md- peran pbb dalam penegakkan hukum diplomatik

Upload: chalexar

Post on 05-Jul-2015

312 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KARYA ILMIAH

PERAN PBB DALAM RANGKA MENEGAKKAN HUKUM DIPLOMATIK

OLEH Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH

YAYASAN GMIM Ds. A.Z.R. WENAS UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON FAKULTAS HUKUM TOMOHON 2006

i

PENGESAHAN

Panitia Penilai Karya Ilmiah Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Tomohon Telah memeriksa dan menilai karya ilmiah dari : Nama Jabatan : Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH : Asisten Ahli PBB DALAM RANGKA

Judul Karya Ilmiah : PERAN

MENEGAKKAN HUKUM DIPLOMATIK. Dengan Hasil : Memenuhi Syarat

Manado, Januari 2006 Dekan / Ketua Tim Penilai

JULIUS KINDANGEN, SH

ii

KATA PENGANTARDipanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kekuatan dan hikmat kebijaksanaan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Penulisan karya ilmiah yang berjudul "Peran PBB Dalam Rangka Menegakkan Hukum Diplomatik ini dimaksudkan untuk mengadakan pengkajian terhadap seberapa besar usaha PBB dalam menyebarluaskan Hukum Diplomatik sebagai bagian dari penegakan Hukum Diplomatik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan karya ilmiah ini, khususnya kepada Panitia Penilai Karya Tulis Ilmiah Fakultas Hukum UKIT, lebih khusus lagi kepada Bapak JULIUS KINDANGEN, SH, selaku Dekan/Ketua Tim Penilai Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan koreksi dan masukanmasukan terhadap karya ilmiah ini. Sebagai manusia biasa tentu saja dalam usaha penulisan karya ilmiah ini terdapat kekurangan dan kelemahan, baik itu materi maupun teknik penulisannya, untuk itu maka segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif amat penulis harapkan demi kesempurnaan penulisan ini. Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa, selalu menyertai segala usaha dan tugas kita.

Manado, Maret 2006 Penulis, ( Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH )

iii

DAFTAR ISIHalaman : JUDUL ................................................................................................. PENGESAHAN................................................................................... KATA PENGANTAR ......................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................................ BAB I : PENDAHULUAN .............................................................. A. Latar Belakang Masalah ............................................... B. Perumusan Masalah......................................................... C. Tujuan Penulisan ............................................................. D. Manfaat Penulisan ........................................................... E. Metode Penelitian ............................................................... BAB II : PEMBAHASAN ................................................................... A. Konvensi Wina Tahun 1961 Mengenai Hubungan Diplomatik ..... B. Usaha-Usaha Internasional Melalui PBB Dalam Rangka Pentaatan Hukum Diplomatik............................ C. Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Hukum Diplomatik BAB III : PENUTUP . A. Kesimpulan ........................................................................ B. Saran .................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 16 18 18 20 22 10 5 i ii iii iv 1 1 3 4 4 4 5

iv

BAB I PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG MASALAH Usaha-usaha untuk mengadakan kodifikasi terhadap prinsip-prinsip diplomasi yang dipandang cukup berarti adalah pada tahun 1927 pada masa Liga Bangsa-Bangsa. Di mana pada waktu itu telah dibentuk komite ahli untuk melaporkan bahwa subjek hukum diplomatik melalui cabang- cabang dari pergaulan diplomatik antar negara haruslah diatur secara internasional. Sementara itu konperensi negara-negara Amerika yang diadakan di Havana tahun 1928 telah membahas masalah kodifikasi hukum diplomatik secara panjang lebar dan kemudian menetapkan dua konvensi, satu mengenai pejabat diplomatik dan yang lain mengenai pejabat konsuler. Konperensi Havana ternyata telah berhasil untuk pertama kalinya diplomatik. Bagi yang tetap mempertahankan hukum kebiasaan internasional tidak menghendaki terciptanya kodifikasi hukum diplomatik dan berpendapat bahwa hukum kebiasaan internasional berlaku lebih luas (umum). Namun di lain pihak karena meningkatnya hubungan antar negara yang disebabkan oleh laju tumbuhnya negara-negara yang baru merdeka, hubungan diplomatik antar negara tersebut perlu dituangkan dalam konvensi internasional dan menganggap bahwa usaha Kodifikasi Hukum Diplomatik merupakan hal yang mutlak diperlukan. Dalam rangka kodifikasi hukum diplomatik saat ini telah diciptakan sejumlah konvensi tentang hukum diplomatik. Dengan telah dikeluarkannya berbagai konvensi itu telah menandai perkembangan kemajuan prinsip-prinsip. Hukum Diplomatik; termasuk kodifikasinya yang tidak saja hanya merupakan ketentuan-ketentuan yang penting yang mengatur hubungan antar bangsa akan tetapi lebih dari itu telah diperluas lagi dengan hubungan konsuler antar negara mengadakan kodifikasi hukum

1

termasuk misi-misi khusus, dan pencegahan serta penghukuman bagi tindaktindak kejahatan yang dilakukan terhadap para diplomat. Demikian juga ketentuan-ketentuan lain yang mengatur tentang para delegasi negara-negara yang akan menghadiri konperens-konperensi internasional. Timbulnya tindakan-tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan para pejabat diplomatik pada waktu lalu antara lain disebabkan timbulnya aspirasi-aspirasi politik yang tidak dapat terpenuhi khususnya dalam rangka penentuan hak nasib sendiri, seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Organisasi Rakyat Afrika Barat Daya (SWAPO), sehingga mereka kadang-kadang terpaksa harus melakukan tindakan-tindakan kekerasan, tindakan penyanderaan dan lain-lain yang mengancam keselamatan para diplomat di negara yang bersangkutan. Tindakan semacam ini dilakukan dalam rangka mencapai tujuan aspirasi mereka yang dicita-citakan terutama dalam memperoleh kemerdekaan mereka. Tindakan-tindakan yang ditujukan kepada para diplomat juga dapat pula disebabkan karena adanya pertentangan ideologi, gerakan-gerakan perdamaian yang tidak menghendaki perlombaan-perlombaan senjata nuklir di mana organisasi semacam ini tidak pernah dihiraukan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian mereka sering mengadakan "Political Blakcmail" berupa tindak-tindak kekerasan yang dilakukan terhadap para diplomat dari negara yang bersangkutan. Tindakan-tindakan semacam ini sering dilakukan dengan sengaja dalam usaha-usaha mengadakan tekanan-tekanan agar tujuannya dapat tercapai. Di samping itu perkembangan gerakan separatisme yang makin meluas di seluruh dunia dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan juga tidak jarang melakukan tindakan-tindakan yang sama terutama yang ditujukan kepada para diplomat sehingga mengancam keselamatan mereka dalam menjalankan tugas diplomatiknya. Di samping itu perkembangan gerakan separatisme yang makin meluas di seluruh dunia dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan juga tidak jarang

2

melakukan tindakan-tindakan yang sama terutama yang ditujukan kepada para diplomat sehingga mengancam keselamatan mereka dalam menjalankan tugas diplomatiknya. Dalam tahun 1980-an laju tindak terorisme cukup menonjol khususnya dilakukan terhadap para diplomat, merupakan tindakan yang sangat membahayakan fungsi mereka dalam melakukan tugas-tugas diplomatiknya sehari-hari. Sebagai contoh dalam tahun 1980 terdapat 400 tindak terorisme yang ditujukan kepada pejabat diplomatik dan konsuler yang meliputi 60 negara. Sedangkan 6 bulan pertama tahun 1981 terdapat 191 tindak terorisme dengan obyek yang sama termasuk yang menyangkut perwakilan atau missi asing. Gejala ini terus meningkat dalam tahun-tahun berikutnya tidak saja memakan korban jiwa yang besar tetapi juga korban harta benda serta kerusuhan-kerusuhan pada perwakilan asing, bahkan baru-baru ini di Zaire, seorang Duta Besar Perancis tewas kena tembakan yang diarahkan ke gedung kedutaan. Dalam rangka penataan Konvensi Wina termasuk perkembangannya tidak saja para diplomat negara-negara tertentu menjadi obyek atau sasaran sehingga menimbulkan bencana, membahayakan keselamatan para diplomat tetapi juga gedung-gedung termasuk harta milik dan barang-barang lainnya. B. PERUMUSAN MASALAH Melihat perkembangan gejolak dewasa ini khususnya yang menyangkut kurang ditaatinya Konvensi Wina 1961 termasuk perkembangannya, di mana banyak muncul tindakan-tindakan pelanggaran yang mengancam keselamatan para diplomat, perlu diberikan upaya-upaya yang terkonsolidasi dalam rangka mengurangi pelanggaran-pelanggaran tersebut. Sehingga yang menjadi permasalahan adalah apakah PBB dapat menjadi mekanisme yang paling tepat untuk mengadakan koordinasi dan konsolidasi dalam mencari upaya-upaya itu. Serta sejauhmanakah usaha-usaha PBB dalam menegakkan hukum diplomatik.

3

C. TUJUAN PENULISAN Tujuan penulisan ini ialah sebagai berikut : a. Mencari pemecahan masalah penegakan hukum diplomatik oleh PBB sehubungan dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap kekebalan dan keistimewaan diplomatik, dewasa ini. b. negara. D. MANFAAT PENULISAN. Sedangkan kegunaan penulisan ini adalah sebagai berikut : c. Menambah wawasan dan perbendaharaan dalam Hukum Diplomatik khususnya tentang penegakkan hukum diplomatik sebagai sarana pergaulan antar bangsa. d. hukum Merupakan bahan pemikiran ilmiah dalam mengembangkan diplomatik khususnya tentang kekebalan dan keistimewaan Untuk mengkaji dan menganalisa praktek hubungan-hubungan diplomatik dalam masyarakat internasional sebagai sarana hubungan antar

diplomatik, baik pada mulai maupun berakhirnya, serta sebagai pendorong ke arah penelitian lebih lanjut. E. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni suatu metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada sekarang, dan pelaksanaannya tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, melainkan juga kajian dan interpretasi data tersebut. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder atau data yang diperoleh dari hasil penelitian hukum normatif, kemudian dianalisis.

4

5

BAB II PEMBAHASANA. KONVENSI WINA TAHUN 1961 MENGENAI HUBUNGAN DIPLOMATIK Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak mempunyai dampak terhadap perhubungan antar negara dan perkembangan anggota masyarakat internasional dengan laju pertumbuhan negara-negara yang baru merdeka, maka dirasakan adanya tantangan untuk mengembangkan lagi Hukum Diplomatik secara luas. Pengembangan ini tidak saja ditujukan untuk memperbaharui tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsip-prinsip dan ketentuan Hukum Diplomatik yang ada. 1 Meningkatnya kerjasama antar negara dalam menggalang perdamaian dunia demi kesejahteraan umat manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial, maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan Diplomatik khususnya perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum didirikannya Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun sejak Konggres Wina 1815 telah menetapkan tingkatan secara umum mengenai penggolongan Kepala-Kepala Perwakilan Diplomatik secara mutakhir. Berdasarkan Protokol Wina 19 Maret 1815 bahwa : "Diplomatic Agent are devided into three class that of ambassadors, legates, or nuncious, that of envoys, ministers or other persons accredited to Ministers of Foreign affairs". 2 Kemudian penggolongan itu diperkuat lagi dalam Konggres Aix La Cha pella pada tanggal 21 Nopember 1818 di mana telah ditetapkan lagi pangkat lainnya yaitu : "Minister resident" yang merupakan pangkat di antara "Minister"1

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Alumni, Bandung, 1983, hal. 4. Lihat Pasal 1 Protokol Wina 1815

2

6

dan "charge d'affaires". Sedang "Legates" dan "Nuncious" sebagaimana ditetapkan dalam Protokol Wina merupakan wakil-wakil dari Pope (Paus). 3 Demikian Konggres Wina tersebut pada hakekatnya telah merupakan tonggak sejarah diplomasi modern, karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara sistimatik termasuk praktek-praktek, cara-cara secara umum di bidang diplomasi. Perkembangan selanjutnya dalam rangka usaha untuk mengadakan kodifikasi terhadap prinsip-prinsip diplomatik, yaitu pada tahun 1927 Liga Bangsa-bangsa telah membentuk Komite Ahli yang bertugas untuk membahas perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatk, di mana telah dilaporkan bahwa dalam subjek hukum diplomatik yang meliputi cabang-cabang dari pergaulan diplomatik antara negara haruslah diatur secara internasional. Kemudian pada tahun 1928 di mana diadakan Konperensi Negara-Negara Amerika yang diadakan di Havana, tidak saja telah menganggap bahwa masalah itu sangat penting, tetapi setelah dengan panjang lebar menetapkan dua buah Konvensi yaitu : 1. Konvensi mengenai Pejabat Diplomatik 2. Konvensi mengenai Pejabat Konsuler. Dari kedua konvensi di atas ini telah diratifikasi oleh 12 negara Amerika, di mana Amerika Serikat cenderung untuk tidak meratifikasinya dengan alasan bahwa dicantumkannya ketentuan mengenai pemberian suaka diplomatik dianggap tidak tepat dan dapat menimbulkan keberatan. Namun demikian Konperensi Havana itu kemudian tidak saja dapat merintis tetapi juga lebih dari itu telah berhasil untuk pertama kalinya dalam usaha Kodifikasi Hukum Diplomatik. 4 Pada tahun 1947 setelah berdirinya PBB, dalam Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Organisasi Internasional telah dipikirkan suatu peluang dengan ketentuan Piagam yang akan dirumuskan. Adanya usaha untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum internasional beserta kodifikasinya yang sudah barang tentu termasuk di dalamnya prinsip-prinsip Hukum Diplomatik.E. Satow S, Guide to Diplomatic Practice, edited by Lord Gore Booth, 5 th ed. Longman, N.V., 1979, hal. 162.4

membahasnya telah

3

Sumaryo Suryokusumo, Op-Cit,, hal. 7.

7

Dalam rangka itulah, maka dibentuklah Komisi Hukum Internasional yang bertugas untuk melaksanakan studi-studi yang mendorong perkembangan kemajuan hukum internasional, tetapi juga untuk membuat kodifikasinya, termasuk di dalamnya Hukum Diplomatik. Perkembangan kemajuan hukum internasional diartikan sebagai 'persiapan rancangan Konvensi mengenai masalah-masalah yang belum diatur oleh hukum internasional atau mengenai hukum yang belum berkembang dalam praktek negara-negara. Sedangkan yang diartikan dengan kodifikasi Hukum Internasional adalah 'perumusan yang lebih tepat dan sistimatisasi dari peraturan hukum internasional diberbagai bidang yang sudah secara luas menjadi praktek, teladan dan doktrin negara. Selama 30 tahun (sejak tahun 1949 sampai dengan tahun 1979) Komisi Hukum Internasional telah menyelesaikan 27 topik dan sub-topik hukum internasional, di antaranya adalah menyangkut hukum diplomatik : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pergaulan dan kekebalan diplomatik. Pergaulan dan kekebalan konsuler. Misi-misi khusus. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian I). Masalah perlindungan dan tidak diganggu-gugatnya para anggota diplomatik dan orang-orang lainnya yang berhak memperoleh perlindungan khusus menurut hukum internasional. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang tidak diikut sertakan pada kurir diplomatik. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian II).5 Dalam persidangannya yang pertama pada tahun 1949, Komisi memilih topik hubungan dan kekebalan diplomatik sebagai salah satu topik yang akan dibicarakan. Dalam persidangan yang kelima, pada tahun 1953, Komisi telah diberitahu tentang Resolusi Majelis Umum No. 685 (VII), 5 Desember 1953, yang di dalamnya Majelis Umum meminta kepada Komisi agar menyetujui kodifikasi hubungan dan kekebalan diplomatik secepat mungkin dan menjadikannya sebagai topik yang mendapat prioritas pertama.

5

Eddy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandar Maju, Bandung, 1992,

hal. 35.

8

Dalam persidangan yang keenam, pada tahun 1954, Komisi menunjuk A.E.F. Sandstrom sebagai Special Repporteur. Berdasarkan suatu laporan yang disusun oleh Special Reppoteur, Komisi, pada sidang-sidangnya yang kesembilan yaitu pada tahun 1959, menyiapkan suatu kerangka pasal-pasal yang dilengkapi dengan komentar. Rancangan atau kerangka tersebut telah disebarkan ke pelbagai pemerintah untuk dikomentari dan juga diikutsertakan dalam laporan yang dikirimkan Komisi kepada Sidang Majelis Umum yang keduabelas dalam tahun 1957. Pada sidangnya kesepuluh tahun 1958, Komisi memperbaharui rancangan tersebut berdasarkan komentar-komentar dan observasi-observasi yang diterima dari berbagai pemerintah dan berdasarkan diskusi rancangan tersebut dalam Komisi keenam, pada tahun 1957. Rancangan akhir ini, oleh Komisi dikirimkan kepada Majelis Umum pada persidangannya yang ketigabelas. Komisi menganjurkan agar Majelis Umum menyebarkan rancangan akhir tersebut kepada negara-negara anggota PBB disertai dengan pendapat-pendapat terhadap kesimpulan suatu konvensi. Komisi menunjukkan bahwa rancangan tersebut hanya menyangkut misi diplomatik permanen. Akan tetapi Komisi tersebut juga telah meminta Special Repporteur untuk mempelajari dan meminta pada salah satu sidang mendatang, membuat suatu laporan tentang bentuk hubungan diplomatik, yaitu apa yang dinamakan "diplomacy ad-hoc" yang meliputi interant envoys, konperensikonperensi diplomatik dan misi-misi khusus yang dikirmkan ke suatu negara untuk maksud-maksud tertentu. Laporan Komisi juga menyangkut hubungan antara negara dengan organisasi-organisasi internasional dan hak-hak istimewa dan kekebalan organisasi-organisasi tersebut. Dalam hal ini, Komisi semata-mata menunjukkan bahwa unsur-unsur ini, diatur oleh konvensi-konvensi khusus. Selama perdebatan Komisi keenam, pada tahun 1958 tentang laporan Komisi Hukum Internasional, beberapa wakil menunjukkan keraguannya terhadap apakah layak mengkodifikasikan peraturanperaturan yang menyangkut hubungan dan kekebalan diplomatik melalui konvensi.

9

Di sini dituturkan bahwa masalah tersebut cukup diatur oleh kebiasaankebiasaan dan bahwa peraturan-peraturan yang dicapai dalam suatu konvensi akan melahirkan unsur-unsur kelakuan suatu dimiliki oleh anggota-anggota misi diplomatik. Perombakan kebiasaan yang ada dengan alasan di atas lebih disukai terhadap peraturan-peraturan yang dicapai oleh konvensi tersebut. Akan tetapi, mayoritas anggota lebih suka untuk mengkodifikasikan subjek tersebut melalui konvensi, tetapi dengan membaginya menjadi dua kelompok, berdasarkan prosedur yang akan ditempuh. Satu kelompok mengusulkan agar persiapan konvensi hendaknya dipercayakan kepada Komsisi Keenam kelompok yang lain lebih menyukai hasil-hasil kesepakatan yang dicapai dalam suatu konvensi. Dewan Umum, melalui resolusi 1288 (VIII) 5 Desember 1958, menolaknya sampai sidang yang keempat belas, pada tahun 1959, di mana rekomendasi komisi disetujui dan diputuskan, dalam resolusi 1450 (XIV), tanggal 7 Desember 1959, di mana rekomendasi komisi disetujui dan diputuskan, dalam resolusi 1950 (XIV), tanggal 7 Desember 1959 yang diteruskan hingga tahun 1961. Laporan akhir komisi tentang hubungan dan kekebalan diplomatik, yang mengandung empat puluh lima rancangan pasal-pasal, didasarkan kepada konperensi oleh Dewan. Setahun kemudian melalui resolusi 1504 (XV) 12 Desember 1960, Dewan juga menyusun rancangan pasal-pasal berdasarkan konperensi tersebut berdasarkan misi khusus yang disetujui oleh Komisi pada persidangannya yang keduabelas, sehingga mereka dapat bersama-sama membahas rancangan pasal-pasal atas hubungan diplomatik permanen. Pada tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961, Konperensi PBB tentang Hubungan Diplomatik dan Kekebalannya diadakan di Wina. Konperensi ini dihadiri oleh delegasi dari 18 negara, 75 diantaranya adalah anggota-anggota PBB dan enam lagi adalah delegasi dari badan-badan yang berhubungan dengan Mahkamah Internasional. Konperensi mengambil suatu konvensi yang berjudul "Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik", yang terdiri dari lima puluh artikel dan usaha untuk memperkenalkan pembatasan atau hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang pada masa itu

10

menyangkut hampir semua aspek-aspek yang menyangkut hubungan diplomatik permanen antara berbagai negara. Konperensi itu juga mengambil tema Optional Protocol mengenai Permohonan Kewarganegaraan dan Optional Protocol tentang Compulsory Settlement of Disputes. Final Act pada konperensi 19 itu ditandatangani pada tanggal 18 April 1961, oleh perwakilan dari 75 negara. Protokol Opsional dan Konvensi masih terbuka untuk ditandatangani sampai tanggal 31 Oktober 1961, di Kementrian Luar Negeri Austria dan berikutnya, sampai 31 Maret 1962, di Markas Besar PBB. Konvensi dan kedua Protocol Opsional diberlakukan tanggal 24 April 1964. Pada tanggal 31 Desember 1979, 130 negara mengakui Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, 37 mengakui Protocol Opsional tentang Permohonan kewarganegaraan dan 50 Negara mengakui Protocol Opsional tentang Compulsory Settlement of Diputes. B. USAHA-USAHA INTERNASIONAL MELALUI PBB DALAM RANGKA PENTAATAN HUKUM DIPLOMATIK

Usaha-usaha internasional melalui PBB ini merupakan lembaran baru dalam proses pelaksanaan dari hukum diplomatik modern di mana telah dilakukan usaha-usaha untuk perlunya memperlengkapi dan memerinci secara jelas prinsipprinsip maupun aturan-aturan di dalamnya, khususnya telah dapat dibentuk suatu lingkup kerjasama antar pemerintahan negara anggota dalam mengatasi masalahmasalah yang sekarang ini benar-benar menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan. Dalam menghadapi tindak terorisme yang cukup menonjol khususnya yang dilakukan terhadap para diplomat yang membahayakan terhadap fungsi mereka dalam melakukan tugas sehari-hari sebagai diplomat di tahun 1980. Di dalam sidang Majeli Umum PBB yang ke 35 tahun 1980. Didalam sidang Majelis tersebut, 5 negara Nordik telah memajukan masalah-masalah yang dianggap penting yang perlu dibicarakan bersama, khususnya didalam mencari cara-cara untuk meningkatkan dipatuhinya aturan-aturan internasional mengenai hubungan diplomatik dan konsuler, di samping mempertimbangkan adanya peningkatan

11

aksi-aksi teror yang dilakukan terhadap para pejabat diplomat mereka menjalankan fungsi dan tugasnya. Didalam arti yang luas prakarsa 5 negara tersebut pada hakekatnya dapat dipandang sebagai perluasan dari usaha-usaha PBB sebelumnya di mana perlu adanya kewajiban-kewajiban internasional bagi seluruh negara untuk sebanyak mungkin "meratifikasi" Konvensi-konvensi mengenai hubungan diplomatik dan konsuler yang ada. Prakarsa ini kemudian telah disambut secara luas oleh segenap anggota dan disetujui oleh Majelis Umum PBB dan ketika masalah diajukan bertepatan dengan peristiwa penyanderaan para diplomat Amerika Serikat di Teheran. 6 Dari pembicaraan-pembicaran di Majelis Umum PBB itu khususnya mengenai adanya peningkatan tindak terorisme yang dilakukan terhadap para diplomat, termasuk perwakilannya, terdapat kecenderungan timbulnya 2 prinsip yang dianggap sangat fundamental dalam mengatasi dan mencegah tindakantindakan tersebut, yaitu : 1. Semua negara harus melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional masing-masing dengan mentaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi termasuk peningkatannya. 2. Perlunya peningkatan tindakan-tindakan khusus guna melindungi perorangan-perorangan dan perwakilan-perwakilan karena ada kesenjangankesenjangan yang terdapat di dalam ketentuan-ketentuan Konvensi yang sekarang diserahkan kepada negara-negara itu sendiri untuk menafsirkan dan melaksanakan tindakan-tindakan khusus mengenai perlindungan (polisi administrasi, juridiksional) melalui sistem perundang-undangan negara masing-masing. 7 Demikian pula Majelis Umum PBB telah mengeluarkan Resolusinya No. 35/168 tanggal 15 Desember 1980. Resolusi tersebut antara lain mendesak kepada seluruh anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan prinsip-prinsip dan aturan hukum internasional mengatur tentang hubungan diplomatik dan konsuler.8

6

Sumaryo Suryokusumo, Op Cit, hal. 20. Eddy Suryono, Op Cit, hal. 38.

7

Resolusi tersebut berjudul : Consideration of Effective Measures to Enchance The Protection, Security and Savety of Diplomatic and Consuler Mission and Representative

8

12

Di samping itu Majelis Umum PBB juga mendesak kepada semua negara anggota PBB khususnya untuk mengambil langkah-langkah seperlunya agar dapat menjamin secara efektif perlindungan, pengawasan dan keselamatan para pejabat diplomatik dan konsuler termasuk perwakilannya masing-masing sesuai dengan kewajiban-kewajiban internasional, termasuk langkah-langkah praktis untuk melarang orang-orang atau kelompok serta organisasi untuk mengadakan tindakan-tindakan merugikan pengamanan atau keselamatan para pajabat diplomatik dan konsuler termasuk perwakilan-perwakilannya. Semua negara diserukan agar mereka yang belum menjadi pihak dalam konvensi-konvensi mengenai tidak digugatnya misi serta pejabat diplomatik dan konsuler segera meratifikasinya dan jika terjadi perselisihan mengenai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dan aturan hukum diplomatik agar mereka segera menggunakan cara-cara untuk menyelesaikannya secara damai termasuk dengan menggunakan jasa-jasa Sekretaris Jendral PBB. Apabila terjadi pelanggaran yang serius terhadap perlindungan pengamanan dan keselamatan bagi perwakilan dan pejabat diplomatik serta konsuler di negara-negara anggota, maka negara-negara itu diminta segera melaporkan kepada Sekretaris Jenderal PBB termasuk langkah-langkah yang telah diambil dalam mengadili para terdakwa dan usaha-usaha dalam mencegah terulangnya tindakan-tindakan semacam itu. Begitu pula negara-negara yang menjadi korban peristiwa tersebut diminta untuk memberitahukan tentang hasilhasil terakhir proses peradilan setempat kepada Sekretaris Jenderal PBB. Apabila terjadi pelanggaran yang serius terhadap perlindungan pengamanan dan keselamatan bagi perwakilan dan pejabat diplomatik serta konsuler di negara-negara anggota, maka negara-negara itu diminta segera melaporkan kepada Sekertaris Jenderal PBB termasuk langkah-langkah yang telah diambil dalam mengadili para terdakwa dan usaha-usaha dalam mecegah terulangnya tindakan-tindakan semacam itu. Begitu pula negara-negara yang menjadi korban peristiwa tersebut diminta untuk memberitahukan tentang hasilhasil terakhir proses peradilan setempat kepada Sekertaris jenderal PBB.

13

Atas dasar resolusi Majelis Umum PBB tersebut Sekertaris Jenderal PBB telah menerima laporan dari Pemerintah Turki yang diterima melalui Perwakilan tetapnya PBB di New York yang dikirim pada tanggal 11 Maret 1981 sebagai berikut : "On 17 December 1980, at approximately 9.45 A.A., as he was making his away from his official residence to his chancellery, the ConsulGeneral of Turkey in Sydney, the Honourable Sarik Ariyak, and his body guard, Mr. Engin Sever, were the victims of an armed attack by two terroriste on motorcycles and were killed as a result of this outrage. A secret organization calling itself the "Armenia Commandos of Justion" had clained responsibility for this double murder". "..... Turkey hopes that Australian Government, on whose territory this incident occured, will not fail to report as soon as possible to the Secretary-General of the United Nations, in accordence with the provisions of ..... Genaral Assembly resolution 35/168, on the measure which it has taken to arrest and bring to justice those two commited the double murder and to prevent a repitition of such acts". 9 Dalam menangani laporan Pemerintah Turki kepada Sekretaris Jenderal PBB tersebut, Pemerintah Australia pada tanggal 8 Juni 1981 melalui wakil tetapnya di PBB, New York telah melaporkan kejadian-kejadian yang sama kepada Sekretaris Jenderal PBB sebagai berikut : "In connexion with the above which refers to an incident occuring in Australia ..... the Australia Government wiches to acknowledge that the Turkish Consul-General, Mr. Sarik Ariyak and his bodyguard, Mr. Engin Ever, died in Sydney on 17 December 19980 after an attack by two unknown persons. The Australia Government wishes to inform the Secretary General that this crime is being troughly investigated by the relevant police authorities who are obliged to report at the conclusion of their investigations to the Grown Coroner. In addition, reward totalling $ 100,000 have been offered recent by the Australian and New South Wales Governments for information leading to the arrest of those responsible. The Australian Government is treating this incident as a terrorist-related crime, and the strongest protective measures have been taken to safeguard Turkish diplomatic and consuler officers in Australia. This matter is still sub judice in the Australia courts and at this time the Permanent Representative is unable to make a more detail responce. How ever, the Permanent Representative will report judical findings related to this matter to the Secretary-General when they become known".109

10

Eddy Suryono, Op Cit, hal. 80. Dokumen Majelis Umum PBB A/36/445, tanggal 15 September 1981, hal. 6.

14

Sehubungan dengan meningkatnya pelanggaran-pelanggaran terhadap missi/staf diplomatik dan konsuler dalam tahun 1981 Majelis Umum PBB telah mengeluarkan resolusi,11 diplomatik tersebut. Namun kemudian hal ini ditafsirkan sebagai perluasan ruang lingkup Sekretaris Jenderal PBB untuk memberikan jasa-jasa baiknya kepada negaranegara yang sedang mengalami tindak terorisme di wilayahnya. Prosedur untuk memberikan informasi Sekretaris Jenderal itu pada hakekatnya juga dapat merupakan langkah utama dalam menyelesaikan masalahnya. Namun secara tidak langsung usaha itu dapat juga memperluas wewenang PBB sendiri dalam rangka menangani masalah-masalah yang sangat pelik dan peka yang menyangkut kerjasama antar negara. Resolusi tersebut juga meminta kepada segenap anggota PBB agar melaporkan tindakan-tindakan apa yang telah dilakukan untuk menghukum para pelanggar termasuk usaha pencegahan agar tidak lagi terjadi antara lain melalui sanksi-sanksi. Negara-negara anggota PBB juga diminta untuk memberikan pandangan-pandangan mereka mengenai langkah-langkah yang akan diambil di masa mendatang untuk melindungi wakil-wakil diplomatik dan konsuler termasuk perwakilan-perwakilannya masing-masing. Usaha-usaha internasional melalui PBB tersebut sangat tepat khususnya dalam rangka mencegah dan melakukan tindakan terhadap terorisme, yang meningkat dari tahun ke tahun. Dan di samping itu sangat penting usaha untuk melengkapi ketentuan-ketentuan internasional yang ada agar menjamin perlindungan keselamatan dan pengamanan bagi misi-misi negara. Khususnya usaha-usaha yang dianggap penting untuk memusatkan perhatian kepada tanggung jawab internasional bagi negara-negara dalam melakukan tindakan-tindakan perlindungan dan menghukum para pelakunya. Di yang meminta kepada negara-negara anggota PBB mengenai tindakan-tindakan terorisme yang dilakukan terhadap misi/staf

11

Resolusi Majlis Umum PBB 36/165 tahun 1981.

15

samping itu juga dianggap penting untuk meningkatkan tindakan-tindakan pencegahan di wilayah negara-negara yang menerima wakil-wakil dan misi-misi asing, karena berhasil atau tidaknya tindakan pencegahan ini, pada hakekatnya tergantung pada langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi dan mencegah kegiatan-kegiatan dari kelompok organisasi maupun perkumpulanperkumpulan teror yang mempersiapkan atau melakukan tindakan-tindakan agresif dan yang bersifat teror terhadap perwakilan-perwakilan diplomatik dan konsuler termasuk para pejabat-pejabatnya yang dilakukan mereka di berbagai wilayah negara. Semua negara-negara anggota PBB mempunyai kewajiban-kewajiban internasional untuk melindungi para diplomat dan konsul termasuk gedunggedung perwakilannya masing-masing, bahkan ini merupakan kewajiban yang mutlak dilakukan oleh negara-negara anggota agar pejabat-pejabat diplomatik dan konsuler tersebut dapat melakukan tugas diplomatiknya dengan efisien. Apalagi saat ini telah diberlakukannya beberapa instrumen internasionalnya tentang hal itu, antara lain adalah Konvensi Wina 1961. Dalam Konvensi mengenai Misi Khusus tahun 1969 juga telah memuat ketentuan-ketentuan perlindungan terhadap gedung-gedung perwakilan dan misimisi khusus dan perlindungan bagi semua yang bertugas dalam misi khusus tersebut di wilayah negara setempat. Ketentuan itu diatur dalam pasal 25 dan pasal 29 Konvensi mengenai Misi Khusus tahun 1969. Demikian juga ketentuan-ketentuan yang sama telah dimuat dalam Konvensi mengenai "Perwakilan dari Negara-Negara dalam hubungan mereka dengan Organisasi Internasional" yang memuat ketentuan-ketentuan serupa. Begitu pula ketentuan yang sama telah dilengkapi dengan KonvensiKonvensi lainnya seperti Konvensi mengenai "Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan-Kejahatan yang Dilakukan terhadap Orang-Orang yang menurut Aturan Hukum Internasional Perlu Dilindungi", termasuk para diplomat, dan Konvensi untuk memerangi Tindak Penyanderaan tahun 1979.

16

C. TANTANGAN-TANTANGAN

YANG

DIHADAPI

DALAM

PELAKSANAAN HUKUM DIPLOMATIK Meskipun ketentuan-ketentuan tersebut diatas dipandang cukup luas dan telah mencakup segala jenis dan tingkat perwakilan diplomatik, konsuler maupun missi khusus ataupun dalam rangka tugas-tugas hubungan multilateral dan bilateral ataupun sebagai missi tetap atau sementara dalam missi diplomatik, namun masih pula banyak tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan hukum diplomatik tersebut dewasa ini. Adapun tantangan-tantangan yang dihadapi tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Masih banyaknya tindakan terorisme yang dilakukan terhadap para diplomat yang merupakan tindakan-tindakan yang sangat membahayakan fungsi mereka dalam melakukan tugas sehari-hari sebagai diplomat. Sebagai contoh di dalam tahun 1980 tercatat 400 tindak terorisme yang ditujukan kepada para diplomatik dan konsuler yang meliputi 60 negara. Sedangkan 6 bulan pertama dalam tahun 1981 terdapat 191 tindak terorisme dengan obyek yang sama termasuk yang menyangkut perwakilan atau missi asing. Gejala ini terus berlangsung dalam tahun-tahun berikutnya tidak saja memakan korban jiwa yang besar tetapi juga korban harta serta kerusakankerusakan pada perwakilan asing. 2. Kurangnya minat Negara-negara untuk menjadi pihak-pihak dalam Konvensi mengenai hubungan diplomatik ini. Mereka yang tidak berminat turut serta menjadi pihak dalam konvensi mengenai perlindungan pejabat diplomatik masih banyak memakai kebiasaan internasional sebagai landasan hukumnya yang dianggap berlaku cukup luas dan memadai. 3. Di samping itu juga masih terus meningkat jumlah korban pejabat-pejabat diplomatik di berbagai negara akibat tindakan penyanderaan, pembajakan yang mengancam keselamatan jiwa para pejabat diplomatik tersebut. Walaupun telah banyak ketentuan-ketentuan yang cukup luas dan cukup lengkap mengatur tentang perlindungan para pejabat diplomatik, pencegahan

17

dan penghukuman tindak kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang menurut aturan-aturan hukum internasional perlu dilindungi termasuk para diplomat, juga telah pula dilengkapi dengan Konvensi untuk memerangi tindak penyanderaan, ada pula anggapan bahwa masyarakat internasional tetap harus memikirkan perlunya kelengkapan-kelengkapan lagi untuk menuangkan dalam ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan "tanggung jawab negara" dalam hal gagal untuk melakukan perlindungan terhadap para pejabat diplomatik termasuk perwakilannya yang berada di berbagai negara dan organisasi internasional yang ada di negara tertentu. Di samping itu masih pula dianggap perlu untuk membuat ketentuanketentuan yang menyangkut pengawasan internasional bagi tindakan-tindakan administratif yang dilakukan oleh negara-negara agar supaya dapat memberikan pengarahan terhadap ketentuan-ketentuan yang bersifat protektif bagi para pejabat diplomatik tersebut.

18

BAB III PENUTUPA. KESIMPULAN Dari uraian di atas dapatlah kiranya diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Perkembangan kemajuan Hukum Diplomatik termasuk usahausaha untuk mengkodifikasikan prinsip-prinsipnya tidak sebagaimana masa lalu, dimana didalam pasal 13 Piagam PBB Majelis Umum PBB telah menciptakan suatu mekanisme seperti adanya Komisi Hukum Internasional yang memang tugasnya untuk melakukan pengembangan kemajuan prinsipprinsip hukum internasional yang sudah tentu termasuk di dalamnya perkembangan hukum diplomatik, karena usaha untuk menghimpun sistimatik sebagai kodifikasi hukum diplomatik melalui konvensi-konvensi internasional. 2. Komponen-komponen peraturan Hukum Diplomatik yang meliputi prinsip-prinsip penting yang dianut oleh semua negara dalam mengadakan hubungan diplomatik satu sama lain yang antara lain : Prinsip-prinsip seperti tidak diganggu gugatnya para diplomat termasuk keluarganya dan gedung-gedung perwakilan atau milik lainnya yang dipergunakan dalam rangka menunaikan tugas-tugas diplomatiknya. Juga prinsip Exterritorialitas yang diberikan untuk kelancaran tugas-tugas dan fungsi perwakilan diplomatik, kekebalan dan keistimewaan termasuk kekebalan dari yurisdiksi perdata, pidana dan administrasi bagi para pejabat diplomatik yang berada di wilayah suatu negara dan lain sebagainya, juga mengikuti keseluruhan. 3. Pada masa permulaan kegiatan PBB, pada waktu diadakan usahausaha kodifikasi khususnya yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik, telah banyak menimbulkan pertentangan. Di satu pihak ingin perkembangan dan kemajuan hukum diplomatik secara

19

mempertahankan praktek-praktek dan kebiasaan yang sudah baku dan sudah secara tradisional dipergunakan oleh banyak negara sebagai hukum kebiasaan internasional dan di lain pihak dengan meningkatnya laju pertumbuhan negara-negara yang baru merdeka yang mempunyai dimensi di dalam pergaulan dan hubungan diplomatiknya sendiri, menghendaki perlunya diatur dan diadakan kodifikasi sehingga dapat dituangkan di dalam konvensikonvensi internasional. 4. Disadari pula bahwa walaupun tidak ada hasil-hasil yang konkrit kekebalan dan dalam usaha kodifikasi yang lebih khusus lagi mengenai

keistimewaan diplomatik, pernah PBB telah membentuk suatu Komisi Ahli yang diberi tugas untuk memberikan justifikasi dan dasar hukum bagi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik. 5. Sejalan dengan perkembangan prinsip-prinsip tentang kekebalan dan keistimewaan para diplomat dan dengan pertumbuhan organisasiorganisasi internasional terutama sekali setelah dibentuknya PBB pada tahun 1945, sehingga dirasakan perlunya pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi para diplomat yang dikirim oleh negara-negara pada sidang atau konperensi yang diadakan dalam rangka organisasi-organisasi atau badanbadan internasional tersebut, termasuk pejabat-pejabat yang mewakili negaranya dalam organisasi dan badan-badan itu. 6. Sejak berlakunya Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, benar-benar telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting, karena masyarakat internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik, khususnya yang memberikan pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak diperlukan bagi semua negara, khususnya para pihak agar di dalam mengadakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas diplomatiknya dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat di antara semua bangsa.

20

7.

Pelaksanaan hukum diplomatik, khususnya terhadap Konvensi

Wina tahun 1961 tentang hubungan diplomatik banyak mengalami tantangantantangan. Di dalam tahun-tahun 1980-an di mana laju kegiatan tindak terorisme cukup menonjol, khususnya yang dilakukan terhadap para diplomat merupakan tindakan yang sangat membahayakan fungsi mereka di dalam melaksanakan tugas sehari-hari sebagai diplomat. 8. Dalam menghadapi perkembangan yang membahayakan itu telah banyak usaha PBB untuk mengadakan pembahasan terhadap masalahmasalah tersebut secara intensif. Di mana pada tahun 1980 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang berisi seruan yang mendesak kepada seluruh anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan prinsip-prinsip dan aturan hukum internasinal yang mengatur hubungan diplomatik. 9. Di samping itu Majelis Umum PBB juga mendesak kepada semua negara anggota khususnya untuk mengambil langkah-langkah agar dapat menjamin secara efektif perlidungan, pengamanan dan keselamatan para diplomat termasuk perwakilannya masing-masing di wilayah yurisdiksi mereka sesuai dengan kewajiban-kewajiban internasional termasuk langkahlangkah yang praktis untuk melarang orang-orang atau kelompok serta organisasi untuk melakukan tindakan-tindakan yang terlarang itu seperti tindakan yang merugikan pengamanan atau keselamatan para pejabat diplomatik termasuk perwakilan-perwakilannya. 10. PBB juga menyerukan kepada semua negara agar mereka yang belum menjadi pihak dalam Konvensi-Konvensi mengenai tidak diganggu gugatnya misi-misi serta para pejabat diplomatik segera meratifikasinya. B. S A R A N 1. Apabila terjadi pelanggaran yang serius terhadap perlindungan,

pengamanan dan keselamatan bagi perwakilan dan pejabat diplomatik di negara-negara anggota, maka negara-negara itu segera melaporkan kepada Sekjen PBB termasuk langkah-langkah yang telah diambil dalam mengadili

21

para terdakwa dan usaha-usaha dalam menghindari terulangnya pelanggaranpelanggaran semacam itu. Di samping itu negara-negara yang menjadi korban peristiwa itu diminta juga untuk memberitahukan tentang hasil-hasil terakhir mengenai proses peradilan setempat. 2. Walaupun ketentuan-ketentuan tersebut di atas dipandang cukup luas dan mencakup segala jenis dan tingkat perwakilan diplomatik, maupun misi khusus ataupun dalam rangka tugas hubungan multilateral, bilateral ataupun sebagai anggota misi tetap atau misi sementara dalam misi diplomatik, ada pula anggapan bahwa masyarakat internasional tetap harus memikirkan perlunya kelengkapan-kelengkapan lagi dituangkan dalam ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan tanggung jawab negara dalam hal gagal untuk melakukan perlindungan terhadap para pejabat diplomatik termasuk perwakilannya masing-masing yang berada di banyak negara dan organisasi-organisasi internasional yang ada di negra-negara tertentu. Di samping itu pula perlu untuk membuat ketentuan-ketentuan yang menyangkut pengawasan-pengawasan internasional bagi tindakan-tindakan administratif yang dilakukan oleh negara-negara agar dapat memberikan pengarahan terhadap ketentuan-ketentuan yang bersifat protektif tersebut.

22

DAFTAR PUSTAKAKusumaatmadja M., Pengantar Hukum Internasional - Bagian I Umum, Binacipta, Bandung, 1982. Lauterpacht O., Internasional Law - A Treaties, Vol. I, Seven Ed., Longmans, Green and Co., London, New York, Toronto, 1948. Nicolson H., Diplomacy, Oxford University Press, Second Ed., London, 1950. Norman J. and Lincoln G.A, The Dynamic of International Politic, The Mac Millan Co, London, 1976. Sastroamidjojo A., Pengantar Hukum Internasional, Bhratara, Jakarta, 1971. Sik Swan Ko, Hukum Internasional Hak-Hak Istimewa dan Kekebalan, (Ed. A. Budiman dan Alimudin), Bina Aksara, Jakarta, 1977. Sotouw S.E, Guide to Diplomatic Practice, Edited by Lord Gore Booth, Fiveth Ed., Longman N.V, 1979. Starke J.G., An Introduction to International Law, Alih bahasa Sumitro Danuredjo., Pengantar Hukum Internasional Bagian I dan II, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1984. Suryokusumo S., , Hukum Diplomatik, Binacipta, Bandung, 1985. Suryono E., Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandar Maju, Bandung 1992. Syahmin, A.K., Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1988.

23