kuliah obat anastesi raisya

21
KULIAH OBAT-OBATAN ANASTESI Disusun Oleh: RAISYA FARAH MONICA H1AP11003 Pembimbing : dr. Yalta Hasanudin, Sp. An FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS BENGKULU 2015

Upload: raisya-farah-monica

Post on 30-Jan-2016

17 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

kuliah obat anastesi

TRANSCRIPT

Page 1: Kuliah Obat Anastesi Raisya

KULIAH

OBAT-OBATAN ANASTESI

Disusun Oleh:

RAISYA FARAH MONICA

H1AP11003

Pembimbing :

dr. Yalta Hasanudin, Sp. An

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2015

Page 2: Kuliah Obat Anastesi Raisya

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah anestesi pertama kali digunakan oleh Oliver Wendel Holmes Sr

pada tahun 1846 yang artinya tidak ada rasa sakit. Anastesi sendiri berasal dari

bahasa Yunani an- yang berarti ‘tidak, tanpa’ sedangkan aesthētos yang berarti

‘persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum anastesi adalah suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Katzung 2007)

Selain menghilangkan rasa sakit dari operasi, obat anestasi umum juga

menghilangkan kesadaran. Untuk beberapa operasi, anastesi juga merelaksasikan

otot sehingga dapat memperlancar jalannya operasi. Obat anestesi memiliki trias

yang harus dipenuhi yaitu efek hipnotik, efek analgesia, dan efek relaksasi otot.

(MANGKU 2010)

Obat anestesi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal dan

umum. Anastesi lokal berarti menghilangkan rasa sakit tanpa disertai hilang

kesadaran, sedangkan anestesi umum berarti menghilangkan rasa sakit yang

disertai hilangnya kesadaran.(KATZUNG 2007)

Prinsip dasar farmakologi obat anestetik, meliputi transfer membran,

absorbsi, metabolisme, distribusi dan eliminasi obat. Pada anestetik lokal,

peristiwa farmakologik ini lebih sederhana tanpa mempengaruhi pusat kesadaran

di SSP.(KATZUNG 2007)

Kepentingan utama farmakologi anestetik secara klinis adalah dalam

menentukan dosis yang optimal untuk suatu obat, dimana dalam selang dosis

tersebut obat akan mempunyai efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik.

Seberapa besar jumlah yang diperlukan ditentukan dengan menentukan tingkat

konsentrasi minimal yang dapat menimbulkan efek separuh dari efek terapi yang

diharapkan, dan tingkat konsentrasi maksimal yang umumnya ditentukan pada

jumlah konsentrasi obat.(BARASH 2006)

Page 3: Kuliah Obat Anastesi Raisya

BAB II

PEMBAHASAN

A. Premedikasi

Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang, dan

asupan oral, maka dilakukan pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi.

1. Analgesik narkotik

a. Morfin

b. Petidin

c. Fentanil

2. Analgesik non narkotik

B. Anastesi Inhalasi

Obat anestesia inhalasi adalah obat anestesia yang berupa gas atau

cairan mudah menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Campuran

gas atau uap obat anestesia dan oksigen masuk mengikuti udara inspirasi,

mengisi seluruh rongga paru, selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke

kapiler sesuai dengan sifat fisik masing-masing gas(MANGKU 2010)

Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering digunakan pada

anestesia umum. Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik volatil pada

oksigen inspirasi dapat menyebabkan keadaan tidak sadar dan amnesia, yang

merupakan hal yang penting dari anestesia umum. Bila ditambahkan obat

intravena seperti opioid atau benzodiazepin, serta menggunakan teknik yang

baik, akan menghasilkan keadaan sedasi/hipnosis dan analgesi yang lebih

dalam (MANGKU 2010)

Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada

anestesi umum, akan tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada

pasien anak-anak. Gas anestesi inhalasi yang banyak dipakai adalah isofluran

dan dua gas baru lainnya yaitu sevofluran dan desfluran. sedangkan pada anak-

Page 4: Kuliah Obat Anastesi Raisya

anak, halotan dan sevofluran paling sering dipakai. Walaupun dari obat-obat ini

memiliki efek yang sama (sebagai contoh : penurunan tekanan darah

tergantung dosis), namun setiap gas ini memiliki efek yang unik, yang menjadi

pertimbangan bagi para klinisi untuk memilih obat mana yang akan dipakai.

Perbedaan ini harus disesuaikan dengan kesehatan pasien dan efek yang

direncanakan sesuai dengan prosedur bedah (MANGKU 2010)

Sebagai anastesi inhalasi digunakan gas dan cairan terbang yang

masing – masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat

melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan

reaksi yang secepat – cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam

dosis tinggi, yang kemudia diturunkan sampai hanya sekadar memelihara

keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran (ekshalasi). Keuntungan

anastetika-inhalasi dibandingkan dengan anastesi-intravena adalah

kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anastesi dengan

mengurangi konsentrasi dari gas/uap yang diinhalasi. Kebanyakan anastesi

umum tidak di metabolisasikan oleh tubuh, karena tidak bereaksi secara

kimiawi dengan zat-zat faali. Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan

bahwa anastetika umum di bawah pengaruh protein SSP dapat membentuk

hidrat dengan air yang bersifat stabil. Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi

transmisi rangsangan di sinaps dan dengan demikian mengakibatkan anastesia.

(BARASH)

Hampir semua anastetika inhalasi mengakibatkan sejumlah efek

samping dan yang terpenting adalah :

1. Menekan pernapasan, yang ada pada anastesi dalam terutama ditimbulkan

oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek ini paling ringan pada N2O dan

eter.

2. Sistem kardiovaskuler, terutama oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek ini

juga ditimbulkan oleh eter, tetapi karena eter juga merangsang SS simpatis,

maka efek keseluruhannya menjadi ringan.

3. Merusak hati (dan ginjal), terutama senyawa klor, misalnya kloroform.

4. Oliguri (reversibel) karena berkurangnya pengaliran darah di ginjal, sehingga

Page 5: Kuliah Obat Anastesi Raisya

pasien perlu dihidratasi secukupnya.

5. Menekan sistem regulasi suhu, sehingga timbul perasaan kedinginan

(menggigil) pasca-bedah.

1. Nitrous Oksida

Nitrous oksida merupakan gas inhalan yang digunakan sebagai agen

pemelihara anestesi umum dimana penggunaannya bersamaan dengan

oksigen atau udara. Efek anestesi nitrous oksida ini menurun bila digunakan

secara tunggal, sehingga perlu pula penambahan agen anstetik lainnya

dengan dosis rendah. Nitrous oksida memiliki efek analgetik yang baik.

N2O nerupakan zat anestesi lemah, menimbulkan efek analgesia dan

hipnotik lemah. Efek kardiovaskular minimal, sehingga perubahan pada

frekuensi jantung, irama dan curah jantung maupun EKG juga minimal.

Pernapasan tidak banyak dipengaruhi. Depresi napas terjadi pada pemakaian

N2O tanpa oksigen. Sensitivitas laring dan trakea terhadap manipulasi

menurun.(BARASH 2006)

2. Halotan

Halotan merupakan anestetik umum inhalasi dengan nama IUPAC

2-bromo-2-kloro-1,1,1-trifluoroetan. Halotan merupakan satu dari dua agen

anestetik inhalasi yang terdaftar dalam formulasi WHO 2004 untuk anestesi

induksi dan pemeliharaan, selain eter. Perbedaannya adalah, halotan

merupakan agen anestetik yang bersifat terfluorinasi.(MANGKU 2010)

Penggunaan halotan perlu mempertimbangkan fisiologis hepar,

karena halotan secara bermakna dapat memicu hepatitis fulminan. Halotan

juga bersifat mendepresi miokardial sehingga menyebabkan bradikardi dan

hipotensi. Peningkatan sensitivitas terhadap katekolamin mampu

menyebabkan aritmia jantung. Efek samping lainnya adalah PONVS

(Postoperative nausea, vomiting, and Shivering), peningkatan tekanan

intrakrnial, penurunan aliran darah renal dan GFR, hipertermia.

(DACHLAN 19890

Page 6: Kuliah Obat Anastesi Raisya

3. Isofluran

Seperti anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga mendepresi

napas.Volume tidal dan frekuensi napas dapat menurun menimbulkan

dilatasi bronkus, sehingga baik untuk kasus penyakit paru obstruksi

menahun. (DACHLAN 1989)

Depresi terhadap jantung minimal dibandingkan enfluran dan

halotan. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan takikardi. Isofluran

memiliki efek relaksasi otot yang baik dan berpotensiasi dengan obat

relaksan otot, namun tidak terlalu merelaksasi otot uterus pada kasus

obstetri(DACHLAN 1989)

Berbeda dengan enfluran, obat ini tidak menimbulkan perubahan

gambaran epileptiform pada EEG, serta tidak begitu mempengaruhi aliran

darah otak. Metabolisme yang minimal menyebabkan obat ini aman bagi

fungsi hepar dan ginjal (DACHLAN 1989)

4. Desfluran

Desfluran (2,2,2-trifluoro-1-fluoroetil-difluorometil eter) merupakan

etil metil eter berfluorinasi yang digunakan sebagai agen pemelihara

anestesi umum. Bersama dengan sevofluran, penggunaannya mulai

menggantikan isofluran, meskipun harganya lebih mahal. Desfluran

memiliki onset kerja yang sangat singkat dan kelarutan dalam darahnya

sangat rendah(KATZUNG 2007)

5. Sevofluran

Penggunaan sevofluran dapat diberikan bersama oksigen dan N2O.

Onset kerja obat sangat cepat, dan konsentrasinya dalam darah relatif

rendah(DACHLAN 1989)

Sevofluran dapat membentuk 2 senyawa hasil degradasi selama

anestesi dilakukan, yaitu senyawa A dan senyawa B, yang pembentukannya

akan meningkat terutama bila suhu terlalu tinggi atau sodalime telah rusak.

Senyawa A dapat menyebabkan nekrosis renal pada tikus, sedangkan pada

manusia, derajat kerusakan jaringan ginjal masih sedang dalam penelitian.

Dengan memperhatikan hal ini, sevofluran dianjurkan diberikan dengan

Page 7: Kuliah Obat Anastesi Raisya

minimum aliran gas 2 liter/menit, karena aliran yang rendah akan memicu

peningkatan temperatur sodalime MANGKU 2010

C. Anastesi Intravena

Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui

jalur intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik maupun pelumpuh otot.

Saat berada didalam pembuluh darah vena, obat ini melalui sirkulasi sistemik

akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan akan menuju target organ

masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya

masing-masing. Obat anestesi yang ideal memiliki sifat hipnotik dengan onset

cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian

dihentikan, analgetik, amnesia, memiliki antagonis, cepat dieliminasi, depresi

kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal, farmakokinetik tidak

dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ (DEWOTO 2012)

1. Propofol

Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang banyak

digunakan sebagai anastesia intravena. Propofol dikemas dalam cairan

emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10

mg) (PROPOFOL 2013)

Dosis induksi cepat propofol dapat menimbulkan sedasi (30-45

detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan

redistribusi dari sistem saraf pusat. Propofol lebih cepat dan sempurna

mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan

secara cepat kerena setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam

plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3

menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh

20-30 menit) yang menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh

jaringan terjadi dengan cepat (GILVEY 2010).

Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke

glukuronida dan sulfat untuk menghasilkan senyawa yang larut dalam air,

yang diekskresikan oleh ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak

Page 8: Kuliah Obat Anastesi Raisya

berubah dalam urin, dan hanya 2% diekskresikan dalam feses. Paru-paru

juga memainkan peran penting dalam metabolisme ekstrahepatik ini. Paru-

paru bertanggung jawab untuk sekitar 30% dari serapan dan eliminasi

pertama setelah dosis bolus. (MILLER)

Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan

cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis

yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi tanpa disetai efek analgetik.

Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi

oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan

intraokular sebanyak 35%. Namun, apnoe sering terjadi pada pemberian

propofol jika dibandingkan dengan obat intravena lainnya selama 30 detik,

tetapi dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau

sebelum induksi dengan propofol. Penggunaan propofol juga dapat

menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal sementara.(MILLER)

Dosis induksi 2-2,5 mg / kg dapat menyebabkan depresi pada

jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan

karena propofol menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%.

Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut

nadi. Pemberian drip melalui infus (dibandingkan dengan pemberian melalui

bolus) mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan

efek depresi jantung

Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun

dan kurang dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari

55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk

pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan

kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih

dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1

mg/menit/kgBB (GALVEY 2008)

Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa

detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena (LATIEF

2010). Insidens nyeri lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena

Page 9: Kuliah Obat Anastesi Raisya

yang lebih besar seperti di fossa antecubiti. Bradikardi serta hipotensi

kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi

dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping

eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang

dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa

pemulihan. MILLER 2010

2. Thiopental

Tiopental (pentotal, tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung atau

bubuk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 mg

atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai

kepekatan 2.5% (1 ml= 25 mg) LATIEF 2010. Keuntungan thiopental

diantaranya adalah induksi mudah dan cepat, tidak ada delirium, kesadaran

cepat pulih, tidak ada iritasi mukosa jalan nafas. Namun dapat menyebabkan

depresi pernafasan dan kardiovaskular, kecendurangan tejadinya spasme

laring, relaksasi otot perut kurang, dan tidak memiliki efek analgesik.

Waktu paruh thiopental sekitar 3-6 jam dengan onset berkisar antara

30-60 detik dan durasi kerja obat 20-30 menit.(7) Bergantung dosis dan

kecepatan suntikan, thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam

keadaan sedasi, hipnotik, anesthesia, atau depresi nafas.

Metabolisme cepat terjadi di hepar dengan sebagian kecil keluar

melalui urin tanpa mengalami perubahan. 10-15% dalam tubuh akan

dimetabolisme tiap jam. Efek analgetiknya sedikit dan terhadap SSP terlihat

adanya depresi dan kesadarannya menurun secara progresif.(3) (4 Kecepatan

kerja dari thiopental dipengaruhi oleh kadar obat dalam plasma dan

ikatannya dengan protein plasma. Akibat perbedaan konsentrasi, konsentrasi

obat yang lebih tinggi di plasma akan menyebabkan difusi ke SSP dalam

jumlah besar. 70% thiopental terikat albumin, sedangkan hanya thiopental

bebas yang dapat menembus blood brain barrier sehingga ikatan dengan

protein plasma dan kecepatan onset obat berbanding terbalik. (6) Tiopental

menurunkan kebutuhan oksigen otak sehingga perfusi ke otak juga

berkurang yang ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular otak,

Page 10: Kuliah Obat Anastesi Raisya

penurunan aliran darah ke otak dan penurunan tekanan

intrakranial.GALVEY 2008

Thiopental mendepresi pusat vasomotor dan kontraktilitas miokard

yang mengakibatkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan curah jantung

dan tekanan darah. Efek utama ialah depresi pernafasan karena efek

langsung ke pusat pernafasan dan penurunan sensitivitas terhadap kadar CO2

sehingga PCO2 akan meningkat dan pH darah akan naik. Efek ini akan

bertambah jelas apabila sebelumnya diberikan opioid atau obat depresan

yang lain.

Dosis yang dianjurkan untuk induksi yang lambat 2-6mg/kgBB,

sedangkan untuk induksi yang cepat 3-4 mg/kgBB dibagi dalam 2-4 dosis.

Larutan ini sangat alkalis dengan PH 10-11, sehingga suntikan keluar vena

akan menimbulkan rasa sakit, bengkak, kemerah-merahan, dapat terjadi

nekrosis. Untuk menghindari efek ini sebaiknya memakai larutan 2.5%.

sedangkan injeksi intraarteri akan menyebabkan rasa terbakar, terjadi

spasme arteri dan kemungkinan thrombosis.

3. Benzodiazepine

Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi

sekaligus, yaitu anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui

medula spinalis, dan amnesia retrograde. Benzodiazepine banyak digunakan

dalam praktik klinik. Keunggulan benzodiazepine dari barbiturate yaitu

rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah,

margin dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan tidak

menginduksi enzim mikrosom di hati. Benzodiazepin telah banyak

digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan

menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Dalam masa

perioperatif, midazolam telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain

itu, benzodiazepine memiliki antagonis khusus yaitu flumazenil. (TJAY TH

2002)

Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada

penggunaan lama benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas

Page 11: Kuliah Obat Anastesi Raisya

setidaknya selama 2 minggu. Penggunaan yang lama benzodiazepine tidak

akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme jantung dan

ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan

penyakit paru kronis. (KATZUNG 2007)

4. Ketamin

Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering

menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca

anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi

buruk. (LATIEF 2010)

Onset pada pemberian intravena adalah 30 detik dengan durasi kerja

didapatkan lebih singkat yakni 5-10 menit. (GALVEY 2008). Metabolisme

terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum endoplasma

halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun 30%

lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh

glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan

melalui urin (MILLER 2010).

Ketamine memiliki efek analgetik yang kuat tapi efek hipnotiknya

kurang dan anestesia disosiasi. Bila diberikan intravena maka dalam 30 detik

akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada

mata berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus.

Kadang-kadang juga dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic

appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Pada

pasien yang diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde. Sering

mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan

sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan

peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan

intrakranial. Tekanan darah akan naik dengan rerata antara 20-25% dan akan

turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat

karena adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi

baroreseptor. Dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opioid. Ketamin

menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek

Page 12: Kuliah Obat Anastesi Raisya

konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan

untuk mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih

ringan CALVEY

Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-

4mg/kgBB. Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau

midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi

salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB. Ketamin dipakai untuk

prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi

jaringan sikatriks daerah leher, prosedur diagnostic pada bedah saraf atau

radiologi (radiografi), tindakan ortopedi, misalnya reposisi, pada pasien

dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital,

untuk tindakan operasi kecil, di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada,

dan pada pasien asma. Sebaliknya tidak dianjurkan pada pasien hipertensi

(>160mmHg/100mmHg), pasien dengan riwayat CVD, dan hati-hati pada

pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah faring

karena reflex masih baik MILLER 2010

D. Anastesi Lokal

dsfsdfsdf

E. Analgetika

jnvklxd

BAB III

KESIMPULAN

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 10 th edition.

Singapore : Mc Graw Hill Lange. 2007.

Page 13: Kuliah Obat Anastesi Raisya

2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th edition.

2006. USA: McGraw-Hill Companies, Inc

3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi

kedua. 2001. Jakarta: FKUI

4. Miller Ronald D. Miller’s Anasthesia. 7th edition. Volume 1. 2010. USA:

Churchill Livingstone

5.

6.

7. Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Obat-obat

anestetika. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta.

2010.

8. Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. Basic principles of

clinical pharmacology. Dalam Clinical Anesthesia 5th edition. Lippincott

Williams & Wilkins. 2006.

1. Dachlan R. Farmakologi obat-obat anestesia. Dalam Anestesiologi FKUI.

Editor: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dachlan R. Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989

2. Santoso S, Hadi RD. Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Indonesia., Jakarta, 1995.

3. Kedokteran dan Linux. Barbiturat. 2007. (Diakses dari

www.medlinux.blogspot.com, tanggal 6 November 2015)

4. Tjay TH, Rahardja K. Sedativa dan Hipnotika. In : Obat-obat Penting Edisi

Ke-5. Jakarta : Gramedia; 2002.

5. Kedokteran dan Linux. Ketamin. 2009. (Diakses dari

www.medlinux.blogspot.com, tanggal 6 November 2015)

6. Stoelting RK, Hillier SC. Nonbarbiturate Intravenous Anesthetic Drugs. In :

Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia :

Lipincott William & Wilkins; 2006.

7. Stoelting RK, Hillier SC. Opioid Agonists and Antagonists. In :

Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia :

Lipincott William & Wilkins; 2006.

Page 14: Kuliah Obat Anastesi Raisya