aceh tersebut tidak jauh berbeda dengan TPAK sebesar 66,8 persen.
Lebih jelas gambaran TPAK daerah kabupaten/kota di Provinsi NAD hasil
sensus penduduk Aceh Nias tahun 2007 menunjukkan bahwa TPAK yang
tertinggi adalah di Daerah Aceh Barat, Pidie, Aceh Jaya, Banda Aceh, Aceh
12
Besar, dan Sabang, mencapai di atas 70 persen melebihi TPAK nasional sekitar
66,8 persen. Gambaran TPAK tersebut menunjukkan jumlah penawaran tenaga
kerja relatif tinggi, namun tidak selalu diikuti dengan peningkatan yang berarti
dalam permintaan tenaga kerja atau kesempatan kerja yang memadai.
Kemungkinan hal ini akan menimbulkan keterbatasan bagi tenaga kerja untuk
mendapatkan pekerjaan baik lowongan pekerjaan yang diciptakan oleh pelaku
ekonomi, maupun pekerjaan dengan mempersiapkan usaha secara mandiri.
Jumlah angkatan kerja yang cukup besar tersebut banyak menimbulkan
permasalahan, karena tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut pada
umumnya relatif rendah terutama di daerah-daerah yang jauh dari perkotaan.
Tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut umumnya berpendidikan SMP dan
SD ke bawah, sehingga kemungkinan besar mereka hanya dapat memasuki
lowongan pekerjaan antara lain sebagai buruh atau kuli, apakah sebagai buruh
di sektor pertanian, ataupun industri dan sektor-sektor lain yaitu sektor
perdagangan dan konstruksi. Hal ini ditunjukkan oleh kesempatan kerja pada
saat ini banyak tenaga kerja yang bekerja hanya sebagai buruh.
Tingkat pengangguran di Aceh meningkat dari 6 persen pada tahun 2000
menjadi 12 persen pada 2005 dan tahun 2006. Meningkatnya jumlah
pengangguran tersebut terjadi sebagai akibat pergeseran dalam struktur
kesempatan kerja/usaha dari sektor pertanian ke sektor lainnya, khususnya
sektor jasa yang diakibatkan oleh kebutuhan tenaga kerja dalam usaha
rehabilitasi dan konstruksi di Propinsi NAD akibat gempa dan tsunami. Kondisi
tersebut disebabkan juga oleh peningkatan tenaga kerja sejak tsunami hanya
meningkat sebesar 5 persen. Rendahnya kesempatan kerja tersebut terjadi juga
disebabkan oleh penawaran tenaga kerja yang terus meningkat tidak diimbangi
oleh permintaan tenaga kerja atau terbukanya kesempatan kerja baru setiap
tahunnya.
Tingkat pengangguran di Provinsi NAD mengalami peningkatan dari
sekitar 6 persen pada tahun 2000 menjadi 12 persen pada tahun 2006 (World
Bank, 2007).
13
Berdasarkan lapangan usaha dan status pekerjaan, sumbangan sektor
pertanian di Provinsi NAD masih dominan terhadap penyerapan tenaga kerja
dan sumbangan yang relatif tinggi sumbangan nilai tambahnya terhadap PDRB.
Proporsi penduduk yang bekerja di sektor pertanian selama tahun 2003 hingga
tahun 2006 masih tinggi, yaitu di atas 50 persen. Angka tersebut meski terus
menurun, tetapi masih tinggi, diikuti dengan peningkatan proporsi penduduk
yang bekerja di sektor jasa. Sektor jasa mengalami peningkatan sebesar 18
persen pada tahun 2006 dari tahun 2005, namun sektor perdagangan
mengalami penurunan sebesar 3 persen pada tahun 2006 dari tahun 2005.
Sektor lain yang mengalami peningkatan adalah konstruksi dari tahun 2003
sebanyak 48076 orang menjadi 74402 orang pada tahun 2006, di mana
komposisinya pada tahun 2006 meningkat menjadi 5 persen dari 3 persen pada
tahun 2003. Kenaikan komposisi tersebut ditunjukkan oleh peningkatan jumlah
tenaga kerja sebesar 28 persen pada tahun 2006 dari tahun 2005. Kenaikan
tersebut terjadi karena di Provinsi Aceh sedang dilakukan rekonstruksi dan
rehabilitasi akibat gempa dan tsunami, sehingga dikhawatirkan komposisi
tersebut akan menurun kembali setelah proses rekonstruksi dan rehabilitasi
selesai. Jumlah tenaga kerja di sektor lain mengalami penurunan seperti sektor
transportasi dan sektor keuangan yang menurun cukup besar. Lebih jelas
penyerapan tenaga kerja berdasarkan sektor lapangan usaha tahun 2003-2007.
Penyerapan tenaga kerja yang sektor pertanian pada tahun 2006 sebesar
56 persen dari seluruh tenaga kerja, namun angka tersebut menurun
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yaitu tahun 2003 mencapai 62 persen
dan tahun 2005 sebesar 60 persen. Penyerapan tenaga kerja yang cukup besar
lebih dari separuh tenaga kerja Aceh tidak diiringi oleh membaiknya tingkat
produksi di sektor pertanian, artinya tingkat produktivitas sektor pertanian tetap
saja rendah. Penyerapan tenaga kerja di sektor yaitu sektor jasa mencapai 15
persen pada tahun 2006 meningkat 12 persen dari tahun 2005 dan konstruksi
sebesar 5 persen pada tahun 2006 meningkat dari 4 persen pada tahun 2005.
Proporsi penyerapan tenaga di sektor lain relatif kecil yaitu manufaktur,
14
transportasi, pertambangan, listrik, gas dan air, dan keuangan hanya di bawah 3
persen dan pada umumnya tidak banyak mengalami perkembangan. (World
Bank : 2007). Gambaran kondisi tersebut di atas menunjukkan keterbatasan
kesempatan kerja di sektor nonpertanian, terutama sektor industri atau
manufaktur yang menjadi tumpuan terbukanya kesempatan kerja di perkotaan.
Harapan lain adalah terjadinya transformasi pertanian ke sektor industri yang
akan mendorong peningkatan sektor pertanian itu sendiri sehingga dapat
meningkatkan pendapatan bahkan kesejahteraan penduduk di sektor pertanian
atau pedesaan.
Pengembangan UKM seyogianya menjadi salah satu sasaran penting
bagi suatu program pembangunan. Hal ini didasari oleh beberapa argumen,
yang pertama menyangkut dengan penyerapan tenaga kerja. Teknik produksi
pada UKM pada umumnya bersifat padat tenaga kerja, sehingga pengembangan
usaha UKM dapat mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja serta
mengurangi pengangguran. Kedua, pengembangan UKM melalui
pengembangan usaha dapat meningkatkan penerimaan dalam negara dan
pemerintah daerah dalam bentuk penerimaan pajak maupun nonpajak. Ketiga,
karena biaya/permodalan bagi pendirian UKM relatif rendah, maka
pengembangan UKM dapat mendorong partisipasi yang lebih luas dalam
berusaha. Keempat, pengembangan UKM, yang menghasilkan produk yang
mempunyai pasar internasional dapat meningkatkan pemasukan devisa
nasional. Kelima, pengembangan UKM dapat pula berkontribusi bagi
pengurangan kemiskinan.
Seiring dengan perkembangan waktu terdapat sejumlah faktor yang dapat
memberikan dampak terhadap perkembangan UKM di Aceh; baik dampak positif
maupun negatif. Salah satu faktor penting yang memberikan dampak bagi
perkembangan UKM di Aceh adalah kebijakan pemerintah daerah. Pembahasan
ini akan terfokus pada kajian Kebijakan Pemerintah Daerah Aceh yang
menyangkut pengembangan UKM.
15
Berbagai kegiatan produktif yang dilakukan oleh masyarakat, swasta, dan
pemerintah, baik di sektor pertanian ataupun nonpertanian, tidaklah berdiri
sendiri tetapi terjalin hubungan keterkaitan antarsektor dan antardaerah,
sehingga terjadi arus barang dan jasa, baik sebagai input maupun output dalam
proses produksi dan distribusi antarwilayah. Kelancaran arus barang dan jasa ini
sangat tergantung pada ketersediaan prasarana dan sarana transportasi darat,
laut dan udara yang memadai untuk mendukung proses produksi dan
pemasaran domestik dan luar negeri (impor dan ekspor) Berbagai masalah
dalam bidang prasarana dan saran akan diungkapkan dalam bagian isu-isu
strategis.
Masalah institusi bersama dengan kualitas sumber daya manusia (SDM)
yang mendukungnya, terutama di sektor publik masih belum mampu
memberikan pelayanannya pada berbagai kegiatan-kegiatan pemerintahan dan
pembangunan yang efektif dan efisien untuk menggapai tujuan pembangunan
yang merupakan harapan dari seluruh stakeholders.
Aceh memperoleh arus dana masuk capital inflow yang relatif besar
terutama dalam tiga tahun terakhir, namun arah investasi masih belum mampu
memasuki radius sasaran yang dikehendaki sebagai solusi untuk memecahkan
sederetan masalah, yang antara lain terungkap dalam kajian ini (terutama
berkenaan dengan penurunan pengangguran, kemiskinan, peningkatan UKM,
pelayanan pendidikan dan kesehatan, penyediaan prasarana yang memadai). Di
lain pihak penggunaan pengeluaran publik, tingkat efektivitas dan tingkat
efisiensinya masih relatif lebih rendah.
Masalah-masalah tersebut merupakan beberapa isu penting yang perlu
dikaji dan dibahas sehingga dapat memberikan beberapa solusi bagi para
pengambil keputusan, tidak hanya untuk meningkatkan upaya pembangunan di
daerah ini, tetapi juga untuk dapat memberikan solusi terhadap masalah-
masalah dan isu-isu penting di daerah ini, baik untuk masa kini maupun pada
masa-masa mendatang.
16
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI 2.1.1. Capaian indikator
Sebagaimana diketahui dimasa lalu Pemerintah Nanggroe Aceh
Darussalam (Pemerintah Aceh) telah mengalami berbagai persoalan yang
sangat berat. Konflik bersenjata berkepanjangan diiringi dengan kasus korupsi,
lemahnya kapasitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM), tidak efisiensinya
pelayanan publik serta aturan hukum yang tidak jelas dan timpang tindih
hubungan pemerintahan baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun
hubungan pemerintahan antara daerah tingkat provinsi dengan daerah
kabupaten/kota.
Di lain sisi, reformasi birokrasi baik pada Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah merupakan kebutuhan dalam upaya mewujudkan
kepemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokraksi pada tataran
Pemerintah Daerah diarahkan untuk melakukan koreksi dan penyempurnaan
terhadap segala kekurangan yang terjadi pada pelaksanaan kebijakan
desentralisasi sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan fungsi utama birokrasi
yaitu pelayanan publik yang secara langsung bersentuhan dengan pemenuhan
kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya pasca konflik yang berkepanjangan di Aceh, ternyata tidak
hanya menyisakan angka-angka korban dari tindak kekerasan, namun juga
statistik penyimpangan dana publik yang jumlahnya mencapai ratusan juta
rupiah. Angka-angka ini hanyalah sebagian dari kondisi yang terbaca di balik
realitas konflik Aceh, belum lagi fakta-fakta yang tersembunyi di belakang meja
birokrasi Aceh. Jadi alangkah wajar, jika tersirat pandangan dari khalayak
pengamat dan aktivis pro demokrasi bahwa konflik Aceh (pada saat itu) sulit
diselesaikan akibat dua faktor utama, yaitu pertama, kebijakan pemerintah pusat
(RI) yang lebih mengedepankan tindakan kekerasan, dan kedua, prilaku
pemerintah dan komponen swasta di Aceh serta kerap melakukan KKN. Oleh
17
karena itu ada beberapa mekanisme yang dapat dikaji dalam membahas tentang
keadilan dan demokrasi melalui penguatan dan proses yang dapat dilalui.
Secara sederhana, demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem
politik yang berupaya untuk menghantarkan keputusan-keputusan politik secara
partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui
persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat.
Dalam konteks tersebut yang didukung pula oleh banyak literatur ilmu politik
disepakti bahwa kualitas demokrasi juga amat ditentukan oleh berkualitas atau
tidaknya proses rekruitmen para kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
memperoleh mandat untuk memimpin pemerintahan. Oleh karena itu, demokrasi
di tingkat lokal akan mendapatkan kekuatannya apabila seleksi para kepala
daerah dan wakil kepala daerah berjalan dengan (kompetisi yang) adil.
Di lain pihak adanya perjanjian damai Pemerintah Republik Indonesia (RI)
dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005, di Helsinki,
Finlandia, telah memutuskan beberapa mandat yang harus dilaksanakan oleh
kedua belah pihak. Beberapa mandat tersebut diantaranya: decomissioning dan
demobilisasi, rehabilitasi-integrasi, pembuatan Undang-Undang Pemerintahan
Aceh (UU-PA) yang akan menjadi hukum baru bagi penyelesaian Aceh secara
komprehensif dan berkelanjutan, tanpa melupakan penegakan dalam bidang
hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk amanat yang paling utama yaitu
pembentukan Undang-undang yang khusus mengatur tentang Aceh atau
kemudian disebut dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
2.1.1.1. Kondisi Pelayanan Publik di Beberapa Daerah di Aceh Sebagaimana diketahui bahwa lahirnya Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2008
tentang Pelayanan Publik, telah memberikan dampak positif atas pelaksanaan
dan pelayanan kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang
baik sesuai dengan good governance dan clean Goverment. Pelayanan publik
menjadi tugas semua pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat ikut
menciptakan proses kearah pelayanan publik yang baik dan dalam bentuk
18
kesinambungan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ketua tim penilai kinerja
pelayanan publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Bambang
Anom, menyatakan pelayanan publik bukan hanya tergantung pada figur
pimpinan seperti bupati dan walikota di daerah. "Pelayanan publik itu dilakukan
berdasarkan sistem yang terus menerus berkesinambungan. Jadi, bukan hanya
pada figur publik," katanya, sore ini. Jika tolok ukur pada figur pimpinan maka
kebijakan pelayanan publik tersebut akan berganti saat masa jabatan gubernur,
bupati dan walikota berakhir. "Kalau itu terjadi maka berdampak pada
terganggunya kebijakan peningkatan pelayanan publik karena pimpinan daerah
berganti," ujarnya. Oleh karena itu, dikatakan, pemerintah menerbitkan Undang
Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik yang mengatur masalah
tersebut. "UU ini mengatur hubungan dan kepastian hukum antara
penyelenggara dan masyarakat pengguna layanan serta memperkuat dan
memberi perlindungan hukum bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
publik," jelasnya. Menurutnya, UU tersebut akan memberikan sanksi tegas bagi
pimpinan penyelenggara atau aparatur pemerintahan yang lalai dalam melayani
masyarakat.
Dipihak lain, dinilai Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah telah berhasil
meningkatkan pelayanan publik sesuai nilai-nilai yang ditentukan. "Sebagai
bentuk penghargaan maka Pemerintah pusat akan memberikan Piala Citra Bakti
Abdi Negara yang akan diserahkan langsung Presiden RI, Susilo Bambang
Yudhoyono di istana negara," katanya. Penilaian pelayanan publik bukan
semata-mata untuk memperoleh piala tersebut, tapi akan menjadi rangsangan
dalam upaya meningkatkan kesadaran aparatur pemerintahan untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin
mengatakan, pihaknya terus berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi
masyarakat dengan motto "kalau bisa dipercepat, mengapa harus
diperlambat". Oleh karena itu pemerintah kabupaten telah memberi
pendelegasian kewenangan kepada para camat guna melayani masyarakat,
khususnya di daerah terpencil. Hal ini membuktikan bahwa pelayanan publik
19
sudah mulai menjadi perhatian dari setiap daerah, bahkan daerah yang selama
ini kurang perhatiannnya sekarang telah berubah kearah yang lebih baik.
Selanjutnya berkenaan dengan sistem pelayanan terpadu Pemerintah Aceh
melalui Gubenur Aceh yang diwakili Asisten I Bidang Pemerintahan Drs Martin
Deski MM telah membuka simposium dan peluncuran buku panduan pelayanan
perizinan terpadu. Kegiatan tersebut berlangsung di gedung Serbaguna
Bappeda Sabang, diselenggarakan pihak Logica bekerjasama dengan Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Provinsi Aceh, yang diikuti 71 peserta dari
23 kabupeten/kota.
Gubenur dalam sambutannya yang disampaikan Asisten I Bidang Pemerintahan
Martin Deski mengatakan, pelayanan terpadu satu pintu yang sudah dibentuk,
ada yang menghadapi hambatan dan tantangan, pemahaman terhadap pola
pelayanan terpadu masih banyak yang keliru. Karenanya diharapkan dukungan
semua pihak untuk membantu sepenuhnya proses pelaksanaan pelayanan
publik pada pelayanan terpadu satu pintu di setiap kabupaten/kota.
Terbentuknya pelayanan terpadu di Aceh merupakan respons terhadap instruksi
Presiden dalam mendorong perbaikan iklim usaha penyederhanaan birokrasi di
bidang perizinan. Pemerintah Aceh sudah mengimplementasikan pelayanan
perizinan terpadu sesuai amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 24 Tahun 2006 tentang pelayanan terpadu satu pintu, di mana pelayanan
yang diberikan lebih transparan dan mudah diakses.
Menurut Gubernur pelayanan publik harus mendapat prioritas utama karena
merupakan tugas dan fungsi yang melekat pada setiap aparatur. Oleh karena itu,
upaya perbaikan sistem pelayanan publik harus dilakukan secara terus menerus,
berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Salah satu bentuk
perubahan dalam pelayanan publik adalah melalui pelaksanaan pelayanan
perizinan terpadu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
20
Dalam kaitan itu, perlu untuk mengeluarkan suatu panduan mendirikan dan
mengembangkan lembaga pelayanan perizinan terpadu. Dalam kesempatan itu
diluncurkan buku yang berisi tentang pemahaman umum penyelenggaraan
pelayanan perizinan terpadu, langkah-langkah pembentukan penyelenggaraan,
dan hal-hal yang dapat dilakukan dalam mengembangkannya. Buku tersebut
dapat menjadi panduan bagi kabupaten/kota dalam Provinsi Aceh sehingga
menjadi suatu pedoman dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan
sebagai inovasi pelayanan, dengan harapan agar masyarakat merasa puas
terhadap pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah daerah, ujarnya
2.1.1.2. Penanganan Kasus Korupsi di Aceh
Berdasarkan data dan penelitian, sampai tahun 2009 ada sejumlah kasus tindak
pidana korupsi yang telah dilaporkan dan ditangani. Dan ada beberapa kasus
yang telah diproses dibebaskan oleh lembaga peradilan di Aceh, kondisi ini
menunjukkan pola penanganan kasus korupsi khususnya atas peradilan yang
ditangani majelis hakim dan jaksa penuntut umum tergolong dalam bagian paling
buruk rapornya, mengingat kasus korupsi merupakan salah satu indikator dalam
pelaksanaan pemerintahan menunju ke good Governance dan Clean Goverment
yang dicanangkan oleh Presiden SBY dalam program kerjanya. Di samping itu
masih banyak lagi kasus-kasus yang belum memperoleh kekuatan hukum yang
tetap dan bahkan belum tersentuh penanganan hukum.
Seharusnya upaya pemberantasan korupsi dapat berkaca atas keinginan dan
capaian visi dan misi pemerintah SBY di atas serta upaya reformasi birokrasi
peradilan dan lingkungan Mahkamah Agung, jika ditelaah lebih jauh di Aceh
hingga saat ini belum mampu diwujudkan lembaga peradilan, perwujudan tata
kelola peradilan yang bersih dan terhindar dari upaya intrik dan permainan
menjadi agenda penting yang harus segera dirubah. Jika hal ini belum mampu
dilakukan maka dipastikan evaluasi yang dilakukan oleh tim Kejagung hanya
merupakan agenda rutin dan tidak menghasilkan masukan apa-apa.
21
Selain itu, selama ini berdasarkan telaah penanganan kasus dan implimentasi
penuntasan kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh pihak Kejati
maupun Kejari, tercatat dalam penanganan kasus korupsi sangat kental upaya
kejar target yang dibebankan Kejagung. Hal ini dibuktikan dengan penanganan
lebih dititik beratkan pada kasus-kasus kecil saja, seharusnya yang menjadi
prioritas adalah kasus-kasus yang besar yang menjadi tugas utama pihak
kejaksaan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi di Aceh.
Sudah saatnya pihak kejaksaan di Aceh, majelis hakim serta para jaksa yang
bertugas di wilayah hukum peradilan Aceh melakukan upaya pembenahan
internal dengan menunjukkan sikap profesionalitas aparat kejaksaan dalam
menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Karena, jika sikap profesionalitas pihak kejaksaan tidak ditonjolkan dan menjadi
titik fokus utama agenda perubahan secara manajerial dan struktur, maka ini
akan menambah preseden buruk bagi penegakan hukum di Aceh khususnya
dalam menangani kasus tindak pidana korupsi, katanya. Sebagai contoh ada
beberpa kasus korupsi yang belum memperoleh kekuatan hukum dan
penanganan di Aceh sampai saat ini, bahkan banayak kasus yang tidak
tersentuh hukum lagi (lihat Lampiran) :
Selanjutnya indikasi meningkatnya kasus korupsi di Aceh ditandai dengan
banyaknya proyek yang tidak sesuai harapan dan cenderung asal asalan. Pasca
tsunami dan penandatanganan MoU Helsinki, banyak proyek rehabilitasi dan
pembangunan infrastruktur di Aceh, sehingga sangat mungkin terjadi
penyelewengan atau korupsi. Bahkan pasca Pemilihan Kepala Deerah (Pilkada)
di Aceh, para Bupati terpilih banyak yang menyelewengkan APBD untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya, termasuk uang reintegrasi yang
seharusnya diterima mantan anggota GAM juga dikorupsi. Saat ini Polisi NAD
sedang menyidik 14 kasus dugaan korupsi yang terjadi di Aceh sepanjang tahun
2007. Empat di antaranya kasus dugaan korupsi yang terjadi pada Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Kapolda Aceh Irjen Rismawan
22
menyebutkan, 14 kasus tersebut kini sudah masuk dalam tahap penyidikan dan
masih menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan(BPKP).
Kapolda menegaskan, polisi tidak main-main dalam menangani tindak pindana
korupsi yang terjadi di Aceh. Agar data yang diperoleh polisi lebih akurat, Polda
meminta bantuan BPKP untuk mengaudit proyek-proyek yang terindikasi korupsi,
agar segera diketahui berapa kerugian yang disebabkannya. Pihaknya meminta
seluruh jajaran Polres yang menangani kasus dugaan korupsi ini agar
mengusutnya hingga tuntas, sehingga upaya-upaya yang merugikan negara bisa
dihilangkan.
Di lain pihak ada 14 kasus yang sedang ditangani polisi itu, di antaranya, proyek
pembangunan irigasi pada supervisi jaringan sub di Arakundo, Lap-136 sub
Jambo pada paket LA-9 dengan indikasi korupsi sebesar Rp1,1 miliar lebih. Lalu,
kasus pembangunan pengamanan pantai di Pidie, Lhokseumawe, dan Aceh
Utara dengan nilai indikasi korupsi Rp270,7 juta lebih. Ada juga kasus dugaan
korupsi rehabilitasi Krueng Neg, Krueng Doy, dan Krueng Titi Panjang sebesar
Rp200,6 juta lebih. Selain itu, dugaan tindakan korupsi proyek jaringan irigasi di
tujuh wilayah di kabupaten/kota di Aceh, sebesar Rp2,7 miliar lebih. Kasus lain
yaitu SID Drainase Induk Kota Banda Aceh sebesar Rp329,8 juta dan kasus SID
Kanal Banjir Kota Banda Aceh senilai Rp281 juta. Di Aceh Barat, kasus korupsi
SID Drainase Induk Kota Meulaboh sebesar Rp218 juta lebih. Di Kabupaten
Pidie yakni SID Sungai dan Muara Panteraja sebesar Rp134 juta dan kasus
jaringan irigasi di Krueng Aceh kanan di Kabupaten Aceh Besar senilai Rp855,5
juta. Polisi, BPKP dan aparat yang berwenang di NAD sebaiknya menuntaskan
kasus korupsi yang semakin meningkat di Aceh. Korupsi uang reintegrasi juga
harus diusut tuntas, kemana uang yang seharusnya di terima mantan anggota
GAM itu.
23
Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menurunkan tim ke Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD), untuk melakukan evaluasi terhadap banyaknya vonis bebas
pengadilan terhadap para terdakwa dalam kasus tindak pidana korupsi yang
merugikan negara mencapai belasan miliar. Tim melakukan penelitian dan
pengumpulan data terkait berbagai perkara korupsi yang disidangkan di
pengadilan Aceh. Penelitian yang dipusatkan di Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati)
Aceh di Jalan Tgk Moh. Daud Beureueh tersebut diikuti sejumlah kalangan,
terdiri dari jaksa Kejati dan Kejari, dosen/akademisi, hakim, dan penasihat
hukum. Penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan data tentang putusan bebas
perkara pidana, faktor-faktor penyebab terjadinya putusan bebas dan bagaimana
jaksa menyikapi adanya putusan bebas dan bagaimana upaya meningkatkan
kualitas penuntut umum dalam penanganan perkara,
Selanjutnya koordinator Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh
mengatakan, evaluasi Tim Kejagung patut diberikan apresiasi, karena
berdasarkan monitoring khusus tentang peradilan hingga saat ini tercatat wilayah
hukum Aceh paling banyak membebaskan terdakwa korupsi.
Berdasarkan investigasi, tercatat periode tahun 2007-2009 ada delapan kasus
tindak pidana korupsi yang dibebaskan oleh lembaga peradilan di Aceh, kondisi
ini menunjukkan pola penanganan kasus korupsi khususnya atas peradilan yang
ditangani majelis hakim dan jaksa penuntut umum tergolong dalam bagian paling
buruk rapornya,
Seharusnya, kita dapat berkaca atas keinginan dan capaian visi dan misi
pemerintah serta upaya reformasi birokrasi peradilan dan lingkungan Mahkamah
Agung, jika ditelaah lebih jauh di Aceh hingga saat ini belum mampu diwujudkan
lembaga peradilan, perwujudan tata kelola peradilan yang bersih dan terhindar
dari upaya intrik dan permainan menjadi agenda penting yang harus segera
dirubah. Jika hal ini belum mampu dilakukan maka dipastikan evaluasi yang
dilakukan oleh tim Kejagung hanya merupakan agenda rutin dan tidak
menghasilkan masukan apa-apa.
24
Selain itu, ujarnya, selama ini berdasarkan telaah penanganan kasus dan
implimentasi penuntasan kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh
pihak Kejati maupun Kejari, tercatat dalam penanganan kasus korupsi sangat
kental upaya kejar target yang dibebankan Kejagung. Hal ini dibuktikan dengan
penanganan lebih dititik beratkan pada kasus-kasus kecil saja, seharusnya yang
menjadi prioritas adalah kasus-kasus yang besar yang menjadi tugas utama
pihak kejaksaan dalam menangani kasus tindak pidana korupsi di Aceh. Sudah
saatnya pihak kejaksaan di Aceh, majelis hakim serta para jaksa yang bertugas
di wilayah hukum peradilan Aceh melakukan upaya pembenahan internal
dengan menunjukkan sikap profesionalitas aparat kejaksaan dalam menangani
kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Karena, jika sikap profesionalitas pihak kejaksaan tidak ditonjolkan dan menjadi
titik fokus utama agenda perubahan secara manajerial dan struktur, maka ini
akan menambah preseden buruk bagi penegakan hukum di Aceh khususnya
dalam menangani kasus tindak pidana korupsi.
Bahkan kalangan anggota DPRA menilai kinerja aparat penegak hukum di Aceh
masih berjalan lamban sehingga memunculkan berbagai sorotan, termasuk dari
LSM antikorupsi. “Mengacu pada kasus-kasus yang disorot LSM GeRAK dan
MaTA, mengindikasikan masih lambannya kinerja aparat penegak hukum di
daerah ini,” kata seorang anggota DPRA dari Partai Aceh, Menurut Darmuda,
pihak Dewan mendukung GeRAK dan MaTA untuk terus mengawal dan
mengontrol kasus-kasus dugaan tindak pidana korupsi hingga ke pengadilan dan
KPK. Termasuk di dalamnya soal dana masyarakat Aceh Utara Rp 220 miliar
yang hingga kini belum kembali. Menanggapi berbagai sorotan publik maupun
LSM antikorupsi terhadap pengusutan kasus korupsi, Darmuda berharap agar
kinerja aparat penegak hukum di Aceh perlu terus dtingkatkan supaya
kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum menjadi lebih tinggi lagi.
Harapan yang lebih kurang sama juga disampaikan seorang anggota DPRA
lainnya dari Partai Golkar, Djuriat Suparjo. Dalam penilaian anggota DPRA dari
25
Partai Aceh, Darmuda, jika tunggakan dugaan korupsi yang telah masuk ke
jaksa maupun polisi lambat diserahkan ke pengadilan, bisa menimbulkan
kecurigaan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap proses hukum
itu sendiri. Wakil Ketua I DPRA Bidang Pemerintahan dan Hukum, Amir Helmi
SH mengatakan, dirinya sependapat dengan apa yang disampaikan GeRAK dan
MaTA bahwa dugaan kasus korupsi yang telah ditangani jaksa dan polisi
harusnya segera diserahkan ke pengadilan. Minimal yang telah didata GeRAK
dan MaTA sebanyak 16 kasus yang hingga kini belum dilimpahkan ke
pengadilan untuk disidangkan. “Sebanyak 16 kasus dugaan tindak pidana
korupsi yang telah didaftar GeRAK dan MaTA itu sebagian merupakan temuan
dari Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh (TAKPA) dan sudah disidik polisi dan
jaksa. Hendaknya diproses secepatnya ke pengadilan. Jika ada yang benar-
benar tidak bisa dilanjutkan ke pengadilan langsung saja dihentikan, kemudian
dipublikasikan kepada publik dengan transparan dan bukti yang kuat,” kata Amir
Helmi.
Koordinator Lapangan Tim Antikorupsi Pemerintah Aceh, Tgk Abdullah Madyah
mengatakan, pihaknya juga merasa heran kenapa sampai saat ini kejaksaan
belum melimpahkan kasus dugaan korupsi pengelolaan dana operasional di
TVRI yang menjadi temuan TAKPA. Padahal pengusutan kasus itu sudah
berlangsung sejak hampir dua tahun oleh jaksa tinggi. Pihak BPKP yang diminta
untuk melakukan audit, kata Abdullah Madyah, pernah menjelaskan, bahwa
masih ada data yang kurang untuk melengkapi hasil audit guna membawa kasus
dugaan korupsi dana operasional TVRI itu ke pengadilan. Tapi pihak jaksa belum
menyampaikan tambahan data itu kepada BPKP. “Apakah karena faktor itu
sehingga kasusnya belum juga ke pengadilan atau ada faktor lain,” tandas
Koordinator Lapangan TAKPA itu
2.1.1.3. Pelaksanaan Demokrasi dan HAM di Aceh
26
Pada dasarnya pelaksanaan pesta demokrasi di Aceh telah berjalan dengan
baik meskipun ada beberapa hambatan yang terjadi. Dimulai dengan pemilihan
umum (Pemilu) 2004 dan pemilihan kepala daerah (pilkada) 2006 sampai
dengan Pemilu 2009. Pemilu 2009 baru saja berakhir, baik pemilu Legislatif
maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden semua telah dilaksanakan. Dalam
pelaksanaan Pemilu legislatif ditemukan banyak kekurangan-kekurangan di
sana-sini. Bukan hanya dalam prosedur penghitungan suara, namun ternyata
dari sisi pemilihnya sendiri masih banyak yang belum mengerti masalah pemilu,
mulai dari tidak terdaftarnya dalam DPT maupun tidak dimanfaatkannya hak-hak
sebagai warga negara yaitu hak untuk memilih. Menyikapi hal demikian tentunya
menuai berbagai keprihatinan berbagai pihak.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 disebutkan salah satu hak warga negara
yang mendasar adalah hak untuk mempergunakan suaranya, disamping hak-hak
warga negara Indonesia yang lainnya. Selain pengaturan hak warga negara
untuk memilih dan dipilih juga termuat dalam Undang-undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk
menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak
sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan wakil presiden. Hak
memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right)
setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara.
Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-
Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Bagi Daerah Aceh, yang sejak tahun 1959 telah memperoleh status sebagai
daerah istimewa berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Nomor I/missi/1959
27
dan kemudian dikuatkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 belumlah memadai. Oleh karena itu, Pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tanggal 9 Agustus 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Salah satu hal yang khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
adalah Pemilihan Kepala Daerah, yang meliputi pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota secara langsung
oleh rakyat setiap lima tahun sekali, melalui pemilihan yang langsung, umum,
bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Kebijakan ini akan semakin mewujudkan
realitas pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dari kacamata
payung regulasi, Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam dilengkapi dengan
kerangka hukum yang komplet, seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh, Qanun Nomor 2 Tahun 2003 yang kemudian
diubah dengan Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur.
Pemilihan langsung Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota di Nanggroe Aceh Darussalam dimaksudkan untuk
menjalankan hak-hak dan kebebasan; bebas dari diskriminasi berdasarkan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, asal-usul sosial, kelahiran atau status
lainnya, serta aliran politik. Ketentuan ini terdapat pada setiap instrumen hak
asasi manusia. Prinsip non diskriminasi harus diberlakukan pada setiap tahap
dan proses pemilihan. Demikian juga semua prinsip yang diperlukan bagi suatu
pemilihan umum, yaitu langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil
harus diimplementasikan dalam semua tahap pemilihan, yang meliputi
pendaftaran pemilih, pencalonan, pemungutan suara, penghitungan suara,
pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan calon terpilih.
28
Dengan pemilihan secara langsung ini, diharapkan dapat dicapai beberapa hal
yaitu :
1. Rakyat yang telah mempunyai hak untuk memilih, dapat berpartisipasi
secara langsung dalam menentukan pemimpin daerah, sehingga
pemimpin daerah tersebut sesuai dengan aspirasi rakyat dan mempunyai
ikatan batin dengan rakyat.
2. Pemimpin daerah yang terpilih melalui pemilihan langsung, akan
mendapat legitimasi yang cukup sehingga dapat lebih efektif dalam
menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan,
yang berorientasi pada kepentingan rakyat.
3. Pemimpin daerah yang terpilih secara langsung, lebih terikat dan
berkepentingan dengan rakyat pemilih, oleh karenanya akan terdorong
untuk berbuat yang terbaik bagi rakyatnya.
4. Memperkuat otonomi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bidang
politik sehingga ketergantungan politik antara Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dengan Pemerintah Pusat akan berkurang dan fungsi
pemerintah daerah tidak lagi hanya merupakan perpanjangan tangan dari
pemerintah pusat.
5. Memperbaiki citra DPRD yang selama ini banyak pihak mensinyalir telah
melakukan politik uang dalam setiap pemilihan Kepala Daerah.
Untuk memwujudkan dan menghasilkan pemimpin daerah
sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka segala sesuatu yang
menyangkut dengan pemilihan itu diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati
dan Walikota/Wakil Walikota akan berjalan dengan lancar, aman dan tertib
apabila dilaksanakan oleh penyelenggara dan diawasi oleh pengawas yang
kapabel dan kredibel, serta disertai dengan penyediaan dan pengelolaan
logistik yang memadai. Untuk itu dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 ditegaskan bahwa pemilihan dilaksanakan oleh Komisi Independen
Pemilihan dan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan. Kedua institusi ini
dibentuk oleh DPRD serta bersifat independen dan non-partisan. Pilkada di
29
Aceh telah mengalami beberapa pasang surut, yaitu rencana awal 25
Oktober 2005 sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Qanun
Nomor 2 Tahun 2004. Tetapi karena bencana alam gempa bumi dan tsunami
mengakibatkan banyak dokumen yang hilang sehingga apa yang telah
dijadwalkan tersebut tidak mungkin diselenggarakan lagi sehingga jadwal
tersebut berubah lagi menjadi 29 Desember 2005 sesuai dengan Qanun
Nomor 3 Tahun 2005. Jadwal inipun kemudian di rubah lagi menjadi 26 April
2006 akibat adanya dinamika politik yang berkembang di Provinsi NAD
seperti lahirnya MoU Helsinki yaitu perjanjian damai antara GAM dan
Pemerintah RI tanggal 15 Agustus 2005. Di dalam butir 1.2.2. disebutkan
bahwa, dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan
memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih
untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006. Kemudian butir
2.2.3. Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan Pemerintah
di Aceh untuk memilih kepala pemerintahan Aceh dan pejabat terpilih lainnya
pada bulan April 2006. Itulah sebabnya, maka jadwal yang telah ditetapkan
KIP Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 26 April 2006, itupun harus
diperbaiki kembali sesuai dengan UUPA yang baru. UUPA disahkan DPR RI
tanggal 11 Juli 2006 dan dinyatakan berlaku tanggal 1 Agustus 2006. UUPA
inipun harus ditindaklanjuti lagi dengan Qanun sebagai perubahan Qanun
Nomor 3 Tahun 2005 menjadi qanun Nomor 7 Tahun 2006. Hal ini karena
beberapa pasal yang tidak sesuai lagi dengan kondisi terakhir sesuai
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Akhirnya
KIP dengan tidak bosan-bosannya kembali memperbaharui dan merubah
jadwal Pilkada di Aceh sesuai dengan Keputusan KIP Nomor 18 Tahun 2006
sebagaimana tersebut di atas menjadi tanggal 11 Desember 2006.
Disamping itu tingkat partisipasi pemilih baik pada pemilihan legislatif
(pilleg) maupun pada Pilpres 2009 sangat tinggi saat ditetapkannya Daftar
Pemilih Tetap (DPT) di tingkat provinsi. Ketua Pokja Pendaftaran Pemilih
(KIP) Aceh mengatakan bahwa pelaksanaan jumlah pemilih di Aceh sudah
30
cukup tinggi dan dimungkinkan akan bertambah lagi. Karena belum ada data
yang akurat, maka KIP belum dapat memperkirakan berapa persen tingkat
partisipasi masyarakat pada awalnya yang masuk DPT dan berhak memilih
pada Pilpres mendatang. “ namun secara keseluruhan, tingkat partisipasi
masyarakat dalam pilleg dan Pilpres kemudian dapat terlihat setelah DPT
ditetapkan. Sesuai dengan data yang dikeluarkan KIP, Daftar Pemilih Pilpres
2009 sebanyak 3.004.432 orang, dan terjadi pengurangan jumlah pemilih
sebanyak 5.533 orang dari DPT pemilu legislatif 2009 yang mencapai
3.009.965 orang. Berkurangnya dalam pemilihan pilpres, Ketua pokja KIP
menjelaskan dan tidak ingin terlalu jauh berspekulasi. “Hal yang terpenting
adalah kami sudah melakukan upaya maksimal untuk mengimbau agar
masyarakat mendaftarkan dirinya kepada petugas dengan beberapa hari
masa perpanjangan dari jadwal semula,” jelasnya. Menurut KIP terkait
pemutakhiran data pemilih ini pihaknya akan terus memonitor. Dalam
beberapa hari terakhir, KIP dan pemerintah juga telah berupaya maksimal
menghimbau agar masyarakat yang belum terdaftar masih punya
kesempatan untuk mendaftarkan dirinya hingga batas waktu penetapan di
DPT di Provinsi. “Bilapun nanti ada angka yang tidak sesuai kita akan
upayakan melihat kembali karena penetapan DPT di tingkat provinsi
nantinya” ujar Akmal yang beberapa hari ini juga turut memanfaatkan fasilitas
jejaring sosial Facebook untuk menghimbau masyarakat yang belum
terdaftar, untuk mendaftarkan dirinya kepada petugas PPS di desa mereka.
Dia sebutkan, data pemilih yang mendaftar hingga 28 Mei 2009 oleh PPS
atau PPK segera disampaikan ke KIP kabupaten/kota. Selanjutnya, pada 29
Mei 2009 KIP Kab/Kota harus segera menyampaikannya ke KIP Provinsi dan
pada 30 Mei 2009 semua data harus masuk ke KPU Pusat. KPU akan
mengumumkan daftar pemilih tetap (DPT) Pilpres pada 31 Mei 2009. Dari
data dapat dijelaskan bahwa adanya peningkatan partisipasi masyarakat
terhadap pemilihan anggota legislatif itu dikarenakan bahwa masyarakat
Aceh ingin perubahan pada lembaga legislatif ini, disamping dalam pemilihan
31
legislatif kehadiran Partai lokal (Parlok) telah membawa keingitahuan dari
masyarakat untuk menentukan calon-calonnya dalam parlemen.
Dari uraian diatas kemudian dapat dijelaskan bahwa akibat dari rasa
keingintahuan masyarakat dan kerja keras dari KIP dalam mensosialisasikan
kepentingan dalam pemilu dan penggunaan hak demokrasi, maka
peningkatan partisipasi masyarakat di Aceh cukup tinggi. Tingkat partisipasi
ini bahkan melampaui tingkat presentase nasional. Ini dapat disimpulkan
bahwa masyarakat Aceh sangat besar perhatian pada pemenuhan hak-hak
politik termasuk hak untuk memilih dan dipilih. Masyarakat Aceh berusaha
untuk menjadi yang patuh terhadap kepentingan yang lebih besar termasu
menyalurkan aspirasinya pada pemilihan pilleg dan pilpres.
2.1.1.4. HAM dan Penerapan Syariat Islam Dalam Perspektif Gender
Pada prinsip enerapan syariat Islam di Aceh, sedikit telah mengundang
kontroversi dalam beberapa persoalan diantaranya menyangkut diskriminasi
terhadap kaum perempuan. Kalangan aktivis perempuan berpendapat bahwa
penerapan syariat Islam di Aceh lebih memojokkan kaum perempuan,
dibandingkan menyelesaikan persoalan Aceh yang lebih besar, termasuk
menjaga perdamaian. Namun hal ini tbeberentunya masih menjadi
perdebatan dikalangan masyarakat Aceh itu sendiri, sehingga ada beberapa
qanun yang telah dibahas dan ditetapkan oleh DPRAceh belum mi
pemeremperoleh pengesahan dari Gubernur atau Pemerintah Pusat
(misalnya Qanun Jinayah).
Disisi yang lain mantan Kepala Dinas Syariat Islam NAD (Prof. Alyasa
Abubakar), beberapa waktu yang lalu membantah adanya diskriminasi dalam
pemberlakuan hukum syariat Islam di Aceh antara Laki-laki dan Perempuan.
"Ada anggapan sebahagian orang, bahwa qanun khalwat memojokkan
perempuan. Boleh, kemudian pertanyaan saya, apa dan siapa yang terpojok,
kalau orang bersalah merasa terpojok, saya sangat setuju. Mestinya orang
32
yang punya pemikiran seperti itu, harus melihat dan mempelajari lebih jauh
soal hukum islam," "Banyak diantara orang kita Aceh mengaku beragama
Islam membuat stateman yang jelas sangat bertentangan dengan Al-Quran
seperti pernyataan ibu Khairani yang mengatakan, dengan berlakunya syariat
islam di privinsi NAD sesuai dengan qanun nomor 14 tahun 2003 tentang
khalwat, kaum perempuan dipojokkan. Dan perempuan telah dipaksa
mengunakan busana muslim (jilbab)," Di sisi lain, terkait dengan urusan hak
asasi manusia, penerapan hukum Islam di Aceh dipandang oleh sebagian
kalangan di Aceh tidak melanggar HAM. penerapan hukum syariat islam
bukan untuk menghukum orang, akan tetapi pada prinsipnya justru
melindungi, menjaga keamanan dan ketertiban semua orang. "hukum islam
memiliki tujuan filosofis, artinya ada makna di balik tekstual," dengan
mencontohkan ketika seorang hendak mencuri. Aturan syariat mencuri diberi
sangsi atau hukuman, kerena pelaku tahu hukumannya berat, lantas si
pencuri mengurungkan niatnya "Inikan berarti hukum islam mengayomi dan
melindungi, melindungi orang yang hendak mencuri sehingga tidak jadi
berbuat dosa. Kemudian si empunya barang juga terlindung karena
barangnya tidak jadi dicuri, pada akhirnya tidak ada yang terhukum, lantas
dimana melanggar HAM,"
Korban pelaksanaan hukuman yang diberikan akibat melanggar syariat juga
kebanyakan dari kalangan masyarakat bawah seperti yang terjadi di Aceh
Tamiang. Syuhibun Anwar mengatakan selain tidak mempunyai pekerjaan
yang tetap, tersangka hukum cambuk juga minim pengetahuan tentang
agama, sehingga sangat mudah terjerumus ke dalam perbuatan yang
dilarang agama. ”Banyak yang terhukum cambuk yang melanggar qanun
syariat Islam di Aceh Tamiang tergolong miskin, ekonomi menengah ke
bawah, karena tidak memiliki pekerjaan yang tetap” Ironisnya, di sisi lain,
koruptor-koruptor di Aceh sama sekali belum tersentuh sedikitpun oleh
hukum syariat Islam yang diterapkan di Aceh. Karenanya, Pemerintah NAD
diharapkan serius untuk membuat qanun hukuman cambuk bagi pelaku
33
koruptor di Aceh. "Jadi hukum cambuk bukan saja untuk rakyat kecil dan
penjahat kecil saja, melainkan juga untuk penjahat kelas kakap seperti
koruptor,"
Dalam pantauan KontraS Aceh Penerapan Syariat Islam sepanjang tahun
2006, saja pemerintahan telah menggelar sebanyak 9 (sembilan) kali hukum
cambuk bagi 37 orang pelaku pelanggar ”syariah”, 9 orang pelaku khalwat
(Mesum), 10 orang pelaku khamar (pengkonsumsi minuman keras), dan 19
orang pelaku maisir (perjudian). "Walaupun kedua pelaku meusum itu
masing-masing menerima hukuman cambuk sebanyak lima dan empat kali,
tapi banyak pelanggar lain yang harus lebih dulu dihukum, ketimbang dua
pelaku itu," Dampak lain dari penerapan syariat yang kontroversial tersebut
adalah munculnya aksi kekerasan oleh warga terhadap pelanggar Syariah di
beberapa tempat. Aksi kekerasan ini biasanya bermula dari tindakan
pengkapan atau penggerebekan oleh warga terhadap pelaku pelanggar
syariah yang berbuntut pada aksi pemukulan atau kakerasan lainnya, seperti
arak-arakan atau mempertontonkan pelanggar Syariah di depan umum
sebelum ada putusan pengadilan terhadapnya.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka persoalan gender di Aceh masih
belum sepenuhnya menjadi perhatian dari setiap orang atau pemerintah. Hal
ini disebabkan masih banyak aturan-aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
Aceh atau pemerintah kabupaten/kota yang belum menyentuh permasalahan
gender secara keseluruhan, bahkan ada peraturan yang dianggap melangar
hak-hak perempuan seperti hak-hak atas larangan penggunaan celana jean
bagi perempuan di suatu kabupaten (Aceh Barat) oleh Keputusan Bupatinya.
1.2. Analisis Relevansi Sesuai dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
dijelaskan bahwa pada dasarnya capaian pembangunan daerah (Aceh) telah
sejalan dengan pembangunan nasional. Secara garis besar capaian daerah
telah sesuai namun dalam beberapa hal masih ada beberapa kendala dan
34
masih kurang, akan tetapi dalam hal-hal tertentu capaian daerah lebih tinggi
dari nasional. Capaian daerah (Aceh) yang lebih tinggi dan lebih baik antara
lain berkaitan dengan partisipasi dan pelaksanaan demokrasi dalam pemilu,
dimana masyarakat Aceh sangat besar dan tinggi perhatian dalam
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Ini menandakan bahwa capaian
dan program pemerintah Aceh telah mencapai presentase yang cukup
signifikan terhadap partisisipasi ini.
Dilain sisi sebagaimana hasil penelitian dari Lembaga Partnership Jakarta
yang menyebutkan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat parah.
Pernyataan ini sudah jamak diketahui semua pihak baik di level eksekutif,
legislatif, judikatif, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pengusaha,
universitas, lembaga donor, dan seterusnya. Namun bila kemudian muncul
pertanyaan, sejauhmana pemerintah serius berupaya memberantasnya?
Apakah semua pihak sudah mengetahui berapa banyak peraturan dan
kebijakan yang dihasilkan pemerintah ––bersama legislatif–– dan unit atau
lembaga formal apa saja yang telah dibentuk untuk memberantas faktor
penyebab kemiskinan dan loss generation tersebut? Jawabannya tentu
sangat bervariasi. Bayangkan saja, kita sudah memiliki puluhan kebijakan
dan peraturan perundang-undangan serta lembaga yang berfungsi untuk
memberantas korupsi. Dari sisi kelembagaan saja di tingkat pusat misalnya
ada BPK, BPKP, KPK, inspektorat jenderal pada masing-masing departemen,
unit-unit pengawas pada lembaga pemerintah nondepartemen (LPND),
Kepolisian Negara RI, Komisi Ombudsman Nasional (KON), Timtastipikor.
Sementara di daerah ada BPKP perwakilan, BPK perwakilan, KPK
perwakilan (khusus di NAD), inspektorat propinsi/kabupaten/kota atau badan
pengawasan daerah (Bawasda) dan seterusnya. Namun sampai saat ini,
dengan sejumlah lembaga tersebut masih saja dirasakan kuantitas dan
kualitas korupsi belum menurun sesuai dengan harapan masyarakat. Bahkan
persoalan baru seperti bagaimana dengan pembagian tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) dan kewenangan antarlembaga tersebut, bagaimana
35
antarlembaga itu berkoordinasi secara optimal sehingga menghasilkan
sinergi yang bermanfaat dalam menimbulkan deterent effect (efek jera) pada
para pelaku korupsi menjadi faktor yang menambah kerumitan penuntasan
kasus-kasus korupsi. Tidak jarang timbul perbedaan penanganan dan tafsir
atas suatu permasalahan. Peran Bawasda dalam pemberantasan korupsi
Pascareformasi melalui penerapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, maka peran inspektorat daerah/Bawasda menjadi lebih
krusial dibandingkan dengan masa Orde Baru dimana perannya pada masa
itu memang sengaja ditumpulkan. Bahkan ada anekdot Bawasda sebagai
instansi “buangan” bagi pegawai negeri yang dianggap nyeleneh. Penegasan
tentang strategisnya peranan Bawasda juga terlihat pada UU No 32 Tahun
2004 sebagai pengganti UU No. 22 Tahun 1999 pada pasal 223 tentang
pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
diejawantahkan ke dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). PP No. 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah pun telah menegaskan bahwa
dalam pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dilakukan
secara berjenjang dan berlapis (pasal 26). Artinya Bawasda masa Orde Baru
yang begitu dikerdilkan dengan banyak tujuan itu mendadak menjadi
tumpuan dalam pengawasan pelaksanaan roda pemerintahan daerah.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana Bawasda dapat segera berfungsi
maksimal bila persoalan internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja
dan produktivitasnya belum dituntaskan secara komprehensif. Minimal ada
tiga penghambat internal yang dapat digarisbawahi yaitu pertama, masalah
kompetensi personal yaitu skills dan wawasan pengetahuan yang mencakup
penguasaan peraturan perundang-undangan dan tren korupsi yang semakin
canggih dan beragam. Apalagi saat ini banyak peraturan perundang-
undangan kerapkali berubah dan tumpang tindih. Kedua, tentang
ketersediaan SDM baik secara kuantitas dan kualitas. Dengan status instansi
yang selama ini relatif diterlantarkan maka pola rekrutmen pegawai yang
handal dengan tingkat pendidikan yang memadai menjadi sangat berbeda
36
dengan lembaga lain yang berfungsi sebagai lembaga pengawas. Sebutlah
misalnya BPKP dan BPK yang telah memiliki puluhan pegawai dengan
tingkat pendidikan strata S2 dan S3 (doktoral) baik lulusan dalam maupun
luar negeri yang terkemuka. Kecuali itu masalah lemahnya daya tarik
pegawai yang bersedia ditempatkan di lembaga tersebut. Ketiga, masalah
kapabilitas yang dikaitkan dengan ketersediaan anggaran. Sedang tiga
persoalan eksternal, pertama, kepala Bawasda masih selevel dengan kepala
dinas lainnya dan setingkat lebih rendah dari sekretaris daerah (PP No. 8
Tahun 2003 pasal 19 dan 20). Dengan budaya ketimuran dan ewuh pakewuh
yang telah lama ditanamkan dan mendarah daging di birokrasi maka sulit
bagi Kepala Bawasda untuk bersikap berseberangan dengan sekretaris
daerah maupun kepala daerah. Karenanya usulan eselonisasi kepala
Bawasda yang setara dengan sekretaris daerah bisa menjadi alternatif.
Kedua, otoritas tupoksi sekadar berupa penyampaian temuan kepada kepala
daerah dengan tidak ada jaminan temuan tersebut akan ditindaklanjuti.
Tentang hal ini dapat disiasati dengan merevisi peraturan daerah yang
berkaitan dengan Bawasda dimana Kepala Bawasda dapat dimintakan
klarifikasi perkembangan temuan secara regular kepada DPRD, tanpa harus
mendapat izin atau persetujuan dari kepala daerah. Ketiga, masalah
kerahasiaan hasil temuan yang kerap menghambat partisipasi kontrol
masyarakat secara aktif. Padahal di beberapa daerah kerahasiaan temuan
sebenarnya sudah banyak yang dipublikasikan. Artinya sifat dari kerahasiaan
itu relatif tidak efektif lagi walau sifanya masih kasuistis. Sebenarnya baik
pemerintah pusat maupun Pemda dapat dengan mudah menyelesaikan
faktor-faktor penghambat itu. Faktor internal dapat dituntaskan misalnya
dengan memberikan dana yang cukup dan capacity building yang relevan
dalam membangun kompetensi, jumlah dan kapabilitas pegawai. Sedangkan
penyelesaian penyebab eksternal yaitu dengan cara memberikan terobosan
hukum dengan merevisi PP No. 8 Tahun 2003 yang memberi tempat yang
lebih independen pada Bawasda. Bila dianalogikan di level pusat mungkin
seperti model KPK.
37
Berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh akan
memposisikan Bawasda sebagai lembaga internal pengawasan yang sangat
strategis sebab dengan status otonomi khusus maka dana APBD NAD yang
harus diawasi menjadi sangat besar yaitu Rp 8 trilyun plus dana
dekonsentrasi/perbantuan. Semakin strategis dan pentingnya Bawasda juga
dengan disinyalirnya kinerja Badan Rekonstruksi rehabilitasi (BRR) Aceh-
Nias sudah tidak efektif dalam membangun NAD pascatsunami. Sehingga
diharapkan secara berangsur mengalihkan kewenangan dan tanggungjawab
pelaksanaan rekonstruksi dan rehabilitasi NAD ke pemerintah daerah
(Kompas, 16 September 2006, hal 4). Dapat dibayangkan Bawasda akan
benar-benar ketumpuan pekerjaan yang sangat berat yang mungkin sudah
melebihi daya serapnya. Karenanya demi memaksimalkan fungsi
pengawasan Bawasda, gubernur/bupati/walikota terpilih pada pilkada
Desember 2006 harus mengambil langkah-langkah segera dan strategis
dengan menata dan memperkuat Bawasda baik dari sisi keterampilan dan
jumlah pegawainya, meningkatkan profesionalisme pegawai, merevisi atau
menyusun qanun yang lebih memberi ruang independensi Bawasda. Juga
yang harus tidak dilupakan adalah penerapan pola rekrutmen kepala
Bawasda sesuai dengan kompetensi dan pengalaman yang dimiliki. Kalau
perlu melalui mekanisme terbuka (fit and proper test) dan dilakukan oleh
lembaga independen. Sebab bila tidak, korupsi akan berpotensi merusak
perdamaian yang dengan susah payah dibangun oleh semua pihak.
Seiring dengan masalah korupsi ini, capaian pemerintah Aceh dilihat dari
presentase penanganan masih jauh dari sasaran nasional, hal ini disebabkan
masih banyak kasus-kasus korupsi di Aceh yang belum tersentuh hukum.
Demikian juga halnya dengan permasalahan gender, dalam capaian dan
target pemerintah Aceh masih jauh dari capaian nasional, hal ini disebabkan
persoalan gender masih manjadi persoalan utama di Aceh, khususnya
berkenaan dengan penerapan syariat Islam. Banyak aturan yang dikeluarkan
38
masih memelukan pengujian secara hukum dan HAM, karena ada sebagaian
aturn yang bertentangan dengan konsep gender seperti lahirnya Qanun
jinayah dan qanun-qanun dalam penyelenggaraan syariat Islam di Aceh.
Sebagai contoh lahirnya Qanun Jinayah dan keputusan bupati Aceh barat
dalam hal pelarangan penggunaan atau pemakaian celana jean bagi wanita,
ini telah menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat, sehingga konsep
gender ini tidak berjalan dengan baik.
1.3. Analisis Efektivitas Secara garis besar efektifitas kinerja pembangunan daerah khususnya
berkaitan dengan capaian indikator sebagaimana telah disebutkan di atas,
telah dapat dijalanakan dengan baik, sehingga kinerja pemerintah Aceh
semakin membaik dari tahun ke tahun. Kondisi Aceh yang hancur pasca
musibah tsunami telah menjadi tolok ukur untuk meningkatkan kinerja dari
segala struktur pemerintahan baik pada tingkat provinsi maupun ditingkat
kabupaten/kota.
Lahirnya berbagai pengaturan dan kebijakan baik dalam bentuk regulasi
daerah (Qanun) maupun nasional (UU) yang mendukung arah kebijakan
pemerintah Aceh telah menyebabkan dilakukannya berbagai kebijakan yang
berkaitan dengan pengaturan tersebut. Ditetapkannya Qanun (Perda) dalam
mendukung kinerja pemerintah yang telah dicanangkan pemerintah pusat
seperti Qanun Pelayanan Publik menjadikan Aceh lebih baik dari tahun
ketahun dalam meningkatkan pelayanan dan terciptanya Good Governance
di Aceh. Sejalan dengan ditetapkan Qanun Pelayanan publik, pemerintah
Aceh juga telah melakukan berbagai kegiatan dalam memberikan pelayanan
publik dengan baik melalui penetapan berbagai sistem pelayanan terpadu
(one stop service) pada tingkat provinsi dan juga disetiap daerah
kabupaten/kota. Beberapa daerah kabupaten/kota di Aceh telah merapkan
sistem pelayan terpadu untuk mendukung pelayanan publik yang baik dan
39
memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengurus semua
kepentingan di bidang pemerintahan dan lain sebagainya.
Berkenaan dengan efektivitas kinerkja pemerintah Aceh dalam mendukung
proses partisipasi masyarakat dalam demokrasi dan HAM, melalui sistem
pemilu dan institusi pelaksana pemilu (KIP). Pemerintah Aceh telah
mengalokasikan dana dan fasilitas baik dari sumber pemerintah maupun
donatur-donatur yang mendukung kinerja institusi (KIP) ini. Bahkan dalam
pelaksanaan dilapangan banyak donaturt/sponsor yang mendukung kinerja
KIP ini sehingga memudahkan dalam penataan dan pelayanan kepada
masyarakat, salah satunya adalah adanya sosialisasi yang terus menerus
dan sistematis dilakukan, sehingga masyarakat menjadi perhatian terhadap
penggunaan hak pilihnya. Hal ini kemudian yang menyebabkan Aceh
memperoleh presentase partisipasi pemilih labih baik dari nasional.
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Dari data analisis yang dapat dijelaskan antara lain berkitan dengan
partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan demokrasi khususnya keterlibatan
dalam ikut pemilu, untuk presentase nasional 70.20 % maka untuk Aceh
meningkat sampat 75.40 untuk pemilihan anggota legislatif. Selanjutnya
peningkatan terus terjadi dalam pemilihan Presiden dari presentase nasional
71%, maka untuk partisipasi masyarakat di Aceh meningkat menjadi 77,7 %
(sumber data KPU Pusat dan KIP Aceh). Hal ini menunjukkan bahwa betapa
besar partisipasi masyarakat dalam mengikuti pemilu baik dalam pemilihan
anggota legislatif maupun presidfen. Hal ini juga berkaitan langsung dengan
keinginan rakyat Aceh dalam menyongsong perubahan, sehingga dalam
pemilihan anggota legislatif khususnya di aceh partai politik lokal telah
mendominasi hasil pemilihan. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa adanya
partisipasi masyarakat Aceh adalah sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi
dan penegakan hak-hak rakyat (HAM).
40
Dalam hal perspektif gender. khususnya di Aceh peran wanita dalam
berbagai kegiatan mulai meningkat dari tahun ke tahun, hanya saja jika
dibandingkan dengan kondisi nasional, konsepsi kesetaraan gender di Aceh
masih rendah, walaupun dalam waktu-waktu tertentu keterlibatan dalam
berpastisipasi sangat tinggi. Misalnya dalam mendukung dan ikut berperan dan
berpartisipasi dalam penyusunan Undang-undang pemerintahan Aceh di tahun
2005-2006. meskipun diosaat itu kondisi Aceh masih dalam masa rekonstruksi
dan rehabilitasi. Hal ini dapat dilihat dari indek presentase antara 20% sampai
dengan 45 %, yang dibandingkan secara nasional berkisar antara 60 % sampai
65,8 %, sehingga keberadaan gender dalam pelaksanaan demokrasi dan
pemenuhan HAM di Aceh masih rendah. Konsekuensi dari masih rendahnya
peran masayarakat khususnya dalam menjalankan peran gender, dikarenakan
masih terdapat aturan-aturan hukum lokal yang dapat membatasi runag gerak
dari kaum wanita khususnya, sehingga peran masyarakat dalam kesetaraan
gender meenjadi lebih rendah. Di samping itu karena konflik yang
berkepanjangan banyak wanita di Aceh yang merasakan bahwa melakukan
pekerjaan diluar rumah merupakan hal yang tabu (dilarang) oleh agama dan adat
yang berlaku, misalnya melakukan pekerjaan sampai malam hari.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas. maka analisis capaian kedepan
yang harus dilakukan antara lain berkaitan dengan arah kebijakan pembangunan
dibidang pemerintahan khususnya pelayanan publik, politik (demokrasi), dan
hukum serta penegakan HAM adalah sebagai berikut :
2.1.2.1. Bidang Pemerintahan dan Pelayanan Publik a) Menciptakan aparatur pemerintah yang bersih, berwibawa,
professional dan Islami;
b) Menciptakan kinerja aparatur yang baik;
c) Mereview struktur kelembagaan pemerintah daerah sesuai dengan
potensi, kewenangan dan kebutuhan;
d) Pembagian job description yang tepat dan terarah sesuai dengan
kebutuhan;
41
e) Memanfaatkan sarana dan prasarana kerja yang berdaya guna dan
berhasil guna;
f) Melakukan pengaturan yang tegas tentang batas kewenangan antara
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota;
g) Melakukan upaya pro-aktif menfasilitasi penyelesaian masalah tata
ruang dan penataan batas wilayah administrasi bagi kabupaten/kota
pemekaran;
h) Melakukan regulasi tentang pendelegasian kewenangan
bupati/walikota kepada camat, imuem mukim dan geuchik;
i) Melakukan pemetaan dan pemberian nama-nama pulau kecil dan
terluar;
j) Melakukan toponomi pulau-pulau kecil dan terluar;
k) Melakukan penetapan batas wilayah administrasi, titik kordinat, dan
penguasaan wilayah secara ekonomi dan sosial budaya;
l) Melakukan pembenahan struktur kelembagaan diklat;
m) Meningkatkan kapasitas SDM tenaga pengajar diklat;
n) Melakukan penyempurnaan materi dan kurikulum diklat;
o) Merevitalisasi baperjakat dalam penempatan dan penjenjangan karir
aparatur;
p) Meningkatkan kualitas SDM;
q) Memberikan reward and punishment secara tepat dan tegas.
2.1.2.2. Bidang Politik a) Terjaminnya kesatuan dan persatuan bangsa dalam kerangka NKRI;
b) Melakukan rekruitment kader politik yang bebas, adil dan islami;
c) Membangun wahana politik yang konstruktif melalui partai lokal;
d) Menciptakan keputusan politik yang memihak kepada kepentingan
masyarakat;
e) Melaksanakan pendidikan politik yang sehat;
f) Memberikan penghargaan terhadap perbedaan pendapat dalam
politik;
42
g) Membangun etika politik melalui rasa saling percaya dan menghargai
(sportifitas) di dalam kelompok masyarakat;
h) Merevitalisasi fungsi partai politik;
i) Memberikan motivasi kepada seluruh partai politik.
2.1.2.3. Bidang Hukum dan HAM a) Melakukan pengkajian yang mendalam terhadap pembangunan
hukum dan HAM di Aceh;
b) Menyusun prioritas, arah, dan orientasi pembangunan hukum Aceh;
c) Melakukan penyusunan Prolega (Program Legislasi Aceh);
d) Mempercepat prakarsa penyusunan materi hukum sesuai dengan
amanah UUPA;
e) Meningkatkan penguatan kapasitas aparat penegak hukum pada
setiap level;
f) Memberikan dukungan sarana dan prasarana hukum;
g) Memberikan bantuan hukum dalam kasus prodeo;
h) Meningkatkan penyuluhan hukum kepada masyarakat;
i) Melakukan sosialisasi pelbagai macam peraturan perundang-
undangan kepada masyarakat;
j) Melakukan pemetaan/inventarisir kebijakan daerah kabupaten/kota
yang bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan
perundang-undangan lebih tinggi;
k) Memberi arahan terhadap kebijakan daerah kabupaten/kota yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan kepentingan lebih tinggi;
l) Meningkatkan kapasitas aparatur Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS);
m) Penyediaan sarana dan prasarana aparatur Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS).
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan
43
Sejalan dengan proses yang telah dilakukan sebagai bagian dari perlayanan
publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang bersih (Good
Governance) menuju kepada Pemerintah Yang bersih (Clean Goverment) maka
perlu berbagai penegakan dan kebijakan yang dapat ditempuh. Penegakan dan
kebijakan itu antara lain melalui penegakan hukum yang intensive dan kebijakan
pemerintahan yang berdaya guna dalam melayani mesyarakat.
Fungsi pelayanan publik yang dijalankan oleh aparat pemerintahan adalah suatu
kewajiban moral dalam menjalankan konstitusi negara, sehingga tujuan untuk
memberikan kemudahan kepada masyarakat merupakan hal yang harus
dilakukan. Adanya pelayanan yang cepat dan tepat melalui mekanisme one stop
service (pelayan satu atap) merupakan wujud nyata yang harus dilakukan oleh
pemerintah dalam melayani masyarakatnya. Hal ini dilakukan agar pelayanan
kepada masyarakat tidak terhambat apalagi jika dalam pelayanan itu
memberatkan masyarakat atau menggunakan kewenangan untuk merugikan
masyarakat dan negara dalam bentuk korupsi.
Munculnya kasus-kasus korupsi dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahn serta pelaksanaan demokrasi dan HAM yang tidak memihak kaum
rentan telah menyebabkan berbagai persoalan dalam kehidupan masyarakat.
Termasuk pelaksanaan dalam pemenuhan HAM pada kesetaraan gender, hal ini
menyababkan timbulnya kebijakan yang dapat memunculkan pertentangan dari
aspek hukum dan HAM. Misalnya munculnya kebijakan pada tingkat Pemerintah
kabupaten/kota yang menerapkan hukum syariat dalam menjalankan otonomi
khusus kadang kala berbenturan dengan kebijakan dan hukum nasional dan
Internasional, sehingga muncul berbagai protes dari kaum yang merasa lahirnya
kebijakan itu tidak tepat untuk diterapkan dalam waktu sekarang ini.
Berkenaan dengan penyelesaian kasus korupsi selain meningkatkan proses
penyelidikan hukum, juga meningkatkan kinerja SKPD/Aceh seperti Bawasda
dalam penanganan beberapa kasus yang berkaitan dengan pelayanan publik
44
yang menyebabkan kerugian daerah. Di samping itu kasus-kasus dalam
pelaksanaan demokrasi penyelenggaraan pemilihan umum, baik dalam
pemilihan kepala daerah, pemilihan anggota legislatif sampai pemilihan presiden
dapat dihindari kesalahan yang merugikan masyarakat banyak seperti daftar
pemilihan tetap (DPT) yang bermasalah tidak terulang kembali. Maka persiapan
yang cukup dan pendelegasian wewenang kepada institusi yang ditunjuk
sebagai pelaksana dapat dilakukan lebih cepat dan cukup waktu disertai sumber
dana yang cukup. Institusi pelaksana KPU adalah orang-orang yang profesional
dan mempunyai integritas dan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan konstitusi
negara dengan baik dan konsekuen.
Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, maka dapat diberikan beberapa
rekomendasi kebijakan antara lain :
1. Perlu peningkatan sistem pelayanan terpadu yang lebih menyentuh pada
kepentingan rakyat, termasuk membuka istem pelayanan pada tingkat
pemerintahan yang lebih rendah seperti di tingkat Kecamatan atau jika
mungkin di tingkat desa (gampoeng).
2. Untuk mencegah timbulnya perbedaan penafsiran dalam penerapan hukum
baik pada peraturan perundang-undangan UUPA dan Perda/Qanun serta
peraturan kebijakan lainnya, pemerintah Aceh wajib konsisten dalam
penggunaan hukum dan aturan yang berlaku, dan hukum itu tidak
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, namun tidak juga melupakan
asas kekhususan yang telah diterimanya dengan segala kewenangan. Hal ini
sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
termasuk mencegah munculnya perdebatan pada sebua peraturan dan
kebijakan, misalnya Qanun jinayah dan kebijakan pelarangan penggunaan
celana jean bagi wanita.
3. Berkaitan dengan kasus-kasus korupsi seharusnya pemerintah Aceh
mendukung sepenuhnya cara-cara yang telah ditempuh pada tingkat
nasional, dan harapan semua kasus korupsi yang telah menjadi target
penyelasaian segera dituntaskan, dan tidak ada salahnya jika kasus itu
45
disampaikan kepada masyarakat secara transparan agar masyarakat tidak
menduga-duga akan kinerja pemerintah Aceh dalam menangani kasus
korupsi, termasuk kasus-kasus yang melibatkan aparat pemerintah itu sendiri
seperti keterlibatan Bupati/Walikota dan lain sebagainya.
4. Berkenaan dengan telah meningkatnya partisipasi masyarakat terhadap
penggunaan hak pilih dalam pemilu, maka pemerintah Aceh diharapkan terus
berupaya untuk mempertahankan kondisi ini, khususnya dengan terus
meningkatkan sosialisasi akan pentingnya hidup berdemokrasi, sehingga
proses perdamaian dan kenyamanan terus terjaga di Aceh.
5. Dalam upaya meningkatkan peran gender di Aceh, pemerintah Aceh sangat
diharapkan untuk dapat menempatkan persoalan gender ini dalam perspektif
tersendiri, dengan tidak mengurangi arti kekhususan dengan penerapan
Syariat Islam serta menghargai unsur-unsur HAM yang universal, sehingga
kalangan minoritas (gender) dapat menjalankan fungsinya dengan baik
termasuk dalam mengakses segala kegiatan yang berkenaan dengan
pelayanan publik dan pemerintah.
46
2. 2. TINGKAT KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA 2.2.1 Indeks Pembangunan Manusia, Pendidikan, Kesehatan dan Keluarga Berencana
A. Indeks Pembangunan Manusia Kualitas sumberdaya manusia akan sangat menentukan kualitas
kehidupan dan pembangunan manusia dalam suatu negara dan daerah.
Keberhasilan dalam meningkatkan kualitasnya pada berbagai aspek akan
mempengaruhi sinergi pembangunan dan dapat mempercepat
pembangunan baik pembangunan ekonomi maupun non ekonomi. Hal
tersebut disebabkan oleh besar kecilnya peranan sumberdaya manusia
yang terlibat dalam pembangunan langsung ataupun tidak langsung,
tentunya sangat tergantung pada membaiknya kualitas manusia tersebut.
Untuk melihat kualitas sumberdaya manusia dapat ditunjukkan oleh
perubahan membaiknya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM
tersebut terdiri dari berbagai indikator, yaitu Pertama bidang pendidikan
antara lain tingkat partisipasi sekolah, angka putus sekolah, dan angka
melek huruf. Selanjutnya kedua bidang kesehatan yaitu Umur harapan
hidup, Angka kematian bayi, Angka kematian ibu dan lainnya. Ketiga
Keluarga Berencana yaitu angka akseptor KB dan laju pertumbuhan
penduduk alami.
Pembangunan daerah saat ini sejalan dengan pembangunan
nasional, lebih besar perhatiannya pada pembangunan sumberdaya
manusia ditandai dengan meningkatnya dana pembangunan di sektor
pendidikan dan kesehatan mencapai 20 persen dari total anggaran
pembangunan daerah. Pembangunan yang dilakukan diharapkan
memberikan perkembangan dan kemajuan yang berarti di berbagai aspek.
Indeks Pembangunan Manusia ditunjukkan sebagai berikut.
47
Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Aceh
mengalami tren positif dan terus mengikuti tren perkembangan Indeks
Pembangunan Nasional bahkan hampir menyamai IPM nasional. IPM
Propinsi Aceh tersebut termasuk dalam kategori menengah ke atas yaitu
antara IPM 66 hingga 80. Perkembangan IPM tersebut menempatkan Aceh
pada urutan ke 17 pada tahun 2007 dari urutan 18 pada tahun 2006
dengan Shortfall sebesar 3,06. Namun pada tahun 2008 IPM Aceh tidak
mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara
lain perkembangan ekonomi daerah pada tahun 2008 tidak menguntungkan
akibat dampak krisis ekonomi global dan inflasi yang relatif tinggi dan
penggunaan anggaran yang relatif rendah.
B. Pendidikan Sejalan dengan Angka Partisipasi Murni SD/MI yang relatif tinggi
dan sarana prasarana sekolah yang membaik, maka Angka Putus Sekolah
SD/MI mengalami perkembangan yang positif. Hal ini ditunjukkan Angka
Putus Sekolah rata di bawah satu persen yang lebih kecil dari Angka Putus
Sekolah SD/MI Nasional umumnya lebih dari dua persen. Tidak demikian
halnya dengan Angka Putus Sekolah SLTP sederajat di Aceh. Pada
umumnya di atas lima persen, bahkan mencapai 7,57 persen pada tahun
48
2005, meskipun tren perkembangannya positif, sebagaimana ditunjukkan
grafik berikut.
Angka Putus Sekolah SLTP sederajat setiap tahunnya lebih besar
dari angka nasional, terutama pada tahun 2005 akibat tsunami terjadi
perbedaan dengan angka nasional sebesar 5,60 persen, sedangkan tahun
lainnya menunjukkan perbedaan di bawah tiga persen. Angka putus
sekolah SLTP sederajat ini yang relatif tinggi disebabkan di samping
kesadaran masyarakat yang relatif rendah dan akibat keterbatasan
ekonomi khususnya di pedesaan dan jumlah sarana prasarana sekolah
SLTP tidak tersebar sebanyak sekolah SD sederajat.
49
C. Kesehatan Selain IPM dan pendidikan, kualitas sumberdaya manusia ditentukan
oleh indikator kesehatan. Salah satu indikator kesehatan masyarakat
ditunjukkan oleh tinggi rendahnya usia atau umur harapan hidup rata-rata
penduduk. Umur Harapan Hidup (UHH) penduduk di Propinsi Aceh
menunjukkan tren yang positif mengikuti trendi nasional, Umur Harapan
Hidup perempuan relatif lebih tinggi dibandingkan laki-laki, pada tahun
2006 dan 2007 Umur Harapan Hidup perempuan 69 tahun sedangkan laki-
laki 67 tahun dan 68 tahun. UHH Aceh dan Nasional ditunjukkan pada
Grafik berikut.
Umur Harapan Hidup penduduk di Propinsi Aceh dapat dikatakan
hampir menyamai Umur Harapan Hidup penduduk secara nasional. Namun
sebenarnya Aceh bisa lebih tinggi dari Nasional, jika anggaran
pembangunan di daerah dapat digunakan secara maksimal, mengingat
dana pembangunan propinsi Aceh sangat signifikan. Selama dua tahun
terakhir jumlah dana pembangunan hanya terserap sekitar……….. persen
Selain UHH kualitas kesehatan SDM diperlihatkan oleh Angka
Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI). AKB di Propinsi Aceh
menunjukkan trendi membaik, namun rata-rata masih di atas AKB nasional
walaupun pada tahun 2007 sama dengan angka nasional, seperti
ditunjukkan pada grafik berikut.
50
Besarnya angka kematian bayi di Aceh terjadi terutama di pedesaan.
Hal ini disebabkan oleh sarana dan prasarana yang masih terbatas seperti
bidan dan dokter di desa. Meskipun semakin banyak tercatat jumlah bidan
kontrak di desa, namun mereka kebanyakan tidak tinggal dan menetap di
desa akibatnya pelayanan tidak maksimal. Di samping itu AKB secara
signifikan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu, terlihat pada tahun
2007 kematian 67 bayi pada ibu yang tidak sekolah, 65 bayi pada ibu yang
tidak tamat SD, 43 bayi pada ibu yang tamat SD, 36 bayi pada ibu tidak
51
tamat SLTP dan 23 bayi meninggal pada ibu yang tamat SLTP. Rendahnya
pendidikan ibu tersebut menyebabkan bayi meninggal dengan berat badan
rendah dan gangguan perinatal dalam kandungan.
Angka Kematian Bayi yang tidak mengalami perubahan yang berarti
diiringi dengan angka gizi kurang dan gizi buruk yang masih relatif tinggi di
berbagai kabupaten kota di Propinsi Aceh. Angka Kematian Ibu pada
tahun 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 200 orang dan 209 orang
jumlahnya lebih baik dari angka nasional. Sebesar 255 orang dan 228
orang. Angka Gizi Kurang (AGK) dan Angka Gizi Buruk (AGB) di Propinsi
Aceh pada tahun 2007 Aceh masih cukup besar. AGK mencapai jumlah
20719 jiwa dan AGB sebanyak 3969 jiwa yang tersebar di 23 kabupaten
kota seperti tergambar pada grafik berikut.
Angka Gizi Kurang dan Angka Gizi Buruk yang masih tinggi
digambarkan di atas di sebabkan oleh beberapa hal, antara lain tingkat
pendidikan dan tingkat pendapatan keluarga yang relatif rendah. Di
samping itu pelayanan publik di bidang kesehatan yang relatif buruk antara
lain banyak bidan yang enggan tinggal di desa meskipun sudah terikat
kontrak kerja dengan Depkes, sehingga kegiatan penyuluhan kesehatan
52
bayi melalui posyandu tidak bekerja dengan baik. Di samping itu serapan
dana pembangunan selama tiga tahun terakhir termasuk tahun 2009 relatif
rendah, hingga saat ini Dana Pembangunan APBA tahun 2009 baru
terserap sekitar 40 persen. Faktor lain juga terlihat pada Dana Otsus 2008
yang banyak diperuntukkan bagi peningkatan pendidikan dan kesehatan
masih banyak dipertanyakan oleh kabupaten n kota dan Dana Otsus tahun
2009 hingga saat ini baru terealisasi sekitar 20-25 persen.
D. Keluarga Berencana
Permasalahan kualitas SDM sangat erat kaitannya dengan jumlah
penduduk. Semakin besar jumlah penduduk semakin besar kebutuhan
sejumlah sarana prasarana dasar yang dibutuhkan seperti sarana
kesehatan dan pendidikan. Untuk mengatur pertumbuhan penduduk alami
berbagai upaya telah dilakukan antara lain Program Keluarga Berencana
dengan memfasilitasi masyarakat kurang mampu membeli alat kontrasepsi,
dan penyuluhan-penyuluhan penting KB dan keluarga kecil sejahtera.
Angka Peserta Keluarga Berencana di Provinsi Aceh relatif
Masih rendah seperti terlihat pada grafik berikut.
Peserta Keluarga Berencana Provinsi Aceh relatif rendah sekitar 43
persen dibandingkan angka peserta KB nasional rata-rata sekitar 56 persen
53
dari seluruh pasangan usia subur yang ada. Rendahnya angka tersebut
terutama disebabkan rendah pengetahuan masyarakat pentingnya KB dan
pelayanan publik yang relatif kurang serta serapan dana pembangunan
yang masih rendah. Angka peserta KB tersebut berimplikasi kepada
tingkat pertumbuhan penduduk alami yang terjadi di daerah. Pertumbuhan
penduduk Aceh secara umum masih di bawah trendi pertumbuhan
penduduk nasional, terlihat pada grafik berikut.
Pertumbuhan penduduk Aceh tahun 2004 dan 2005 sangat rendah
akibat dampak tsunami yang menelankan lebih dari 200 ribu orang dan
menyebabkan berkurangnya pasangan usia subur yang relatif besar,
sehingga laju pertumbuhan penduduk hanya 0,56 persen tahun 2004 dan
0,20 persen pada tahun 2005. Pada tahun 2006 pertumbuhan penduduk
kembali di atas satu persen, karena kondisi Aceh sudah mulai pulih
dengan berjalannya proses rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan rakyat
yang hancur akibat tsunami, sedangkan angka peserta KB tidak signifikan
mempengaruhi pertumbuhan penduduk pada kondisi tersebut.
54
2.2.2 Indikator Yang Menonjol di Bidang Pendidikan A. Tingkat Partisipasi Murni Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidayah (SD/MI)
Meskipun indikator lain tidak mengalami perkembangan yang berarti
dibandingkan nasional, tidak demikian dengan Angka Partisipasi Murni
(APM) pada tingkat pendidikan SD/MI. APM pada sekolah SD/MI di Aceh
menunjukkan trendi perkembangan yang positif, umumnya di atas 95
persen lebih besar dari angka nasional dengan rata-rata di bawah 95
persen. Tingkat kesadaran yang tinggi dari masyarakat berperan penting
dalam mewujudkan APM (SD/MI) tersebut, di samping itu fasilitas sekolah
SD sederajat di Aceh terus membaik, terutama akibat Rehabilitasi dan
Rekonstruksi sarana prasarana sekolah dasar dan sederajat setelah
tsunami tahun 2004 dan membaiknya keamanan setelah MoU Helsinki
pada tahun 2005.
Angka Partisipasi Murni pada tingkat SD dan MI angka yang relatif
tinggi dan mengalami trendi positif. Hal tersebut menunjukkan kesadaran
yang tinggi dari masyarakat untuk mendidik anak-anak usia dini pada
pendidikan formal hingga di daerah perdesaan. Keadaan ini juga didukung
oleh penyediaan sarana prasarana Sekolah Dasar dan Sederajat pasca
55
tsunami dan konflik oleh berbagai pihak, antara lain Dinas Pendidikan dan
Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias.
B. Angka Melek Huruf Sejalan dengan Angka Partisipasi Murni dan Angka Putus Sekolah
SD/MI Aceh lebih baik dari nasional, maka Angka Melek Huruf di Aceh
relatif lebih tinggi dari nasional, ditunjukkan pada grafik berikut.
Angka Melek Huruf di Aceh relatif stabil dan masih di atas 95
persen, hal ini disebabkan selain partisipasi sekolah dasar yang tinggi,
penduduk yang tidak tamat SD sederajat lebih kecil dibandingkan angka
nasional, hal ini terlihat pada tahun 2006 jumlah penduduk tidak tamat SD
di Aceh hanya 28 persen sedangkan nasional mencapai sebesar 40,86
persen. Padahal Aceh pada tahun 2006 baru pulih dari dampak tsunami
dan konflik keamanan. Hal yang lain juga mempengaruhi angka melek
huruf ini akibat perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat
hingga ke pedesaan seperti Koran dan telepon seluler. Meskipun Angka
Melek Huruf di Aceh sangat positif, namun masih ada persoalan di mana
angkanya masih di dominasi oleh laki-laki artinya perempuan lebih relatif
kecil dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan kemungkinan besar
56
pelaksanaan program dan proyek pemberantasan buta huruf tidak
memperhatikan kesetaraan gender terutama di pedesaan.
2.3.3 Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan gambaran dari capaian berbagai indikator di atas
permasalahan peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Provinsi Aceh
adalah :
1. Meskipun prasarana publik di Aceh sudah meningkat, namun pelayanan
masyarakat masih buruk. Sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan
saat ini sudah memadai baik secara kuantitas maupun kualitas belum di
berdayakan secara optimal. Perlu terus diupayakan secara konsisten
sistem insentif dan sanksi yang tegas agar tenaga pendidik dan tenaga
kesehatan lebih profesional dan bertanggung jawab.
2. Pencairan anggaran pembangunan yang dilakukan sekarang ini kurang
mendukung upaya-upaya peningkatan kualitas pendidikan masyarakat,
sebagian besar tidak tepat sasaran dan lebih banyak digunakan untuk
kegiatan aparatur pada dinas-dinas pendidikan. Di samping itu fasilitas-
fasilitas pendidikan yang senjang antar wilayah dan kesejahteraan para
pendidik atau guru yang relatif rendah yang berimplikasi kepada tingkat
pendidikan masyarakat yang relatif rendah.
3. Sulit diperoleh database yang valid yang berkaitan dengan secara
spesifik berdasarkan kondisi wilayah atau kabupaten/kota. Akibatnya
berbagai kebijakan dan dana pembangunan yang dilakukan sering tidak
fokus dan tidak tepat sasaran, sehingga bantuan dan dana pembangunan
di bidang ekonomi dalam upaya menciptakan kesempatan berusaha kurang
efektif dan optimal. Kondisi tersebut menyebabkan strategi pembangunan
ekonomi dan sosial di seluruh daerah Aceh cenderung homogen dan tidak
sesuai dengan potensi lokal dan kebutuhan daerah.
4 . Hubungan dan koordinasi ataupun kerja sama antara Dinas yang terkait
Dinas Pendidikan, Kesehatan, dan BKKBN untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia harus lebih sinergi.
57
5. Kebutuhan yang mendesak untuk memperbaiki pengumpulan dan
pengolahan data. Keterbatasan data dan rendahnya kualitas data membuat
penyusunan program dan anggaran sangat sulit. Data yang akurat juga
diperlukan untuk penyusunan program, pemantauan dan evaluasi yang
berdasar bukti. Pengumpulan data dan pengolahan data hendaknya
digabungkan dengan identifikasi indikator yang sesuai, yang pada
gilirannya dapat memberikan informasi untuk penyusunan kebijakan dan
program.
2.5 TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL 2.5.1 Capaian Indikator Kemiskinan dan Pengangguran
A. Presentasi Penduduk Miskin Penduduk miskin di Provinsi Aceh secara rata-rata masih relatif
besar lebih dari 25 persen dari tahun 2004 hingga tahun 2007, sedangkan
tahun 2008 menurun menjadi 23,53 persen. Lebih jauh dapat dilihat pada
grafik berikut.
Dari grafik Angka Kemiskinan Provinsi Aceh mengalami trendi positif
di mana angka kemiskinan tersebut terus menurun, namun angka
kemiskinan tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan Angka
Kemiskinan Nasional berkisar pada 17 persen. Kondisi kemiskinan di
58
Provinsi Aceh tersebut terkonsentrasi di pedesaan hingga mencapai 30
persen sedangkan di perkotaan rata-rata hanya 19 persen.
Banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan masih membelenggu
masyarakat khususnya di perdesaan. Faktor yang dimaksud antara lain:
Pertama, tingkat kemiskinan yang begitu parah di perdesaan antara
lain disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan sehingga kualitas
mereka sebagai tenaga kerja relatif, sehingga upaya pengentasan
kemiskinan banyak mengalami hambatan. Selanjutnya kemiskinan di
perdesaan tersebut terjadi karena pengembangan ekonomi di sentra rakyat
khususnya di sektor pertanian masih sangat terbatas akibat keterbatasan
modal usaha dan sarana produksi yang dimiliki masyarakat.
Kedua, terbatasnya lahan pertanian yang dimiliki dan dapat
diperoleh masyarakat pedesaan untuk melakukan usaha pertanian.
Akhirnya kemiskinan tersebut terjadi karena rendahnya pengetahuan
penguasaan teknologi yang diterapkan sehingga produksi dan produktivitas
menjadi rendah dan berimplikasi kepada rendahnya pendapatan.
Ketiga, keterbelakangan ekonomi untuk melakukan pemekaran
daerah agar ekonomi daerah dapat meningkat. Pemekaran daerah tingkat
II di Provinsi Aceh menimbulkan proses pemisahan administratif yang
sering menimbulkan masalah kepemimpinan dan pembentukan dinas dan
biaya yang besar dalam penyediaan perkantoran dan lain-lain, sehingga
menurunkan kemampuan dan strategi pembangunan yang koheren secara
besar-besaran. Hal tersebut mengakibatkan upaya-upaya pembangunan
khususnya bidang ekonomi mengalami hambatan sehingga kemiskinan dan
pengangguran tetap saja tinggi.
Keempat, setelah masa rekonstruksi dan rehabilitasi selama empat
tahun dampak akibat bencana tsunami tahun 2004 banyak prasarana dan
sarana yang sudah dibangun kembali. Namun di beberapa sektor yang lain,
seperti angka sambungan listrik rumah tangga dan kepadatan jalan lebih
tinggi dari rata-rata nasional, namun fasilitas lain seperti sambungan listrik,
sarana air bersih, sarana irigasi jauh di bawah rata-rata nasional. Hal ini
terkait secara langsung kepada kesempatan berusaha yang relatif kecil di
59
Provinsi Aceh, yang juga mempengaruhi tingginya pengangguran dan
kemiskinan.
B. Tingkat Pengangguran Terbuka
Pada umumnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi
Aceh dan trendi TPT nasional sama- sama mengalami perkembangan
yang positif, namun TPT nasional lebih baik dibandingkan TPT Provinsi
Aceh dari tahun 2006 hingga tahun 2008. Lebih jelas ditunjukkan pada
grafik berikut.
Tingkat pengangguran Terbuka yang relatif tinggi tersebut terjadi
sebagai akibat pergeseran dalam struktur kesempatan kerja/usaha dari
sektor pertanian ke sektor lainnya, khususnya sektor jasa yang diakibatkan
oleh kebutuhan tenaga kerja dalam usaha rehabilitasi dan konstruksi di
Propinsi Aceh akibat gempa dan tsunami. Di samping itu kesempatan kerja
yang tercipta hanya sebesar 5 persen. Rendahnya kesempatan kerja
tersebut terjadi juga disebabkan oleh penawaran tenaga kerja yang terus
meningkat tidak diimbangi oleh permintaan tenaga kerja atau terbukanya
kesempatan kerja baru setiap tahunnya. Tingkat Pengangguran Provinsi
Aceh sekitar 9,35 persen pada tahun 2004 menjadi lebih dari 10 persen
pada tahun 2006 (World Bank:2007). Tingkat pengangguran di Provinsi
60
Aceh relatif tinggi, hal ini berimplikasi kepada hasil produksi yang akan
diperoleh pada tahun berikutnya, di samping itu juga berpengaruh kepada
upaya-upaya yang harus dilakukan untuk membuka kesempatan kerja baru
agar pertambahan angkatan kerja di masa yang akan datang tidak
meningkatkan jumlah dan tingkat pengangguran
Hasil Analisis Pengeluaran Publik Aceh oleh Bank Dunia, (2006),
pembangunan ekonomi di Propinsi NAD ditujukan untuk meningkatkan
pertumbuhan dan upaya menciptakan kesempatan kerja yang dilakukan di
berbagai bidang yaitu, bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur antara
lain sarana jalan dan transportasi, irigasi, serta air dan irigasi diiringi
pengeluaran di berbagai sektor sebagai upaya menciptakan kesempatan
kerja. Pengeluaran pembangunan daerah di Aceh dari tahun 2004 hingga
2005 mengalami peningkatan, namun tahun 2005 lebih kecil dibandingkan
tahun 2004, namun bila dilihat pengeluaran pembangunan berdasarkan
sektor pada umumnya mengalami penurunan.
2.5.2 Indikator yang Menonjol 2.5.3 Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan evaluasi terhadap capaian pembangunan pada bidang
kesejahteraan sosial yang telah dilakukan dan permasalahan yang terjadi
maka rekomendasi yang dapat diberikan sebagai berikut:
1. Mengingat jumlah angkatan kerja dan pengangguran lebih banyak di
perdesaan, maka fokus pembangunan di perdesaan lebih diutamakan di
bidang pertanian, baik subsektor tanaman pangan, perkebunan maupun
perikanan yang titik beratnya adalah peningkatan produksi. Jalan keluar
yang utama adalah peningkatan produktivitas pertanian skala kecil dan
upaya pergeseran ke arah pertanian komersial. Kondisi tersebut
dilakukan karena harga komoditas pertanian dunia saat ini telah banyak
menopang pertumbuhan output.
2. Untuk meningkatkan kualitas pelaku pembangunan pemerintahan
sangat penting yang juga diikuti dengan sistem perencanaan,
pelaksanaan, dan pengelolaan dana-dana pembangunan yang sesuai
prosedur dan bertanggung jawab kepada perundang-undangan dan
61
hukum yang telah ditetapkan. Di samping itu tingkat transparansi dan
keterlibatan publik dalam pembangunan harus diupayakan lebih tinggi,
agar masyarakat mempunyai sharing yang lebih besar dalam
pembangunan.
3. Pembelanjaan untuk aparat pemerintah terlalu tinggi. Pemerintah
Daerah menghabiskan sebagian besar anggaran untuk belanja
pegawai, sehingga mengurangi pembelanjaan untuk pembangunan di
berbagai bidang termasuk bidang pendidikan. Pembelanjaan publik
harus diperuntukkan bagi kegiatan yang berkaitan dengan
pembangunan yang dapat memperbaiki pemberian pelayan dan
kesejahteraan sosial serta menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial
jangka panjang, bukan bagi aparatur.
4. Sudah saatnya sekarang dilakukan perbaikan-perbaikan perencanaan
dalam penanggulangan kemiskinan dengan mengidentifikasi dan
mengacu kepada akar persoalan dan potensi yang terjadi di masing-
masing daerah, jika tidak masalah kemiskinan akan sulit dikurangi
bahkan dihapuskan.
62
62
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI ACEH 2.3.1.1. Capaian pendapatan regional
Pendapatan regional Aceh mengalami perlambatan, sedangkan
PDRB non-migas menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004 besaran
PDRB real Aceh yang dengan tahun dasar 2000 adalah Rp.40.3 triliun, dan
pada tahun berikutnya mengalami penurunan sehingga angka pada tahun
2007 menjadi sekitar Rp. 36 trilliun. Sebaliknya nilai PDRB non-migas Aceh
pada tahun 2004 adalah sekitar Rp.22 trilliun, dan menunjukkan trend
peningkatan pada tahun berikutnya sehingga menjadi Rp.26 trilliun
(diagram.1).
Diagram.1: Pendapatan regional Aceh mengalami perlambatan, sedangkan PDRB non-migas menunjukkan peningkatan.
Sumber: BPS Aceh
Namun laju pertumbuhan Aceh menurun tajam, kontras dengan
nasional, dan secara rata-rata Aceh tumbuh lebih lambat dari nasional
sepanjang 2004 hingga 2008. Pertumbuhan PDRB dan PDRB non-migas
Aceh mengalami penurunan dari tahun 2004 ke 2005; masing-masing dari -
9.63 persen menjadi -10.12 persen dan 1.76 persen menjadi 1.21 persen.
Selanjutnya terjadi peningkatan pertumbuhan yang relatif cukup tajam
pada tahun 2006 untuk PDRB dan PDRB non-migas sehingga menjadi
masing-masing 1.6 persen dan 7.71 persen. Namun pada tahun 2007
63
63
pertumbuhan PDRB dan PDRB non-migas Aceh kembali mengalami
penurunan menjadi masing-masing -2.25 persen dan 7.41 persen.
Penurunan pertumbuhan Aceh terus berlangsung secara tajam dimana
pada tahun 2008 tingkat pertumbuhan PDRB dan PDRB non-migas
menjadi masing-masing -8.32 persen dan 1.89 persen. Secara kontras
pertumbuhan PDRB secara nasional menunjukkan percepatan dari 4.25
persen pada tahun 2004 menjadi 6.3 persen pada tahun 2008. Secara rata-
rata dalam rentang tahun 2004 hingga 2008 PDRB real dan PDRB real
non-migas Aceh tumbuh masing-masing -5.75 persen dan 4 persen,
sedangkan secara nasional PDRB tumbuh 5.35 persen (diagram.2).
Diagram.2: Laju Pertumbuhan Nasional dan Provinsi Aceh Periode 2004 – 2008 (dalam persentase)
Sumber: BPS Aceh
Penurunan pertumbuhan PDRB real Aceh yang tajam lebih
disebabkan oleh penurunan di sektor migas. Pada tahun 2004 hingga 2005
pertumbuhan PDRB real dan sektor migas (pertambangan dan industri
migas) Aceh mengalami penurunan masing dari -9.63 menjadi -10.12
persen dan dari -20.56 persen menjadi -24.06 persen. Selanjutnya pada
64
64
tahun 2006 pertumbuhan PDRB Aceh dan sektor migas mengalami
peningkatan menjadi masing-masing -8.51 persen dan 1.56 persen. Pada
tahun 2007, pertumbuhan PDRB dan sektor migas Aceh kembali
mengalami penurunan yang besarannya adalah masing-masing -20.86
persen dan -2.25 persen. Selain daripada itu, sektor migas masih
memberikan kontribusi terbesar terhadap ekonomi Aceh dimana secara
rata-rata untuk tahun 2004 hingga 2007 sumbangan sektor ini adalah 36.14
persen (Tabel.1). Namun perlu dicatat bahwa pada tahun 2007 sektor
pertambangan migas turun menjadi urutan kedua setelah sektor pertanian
sebagai penyumbang terbesar terhadap PDRB Aceh.
Diagram.3: Penurunan pertumbuhan PDRB real Aceh lebih disebabkan oleh penurunan di sektor migas
sSumber: BPS dan hasil perhitungan Proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami memberi pengaruh signifikan
terhadap pertumbuhan PDRB non-migas Aceh sejak tahun 2005. trend in terlihat
khususnya pada sektor konstruksi yang naik dari -16.19 persen pada tahun 2005
menjadi 48.49 persen pada tahun 2006 seiring dengan meningkatnya secara
signifikan laju kegiatan pembangunan kembali rumah dan prasarana umum pasca
tsunami di Aceh pada tahun tersebut. Peningkatan laju pertumbuhan juga terjadi
secara cukup besar pada sektor pengangkutan transporatsi dan komunikasi yang
meningkat
65
65
Tabel.1: Kontribusi Sektoral terhadap PDRB Aceh
Sektor Ekonomi 2004 2005 2006 2007 rata-rata
Sektor migas (pertambangan
dan industri migas). 44.86% 37.91% 34.15% 27.65% 36.14%
sektor pertanian 19.99% 21.37% 21.36% 22.94% 21.41%
sektor perdagangan hotel dan
restoran 12.05% 14.29% 15.12% 15.73% 14.30%
sektor jasa-jasa 10.38% 12.66% 13.02% 15.23% 12.82%
sektor pengangkutan dan
komunikasi 3.76% 4.78% 5.22% 5.93% 4.92%
sektor konstruksi 3.75% 3.50% 5.11% 5.96% 4.58%
sektor manufaktur non-migas 3.38% 3.57% 3.55% 3.95% 3.61%
sektor Jasa keuangan 1.21% 1.22% 1.34% 1.42% 1.30%
sektor pertambangan non-migas 0.47% 0.53% 0.94% 0.98% 0.73%
sektor listrik dan air minum 0.15% 0.16% 0.18% 0.23% 0.18%
PDRB Aceh 100% 100% 100% 100%
Sumber: BPS dan hasil perhitungan
pada tahun 2004 hingga 2005 dari 3.67 persen menjadi 14.39 persen
seiring tingginya kegiatan pengiriman bantuan tanggap darurat pasca
tsunami. Selanjutnya sektor yang juga mengalami peningkatan yang cukup
tajam adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran (tabel.3).
Pendapatan regional non-migas Aceh didominasi oleh sektor
pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa. Sektor
pertanian tetap merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB non-
migas Aceh walaupun kontribusinya terus menurun sejak 2004. Secara
rata-rata untuk rentang tahun 2004 hingga 2007 kontribusi sektor ini
berkisar 33.7 persen. Sektor pertanian diikuti oleh sektor perdagangan,
hotel dan restoran sebagai penyumbang terbesar terhadap PDRB non-
migas Aceh dengan rata-rata kontribusi sebesar 22.39 persen. Sedangkan
sektor yang memberikan kontribusi ketiga terbesar untuk PDRB non-migas
66
66
Aceh adalah sektor jasa yang secara rata-rata menyumbangkan sekitar 20
persen (tabel.2).
Tabel.2: Kontribusi Sektoral terhadap PDRB non-migas Aceh
Sektor Ekonomi 2004 2005 2006 2007 rata-rata
sektor pertanian 36.25% 34.42% 32.44% 31.70%
33.70
%
sektor perdagangan hotel dan
restoran 21.85% 23.02% 22.96% 21.74%
22.39
%
sektor jasa-jasa 18.83% 20.40% 19.77% 21.05%
20.01
%
sektor pengangkutan dan
komunikasi 6.81% 7.70% 7.93% 8.20% 7.66%
sektor konstruksi 6.80% 5.63% 7.77% 8.24% 7.11%
sektor manufaktur non-migas 6.14% 5.75% 5.40% 5.46% 5.69%
sektor Jasa keuangan 2.19% 1.96% 2.03% 1.96% 2.04%
Sektor Pertambangan non-
migas 0.86% 0.86% 1.42% 1.35% 1.12%
sektor listrik dan air minum 0.27% 0.26% 0.27% 0.31% 0.28%
PDRB non-migas Aceh 100.00
%
100.00
%
100.00
%
100.00
%
Kontribusi sektor manufaktur
terhadap PDRB secara
nasional 28.07% 27.41% 27.54% 27.06%
27.52
%
Sumber: BPS dan hasil perhitungan
Sektor manufaktur non-migas Aceh memegang peranan yang kecil
terhadap PDRB non-migas relatif dengan nasional. Dalam perekonomian
Aceh, sektor manufaktur non-migas memberi kontribusi bagi PDRB non-
migas secara rata-rata dari tahun 2004 hingga tahun 2007 hanya sebesar
5.69 persen. Angka ini jauh dibawah proporsi sektor manufaktur terhadap
67
67
PDRB secara rata-rata nasional pada rentang tahun yang sama yang
berkisar 27.52 persen.
Trend terkini menunjukkan terjadinya penurunan tingkat
pertumbuhan yang signifikan di sektor perdagangan, hotel dan restoran
serta sektor konstruksi. Sektor konstruksi menglami penurunan tingkat
pertumbuhan yang signifikan pada tahun 2006 hingga ke tahun 2007 dari
48.49 persen menjadi 13.93 persen. Selanjutnya sektor perdagangan, hotel
dan restoran mengalami penurunan dalam tahun yang sama dari 7.41
persen menjadi 1.7 persen. Sebab dari trend ini adalah menurunnya
kegiatan sektor-sektor tersebut sebagai akibat kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh pasca tsunami memasuki tahap penyelesaian.
Penurunan tingkat pertumbuhan di kedua sektor ekonomi yang cukup
dominan ini, serta pada beberapa sektor lain, berkontribusi kepada
penurunan tingkat pertumbuhan PDRB non-migas Aceh pada tahun 2007.
Tabel.3: Pertumbuhan non-migas Aceh berdasarkan sektor ekonomi.
2004 2005 2006 2007 rata-rata
Pertumbuhan sektor pertanian 6.04% -3.89% 1.52% 4.95% 2.16%
pertumbuhan sektor manufaktur
non-migas
-
37.32% -5.11% 1.08% 8.57% -8.20%
Pertumbuhan sektor konstruksi 0.92% -16.19% 48.49% 13.93% 11.79%
Pertumbuhan sektor perdagangan
hotel dan restoran -2.68% 6.64% 7.41% 1.70% 3.27%
Pertumbuhan sektor
pengangkutan dan komunikasi 3.67% 14.39% 10.99% 10.95% 10.00%
Pertumbuhan sektor jasa-jasa 20.14% 9.65% 4.41% 14.33% 12.13%
Pertumbuhan PDRB Aceh -9.63% -10.12% 1.56% -2.25% -5.11%
Pertumbuhan PBRD non-migas
Aceh 1.76% 1.21% 7.71% 7.41% 4.52%
Sumber: BPS dan hasil perhitungan
68
68
Mengingat sektor-sektor yang mengalami penurunan sangat erat dengan
intensitas kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, diperlukan sektor
ekonomi lain yang dapat mendongkrak perekonomian Aceh, seperti sektor
pertanian dan sektor manufaktur non-migas.
Sektor pertanian mengalami penurunan pertumbuhan yang cukup
tajam, dan walaupun positif namun tingkat akselerasi pertumbuhan sektor
manufaktur menunjukkan penurunan. Akibat bencana gema dan tsunami,
sektor pertanian dan sektor manufaktur non-migas mengalami
pertumbuhan negatif. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi berhasil
mengangkat pertumbuhan kedua sektor tersebut sehingga pertumbuhan
pada rentang tahun 2005 hingga 2006 untuk masing sektor pertanian
meningkat dari -3.89 persen menjadi 1.52 persen. Sedangkan sektor
manufaktur non-migas meningkat dari tahun 2004 ke 2006 dari -37.22
persen menjadi 1.08 persen. Walaupun sektor pertanian dan manifaktur
mengalami peningkatan tingkat pertumbuhan pada tahun 2007 menjadi
masing-masing 4.95 persen dan 8.57 persen ,namun pada tahun 2008
tingkat pertumbuhan sektor pertanian turun tajam menjadi 0.81 persen.
Selanjutnya walaupun data untuk sektor manufaktur non-migas untuk tahun
2008 yang terpublikasi belum tersedia namun dapat diperhatikan bahwa
tingkat akselerasi pertumbuhan sektor menunjukkan penurunan
(diagram.4). Bila trend penurunan pertumbuhan kedua sektor diatas terus
berlangsung maka sulit kiranya bagi Aceh untuk dapat meningkatkan
pertumbunan PDRB non-migas untuk tahun-tahun mendatang seiring
dengan berakhirnya masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca gempa
dan tsunami.
69
69
Diagram.4: Sektor pertanian mengalami penurunan pertumbuhan yang cukup tajam, dan walaupun positif namun tingkat akselerasi pertumbuhan sektor manufaktur menunjukkan penurunan.
Sumber: BPS dan hasil perhitungan 2.3.1.2. Capaian pendapatan perkapita dan inflasi.
Pendapatan per kapita Aceh berada diatas namun tanpa migas
berada dibawah nilai nasional. Pada tahun 2004, tingkat pendapatan per
kapita Aceh dan non-migas Aceh dan nasional adalah masing-masing
sekitar Rp.11.9 Juta, Rp.7.1 juta dan Rp.10.6 juta. Pola perbedaan ynag
sama terkihat pada tahun-tahun berikutnya dimana pendapatan perkapita,
nonmigas perkaita Aceh serta pendapatan per kapita nasional adalah
masing sebesar Rp.19 juta, Rp.14 juta dan 17.6 juta pada tahun 2007
(tabel.4).
Pendapatan per kapita non-migas Aceh yang rendah terhadap nasional
diakibatkan oleh pertumbuhan pendapatan per kapita Aceh yang rendah relatif
dengan nasional. Pada tahun 2005 hingga tahun 2007 tingkat pertumbuhan
pendapatan perkapita berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan -3.74 persen.
Pertumbuhan pendapatan non-migas per kapita Aceh untuk tahun 2005 hingga
tahun 2007 juga berfluktuasi dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 5.31 persen.
Sebaliknya tingkat rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita nasional dalam
70
70
Tabel.4: Pendapatan perkapita Aceh berada diatas namun tanpa migas berada dibawah nilai nasional.
2004 2005 2006 2007
Pendapatan per
kapita (dengan
migas) Aceh 11,937,287 13,973,799 17,558,047 19,048,748
pendapatan per
kapita tanpa Migas
Aceh 7,147,062 8,697,939 11,136,862 14,000,089
Pendapatan per
kapita nasional 10,610,000 12,680,000 15,030,000 17,580,000
Sumber: BPS dan hasil perhitungan. rentang tahun yang sama adalah 8.47 persen (tabel.4). Trend ini disebabkan oleh
trend migrasiyang terjadi di Aceh yang digerakkan oleh kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh pasca gempa dan tsunami, serta tingginya pertumbuhan
ekonomi Aceh pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi tahun 2006. Kegiatan tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami
menyebabkan tingkat inflasi Aceh lebih tinggi dari nasional. Pada tahun 2004
tingkat inflasi Aceh berada pada 7.16 persen, lebih rendah dari tingkat inflasi
nasional sebesar 6.1 persen. Pada tahun 2005 tingkat inflasi Aceh meningkat
tajam menjadi 29.35 persen. Tingkat inflasi ini adalah tiga kali lipat dari tingkat
inflasi nasional yang besarnya adalah 10.5 persen. Pada tahun 2006 inflasi Aceh
turun tajam dan berada berada pada tingkat 10.51 persen, lebih rendah dari inflasi
nasional yang besarnya 13.1 persen. Pada tahun 2007, tingkat inflasi turun
kembali menjadi 7.59 persen, namun angka ini masih lebih tinggi dari angka inflasi
nasional yang besarnya adalah 6 persen, dan demikina halnya dengan tahun
2008 dimana angka
71
71
Tabel.5: Trend pendapatan per kapita Aceh yang rendah terhadap nasional diakibatkan oleh pertumbuhan pendapatan per kapita Aceh yang rendah relatif dengan nasional.
2005 2006 2007 rata-rata
pertumbuhan
pendapatan
perkapita Aceh
(real) -6.97% 2.67% -6.92% -3.74%
pertumbuhan
pendapatan
per kapita non-
migas Aceh
(real) 4.76% 8.88% 2.28% 5.31%
Pertumbuhan
pendapatan
per kapita
nasional (real) 9.01% 5.43% 10.97% 8.47%
Sumber: BPS dan hasil perhitungan
inflasi Aceh adalah sekitar 12 persen sedangkan angka rata-rata
nasioanal adalah sekitar 11 persen (diagram.5). Sebab kenaikan inflasi
yang tinggi di Aceh pada tahun 2005 disebabkan oleh tarikan permintaan
(demand pull) dari kegiatan tanggap darurat dan rehabilitasi dan
rekonstruksi Aceh pasca tsunami.
72
72
Diagram.5: Kegiatan tanggap darurat serta rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami menyebabkan tingkat inflasi Aceh lebih tinggi dari nasional.
Sumber: BPS dan hasil perhitungan 2.3.1.2. Ekspor dan investasi
Nilai ekspor Aceh untuk tahun 2004 hingga 2007 menunjukkan trend
peningkatan. Pada tahun 2004, nilai ekspor Aceh yang berkisar US$ 47
juta. Pada tiga tahun berikutnya nilai ekspor Aceh mengalami fluktuasi dan
pada tahun 2007 nilai tersebut menjadi berkisar US$. 88 juta (diagram.7).
Diagram.7: Nilai ekspor Aceh untuk tahun 2004 hingga 2007 menunjukkan trend peningkatan.
Sumber: BPS dan hasil perhitungan.
73
73
Namun proporsi nilai ekspor terhadap PDRB Aceh untuk rentang
2004 hingga 2007 adalah jauh dibawah rata-rata nasional. Pada tahun
2004 proporsi ekspor non-migas Aceh terhadap PDRB non-migas Aceh
adalah 1.47 persen, jauh dibawah nilai proporsi nasional sebasar 20.1
persen. Secara rata-rata untuk rentang tahun 2004 hingga 2007, proporsi
ekspor non-migas Aceh terhadap PDRB non-migas Aceh hanyalah 1.17
persen, sedangkan nilai nasional adalah 20.41 persen (tabel.5). Rendahnya
proporsi nilai ekspor Aceh terhadap PDRB disebabkan oleh minimnya
investasi di Aceh, khususnya yang berorientasi ekspor.
Tabel.5: Namun proporsi nilai ekspor terhadap PDRB Aceh untuk rentang 2004 hingga 2007 adalah jauh dibawah rata-rata nasional
2004 2005 2006 2007
rata-
rata
Persentase
ekspor non-
migas terhadap
PDRB non-migas
Aceh 1.47% 1.56% 0.28% 1.36% 1.17%
Persentase
ekspor terhadap
PDRB 20.1% 20.8% 19.5% 21.3% 20.41%
Sumber: BPS dan hasil perhitungan. Realisasi investasi di Aceh, baik PMA maupun PMDN, yang tercatat
adalah nihil. Dari tahun 2004 hingga 2007 tidak tercatat realisasi investasi
di Aceh, walaupun baru pada tahun 2007 tercatat rencana penanaman
modal asing yang telah disetujui bernilai US$.65 juta. Hal ini bertolak
belakang dengan kenyataan secara rata-rata nasional dimana untuk
realisasi PMA tercatat pertumbuhan sekitar 24 persen dan untuk PMDN
adalah 32.5 persen. Terdapat sejumlah faktor yang menghambat realisasi
investasi di Aceh.
Kondisi jalan di Aceh, khususnya di tingkat kabupaten/kota masih
relatif rendah sehingga dapat mempengaruhi minat investasi. Kondisi untuk
74
74
jalan nasional di Aceh untuk tahun 2007 adalah relatif memadai dengan
sekitar 65 persen berada dalam kondisi baik. Sebaliknya kondisi jalan
provinsi dan kabuapten/kota pada tahun yang sama adalah lebih rendah
dimana hanya 26 persen jalan province berada dalam kondisi baik
sedangkan untuk jalan kabupaten/kota hanya 18%. Selanjutnya terlihat
bahwa proporsi jalan nasional dalam kondisi baik telah meiningkat dari 7
persen pada tahun 2004 menjadi 65 persen sebagai hasil dari upaya
rekonstruksi Aceh. Namun untuk kondisi jalan provinsi hanya terjadi sedikit
peningkatan proporsi jalan dalam kondisi baik. Bahkan untuk jalan
kabupaten/kota terlihat bahwa proporsi kondisi jalan dalam keadaan baik
semakin kecil bahkan proposi jalam dalam keadaan buruk cukup tinggi dan
tidak berubah sejak tahun 2005 (tabel.6). Fakta diatas tentu akan
berpengaruh kepada ongkos transportasi barang dari dan ke Aceh. Dan
dengan potensi perkembangan Ekonomi Aceh yang tertumpu pada sektor
pertanian (World Bank, 2009), yang letaknya terkonsentrasi didaerah
pedesaan sehingga harus melalui jalan provinsi dan kabupaten, maka hal
ini akan berpengaruh pada ongkos melakukan investasi di Aceh.
Namun masalah pasokan listrik, kutipan tidak resmi dan persepsi keamanan
merupakan isu yang cukup signifikan yang menghambat realisasi investasi di
Aceh. Menurut penelitian yang dilakukan oleh World Bank (2009) yang melakukan
survey persepsi pelaku usaha, mengidentifikasi bahwa masalah rendahnya
pasokan listrik di Aceh menjadi penyebab tingginya ongkos melakukan usaha di
Aceh. Frekeunsi padam listrik di Aceh lebih tinggi dari nasional, dan untuk
menjamin pasokan listrik, calon pengusaha harus menyediakan pembangkit listrik
sendiri. Hal ini tentu mengurangi tingkat kelayakan investasi untuk skala usaha
kecil dan menengah di Aceh . Selanjutnya dalam survey ini diidentifikasi bahwa
korupsi serta kutipan liar mejadi faktor penting bagi penghambat minat investasi di
Aceh. Hal ini menambah ongkos yang harus dikeluarkan oleh calon investor
dalam mempertimbangkan melakukan investasi di Aceh. Dan terakhir dan yang
tidak kalah pentingnya adalah persepsi dunia tentang keamanan berusaha di
Aceh. Persepsi tentang resiko kembalinya kondisi
75
75
Tabel.6: Kondisi jalan di Aceh, khususnya di tingkat kabupaten/kota masih relatif rendah
Persentase kondisi jalan nasional
2004 2005 2006 2007
Baik 7% 40% 40% 65%
Sedang 62% 34% 29% 17%
Buruk 31% 26% 31% 18%
Persentase kondisi jalan Provinsi
2004 2005 2006 2007
Baik 13% 29% 23% 26%
Sedang 39% 46% 36% 37%
Buruk 48% 25% 40% 37%
Persentase kondisi jalan kabupaten/kota
2004 2005 2006 2007
Baik 20% 18% 18% 18%
konflik di Aceh menyebabkan calon investor mengenakan faktor
diskonto yang lebih besar dalam mempertimbangkan melakukan investasi
di Aceh. Resiko ini menyebabkan ongkos melakukan usaha di Aceh masih
lebih tinggi daripada daerah lain di Indonesia.
2.3.1.3. Analisis relevansi Pertumbuhan ekonomi yang rendah relatif dengan rata-rata nasional
merupakan permasalahan pembangunan Aceh, namun permasalahan ini
tidak menjadi sasaran eksplisit dalam kebijakan pembangunan daerah. Permasalahan pertama yang teridentifikasi pada bidang ekonomi pada
dokumen Rencana Pembanguna jangka Menengah Aceh (RPJMD) 2007-
2012 adalah pertumbuhan ekonomi rendah yang ditandai dengan
pertumbuhan PDRB Aceh yang negatif serta pertumbuhan PDRB non-
migas rendah. Permasalahan lain yang berkenaan dengan masih besarnya
kontribusi sektor pertambangan migas terhadap PDRB Aceh. Dalam
dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah Aceh ini tidak
76
76
terdapat strategi pembangunan yang khusus menangani kedua
permasalahan ini, namun strategi pembangunan yang menyangkut
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan proporsi sumbangan
sektor non pertambangan migas terkait dengan masalah pembangunan
ekonomi Aceh lainnya.
Berdasarkan analisa pada bahagian sebelumnya terlihat bahwa
tingkat pertumbuhan PDRB Aceh masih berada dibawah rata-rata
pertumbuhan PDRB nasional-dan nilainya masih negatif. Sebaliknya
pertumbuhan PDRB non-migas Aceh untuk tahun 2006 dan 2007 berada
diatas rata-rata nasional, namun tingakat pertumbuhan rata-ratanya untuk
rentang waktu 2004 hingga 2007 masih sedikit dibahwa rata-rata nasional.
Selanjutnya pada analisa pada bahagian tersebut disebutkan pula bahwa
pada tahun 2007 pertambangan migas telah digantikan oleh sektor
pertanian sebagai penyumbang terbesar PDRB Aceh. Hal ini pada satu sisi
dapat dipandang sebagai salah satu hasil kebijakan Pemerintah Aceh di
sektor pertanian. Namun disisi lain, penurunan kontribusi pertambangan
migas disebabkan oleh menurunya cadangan migas di Aceh. Selanjutnya
pada bahagian tersebut terlihat pula bahwa sektor manufaktur masih
memegang peranan kecil terhadap PDRB dan PDRB non-migas Aceh
relatif dengan nasional. Selanjutnya bila dirujuk pada nilai pendapatan
perkapita maupun tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita Aceh masih
dibawah rata-rata nasional.
Realisasi investasi merupakan masalah pembangunan yang penting
dan menjadi salah satu sasaran pembangunan Aceh namun capaiannya
pada tahun 2007 masih belum menggembirakan. Permasalahan
pembangunan ekonomi lainnya yang berlaku di Aceh menurut RPJMD
adalah realisasi investasi PMA dan PMDN yang rendah di Aceh.
Menanggapi hal ini Pemerintah Aceh mencantumkan “peningkatan realisasi
investasi” sebagai salah satu strategi pembangunan untuk 2007 hingga
2012. Berkenaan dengan hal tersebut Arah Kebijakan Umum Daerah (AKU)
mengandung sasaran “mendorong investor luar masuk ke Aceh”,
“Meningkatkan hubungan kerjasama regiaonal IMT-GT”, serta membangun
sistem pelayanan perizinan satu atap. Namun seperti yang telah
77
77
dikemukakan pada pemabahasan sebelumnya, hingga tahun 2008 realisasi
investasi baik PMA dan PMDN masih nihil.
Ekspor walaupun tidak teridentifikasi secara eksplisit sebagai
permasalahan dalam RPJMD Aceh namun pemerintah Aceh menyertakan
peningkatan nilai ekspor Aceh sebagai salah satu strategi pembangunan
serta sebagai Arah Kebijakan Pembangunan Daerah. Dalam hal ini
Pemerintah Aceh menyadari pentingnya perluasan pasar bagi produk-
produk unggulan Aceh bagi pembangunan ekonomi Aceh. Berdasarkan
hasil analisa terdahulu ditunjukkan bahwa nilai ekspor Aceh menunjukkan
trend peningkatan, namun sumbangan ekspor terhapa PDRB masih relatif
kecil bila dibandingkan dengan rata-rata nasional. mengingat bahwa Aceh
memiliki potensi yang cukup besar di sektor pertanian dalam artian luas
maka diharapkan peningkatan ekspor di masa depan akan berasal dari
sektor tersebut. Selanjutnya peningkatan ekspor dari sektor unggulan ini
diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh di masa depan.
Untuk mengurangi ongkos melakukan usaha, Pemerintah Aceh
melakukan kebijakan membentuk kantor pelayanan perizinan satu atap,
namun untuk menarik minat investasi diperlukan kebijakan lebih lanjut yang
dapat menstimulasi pengurangan “ongkos serta resiko” melakukan usaha di
Aceh. Permasalahan pembangunan Aceh lainnya adalah prosedur
perizinan usaha yang belum mencerminkan prinsip-prinsip pelayanan yang
mudah murah dan cepat. Dalam hal ini Pemerintah Aceh menempatkan
pembentukan kantor pelayanan perizinan satu atap dalam startegi
pembangunan dan Arah Kebijakan Umum Daerah. Stretegi ini
dimaksudkan untuk mengurangi ongkos dalam melakukan usaha di Aceh
serta menstimulasi investasi baru masuk ke Aceh. Dalam hal ini
Pemerintah Aceh telah merealisasikan pendirian Kantor Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu (P2TSP) di tingkat provinsi serta lembaga
sejenis di sejumlah kabupaten/kota. Namun Pemerintah Aceh dapat
melakukan upaya lebih jauh untuk menarik investasi dengan cara
menghasilkan kebijakan pembangunan yang sasarannya adalah untuk
mengurangi kemungkinan kutipan liar terhadap sektor swasta dan
membangun kepercayaan pengusaha bahwa melakukan investasi di Aceh
78
78
adalah aman dan menguntungkan, seperti yang dikemukan oleh World
Bank (2009).
Jalan menjadi salah satu permasalahan penting yang tertuang dalam
kebijakan daerah, namun perlu dipikirkan tentang perbaikan dalam
pengelolaan dan perawatan jalan yang lebih efisien. Permasalahan
pembangunan ekonomi Aceh lainnya adalah kondisi infrastruktur jalan yang
masih kurang memadai. Dalam hal ini pemerintah Aceh menjadikan
perbaikan jalan baik yang hancur akibat tsunami maupun lainnya menjadi
startegi pembangunan yang ingin dicapai serta Arah Kebijakan Umum yang
dituju. Berdasarkan analisa pada bahagian sebelumnya tersaji bahwa telah
terjadi peningkatan proporsi jalan nasional dalam kondisi baik. Sebaliknya
kondisi jalan untuk kabupaten/kota masih belum terdapat peningkatan
proporsi jalan dalam kondisi baik. Dengan mengingat bahwa potensi
pembangunan ekonomi Aceh ada di pertanian dan di pedesaan, maka
masalah ini perlu perhatian yang serius untuk dapat menarik investasi ke
Aceh. Mengingat bahwa proporsi pengeluaran untuk sektor Pekerjaan
Umum baik dalam APBD Provinsi maupun kabupaten/kota adalah cukup
signifikan (World Bank 2008), maka Pemerintah Aceh perlu mengajukan
strategi pembangunan yang dapat memperbaiki mekanisme pengelolaan
dan perawatan badan jalan yang lebih efisien.
Pasokan listrik yang kurang memadai merupakan permasalahan
dalam pembangunan ekonomi Aceh, namun kebijakan pembangunan yang
ada belum secara langsung menangani permasalahan ini. Permasalahan
pembangunan lainnya yang adalah keterbatasa pasokan listrik. Dalam
menyikapi masalah ini, Pemerintah Aceh mengajukan Strategi kebijakan
memperluas sambungan listrik di pedesaan. Tanpa menafikan pentingnya
hak masyarakat desa akan akses terhadap listrik diakomodir dalam
kebijakan pemerintah provinsi, kebijakan ini tidak menyentuh permasalahan
utama yang dihadapi dibidang kelistrikan di Aceh. Mengingat masalah
pasokan listrik yang memadai menjadi salah satu pertimbangan penting
dalam melakukan investasi di suatu daerah, Pemerintah Aceh perlu
mengajukan strategi kebijakan untuk menanggulangi permasalahan ini
secara eksplisit dalam kebijakan pembangunannya.
79
79
2.3.1.4. Analisis efektivitas Pertumbuhan PDRB non-migas pada tahun 2006 dan 2007 adalah
lebih tinggi dari rata-rata nasional, namun sumbangan signifikan
berhubungan dengan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, sedangkan
perlambatan akselerasi tingkat pertumbuhan sektor pertanian perlu
diwaspadai. Pertumbuhan yang tinggi ini disumbangkan oleh sektor yang
berkenaan dengan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi (sektor konstruksi,
perdagangan hotel dan restoran serta sektor transportasi), serta oleh sektor
pertanian dan lainnya. Namun seperti yang telah disajikan pada bahagian
awal dari tulisan ini bahwa sektor yang berkenaan dengan kegiatan
rekonstruksi telah mengalami penurunan tingkat pertumbuhan sehingga
sektor-sektor ini tidak dapat diharapkan untuk dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi di masa depan seiring dengan berakhirnya masa
rekonstruksi. Selanjutnya telah pula disajikan bahwa telah terjadi
peningkatan pertumbuhan di sektor pertanian dan manufaktur namun
seperti yang telah ditunjukkan pada bahagian awal tulisan bahwa
terindikasi adanya penurunan akselerasi tingkat pertumbuhan kedua
sektor-sehingga perlu diwapadai oleh pengambil kebijakan di Aceh.
Permasalahan ini perlu diperhatikan secara serius mengingat bahwa sektor
pertanian telah menggantikan sektor pertambangan migas sebagai
penyumbang terbesar tehadap PDRB Aceh.
Kebijakan menggalakkan investasi masuk ke Aceh belum
membuahkan hasil. Mengingat bahwa realisasi PMA dan PMDN di Aceh
masih nihil, kontras dengan kondisi rata-rata nasional, masalah ini perlu
menjadi perhatian penting bagi Pemerintah Aceh.
Kebijakan peningkatan ekspor masih perlu diintensifkan mengingat
potensi ekonomi Aceh di sektor pertanian masih relatif besar. Walaupun
telah ditunjukkan bahwa trend nilai ekspor Aceh meningkat namun proporsi
ekspor Aceh terhadap PDRB masih kecil bila dibandingkan dengan rata-
rata nasional. Kebijakan menggalakkan ekspor perlu terus ditempuh oleh
Pemerintah Aceh mengingat potensi ekonomi yang masih cukup besar
disektor pertanian dalam artian luas.
80
80
Kebijakan mengenai kelistrikan masih belum menuju kepada
permasalahan. Walaupun maslah kurangnya pasokan listrik merupakan
masalah yang berlaku secara nasional, namun dalam World Bank (2009)
ditunjukkan bahwa frekeuensi pemadam listrik di Aceh masih lebih tinggi
dari rata-rata nasional. Hal ini akan member ipengaruh yang cukup besar
bagi ongkos melakukan usaha di Aceh serta mempengaruhi minat
investasi. Mengingat akan hal ini diperlukan perhatian yang serius baik oleh
pemerintah daerah maupun nasional untuk mengajukan kebijakan untuk
melakukan intervensi untuk menangani permasalahan ini. 2.3.2. Analisis capaian indikator spesifik dan menonjol
Penurunan pertumbuhan sektor migas menyebabkan serta
berakhirnya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi menyebabkan penurunan
PDRB dan PDRB non-migas Aceh secara tajam, sehingga segera
diperlukan sektor lain, seperti sektor pertanian, agar dapat mendongkarak
pertumbuhan di masa depan. Seperti yang telah diuraikan pada bahagian
awal dari tulisan ini bahwa telah terjadi penurunan tajam pada pertumbuhan
PDRB yang lebih disebabkan oleh menurunnya tingkat produksi migas
sebagai akibat menipisnya cadangan migas. Sebaliknya penurunan PDRB
non-migas Aceh lebih disebabkan menurunnya sektor-sektor ekonomi yang
terkait dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi seperti sektor
konstruksi, perdagangan, hotel dan restoran yang memegang peranan
cukup penting dalam PDRB non-migas. Agar Aceh dapat meningkatkan
pertumbuhnan ekonomi dimasa depan diperlukan peningkatan
pertumbuhan di sektor ekonomi lain. Dengan mengingat bahwa Aceh
memiliki potensi sumber daya alam yang relatif cukup besar, khususnya di
sektor pertanian, maka diharapkan sektor ini, beserta dengan sektor
manufaktur yang berbasis pertanian akan menjadi “mesin pendorong”
pertumbuhan Aceh.
Namun capaian sektor pertanian serta serta manufaktur non-migas
belum menunjukkan arah yang positif. Dan seperti yang diulas pada
bahagian awal tulisan bahwa telah terjadi penurunan pertumbuhan sektor
peratnian yang cukup tajam, serta sektor manufaktur menunjukkan indikasi
akan melambat, maka kedua sektor ini belum berperan sebagi motor
81
81
penggerak ekonomi Aceh. Pemerintah daerah telah menjadikan reviltalisasi
pertanian sebagai salah sasaran pembangunan yang ingin dicapai dalam
RPJMD. Namun merujuk capaian tingkat pertumbuhan sektor pertanian
pada tahun 2008 maka pemerintah daerah perlu mempertajam kebijaknnya
di sektor ini. Dalam dalam hal ini Pemerintah Aceh perlu merancang
kebijakan-kebijakan yang dapat menstimulasi jumlah output serta tingkat
produktivitas di sektor ini.
Perluasan kapasitas produksi serta pasar penting bagi pertumbuhan
Aceh masa mendatang namun capaian realisasi investasi dan ekspor Aceh
masih jauh lebih rendah dari rata-rata nasional. Peningkatan ekspor serta
investasi masuk ke Aceh merupakan sasaran-sasaran pembangunan yang
ingin dicapai oleh Pemerintah Aceh. Namun seperti ynag telah diuraikan
sebelumnya bahwa capaian realisasi investasi domestic maupun asing
hingga tahun 2008 masih nihil. Sama halnya, capaian ekspor Aceh masih
jauh dibawah capaian nasional. Mengingat bahwa peningkatan
pertumbuhan di sektor yang menjadi “kunci pendorong pertumbuhan
ekonomi”, seperti sektor pertanian, membutuhkan peningkatan kapasitas
produksi serta pemasaran, maka Pemerintah Aceh perlu menjadikan
peningkatan realisasi investasi serta ekpspor sebagai salah satu prioritas
pembangunan yang mendesak.
2.3.3. Rekomendasi kebijakan Merujuk pada pembahasan yang telah disajikan pada beberapa
bahagian dalam tulisan ini, berikut disajikan sejumlah saran kebijakan yang
seyoyianya dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi pengambil
keputusan dalam hal kebijakan Pembangunan ekonomi Aceh.
1. Pemerintah Aceh perlu mengajukan kebijakan yang secara eksplisit
menjadikan peningkatan pertumbuhan ekonomi non-migas, dan
peningkatan pertumbuhan pendapatan per kapita non-migas sebagai
sasaran yang ingin dicapai
2. Untuk menanggapi turunnya laju pertumbuhan ekonomi non-migas
sebagai akibat berakhirnya kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
tsunami, Pemerintah Aceh perlu menjadikan penggalangan
82
82
pertumbuhan sektor pertanian dalam artian luas serta manufaktur yang
berbasis pertanian sebagai salah satu prioritas pembangungan yang
mendesak.
3. Mengingat bahwa telah terjadi penurunan tajam dari pertumbuhan
sektor pertanian, yang dipandang sebagai “sektor kunci”, Pemerintah
Aceh perlu meneliti kembali serta mempertajam kebijakan-kebijakan
yang menyangkut dengan revitalisasi pertanian. Diperlukan kebijakan-
kebijakan yang dapat menstimulasi peningkatkan output serta tingkat
produktivitas di sektor ini.
4. Karena realisasi investasi swasta baru dapat mendongkrak
pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Aceh perlu mengintensifkan upaya-
upaya untuk meningkatkan minat investasi melalui pengidentifikasian
potensi daerah, promosi potensi daerah kepada calon investor serta
mengajukan kebijakan agar pemerintah daerah dapat lebih proaktif dan
membantu calon investor untuk merealisasikan kegiatan usahanya di
Aceh.
5. Dalam menggalakkan ekspor diperlukan terobosan kebijakan untuk
dapat menghasilkan surplus produksi komoditi-komoditi unggulan Aceh
sehingga dapat meningkatkan ekspor. Surplus produksi dapat
dihasilkan melalui kebijakan yang bertujuan memfasilitasi peningkatkan
produktivitas usaha-usaha potensi ekonomi Aceh yang sedang berjalan,
serta meningkatkan realisasi investasi di sektor potensi ekonomi Aceh.
6. Dalam hal mengurangi ongkos melakukan usaha di Aceh, Pemerintah Aceh dapat
melakukan advokasi ke pemerintah pusat atau ke Perusahaan Listrik Negara untuk
menambah pasokan listrik ke Aceh. Selanjutnya Pemerintah Aceh bekerjasama
dengan lembaga kepolisian, peradilan serta lembaga lain yang terkait untuk
menghilangkan kemungkinan adanya kutipan liar terhadap sektor usaha serta
menumbuhkan persepsi masyarakat khususnya dunia usaha bahwa “Melakukan
investasi di Aceh adalah aman dan menguntungkan!” . Selain daripada itu Pemerintah
Aceh perlu mengkaji mekanisme yang dapat memperbaiki pengelolaan dan
pemeliharaan sarana transportasi di Aceh.
83
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM KEHUTANAN Ciri sumberdaya hutan yang penting adalah peran gandanya sebagai
sistem penunjang kehidupan. Hutan tropika merupakan paru-paru dunia dan
sumber keragaman hayati yang tinggi. Peran tersebut menyebabkan relatif
tingginya kepentingan berbagai pihak terhadap pelestarian sumberdaya hutan.
Provinsi Aceh memiliki wilayah seluas 57,365.57 km2 yang terdiri dari dataran
rendah, perbukitan pegunungan sampai dataran tinggi. Luas hutan di Provinsi
Aceh adalah 3.588.135 ha (62,55 %), sedangkan padang rumput dan alang-alang
seluas 299.726 ha (4,0%). Selain itu, wilayah Aceh memiliki areal perkebunan,
besar dan kecil seluas 687.450 ha (11,83%) (Aceh Dalam Angka, 2008). Data ini
menunjukkan sebagian besar wilayah dataran Aceh masih merupakan hutan
lebat. Namun dari luas lahan tersebut sebagian besar sudah terekploitasi untuk
pengembangan perkebunan rakyat, pembukaan lahan perkebunan baru yang
diperuntukkan bagi eks kombatan GAM, masih terjadinya illegal logging meskipun
adanya larangan pemerintah (Perda) terkait dengan hal tersebut.
Menurut Aceh dalam Angka 2008, luas tanah terbuka (tandus, rusak, dan
land clearing) di Aceh seluas 44.439 ha (0,75%). Sekarang diperhitungkan tingkat
kerusakan hutan di Aceh semakin luas seiring dengan semakin maraknya
pembukaan lahan hutan untuk lahan pertanian. Sementara persentase luas lahan
rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis tingkat nasional pada tahun 2008
adalah seluas 0.26 %. Berarti persentase luas lahan tandus atau kritis di Aceh
lebih besar daripada tingkat nasional. Hal ini bermakna tingkat kerusakan hutan di
Aceh masih parah dari tingkat nasional.
Di Provinsi Aceh angka akurat dalam bentuk perkembangan tahunan
berkaitan dengan data ketiga aspek tadi belum tersedia secara valid. Namun
menurut keterangan dari pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh
dan data statistik kehutanan Aceh upaya rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan
kritis, rehabilitasi lahan luar hutan, dan konservasi hutan dilakukan secara
berkesenambungan setiap tahunnya. Berdasarkan data statistik kehutanan Aceh
2002-2007 lahan kritis di Aceh mencapai 1.655.508.109 ha, sedangkan rencana
rehabilitasi secara keseluruhan mencapai 73.762,00 ha. Terkait dengan kualitas
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di sektor kehutanan dilihat
84
dari tiga aspek yaitu: (1) perbandingan Persentase luas lahan rehabilitasi
dalam hutan terhadap lahan kritis, (2) Rehabilitasi lahan luar hutan, dan (3)
luas kawasan konservasi. Kondisi perbandingan antara ketiga aspek tersebut
antara Provinsi Aceh dan Nasional dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Persentase Luas Lahan Rehabilitasi Dalam Hutan
Terhadap Lahan Kritis, Rehabilitasi Lahan Luar Hutan, dan Luas
Kawasan Konservasi Antara Provinsi Aceh Dan Nasional
Tahun Persentase Luas
Lahan Rehabilitasi
Dalam Hutan
Terhadap Lahan
Kritis (%)
Rehabilitasi Lahan Luar
Hutan (ha)
Luas Kawasan
Konservasi (ha)
Aceh Nasional Aceh Nasional Aceh Nasional
2004 - 1.03 12.023.00 390.896.00 - 22.715297.35
2005 - 0.93 14.260.00 70.410.00 - 22.703.151.16
2006 0.67 0.83 11.364.00 301.020.00 - 22.702.527.17
2007 0.53 0.26 18.040.00 239.236.00 852.533 20.040.048.01
2008 0.53 0.26 18.040.00 239.236.00 852.533 20.040.048.01
Tabel 1 menunjukkan indikator yang positif dilihat dari perbandingan
persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis, rehabilitasi
lahan luar hutan, dan luas kawasan konservasi baik di Provinsi Aceh maupun
Nasional, meskipun data Provinsi Aceh tidak lengkap. Indikator positif tersebut di
Aceh ada kaitannya dengan program rehabilitasi hutan yang diprogramkan dan
dilaksanakan secara multiyears dan berkelanjutan. Di samping itu, didukung oleh
adanya program Pemerintah Aceh (Irwandi Yusuf) pada Tahun 2007 yang
mencanangkan ”Aceh Green”. Terkait dengan program tersebut Pemeritah Aceh
sudah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan penebangan
kayu secara liar (illegal logging) dan tidak dikeluarkannya HPH sehingga
diharapkan program ini dapat mencegah meluasnya ekspoitasi terhadap
semberdaya hutan di Aceh.
Relevansi
Permasalahan di bidang kehutanan bahwa selama tiga dekade terakhir,
85
sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional
dan daerah. Hal tersebut memberi dampak positif antara lain terhadap
peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan
wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain kebijakan pembangunan
pada masa lalu tersebut juga menyebabkan berbagai permasalahan baik
ekonomi, sosial, dan lingkungan. Adanya musibah bencana alam dan tsunami di
Provinsi Aceh pada akhir tahun 2004 juga telah memperbesar degradasi kawasan
lindung daerah pesisir yang sebelumnya memang telah berada dalam kondisi
yang relatif kritis akibat “tekanan penduduk” untuk berbagai keperluan.
Sumberdaya alam berupa hutan mangrove sebagian besar telah rusak dan
bahkan hilang sehingga akan berdampak negatif bagi kualitas lingkungan.
Selanjutnya, meningkatnya kebutuhan terhadap kayu untuk kegiatan rehabilitasi
dan rekonstruksi dalam pembangunan perumahan dan bangunan publik lainnya
setelah tsunami menyebabkan eksploitasi terhadap hutan di Aceh juga meningkat
dengan Tajam.
Selain itu, tingginya angka kemiskinan di Aceh merupakan alasan bagi
petani kecil untuk terus membakar hutan guna dijadikan kebun pertanian.
Contohnya di wilayah pengunungan Seulawah, sebagian hutan lindung sudah
ditebang dan dibakar oleh masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian. Namun
sayangnya, pencegahan oleh Polisi Kehutanan baru dilakukan setelah ekpolitasi
hutan bagitu meluas. Kondisi serupa juga terjadi di wilayah hutan lainnya, seperti
Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL) dan Suaka Marga Satwa Rawa Singkil
serta Suaka Alam lainnya di Provinsi Aceh.
Persoalan meningkatnya degradasi hutan juga disebabkan oleh
pengelolaan hutan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala
besar, perubahan peruntukan kawasan hutan baik legal maupun illegal, over
cutting dan illegal logging, perambahan, okupasi lahan dan kebakaran hutan
maupun bencana alam. Pada aspek sosial-ekonomi masyarakat lokal, dampak
kegiatan pengusahaan hutan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di
sekitarnya tidak cukup nyata. Kondisi tersebut menjadi tekanan yang
menyebabkan sulit tercapainya pengelolaan hutan secara lestari.
Permasalahan mendasar yang mengakibatkan terjadinya kelemahan
tersebut antara lain disebabkan oleh orientasi yang terlalu bertumpu pada
86
paradigma pertumbuhan ekonomi dan menitikberatkan pada produksi primer,
kebijakan alokasi sumberdaya yang tidak adil, sistem pengelolaan yang tidak
memenuhi kaidah kelestarian, KKN, lemahnya penegakan hukum dan
pengawasan, serta koordinasi antar sektor yang belum berjalan baik.
Saat ini kesenjangan bahan baku merupakan masalah besar yang sangat
berpengaruh terhadap kelestarian sumberdaya hutan. Kekurangan bahan baku
untuk industri pengolahan kayu telah mendorong banyaknya penebangan melebihi
ketentuan (overcuting) maupun penebangan ilegal. Sementara itu upaya
pengembangan sumber bahan baku dengan membangun hutan tanaman tidak
sesuai dengan target yang ditetapkan, sehingga belum dapat diandalkan sebagai
sumber bahan baku.
Pengembangan alternatif pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu dari
hutan rakyat akan merupakan salah satu opsi yang strategis. Selain itu,
Kebakaran hutan merupakan masalah besar yang secara signifikan mengancam
pula kelestarian sumberdaya hutan, sementara penanganannya belum berjalan
baik. Kondisi ini pun tidak terlepas dari lemahnya sistem pengawasan yang
diakibatkan oleh orientasi pada produksi kayu dan kurang memperhatikan
kelestarian sumberdaya hutan sebagai indikator kinerja.
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, ada beberapa
‘tantangan (threat)’ berikut perlu diantisipasi dalam melaksanakan pembangunan
Kehutanan di Provinsi Aceh, antara lain:
1) ketidakseimbangan antara permintaan dan penyediaan bahan baku kayu;
2) perambahan, pencurian kayu dan illegal logging serta penyelundupan kayu
yang belum dapat dihentikan;
3) kebakaran hutan yang belum mampu diatasi dengan baik;
4) banyaknya penduduk miskin yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan;
5) masih rendahnya keberhasilan pengembangan hutan tanaman baru (HTI);
6) masih rendahnya kualitas dan pemanfaatan iptek;
7) adanya kecenderungan persyaratan ecolabelling hasil hutan di pasar
internasional,
8) kurangnya minat pengusaha untuk memanfaatkan hasil hutan non kayu dan
jasa lingkungan;
9) luasnya areal kawasan hutan mangrove dan kawasan lindung pantai yang
87
rusak akibat musibah tsunami;
10) keinginan Pemerintah Provinsi untuk menjadi Provinsi Aceh sebagai “Green
Province”.
Khusus bagi Provinsi Aceh adanya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001
merupakan titik awal bagi provinsi ini untuk mengatur dan mengelola sumberdaya
alam serta pemanfaatannya secara lebih baik dan “mandiri” bagi kemakmuran
rakyat di Provinsi Aceh dalam kerangka pembangunan nasional. Undang-undang
tersebut menempatkan titik berat Otonomi pada Provinsi yang pelaksanaannya
diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota. Kekhususan ini memberikan
kesempatan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan
berada pada tingkat Provinsi dengan tetap mengakomodir kepentingan daerah
Kabupaten/Kota.
Menyusul terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2001 telah ditetapkan sejumlah
Qanun (Peraturan Daerah), diantaranya Qanun Kehutanan dan Qanun Perizinan
Kehutanan. Qanun – qanun ini merumuskan kembali ruang lingkup pengurusan
hutan di Provinsi Aceh dan pembagian kewenangan kewenangan Provinsi dan
Kabupaten/Kota dalam bidang kehutanan, dengan mengacu kepada UU Nomor
41 tahun 1999. Merujuk pada agenda pembangunan Aceh, terintegrasi dengan
Kebijakan Umum Pembangunan Aceh Hijau, Dinas Kehutanan dan Perkebunan
melakukan pengelompokan kegiatan sesuai dengan kebijakan prioritas, sasaran
dan indikator strategis, serta program penganggaran, dengan tetap
memperhatikan kegiatan-kegiatan pokok yang telah ditetapkan. Kebijakan prioritas
itu adalah:
1) Re-design (penataan ulang) hutan Aceh untuk mewujudkan pembangunan
Aceh yang berimbang secara ekologi, ekonomi dan sosial;
2) Reforestasi yaitu peningkatan dan efektivitas rehabilitasi hutan dan lahan
3) Reduksi deforestasi yaitu menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan
dan pemanfaatan serta pengembangan sistem pengamanan hutan yang lebih
efektif
4) Tercukupinya kebutuhan konsumsi dan bahan industri pengolahan perkebunan
serta meningkatkan ekspor
5) Terpelihara dan terehabilitasi kembali kebun rakyat yang terlantar akibat
gempa/tsunami dan konflik
88
6) Terbinanya mutu produk yang mempunyai daya saing di pasar dalam maupun
luar negeri
7) Terbentuknya Agribisnis perkebunan yang dapat mensejahterakan petani dan
pelaku usaha
8) Terfasilitasinya pembangunan perkebunan oleh investor dalam rangka
terbukanya kesempatan kerja dan berusaha di pedesaan
9) Memberdayakan petugas, kelompok tani dan lembaga masyarakat lainnya
dalam rangka mempercepat pembangunan perkebunan.
Sembilan kebijakan prioritas tersebut akan diimplementasikan dalam
bentuk program dan kegiatan. Untuk tahun 2009 pelaksanaan program dan
kegiatan tersebut dituangkan dalam Rencana Kerja Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009.
Apabila dilihat dari program pemerintah Aceh ”Aceh Green” hingga
keluarnya Qanun Bidang Kehutanan serta Perkebunan serta kebijakan prioritas
Dinas Kehutan dan Perkebunan Provinsi Aceh menunjukkan pembangunan
kehutanan yang dijalankan untuk beberapa hal masih relevan dengan kebutuhan
Pemerintah Aceh. Namun belum secara menyeluruh relevan dalam menjawab
permasalahan yang sedang dihadapi daerah. Berdasarkan kebijakan prioritas
pemerintah belum jelas bagaimana program untuk mengatasi persoalan: (1)
ketidakseimbangan antara permintaan dan penyediaan bahan baku kayu,
terutama setelah terjadinya tsunami di Aceh yang permintaan kayu meningkat
tajam untuk rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan penduduk; (2) perambahan,
pencurian kayu dan illegal logging serta penyelundupan kayu yang belum dapat
dihentikan; dan (3) kebakaran hutan yang belum mampu diatasi dengan baik.
Efektivitas
Fungsi hutan sebagai mata rantai kehidupan saat ini belum mendapat
penilaian yang wajar. Publik pada umumnya masih menilai hutan hanya sebagai
penghasil kayu dan penyedia lahan untuk berbagai keperluan, seperti untuk
kebutuhan pertanian. Multifungsi hutan serta forward dan backward linkages
kehutanan yang sangat panjang dan luas belum mendapat tempat yang
semestinya. Hal ini misalnya terlihat dari proporsi anggaran pembangunan
kehutanan dan perkebunan yang masih sangat terbatas. Persepsi yang
cenderung undervalued tersebut telah menyebabkan banyak kawasan hutan yang
89
mengalami degradasi. Oleh karena itu upaya memantapkan batas kawasan
hutan, meningkatkan rehabilitasi hutan serta perlindungan hutan dan konservasi
lingkungan menjadi sangat penting.
Selain itu, upaya merehabilitasi hutan perlu dilakukan lebih cepat dari laju
degradasinya sehingga hasilnya dapat lebih nyata. Berdasarkan data yang ada
saat ini, menunjukkan bahwa indikasi kawasan hutan yang perlu direhabilitasi
adalah seluas 1.626.800 ha, baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar
kawasan hutan. Kondisi ini memerlukan adanya komitmen yang kuat dari semua
pihak. Berbagai upaya pembangunan di bidang kehutanan dan perkebunan telah
dilaksanakan untuk memulihkan ekonomi rakyat yang semakin terpuruk sebagai
akibat dari krisis multi dimensi yang melanda hampir seluruh wilayah dalam
Provinsi Aceh.
Apabila dilihat dari kebijakan prioritas Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Provinsi Aceh, sebagian besar pemanfaatan lahan hutan saat ini terkonsentrasi
untuk pengembangan perkebunan rakyat. Adanya program Aceh Green
menyebabkan seluruh HPH baru tidak dikeluarkan di Aceh. Luas areal
perkebunan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sampai dengan tahun 2007
mencapai 818.098 Ha yang terdiri dari Perkebunan Rakyat 617.418 Ha dengan
produksi 887.991 ton dan Perkebunan Besar 200.680 Ha produksi 424.493 ton
(Statistik Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
2007). Perkebunan rakyat menangani berbagai jenis komoditi meliputi 24 jenis
komoditi dengan fokus utama pada beberapa komoditi, yang bersifat unggulan
nasional yaitu karet, kelapa, kelapa sawit, kopi, kakao dan lada. Sedangkan
komoditi unggulan daerah yaitu pala, pinang, cengkeh, nilam, dan kemiri. Petani
yang terlibat didalam pembangunan perkebunan berjumlah 718.127 KK dengan
wilayah penyebaran meliputi 22 Kabupaten/Kota (tidak termasuk Kota Banda
Aceh).
Berdasarkan SK Gubernur No.19 Tahun 1999 Tanggal 19 Mei 1999 bahwa
arahan fungsi hutan Provinsi Aceh sebagai berikut: kawasan lindung pada
kawasan hutan : 2.697.033 ha, meliputi hutan konservasi seluas 852.533 ha dan
hutan lindung 1.844.500 ha. Sementara itu, kawasan budidaya hutan 638.580 ha,
meliputi hutan produksi 638.580 ha (hutan produksi terbatas 37.300 ha dan hutan
produksi tetap 601.280 ha).
90
Pemerintah Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) berkaitan
dengan program ”Aceh Green” sebagai salah satu bentuk komitmen untuk
memelihara hutan Aceh. Perda ini melarang penebangan kayu liar dan
menghentikan pengeluaran HPH dalam upaya penyelamatan hutan Aceh.
Program ini dinilai banyak kalangan telah mampu memperkecil angka
perambahan hutan di Aceh, meskipun masih ditemukan beberapa kasus terkait
illegal logging. Penegakan hukum terhadap pelaku illegal logging semakin ketat.
Hal ini terindikasi dari semakin sulitnya pelaku illegal logging yang dilakukan oleh
para oknum masyarakat atau pihak berwenang yang lolos dari jeratan hukum
yang dimuat dalam surat kabar Harian Serambi Indonesia.
Dinas Kehutanan Provinsi mencanangkan program rehabilitasi lahan kritis
melalui penanaman kembali hutan kayu jati di wilayah pengunungan Aceh Besar
dan kayu sentang di Wilayah Aceh Timur. Selain itu, pemerintah Aceh juga
membina masyarakat sekitar hutan untuk penananam tanaman tahunan seperti
pohon durian, pala, dan rambutan serta beberapa jenis pohon hutan lainnya.
Melalui beberapa kebijakan yang telah dipaparkan tadi, pemerintah Aceh
diharapkan mampu mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan hutan
secara berkelanjutan.
Apabila dikaitkan efektifitas pelaksanaan dari 9 kebijakan prioritas Dinas
Kehutanan dan Perkebunan, ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Dinas
Kehutanan dan Perkebunan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi
rakyat. Namun demikian, muncul beberapa isu terkait bidang kehutanan yang
berdampak pada efektivitas pelaksanaan program pembangunan di bidang
kehutanan dan perkebunan, yaitu:
1. Belum selesainya redesain Hak Pengusahaan Hutan.
2. Kondisi lapangan yang cukup berat, assesibilitas yang rendah serta luasnya
areal yang harus dikelola.
3. Gangguan kekeringan, gejala elnino yang memicu terjadinya kebakaran
hutan.
4. Terbatasnya anggaran, penguasaan teknologi, dan mutu SDM dalam
menunjang keberhasilan pembangunan kehutanan.
5. Kesulitan memperoleh benih atau bibit yang bermutu tinggi dalam jumlah
yang cukup untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan serta
91
pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).
6. Praktek pengelolaan hutan yang belum sesuai dengan azaz kelestarian
hutan.
7. Penegakan hukum (law enforcement) yang belum berjalan sepenuhnya.
8. Sistem pendanaan tahunan rutin dan pembangunan yang tidak sejalan
dengan pelaksanaan kegiatan yang ditentukan oleh kondisi musim dan iklim.
9. Sistem dan aturan perbankan yang kurang mendorong investasi di sektor
kehutanan.
10. Sikap sebagian kelompok masyarakat terhadap hutan belum sepenuhnya
menunjang pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.
11. Tingkat ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap lahan hutan dan
hasil hutan yang relatif masih tinggi.
Berdasarkan berbagai isu yang telah disebutkan tadi, maka dapat
dikatakan bahwa efektivitas pelaksanaan program pembangunan di bidang
Kehutanan dalam upaya memeliharan kualitas pengelolaan sumberdaya alam
belum berjalan secara optimal di Provinsi Aceh. Hal ini diindikasikan oleh
kebijakan prioritas dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh yang
belum sepenuhnya sesuai untuk mengatasi berbagai persoalan tadi, terutama
menyangkut redesain Hak Pengusahaan Hutan dan Penegakan hukum (law
enforcement).
Sehubungan dengan hal tersebut supaya mencapai tujuan Pemerintah
Aceh “Aceh Green”, maka diperlukan kebijakan pemerintah daerah yang konsisten
dan terpadu dalam mewujudkan program proritas di bidang kehutanan sehingga
berdampak positif terhadap kualitas pengelolaan sumberdaya alam dan hutan di
Aceh. Untuk itu, diperlukan tim independent sebagai bagian dari pengendalian
dan pengawasan dalam mengatasi masalah eksploitasi sumberdaya hutan
sehingga pengelolaan sumberdaya alam akan menjadi lebih baik di daerah
Provinsi Aceh pada masa mendatang.
KELAUTAN Aceh merupakan salah satu propinsi yang memiliki wilayah pesisir terbesar
di Pulau Sumatera. Dengan dikelilingi tidak kurang 1.865 km garis pantai dan
memiliki ± 180 pulau, Aceh kaya akan sumber daya laut baik sumberdaya hayati
92
maupun sumberdaya non hayati. Selain itu, Provinsi Aceh juga berbatasan
langsung dengan dua perairan laut yang sangat penting, yaitu : Laut Andaman
dan Selat Malaka di bagian utara dan timur serta Laut India di bagian barat.
Dengan posisi tersebut memungkinkan Aceh memiliki luas laut 591.089 Km2
(teritorial 56.563 Km2 & ZEEI 534.520 Km2).
Berdasarkan potensi tersebut sudah seharusnya Provinsi Aceh memanfaat-
kannya sebagai salah satu pilar dalam pengembangan perekonomian untuk
menciptakan masyarakat Aceh yang lebih sejahtera. Namun sangat disayangkan
potensi kelautan dan perikanan Aceh masih belum dimanfaatkan secara optimal
karena berbagai hal, antara lain akibat sumberdaya manusia yang terbatas, konflik
yang berkepanjangan di masa lampau dan bencana alam tsunami tahun 2004
silam.
Selain itu, sebagian nelayan di Aceh pun masih hidup di bawah garis
kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah sehingga potensi kelautan dan
perikanan ini masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat. Kondisi ini menjadi ironi ketika kekayaan potensi
kelautan dan perikanan melimpah, sementara nelayan Aceh hidup dalam
kemiskinan. Untuk itu perlu dilakukan upaya yang lebih terstruktur dan strategis
agar potensi tersebut dapat menjadi salah satu pilar dalam pembangunan
perekonomian Aceh. Sebagai salah satu Dinas yang bertanggungjawab dalam
pengelolaan perikanan Aceh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh.
Saat ini tercatat jumlah nelayan di Propinsi Aceh sebanyak 61,768 nelayan
dimana 58% merupakan nelayan penuh dan 42% merupakan nelayan sambilan.
Sebagian besar nelayan tersebut adalah nelayan tradisional dan pekerjaan ini
merupakan pekerjaan turunan yang diturunkan setiap ayah yang bekerja sebagai
nelayan kepada setiap anaknya. Dalam 20 tahun terakhir terjadi perubahan
distribusi nelayan di kawasan pesisir Aceh. Jumlah nelayan di Kawasan Pantai
Utara dan Timur Aceh nelayan meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu
tersebut sedangkan jumlah nelayan di Kawasan Pantai Barat Aceh menurun 1,5
kali.
Di Provinsi Aceh memiliki suatu lembaga adat berkaitan dengan
pengaturan dan pengelolaan sumberdaya kelautan yang disebut dengan Panglima
Laot. Berdasarkan adat masyarakat, apabila terjadi pelanggaran atau sengketa di
93
wilayah laut, maka panglima laot akan berusaha mencari solusinya secara damai
menurut adat masyarakat setempat. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hukom
adat laot maka warga tersebut sebelum ditangani oleh pihak polisi, biasanya
diselesaikan lebih dahulu secara adat. Apabila tidak ada titik temu antara pihak
yang melanggar atau yang terlibat konflik barulah kemudian diserahkan kepada
polisi untuk memutuskan perkaranya.
Provinsi Aceh memiliki wilayah pantai dan laut yang cukup luas, membujur
dari wilayah barat, timur dan utara. Sebelah barat pantai Aceh terbentang luas dan
berhadapan dengan Lautan India, sebelah utara Aceh berbatasan dengan Laut
Andaman, dan sebelah timur Aceh berbatasan dengan Selat Malaka. Namun
luasnya lautan wilayah Provinsi Aceh belum dapat dimanfaatkan secara optimal
untuk meningkatkan pendapatan para nelayan. Sebagian besar nelayan hanya
mengandalkan pendapatannya dari perikanan tangkap, semetara dari usaha
sektor lain seperti budidaya rumput laut dan turumbu karang belum dilakukan
secara optimal. Data berkaitan dengan produksi budidaya ikan dengan cara
keramba/jaring apung dan produksi perikanan laut di Provinsi Aceh dapat dilihat
pada Tabel 2 (Aceh Dalam Angka, 2008).
Tabel 2. Produksi Budidaya Ikan Dengan Cara keramba/Jaring Apung dan
Produksi
Perikanan Laut di Provinsi Aceh
No. Tahun Produksi Ikan (Ton)
Keramba/Jaring
Apung
Perairan
Umum/Terbuka
Perikanan Laut
1. 2004 1.759,8 1.539,6 102.721,4
2. 2005 347,2 1.630,0 81.162,2
3. 2006 389,4 1.419,8 123.883,9
4. 2007 483,7 1.367,0 127.837,4
Sumber: Aceh Dalam Angka, 2008
Tabel 2 menunjukkan bahwa setelah tsunami (tahun 2005) produksi di
bidang perikanan menurun drastis di Provinsi Aceh. Kemudian pada tahun-tahun
berikutnya mulai meningkat, bahkan melebihi dari saat sebelum tsunami. Kondisi
94
ini tergambar dari produksi perikanan laut. Begitu juga halnya produksi ikan dari
hasil keramba/jaring apung, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun setelah
tsunami, meskipun belum mencapai hasil seperti sebelum tsunami. Ilustrasi dari
data ini juga mengindikasikan bahwa terjadinya tsunami di Aceh tahun 2004
berdampak negatif terhadap kondisi sumberdaya kelautan di Provinsi Aceh,
meskipun kemudian berbagai upaya untuk pengelolaan sumberdaya kelautan
terus dilakukan, seperti pemeliharaan terumbu karang, rumput laut dan
penanaman kembali tanaman bakau yang hancur akibat tsunami di hampir
seluruh wilayah pesisir Aceh.
Setelah tsunami, di beberapa wilayah, seperti Sabang (Pulau Weh) dan
Sinabang (Pulau Simeulu) dan beberapa pantai di wilayah Aceh Besar, Aceh
Jaya, dan Aceh Barat, masyarakat sudah mulai kembali memperkuat hukum adat
laut terkait dengan pemeliharaan turumbu karang dan rumput laut. Menurut hukum
adat, masyarakat yang melanggar ketentuan yang disepakati bersama, maka si
pelanggar akan didenda sesuai dengan adat yang berlaku. Salah satu contoh
kasus pelanggaran hukum adat laut di Desa Ie Melee Kota Sabang. Menurut
hukum adat laut yang ditetapkan, tidak boleh warga menjaring ikan sekitar dekat
pantai Desa Ie Melee dengan batas yang sudah disepakati bersama supaya
turumbu karang di wilayah tersebut tetap terpelihara. Namun tiba-tiba ada seorang
nelayan (masih muda) warga dari desa lain yang melanggar aturan adat tersebut.
Akibatnya, warga tersebut ditangkap dan diadili secara adat dengan denda yang
telah disepakati secara adat. Kondisi ini membuat masyarakat lain jera dan tidak
berani melanggar hukum adat laut.
Sumber daya kelautan dan perikanan yang Aceh miliki tidak hanya dalam
bentuk ikan. Aceh juga memiliki potensi lainnya seperti: terumbu karang dan
mangrove. Kedua ekosistem ini sangat penting bagi perikanan Aceh mengingat
bahwa kedua ekosistem ini memiliki fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan,
tempat makan dan habitat hidup berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Rusak
dan berkurangnya kedua ekosistem ini diyakini akan mengurangi hasil tangkapan
nelayan yang artinya akan mengurangi produksi perikanan Aceh.
Terumbu karang di Aceh tersebar terutama di bagian utara Aceh (Pulau
Weh dan Pulau Aceh), pesisir barat Aceh dan pulau-pulau kecil lepas pantai
(Kepulauan Banyak) serta Simeulue. Secara umum, persentase tutupan karang
95
hidup di perairan Aceh memiliki kondisi tutupan karang yang berbeda-beda.
Persentase tutupan karang di Aceh berkisar dari 0 sampai dengan 80%.
Umumnya kondisi karang yang baik ditemukan di lokasi yang pengawasan dan
pengelolaanya relatif baik, seperti kawasan timur Pulau Weh dimana masyarakat
di wilayah tersebut menginisiasi kawasan lautnya sebagai kawasan konservasi
daerah sehingga pemakaian alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang
dilarang untuk digunakan (lihat Tabel 3).
Tabel 3. Persentase Tutupan Karang Hidup Rata-Rata Dibeberapa Lokasi Di Aceh
Lokasi Persentase tutupan karang (%)
Tahun Sumber Data
Pulau Weh (Reef crest)
Pulau Weh (Reef slope)
± 35,6
± 32,1 2005 Campbell et. al
Pulau Aceh (Reef crest)
Pulau Aceh (Reef slope)
± 12,4
± 4,6 2005 Campbell et. al
Pulau Weh dan Pulau
Aceh ± 24 2006 Ardiwijaya et.al
Pulau Banyak
Pulau Weh dan Pulau
Aceh
Timur Banda Aceh
± 38,9
± 24,5
± 24,5
2006 Foster et.al
Pulau Weh dan Pulau
Aceh ± 24 2007 Ardiwijaya et.al
Kepulauan Banyak dan
Simeulue ± 38,7 2007 Herdiana et. al
Pulau Weh
Pulau Aceh
± 29,8
± 10,7 2007 Rudi et.al
Pulau Weh dan Pulau
Aceh ± 28 2008 Ardiwijaya et.al
Tabel 3 menunjukkan persentase tutupan karang hidup rata-rata
dibeberapa lokasi di Aceh yang memiliki terumbu karang dari beberapa sumber.
Perbedaan nilai tutupan karang ini dapat disebabkan oleh berbedanya metode
pengukuran dan pengambilan data yang dilakukan. Berdasarkan kategori yang
96
dibuat oleh Gomez and Yap (1998), dimana kondisi terumbu karang dibagi
menjadi empat kategori berdasarkan persentase tutupan karangnya, yaitu:
“sangat baik” (75-100% tutupan karang); “baik” (50-74,9% tutupan karang); “cukup
baik” (25-49,9% tutupan karang), dan; “buruk” (0-24,9% tutupan karang), maka
dari tabel diatas dapat dikatakan bahwa rata-rata kondisi terumbu karang di Aceh
dalam keadaan cukup baik.
Kerusakan terumbu karang di Aceh utamanya disebabkan oleh faktor
manusia, diantaranya penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan
dan dapat merusak terumbu karang, seperti penggunaan pukat harimau, bom dan
racun. Penggunaan bom masih sangat marak saat ini di Kepulauan Banyak dan
Pulau Aceh. Selain itu faktor alami juga dapat merusak terumbu karang di Aceh.
Tingginya sedimentasi di daerah Lampuuk menyebabkan kematian karang di
wilayah tersebut (Baird et.al 2005). Pemangsaan oleh predator seperti bintang laut
berduri (Acanthaster plancii) dapat merusak terumbu karang. Berdasarkan laporan
Herdiana et.al (2007) telah terjadi pemangsaan besar-besaran oleh bintang laut
berduri terhadap karang di Kepulauan Bayak. Populasi bintang luat tersebut sudah
termasuk kedalam kategori membahayakan.
Sementara itu luas konservasi laut di Aceh baru dilakukan di dua wilayah,
yaitu kawasan Pulau Weh, yakni PulaRubiah dan Simeulu (Pulau Banyak). Namun
belum ada data yang valid berkaitan dengan besarnya luas konservasi laut di
Aceh. Kondisi jumlah tindak pidana perikanan, persentase terumbu karang dalam
keadaan baik, luas konservasi laut, dan persentase kabupaten/kota yang memiliki
Standar Pelayanan Minimum Lingkungan Hidup belum tersedia data yang valid di
Provinsi Aceh. Apabila dibandingkan dengan data di tingkat nasional
menunjukkan bahwa indikator yang positif terhadap pengelolaan sumberdaya
kelautan (lihat Tabel 4). Belum lengkapnya data pengelolaan sumberdaya kelautan yang dapat digunakan
untuk membandingkan dengan data yang sama di tingkat nasional menyebabkan analisis
secara kuantitatif sulit dilakukan. Namun demikian, secara deskriptif kualitatif, seperti
yang diindikasikan dari data Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tindak
pidata kelautan di Aceh meskipun tidak begitu signifikan (Sumber data: Dit Pol Air Polda
97
Tabel 4. Perbandingan Data Indikator Hasil Laut Provinsi Aceh dan Nasional
N
o
Indikator
Hasil
Kelautan
Capaian Tahun
2004 2005 2006 2007 2008
Ace
h
Nas Ace
h
Nas Ace
h
Nas Ace
h
Nas Ace
h
Nas
1. Jumlah
tindak
pidana
perikana
n
- 200 - 174 - 139 12 116 15 62
2. Persenta
se
terumbu
karang
dalam
keadaan
baik
- 31.4
6
33,8
5
31.4
9
31.3
7
29.4
9 31.3
5
30.6
2
28 30.9
6
3 Luas
kawasan
konserva
si laut
- 8.60 - 8.60 - 8.60 - 9.30 - 13.5
Sumber: Data EKPD 2009
Aceh, 2007). Selain itu, adanya upaya yang dilakukan oleh masyarakat lokal ke
arah yang semakin positif dalam mengelola sumberdaya kelautan pasca konflik
dan tsunami, seperti penerapan kembali hukum adat laut terkait dengan
pemeliharaan turumbu karang menyebabkan kasus pidana kelautan semakin
meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian (Agussabti, Indra, dan Lukman, 2009)
menunjukkan bahwa kondisi kemiskinan nelayan kecil di pesisir pantai timur Aceh
98
(Desa Matang Rayek, Kecamatan Idi Rayek) semakin parah karena sudah
rusaknya terumbu karang sehingga hasil tangkapan ikan di dekat pesisir pantai
semakin menurun. Nelayan yang menangkap ikan di sekitar pinggir pantai hanya
memperoleh pendapatan sekitar Rp 20.000-30.000 per harinya. Padahal dulunya
dikatakan nelayan bisa memperoleh rata-rata pendapatan Rp 50.000 per harinya.
Sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa hukum adat laut yang
sudah diberlakukan di Aceh dalam upaya mengelola sumberdaya kelautan,
meskipun belum optimal dalam penerapannya, yaitu: (1) larangan menjaring atau
memasang jaring di sekitar pantai supaya terumbu karang tidak rusak, dan (2)
larangan meracun atau memasang bom dalam menangkap ikan supaya ikan-ikan
kecil masih bisa berkembang. Meskipun belum ada data secara kuantitatif, tetapi
beberapa kasus dan penerapan hukum adat laut seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya pada tahap selanjutnya akan memperkecil jumlah tindak pidana
perikanan, meningkatkan persentase terumbu karang dalam keadaan baik, dan
semakin terpeliharanya kawasan konservasi laut dalam wilayah Provinsi Aceh.
Relevansi Permasalahan yang umumnya dijumpai terkait dengan pembangunan di
bidang perikanan dan kelautan di Aceh antara lain: (1) potensi sumberdaya
manusia yang masih terbatas dengan tingkat pendidikan yang rendah, sebagian
besar nelayan tersebut adalah nelayan tradisional dan pekerjaan ini merupakan
pekerjaan turunan yang diturunkan setiap ayah yang bekerja sebagai nelayan
kepada setiap anaknya; (2) konflik yang berkepanjangan di masa lampau; (3)
bencana alam tsunami tahun 2004 yang menghacur berbagai potensi perikanan
Aceh; (4) sebagian besar nelayan di Aceh hidup di bawah garis kemiskinan; (5)
maraknya pencurian ikan atau tindak pidana di wilayah perairan Aceh, dan (6)
semakin meningkatnya kerusakan terumbu karang di wilayah pesisir Aceh akibat
penjaringan ikan sebagai akibat meningkatnya aktivitas penangkapan ikan.
Berbagai persoalan tadi menyebabkan potensi kelautan dan perikanan di Aceh
masih belum bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
secara optimal. Hal ini menjadi sebuah ironi mengingat nelayan Aceh hidup miskin
di tengah kekayaan potensi kelautan dan perikanan Aceh. Untuk itu perlu
99
dilakukan upaya yang lebih terstruktur dan strategis agar potensi tersebut dapat
menjadi salah satu pilar dalam pembangunan perekonomian Aceh.
Sementara itu, strategi pengembangan perikanan lebih diarahkan pada
kegiatan budidaya dengan target dan orientasi produksi daripada penyelamatan
kekayaan potensi kelautan dan peningkatan sumberdaya nalayan di Aceh. Hal ini
seperti tertuang dalam Master Plan Dinas Perikanan Aceh yang menitik beratkan
strategi pengembangan perikanan Aceh pada tiga tujuan, yaitu: (1) melaksanakan
manajemen budidaya yang memenuhi persyaratan budidaya udang di lingkungan
yang sudah tercemari penyakit viral SCHM (Shrimp Culture Health Management);
(2) membangun jaringan irigasi yang dapat memenuhi persyaratan SCHM; dan (3)
memenuhi persyaratan kemandirian agribisnis budidaya udang Provinsi Aceh.
Strategi pengembangan perikanan ini dinilai satu pihak dapat meningkatkan
pendapatan nelayan, namun di pihak lain masih kurang relevan dengan
permasalahan di bidang kelautan dan perikanan seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Sumber daya kelautan dan perikanan yang Aceh miliki tidak hanya
dalam bentuk ikan. Aceh juga memiliki potensi lainnya seperti: terumbu karang
dan mangrove. Kedua ekosistem ini sangat penting bagi perikanan Aceh
mengingat bahwa ekosistem ini memiliki fungsi ekologis sebagai tempat
pemijahan, tempat makan dan habitat hidup berbagai jenis ikan dan biota laut
lainnya. Rusak dan berkurangnya kedua ekosistem ini diyakini akan mengurangi
hasil tangkapan nelayan yang artinya akan mengurangi produksi perikanan Aceh.
Selain itu, perlunya kebijakan pemerintah secara terpadu berkaitan dengan
pengembangan budidaya perikanan, penguatan lembaga lokal (Panglima Laot),
dan program yang ditujukan untuk pelestarian sumberdaya kelautan dan
perikanan Aceh.
Efektifitas
Apabila dilihat dari rencana induk pengembangan perikanan budidaya
Provinsi Aceh tahun 2006 - 2010 lebih ditujukan pada momentum besarnya
perhatian dunia internasional untuk membangun kembali Provinsi Aceh setelah
konflik dan tsunami tahun 2005 sehingga dapat memanfaatkan semaksimal
mungkin potensi perikanan dalam wilayah Provinsi Aceh. Seluruh program
tersebut kalau dilaksanakan secara terus menerus dan terarah pada gilirannya
100
akan mewujudkan agribisnis perikanan budidaya payau, laut, dan air tawar
Provinsi Aceh yang mandiri.
Salah satu undang-undang yang mengatur pengelolaan perikanan di
Propinsi Aceh adalah Undang-undang No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk
mengelola sumberdaya yang dimilikinya. Terdapat beberapa bab yang
menjelaskan mengenai perikanan ; Bab 162: (1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah
Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya kelautan
yang ada diwilayahnya; (2) Kewenangan untuk mengelola sumberdaya kelautan
seperti yang disebutkan dalam pasal 1 meliputi: (a) konservasi dan pengelolaan
sumberdaya kelautan; (b) pengaturan administrasi dan perizinan usaha perikanan
dan/atau pembudidayaan ikan; (c) pengaturan tata ruang di wilayah laut, pesisir
dan pulau-pulau kecil; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan
atas wilayah laut yang menjadi kewenangannya; (e) pengakuan dan pemeliharaan
Hukum Adat Laot dan membantu keamanan laut; dan (f) perpartisipasi secara aktif
untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Pemerintah
Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
izin untuk kegiatan penangkapan ikan dan pengusahaan sumberdaya alam laut
lainnya di laut sekitar aceh sesuai dengan kewenangannya; dan (4) pengelolaan
sumberdaya kelautan yang disebutkan pada pasal satu (1), pasal dua (2), dan
pasal tiga (3) dilaksanakan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan
konservasi lingkungan.
Mengingat tidak hanya sektor perikanan saja yang terkait dengan kawasan
pesisir dan laut akan tetapi juga berbagai sektor lainnya seperti pariwisata,
transportasi, pertambangan dan lain-lain maka Pemerintah Propinsi Aceh juga
merujuk pada Undang-undang no 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Hal ini dilakukan untuk mengharmonisasikan semua
pembangunan dari berbagai sektor perekonomian di kawasan pesisir. Untuk
mencegah terjadinya tumpang tindihnya berbagai kegiatan perekonomian di
kawasan pesisir perlu dilakukan pengaturan tata ruang penggunaan kawasan
pesisir. Berdasarkan Undang-Undang No 31/2004 tentang perikanan, Pemerintah
wajib membuat Rencana Manajemen Perikanan (RPP memiliki kolaborasi yang
sangat erat diantara pemerintah dan semua stakeholdernya). Sampai saat ini,
101
RPP di Provinsi belum diaplikasikan secara optimal untuk membangun sektor
perikanan. Oleh sebab itu dapat dinilai bahwa efektifitas pembangunan sektor
perikanan di Provinsi Aceh belum mencapai tujuan pembangunan daerah dalam
jangka panjang karena masih sangat terfokus pada upaya pengembangan
budidaya dan belum dikembangkan secara terpadu untuk mencapai tujuan
pembangunan daerah dalam mewujudkan kelestarian sumberdaya kelautan
secara berkelanjutan di Provinsi Aceh.
Selain hukum dan undang-undang formal, Provinsi Aceh juga memiliki
kearifan lokal dan hukum adat yang sudah lama diaplikasikan dalam kehidupan
masyarakat pesisir Aceh yaitu lembaga adat Panglima Laot. Oleh sebab itu,
hukum adat ini sebaiknya diadaptasi dalam berbagai sistem perencanaan dan
pengembangan sektor perikanan di Aceh. Dengan demikian, adopsi dan adaptasi
kearifan local yang terdapat dalam masyarakat diharapkan akan dapat
mewujudkan kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan di
Provinsi Aceh Pada masa mendatang.
TINGKAT KESEJAHTERAAN SOSIAL Persentase penduduk miskin Perekonomian Aceh pada dasarnya memiliki basis sumber daya alam yang
kuat walaupun sebelumnya pernah mengalami konflik dan bencana tsunami.
Selama periode 2005-2007 pertumbuhan ekonomi Aceh (dengan migas)
mengalami pertumbuhan yang fluktuatif dimana tahun 2005 tumbuh negatif 10,1
% dan meningkat pada tahun 2006 menjadi 1,6 %, akan tetapi kembali mengalami
penurunan sebesar -2,21 % pada tahun 2007. Selama tiga tahun terakhir struktur
perekonomian Aceh telah berubah secara berarti, terutama dampak daripada
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Perekonomian Aceh di luar sektor minyak dan gas bumi masih bertumpu
pada pertanian. Pada tahun 2007, sektor pertanian memberi kontribusi 31,69
persen dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) nonmigas Aceh. Di
antaranya tanaman bahan makanan (food crops) masih merupakan yang paling
dominan (13,23 persen), tanaman perkebunan yang memberi kontribusi 6,42
persen dalam output regional, sektor-sektor lain (peternakan, kehutanan, dan
perikanan) mempunyai peran masing-masing di bawah 5 persen. Kendati
102
pendapatan per kapita penduduk Aceh yang berada pada tingkat Rp 11 juta dan
mendekati rata-rata nasional pada tahun 2006, namun tingkat kemiskinan di Aceh
masih tinggi.
Menurut BPS, angka kemiskinan di Aceh Tahun 2004 sebesar 28,4%,
Tahun 2006 sebesar 26,5%, dan Tahun 2008 sebesar 23,5%; sedangkan angka
kemiskinan di tingkat nasional pada tahun 2008 adalah 15,42%. Maknanya,
meskipun ada penurunan tingkat kemiskinan di Aceh setelah berbagai progam
pemberdayaan ekonomi dilakukan pasca konflik dan tsunami, namun angka
kemiskinan di Aceh hingga tahun 2008 masih lebih tinggi dan masih juah di atas
angka kemiskinan di tingkat nasional. Perubahan angka kemiskinan antara
Provinsi Aceh dan Tingkat Nasional dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perubahan angka kemiskinan antara Provinsi Aceh dan Tingkat Nasional
No Tahun Angka Kemiskinan (%)
Provinsi Aceh Tingkat Nasional
1. 2004 28,4 16.66
2. 2005
-
16.69
2 2006 28.28 17.75
4.
2007 26.65 16.58
3 2008 23.53 15.42
Sumber: Data BPS dan EKPD 2009
Tabel 3 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Provinsi Aceh masih
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka kemiskinan di tingkat nasional.
Namun demikian, angka kemiskinan menunjukkan adanya penurunan baik pada
tingkat nasional maupun di Provinsi Aceh. Di Provinsi Aceh, program Dana
Alokasi Gampong dan beberapa program lainnya telah diluncurkan dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Namun persoalan yang kemudian muncul bahwa tidak
semua program yang diluncurkan tersebut berdasarkan kebutuhan masyarakat
103
lokal. Akibatnya, berbagai bantuan yang disalurkan belum mampu memberikan
dampak yang optimal dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat.
Berkiatan dengan masih tingginya angka kemiskinan di Provinsi Aceh,
Pemerintah Aceh prioritas pembangunan Aceh untuk mempercepat pembangkitan
ekonomi masyarakat dalam mengurangi angka kemiskinan tersebut, yaitu: (1)
pemberdayaan ekonomi masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan
penanggulangan kemiskinan; (2) pembangunan dan pemeliharaan Infrastruktur
dan sumber daya energi pendukung investasi; (3) peningkatan mutu pendidikan
dan pemerataan kesempatan belajar; (4) peningkatan mutu dan pemerataan
pelayanan kesehatan; (5) pembangunan syariat islam, sosial dan budaya; (6)
penciptaan pemerintahan yang baik dan bersih serta penyehatan birokrasi
pemerintahan; dan (7) penanganan dan pengurangan resiko bencana daerah.
Relevansi Relevansi ini penting untuk melihat sejauh mana program yang dilakukan
pemerintah daerah ada hubungannya program pemerintah pusat. Merujuk data
yang telah ditampilkan sebelumnya, dilihat sudut program yang diluncurkan
sebagian besar ada relevansinya antara program pemerintah daerah dengan
pemerintah pusat dalam pengentasan kemiskinan. Salah satu kebijakan baru yang
akan dikembangkan adalah sistem perekonomian “gampong” yang akan
mengakomodasi kebutuhan modal usaha kecil dan menengah, khususnya pada
sektor pertanian melalui program “Pemakmu Gampong”. Saat ini Pemerintah
Aceh juga sedang giatnya meluncurkan dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-Mandiri) dengan alokasi dana Rp 150 juta per desa.
Tetapi dilihat dari substansi bantuan yang diberikan dalam pengentasan
kemiskinan, sebagian program dalam pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan
pemerintah belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin.
Hasil penelitian Agussabti, Indra, dan Lukman (2009) menunjukkan adanya
perbedaan penyebab kemiskinan yang dirasakan masyarakat berdasarkan tipologi
wilayah. Di wilayah desa pesisir, kemiskinan yang dirasakan masyarakat
disebabkan semakin sulitnya memperoleh ikan di dekat pantai akibat semakin
hancurnya terumbu karang sebagai sumberdaya kelautan yang dapat
104
mengundang kehadiran ikan. Hanya nelayan yang memiliki modal dan bot besar
bisa menangkap ikan lebih banyak di lautan jauh dari pantai.
Di Wilayah desa pengunungan, kemiskinan yang dirasakan masyarakat
disebabkan oleh sulitnya prasarana jalan yang tembus ke sentra produksi.
Akibatnya kurangnya tersedia prasarana jalan ke sentra produksi menyebabkan
perawatan dan hasil penen pertanian masyarakat tidak optimal. Selain itu, banyak
hasil panen masyarakat yang tidak bisa dipasarkan karena akses masyarakat
terhadap jalan sangat sulit. Akibatnya pendapatan masyarakat tetap rendah.
Di wilayah desa biasa, kemiskinan yang dirasakan masyarakat disebabkan
oleh rendahnya nilai tukar hasil pertanian masyarakat dengan bahan pangan
olahan, seperti minyak goreng, gula dan lainnya. Karenanya, meskipun hasil
panen dirasakan banyak oleh masyarakat, namun ketika dipertukarkan dengan
pangan olahan maka nilainya kecil dan tidak seimbang. Kondisi ini bisa di atasi
bila kebijakan pemerintah di arahkan pada penetapan harga pertanian yang adil
dan stabil.
Di wilayah desa kota, kemiskinan yang dirasakan masyarakat disebabkan
oleh rendahnya keterampilan yang bisa dipertukarkan. Rendahnya keterampilan
yang bisa dipertukarkan tersebut membuat mereka hanya tergantung atau
tertumpu pada satu jenis pekerjaan kasar saja, seperti buruh bangunan, buruh di
pasar dan lainnya. Akibatnya, apabila pekerjaan buruh tidak tersedia pada hari
tersebut, maka mereka menganggur dan tidak bisa bekerja lain sehingga tidak
memiliki pendapatan pada hari tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut
berarti diperlukan adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam peluncuran
program pemberdayaan masyarakat miskin pada masa mendatang. Selain itu,
hasil penelitian tadi juga menunjukkan bahwa faktor modal bukanlah faktor utama
penyebab miskin (lihat Grafik 1).
Grafik 1 menunjukkan faktor utama penyebab miskin secara berurutan
adalah (1) kurangnya usaha/kurangnya kreatif, (2) berasal dari golongan miskin
(orang miskin ada kecenderungan kawin dengan sesama miskin), (3) rendahnya
pendidikan/keterampilan, dan (5) faktor lainnya, seperti cacat, sakit, dan tua.
105
Faktor Utama Penyebab Miskin
24.6726.00
29.50
8.67
30.00
8.00
30.0033.33
7.50
33.0032.00 31.33 30.5033.00
2.000.67
2.50 3.00
23.00
11.33
0.005.00
10.0015.0020.0025.0030.0035.00
DesaPesisir
Desa Kota
DesaUpland
DesaBiasa
(Flatland)
Wilayah Penelitian
Pers
enta
se Rendah pendidikan/ketrampilanKeterbatasan M odal/LahanDari Golongan M iskinKurangusaha/kurang kreatifLainnya (cacat, sakit , tua)
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa kurang
relevansi antara bantuan yang diberikan pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dengan kemutuhan masyarakat miskin. Hal ini terindikasi dari bias
bantuan pemerintah yang cenderung hanya mengandalkan program pemberian
bantuan modal usaha tanpa adanya pedampingan yang optimal dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Padahal menurut hasil penelitian ini, hal yang paling
penting dilakukan pemerintah adalah program bantuan modal usaha yang diikuti
oleh pedampingan yang dapat mendorong kreatifitas kerja masyarakat daripada
program yang hanya sekedar pemberian modal usaha yang membuat masyarakat
semakin kurang kreatif dan tergantung pada pihak luar.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka kombinasi program yang
sebaiknya dilakukan pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah
pemberian bantuan modal usaha yang diikuti dengan: (1) pedampingan input,
menyediakan bahan baku awal yang memungkinkan mereka dapat mengem-
bangkan usahanya; (2) pedampingan proses, menyediakan keahlian/pengetahuan
dan ketrampilan yang memungkinkan mereka memiliki keahlian yang dapat
dipertukarkan dalam mengolah input menjadi output; dan (3) pedampingan output,
pada tahap awal menampung input yang dihasilkan masyarakat dan selanjutnya
106
membangun networking pasar yang memungkinkan masyarakat dapat
mengembangkan kemandiriannya.
Efektivitas Mengukur efektitas dari sebuah program pembangunan sebenarnya
haruslah dibandingkan antara target dan sasaran dengan capaian program. Ada
beberapa program pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan, seperti
bantuan modal usaha, bantuan langsung tunai (BLT), bantuan Askeskin, dan
bantuan pertanian. Oleh sebab itu, kajian tentang jumlah penerima bantuan dan
persepsi manfaat yang dirasakan masyarakat dapat menjadi indikator untuk
melihat tingkat efektifitas program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan.
Kedua indikator ini dapat dilihat berdasarkan hasil penelitian Agussabti, Indra,
dan Lukman (2009) seperti terdapat pada Tabel 4.
Tabel 4. Jenis Bantuan yang Diterima Masyarakat Miskin Selain Zakat Fitrah
Wilayah
Penelitia
n
Jenis Bantuan Selain Zakat Fitrah tidak
menerim
a
bantuan
Tota
l
Bantua
n Modal
Usaha
BL
T
Askeski
n
Bantuan
Pertania
n
LSM
(uang/barang
)
Desa
Pesisir 2 9 20 0 32 87 150
Desa
Kota 3 5 10 0 7 125 150
Desa
Upland 4 48 24 1 123 200
Desa
Biasa
(Flatland
) 1 5 10 0 0 134 150
Tabel 4 menunjukkan bahwa bantuan pemerintah yang hampir merata
diterima oleh masyarakat miskin adalah bantuan dari pemerintah pusat, yaitu
Askeskin dan BLT. Sementara bantuan dari pemerintah daerah seperti bantuan
modal usaha dan bantuan pertanian masih sedikit sekali yang menerimanya. Oleh
107
sebab itu, berdasarkan indikator ini bantuan pemerintah daerah dapat dikatakan
kurang mencapai sasaran dan belum efektif dalam pengentasan kemiskinan.
Begitupun terhadap bantuan pemerintah pusat seperti Askeskin, sebagian
besar masyarakat miskin menyatakan apabila mereka berobat dengan
menggunakan Askeskin sering obat yang diberikan tidak menyembuhkan penyakit
yang diderita, sehingga mereka menduga obat yang diberikan melalui Askeskin
kualitasnya rendah. Oleh sebab itu, jika mereka ada sedikit uang jarang
menggunakan Askeskin untuk berobat.
Begitu juga bantuan BLT, banyak masyarakat miskin menilai bantuan ini
hanya bersifat sementara dan belum dapat melepaskan kondisi dari belenggu
kemiskinan karena jumlah bantuan per Kepala Keluarga belum memadai untuk
dijadikan sebagai modal kerja. Selain itu, peluncuran modal tersebut diberikan
secara bertahap sehingga tidak bisa dimanfaatkan sebagai modal kerja.
Namun demikian, masyarakat miskin merasakan adanya manfaat bantuan
pemerintah tersebut karena dapat sedikit membantu dalam memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari yang dirasakan begitu berat menghimpitnya. Adanya manfaat
bantuan pemerintah yang dirasakan masyarakat miskin dapat dilihat pada Gambar
1.
Manfaat Bantuan Pemerintah Yang Dirasakan Masyarakat Miskin
61.33, 40%
16.67, 11%25.50, 17%
49.00, 32%
Desa Pesisir
Desa Kota
Desa Upland
Desa Biasa(Flatland)
Gambar 1. Manfaat Bantuan Pemerintah yang Dirasakan Masyarakat
Miskin
Gambar 1 menunjukkan bahwa hanya sebagian masyarakat yang
menyatakan bahwa ada manfaat dari bantuan yang diberikan pemerintah. Hal ini
dikarenakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada orang miskin kurang
mampu membangun kemandirian mereka dalam mengembangkan usaha dan
108
meningkatkan pendapatannya secara berkelanjutan. Bantuan modal usaha yang
disalurkan pemerintah daerah melalui LKM umumnya dimanfaat oleh egen di
desa, bukan masyarakat miskin, karena berbagai syarat yang diharuskan tidak
mampu dipenuhi oleh mereka yang miskin. Oleh sebab itu, berdasarkan dua
indikator dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa program pemerintah
daerah dalam pengentasan kemiskinan belum efektif.
Mengingat kondisi ekonomi masyarakat miskin di Aceh masih ditandai
dengan kegiatan-kegiatan ekonomi primer berbasis sumberdaya alam, maka
strategi pengentasan kemiskinan harus memberi manfaat ekonomi yang mampu
meningkatnya pendapatan dan menciptakan kesempatan kerja di kalangan
masyarakat miskin. Sesuai dengan penyebab utama kemiskinan yang dirasakan
masyarakat Aceh berdasarkan kejian penelitian yang telah dipaparkan
sebelumnya, yakni kurangnya usaha/kurangnya kreatif dan rendahnya
pendidikan/keterampilan, maka ada 2 strategi yang harus dilakukan dalam upaya
pengentasan kemiskinan, yaitu strategi umum dan strategi khusus.
Strategi umum dalam pengentasan kemiskinan dapat ditempuh dalam
bentuk kebijakan berupa: (1) membangun infrastruktur perdesaan (jalan ke sentra
produksi) di wilayah penelitian, terutama di wilayah upland, untuk menyokong
pertumbuhan ekonomi, (2) menyediakan fasilitas umum (pendidikan, kesehatan,
listrik, air bersih, dan irigasi) yang tidak saja memberikan pelayanan pada
masyarakat miskin, tapi juga sekaligus mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi.
Strategi khusus dalam pengentasan kemiskinan dapat ditempuh: (1)
memberikan modal usaha dengan sasaran khusus untuk kaum perempuan dalam
kegiatan ekonomi melalui program “home industri” berbasis bahan baku pertanian
dan perikanan. Program ini harus diikuti dengan pedampingan input, proses dan
output. Melalui peningkatan peran perempuan dalam perekonomian maka
penghidupan keluarga miskin diharapkan menjadi lebih sejahtera, khususnya
pada rumahtangga yang kepala keluarganya janda; dan (2) pemberian bantuan
modal usaha dengan sasaran khusus untuk rumah tangga miskin yang diikuti
dengan: (a) pedampingan input, menyediakan bahan baku awal yang
memungkinkan mereka dapat mengem-bangkan usahanya; (b) pedampingan
proses, menyediakan keahlian/pengetahuan dan ketrampilan yang memungkinkan
mereka memiliki keahlian yang dapat dipertukarkan dalam mengolah input
109
menjadi output; dan (c) pedampingan output, pada tahap awal menampung input
yang dihasilkan masyarakat dan selanjutnya membangun networking pasar yang
memungkinkan masyarakat dapat mengembangkan usahanya secara mandiri.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Aron, Janine, 2000. “Growth and Institutions : A Review of the Evidence”, The
World Bank Research Observer, Volume 15 Number 1. February 2000, p.99 – 136.
Asia Foundation (2007): Aceh Programs. Asia Foundation Jakarta. Armstrong, Harvey and Taylor, Jim. 2005. Regional Economics and Policy, Third
Edition. Blackwell Publishing,
Bappenas, 2006. Berjuang Membangun Kembali Indonesia, Laporan Kinerja Dua Tahun SBY – JK. Kementrian Negara PPN / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
------------, 2006. Pembangunan Daerah Dalam Angka, Deputi Bidang
Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementrian Negara PPN / Bappenas, Jakarta.
BPS. 2006. PDRB Propinsi-Propinsi di Indonesia menurut Lapangan Usaha,
Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia
Badan Pusat Statistik (edisi beberapa tahun): Survei Usaha Terintegrasi: Profil Usaha Kecil dan menengah tidak berbadan hukum, Badan Pusat Statistik, Jakarta - Indonesia.
Bank Indonesia (2006): Kajian ekonomi regional provinsi NAD:kajian triwulan,
triwulan II-2007, Kantor Bank Indonesia Banda Aceh. BRR (2007): Report to CFAN stakeholders on BRR economic development and
livelihood activities in Aceh-Nias. Barenz. Eberhard Peter (2006): Local economic development and microfinance in
NAD: BDS component Strategy Report.
Deliarnov, 2006. Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga, Jl. H. Bapping Raya No. 100, Ciracas (anggota IKAPI), Jakarta.
Kiryanto (2007): Urgensi Redefinisi Sektor UMKM, Koran harian Suara Merdeka.
Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia Menuju Negara Industri Baru 2030 ?, Penerbit ANDI Yogyakarta.
Republik Indonesia, 2006. Buku Pegangan 2006 Penyelenggaraan Pemerintahan
dan Pembangunan Daerah..
Republik Indonesia (1995): Undang-undang No.19 tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Republik Indonesia (2005): Peraturan pemerintah No.7 tahun 2005 tentang
Rencana pembangunan jangka menengah tahun 2004-2009. Serambi Indonesia (2007), Razia senjata berlanjut: 105 Senpi, 6 bahan peledak,
518 amunisi diamankan, Koran harian, edisi tanggal 8 November 2007.
The World Bank 2006. Aceh Public Expenditure Analysis, Spending for Reconstruction and Poverty Redction,The World Bank Office Jakarta,
------------, 2006. Making The New Indonesia Work for The Poor, The World Bank
Office Jakarta.
------------, 2007 a. Spending for Development : Making the Most of Indonesia’s New Opportunities, Indonesia Public Expenditure Review 2007. The World Bank Office Jakarta.
------------, 2007 b. 2007. Pengelolaan Keuangan Publik di Aceh, Mengukur kinerja
Pemerintah Daerah di Aceh. The World Bank Office Jakarta. Van Den Berg, Hendrik 2005. Economic Growth and Development, An Analysis of
Our Greatest Economic Achievements and Our Most Exciting Challenges, Mc – Graw – Hilll, Irwin, Singapure, Sydney, Toronto.
World Bank (2006.a): Making the new Indonesia work for the poor, The World
Bank Office Jakarta. World Bank (2006.b): Aceh public expenditure analysis: spending for
reconstruction and poverty reduction, The World Bank Office Jakarta. World Bank (2006.c): Aceh village survey 2006: an evaluation of infrastrucre and
sosial conditions in villages, The World Bank Office Jakarta.