laporan 1 gita fiswan.docx

31
I. JUDUL : Penyesuaian Hewan Poikilotermik Terhadap Oksigen Terlarut II. TUJUAN: Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap : 1. Oksigen yang terkandung di dalam air karena pengaruh suhu air 2. Oksigen yang terkandung di dalam air karena pengaruh kadar garam dalam air III.DASAR TEORI Air merupakan suatu zat pelarut yang sangat berguna bagi semua mahluk hidup. Dan bahkan hampir 90% tanaman dan mikrobia terdiri dari air. Kandungan yang terlarut dalam suatu perairan tentunya mempengaruhi aktivitas hidup suatu organisme yang ada di dalamnya seperti kelimpahan kandungan oksigen (O2) dalam perairan yang memudahkan organisme di dalamnya dapat melakukan proses respirasi (Kordi. 2004). Kandungan oksigen (O2) dalam suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia dalam menentukan kualitas air yang tingkat kebutuhannya dari tiap-tiap perairan, berbeda antara perairan satu dengan lainnya. Hal ini karena dipengaruhi oleh faktor suhu dan cuaca serta jenis organisme yang menempati perairan tersebut (Kordi. 2004). Oksigen (O2) merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan oleh semua mahluk hidup, khususnya didalam perairan. Dalam perairan oksigen merupakan gas terlarut yang kadarnya bervariasiyang tergantung pada suhu dan salinitas. Oksigen dapat bersumber dari difusi oksigen yang terdapat diatmosfer dan aktifitas fotosintesis tumbuhan air maupun fitoplankton dengan bantuan energi matahari. Difusi

Upload: gietha-shinee

Post on 18-Nov-2015

293 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

I. JUDUL: Penyesuaian Hewan Poikilotermik Terhadap Oksigen TerlarutII. TUJUAN: Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap :1. Oksigen yang terkandung di dalam air karena pengaruh suhu air2. Oksigen yang terkandung di dalam air karena pengaruh kadar garam dalam airIII. DASAR TEORIAir merupakan suatu zat pelarut yang sangat berguna bagi semua mahluk hidup. Dan bahkan hampir 90% tanaman dan mikrobia terdiri dari air. Kandungan yang terlarut dalam suatu perairan tentunya mempengaruhi aktivitas hidup suatu organisme yang ada di dalamnya seperti kelimpahan kandungan oksigen (O2) dalam perairan yang memudahkan organisme di dalamnya dapat melakukan proses respirasi (Kordi. 2004).Kandungan oksigen (O2) dalam suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia dalam menentukan kualitas air yang tingkat kebutuhannya dari tiap-tiap perairan, berbeda antara perairan satu dengan lainnya. Hal ini karena dipengaruhi oleh faktor suhu dan cuaca serta jenis organisme yang menempati perairan tersebut (Kordi. 2004).Oksigen (O2) merupakan salah satu unsur yang sangat dibutuhkan oleh semua mahluk hidup, khususnya didalam perairan. Dalam perairan oksigen merupakan gas terlarut yang kadarnya bervariasiyang tergantung pada suhu dan salinitas. Oksigen dapat bersumber dari difusi oksigen yang terdapat diatmosfer dan aktifitas fotosintesis tumbuhan air maupun fitoplankton dengan bantuan energi matahari. Difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun (Effendi, 2003).Keberhasilan suatu organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi mencerminkan keseluruhan toleransinya terhadap seluruh kumpulan variabel lingkungan yang dihadapi organisme tersebut. Artinya bahwa setiap organisme harus mampu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungannya. Adaptasi tersebut berupa respon morfologi, fisiologis dan tingkah laku. Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi biota perairan (Tunas, 2005).Suhu merupakan faktor penting dalam ekosistem perairan. Kenaikan suhu air dapat akan menimbulkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu. Air memiliki beberapa sifat termal yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada udara. Walaupun suhu kurang mudah berubah di dalam air daripada di udara, namun suhu merupakan faktor pembatas utama, oleh karena itu mahluk akuatik sering memiliki toleransi yang sempit (Soetjipta, 1993).Sebaliknya perubahan salintas dapat berpengaruh terhadap toleransi suhu organism akuatik poikiloterm. Misalnya pada ikan Fundulus heterochitus, suhu kematian lebih tinggi pada salinitas 32 dari pada di air tawar. Terjadinya resistensi tinggi karena stres suhu perlu dicermati, oleh sebab itu salinitas dapat menyelaraskan isoosmotisitas antara darah dan media di luar (Vernberg & Silverthorn 1979). Toleransi terhadap suhu maksimum yang ditunjukkan oleh hewan isoosmotik yang berada pada lingkungannya merupakan ciri umum hewan invertebrate ( Winanto, 2009 ).Semua organisme laut (kecuali mammalia) bersifat poikilotermik yaitu tidak dapat mengatur suhu tubuhnya. Selama hidupnya suhu tubuh organisme perairan sangat tergantung pada suhu air laut tempat hidupnya. Oleh karena itu adanya perubahan suhu air akan membawa akibat yang kurang menguntungkan bagi organisme perairan, diantaranya kematian, menghambat proses pertumbuhan, mengganggu proses respirasi, dan lain-lain ( Torani, 2010 ).Hewan poikilotermik (berdarah dingin) yang harus menyesuaikan suhu tubuh dengan suhu lingkungan dengan mengambil panas matahari di pagi hari dalam melakukan fungsi fisiologis metabolis untuk melakukan aktivitas gerakan tubuh ( Deny, 2006 ).Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungan sekelilingnya. Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan (Fujaya, 2004).Secara kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air, beberapa spesies mampu hidup pada suhu air mencapai 290C, sedangkan jenis lain dapat hidup pada suhu air yang sangat dingin, akan tetapi kisaran toleransi individual terhadap suhu umumnya terbatas (Sukiya, 2005)Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi. Hal tersebut dapat diamati dari perubahan gerakan operculum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan lainnya berbeda, misalnya pada ikan salmonid suhu terendah yang dapat menyebabkan kematian berada tepat diatas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis ikan (Tunas, 2005).Salah satu penyesuaian ikan terhadap lingkungan ialah pengaturan keseimbangan air dan garam dalam jaringan tubuhnya, karena sebagian hewan vertebrata air mengandung garam dengan konsentrasi yang berbeda dari media lingkungannya. Ikan harus mengatur tekanan osmotiknya untuk memelihara keseimbangan cairan tubuhnya setiap waktu (Campbell, 2005). Mekanisme pernapasan pada ikan melalui 2 tahap, yakni inspirasi dan ekspirasi. Pada fase inspirasi, 02 dari air masuk ke dalam insang kemudian 02 diikat oleh kapiler darah untuk dibawa ke jaringan-jaringan yang membutuhkan. Sebaliknya pada fase ekspirasi, C02 yang dibawa oleh darah dari jaringan akan bermuara ke insang dan dari insang diekskresikan keluartubuh. Oksigen sangat berperan dalam penyediaan energi yang sangat dibutuhkan untuk proses kehidupan. Sel-sel organisme memperoleh energi dari reaksi-reaksi enzimatis yang sebagian besar memerlukan oksigen yang diperoleh lewat respirasi. Pada organisme bersel satu pertukaran gas dapat secara langsung lewat permukaan sel sedangkan organisme tinggi melewati suatu organ khusus antara lain paru-paru atau insang (Campbell, 2005)Respirasi eksterna dipengaruhi oleh komposisi gas dalam lingkungan luar organisme yang bersangkutan. Di udara kandungan oksigen makimum adalah 20,95% atau 159 mm Hg. Didalam air kandungan oksigen sangat dipengaruhi oleh kelarutan oksigen di dalam air. Kelarutan oksigen di dalam air dipengaruhi oleh, tekanan partial oksigen di permukaan air, suhu, dan kandungan garam dalam air (Campbell, 2005).Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen dalam miligram yang terdapat dalam satu liter air (ppt). Oksigen terlarut umumnya berasal dari difusi udara melalui permukaan air, aliran air masuk, air hujan, dan hasil dari proses fotosintesis plankton atau tumbuhan air. Oksigen terlarut merupakan parameter penting karena dapat digunakan untuk mengetahui gerakan masssa air serta merupakan indikator yang peka bagi proses-proses kimia dan biologi (Isniani, Wiwi. 2006).Kadar oksigen yang terlarut bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dam limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Selain itu, kelarutan oksigen dan gas-gas lain berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar. Peningkatan suhu sebesar 1oC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Koesbiono, 1980).Jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh organisme akuatik tergantung spesies, ukuran, jumlah pakan yang dimakan, aktivitas, suhu, dan lain-lain. Konsentrasi oksigen yang rendah dapat menimbulkan anorexia, stress, dan kematian pada ikan. Bila dalam suatu kolam kandungan oksigen terlarut sama dengan atau lebih besar dari 5 mg/l, maka proses reproduksi dan pertumbuhan ikan akan berjalan dengan baik. Pada perairan yang mengandung deterjen, suplai oksigen dari udara akan sangat lambat sehingga oksigen dalam air sangat sedikit (Koesbiono, 1980).Oksigen sangat berperan dalam penyediaan energi yang sangat dibutuhkan untuk proses-proses kehidupan. Sel-sel organisme memperoleh energi dari reaksi enzimatis yang sebagian besar memerlukan oksigen yang diperoleh lewat respirasi. Respirasi adalah proses pengambilan oksigen dan pembebasan karbondioksida. Hewan mengambil oksigen dari medium dimana dia hidup dan memberikan kerbondioksida ke medium tersebut. Respirasi dibagi menjadi dua macam, yaitu respirasi eksternal dan respirasi internal. Respirasi eksternal merupakan proses pertukaran oksigen dan karbondioksida antara sel tubuh dengan lingkungan luar (lingkungan eksternal). Respirasi internal disebut juga sebagai respirasi seluler, merupakan proses metabolisme intraseluler yang terjadi didalam sitiplasma dan mitokondria dengan menggunakan oksigen untuk menghasilkan energi dan karbondioksida (Soetjipta. 1993).Pada organisme bersel satu, pertukaran gas dapat secara langsung lewat permukaan sel, sedangkan pada organisme tingkat tinggi harus melewati suatu organ khusus antara paru-paru dan insang. Respirasi pada hewan tergantung pada ketersediaannya oksigen. Jika kandungan oksigen lingkungan berkurang, beberapa golongan hewan melakukan konformitas dan golongan lain mampu melakukan regulasi konsumsi oksigen sehingga konsumsi oksigenya konstan. Hewan dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu hewan yang mempertahankan kondisi lingkungan internalnya tetap konstan terhadap perubahan lingkungan eksternal dan hewan yang membiarkan kondisi lingkungan internalnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan lingkungan eksternal. Kelompok hewan yang pertama ini disebut regulator dan kelompok hewan kedua disebut konformer. Seperti yang telah disebutkan diatas, suhu mempengaruhi jumlah oksigen yang terdapat didalam air. Hewan yang melakukan regulasi terhadap suhu disebut termoregulator. Sedangkan kelompok hewan yang melakukan konformitas terhadap suhu disebut termokonformer. Jadi pada golongan regulator, penurunan kandungan oksigen (sampai batas tertentu) tidak menyebabkan berkurangnya konsumsi oksigen. Hal ini dimungkinkan karena terjadi penyeimbangan dua faktor yaitu ekstraksi oksigen dan ventilasi (Soetjipta. 1993).

IV. METODE PENELITIAN4.1 Alat dan Bahana. Alat Bak plastik Thermometer Timbangan Kompor panci, gelas piala gelas ukur, pengaduk stopwatch Boardmarker es batu.b. Bahan Hewan percobaan: ikan tombro dan ikan mas

4.2 Cara Kerja Cara kerja Pengaruh kenaikan suhu medium

Menjerang Air dalam panci

Mengisi bak plastic dengan Air kran,memberi tanda tingginya Air dengan boar maker dan mencatat suhu Air

Menimbang berat ikan yang akan dipakai,kemudian memasukkan ke dalam bak plastic yang telah berisi Air.menunggu sampaitenang kemudian menghitung gerak operculum selama 1 menit.mengulangi sebanyak 3 kali

Menaikkan suhu medium dengan interval 30 C,dengan cara menuangkan Air panas ke dalam bak sampai tercapai suhu yang dikehendaki namun tidsk merubah volumenya.pada saat Air panas dimasukkan jangan sampai mengenai ikan.setelah ikan tenang hitung gerak operculum lakukan sebanyak 3 kali

Menaikkan suhu hingga mencapai suhu kritis tertinggi,menghentikan perlakuan pada saat ikan nampak kolaps

Pengaruh penurunan suhu medium

Cara kerja seperti cara kerja 1

Penurunan suhu dikerjakan dengan memasukkan es kedalam bak sampai tercapai suhu yang dikehendaki (interval suhu 30 C)

Meneruskan penurunan suhu sampai tercapai suhu kritis terendah hingga ikan nampak kolaps

V. Hasil Pengamatan

kelperlakuanBerat (gr)Suhu (0c)Gerakan OperculumRata-rata

123

1Dingin7,6grAwal :26 0cSuhu : 23 0cSuhu : 20 0cSuhu : 17 0cSuhu : 14 0cSuhu : 11 0cKolaps : 8 0c72686039347449605649178Kolaps61614738218Kolaps60635442247,6-

2Dingin9 gr

Awal: 240cSuhu :21 0cSuhu : 18 0cSuhu :150cSuhu :120cKolaps :9 0c766624151268460422722811974531012993674317158

3Dingin9 grAwal: 26 0cSuhu :230cSuhu : 20 0cSuhu : 17 0cSuhu :14 0cSuhu :11 0cSuhu :8 0cKolaps : 5 0c846397100512713Kolaps866610176492510Kolaps112791147539226Kolaps

946910484462510-

4Dingin7,6grAwal: 270cSuhu : 24 0cSuhu : 21 0cSuhu : 18 0cSuhu : 15 0cKolaps : 12 0c124827663503212310073636241121105757555Kolaps1239675675636

5Panas5,8 grAwal: 270cSuhu : 30 0cSuhu : 33 0cSuhu : 36 0cSuhu : 39 0cKolaps : 42 0c10013398107135Kolaps1051175590148Kolaps

10013465110153Kolaps108,3121,372,6102145Kolaps

6Panas6,6 grAwal: 270cSuhu : 30 0cSuhu : 35 0cSuhu : 36 0cSuhu : 39 0cKolaps : 420c131147147174152117138146163167153Kolaps

128145181179158Kolaps132146163173154117

7Panas5,6 grAwal: 260cSuhu : 290cSuhu : 32 0cSuhu : 35 0cSuhu : 38 0cKolaps : 410c1221381531111079913613611611611278137150126109117colaps131,6141,3131,611211288,5

8Panas7,9 grAwal: 250cSuhu : 28 0cSuhu : 31 0cSuhu : 34 0cSuhu : 37 0cKolaps : 400c126131147178187219122140149185237211110125147166155colaps119,3132147,6176,3193215

VI. PEMBAHASANPada praktikum kali ini kami melakukan percobaan tentang penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen terlarut. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang terkandung di air karena pengaruh suhu air. Hewan poikilotermik yang kami jadikan percobaan adalah ikan mas ( Cyprinus carpio ) . Suhu air yang kami gunakan pada praktikum kali ini adalah suhu rendah dengan menggunakan es batu dan suhu tinggi dengan menggunakan air panas.Praktikum ini membagi kelompok yang ada di kelas menjadi dua bagian, yaitu kelompok 1, 2, 3 dan 4 mengamati penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang terkandung di air karena pengaruh suhu rendah ( dingin ). Sedangkan kelompok 5, 6, 7, dan 8 mengamati penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang terkandung di air karena pengaruh suhu tinggi ( panas ). Langkah kerja yang dilakukan yaitu mengisi toples kaca dengan air kran dan memberi batas volume air dengan boardmaker dan mengukur suhu awalnya. Setelah itu menimbang berat ikan yang akan digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh berat ikan terhadap kecepatan penggunaan oksigen terlarut. Kemudian memasukkan ikan yang sudah ditimbang kedalam toples kaca yang telah berisi air, setelah ikan tenang maka dilakukan penghitungan gerak operculum per menit dan mengulanginya sebanyak 3 kali dan menghitung rata-ratanya. Kemudian menaikkan atau menurunkan suhu air dengan interval 30oC dengan cara menambahkan air panas atau pecahan es batu kedalam toples kaca namun tetap menjaga agar volume air tidak berubah. Volume tetap dipertahankan agar oksigen yang terlarut dalam air tetap, sehingga faktor suhu yang menjadi tujuan utama dalam paktikum ini dapat sempurna terjadi tanpa ada faktor lain yang mempengaruhi praktikum kali ini. Caranya dengan mengurangi air dalam toples sebanyak air panas atau dingin yang ditambahkan. Setelah ikan tenang, menghitung gerak operculum per menit dan mengulanginya sebanyak 3 kali dan menghitung rata-ratanya. Kenaikan suhu diteruskan sampai mencapai suhu kritis tertinggi dan menghentikan perlakuan pada saat ikan mulai kolaps.Pada kelompok 1, 2, 3,dan 4 dengan perlakuan air dingin semakin menurunnya suhu, rata-rata gerakan operculum yang didapat semakin rendah juga. Penurunan jumlah rata-rata gerakan operculum yang dilakukan kelompok 1 mulai dari suhu 26oC dengan penurunan interval 3 hingga suhu terendah 8oC dengan berat ikan 7,6 gr adalah sebagai berikut 60, 63, 54, 42, 24, dan 7,6. Penurunan jumlah rata-rata gerakan operculum yang dilakukan kelompok 2 mulai dari suhu 24oC dengan penurunan interval 3 hingga suhu terendah 9oC dengan berat ikan 9 gr adalah sebagai berikut 93, 67, 43, 17, 15, 8. Penurunan jumlah rata-rata gerakan operculum yang dilakukan kelompok 3 mulai dari suhu 26oC dengan penurunan interval 3 hingga suhu terendah 5oC dengan berat ikan 9 gr adalah sebagai berikut 94, 69, 104, 84, 46, 25, 10. Saya sendiri adalah kelompok 4 penurunan jumlah rata-rata gerakan operculum yang dimulai dari suhu 27oC dengan penurunan interval 3 hingga suhu terendah 12oC dengan berat ikan 7,6 gr adalah sebagai berikut 123, 96, 75, 67, 56, 36. Dari percobaan penurunan suhu yang dilakukan oleh keempat kelompok tersebut dapat disimpulkan semakin menurunnya suhu air maka gerakan operculum ikan akan semakin lambat juga. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan O menurun, sehingga gerakan operculumya melambat. Metabolisme yang menurun pada suhu rendah disebabkan karena ikan tidak memerlukan banyak oksigen untuk memecah karbohidrat menjadi bentuk gula yang sederhana. Sehingga respirasi dan gerakan operkulum juga lambat. Hal ini terbukti dari hasil rata-rata gerakan operculum yang semakin menurun dari masing-masing kelompok seiring dengan penurunan suhunya. Penurun O juga dapat menyebabkan kelarutan O di lingkungannya meningkat. Jadi semakin rendah suhu maka semakin lambat respirasi yang menyebabkan lambatnya pula gerakan operculumnya. Proses respirasi yang lambat memberi dampak pada semakin tingginya ketersedian oksigen di dalam air (kelarutan oksigen dalam air semakin tinggi). Selain itu suhu yang minus akan memperlambat kerja organ pernafasan pada ikan karena membekunya berbagai organ vital. Pada suhu yang masih bisa ditolerir, yang lebih rendah dari suhu optimum laju metabolisme tubuhnya dan segala aktifitas pun rendah, akibatnya gerakan ikan tersebut menjadi sangat lamban.Selanjutnya kelompok 5, 6, 7, dan 8 yang bertugas mengamati penyesuaian hewan poikilotermik terhadap oksigen yang terkandung di air karena pengaruh suhu tinggi ( panas ). Kelompok 5 dengan berat ikan 5,8 gr dengan kenaikan interval suhu 3 mulai dari suhu 27oC hingga suhu tertinggi 42 oC, rata-rata kenaikan gerakan operculum adalah 108,3, 121,3, 72,6, 102, dan145. Kelompok 6 dengan berat ikan 6,6 gr dengan kenaikan interval suhu 3 mulai dari suhu 27oC hingga suhu tertinggi 42 oC, rata-rata kenaikan gerakan operculum adalah 132, 146, 163, 173, 154, dan117. Kelompok 7 dengan berat ikan 5,6 gr dengan kenaikan interval suhu 3 mulai dari suhu 26oC hingga suhu tertinggi 41 oC, rata-rata kenaikan gerakan operculum adalah 131,67 , 141,33, 131,6, 112, 112 dan 88,5. Kelompok 8 dengan berat ikan 7,9 gr dengan kenaikan interval suhu 3 mulai dari suhu 25oC hingga suhu tertinggi 40 oC, rata-rata kenaikan gerakan operculum adalah 119,3, 132, 147,6, 176,3, 193 dan 215.Dari percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan dengan semakin tingginya suhu air maka semakin cepat pula gerakan operculumnya. Hal tersebut dikarenakan semakin tingginya suhu memicu laju respirasi ikan mas semakin cepat. Peningkatan suhu mempengaruhi peningkatan metabolisme ikan. Hal ini dikarenakan molekul air lebih padat dan lebih sulit bergerak atau mengalir, sehingga memungkinkan air jauh lebih sulit mengalir ke organ pernafasan. Oleh karena itu, ikan harus mengeluarkan energi lebih banyak. Hal ini dapat mempersulit ikan untuk memperoleh oksigen. Enzim-enzim yang berperan dalam proses tersebut juga akan semakin aktif untuk memecah substrat sehingga metabolisme naik. Bila metabolisme naik maka akan menghasilkan semakin banyak metabolit. Semakin banyak metabolit maka darah akan melakukan transport metabolit untuk diedarkan ke seluruh tubuh menjadi lebih cepat sehingga frekuensi denyut jantung juga menjadi meningkat. Untuk mengimbangi proses transport metabolit yang cepat maka organisme harus menyediakan oksigen yang juga cepat untuk memecah hasil metabolisme menjadi suatu bentuk energi melalui suatu proses katabolisme. Respirasi harus cepat dilakukan agar pemcahan karbohidrat menjadi energi juga menjadi cepat. Karena alasan itulah pada semakin tinggi suhu maka proses respirasi semakin cepat yang menyebabkan gerakan operculum juga semakin cepat. Kecepatan respirasi pada kenaikan suhu tersebut meyebabkan kadar oksigen yang terlarut dalam air semakin sedikit karena bayaknya oksigen yang telah digunakan untuk proses respirasi. Jadi semakin tinggi suhu maka oksigen yang terlarut dalam air semakin sedikit.Kecepatan respirasi pada ikan ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi kecepatan respirasi yaitu laju metabolisme, semakin tinggi laju metabolisme maka semakin cepat respirasi terjadi yang berdampak pada semakin cepatnya gerakan operculum. Jadi pada ikan yang relatif lebih aktif bergerak maka proses respirasinya juga akan semakin cepat dibanding ikan yang kurang aktif bergerak. Kecepatan respirasi juga dipengaruhi oleh kelarutan oksigen dalam air, semakin tinggi kelarutan oksigen dalam air, maka respirasi semakin lambat, semakin rendah kelarutan oksigen dalam air maka kecepatan respirasi semakin cepat untuk memasok oksigen yang lebih banyak dalam tubuh. Selain faktor faktor diatas kelarutan oksigen dalam air juga dipengaruhi oleh tekanan parsial serta kadar garam dalam air. Luas penampang difusi oksigen juga mempengaruhi kecepatan respirasi. Semakin besar luas penampang difusi oksigen (semakin besar ikan) maka repirasi semakin lambat, semakin kecil luas penampang (semakin kecil ukuran ikan) maka respirasi semakin capat. Hal ini dapat terjadi dikarenakan sel yang berperan untuk melakukan difusi pada ikan yang besar lebih banyak dari pada ikan yang memiliki luas penampang (ukuran ikan )yang kecil, sehingga dengan respirasi lambat pun ikan besara mampu memenuhi kebutuhan oksigennya. Akan tetapi luas penampang saja tidak terlalu signikan memberikan dampak kecepatan respirasi tanpa adanya pengaruh kecepatan atau laju metabolisme ikan.Kenaikan suhu yang melebihi batas toleransi pada organisme maka akan menyebabkan organisme tersebut akan colaps atau bahkan mati. Hal ini dikarenakan aktivitas fisiologis tubuh tidak dapat berjalan, karena pada suhu yang tinggi, protein dalam tubuh ikan baik secara struktural maupun fungsional mengalami denaturasi atau kerusakan. Suhu mempengaruhi proses fisiologis hewan poikilotermik termasuk aktivitas yang dilakukan. Kenaikan maupun penurunan suhu tersebut mencapai dua kali aktivitas normal. Aktifitas akan naik seiring dengan naiknya suhu sampai pada titik dimana terjadi kerusakan jaringan, kemudian diikuti aktifitas yang menurun dan akhirnya terjadi kematian. Dari sekian banyak kelompok yang berhasil melakukan percobaan yang sesuai dengan teori ada juga yang tidak sesuai dengan dasar teori yang ada. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor diantaranya. Volume air panas yang dituangkan tidak sama dengan volume air yang di ambil yang menyebabkan volume air tidak konstan. Volume air yang tidak konstan mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air sehingga rata-rata gerakan operculum juga tidak valid. Selain itu pada saat menuangkan air panas terkena pada ikan, sehingga terjadi stres pada ikan yang menyebabkan semakin lambatnya gerakan operculum. Kurang telitinya praktikan dalam mengamati juga menjadi penyebabkan kurang validnya hasil pengamatan.Ikan mas yang merupakan hewan poikilotermik, mempertahankan kondisi tubuhnya ikan beradaptasi dengan cara konformitas yaitu menyesuaikan lingkungan internal tubuhnya dengan lingkungan eksternalnya. Salah satu bentuk adaptasinya adalah penyesuaian dengan suhu lingkungannya, sehingga ikan dapat dikatakan sebagai termokonformer. Setiap organisme termasuk hewan poikilotermik, memiliki rentang toleransi terhadap perubahan suhu lingkungan. Ketika terjadi perubahan suhu lingkungan, maka organisme akan melakukan proses homeostasis agar dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Akan tetapi, jika perubahan suhu lingkungan ini melebihi batas toleransi hewan tersebut (suhu ekstrem), maka dapat dipastikan hewan tersebut tidak mampu bertahan.

VII. PENUTUP7.1 KESIMPULAN Ikan termasuk hewan poikilotermik karena ikan menyesuaikan suhu di dalam tubuh dengan perubahan suhu lingkungan. Hewan poikilotermik memiliki rentang toleransi terhadap perubahan suhu lingkungan. Ketika terjadi perubahan suhu lingkungan, maka organisme akan melakukan proses homeostasis agar dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Semakin rendah suhu maka semakin lambat proses respirasinya yang menyebabkan gerakan operculum juga semakin lambat. Semakin berat bobot organisme maka semakin cepet respirasinya begitu pula gerakan operculumnya juga semakin cepat. Semakin tinggi suhu air, maka makin rendah kelarutan oksigen dalam air tersebut. Dan makin tinggi kadar garam dalam air, maka makin rendah kelarutan oksigen dalam air tersebut. Semakin rendah berat ikan maka kecepatan respirasinya semakin cepat begitu pula gerakan operculumnya juga akan semakin cepat. Semakin Semakin tinggi berat ikan maka kecepatan respirasinya semakin lambat begitu pula gerakan operculumnya juga akan semakin lambat. Kelarutan oksigen dalam air juga dipengaruhi oleh tekanan parsial serta kadar garam dalam air, serta pengaruh yang signifikan pada kecepatan respirasi itu adalah laju metabolisme.7.2 SaranUntuk praktikum berikutnya diharapkan agar praktikan lebih teliti dalam menghitung gerak operculumnya agar diperoleh hasil yang valid.

DAFTAR PUSTAKA

Campbell, 2005. Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta : Erlangga.Deny. 2006. Journal of Biologycal Diversity. Volume 7. Nomor 2. April 2006Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.KANISIUS. Yogyakarta.Fujaya, Yushinta. 2004. Fisisologi Ikan. Jakarta : P.T Rineka Cipta.Isniani, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta : Kanisius.Koesbiono, 1980. Biologi Laut. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.Kordi, K. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. PT Rineka Cipta dan PT Bina Aksara.Jakarta.Soetjipta. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Yogjakarta : Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sugiri.Sukiya. 2005.Biologi Vertebrata. Malang: Universitas Negeri Malang.Torani. 2010. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Vol. 20 (1) April 2010: 1 7

Winanto. 2009. Jurnal Biologi Indonesia Vol 6, No.1 6 (1): 51-69

Torani. 2010. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan Vol. 20 (1) April 2010: 1 7

Winanto. 2009. Jurnal Biologi Indonesia Vol 6, No.1 6 (1): 51-69

Deny. 2006. Journal of Biologycal Diversity. Volume 7. Nomor 2. April 2006