kualitas tidur dengan tingkat keparahan pada pasien dengan rhinosinusitis kronis
DESCRIPTION
jurnTRANSCRIPT
![Page 1: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/1.jpg)
Kualitas Tidur dengan Tingkat Keparahan pada Pasien dengan
Rhinosinusitis Kronis
Abstrak
Objektif : untuk mengevaluasi kualitas tidur pada pasien dengan rhinosinusitis kronik (Chronic
Rhinosinusitis/CRS) menggunakan hasil pengukuran yang telah tervalidasi dibandingkan dengan
pengukuran pada tingkat keparahan rinosinusitis kronik dengan gangguan tidur
Desain studi : Desain-Cross-sectional dari kelompok multi cohort pusat
Metode : Pasien dengan CRS sesuai dengan 2007 Adult Sinusitis Guideline yang terdaftar dari
empat akademik, pusat perawatan tersier di seluruh Amerika Utara. Masing-masing subjek
menyelesaikan instrumen Sleep Indeks Kualitas Pittsburgh (PSQI), ukuran kualitas-hidup (QOL),
endoskopi, computed tomography (CT), dan pemeriksaan penciuman. Faktor demografi pasien,
kondisi komorbiditas, dan langkah-langkah klinis keparahan penyakit yang dibandingkan antara
pasien dengan penilaian "baik" (PSQI; ≤ 5) dan "buruk" (PSQI;> 5) pada kualitas tidurnya.
Hasil : Pasien (n = 268) melaporkan skor PSQI rata 9,4 (kisaran: 0-21). 75,0% dari pasien
skor PSQI dilaporkan menunjukkan kualitas tidur yang buruk. Pasien dengan kualitas tidur buruk
ditemukan memiliki skor QOL signifikan lebih buruk pada kedua Rhinosinusitis.
Indeks kecacatan (p <0,001) dan 22-item sinonasal Hasil Uji (p <0,001). Tidak ada yang signifikan
perbedaan rata endoskopi, CT, atau skor fungsi penciuman yang ditemukan antara pasien
dengan kualitas tidur yang baik atau buruk. Perokok tembakau dilaporkan skor total rata PSQI
buruk dibandingkan dengan non-perokok (p = 0,030). Pasien yang dilaporkan kurang tidur lebih
mungkin untuk memiliki riwayat depresi, bahkan setelah faktor jenis kelamin (p = 0,020).
Kesimpulan : Sebagian besar pasien dengan CRS memiliki kualitas tidur yang buruk yang diukur
dengan Survei PSQI. Kualitas tidur yang buruk secara signifikan berhubungan dengan-CRS
spesifik QOL, jenis kelamin, komorbiditas depresi, dan penggunaan tembakau tetapi tidak pada
pemeriksaan CT atau endoskopi.
![Page 2: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/2.jpg)
PENGANTAR
Hubungan antara kualitas tidur pada pasien dengan rinosinusitis kronis (CRS) masih sangat
sedikit diketahui. Sebelumnya sudah dilakukan penelitian yang menunjukkan bahwa keluhan
terkait tidur mungkin umum, beberapa investigasi telah dieksplorasi kualitas tidur di luar
pertanyaan utama. Dari patofisiologinya, penurunan tidur di CRS tetap sangat masuk akal dan
dapat berhubungan dengan banyak faktor termasuk sumbatan hidung, depresi, jenis kelamin, nyeri,
sinyal saraf langsung, atau dengan sistemik atau lokal saraf-kekebalan sinyal melalui sitokin pro-
inflamasi somnogenic.
Tidur yang buruk secara berkepanjangan dapat memiliki dampak mengejutkan pada kinerja
individu, secara keseluruhan kualitas-of-hidup (QOL), dan bahkan kematian. Mengingat bahwa
13% orang dewasa di Amerika Serikat yang memiliki CRS menimbulkan disfungsi tidur yang
amat berimplikasi bagi pasien, dokter, dan pembuat kebijakan publik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas tidur dalam kelompok multi-
institusi pasien dengan CRS memanfaatkan instrumen penilaian tidur yang telah tervalidasi.
Perbedaan demografi, kondisi komorbiditas, langkah-langkah klinis keparahan penyakit, dan
kualitas hidup penyakit spesifik yang dibandingkan antara pasien dengan kualitas tidur normal dan
berkurang.
METODE
Pasien Penduduk dan Pengumpulan Data Pasien dewasa (≥18 tahun) dengan CRS yang
terdaftar diteliti melalui penyelidikan observasional kohort dari empat akademik praktik
Rhinology tersier: Oregon Health & Science University, Universitas Portland, OR, Carolina
Selatan (Charleston, SC.), University of Calgary (Calgary, Alberta, Kanada), dan Stanford
University (Palo Alto, CA.). Subyek penelitian menjalani standar klinis pemeriksaan yang terdiri
dari evaluasi fisik, computed tomography (CT) pencitraan bidang koronal, dan endoskopi
sinonasal bilateral.
Kriteria inklusi terdiri dari diagnosis saat gejala, CRS yang sulit disembuhkan sesuai
definisi 2007 Adult Sinusitis Guidelines, dengan pengobatan oral sebelumnya, dengan antibiotik
![Page 3: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/3.jpg)
spektrum luas atau antibiotik spesifik (≥2 minggu) dan baik topikal kortikosteroid maupun
semprotan hidung (≥3 minggu) atau percobaan lima hari terapi steroid sistemik. Pasien diharuskan
menyelesaikan semua kuesioner dan memberikan persetujuan dalam bahasa Inggris. The
Institutional Review Board di setiap situs dipantau dan disetujui semua protokol penelitian. Pasien
diminta untuk menyediakan data demografi, sosial, dan medis sejarah termasuk: umur, jenis
kelamin, penggunaan tembakau saat ini, poliposis hidung, depresi, asma, alergi, intoleransi asam
asetilsalisilat (ASA), kista fibrosis, dan riwayat operasi sinus sebelumnya. Pasien yang didiagnosis
dengan eksaserbasi saat sinusitis akut berulang dikeluarkan dari analisis akhir. Pasien didiagnosis
dengan apnea tidur obstruktif baik oleh pengujian atau melalui riwayat kesehatan (n = 34) yang
juga dikecualikan dari semua pasien yang terdaftar antara Februari 2011 dan September 2012.
Pengukuran Kualitas Tidur Semua pasien menyelesaikan Pittsburgh Sleep Quality Indeks
(PSQI) pada saat pendaftaran dengan bantuan dari seorang asisten peneliti yang sudah terlatih.
Soal PSQI adalah 18-item, terdiri dari bagaimana kualitas tidur dan durasi selama periode waktu
empat minggu sebelum survei selesai. PSQI menghasilkan tujuh skor komponen atau sub-domain.
Skor komponen sub-domain (kisaran: 0-3) yang dinilai menggunakan algoritma scoring tersedia
untuk umum dan diringkas untuk memperoleh skor total (kisaran: 0-21). Skor PSQI lebih tinggi
menunjukkan gangguan tidur yang lebih besar. PSQI skor ≤5 dianggap kualitas tidur "baik"
sedangkan skor> 5 dikaitkan dengan kualitas tidur "buruk".
Pengukur Kualitas Hidup Penyakit Spesifik
Peserta penelitian juga melengkapi 2 instrumen CRS-spesifik QOL: Indek Disabilitas
Rhinosinusitis (RSDI) dan 22 item Test Hasil Sinonasal (SNOT-22). RSDI (rentang: 0-120) terdiri
dari 30 item, instrument survey penyakit spesifik terdiri dari 3 subskala yang mengevaluasi
dampak dari CRS pada fisik (rentang:0-44), fungsional (rentang 0-44), dan emosional (rentang:0-
44) subdomain pasien. Sub-domain dan total skor yang lebih tinggi menunjukkan dampak yang
lebih besar dari penyakit sinonasal kronik.
SNOT-22 telah tervalidasi sebagai pengukur hasil terapi yang dapat dipakai pada kondisi
sinonasal kronis (rentang: 0-110). Total skor yang lebih rendah pada SNOT-22 menandakan
tingkat QOL yang lebih baik dan gejala yang lebih ringan. Kedua instrument ini dipilih karena
![Page 4: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/4.jpg)
dapat menangkap dampak kesehatan spesifik CRS pada model pelengkap. Dokter yang mendaftar
pada setiap tempat tidak mengetahui semua respons survey selamam penelitian berlangsung.
Pengukur Keparahan Penyakit
Gambaran Computed Tomography telah dievaluasi dan disesuaikan dengan system skoring
Lund-Mackay bilateral (rentang:0-24) dimana skor yang lebih tinggi menunjukkan keparahan
penyakit yang lebih tinggi. Pemeriksaan endoskopi di ukur menggunakan sistem tingkatam
endoskopi Lund-Kennedy (rentang: 0-20) dimana skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat
keparahan penyakit yag lebih buruk. Sistem tingkatan ini mengukur keparahan polyposis nasal
bilateral, discharge, edema, luka dan krusta. Semua visualisasi diukur oleh dokter yang terdaftar
pada setiap tempat pada waktu pendaftaran.
Fungsi penciuman diukur pada waktu pendaftaran awal menggunakan Tes Identifikasi Bau
Singkat (B-SIT; Sensonics,Inc., Haddon Heights,NJ). B-SIT tervalidasi, terdiri dari 12 item yang
terstandarisasi, dan merupakan tes penciuman quantitative non-invasif yang memakai 12 strip bau
mikrokapsul dengan pola “scratch-‘n-sniff” (rentang: 0-12) jika skor lebih tinggi menandakan
kemampuan membaunya lebih baik. Skor B-SIT lengkap ≥ 9 didefinisikan sebagai normal untuk
pria dan wanita sehat segala usia.
Analisis Statistik
Perbandingan Statistik dilakukan menggunakan perangkat lunak Statistik komersial yang
tersedia (SPSS ver.21, IBM Corp., Chicago, IL). Analisis deskriptif (rata-rata, standar deviasi
(SD), frekuensi dan rentang nilai) lengkap untuk variabel demografis, pengukuran klinis dari
keparahan penyakit CRS dan data kualitas tidur. Uji T tidak bepasangan dan tes U Mann-Whitney
digunakan untuk mengevaluasi perbedaan antara kualitas tidur subkelompok dan pasien dengan
karakteristik yang sesuai. Tes Pearson’s chi-square digunakan untuk mengevaluasi perbedaan
frekuensi kualtas tidur sub kelompok.
Karena sifat ordinal dari skor sub-domain PSQI, kami menggunakan koefisien korelasi
Spearman (rs) untuk mengevaluasi korelasi bivariate non parametric antara semua klinis tingkat
keparahan penyakit yang terukur dan skor total PSQI dan sub-domain. Regresi logistic sederhana
digunakan untuk mengidentifikasi dan mengetahui signifikansi, ko-faktor independen atau efek
![Page 5: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/5.jpg)
modifikasi yang berhubungan dengan kuaitas tidur yang buruk dan untuk mengetahui
kemungkinan pengukuran linier. Perkiraan dan odds rasio (OR) yang sesuai dengan interval
kepercayaan 95% (CI) dilaporkan cocok.
HASIL
Dari total 268 pasien lengkap dengan semua syarat yang dibutuhkan untuk penelitian
termasuk kuisionair PSQI. Pasien dengan CSR didapatkan rata-rata skor total PSQI yaitu 9.4 (4.4)
dengan rentang 0-21. Penurunan skor PSQI sub-domain dengan skor total PAQI pada pasien
dengan karakteristik yang tercantum pada table 1. Wanita didapatkan secara signifikan memiliki
total skor PSQI yang lebi buruk disbanding pria. Selain itu, pasien dengan depresi juga dilaporkan
memiliki skor PSQI yang buruk dibndingkan dengan pasin yang tidak memiliki riwayat depresi.
Pasien yang merokok memiliki total skor rata-rata PSQI yang buruk disbanding dengan yang tidak
merokok.
Kondisi tidur setiap pasien dievaluasi dan dibagi menjadi dua yaitu kualitas tidur “buruk”
(n=201;75.0%) dan ”baik” (n=67;25.0%). Karakteristik demografis dan pasien didefinisikan pada
Tabel 2 dibedakan menurut tingkat keparahan ganguan tidur. Didapatkan prevalensi kualitas tidur
yang buruk pada wanita lebih banyak dari pada pria (58.7% vs. 41.3%) dan depresi didapatkan
kebanyakan pada pasien dengan kualitas tidur yang buruk.
Keparahan Penyakit diukur dengan Endoscopy, CT, and B-SIT
Rata-rata skor endoskopi Lund-Kennedy untuk kelompok pasien dengan kualitas tidur
yang buruk yaitu 6.4 (4.4) dengan rentang 0-20, sedangkan rata-rata skor Lund-Mackay CT yaitu
12.2(5.7) dengan rentang 1–24. Rata-rata skor B-SIT fungsi penciuman yaitu 9.2(3.1) dengan
rentang 1–12. Analisis bivariate menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p≥0.190) pada
rata-rata endoskopi, CT, atau skor tes B-SIT fungsi penciuman anatar pasien dengan kualitas tidur
yang bagus dan yang buruk (Tabel 3).
Keparahan Penyakit diukur dengan Instrumen QOL
Skor QOL penyakit spesifik diukur dengan instrument RSDI dan SNOT-22 didpatkan
seperti pada Tabel 4. Pasien dengan kualitas tidur yang buruk didapatkan skor yang buruk pada
total RSDI maupun RSDI sub-domain jika dibandingkan dengan pasien yang memiliki kualitas
![Page 6: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/6.jpg)
tidur yang bagus. Selain itu, subjek dengan kualitas tidur yang buruk didpatkan memiliki rata-rata
skor SNOT-22 yang buruk jika dibandingkandengan pasien dengan kualitas tidur yang bagus.
Korelasi koefisien sedang ditemukan anatara total PSQI, total RSDI (rs =0.54;p<0.001) dan
total skor SNOT-22 (rs =0.63;p<0.001;Tabel 5). Selain itu, korelasi yang lemah dan sedang
ditemukan antara total skor RSDI dan SNOT-22 serta PSQI semua sub-domain. Tidak ada korelasi
yang signifikan yang didapatkan antara pengukuran PSQI, dan pengukuran tingkat keparahan
penyakit yang lain seperti skor CT, endoskopi, atau fungsi penciuman, dengan pengecualian
lemahnya korelasi antara skor PSQI sub-domain dengan pengobatan tidur dan skor CT (rs
=0.15;p=0.012). instrument PSQI sub-domain fisik dan SNOT-22 terdiri dari beberapa item
spesifik yang berkaitan dengan kualitas dan fungsi tidur, yang kemungkinan memiliki hubungan
yag signifikan dengan instrument survey PSQI. Pengurangan item survey pada dasarnya tidak
mengubah korelasi antara total skor dari instrumen PSQI dan RSDI (rs =0.53;p<0.001) maupun
SNOT-22 (rs =0.55;p<0.001).
Regresi Logistik untuk Prevalensi Tidur yang Buruk
Dari fakta yang kami temukan prevalensi subjek wanita dengan riwayat depresi lebih tinggi
(23.1%) dibandingkan dengan subjek pria (12.4%) dan prevalensi wanita denga kualitas tidur yang
buruk lebih tinggi (80.3%) disbanding pria (68.6%), kami menggunakan regresi logistic sederhana
untuk mengukur hubungan antara kofaktor dan kualitas tidur pada pasien. Riwayat depresi
(OR:3.48, 95% CI: 1.32, 9.17;p=0.012) dan jenis kelamin (OR:1.86, 95% CI: 1.07, 3.26;p=0.029)
keduanya ditemukan sebagai factor resiko independen untuk kualitas tidur yang buruk pasa pasien
CRS.
Setelah menyesuaikan prevalensi jenis kelamin, depresi masih merupakan prediktor
independen yang signifikan untuk kualitas tidur yang buruk (OR:3.19, 95% CI: 1.20,
8.48;p=0.020). selain itu, total skor RSDI dan skor SNOT-22 yang buruk secara independen
berhubungan dengan hasil tidur yang buruk (p<0.001), namun hubungan linier didapatkan antara
pengukuran QOL dan pengukuran klinis depresi, hal yang sama juga ditemukan pada penilitian
sebelumnya.6 Pada akhirnya, pengukuran QOL berhubungan kuat dengan skor total PSQI
yangburuk setelah depresi terkontrol.
![Page 7: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/7.jpg)
DISKUSI
Pasien dengan CRS dilaporkan mengalami gangguan kualitas tidur di semua subdomain
berdasarkan survei PSQI dengan mayoritas pasien yang dilaporkan memiliki skor PSQI di atas
tradisional cut-off yang menunjukkan kualitas tidur yang buruk. Pasien dengan kualitas tidur yang
buruk lebih mungkin mengalami depresi dibandingkan pasien dengan kualitas tidur yang baik, dan
perbedaan ini tetap ada setelah mengendalikan faktor jenis kelamin. Secara signifikan kualitas
tidur yang buruk juga ditemukan pada pasien perokok. Kualitas tidur yang buruk secara signifikan
berkorelasi dengan CRS yang spesifik berhubungan dengan QOL yang diukur dengan RSDI dan
instrumen SNOT-22, bahkan setelah menghilangkan pertanyaan terkait tidur dari instrumen ini.
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam skor endoskopi, CT, maupun fungsi penciuman antara
pasien dengan kualitas tidur yang baik atau buruk . Temuan ini signifikan kuat setelah
mengeluarkan pasien yang didiagnosis dengan obstructive sleep apnea dari analisis.
Studi ini menunjukkan bahwa pasien dengan gejala CRS memiliki prevalensi tinggi
terjadinya pathological sleep dysfunction yang jauh lebih besar dari yang biasanya diidentifikasi
dalam populasi umum (15-35%). Temuan ini sesuai dengan studi sebelumnya yang menyatakan
bahwa pada pasien CRS mungkin mengalami gangguan tidur. Disfungsi tidur umum terjadi pada
penyakit kronis, tidak terbatas pada fibromyalgia, rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis,
myasthesia gravis, multiple sclerosis, dan fibrosis kistik. Namun, prevalensi disfungsi tidur dalam
kohort kami lebih besar dari yang biasanya diidentifikasi dengan PSQI pada populasi dengan
penyakit kronis (range: 50-59%).
Berkurangnya kualitas tidur mungkin multifaktorial pada pasien CRS dan mungkin karena
pengaruh jenis kelamin atau depresi. Terdapat korelasi yang kuat antara gangguan tidur dan
depresi, yaitu pada pasien depresi dilaporkan mengalami penurunan kualitas tidur. Depresi dan
gangguan tidur keduanya lebih banyak ditemukan pada wanita. Kualitas tidur yang buruk memiliki
prevalensi yang tinggi pada wanita, yang diukur secara subjektif maupun objektif. Depresi
ditemukan menjadi komorbiditas umum pada pasien CRS dengan prevalensi setinggi 25% dan
terkait dengan penyakit yang lebih buruk yang spesifik mempengaruhi QOL. Kami menemukan
bahwa wanita dengan CRS memiliki kualitas tidur yang lebih buruk. Berdasarkan fakta, terdapat
prevalensi yang lebih tinggi dari depresi dan kualitas tidur yang buruk pada wanita, pada model
regresi logistik menunjukkan bahwa depresi merupakan faktor risiko independen untuk kualitas
![Page 8: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/8.jpg)
tidur yang buruk setelah mengendalikan jenis kelamin. Gangguan tidur pada akhirnya
menunjukkan hubungan 2 arah antara pasien wanita dengan depresi dan CRS.
Merokok telah dikaitkan dengan onset tidur yang lambat, night time arousal, dan
mengantuk pada siang hari, sementara penghentian merokok dapat meningkatkan kualitas tidur.
Pengukuran objektif dari tidur menggunakan polisomnografi menemukan bahwa merokok secara
independen terkait dengan fragmentasi tidur. Konsumsi nikotin meningkatkan kewaspadaan,
latensi tidur dan fragmentasi, dan kantuk di siang hari, mengurangi waktu tidur, tidur gelombang
lambat dengan mengurangi efisiensi tidur. Selain itu, terapi pengganti nikotin diberikan untuk
terapi penghentian merokok yang dapat menyebabkan gangguan tidur. Beberapa faktor penting
yang berhubungan dengan merokok selain konsumsi nikotin termasuk iritasi hidung, hidung
tersumbat, peningkatan resistensi airway dan penurunan aliran inspirasi mungkin berkontribusi
dalam menyebabkan gangguan pernapasan ketika tidur pada populasi umum. Data kami
melengkapi literatur yang sudah ada saat ini bahwa merokok dikaitkan dengan kualitas tidur yang
buruk, walaupun masih terdapat pertanyaan yang belum terjawab dengan temuan ini. Penelitian
lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan mekanisme merokok dan / atau nikotin
mempengaruhi kualitas tidur pada pasien dengan CRS. Terakhir, konsentrasi nikotin perifer dan
pusat perlu dievaluasi dan dikorelasikan dengan pengukuran tidur secara objektif.
Secara subjektif kualitas hidup dan kualitas tidur akan berkurang pada orang dengan
penyakit kronis dan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kualitas tidur tampaknya
memainkan peran penting dalam merusak kualitas hidup. Lebih lanjut, orang yang mempunyai
kualitas tidur buruk dapat meningkatkan keparahan penyakit kronisnya, dengan kualitas tidur yang
secara langsung berhubungan terhadap kecacatan. Pada pasien dengan gagal jantung yang stabil,
kualitas tidur berhubungan dengan keparahan gagal jantungnya, seperti yang diklasifikasikan oleh
New York Heart Association, dan global PSQI yang telah terbukti menjadi prediktor independen
dari kualitas hidup. Kualitas hidup spesifik yang diukur dengan RSDI dan SNOT 22 pada pasien
dengan penyakit parah berkorelasi secara signifikan dengan kualitas tidur subjektif. Namun pada
penelitian kohort kami kualitas tidur yang buruk tidak ditemukan adanya hubungan dengan tingkat
keparahan penyakit yang diukur dengan endoskopi, skor CT, atau fungsi penciuman. Hal ini
konsisten dengan publikasi sebelumnya yang diterbitkan berulang kali menunjukkan tidak ada
hubungan antara tingkat keparahan penyakit CRS, skor CT atau endoskopi. Belum diketahui jika
dengan meningkatkan kualitas hidup atau keparahan penyakit dapat meningkatkan kualitas tidur.
![Page 9: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/9.jpg)
Hubungan antara keparahan penyakit, kualitas hidup dan kualitas tidur yang buruk adalah seperti
dua arah, kecacatan diprediksi memperburuk kualitas tidur dan kualitas tidur yang buruk mungkin
dapat menjadi prediktor dari kualitas hidup.
Hal ini dapat dihipotesiskan bahwa sumbatan hidung berkontribusi terhadap disfungsi tidur
pada pasien CRS dengan mengganggu aliran udara hidung dan membuat gangguan bernafas saat
tidur. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa polip hidung berhubungan dengan obstruksi
hidung dan gangguan tidur dengan rasio risiko 2 kali lipat lebih tinggi dari gangguan tidur. Dengan
demikian, pasien CRS dengan sumbatan hidung karena polip hidung mengalami penurunan yang
signifikan rata – rata kualitas kantuk di siang hari, diukur dengan Epworth Sleepiness Scale (ESS)
setelah operasi, namun tidak ada perubahan yang terlihat pada indeks apnea hiponea diukur dengan
polysomnogram. Hal ini menunjukkan gangguan aliran udara hidung mungkin bukan satu –
satunya penentu kualitas tidur pada pasien CRS. Kami juga menemukan bahwa tidak ada
perbedaan kualitas tidur antara pasien dengan dan tanpa polip nasal. Tidak diketahui seberapa
objektif pengukuran aliran udara hidung dan hal tersebut tidak menunjukkan bahwa pasien dengan
polip mempunyai aliran udara lebih sedikit dibandingkan dengan pasien tanpa polip.
Ada banyak hipotesis yang masuk akal mengenai patofisiologi tidur pada orang sehat dan
sakit. Penelitian kami menunjukkan bahwa kualitas tidur berkurang pada pasien CRS, namun
etiologi yang mendasari dan patofisiologi disfungsi tidur ini tidak diketahui. Fungsi tidur diatur
oleh sistem saraf pusat yang tersusun dari kumpulan saraf yang saling terkoneksi yang ditandai
dengan perubahan sinyal input dan output seperti yang dikemukakan Krueger et al. Hal ini
dikontrol lewat sinyal lokal oleh faktor pertumbuhan dan sitokin, yang dapat mempengaruhi
neuron untuk menyesuaikan dan bahkan mengubah input dan output dari kumpulan saraf, pada
pusat tidur dan kortek CNS. Menariknya, CRS adalah penyakit inflamasi kronis yang berhubungan
dengan perubahan sitokin, reseptor, dan produknya. Peningkatan sitokin diregulasi oleh infeksi
atau termasuk peradangan yang menimbulkan perilaku kesakitan tetapi tidak terbatas pada
peningkatan tidur, melalui sinyal yang menuju aksis hipotalamus hipofisis.
Pada manusia, kurang tidur dan perubahan level sitokin pro inflamasi saling berhubungan
tetapi tidak terbatas pada kelelahan, nyeri, depresi, gangguan kognisi, dan ingatan. Ada bukti yang
menghubungkan sitokin pro inflamasi seperti TNF-α dan IL1- β pada CRS dan regulasi tidur.
Mekanisme tentang sitokin inflamasi sistemik yang mungkin memberikan sinyal ke sistem saraf
pusat pada pasien CRS masih belum diketahui, meskipun bukti awal menunjukkan mungkin
![Page 10: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan Rhinosinusitis Kronis](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022081809/5695d50c1a28ab9b02a3d1bd/html5/thumbnails/10.jpg)
bekerja merangsang otak melalui stimulasi atau perubahan transmisi aferen, ditransportasi
melewati sawar darah otak, merubah level atau aktivitas dari substansi lain yang memberi sinyal
otak, dan atau langsung melintasi sawar darah otak. Kenyataan bahwa sitokin bertindak di otak
untuk menginduksi adaptasi fisiologi, mungkin mulai dapat menjelaskan patofisiologi CRS dan
patologi umum yang terkait termasuk depresi, kelelahan, gangguan kognisi, memori, gangguan
tidur. Pertanyaan tambahan dalam hubungan antara tidur dan zat pengatur tidur, dan bagaimana
zat tersebut memberi sinyal ke CNS pada pasien dengan CRS, harusnya memberi kita wawasan
tentang patofisiologi dari disfungsi tidur.
Kekuatan penelitian ini meliputi prospektif, desain multi institusional, dan pemanfaatan
instrumen yang tervalidasi untuk menilai disfungsi tidur. Namun, pasien yang terdaftar dari
praktek dan tempat perawatan tingkat tersier bidang rhinologi harusnya dilakukan ekstrapolasi
sepenuhnya temuan ini untuk semua pasien dengan CRS. PSQI belum divalidasi secara khusus
untuk pasien dengan CRS meskipun telah divalidasi pada kontrol yang sehat di berbagai usia, pria
berumur, pasien dengan depresi berat, dan pasien klinik gangguan tidur. Hubungan antara PSQI,
ESS, dan pemeriksan objektif masih belum jelas. PSQI tidak selalu berkorelasi positif dengan
polisomnografi yang berguna menilai kualitas tidur atau tingkat kantuk di siang hari yang diukur
dengan ESS. Demikian pula, ESS tidak selalu berkorelasi dengan istrumen objektif dari disfungsi
tidur.
KESIMPULAN
Pasien dengan CRS mempunyai prevalensi tinggi mempunyai kualitas tidur yang buruk
diukur dengan survei PSQI. Kualitas tidur yang buruk berhubungan signifikan dengan kualitas
hidup spesifik pada CRS, depresi, dan pengunaan tembakau, tetapi tidak berkorelasi dengan
keparahan penyakit yang diukur dengan endoskopi atau penilaian CT. Disfungsi tidur harus
dipertimbangkan pada pasien dengan CRS, bersama dengan potensial kontribusi dari depresi dan
tembakau. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk lebih menjelaskan baik etiologi dan
patofisiologi disfungsi tidur pada pasien CRS.