laporan akhir -...
TRANSCRIPT
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1
LAPORAN AKHIR
Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung
Industri Manufaktur
Studi Kasus Industri Kimia, Tekstil dan Produk Tekstil, dan
Elektronik
Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia
Tahun 2016
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan i
KATA PENGANTAR
Perkembangan impor Indonesia selama lima tahun terakhir (2010-2014 cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan per tahunnya sebesar 6,10%. Nilai impor Indonesia pada tahun 2010 sebesar USD 135,66 miliar, terus naik sejak tahun 2011 hingga mengalami puncaknya pada tahun 2012 yang menjadikan nilai impor pada tahun tersebut adalah yang tertinggi sepanjang lima tahun terakhir sebesar USD 191,69 miliar. Dari impor Indonesia tersebut, mayoritas impor adalah berupa Bahan Baku/Penolong dengan rata-rata pangsa impor sebesar 74,44% per tahunnya dan trend pertumbuhan impor sebesar 7,51%.
Kinerja impor bahan baku/penolong yang terus meningkattidak diiringi oleh peningkatan pertumbuhan industri manufaktur dan kontribusi industri manufaktur dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun terdapat kenaikan dalam pertumbuhan industri manufaktur Indonesia, namunporsi industri manufaktur terhadap PDB cenderung menurun hingga pada tahun 2014 hanya berkisar 25,5% (BPS, 2015). Beberapa industri seperti industri Tekstil dan Pakaian Jadi, industri Makanan dan Minuman, dan industri Alat Angkutan menunjukkan perlambatan pada Semester I 2015.
Hasil studi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2015) menemukan terdapat 79 peraturan impor yang mengatur 11.534 jenis barang dengan banyaknya identitas sebagai pelaku impor dan beragam perizinan, rekomendasi, pemeriksaan, dan persyaratan dokumen yang diwajibkan untuk melakukan importasi. Hal tersebut membuat dunia usaha dan industri nasional tidak optimal dalam memproduksi barang-barang yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dan berdaya saing di pasar ekspor. Banyaknya pengaturan terhadap importasi bahan baku/ penolong disinyalir oleh para pelaku usaha menyebabkan industri manufaktur, yang sebagian bahan bakunya dipenuhi dari impor, produknya kurang berdaya saing (Kompas, 21 Oktober 2015). Terlebih lagi adanya anggapan bahwa kebijakan impor lebih longgar dan liberal terhadap produk jadi.
Oleh sebab itu, Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri menyusun Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufaktur. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi dalam upaya mengidentifikasi peran kebijakan impor bahan baku/ penolong dalam mendukung kesinambungan ketersediaan bahan baku/ penolong bagi kebutuhan industry manufaktur di Indonesia.
Akhirnya, kami menyadari bahwa laporan hasil kajian Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri Manufakturini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak atas segala masukan dan sarannya demi kesempurnaan laporan ini.
Jakarta, September 2016
Pusat Pengkajian
Perdagangan Luar Negeri
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ii
ABSTRAK
Peran Kebijakan Impor Dalam Rangka Mendukung Industri
Manufaktur
Kajian ini bertujuan untuk : a. Mengidentifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik; dan b. Menganalisis pengaruh kebijakan impor tarif dan non tarif bahan baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik. Kajian ini menggunakan metode berupa survei dan Focus Group Discussion (FGD) serta regresi. Peran kebijakan impor terhadap kinerja masing-masing industri sangat bervariasi. Pada industri kimia, kebijakan tarif bea masuk berpengaruh signifikan pada kinerja Industri, sementara kebijakan non tarif tidak signifikan. Sedangkan pada industri tekstil, kebijakan tarif dan non tarif berpengaruh signifikan pada kinerja industri. Sementara itu, pada industri elektronik, kebijakan non tarif berpengaruh signifikan pada kinerja industri, sementara kebijakan tarif tidak signifikan. Secara umum, pemerintah diharapkan memberi dukungan positif pada peningkatan kinerja industri kimia, TPT dan elektronik mengingat ketiga industri tersebut mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Disisi makro, untuk mendorong kinerja industri kimia, TPT dan elektronik, maka pemerintah diharapkan dapat mendorong peningkatan output sektoral (PDB sektoral). Kata kunci : kebijakan impor, bahan baku/penolong, industri manufaktur
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iii
ABSTRACT
Import Policy Contribution to Support the Manufacturing Industry
This study aims to: a. Identifying the policy of import tariff and non tariff governing raw / intermediate goods for the Chemical, Textile and Electronics industry; and b. Analyzing the effect of policy tariff and non tariff import of raw / intermediate goods on the performance of Chemical, Textile and Electronics industry. This study uses methods such as surveys, Focus Group Discussion (FGD), and regression. The contribution of Import policy on the performance of the industry is vary widely, where on the chemical industry, policy tariffs have a significant effect on the industry's performance. Meanwhile, non-tariff policy does not have a significant impact. In the textile industry, tariff and non tariff policies have a significant effect on the performance of the industry. In the electronics industry, non-tariff policies have a significant effect on the performance of the industry, while the tariff policy does not have a significant impact. In general, the government is expected to give positive support to the improvement of the performance of the chemical industry, textile and electronics. That is because the three industries is able to absorb a large enough labor. On the macro side, to encourage the performance of the chemical industry, textile and electronics, the government is expected to boost sector output (GDP sectoral) Keywords: import policy, raw/ intermediate goods, the manufacturing industry
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
ABSTRAK ................................................................................................... ii
ABSTRACT ................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vii
BAB I .......................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 4
1.3. Tujuan ........................................................................................... 5
1.4. Output ........................................................................................... 5
1.5. Dampak/Manfaat .......................................................................... 5
1.6. Ruang Lingkup .............................................................................. 5
1.7. Sistematika Laporan ..................................................................... 6
BAB II ......................................................................................................... 8
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .............................. 8
2.1. Teori Perdagangan Internasional .................................................. 8
2.2. Konsep Impor ............................................................................. 15
2.3. Hambatan Perdagangan Internasional ....................................... 17
2.4. Teori Produktivitas dan Total Factor Productivity ........................ 26
2.5. Kajian Sebelumnya ..................................................................... 29
2.6. Kerangka Pemikiran ................................................................... 35
BAB III ...................................................................................................... 37
METODOLOGI PENGKAJIAN ................................................................. 37
3.1. Metode Analisis .......................................................................... 37
3.2. Model Ekonometrik ..................................................................... 38
3.3. Metode Estimasi ......................................................................... 41
3.4. Ruang Lingkup Analisis .............................................................. 43
3.5. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 46
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan v
BAB IV ..................................................................................................... 47
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 47
4.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong ............................ 47
4.1.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong Nasional ...... 47
4.1.2. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong untuk Industri
Kimia, TPT dan, Elektronika .............................................................. 50
4.2. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan
Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik .......................... 54
4.2.1. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif Bahan Baku/Penolong
Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ................................................ 54
4.2.2. Identifikasi Kebijakan Impor Non Tarif Bahan Baku/Penolong
Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik ................................................ 55
4.3. Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik .... 63
4.4. Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non Tarif
Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia, Tekstil, dan
Elektronik .............................................................................................. 64
4.4.1. Analisa Deskriptif.................................................................. 64
4.4.2. Hasil Regresi ........................................................................ 75
4.5. Hasil Temuan Lapang ................................................................. 88
BAB V ...................................................................................................... 92
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ................................. 92
5.1. Kesimpulan ................................................................................. 92
5.2. Rekomendasi Kebijakan ............................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 94
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Kinerja Beberapa Industri Tahun 2010 dan Ekspor 2015 04
Tabel 4.1. Jenis Impor Menurut Penggunaan, 2004-2014 48
Tabel 4.2. Nilai Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun
Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 49
Tabel 4.3. Volume Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun
Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014 50
Tabel 4.4. Jumlah Pos Tarif dan Pos Tarif yang Terkena Hambatan
Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk 56
Tabel 4.5. Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok
Produk 57
Tabel 4.6. Regulasi yang Berlaku Saat Ini Untuk Produk Kimia, TPT,
dan Elektronik 61
Tabel 4.7. Analisis Deskriptif Industri Kimia 64
Tabel 4.8. Analisis Deskriptif Industri TPT 68
Tabel 4.9. Analisis Deskriptif Industri Elektronik 72
Tabel 4.10. Hasil regresi model impor dan output Industri Kimia 76
Tabel 4.11. Rata-rata Produktivitas (TFP) sektor Industri Kimia 77
Tabel 4.12. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub
sektor industri Kimia (2000-2013) 78
Tabel 4.13. Model Impor dan Model Output industri TP 80
Tabel 4.14. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri TPT 81
Tabel 4.15. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub
sektor industri TPT (2000-2013) 82
Tabel 4.16. Model Impor dan Model Output di industri Elektronik 84
Tabel 4.17. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri Elektronik 85
Tabel 4.18. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub
sektor Elektronik TPT (2000-2013) 86
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional 09
Gambar 2.2. Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari
Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil 19
Gambar 2.3. Dampak Pemberlakuan Tarif Berdasarkan
Keseimbangan Parsial 23
Gambar 2.4. Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap
kesejahteraan 24
Gambar 2.5. Kerangka Pikir Kajian 36
Gambar 3.1. Alur Kerja Pemodelan
Gambar 4.1. Nilai bahan baku impor yang digunakan pada Industri
Kimia, TPT, dan Elektronik 51
Gambar 4.2. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada
industri Kimia, TPT, dan Elektronik 51
Gambar 4.3. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada
beberapa jenis industri Kimia 52
Gambar 4.4. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada
beberapa jenis industri TPT 53
Gambar 4.5. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada
beberapa jenis industri Elektronik 54
Gambar 4.6. Rata-rata tarif bea masuk produk TPT, Kimia, dan
Elektronik 55
Gambar 4.7. Persentase Hambatan Non Tarif Indonesia
Berdasarkan Kelompok Produk 57
Gambar 4.8. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Kimia menurut
KBLI 5 digit 59
Gambar 4.9. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri TPT menurut
KBLI 5 digit 60
Gambar 4.10. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Elektronik
menurut KBLI 5 digit 60
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan viii
Gambar 4.11. Perkembangan kinerja Output Industri Kimia, TPT,dan
Elektronik 63
Gambar 4.12. Perkembangan PDB Industri Kimia , 2000-2013 (Rp.
Miliar) 64
Gambar
4.13.
Perkembangan Nilai tukar , 2000-2013
65
Gambar 4.14. Rata-rata Tarif (MFN) Industri Kimia, 2000-2013 66
Gambar 4.15. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada
Industri Kimia, 2000-2013 66
Gambar 4.16. Rata-rata Output, Impor, Kapital dan Tenaga kerja per
tahun pada Industri Kimia, 2000-2013 67
Gambar 4.17. Perkembangan PDB sektoral TPT, 2000-2013 (harga
Berlaku, Rp. Miliar) 68
Gambar 4.18. Rata-rata tarif per tahun Industri TPT, 2000-2013 69
Gambar 4.19. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun pada
Industri TPT, 2000-2013 70
Gambar 4.20. Rata-rata Nilai Output, Kapital dan Impor bahan baku
industri TPT, 2000-2010 70
Gambar
4.21.
Rata-rata Jumlah tenaga kerja industri TPT, 2000-2013
71
Gambar 4.22. Perkembangan PDB subsektor elektronik 2000-2013
(harga berlaku, Rp. Milliar) 72
Gambar 4.23. Rata-rata nilai tarif per tahun pada Industri Elektronik,
2000-2013 73
Gambar 4.24. Jumlah Kebijakan non tarif Sektor Elektronik 74
Gambar 4.25. Rata-rata nilai output dan bahan baku impor pada
industri Elektronik, 2000-2010 74
Gambar 4.26. Rata-rata nilai kapital per tahun pada Industri
Elektronik, 2000-2013 75
Gambar 4.27. Rata-Rata Produktivitas Sektor Kimia 78
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan ix
Gambar 4.28. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri TPT 82
Gambar 4.29. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri Elektronik 86
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Selama lima tahun terakhir (2010-2014) impor Indonesia
cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata pertumbuhan per
tahunnya sebesar 6,10%. Nilai impor Indonesia pada tahun 2010
sebesar USD 135,66 miliar, terus naik sejak tahun 2011 hingga
mengalami puncaknya pada tahun 2012 yang menjadikan nilai impor
pada tahun tersebut adalah yang tertinggi sepanjang lima tahun
terakhir sebesar USD 191,69 miliar (Badan Pusat Statistik Indonesia,
2015). Pasca mengalami nilai impor tertinggi pada tahun 2012, impor
Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2013. Impor Indonesia
dari awal tahun sampai dengan bulan Oktober 2015 menurun sebesar
20,44% dari periode Januari-Oktober 2014 hingga nilai impornya
mencapai USD 119,10 miliar (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2015).
Dari impor Indonesia tersebut, mayoritas impor adalah berupa
Bahan Baku/Penolong dengan rata-rata pangsa impor sebesar
74,44% per tahunnya dan trend pertumbuhan impor sebesar 7,51%.
Impor Bahan Baku/Penolong Indonesia pada periode Januari-Oktober
2015 senilai USD 89,83 miliar atau sebesar 76,44% dari impor
Indonesia. Sementara itu, impor Barang Modal Indonesia pada
periode yang sama mencapai USD 20,46 miliar (16,45%) dan Barang
Konsumsi yang diimpor sebesar USD 10,50 miliar (7,11%). Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat
tinggi terhadap pasokan Bahan Baku/Penolong.
Kinerja impor bahan baku/penolong yang terus meningkat, di sisi
yang lain tidak dibarengi oleh peningkatan pertumbuhan industri
manufaktur dan kontribusi industri manufaktur dalam pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun terdapat kenaikan dalam
pertumbuhan industri manufaktur Indonesia, porsi industri manufaktur
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 2
terhadap PDB cenderung menurun hingga pada tahun 2014 hanya
berkisar 25,5% (BPS, 2015). Beberapa industri seperti industri Tekstil
dan Pakaian Jadi, industri Makanan dan Minuman, dan industri Alat
Angkutan menunjukkan perlambatan pada Semester I 2015.
Hasil studi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
(2015) menemukan terdapat 79 peraturan impor yang mengatur
11.534 jenis barang dengan banyaknya identitas sebagai pelaku impor
dan beragam perizinan, rekomendasi, pemeriksaan, dan persyaratan
dokumen yang diwajibkan untuk melakukan kegiatan impor yang
membuat dunia usaha dan industri nasional tidak optimal dalam
memproduksi barang-barang yang dapat memenuhi kebutuhan
konsumsi masyarakat dan barang-barang yang berdaya saing di pasar
ekspor. Banyaknya pengaturan terhadap importasi bahan baku/
penolong disinyalir oleh para pelaku usaha menyebabkan industri
manufaktur, yang sebagian bahan bakunya dipenuhi dari impor,
produknya kurang berdaya saing (Kompas, 21 Oktober 2015).
Terlebih lagi adanya anggapan bahwa kebijakan impor lebih longgar
dan liberal terhadap produk jadi.
Mengacu pada hal tersebut, kebijakan impor yang berkembang
saat ini mempunyai peran terhadap fenomena dinamika kinerja
industri manufaktur yang secara tidak langsung juga akan
mempengaruhi kinerja perdagangan luar negeri Indonesia. Premis ini
menjadi penting untuk dilihat kembali mengingat mayoritas industri
manufaktur di Indonesia menggunakan input bahan baku/ penolong
berasal dari impor.
Dugaan diatas dilandasi oleh studi Amiti dan Konings (2007) dan
Ing dan Putra (2015), dengan menggunakan studi kasus perusahaan
di Indonesia, yang menunjukkan produktivitas industri meningkat
seiring liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif terhadap
bahan baku penolong. Dengan metode yang sedikit berbeda,
beberapa studi yang juga menunjukkan bahwa penurunan tarif impor
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 3
dapat mempengaruhi kinerja industri adalah Kasahara dan Rodrigue,
2008; Halpern, Koren dan Szeidl, 2011; Bas dan Strauss-Khan, 2011).
Demikian pula terdapat juga studi yang mempelajari perubahan kinerja
industri sebagai imbas adanya reformasi kebijakan perdagangan
(Schor, 2004; Goldberg, Khandelwal, Pavcnik dan Topalova, 2010;
Khandelwal dan Topolova, 2011). Namun demikian, faktor terkait
kebjakan non tarif belum dipelajari dalam studi – studi tersebut di atas.
Terkait dengan paket kebijakan pemerintah yang bergulir saat ini,
tentunya kajian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai
salah satu kontribusi perubahan kebijakan impor tarif maupun non tarif
yang akan mendorong kinerja industri manufaktur yang selanjutnya
akan mendorong kinerja ekspor non migas dan tentunya berpengaruh
dalam perkembangan pertumbuhan ekonomi.
Terkait dengan berbagai perkembangan di atas, maka dinilai
perlu untuk melakukan kajian tentang kinerja industri dan
perdagangan beberapa produk. Adapun kriteria pemilihan produk
yang akan dijadikan obyek
kajian antara lain adalah sumbangannya terhadap
industri/perdagangan relatif besar; industrinya sedang
berkembang/bertumbuh; industrinya padat karya/menyerap banyak
tenaga kerja; import contentnya masih relatif tinggi; menghasilkan nilai
tambah yang cukup tinggi serta ekspornya sedang
berkembang/bertumbuh. Berdasarkan kriteria tersebut, maka
beberapa industri yang terpilih adalah industri Tekstil dan Produk
Tekstil (TPT), Industri Kimia dan Industri Elektronika.
Selama tahun 2010 jumlah industri TPT di dalam negeri yang
meliputi industri Pakaian Jadi, Serat dan Benang serta Kain mencapai
441 unit usaha dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 1,0 juta
orang. Industri ini menghasilkan nilai tambah sebesar Rp. 70,6 triliun.
Sementera itu nilai ekspor TPT pada tahun 2015 (Januari-Nopember)
mencapai US$ 11,2 milyar. Untuk industri kimia yang antara lain
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 4
meliputi Industri Kimia Dasar, Industri Kimia Organik, dan Industri
Pupuk, saat ini terdapat sebanyak 333 unit usaha dengan penyerapan
tenaga kerja mencapai 47,2 ribu orang. Nilai ekspor produk kimia
sepanjang tahun 2015 (Januari-Nopember) sebesar US$ 2,4 milyar
dimana untuk Kimia Anorganik mengalami peningkatan 18,9%
dibanding periode yang sama tahun 2014, sedangkan industri Kimia
Organik menurun 32,3%. Sementara itu, untuk industri elektronika
pada tahun 2010 terdapat 605 unit usaha dengan penyerapan tenaga
kerja sebanyak 248,9 ribu dan menghasilkan nilai tambah sebesar
Rp. 51,3 triliun. Adapun nilai ekspor yang terdiri dari Produk
Konsumsi, Elektronik Bisnis/Industri, Komponen dan Bagian serta Alat
Cetak Elektronik pada tahun 2015 (Januari-Nopember) mencapai
US$ 7,6 milyar.
Tabel 1.1. Kinerja Beberapa Industri Tahun 2010 dan Ekspor 2015
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam kajian ini adalah
sebagai berikut:
a. Apa saja kebijakan impor yang mengatur bahan baku/penolong
untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik?
b. Bagaimana peran kebijakan impor bahan baku/penolong terhadap
kinerja industri Kimia, Tekstil dan Elektronik?
Nilai Tambah Bruto Nilai Ekspor 2015 (Jan-Nop)
(Ribuan Rp) (US$ Ribu)
TPT 4.549 1.006.728 70.629.832.179 11.186.312,1
KIMIA 333 47.245 34.400.842.427 1.988.157,2
ELEKTRONIKA 605 248.933 51.348.493.047 7.623.651.9
Sumber : Kemenperin, dan BPS 1
Jenis IndustriUnit
Usaha
Tenaga
Kerja
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 5
1.3. Tujuan
Tujuan kajian ini secara rinci adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur
bahan baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik
b. Menganalisis pengaruh kebijakan impor tarif dan non tarif bahan
baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan
Elektronik
1.4. Output
Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan output sebagai berikut:
a. Identifikasi kebijakan impor tarif dan non tarif yang mengatur bahan
baku/penolong untuk industri Kimia, Tekstil dan Elektronik
b. Analisis peran kebijakan impor tarif dan non tarif bahan
baku/penolong terhadap kinerja industri Kimia, Tekstil dan
Elektronik
1.5. Dampak/Manfaat
Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi dalam
penyusunan kebijakan impor bahan baku/penolong, dalam rangka
mendukung ketersediaan pasokan bahan baku/penolong dan kinerja
industri Kimia, Tekstil dan Elektronik.
1.6. Ruang Lingkup
Kajian ini hanya akan mengkaji 3 (tiga) industri manufaktur yaitu
industri kimia, tekstil dan elektronika (KLBI 5 digit) berdasarkan kriteria
sebagai berikut:
a. Nilai dan trend nilai impor bahan baku/ penolong yang tinggi
b. Rasio bahan baku/ penolong impor terhadap total penggunaan
bahan baku tinggi
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 6
c. Industri manufaktur yang menjadi prioritas dalam pengembangan
industri berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Industri
Nasional (RIPIN) 2015-2019
d. Memiliki kebijakan impor berupa tarif dan/atau non tarif
e. Memiliki kebijakan impor yang belum termasuk ke dalam Paket
Deregulasi Bidang Perdagangan
f. Memiliki tarif bea masuk di atas 0%
1.7. Sistematika Laporan
Laporan ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan isi masing-masing bab
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Kajian
1.4 Output Kajian
1.5 Dampak/ Manfaat Kajian
1.6 Ruang Lingkup Kajian
1.7 Sistematika Laporan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Teori Perdagangan Internasional
2.2 Konsep Impor
2.3 Hambatan Perdagangan Internasional
2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif
2.3.2 Hambatan Perdagangan Non Tarif
2.4 Kajian Sebelumnya
2.4.1 Kajian Permintaan Impor Bahan Baku/ Penolong
2.4.2 Kajian tentang Peran Kebijakan Impor terhadap Total
Faktor Produktivitas (TFP)
2.5 Kerangka Pemikiran
BAB III METODE PENGKAJIAN
3.1 Metode Analisis
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 7
3.1.1. Model Ekonometrik Peran Kebijakan Impor terhadap
Permintaan Impor Bahan Baku/Penolong dan Kinerja
Industri Manufaktur
3.1.2. Pengukuran Produktivitas Industri Manufaktur
3.2 Jenis dan Sumber Data
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong
4.2 Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan
Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik
4.3 Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik
4.4 Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non
Tarif Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia,
Tekstil, dan Elektronik
4.5 Hasil Temuan Lapang
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi Kebijakan
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai transaksi
dagang barang dan jasa antara subjek ekonomi satu negara dengan
subjek ekonomi negara lain. Subjek ekonomi yang dimaksud adalah
penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor,
perusahaan impor, perusahaan industri ataupun perusahaan negara.
Perdagangan internasional sendiri terjadi akibat adanya perbedaan
potensi sumber daya alam, sumber daya modal, sumber daya
manusia dan kemajuan teknologi antar negara (Halwani & Hendra,
2005).
Beberapa hal yang mendorong terjadinya perdagangan
internasional diantaranya dikarenakan perbedaan permintaan dan
penawaran antar negara (Salvatore, 1997). Perbedaan ini terjadi
karena 1) tidak semua negara memiliki dan mampu menghasilkan
komoditi yang diperdagangkan, karena faktor-faktor alam negara
tersebut tidak mendukung, seperti letak geografis dan kandungan
buminya dan 2) perbedaan pada kemampuan suatu negara dalam
menyerap komoditi tertentu pada tingkat yang lebih efisien. Hal yang
sama dikemukakan juga oleh Krugman dan Obstfeld (2003) mengenai
dua alasan utama setiap negara melakukan perdagangan
internasional. Dalam dunia nyata, adanya interaksi yang terus-
menerus dari kedua motif dasar di atas tercermin dalam pola-pola
perdagangan internasional.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 9
Gambar 2.1 Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional
Sumber : Salvatore (1997)
Menurut Krugman dan Obstfeld (2003), perdagangan
internasional dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan
setiap negara memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan
komparatifnya. Sementara, Sadono Sukirno berpendapat bahwa
manfaat-manfaat perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri.
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil
produksi di setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya
adalah kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan teknologi dan
lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap
negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
b. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan
perdagangan luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan
yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat
memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang
diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila
negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
c. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para
pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 10
dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi kelebihan
produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk mereka.
Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat
menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual
kelebihan produk tersebut keluar negeri.
d. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri
memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi
yang lebih efesien dan cara-cara manajemen yang lebih modern
Secara historis, teori-teori berkenaan dengan konsep-konsep
perdagangan internasional atau aktivitas ekspor dan impor antar
wilayah/negara dimulai dari teori keunggulan absolut dan keunggulan
komparatif. Teori keunggulan absolut yang diperkenalkan oleh Adam
Smith dinyatakan bahwa perdagangan didasarkan kepada
keunggulan absolut (absolute advantage), yaitu jika sebuah negara
lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah
komoditi, namun kurang efisien dibanding negara lain dalam
memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut dapat
memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan
spesialisasi dan memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan
absolut dan menukarkan dengan komoditi lain yang memiliki kerugian
absolut. Menurut Adam Smith suatu negara akan mengekspor barang
tertentu karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan
biaya yang secara mutlak lebih murah dari pada negara lain, yaitu
karena memiliki keunggulan mutlak dalam produksi barang tersebut.
Adapun keunggulan mutlak menurut Adam Smith merupakan
kemampuan suatu negara untuk menghasilkan suatu barang dan jasa
per unit dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit
dibanding kemampuan negara-negara lain. Melalui proses ini, sumber
daya di kedua negara dapat digunakan dengan cara yang paling
efisien. Output yang diproduksi pun akan meningkat.
Teori perdagangan komparatif yang diperkenalkan David Ricardo
tahun 1817 menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 11
dibanding (atau memiliki kerugian absolut) dengan negara lain dalam
memproduksi dua komoditi, namun masih tetap terdapat dasar untuk
dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah
pihak. Dengan teori keunggulan komparatif, masing-masing negara
akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan antar
negara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat
dengan spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi,
maka akan terjadi pembagian kerja internasional yang makin efisien,
realokasi faktor-faktor produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di
dalam negeri yang pada akhirnya mendorong terjadinya persaingan di
pasar faktor produksi. Walaupun suatu negara memiliki keunggulan
absolut, perdagangan akan tetap menguntungkan bagi kedua negara.
Kelebihan untuk teori comparative advantage ini adalah dapat
menerangkan berapa nilai tukar dan berapa keuntungan karena
pertukaran di mana kedua hal ini tidak dapat diterangkan oleh teori
absolute advantage (Salvatore, 1997).
John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan
komparatif dengan menyatakan bahwa suatu negara akan
menghasilkan dan kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki
keunggulan komparatif terbesar dan mengimpor barang yang memiliki
ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang dapat dihasilkan
dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau dihasilkan
sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar
tukar perdagangan internasional yang sebenarnya ditentukan oleh
permintaan timbal balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu
negara cukup untuk membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini,
nilai suatu barang ditentukan oleh banyaknya tenaga kerja yang
dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut sedangkan dasar nilai
pertukaran ditentukan dengan batas-batas nilai tukar masing-masing
barang di dalam negeri (Masngudi, 2006).
Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 12
bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari
perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar
internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam
menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan
maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa,
transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja.
Teori perdagangan lainnya adalah konsep proporsi faktor
produksi atau dikenalkan dengan Teori Heckscher-Ohlin. Intisari dari
teorema Hecksher-Ohlin (H-O) adalah sebuah negara akan
mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor
produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam
waktu bersamaan ia akan mengimpor komoditi yang produksinya
memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu.
Intisari dari teori Hecksher-Ohlin adalah mengupas dan
memprediksikan pola perdagangan, dan teori penyamaan harga faktor
(factor-price equalization theorem) yang mengupas dampak-dampak
yang ditimbulkan oleh perdagangan internasional (ekspor-impor)
terhadap harga faktor produksi di negara yang terlibat.
Teorema penyamaan harga faktor (teorema Heckscher-Ohlin-
Samuelson) sebagai berikut: Perdagangan internasional akan
mendorong terjadinya penyamaan harga-harga faktor, baik secara
relatif maupun secara absolut, di antara negara-negara yang terlibat
di dalamnya. Perdagangan internasional dapat berfungsi sebagai
pengganti atau substitusi bagi mobilitas faktor internasional. Ada tiga
asumsi penting dalam memprediksi penyamaan harga-harga faktor
yang sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang ada. Ketiga asumsi
itu adalah 1) kedua negara memproduksi selalu kedua jenis barang
sekaligus; 2) adanya kesamaan dalam teknologi; dan 3) hubungan
perdagangan benar-benar menyamakan harga-harga barang di kedua
negara.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 13
Perdagangan antar negara cenderung meningkatkan harga
faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di suatu negara dan
dalam waktu yang bersamaan akan menurunkan harga faktor produksi
yang relatif langka dan mahal. Seluruh faktor produksi tenaga kerja
dan modal diasumsikan telah terdayaguna secara penuh (full
employment) sebelum maupun sesudah perdagangan,maka
pendapatan rill tenaga kerja dan suku bunga rill bagi para pemilik
modal akan bergerak ke arah yang dituju oleh pergerakan harga-harga
faktor produksi itu sendiri. Teori Hecksher-Ohlin memberikan konklusi
bahwa perdagangan cenderung memperbesar tingkat pendapatan
atau tingkat upah para pekerja dan menurunkan suku bunga rill modal
di negara yang kaya tenaga kerja dan yang mengalami kelangkaan
modal. Perdagangan (ekspor dan impor) akan memberikan
keuntungan bagi negara-negara yang melakukannya.
Namun demikian, dalam perkembangannya teori Heckscher-
Ohlin (Teori H-O) mengalami pertentangan. Alasan utamanya adalah
adanya ketidaksesuaian antara teori Heckscher-Ohlin-Samuelson
dengan kondisi nyata, yaitu: asumsi-asumsi yang digunakan dalam
teori tersebut terlampau restriktif dan cenderung menyederhanakan
kenyataan-kenyataan yang ada. Sebagai contoh, tingkat teknologi
setiap negara tidak sama, sedangkan biaya-biaya dan hambatan
perdagangan diabaikan yang dalam prakteknya merupakan ganjalan
utama bagi berlangsungnya perdagangan internasional sehingga
proses penyamaan harga-harga relatif komoditi tidak pernah berjalan
sempurna.
Keunggulan suatu negara di dalam persaingan global selain
ditentukan oleh keunggulan komparatif (teori-teori klasik dan H-O)
yang dimilikinya juga karena adanya produksi atau bantuan fasilitas
dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan
kompetitifnya. Keunggulan ini sifatnya lebih dinamis dengan
perubahan-perubahan, misalnya teknologi dan SDM yang sangat
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 14
cepat. Hal ini mendorong suatu konsep baru mengenai perdagangan
internasional, yaitu teori keunggulan kompetitif.
Menurut Porter (1990), keunggulan persaingan suatu negara
tidak berkorelasi langsung antara dua faktor produksi (sumber daya
alam yang tinggi dan sumber daya manusia yang murah) yang dimiliki
suatu negara untuk dimanfaatkan menjadi daya saing dalam
perdagangan. Banyak negara di dunia ini yang jumlah tenaga kerjanya
sangat besar secara proporsional dengan luar negeri tetapi
terbelakang dalam daya saing internasional. Begitu juga tingkat upah
yang relatif murah daripada negara lainnya, begitu pula berkorelasi
erat dengan rendahnya motivasi bekerja keras dan berprestasi. Porter
menyebutkan bahwa peranan pemerintah sangat mendukung selain
faktor produksi. Porter mengungkapkan ada empat atribut utama yang
menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat
mencapai sukses internasional, keempat atribut itu adalah kondisi
faktor produksi, kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri,
eksistensi industri pendukung, dan kondisi persaingan strategi dan
struktur perusahaan dalam negeri.
Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya
didukung oleh kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu
dalam negeri yang tinggi, industri hulu atau hilir yang maju dan
persaingan domestik yang ketat. Keunggulan kompetitif yang hanya
didukung oleh 1/2 atribut saja biasanya tidak akan dapat bertahan,
sebab keempat atribut saling berinteraksi positif dalam negara yang
sukses. Di samping keempat atribut di atas, peran pemerintah juga
merupakan variabel yang cukup signifikan
Dari teori-teori perdagangan tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa perdagangan internasional menawarkan suatu keuntungan
bagi negara-negara yang terlibat. Keuntungan-keuntungan dari
perdagangan internasional adalah: tercipta persaingan di pasar
internasional yang mendorong efisiensi dunia, spesialisasi dalam
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 15
menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari segi bahan
maupun cara berproduksi, kenaikan pendapatan, cadangan devisa,
transfer modal, dan bertambahnya kesempatan kerja. Terdapat
beberapa faktor yang menjadi pendorong semua negara di dunia
untuk melakukan perdagangan luar negeri. Menurut Sukirno (2004),
dari faktor-faktor tersebut yang terpenting adalah: 1) memperoleh
barang yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri; 2) mengimpor
teknologi yang lebih modern dari negara lain; 3) memperluas pasar
produk-produk dalam negeri; dan 4) memperoleh keuntungan dari
spesialisasi.
Di sisi lain, perdagangan internasional juga dapat menimbulkan
tantangan dan kendala yang banyak dihadapi oleh negara-negara
berkembang seperti Indonesia. Tantangan dan kendala tersebut,
antara lain eksploitasi terhadap negara-negara berkembang,
ambruknya industri lokal, keamanan barang menjadi rendah, ancaman
ketahanan pangan, dan keamanan konsumen dan sebagainya. Untuk
mengamankan kepentingan nasionalnya, negara-negara di dunia
berupaya untuk menciptakan hambatan perdagangan terutama
hambatan untuk impor.
2.2. Konsep Impor
Secara harfiah, impor adalah barang dan jasa yang diproduksi di
luar negeri dan dijual di dalam negeri (Mankiw, 2006). Impor terjadi jika
ada kelebihan permintaan internasional. Dengan adanya kegiatan
impor, negara produsen yang produksinya melimpah dan melebihi
permintaan domestik dapat melakukan memenuhi permintaan impor
di suatu negara sehingga sehingga produksinya tetap berlangsung.
Saat ini impor dilakukan dengan memenuhi ketentuan yang berlaku di
negara pengimpor.
Pada dasarnya, impor yang akan dilakukan oleh suatu negara
bergantung pada banyak faktor. Pertama, barang-barang yang
diperlukan di dalam negeri tidak dapat dipenuhi oleh pemilik faktor-
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 16
faktor produksi di dalam negeri atau terbatas sedangkan permintaan
domestik tinggi. Keterbatasan produksi dalam negeri tersebut
dikarenakan dua hal, yakni 1) kapasitas produksi terbatas (titik
optimum dalam skala ekonomi telah tercapai) atau 2) pemakaian
kapasitas terpasang masih di bawah kapasitas maksimal. Kedua,
permintaan impor sangat ditentukan faktor-faktor harga atau
keseimbangan harga, baik yang terdapat di dalam negeri maupun
keseimbangan harga internasional. Impor lebih murah dibandingkan
dengan harga dari produk sendiri yang dikarenakan ekonomi biaya
tinggi atau tingkat efisiensi yang rendah. Ketiga, impor lebih
menguntungkan karena produksi dalam negeri ditujukan untuk ekspor
dan harga ekspornya lebih tinggi sehingga dapat mengkompensasi
biaya yang dikeluarkan untuk impor (Rhee, 2012). Keempat, nilai
impor tergantung dari nilai tingkat pendapatan nasional negara
tersebut. Makin tinggi pendapatan nasional, semakin rendah
menghasilkan barang-barang tersebut, maka impor pun semakin
tinggi sehingga pada akhirnya pendapatan nasional menjadi terkikis.
Selain keempat faktor tersebut, masih terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi impor suatu negara yakni nilai tukar riil, situasi politik,
harga relative, dan variabel struktural lainnya (Wang & Lee, 2012).
Kebijakan impor merupakan salah satu instrumen strategis untuk
menjaga kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih luas. Penerbitan
kebijakan impor digunakan sebagai instrumen menertibkan arus
barang masuk dan melindungi kepentingan nasional dari pengaruh
masuknya barang-barang negara lain dengan tujuan untuk menjaga
dan mengamankan aspek K3LM (Kesehatan, Keselamatan,
Keamanan Lingkungan Hidup dan Moral Bangsa), melindungi dan
meningkatkan pendapatan petani, mendorong penggunaan barang
dalam negeri, dan meningkatkan ekspor nonmigas (Widayanto, 2011).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 17
2.3. Hambatan Perdagangan Internasional
Perbedaan komparatif dan kompetitif antar negara dan
pengamanan kepentingan nasional mendasari penerapan kebijakan
perdagangan internasional. Hampir seluruh negara di dunia memiliki
hambatan perdagangan untuk mengendalikan impor. Hambatan
perdagangan tersebut merupakan intervensi pemerintah dalam
mengurangi kebebasan perdagangan internasional. Pada umumnya
hambatan perdagangan internasional dibedakan menjadi 2 (dua),
yakni:
2.3.1 Hambatan Perdagangan Tarif
Tarif adalah pembebanan pajak atau custom duties
terhadap barang-barang yang melewati batas suatu negara.
Dilihat dari aspek asal komoditi, tarif terbagi menjadi dua
macam (Salvatore,1997):
a. Tarif impor, adalah pajak yang dikenakan untuk setiap
komoditi yang diimpor dari negara lain.
b. Tarif ekspor, adalah pajak untuk suatu komoditi yang
diekspor.
Sementara bila ditinjau dari mekanisme perhitungannya,
tarif terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Tarif ad valorem adalah pajak yang dikenakan berdasarkan
angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang
diimpor.
b. Tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap unit barang
yang diimpor.
c. Tarif campuran adalah gabungan antara tarif ad valorem
dengan tarif spesifik.
Dampak-dampak pemberlakuan tarif terhadap tingkat
produksi, konsumsi, perdagangan, dan kesejahteraan di
sebuah negara kecil yang hubungan dagang atau kekuatan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 18
ekonominya terbatas sehingga tidak mampu mempengaruhi
harga yang berlaku di pasaran internasional dapat dijelaskan
melalui analisis keseimbangan umum. Ketika sebuah negara
kecil memberlakukan tarif terhadap barang-barang impornya,
yang berubah hanya harga barang tersebut di pasar
domestiknya sendiri, sehingga pihak yang harus menghadapi
segala implikasi kenaikan harga itu adalah konsumen dan
produsen di negara kecil yang bersangkutan. Walaupun setiap
produsen dan konsumen menghadapi kenaikan harga komoditi
impor meningkat sebesar tarif yang dikenakan, namun
harganya bagi perekonomian negara kecil secara keseluruhan
tetap konstan, karena kenaikan harga akibat tarif itu diimbangi
oleh terciptanya pemasukan pajak bagi pemerintah.
Gambar 2.2 menggambarkan bagaimana dampak-
dampak keseimbangan umum yang dihasilkan dari
pemberlakuan tarif di sebuah negara kecil seperti Indonesia.
Negara kecil dimaksudkan sebagai negara yang tidak memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar dunia. Pada
Px/Py = 1 di pasar dunia, negara 2 akan berproduksi di titik B
dan berkonsumsi di titik E. Namun ketika pemerintah negara 2
mengenakan tarif ad valorem (sekian persen dari nilai impor
harus dibayarkan pengimpor ke kas negara sebagai pajak)
sebesar 100 persen terhadap komoditi X, harga komoditi
tersebut bagi para konsumen dan produsen domestik langsung
melonjak menjadi Px/Py = 2, sehingga para produsen domestik
di negara 2 akan terdorong untuk berproduksi di titik F. Itu
berarti negara 2 akan mengekspor 30Y, dan mengimpor 30X;
separuh diantaranya, yakni GH atau 15X, akan langsung
terarah ke konsumen domestik, sedangkan selebihnya, yakni
HH’ yang juga bernilai 15X, akan menjelma sebagai
pendapatan pajak bagi pemerintah yang bersumber dari
pengenaan tarif ad valorem 100 persen terhadap komoditi X
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 19
yang diimpor. Karena kita berasumsi bahwa pemerintah negara
2 menggunakan kebijakan tarif tersebut dalam rangka
meredistribusikan pendapatan yang diperolehnya bagi
warganya (agar beban pajak mereka tidak terlalu besar), maka
tingkat konsumsi setelah tarif dikenakan akan bergeser ke
kurva indiferen II’, tepatnya di titik H’ (titik berpotongan antara
dua garis putus-putus). Itu berarti, tingkat konsumsi dan
kesejahteraan (titik E) dalam perdagangan bebas lebih tinggi
ketimbang tingkat konsumsi dan kesejahteraan (titik H’) yang
ada setelah tarif tersebut diberlakukan.
Gambar 2.2. Dampak-dampak Keseimbangan Umum dari
Pemberlakuan Tarif di Sebuah Negara Kecil
Sumber: Nicholson (1994)
Dengan adanya tarif, tingkat kesejahteraan negara yang
bersangkutan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan
kondisinya di masa perdagangan bebas. Hal ini dibuktikan
dengan bergesernya konsumsi dari titik E ke titik H’ yang
140 -
120 -
85 -
60 - 55 -
40 -
I
40
I
80
I
65
I
100
I
95
X
Y
0
A
F
B
H’
E
II
III
PF = 2 PW = 1
G H
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 20
terletak pada kurva indiferen yang lebih rendah daripada
sebelumnya.
Penurunan kesejahteraan bersumber dari dua sebab: (a)
Perekonomian tidak lagi berproduksi pada titik yang
memaksimumkan nilai pendapatan dan harga dunia. (b)
Konsumen tidak dapat lagi berkonsumsi pada kurva indiferen
tertinggi yang memaksimumkan kesejahteraan. Baik (a)
maupun (b) diakibatkan oleh kenyataan bahwa konsumen dan
produsen domestik menghadapi harga yang berbeda dengan
harga dunia. Penurunan kesejahteraan (the loss in welfare)
terjadi karena kegiatan produksi yang tidak efisien. Hal ini
merupakan kondisi (a) padanan keseimbangan umum dari
kerugian akibat produksi (production distortion loss) yang telah
dijelaskan dalam pendekatan keseimbangan parsial.
Penurunan kesejahteraan sebagai akibat dari konsumsi yang
tidak efisien juga merupakan (b) padanan dari kerugian akibat
konsumsi (consumption distortion loss).
Volume perdagangan mengalami kemerosotan dengan
adanya tarif. Volume serta nilai-nilai ekspor dan impor sama-
sama turun segera setelah dilaksanakannya pengenaan tarif itu
dibandingkan dengan sebelumnya ketika perdagangan masih
berlangsung secara bebas.
Semakin tinggi tarif yang dikenakan, akan semakin besar
kerugian yang timbul. Pengenaan tarif yang terlalu besar akan
mendorong perekonomian yang bersangkutan menuju kondisi
autarki (semua komoditi dibuat sendiri, dan perdagangan
internasional lenyap). Tarif impor yang mematikan
perdagangan internasional ini biasa disebut dengan tarif
prohibitif (prohibitive tariff). Tarif yang terlalu tinggi akan
memaksa suatu perekonomian terus-menerus berproduksi dan
berkonsumsi di titik A, dan jelas merugikan negara itu sendiri.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 21
Pada analisis dampak pemberlakuan tarif berdasarkan
analisis keseimbangan parsial, mengacu pada Oktaviani et al.
(2014). Pada Gambar 2.3. Dx adalah kurva permintaan dan Sx
melambangkan kurva penawaran komoditi X yang merupakan
produk pangan di Negara 2 yang merupakan negara kecil. Jika
Negara 2 tidak mengadakan hubungan perdagangan
internasional maka keseimbangan di titik E yang merupakan
titik perpotongan antara Dx dan Sx. Pada titik tersebut Negara
2 mengkonsumsi produkpanganX sebanyak 30 unit dengan
harga Px = 3 dolar per unit. Jika kemudian Negara 2 melakukan
hubungan perdagangan internasional, maka Negara 2 akan
menikmati produkpangan X dengan harga yang jauh lebih
murah, yakni Px 1 dolar per unit sehingga konsumsinya pun
akan meningkat menjadi sebesar 70X (AB). Dari konsumsi
sebesar itu, 10X diantaranya merupakan produksi domestik,
sedangkan 60X (CB) diimpor. Garis putus-putus Sf
melambangkan kurva penawaran produk panganX dari luar
negeri yang elastia sempurna untuk Negara 2. Artinya, pasar-
pasar internasional mampu memasok produk pangan X
sebanyak apa pun ke Negara 2 berdasarkan harga dunia yang
berlaku.
Jika kemudian Negara 2 memberlakukan tarif ad valorem
sebesar 100 persen terhadap produk pangan X yang diimpor,
maka Px atau harga yang harus ditanggung konsumen di
Negara 2 meningkat menjadi 2 dolar per unit, sementara harga
bagi konsumen dunia tidak berubah. Akibat naiknya harga X di
negara 2 maka penduduk di Negara 2 akan menurunkan
konsumsinya menjadi 50X (GH), dengan komposisi 20X (GJ)
merupakan hasil produksi domestik, sedangkan 30X (JH)
merupakan produk pangan impor dari negara lain. Garis putus-
putus Sf + T Gaambar 2.2 merupakan kurva penawaran produk
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 22
pangan X dariluar negeri yang baru (setelah memperhitungkan
dampak tarif) untuk Negara 2.
Analisis dampak kebijakan perdagangan berupa tarif
dapat dilihat dari dampak terhadap konsumsi, produksi,
perdagangan, dan dampak terhadap penerimaan pemerintah.
Dampak pemberlakuan tarif tarif terhadap konsumsi
(consumption effect of the tariff) yakni berkurangnya konsumsi
domestik akibat pemberlakuan tarif ad valorem yang mencapai
20X (BN). Sementara dampak pengenaan tarif terhadap
produksi (production effect of the tariff) yakni peningkatan
produk domestik karena adanya tarif yakni sebesar 10X (CM).
Dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan (trade effect of
the tariff) yakni turunnya impor sama dengan 30X (BN + CM).
Sedangkan dampak pengenaan tarif terhadap penerimaan
pemerintah (revenue effect of the tariff) yakni berupa
pemasukan bagi pemerintah sebesar 30 dolar atau 1 dolar dari
30 unit komoditi X yang diimpor (MJHN).
Elastisitas demand dan supply memengaruhi dampak
kebijakan. Semakin elastis Dx dan semakin mendatar
bentuknya, maka kenaikan harga produk pangan akibat
pemberlakuan tarif akan menimbulkan dampak konsumsi
(consumption effect) yang semakin besar. Semakin elastis Sx
maka semakin besar dampak produksi (production effect) yang
akan ditimbulkan oleh kenaikan harga komoditi sehubungan
dengan pemberlakuan tarif. Semakin elastis Dx dan Sx, akan
semakin besar dampak perdagangan (trade effect) yang
dimunculkan oleh kenaikan harga komoditi akibat
pemberlakuan tarif tersebut sehingga semakin besar pula
pengurangan impor yang terjadi. Hal ini pada gilirannya akan
memperkecil dampak pendapatan (revenue effect) bagi
pemerintah negara.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 23
1 -
2 -
3 -
4 -
5 -
I
10
I
20
I
30
I
40
I
50
I
60
I
70
I
80
Px ($)
Sx
SF
SF + T
X
DX
A C
G J
M N
H
B
E
Gambar 2.3. Dampak Pemberlakuan Tarif Berdasarkan
Keseimbangan Parsial
Sumber: Oktaviani et al. (2014)
2.3.2 Hambatan Perdagangan Non-tarif
Salah satu bentuk hambatan perdagangan internasional
non-tarif adalah kuota impor. Kuota adalah pembatasan secara
langsung jumlah fisik terhadap barang yang masuk (kuota
impor) dan keluar (kuota ekspor). Pemberlakuan kuota impor
memberikan dampak-dampak terhadap konsumsi dan produksi
seperti yang ditimbulkan oleh penerapan tarif impor yang
setara. Penyesuaian terhadap setiap pergeseran dalam kurva
permintaan atau kurva penawaran sehubungan dengan adanya
kuota impor akan terjadi pada harga-harga domestik.
Sedangkan jika yang diberlakukan adalah tarif impor, maka
penyesuaian tersebut akan terjadi pada kuantitas impor.
Secara umum, kuota impor itu lebih menghambat daripada tarif
impor yang setara. Kuota impor biasanya dikenakan terhadap
bahan mentah sebagai barang perdagangan penting serta di
bawah suatu pengawasan badan internasional.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 24
Hambatan kuota sering dimanfaatkan untuk memperbaiki
neraca pembayaran
yang defisit. Pemberlakuan hambatan non-tarif akan
meningkatkan harga produk sehingga pada dasarnya proteksi
terhadap perdagangan tersebut akan menguntungkan bagi
produsen namun merugikan bagi konsumen dan pada akhirnya
akan merugikan perekonomian secara keseluruhan (Salvatore
1997).
Pembatasan impor dengan menerapkan kebijakan-
kebijakan perdagangan akan mempengaruhi kesejahteraan
(welfare). Wall (1999) mendeskripsikan dampak pembatasan
impor dalam analisis keseimbangan parsial dengan
mengilustrasikan supply dan demand suatu negara seperti
terlihat dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.4 Dampak kebijakan pembatasan impor terhadap
kesejahteraan
Sumber: Wall (1999)
P
Kuantita
P
QS0
A B C D
S
D
QS1 QD1 QD0
Harga
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 25
Jika terjadi perdagangan bebas, barang yang diimpor
akan berada pada harga dunia yaitu Pw?. Negara akan
mengkonsumsi sebesar QD0 dan produksi sebesar QS0. Jumlah
yang akan diimpor dari negara lain sebesar QD0-QS0. Ketika ada
proteksi impor maka harga akan meningkat menjadi PM?.
Sehingga negara tersebut akan produksi sebesar QS1 dan
jumlah impor akan berkurang menjadi QD1-QS1. Konsumen
akan dirugikan karena menanggung harga yang lebih mahal
dan produsen diuntungkan dengan peningkatan produksi
dengan harga tinggi. Surplus kondumen akan berkurang
sebesar area A+B+C+D. Area A merupakan surplus konsumen
yang ditransfer ke produsen. Area B dan D adalah Dead Weight
Loss (DWL) yang merupakan kerugian perekonomian. Area C
tidak merepresentasikan penerimaan pemerintah dari tarif
karena pembatasan impor bukan berasal dari kebijakan tarif
melainkan kebijakan non tarif. Area ini diukur sebagai quota
rent. Jika tidak ada peningkatan pemerintah yang berasal dari
quota rent ini maka quota rent akan didapat oleh produsen
negara lain. Sehingga C direpresentasikan sebagai net welfare
loss to economy. Penerimaan dapat meningkat melalui
penjualan lisensi kuota sehingga dengan menggunakan θ yang
mencerminkan share dari quota rent maka total net welfare loss
dari pembatasan impor sebesar B+D+(1- θ)C.
Berbagai macam restriksi atau hambatan non-tarif itu telah
menggantikan peranan tarif di masa sebelumnya, ini
merupakan ancaman bagi kelangsungan dan perkembangan
perdagangan internasional yang bebas. Penggunaan
hambatan perdagangan ini pada intinya bertentangan dengan
semangat pasar bebas (liberalisasi) yang diusung WTO.
Indonesia sebagai salah satu anggota WTO harus bisa
melakukan pengelolaan hambatan impor agar dapat menjaga
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 26
kepentingan nasionalnya, terutama yang terkait dengan
kesehatan, keamanan, keselamatan lingkungan dan moral
bangsa.
2.4. Teori Produktivitas dan Total Factor Productivity
Produktivitas dapat diartikan sebagai rasio dari output per unit
input dalam suatu unit waktu. Produktivitas meningkat bila rasio output
per unit input semakin besar dalam periode tertentu. Teknologi dan
manajemen produksi yang lebih baik menjadi faktor yang signifikan
dalam peningkatan produktivitas.
Meningkatkan produktivitas dipandang sebagai satu-satunya
cara dalam memperbaiki standar kehidupan dalam jangka panjang.
Peningkatan produktivitas merupakan determinan dalam
pertumbuhan ekonomi, yang ditunjang oleh semakin luasnya
lapangan kerja yang tersedia menjadi kunci sukses menuju
kemakmuran. Kemakmuran secara umum diukur dengan menghitung
tingkat produk domestik bruto (GDP) per orang, total output dalam
perekonomian relatif pada jumlah populasi suatu wilayah.
Untuk mengukur kinerja industri secara khusus, umumnya
digunakan Total Factor Productivity (TFP). TFP merupakan indikator
umum yang digunakan untuk mengukur produktivitas, yaitu mencakup
perbedaan teknologi, organisasi, restrukturisasi, managerial skill, dll.
TFP dapat menjadi alat yang penting dalam menganalisis sumber
pertumbuhan ekonomi, perbedaan perkapita antar negara, dsb. TFP
menjelaskan mengapa dua perusahaan dapat menghasilkan output
yang berbeda dengan input yang sama. Secara konsep, TFP
didefinisikan sebagai porsi dari output yang tidak dapat dijelaskan oleh
sejumlah input yang digunakan dalam produksi.
Metode yang digunakan untuk mengukur TFP telah banyak
dikembangkan. Banyak pula perdebatan diantara para ahli tentang
bagaimana cara terbaik untuk mengukur TFP, mulai dari yang
sederhana sampai tingkat tinggi dengan menggunakan metode-
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 27
metode ekonometrik. Pada tahun 1957, Solow mendekomposisikan
pertumbuhan output menjadi pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan
kemajuan teknologi dalam artikelnya yang berjudul “Technical Change
and Aggregat Production Function”, dan mengajukan metode nilai
residual Solow, yang kemudian digunakan secara luas untuk
mengukur perkembangan teknologi dan sumber pertumbuhan output.
Terdapat dua cara untuk menghitung TFP yaitu melalui metode
non parametrik dan metode parametrik. Metode nonparametrik tidak
diperlukan bentuk fungsi spesifik atau asumsi-asumsi statistik tertentu
dalam mengukur TFP. Prinsip dasarnya, TFP diperoleh dengan cara
merasiokan antara output dengan input, sehingga dihasilkan nilai
produktivitas.
Metode parametrik mengestimasi TFP melalui fungsi produksi,
sehingga kita harus menggunakan fungsi-fungsi produksi tertentu
seperti fungsi produksi Cobb-Douglas (C-D), Transcendental
Logaritmic (Translog), Constant Elasticity Subtitution (CES), dll.
Fungsi produksi yang masih berbentuk fungsi matematis
(deterministic) tersebut diubah dulu kedalam fungsi produksi yang
berbentuk fungsi statistik (stochastic), yang artinya mengandung error.
Ilustrasinya, kira-kira seperti ini.
Misalnya, kita menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas (C-
D) dengan 2 input yaitu modal (K) dan tenaga kerja (L), sedangkan A
adalah indeks teknologi konstan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 28
Prinsip dasar pengukuran TFP dengan menggunakan metode
parametrik adalah dengan memanfaatkan nilai error dalam model
regresi. Error dalam model regresi dapat mewakili pengaruh-pengaruh
yang berasal dari luar atau yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel
penjelas yang digunakan dalam model. TFP menjelaskan porsi dari
output yang tidak dapat dijelaskan oleh sejumlah input yang digunakan
dalam produksi, maka pengukuran TFP identik dengan pengukuran
error. Nilai error tersebut pada aplikasinya tidak bisa diobservasi
secara langsung karena nilai-nilai parameter fungsi produksi tidak
diketahui. Untuk mengestimasi nilai-nilai parameter tersebut dengan
menggunakan berbagai metode estimasi seperti Ordinary Least
Squares (OLS), Generalized Least Squares (GLS), Maximum
Likelihood Estimators (MLE), Bayesian Estimators, dll. Pada akhirnya
kita akan memperoleh nilai residual sebagai pendekatan untuk error.
Nilai residual inilah yang akan digunakan untuk mengestimasi Total
Factor Productivity (TFP).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 29
2.5. Kajian Sebelumnya
2.5.1. Kajian Permintaan Impor Bahan Baku/Penolong
Berbagai studi terdahulu telah membahas tentang
permintaan impor secara disagregat dan berdasarkan
pengelompokkan golongan ekonomi barang (Broad Economic
Category, BEC). Studi Houthakker dan Magee (1969), yang
menganalisis elastisitas permintaan impor dan ekspor terhadap
Produk Nasional Bruto (Gross National Product (GNP)) atau
pendapatan riil dan harga, baik secara agregat maupun
disagregat di Amerika Serikat, menemukan bahwa nilai
elastisitas pendapatan terhadap permintaan impor di Amerika
Serikat sama dengan negara maju lainnya sedangkan
elastisitas harga terhadap total impor dan total ekspor secara
relatif rendah dan lebih besar untuk beberapa kelompok
komoditi di Amerika Serikat. Serupa dengan model Houthakker
dan Magee (1969) dan Price dan Thornblade (1972), Kreinin
(1973) mengestimasi model permintaan impor Amerika Serikat
secara disagregat berdasarkan kelompok komoditi dan negara
pemasok dan menyimpulkan bahwa permintaan impor
disagregat dipengaruhi oleh elastisitas harga relatif
(perbandingan harga barang impor terhadap indeks harga
perdagangan besar) dan elastisitas pendapatan. Khan (1975)
juga mengestimasi struktur dan perilaku impor di Venezuela
yang dihubungkan dengan harga relatif barang impor terhadap
harga domestik dan pendapatan domestik riil. Secara
konsisten, Ali dan Chani (2013) juga menemukan bahwa
variabel pendapatan lebih elastis pada kelompok komoditi
barang manufaktur dibandingkan dengan kelompok komoditi
lainnya.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang secara
konsisten membahas estimasi elastisitas harga dan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 30
pendapatan, Sarmad dan Mahmood (1987) dan Sarmad (1989)
menambahkan tarif impor dalam penyesuaian harga relatif,
beberapa variabel aktivitas lainnya (seperti pengeluaran
konsumsi riil, nilai tambah riil sektor industri manufaktur) dan
elastisitas hubungan harga relatif dengan variabel aktivitas
lainnya terhadap permintaan impor secara disagregat untuk
Pakistan. Penelitiannya menemukan bahwa elastisitas harga
relatif yang disesuaikan dengan tarif bea masuk di Pakistan
adalah rendah dan berbeda dengan besaran elastisitas di
negara-negara maju. Deyak, Sawyer, dan Sprinkle (1989)
menambahkan variabel stabilitas struktural terhadap fungsi
permintaan impor disagregat Amerika Serikat berdasarkan
kelas ekonomi – pangan mentah, barang mentah, produk
makanan olahan, produk semi-manufaktur dan produk jadi
manufaktur dan menemukan bahwa instabilitas struktural
terjadi pada tiga kelompok ekonomi – produk jadi manufaktur,
produk makanan olahan, dan barang mentah. Penelitian-
penelitian sejenis tentang permintaan impor disagregat dan
berdasarkan kategori golongan barang telah meluas ke
berbagai cakupan negara seperti Cyprus (Pattichis, 1999),
Korea Selatan (Mah, 2000) Malaysia (Cheong, 2002); Fiji
(Narayan dan Narayan, 2005); Republik Rakyat Tiongkok
(RRT) (Fukumoto, 2012), Uganda (Samuel, 2015); dan
sebagainya.
Dalam pendekatan permintaan impor secara disagregat,
kebijakan impor baik berupa tarif impor maupun non tarif lebih
jarang diulas dibandingkan dengan pendekatan permintaan
impor agregat. Santos-Paulino (2002) dan Santos-Paulino dan
Thirlwall (2004) menganalisis dampak penurunan tarif dan
hambatan non tarif terhadap impor dari 22 negara berkembang
dan menemukan bahwa tarif impor akan menurunkan
pertumbuhan impor, tetapi dampaknya beragam bergantung
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 31
pada region dan jenis rezim kebijakan perdagangan yang ada
ada pada suatu negara. Penurunan distorsi kebijakan
perdagangan juga memiliki dampak yang kuat dan positif
terhadap peningkatan impor. Kemudian, elastisitas pendapatan
dan harga akan meningkat sebagai hasil dari reformasi
kebijakan perdagangan. Penurunan tarif input akan mendorong
importir untuk meningkatkan volume impor bahan
baku/penolong dan barang modal, memperluas produk dan
negara pemasok, mengakses ke negara yang lebih maju, dan
mengimpor bahan baku/penolong yang lebih mahal (Ge, Lai, &
Zhu, 2011).
Di Indonesia, beberapa penelitian telah menitikberatkan
pembahasan pada permintaan impor secara disagregat dan
berdasarkan kategori ekonomi barang, khususnya untuk bahan
baku/ penolong. Studi Waluyo (2004), yang mengestimasi
permintaan bahan baku di sektor industri di Indonesia selama
periode 1981-2000, menyimpulkan bahwa investasi luar negeri,
investasi domestik, dan cadangan devisa luar negeri
berpengaruh positif dan signifikan terhadap permintaan bahan
baku di sektor industri sedangkan nilai tukar rupiah terhadap
USD dan tingkat suku bunga berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap permintaan impor bahan baku/ penolong.
Sementara itu, Produk Domestik Bruto (PDB) tidak
berpengaruh signifikan terhadap permintaan impor bahan baku
sektor industri Indonesia (Waluyo, 2004). Hasil kajian tersebut
diperkuat oleh studi Azis (2009) yang menyimpulkan bahwa
investasi pemerintah dan investasi swasta berpengaruh
terhadap permintaan impor bahan baku/ penolong dan Suswati
(2012) yang berpendapat bahwa suku bunga riil bepengaruh
negatif dan signifikan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap impor bahan baku dan penolong. Inflasi juga
dapat berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap impor
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 32
bahan baku dan penolong secara langsung sedangkan secara
tidak langsung inflasi berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap total impor dan bahan baku dan penolong (Suswati,
2012). Puslitbang Perdagangan Luar Negeri Departemen
Perdagangan (2007) dan Arianti (2014) menganalisis mengenai
ketergantungan industri nasional terhadap bahan baku impor
dari sisi output, nilai tambah, dan pendapatan dan berpendapat
bahwa ketergantungan industri nasional terhadap bahan baku
impor masih cukup besar karena elastisitas bahan baku impor
lebih tinggi dibandingkan bahan baku domestik untuk beberapa
sektor seperti alas kaki; kimia, elektronik serta kendaraan
bermotor dan komponen kendaraan bermotor. Kelangkaan
input suplai, masalah ketenagakerjaan dan sumber daya
manusia serta teknologi pengolahan juga diduga ikut
mempengaruhi ketergantungan terhadap bahan baku impor.
Selain itu persoalan infrastruktur, utilitas (listrik, gas dan air)
serta masalah permodalan (bank dan non bank) juga diduga
ikut menjadi faktor pendukung kurang bersaingnya input
domestik dibandingkan input impor. Puska Daglu (2013) juga
telah menganalisis substitusi impor pada industri pengolahan
(manufaktur) tertentu yang memiliki tingkat impor dan substitusi
impor yang besar dalam industri pengolahan dan perubahan
yang terjadi pada impor sebagai bahan baku penolong. Dari
hasil penelitian tersebut didapatkan sebanyak 73 industri yang
memiliki rasio ketergantungan impor bahan baku/penolong
yang sangat tinggi dan 110 industri memiliki rasio impor bahan
baku/penolong yang tinggi. Perilaku industri yang tingkat
impornya tinggi tidak hanya mengalami substitusi impor tetapi
juga tidak mengalami substitusi impor. Demikian pula, untuk
industri yang mengalami substitusi impor tidak hanya indutsri
dengan tingkat impor tinggi tetapi juga pada industri dengan
tingkat impor rendah.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 33
2.5.2. Kajian Peranan Kebijakan Impor terhadap Total Faktor
Produktivitas (TFP)
Kinerja suatu industri manufaktur lazimnya diukur melalui
tingkat produktivitas industri atau total faktor produktivitas
(TFP). Berbagai studi terlebih dahulu telah membahas
mengenai TFP sektor industri manufaktur dan mentautkannya
dengan kebijakan tarif impor barang jadi (output). Trefler (2004)
menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor
industri Kanada dan Amerika Serikat dapat meningkat secara
tajam akibat adanya dampak persaingan impor yang
disebabkan pemotongan tarif yang tinggi. Pavcnik (2002)
menunjukkan bahwa industri yang bersaing dengan impor di
Chili menikmati peningkatan produktivitas yang lebih tinggi
yang disebabkan oleh liberalisasi perdagangan. Beberapa
penelitian lainnya yang mempelajari tarif barang jadi dan
produktivitas termasuk Topalova (2004), Head dan Ries (1999),
Krishna dan Mitra (1998), Gatson dan Trefler (1997), Tybout
dan Westbrook (1995), Harrison (1994), Levinsohn (1993), dan
Tybout, de Melo dan Corbo (1991).
Beberapa studi sebelumnya yang menganalisis
penurunan tarif bahan baku/penolong atau barang input.
Corden (1971) berpendapat bahwa penurunan tarif bahan
baku/penolong akan meningkatkan proteksi efektif,
menurunkan persaingan impor dan sebagai hasilnya akan
menurunkan produktivitas. Berlawanan dengan itu, Ethier
(1982), Markusen (1989) dan Grossman dan Helpman (1991)
justru memperlihatkan bahwa perusahaan dapat merasakan
peningkatan produktivitas dengan adanya penurunan tarif
impor barang input karena dapat mengakses berbagai macam
bahan baku/penolong dan kemungkinan mendapatkan input
dengan kualitas yang lebih tinggi. Studi Schor (2004) di Brazil
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 34
menunjukkan bahwa tarif impor barang input menurunkan tarif
impor terhadap barang jadi dalam jumlah yang sangat kecil.
Amiti dan Konings (2007), dengan menggunakan studi
kasus perusahaan di Indonesia, yang menunjukkan
produktivitas industri di Indonesia akan meningkat sebesar 12%
seiring liberalisasi perdagangan melalui penurunan tarif
sebesar 10% terhadap barang input (bahan baku/penolong)
sedangkan penurunan tarif bea masuk pada barang jadi dapat
meningkatkan produktivitas seiring dengan peningkatan
persaingan, dimana bahan baku/ penolong yang lebih murah
dapat meningkatkan produktivitas melalui dampak
pembelajaran, keberagaman, dan kualitas. Ing dan Putra
(2015) mengestimasi penurunan tarif barang input terhadap
peningkatan nilai tambah melalui keanekaragaman produk dan
kualitas dengan menggunakan data pada tingkat perusahaan
dan produk dari tahun 2000-2010. Studi tersebut menunjukkan
bahwa penurunan 1% dalam tarif barang input akan
meningkatkan nilai tambah sebesar 0,2%, sementara
penurunan 1% dalam tarif barang input justru dapat
meningkatkan keanekaragaman produk dan kualitas masing-
masing sebesar 3,5% dan 1,5%. Perusahaan yang melakukan
ekspor dan perusahaan asing akan memiliki nilai tambah yang
lebih tinggi dibandingkan dan rata-rata perusahaan, namun
hanya perusahaan yang melakukan ekspor yang memiliki
kecenderungan untuk meningkatkan keanekaragaman dan
kualitas produk.
Dengan metode yang sedikit berbeda, beberapa studi
yang juga menunjukkan bahwa penurunan tarif impor dapat
mempengaruhi kinerja industri adalah Kasahara dan Rodrigue,
2008; Bas dan Strauss-Khan, 2011; Topalova & Khandelwal,
2011; Ge, Lai dan Zhu, 2011; Halpern, Koren & Szeidl, 2015).
Demikian pula terdapat juga studi yang mempelajari perubahan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 35
kinerja industri sebagai imbas adanya reformasi kebijakan
perdagangan (Schor, 2004; Goldberg, Khandelwal, Pavcnik
dan Topalova, 2008).
2.6. Kerangka Pemikiran
Berikut ini adalah pola pikir kajian ini hingga nantinya dapat
menghasilkan rekomendasi kebijakan impor dalam rangka
mendukung ketersediaan impor bahan baku/ penolong dan kinerja
industri manufaktur.
Kerangka berfikir kajian ini pada dasarnya dapat dipisahkan
menjadi dua bagian yang saling terkait. Pertama, terkait dengan
bagaimana kebijakan impor dapat mempengaruhi permintaan
terhadap bahan baku/penolong yang berasal dari impor.
Ketersediaan bahan baku/penolong sangat krusial dalam proses
produksi industri manufaktur. Bahan baku/penolong dapat
diperoleh dari produsen dalam negeri maupun impor dari produsen
luar negeri.
Bagi industri kimia, tekstil dan produk tekstil, dan elektronik, bahan
baku/penolong yang berasal dari impor masih cukup penting. Oleh
karena itu ketersediaan bahan baku impor/penolong dalam
mendukung proses produksi di tiga industri manufaktur tersebut
akan mempengaruhi jumlah output industri tersebut. Kebijakan
impor berupa tariff dan non-tariff akan mempengaruhi permintaan
terhadap Impor bahan baku bagi industri kimia, tekstil dan produk
tekstil, dan elektronik.
Kedua, berkaitan dengan bagaimana impor dapat mempengaruhi
kinerja di industri manufaktur. Jumlah output yang dihasilkan dari
proses produksi di tiga industri yang menjadi fokus kajian bukan
menjadi satu-satunya hal yang diharapkan, melainkan peningkatan
produktivitas yang menunjukkan adanya peningkatan efisiensi di
dalam industri kimia, tekstil dan produk tekstil, dan elektronik.
Peningkatan produktivitas akan berimplikasi pada penurunan biaya
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 36
per unit yang tentunya akan meningkatkan daya saing industri
manufaktur Indonesia..
Gambar 2.5 Kerangka Pikir Kajian
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 37
BAB III
METODOLOGI PENGKAJIAN
3.1. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini berupa analisis
kuantitatif dan kualitatif. Metode analisis kuantitatif melalui model
ekonometrik digunakan untuk menganalisis besaran peran kebijakan
impor terhadap permintaan impor bahan baku/penolong industri
manufaktur dan kinerja industri manufaktur. Metode kualitatif dengan
pendekatan studi deskriptif analitik yang dipakai dalam pengkajian ini
untuk mendapatkan pemetaan kebijakan impor bahan baku/ penolong
dan analisis yang mendalam mengenai peran dan
pengimplementasian kebijakan impor terhadap ketersediaan pasokan
bahan baku/ penolong dan kinerja industri manufaktur.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai pengaruh dari
kebijakan impor bahan baku/penolong terhadap kinerja industri kimia,
tekstil, dan elektronik akan digunakan model persamaan simultan.
Alasan penggunaan model simultan adalah berdasarkan kerangka
kajian di Gambar 3.1. terlihat bahwa kebijakan impor bahan
baku/penolong tidak langsung mempengaruhi proses produksi di
industri manufaktur.
Gambar 3.1. Alur Kerja Pemodelan
Persamaan Impor
(Persamaan 3.1)
Persamaan output
(Persamaan 3.2)
Permintaan Impor
(log Mit)
Kinerja Industri
TFP ( �it )
Estimasi
(2SLS)
Kebijakan Impor
(Mpolicy)
Estimasi
(2SLS)
Residual
(TFP)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 38
3.2. Model Ekonometrik
Untuk menganalisis peran kebijakan impor baik tarif maupun non
tarif terhadap permintaan impor bahan baku/penolong industri
manufaktur digunakan modifikasi model yang telah ada sebelumnya
dari Sarmad dan Mahmood (1987). Sarmad dan Mahmood
menggunakan model sederhana permintaan terhadap impor (simple
import demand model) sebagai dasar pembentukan persamaan impor.
Secara tradisional, permintaan terhadap suatu barang impor
merupakan model yang menjadi kerangka utama dalam sebagian
besar studi tentang permintaan impor yang diturunkan dari teori
permintaan konsumen. Model permintaan impor sederhana (Khan,
1974) menghubungkan antara jumlah riil barang impor yang diinginkan
suatu negara dengan tingkat pendapatan riil negara tersebut dan rasio
harga relative antara harga barang impor tersebut dengan harga
barang tersebut di domestic (diasumsikan terdapat tingkat substitusi
antara barang impor dengan barang domestic). Model permintaan
impor sederhana tersebut kemudian diubahsuai oleh Sarmad dan
Mahmood dengan memasukkan kebijakan tarif, sehingga menjadi
persamaan berikut:
(3.1)
Dimana M menunjukkan jumlah barang yang diimpor, t
menunjukkan tarif dan RP menunjukkan harga relatif antara barang
impor dengan barang domestik. Sedangkan Y merupakan variabel
pendapatan nasional (PDB) sebagai proksi aktivitas domestik.
Dengan mengikuti alur persamaan yang digunakan oleh Aliyu
(2007), persamaan Sarmad dan Mahmood tersebut kemudian
dimodifikasi dengan menggunakan variable nilai tukar riil (RER)
sebagai proksi dari harga relative (RP). Selain menganalisis peran dari
kebijakan tariff, penelitian ini juga akan menggunakan kebijakan non
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 39
tariff sebagai salah satu bentuk kebijakan impor yang mempengaruhi
impor bahan baku/penolong.
Sedangkan untuk mengestimasi peran dari bahan baku impor
dalam pembentukan output industri digunakan model fungsi produksi
Cobb-Douglas sebagai berikut:
Y = f(LKM) (3.2)
Dimana output (Y) industri i pada tahun t merupakan fungsi dari
tenaga kerja (L), capital (K), dan bahan baku (M). Dengan
menggunakan spesifikasi log-linear (dinotasikan dengan variabel
dalam bentuk huruf kecil) maka persamaan tersebut akan menjadi:
(3.3)
Dengan uraian latar belakang pemodelan tersebut maka dalam
penelitian ini akan digunakan dua buah persamaan struktural yang
menunjukkan permintaan impor bahan baku/penolong dan yang
menunjukkan produksi/output industri manufaktur. Model simultan di
atas menggunakan persamaan struktural sebagai berikut:
(3.4)
(3.5)
dimana:
logMit = nilai impor bahan baku industri i pada periode t
Mpolicyit = kebijakan impor (tarif dan non-tarif) bahan baku
industri i pada periode t
logYt = Produk Domestik Bruto pada periode t
Qit = nilai produksi industri i pada periode t
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 40
RERt = nilai tukar riil (Rp/USD) pada periode t
log Kit = capital (K)
log Lit = tenaga kerja (L)
log Mit = impor bahan baku
eit = error ��t = residual (Total Factor Productivity, TFP)
o 1 2 3 0 1 2 3 = parameter persamaan
Variabel Operasional
Variabel Impor adalah nilai impor bahan baku untuk masing-masing
subsektor 5 digit KBLI yang tergolong ke dalam kelompok industri kimia,
industri TPT dan industri elektronik.
Variabel Kebijakan Impor yang digunakan pada persamaan 3.4
adalah sebagai berikut:
a. Tarif Bea Masuk MFN (Most Favourable Nations)
Variabel Tarif Bea Masuk MFN (Most Favourable Nations) adalah
rata-rata persentase tarif bea masuk yang dikenakan atas bahan
baku impor yang masuk ke Indonesia dari negara lain, kecuali
negara yang memiliki perjanjian khusus mengenai tarif bea
masuk dengan Indonesia.
b. Non-Tarif NTM (non-tariff measures)
Variabel non-tarif adalah jumlah peraturan non tarif yang
dikenakan pada impor bahan baku di masing-masing subsektor
industri. Kebijakan NTM umumnya masih berupa aturan-aturan
sederhana mengenai lisensi impor.
Kebijakan impor ini dimaksudkan sebagai hambatan masuk yang
ditujukan untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri,
memberikan kepastian hukum bagi investor, memberikan perlindungan
bagi konsumen, dan meningkatkan efisiensi administrasi kepabeanan.
Variabel PDB pada dasarnya merupakan variabel yang menunjukkan
kapasitas permintaan impor bahan baku dari industri dalam negeri.
Semakin berkembang industri dalam negeri maka semakin tinggi pula
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 41
permintaan terhadap bahan baku impor. Untuk lebih menggambarkan
potensi perkembangan industri dalam negeri maka variable PDB tidak
menggunakan PDB total yang menunjukkan pendapatan nasional,
melainkan digunakan PDB sektoral berupa total nilai tambah di industri
terkait.
Pada industri kimia variabel PDB yang digunakan pada persamaan
3.4 adalah nilai PDB sektoral untuk industri pupuk, kimia dan barang dari
karet. Sementara itu untuk industri tekstil dan produk tekstil
menggunakan nilai PDB untuk industri tekstil, barang kulit dan alas kaki.
Industri elektronik menggunakan PDB industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya.
Sedangkan variabel Nilai tukar yang digunakan untuk ketiga
kelompok industri adalah nilai tukar dalam Rupiah per US Dollar.
3.3. Metode Estimasi
Persamaan 3.4 adalah persamaan yang digunakan untuk menjawab
pertanyaan pengaruh kebijakan impor bahan baku terhadap permintaan
impor bahan baku. Persamaan 3.5 adalah persamaan yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan peran bahan baku impor terhadap kinerja
industri. Dari hasil persamaan kedua ini, nantinya dapat diidentifikasi
besarnya tingkat produktivitas yang terjadi di industri kimia, tekstil (TPT),
dan elektronik.
Persamaan 3.4 dan 3.5 adalah persamaan simultan. Estimasi
parameter model dilakukan dengan metode 2SLS atau 3SLS (two/three
stage Least square). Namun demikian, secara teknis, perlu dilakukan
pengecekan kondisi perlu (necessary condition) dan kondisi cukup
(sufficient condition) untuk mengetahui apakah kedua persamaan diatas
dapat diestimasi dan menghasilkan nilai parameter yang unik. Jika kedua
syarat di atas salah satu atau keduanya tidak terpenuhi maka estimasi
2SLS/3SLS tidak dapat dilakukan (Gujarati, 2004)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 42
a. Kondisi Perlu
Persamaan simultan dikatakan memenuhi kondisi perlu jika:
(K-k) > (m-1) (3.6)
Dimana :
m = jumlah variabel endogen pada persamaan
K = jumlah predetermined variabel pada model
k = jumlah predetermined variabel pada persamaan
Jika (K-k) = (m-1) dikatakan persamaan simultan teridentifikasi
tepat (just identified), jika (K-k) > (m-1) dikatakan teridentifikasi
lebih (overidentified) dan jika (K-k) < (m-1) tidak teridentifikasi
(underindentified).
b. Kondisi Cukup
Terpenuhinya kondisi perlu tidak menjamin persamaan dapat
teridentifikasi. Kita membutuhkan kondisi cukup untuk setiap
persamaan. Persamaan dikatakan teridentifikasi memenuhi
kondisi cukup jika memiliki rank matriks berukuran (M-1). M adalah
jumlah variable endogen pada model. Berdasarkan kondisi perlu
dan kondisi cukup maka persamaan simultan dapat teridentifikasi
jika memenuhi kriteria berikut:
Jika (K-k) > (m-1) dan terdapat rank matriks berukuran (M-1)
maka persamaan teridentifikasi lebih
Jika (K-k) = (m-1) dan terdapat rank matriks berukuran (M-1)
maka persamaan teridentifikasi tepat.
c. Hasil identifikasi
Hasil Identifikasi menunjukkan persamaan 3.4 dan persamaan 3.5
teridentifikasi lebih. Artinya kedua persamaan memenuhi kondisi
perlu dan kondisi cukup persamaan simultan. Estimasi persamaan
3.4 dan 3.5 dengan metode 2SLS/3SLS dapat menghasilkan
parameter yang diinginkan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 43
Dalam gambar tersebut, kebijakan impor akan mempengaruhi
terlebih dahulu permintaan terhadap impor (M), yang kemudian
bahan baku yang berasal dari impor tersebut nantinya akan
digunakan untuk proses produksi yang menentukan besarnya
output industri.
3.4. Ruang Lingkup Analisis
Terdapat tiga kelompok industri yang dianalisis yaitu industri kimia,
industri tekstil dan produk tekstil (TPT), dan industri elektronik selama
periode 2000 – 2010. Industri yang dianalis terdiri dari 34 jenis industri
kimia, 34 jenis industri TPT dan 5 jenis industri elektronik.
Rincian cakupan industri yang tergolong ke dalam 5 digit KBLI Industiri
Besar dan Menengah (IBS) di masing-masing tiga kelompok industri
tersebut adalah berikut ini.
Industri Kimia meliputi:
1 Industri kimia dasar anorganik klor dan alkall
2 Industri kimia dasar anorganik gas industri
3 Industri kimia dasar anorganik pigment
4 Industri kimia dasar anorganik yang tidak diklasifikasikan di tempat
lain
5 Industri kimia dasar organik yang bersumber dari hasil pertanian
6 Industri kimia dasar organik bahan baku zat warna dan pigmen, zat
warna dan pigmen
7 Industri kimia dasar organik bersumber dari minyak bumi, gas bumi
dan batu bara
8 Industri kimia dasar organik yang menghasilkan bahan kimia khusus
9 Industri kimia dasar organik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain
10 Industri pupuk alam/non sintentis hara makro primer
11 Industri pupuk buatan tunggal hara makro primer
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 44
12 Industri pupuk buatan majemuk hara makro primer
13 Industri pupuk lengkap
14 Industri damar buatan (resin sintetis) dan bahan baku plastik
15 Industri karet buatan
16 Industri bahan baku pemberantas hama (bahan aktif)
17 Industri pemberantas hama (formulasi)
18 Industri zat pengatur tumbuh
19 Industri bahan amelioran (pembenah tanah)
20 Industri bahan farmasi
21 Industri famarsi
22 Industri simplisia (bahan jamu)
23 Industri jamu
24 Industri sabun dan bahan pembersih keperluan rumah tangga
termasuk pasta gigi
25 Industri kosmetik
26 Industri perekat / lem
27 Industri bahan peledak
28 Industri tinta
29 Industri minyak atsiri
30 Industri korek api
31 Industri bahan kimia dan barang kimia lainnya
32 Industri serat / benang filamen buatan
33 Industri serat stapel buatan
34 Industri serat stapel buatan
Industri TPT meliputi:
1 Industri Persiapan Serat Tekstil
2 Industri Pemintalan Benang
3 Industri Pemintalan Benang Jahit
4 Industri Pertenunan (Kecuali Pertenunan Karung Goni dan
Karung Lainnya)
5 Industri Kain Tenun Ikat
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 45
6 Industri Penyempurnaan Benang
7 Industri Penyempurnaan Kain
8 Industri Pencetakan Kain
9 Industri Batik
10 Industri Barang Jadi Tekstil Kecuali Untuk Pakaian Jadi
11 Industri Barang Jadi Tekstil untuk Keperluan Kesehatan
12 Industri Tekstil Jadi untuk Keperluan Kosmetika
13 Industri Karung Goni
14 Industri Bagor dan Karung Lainnya
15 Industri Permadani (Babut)
16 Industri tali temali
17 Industri Barang-barang dari Tali
18 Industri yang Menghasilkan Kain Pita (Narrow Fabric)
19 Industri yang Menghasilkan Kain Keperluan Industri
20 Industri Bordir / Sulaman
21 Industri Non Woven
22 Industri Kain Ban
23 Industri Tekstil yang tidak di Klasifikasikan di tempat Lain
24 Industri Kain Rajut
25 Industri Pakaian Jadi Rajut
26 Industri Rajut Kaos Kaki
27 Industri Barang Jadi Rajutan
28 Industri Kapuk
29 Industri Pakaian Jadi dari Tekstil
30 Industri Pakaian Jadi Lainnya dari Tekstil
31 Industri Pakaian Jadi (Garmen) dari Kulit
32 Industri Pakaian Jadi Lainnya dari Kulit
33 Industri Bulu Tiruan
34 Industri Pakaian Jadi / Barang Jadi dari Kulit Berbulu dan atau
Aksesoris
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 46
Industri Elektronik meliputi:
1 Industri mesin kantor, komputasi dan akuntansi elektronik
2 Industri tabung dan katup elektronik serta komponen elektronik lainnya
3 Industri alat transmisi komunikasi
4 Industri radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar dan sejenisnya
5 Industri pengukur, pengatur dan pengujian elektronik
3.5. Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan berasal dari data sekunder dan primer.
Data sekunder yang berupa publikasi resmi, dokumen, dan
sebagainya akan diambil melalui studi kepustakaan dari Badan Pusat
Statistik Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Keuangan, UNCOMTRADE, dan lainnya.
Data primer adalah informasi dan keterangan yang diperoleh dari para
pemangku kepentingan terkait (stakeholders) baik pelaku usaha,
importir, produsen, akademisi, praktisi, maupun instansi terkait yang
dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam (in-depth
interview) melalui kegiatan survei lapangan, teknik Focus Group
Discussion (FGD), dan diskusi terbatas terkait dengan peran kebijakan
impor bahan baku/penolong dalam rangka mendukung industri
manufaktur. Survei terhadap pemangku kepentingan terkait akan
dilaksanakan di 7 (tujuh) daerah, yakni Bandung, Medan, Makassar,
Banten, Batam, dan Palembang sedangkan FGD akan
diselenggarakan di Surabaya dengan dasar pertimbangan beberapa
daerah tersebut adalah pelabuhan utama dan pusat kawasan industri
utama di Indonesia.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 47
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong
4.1.1. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong Nasional
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka impor
memiliki peranan yang sangat penting terutama dalam rangka
pengembangan sector industri. Walaupun perkembangan impor
berfluktuasi, namun impor tetap mengalami pertumbuhan. Fluktuasi
impor tidak terlepas dari berbagai peristiwa resesi ekonomi, crisis
ekonomi, serta beberapa kebijakan di bidang impor.
Impor dalam hal ini terdiri atas impor barang konsumsi, vahan
baku dan barang-barang penolong serta barang modal yang pada
umumnya berasal dari negara maju, di samping karena negara-negara
berkembang masih kekurangan modal, juga untuk mempercepat
proses alih teknologi dari negara maju sehingga negara-negara
berkembang akan mampu memacu pertumbuhan ekonominya
Impor Indonesia meningkat sejalan dengan peningkatan
pembangunan. Pengembangan kapasitas produksi dalam negeri
memerlukan impor barang-barang modal yang belum dapat diproduksi
di dalam negeri perlu diimpor. Di samping itu pembangunan proyek-
proyek prasarana yang di perlukan untuk mendukung kapasitas
produksi dalam negeri yang semakin berkembang juga memerlukan
impor.
Impor Indonesia terdiridari 3 golongan barang, yaitu :
1. Impor barang konsumsi
2. Impor bahan baku dan barang penolong
3. Impor barang modal
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 48
Perkembangan ketiga golongan barang impor Indonesia menurut
penggunaannya yang paling besar adalah impor untuk bahan baku
dan barang penolong, kemudian diikuti oleh barang modal dan barang
konsumsi. Tingginya impor bahan baku dan barang penolong
menunjukkan perkembangan industri yang membutuhkan bahan baku
untuk diproses menjadi bahan jadi. Meningkatnya impor bahan baku
dan barang modal ke Indonesia salah satunya disebabkan oleh
adanya realisasi investasi asing di Indonesia. Sedangkan kenaikan
impor konsumsi tiap tahunnya berkaitan dengan adanya perbaikan
taraf hidup masyarakat akibat naiknya pendapatan dan adanya
pergeseran polakon sumsi masyarakat.
Tabel 4.1. Jenis Impor Menurut Penggunaan, 2004-2014
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu,
Kemendag
Permintaan impor Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke
tahun hampir di semua kawasan perdagangan. Secara rata-rata ada
delapan negara importir yang memiliki kontribusi impor yang besar ke
Indonesia yaitu Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Korea
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
TOTAL IMPOR 46 524.5 57 700.9 61 065.5 74 473.4 129 197.3 96 829.2 135 663.3 177 435.6 191 689.5 186 628.7 178 178.8
Barang Konsumsi 3 579.4 4 434.3 4 553.6 6 487.4 8 303.7 6 752.6 9 991.6 13 392.9 13 408.6 13 138.9 12 667.2
1 Makanan dan Minuman (Belum Diolah) Untuk Rumah Tangga 361.8 381.2 557.3 748.2 797.4 955.6 1 166.9 1 847.8 1 541.4 1 385.6 1 542.3
2 Makanan dan Minuman (Olahan) Untuk Rumah Tangga 885.5 1 102.4 1 222.6 1 959.8 1 903.1 1 367.3 2 439.6 3 626.1 2 836.9 2 443.0 2 755.1
3 Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan) 757.0 1 294.9 836.4 1 197.8 1 617.2 591.2 970.3 1 625.5 1 435.3 1 350.9 1 222.9
4 Mobil Penumpang 290.1 292.7 226.4 390.9 574.8 451.2 918.1 1 029.0 1 515.3 1 192.4 783.7
5 Alat Angkutan Bukan Untuk Industri 44.4 44.9 86.4 93.6 153.0 228.3 254.3 286.7 350.3 386.1 267.0
6 Barang Konsumsi Tahan Lama 337.7 371.2 396.5 478.9 822.1 818.3 1 075.0 1 288.3 1 584.7 1 599.5 1 418.3
7 Barang Konsumsi Setengah Tahan Lama 352.4 388.1 582.9 673.6 1 134.7 941.1 1 367.7 1 774.2 1 953.9 2 164.0 1 993.8
8 Barang Konsumsi Tidak Tahan Lama 480.8 540.7 626.9 809.0 1 229.2 1 189.4 1 541.5 1 699.0 1 926.5 2 165.1 2 150.6
9 Barang Yang Tidak Diklasifikasikan 69.6 18.2 18.4 135.6 72.3 210.3 258.2 216.5 264.4 452.2 533.6
Bahan Baku/Penolong 36 406.6 44 958.0 47 368.4 56 543.7 99 492.7 69 638.1 98 755.1 130 934.3 140 126.0 141 957.9 136 208.6
1 Makanan dan Minuman (Belum diolah) Untuk Industri 1 444.1 1 314.6 1 343.1 2 074.2 3 244.4 2 640.9 3 074.8 4 186.7 4 101.0 4 354.4 4 935.4
2 Makanan dan Minuman (Olahan) Untuk Industri 593.2 846.4 942.5 1 543.4 1 271.6 1 582.0 2 165.8 3 330.2 3 349.3 3 685.2 3 247.0
3 Bahan Baku (Belum Diolah) Untuk Industri 2 201.4 2 030.9 2 414.1 2 806.2 4 721.6 2 901.3 4 539.3 6 813.2 5 639.7 6 299.3 6 001.7
4 Bahan Baku (Olahan) Untuk Industri 15 465.9 17 492.1 18 152.2 21 798.8 40 312.9 29 248.8 41 714.3 53 409.6 59 437.0 58 353.6 57 171.7
5 Bahan Bakar dan Pelumas (Belum Diolah) 5 847.0 6 810.7 7 866.9 9 067.8 10 086.6 7 387.3 8 553.5 11 173.5 10 853.3 13 673.1 13 369.3
6 Bahan Bakar Motor 1 455.9 2 814.9 3 243.1 3 847.5 6 019.4 5 135.1 8 464.6 11 962.4 14 061.7 14 839.2 15 006.1
7 Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan) 3 828.4 6 679.7 7 061.1 7 828.9 12 806.5 5 750.9 9 270.0 15 771.2 15 835.5 14 977.2 13 733.4
8 Suku Cadang dan Perlengkapan Barang Modal 2 910.8 3 747.8 3 611.7 4 652.3 14 542.5 11 000.0 14 815.6 16 937.8 18 126.1 16 803.3 15 679.3
9 Suku Cadang dan Perlengkapan Alat Angkutan 2 659.8 3 220.9 2 733.5 2 924.7 6 487.1 3 991.9 6 157.0 7 349.7 8 722.3 8 972.6 7 064.6
Barang Modal 6 538.5 8 308.6 9 143.5 11 442.3 21 400.9 20 438.5 26 916.6 33 108.4 38 154.8 31 531.9 29 303.0
1 Barang Modal Kecuali Alat Angkutan 5 416.7 6 490.8 6 209.5 8 407.3 16 249.9 13 311.8 18 777.0 23 660.1 26 659.3 26 128.2 25 661.9
2 Mobil Penumpang 290.1 292.7 226.4 390.9 574.8 451.2 918.1 1 029.0 1 515.3 1 192.4 783.7
3 Alat Angkutan Untuk Industri 831.7 1 525.1 2 707.6 2 644.1 4 576.2 6 675.5 7 221.6 8 419.3 9 980.2 4 211.3 2 857.4
Nilai : USD JutaU R A I A N
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 49
Selatan, Australia, Cina, dan Taiwan. Dalam 10 tahun terakhir,
perkembangan impor Indonesia menurut negara asal di kawasan
ASEAN memiliki volume yang tertinggi dibandingkan dengan negara-
negara dikawasan lain. Hal ini disebabkan karena pada 10 tahun
terakhir, negara-negara ASEAN mulai menerapkan ACFTA (Asia Cina
Free Trade Area) yang mengakibatkan meningkatnya volume impor
dari wilayah ASEAN dan Cina secara signifikan.
Tabel 4.2. Nilai Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah Maupun
Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu
Kemendag
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
17,667.31 19,522.99 20,566.35 24,605.03 45,034.53 32,150.05 46,253.61 60,222.76 65,076.70 64,652.83 63,173.38
1 2304000000 Oil-cake&other solid residues,in pellet form, from the extract of soyabea 532.00 474.17 493.33 702.13 1,040.66 1,019.55 1,162.00 1,321.04 1,828.49 1,926.98 2,194.93
2 5201000000 Cotton, not carded/combed. 679.91 576.00 619.89 800.10 1,190.70 765.36 1,148.39 1,785.83 1,333.14 1,346.31 1,400.81
3 2902430000 P-xylene 597.29 606.53 769.97 770.59 858.53 596.41 808.57 973.72 959.50 1,089.64 1,172.04
4 7207121000 Slabs of iron/non alloy, cont.< 0,25% of carbon, other than square 512.81 561.10 659.28 753.28 1,425.95 609.99 1,104.03 1,147.83 1,238.95 1,179.69 1,050.02
5 2901210000 Ethylene 412.69 323.86 332.92 314.59 543.97 518.51 632.62 792.68 879.74 850.41 906.43
6 3902102000 Polypropylene in granule form 137.77 131.68 149.42 174.38 353.09 315.31 498.99 962.12 783.50 861.10 904.55
7 3104200000 Potassium chloride 173.73 199.80 213.35 340.78 1,252.01 340.58 719.16 1,443.83 1,240.58 963.26 890.82
8 1005909000 Maize (corn), other than seeds 170.71 27.07 276.12 147.51 76.46 69.92 363.16 1,002.24 493.36 909.30 800.11
9 7403110000 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 30.64 49.86 107.78 53.67 477.96 220.21 537.44 639.97 735.49 668.86 773.08
10 7204490000 Other ferrous waste and scrap : 144.45 157.61 161.16 233.67 656.25 328.99 487.42 751.23 712.48 864.51 743.98
11 3901109010 Polymers of ethylene, in granule form 129.70 151.87 167.78 184.84 251.96 201.12 311.00 417.85 472.00 579.41 656.78
12 2713200000 Petroleum bitumen 20.91 19.05 68.25 111.90 190.95 203.14 277.24 307.42 537.14 614.29 550.20
13 4703210000 Chemical wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,conifer 167.76 140.88 180.15 218.30 257.43 252.29 345.18 382.79 354.73 470.21 528.91
14 2905310000 Ethylene glycol (ethanediol) 240.28 285.07 257.09 255.55 386.16 214.04 380.60 492.75 457.24 471.95 517.47
15 3902309010 Propylene copolymers in granule form 107.19 106.20 130.54 158.08 214.17 179.33 251.01 388.75 400.20 457.45 492.96
16 4702000000 Chemical wood pulp, dissolving grades. 181.67 176.74 141.32 123.35 365.22 160.48 402.79 530.64 422.18 490.19 476.63
17 3901200000 Polyethylene having a specific gravity 0.94 or more 72.09 86.05 91.65 83.28 174.08 103.83 213.61 313.94 368.51 438.13 454.60
18 7601200000 Aluminium alloys 142.48 171.42 200.21 262.11 378.78 191.80 358.71 465.45 448.95 392.87 439.28
19 7304290010 Unfinish casetube&unworked pipe end with yield strength less than 75, - - - 17.22 174.88 139.18 205.60 413.35 433.12 335.36 437.17
20 6006220000 Oth dyed knit/crochtd fbrcs of cotton oth than of heading 60.01-60.04. - - - 6.60 116.06 158.29 270.14 402.17 376.65 361.48 391.85
4,454.11 4,244.97 5,020.22 5,711.95 10,385.26 6,588.36 10,477.67 14,935.61 14,475.96 15,271.39 15,782.62
13,213.21 15,278.03 15,546.13 18,893.08 34,649.27 25,561.69 35,775.94 45,287.15 50,600.74 49,381.43 47,390.75
No.
TOTAL
SUB TOTAL
LAINNYA
Nilai : USD Juta
HS 10 URAIAN
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 50
Tabel 4.3. Volume Impor Bahan Baku dan Penolong, Diolah
Maupun Belum Diolah, Untuk Industri, 2004-2014
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
4.1.2. Perkembangan Impor Bahan Baku/ Penolong untuk Industri
Kimia, TPT dan, Elektronika
Selama tahun 2000-2013, impor bahan baku untuk industri Kimia
yang mengalami peningkatan paling signfikan, yakni mencapai 16,8%
per tahun, dari senilai Rp. 15,0 trilliun menjadi Rp. 70,1 trilliun. Adapun
penggunaan impor bahan baku untuk industri Kimia tertinggi selama
2000-2013 adalah di tahun 2011 yang mencapai Rp. 102,0 trilliun.
Pada periode yang sama, impor bahan baku untuk industri TPT naik
rata-rata 8,1% per tahun dari Rp. 17,1 trilliun di tahun 2000 menjadi
Rp. 39,9 trilliun di tahun 2013. Sedangkan impor bahan baku untuk
industri elektronik justru mengalami penurunan rata-rata 0,9% per
tahun selama 2000-2013.
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
21,001.90 22,707.55 23,666.74 26,065.45 33,451.15 27,571.76 35,061.14 41,188.48 50,329.54 48,510.46 49,892.03
1 2304000000 Oil-cake&other solid residues,in pellet form, from the extract of soyabea 1,730.02 1,852.70 2,116.06 2,323.10 2,273.29 2,324.28 2,868.88 2,938.56 3,479.61 3,509.82 3,828.67
2 5201000000 Cotton, not carded/combed. 1,012.29 947.21 1,039.30 1,382.17 1,948.58 562.11 1,763.29 3,119.33 2,476.70 2,251.39 2,893.84
3 3809910000 Oth finish agent,dye carriers to accele kind used in the textile or like indu 0.95 2.80 3.50 0.05 34.42 85.14 693.41 1,191.02 1,694.61 874.76 2,148.30
4 7204490000 Other ferrous waste and scrap : 1,192.36 1,245.32 1,576.92 1,394.15 1,680.87 1,398.86 1,957.14 1,702.34 2,125.90 2,307.14 1,984.01
5 7228700000 Angles, shapes and sections of other alloy steel 71.42 288.62 363.13 428.72 735.60 283.53 967.32 1,122.26 1,255.88 772.59 1,119.65
6 3901109010 Polymers of ethylene, in granule form 103.85 86.47 220.08 335.36 400.65 479.20 530.58 520.29 813.77 943.79 944.51
7 2902430000 P-xylene 778.16 666.44 704.75 688.18 706.17 653.54 777.53 623.77 643.41 723.50 935.99
8 7318151100 Screw metal with/without nuts/washers with an external diameter <=16 m 738.29 776.53 625.05 743.76 803.03 697.48 822.92 949.90 872.32 891.97 913.83
9 7901110000 Zinc not alloyed containing by weight 99.99% or more of zinc 106.82 172.15 279.41 242.22 438.63 338.39 268.45 503.39 820.35 728.49 864.45
10 5503200000 Synthetic staple fibres of polyesters 19.70 22.81 20.94 87.48 118.94 90.78 170.62 293.86 570.16 521.06 734.83
11 4703210000 Chemical wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,conifer 293.12 263.41 307.50 296.81 348.08 460.98 443.42 448.38 494.98 656.39 688.26
12 7308909000 Other structures and parts of structures of iron or steel 172.27 161.12 273.63 259.23 462.07 271.36 251.11 504.90 715.19 380.46 683.73
13 2901210000 Ethylene 475.04 336.98 294.47 260.96 443.77 663.71 589.53 674.59 716.58 628.28 636.89
14 7208390000 Flat-rolled iron/nas, HRC, width >600 mm, thick< 3 mm 520.04 370.26 208.82 317.74 427.15 272.42 315.04 520.79 745.99 673.96 616.89
15 4707100010 Unbleached kraft paper or paperboard for paper making purposes 12.73 18.09 12.82 41.41 51.42 18.52 63.17 81.90 299.85 541.56 605.67
16 3902102000 Polypropylene in granule form 166.45 129.42 123.87 138.96 218.72 297.48 377.02 607.18 545.96 574.96 586.21
17 2818200000 Aluminium oxide, other than artificial corundum 396.47 470.92 452.07 418.58 441.80 484.17 456.16 441.33 518.47 516.19 569.96
18 7210301000 Flat-rolled of iron/nas,carbon < 0.6% plated or coated with lead, thick <1 29.01 46.59 31.03 63.67 68.43 76.97 192.22 275.95 261.87 341.46 557.36
19 2905310000 Ethylene glycol (ethanediol) 261.91 252.08 199.22 137.97 351.80 204.20 380.62 451.55 432.23 517.36 523.43
20 7304290010 Unfinish casetube&unworked pipe end with yield strength less than 75, 488.83 465.29 280.13 309.08 355.34 520.14 301.63 294.79 986.05 717.58 502.61
8,569.73 8,575.21 9,132.67 9,869.58 12,308.76 10,183.27 14,190.06 17,266.10 20,469.87 19,072.71 22,339.10
12,432.17 14,132.34 14,534.07 16,195.87 21,142.39 17,388.49 20,871.08 23,922.39 29,859.67 29,437.74 27,552.94
No.
TOTAL
SUB TOTAL
LAINNYA
Volume : Ribu TonHS 10 URAIAN
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 51
Gambar 4.1. Nilai bahan baku impor yang digunakan pada
Industri Kimia, TPT, dan Elektronik
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
Meskipun nilai impor bahan baku untuk industri elektronik
mengalami penurunan, namun kontribusi bahan baku impor dibanding
total bahan baku yang digunakan industri tersebut mencatat angka
tertinggi dibanding industri yang lain. Pada tahun 2013, kontribusi
bahan baku impor untuk industri elektronik mencapai 58,0% dari total
bahan baku yang digunakan. Sementara kontribusi bahan baku impor
untuk industri Kimia dan TPT masing-masing sebesar 35,1% dan
36,2%.
Gambar 4.2. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada
industri Kimia, TPT, dan Elektronik
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Industri Kimia 15.0 23.9 21.5 19.0 16.7 19.7 30.1 34.7 75.8 98.7 93.9 102.0 73.6 70.1
Industri TPT 17.1 18.3 17.9 21.4 24.9 32.1 29.6 28.1 27.8 29.0 51.1 52.4 39.1 39.9
Industri Elektronik 19.6 7.2 8.3 11.7 25.5 8.6 11.7 13.4 12.1 13.1 7.9 10.7 8.2 16.0
-
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
120.0 T
rill
iun
Ru
pia
h
Nilai Bahan Baku Impor
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Industri Kimia 51.0 50.0 45.1 45.6 37.5 37.0 42.9 45.9 58.9 61.7 53.7 52.4 43.0 35.1
Industri TPT 35.2 37.4 35.8 39.1 40.5 43.8 40.8 36.9 38.3 36.2 46.3 52.9 37.3 36.2
Industri Elektronik 75.8 48.4 61.3 60.7 48.2 70.5 43.5 53.4 53.7 43.8 35.1 62.2 75.0 58.0
30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 60.0 65.0 70.0 75.0 80.0
(%)
Kontribusi Bahan Baku Impor
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 52
Dilihat lebih detail (Gambar 4.3), jenis industri kimia yang
menggunakan bahan baku impor lebih besar dibanding bahan baku
lokal diantaranya adalah industri bahan peledak, industri farmasi,
industri tinta, industri kimia dasar anorganik khlor dan alkali, dan
Industri kimia dasar organik bersumber dari minyak bumi, gas bumi
dan batu bara. Kelima industri tersebut menggunakan bahan baku asal
impor lebih dari 60% dari total bahan baku yang digunakan.
Gambar 4.3. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada
beberapa jenis industri Kimia
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
Sementara itu, 5 jenis industri TPT yang menggunakan bahan
baku impor cukup tinggi antara lain Industri barang dari tali, Industri
barang jadi tekstil untuk keperluan kesehatan, Industri karpet dan
permadani, Industri pakaian jadi dari tekstil, dan Industri pakaian jadi
(garmen) dari kulit. Kelima industri tersebut menggunakan bahan baku
asal impor sekitar 50% dari total bahan baku yang digunakan. Namun
demikian, penggunaan bahan baku asal impor untuk industri pakaian
jadi (garmen) dari kulit turun signifikan sejak tahun 2010.
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Average2
24292 0.64 0.77 0.75 0.74 0.59 0.77 0.76 0.26 0.88 0.87 0.87 0.85 0.76 0.73 0.73
24232 0.71 0.65 0.53 0.54 0.57 0.53 0.64 0.65 0.94 0.92 0.85 0.83 0.49 0.53 0.67
24293 1.00 0.74 0.76 0.74 0.82 0.69 0.62 0.60 0.58 0.66 0.64 0.45 0.38 0.61 0.66
24111 0.50 0.73 0.61 0.72 0.70 0.63 0.35 0.78 0.72 0.62 0.62 0.84 0.55 0.64 0.64
24117 0.53 0.96 0.96 0.87 0.35 0.38 0.48 0.62 0.73 0.79 0.83 0.57 0.77 0.17 0.64
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
Proporsi Bahan baku impor terhadap Total Bahan Baku Industri Kimia 2000 - 2013
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 53
Gambar 4.4. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada
beberapa jenis industri TPT
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu
Kemendag
Bahan baku impor yang digunakan untuk industri Kimia (Gambar
4.5) cukup tinggi. Beberapa industri yang menggunakan bahan baku
impor berkisar 40-80% dari total bahan baku yang digunakan antara
lain Industri tabung dan katup elektronik serta komponen elektronik
lainnya; Industri radio, televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar
dan sejenisnya; serta Industri mesin kantor, komputasi dan akuntansi
elektronik. Proporsi penggunaan bahan baku impor oleh Industri radio,
televisi, alat-alat rekaman suara dan gambar dan sejenisnya sangat
berfluktuatif dan cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2011.
Sementara itu, proposi penggunaan bahan baku impor untuk Industri
mesin kantor, komputasi dan akuntansi elektronik justru mengalami
peningkatan sejak tahun 2011 dan mencapai angka tertinggi pada
tahun 2012 yang mencapai 81% dari total bahan baku yang
digunakan.
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
17232 0.39 0.40 0.33 0.34 0.40 0.41 0.77 0.66 0.67 0.65 0.60 0.76 0.63 0.51
18103 0.81 0.78 0.77 0.60 0.47 0.75 0.82 0.97 0.31 0.71 0.20 0.09 0.00 0.01
17212 0.55 0.46 0.34 0.53 0.55 0.49 0.09 0.04 0.50 0.61 0.85 0.83 0.49 0.53
17220 0.42 0.47 0.51 0.40 0.32 0.55 0.44 0.43 0.29 0.64 0.59 0.56 0.39 0.65
18101 0.46 0.40 0.45 0.47 0.49 0.45 0.47 0.46 0.45 0.46 0.46 0.48 0.48 0.50
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
Proporsi Bahan baku impor terhadap Total Bahan Baku Industri Tekstil 2000 - 2013
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 54
Gambar 4.5. Kontribusi bahan baku impor yang digunakan pada
beberapa jenis industri Elektronik
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu
Kemendag
4.2. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif dan Non-Tarif Bahan
Baku/Penolong Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik
4.2.1. Identifikasi Kebijakan Impor Tarif Bahan Baku/Penolong
Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik
Rata-rata tariff bea masuk untuk produk TPT merupakan yang
tertinggi dibanding produk lainnya. Pada tahun 2006, rata-rata tarif bea
masuk impor produk Kimia, TPT, dan Elektronik masing-masing
sebesar 4,68%, 9,48%, dan 3,73%. Tariff untuk impor TPT tetap
hingga pada tahun 2015 naik menjadi 12,59%. Adapun rata-rata tarif
bea masuk untuk impor produk kimia mengalami penurunan di tahun
2012 menjadi 4,52% dari sebelumnya 4,68%, meskipun kembali naik
di tahun 2015 menjadi 5,02%. Hal serupa juga terjadi untuk besaran
tariff bea masuk produk lektronik. Pada tahun 2011, rata-rata tariff bea
masuk produk Elektronik turun dari 3,73% menjadi 3,45%, namun
kembali naik di tahun 2015 menjadi 4,02%.
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Average3
32100 0.84 0.86 0.91 0.68 0.58 0.88 0.43 0.71 0.76 0.73 0.51 0.66 0.73 0.68 0.71
32200 0.96 0.54 0.88 0.97 0.60 0.67 0.69 0.97 0.95 0.09 0.61 0.03 0.03 0.24 0.59
32300 0.62 0.36 0.45 0.49 0.43 0.50 0.37 0.39 0.31 0.31 0.24 0.59 0.81 0.51 0.46
-
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
Proporsi Bahan baku impor terhadap Total Bahan Baku Industri Elektronik 2000 - 2013
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 55
Gambar 4.6. Rata-rata tarif bea masuk produk TPT, Kimia, dan
Elektronik
Sumber: Kemenkeu (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
4.2.2. Identifikasi Kebijakan Impor Non Tarif Bahan Baku/Penolong
Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik
Jumlah NTM yang diberlakukan oleh Indonesia cukup besar.
Berdasarkan laporan dari World Bank, jumlah NTM yang berlaku di
Indonesia mencapai 36.609, yang berarti 1 post tarif bisa memiliki
NTM lebih dari 1 jenis. Produk yang paling banyak menerapkan NTM
adalah TPT, Produk Sayuran, Makanan Olahan, dan Produk Kimia.
Jumlah NTM untuk TPT mencapi 8.145 dengan jumlah post tariff
sebanyak 1.167 (100% dari total post tarif TPT). Adapun jumlah NTM
untuk Produk Kimia sebesar 4.144 dengan jumlah post tariff yang
menerapkan NTM 762 post tariff (64,5% dari total post tariff produk
Kimia). Sementara itu, produk Elektronik merupakan produk yang
paling sedikit menerapkan NTM dibanding TPT dan Produk Kimia,
yakni 3.380 yang berlaku pada 875 post tariff (41,2% dari total post
tarif Produk Elektronik).
3.73% 3.45% Elektronik, 4.02%
9.84%
TPT, 12.59%
4.68% 4.52%Kimia, 5.02%
0.00%
2.00%
4.00%
6.00%
8.00%
10.00%
12.00%
14.00%
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 56
Tabel 4.4. Jumlah Pos Tarif dan Pos Tarif yang Terkena Hambatan
Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok Produk
Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
Jenis NTM yang paling banyak berlaku untuk produk Kimia
adalah import NTMs (11,8% dari total NTM yang berlaku) dan TBT
(16,9%). Untuk TPT, jenis NTM yang berlaku didominasi oleh TBT
(25,3%) dan Import NTMs (20,3%). Sedangkan untuk produk
Elektronik, NTM yang berlaku didominasi oleh TBT (15,4%) dan Import
NTMs (11,5%).
Product Groups No. of NTMs % of NTMsNo.Tariff
lines
No.tariff
lines
subject to
NTMs
% Of Tariff
Line subject
to NTMs
Animal and animal products 2417 6.60 573 290 50.61
Vegetables products 5287 14.44 480 480 100.00
Animals or vegetables fats 384 1.05 164 72 43.90
Prepared foodstuffs 4298 11.74 453 452 99.78
Mineral product 755 2.06 206 179 86.89
Chemical products 4144 11.32 1182 762 64.47
Plastics and rubber 560 1.53 491 136 27.70
Hides and Skin 180 0.49 102 90 88.24
Wood & wood products 934 2.55 160 155 96.88
Wood pulps products 1243 3.40 283 229 80.92
Textile & textile products 8145 22.25 1167 1167 100.00
Footwear & Headgear 281 0.77 75 40 53.33
Article of stone, plaster, cement. Asbetos 206 0.56 224 81 36.16
Pearls, precious or semi precious stones, metals 223 0.61 89 51 57.30
Based metals & articles therof 1762 4.81 984 426 43.29
Machinery & Mechanical appliances 3380 9.23 2123 875 41.22
Transportation equipment 1214 3.32 633 470 74.25
Instruments-measuring musical 549 1.50 309 111 35.92
Musical instrument, parts and accessories 12 0.03 20 5 25.00
ARMS AND AMMUNITION; PARTS AND ACCE 42 0.11 27 18 66.67
Miscellaneous 589 1.61 255 114 44.71
Works of Art 4 0.01 13 3 23.08
36609 100.00 10013 6206 61.98
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 57
Tabel 4.5. Hambatan Non Tarif Indonesia Berdasarkan Kelompok
Produk
Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa beberapa post tarif
di Indonesia berlaku lebih dari 1 NTM. Sebagian besar post tarif yang
masuk ke dalam kelompok produk Kimia, berlaku 3 NTM sekaligus
dalam 1 post tarif. Begitu pula untuk TPT dan Produk Elektronik.
Bahkan, semua post tarif dalam kelompok TPT berlaku minimal 2 NTM
pada setiap post tarifnya.
Product Groups SPS (A) % TBT (B) % Others % Import
NTMs
(%)
Import
NTMs
Export
NTMs
(%) Export
NTMs
Animal and animal products 1593 20.50 387 2.36 158 3.09 2138 7.30 279 3.82
Vegetables products 3935 50.64 190 1.16 371 7.25 4496 15.34 791 10.83
Animals or vegetables fats 84 1.08 213 1.30 5 0.10 302 1.03 82 1.12
Prepared foodstuffs 1037 13.35 2517 15.33 646 12.63 4200 14.33 98 1.34
Mineral product 8 0.10 166 1.01 67 1.31 241 0.82 514 7.04
Chemical products 153 1.97 2772 16.88 540 10.56 3465 11.82 679 9.30
Plastics and rubber 46 0.59 369 2.25 107 2.09 522 1.78 38 0.52
Hides and Skin 64 0.82 9 0.05 14 0.27 87 0.30 93 1.27
Wood & wood products 159 2.05 0 - 2 0.04 161 0.55 773 10.58
Wood pulps products 34 0.44 96 0.58 8 0.16 138 0.47 1105 15.13
Textile & textile products 198 2.55 4161 25.34 1580 30.89 5939 20.27 2206 30.21
Footwear & Headgear 32 0.41 146 0.89 85 1.66 263 0.90 18 0.25
Article of stone, plaster, cement. Asbetos 16 0.21 121 0.74 31 0.61 168 0.57 38 0.52
Pearls, precious or semi precious stones, metals 0 - 63 0.38 27 0.53 90 0.31 133 1.82
Based metals & articles therof 35 0.45 1101 6.70 412 8.05 1548 5.28 214 2.93
Machinery & Mechanical appliances 302 3.89 2525 15.38 549 10.73 3376 11.52 4 0.05
Transportation equipment 23 0.30 811 4.94 380 7.43 1214 4.14 0 -
Instruments-measuring musical 19 0.24 485 2.95 25 0.49 529 1.81 20 0.27
Musical instrument, parts and accessories 4 0.05 3 0.02 5 0.10 12 0.04 0 -
ARMS AND AMMUNITION; PARTS AND ACCE 0 - 17 0.10 8 0.16 25 0.09 17 0.23
Miscellaneous 27 0.35 269 1.64 95 1.86 391 1.33 198 2.71
Works of Art 1 0.01 0 - 0 - 1 0.00 3 0.04
7770 100 16421 100 5115 100 29306 100 7303 100
Share (%) 21.22 44.855 13.972 80.05 19.95
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 58
Gambar 4.7. Persentase Hambatan Non Tarif Indonesia
Berdasarkan Kelompok Produk
Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
Pengaturan NTM terhadap impor Kimia sudah dimulai pada
tahun 2003 dan terus bertambah sampai tahun 2014. Tidak semua
sub sektor pada industri Kimia dikenakan NTM. Adapaun sub sektor
yang paling banyak dikenakan NTM adalah KBLI 24114, yakni Industri
Kimia Dasar Anorganik yang tidak diklasifikasikan di tempat lain;
Industri kimia dasar organik bersumber dari minyak bumi, gas bumi
dan batu bara; dan Industri kimia dasar organik yang tidak
diklasifikasikan di tempat lain.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
1ntm 2ntm 3 or more
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 59
Gambar 4.8. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Kimia
menurut KBLI 5 digit
Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
Berbeda dengan industri Kimia, NTM untuk industri TPT mulai
berlaku pada tahun 2009. Pada Rata-rata subsektor di industri TPT
dikenakan 3 NTM. Subsektor yang sudah dikenakan NTM sejak tahun
2009 adalah Industri Pertenunan (Kecuali Pertenunan Karung Goni
dan Karung Lainnya); Industri Kain Tenun Ikat; Industri
Penyempurnaan Kain; Industri Pencetakan Kain; dan Industri yang
Menghasilkan Kain Pita (Narrow Fabric). Adapun sub sektor yang
paling banyak dikenakan NTM adalah Industri Persiapan Serat Tekstil;
Industri Kain Rajut; dan Industri Pakaian Jadi dari Tekstil.
0
5
10
15
20
25
30
35
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
24114
24117
24119
24211
24116
24231
24111
24131
24232
24118
24115
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 60
Gambar 4.9. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri TPT
menurut KBLI 5 digit
Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
Seperti halnya industri TPT, NTM untuk industri Elektronik
berlaku sejak tahun 2009. NTM yang berlaku pada industri Elektronik
naik signifikan pada tahun 2012. Sub sektor industri Elektronik yang
paling banyak dikenakan NTM terbanyak adalah Industri mesin kantor,
komputasi dan akuntansi elektronik dan Industri alat transmisi
komunikasi.
Gambar 4.10. Jumlah NTM yang Berlaku Pada Industri Elektronik
menurut KBLI 5 digit
Sumber: UNCTAD (2016), data diolah Puska Daglu Kemendag
0
2
4
6
8
10
12
14
16
2009 2010 2011 2012 2013 2014
17111
17301
18101
17211
17215
17302
17304
18102
17114
17115
0
2
4
6
8
10
12
2009 2010 2011 2012 2013 2014
30003
32200
32100
32300
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 61
Pemerintah Indonesia menyadari banyaknya NTM yang berlaku
di Indonesia. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan daya saing dan
menciptakan iklim usaha yang kondusif, maka pemerintah
mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi, dimana Kementerian
Perdagangan telah memangkas sebesar 28,9% perizinan terkait
proses ekspor impor. Regulasi yang saat ini masih berlaku untuk
proses importasi produk Kimia, TPT, dan Produk Elektronik
sebagaimana diuraikan pada Tabel di bawah ini.
Tabel 4.6. Regulasi yang Berlaku Saat Ini Untuk Produk Kimia,
TPT, dan Elektronik
Produk Regulasi Pengaturan
Kimia Permendag No. 75/M-
DAG/PER/10/2014 tentang
Pengadaan, DistribusI, dan
Pengawasan bahan
Berbahaya
• Hanya boleh melalui Pelabuhan tertentu
• Impor boleh bagi Importir-Produsen dan Importir-Terdaftar
• Mensyaratkan Persetujuan Impor (PI)
PP 74/2001 tentang
Pengelolaan Bahan
Berbahaya dan Beracun
• Wajib registrasi • Wajib mengikuti prosedur
notifikasi • Wajib menggunakan sarana
pengangkutan yang laik operasi • Kemasan wajib diberi simbol dan
label dan dilengkapi Lembar Data Keselamatan Bahan
Permendag No. 36/M-
DAG/PER/7/2013 tentang
Ketentuan Impor Bahan Baku
Plastik
• Impor boleh bagi Importir-Produsen dan Importir-Terdaftar
• Mensyaratkan Persetujuan Impor (PI)
Peraturan Kepala Badan POM
Nomor 13 Tahun 2015
• Surat Keterangan Impor • Memenuhi persyaratan label, surat
rekomendasi, dan sertfikat lain yang dipersyaratkan Peraturan Kepala Badan POM
Nomor 12 Tahun 2015
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 62
Produk Regulasi Pengaturan
Elektronik Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 87/M-
DAG/PER/10/2015 tentang
Ketentuan Impor Produk
Tertentu
• Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu
• Mensyaratkan Verifikasi penelusuran teknis impor
• API-U dan/atau API-P (untuk barang modal/bahan baku)
Permendag No. 82/M-
DAG/PER/12/2012 jo.
Permendag No. 38/M-
DAG/PER/8/2013 jo.
Permendag No. 48/M-
DAG/PER/8/2014 tentang
Ketentuan Impor Telepon
Seluler, Komputer Genggam
(Handheld), dan Komputer
Tablet
• Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu
• Mensyaratkan Importir Terdaftar (IT)
• Mensyaratkan Persetujuan Impor (PI)
• Mensyaratkan Verifikasi penelusuran teknis impor termasuk pemeriksaan kesesuaian IMEI dan sertifikasi
• Mensyaratkan standard tertentu dan pelabelan
TPT Peraturan Men. Perdagangan
No. 85/M-DAG/PER/10/2015
tentang Ketentuan Impor
Tekstil dan Produk Tekstil
• Impor sebagai bahan baku/penolong
• Mensyaratkan API-P • Mensyaratkan Persetujuan Impor
(PI) • Mensyaratkan Verifikasi
penelusuran teknis impor • Impor tidak boleh melebihi
kapasitas industri
Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 87/M-
DAG/PER/10/2015 tentang
Ketentuan Impor Tertentu
• Hanya boleh melalui Pelabuhan Tertentu
• Mensyaratkan Verifikasi penelusuran teknis impor
• API-U dan/atau API-P (untuk barang modal/bahan baku)
Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 86/M-
DAG/PER/10/2015 tentang
Ketentuan Impor Tekstil &
• API-U dan/atau API-P • Mensyaratkan Persetujuan Impor
(PI) • Mensyaratkan Verifikasi
penelusuran teknis impor • Hanya boleh melalui Pelabuhan
Tertentu
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 63
Produk Regulasi Pengaturan
Produk Tekstil Batik dan Motif
Batik
Sumber: Kemendag (2016)
4.3. Perkembangan Output Industri Kimia, Tekstil, dan Elektronik
Nilai bahan baku impor untuk industri Kimia merupakan yang
terbesar dibanding industri TPT dan Elektronik. Namun demikian, hal
tersebut sepadan dengan nilai output yang dihasilkan, dimana output
industri Kimia juga yang terbesar dibanding industri TPT dan
Elektronik. Pada tahun 2013, nilai output industri Kimia mencapai Rp.
273,4 trilliun, sementara output industri TPT dan Elektronik masing-
masing sebesar Rp. 140,1 trilliun dan Rp, 34,9 trilliun.
Selama 2000-2013, nilai output industri Kimia dan TPT naik rata-
rata 14,0% dan 6,4% per tahun. Sementara nilai output industri
Elektroni turun rata-rata 2,2% per tahun. Nilai output industri Kimia dan
TPT mencapai yang tertinggi pada tahun 2011 dengan nilai masing-
masing Rp. 355,2 trilliun dan Rp. 280,2 trilliun. Namun, output
keduanya mengalami penurunan di tahun 2012.
Gambar 4.11. Perkembangan kinerja Output Industri Kimia,
TPT,dan Elektronik
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Industri Kimia 61.4 86.4 90.5 90.3 92.8 110.1 147.6 173.1 266.2 314.7 314.0 355.2 217.1 273.4
Industri TPT 91.7 86.9 96.3 105.2 115.3 129.8 148.7 158.8 146.5 168.6 246.1 280.2 133.8 140.1
Industri Elektronik 43.3 26.2 32.3 40.0 77.4 30.6 47.5 46.9 41.7 56.5 40.8 36.5 12.8 34.9
-
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0
300.0
350.0
400.0
Rp
Tri
lliu
n
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 64
Sumber: Statistik Indonesia, BPS (2016), data diolah Puska Daglu
Kemendag
4.4. Analisis Regresi Pengaruh Kebijakan Impor Tarif dan Non Tarif
Bahan Baku/Penolong terhadap Kinerja Industri Kimia, Tekstil,
dan Elektronik
4.4.1. Analisa Deskriptif
Sebelum membahas hasil regresi dari persamaan simultan 3.1
dan 3.2 yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka akan
diuraikan terlebih dahulu pola/tren beberapa data yang digunakan di
dalam model persamaan simultan tersebut.
A. Industri Kimia
Rata-rata Impor bahan baku untuk Industri Kimia sebesar USD
1,87 miliar dan mencapai nilai maksimal USD 74,6 miliar. Tarif bea
masuk yang berlaku untuk bahan baku industri Kimia rata-rata
sebesar 0,05%.
Tabel 4.7. Analisis Deskriptif Industri Kimia
Variable Obs Mean Std. Dev. Min Max
Impor 359 1.87e+09 6.33e+09 1506 7.46e+10
nominalER 366 9.375.139 6.318.558 8.389.088 10452.04
pdbsektora~b 366 119568.2 64882.09 42919.3 230236.1
tarif 147 .047534 .0201282 0 .1
nontarif1 366 4.934.426 8.662.694 1.00e-07 27
y 365 6.72e+09 1.44e+10 5219090 1.57e+11
tk 365 6739.83 8.728.852 141 55093
k 355 2.08e+09 1.83e+10 10000 3.39e+11
Sumber: BPS (2016), UNCTAD (2016), dan Kemenkeu (2016), data diolah
Puska Daglu Kemendag
Selama periode analisa (2000-2013), nilai tambah sektoral di
kelompok industri kimia menunjukkan perkembangan yang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 65
meningkat secara stabil. selama periode tersbeut, PDB industri
Kimia naik hampir 5 kali lipat.
Gambar 4.12. Perkembangan PDB Industri Kimia1, 2000-2013
(Rp. Miliar)
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Sedangkan perkembangan nilai tukar selama periode 2000-2013
menunjukkan nilai yang berfluktuasi namun tidak terjadi perubahan
yang sangat drastis. Rata-rata nilai berada di sekitar Rp.8300-an per
USD hingga Rp.10000-an per USD, dengan nilai tertinggi mencapai
Rp 10452 per USD di akhir tahun analisa.
Gambar 4.13. Perkembangan Nilai tukar2, 2000-2013
1 PDB sektoral yang digunakan dalam persamaan untuk industri kimia adalah PDB harga berlaku
karena memberikan hasil yang lebih baik.
2 Nilai tukar yang digunakan untuk semua kelompok industri adalah nilai tukar nominal karena
memberikan hasil yang lebih baik dibanding nilai tukar riil.
0
50000
100000
150000
200000
250000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 66
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Rata-rata tarif MFN yang dikenakan pada bahan baku bagi
industri kimia selama tahun 2000-2013 cenderung sangat bervariasi
antar subsektor 5 digit KBLI yang tergabung dalam kelompok industri
kimia. Dalam uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa rata-rata
tarif untuk industri kimia berada pada kisaran 4%, sedangkan jika kita
lihat pada subsektornya terlihat bahwa terdapat subsektor yang
memiliki tarif hingga 9%, meskipun juga terdapat subsektor yang
sangat rendah.
Gambar 4.14. Rata-rata Tarif (MFN) Industri Kimia, 2000-2013
Sumber: Kemenkeu (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Begitu pula untuk kebijakan non tarif, secara rata-rata per tahun
menunjukkan nilai yang sangat bervariasi antar subsektor. Untuk
subsektor yang cukup banyak menerapkan kebijakan non-tarif,
kebijakan tarifnya sudah relatif tidak terlalu tinggi, seperti industri
24117 dengan rata-rata kebijakan NTM sebanyak 12, sedangkan
tarifnya tinggal berkisar 3%. Sedangkan industri 24299 dengan tarif
MFN hingga 8%, hanya menerapkan sekitar rata-rata 2 NTM.
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
24
11
1
24
11
2
24
11
3
24
11
4
24
11
5
24
11
6
24
11
7
25
59
5
24
11
9
24
12
1
24
12
2
24
12
3
24
12
9
24
13
1
24
13
2
24
21
1
24
21
2
24
21
3
24
22
0
24
23
1
24
23
2
24
23
3
24
23
4
24
24
1
24
24
2
24
29
1
24
29
2
24
29
3
24
29
4
24
29
5
24
29
9
24
30
1
24
30
2
24
93
9
Jenis Industri
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 67
Gambar 4.15. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun
pada Industri Kimia, 2000-2013
Sumber: UNCTAD (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Jika dibandingkan antar subsektor, terlihat bahwa rata-rata nilai
output, bahan baku impor, capital dan tenaga kerja juga memiliki nilai
yang bervariasi dengan beberapa subsektor relatif sangat tinggi
seperti industri 24232, 24131, dan 24122. Umumnya nilai output jauh
lebih tinggi dari nilai input yang digunakan, yang secara sederhana
menunjukkan tingkat produktivitas yang cukup baik, kecuali industri
24122 dimana nilai capital justru lebih tinggi dari nilai output.
0
2
4
6
8
10
12
14
24
11
1
24
11
2
24
11
3
24
11
4
24
11
5
24
11
6
24
11
7
25
59
5
24
11
9
24
12
1
24
12
2
24
12
3
24
12
9
24
13
1
24
13
2
24
21
1
24
21
2
24
21
3
24
22
0
24
23
1
24
23
2
24
23
3
24
23
4
24
24
1
24
24
2
24
29
1
24
29
2
24
29
3
24
29
4
24
29
5
24
29
9
24
30
1
24
30
2
24
93
9
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 68
Gambar 4.16. Rata-rata Output, Impor, Kapital dan Tenaga
kerja per tahun pada Industri Kimia, 2000-2013
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
B. Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)
Rata-rata nilai impor bahan baku industri TPT mencapai USD 1,3
miliar dengan nilai maksimum USD 26,0 miliar. Adapun rata-rata tarif
bea masuk yang berlaku sebesar 9,76%.
Tabel 4.8. Analisis Deskriptif Industri TPT
Variable Obervasi Mean Std. Dev. Min Max
Impor 328,000 1.30e+09 2.79e+09 1983434,000 2.60e+10
nominalER 350,000 9374.89 6289767,000 8389088,000 10452.04
pdbsektora~b 350,000 8.51e+07 5.48e+07 45422,000 1.72e+08
tarif 350,000 9760571,000 3753835,000 25,000 150,000
nontarif1 350,000 2208571,000 273352,000 1.00e-07 14,000
y 346,000 5.86e+09 1.04e+10 484077.3 6.85e+10
tk 346,000 41387.48 93650.97 2907853,000 556821.5
k 0,000
Sumber: BPS (2016), UNCTAD (2016), dan Kemenkeu (2016), data
diolah Puska Daglu Kemendag
0
5000000000
10000000000
15000000000
20000000000
25000000000
30000000000
35000000000
40000000000
45000000000
Jenis Industri Kimia
Y Impor K L
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 69
Selama periode analisa (2000-2013), nilai tambah sektoral di
kelompok industri TPT menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan, dari sebesar Rp. 45,4 trilliun di tahun 2000 menjadi Rp.
172,4 triliun di tahun 2013.
Gambar 4.17. Perkembangan PDB sektoral TPT, 2000-2013
(harga Berlaku, Rp. Miliar)
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Untuk nilai rata-rata tarif MFN di kelompok industri TPT variasi
nilai tidak sebesar di industri kimia, dimana cukup banyak subsektor
yang memiliki nilai tarif diatas 10%. Tarif bea masuk tertinggi berlaku
bagi impor sub sektor Industri Tekstil Jadi, untuk Keperluan
Kosmetika; Industri Karung Goni; dan Industri Rajut Kaos Kaki.
Ketiga sub sektor tersbeut memiliki rata-rata tarif bea masuk di atas
14% selama 2000-2013.
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
180,000
200,000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 70
Gambar 4.18. Rata-rata tarif per tahun Industri TPT, 2000-2013
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Untuk penerapan kebijakan non tarif, hanya industri 17111
(Industri Persiapan Serat Tekstil) yang memiliki cukup banyak bentuk
NTM, yaitu rata-rata sebesar 14 NTM. Sedangkan industri yang lain
hanya sekitar rata-rata 3-4 kebijakan NTM. Selain itu, beberapa sub
sektor dalam industri TPT tidak dikenakan kebijakan NTM, antara
lain sub sektor Industri Pemintalan Benang; Industri Pemintalan
Benang Jahit; Industri Batik; Industri Permadani (Babut); dan Industri
Pakaian Jadi / Barang Jadi dari Kulit Berbulu dan atau Aksesoris.
Gambar 4.19. Rata-rata jumlah kebijakan non-tarif per tahun
pada Industri TPT, 2000-2013
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
0.0000000
0.0200000
0.0400000
0.0600000
0.0800000
0.1000000
0.1200000
0.1400000
0.1600000
17
11
1
17
11
2
17
11
3
17
11
4
17
11
5
17
12
1
17
12
2
17
12
3
17
12
4
17
21
1
17
21
2
17
21
3
17
21
4
17
21
5
17
22
0
17
23
1
17
23
2
17
29
1
17
29
2
17
29
3
17
29
4
17
29
5
17
29
9
17
30
1
17
30
2
17
30
3
17
30
4
17
40
0
18
10
1
18
10
2
18
10
3
18
10
4
18
20
1
18
20
2
0.000
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
17
11
1
17
11
2
17
11
3
17
11
4
17
11
5
17
12
1
17
12
2
17
12
3
17
12
4
17
21
1
17
21
2
17
21
3
17
21
4
17
21
5
17
22
0
17
23
1
17
23
2
17
29
1
17
29
2
17
29
3
17
29
4
17
29
5
17
29
9
17
30
1
17
30
2
17
30
3
17
30
4
17
40
0
18
10
1
18
10
2
18
10
3
18
10
4
18
20
1
18
20
2
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 71
Untuk nilai output, capital, tenaga kerja, dan impor bahan baku
antar subsektor di kelompok industri TPT sangat bervariasi. Industri
18101 (Industri Pakaian Jadi dari Tekstil) memiliki nilai yang paling
besar, kemudian diikuti industri 17114 (Industri Pertenunan (Kecuali
Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya)). Kecuali industri
17302 (Industri Pakaian Jadi Rajut), nilai output relatif jauh lebih
tinggi dibanding nilai input, sehingga menunjukkan tingkat
produktivitas yang cukup baik.
Gambar 4.20. Rata-rata Nilai Output, Kapital dan Impor bahan
baku industri TPT, 2000-2010
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Yang cukup menarik adalah, rata-rata penggunaan tenaga kerja
di industri TPT tidak sebesar yang diperkirakan sebagai industri yang
bersifat labor intensive, karena hanya industri 18101 (Industri
Pakaian Jadi dari Tekstil) dan 17114 Industri Pertenunan (Kecuali
Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya)) yang cukup banyak
menggunakan tenaga kerja.
Gambar 4.21. Rata-rata Jumlah tenaga kerja industri TPT, 2000-
2013
0
10000000000
20000000000
30000000000
40000000000
50000000000
60000000000
Y Impor K
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 72
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
C. Industri Elektronik
Selama 2000-2013, rata-rata nilai impor bahan baku industri
Elektronik sebesar USD 3,0 miliar dan mencapai nilai maksimal USD
15,6 milliar. Sementara itu, tarif bea masuk yang berlaku untuk
industri Elektronik cukup rendah, yakni rata-rata 3,2%. Sedangkan
NTM yang berlaku bagi industri Elektronik rata-rata 10 NTM per
tahun.
Tabel 4.9. Analisis Deskriptif Industri Elektronik
Variable Obs Mean Std.
Dev.
Min Max
impor 57 3.05e+09 3.56e+09 806129.8 1.56e+10
nominalER 70 9374.89 6326124 8389088 10452.04
pdbsektora~b 70 863253.6 606515.7 68617 1997954
tarif 70 .0320686 .0317714 .0022 .1088
nontarif1 70 4471429 3911045 1.00e-07 10
y 64 8.86e+09 1.07e+10 1.27e+07 4.59e+10
tk 64 25335.92 31560.76 1397702 113550.2
k 56 1.54e+09 3.93e+09 5166754 2.37e+10
Sumber: BPS (2016), UNCTAD (2016), dan Kemenkeu (2016), data
diolah Puska Daglu Kemendag
Untuk perkembangan data PDB sektoral terlihat bahwa selama
periode analisa, mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun
0
100000
200000
300000
400000
500000
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 73
2000, nilai PDB untuk sektor Elektronik sebesar Rp. 68,6 trilliun.
Pada tahun 2013, nilai PDB tersebut naik signifikan mencapai Rp.
529,8 trilliun.
Gambar 4.22. Perkembangan PDB subsektor elektronik
2000-2013 (harga berlaku, Rp. Milliar)
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Di industri elektronik secara rata-rata tarif MFN paling tinggi
dikenakan di subsektor 32300 (Industri radio, televisi, alat-alat
rekaman suara dan gambar dan sejenisnya) sebesar 6% lebih,
sedangkan terendah ada di industri 30016 (Industri mesin kantor,
komputasi dan akuntansi elektronik) sebesar 0,2%.
Gambar 4.23. Rata-rata nilai tarif per tahun pada Industri
Elektronik, 2000-2013
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 74
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Sedangkan kebijakan non-tarif bagi industri Elektronik mulai
berlaku tahun 2009 dan terus meningkat sejak tahun 2012. NTM
terbanyak berlaku bagi sub sektor 32300 (Industri Televisi dan/Atau
Perakitan Televisi) dan 32200 (Industri alat transmisi komunikasi).
Gambar 4.24. Jumlah Kebijakan Non Tarif Sektor Elektronik
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Untuk rata-rata nilai output dan bahan baku impor selama periode
analisa, terlihat bahwa hanya industri 32100 dan 32300 yang
0.0000000
0.0100000
0.0200000
0.0300000
0.0400000
0.0500000
0.0600000
0.0700000
30016 32100 32200 32300 33123
0
5
10
15
20
25
30
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
30003 32100 32200 32300
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 75
memiliki nilai cukup besar dan terpaut sangat jauh dengan tiga
subsektor yang lain. Dan nilai capital terbesar juga hanya dimiliki
oleh industri 32100. Subsektor industri elektronik lainnya ternyata
hanya menggunakan nilai capital yang relatif cukup kecil.
Gambar 4.25. Rata-rata nilai output dan bahan baku impor
pada industri Elektronik, 2000-2010
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
Gambar 4.26. Rata-rata nilai kapital per tahun pada Industri
Elektronik, 2000-2013
Sumber: BPS (2106), data diolah Puska Daglu Kemendag
4.4.2. Hasil Regresi
A. Industri Kimia
0
5000000000
10000000000
15000000000
20000000000
25000000000
30016 32100 32200 32300 33123
Y Input_Impor
0
1000000000
2000000000
3000000000
4000000000
5000000000
6000000000
30016 32100 32200 32300 33123
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 76
Hasil regresi model persamaan simultan untuk persamaan impor
bahan baku menunjukkan bahwa pengaruh Tarif MFN sangat kuat dan
signifikan terhadap rata-rata permintaan bahan baku impor. Kenaikan 1
persen tarif masuk bahan baku impor akan menurunkan permintaan
bahan baku impor sebesar 30,78 persen. Sedangkan kebijakan non-tarif
NTM tidak memiliki pengaruh terhadap permintaan impor bahan baku di
industri kimia, meskipun memiliki arah yang sesuai. Tidak
berpengaruhnya kebijakan non-tarif diduga akibat hanya beberapa
subsektor saja yang menerapkan kebijakan NTM, dan dimana nilainya
berbanding terbalik dengan kebijakan tarif, dimana ketika subsektor
memiliki nilai tarif yang cukup tinggi, penerapan NTM masih terbatas.
Dan kebijakan NTM yang diterapkan relatif masih berada pada
kebijakan lisensi impor otomatis yang tidak sulit untuk dipenuhi importir.
Nilai Tambah sektoral (PDB sektoral) di industri kimia juga
berpengaruh positif signifikan terhadap permintaan impor bahan baku.
Kenaikan 1 persen PDB maka impor bahan baku meningkat sebesar
1,057 persen. Pengaruh nilai tukar nominal terhadap permintaan bahan
baku impor juga bersifat sangat elastis. Kenaikan nilai tukar nominal
(depresiasi) nilai tukar sebesar 1 persen menyebabkan bahan baku
impor menjadi mahal, akibatnya permintaan bahan baku impor turun
5,53 persen.
Hasil regresi model output menunjukkan bahwa input produksi yaitu
bahan baku, modal dan tenaga kerja berpengaruh positif signifikan pada
output industri kimia. Pengaruh bahan baku impor dan jumlah tenaga
kerja memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan pengaruh
modal pada output industri kimia. Kenaikan impor bahan baku dan
jumlah tenaga kerja sebesar 1 persen akan meningkatkan rata-rata
output industri kimia masing-masing sebesar 0,6 persen. Sementara itu
kenaikan 1 persen kapital akan meningkatkan output sebesar 0,1
persen.
Secara keseluruhan, kebijakan Tarif MFN berpengaruh terhadap
kinerja industri kimia yang diukur lewat nilai output, dimana penurunan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 77
tarif MFN sebesar 1 persen akan meningkatkan output industri
kimia sebesar 18,87 persen.
Tabel 4.10. Hasil regresi model impor dan output Industri Kimia3
Model Impor
PDB sektoral 1,057*
Nilai Tukar -5,529*
Tarif -30,786***
NTM -0,030
Konstanta 58,744**
Model Output
Impor bahan baku 0,613**
Kapital 0,100***
Tenaga Kerja 0,6**
Konstanta 3,068
Perkembangan Produktivitas (TFP) Industri Kimia
Dengan menggunakan metode growth accounting, maka dari
persamaan fungsi produksi dapat dihitung tingkat produktifitas (TFP)
yang ada di sektor industri kimia. Hasil perhitungan produktivitas dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.11. Rata-rata Produktivitas (TFP) sektor Industri Kimia
Tahun Rata-rata TFP
2000 11,37893267
2001 10,41930397
3 Hasil regeresi dengan menggunakan metode 3SLS
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 78
2002 9,024731805
2003 10,38608798
2004 9,738001939
2005 9,007564583
2006 11,42075293
2007 11,07098692
2008 9,156571683
2009 7,908891189
2010 14,63250488
2011 14,84519406
2012 12,93546817
2013 13,06921632
Sumber: hasil pengolahan
Berdasarkan table produktivitas tersebut terlihat bahwa selama
periode tahun 2000 hingga tahun 2013, di dalam sektor industri kimia,
produktivitas bergerak naik turun dimana pada tahun 2010-2011 sempat
mengalami tingkat produktivitas tertinggi, namun menurun kembali pada
tahun berikutnya. Fluktuasi dari tingkat produktivitas di industri kimia
dapat lebih jelas dilihat pada grafik berikut ini.
Gambar 4.27. Rata-Rata Produktivitas Sektor Kimia
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 79
Sumber: hasil pengolahan
Jika dilihat berdasarkan subsektor di dalam industri kimia, maka
terdapat variasi yang cukup besar dari nilai produktivitas antara satu
subsektor dengan subsektor lainnya. Terdapat beberapa subsektor
yang memiliki nilai produktivitas relatif sangat tinggi seperti subsektor
24121 (subsektor dengan TFP tertinggi), 24234, 24233 dan 24295.
Tabel 4.12. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub
sektor industri Kimia (2000-2013)
Kode Rata-rata Tarif Rata-rata Non-tarif TFP
24111 0,05 4,73 12,26
24112 0,05 7,22
24113 0,05 12,94
24114 0,05 12,45 8,94
24115 0,05 2,40 14,88
24116 0,04 8,82 11,55
24117 0,04 12,45 8,28
25595 0,04 6,39
24119 0,04 8,78
24121 0,03 16,56
0
2
4
6
8
10
12
14
16
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Rata-rata TFP sektor Kimia (e= lny-lny_hat)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 80
Kode Rata-rata Tarif Rata-rata Non-tarif TFP
24122 0,00 2,40 10,20
24123 0,02 14,08
24129 13,76
24131 0,06 7,40
24132 0,05 14,66
24211 0,03 11,20
24212 11,92
24213 9,53
24220 8,97
24231 0,02 11,11 12,97
24232 0,04 3,71 -1,35
24233 15,34
24234 15,82
24241 0,07 10,00
24242 0,09 11,70
24291 0,05 2,40 10,48
24292 0,07 15,01
24293 0,08 13,76
24294 0,05 2,40 14,27
24295 0,05 15,19
24299 0,09 2,40 10,70
24301 12,32
24302 0,05 8,85
24939 1,33
Sumber: hasil pengolahan
B. Industri TPT
Faktor utama penyebab kenaikan impor bahan baku adalah
kenaikan nilai PDB sektor industri tekstil, barang kulit dan alas kaki dan
penurunan Tarif MFN impor bahan baku. Kenaikan 1 persen PDB
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 81
sektoral akan meningkatkan rata-rata impor bahan baku sebesar 1,37
persen. Sedangkan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap impor bahan
baku.
Pengaruh kebijakan Tarif MFN dan Non Tarif NTM relatif kecil
terhadap impor bahan baku. Kenaikan 1 persen tarif akan menurunkan
rata-rata impor bahan baku sebesar 0,015 persen. Sedangkan
hubungan antara kebijakan Non Tarif NTM dengan impor bahan baku
bernilai positif sebesar 0,051. Ketika kebijakan NTM meningkat sebesar
1 persen justru meningkatkan impor bahan baku sebesar 0,051 persen.
Perbedaan hasil regresi dengan hipotesis ini diduga terjadi karena
aturan-aturan yang ditetapkan masih bersifat lisensi impor sederhana
yang relatif mudah dipenuhi oleh pelaku usaha.
Dari model output diperoleh kesimpulan bahwa peran bahan baku
impor dan tenaga kerja sangat signifikan pada produksi industri tekstil
dan produk tekstil. Ketergantungan terhadap bahan baku impor jelas
terlihat pada hasil regresi dimana setiap kenaikan 1 persen nilai impor
bahan baku maka output produksi naik rata-rata 0,617 persen. Nilai ini
bahkan lebih besar dari pengaruh tenaga kerja terhadap pembentukan
output. Dimana kenaikan 1 persen jumlah tenaga kerja menyebabkan
rata-rata kenaikan output sebesar 0,44 persen. Pengaruh modal kapital
tidak signifikan pada kenaikan output industri TPT. Hal ini diduga karena
nilai kapital tidak terlalu besar seperti yang terlihat dari analisa deskriptif
sebelumnya.
Tabel 4.13. Model Impor dan Model Output industri TPT4
4 Hasil regresi dengan menggunakan metode 3SLS
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 82
Model Impor
PDB sektoral 0,137***
Nilai Tukar 0,808
Tarif -0,015***
NTM 0,051***
Konstanta 10,895
Model Output
Impor bahan
baku 0,617***
Kapital -0,027
Tenaga Kerja 0,448***
Konstanta 5,768***
***p < 0,01, **p < 0,05, * p < 0,1
Dari model simultan diatas dapat terlihat bahwa kebijakan Tarif
berpengaruh terhadap kinerja industri TPT yang diukur melalui output.
Penurunan Tarif MFN sebesar 1 persen akan meningkatkan output
industri TPT sebesar 0,009 persen. Pengaruh ini jauh lebih kecil jika
dibandingkan dengan pengaruh kebijakan tarif di industri kimia
sebelumnya.
Perkembangan Produktivitas (TFP) Industri TPT
Dibandingkan sektor industri kimia, produktivitas sektor industri TPT
relative masih sangat rendah, dengan kecenderungan yang menurun.
Hanya sempat mengalami produktivitas tertinggi di tahun 2003, bahkan
di beberapa tahun mengalami produktivitas yang negative. Hal ini
mengindikasikan bahwa penggunaan input sangat tidak efisien, bahkan
nilai input yang digunakan secara keseluruhan lebih tinggi daripada nilai
output yang dihasilkan.
Tabel 4.14. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri TPT
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 83
Tahun Rata-Rata TFP
2000 0,28
2001 0,81
2002 0,19
2003 1,02
2004 0,54
2005 0,49
2006 -0,05
2007 0,58
2008 0,24
2009 0,36
2010 -0,54
2011 0,77
2012 -1,18
2013 -1,08
Sumber: hasil pengolahan
Untuk lebih jelasnya, tren perkembangan rata-rata produktivitas
sektor industri TPT dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Gambar 4.28. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri TPT
Sumber : hasil pengolahan
-1.50
-1.00
-0.50
0.00
0.50
1.00
1.50
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
TFP (ln)= error=(lny-lnyhat)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 84
Jika dianalisis berdasarkan subsektor di dalam industri TPT terlihat
bahwa masih terdapat beberapa subsektor yang memiliki tingkat
produktivitas diatas rata-rata industri TPT, seperti subsektor 17400
(tertinggi), 17213, dan 17299.
Tabel 4.15. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub
sektor industri TPT (2000-2013)
Kode Tarif Non-tarif TFP
17111 0,056 3,929 0,414
17112 0,053 9,714 -0,201
17113 0,050 9,714 -0,179
17114 0,084 9,714 -0,018
17115 0,122 9,714 1,172
17121 0,088 9,714 0,092
17122 0,091 9,714 0,289
17123 0,128 9,714 1,338
17124 0,135 9,714 0,801
17211 0,123 9,714 -0,444
17212 0,135 9,714 -0,336
17213 0,150 9,714 3,897
17214 0,150 9,714 -1,493
17215 0,123 9,714 1,876
17220 0,127 9,714 -0,546
17231 0,089 9,714 0,226
17232 0,066 9,714 -0,658
17291 0,077 9,714 -0,448
17292 0,075 9,714 -0,252
17293 0,075 9,714 1,065
17294 0,089 9,714 0,698
17295 0,100 9,714 -3,501
17299 0,071 9,714 2,201
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 85
Kode Tarif Non-tarif TFP
17301 0,085 9,714 0,848
17302 0,130 9,714 -0,628
17303 0,144 9,714 0,679
17304 0,139 9,714 1,771
17400 0,072 9,714 4,321
18101 0,093 9,714 -0,781
18102 0,137 9,714 -0,562
18103 0,113 9,714 -0,355
18104 0,100 9,714 -0,670
18201 0,100 9,714 -4,705
18202 0,100 9,714 -0,057
Sumber : hasil pengolahan
C. Industri Elektronik
Impor bahan baku pada industri elektronik, secara signifikan,
dipengaruhi oleh PDB industri alat angkutan, mesin dan peralatannya
dan kebijakan non tarif. Setiap kenaikan 1 persen PDB sektoral maka
rata-rata bahan baku impor naik sebesar 1,76 persen. Sedangkan
variabel nilai tukar tidak memiliki dampak terhadap impor bahan baku di
industri elektronik.
Untuk kebijakan Tarif MFN juga tidak berpengaruh terhadap impor
bahan baku. Hal ini diduga karena secara rata-rata tarif untuk industri
elektronik sudah relatif lebih rendah dimana rata-rata tarif MFN untuk
industri elektronik sebesar 4% (lebih rendah dibanding industri kimia dan
TPT). Sedangkan kebijakan non tarif NTM berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap impor bahan baku. Setiap kenaikan 1 persen non
tarif NTM akan menurunkan impor bahan baku sebesar 0,23 persen.
Produksi industri elektronik masih tergantung pada impor bahan
baku. Hal tersebut terlihat dari pengaruh positif impor bahan baku
terhadap produksi. Kenaikan 1 persen nilai bahan baku impor
menyebabkan kenaikan pada output rata-rata sebesar 0,45 persen.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 86
Pengaruh ini lebih besar daripada pengaruh variable tenaga kerja
terhadap pembentukan output industri elektronik. Kenaikan 1 persen
jumlah tenaga kerja akan meningkatkan output produksi sebesar 0,41
persen. Namun peran modal kapital tidak signifikan dalam pembentukan
output industri elektronik. Hal ini diduga karena industri elektronik di
Indonesia relatif masih banyak menggunakan tenaga kerja dan tidak
terlalu membutuhkan kapital yang tinggi.
Secara global, kebijakan Non Tarif NTM berpengaruh terhadap
kinerja industri elektronik, dimana penurunan NTM sebesar 1 persen
akan meningkatkan output industri elektronik sebesar 1,02 persen.
Tabel 4.16. Model Impor dan Model Output di industri Elektronik5
Model Impor
PDB Sektoral 1.768379***
Nilai Tukar 0.0600984
Tarif -2.27414
NTM -0.2301457**
Konstanta -24.30396***
Model Output
Impor bahan baku 0,4517361***
Kapital 0,0255617
Tenaga Kerja 0,4109378***
Konstanta 8.479084***
***p < 0,01, **p < 0,05, * p < 0,1
Perkembangan Produktivitas (TFP) Industri Elektronik
Produktivitas sektor industri elektronik memiliki perkembangan yang
hamper sama dengan sektor industri TPT dimana produktivitas sektor
5 Hasil regresi untuk industri elektronik menggunakan metode Generalized Least Square (GLS)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 87
industri elektronik relative masih rendah, namun dengan kecenderungan
fluktuatif. Hanya pada tahun 2010 sempat mengalami tingkat
produktivitas TFP tertinggi. Sementara pada awal periode analisa,
industri elektronik bahkan mengalami tingkat produktivitas yang negatif.
Tabel 4.17. Rata-rata Produktivitas (TFP) Sektor Industri Elektronik
Tahun Rata-rata TFP
2000 0,46
2001 -0,39
2002 -2,05
2003 -2,05
2004 -1,83
2005 0,05
2006 0,05
2007 1,87
2008 0,40
2009 0,68
2010 2,02
2011 0,50
2012 -0,52
2013 -0,10
Sumber: hasil pengolahan
Perkembangan tingkat produktivitas sektor industri elektronik yang
fluktuatif tersebut dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Gambar 4.29. Rata-Rata Produktivitas Sektor Industri Elektronik
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 88
Sumber : hasil pengolahan
Subsektor yang memiliki tingkat produktivitas tinggi di dalam sektor
industri elektronik adalah subsektor 30003 dan subsektor yang paling
rendah produktivitasnya adalah subsektor 33123 (lihat table berikut ini).
Tabel 4.18. Rata-rata tarif, non tarif dan produktivitas menurut sub
sektor Elektronik TPT (2000-2013)
Kode Tarif1 Non tarif1 TFP
30003 0,002 2,571 2,789
32100 0,014 7,071 -0,146
32200 0,023 7,071 0,242
32300 0,066 7,071 0,231
33123 0,055 7,071 -4,178
Sumber : hasil pengolahan
4.5. Hasil Temuan Lapang
Guna melengkapi analisis pengolahan data regresi, Tim Kajian
melakukan survei ke beberapa kota (Makassar, Medan, Bandung dan
Surabaya) dan melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion
-2.50
-2.00
-1.50
-1.00
-0.50
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
TFP (ln)= error=(lny-lnyhat)
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 89
(FGD). Dalam kunjungan lapangan tersebut, Tim Kajian mengunjungi
para pemangku kepentingan terkait, di antaranya perusahaan-
perusahaan yang melakukan importasi bahan baku/ penolong untuk
digunakan sebagai input dalam proses produksinya, produsen sejenis,
asosiasi, dinas terkait Dengan menggunakan kuesioner, Tim Kajian
melakukan in depth interview menanyakan beberapa pertanyaan
tertutup dan terbuka.
Hasil temuan lapangan, diskusi terbatas, dan Focus Group
Discussion (FGD) dalam Lampiran 1 menunjukkan bahwa adanya
keberagaman dalam persepsi responden mengenai pengaruh
kebijakan impor terhadap kendala kegiatan importasi. Keseluruhan
responden yang berasal dari industri Kimia menyatakan bahwa
kebijakan impor tidak menghambat kegiatan importasi. Berbeda
halnya dengan sebagian besar dari responden pada industri TPT
(66,67%) dan Elektronika (80,00%) yang memiliki pandangan bahwa
kebijakan impor memiliki andil dalam menghambat kegiatan importasi.
Berkaitan dengan ketersediaan pasokan bahan baku, sekitar
66,67% dari responden di industri Kimia berpendapat bahwa
pengimplementasian kebijakan impor tidak berdampak terhadap
ketersediaan pasokan bahan baku/penolong mengingat adanya
bahan baku/penolong yang diproduksi oleh industri dalam negeri
(Lampiran 1). Responden pada industri TPT dan Elektronika justru
memiliki persepsi bahwa kebijakan impor berdampak terhadap
ketersediaan pasokan bahan baku/penolong dengan pertimbangan
bahwa sebagian besar bahan baku/penolong yang digunakan oleh
industri TPT dan Elektronika kurang memadai jumlah produksinya,
tidak dapat diproduksi atau tidak tersedia jenis/spesifikasinya di dalam
negeri (Lampiran 1).
Sebanyak 80% dari responden yang bergerak di industri TPT
berpandangan bahwa kebijakan impor memiliki peranan terhadap
produksi dan produktivitas industrinya. Pandangan yang sama tentang
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 90
peranan tersebut hanya dirasakan oleh 33,33% dari responden yang
bergerak di industri Kimia.
Hasil temuan lapangan, diskusi terbatas, dan FGD yang telah
dilakukan, kenaikan kebijakan tarif bea masuk MFN tidak berpengaruh
terhadap penurunan impor bahan baku/penolong pada industri TPT
karena sebagian besar berasal dari impor bahan baku/penolong
berasal dari negara Republik Rakyat Tiongkok yang telah memiliki tarif
bea masuk preferensi sebesar 0%. Namun tidak begitu halnya dengan
industri yang bergerak di Kimia dan Elektronika, tarif bea masuk
memiliki pengaruh terhadap impor bahan baku/penolongnya karena
sebagian berasal dari negara-negara mitra FTA. Ketidakharmonisan
tarif bea masuk MFN atas impor bahan baku/penolong dengan barang
setengah jadi dan barang jadi untuk industri Kimia, TPT, dan
Elektronika menjadi permasalahan utama bagi para pelaku usaha
dalam menjamin kelancaran proses produksi (Lampiran 1).
Berdasarkan masukan dan tanggapan dari beberapa responden,
kebijakan non tarif yang diimplementasikan saat ini dinilai berpengaruh
terhadap pasokan bahan baku/penolong asal impor dan kinerja
industri Elektronika. Untuk industri TPT, pengimplementasian
kebijakan impor Tekstil dan Produk Tekstil melalui Permendag No. 85
Tahun 2015 dinilai merugikan sektor hulu (serat dan benang) dan
sektor antara penghasil kain grey dan finish karena beberapa importir
memperdagangkan barang yang diimpornya dan volume impor
melebihi kapasitas riil akibat dihapuskannya rekomendasi dari
Kementerian Perindustrian (Lampiran 1).
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 91
Gambar 4.30. Hasil Temuan Lapang dan FGD
Sumber : hasil pengolahan data primer.
66.67%
80.00%
100.00%
33.33%
20.00%
Industri Kimia Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Industri Elektronika
Persepsi mengenai Pengaruh Kebijakan Impor terhadap Hambatan
Kegiatan Impor
Berpengaruh Tidak Berpengaruh
66.67%
80.00%
100.00%
33.33%
20.00%
Industri Kimia Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Industri Elektronika
Persepsi Pengaruh Kebijakan Impor terhadap Ketersediaan
Pasokan Bahan Baku/Penolong
Berpengaruh Tidak Berpengaruh
33.33%
80.00%
66.67%
20.00%
100.00%
Industri Kimia Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Industri Elektronika
Persepsi mengenai Pengaruh Kebijakan Impor terhadap Produksi
dan Produktivitas
Berpengaruh Tidak Berpengaruh
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 92
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Penurunan tarif bea masuk MFN bahan baku dan penolong pada
industri Kimia dan TPT akan meningkatkan impor bahan baku dan
penolong serta output pada kedua industri. Sementara itu, penurunan
tarif bea masuk MFN untuk industri elektronika tidak mempengaruhi
impor bahan baku dan penolong serta output industri tersebut.
2. Peningkatan hambatan non tarif untuk bahan baku dan penolong pada
industri Kimia ternyata tidak mempengaruhi impor bahan baku dan
penolong serta output industri tersebut. Pada industri TPT, peningkatan
hambatan non tarif bahan baku dan penolong justru akan meningkatkan
impor bahan baku dan penolong serta output industri tersebut.
Sementara itu pada industri Elektronika, peningkatan hambatan non tarif
bahan baku dan penolong akan menurunkan impor bahan baku dan
penolong serta output industri tersebut.
5.2. Rekomendasi Kebijakan
Mengacu pada hasil kajian, beberapa upaya yang dapat dilakukan
oleh pemerintah untuk mendorong kinerja industri manufaktur di Indonesia,
di antaranya:
1. Menurunkan tarif bea masuk MFN atas impor bahan baku/penolong
industri Kimia yang dapat diusulkan dalam Tahap III Peninjauan Tarif
Bea Masuk MFN
2. Meningkatkan peranan kebijakan non tarif atas impor bahan
baku/penolong industri TPT dengan pembenahan tata niaga impor TPT
melalui revisi Permendag No. 85/M-DAG/PER/10/2015 dengan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 93
perizinan impor TPT hanya diberikan kepada produsen sebagai bahan
baku produksi untuk produk yang belum diproduksi di dalam negeri dan
pelarangan importir dalam memperdagangkan dan/atau
memindahtangankan impor TPT serta penerapan Verifikasi atau
Penelusuran Teknis Impor (VPTI).
3. Menurunkan jumlah kebijakan non tarif yang dikenakan pada produk
bahan baku/penolong industri Elektronika
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 94
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. & Chani, M.I. (2013). Disaggregated Import Demand Function: A
Case Study of Pakistan. International Journal of Economics and
Empirical Research, 1 (1), 1-14.
Amiti, M. and J. Konings, (2007), ‘Trade Liberalization, Intermediate Inputs,
and Productivity: Evidence from Indonesia’, American Economic
Review, 97(5), pp.1611–38.
Arianti, R.K. (2014). Ketergantungan Beberapa Sektor Industri Terhadap
Bahan Baku Impor. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, 18-44.
Jakarta: BPPKP, Kementerian Perdagangan.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2015, Desember). Kinerja Impor Indonesia 2010-2014. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: Badan Pusat Statistik Indonesia.
Cheong, T.T. (2002). Disaggregated Import Demand and Expenditure
Components in Malaysia: An Empirical Analysis. Malaysian Journal
of Economic Studies, XXXIX (1& 2).
Deyak, T.A., Sawyer, W.C. & Sprinkle, R.L. (1989, May). An Empirical
Examination of the Structural Stability of Disaggregated U.S. Import
Demand. The Review of Economics and Statistics, 71(2), 337-241.
Fukumoto, M. (2012, June). Estimation of China’s Disaggregate Import
Demand Functions. China Economic Review, 23 (2), 434-444.
doi:10.1016/j.chieco.2012.03.002
Ge, Y., Lai, H., & Zhu, S. C. (2011, May). Intermediates Import and Gains from Trade Liberalization.
Goldberg, P.K., A.K. Khandelwel, N. Pavnick, and P. Topalova (2008),
‘Imported Intermediate Inputs and Domestic Product Growth:
Evidence from India’, NBER Working Paper No. 14416, Cambridge,
MA: NBER.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 95
Halpern, L., Koren, M., & Szeidl, A. (2015, December). Imported Inputs and Productivity. American Economic Review, 105 (12), 3660-3703. doi:10.1257/aer.20150443
Halwani, & Hendra, R. (2005). Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. (R. F. Sikumbank, Ed.) Bogor, Jawa Barat, Indonesia: Ghalia Indonesia.
Houthakker, H.S. & Magee, S.P. (1969, May). Income and Price
Elasticities in World Trade. The Review of Economics and
Statistics, 51(2), 111-125. doi: 10.2307/1926720
Ing, Lili Yan & Putra, C.T. (2015, August). Imported Inputs in Indonesia’s
Product Development. ERIA Discussion Paper Series ERIA-DP-2015-55.
Khan, M.S. (1975, May). The Structure and Behavior of Imports of
Venezuela. The Review of Economics and Statistics, 57 (2), 221-
224. DOI: 10.2307/1924004
Kreinin, M. E. (1973, July). Disaggregated Import Demand Functions: Further Results. Southern Economic Journal, 40(1), 19-25. doi:10.2307/1056289
Krugman, P.R. & Obstfeld, M. (2003). International Economics: Theory and
Policy. Pearson Education Internasional.
Mah, J.S. (2000). An Empirical Examination of the Disaggregated Import
Demand of Korea – the Case of Information Technology Products.
Journal of Asian Economics, 11, 237-244.
Masngudi. (2006). Handout Ekonomi Internasional Lanjutan. Jakarta: Universitas Borobudur.
Narayan, S. and Narayan, P.K. (2005). An Empirical Analysis of Fiji’s Import
Demand Function. Journal of Economic Studies, 32 (2), 158-168.
http://dx.doi.org/10.1108/01443580510600931
Pattichis, C.A. (1999). Price and Income Elasticities of Disaggregated
Import Demand: Results from UECMs and an Application. Applied
Economics, 31, 1061-1071.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 96
Price, J.E. & Thornblade, J.B. (1972, July). U.S. Import Demand Functions
Disaggregated by Country and Commodity. Southern Economic
Journal, 39 (1), 46-57. doi: 10.2307/1056224
Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations: with a new
introduction. Free Press.
Puslitbang Perdagangan Luar Negeri. (2007). Kajian Ketergantungan
Industri Nasional terhadap Impor Bahan Baku. Jakarta: Badan
Litbang Perdagangan Departemen Perdagangan.
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri. (2013). Analisis Substitusi
Impor Produk Manufaktur. Jakarta: BPPKP, Kementerian
Perdagangan.
Rhee, C. (2012). Principles of International Trade (Import-Export): The First Step Toward Globalization (Vol. 5). Bloomington: AuthorHouse.
Salvatore, D. (1997). Ekonomi Internasional (Vol. 5). (H. Munandar, Trans.) Jakarta: Erlangga.
Santos-Paulino, A.U. (2002, June). The Effects of Trade Liberalization on
Imports in Selected Developing Countries. World Development, 30
(6), 959-974. Elsevier. doi:10.1016/S0305-750X(02)00014-1
Sarmad, K. and Mahmood, R. (1987). Disaggregated Import Demand
Functions for Pakistan. The Pakistan Development Review Vol.
XXVI(1). 71-80. http://www.pide.org.pk/pdf/PDR/1987/Volume1/71-
80.pdf
Sarmad, K. (1989, October). The Determinants of Import Demand in
Pakistan. World Development, 17 (10), 1619-1625.
doi:10.1016/0305-750X(89)90032-6
Schor, Adriana. 2004. "Heterogeneous Productivity Response to Tariff
Reduction: Evidence from Brazilian Manufacturing Firms.Journal of
Development Economics, 75(2): 373-96.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 97
Sukirno, S. (2004). Makroekonomi Modern. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Suswati, E. (2012). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Impor di Indonesia Periode 1992-2009. Makassar: Universitas Hassanudin.
Topalova, P., & Khandelwal, A. (2011, August). Trade Liberalization and Firm Productivity: The Case of India. The Review of Economics and Statistics, 93(3), 995-1009. doi:10.1162/REST_a_00095
Waluyo, Y. R. (2004). Analisis Impor Bahan Baku Indonesia Pada Sektor Perindustrian Berdasar Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Universitas Diponegoro, Program Pascasarjana. Semarang: Universitas Diponegoro.
Wang, Yi-Hsien & Lee, Jun-De. (2012). Estimating the Import Demand
Function for China. Economic Modelling, 29(6), 2591-2596,
November 2012.
Widayanto, S. (2011). Fasilitasi dan Aturan Perdagangan: Prosedur Notifikasi WTO Untuk Transparansi Kebijakan Impor Terkait Bidang Perdagangan: Kewajiban Pokok Indonesia Sebagai Anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Direktorat Kerjasama Multilateral, Direktorat Jenderal . Jakarta: Direktorat Kerjasama Multilateral, Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan.
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 98
Lampiran 1. Rekapitulasi Hasil Temuan Lapangan
No. Kebijakan Impor Bahan
Baku/Penolong
Makassar Medan Bandung Surabaya
1. Jenis Perijinan Impor
API API API, IP API
2. Sumber informais kebijakan impor
Website Kemendag
Website Kemendag
Asosiasi, website instansi terkait
Website Kemendag
3. Pengaruh kebijakan impor terhadap kegiatan produksi
Tidak berpengaruh karena memanfaatkan kawasan berikat
Tidak ada kebijakan yang menghambat
Memberikan pengaruh terhadap produksi
4. Kinerja industri manufaktur pasca diterbitkannya kebijakan impor
Meningkat Meningkat Meningkat Stagnan
5. Pengaruh kebijakan impor terhadap pasokan bahan baku
Tidak ada kebijakan yang menghambat
Tidak terdapat permasalahan dalam importasi
Tidak ada kebijakan yang menghambat
Ada pengaruh terhadap pasokan bahan baku/ penolong
6. Sumber bahan baku
Sebagian besar dalam negeri
Sebagian kecil bahan baku diperoleh dari dalam negeri
Sebagian besar diimpor
Sebagian besar diimpor
7. Ketersediaan pasokan bahan baku dalam negeri
Proses pengadaan bahan baku asal impor dirasakan lebih sulit mengingat harus dilakukan kontrak terlebih dahulu
Sebagian kecil bahan baku diperoleh dari dalam negeri
Tidak memenuhi spesifikasi yang diinginkan
8. Penyebab pasokan bahan baku baku dalam negeri tidak memadai
Sedikitnya ketersediaan bahan baku local, dan tidak memenuhi spesifikasi
Pasokan dari dalam negeri kurang memadai dan tidak memenuhi spesifikasi
Belum ada komponen di dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 99
No. Kebijakan Impor Bahan
Baku/Penolong
Makassar Medan Bandung Surabaya
9. Harapan terhadap kebijakan impor dalam rangka industri manufaktur
Adanya harmonisasi pelaksanaan kebijakan impor dilapangan antara instansi pemerintah pelaksana kebijakan
Kebijakan impor yang berlaku saat ini mendukung industri manufaktur
10. Landasan kuat kebijakan impor dalam mendukung industri manufaktur
Landasan kebijakan cukup kuat
Landasan kebijakan cukup kuat
Landasan kebijakan cukup kuat
11. Kejelasan pengaturan kebijakan
Pengaturan kebijakan impor cukup jelas
Pengaturan kebijakan impor cukup jelas
Pengaturan kebijakan impor agak jelas
12. Sosialisasi kebijakan impor
Sudah dilakukan sosialisasi
Sudah dilakukan sosialisasi
13. Alasan untuk melakukan impor bahan baku/penolong
Ketersediaan bahan baku local tidak mencukupi
Belum tersedia di dalam negeri
14. Pendapat mengenai kebijakan impor yang mengatur bahan baku/penolong
Tidak terdapat permasalahan dalam importasi, semua sudah sesuai dengan aturan yang ada
a. Kebijakan impor masih kondusif dan tidak menghambat.
b. Proses customs harus lebih cepat
15. Pendapat mengenai kebijakan tarif bea masuk atas impor bahan
Kurang mendukung karena bahan baku yang tidak ada di Indonesia dipersulit
Seharusnya beberapa produk tidak perlu diatur impornya karena tidak tersedia di lokal, hanya menambah biaya
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 100
No. Kebijakan Impor Bahan
Baku/Penolong
Makassar Medan Bandung Surabaya
16. Persepsi terhadap kebijakan impor berupa hambatan non tarif (seperti API, VPTI, SNI dsb)
kebijakan impor yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan sudah cukup baik
Perpanjangan API yang harus menggunakan sertifikat API asli, sedangkan dalam importasi juga diperlukan
Tidak ada permasalahan terkaitan kebijakan impor bahan baku/penolong
Kebijakan impor yang ada saat ini tidak berpengaruh
17. Jenis kebijakan impor yang menghambat
Hambatan terkait dengan pelaksanaan impor yang terkait dengan Bea dan Cukai
Tidak ada hambatan impor yang disebabkan oleh kebijakan impor yang berlaku
a. Proses penerbitan API di Dinas Provinsi justru lebih lama;
b. Tarif inspeksi surveyor dirasa cukup mahal
Kebijakan SNI
18. Pengaruh deregulasi dan debirokratisasi perdagangan terhadap importasi dan kinerja produksi
Tidak berpengaruh karena faktor kebijakan tersebut sangat kecil manfaatnya
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 101
Lampiran 2. Kuesioner Kajian Peran Kebijakan Impor Dalam Mendukung Industri
Manufaktur
PENGANTAR :
Dalam rangka mendapatkan gambaran nyata
mengenai kondisi penerapan kebijakan impor
bahan baku/penolong, Kementerian Perdagangan
melalui Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri,
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
melakukan survey untuk melihat efektifitas
kebijakan impor dalam mendukung industri
manufaktur. Kebijakan impor yang dimaksud adalah
kebijakan impor tarif dan non tarif. Tujuan dari
survey ini adalah untuk mengetahui kondisi dan
berbagai permasalahan secara terinci, baik dari segi
peraturan maupun implementasinya, sehingga
dapat dijadikan bahan kebijakan pemerintah dalam
memperbaiki kebijakan impor dalam mendukung
industri manufaktur.
Oleh karena itu, kami mengharapkan bantuan dari
para pelaku usaha untuk memberikan keterangan
dan informasi dengan sebenar-benarnya. Atas
bantuan dan kerjasamanya, Kami mengucapkan
banyak terima kasih.
SIFAT : RAHASIA
Semua keterangan dan informasi yang diberikan
akan DIJAMIN KERAHASIAANNYA; dan tidak
memberikan akibat apapun kepada pelaku usaha.
PETUNJUK PENGISIAN
Pilihlah salah satu jawaban yang sesuai dengan
kondisi yang dinyatakan dalam pilihan jawaban;
sesuai dengan situasi dan yang dialami dalam
melakukan berbagai aktivitas yang terkait dengan
kebijakan impor dalam mendukung industri
manufaktur.
Contoh Pengisian :
1) Apakah Saudara mengetahui Sistem
Manajemen Mutu ?
a. Ya
b. Tidak
DATA POKOK RESPONDEN
Nama Lengkap :
Bagian / Jabatan :
Jenis Kelamin : Laki – Laki /
Perempuan
Umur : Tahun
Pendidikan Terakhir : SLTA/D1-
D3/S1/S2/S3
Alamat :
No. Telp / HP :
DATA POKOK PERUSAHAAN
Nama
Perusahaan :
Alamat :
Telp / Fax
Tahun Berdiri
:
Jenis produk yang diimpor : .......................................
..........................................
..........................................
Jenis perijinan impor : ..........................................
..........................................
..........................................
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 102
BAGIAN 1 : PERTANYAAN TERTUTUP
1) Apakah Saudara mengetahui kebijakan
kebijakan impor dalam mendukung
industri manufaktur yang diterbitkan oleh
Kementerian Perdagangan?
a. Tidak Tahu c. Agak Tahu
b. Kurang Tahu d. Sangat Tahu
2) Jika Ya, dari manakah Saudara mengetahui
kebijakan kebijakan impor dalam
mendukung industri manufaktur?
a. Website
Kemdag
c. Sosialisasi
Kemdag
b. Media massa d. Lainnya,
……………..
3) Apakah kebijakan impor dalam
mendukung industri manufaktur
merupakan hambatan bagi kegiatan
importasi yang Saudara lakukan?
a. Ya
b. Tidak
4) Apakah terdapat permasalahan yang
dihadapi pasca impor dalam mendukung
industri manufaktur?
a. Ada
b. Tidak
c. Jika Ada,
sebutkan:.......
5) Bagaimana kinerja industri di perusahaan
Saudara pasca diterbitkannya kebijakan
impor dalam mendukung industri
manufaktur?
a. Tidak
Meningkat
c. Cukup
Meningkat
b. Stagnan d. Meningkat
Signifikan
6) Apakah terdapat pengaruh kebijakan
impor dalam mendukung industri
manufaktur terhadap pasokan bahan
baku/penolong bagi kebutuhan industri
perusahaan Saudara?
a. Tidak Ada c. Cukup
Pengaruh
b. Ada Pengaruh d. Sangat
Pengaruh
7) Apakah terdapat sumber bahan
baku/penolong yang berasal dari produksi
dalam negeri?
a. Ada
b. Tidak
8) Apakah pasokan bahan baku/penolong
dari dalam negeri cukup memadai?
a. Tidak
Memadai
c. Agak Memadai
b. Kurang
Memadai
d. Sangat
Memamdai
9) Jika tidak, apakah penyebab pasokan
bahan baku/penolong dari dalam negeri
tidak memadai?
a. Harga Tidak
Kompetitif
c. Spesifikasi
Tidak
Memenuhi
Syarat
b. Kualitas
Kurang
d. Pasokan Tidak
Kontinu
e. Lainnya
……………
10) Apakah kebijakan impor dalam
mendukung industri manufaktur telah
memenuhi harapan Saudara?
a. Tidak
Memenuhi
c. Agak
Memenuhi
b. Kurang
Memenuhi
d. Sangat
Memenuhi
11) Menurut Saudara, kebijakan impor dalam
mendukung industri manufaktur telah
memiliki landasan atau ketentuan hukum
yang kuat.
a. Tidak Setuju c. Agak Setuju
b. Kurang Setuju d. Sangat Setuju
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 103
12) Bagaimana pendapat Saudara tentang
kejelasan pengaturan kebijakan?
a. Tidak Jelas c. Agak Jelas
b. Kurang Jelas d. Sangat Jelas
13) Menurut Saudara, kegiatan sosialisasi yang
dilakukan oleh Kementerian Perdagangan
terkait kebijakan impor dalam mendukung
industri manufaktur telah berjalan baik.
a. Tidak Setuju c. Agak Setuju
b. Kurang Setuju d. Sangat Setuju
BAGIAN 2 : SARAN DAN MASUKAN
1). Menurut Saudara apakah kebijakan impor
dalam mendukung industri manufaktur telah
efektif dalam peningkatan output produksi,
dan mohon jelaskan.
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
2). Adakah kebijakan impor dalam mendukung
industri manufaktur telah berjalan efektif
sesuai tujuan?
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
3). Saat ini pemerintah sedang melakukan
evaluasi atas kebijakan impor dalam
mendukung industri manufaktur. Apakah
saran Saudara terkait dengan evaluasi
peraturan tersebut?
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
4). Apa saran Saudara dalam rangka
meningkatkan penguatan pasar dalam negeri
dan efektifitas pengawasan peredaran
barang impor?
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
SARAN – SARAN DAN MASUKAN
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
……………………………………………………………
Diisi di
Tempat :
Tanggal :
Nama Responden :
Nama & Stempel Perusahaan :
Terima kasih atas kesediaan Anda untuk mengisi
kuesioner ini
” SEMOGA MEMBERI MANFAAT DALAM PERBAIKAN KEBIJAKAN IMPOR DALAM MENDUKUNG INDUSTRI
MANUFAKTUR”
Puska Daglu, BPPP, Kementerian Perdagangan 104
Pengarah:
Kepala Pusat Pengkajian Perdagangan Luar Negeri
Penanggung Jawab:
Drs. Nurozy, M.Si.
Kepala Bidang Impor
Tim Penyusun:
Sefiani Rayadiani, S.E., M.Sc.
I Made Dodi Narindra, M.SM.
Yudi Fadilah, S.E.,M.E.
Umar Fakhrudin, S.Si., M.S.E.
Titis Kusuma Lestari, S.Si.
Narasumber Pendamping Kajian:
Dr. Andi Fahmi Lubis, S.E., M.E.
Dr. Sartika Djamaluddin, S.E., M.Si.