laporan akhir -...

115
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1 LAPORAN AKHIR Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufaktur Studi Kasus Industri Kimia, Tekstil dan Produk Tekstil, dan Elektronik Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia Tahun 2016

Upload: vuphuc

Post on 21-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1

LAPORAN AKHIR

Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung

Industri Manufaktur

Studi Kasus Industri Kimia, Tekstil dan Produk Tekstil, dan

Elektronik

Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri

Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Kementerian Perdagangan

Republik Indonesia

Tahun 2016

Page 2: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan i

KATA PENGANTAR

Perkembangan impor Indonesia selama lima tahun terakhir (2010-2014 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 6,10%. Nilai impor Indonesia pada tahun 2010 sebesar USD 135,66 miliar, terus naik sejak tahun 2011 hingga mengalami puncaknya pada tahun 2012 yang menjadikan nilai impor pada tahun tersebut adalah yang tertinggi sepanjang lima tahun terakhir sebesar USD 191,69 miliar. Dari impor Indonesia tersebut, mayoritas impor adalah berupa Bahan Baku/Penolong dengan rata-rata pangsa impor sebesar 74,44% per tahunnya dan trend pertumbuhan impor sebesar 7,51%.

Kinerja impor bahan baku/penolong yang terus meningkattidak diiringi oleh peningkatan pertumbuhan industri manufaktur dan kontribusi industri manufaktur dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun terdapat kenaikan dalam pertumbuhan industri manufaktur Indonesia, namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hingga pada tahun 2014 hanya berkisar 25,5% (BPS, 2015). Beberapa industri seperti industri Tekstil dan Pakaian Jadi, industri Makanan dan Minuman, dan industri Alat Angkutan menunjukkan perlambatan pada Semester I 2015.

Hasil studi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2015) menemukan terdapat 79 peraturan impor yang mengatur 11.534 jenis barang dengan banyaknya identitas sebagai pelaku impor dan beragam perizinan, rekomendasi, pemeriksaan, dan persyaratan dokumen yang diwajibkan untuk melakukan importasi. Hal tersebut membuat dunia usaha dan industri nasional tidak optimal dalam memproduksi barang-barang yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan berdaya saing di pasar ekspor. Banyaknya pengaturan terhadap importasi bahan baku/ penolong disinyalir oleh para pelaku usaha menyebabkan industri manufaktur, yang sebagian bahan bakunya dipenuhi dari impor, produknya kurang berdaya saing (Kompas, 21 Oktober 2015). Terlebih lagi adanya anggapan bahwa kebijakan impor lebih longgar dan liberal terhadap produk jadi.

Oleh sebab itu, Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri menyusun Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufaktur. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam upaya mengidentifikasi peran kebijakan impor bahan baku/ penolong dalam mendukung kesinambungan ketersediaan bahan baku/ penolong bagi kebutuhan industry manufaktur di Indonesia.

Akhirnya, kami menyadari bahwa laporan hasil kajian Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufakturini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak atas segala masukan dan sarannya demi kesempurnaan laporan ini.

Jakarta, September 2016

Pusat Pengkajian

Perdagangan Luar Negeri

Page 3: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ii

ABSTRAK

Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri

Manufaktur

Kajian ini bertujuan untuk : a. Mengidentifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik; dan b. Menganalisis pengaruh kebijakan impor tarif dan non tarif bahan baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik. Kajian ini menggunakan metode berupa survei dan Focus Group Discussion (FGD) serta regresi. Peran kebijakan impor terhadap kinerja masing-masing industri sangat bervariasi. Pada industri kimia, kebijakan tarif bea masuk berpengaruh signifikan pada kinerja Industri, sementara kebijakan non tarif tidak signifikan. Sedangkan pada industri tekstil, kebijakan tarif dan non tarif berpengaruh signifikan pada kinerja industri. Sementara itu, pada industri elektronik, kebijakan non tarif berpengaruh signifikan pada kinerja industri, sementara kebijakan tarif tidak signifikan. Secara umum, pemerintah diharapkan memberi dukungan positif pada peningkatan kinerja industri kimia, TPT dan elektronik mengingat ketiga industri tersebut mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Disisi makro, untuk mendorong kinerja industri kimia, TPT dan elektronik, maka pemerintah diharapkan dapat mendorong peningkatan output sektoral (PDB sektoral). Kata kunci : kebijakan impor, bahan baku/penolong, industri manufaktur

Page 4: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iii

ABSTRACT

Import Policy Contribution to Support the Manufacturing Industry

This study aims to: a. Identifying the policy of import tariff and non tariff governing raw / intermediate goods for the Chemical, Textile and Electronics industry; and b. Analyzing the effect of policy tariff and non tariff import of raw / intermediate goods on the performance of Chemical, Textile and Electronics industry. This study uses methods such as surveys, Focus Group Discussion (FGD), and regression. The contribution of Import policy on the performance of the industry is vary widely, where on the chemical industry, policy tariffs have a significant effect on the industry's performance. Meanwhile, non-tariff policy does not have a significant impact. In the textile industry, tariff and non tariff policies have a significant effect on the performance of the industry. In the electronics industry, non-tariff policies have a significant effect on the performance of the industry, while the tariff policy does not have a significant impact. In general, the government is expected to give positive support to the improvement of the performance of the chemical industry, textile and electronics. That is because the three industries is able to absorb a large enough labor. On the macro side, to encourage the performance of the chemical industry, textile and electronics, the government is expected to boost sector output (GDP sectoral) Keywords: import policy, raw/ intermediate goods, the manufacturing industry

Page 5: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

ABSTRAK ................................................................................................... ii

ABSTRACT ................................................................................................ iii

DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vii

BAB I .......................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 4

1.3. Tujuan ........................................................................................... 5

1.4. Output ........................................................................................... 5

1.5. Dampak/Manfaat .......................................................................... 5

1.6. Ruang Lingkup .............................................................................. 5

1.7. Sistematika Laporan ..................................................................... 6

BAB II ......................................................................................................... 8

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .............................. 8

2.1. Teori Perdagangan Internasional .................................................. 8

2.2. Konsep Impor ............................................................................. 15

2.3. Hambatan Perdagangan Internasional ....................................... 17

2.4. Teori Produktivitas dan Total Factor Productivity ........................ 26

2.5. Kajian Sebelumnya ..................................................................... 29

2.6. Kerangka Pemikiran ................................................................... 35

BAB III ...................................................................................................... 37

METODOLOGI PENGKAJIAN ................................................................. 37

3.1. Metode Analisis .......................................................................... 37

3.2. Model Ekonometrik ..................................................................... 38

3.3. Metode Estimasi ......................................................................... 41

3.4. Ruang Lingkup Analisis .............................................................. 43

3.5. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 46

Page 6: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan v

BAB IV ..................................................................................................... 47

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 47

4.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong ............................ 47

4.1.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong Nasional ...... 47

4.1.2. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong untuk Industri

Kimia, TPT dan, Elektronika .............................................................. 50

4.2. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan

Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik .......................... 54

4.2.1. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif Bahan Baku/Penolong

Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ................................................ 54

4.2.2. Identifikasi Kebijakan Impor Non Tarif Bahan Baku/Penolong

Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ................................................ 55

4.3. Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik .... 63

4.4. Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non Tarif

Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia, Tekstil, dan

Elektronik .............................................................................................. 64

4.4.1. Analisa Deskriptif.................................................................. 64

4.4.2. Hasil Regresi ........................................................................ 75

4.5. Hasil Temuan Lapang ................................................................. 88

BAB V ...................................................................................................... 92

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ................................. 92

5.1. Kesimpulan ................................................................................. 92

5.2. Rekomendasi Kebijakan ............................................................. 92

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 94

Page 7: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Kinerja Beberapa Industri Tahun 2010 dan Ekspor 2015 04

Tabel 4.1. Jenis Impor Menurut Penggunaan, 2004-2014 48

Tabel 4.2. Nilai Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun

Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 49

Tabel 4.3. Volume Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun

Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 50

Tabel 4.4. Jumlah Pos Tarif dan Pos Tarif yang Terkena Hambatan

Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk 56

Tabel 4.5. Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok

Produk 57

Tabel 4.6. Regulasi yang Berlaku Saat Ini Untuk Produk Kimia, TPT,

dan Elektronik 61

Tabel 4.7. Analisis Deskriptif Industri Kimia 64

Tabel 4.8. Analisis Deskriptif Industri TPT 68

Tabel 4.9. Analisis Deskriptif Industri Elektronik 72

Tabel 4.10. Hasil regresi model impor dan output Industri Kimia 76

Tabel 4.11. Rata-rata Produktivitas (TFP) sektor Industri Kimia 77

Tabel 4.12. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub

sektor industri Kimia (2000-2013) 78

Tabel 4.13. Model Impor dan Model Output industri TP 80

Tabel 4.14. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri TPT 81

Tabel 4.15. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub

sektor industri TPT (2000-2013) 82

Tabel 4.16. Model Impor dan Model Output di industri Elektronik 84

Tabel 4.17. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri Elektronik 85

Tabel 4.18. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub

sektor Elektronik TPT (2000-2013) 86

Page 8: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional 09

Gambar 2.2. Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari

Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil 19

Gambar 2.3. Dampak Pemberlakuan Tarif Berdasarkan

Keseimbangan Parsial 23

Gambar 2.4. Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap

kesejahteraan 24

Gambar 2.5. Kerangka Pikir Kajian 36

Gambar 3.1. Alur Kerja Pemodelan

Gambar 4.1. Nilai bahan baku impor yang digunakan pada Industri

Kimia, TPT, dan Elektronik 51

Gambar 4.2. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

industri Kimia, TPT, dan Elektronik 51

Gambar 4.3. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

beberapa jenis industri Kimia 52

Gambar 4.4. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

beberapa jenis industri TPT 53

Gambar 4.5. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

beberapa jenis industri Elektronik 54

Gambar 4.6. Rata-rata tarif bea masuk produk TPT, Kimia, dan

Elektronik 55

Gambar 4.7. Persentase Hambatan Non Tarif Indonesia

Berdasarkan Kelompok Produk 57

Gambar 4.8. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Kimia menurut

KBLI 5 digit 59

Gambar 4.9. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri TPT menurut

KBLI 5 digit 60

Gambar 4.10. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Elektronik

menurut KBLI 5 digit 60

Page 9: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan viii

Gambar 4.11. Perkembangan kinerja Output Industri Kimia, TPT,dan

Elektronik 63

Gambar 4.12. Perkembangan PDB Industri Kimia , 2000-2013 (Rp.

Miliar) 64

Gambar

4.13.

Perkembangan Nilai tukar , 2000-2013

65

Gambar 4.14. Rata-rata Tarif (MFN) Industri Kimia, 2000-2013 66

Gambar 4.15. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada

Industri Kimia, 2000-2013 66

Gambar 4.16. Rata-rata Output, Impor, Kapital dan Tenaga kerja per

tahun pada Industri Kimia, 2000-2013 67

Gambar 4.17. Perkembangan PDB sektoral TPT, 2000-2013 (harga

Berlaku, Rp. Miliar) 68

Gambar 4.18. Rata-rata tarif per tahun Industri TPT, 2000-2013 69

Gambar 4.19. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada

Industri TPT, 2000-2013 70

Gambar 4.20. Rata-rata Nilai Output, Kapital dan Impor bahan baku

industri TPT, 2000-2010 70

Gambar

4.21.

Rata-rata Jumlah tenaga kerja industri TPT, 2000-2013

71

Gambar 4.22. Perkembangan PDB subsektor elektronik 2000-2013

(harga berlaku, Rp. Milliar) 72

Gambar 4.23. Rata-rata nilai tarif per tahun pada Industri Elektronik,

2000-2013 73

Gambar 4.24. Jumlah Kebijakan non tarif Sektor Elektronik 74

Gambar 4.25. Rata-rata nilai output dan bahan baku impor pada

industri Elektronik, 2000-2010 74

Gambar 4.26. Rata-rata nilai kapital per tahun pada Industri

Elektronik, 2000-2013 75

Gambar 4.27. Rata-Rata Produktivitas Sektor Kimia 78

Page 10: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ix

Gambar 4.28. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri TPT 82

Gambar 4.29. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri Elektronik 86

Page 11: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Selama lima tahun terakhir (2010-2014) impor Indonesia

cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan per

tahunnya sebesar 6,10%. Nilai impor Indonesia pada tahun 2010

sebesar USD 135,66 miliar, terus naik sejak tahun 2011 hingga

mengalami puncaknya pada tahun 2012 yang menjadikan nilai impor

pada tahun tersebut adalah yang tertinggi sepanjang lima tahun

terakhir sebesar USD 191,69 miliar (Badan Pusat Statistik Indonesia,

2015). Pasca mengalami nilai impor tertinggi pada tahun 2012, impor

Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2013. Impor Indonesia

dari awal tahun sampai dengan bulan Oktober 2015 menurun sebesar

20,44% dari periode Januari-Oktober 2014 hingga nilai impornya

mencapai USD 119,10 miliar (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2015).

Dari impor Indonesia tersebut, mayoritas impor adalah berupa

Bahan Baku/Penolong dengan rata-rata pangsa impor sebesar

74,44% per tahunnya dan trend pertumbuhan impor sebesar 7,51%.

Impor Bahan Baku/Penolong Indonesia pada periode Januari-Oktober

2015 senilai USD 89,83 miliar atau sebesar 76,44% dari impor

Indonesia. Sementara itu, impor Barang Modal Indonesia pada

periode yang sama mencapai USD 20,46 miliar (16,45%) dan Barang

Konsumsi yang diimpor sebesar USD 10,50 miliar (7,11%). Hal ini

menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat

tinggi terhadap pasokan Bahan Baku/Penolong.

Kinerja impor bahan baku/penolong yang terus meningkat, di sisi

yang lain tidak dibarengi oleh peningkatan pertumbuhan industri

manufaktur dan kontribusi industri manufaktur dalam pembentukan

Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun terdapat kenaikan dalam

pertumbuhan industri manufaktur Indonesia, porsi industri manufaktur

Page 12: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 2

terhadap PDB cenderung menurun hingga pada tahun 2014 hanya

berkisar 25,5% (BPS, 2015). Beberapa industri seperti industri Tekstil

dan Pakaian Jadi, industri Makanan dan Minuman, dan industri Alat

Angkutan menunjukkan perlambatan pada Semester I 2015.

Hasil studi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

(2015) menemukan terdapat 79 peraturan impor yang mengatur

11.534 jenis barang dengan banyaknya identitas sebagai pelaku impor

dan beragam perizinan, rekomendasi, pemeriksaan, dan persyaratan

dokumen yang diwajibkan untuk melakukan kegiatan impor yang

membuat dunia usaha dan industri nasional tidak optimal dalam

memproduksi barang-barang yang dapat memenuhi kebutuhan

konsumsi masyarakat dan barang-barang yang berdaya saing di pasar

ekspor. Banyaknya pengaturan terhadap importasi bahan baku/

penolong disinyalir oleh para pelaku usaha menyebabkan industri

manufaktur, yang sebagian bahan bakunya dipenuhi dari impor,

produknya kurang berdaya saing (Kompas, 21 Oktober 2015).

Terlebih lagi adanya anggapan bahwa kebijakan impor lebih longgar

dan liberal terhadap produk jadi.

Mengacu pada hal tersebut, kebijakan impor yang berkembang

saat ini mempunyai peran terhadap fenomena dinamika kinerja

industri manufaktur yang secara tidak langsung juga akan

mempengaruhi kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Premis ini

menjadi penting untuk dilihat kembali mengingat mayoritas industri

manufaktur di Indonesia menggunakan input bahan baku/ penolong

berasal dari impor.

Dugaan diatas dilandasi oleh studi Amiti dan Konings (2007) dan

Ing dan Putra (2015), dengan menggunakan studi kasus perusahaan

di Indonesia, yang menunjukkan produktivitas industri meningkat

seiring liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif terhadap

bahan baku penolong. Dengan metode yang sedikit berbeda,

beberapa studi yang juga menunjukkan bahwa penurunan tarif impor

Page 13: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 3

dapat mempengaruhi kinerja industri adalah Kasahara dan Rodrigue,

2008; Halpern, Koren dan Szeidl, 2011; Bas dan Strauss-Khan, 2011).

Demikian pula terdapat juga studi yang mempelajari perubahan kinerja

industri sebagai imbas adanya reformasi kebijakan perdagangan

(Schor, 2004; Goldberg, Khandelwal, Pavcnik dan Topalova, 2010;

Khandelwal dan Topolova, 2011). Namun demikian, faktor terkait

kebjakan non tarif belum dipelajari dalam studi – studi tersebut di atas.

Terkait dengan paket kebijakan pemerintah yang bergulir saat ini,

tentunya kajian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai

salah satu kontribusi perubahan kebijakan impor tarif maupun non tarif

yang akan mendorong kinerja industri manufaktur yang selanjutnya

akan mendorong kinerja ekspor non migas dan tentunya berpengaruh

dalam perkembangan pertumbuhan ekonomi.

Terkait dengan berbagai perkembangan di atas, maka dinilai

perlu untuk melakukan kajian tentang kinerja industri dan

perdagangan beberapa produk. Adapun kriteria pemilihan produk

yang akan dijadikan obyek

kajian antara lain adalah sumbangannya terhadap

industri/perdagangan relatif besar; industrinya sedang

berkembang/bertumbuh; industrinya padat karya/menyerap banyak

tenaga kerja; import contentnya masih relatif tinggi; menghasilkan nilai

tambah yang cukup tinggi serta ekspornya sedang

berkembang/bertumbuh. Berdasarkan kriteria tersebut, maka

beberapa industri yang terpilih adalah industri Tekstil dan Produk

Tekstil (TPT), Industri Kimia dan Industri Elektronika.

Selama tahun 2010 jumlah industri TPT di dalam negeri yang

meliputi industri Pakaian Jadi, Serat dan Benang serta Kain mencapai

441 unit usaha dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 1,0 juta

orang. Industri ini menghasilkan nilai tambah sebesar Rp. 70,6 triliun.

Sementera itu nilai ekspor TPT pada tahun 2015 (Januari-Nopember)

mencapai US$ 11,2 milyar. Untuk industri kimia yang antara lain

Page 14: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 4

meliputi Industri Kimia Dasar, Industri Kimia Organik, dan Industri

Pupuk, saat ini terdapat sebanyak 333 unit usaha dengan penyerapan

tenaga kerja mencapai 47,2 ribu orang. Nilai ekspor produk kimia

sepanjang tahun 2015 (Januari-Nopember) sebesar US$ 2,4 milyar

dimana untuk Kimia Anorganik mengalami peningkatan 18,9%

dibanding periode yang sama tahun 2014, sedangkan industri Kimia

Organik menurun 32,3%. Sementara itu, untuk industri elektronika

pada tahun 2010 terdapat 605 unit usaha dengan penyerapan tenaga

kerja sebanyak 248,9 ribu dan menghasilkan nilai tambah sebesar

Rp. 51,3 triliun. Adapun nilai ekspor yang terdiri dari Produk

Konsumsi, Elektronik Bisnis/Industri, Komponen dan Bagian serta Alat

Cetak Elektronik pada tahun 2015 (Januari-Nopember) mencapai

US$ 7,6 milyar.

Tabel 1.1. Kinerja Beberapa Industri Tahun 2010 dan Ekspor 2015

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,

maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam kajian ini adalah

sebagai berikut:

a. Apa saja kebijakan impor yang mengatur bahan baku/penolong

untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik?

b. Bagaimana peran kebijakan impor bahan baku/penolong terhadap

kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik?

Nilai Tambah Bruto Nilai Ekspor 2015 (Jan-Nop)

(Ribuan Rp) (US$ Ribu)

TPT 4.549 1.006.728 70.629.832.179 11.186.312,1

KIMIA 333 47.245 34.400.842.427 1.988.157,2

ELEKTRONIKA 605 248.933 51.348.493.047 7.623.651.9

Sumber : Kemenperin, dan BPS 1

Jenis IndustriUnit

Usaha

Tenaga

Kerja

Page 15: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 5

1.3. Tujuan

Tujuan kajian ini secara rinci adalah sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur

bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik

b. Menganalisis pengaruh kebijakan impor tarif dan non tarif bahan

baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan

Elektronik

1.4. Output

Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan output sebagai berikut:

a. Identifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan

baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik

b. Analisis peran kebijakan impor tarif dan non tarif bahan

baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan

Elektronik

1.5. Dampak/Manfaat

Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dalam

penyusunan kebijakan impor bahan baku/penolong, dalam rangka

mendukung ketersediaan pasokan bahan baku/penolong dan kinerja

industri Kimia, Tekstil dan Elektronik.

1.6. Ruang Lingkup

Kajian ini hanya akan mengkaji 3 (tiga) industri manufaktur yaitu

industri kimia, tekstil dan elektronika (KLBI 5 digit) berdasarkan kriteria

sebagai berikut:

a. Nilai dan trend nilai impor bahan baku/ penolong yang tinggi

b. Rasio bahan baku/ penolong impor terhadap total penggunaan

bahan baku tinggi

Page 16: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 6

c. Industri manufaktur yang menjadi prioritas dalam pengembangan

industri berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Industri

Nasional (RIPIN) 2015-2019

d. Memiliki kebijakan impor berupa tarif dan/atau non tarif

e. Memiliki kebijakan impor yang belum termasuk ke dalam Paket

Deregulasi Bidang Perdagangan

f. Memiliki tarif bea masuk di atas 0%

1.7. Sistematika Laporan

Laporan ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan isi masing-masing bab

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Kajian

1.4 Output Kajian

1.5 Dampak/ Manfaat Kajian

1.6 Ruang Lingkup Kajian

1.7 Sistematika Laporan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Teori Perdagangan Internasional

2.2 Konsep Impor

2.3 Hambatan Perdagangan Internasional

2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif

2.3.2 Hambatan Perdagangan Non Tarif

2.4 Kajian Sebelumnya

2.4.1 Kajian Permintaan Impor Bahan Baku/ Penolong

2.4.2 Kajian tentang Peran Kebijakan Impor terhadap Total

Faktor Produktivitas (TFP)

2.5 Kerangka Pemikiran

BAB III METODE PENGKAJIAN

3.1 Metode Analisis

Page 17: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 7

3.1.1. Model Ekonometrik Peran Kebijakan Impor terhadap

Permintaan Impor Bahan Baku/Penolong dan Kinerja

Industri Manufaktur

3.1.2. Pengukuran Produktivitas Industri Manufaktur

3.2 Jenis dan Sumber Data

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong

4.2 Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan

Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik

4.3 Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik

4.4 Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non

Tarif Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia,

Tekstil, dan Elektronik

4.5 Hasil Temuan Lapang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan

5.2. Rekomendasi Kebijakan

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 18: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai transaksi

dagang barang dan jasa antara subjek ekonomi satu negara dengan

subjek ekonomi negara lain. Subjek ekonomi yang dimaksud adalah

penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor,

perusahaan impor, perusahaan industri ataupun perusahaan negara.

Perdagangan internasional sendiri terjadi akibat adanya perbedaan

potensi sumber daya alam, sumber daya modal, sumber daya

manusia dan kemajuan teknologi antar negara (Halwani & Hendra,

2005).

Beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan

internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan

penawaran antar negara (Salvatore, 1997). Perbedaan ini terjadi

karena 1) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan

komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara

tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan

buminya dan 2) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam

menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Hal yang

sama dikemukakan juga oleh Krugman dan Obstfeld (2003) mengenai

dua alasan utama setiap negara melakukan perdagangan

internasional. Dalam dunia nyata, adanya interaksi yang terus-

menerus dari kedua motif dasar di atas tercermin dalam pola-pola

perdagangan internasional.

Page 19: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 9

Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional

Sumber : Salvatore (1997)

Menurut Krugman dan Obstfeld (2003), perdagangan

internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan

setiap negara memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan

komparatifnya. Sementara, Sadono Sukirno berpendapat bahwa

manfaat-manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut:

a. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri.

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil

produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya

adalah kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan teknologi dan

lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap

negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.

b. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan

perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan

yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat

memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang

diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila

negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.

c. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para

pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya)

Page 20: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 10

dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan

produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka.

Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat

menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual

kelebihan produk tersebut keluar negeri.

d. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri

memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi

yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern

Secara historis, teori-teori berkenaan dengan konsep-konsep

perdagangan internasional atau aktivitas ekspor dan impor antar

wilayah/negara dimulai dari teori keunggulan absolut dan keunggulan

komparatif. Teori keunggulan absolut yang diperkenalkan oleh Adam

Smith dinyatakan bahwa perdagangan didasarkan kepada

keunggulan absolut (absolute advantage), yaitu jika sebuah negara

lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah

komoditi, namun kurang efisien dibanding negara lain dalam

memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat

memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan

spesialisasi dan memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan

absolut dan menukarkan dengan komoditi lain yang memiliki kerugian

absolut. Menurut Adam Smith suatu negara akan mengekspor barang

tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan

biaya yang secara mutlak lebih murah dari pada negara lain, yaitu

karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut.

Adapun keunggulan mutlak menurut Adam Smith merupakan

kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu barang dan jasa

per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit

dibanding kemampuan negara-negara lain. Melalui proses ini, sumber

daya di kedua negara dapat digunakan dengan cara yang paling

efisien. Output yang diproduksi pun akan meningkat.

Teori perdagangan komparatif yang diperkenalkan David Ricardo

tahun 1817 menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien

Page 21: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 11

dibanding (atau memiliki kerugian absolut) dengan negara lain dalam

memproduksi dua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk

dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah

pihak. Dengan teori keunggulan komparatif, masing-masing negara

akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan antar

negara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat

dengan spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi,

maka akan terjadi pembagian kerja internasional yang makin efisien,

realokasi faktor-faktor produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di

dalam negeri yang pada akhirnya mendorong terjadinya persaingan di

pasar faktor produksi. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan

absolut, perdagangan akan tetap menguntungkan bagi kedua negara.

Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat

menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena

pertukaran di mana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori

absolute advantage (Salvatore, 1997).

John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan

komparatif dengan menyatakan bahwa suatu negara akan

menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki

keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor barang yang memiliki

ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang dapat dihasilkan

dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan

sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar

tukar perdagangan internasional yang sebenarnya ditentukan oleh

permintaan timbal balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu

negara cukup untuk membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini,

nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang

dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut sedangkan dasar nilai

pertukaran ditentukan dengan batas-batas nilai tukar masing-masing

barang di dalam negeri (Masngudi, 2006).

Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan

bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan

Page 22: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 12

bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari

perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar

internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam

menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan

maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa,

transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja.

Teori perdagangan lainnya adalah konsep proporsi faktor

produksi atau dikenalkan dengan Teori Heckscher-Ohlin. Intisari dari

teorema Hecksher-Ohlin (H-O) adalah sebuah negara akan

mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor

produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam

waktu bersamaan ia akan mengimpor komoditi yang produksinya

memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu.

Intisari dari teori Hecksher-Ohlin adalah mengupas dan

memprediksikan pola perdagangan, dan teori penyamaan harga faktor

(factor-price equalization theorem) yang mengupas dampak-dampak

yang ditimbulkan oleh perdagangan internasional (ekspor-impor)

terhadap harga faktor produksi di negara yang terlibat.

Teorema penyamaan harga faktor (teorema Heckscher-Ohlin-

Samuelson) sebagai berikut: Perdagangan internasional akan

mendorong terjadinya penyamaan harga-harga faktor, baik secara

relatif maupun secara absolut, di antara negara-negara yang terlibat

di dalamnya. Perdagangan internasional dapat berfungsi sebagai

pengganti atau substitusi bagi mobilitas faktor internasional. Ada tiga

asumsi penting dalam memprediksi penyamaan harga-harga faktor

yang sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang ada. Ketiga asumsi

itu adalah 1) kedua negara memproduksi selalu kedua jenis barang

sekaligus; 2) adanya kesamaan dalam teknologi; dan 3) hubungan

perdagangan benar-benar menyamakan harga-harga barang di kedua

negara.

Page 23: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 13

Perdagangan antar negara cenderung meningkatkan harga

faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di suatu negara dan

dalam waktu yang bersamaan akan menurunkan harga faktor produksi

yang relatif langka dan mahal. Seluruh faktor produksi tenaga kerja

dan modal diasumsikan telah terdayaguna secara penuh (full

employment) sebelum maupun sesudah perdagangan,maka

pendapatan rill tenaga kerja dan suku bunga rill bagi para pemilik

modal akan bergerak ke arah yang dituju oleh pergerakan harga-harga

faktor produksi itu sendiri. Teori Hecksher-Ohlin memberikan konklusi

bahwa perdagangan cenderung memperbesar tingkat pendapatan

atau tingkat upah para pekerja dan menurunkan suku bunga rill modal

di negara yang kaya tenaga kerja dan yang mengalami kelangkaan

modal. Perdagangan (ekspor dan impor) akan memberikan

keuntungan bagi negara-negara yang melakukannya.

Namun demikian, dalam perkembangannya teori Heckscher-

Ohlin (Teori H-O) mengalami pertentangan. Alasan utamanya adalah

adanya ketidaksesuaian antara teori Heckscher-Ohlin-Samuelson

dengan kondisi nyata, yaitu: asumsi-asumsi yang digunakan dalam

teori tersebut terlampau restriktif dan cenderung menyederhanakan

kenyataan-kenyataan yang ada. Sebagai contoh, tingkat teknologi

setiap negara tidak sama, sedangkan biaya-biaya dan hambatan

perdagangan diabaikan yang dalam prakteknya merupakan ganjalan

utama bagi berlangsungnya perdagangan internasional sehingga

proses penyamaan harga-harga relatif komoditi tidak pernah berjalan

sempurna.

Keunggulan suatu negara di dalam persaingan global selain

ditentukan oleh keunggulan komparatif (teori-teori klasik dan H-O)

yang dimilikinya juga karena adanya produksi atau bantuan fasilitas

dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan

kompetitifnya. Keunggulan ini sifatnya lebih dinamis dengan

perubahan-perubahan, misalnya teknologi dan SDM yang sangat

Page 24: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 14

cepat. Hal ini mendorong suatu konsep baru mengenai perdagangan

internasional, yaitu teori keunggulan kompetitif.

Menurut Porter (1990), keunggulan persaingan suatu negara

tidak berkorelasi langsung antara dua faktor produksi (sumber daya

alam yang tinggi dan sumber daya manusia yang murah) yang dimiliki

suatu negara untuk dimanfaatkan menjadi daya saing dalam

perdagangan. Banyak negara di dunia ini yang jumlah tenaga kerjanya

sangat besar secara proporsional dengan luar negeri tetapi

terbelakang dalam daya saing internasional. Begitu juga tingkat upah

yang relatif murah daripada negara lainnya, begitu pula berkorelasi

erat dengan rendahnya motivasi bekerja keras dan berprestasi. Porter

menyebutkan bahwa peranan pemerintah sangat mendukung selain

faktor produksi. Porter mengungkapkan ada empat atribut utama yang

menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat

mencapai sukses internasional, keempat atribut itu adalah kondisi

faktor produksi, kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri,

eksistensi industri pendukung, dan kondisi persaingan strategi dan

struktur perusahaan dalam negeri.

Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya

didukung oleh kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu

dalam negeri yang tinggi, industri hulu atau hilir yang maju dan

persaingan domestik yang ketat. Keunggulan kompetitif yang hanya

didukung oleh 1/2 atribut saja biasanya tidak akan dapat bertahan,

sebab keempat atribut saling berinteraksi positif dalam negara yang

sukses. Di samping keempat atribut di atas, peran pemerintah juga

merupakan variabel yang cukup signifikan

Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan

bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan

bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari

perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar

internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam

Page 25: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 15

menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan

maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa,

transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja. Terdapat

beberapa faktor yang menjadi pendorong semua negara di dunia

untuk melakukan perdagangan luar negeri. Menurut Sukirno (2004),

dari faktor-faktor tersebut yang terpenting adalah: 1) memperoleh

barang yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri; 2) mengimpor

teknologi yang lebih modern dari negara lain; 3) memperluas pasar

produk-produk dalam negeri; dan 4) memperoleh keuntungan dari

spesialisasi.

Di sisi lain, perdagangan internasional juga dapat menimbulkan

tantangan dan kendala yang banyak dihadapi oleh negara-negara

berkembang seperti Indonesia. Tantangan dan kendala tersebut,

antara lain eksploitasi terhadap negara-negara berkembang,

ambruknya industri lokal, keamanan barang menjadi rendah, ancaman

ketahanan pangan, dan keamanan konsumen dan sebagainya. Untuk

mengamankan kepentingan nasionalnya, negara-negara di dunia

berupaya untuk menciptakan hambatan perdagangan terutama

hambatan untuk impor.

2.2. Konsep Impor

Secara harfiah, impor adalah barang dan jasa yang diproduksi di

luar negeri dan dijual di dalam negeri (Mankiw, 2006). Impor terjadi jika

ada kelebihan permintaan internasional. Dengan adanya kegiatan

impor, negara produsen yang produksinya melimpah dan melebihi

permintaan domestik dapat melakukan memenuhi permintaan impor

di suatu negara sehingga sehingga produksinya tetap berlangsung.

Saat ini impor dilakukan dengan memenuhi ketentuan yang berlaku di

negara pengimpor.

Pada dasarnya, impor yang akan dilakukan oleh suatu negara

bergantung pada banyak faktor. Pertama, barang-barang yang

diperlukan di dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh pemilik faktor-

Page 26: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 16

faktor produksi di dalam negeri atau terbatas sedangkan permintaan

domestik tinggi. Keterbatasan produksi dalam negeri tersebut

dikarenakan dua hal, yakni 1) kapasitas produksi terbatas (titik

optimum dalam skala ekonomi telah tercapai) atau 2) pemakaian

kapasitas terpasang masih di bawah kapasitas maksimal. Kedua,

permintaan impor sangat ditentukan faktor-faktor harga atau

keseimbangan harga, baik yang terdapat di dalam negeri maupun

keseimbangan harga internasional. Impor lebih murah dibandingkan

dengan harga dari produk sendiri yang dikarenakan ekonomi biaya

tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah. Ketiga, impor lebih

menguntungkan karena produksi dalam negeri ditujukan untuk ekspor

dan harga ekspornya lebih tinggi sehingga dapat mengkompensasi

biaya yang dikeluarkan untuk impor (Rhee, 2012). Keempat, nilai

impor tergantung dari nilai tingkat pendapatan nasional negara

tersebut. Makin tinggi pendapatan nasional, semakin rendah

menghasilkan barang-barang tersebut, maka impor pun semakin

tinggi sehingga pada akhirnya pendapatan nasional menjadi terkikis.

Selain keempat faktor tersebut, masih terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi impor suatu negara yakni nilai tukar riil, situasi politik,

harga relative, dan variabel struktural lainnya (Wang & Lee, 2012).

Kebijakan impor merupakan salah satu instrumen strategis untuk

menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan

kebijakan impor digunakan sebagai instrumen menertibkan arus

barang masuk dan melindungi kepentingan nasional dari pengaruh

masuknya barang-barang negara lain dengan tujuan untuk menjaga

dan mengamankan aspek K3LM (Kesehatan, Keselamatan,

Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan

meningkatkan pendapatan petani, mendorong penggunaan barang

dalam negeri, dan meningkatkan ekspor nonmigas (Widayanto, 2011).

Page 27: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 17

2.3. Hambatan Perdagangan Internasional

Perbedaan komparatif dan kompetitif antar negara dan

pengamanan kepentingan nasional mendasari penerapan kebijakan

perdagangan internasional. Hampir seluruh negara di dunia memiliki

hambatan perdagangan untuk mengendalikan impor. Hambatan

perdagangan tersebut merupakan intervensi pemerintah dalam

mengurangi kebebasan perdagangan internasional. Pada umumnya

hambatan perdagangan internasional dibedakan menjadi 2 (dua),

yakni:

2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif

Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties

terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara.

Dilihat dari aspek asal komoditi, tarif terbagi menjadi dua

macam (Salvatore,1997):

a. Tarif impor, adalah pajak yang dikenakan untuk setiap

komoditi yang diimpor dari negara lain.

b. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang

diekspor.

Sementara bila ditinjau dari mekanisme perhitungannya,

tarif terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan

angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang

diimpor.

b. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang

yang diimpor.

c. Tarif campuran adalah gabungan antara tarif ad valorem

dengan tarif spesifik.

Dampak-dampak pemberlakuan tarif terhadap tingkat

produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di

sebuah negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan

Page 28: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 18

ekonominya terbatas sehingga tidak mampu mempengaruhi

harga yang berlaku di pasaran internasional dapat dijelaskan

melalui analisis keseimbangan umum. Ketika sebuah negara

kecil memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya,

yang berubah hanya harga barang tersebut di pasar

domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi

segala implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan

produsen di negara kecil yang bersangkutan. Walaupun setiap

produsen dan konsumen menghadapi kenaikan harga komoditi

impor meningkat sebesar tarif yang dikenakan, namun

harganya bagi perekonomian negara kecil secara keseluruhan

tetap konstan, karena kenaikan harga akibat tarif itu diimbangi

oleh terciptanya pemasukan pajak bagi pemerintah.

Gambar 2.2 menggambarkan bagaimana dampak-

dampak keseimbangan umum yang dihasilkan dari

pemberlakuan tarif di sebuah negara kecil seperti Indonesia.

Negara kecil dimaksudkan sebagai negara yang tidak memiliki

kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar dunia. Pada

Px/Py = 1 di pasar dunia, negara 2 akan berproduksi di titik B

dan berkonsumsi di titik E. Namun ketika pemerintah negara 2

mengenakan tarif ad valorem (sekian persen dari nilai impor

harus dibayarkan pengimpor ke kas negara sebagai pajak)

sebesar 100 persen terhadap komoditi X, harga komoditi

tersebut bagi para konsumen dan produsen domestik langsung

melonjak menjadi Px/Py = 2, sehingga para produsen domestik

di negara 2 akan terdorong untuk berproduksi di titik F. Itu

berarti negara 2 akan mengekspor 30Y, dan mengimpor 30X;

separuh diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung

terarah ke konsumen domestik, sedangkan selebihnya, yakni

HH’ yang juga bernilai 15X, akan menjelma sebagai

pendapatan pajak bagi pemerintah yang bersumber dari

pengenaan tarif ad valorem 100 persen terhadap komoditi X

Page 29: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 19

yang diimpor. Karena kita berasumsi bahwa pemerintah negara

2 menggunakan kebijakan tarif tersebut dalam rangka

meredistribusikan pendapatan yang diperolehnya bagi

warganya (agar beban pajak mereka tidak terlalu besar), maka

tingkat konsumsi setelah tarif dikenakan akan bergeser ke

kurva indiferen II’, tepatnya di titik H’ (titik berpotongan antara

dua garis putus-putus). Itu berarti, tingkat konsumsi dan

kesejahteraan (titik E) dalam perdagangan bebas lebih tinggi

ketimbang tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik H’) yang

ada setelah tarif tersebut diberlakukan.

Gambar 2.2. Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari

Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil

Sumber: Nicholson (1994)

Dengan adanya tarif, tingkat kesejahteraan negara yang

bersangkutan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan

kondisinya di masa perdagangan bebas. Hal ini dibuktikan

dengan bergesernya konsumsi dari titik E ke titik H’ yang

140 -

120 -

85 -

60 - 55 -

40 -

I

40

I

80

I

65

I

100

I

95

X

Y

0

A

F

B

H’

E

II

III

PF = 2 PW = 1

G H

Page 30: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 20

terletak pada kurva indiferen yang lebih rendah daripada

sebelumnya.

Penurunan kesejahteraan bersumber dari dua sebab: (a)

Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang

memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia. (b)

Konsumen tidak dapat lagi berkonsumsi pada kurva indiferen

tertinggi yang memaksimumkan kesejahteraan. Baik (a)

maupun (b) diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan

produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan

harga dunia. Penurunan kesejahteraan (the loss in welfare)

terjadi karena kegiatan produksi yang tidak efisien. Hal ini

merupakan kondisi (a) padanan keseimbangan umum dari

kerugian akibat produksi (production distortion loss) yang telah

dijelaskan dalam pendekatan keseimbangan parsial.

Penurunan kesejahteraan sebagai akibat dari konsumsi yang

tidak efisien juga merupakan (b) padanan dari kerugian akibat

konsumsi (consumption distortion loss).

Volume perdagangan mengalami kemerosotan dengan

adanya tarif. Volume serta nilai-nilai ekspor dan impor sama-

sama turun segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif itu

dibandingkan dengan sebelumnya ketika perdagangan masih

berlangsung secara bebas.

Semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin besar

kerugian yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu besar akan

mendorong perekonomian yang bersangkutan menuju kondisi

autarki (semua komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan

internasional lenyap). Tarif impor yang mematikan

perdagangan internasional ini biasa disebut dengan tarif

prohibitif (prohibitive tariff). Tarif yang terlalu tinggi akan

memaksa suatu perekonomian terus-menerus berproduksi dan

berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan negara itu sendiri.

Page 31: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 21

Pada analisis dampak pemberlakuan tarif berdasarkan

analisis keseimbangan parsial, mengacu pada Oktaviani et al.

(2014). Pada Gambar 2.3. Dx adalah kurva permintaan dan Sx

melambangkan kurva penawaran komoditi X yang merupakan

produk pangan di Negara 2 yang merupakan negara kecil. Jika

Negara 2 tidak mengadakan hubungan perdagangan

internasional maka keseimbangan di titik E yang merupakan

titik perpotongan antara Dx dan Sx. Pada titik tersebut Negara

2 mengkonsumsi produkpanganX sebanyak 30 unit dengan

harga Px = 3 dolar per unit. Jika kemudian Negara 2 melakukan

hubungan perdagangan internasional, maka Negara 2 akan

menikmati produkpangan X dengan harga yang jauh lebih

murah, yakni Px 1 dolar per unit sehingga konsumsinya pun

akan meningkat menjadi sebesar 70X (AB). Dari konsumsi

sebesar itu, 10X diantaranya merupakan produksi domestik,

sedangkan 60X (CB) diimpor. Garis putus-putus Sf

melambangkan kurva penawaran produk panganX dari luar

negeri yang elastia sempurna untuk Negara 2. Artinya, pasar-

pasar internasional mampu memasok produk pangan X

sebanyak apa pun ke Negara 2 berdasarkan harga dunia yang

berlaku.

Jika kemudian Negara 2 memberlakukan tarif ad valorem

sebesar 100 persen terhadap produk pangan X yang diimpor,

maka Px atau harga yang harus ditanggung konsumen di

Negara 2 meningkat menjadi 2 dolar per unit, sementara harga

bagi konsumen dunia tidak berubah. Akibat naiknya harga X di

negara 2 maka penduduk di Negara 2 akan menurunkan

konsumsinya menjadi 50X (GH), dengan komposisi 20X (GJ)

merupakan hasil produksi domestik, sedangkan 30X (JH)

merupakan produk pangan impor dari negara lain. Garis putus-

putus Sf + T Gaambar 2.2 merupakan kurva penawaran produk

Page 32: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 22

pangan X dariluar negeri yang baru (setelah memperhitungkan

dampak tarif) untuk Negara 2.

Analisis dampak kebijakan perdagangan berupa tarif

dapat dilihat dari dampak terhadap konsumsi, produksi,

perdagangan, dan dampak terhadap penerimaan pemerintah.

Dampak pemberlakuan tarif tarif terhadap konsumsi

(consumption effect of the tariff) yakni berkurangnya konsumsi

domestik akibat pemberlakuan tarif ad valorem yang mencapai

20X (BN). Sementara dampak pengenaan tarif terhadap

produksi (production effect of the tariff) yakni peningkatan

produk domestik karena adanya tarif yakni sebesar 10X (CM).

Dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan (trade effect of

the tariff) yakni turunnya impor sama dengan 30X (BN + CM).

Sedangkan dampak pengenaan tarif terhadap penerimaan

pemerintah (revenue effect of the tariff) yakni berupa

pemasukan bagi pemerintah sebesar 30 dolar atau 1 dolar dari

30 unit komoditi X yang diimpor (MJHN).

Elastisitas demand dan supply memengaruhi dampak

kebijakan. Semakin elastis Dx dan semakin mendatar

bentuknya, maka kenaikan harga produk pangan akibat

pemberlakuan tarif akan menimbulkan dampak konsumsi

(consumption effect) yang semakin besar. Semakin elastis Sx

maka semakin besar dampak produksi (production effect) yang

akan ditimbulkan oleh kenaikan harga komoditi sehubungan

dengan pemberlakuan tarif. Semakin elastis Dx dan Sx, akan

semakin besar dampak perdagangan (trade effect) yang

dimunculkan oleh kenaikan harga komoditi akibat

pemberlakuan tarif tersebut sehingga semakin besar pula

pengurangan impor yang terjadi. Hal ini pada gilirannya akan

memperkecil dampak pendapatan (revenue effect) bagi

pemerintah negara.

Page 33: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 23

1 -

2 -

3 -

4 -

5 -

I

10

I

20

I

30

I

40

I

50

I

60

I

70

I

80

Px ($)

Sx

SF

SF + T

X

DX

A C

G J

M N

H

B

E

Gambar 2.3. Dampak Pemberlakuan Tarif Berdasarkan

Keseimbangan Parsial

Sumber: Oktaviani et al. (2014)

2.3.2 Hambatan Perdagangan Non-tarif

Salah satu bentuk hambatan perdagangan internasional

non-tarif adalah kuota impor. Kuota adalah pembatasan secara

langsung jumlah fisik terhadap barang yang masuk (kuota

impor) dan keluar (kuota ekspor). Pemberlakuan kuota impor

memberikan dampak-dampak terhadap konsumsi dan produksi

seperti yang ditimbulkan oleh penerapan tarif impor yang

setara. Penyesuaian terhadap setiap pergeseran dalam kurva

permintaan atau kurva penawaran sehubungan dengan adanya

kuota impor akan terjadi pada harga-harga domestik.

Sedangkan jika yang diberlakukan adalah tarif impor, maka

penyesuaian tersebut akan terjadi pada kuantitas impor.

Secara umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif

impor yang setara. Kuota impor biasanya dikenakan terhadap

bahan mentah sebagai barang perdagangan penting serta di

bawah suatu pengawasan badan internasional.

Page 34: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 24

Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki

neraca pembayaran

yang defisit. Pemberlakuan hambatan non-tarif akan

meningkatkan harga produk sehingga pada dasarnya proteksi

terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi

produsen namun merugikan bagi konsumen dan pada akhirnya

akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore

1997).

Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-

kebijakan perdagangan akan mempengaruhi kesejahteraan

(welfare). Wall (1999) mendeskripsikan dampak pembatasan

impor dalam analisis keseimbangan parsial dengan

mengilustrasikan supply dan demand suatu negara seperti

terlihat dalam Gambar 2.3.

Gambar 2.4 Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap

kesejahteraan

Sumber: Wall (1999)

P

Kuantita

P

QS0

A B C D

S

D

QS1 QD1 QD0

Harga

Page 35: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 25

Jika terjadi perdagangan bebas, barang yang diimpor

akan berada pada harga dunia yaitu Pw?. Negara akan

mengkonsumsi sebesar QD0 dan produksi sebesar QS0. Jumlah

yang akan diimpor dari negara lain sebesar QD0-QS0. Ketika ada

proteksi impor maka harga akan meningkat menjadi PM?.

Sehingga negara tersebut akan produksi sebesar QS1 dan

jumlah impor akan berkurang menjadi QD1-QS1. Konsumen

akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal

dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi

dengan harga tinggi. Surplus kondumen akan berkurang

sebesar area A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen

yang ditransfer ke produsen. Area B dan D adalah Dead Weight

Loss (DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C

tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif

karena pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif

melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur sebagai quota

rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang berasal dari

quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen

negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare

loss to economy. Penerimaan dapat meningkat melalui

penjualan lisensi kuota sehingga dengan menggunakan θ yang

mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss

dari pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C.

Berbagai macam restriksi atau hambatan non-tarif itu telah

menggantikan peranan tarif di masa sebelumnya, ini

merupakan ancaman bagi kelangsungan dan perkembangan

perdagangan internasional yang bebas. Penggunaan

hambatan perdagangan ini pada intinya bertentangan dengan

semangat pasar bebas (liberalisasi) yang diusung WTO.

Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus bisa

melakukan pengelolaan hambatan impor agar dapat menjaga

Page 36: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 26

kepentingan nasionalnya, terutama yang terkait dengan

kesehatan, keamanan, keselamatan lingkungan dan moral

bangsa.

2.4. Teori Produktivitas dan Total Factor Productivity

Produktivitas dapat diartikan sebagai rasio dari output per unit

input dalam suatu unit waktu. Produktivitas meningkat bila rasio output

per unit input semakin besar dalam periode tertentu. Teknologi dan

manajemen produksi yang lebih baik menjadi faktor yang signifikan

dalam peningkatan produktivitas.

Meningkatkan produktivitas dipandang sebagai satu-satunya

cara dalam memperbaiki standar kehidupan dalam jangka panjang.

Peningkatan produktivitas merupakan determinan dalam

pertumbuhan ekonomi, yang ditunjang oleh semakin luasnya

lapangan kerja yang tersedia menjadi kunci sukses menuju

kemakmuran. Kemakmuran secara umum diukur dengan menghitung

tingkat produk domestik bruto (GDP) per orang, total output dalam

perekonomian relatif pada jumlah populasi suatu wilayah.

Untuk mengukur kinerja industri secara khusus, umumnya

digunakan Total Factor Productivity (TFP). TFP merupakan indikator

umum yang digunakan untuk mengukur produktivitas, yaitu mencakup

perbedaan teknologi, organisasi, restrukturisasi, managerial skill, dll.

TFP dapat menjadi alat yang penting dalam menganalisis sumber

pertumbuhan ekonomi, perbedaan perkapita antar negara, dsb. TFP

menjelaskan mengapa dua perusahaan dapat menghasilkan output

yang berbeda dengan input yang sama. Secara konsep, TFP

didefinisikan sebagai porsi dari output yang tidak dapat dijelaskan oleh

sejumlah input yang digunakan dalam produksi.

Metode yang digunakan untuk mengukur TFP telah banyak

dikembangkan. Banyak pula perdebatan diantara para ahli tentang

bagaimana cara terbaik untuk mengukur TFP, mulai dari yang

sederhana sampai tingkat tinggi dengan menggunakan metode-

Page 37: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 27

metode ekonometrik. Pada tahun 1957, Solow mendekomposisikan

pertumbuhan output menjadi pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan

kemajuan teknologi dalam artikelnya yang berjudul “Technical Change

and Aggregat Production Function”, dan mengajukan metode nilai

residual Solow, yang kemudian digunakan secara luas untuk

mengukur perkembangan teknologi dan sumber pertumbuhan output.

Terdapat dua cara untuk menghitung TFP yaitu melalui metode

non parametrik dan metode parametrik. Metode nonparametrik tidak

diperlukan bentuk fungsi spesifik atau asumsi-asumsi statistik tertentu

dalam mengukur TFP. Prinsip dasarnya, TFP diperoleh dengan cara

merasiokan antara output dengan input, sehingga dihasilkan nilai

produktivitas.

Metode parametrik mengestimasi TFP melalui fungsi produksi,

sehingga kita harus menggunakan fungsi-fungsi produksi tertentu

seperti fungsi produksi Cobb-Douglas (C-D), Transcendental

Logaritmic (Translog), Constant Elasticity Subtitution (CES), dll.

Fungsi produksi yang masih berbentuk fungsi matematis

(deterministic) tersebut diubah dulu kedalam fungsi produksi yang

berbentuk fungsi statistik (stochastic), yang artinya mengandung error.

Ilustrasinya, kira-kira seperti ini.

Misalnya, kita menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas (C-

D) dengan 2 input yaitu modal (K) dan tenaga kerja (L), sedangkan A

adalah indeks teknologi konstan.

Page 38: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 28

Prinsip dasar pengukuran TFP dengan menggunakan metode

parametrik adalah dengan memanfaatkan nilai error dalam model

regresi. Error dalam model regresi dapat mewakili pengaruh-pengaruh

yang berasal dari luar atau yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel

penjelas yang digunakan dalam model. TFP menjelaskan porsi dari

output yang tidak dapat dijelaskan oleh sejumlah input yang digunakan

dalam produksi, maka pengukuran TFP identik dengan pengukuran

error. Nilai error tersebut pada aplikasinya tidak bisa diobservasi

secara langsung karena nilai-nilai parameter fungsi produksi tidak

diketahui. Untuk mengestimasi nilai-nilai parameter tersebut dengan

menggunakan berbagai metode estimasi seperti Ordinary Least

Squares (OLS), Generalized Least Squares (GLS), Maximum

Likelihood Estimators (MLE), Bayesian Estimators, dll. Pada akhirnya

kita akan memperoleh nilai residual sebagai pendekatan untuk error.

Nilai residual inilah yang akan digunakan untuk mengestimasi Total

Factor Productivity (TFP).

Page 39: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 29

2.5. Kajian Sebelumnya

2.5.1. Kajian Permintaan Impor Bahan Baku/Penolong

Berbagai studi terdahulu telah membahas tentang

permintaan impor secara disagregat dan berdasarkan

pengelompokkan golongan ekonomi barang (Broad Economic

Category, BEC). Studi Houthakker dan Magee (1969), yang

menganalisis elastisitas permintaan impor dan ekspor terhadap

Produk Nasional Bruto (Gross National Product (GNP)) atau

pendapatan riil dan harga, baik secara agregat maupun

disagregat di Amerika Serikat, menemukan bahwa nilai

elastisitas pendapatan terhadap permintaan impor di Amerika

Serikat sama dengan negara maju lainnya sedangkan

elastisitas harga terhadap total impor dan total ekspor secara

relatif rendah dan lebih besar untuk beberapa kelompok

komoditi di Amerika Serikat. Serupa dengan model Houthakker

dan Magee (1969) dan Price dan Thornblade (1972), Kreinin

(1973) mengestimasi model permintaan impor Amerika Serikat

secara disagregat berdasarkan kelompok komoditi dan negara

pemasok dan menyimpulkan bahwa permintaan impor

disagregat dipengaruhi oleh elastisitas harga relatif

(perbandingan harga barang impor terhadap indeks harga

perdagangan besar) dan elastisitas pendapatan. Khan (1975)

juga mengestimasi struktur dan perilaku impor di Venezuela

yang dihubungkan dengan harga relatif barang impor terhadap

harga domestik dan pendapatan domestik riil. Secara

konsisten, Ali dan Chani (2013) juga menemukan bahwa

variabel pendapatan lebih elastis pada kelompok komoditi

barang manufaktur dibandingkan dengan kelompok komoditi

lainnya.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang secara

konsisten membahas estimasi elastisitas harga dan

Page 40: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 30

pendapatan, Sarmad dan Mahmood (1987) dan Sarmad (1989)

menambahkan tarif impor dalam penyesuaian harga relatif,

beberapa variabel aktivitas lainnya (seperti pengeluaran

konsumsi riil, nilai tambah riil sektor industri manufaktur) dan

elastisitas hubungan harga relatif dengan variabel aktivitas

lainnya terhadap permintaan impor secara disagregat untuk

Pakistan. Penelitiannya menemukan bahwa elastisitas harga

relatif yang disesuaikan dengan tarif bea masuk di Pakistan

adalah rendah dan berbeda dengan besaran elastisitas di

negara-negara maju. Deyak, Sawyer, dan Sprinkle (1989)

menambahkan variabel stabilitas struktural terhadap fungsi

permintaan impor disagregat Amerika Serikat berdasarkan

kelas ekonomi – pangan mentah, barang mentah, produk

makanan olahan, produk semi-manufaktur dan produk jadi

manufaktur dan menemukan bahwa instabilitas struktural

terjadi pada tiga kelompok ekonomi – produk jadi manufaktur,

produk makanan olahan, dan barang mentah. Penelitian-

penelitian sejenis tentang permintaan impor disagregat dan

berdasarkan kategori golongan barang telah meluas ke

berbagai cakupan negara seperti Cyprus (Pattichis, 1999),

Korea Selatan (Mah, 2000) Malaysia (Cheong, 2002); Fiji

(Narayan dan Narayan, 2005); Republik Rakyat Tiongkok

(RRT) (Fukumoto, 2012), Uganda (Samuel, 2015); dan

sebagainya.

Dalam pendekatan permintaan impor secara disagregat,

kebijakan impor baik berupa tarif impor maupun non tarif lebih

jarang diulas dibandingkan dengan pendekatan permintaan

impor agregat. Santos-Paulino (2002) dan Santos-Paulino dan

Thirlwall (2004) menganalisis dampak penurunan tarif dan

hambatan non tarif terhadap impor dari 22 negara berkembang

dan menemukan bahwa tarif impor akan menurunkan

pertumbuhan impor, tetapi dampaknya beragam bergantung

Page 41: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 31

pada region dan jenis rezim kebijakan perdagangan yang ada

ada pada suatu negara. Penurunan distorsi kebijakan

perdagangan juga memiliki dampak yang kuat dan positif

terhadap peningkatan impor. Kemudian, elastisitas pendapatan

dan harga akan meningkat sebagai hasil dari reformasi

kebijakan perdagangan. Penurunan tarif input akan mendorong

importir untuk meningkatkan volume impor bahan

baku/penolong dan barang modal, memperluas produk dan

negara pemasok, mengakses ke negara yang lebih maju, dan

mengimpor bahan baku/penolong yang lebih mahal (Ge, Lai, &

Zhu, 2011).

Di Indonesia, beberapa penelitian telah menitikberatkan

pembahasan pada permintaan impor secara disagregat dan

berdasarkan kategori ekonomi barang, khususnya untuk bahan

baku/ penolong. Studi Waluyo (2004), yang mengestimasi

permintaan bahan baku di sektor industri di Indonesia selama

periode 1981-2000, menyimpulkan bahwa investasi luar negeri,

investasi domestik, dan cadangan devisa luar negeri

berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan bahan

baku di sektor industri sedangkan nilai tukar rupiah terhadap

USD dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap permintaan impor bahan baku/ penolong.

Sementara itu, Produk Domestik Bruto (PDB) tidak

berpengaruh signifikan terhadap permintaan impor bahan baku

sektor industri Indonesia (Waluyo, 2004). Hasil kajian tersebut

diperkuat oleh studi Azis (2009) yang menyimpulkan bahwa

investasi pemerintah dan investasi swasta berpengaruh

terhadap permintaan impor bahan baku/ penolong dan Suswati

(2012) yang berpendapat bahwa suku bunga riil bepengaruh

negatif dan signifikan baik secara langsung maupun tidak

langsung terhadap impor bahan baku dan penolong. Inflasi juga

dapat berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap impor

Page 42: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 32

bahan baku dan penolong secara langsung sedangkan secara

tidak langsung inflasi berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap total impor dan bahan baku dan penolong (Suswati,

2012). Puslitbang Perdagangan Luar Negeri Departemen

Perdagangan (2007) dan Arianti (2014) menganalisis mengenai

ketergantungan industri nasional terhadap bahan baku impor

dari sisi output, nilai tambah, dan pendapatan dan berpendapat

bahwa ketergantungan industri nasional terhadap bahan baku

impor masih cukup besar karena elastisitas bahan baku impor

lebih tinggi dibandingkan bahan baku domestik untuk beberapa

sektor seperti alas kaki; kimia, elektronik serta kendaraan

bermotor dan komponen kendaraan bermotor. Kelangkaan

input suplai, masalah ketenagakerjaan dan sumber daya

manusia serta teknologi pengolahan juga diduga ikut

mempengaruhi ketergantungan terhadap bahan baku impor.

Selain itu persoalan infrastruktur, utilitas (listrik, gas dan air)

serta masalah permodalan (bank dan non bank) juga diduga

ikut menjadi faktor pendukung kurang bersaingnya input

domestik dibandingkan input impor. Puska Daglu (2013) juga

telah menganalisis substitusi impor pada industri pengolahan

(manufaktur) tertentu yang memiliki tingkat impor dan substitusi

impor yang besar dalam industri pengolahan dan perubahan

yang terjadi pada impor sebagai bahan baku penolong. Dari

hasil penelitian tersebut didapatkan sebanyak 73 industri yang

memiliki rasio ketergantungan impor bahan baku/penolong

yang sangat tinggi dan 110 industri memiliki rasio impor bahan

baku/penolong yang tinggi. Perilaku industri yang tingkat

impornya tinggi tidak hanya mengalami substitusi impor tetapi

juga tidak mengalami substitusi impor. Demikian pula, untuk

industri yang mengalami substitusi impor tidak hanya indutsri

dengan tingkat impor tinggi tetapi juga pada industri dengan

tingkat impor rendah.

Page 43: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 33

2.5.2. Kajian Peranan Kebijakan Impor terhadap Total Faktor

Produktivitas (TFP)

Kinerja suatu industri manufaktur lazimnya diukur melalui

tingkat produktivitas industri atau total faktor produktivitas

(TFP). Berbagai studi terlebih dahulu telah membahas

mengenai TFP sektor industri manufaktur dan mentautkannya

dengan kebijakan tarif impor barang jadi (output). Trefler (2004)

menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor

industri Kanada dan Amerika Serikat dapat meningkat secara

tajam akibat adanya dampak persaingan impor yang

disebabkan pemotongan tarif yang tinggi. Pavcnik (2002)

menunjukkan bahwa industri yang bersaing dengan impor di

Chili menikmati peningkatan produktivitas yang lebih tinggi

yang disebabkan oleh liberalisasi perdagangan. Beberapa

penelitian lainnya yang mempelajari tarif barang jadi dan

produktivitas termasuk Topalova (2004), Head dan Ries (1999),

Krishna dan Mitra (1998), Gatson dan Trefler (1997), Tybout

dan Westbrook (1995), Harrison (1994), Levinsohn (1993), dan

Tybout, de Melo dan Corbo (1991).

Beberapa studi sebelumnya yang menganalisis

penurunan tarif bahan baku/penolong atau barang input.

Corden (1971) berpendapat bahwa penurunan tarif bahan

baku/penolong akan meningkatkan proteksi efektif,

menurunkan persaingan impor dan sebagai hasilnya akan

menurunkan produktivitas. Berlawanan dengan itu, Ethier

(1982), Markusen (1989) dan Grossman dan Helpman (1991)

justru memperlihatkan bahwa perusahaan dapat merasakan

peningkatan produktivitas dengan adanya penurunan tarif

impor barang input karena dapat mengakses berbagai macam

bahan baku/penolong dan kemungkinan mendapatkan input

dengan kualitas yang lebih tinggi. Studi Schor (2004) di Brazil

Page 44: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 34

menunjukkan bahwa tarif impor barang input menurunkan tarif

impor terhadap barang jadi dalam jumlah yang sangat kecil.

Amiti dan Konings (2007), dengan menggunakan studi

kasus perusahaan di Indonesia, yang menunjukkan

produktivitas industri di Indonesia akan meningkat sebesar 12%

seiring liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif

sebesar 10% terhadap barang input (bahan baku/penolong)

sedangkan penurunan tarif bea masuk pada barang jadi dapat

meningkatkan produktivitas seiring dengan peningkatan

persaingan, dimana bahan baku/ penolong yang lebih murah

dapat meningkatkan produktivitas melalui dampak

pembelajaran, keberagaman, dan kualitas. Ing dan Putra

(2015) mengestimasi penurunan tarif barang input terhadap

peningkatan nilai tambah melalui keanekaragaman produk dan

kualitas dengan menggunakan data pada tingkat perusahaan

dan produk dari tahun 2000-2010. Studi tersebut menunjukkan

bahwa penurunan 1% dalam tarif barang input akan

meningkatkan nilai tambah sebesar 0,2%, sementara

penurunan 1% dalam tarif barang input justru dapat

meningkatkan keanekaragaman produk dan kualitas masing-

masing sebesar 3,5% dan 1,5%. Perusahaan yang melakukan

ekspor dan perusahaan asing akan memiliki nilai tambah yang

lebih tinggi dibandingkan dan rata-rata perusahaan, namun

hanya perusahaan yang melakukan ekspor yang memiliki

kecenderungan untuk meningkatkan keanekaragaman dan

kualitas produk.

Dengan metode yang sedikit berbeda, beberapa studi

yang juga menunjukkan bahwa penurunan tarif impor dapat

mempengaruhi kinerja industri adalah Kasahara dan Rodrigue,

2008; Bas dan Strauss-Khan, 2011; Topalova & Khandelwal,

2011; Ge, Lai dan Zhu, 2011; Halpern, Koren & Szeidl, 2015).

Demikian pula terdapat juga studi yang mempelajari perubahan

Page 45: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 35

kinerja industri sebagai imbas adanya reformasi kebijakan

perdagangan (Schor, 2004; Goldberg, Khandelwal, Pavcnik

dan Topalova, 2008).

2.6. Kerangka Pemikiran

Berikut ini adalah pola pikir kajian ini hingga nantinya dapat

menghasilkan rekomendasi kebijakan impor dalam rangka

mendukung ketersediaan impor bahan baku/ penolong dan kinerja

industri manufaktur.

Kerangka berfikir kajian ini pada dasarnya dapat dipisahkan

menjadi dua bagian yang saling terkait. Pertama, terkait dengan

bagaimana kebijakan impor dapat mempengaruhi permintaan

terhadap bahan baku/penolong yang berasal dari impor.

Ketersediaan bahan baku/penolong sangat krusial dalam proses

produksi industri manufaktur. Bahan baku/penolong dapat

diperoleh dari produsen dalam negeri maupun impor dari produsen

luar negeri.

Bagi industri kimia, tekstil dan produk tekstil, dan elektronik, bahan

baku/penolong yang berasal dari impor masih cukup penting. Oleh

karena itu ketersediaan bahan baku impor/penolong dalam

mendukung proses produksi di tiga industri manufaktur tersebut

akan mempengaruhi jumlah output industri tersebut. Kebijakan

impor berupa tariff dan non-tariff akan mempengaruhi permintaan

terhadap Impor bahan baku bagi industri kimia, tekstil dan produk

tekstil, dan elektronik.

Kedua, berkaitan dengan bagaimana impor dapat mempengaruhi

kinerja di industri manufaktur. Jumlah output yang dihasilkan dari

proses produksi di tiga industri yang menjadi fokus kajian bukan

menjadi satu-satunya hal yang diharapkan, melainkan peningkatan

produktivitas yang menunjukkan adanya peningkatan efisiensi di

dalam industri kimia, tekstil dan produk tekstil, dan elektronik.

Peningkatan produktivitas akan berimplikasi pada penurunan biaya

Page 46: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 36

per unit yang tentunya akan meningkatkan daya saing industri

manufaktur Indonesia..

Gambar 2.5 Kerangka Pikir Kajian

Page 47: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 37

BAB III

METODOLOGI PENGKAJIAN

3.1. Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini berupa analisis

kuantitatif dan kualitatif. Metode analisis kuantitatif melalui model

ekonometrik digunakan untuk menganalisis besaran peran kebijakan

impor terhadap permintaan impor bahan baku/penolong industri

manufaktur dan kinerja industri manufaktur. Metode kualitatif dengan

pendekatan studi deskriptif analitik yang dipakai dalam pengkajian ini

untuk mendapatkan pemetaan kebijakan impor bahan baku/ penolong

dan analisis yang mendalam mengenai peran dan

pengimplementasian kebijakan impor terhadap ketersediaan pasokan

bahan baku/ penolong dan kinerja industri manufaktur.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai pengaruh dari

kebijakan impor bahan baku/penolong terhadap kinerja industri kimia,

tekstil, dan elektronik akan digunakan model persamaan simultan.

Alasan penggunaan model simultan adalah berdasarkan kerangka

kajian di Gambar 3.1. terlihat bahwa kebijakan impor bahan

baku/penolong tidak langsung mempengaruhi proses produksi di

industri manufaktur.

Gambar 3.1. Alur Kerja Pemodelan

Persamaan Impor

(Persamaan 3.1)

Persamaan output

(Persamaan 3.2)

Permintaan Impor

(log Mit)

Kinerja Industri

TFP ( �it )

Estimasi

(2SLS)

Kebijakan Impor

(Mpolicy)

Estimasi

(2SLS)

Residual

(TFP)

Page 48: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 38

3.2. Model Ekonometrik

Untuk menganalisis peran kebijakan impor baik tarif maupun non

tarif terhadap permintaan impor bahan baku/penolong industri

manufaktur digunakan modifikasi model yang telah ada sebelumnya

dari Sarmad dan Mahmood (1987). Sarmad dan Mahmood

menggunakan model sederhana permintaan terhadap impor (simple

import demand model) sebagai dasar pembentukan persamaan impor.

Secara tradisional, permintaan terhadap suatu barang impor

merupakan model yang menjadi kerangka utama dalam sebagian

besar studi tentang permintaan impor yang diturunkan dari teori

permintaan konsumen. Model permintaan impor sederhana (Khan,

1974) menghubungkan antara jumlah riil barang impor yang diinginkan

suatu negara dengan tingkat pendapatan riil negara tersebut dan rasio

harga relative antara harga barang impor tersebut dengan harga

barang tersebut di domestic (diasumsikan terdapat tingkat substitusi

antara barang impor dengan barang domestic). Model permintaan

impor sederhana tersebut kemudian diubahsuai oleh Sarmad dan

Mahmood dengan memasukkan kebijakan tarif, sehingga menjadi

persamaan berikut:

(3.1)

Dimana M menunjukkan jumlah barang yang diimpor, t

menunjukkan tarif dan RP menunjukkan harga relatif antara barang

impor dengan barang domestik. Sedangkan Y merupakan variabel

pendapatan nasional (PDB) sebagai proksi aktivitas domestik.

Dengan mengikuti alur persamaan yang digunakan oleh Aliyu

(2007), persamaan Sarmad dan Mahmood tersebut kemudian

dimodifikasi dengan menggunakan variable nilai tukar riil (RER)

sebagai proksi dari harga relative (RP). Selain menganalisis peran dari

kebijakan tariff, penelitian ini juga akan menggunakan kebijakan non

Page 49: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 39

tariff sebagai salah satu bentuk kebijakan impor yang mempengaruhi

impor bahan baku/penolong.

Sedangkan untuk mengestimasi peran dari bahan baku impor

dalam pembentukan output industri digunakan model fungsi produksi

Cobb-Douglas sebagai berikut:

Y = f(LKM) (3.2)

Dimana output (Y) industri i pada tahun t merupakan fungsi dari

tenaga kerja (L), capital (K), dan bahan baku (M). Dengan

menggunakan spesifikasi log-linear (dinotasikan dengan variabel

dalam bentuk huruf kecil) maka persamaan tersebut akan menjadi:

(3.3)

Dengan uraian latar belakang pemodelan tersebut maka dalam

penelitian ini akan digunakan dua buah persamaan struktural yang

menunjukkan permintaan impor bahan baku/penolong dan yang

menunjukkan produksi/output industri manufaktur. Model simultan di

atas menggunakan persamaan struktural sebagai berikut:

(3.4)

(3.5)

dimana:

logMit = nilai impor bahan baku industri i pada periode t

Mpolicyit = kebijakan impor (tarif dan non-tarif) bahan baku

industri i pada periode t

logYt = Produk Domestik Bruto pada periode t

Qit = nilai produksi industri i pada periode t

Page 50: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 40

RERt = nilai tukar riil (Rp/USD) pada periode t

log Kit = capital (K)

log Lit = tenaga kerja (L)

log Mit = impor bahan baku

eit = error ��t = residual (Total Factor Productivity, TFP)

o 1 2 3 0 1 2 3 = parameter persamaan

Variabel Operasional

Variabel Impor adalah nilai impor bahan baku untuk masing-masing

subsektor 5 digit KBLI yang tergolong ke dalam kelompok industri kimia,

industri TPT dan industri elektronik.

Variabel Kebijakan Impor yang digunakan pada persamaan 3.4

adalah sebagai berikut:

a. Tarif Bea Masuk MFN (Most Favourable Nations)

Variabel Tarif Bea Masuk MFN (Most Favourable Nations) adalah

rata-rata persentase tarif bea masuk yang dikenakan atas bahan

baku impor yang masuk ke Indonesia dari negara lain, kecuali

negara yang memiliki perjanjian khusus mengenai tarif bea

masuk dengan Indonesia.

b. Non-Tarif NTM (non-tariff measures)

Variabel non-tarif adalah jumlah peraturan non tarif yang

dikenakan pada impor bahan baku di masing-masing subsektor

industri. Kebijakan NTM umumnya masih berupa aturan-aturan

sederhana mengenai lisensi impor.

Kebijakan impor ini dimaksudkan sebagai hambatan masuk yang

ditujukan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri,

memberikan kepastian hukum bagi investor, memberikan perlindungan

bagi konsumen, dan meningkatkan efisiensi administrasi kepabeanan.

Variabel PDB pada dasarnya merupakan variabel yang menunjukkan

kapasitas permintaan impor bahan baku dari industri dalam negeri.

Semakin berkembang industri dalam negeri maka semakin tinggi pula

Page 51: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 41

permintaan terhadap bahan baku impor. Untuk lebih menggambarkan

potensi perkembangan industri dalam negeri maka variable PDB tidak

menggunakan PDB total yang menunjukkan pendapatan nasional,

melainkan digunakan PDB sektoral berupa total nilai tambah di industri

terkait.

Pada industri kimia variabel PDB yang digunakan pada persamaan

3.4 adalah nilai PDB sektoral untuk industri pupuk, kimia dan barang dari

karet. Sementara itu untuk industri tekstil dan produk tekstil

menggunakan nilai PDB untuk industri tekstil, barang kulit dan alas kaki.

Industri elektronik menggunakan PDB industri alat angkutan, mesin dan

peralatannya.

Sedangkan variabel Nilai tukar yang digunakan untuk ketiga

kelompok industri adalah nilai tukar dalam Rupiah per US Dollar.

3.3. Metode Estimasi

Persamaan 3.4 adalah persamaan yang digunakan untuk menjawab

pertanyaan pengaruh kebijakan impor bahan baku terhadap permintaan

impor bahan baku. Persamaan 3.5 adalah persamaan yang digunakan

untuk menjawab pertanyaan peran bahan baku impor terhadap kinerja

industri. Dari hasil persamaan kedua ini, nantinya dapat diidentifikasi

besarnya tingkat produktivitas yang terjadi di industri kimia, tekstil (TPT),

dan elektronik.

Persamaan 3.4 dan 3.5 adalah persamaan simultan. Estimasi

parameter model dilakukan dengan metode 2SLS atau 3SLS (two/three

stage Least square). Namun demikian, secara teknis, perlu dilakukan

pengecekan kondisi perlu (necessary condition) dan kondisi cukup

(sufficient condition) untuk mengetahui apakah kedua persamaan diatas

dapat diestimasi dan menghasilkan nilai parameter yang unik. Jika kedua

syarat di atas salah satu atau keduanya tidak terpenuhi maka estimasi

2SLS/3SLS tidak dapat dilakukan (Gujarati, 2004)

Page 52: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 42

a. Kondisi Perlu

Persamaan simultan dikatakan memenuhi kondisi perlu jika:

(K-k) > (m-1) (3.6)

Dimana :

m = jumlah variabel endogen pada persamaan

K = jumlah predetermined variabel pada model

k = jumlah predetermined variabel pada persamaan

Jika (K-k) = (m-1) dikatakan persamaan simultan teridentifikasi

tepat (just identified), jika (K-k) > (m-1) dikatakan teridentifikasi

lebih (overidentified) dan jika (K-k) < (m-1) tidak teridentifikasi

(underindentified).

b. Kondisi Cukup

Terpenuhinya kondisi perlu tidak menjamin persamaan dapat

teridentifikasi. Kita membutuhkan kondisi cukup untuk setiap

persamaan. Persamaan dikatakan teridentifikasi memenuhi

kondisi cukup jika memiliki rank matriks berukuran (M-1). M adalah

jumlah variable endogen pada model. Berdasarkan kondisi perlu

dan kondisi cukup maka persamaan simultan dapat teridentifikasi

jika memenuhi kriteria berikut:

Jika (K-k) > (m-1) dan terdapat rank matriks berukuran (M-1)

maka persamaan teridentifikasi lebih

Jika (K-k) = (m-1) dan terdapat rank matriks berukuran (M-1)

maka persamaan teridentifikasi tepat.

c. Hasil identifikasi

Hasil Identifikasi menunjukkan persamaan 3.4 dan persamaan 3.5

teridentifikasi lebih. Artinya kedua persamaan memenuhi kondisi

perlu dan kondisi cukup persamaan simultan. Estimasi persamaan

3.4 dan 3.5 dengan metode 2SLS/3SLS dapat menghasilkan

parameter yang diinginkan.

Page 53: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 43

Dalam gambar tersebut, kebijakan impor akan mempengaruhi

terlebih dahulu permintaan terhadap impor (M), yang kemudian

bahan baku yang berasal dari impor tersebut nantinya akan

digunakan untuk proses produksi yang menentukan besarnya

output industri.

3.4. Ruang Lingkup Analisis

Terdapat tiga kelompok industri yang dianalisis yaitu industri kimia,

industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dan industri elektronik selama

periode 2000 – 2010. Industri yang dianalis terdiri dari 34 jenis industri

kimia, 34 jenis industri TPT dan 5 jenis industri elektronik.

Rincian cakupan industri yang tergolong ke dalam 5 digit KBLI Industiri

Besar dan Menengah (IBS) di masing-masing tiga kelompok industri

tersebut adalah berikut ini.

Industri Kimia meliputi:

1 Industri kimia dasar anorganik klor dan alkall

2 Industri kimia dasar anorganik gas industri

3 Industri kimia dasar anorganik pigment

4 Industri kimia dasar anorganik yang tidak diklasifikasikan di tempat

lain

5 Industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian

6 Industri kimia dasar organik bahan baku zat warna dan pigmen, zat

warna dan pigmen

7 Industri kimia dasar organik bersumber dari minyak bumi, gas bumi

dan batu bara

8 Industri kimia dasar organik yang menghasilkan bahan kimia khusus

9 Industri kimia dasar organik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain

10 Industri pupuk alam/non sintentis hara makro primer

11 Industri pupuk buatan tunggal hara makro primer

Page 54: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 44

12 Industri pupuk buatan majemuk hara makro primer

13 Industri pupuk lengkap

14 Industri damar buatan (resin sintetis) dan bahan baku plastik

15 Industri karet buatan

16 Industri bahan baku pemberantas hama (bahan aktif)

17 Industri pemberantas hama (formulasi)

18 Industri zat pengatur tumbuh

19 Industri bahan amelioran (pembenah tanah)

20 Industri bahan farmasi

21 Industri famarsi

22 Industri simplisia (bahan jamu)

23 Industri jamu

24 Industri sabun dan bahan pembersih keperluan rumah tangga

termasuk pasta gigi

25 Industri kosmetik

26 Industri perekat / lem

27 Industri bahan peledak

28 Industri tinta

29 Industri minyak atsiri

30 Industri korek api

31 Industri bahan kimia dan barang kimia lainnya

32 Industri serat / benang filamen buatan

33 Industri serat stapel buatan

34 Industri serat stapel buatan

Industri TPT meliputi:

1 Industri Persiapan Serat Tekstil

2 Industri Pemintalan Benang

3 Industri Pemintalan Benang Jahit

4 Industri Pertenunan (Kecuali Pertenunan Karung Goni dan

Karung Lainnya)

5 Industri Kain Tenun Ikat

Page 55: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 45

6 Industri Penyempurnaan Benang

7 Industri Penyempurnaan Kain

8 Industri Pencetakan Kain

9 Industri Batik

10 Industri Barang Jadi Tekstil Kecuali Untuk Pakaian Jadi

11 Industri Barang Jadi Tekstil untuk Keperluan Kesehatan

12 Industri Tekstil Jadi untuk Keperluan Kosmetika

13 Industri Karung Goni

14 Industri Bagor dan Karung Lainnya

15 Industri Permadani (Babut)

16 Industri tali temali

17 Industri Barang-barang dari Tali

18 Industri yang Menghasilkan Kain Pita (Narrow Fabric)

19 Industri yang Menghasilkan Kain Keperluan Industri

20 Industri Bordir / Sulaman

21 Industri Non Woven

22 Industri Kain Ban

23 Industri Tekstil yang tidak di Klasifikasikan di tempat Lain

24 Industri Kain Rajut

25 Industri Pakaian Jadi Rajut

26 Industri Rajut Kaos Kaki

27 Industri Barang Jadi Rajutan

28 Industri Kapuk

29 Industri Pakaian Jadi dari Tekstil

30 Industri Pakaian Jadi Lainnya dari Tekstil

31 Industri Pakaian Jadi (Garmen) dari Kulit

32 Industri Pakaian Jadi Lainnya dari Kulit

33 Industri Bulu Tiruan

34 Industri Pakaian Jadi / Barang Jadi dari Kulit Berbulu dan atau

Aksesoris

Page 56: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 46

Industri Elektronik meliputi:

1 Industri mesin kantor, komputasi dan akuntansi elektronik

2 Industri tabung dan katup elektronik serta komponen elektronik lainnya

3 Industri alat transmisi komunikasi

4 Industri radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar dan sejenisnya

5 Industri pengukur, pengatur dan pengujian elektronik

3.5. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder dan primer.

Data sekunder yang berupa publikasi resmi, dokumen, dan

sebagainya akan diambil melalui studi kepustakaan dari Badan Pusat

Statistik Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kementerian

Perindustrian, Kementerian Keuangan, UNCOMTRADE, dan lainnya.

Data primer adalah informasi dan keterangan yang diperoleh dari para

pemangku kepentingan terkait (stakeholders) baik pelaku usaha,

importir, produsen, akademisi, praktisi, maupun instansi terkait yang

dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam (in-depth

interview) melalui kegiatan survei lapangan, teknik Focus Group

Discussion (FGD), dan diskusi terbatas terkait dengan peran kebijakan

impor bahan baku/penolong dalam rangka mendukung industri

manufaktur. Survei terhadap pemangku kepentingan terkait akan

dilaksanakan di 7 (tujuh) daerah, yakni Bandung, Medan, Makassar,

Banten, Batam, dan Palembang sedangkan FGD akan

diselenggarakan di Surabaya dengan dasar pertimbangan beberapa

daerah tersebut adalah pelabuhan utama dan pusat kawasan industri

utama di Indonesia.

Page 57: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 47

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong

4.1.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong Nasional

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka impor

memiliki peranan yang sangat penting terutama dalam rangka

pengembangan sector industri. Walaupun perkembangan impor

berfluktuasi, namun impor tetap mengalami pertumbuhan. Fluktuasi

impor tidak terlepas dari berbagai peristiwa resesi ekonomi, crisis

ekonomi, serta beberapa kebijakan di bidang impor.

Impor dalam hal ini terdiri atas impor barang konsumsi, vahan

baku dan barang-barang penolong serta barang modal yang pada

umumnya berasal dari negara maju, di samping karena negara-negara

berkembang masih kekurangan modal, juga untuk mempercepat

proses alih teknologi dari negara maju sehingga negara-negara

berkembang akan mampu memacu pertumbuhan ekonominya

Impor Indonesia meningkat sejalan dengan peningkatan

pembangunan. Pengembangan kapasitas produksi dalam negeri

memerlukan impor barang-barang modal yang belum dapat diproduksi

di dalam negeri perlu diimpor. Di samping itu pembangunan proyek-

proyek prasarana yang di perlukan untuk mendukung kapasitas

produksi dalam negeri yang semakin berkembang juga memerlukan

impor.

Impor Indonesia terdiridari 3 golongan barang, yaitu :

1. Impor barang konsumsi

2. Impor bahan baku dan barang penolong

3. Impor barang modal

Page 58: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 48

Perkembangan ketiga golongan barang impor Indonesia menurut

penggunaannya yang paling besar adalah impor untuk bahan baku

dan barang penolong, kemudian diikuti oleh barang modal dan barang

konsumsi. Tingginya impor bahan baku dan barang penolong

menunjukkan perkembangan industri yang membutuhkan bahan baku

untuk diproses menjadi bahan jadi. Meningkatnya impor bahan baku

dan barang modal ke Indonesia salah satunya disebabkan oleh

adanya realisasi investasi asing di Indonesia. Sedangkan kenaikan

impor konsumsi tiap tahunnya berkaitan dengan adanya perbaikan

taraf hidup masyarakat akibat naiknya pendapatan dan adanya

pergeseran polakon sumsi masyarakat.

Tabel 4.1. Jenis Impor Menurut Penggunaan, 2004-2014

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu,

Kemendag

Permintaan impor Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke

tahun hampir di semua kawasan perdagangan. Secara rata-rata ada

delapan negara importir yang memiliki kontribusi impor yang besar ke

Indonesia yaitu Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Korea

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

TOTAL IMPOR 46 524.5 57 700.9 61 065.5 74 473.4 129 197.3 96 829.2 135 663.3 177 435.6 191 689.5 186 628.7 178 178.8

Barang Konsumsi 3 579.4 4 434.3 4 553.6 6 487.4 8 303.7 6 752.6 9 991.6 13 392.9 13 408.6 13 138.9 12 667.2

1 Makanan dan Minuman (Belum Diolah) Untuk Rumah Tangga 361.8 381.2 557.3 748.2 797.4 955.6 1 166.9 1 847.8 1 541.4 1 385.6 1 542.3

2 Makanan dan Minuman (Olahan) Untuk Rumah Tangga 885.5 1 102.4 1 222.6 1 959.8 1 903.1 1 367.3 2 439.6 3 626.1 2 836.9 2 443.0 2 755.1

3 Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan) 757.0 1 294.9 836.4 1 197.8 1 617.2 591.2 970.3 1 625.5 1 435.3 1 350.9 1 222.9

4 Mobil Penumpang 290.1 292.7 226.4 390.9 574.8 451.2 918.1 1 029.0 1 515.3 1 192.4 783.7

5 Alat Angkutan Bukan Untuk Industri 44.4 44.9 86.4 93.6 153.0 228.3 254.3 286.7 350.3 386.1 267.0

6 Barang Konsumsi Tahan Lama 337.7 371.2 396.5 478.9 822.1 818.3 1 075.0 1 288.3 1 584.7 1 599.5 1 418.3

7 Barang Konsumsi Setengah Tahan Lama 352.4 388.1 582.9 673.6 1 134.7 941.1 1 367.7 1 774.2 1 953.9 2 164.0 1 993.8

8 Barang Konsumsi Tidak Tahan Lama 480.8 540.7 626.9 809.0 1 229.2 1 189.4 1 541.5 1 699.0 1 926.5 2 165.1 2 150.6

9 Barang Yang Tidak Diklasifikasikan 69.6 18.2 18.4 135.6 72.3 210.3 258.2 216.5 264.4 452.2 533.6

Bahan Baku/Penolong 36 406.6 44 958.0 47 368.4 56 543.7 99 492.7 69 638.1 98 755.1 130 934.3 140 126.0 141 957.9 136 208.6

1 Makanan dan Minuman (Belum diolah) Untuk Industri 1 444.1 1 314.6 1 343.1 2 074.2 3 244.4 2 640.9 3 074.8 4 186.7 4 101.0 4 354.4 4 935.4

2 Makanan dan Minuman (Olahan) Untuk Industri 593.2 846.4 942.5 1 543.4 1 271.6 1 582.0 2 165.8 3 330.2 3 349.3 3 685.2 3 247.0

3 Bahan Baku (Belum Diolah) Untuk Industri 2 201.4 2 030.9 2 414.1 2 806.2 4 721.6 2 901.3 4 539.3 6 813.2 5 639.7 6 299.3 6 001.7

4 Bahan Baku (Olahan) Untuk Industri 15 465.9 17 492.1 18 152.2 21 798.8 40 312.9 29 248.8 41 714.3 53 409.6 59 437.0 58 353.6 57 171.7

5 Bahan Bakar dan Pelumas (Belum Diolah) 5 847.0 6 810.7 7 866.9 9 067.8 10 086.6 7 387.3 8 553.5 11 173.5 10 853.3 13 673.1 13 369.3

6 Bahan Bakar Motor 1 455.9 2 814.9 3 243.1 3 847.5 6 019.4 5 135.1 8 464.6 11 962.4 14 061.7 14 839.2 15 006.1

7 Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan) 3 828.4 6 679.7 7 061.1 7 828.9 12 806.5 5 750.9 9 270.0 15 771.2 15 835.5 14 977.2 13 733.4

8 Suku Cadang dan Perlengkapan Barang Modal 2 910.8 3 747.8 3 611.7 4 652.3 14 542.5 11 000.0 14 815.6 16 937.8 18 126.1 16 803.3 15 679.3

9 Suku Cadang dan Perlengkapan Alat Angkutan 2 659.8 3 220.9 2 733.5 2 924.7 6 487.1 3 991.9 6 157.0 7 349.7 8 722.3 8 972.6 7 064.6

Barang Modal 6 538.5 8 308.6 9 143.5 11 442.3 21 400.9 20 438.5 26 916.6 33 108.4 38 154.8 31 531.9 29 303.0

1 Barang Modal Kecuali Alat Angkutan 5 416.7 6 490.8 6 209.5 8 407.3 16 249.9 13 311.8 18 777.0 23 660.1 26 659.3 26 128.2 25 661.9

2 Mobil Penumpang 290.1 292.7 226.4 390.9 574.8 451.2 918.1 1 029.0 1 515.3 1 192.4 783.7

3 Alat Angkutan Untuk Industri 831.7 1 525.1 2 707.6 2 644.1 4 576.2 6 675.5 7 221.6 8 419.3 9 980.2 4 211.3 2 857.4

Nilai : USD JutaU R A I A N

Page 59: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 49

Selatan, Australia, Cina, dan Taiwan. Dalam 10 tahun terakhir,

perkembangan impor Indonesia menurut negara asal di kawasan

ASEAN memiliki volume yang tertinggi dibandingkan dengan negara-

negara dikawasan lain. Hal ini disebabkan karena pada 10 tahun

terakhir, negara-negara ASEAN mulai menerapkan ACFTA (Asia Cina

Free Trade Area) yang mengakibatkan meningkatnya volume impor

dari wilayah ASEAN dan Cina secara signifikan.

Tabel 4.2. Nilai Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun

Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu

Kemendag

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

17,667.31 19,522.99 20,566.35 24,605.03 45,034.53 32,150.05 46,253.61 60,222.76 65,076.70 64,652.83 63,173.38

1 2304000000 Oil-cake&other solid residues,in pellet form, from the extract of soyabea 532.00 474.17 493.33 702.13 1,040.66 1,019.55 1,162.00 1,321.04 1,828.49 1,926.98 2,194.93

2 5201000000 Cotton, not carded/combed. 679.91 576.00 619.89 800.10 1,190.70 765.36 1,148.39 1,785.83 1,333.14 1,346.31 1,400.81

3 2902430000 P-xylene 597.29 606.53 769.97 770.59 858.53 596.41 808.57 973.72 959.50 1,089.64 1,172.04

4 7207121000 Slabs of iron/non alloy, cont.< 0,25% of carbon, other than square 512.81 561.10 659.28 753.28 1,425.95 609.99 1,104.03 1,147.83 1,238.95 1,179.69 1,050.02

5 2901210000 Ethylene 412.69 323.86 332.92 314.59 543.97 518.51 632.62 792.68 879.74 850.41 906.43

6 3902102000 Polypropylene in granule form 137.77 131.68 149.42 174.38 353.09 315.31 498.99 962.12 783.50 861.10 904.55

7 3104200000 Potassium chloride 173.73 199.80 213.35 340.78 1,252.01 340.58 719.16 1,443.83 1,240.58 963.26 890.82

8 1005909000 Maize (corn), other than seeds 170.71 27.07 276.12 147.51 76.46 69.92 363.16 1,002.24 493.36 909.30 800.11

9 7403110000 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 30.64 49.86 107.78 53.67 477.96 220.21 537.44 639.97 735.49 668.86 773.08

10 7204490000 Other ferrous waste and scrap : 144.45 157.61 161.16 233.67 656.25 328.99 487.42 751.23 712.48 864.51 743.98

11 3901109010 Polymers of ethylene, in granule form 129.70 151.87 167.78 184.84 251.96 201.12 311.00 417.85 472.00 579.41 656.78

12 2713200000 Petroleum bitumen 20.91 19.05 68.25 111.90 190.95 203.14 277.24 307.42 537.14 614.29 550.20

13 4703210000 Chemical wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,conifer 167.76 140.88 180.15 218.30 257.43 252.29 345.18 382.79 354.73 470.21 528.91

14 2905310000 Ethylene glycol (ethanediol) 240.28 285.07 257.09 255.55 386.16 214.04 380.60 492.75 457.24 471.95 517.47

15 3902309010 Propylene copolymers in granule form 107.19 106.20 130.54 158.08 214.17 179.33 251.01 388.75 400.20 457.45 492.96

16 4702000000 Chemical wood pulp, dissolving grades. 181.67 176.74 141.32 123.35 365.22 160.48 402.79 530.64 422.18 490.19 476.63

17 3901200000 Polyethylene having a specific gravity 0.94 or more 72.09 86.05 91.65 83.28 174.08 103.83 213.61 313.94 368.51 438.13 454.60

18 7601200000 Aluminium alloys 142.48 171.42 200.21 262.11 378.78 191.80 358.71 465.45 448.95 392.87 439.28

19 7304290010 Unfinish casetube&unworked pipe end with yield strength less than 75, - - - 17.22 174.88 139.18 205.60 413.35 433.12 335.36 437.17

20 6006220000 Oth dyed knit/crochtd fbrcs of cotton oth than of heading 60.01-60.04. - - - 6.60 116.06 158.29 270.14 402.17 376.65 361.48 391.85

4,454.11 4,244.97 5,020.22 5,711.95 10,385.26 6,588.36 10,477.67 14,935.61 14,475.96 15,271.39 15,782.62

13,213.21 15,278.03 15,546.13 18,893.08 34,649.27 25,561.69 35,775.94 45,287.15 50,600.74 49,381.43 47,390.75

No.

TOTAL

SUB TOTAL

LAINNYA

Nilai : USD Juta

HS 10 URAIAN

Page 60: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 50

Tabel 4.3. Volume Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah

Maupun Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

4.1.2. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong untuk Industri

Kimia, TPT dan, Elektronika

Selama tahun 2000-2013, impor bahan baku untuk industri Kimia

yang mengalami peningkatan paling signfikan, yakni mencapai 16,8%

per tahun, dari senilai Rp. 15,0 trilliun menjadi Rp. 70,1 trilliun. Adapun

penggunaan impor bahan baku untuk industri Kimia tertinggi selama

2000-2013 adalah di tahun 2011 yang mencapai Rp. 102,0 trilliun.

Pada periode yang sama, impor bahan baku untuk industri TPT naik

rata-rata 8,1% per tahun dari Rp. 17,1 trilliun di tahun 2000 menjadi

Rp. 39,9 trilliun di tahun 2013. Sedangkan impor bahan baku untuk

industri elektronik justru mengalami penurunan rata-rata 0,9% per

tahun selama 2000-2013.

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

21,001.90 22,707.55 23,666.74 26,065.45 33,451.15 27,571.76 35,061.14 41,188.48 50,329.54 48,510.46 49,892.03

1 2304000000 Oil-cake&other solid residues,in pellet form, from the extract of soyabea 1,730.02 1,852.70 2,116.06 2,323.10 2,273.29 2,324.28 2,868.88 2,938.56 3,479.61 3,509.82 3,828.67

2 5201000000 Cotton, not carded/combed. 1,012.29 947.21 1,039.30 1,382.17 1,948.58 562.11 1,763.29 3,119.33 2,476.70 2,251.39 2,893.84

3 3809910000 Oth finish agent,dye carriers to accele kind used in the textile or like indu 0.95 2.80 3.50 0.05 34.42 85.14 693.41 1,191.02 1,694.61 874.76 2,148.30

4 7204490000 Other ferrous waste and scrap : 1,192.36 1,245.32 1,576.92 1,394.15 1,680.87 1,398.86 1,957.14 1,702.34 2,125.90 2,307.14 1,984.01

5 7228700000 Angles, shapes and sections of other alloy steel 71.42 288.62 363.13 428.72 735.60 283.53 967.32 1,122.26 1,255.88 772.59 1,119.65

6 3901109010 Polymers of ethylene, in granule form 103.85 86.47 220.08 335.36 400.65 479.20 530.58 520.29 813.77 943.79 944.51

7 2902430000 P-xylene 778.16 666.44 704.75 688.18 706.17 653.54 777.53 623.77 643.41 723.50 935.99

8 7318151100 Screw metal with/without nuts/washers with an external diameter <=16 m 738.29 776.53 625.05 743.76 803.03 697.48 822.92 949.90 872.32 891.97 913.83

9 7901110000 Zinc not alloyed containing by weight 99.99% or more of zinc 106.82 172.15 279.41 242.22 438.63 338.39 268.45 503.39 820.35 728.49 864.45

10 5503200000 Synthetic staple fibres of polyesters 19.70 22.81 20.94 87.48 118.94 90.78 170.62 293.86 570.16 521.06 734.83

11 4703210000 Chemical wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,conifer 293.12 263.41 307.50 296.81 348.08 460.98 443.42 448.38 494.98 656.39 688.26

12 7308909000 Other structures and parts of structures of iron or steel 172.27 161.12 273.63 259.23 462.07 271.36 251.11 504.90 715.19 380.46 683.73

13 2901210000 Ethylene 475.04 336.98 294.47 260.96 443.77 663.71 589.53 674.59 716.58 628.28 636.89

14 7208390000 Flat-rolled iron/nas, HRC, width >600 mm, thick< 3 mm 520.04 370.26 208.82 317.74 427.15 272.42 315.04 520.79 745.99 673.96 616.89

15 4707100010 Unbleached kraft paper or paperboard for paper making purposes 12.73 18.09 12.82 41.41 51.42 18.52 63.17 81.90 299.85 541.56 605.67

16 3902102000 Polypropylene in granule form 166.45 129.42 123.87 138.96 218.72 297.48 377.02 607.18 545.96 574.96 586.21

17 2818200000 Aluminium oxide, other than artificial corundum 396.47 470.92 452.07 418.58 441.80 484.17 456.16 441.33 518.47 516.19 569.96

18 7210301000 Flat-rolled of iron/nas,carbon < 0.6% plated or coated with lead, thick <1 29.01 46.59 31.03 63.67 68.43 76.97 192.22 275.95 261.87 341.46 557.36

19 2905310000 Ethylene glycol (ethanediol) 261.91 252.08 199.22 137.97 351.80 204.20 380.62 451.55 432.23 517.36 523.43

20 7304290010 Unfinish casetube&unworked pipe end with yield strength less than 75, 488.83 465.29 280.13 309.08 355.34 520.14 301.63 294.79 986.05 717.58 502.61

8,569.73 8,575.21 9,132.67 9,869.58 12,308.76 10,183.27 14,190.06 17,266.10 20,469.87 19,072.71 22,339.10

12,432.17 14,132.34 14,534.07 16,195.87 21,142.39 17,388.49 20,871.08 23,922.39 29,859.67 29,437.74 27,552.94

No.

TOTAL

SUB TOTAL

LAINNYA

Volume : Ribu TonHS 10 URAIAN

Page 61: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 51

Gambar 4.1. Nilai bahan baku impor yang digunakan pada

Industri Kimia, TPT, dan Elektronik

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

Meskipun nilai impor bahan baku untuk industri elektronik

mengalami penurunan, namun kontribusi bahan baku impor dibanding

total bahan baku yang digunakan industri tersebut mencatat angka

tertinggi dibanding industri yang lain. Pada tahun 2013, kontribusi

bahan baku impor untuk industri elektronik mencapai 58,0% dari total

bahan baku yang digunakan. Sementara kontribusi bahan baku impor

untuk industri Kimia dan TPT masing-masing sebesar 35,1% dan

36,2%.

Gambar 4.2. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

industri Kimia, TPT, dan Elektronik

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Industri Kimia 15.0 23.9 21.5 19.0 16.7 19.7 30.1 34.7 75.8 98.7 93.9 102.0 73.6 70.1

Industri TPT 17.1 18.3 17.9 21.4 24.9 32.1 29.6 28.1 27.8 29.0 51.1 52.4 39.1 39.9

Industri Elektronik 19.6 7.2 8.3 11.7 25.5 8.6 11.7 13.4 12.1 13.1 7.9 10.7 8.2 16.0

-

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0 T

rill

iun

Ru

pia

h

Nilai Bahan Baku Impor

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Industri Kimia 51.0 50.0 45.1 45.6 37.5 37.0 42.9 45.9 58.9 61.7 53.7 52.4 43.0 35.1

Industri TPT 35.2 37.4 35.8 39.1 40.5 43.8 40.8 36.9 38.3 36.2 46.3 52.9 37.3 36.2

Industri Elektronik 75.8 48.4 61.3 60.7 48.2 70.5 43.5 53.4 53.7 43.8 35.1 62.2 75.0 58.0

30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 60.0 65.0 70.0 75.0 80.0

(%)

Kontribusi Bahan Baku Impor

Page 62: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 52

Dilihat lebih detail (Gambar 4.3), jenis industri kimia yang

menggunakan bahan baku impor lebih besar dibanding bahan baku

lokal diantaranya adalah industri bahan peledak, industri farmasi,

industri tinta, industri kimia dasar anorganik khlor dan alkali, dan

Industri kimia dasar organik bersumber dari minyak bumi, gas bumi

dan batu bara. Kelima industri tersebut menggunakan bahan baku asal

impor lebih dari 60% dari total bahan baku yang digunakan.

Gambar 4.3. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

beberapa jenis industri Kimia

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

Sementara itu, 5 jenis industri TPT yang menggunakan bahan

baku impor cukup tinggi antara lain Industri barang dari tali, Industri

barang jadi tekstil untuk keperluan kesehatan, Industri karpet dan

permadani, Industri pakaian jadi dari tekstil, dan Industri pakaian jadi

(garmen) dari kulit. Kelima industri tersebut menggunakan bahan baku

asal impor sekitar 50% dari total bahan baku yang digunakan. Namun

demikian, penggunaan bahan baku asal impor untuk industri pakaian

jadi (garmen) dari kulit turun signifikan sejak tahun 2010.

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Average2

24292 0.64 0.77 0.75 0.74 0.59 0.77 0.76 0.26 0.88 0.87 0.87 0.85 0.76 0.73 0.73

24232 0.71 0.65 0.53 0.54 0.57 0.53 0.64 0.65 0.94 0.92 0.85 0.83 0.49 0.53 0.67

24293 1.00 0.74 0.76 0.74 0.82 0.69 0.62 0.60 0.58 0.66 0.64 0.45 0.38 0.61 0.66

24111 0.50 0.73 0.61 0.72 0.70 0.63 0.35 0.78 0.72 0.62 0.62 0.84 0.55 0.64 0.64

24117 0.53 0.96 0.96 0.87 0.35 0.38 0.48 0.62 0.73 0.79 0.83 0.57 0.77 0.17 0.64

-

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

Proporsi Bahan baku impor terhadap Total Bahan Baku Industri Kimia 2000 - 2013

Page 63: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 53

Gambar 4.4. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

beberapa jenis industri TPT

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu

Kemendag

Bahan baku impor yang digunakan untuk industri Kimia (Gambar

4.5) cukup tinggi. Beberapa industri yang menggunakan bahan baku

impor berkisar 40-80% dari total bahan baku yang digunakan antara

lain Industri tabung dan katup elektronik serta komponen elektronik

lainnya; Industri radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar

dan sejenisnya; serta Industri mesin kantor, komputasi dan akuntansi

elektronik. Proporsi penggunaan bahan baku impor oleh Industri radio,

televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar dan sejenisnya sangat

berfluktuatif dan cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2011.

Sementara itu, proposi penggunaan bahan baku impor untuk Industri

mesin kantor, komputasi dan akuntansi elektronik justru mengalami

peningkatan sejak tahun 2011 dan mencapai angka tertinggi pada

tahun 2012 yang mencapai 81% dari total bahan baku yang

digunakan.

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

17232 0.39 0.40 0.33 0.34 0.40 0.41 0.77 0.66 0.67 0.65 0.60 0.76 0.63 0.51

18103 0.81 0.78 0.77 0.60 0.47 0.75 0.82 0.97 0.31 0.71 0.20 0.09 0.00 0.01

17212 0.55 0.46 0.34 0.53 0.55 0.49 0.09 0.04 0.50 0.61 0.85 0.83 0.49 0.53

17220 0.42 0.47 0.51 0.40 0.32 0.55 0.44 0.43 0.29 0.64 0.59 0.56 0.39 0.65

18101 0.46 0.40 0.45 0.47 0.49 0.45 0.47 0.46 0.45 0.46 0.46 0.48 0.48 0.50

-

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

Proporsi Bahan baku impor terhadap Total Bahan Baku Industri Tekstil 2000 - 2013

Page 64: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 54

Gambar 4.5. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada

beberapa jenis industri Elektronik

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu

Kemendag

4.2. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan

Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik

4.2.1. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif Bahan Baku/Penolong

Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik

Rata-rata tariff bea masuk untuk produk TPT merupakan yang

tertinggi dibanding produk lainnya. Pada tahun 2006, rata-rata tarif bea

masuk impor produk Kimia, TPT, dan Elektronik masing-masing

sebesar 4,68%, 9,48%, dan 3,73%. Tariff untuk impor TPT tetap

hingga pada tahun 2015 naik menjadi 12,59%. Adapun rata-rata tarif

bea masuk untuk impor produk kimia mengalami penurunan di tahun

2012 menjadi 4,52% dari sebelumnya 4,68%, meskipun kembali naik

di tahun 2015 menjadi 5,02%. Hal serupa juga terjadi untuk besaran

tariff bea masuk produk lektronik. Pada tahun 2011, rata-rata tariff bea

masuk produk Elektronik turun dari 3,73% menjadi 3,45%, namun

kembali naik di tahun 2015 menjadi 4,02%.

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Average3

32100 0.84 0.86 0.91 0.68 0.58 0.88 0.43 0.71 0.76 0.73 0.51 0.66 0.73 0.68 0.71

32200 0.96 0.54 0.88 0.97 0.60 0.67 0.69 0.97 0.95 0.09 0.61 0.03 0.03 0.24 0.59

32300 0.62 0.36 0.45 0.49 0.43 0.50 0.37 0.39 0.31 0.31 0.24 0.59 0.81 0.51 0.46

-

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

Proporsi Bahan baku impor terhadap Total Bahan Baku Industri Elektronik 2000 - 2013

Page 65: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 55

Gambar 4.6. Rata-rata tarif bea masuk produk TPT, Kimia, dan

Elektronik

Sumber: Kemenkeu (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

4.2.2. Identifikasi Kebijakan Impor Non Tarif Bahan Baku/Penolong

Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik

Jumlah NTM yang diberlakukan oleh Indonesia cukup besar.

Berdasarkan laporan dari World Bank, jumlah NTM yang berlaku di

Indonesia mencapai 36.609, yang berarti 1 post tarif bisa memiliki

NTM lebih dari 1 jenis. Produk yang paling banyak menerapkan NTM

adalah TPT, Produk Sayuran, Makanan Olahan, dan Produk Kimia.

Jumlah NTM untuk TPT mencapi 8.145 dengan jumlah post tariff

sebanyak 1.167 (100% dari total post tarif TPT). Adapun jumlah NTM

untuk Produk Kimia sebesar 4.144 dengan jumlah post tariff yang

menerapkan NTM 762 post tariff (64,5% dari total post tariff produk

Kimia). Sementara itu, produk Elektronik merupakan produk yang

paling sedikit menerapkan NTM dibanding TPT dan Produk Kimia,

yakni 3.380 yang berlaku pada 875 post tariff (41,2% dari total post

tarif Produk Elektronik).

3.73% 3.45% Elektronik, 4.02%

9.84%

TPT, 12.59%

4.68% 4.52%Kimia, 5.02%

0.00%

2.00%

4.00%

6.00%

8.00%

10.00%

12.00%

14.00%

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Page 66: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 56

Tabel 4.4. Jumlah Pos Tarif dan Pos Tarif yang Terkena Hambatan

Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk

Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

Jenis NTM yang paling banyak berlaku untuk produk Kimia

adalah import NTMs (11,8% dari total NTM yang berlaku) dan TBT

(16,9%). Untuk TPT, jenis NTM yang berlaku didominasi oleh TBT

(25,3%) dan Import NTMs (20,3%). Sedangkan untuk produk

Elektronik, NTM yang berlaku didominasi oleh TBT (15,4%) dan Import

NTMs (11,5%).

Product Groups No. of NTMs % of NTMsNo.Tariff

lines

No.tariff

lines

subject to

NTMs

% Of Tariff

Line subject

to NTMs

Animal and animal products 2417 6.60 573 290 50.61

Vegetables products 5287 14.44 480 480 100.00

Animals or vegetables fats 384 1.05 164 72 43.90

Prepared foodstuffs 4298 11.74 453 452 99.78

Mineral product 755 2.06 206 179 86.89

Chemical products 4144 11.32 1182 762 64.47

Plastics and rubber 560 1.53 491 136 27.70

Hides and Skin 180 0.49 102 90 88.24

Wood & wood products 934 2.55 160 155 96.88

Wood pulps products 1243 3.40 283 229 80.92

Textile & textile products 8145 22.25 1167 1167 100.00

Footwear & Headgear 281 0.77 75 40 53.33

Article of stone, plaster, cement. Asbetos 206 0.56 224 81 36.16

Pearls, precious or semi precious stones, metals 223 0.61 89 51 57.30

Based metals & articles therof 1762 4.81 984 426 43.29

Machinery & Mechanical appliances 3380 9.23 2123 875 41.22

Transportation equipment 1214 3.32 633 470 74.25

Instruments-measuring musical 549 1.50 309 111 35.92

Musical instrument, parts and accessories 12 0.03 20 5 25.00

ARMS AND AMMUNITION; PARTS AND ACCE 42 0.11 27 18 66.67

Miscellaneous 589 1.61 255 114 44.71

Works of Art 4 0.01 13 3 23.08

36609 100.00 10013 6206 61.98

Page 67: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 57

Tabel 4.5. Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok

Produk

Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa beberapa post tarif

di Indonesia berlaku lebih dari 1 NTM. Sebagian besar post tarif yang

masuk ke dalam kelompok produk Kimia, berlaku 3 NTM sekaligus

dalam 1 post tarif. Begitu pula untuk TPT dan Produk Elektronik.

Bahkan, semua post tarif dalam kelompok TPT berlaku minimal 2 NTM

pada setiap post tarifnya.

Product Groups SPS (A) % TBT (B) % Others % Import

NTMs

(%)

Import

NTMs

Export

NTMs

(%) Export

NTMs

Animal and animal products 1593 20.50 387 2.36 158 3.09 2138 7.30 279 3.82

Vegetables products 3935 50.64 190 1.16 371 7.25 4496 15.34 791 10.83

Animals or vegetables fats 84 1.08 213 1.30 5 0.10 302 1.03 82 1.12

Prepared foodstuffs 1037 13.35 2517 15.33 646 12.63 4200 14.33 98 1.34

Mineral product 8 0.10 166 1.01 67 1.31 241 0.82 514 7.04

Chemical products 153 1.97 2772 16.88 540 10.56 3465 11.82 679 9.30

Plastics and rubber 46 0.59 369 2.25 107 2.09 522 1.78 38 0.52

Hides and Skin 64 0.82 9 0.05 14 0.27 87 0.30 93 1.27

Wood & wood products 159 2.05 0 - 2 0.04 161 0.55 773 10.58

Wood pulps products 34 0.44 96 0.58 8 0.16 138 0.47 1105 15.13

Textile & textile products 198 2.55 4161 25.34 1580 30.89 5939 20.27 2206 30.21

Footwear & Headgear 32 0.41 146 0.89 85 1.66 263 0.90 18 0.25

Article of stone, plaster, cement. Asbetos 16 0.21 121 0.74 31 0.61 168 0.57 38 0.52

Pearls, precious or semi precious stones, metals 0 - 63 0.38 27 0.53 90 0.31 133 1.82

Based metals & articles therof 35 0.45 1101 6.70 412 8.05 1548 5.28 214 2.93

Machinery & Mechanical appliances 302 3.89 2525 15.38 549 10.73 3376 11.52 4 0.05

Transportation equipment 23 0.30 811 4.94 380 7.43 1214 4.14 0 -

Instruments-measuring musical 19 0.24 485 2.95 25 0.49 529 1.81 20 0.27

Musical instrument, parts and accessories 4 0.05 3 0.02 5 0.10 12 0.04 0 -

ARMS AND AMMUNITION; PARTS AND ACCE 0 - 17 0.10 8 0.16 25 0.09 17 0.23

Miscellaneous 27 0.35 269 1.64 95 1.86 391 1.33 198 2.71

Works of Art 1 0.01 0 - 0 - 1 0.00 3 0.04

7770 100 16421 100 5115 100 29306 100 7303 100

Share (%) 21.22 44.855 13.972 80.05 19.95

Page 68: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 58

Gambar 4.7. Persentase Hambatan Non Tarif Indonesia

Berdasarkan Kelompok Produk

Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

Pengaturan NTM terhadap impor Kimia sudah dimulai pada

tahun 2003 dan terus bertambah sampai tahun 2014. Tidak semua

sub sektor pada industri Kimia dikenakan NTM. Adapaun sub sektor

yang paling banyak dikenakan NTM adalah KBLI 24114, yakni Industri

Kimia Dasar Anorganik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain;

Industri kimia dasar organik bersumber dari minyak bumi, gas bumi

dan batu bara; dan Industri kimia dasar organik yang tidak

diklasifikasikan di tempat lain.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

1ntm 2ntm 3 or more

Page 69: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 59

Gambar 4.8. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Kimia

menurut KBLI 5 digit

Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

Berbeda dengan industri Kimia, NTM untuk industri TPT mulai

berlaku pada tahun 2009. Pada Rata-rata subsektor di industri TPT

dikenakan 3 NTM. Subsektor yang sudah dikenakan NTM sejak tahun

2009 adalah Industri Pertenunan (Kecuali Pertenunan Karung Goni

dan Karung Lainnya); Industri Kain Tenun Ikat; Industri

Penyempurnaan Kain; Industri Pencetakan Kain; dan Industri yang

Menghasilkan Kain Pita (Narrow Fabric). Adapun sub sektor yang

paling banyak dikenakan NTM adalah Industri Persiapan Serat Tekstil;

Industri Kain Rajut; dan Industri Pakaian Jadi dari Tekstil.

0

5

10

15

20

25

30

35

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

24114

24117

24119

24211

24116

24231

24111

24131

24232

24118

24115

Page 70: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 60

Gambar 4.9. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri TPT

menurut KBLI 5 digit

Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

Seperti halnya industri TPT, NTM untuk industri Elektronik

berlaku sejak tahun 2009. NTM yang berlaku pada industri Elektronik

naik signifikan pada tahun 2012. Sub sektor industri Elektronik yang

paling banyak dikenakan NTM terbanyak adalah Industri mesin kantor,

komputasi dan akuntansi elektronik dan Industri alat transmisi

komunikasi.

Gambar 4.10. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Elektronik

menurut KBLI 5 digit

Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag

0

2

4

6

8

10

12

14

16

2009 2010 2011 2012 2013 2014

17111

17301

18101

17211

17215

17302

17304

18102

17114

17115

0

2

4

6

8

10

12

2009 2010 2011 2012 2013 2014

30003

32200

32100

32300

Page 71: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 61

Pemerintah Indonesia menyadari banyaknya NTM yang berlaku

di Indonesia. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan daya saing dan

menciptakan iklim usaha yang kondusif, maka pemerintah

mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi, dimana Kementerian

Perdagangan telah memangkas sebesar 28,9% perizinan terkait

proses ekspor impor. Regulasi yang saat ini masih berlaku untuk

proses importasi produk Kimia, TPT, dan Produk Elektronik

sebagaimana diuraikan pada Tabel di bawah ini.

Tabel 4.6. Regulasi yang Berlaku Saat Ini Untuk Produk Kimia,

TPT, dan Elektronik

Produk Regulasi Pengaturan

Kimia Permendag No. 75/M-

DAG/PER/10/2014 tentang

Pengadaan, DistribusI, dan

Pengawasan bahan

Berbahaya

• Hanya boleh melalui Pelabuhan tertentu

• Impor boleh bagi Importir-Produsen dan Importir-Terdaftar

• Mensyaratkan Persetujuan Impor (PI)

PP 74/2001 tentang

Pengelolaan Bahan

Berbahaya dan Beracun

• Wajib registrasi • Wajib mengikuti prosedur

notifikasi • Wajib menggunakan sarana

pengangkutan yang laik operasi • Kemasan wajib diberi simbol dan

label dan dilengkapi Lembar Data Keselamatan Bahan

Permendag No. 36/M-

DAG/PER/7/2013 tentang

Ketentuan Impor Bahan Baku

Plastik

• Impor boleh bagi Importir-Produsen dan Importir-Terdaftar

• Mensyaratkan Persetujuan Impor (PI)

Peraturan Kepala Badan POM

Nomor 13 Tahun 2015

• Surat Keterangan Impor • Memenuhi persyaratan label, surat

rekomendasi, dan sertfikat lain yang dipersyaratkan Peraturan Kepala Badan POM

Nomor 12 Tahun 2015

Page 72: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 62

Produk Regulasi Pengaturan

Elektronik Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 87/M-

DAG/PER/10/2015 tentang

Ketentuan Impor Produk

Tertentu

• Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu

• Mensyaratkan Verifikasi penelusuran teknis impor

• API-U dan/atau API-P (untuk barang modal/bahan baku)

Permendag No. 82/M-

DAG/PER/12/2012 jo.

Permendag No. 38/M-

DAG/PER/8/2013 jo.

Permendag No. 48/M-

DAG/PER/8/2014 tentang

Ketentuan Impor Telepon

Seluler, Komputer Genggam

(Handheld), dan Komputer

Tablet

• Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu

• Mensyaratkan Importir Terdaftar (IT)

• Mensyaratkan Persetujuan Impor (PI)

• Mensyaratkan Verifikasi penelusuran teknis impor termasuk pemeriksaan kesesuaian IMEI dan sertifikasi

• Mensyaratkan standard tertentu dan pelabelan

TPT Peraturan Men. Perdagangan

No. 85/M-DAG/PER/10/2015

tentang Ketentuan Impor

Tekstil dan Produk Tekstil

• Impor sebagai bahan baku/penolong

• Mensyaratkan API-P • Mensyaratkan Persetujuan Impor

(PI) • Mensyaratkan Verifikasi

penelusuran teknis impor • Impor tidak boleh melebihi

kapasitas industri

Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 87/M-

DAG/PER/10/2015 tentang

Ketentuan Impor Tertentu

• Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu

• Mensyaratkan Verifikasi penelusuran teknis impor

• API-U dan/atau API-P (untuk barang modal/bahan baku)

Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 86/M-

DAG/PER/10/2015 tentang

Ketentuan Impor Tekstil &

• API-U dan/atau API-P • Mensyaratkan Persetujuan Impor

(PI) • Mensyaratkan Verifikasi

penelusuran teknis impor • Hanya boleh melalui Pelabuhan

Tertentu

Page 73: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 63

Produk Regulasi Pengaturan

Produk Tekstil Batik dan Motif

Batik

Sumber: Kemendag (2016)

4.3. Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik

Nilai bahan baku impor untuk industri Kimia merupakan yang

terbesar dibanding industri TPT dan Elektronik. Namun demikian, hal

tersebut sepadan dengan nilai output yang dihasilkan, dimana output

industri Kimia juga yang terbesar dibanding industri TPT dan

Elektronik. Pada tahun 2013, nilai output industri Kimia mencapai Rp.

273,4 trilliun, sementara output industri TPT dan Elektronik masing-

masing sebesar Rp. 140,1 trilliun dan Rp, 34,9 trilliun.

Selama 2000-2013, nilai output industri Kimia dan TPT naik rata-

rata 14,0% dan 6,4% per tahun. Sementara nilai output industri

Elektroni turun rata-rata 2,2% per tahun. Nilai output industri Kimia dan

TPT mencapai yang tertinggi pada tahun 2011 dengan nilai masing-

masing Rp. 355,2 trilliun dan Rp. 280,2 trilliun. Namun, output

keduanya mengalami penurunan di tahun 2012.

Gambar 4.11. Perkembangan kinerja Output Industri Kimia,

TPT,dan Elektronik

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Industri Kimia 61.4 86.4 90.5 90.3 92.8 110.1 147.6 173.1 266.2 314.7 314.0 355.2 217.1 273.4

Industri TPT 91.7 86.9 96.3 105.2 115.3 129.8 148.7 158.8 146.5 168.6 246.1 280.2 133.8 140.1

Industri Elektronik 43.3 26.2 32.3 40.0 77.4 30.6 47.5 46.9 41.7 56.5 40.8 36.5 12.8 34.9

-

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

300.0

350.0

400.0

Rp

Tri

lliu

n

Page 74: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 64

Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu

Kemendag

4.4. Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non Tarif

Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia, Tekstil,

dan Elektronik

4.4.1. Analisa Deskriptif

Sebelum membahas hasil regresi dari persamaan simultan 3.1

dan 3.2 yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka akan

diuraikan terlebih dahulu pola/tren beberapa data yang digunakan di

dalam model persamaan simultan tersebut.

A. Industri Kimia

Rata-rata Impor bahan baku untuk Industri Kimia sebesar USD

1,87 miliar dan mencapai nilai maksimal USD 74,6 miliar. Tarif bea

masuk yang berlaku untuk bahan baku industri Kimia rata-rata

sebesar 0,05%.

Tabel 4.7. Analisis Deskriptif Industri Kimia

Variable Obs Mean Std. Dev. Min Max

Impor 359 1.87e+09 6.33e+09 1506 7.46e+10

nominalER 366 9.375.139 6.318.558 8.389.088 10452.04

pdbsektora~b 366 119568.2 64882.09 42919.3 230236.1

tarif 147 .047534 .0201282 0 .1

nontarif1 366 4.934.426 8.662.694 1.00e-07 27

y 365 6.72e+09 1.44e+10 5219090 1.57e+11

tk 365 6739.83 8.728.852 141 55093

k 355 2.08e+09 1.83e+10 10000 3.39e+11

Sumber: BPS (2016), UNCTAD (2016), dan Kemenkeu (2016), data diolah

Puska Daglu Kemendag

Selama periode analisa (2000-2013), nilai tambah sektoral di

kelompok industri kimia menunjukkan perkembangan yang

Page 75: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 65

meningkat secara stabil. selama periode tersbeut, PDB industri

Kimia naik hampir 5 kali lipat.

Gambar 4.12. Perkembangan PDB Industri Kimia1, 2000-2013

(Rp. Miliar)

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Sedangkan perkembangan nilai tukar selama periode 2000-2013

menunjukkan nilai yang berfluktuasi namun tidak terjadi perubahan

yang sangat drastis. Rata-rata nilai berada di sekitar Rp.8300-an per

USD hingga Rp.10000-an per USD, dengan nilai tertinggi mencapai

Rp 10452 per USD di akhir tahun analisa.

Gambar 4.13. Perkembangan Nilai tukar2, 2000-2013

1 PDB sektoral yang digunakan dalam persamaan untuk industri kimia adalah PDB harga berlaku

karena memberikan hasil yang lebih baik.

2 Nilai tukar yang digunakan untuk semua kelompok industri adalah nilai tukar nominal karena

memberikan hasil yang lebih baik dibanding nilai tukar riil.

0

50000

100000

150000

200000

250000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Page 76: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 66

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Rata-rata tarif MFN yang dikenakan pada bahan baku bagi

industri kimia selama tahun 2000-2013 cenderung sangat bervariasi

antar subsektor 5 digit KBLI yang tergabung dalam kelompok industri

kimia. Dalam uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa rata-rata

tarif untuk industri kimia berada pada kisaran 4%, sedangkan jika kita

lihat pada subsektornya terlihat bahwa terdapat subsektor yang

memiliki tarif hingga 9%, meskipun juga terdapat subsektor yang

sangat rendah.

Gambar 4.14. Rata-rata Tarif (MFN) Industri Kimia, 2000-2013

Sumber: Kemenkeu (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Begitu pula untuk kebijakan non tarif, secara rata-rata per tahun

menunjukkan nilai yang sangat bervariasi antar subsektor. Untuk

subsektor yang cukup banyak menerapkan kebijakan non-tarif,

kebijakan tarifnya sudah relatif tidak terlalu tinggi, seperti industri

24117 dengan rata-rata kebijakan NTM sebanyak 12, sedangkan

tarifnya tinggal berkisar 3%. Sedangkan industri 24299 dengan tarif

MFN hingga 8%, hanya menerapkan sekitar rata-rata 2 NTM.

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

24

11

1

24

11

2

24

11

3

24

11

4

24

11

5

24

11

6

24

11

7

25

59

5

24

11

9

24

12

1

24

12

2

24

12

3

24

12

9

24

13

1

24

13

2

24

21

1

24

21

2

24

21

3

24

22

0

24

23

1

24

23

2

24

23

3

24

23

4

24

24

1

24

24

2

24

29

1

24

29

2

24

29

3

24

29

4

24

29

5

24

29

9

24

30

1

24

30

2

24

93

9

Jenis Industri

Page 77: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 67

Gambar 4.15. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun

pada Industri Kimia, 2000-2013

Sumber: UNCTAD (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Jika dibandingkan antar subsektor, terlihat bahwa rata-rata nilai

output, bahan baku impor, capital dan tenaga kerja juga memiliki nilai

yang bervariasi dengan beberapa subsektor relatif sangat tinggi

seperti industri 24232, 24131, dan 24122. Umumnya nilai output jauh

lebih tinggi dari nilai input yang digunakan, yang secara sederhana

menunjukkan tingkat produktivitas yang cukup baik, kecuali industri

24122 dimana nilai capital justru lebih tinggi dari nilai output.

0

2

4

6

8

10

12

14

24

11

1

24

11

2

24

11

3

24

11

4

24

11

5

24

11

6

24

11

7

25

59

5

24

11

9

24

12

1

24

12

2

24

12

3

24

12

9

24

13

1

24

13

2

24

21

1

24

21

2

24

21

3

24

22

0

24

23

1

24

23

2

24

23

3

24

23

4

24

24

1

24

24

2

24

29

1

24

29

2

24

29

3

24

29

4

24

29

5

24

29

9

24

30

1

24

30

2

24

93

9

Page 78: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 68

Gambar 4.16. Rata-rata Output, Impor, Kapital dan Tenaga

kerja per tahun pada Industri Kimia, 2000-2013

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

B. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)

Rata-rata nilai impor bahan baku industri TPT mencapai USD 1,3

miliar dengan nilai maksimum USD 26,0 miliar. Adapun rata-rata tarif

bea masuk yang berlaku sebesar 9,76%.

Tabel 4.8. Analisis Deskriptif Industri TPT

Variable Obervasi Mean Std. Dev. Min Max

Impor 328,000 1.30e+09 2.79e+09 1983434,000 2.60e+10

nominalER 350,000 9374.89 6289767,000 8389088,000 10452.04

pdbsektora~b 350,000 8.51e+07 5.48e+07 45422,000 1.72e+08

tarif 350,000 9760571,000 3753835,000 25,000 150,000

nontarif1 350,000 2208571,000 273352,000 1.00e-07 14,000

y 346,000 5.86e+09 1.04e+10 484077.3 6.85e+10

tk 346,000 41387.48 93650.97 2907853,000 556821.5

k 0,000

Sumber: BPS (2016), UNCTAD (2016), dan Kemenkeu (2016), data

diolah Puska Daglu Kemendag

0

5000000000

10000000000

15000000000

20000000000

25000000000

30000000000

35000000000

40000000000

45000000000

Jenis Industri Kimia

Y Impor K L

Page 79: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 69

Selama periode analisa (2000-2013), nilai tambah sektoral di

kelompok industri TPT menunjukkan peningkatan yang cukup

signifikan, dari sebesar Rp. 45,4 trilliun di tahun 2000 menjadi Rp.

172,4 triliun di tahun 2013.

Gambar 4.17. Perkembangan PDB sektoral TPT, 2000-2013

(harga Berlaku, Rp. Miliar)

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Untuk nilai rata-rata tarif MFN di kelompok industri TPT variasi

nilai tidak sebesar di industri kimia, dimana cukup banyak subsektor

yang memiliki nilai tarif diatas 10%. Tarif bea masuk tertinggi berlaku

bagi impor sub sektor Industri Tekstil Jadi, untuk Keperluan

Kosmetika; Industri Karung Goni; dan Industri Rajut Kaos Kaki.

Ketiga sub sektor tersbeut memiliki rata-rata tarif bea masuk di atas

14% selama 2000-2013.

0

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

140,000

160,000

180,000

200,000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Page 80: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 70

Gambar 4.18. Rata-rata tarif per tahun Industri TPT, 2000-2013

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Untuk penerapan kebijakan non tarif, hanya industri 17111

(Industri Persiapan Serat Tekstil) yang memiliki cukup banyak bentuk

NTM, yaitu rata-rata sebesar 14 NTM. Sedangkan industri yang lain

hanya sekitar rata-rata 3-4 kebijakan NTM. Selain itu, beberapa sub

sektor dalam industri TPT tidak dikenakan kebijakan NTM, antara

lain sub sektor Industri Pemintalan Benang; Industri Pemintalan

Benang Jahit; Industri Batik; Industri Permadani (Babut); dan Industri

Pakaian Jadi / Barang Jadi dari Kulit Berbulu dan atau Aksesoris.

Gambar 4.19. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun

pada Industri TPT, 2000-2013

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

0.0000000

0.0200000

0.0400000

0.0600000

0.0800000

0.1000000

0.1200000

0.1400000

0.1600000

17

11

1

17

11

2

17

11

3

17

11

4

17

11

5

17

12

1

17

12

2

17

12

3

17

12

4

17

21

1

17

21

2

17

21

3

17

21

4

17

21

5

17

22

0

17

23

1

17

23

2

17

29

1

17

29

2

17

29

3

17

29

4

17

29

5

17

29

9

17

30

1

17

30

2

17

30

3

17

30

4

17

40

0

18

10

1

18

10

2

18

10

3

18

10

4

18

20

1

18

20

2

0.000

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000

16.000

17

11

1

17

11

2

17

11

3

17

11

4

17

11

5

17

12

1

17

12

2

17

12

3

17

12

4

17

21

1

17

21

2

17

21

3

17

21

4

17

21

5

17

22

0

17

23

1

17

23

2

17

29

1

17

29

2

17

29

3

17

29

4

17

29

5

17

29

9

17

30

1

17

30

2

17

30

3

17

30

4

17

40

0

18

10

1

18

10

2

18

10

3

18

10

4

18

20

1

18

20

2

Page 81: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 71

Untuk nilai output, capital, tenaga kerja, dan impor bahan baku

antar subsektor di kelompok industri TPT sangat bervariasi. Industri

18101 (Industri Pakaian Jadi dari Tekstil) memiliki nilai yang paling

besar, kemudian diikuti industri 17114 (Industri Pertenunan (Kecuali

Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya)). Kecuali industri

17302 (Industri Pakaian Jadi Rajut), nilai output relatif jauh lebih

tinggi dibanding nilai input, sehingga menunjukkan tingkat

produktivitas yang cukup baik.

Gambar 4.20. Rata-rata Nilai Output, Kapital dan Impor bahan

baku industri TPT, 2000-2010

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Yang cukup menarik adalah, rata-rata penggunaan tenaga kerja

di industri TPT tidak sebesar yang diperkirakan sebagai industri yang

bersifat labor intensive, karena hanya industri 18101 (Industri

Pakaian Jadi dari Tekstil) dan 17114 Industri Pertenunan (Kecuali

Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya)) yang cukup banyak

menggunakan tenaga kerja.

Gambar 4.21. Rata-rata Jumlah tenaga kerja industri TPT, 2000-

2013

0

10000000000

20000000000

30000000000

40000000000

50000000000

60000000000

Y Impor K

Page 82: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 72

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

C. Industri Elektronik

Selama 2000-2013, rata-rata nilai impor bahan baku industri

Elektronik sebesar USD 3,0 miliar dan mencapai nilai maksimal USD

15,6 milliar. Sementara itu, tarif bea masuk yang berlaku untuk

industri Elektronik cukup rendah, yakni rata-rata 3,2%. Sedangkan

NTM yang berlaku bagi industri Elektronik rata-rata 10 NTM per

tahun.

Tabel 4.9. Analisis Deskriptif Industri Elektronik

Variable Obs Mean Std.

Dev.

Min Max

impor 57 3.05e+09 3.56e+09 806129.8 1.56e+10

nominalER 70 9374.89 6326124 8389088 10452.04

pdbsektora~b 70 863253.6 606515.7 68617 1997954

tarif 70 .0320686 .0317714 .0022 .1088

nontarif1 70 4471429 3911045 1.00e-07 10

y 64 8.86e+09 1.07e+10 1.27e+07 4.59e+10

tk 64 25335.92 31560.76 1397702 113550.2

k 56 1.54e+09 3.93e+09 5166754 2.37e+10

Sumber: BPS (2016), UNCTAD (2016), dan Kemenkeu (2016), data

diolah Puska Daglu Kemendag

Untuk perkembangan data PDB sektoral terlihat bahwa selama

periode analisa, mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun

0

100000

200000

300000

400000

500000

Page 83: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 73

2000, nilai PDB untuk sektor Elektronik sebesar Rp. 68,6 trilliun.

Pada tahun 2013, nilai PDB tersebut naik signifikan mencapai Rp.

529,8 trilliun.

Gambar 4.22. Perkembangan PDB subsektor elektronik

2000-2013 (harga berlaku, Rp. Milliar)

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Di industri elektronik secara rata-rata tarif MFN paling tinggi

dikenakan di subsektor 32300 (Industri radio, televisi, alat-alat

rekaman suara dan gambar dan sejenisnya) sebesar 6% lebih,

sedangkan terendah ada di industri 30016 (Industri mesin kantor,

komputasi dan akuntansi elektronik) sebesar 0,2%.

Gambar 4.23. Rata-rata nilai tarif per tahun pada Industri

Elektronik, 2000-2013

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Page 84: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 74

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Sedangkan kebijakan non-tarif bagi industri Elektronik mulai

berlaku tahun 2009 dan terus meningkat sejak tahun 2012. NTM

terbanyak berlaku bagi sub sektor 32300 (Industri Televisi dan/Atau

Perakitan Televisi) dan 32200 (Industri alat transmisi komunikasi).

Gambar 4.24. Jumlah Kebijakan Non Tarif Sektor Elektronik

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Untuk rata-rata nilai output dan bahan baku impor selama periode

analisa, terlihat bahwa hanya industri 32100 dan 32300 yang

0.0000000

0.0100000

0.0200000

0.0300000

0.0400000

0.0500000

0.0600000

0.0700000

30016 32100 32200 32300 33123

0

5

10

15

20

25

30

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

30003 32100 32200 32300

Page 85: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 75

memiliki nilai cukup besar dan terpaut sangat jauh dengan tiga

subsektor yang lain. Dan nilai capital terbesar juga hanya dimiliki

oleh industri 32100. Subsektor industri elektronik lainnya ternyata

hanya menggunakan nilai capital yang relatif cukup kecil.

Gambar 4.25. Rata-rata nilai output dan bahan baku impor

pada industri Elektronik, 2000-2010

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

Gambar 4.26. Rata-rata nilai kapital per tahun pada Industri

Elektronik, 2000-2013

Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag

4.4.2. Hasil Regresi

A. Industri Kimia

0

5000000000

10000000000

15000000000

20000000000

25000000000

30016 32100 32200 32300 33123

Y Input_Impor

0

1000000000

2000000000

3000000000

4000000000

5000000000

6000000000

30016 32100 32200 32300 33123

Page 86: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 76

Hasil regresi model persamaan simultan untuk persamaan impor

bahan baku menunjukkan bahwa pengaruh Tarif MFN sangat kuat dan

signifikan terhadap rata-rata permintaan bahan baku impor. Kenaikan 1

persen tarif masuk bahan baku impor akan menurunkan permintaan

bahan baku impor sebesar 30,78 persen. Sedangkan kebijakan non-tarif

NTM tidak memiliki pengaruh terhadap permintaan impor bahan baku di

industri kimia, meskipun memiliki arah yang sesuai. Tidak

berpengaruhnya kebijakan non-tarif diduga akibat hanya beberapa

subsektor saja yang menerapkan kebijakan NTM, dan dimana nilainya

berbanding terbalik dengan kebijakan tarif, dimana ketika subsektor

memiliki nilai tarif yang cukup tinggi, penerapan NTM masih terbatas.

Dan kebijakan NTM yang diterapkan relatif masih berada pada

kebijakan lisensi impor otomatis yang tidak sulit untuk dipenuhi importir.

Nilai Tambah sektoral (PDB sektoral) di industri kimia juga

berpengaruh positif signifikan terhadap permintaan impor bahan baku.

Kenaikan 1 persen PDB maka impor bahan baku meningkat sebesar

1,057 persen. Pengaruh nilai tukar nominal terhadap permintaan bahan

baku impor juga bersifat sangat elastis. Kenaikan nilai tukar nominal

(depresiasi) nilai tukar sebesar 1 persen menyebabkan bahan baku

impor menjadi mahal, akibatnya permintaan bahan baku impor turun

5,53 persen.

Hasil regresi model output menunjukkan bahwa input produksi yaitu

bahan baku, modal dan tenaga kerja berpengaruh positif signifikan pada

output industri kimia. Pengaruh bahan baku impor dan jumlah tenaga

kerja memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan pengaruh

modal pada output industri kimia. Kenaikan impor bahan baku dan

jumlah tenaga kerja sebesar 1 persen akan meningkatkan rata-rata

output industri kimia masing-masing sebesar 0,6 persen. Sementara itu

kenaikan 1 persen kapital akan meningkatkan output sebesar 0,1

persen.

Secara keseluruhan, kebijakan Tarif MFN berpengaruh terhadap

kinerja industri kimia yang diukur lewat nilai output, dimana penurunan

Page 87: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 77

tarif MFN sebesar 1 persen akan meningkatkan output industri

kimia sebesar 18,87 persen.

Tabel 4.10. Hasil regresi model impor dan output Industri Kimia3

Model Impor

PDB sektoral 1,057*

Nilai Tukar -5,529*

Tarif -30,786***

NTM -0,030

Konstanta 58,744**

Model Output

Impor bahan baku 0,613**

Kapital 0,100***

Tenaga Kerja 0,6**

Konstanta 3,068

Perkembangan Produktivitas (TFP) Industri Kimia

Dengan menggunakan metode growth accounting, maka dari

persamaan fungsi produksi dapat dihitung tingkat produktifitas (TFP)

yang ada di sektor industri kimia. Hasil perhitungan produktivitas dapat

dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.11. Rata-rata Produktivitas (TFP) sektor Industri Kimia

Tahun Rata-rata TFP

2000 11,37893267

2001 10,41930397

3 Hasil regeresi dengan menggunakan metode 3SLS

Page 88: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 78

2002 9,024731805

2003 10,38608798

2004 9,738001939

2005 9,007564583

2006 11,42075293

2007 11,07098692

2008 9,156571683

2009 7,908891189

2010 14,63250488

2011 14,84519406

2012 12,93546817

2013 13,06921632

Sumber: hasil pengolahan

Berdasarkan table produktivitas tersebut terlihat bahwa selama

periode tahun 2000 hingga tahun 2013, di dalam sektor industri kimia,

produktivitas bergerak naik turun dimana pada tahun 2010-2011 sempat

mengalami tingkat produktivitas tertinggi, namun menurun kembali pada

tahun berikutnya. Fluktuasi dari tingkat produktivitas di industri kimia

dapat lebih jelas dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 4.27. Rata-Rata Produktivitas Sektor Kimia

Page 89: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 79

Sumber: hasil pengolahan

Jika dilihat berdasarkan subsektor di dalam industri kimia, maka

terdapat variasi yang cukup besar dari nilai produktivitas antara satu

subsektor dengan subsektor lainnya. Terdapat beberapa subsektor

yang memiliki nilai produktivitas relatif sangat tinggi seperti subsektor

24121 (subsektor dengan TFP tertinggi), 24234, 24233 dan 24295.

Tabel 4.12. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub

sektor industri Kimia (2000-2013)

Kode Rata-rata Tarif Rata-rata Non-tarif TFP

24111 0,05 4,73 12,26

24112 0,05 7,22

24113 0,05 12,94

24114 0,05 12,45 8,94

24115 0,05 2,40 14,88

24116 0,04 8,82 11,55

24117 0,04 12,45 8,28

25595 0,04 6,39

24119 0,04 8,78

24121 0,03 16,56

0

2

4

6

8

10

12

14

16

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Rata-rata TFP sektor Kimia (e= lny-lny_hat)

Page 90: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 80

Kode Rata-rata Tarif Rata-rata Non-tarif TFP

24122 0,00 2,40 10,20

24123 0,02 14,08

24129 13,76

24131 0,06 7,40

24132 0,05 14,66

24211 0,03 11,20

24212 11,92

24213 9,53

24220 8,97

24231 0,02 11,11 12,97

24232 0,04 3,71 -1,35

24233 15,34

24234 15,82

24241 0,07 10,00

24242 0,09 11,70

24291 0,05 2,40 10,48

24292 0,07 15,01

24293 0,08 13,76

24294 0,05 2,40 14,27

24295 0,05 15,19

24299 0,09 2,40 10,70

24301 12,32

24302 0,05 8,85

24939 1,33

Sumber: hasil pengolahan

B. Industri TPT

Faktor utama penyebab kenaikan impor bahan baku adalah

kenaikan nilai PDB sektor industri tekstil, barang kulit dan alas kaki dan

penurunan Tarif MFN impor bahan baku. Kenaikan 1 persen PDB

Page 91: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 81

sektoral akan meningkatkan rata-rata impor bahan baku sebesar 1,37

persen. Sedangkan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap impor bahan

baku.

Pengaruh kebijakan Tarif MFN dan Non Tarif NTM relatif kecil

terhadap impor bahan baku. Kenaikan 1 persen tarif akan menurunkan

rata-rata impor bahan baku sebesar 0,015 persen. Sedangkan

hubungan antara kebijakan Non Tarif NTM dengan impor bahan baku

bernilai positif sebesar 0,051. Ketika kebijakan NTM meningkat sebesar

1 persen justru meningkatkan impor bahan baku sebesar 0,051 persen.

Perbedaan hasil regresi dengan hipotesis ini diduga terjadi karena

aturan-aturan yang ditetapkan masih bersifat lisensi impor sederhana

yang relatif mudah dipenuhi oleh pelaku usaha.

Dari model output diperoleh kesimpulan bahwa peran bahan baku

impor dan tenaga kerja sangat signifikan pada produksi industri tekstil

dan produk tekstil. Ketergantungan terhadap bahan baku impor jelas

terlihat pada hasil regresi dimana setiap kenaikan 1 persen nilai impor

bahan baku maka output produksi naik rata-rata 0,617 persen. Nilai ini

bahkan lebih besar dari pengaruh tenaga kerja terhadap pembentukan

output. Dimana kenaikan 1 persen jumlah tenaga kerja menyebabkan

rata-rata kenaikan output sebesar 0,44 persen. Pengaruh modal kapital

tidak signifikan pada kenaikan output industri TPT. Hal ini diduga karena

nilai kapital tidak terlalu besar seperti yang terlihat dari analisa deskriptif

sebelumnya.

Tabel 4.13. Model Impor dan Model Output industri TPT4

4 Hasil regresi dengan menggunakan metode 3SLS

Page 92: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 82

Model Impor

PDB sektoral 0,137***

Nilai Tukar 0,808

Tarif -0,015***

NTM 0,051***

Konstanta 10,895

Model Output

Impor bahan

baku 0,617***

Kapital -0,027

Tenaga Kerja 0,448***

Konstanta 5,768***

***p < 0,01, **p < 0,05, * p < 0,1

Dari model simultan diatas dapat terlihat bahwa kebijakan Tarif

berpengaruh terhadap kinerja industri TPT yang diukur melalui output.

Penurunan Tarif MFN sebesar 1 persen akan meningkatkan output

industri TPT sebesar 0,009 persen. Pengaruh ini jauh lebih kecil jika

dibandingkan dengan pengaruh kebijakan tarif di industri kimia

sebelumnya.

Perkembangan Produktivitas (TFP) Industri TPT

Dibandingkan sektor industri kimia, produktivitas sektor industri TPT

relative masih sangat rendah, dengan kecenderungan yang menurun.

Hanya sempat mengalami produktivitas tertinggi di tahun 2003, bahkan

di beberapa tahun mengalami produktivitas yang negative. Hal ini

mengindikasikan bahwa penggunaan input sangat tidak efisien, bahkan

nilai input yang digunakan secara keseluruhan lebih tinggi daripada nilai

output yang dihasilkan.

Tabel 4.14. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri TPT

Page 93: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 83

Tahun Rata-Rata TFP

2000 0,28

2001 0,81

2002 0,19

2003 1,02

2004 0,54

2005 0,49

2006 -0,05

2007 0,58

2008 0,24

2009 0,36

2010 -0,54

2011 0,77

2012 -1,18

2013 -1,08

Sumber: hasil pengolahan

Untuk lebih jelasnya, tren perkembangan rata-rata produktivitas

sektor industri TPT dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 4.28. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri TPT

Sumber : hasil pengolahan

-1.50

-1.00

-0.50

0.00

0.50

1.00

1.50

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

TFP (ln)= error=(lny-lnyhat)

Page 94: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 84

Jika dianalisis berdasarkan subsektor di dalam industri TPT terlihat

bahwa masih terdapat beberapa subsektor yang memiliki tingkat

produktivitas diatas rata-rata industri TPT, seperti subsektor 17400

(tertinggi), 17213, dan 17299.

Tabel 4.15. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub

sektor industri TPT (2000-2013)

Kode Tarif Non-tarif TFP

17111 0,056 3,929 0,414

17112 0,053 9,714 -0,201

17113 0,050 9,714 -0,179

17114 0,084 9,714 -0,018

17115 0,122 9,714 1,172

17121 0,088 9,714 0,092

17122 0,091 9,714 0,289

17123 0,128 9,714 1,338

17124 0,135 9,714 0,801

17211 0,123 9,714 -0,444

17212 0,135 9,714 -0,336

17213 0,150 9,714 3,897

17214 0,150 9,714 -1,493

17215 0,123 9,714 1,876

17220 0,127 9,714 -0,546

17231 0,089 9,714 0,226

17232 0,066 9,714 -0,658

17291 0,077 9,714 -0,448

17292 0,075 9,714 -0,252

17293 0,075 9,714 1,065

17294 0,089 9,714 0,698

17295 0,100 9,714 -3,501

17299 0,071 9,714 2,201

Page 95: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 85

Kode Tarif Non-tarif TFP

17301 0,085 9,714 0,848

17302 0,130 9,714 -0,628

17303 0,144 9,714 0,679

17304 0,139 9,714 1,771

17400 0,072 9,714 4,321

18101 0,093 9,714 -0,781

18102 0,137 9,714 -0,562

18103 0,113 9,714 -0,355

18104 0,100 9,714 -0,670

18201 0,100 9,714 -4,705

18202 0,100 9,714 -0,057

Sumber : hasil pengolahan

C. Industri Elektronik

Impor bahan baku pada industri elektronik, secara signifikan,

dipengaruhi oleh PDB industri alat angkutan, mesin dan peralatannya

dan kebijakan non tarif. Setiap kenaikan 1 persen PDB sektoral maka

rata-rata bahan baku impor naik sebesar 1,76 persen. Sedangkan

variabel nilai tukar tidak memiliki dampak terhadap impor bahan baku di

industri elektronik.

Untuk kebijakan Tarif MFN juga tidak berpengaruh terhadap impor

bahan baku. Hal ini diduga karena secara rata-rata tarif untuk industri

elektronik sudah relatif lebih rendah dimana rata-rata tarif MFN untuk

industri elektronik sebesar 4% (lebih rendah dibanding industri kimia dan

TPT). Sedangkan kebijakan non tarif NTM berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap impor bahan baku. Setiap kenaikan 1 persen non

tarif NTM akan menurunkan impor bahan baku sebesar 0,23 persen.

Produksi industri elektronik masih tergantung pada impor bahan

baku. Hal tersebut terlihat dari pengaruh positif impor bahan baku

terhadap produksi. Kenaikan 1 persen nilai bahan baku impor

menyebabkan kenaikan pada output rata-rata sebesar 0,45 persen.

Page 96: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 86

Pengaruh ini lebih besar daripada pengaruh variable tenaga kerja

terhadap pembentukan output industri elektronik. Kenaikan 1 persen

jumlah tenaga kerja akan meningkatkan output produksi sebesar 0,41

persen. Namun peran modal kapital tidak signifikan dalam pembentukan

output industri elektronik. Hal ini diduga karena industri elektronik di

Indonesia relatif masih banyak menggunakan tenaga kerja dan tidak

terlalu membutuhkan kapital yang tinggi.

Secara global, kebijakan Non Tarif NTM berpengaruh terhadap

kinerja industri elektronik, dimana penurunan NTM sebesar 1 persen

akan meningkatkan output industri elektronik sebesar 1,02 persen.

Tabel 4.16. Model Impor dan Model Output di industri Elektronik5

Model Impor

PDB Sektoral 1.768379***

Nilai Tukar 0.0600984

Tarif -2.27414

NTM -0.2301457**

Konstanta -24.30396***

Model Output

Impor bahan baku 0,4517361***

Kapital 0,0255617

Tenaga Kerja 0,4109378***

Konstanta 8.479084***

***p < 0,01, **p < 0,05, * p < 0,1

Perkembangan Produktivitas (TFP) Industri Elektronik

Produktivitas sektor industri elektronik memiliki perkembangan yang

hamper sama dengan sektor industri TPT dimana produktivitas sektor

5 Hasil regresi untuk industri elektronik menggunakan metode Generalized Least Square (GLS)

Page 97: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 87

industri elektronik relative masih rendah, namun dengan kecenderungan

fluktuatif. Hanya pada tahun 2010 sempat mengalami tingkat

produktivitas TFP tertinggi. Sementara pada awal periode analisa,

industri elektronik bahkan mengalami tingkat produktivitas yang negatif.

Tabel 4.17. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri Elektronik

Tahun Rata-rata TFP

2000 0,46

2001 -0,39

2002 -2,05

2003 -2,05

2004 -1,83

2005 0,05

2006 0,05

2007 1,87

2008 0,40

2009 0,68

2010 2,02

2011 0,50

2012 -0,52

2013 -0,10

Sumber: hasil pengolahan

Perkembangan tingkat produktivitas sektor industri elektronik yang

fluktuatif tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Gambar 4.29. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri Elektronik

Page 98: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 88

Sumber : hasil pengolahan

Subsektor yang memiliki tingkat produktivitas tinggi di dalam sektor

industri elektronik adalah subsektor 30003 dan subsektor yang paling

rendah produktivitasnya adalah subsektor 33123 (lihat table berikut ini).

Tabel 4.18. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub

sektor Elektronik TPT (2000-2013)

Kode Tarif1 Non tarif1 TFP

30003 0,002 2,571 2,789

32100 0,014 7,071 -0,146

32200 0,023 7,071 0,242

32300 0,066 7,071 0,231

33123 0,055 7,071 -4,178

Sumber : hasil pengolahan

4.5. Hasil Temuan Lapang

Guna melengkapi analisis pengolahan data regresi, Tim Kajian

melakukan survei ke beberapa kota (Makassar, Medan, Bandung dan

Surabaya) dan melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion

-2.50

-2.00

-1.50

-1.00

-0.50

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

TFP (ln)= error=(lny-lnyhat)

Page 99: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 89

(FGD). Dalam kunjungan lapangan tersebut, Tim Kajian mengunjungi

para pemangku kepentingan terkait, di antaranya perusahaan-

perusahaan yang melakukan importasi bahan baku/ penolong untuk

digunakan sebagai input dalam proses produksinya, produsen sejenis,

asosiasi, dinas terkait Dengan menggunakan kuesioner, Tim Kajian

melakukan in depth interview menanyakan beberapa pertanyaan

tertutup dan terbuka.

Hasil temuan lapangan, diskusi terbatas, dan Focus Group

Discussion (FGD) dalam Lampiran 1 menunjukkan bahwa adanya

keberagaman dalam persepsi responden mengenai pengaruh

kebijakan impor terhadap kendala kegiatan importasi. Keseluruhan

responden yang berasal dari industri Kimia menyatakan bahwa

kebijakan impor tidak menghambat kegiatan importasi. Berbeda

halnya dengan sebagian besar dari responden pada industri TPT

(66,67%) dan Elektronika (80,00%) yang memiliki pandangan bahwa

kebijakan impor memiliki andil dalam menghambat kegiatan importasi.

Berkaitan dengan ketersediaan pasokan bahan baku, sekitar

66,67% dari responden di industri Kimia berpendapat bahwa

pengimplementasian kebijakan impor tidak berdampak terhadap

ketersediaan pasokan bahan baku/penolong mengingat adanya

bahan baku/penolong yang diproduksi oleh industri dalam negeri

(Lampiran 1). Responden pada industri TPT dan Elektronika justru

memiliki persepsi bahwa kebijakan impor berdampak terhadap

ketersediaan pasokan bahan baku/penolong dengan pertimbangan

bahwa sebagian besar bahan baku/penolong yang digunakan oleh

industri TPT dan Elektronika kurang memadai jumlah produksinya,

tidak dapat diproduksi atau tidak tersedia jenis/spesifikasinya di dalam

negeri (Lampiran 1).

Sebanyak 80% dari responden yang bergerak di industri TPT

berpandangan bahwa kebijakan impor memiliki peranan terhadap

produksi dan produktivitas industrinya. Pandangan yang sama tentang

Page 100: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 90

peranan tersebut hanya dirasakan oleh 33,33% dari responden yang

bergerak di industri Kimia.

Hasil temuan lapangan, diskusi terbatas, dan FGD yang telah

dilakukan, kenaikan kebijakan tarif bea masuk MFN tidak berpengaruh

terhadap penurunan impor bahan baku/penolong pada industri TPT

karena sebagian besar berasal dari impor bahan baku/penolong

berasal dari negara Republik Rakyat Tiongkok yang telah memiliki tarif

bea masuk preferensi sebesar 0%. Namun tidak begitu halnya dengan

industri yang bergerak di Kimia dan Elektronika, tarif bea masuk

memiliki pengaruh terhadap impor bahan baku/penolongnya karena

sebagian berasal dari negara-negara mitra FTA. Ketidakharmonisan

tarif bea masuk MFN atas impor bahan baku/penolong dengan barang

setengah jadi dan barang jadi untuk industri Kimia, TPT, dan

Elektronika menjadi permasalahan utama bagi para pelaku usaha

dalam menjamin kelancaran proses produksi (Lampiran 1).

Berdasarkan masukan dan tanggapan dari beberapa responden,

kebijakan non tarif yang diimplementasikan saat ini dinilai berpengaruh

terhadap pasokan bahan baku/penolong asal impor dan kinerja

industri Elektronika. Untuk industri TPT, pengimplementasian

kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil melalui Permendag No. 85

Tahun 2015 dinilai merugikan sektor hulu (serat dan benang) dan

sektor antara penghasil kain grey dan finish karena beberapa importir

memperdagangkan barang yang diimpornya dan volume impor

melebihi kapasitas riil akibat dihapuskannya rekomendasi dari

Kementerian Perindustrian (Lampiran 1).

Page 101: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 91

Gambar 4.30. Hasil Temuan Lapang dan FGD

Sumber : hasil pengolahan data primer.

66.67%

80.00%

100.00%

33.33%

20.00%

Industri Kimia Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Industri Elektronika

Persepsi mengenai Pengaruh Kebijakan Impor terhadap Hambatan

Kegiatan Impor

Berpengaruh Tidak Berpengaruh

66.67%

80.00%

100.00%

33.33%

20.00%

Industri Kimia Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Industri Elektronika

Persepsi Pengaruh Kebijakan Impor terhadap Ketersediaan

Pasokan Bahan Baku/Penolong

Berpengaruh Tidak Berpengaruh

33.33%

80.00%

66.67%

20.00%

100.00%

Industri Kimia Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Industri Elektronika

Persepsi mengenai Pengaruh Kebijakan Impor terhadap Produksi

dan Produktivitas

Berpengaruh Tidak Berpengaruh

Page 102: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 92

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Penurunan tarif bea masuk MFN bahan baku dan penolong pada

industri Kimia dan TPT akan meningkatkan impor bahan baku dan

penolong serta output pada kedua industri. Sementara itu, penurunan

tarif bea masuk MFN untuk industri elektronika tidak mempengaruhi

impor bahan baku dan penolong serta output industri tersebut.

2. Peningkatan hambatan non tarif untuk bahan baku dan penolong pada

industri Kimia ternyata tidak mempengaruhi impor bahan baku dan

penolong serta output industri tersebut. Pada industri TPT, peningkatan

hambatan non tarif bahan baku dan penolong justru akan meningkatkan

impor bahan baku dan penolong serta output industri tersebut.

Sementara itu pada industri Elektronika, peningkatan hambatan non tarif

bahan baku dan penolong akan menurunkan impor bahan baku dan

penolong serta output industri tersebut.

5.2. Rekomendasi Kebijakan

Mengacu pada hasil kajian, beberapa upaya yang dapat dilakukan

oleh pemerintah untuk mendorong kinerja industri manufaktur di Indonesia,

di antaranya:

1. Menurunkan tarif bea masuk MFN atas impor bahan baku/penolong

industri Kimia yang dapat diusulkan dalam Tahap III Peninjauan Tarif

Bea Masuk MFN

2. Meningkatkan peranan kebijakan non tarif atas impor bahan

baku/penolong industri TPT dengan pembenahan tata niaga impor TPT

melalui revisi Permendag No. 85/M-DAG/PER/10/2015 dengan

Page 103: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 93

perizinan impor TPT hanya diberikan kepada produsen sebagai bahan

baku produksi untuk produk yang belum diproduksi di dalam negeri dan

pelarangan importir dalam memperdagangkan dan/atau

memindahtangankan impor TPT serta penerapan Verifikasi atau

Penelusuran Teknis Impor (VPTI).

3. Menurunkan jumlah kebijakan non tarif yang dikenakan pada produk

bahan baku/penolong industri Elektronika

Page 104: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 94

DAFTAR PUSTAKA

Ali, A. & Chani, M.I. (2013). Disaggregated Import Demand Function: A

Case Study of Pakistan. International Journal of Economics and

Empirical Research, 1 (1), 1-14.

Amiti, M. and J. Konings, (2007), ‘Trade Liberalization, Intermediate Inputs,

and Productivity: Evidence from Indonesia’, American Economic

Review, 97(5), pp.1611–38.

Arianti, R.K. (2014). Ketergantungan Beberapa Sektor Industri Terhadap

Bahan Baku Impor. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 18-44.

Jakarta: BPPKP, Kementerian Perdagangan.

Badan Pusat Statistik Indonesia. (2015, Desember). Kinerja Impor Indonesia 2010-2014. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik Indonesia.

Cheong, T.T. (2002). Disaggregated Import Demand and Expenditure

Components in Malaysia: An Empirical Analysis. Malaysian Journal

of Economic Studies, XXXIX (1& 2).

Deyak, T.A., Sawyer, W.C. & Sprinkle, R.L. (1989, May). An Empirical

Examination of the Structural Stability of Disaggregated U.S. Import

Demand. The Review of Economics and Statistics, 71(2), 337-241.

Fukumoto, M. (2012, June). Estimation of China’s Disaggregate Import

Demand Functions. China Economic Review, 23 (2), 434-444.

doi:10.1016/j.chieco.2012.03.002

Ge, Y., Lai, H., & Zhu, S. C. (2011, May). Intermediates Import and Gains from Trade Liberalization.

Goldberg, P.K., A.K. Khandelwel, N. Pavnick, and P. Topalova (2008),

‘Imported Intermediate Inputs and Domestic Product Growth:

Evidence from India’, NBER Working Paper No. 14416, Cambridge,

MA: NBER.

Page 105: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 95

Halpern, L., Koren, M., & Szeidl, A. (2015, December). Imported Inputs and Productivity. American Economic Review, 105 (12), 3660-3703. doi:10.1257/aer.20150443

Halwani, & Hendra, R. (2005). Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. (R. F. Sikumbank, Ed.) Bogor, Jawa Barat, Indonesia: Ghalia Indonesia.

Houthakker, H.S. & Magee, S.P. (1969, May). Income and Price

Elasticities in World Trade. The Review of Economics and

Statistics, 51(2), 111-125. doi: 10.2307/1926720

Ing, Lili Yan & Putra, C.T. (2015, August). Imported Inputs in Indonesia’s

Product Development. ERIA Discussion Paper Series ERIA-DP-2015-55.

Khan, M.S. (1975, May). The Structure and Behavior of Imports of

Venezuela. The Review of Economics and Statistics, 57 (2), 221-

224. DOI: 10.2307/1924004

Kreinin, M. E. (1973, July). Disaggregated Import Demand Functions: Further Results. Southern Economic Journal, 40(1), 19-25. doi:10.2307/1056289

Krugman, P.R. & Obstfeld, M. (2003). International Economics: Theory and

Policy. Pearson Education Internasional.

Mah, J.S. (2000). An Empirical Examination of the Disaggregated Import

Demand of Korea – the Case of Information Technology Products.

Journal of Asian Economics, 11, 237-244.

Masngudi. (2006). Handout Ekonomi Internasional Lanjutan. Jakarta: Universitas Borobudur.

Narayan, S. and Narayan, P.K. (2005). An Empirical Analysis of Fiji’s Import

Demand Function. Journal of Economic Studies, 32 (2), 158-168.

http://dx.doi.org/10.1108/01443580510600931

Pattichis, C.A. (1999). Price and Income Elasticities of Disaggregated

Import Demand: Results from UECMs and an Application. Applied

Economics, 31, 1061-1071.

Page 106: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 96

Price, J.E. & Thornblade, J.B. (1972, July). U.S. Import Demand Functions

Disaggregated by Country and Commodity. Southern Economic

Journal, 39 (1), 46-57. doi: 10.2307/1056224

Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations: with a new

introduction. Free Press.

Puslitbang Perdagangan Luar Negeri. (2007). Kajian Ketergantungan

Industri Nasional terhadap Impor Bahan Baku. Jakarta: Badan

Litbang Perdagangan Departemen Perdagangan.

Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri. (2013). Analisis Substitusi

Impor Produk Manufaktur. Jakarta: BPPKP, Kementerian

Perdagangan.

Rhee, C. (2012). Principles of International Trade (Import-Export): The First Step Toward Globalization (Vol. 5). Bloomington: AuthorHouse.

Salvatore, D. (1997). Ekonomi Internasional (Vol. 5). (H. Munandar, Trans.) Jakarta: Erlangga.

Santos-Paulino, A.U. (2002, June). The Effects of Trade Liberalization on

Imports in Selected Developing Countries. World Development, 30

(6), 959-974. Elsevier. doi:10.1016/S0305-750X(02)00014-1

Sarmad, K. and Mahmood, R. (1987). Disaggregated Import Demand

Functions for Pakistan. The Pakistan Development Review Vol.

XXVI(1). 71-80. http://www.pide.org.pk/pdf/PDR/1987/Volume1/71-

80.pdf

Sarmad, K. (1989, October). The Determinants of Import Demand in

Pakistan. World Development, 17 (10), 1619-1625.

doi:10.1016/0305-750X(89)90032-6

Schor, Adriana. 2004. "Heterogeneous Productivity Response to Tariff

Reduction: Evidence from Brazilian Manufacturing Firms.Journal of

Development Economics, 75(2): 373-96.

Page 107: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 97

Sukirno, S. (2004). Makroekonomi Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Suswati, E. (2012). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Impor di Indonesia Periode 1992-2009. Makassar: Universitas Hassanudin.

Topalova, P., & Khandelwal, A. (2011, August). Trade Liberalization and Firm Productivity: The Case of India. The Review of Economics and Statistics, 93(3), 995-1009. doi:10.1162/REST_a_00095

Waluyo, Y. R. (2004). Analisis Impor Bahan Baku Indonesia Pada Sektor Perindustrian Berdasar Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Universitas Diponegoro, Program Pascasarjana. Semarang: Universitas Diponegoro.

Wang, Yi-Hsien & Lee, Jun-De. (2012). Estimating the Import Demand

Function for China. Economic Modelling, 29(6), 2591-2596,

November 2012.

Widayanto, S. (2011). Fasilitasi dan Aturan Perdagangan: Prosedur Notifikasi WTO Untuk Transparansi Kebijakan Impor Terkait Bidang Perdagangan: Kewajiban Pokok Indonesia Sebagai Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Direktorat Kerjasama Multilateral, Direktorat Jenderal . Jakarta: Direktorat Kerjasama Multilateral, Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan.

Page 108: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 98

Lampiran 1. Rekapitulasi Hasil Temuan Lapangan

No. Kebijakan Impor Bahan

Baku/Penolong

Makassar Medan Bandung Surabaya

1. Jenis Perijinan Impor

API API API, IP API

2. Sumber informais kebijakan impor

Website Kemendag

Website Kemendag

Asosiasi, website instansi terkait

Website Kemendag

3. Pengaruh kebijakan impor terhadap kegiatan produksi

Tidak berpengaruh karena memanfaatkan kawasan berikat

Tidak ada kebijakan yang menghambat

Memberikan pengaruh terhadap produksi

4. Kinerja industri manufaktur pasca diterbitkannya kebijakan impor

Meningkat Meningkat Meningkat Stagnan

5. Pengaruh kebijakan impor terhadap pasokan bahan baku

Tidak ada kebijakan yang menghambat

Tidak terdapat permasalahan dalam importasi

Tidak ada kebijakan yang menghambat

Ada pengaruh terhadap pasokan bahan baku/ penolong

6. Sumber bahan baku

Sebagian besar dalam negeri

Sebagian kecil bahan baku diperoleh dari dalam negeri

Sebagian besar diimpor

Sebagian besar diimpor

7. Ketersediaan pasokan bahan baku dalam negeri

Proses pengadaan bahan baku asal impor dirasakan lebih sulit mengingat harus dilakukan kontrak terlebih dahulu

Sebagian kecil bahan baku diperoleh dari dalam negeri

Tidak memenuhi spesifikasi yang diinginkan

8. Penyebab pasokan bahan baku baku dalam negeri tidak memadai

Sedikitnya ketersediaan bahan baku local, dan tidak memenuhi spesifikasi

Pasokan dari dalam negeri kurang memadai dan tidak memenuhi spesifikasi

Belum ada komponen di dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan

Page 109: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 99

No. Kebijakan Impor Bahan

Baku/Penolong

Makassar Medan Bandung Surabaya

9. Harapan terhadap kebijakan impor dalam rangka industri manufaktur

Adanya harmonisasi pelaksanaan kebijakan impor dilapangan antara instansi pemerintah pelaksana kebijakan

Kebijakan impor yang berlaku saat ini mendukung industri manufaktur

10. Landasan kuat kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur

Landasan kebijakan cukup kuat

Landasan kebijakan cukup kuat

Landasan kebijakan cukup kuat

11. Kejelasan pengaturan kebijakan

Pengaturan kebijakan impor cukup jelas

Pengaturan kebijakan impor cukup jelas

Pengaturan kebijakan impor agak jelas

12. Sosialisasi kebijakan impor

Sudah dilakukan sosialisasi

Sudah dilakukan sosialisasi

13. Alasan untuk melakukan impor bahan baku/penolong

Ketersediaan bahan baku local tidak mencukupi

Belum tersedia di dalam negeri

14. Pendapat mengenai kebijakan impor yang mengatur bahan baku/penolong

Tidak terdapat permasalahan dalam importasi, semua sudah sesuai dengan aturan yang ada

a. Kebijakan impor masih kondusif dan tidak menghambat.

b. Proses customs harus lebih cepat

15. Pendapat mengenai kebijakan tarif bea masuk atas impor bahan

Kurang mendukung karena bahan baku yang tidak ada di Indonesia dipersulit

Seharusnya beberapa produk tidak perlu diatur impornya karena tidak tersedia di lokal, hanya menambah biaya

Page 110: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 100

No. Kebijakan Impor Bahan

Baku/Penolong

Makassar Medan Bandung Surabaya

16. Persepsi terhadap kebijakan impor berupa hambatan non tarif (seperti API, VPTI, SNI dsb)

kebijakan impor yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan sudah cukup baik

Perpanjangan API yang harus menggunakan sertifikat API asli, sedangkan dalam importasi juga diperlukan

Tidak ada permasalahan terkaitan kebijakan impor bahan baku/penolong

Kebijakan impor yang ada saat ini tidak berpengaruh

17. Jenis kebijakan impor yang menghambat

Hambatan terkait dengan pelaksanaan impor yang terkait dengan Bea dan Cukai

Tidak ada hambatan impor yang disebabkan oleh kebijakan impor yang berlaku

a. Proses penerbitan API di Dinas Provinsi justru lebih lama;

b. Tarif inspeksi surveyor dirasa cukup mahal

Kebijakan SNI

18. Pengaruh deregulasi dan debirokratisasi perdagangan terhadap importasi dan kinerja produksi

Tidak berpengaruh karena faktor kebijakan tersebut sangat kecil manfaatnya

Page 111: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 101

Lampiran 2. Kuesioner Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Mendukung Industri

Manufaktur

PENGANTAR :

Dalam rangka mendapatkan gambaran nyata

mengenai kondisi penerapan kebijakan impor

bahan baku/penolong, Kementerian Perdagangan

melalui Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri,

Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

melakukan survey untuk melihat efektifitas

kebijakan impor dalam mendukung industri

manufaktur. Kebijakan impor yang dimaksud adalah

kebijakan impor tarif dan non tarif. Tujuan dari

survey ini adalah untuk mengetahui kondisi dan

berbagai permasalahan secara terinci, baik dari segi

peraturan maupun implementasinya, sehingga

dapat dijadikan bahan kebijakan pemerintah dalam

memperbaiki kebijakan impor dalam mendukung

industri manufaktur.

Oleh karena itu, kami mengharapkan bantuan dari

para pelaku usaha untuk memberikan keterangan

dan informasi dengan sebenar-benarnya. Atas

bantuan dan kerjasamanya, Kami mengucapkan

banyak terima kasih.

SIFAT : RAHASIA

Semua keterangan dan informasi yang diberikan

akan DIJAMIN KERAHASIAANNYA; dan tidak

memberikan akibat apapun kepada pelaku usaha.

PETUNJUK PENGISIAN

Pilihlah salah satu jawaban yang sesuai dengan

kondisi yang dinyatakan dalam pilihan jawaban;

sesuai dengan situasi dan yang dialami dalam

melakukan berbagai aktivitas yang terkait dengan

kebijakan impor dalam mendukung industri

manufaktur.

Contoh Pengisian :

1) Apakah Saudara mengetahui Sistem

Manajemen Mutu ?

a. Ya

b. Tidak

DATA POKOK RESPONDEN

Nama Lengkap :

Bagian / Jabatan :

Jenis Kelamin : Laki – Laki /

Perempuan

Umur : Tahun

Pendidikan Terakhir : SLTA/D1-

D3/S1/S2/S3

Alamat :

No. Telp / HP :

DATA POKOK PERUSAHAAN

Nama

Perusahaan :

Alamat :

Telp / Fax

Tahun Berdiri

:

Jenis produk yang diimpor : .......................................

..........................................

..........................................

Jenis perijinan impor : ..........................................

..........................................

..........................................

Page 112: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 102

BAGIAN 1 : PERTANYAAN TERTUTUP

1) Apakah Saudara mengetahui kebijakan

kebijakan impor dalam mendukung

industri manufaktur yang diterbitkan oleh

Kementerian Perdagangan?

a. Tidak Tahu c. Agak Tahu

b. Kurang Tahu d. Sangat Tahu

2) Jika Ya, dari manakah Saudara mengetahui

kebijakan kebijakan impor dalam

mendukung industri manufaktur?

a. Website

Kemdag

c. Sosialisasi

Kemdag

b. Media massa d. Lainnya,

……………..

3) Apakah kebijakan impor dalam

mendukung industri manufaktur

merupakan hambatan bagi kegiatan

importasi yang Saudara lakukan?

a. Ya

b. Tidak

4) Apakah terdapat permasalahan yang

dihadapi pasca impor dalam mendukung

industri manufaktur?

a. Ada

b. Tidak

c. Jika Ada,

sebutkan:.......

5) Bagaimana kinerja industri di perusahaan

Saudara pasca diterbitkannya kebijakan

impor dalam mendukung industri

manufaktur?

a. Tidak

Meningkat

c. Cukup

Meningkat

b. Stagnan d. Meningkat

Signifikan

6) Apakah terdapat pengaruh kebijakan

impor dalam mendukung industri

manufaktur terhadap pasokan bahan

baku/penolong bagi kebutuhan industri

perusahaan Saudara?

a. Tidak Ada c. Cukup

Pengaruh

b. Ada Pengaruh d. Sangat

Pengaruh

7) Apakah terdapat sumber bahan

baku/penolong yang berasal dari produksi

dalam negeri?

a. Ada

b. Tidak

8) Apakah pasokan bahan baku/penolong

dari dalam negeri cukup memadai?

a. Tidak

Memadai

c. Agak Memadai

b. Kurang

Memadai

d. Sangat

Memamdai

9) Jika tidak, apakah penyebab pasokan

bahan baku/penolong dari dalam negeri

tidak memadai?

a. Harga Tidak

Kompetitif

c. Spesifikasi

Tidak

Memenuhi

Syarat

b. Kualitas

Kurang

d. Pasokan Tidak

Kontinu

e. Lainnya

……………

10) Apakah kebijakan impor dalam

mendukung industri manufaktur telah

memenuhi harapan Saudara?

a. Tidak

Memenuhi

c. Agak

Memenuhi

b. Kurang

Memenuhi

d. Sangat

Memenuhi

11) Menurut Saudara, kebijakan impor dalam

mendukung industri manufaktur telah

memiliki landasan atau ketentuan hukum

yang kuat.

a. Tidak Setuju c. Agak Setuju

b. Kurang Setuju d. Sangat Setuju

Page 113: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 103

12) Bagaimana pendapat Saudara tentang

kejelasan pengaturan kebijakan?

a. Tidak Jelas c. Agak Jelas

b. Kurang Jelas d. Sangat Jelas

13) Menurut Saudara, kegiatan sosialisasi yang

dilakukan oleh Kementerian Perdagangan

terkait kebijakan impor dalam mendukung

industri manufaktur telah berjalan baik.

a. Tidak Setuju c. Agak Setuju

b. Kurang Setuju d. Sangat Setuju

BAGIAN 2 : SARAN DAN MASUKAN

1). Menurut Saudara apakah kebijakan impor

dalam mendukung industri manufaktur telah

efektif dalam peningkatan output produksi,

dan mohon jelaskan.

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

2). Adakah kebijakan impor dalam mendukung

industri manufaktur telah berjalan efektif

sesuai tujuan?

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

3). Saat ini pemerintah sedang melakukan

evaluasi atas kebijakan impor dalam

mendukung industri manufaktur. Apakah

saran Saudara terkait dengan evaluasi

peraturan tersebut?

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

4). Apa saran Saudara dalam rangka

meningkatkan penguatan pasar dalam negeri

dan efektifitas pengawasan peredaran

barang impor?

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

SARAN – SARAN DAN MASUKAN

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

……………………………………………………………

Diisi di

Tempat :

Tanggal :

Nama Responden :

Nama & Stempel Perusahaan :

Terima kasih atas kesediaan Anda untuk mengisi

kuesioner ini

” SEMOGA MEMBERI MANFAAT DALAM PERBAIKAN KEBIJAKAN IMPOR DALAM MENDUKUNG INDUSTRI

MANUFAKTUR”

Page 114: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 104

Page 115: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/.../Laporan_Kajian_Impor_Manufaktur_1_Des_2016... · namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hin gga pada

Pengarah:

Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri

Penanggung Jawab:

Drs. Nurozy, M.Si.

Kepala Bidang Impor

Tim Penyusun:

Sefiani Rayadiani, S.E., M.Sc.

I Made Dodi Narindra, M.SM.

Yudi Fadilah, S.E.,M.E.

Umar Fakhrudin, S.Si., M.S.E.

Titis Kusuma Lestari, S.Si.

Narasumber Pendamping Kajian:

Dr. Andi Fahmi Lubis, S.E., M.E.

Dr. Sartika Djamaluddin, S.E., M.Si.