lap skenario 3 respirasi

36
LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK XI RESPIRASI SKENARIO 3 ASMA BRONKIALE Oleh Kelompok 12: Adiptya Cahya M. (G0011004) Moch. Fairuz Z. (G0011140) Alifiana J. (G0011012) Ni Kadek Ayu S.S. (G0011148) Aulia Nadhiasari (G0011046) Gemala R.R. (G0011100) Cakradenta Y.P. (G0011056) Rizqy Qurrota A.A. (G0011184) Evi Kusumawati (G0011088) Silvia Putri K. (G0011198) Hanni Wardhani (G0011104)

Upload: silvia-putri-kumalasari-setyohadi

Post on 27-Oct-2015

238 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Lap Skenario 3 Respirasi

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL

BLOK XI RESPIRASI

SKENARIO 3

ASMA BRONKIALE

Oleh

Kelompok 12:

Adiptya Cahya M. (G0011004) Moch. Fairuz Z. (G0011140)

Alifiana J. (G0011012) Ni Kadek Ayu S.S. (G0011148)

Aulia Nadhiasari (G0011046) Gemala R.R. (G0011100)

Cakradenta Y.P. (G0011056) Rizqy Qurrota A.A. (G0011184)

Evi Kusumawati (G0011088) Silvia Putri K. (G0011198)

Hanni Wardhani (G0011104)

Tutor: Sinu Andhi Yusuf, dr.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2012

Page 2: Lap Skenario 3 Respirasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang penting

dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara

di seluruh dunia. Asma dapat bersifat ringan, namun tidak sedikit yang

menjadi berat dan dapat mengganggu aktivitas. Pembahasan terlebih lanjut

terhadap penyakit asma sangat diperlukan untuk dapat mengetahui mekanisme

terjadi dan penyebab asma sehingga dapat dilakukan upaya preventif serta

mencari penatalaksanaan yang paling tepat untuk meringankan beban pasien.

Skenario ketiga pada Blok Respirasi kali ini bertopik asma, sebagai berikut :

Seorang perempuan usia 30 tahun datang ke IGD dengan serangan

asma akut. Sesak napas berbunyi "ngik-ngik" (mengi) sering dialami sejak

umur 14 tahun, terutama bila dingin. Hampir setiap malam pasien terbangun

dari tidurnya karena batuk dan dada terasa berat. Pasien mendapat obat

inhaler rutin, tetapi pasien sering lupa memakainya. Ayahnya seorang

penderita asma.

Dokter IGD melakukan pemeriksaan peakflow untuk menilai derajat

serangan akut kemudian memberikan terapi bronkodilator dengan nebulizer.

Pasien pernah menjalani pemeriksaan spirometri untuk menilai kemajuan

pengobatan.

Pada skenario di atas, permasalahan yang nampak sebagai masalah

utama yaitu asma. Diskusi ini selanjutnya akan membahas lebih dalam

mengenai asma, bagaimana hal tersebut dapat terjadi, mekanisme metabolik

yang terkait, penatalaksanaan, dan beberapa hal lain terkait dengan skenario.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana etiologi dan epidemiologi dari asma bronkiale?

2. Apa saja manifestasi klinis yang ditimbulkan asma bronkiale?

3. Bagaimana patologi dan patofisiologinya?

4. Bagaimana langkah diagnosis asma bronkiale?

5. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan asma bronkiale?

Page 3: Lap Skenario 3 Respirasi

C. Tujuan

1. Menjelaskan etiologi dan epidemiologi asma bronkiale.

2. Menjelaskan manifestasi klinis asma bronkiale.

3. Menjelaskan patologi dan patofisiologi asma bronkiale.

4. Menjelaskan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis.

5. Menjelaskan penatalaksanaan dan pencegahan asma bronkiale.

D. Hipotesis

Berdasarkan skenario di atas, kemungkinan perempuan tersebut menderita

asma bronkiale.

Page 4: Lap Skenario 3 Respirasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. RESEPTOR ADRENERGIK

Reseptor ini terdiri dari dua jenis:

1. Reseptor adrenergik α, yang terdiri dari Rα1 dan Rα2

Reseptor α1 terdapat pada otot polos (pembuluh darah, saluran kemih-

kelamin, dan usus) dan jantung. Reseptor α2 terdapat pada ujung saraf

adrenergik, sel efektor di berbagai jaringan (otak, otot polos pembuluh

darah, sel β pankreas, dan trombosit).

2. Reseptor adrenergik β, yang terdiri dari Rβ1, Rβ2, dan Rβ3

Reseptor β1 terdapat pada sel otot jantung dan sel-sel jugstagromeruler.

Reseptor β2 terdapat pada otot polos (bronkus, pembuluh darah,

saluran cerna, uterus, dan saluran kemih), otot rangka, dan hati,

sedangkan reseptor β3 ditemukan pada sel lemak.

Untuk efek kerja yang ditimbulkan, dapat dilihat pada tabel berikut:

Reseptor α1 Reseptor α2 Reseptor β1 Reseptor β2

G protein Gq Gi Gs Gs

Transduksi

sinyal

- Produksi

DAG dan IP3

- Mobilisasi

Ca++

- Aktivasi

Protein kinase C

- Mengham

bat adenilat

siklase

- Mengaktiv

asi kanal K+

- Mengakti

vasi adenilat

siklase

- Aktivasi

Prot. Kinase

A

- Mengaktivas

i adenilat

siklase

- Aktivasi

Protein Kinase

A

Efek

selular

- Eksitasi

neuron

- Vasokonstriks

i

- Bronkokonstr

iksi

- Mengham

bat pelepasan

NE

- Meningka

tkan kekuatan

dan

kecepatan

denyut

jantung

- Lipolisis

- Bronkorelaks

asi

- Vasodilatasi

- Tremor

- Glikogenolis

is

- Menghambat

pelepasan

histamin

Page 5: Lap Skenario 3 Respirasi

Keterangan tabel :

Gi = G inhibisi

Gs = G simulasi

DAG = diasilgliserol

IP3 = Inositol trifosfat

Sesuai dengan skenario kali ini, yang akan kami bahas lebih lanjut adalah

reseptor β2.

Semua reseptor β berhubungan dengan enzim adenilsiklase, yang

mengubah ATP menjadi siklik AMP, melalui protein G simulasi (Gs). Aktivasi

reseptor β menstimulasi enzim tersebut sehingga kadar siklik AMP dalam sel

efektor meningkat. Siklik AMP akan berikatan dengan reseptornya, yaitu

protein kinase A. Ikatan ini akan mengaktifkan enzim tersebut, yang

selanjutnya akan mengkatalisis fosforilasi berbagai protein seluler dan

menimbulkan berbagai efek adrenergik β. Protein Gs juga dapat secara

langsung mengaktifkan kanal Ca++ pada membran sel otot jantung. Pada otot

polos, stimulasi reseptor β2 menimbulkan relaksasi otot melalui peningkatan

siklik AMP intrasel, yang diikuti dengan proses fosforilasi dan penurunan

kadar Ca++ intrasel, mekanismenya yang pasti belum diketahui (Setiawati dan

Gan, 2011).

β2-agonis merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan asma

bronkial. Obat yang termasuk ke dalam golongan β2-agonis selektif antara lain

metaproterenol (orsiprenalin), salbutamol (albuterol), terbutalin, fenoterol,

formoterol, prokaterol, salmeterol, pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin.

Pada dosis kecil, kerja obat-obat ini pada reseptor β2 jauh lebih kuat daripada

kerjanya pada reseptor β1. Tetapi, bila dosisnya ditinggikan, selektivitas ini

hilang (Setiawati dan Gan, 2011).

B. KORTISOL

Kortrisol sebagai produk dari glukokortioid korteks adrenal yang disintesa

pada zona fasikulata dapat mempengaruhi metabolisme protein, karbohidrat,

Page 6: Lap Skenario 3 Respirasi

dan lipid serta berbagai fungsi fisiologis lainnya.

Sintesis steroid adrenal bermula dari asetat atau kolesterol dan bergerak

melalui beragam langkah-langkah enzimik ke pembentukan glukokortikoid.

Jalan reaksi menyangkut sintesis permulaan kolesterol yang setelah terjadi

pembelahan dan oksidasi serangkaian rantai samping, diubah menjadi A-

pregnenolon. Kortek adrenal mengandung relatif banyak kolesterol, sebagian

besar sebagai ester kolesteril yang berasal dari sintesis de novo dan sumber-

sumber ekstraadrenal. Perubahan esterkolesteril menjadi kolesterol merupakan

langkah yang perlu dalam sintesis steroid dan diatur oleh ACTH, dalam hal ini

ACTH melakukannya dengan meningkatkan cAMP, yang mengaktifkan

protein kinase, selanjutnya mengaktifkan protein-protein melalui fosforilasi

untuk mengkatalisis hidrolisis kolesteril ester. Kinase ini awalnya juga

meningkatkan 20-hidroksilasi kolesterol. Hasil akhir reaksi ini adalah C-27

steroid 20α,22β-dihidroksikolesterol dan 17α,20α-dihidroksikolesterol.

Senyawa ini diubah langsung menjadi pregnenolon atau 17α-pregnenolon

dengan kehilangan bagian isokaproat aldehida yang terdapat pada rantai

samping.

Sekresi ACTH diatur secara umpan balik oleh steroid yang beredar, pada

manusia kortisol adalah regulator yang paling penting. Kortisol bebas di dalam

darah memiliki umpan balik negatif terhadap pelepasan hormon pelepas

kortikotropin (corticotropin releasing hormone atau CRH) dari hipotalamus

dan terhadap kortikotrof hipofisis. CRH turun melalui vena-vena sistem portal

hipofisis ke hipofisis anterior dan memicu sekresi ACTH. Respon CRH

terhadap umpan balik negatif mengikuti irama diurnal, sehingga pada pagi

hari ACTH dan kortisol dalam jumlah yang lebih besar dan lebih kecil pada

malam hari.

Kortisol dalam jumlah yang cukup besar lebih kurang 75% terikat

pada α - globulin yang disebut traskortin atau globulin pengikat

kortikostroid (corticosteroid binding globulin). Sebanyak 15% lainnya terikat

lebih lemah pada albumin, dan 10 % sisanya yang aktif secara matabolik

beredar dalam bentuk bebas. Waktu paruh kortisol adalah 90 menit.

Dikarenakan irama sirkadian yang ditampilkan oleh sekresi kortisol, maka

nilai normalnya beragam menurut waktu dalam sehari. Nilai normal pada

pukul 9.00 pagi untuk kortisol ( 11 hidroksi-kortikosteroid ) adalah 170-720

Page 7: Lap Skenario 3 Respirasi

nmol/l (6-26 μg/100ml) sedangkan kadar tengah malam ( 24:00) kurang

dari 220 nmol/l ( < 8μg/100ml).

Efek kortisol dalam proses peradangan dan imunologis :

1. Merangsang pembentukan protein ( lipocortin ) yang menghambat

phospholipase A2

sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat dan pengeluaran 

prostaglandin.

2. Menurunkan jumlah limfosit dan monosit diperifer dalam 4 jam, hal ini

terjadi karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular ke

dalam limpa, kelenjar limfe,ductus thoracicus dan sumsum tulang. 

3. Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang kesirkulasi,

tapi menghambat akumulasi netrofil pada daerah keradangan.

4. Meningkatkan proses apoptosis

5. Menghambat sintesis cytokine

6. Menghambat nitric oxyd synthetase

7. Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating

Factor dan differensiasinya menjadi makrofag

8. Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag

9. Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat

keradangan 

10. Menghambat plasminogen activators ( PAs ) yang merubah plasminogen

menjadi plasmin yang berperan dalam pemecahan kininogen menjadi

kinin yang berfungsi sebagai vasodilator dan meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah.

C. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Diagnosis banding kasus pada skenario, antara lain:

1. Asma Bronkial

Merupakan suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakhea dan

bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya

penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah

baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan. Penyakit ini dapat

timbul pada semua usia. Manifestasi klinisnya berupa batuk yang

disertai dengan sesak napas, dada terasa berat di dada dengan wheezing

Page 8: Lap Skenario 3 Respirasi

(mengi) yang bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa

pengobatan. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari. Asma

Bronkial ini memiliki respon terhadap pemberian bronkodilator. Adanya

riwayat penyakit atopik pada pasien/ keluarganya dapat memperkuat

dugaan adanya penyakit asma.

2. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun ke atas,

dan biasanya dengan riwayat paparan alergen dalam waktu yg cukup

lama. PPOK ini tidak/ sedikit berespon terhadap pemberian

bronkodilator.

3. Obstruksi Mekanis (misal tumor)

Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena

adanya penyempitan permanen dari saluran pernapasan. Bunyi mengi

juga akan terdengar setiap saat.

4. Gagal Jantung Kongestif

Terdapat ronki basah basal. Sesak biasanya hilang timbul. Keluhan sesak

biasanya terjadi setelah melakukan aktifitas. Selain itu, sesak nafas juga

terjadi pada saat tidur terlentang sehingga pasien akan merasa lebih

nyaman jika tidur menggunakan 2-3 buah bantal.

5. Emboli Paru

Merupakan penyumbatan arteri pulmonalis oleh suatu embolus yang

terjadi secara tiba-tiba. Manifestasi klinisnya berupa batuk (timbul

mendadak, bisa disertai dengan dahak berdahak). Sesak napas yang

mendadak, baik ketika istirahat maupun ketika sedang melakukan

aktivitas. Nyeri dada sifatnya tajam dan menusuk, pernapasan cepat dan

takikardi (PDPI, 2003).

D. KLASIFIKASI ASMA BRONKHIALE

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3

tipe, yaitu :

1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor

pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-

obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering

Page 9: Lap Skenario 3 Respirasi

dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.

Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang

disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap

pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin

atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan

emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan

berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan

emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari

bentuk alergik dan non-alergik.

E. EPIDEMIOLOGI ASMA

Asma merupakan penyakit yang umum diderita di dunia, dimana terdapat

300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada

anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada

anak-anak (GINA, 2003).

Ada beberapa penelitian yang menggolongkan kasus asma berdasarkan

usia. Insidensi tertinggi asma biasanya mengenai anak-anak (7-10%), yaitu

umur 5–14 tahun. Sedangkan pada orang dewasa, angka kejadian asma lebih

kecil yaitu sekitar 3-5% (Asthma and Allergy Foundation of America, 2010).

Menurut studi yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and

Welfare (2007), kejadian asma pada kelompok umur 18-34 tahun adalah 14%

sedangkan > 65 tahun menurun menjadi 8.8%.

Ada juga yang menggolongkan prevalensi asma berdasarkan jenis

kelamin. Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki

merupakan sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi,

pada masa pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi

pada perempuan (NHLBI, 2007). Pada manusia dewasa tidak didapati

perbedaan angka kejadian asma di antara kedua jenis kelamin.

Prevalensi Asma di Indonesia

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di

Page 10: Lap Skenario 3 Respirasi

Indonesia, hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga

(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Pada tahun 1986 asma menduduki

urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama

dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis

kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di

Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995 prevalens asma di seluruh Indonesia

sebesa 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru

2/1000.

Di Indonesia sendiri belum ada survei asma secara nasional. Hasil

penelitian menunjukkan prevalens asma di Indonesia sangat bervariasi.

Perbedaan ini antara lain dipengaruhi perbedaan metodologi yang digunakan,

perbedaan etnik, perbedaan faktor lingkungan dan tempat tinggal serta

perbedaan status sosial ekonomi subjek penelitian.

F. ETIOLOGI

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi

timbulnya serangan asma bronkhial.

A. Faktor predisposisi

- Genetik

Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum

diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita

dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang

juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini,

penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika

terpapar dengan faktor pencetus. Selain itu hipersentivitas saluran

pernafasannya juga bisa diturunkan.

B. Faktor presipitasi

1. Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan

Contoh: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri

dan polusi

Ingestan, yang masuk melalui mulut

Page 11: Lap Skenario 3 Respirasi

Contoh: makanan dan obat-obatan

Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit

Contoh: perhiasan, logam dan jam tangan

2. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering

mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan

faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan

berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau,

musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga

dan debu.

3. Stress

Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,

selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.

Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita

asma yang mengalami stress/ gangguan emosi perlu diberi nasehat

untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya

belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

4. Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan

asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang

yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,

polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

5. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika

melakukan aktivitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat

paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena

aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.

(Tanjung, 2003)

G. PENATALAKSANAAN

Pengobatan Asma Bronkiale :

1. Reliever/ pelega

a. Short acting beta 2 agonis (SABA)

Melalui stimulasi reseptor β2 yang terdapat banyak di trachea dan

Page 12: Lap Skenario 3 Respirasi

bronchi yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini

kemudian mengubah ATP menjadi cAMP. Meningkatnya kadar

Camp di dalam sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim

fosfokinase yaitu bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan

mediator oleh sel mast. Contoh dari SABA adalah :

Salbutamol : oral, injeksi, inhalasi

Terbutaline : oral, injeksi, inhalasi

Fenoterol : inhalasi

Procaterol : inhalasi

b. Golongan adrenergic

Adrenalin : epinefrin

Merupakan bronkodilator terkuat dengan kerja cepat tetapi

singkat dan digunakan untuk serangan asma yang hebat. Efek

samping dari adrenalin adalah efek sentral (gelisah, tremor,

nyeri kepala) dan terhadap jantung (palpitasi, aritmia) terutama

pada dosis yang lebih tinggi.

Efedrin : oral

Efek samping efedrin adalah sulit tidur, tremor, gelisah dan

gangguan berkemih.

c. Golongan Metilxantin

Aminophyline : oral, injeksi

Theophyline : oral

Theophyline dapat digunakan untuk merelaksasikan otot pada

paru-paru dan thoraks, membuat kesensitifan paru terhadap

alergen berkurang. Efek samping dari theophyline adalah

nausea, muntah, takikardi, aritmia, kejang

d. Golongan antikolinergik

Antikolinergik memblok reseptor muskarin dari saraf kolinergis di

otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergic menjadi

dominan dengan efek bronkodilatasi. Efek samping dari golongan

antikolinergik adalah mulut kering, obstipasi, sukar berkemih,

penglihatan kabur. Contoh dari obat ini adalah :

Atropine : injeksi

Ipratropium bromide : inhalasi

Page 13: Lap Skenario 3 Respirasi

Berguna untuk mengurangi hipersekresi pada bronchi, yaitu

efek “mengeringkan”. Efektif untuk pasien yang mengeluarkan

dahak.

e. Kortikosteroid sistemik

2. Controller

a. Long acting beta 2 agonis (LABA)

Efek samping dari LABA adalah tremor, takikardi, palpitasi,

hipokalemi

b. Kombinasi LABA dan steroid : inhalasi

c. Anti inflamasi non steroid

AINS menghambat pelepasan mediator yang dimediasi Ig E dari sel

mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi

yang lain ( makrofag, monosit, eosinofil ). Efek samping dari AINS

adalah induksi tukak lambung/tukak peptic, gangguan fungsi

trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2

d. Sodium kromoglikat dan Sodium nodokromil

Kromoglikat dan nodokromil berbeda secara struktural, tetapi

diduga mempunyai mekanisme kerja yang sama yaitu

menghambat pengaktifan seluler. Efek sampingnya adalah

iritasi tenggorokan, batuk, mulut kering, sesak di dada dan

susah bernapas.

e. Reseptor leukotrien antagonis

Contoh dari leukotrien antagonis adalah :

Lipoksigenase-blockers : loratadin, azelastin, ebastin

LT-receptor blockers : montelukast, zafirlukast, pranlukast

Efek samping dari zafirlukast adalah gangguan ringan lambung,

usus, nyeri kepala dan reaksi alergi kulit. Efek samping dari

montelukast adalah gangguan saluran cerna, sakit kepala, flu

dan mulut kering.

f. Kortikosteroid

Efek samping dari kortikosteroid adalah Cushing syndrome serta

penekanan fungsi anak ginjal. Contoh dari kortikosteroid adalah :

Dexamethasone : oral, injeksi

Budesonide : inhalasi

Page 14: Lap Skenario 3 Respirasi

Fluticasone : inhalasi

Methylprednisolone : oral, injeksi

3. Obat Beta Blocker

Antagonis adrenoseptor β atau β-blocker adalah obat yang

menduduki adrenoseptor β dan tidak mempengaruhi reseptor α sehingga

menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik, dan dengan

demikian menghalangi kerja obat adrenergik pada sel efektornya. Ini

berarti adrenoseptor blocker mengurangi respons sel efektor adrenergic

terhadap perangsangan saraf adrenergik maupun terhadap obat

adrenergik eksogen.

Β-blocker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik

NE dan Epi endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada

adrenoseptor β. Obat ini memiliki sifat kardioselektif yaitu mempunyai

afinitas tinggi terhadap reseptor β1 daripada reseptor β2. Nonselektif

artinya mempunyai afinitas yang sama terhadap kedua reseptor β1 dan β2.

Tapi sifat kardioselektif ini relatif, artinya pada dosis yang lebih tinggi β-

blocker yang kardioselektif juga memblok reseptor β2.

Contoh obat-obat β-blocker adalah :

1. Propanolol : tab 10 dan 40 mg, kapsul lepas lambat 160 mg

2. Alprenolol : tab 50 mg

3. Oksprenolol : tab 40 mg, 80 mg, tab lepas lambat 80 mg

4. Metoprolol : tab 50 dan 100 mg, tab lepas lambat 100 mg

5. Bisoprolol : tab 5 mg

6. Asebutolol : kap 200 mg dan tab 400 mg

7. Pindolol : tab 5 dan 10 mg

8. Nadolol : tab 40 dan 80 mg

9. Atenolol : tab 50 dan 100 mg

H. PENCEGAHAN

Pencegahan Asma

1.      Menjauhi alergen

-          Inhallan     : Debu, bulu binatang, serbuk bunga

-          Ingestan    : Makanan dan obat-obatan

-          Kotakktan : Perhiasan dan barang logam

2.      Menghindari kelelahan

Page 15: Lap Skenario 3 Respirasi

3.      Menghindari stress psikis

Respon stress dapat menimbulkan kecemasan yang akan memicu

dilepasnya histamine, sehingga menimbulkan penyempitan saluran nafas.

4.      Mencegah atau mengobati ISPA sedini mungkin

5.      Olahraga renang atau senam asma

Renang dapat membantu seseorang untuk beradaptasi menghadapi

keadaan dimana O2 lebih sedikit daripada CO2 sehingga mampu

menguatkan otot-otot pernapasan.

I. Penilaian Kontrol Asma

Evaluasi kontrol dalam 2-6 minggu (tergantung derajat berat awal atau

kontrol). PFM digunakan pada penderita ³ 6 tahun. Bila hasil spirometri

menunjukkan kontrol buruk dibanding tanda kontrol lainnya, pertimbangkan

obstruksi yang menetap dan nilai ukuran lainnya. Bila obstruksi yang menetap

tidak menerangkan kontrol yang kurang, lakukan step up, karena FEV1 yang

buruk merupakan predictor eksaserbasi. Bila riwayat eksaserbasi menunjukkan

control buruk, nilai derajat gangguan paru dan pertimbangkan stepup,

penanganan eksaserbasi dan menggunakan kortikosteroid/ KS oral terutama

untuk penderita dengan riwayat eksaserbasi berat. Bila kontrol asma tidak

didapat dengan cara tersebut, evaluasi kepatuhan pasien terhadap penggunaan

obat, teknik inhalasi, kontrol lingkungan (pajanan baru) dan penanganan

komorbid. Bila asma sudah terkontrol, pemantauan seterusnya adalah penting

agar kontrol asma dapat dipertahankan serta menentukan tahap dan dosis obat

terendah. Pendekatan bertahap (stepping up dan stepping down) dianjurkan

untuk memperoleh dan mempertahankan kontrol asma. Pendekatan

pengobatan bertahap menggabungkan kelima komponen yang diperlukan

dalam penanganan asma. Jenis, jumlah dan jadwal obat ditentukan oleh

ambang berat asma atau kontrol asma. Pengobatan ditingkatkan (stepping up)

bila diperlukan, dan diturunkan (stepping down) bila mungkin. Oleh karena

asma adalah penyakit kronis, asma persisten dapat dikontrol terbaik dengan

pemberian obat pengontrol jangka lama untuk menekan inflamasi setiap hari.

Kortikosteroid inhalasi merupakan obat anti-inflamasi yang efektif untuk

semua usia pada semua tahap perawatan asma persisten. Seleksi terapi

Page 16: Lap Skenario 3 Respirasi

alternative berdasarkan atas pertimbangan pengobatan yang efektif untuk

penderita (gangguan, risiko atau keduanya) dan riwayat penderita mengenai

respons sebelumnya (sensitivitas dan respons terhadap berbagai obat asma

dapat berbeda di antara penderita) serta kesediaan dan kemampuan penderita

ataupun keluarga untuk menggunakan obat-obatan. Bila asma sudah

terkontrol, pemantauan adalah esensial, oleh karena asma dapat berbeda

dengan waktu. Stepping up mungkin diperlukan, atau bila mungkin stepping

down, identifikasi obat minimal diperlukan dalam mempertahankan kontrol

asma. (Rengganis, 2008)

Page 17: Lap Skenario 3 Respirasi

BAB III

PEMBAHASAN

A. Riwayat Penyakit Terdahulu dengan Kondisi Pasien Sekarang

Umur 14 tahun pasien menderita asma yang tergolong intermitten (tidak

terus menerus), maksudnya pasien akan normal apabila tidak ada faktor-faktor

rangsangan contohnya udara dingin di dalam skenario. Dengan berjalannya

waktu hingga sekarang pasien berumur 30 tahun penyakit asma pasien

semakin parah dan cenderung ke Asma Persisten Berat.

Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan-perubahan pada lingkungan

si pasien dan kegagalan pengobatan atau penanganan pada masa awal yang

membuat makin lama makin parah.

Ada beberapa faktor Presipitasi (faktor memperparah) :

a. Infeksi virus

b. Alergen Lingkungan :

Dalam Rumah : Jamur, Tungau, Debu rumah, Kecoa, dll)

Outdoor : Serbuk Sari, Pollen)

c. Iritan : Asap rokok, polutan udara, debu, gas, uap

d. Ciri-ciri rumah : Usia, Lokasi, Sistem pendingin/pemanas, pelembab,

karpet, dan lain-lain

e. Obat-obatan : Beta bloker

f. Makanan

g. Bahan-bahan adiktif

Penanganan :

Tahap 1: Asma Intermitten

Bronkodilator kerja singkat, terutama β2 agonis inhalasi direkomendasikan

sebagai pengobatan pelega cepat untuk mengobati gejala pada asma

intermiten. Aksi utama β2 agonis adalah untuk merelaksasikan otot polos

jalan napas dengan menstimulus β2 reseptor, sehingga meningkatkan siklik

AMP dan menyebabkan bronkodilatasi. Salbutamol adalah β2 agonis

inhalasi yang memiliki profil keamanan baik. Belum terdapat data yang

membuktikan kejadian cidera janin pada penggunaan β2 agonis inhalasi

kerja singkat maupun kontra indikasi selama menyusui (NAEPP, 2005).

Page 18: Lap Skenario 3 Respirasi

Tahap 2 : Asma Persisten Ringan

Terapi yang dianjurkan untuk pengobatan kontrol jangka lama pada

asma persisten ringan adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah.

Kortikosteroid merupakan terapi preventif dan bekerja luas pada proses

inflamasi. Efek klinisnya ialah mengurangi gejala beratnya serangan,

perbaikan arus puncak ekspirasi dan spirometri, mengurangi hiperesponsif

jalan napas, mencegah serangan dan mencegah remodelling dinding jalan

napas (NAEPP, 2005). Kortikosteroid mencegah pelepasan sitokin,

pengangkutan eosinofil jalan napas dan pelepasan mediator inflamasi

(NAEPP, 2003). Kortikosteroid inhalasi mencegah eksarsebasi asma dalam

kehamilan dan merupakan terapi profilaksis pilihan (Nelson and Piercy,

2001).

Dibandingkan dengan kortikosteroid inhalasi lainnya, budesonid lebih

banyak digunakan pada wanita hamil. Belum terdapat data yang

menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid inhalasi selain budesonid

tidak aman selama kehamilan. Oleh karenanya, kortikosteroid inhalasi

selain budesonid juga dapat diteruskan pada pasien yang sudah terkontrol

dengan baik sebelum kehamilan, terutama bila terdapat dugaan perubahan

formulasi dapat membahayakan asma yang terkontrol (NAEPP, 2005).

Berikut contoh obat-obat kortikosteroid :

a. Kortikosteroid oral selama kehamilan meningkatkan risiko

preeklampsia, kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah (Nelson

and Piercy, 2001; Gluck and Gluck,2005; NAEPP,2005; Sharma,2004).

Bagaimanapun juga, mengingat pengaruh serangan asma berat bagi ibu

dan janin, penggunaan kortikosteroid oral tetap diindikasikan secara

klinis selama kehamilan (Nelson and Piercy, 2001). Selama kehamilan,

penggunaan prednison untuk mengontrol gejala asma penting diberikan

bila terdapat kemungkinan terjadinya hipoksemia ibu dan oksigenasi

janin yang tidak adekuat (Greenberger, 1997).

b. Prednisolon dimetabolisme sangat rendah oleh plasenta (10%). Beberapa

studi menyebutkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, bayi lahir mati,

kelainan kongenital, reaksi penolakan janin ataupun kematian neonatus

yang disebabkan pengobatan ibu dengan steroid (Nelson and

Piercy,2001; NAEPP,2003; Rotschild et al.,1997)

Page 19: Lap Skenario 3 Respirasi

c. Kromolin sodium memiliki toleransi dan profil keamanan yang baik,

tetapi kurang efektif dalam mengurangi manifestasi asma baik secara

objektif maupun subjektif bila dibandingkan dengan kortikosteroid

inhalasi. Kromolin sodium memiliki kemampuan anti inflamasi,

mekanismenya berhubungan dengan blokade saluran klorida. Kromolin

ialah suatu terapi alternatif, bukan terapi yang dianjurkan bagi asma

persisten ringan (NAEPP, 2005).

d. Antagonis reseptor leukotrien (montelukast dan zafirlukast) digunakan

untuk mempertahankan terapi terkontrol pada pasien asma sebelum

hamil. Menurut opini kelompok kerja NAEPP, saat memulai terapi baru

untuk asma pada kehamilan, antagonis reseptor leukotrien merupakan

terapi alternatif, dan tidak dianjurkan sebagai terapi pilihan bagi asma

persisten ringan (NAEPP, 2005).

e. Teofilin menyebabkan bronkodilatasi ringan sampai sedang pada asma.

Konsentrasi rendah teofilin dalam serum beraksi sebagai anti inflamasi

ringan. Teofilin memiliki potensi toksisitas serius bila dosisnya

berlebihan atau terdapat interaksi dengan obat lain (misal dengan

eritromisin). Penggunaan teofilin selama kehamilan membutuhkan dosis

titrasi yang hati-hati serta pemantauan ketat untuk mempertahankan

konsentrasi teofilin serum 5 – 12 mcg/mL. Penggunaan teofilin dosis

rendah merupakan terapi alternatif, tapi tidak dianjurkan pada asma

persisten ringan (NAEPP, 2005).

Tahap 3 : Asma Persisten Sedang

Terdapat dua pilihan terapi : kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis

rendah dan β2 agonis inhalasi kerja lama atau meningkatkan dosis

kortikosteroid inhalasi sampai dosis medium. Data yang menunjukkan

keefektivan dan atau keamanan penggunaan kombinasi terapi ini selama

kehamilan sangat terbatas, tetapi menurut data uji coba kontrol acak pada

orang dewasa tidak hamil menunjukkan bahwa penambahan β2 agonis

inhalasi kerja lama pada kortiko steroid inhalasi dosis rendah menghasilkan

asma yang lebih terkontrol daripada hanya meningkatkan dosis

kortikosteroid (NAEPP, 2005).

Profil farmakologi dan toksikologi β2 agonis inhalasi kerja lama dan

singkat hampir sama, terdapat justifikasi bahwa β2 agonis inhalasi kerja

Page 20: Lap Skenario 3 Respirasi

lama memiliki profil keamanan yang sama dengan salbutamol, dan β2

agonis inhalasi kerja lama aman digunakan selama kehamilan. Contoh β2

agonis inhalasi kerja lama adalah salmeterol dan formoterol (NAEPP,

2005). Bracken dkk menyimpulkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang

signifikan pada berat lahir dan panjang lahir bayi, kelahiran prematur,

maupun preeklampsia, pada penggunaan β2 agonis inhalasi kerja lama bila

dibandingkan dengan Salmeterol selama kehamilan (Gluck and Gluck,

2005).

Tahap 4 : Asma Persisten Berat

Jika pengobatan asma persisten sedang telah dicapai tetapi masih

membutuhkan tambahan terapi, maka dosis kortikosteroid inhalasi harus

dinaikkan sampai batas dosis tinggi, serta penambahan terapi budesonid.

Jika cara ini gagal dalam mengatasi gejala asma, maka dianjurkan untuk

penambahan kortikosteroid sistemik (NAEPP, 2005). Dosis kortikosteroid

sistemik sebagai pengontol jangka panjang.

B. TIMBULNYA SUARA MENGI PADA PASIEN

Dalam skenario, pasien mengalami sesak nafas berbunyi “ngik-ngik”

(mengi) terutama bila dingin dan hampir setiap malam pasien teerbangun dari

tidurnya karena batuk dan dada terasa berat.

Dalam hal ini suara “ngik-ngik” atau mengi disebabkan karena

bronkokonstriksi. Biasanya udara melalui celah yang lebar ketika terjadi

bronkokonstriksi maka jalan nafas menyempit sehingga udara yang masuk dan

keluar jadi terhambat dan menimbulkan suara “ngik-ngik”.

C. TIMBULNYA RASA SESAK NAFAS KETIKA MALAM HARI

Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka, bahwa kadar kortisol

dalam tubuh manusia mengikuti irama diurnal, dimana kadarnya akan

menurun pada malam hari. Salah satu fungsi dari kortisol adalah mengurangi

respon inflamasi dan respon imunologis yang menyebabkan alergi, sehingga

ketika malam hari kadar kortisol yang menurun menyebabkan respon

inflamasi semakin memburuk. Sehingga berakibat pada timbulnya manifestasi

berupa sesak nafas.

Page 21: Lap Skenario 3 Respirasi

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

B. Kesimpulan

1. Asma bronkiale memang tidak bisa sepenuhnya sembuh, namun jika

mengetahui penyebab maka serangan asma dapat dihindari.

2. Munculnya asma bronkiale disebabkan oleh banyak penyebab seperti

genetik dan kontak dengan alergen.

C. Saran

2. Persuasi dokter kepada pasien asma sangat diperlukan terutama mengenai

menghindari pemicu serangan asma.

3. Mengontrol kemajuan pengobatan asma juga penting untuk menentukan

langkah pengobatan selanjutnya.

Page 22: Lap Skenario 3 Respirasi

DAFTAR PUSTAKA

Katzung, Bertram G. 1997. Farmakologi dasar dan klinik Edisi VI. Jakarta: EGC

Ratnawati. 2011. Jurnal Respirasi Indonesia vol. 31 no. 34, hlm. 172-175.

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI – RS Persahabatan:

Jakarta.

Rengganis, Iris. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Jakarta: Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2008 ; 58(11); 449.

Setiawati Arini dan Sulistia Gan. 2011. Obat Adrenergik. dalam Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan

Penerbit FKUI.

Setiawati Arini dan Sulistia Gan. 2011. Susunan Saraf Otonom dan Transmisi

Neurohumoral. dalam Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Farmakologi

dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Tanjung, Dudut. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Medan: FK USU.

Tjay, Tan Hoan ; Raharja, Kirana. 2007.Obat-Obat Penting. Jakarta : PT Elex Media

Komputindo

http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html (diakses pada 19 November

2012)