kuliah hukum diplomatik 3 september 2009

Upload: velcy

Post on 12-Jul-2015

289 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

HUKUM DIPLOMATIKPENGANTAR KULIAHNugroho Wisnumurti

Fakultas Hukum UI 3 September 2009

Hukum Diplomatik bagian dari Hukum Internasional Hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum

internasional yang secara khusus, rinci dan komprehensif mengatur berbagai aspek penting dari hubungan diplomatik antar Negara. Tujuan : untuk mendukung pengembangan hubungan yang bersahabat diantara Negaranegara, sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsipprinsip Piagam PBB tentang kesetaraan berdaulat Negara-negara (sovereign equality of States), pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan pemajuan hubungan bersahabat diantara Negara-negara.

Instrumen Hukum Utama Hukum Diplomatik pada dasarnya diatur dalam

beberapa instrumen hukum, yaitu Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961, Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler (1963) dan Konvensi Wina tentang Misimisi Khusus (1969). Untuk kuliah ini kita akan memusatkan perhatian pada konvensi yang utama, yaitu Konvensi tentang Hubungan Diplomatik.

Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik 1 Hukum Diplomatik sebenarnya tidak serta-merta lahir dari

konvensi-konvensi Wina tersebut. Hukum Diplomatik sudah berkembang sejak beberapa abad yang lalu, dan untuk pertama kali dituliskan atau digambarkan oleh Vattel dalam bukunya Le Droit des Gens pada tahun 1758.

Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik 2 Hukum Diplomatik berkembang dari praktek

Negara sejak beberapa abad yang lalu dan didorong oleh kepentingan-kepentingan perdagangan, politik dan keamanan Negaranegara yang saling berhubungan dan berinteraksi. Melalui praktek Negara ini hukum diplomatik berkembang sebagai hukum kebiasaan internasional yang secara terus menerus dihormati oleh masyarakat internasional meskipun semula tanpa adanya perjanjian internasional.

Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik 3 Hukum Diplomatik tumbuh dari pelaksanaan asas

resiprositas, asas yang telah memperkuat sendi-sendi hukum diplomatik dan hubungan internasional, termasuk dalam hal pemberian hak-hak istimewa dan imunitas atau kekebalan diplomatik.

Wakil Raja atau Negara yang dikirim sebagai utusannya ke

Negara lain (Negara penerima) yang disebut Duta Besar semula tidak berkedudukan tetap di Ibukota Negara tersebut, tetap kembali kenegerinya setelah menyelesaikan tugasnya. Meskipun demikian untuk memperlancar tugastugasnya, kantor perwakilannya di Negara tersebut tetap berfungsi.

Sejarah Perkembangan Hukum Diplomatik 4 Perwakilan-perwakilan diplomatik ini semula

berkembang di city-states atau negara-kota Italia pada abad XV antara lain di Milan, Venesia, Genoa. Dalam perkembangannya, negara-kota Italia mulai menempatkan Duta Besarnya di tempat akreditasinya. Pada tahun 1478 Venesia telah menempatkan Duta Besarnya secara tetap untuk jangka waktu tertentu di Perancis.

Upaya Kodifikasi 1 Praktek hubungan diplomatik dengan

menempatkan perwakilan tetap di Negara penerima atau Negara akreditasi mulai berkembang di Eropa pada pertengahan abad XVII setelah Treaty of Westphalia pada tahun 1648. Namun upaya untuk mengkodifikasikan praktek Negara yang sudah bekembang menjadi hukum kebiasaan internasional ini dalam hukum tertulis beberapa kali mengalami kegagalan.

Upaya Kodifikasi 2 Upaya pertama dilakukan di Kongres Wina pada tahun

1815. Kongres Wina ini akhirnya hanya berhasil mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan tentang kelas dan urutan/hirarki kepala perwakilan, yang kemudian dilengkapi dengan protokol Aix-La-Chapel pada tahun 1818.

Upaya Kodifikasi 3 Selain itu Institute of International Law tahun

1895 dan 1929 telah meng-adopt resolusiresolusi yang merumuskan secara komprehensif praktek Negara mengenai hubungan diplomatik. Kemudian pada tahun 1927 Liga Bangsa Bangsa mengupayakan kodifikasi hukum diplomatik, namun juga mengalami kegagalan setelah Dewan Liga Bangsa Bangsa menolak hasil-hasil yang dicapai oleh Komisi Ahli.

Upaya Kodifikasi 4 Alasan Dewan Liga Bangsa Bangsa adalah bahwa belum

waktunya dirumuskan kesepakatan secara global mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks. Mengingat hal itu masalah ini tidak dimasukkan dalam Agenda Konperensi Den Haag pada tahun 1930 untuk kodifikasi hukum internasional.

Upaya Kodifikasi 5 Upaya mengkodifikasikan hukum diplomatik baru

mencapai titik terang setelah Majelis Umum PBB pada tahun 1947 membentuk Komisi Hukum Internasional yang akan membahas antara lain masalah hubungan diplomatik dan kekebalan diplomatik. Namun masalah ini semula tidak mendapatkan prioritas dalam pekerjaan Komisi Hukum Internasional.

Upaya Kodifikasi 6 Baru setelah banyak terjadi insiden diplomatik

dan pelanggaran hukum kebiasaan internasional mengenai hubungan diplomatik, atas usul Yugoslavia, Majelis Umum PBB tahun 1952 meminta Komisi Hukum Internasional agar memberikan prioritas pada kodifikasi mengenai hubungan diplomatik dan kekebalan diplomatik, yang dilakukannya sejak tahun 1954. Pekerjaan Komisi ini setiap tahun di bahas di Komite VI (Hukum) Majelis Umum PBB setiap musim gugur di Markas Besar PBB di New York.

Upaya Kodifikasi 7 Hasil akhir pekerjaan Komisi ini akhirnya dibawa ke UN

Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities yang diadakan di Wina pada tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961. Konperensi ini akhirnya menghasilkan tiga instrumen hukum, yaitu Vienna Convention on Diplomatic Relations, Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationalty dan Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes. Konvensi-konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 25 Januari 1982 dengan Undang-undang No.1 Tahun 1982.

Upaya Kodifikasi 8 Hukum Diplomatik kemudian dilengkapi dengan

Convention on Special Missions yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 8 Desember 1969. Ketentuan-ketentuan Konvensi ini banyak mengambil dari Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik. Konvensi tersebut diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 25 Januari 1982 dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1982.

Upaya Kodifikasi 9 Konvensi-konvensi hukum diplomatik ini telah diratifikasi

oleh hampir seluruh anggota PBB sehingga bersifat universal. Konvensi-konvensi ini bahkan telah ditaati oleh negara-negara meskipun Negara tersebut belum menjadi Negara Pihak.

Posisi Indonesia Meskipun Indonesia baru meratifikasi konvensi-konvensi

diplomatik pada tahun 1982, Indonesia sebelumnya telah melaksanakan ketentuan-ketentuanya sebagai ketentuanketentuan hukum kebiasaan internasional yang mengikat Indonesia. konvensi-konvensi itu menjadi bagian dari hukum nasional. Luar Negeri telah memperkuat komitmen Indonesia terhadap konvensi-konvensi hukum diplomatik dengan memuat satu Bab tersendiri mengenai hak-hak instimewa, kekebalan diplomatik dan pembebasan dari kewajibankewajiban tertentu.

Setelah Indonesia meratifikasi konvensi-konvensi tersebut, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Hubungan

Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik 1 Hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik merupakan

pilar-pilar hukum diplomatik. Mengenai alasan mengapa hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik diberikan kepada kepala perwakilan, pejabat diplomatik dan premises atau kantor perwakilan diplomatik (gedung dan halamannya) di Negara penerima, terdapat tiga teori.

Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik 2 Pertama adalah teori exterritoriality. Berdasarkan teori ini,

seorang kepala perwakilan dan pejabat diplomatik yang ditempatkan di negara penerima dan berada di wilayah negeri itu dianggap tetap berada di negerinya sendiri (negara pengirim), sehingga tetap tunduk pada hukum negeri asalnya dan kebal terhadap yurisdiksi hukum negara penerima.

Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik 3 Sedangkan premises, meskipun terletak di wilayah Negara

penerima, dianggap sebagai perpanjangan dari wilayah Negara pengirim, sehingga tidak tunduk pada yurisdiksi hukum Negara penerima. Teori exterritoriality ini banyak dikritik karena tidak realistis dan hanya didasarkan pada suatu fiksi atau pranggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik 4 Teori kedua adalah teori sifat representatif atau

representative character. Berdasarkan teori ini, kepala perwakilan dan pejabat diplomatik serta premises Negara pengirim merupakan personifikasi dari Negara pengirim.

Atas dasar ini kepala perwakilan, pejabat

diplomatik dan kantor perwakilannya di Negara penerima berhak diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan dari hukum Negara penerima. Teori ini juga kurang diterima oleh masyarakat internasional.

Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik 5 Teori ketiga yang akhirnya diterima oleh masyarakat

internasional adalah teori functional necessity atau kebutuhan fungsional. Berdasarkan teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik diberikan kepada kepala perwakilan, pejabat diplomatik dan premises oleh Negara penerima agar perwakilan Negara pengirim dapat melaksanakan tugas atau fungsinya.

Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik 6 Kriteria fungsi ini dipertegas dalam Mukadimah Konvensi

Wina 1961 yang menyatakan bahwa tujuan dari pemberian keistimewaan-keistimewaan dan kekebalan-kekebalan tersebut bukan untuk menguntungkan orang perorang, tetapi untuk memastikan pelaksanaan yang effisien dari fungsi-fungsai misi diplomatik dalam mewakili negara pengirim.

Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik 7 Komisi Hukum Internasional dalam merumuskan draft

Konvensi tentang Hubungan diplomatik akhirnya memilih teori functional necessity, sambil juga mempertimbangkan teori representative character, yang kemudian diterima oleh Konperensi Wina yang menghasilkan Vienna Convention on Diplomatic Relations.

Hak Istimewa dan Kekebalan Diplomatik 8 Kriteria fungsi ini dipertegas dalam Mukadimah Konvensi

Wina 1961 yang menyatakan bahwa tujuan dari pemberian keistimewaan-keistimewaan dan kekebalan-kekebalan tersebut bukan untuk menguntungkan orang perorang, tetapi untuk memastikan pelaksanaan yang effisien dari fungsi-fungsai misi diplomatik dalam mewakili negara pengirim.

Praktek Negara 1 Praktek Negara menunjukkan bahwa adakalanya

hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik tidak dilaksanakan secara absolut. Namun terdapat beberapa Negara yang menganut teori restrictive immunity yang memberlakukan ketentuanketentuan konvensi-konvensi ini secara selektif, sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Misalnya Swiss yang membatasi beberapa aspek dari ketentuan-ketentuan tentang kekebalan diplomatik, terutama bagi perwakilan asing untuk PBB di Jenewa.

Praktek Negara 2 Sebagai contoh, Pemerintah Swiss pernah memblokir

rekening bank satu perwakilan asing karena tidak mentaati keputusan pengadilan setempat, meskipun perwakilan asing tersebut telah memberlakukan hak kekebalan diplomatik. Akibat dari pelaksanaan yang selektif dalam berbagai kasus lain, Pemerintah Swiss terus-menerus menghadapi protes dari masyarakat diplomatik di Jenewa.

Praktek Negara 3 Beberapa Negara melakukan pembatasan terhadap

kekebalan diplomatik melalui peraturan perundangundangan, seperti Inggris, Australia, Kanada. Dengan demikian praktek Negara tentang batas-batas kekebalan diplomatik ini tidak konsisten sehingga dirasa belum waktunya untuk membuat ketentuan-ketentuan yang tegas tentang hal ini.

Praktek Negara 4 Hukum Diplomatik tidak hanya mengatur tentang

hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik saja, tetapi juga mengatur berbagai aspek tentang hubungan diplomatik, antara lain tentang pembukaan hubungan diplomatik, fungsi perwakilan diplomatik, pengangkatan kepala perwakilan, Persona Non Grata, tentang tidak boleh diganggu-gugatnya kantor perwakilan diplomatik (inviolability of the mission premises) dan pejabat diplomatik, kebebasan bergerak, kebebasan komunikasi, kurir diplomatik dsb. Ini semua akan dicakup dalam kuliah-kuliah mendatang.

Penutup Diharapkan kuliah-kuliah tentang hukum diplomatik ini,

yang akan dilengkapi dengan diskusi dan tugas-tugas terstruktur, akan melengkapi pengetahuan para mahasiswa yang mempunyai minat untuk mendalami aspek-aspek hukum dari hubungan diplomatik antar-negara. Jakarta, 3 September 2009