krisis kohesi sosial dan melemahnya ikatan solidaritas sosial masyarakat
DESCRIPTION
Makalah SosiologiTRANSCRIPT
Krisis Kohesi Sosial Dan Melemahnya Ikatan
Solidaritas Sosial Masyarakat
Disusun Oleh:
1. Kurnia Yulinda Putri (01091003007)
2. Yuslin Alven V (01091003015)
3. Wulan Dari E (01091003019)
4. Ayu Rizki Apriyani (01091003025)
5. Hafizs Yusmar (01101003087)
6. Lia Rodianti (01101003114)
7. Ilham Budi Santoso (01101003119)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS EKONOMI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam kehidupan bermasyarakat perlu adanya sikap saling menghormati,
saling menghargai, toleransi, dan sikap saling memiliki. Setiap individu senantiasa
melakukan interaksi dengan individu atau kelompok lainnya. Manusia dilahirkan untuk
hidup secara bersama-sama dan tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Hidup
berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam
hidup berkelompok itu terjadilah interaksi antar manusia. Interaksi yang kalian lakukan
pasti ada kepentingannya, sehingga bertemulah dua atau lebih kepentingan.
Masyarakat adalah suatu kelompok yang hidup dalam suatu desa atau kota, yang
mana dalam kehidupan bermasyarakat pasti akan terdapat orang orang yang berprilaku
baik dan buruk, dan tentunya dalam hal orang yang berprilaku baik itu akan mudah
dikenal orang lain bahkan dikaguminya, karena dalam kehidupan bermasyarakat itu
membutuhkan ketentraman dan kedamaian, mengenai orang orang yang berprilaku baik
itu akan lebih disenangi, dicintai dan disegani msyarakat, bahkan salah satu dari meraka
akan lebih di segani dan dihormati karena masyarakat menganggap orang tersebut
memiliki perilaku ataupun kelebihan yang berbeda dari orang orang yang ada
disekitarnya, dan didalam masyarakat dikenal dengan yang namanya tokoh msyarakat
(Arviezha, 2011).
Kehidupan bermasyarakat tersebut perlu didukung dengan adanya kehidupan
yang aman, tenteram, dan sejahtera. Namun, saat ini kehidupan bermasyarakat tersebut
telah melemahnya dan sikap kekeluargaan dan gotong royong pun telah mulai
menghilang. Kohesi sosial terdiri dari kekuatan yang berlaku pada anggota suatu
masyarakat atau kelompok untuk tinggal di dalamnya, dan dengan aktif berperan untuk
kelompok dalam kelompok kompak, anggota ingin menjadi bagian dari kelompok,
mereka biasanya suka satu sama lain dan hidup rukun serta bersatu dan setia di dalam
mengejar tujuan kelompok (Teteto, 2012).
Ikatan di dalam masyarakat saat ini sudah memudar sehingga peran masyarakat
untuk aktif didalam kelompok sudah sangat jarang apalagi jika berhubungan dengan
solidaritas yang tumbuh di masyarakat. Fenomena solidaritas menunjuk pada suatu
situasi keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional
bersama (Mangozie, 2012).
Sejalan dengan kohesi sosial yang semakin meluntur dikalangan masyarakat yang
menyebabkan melemahnya ikatan solidaritas sosial masyarakat karena solidaritas sosial
merupakan kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok dan merupakan suatu
keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral
dan kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat pengalaman emosional bersama
(Nasution, 2010). Bentuk perubahan solidaritas sosial yang telah terjadi dalam
masyarakat antara lain semakin menipisnya tingkat saling percaya dan tolong menolong
dalam kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan menurunnya rasa solidaritas
sosial dalam proses kehidupan bermasyarakat.
Misalnya dalam kajian tematis oleh Huber dkk pada Juli 2004, laporan ini
menjabarkan temuan dan rekomendasi dari dua kajian yang membahas kohesi sosial di
Maluku Utara dan Sulawesi Tengah, dan satu kajian lain ynag menyoroti pemuda, kohesi
sosial dan pembangunan perdamaian di Maluku Utara. Laporan ini menyajikan saran
untuk memperkuat dan membangun kembali kohesi sosial di provinsi tersebut melalui
proyek-proyek yang mungkin diterapkan dan ide-ide lintas isu mengenai kohesi sosial,
mencakup didalamnya isu-isu tematis lain, seperti pemerintahan, ekonomi, dan
ketenagakerjaan.
Konflik lain juga terjadi di Bali, terlihat Pada Tabloid Suluh Bali edisi 4
September 2007 dalam wawancara Suluh Bali dengan Antropolog dan Sekretaris Pusat
Penelitian Kebudayaan dan Kepariwisataan Universitas Udayana, I.B.G. Pujaastawa
menyatakan Makin meningkatnya kehadiran penduduk migran ke Bali merupakan
fenomena tersendiri di daerah ini. Para pekerja migran yang sebelumnya terbatas
menekuni sektor-sektor usaha tertentu, kini mulai merambah sektor-sektor usaha yang
selama ini didominasi penduduk lokal. Akibatnya, mereka terjebak ke dalam persaingan
memperebutkan sumber-sumber rezeki yang sama. Kondisi ini dapat membuat
hubungan antara penduduk lokal dan pendatang yang sebelumnya lebih bersifat saling
membutuhkan dapat berubah menjadi hubungan yang tidak saling menguntungkan.
Steriotip antar kedua kelompok yang sebelumnya dapat dinetralisir atau terabaikan oleh
hubungan yang saling membutuhkan, dengan mudah muncul ke permukaan. Terlebih
lagi terbatasnya simbol-simbol yang mampu menumbuhkan ikatan emosional yang sama
antarkedua kelompok dikhawatirkan semakin mempebesar potensi konflik.
Berdasarkan penjelasan diatas menunjukkan bahwa telah terjadinya krisis kohesi
sosial dan melemahnya ikatan solidaritas sosial dikalangan masyarakat. Oleh karena itu,
pendekatan yang paling populer digunakan untuk mengantisipasi dan menanggulangi
konflik adalah pendekatan perdamaian. Skenario pendekatan ini adalah memberikan
penyadaran moral kepada pihak-pihak yang terlibat konflik disertai diplomasi antar elit
untuk menghasilkan kesepakatan atau perjanjian perdamaian. Hasil penanggulangan
konflik semacam ini kerap berupa perdamaian semu, atau yang disebut “perdamaian di
atas selembar kertas”. Pencegahannya hanya mampu melahirkan perdamaian sesaat,
semacam suasana jeda atau gencatan senjata yang setiap saat mudah dilanggar. Upaya
antisipasi dan penangulangan konflik tidak cukup hanya melalui penyadaran moral tanpa
dibarengi upaya-upaya pengendalian sosial secara nyata. Upaya penyadaran moral kerap
hanya menyentuh tataran kognitif tanpa disertai perubahan perilaku yang signifikan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengambil judul “Krisis Kohesi dan
Melemahnya Ikatan Solidaritas Sosial Masyarakat”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
permasalahan yaitu “Mengapa terjadinya krisis kohesi dan melemahnya ikatan
solidaritas sosial masyarakat?”
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui masalah yang terjadi dalam krisis kohesi dan melemahnya
ikatan solidaritas sosial masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kohesi Sosial
2.1.1 Pengertian Kohesi Sosial
Kohesi sosial terdiri dari kekuatan yang berlaku pada anggota suatu masyarakat
atau kelompok untuk tinggal di dalamnya, dan dengan aktif berperan untuk kelompok
dalam kelompok kompak, anggota ingin menjadi bagian dari kelompok, mereka
biasanya suka satu sama lain dan hidup rukun serta bersatu dan setia di dalam
mengejartujuan kelompok. Kohesi sosial merupakan awal dan konsekuensi penting dari
aksi kolektif sukses. Kohesi sosial menengahi formasi kelompok, produktivitas dan
pemeliharaan (Teteto, 2012).
2.1.2 Dimensi Keterpaduan Sosial
Untuk kepentingan studi ini, kohesi sosial dapat dibagi menjadi sedikitnya enam
berhubungan dimensi teori dan social (Teteto, 2012).
rasa memiliki
rasa moral
konsensus tujuan
kepercayaan
hal timbal balik
kohesi jaringan
2.1.3 Rasa Memiliki
Menjadi tingkat dimana anggota individu merasakan seolah-olah mereka
adalah suatu bagian penting dari masyarakat atau kelompok. Kelompok dalam tingkat
kesertaan dapat diukur atas pertolongan diskusi kelompok yang terfokus, wawancara
yang sungguh-sungguh mendalam dengan anggota individu dan contoh survei anggota
masyarakat. Materi berikut mungkin dapat digunakan untuk tujuan berikut;
tanggapan harus ditandai seperti, betul-betul setuju, setuju, tak percaya, tidak
sependapat, sangat tidak sependapat (seperti format bentuk standar) (Teteto, 2012):
saya merasakan bahwa saya milik masyarakat ini
saya melihat diri sebagai bagian dari masyarakat ini
saya merasakan bahwa saya adalah suatu anggota dari masyarakat ini
saya lebih suka akan tinggal di desa/kampung / masyarakat yang berbeda
saya lebih suka akan tinggal di masyarakat ini dibanding di tempat lain
saya bermaksud pindah dari desa/kampung secepat mungkin
orang-orang dalam masyarakat ini semua mengejar tujuan yang sama
semua orang di sini mempunyai keinginan untuk mengejar tujuan mereka
sendiri dibanding bekerja untuk yang baik dari masyarakat.
2.1.4 Rasa Moral
Mengacu pada tingkat dimana anggota suatu masyarakat atau kelompok
bahagia dan bangga menjadi anggota. Tingkat termasuk dapat dirukur atas
pertolongan diskusi kelompok yang terfokus, wawancara yang sungguh-sungguh
mendalam dengan percontohan survei dan anggota individu anggota masyarakat.
(Teteto, 2012).
1) Aku senang menjadi bagian dari masyarakat ini.
2) Aku menjadi isi dari bagian masyarakat ini.
3) Masyarakat ini adalah salah satu yang terbaik.
4) Aku ingin bekerja dengan orang-orang yang sama pada rancangan proyek
masyarakat yang berikutnya.
5) Aku lebih suka akan bekerja dengan orang yang berbeda pada [rancangan
proyek masyarakat yang berikutnya.
6) Kebanyakan orang-orang di dalam masyarakat ini merancang dengan perasaan
suka satu sama lain.
7) Kebanyakan orang-orang di sini akan berbagi tanggung jawab untuk membuat
masyarakat menjadi suatu tempat yang lebih baik untuk ditempati.
8) Di sana terlalu banyak orang-orang di dalam masyarakat ini yang berpikir
mereka perlu berbagi di dalam keuntungan tanpa menyokong pembagian
pekerjaan mereka.
2.2 Kepercayaan Masyarakat
Kepercayaan dianggap sebagai perekat yang menyatukan kelompok
masyarakat bersama dan membuat tindakan yang saling mempertahankan pekerjaan
bersama. Pertanyaan yang ditanyakan dalam random sempe anggota masyarakat bisa
ditanyakan: Apakah orang lain dalam kelompok masyarakat dapat percaya?
2.1.6 Tujuan Konsensus
Tujuan konsensus adalah seberapa persen anggota masyarakatsetuju terhadap
pentingnya setiap masalah. Tujuan yang dicapai oleh kelompok persetujuan menjadi
ilmu pengetahuan yang terbagi. Sebelum masyarakat mencapai suatu persetujauan
pioritas dan tujuan mereka harus mengetahui daklam hal apa persoalan dan apa tujuan
yang dibentuk, organisasi dan kepemimpinan mereka juga harus dinggunakan untuk
mendapatkan masalah yang paling penting yang dihadapi oleh masyarakat (Teteto,
2012).
Indikator:
Setiap masalah tersebut akan memiliki nilai dari setiap responden dari survei
tersebut. Jika satu masalah dianggap sebagai pioritas mendapatkan nilai 1 masalah
dengan pioritas paling rendah akan mendapatkan nilai tinggi yaitu 10 untuk setiap
madsalah satu dapat mehitung rata-rat nialai yang merupakan jumlah nilai yang
diberikan oleh setiap indifidu dibagi oleh jumlah anggota sampel
Materi berikut dapat digunakan untuk tujuan ini syaratnya; tanggapan harus coded
seperti, betul-betul setuju, setuju, tak percaya, tidak sependapat, betul-betul tidak setuju
(seperti format bentuk standar):
1) Orang-orang bertindak di dalam suatu jalan/cara oportunis dan mengabaikan
kewajiban mereka ke orang yang lain
2) Orang-orang memenuhi kewajiban mereka ketika mereka tidak mendapatkan
hukuman
3) Orang-orang memenuhi kewajiban mereka kepada orang yang lain sebab, jika
mereka menemukan, orang-orang di sekitar mereka akan mengetahui bahwa
mereka bukanlah orang yang selalu dipercaya
4) Orang-orang dalam umumnya memenuhi kewajiban mereka dan menjadi
yakin bahwa orang yang lain akan melakukannya untuk mereka
5) Usaha orang-orang untuk memenuhi kewajiban mereka ke orang yang lain.
2.1.7 Jaringan Kohesi
Didalam persekongkolan atau jaringan yang dibatasi dengan kohesi internal
yang lebih tinggi, pada umumnya digambarkan dengan menghubungkan kepadatan
dari mata rantai pertukaran informasi antar anggota nya”. Suatu jaringan sosial terdiri
dari dari semua penghembus atau individuals(atau kelompok) di dalam suatu
masyarakat yang dihubungkan oleh beberapa format hubungan sosial. suatu jaringan
komunikasi di dalam suatu masyarakat dihubungkan oleh pertukaran informasi.
jaringan komunikasi Data diperoleh atas pertolongan pribadi wawancara dengan
semua anggota dari suatu jaringan, kelompok, atau masyarakat. Ukuran kohesi
jaringan diperkirakan:
1) Dengan komputasi kepadatan suatu jaringan dari semua individu di dalam
suatu masyarakat atau kelompok, perhitungan seperti banyaknya penghembus
individu di dalam suatu jaringan yang dihubungkan ke satu sama lain,
membagi dengan total jumlah mata rantai mungkin di dalam jaringan
2) Dengan komputasi centralas suatu jaringan berdasar pada jarak dari semua
individu ke satu sama lain (jumlah langkah-langkah separasi), dihitung seperti
rata-rata nomor; jumlah dari langkah-langkah paling pendek yang
menghubungkan masing-masing individu kepada semua orang lain di dalam
suatu jaringan (Teteto, 2012).
2.1.8 Norma-Norma sosial
Norma-norma sosial disetujui, diatur, dipertahankan dan diterima oleh
mayoritas dari anggota masyarakat tertentu atau norma-norma sosial kelompok
adalah kepercayaan masyarakat tentang perilaku dan sikap yang normal, bisa diterima
di dalam konteks sosial tertentu . Di dalam banyak situasi, persepsi masyarakat dari
norma ini akan sangat mempengaruhi perilaku mereka (Teteto, 2012).
Dimensi norma-norma sosial
Untuk tujuan studi ini, dimensi norma-norma sosial dapat dikenali:
1) Norma-Norma pada keikutsertaan
2) Norma-Norma tentang kepemimpinan, dan
3) Norma-Norma tentang program yang spesifik
2.1.9 Norma Keikutsertaan
Didalam norma keikutsertaan menyangkut atau menyinggung tentang minat
dan kemauan seseorang untuk mengikuti sesuatu, ada hal-hal yang mempengaruhi
(Teteto, 2012).
1. Persetujuan tentang keikutsertaan anggota di dalam menyelesaikan masalah
(implementasi program) index gabungan
2. Proporsi anggota / menggolongkan percaya itu sehingga masyarakat akan
mengambil bagian dengan sukarela
3. Potensi untuk resiko pribadi didalam kelompok dirasa menujukan solusi
dari masalah (program)
2.1.10 Norma Tentang Kepemimpinan
Mengacu pada aturan masyarakat, kepercayaan dan sistem tentang atribut
pemimpin, jalan dan tanggung-jawab dalam pemilihan / mengubah para pemimpin
(Teteto, 2012).
1. Peran para pesmimpin masyarakat yang dirasa
2. Atribut yang dirasa seorang yang baik dapat memimpin untuk program (solusi
ke masalah) dengan anggota masyarakat
3. Proporsi anggota masyarakat yang dapat menguraikan beberapa mekanisme
untuk mengubah para pemimpin
4. Luas dari keterkaitan yang dirasa menjadi masalah untuk keterlibatan
masyarakat
2.1.11 Norma Tentang Program / Isu Spesifik
Mengacu pada kepercayaan masyarakat dan aturan tentang bagaimana bisa
diterima akan memperbicangkan dan mengambil bagian di dalam aktivitas mengenai
program atau masalah / isu, terutama yang perlu / dapat berhadapan dengan program
itu, secara kebiasaan dikeluarkan dari diskusi, tingkat detil untuk diskusi dan tingkat
resiko pribadi. (Teteto, 2012).
a) Luas dimana masalah (program) dapat dibahas dengan bebas di dalam
masyarakat
b) Derajat tingkat dan tingkat dukungan anggota masyarakat yang lain
mempunyai peran dalam memecahkan masalah (program): Tingkat Oposisi
2.1.12 Kohesi Sosial : Pendekatan Konseptual dan Strategis
Kohesi sosial merupakan konsep kemasyarakatan (societal). Sinonim dari
kohesi sosial mencakup solidaritas sosial, kesatuan, kesadaran kelompok, kesukuan
(tribalism), kesaudaraan (clanism), maupun nasionalisme.
Melihat kohesi sosial dari sisi pendekatan konseptual, menurut Council of
Europe, kohesi sosial merupakan kapasitas masyarakat untuk memastikan
kesejahteraan bagi seluruh anggotanya, meminimkan disparitas, dan menghindari
polarisasi. Masyarakat yang kohesif dicirikan dengan komunitas individu-individu
yang bebas tetapi saling mendukung satu sama lain dalam mencapai tujuan yang
umum melalui sarana demokratis.
Jika kita menganalisisnya lebih dalam, seperti halnya berbagai definisi yang
digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, konsep kohesi sosial berbeda dalam hal persepsi
dan pada prakteknya. Disparitas dipertajam oleh perbedaan pengetahuan, pendekatan
kebijakan yang tidak konsisten, kurangnya informasi, dan gambaran stereotip,
kategorisasi, dan model-model tradisional tertentu bagi penyediaan kesejahteraan
sosial. Seperti halnya saat pendefinisian, kebijakan, hukum, dan layanan dukungan
bagi kohesi sosial dicirikan oleh banyak kriteria yang berakibat pada birokratisasi,
diskriminasi, dan stigmatisasi lebih lanjut. Kurangnya sumber daya manusia yang
kompeten, profesional, dan bisa berkolaborasi antar sektor membuat aparat
pemerintah semakin bersikap reaktif daripada proaktif.
Berbeda dengan pendekatan konseptual yang lebih menekankan kepada esensi
dari kohesi sosial sebagai sebuah konsep solidaritas atau kesatuan dalam masyarakat.
Pendekatan strategis lebih melihat fenomena kohesi sosial dari sudut pandang yang
berbeda. Pendekatan strategis mengajak kita untuk melihat bahwasanya dalam suatu
ikatan sosial masyarakat, tidak mungkin terciptanya sebuah kesederajatan atau
kesamaan nilai antar individu dalam masyarakat tersebut. Permasalahan-permasalahan
sosial pasti terjadi. Oleh sebab itu, pendekatan strategis, melihat kohesi sosial melalui
dua pendekatan turunan, yaitu pendekatan negatif (negative approach) dan
pendekatan positif (positive approach).
Pendekatan negatif lebih fokus kepada fitur-fitur yang menguji suatu kohesi
sosial dibandingkan dengan proses-proses yang membangun ikatan dalam masyarakat
tersebut. Fitur-fitur inilah yang kemudian menjadi sinyal atau indikator dari “sehat”
atau tidaknya suatu masyarakat. Misalnya, keberadaan masyarakat pengangguran dan
masyarakat miskin (seperti yang terjadi di Indonesia), karena keberadaan material
juga memiliki peran penting dalam perwujudan suatu masyarakat yang
kohesi. Kondisi material tersebut mencakup pekerjaan, pendapatan, kesehatan,
pendidikan, dan perumahan. Kebutuhan dasar manusia merupakan pondasi struktur
sosial yang kuat dan merupakan indikator penting bagi kemajuan sosial. Hubungan
antara dan dalam komunitas bisa merenggang ketika kebutuhan dasar untuk hidup
tidak terpenuhi, antara lain tidak memiliki pekerjaan, mengalami kerasnya hidup,
utang, kegelisahan, rendahnya harga diri, sakit-sakitan, kurangnya keahlian, dan
kondisi penghidupan yang buruk.
Selanjutnya pendekatan positif, pendekatan ini tidak mempertanyakan akan
keberadaan masyarakat yang menganggur atau masyarakat miskin. Tetapi lebih
berusaha untuk meyakinkan bahwasanya masyarakat sosial secara keseluruhan
memiliki kemampuan untuk menyediakan akses kualitas hidup yang baik bagi
anggota-anggotanya. Oleh sebab itu, pendekatan positif memakai beberapa tolak ukur
pendekatan lain, antara lain: kohesi wilayah, yang menekankan bahwa kedekatan
wilayah dengan sendirinya dapat menciptakan kerjasama serta solidaritas yang kuat di
dalamnya; sosial kapital, yang menekankan kepada pertukaran nilai dan kepercayaan
yang berfungsi sebagai pemecah permasalahan; kualitas hidup, yang menekankan
kepada tolak ukur kualitas sosial sebagai bentuk evaluasi keamanan ekonomi; dan
akses terhadap hak, yang menekankan kepada penjaminan hak setiap individu atas
individu lainnya secara adil.
Secara garis besar, interaksi, pertukaran, dan jaringan yang positif antara
individu dan komunitas melalui kontak dan koneksi merupakan sumber potensial bagi
suatu wilayah untuk memberikan dukungan satu sama lain bagi orang dan organisasi,
informasi, kepercayaan (trust), dan penghargaan dari berbagai jenis. Kondisi ini
merupakan bentuk hubungan (sosial) aktif. Kesemuanya merupakan elemen yang
dapat digunakan sebagai cara pandang kita untuk melihat suatu fenomena kohesi
sosial (Boni, 2011).
2.2 Solidaritas Sosial
2.2.1 Pengertian Solidaritas Sosial
Solidaritas sosial adalah perasaan yang secara kelompok memiliki nilai-nilai
yang sama atau kewajiban moral untuk memenuhi harapan-harapan peran (role
expectation). Oleh karena itu prinsip solidaritas sosial masyarakat meliputi: saling
membantu, saling peduli, bisa bekerjasama, dan bekerjasama dalam mendukung
pembangunan baik secara keuangan maupun tenaga dan sebagainya (Nasution, 2010).
2.2.2 Faktor – Faktor Perubahan Solidaritas Sosial
Tentunya ada yang menyebabkan terjadinya perubahan solidaritas sosial yang
terjadi pada saat sekarang ini. Faktor – faktor itu antara lain :
1. Meningkatnya tingkat pendidikan anggota keluarga sehingga dapat berpikir
lebih luas dan lebih memahami arti dan kewajiban mereka sebagai manusia.
2. Perubahan tingkat sosial dan corak gaya hidup kadang-kadang menciptakan
kerenggangan di antara sesama anggota keluarga.
3. Sikap egoistik, bila seseorang individu terlalu mementingkan diri sendiri dan
keluarganya, lalu mengorbankan kepentingan masyarakat.
2.2.3 Perubahan Solidaritas Sosial
Bentuk perubahan solidaritas sosial yang telah terjadi dalam masyarakat pada
saat ini banyak terjadi pada daerah pedesaan. Walaupun pada dasarnya solidaritas
pada daerah pedesaan harus sangat tinggi karena rasa kebersamaan antar sesame
masyarakat didaerah pedesaan dulunya sangat tinggi. Namu seiring berjalannya waktu
terjadi perubahan sosial yang terjadi, diantaranya :
1. Adanya kecenderungan pada masyarakat kita, khususnya masyarakat desa
transisi pada warga asli dan warga pendatang berupa kecurigaan terhadap
orang lain yang dianggap sebagai lawan yang berbahaya, ini bisa
mengakibatkan terjadinya konflik antar kedua masyarakat tersebut.
2. Semakin menipisnya tingkat saling percaya dan tolong menolong dalam
kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan menurunnya rasa solidaritas
sosial dalam proses kehidupan.
2.2.4 Nilai Nilai Solidaritas Sosial
Upaya memelihara solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan tidaklah semudah yang dibayangkan, karena solidaritas sosial akan
terus berkembang menuju kehidupan sosial yang modern. Mampukah masyarakat
desa, khususnya desa transisi beradaptasi dengan masuknya nilai-nilai yang modern
yang mementingkan sikap individualitas dan tidak mengandung nilai-nilai kearifan
lokal? sementara nilai budaya lokal yang dianut mengandung nilai-nilai kearifan dan
sejalan dengan nilai budaya yang ada.
Nilai-nilai solidaritas sosial pada masyarakat desa transisi :
1. Tumbuh dari pertautan (integrasi) antara nilai tradisi lokal dengan nilai
modern, akibat terjadinya interaksi antar kedua warga tersebut
2. Nilai-nilai solidaritas yang memiliki kearifan lokal pada masyarakat dusun dan
masyarakat perumahan yang positif harus dipelihara seiring dengan
banyaknya pembangunan perumahan baru di wilayah pedesaan, karena nilai-
nilai tersebut cenderung meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Pihak pengembang perumahan berkewajib-an mengontrol dan melakukan
kerjasama dengan aparat desa dan tokoh masyarakat di lingkungan masing-
masing terhadap proses sosial yang berkembang dipemukiman baru, agar segala
gejala negatif yang muncul dapat segera diantisipasi, misalnya gejala segregasi
sosial (mengabaikan kelangsungan sosial dan budaya karena menurut
perhitungan ekonomi dianggap tidak menguntungkan developer), konflik sosial,
dan dislokasi sosial (perubahan pemukiman penduduk dalam jumlah besar dan
waktu relatif cepat) sehingga menimbulkan masalah sosial.
2.2.5 Solidaritas Sosial di Indonesia
Di era globalisasi dan derasnya aliran modal, masyarakat cenderung terbagi
menjadi dua kelas: produsen dan konsumen. Menurut Budi Hardiman dalam
bukunya Hak-hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa manusia yang terbagi dalam dua
kelas ini akan dengan sendirinya mengejar hak-hak privat mereka dariapda mengejar
solidaritas sosial. Artinya, dengan derasnya aliran uang, manusia semacam ini akan
mengejar uang tanpa mempertimbangkan identitas kewarganegaraan mereka.
Hal semacam inilah yang kemudian membuat manusia akan kehilangan
identitasnya. Manusia kemudian tidak lagi dipredikatkan melalui status
kewarganegaraan. Bukan tidak mungkin hal semacam ini juga yang mengantarkan
manusia kepada budaya materialisits dan pembagian kelas-kelas pada masyarakat
yang hanya didasarkan pada segepok uang. Hal ini menyebabkan timbulnya jurang
yang tidak terjembatani antara yang kaya dan yang miskin. Mereka tidak bisa bersatu
karena zaman yang menuntut mereka untuk menanggalkan identitas
kewarganegaraannya dan mengganti jubahnya dengan jubah uang dalam semangat
globalisasi dan aliran modal.
Hal inilah yang terjadi dalam masalah lahan di Indonesia. Kasus-kasus sekelas
Mesuji dan Bima cukup menunjukkan bahwa solidaritas sosial di antara rakyat
Indonesia sendiri dan juga dengan pemimpinnya itu tidak lagi ada.
Solidaritas sosial sebagai satu warga negara itu hilang ketika aparat harus bentrok
dengan warga yang pada hakekatnya mereka adalah satu warga negara Indonesia.
Aparat tidak lagi bertindak untuk menegakkan keadilan namun tunduk kepada aliran
uang yang membayar.
Solidaritas semacam itu juga hilang ketika pucuk kepemimpinan di daerah
ataupun di pusat mengijinkan begitu saja pengambilalihan lahan rakyat tanpa
mengetahui seluk-beluk pentingnya tanah tersebut untuk mereka. Akhirnya,
solidaritas antara pemimpin dan rakyatnya hilang karena pemimpin terpaksa tunduk
pada aliran modal. Manusia seolah-olah dipaksa untuk memahami bahwa lahan itu
memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan kemudian mengabaikan nilai-nilai lainnnya
yang sebelumnya diemban oleh penduduk setempat.
Manusia-manusia tanpa identitas yang hidup di wilayah Indonesia ini lama-
kelamaan akan membahayakan Indonesia itu sendiri. Hal ini pernah dinyatakan oleh
Budi Hardiman dalam tulisannya di Kompas bahwa Indonesia saat ini sedang dilanda
krisis solidaritas yang pada akhirnya bisa berakibat fatal karena tidak adanya lagi
ikatan-ikatan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, jelaslah ketakutan yang dihadapi
di sini: globalisasi dengan logika investasi dan aliran modalnya pada suatu saat akan
juga menghancurkan Indonesia karena logika yang bermain adalah pengembanan
hak-hak privat untuk kepentingan pribadi.
BAB III
KESIMPULAN
Kohesi sosial yang semakin meluntur dikalangan masyarakat yang menyebabkan
melemahnya ikatan solidaritas sosial memberikan dampak yang sangat besar terhadap
masyarakat, memperdalam jurang pemisah sosial dan seringkali mengakibatkan pemisahan
masyarakat secara fisik. Pendekatan yang paling populer digunakan untuk mengantisipasi dan
menanggulangi konflik adalah pendekatan perdamaian. Skenario pendekatan ini adalah
memberikan penyadaran moral kepada pihak-pihak yang terlibat konflik disertai diplomasi
antar elit untuk menghasilkan kesepakatan atau perjanjian perdamaian. Hasil penanggulangan
konflik semacam ini kerap berupa perdamaian semu, atau yang disebut “perdamaian di atas
selembar kertas”. Pencegahannya hanya mampu melahirkan perdamaian sesaat, semacam
suasana jeda atau gencatan senjata yang setiap saat mudah dilanggar. Upaya antisipasi dan
penangulangan konflik tidak cukup hanya melalui penyadaran moral tanpa dibarengi upaya-
upaya pengendalian sosial secara nyata. Upaya penyadaran moral kerap hanya menyentuh
tataran kognitif tanpa disertai perubahan perilaku yang signifikan. Setiap orang mungkin saja
memiliki pemahaman yang baik mengenai apa yang seharusnya mereka lakukan, namun
dalam kenyataannya justru tidak melakukannya. Sebaliknya, setiap orang mungkin saja
memiliki pemahaman yang baik mengenai apa yang tidak seharusnya mereka lakukan, namun
dalam kenyataannya justru melakukannya.
Melemahnya solidaritas yang terjadi pada masyarakat Indonesia pada saat sekarang
ini pada umumnya disebabkan berkembangnya dengan pesat globalisasi yang ada di
Indonesia pada saat ini. Berkembangnya globalisasi ini sebenarnya bisa berdampak positif
untuk kemajuan Indonesia, namun perkembangan ini tidak diimbangi dengan ilmu, sikap dan
perilaku yang membuat rasa materialistis tertanam dalam hati masyarakat. Rasa materialistis
inilah pada umumnya membuat rasa solidaritas antar sesame memudar yang berakibat konflik
antar sesama masyarakat.
Untuk mengatasi ini semua yang diperlukan dalam menangani konflik lahan yang ada
di Indonesia adalah bersikap tidak abai terhadap keberadaan penduduk-penduduk setempat
dan nilai-nilai yang diemban oleh mereka. Penggunaan kekerasan dan tindakan represif untuk
menekan massa pun tidak bisa dipraktikkan. Sikap-sikap yang merangkul sesama manusia
dan tindakan komunikatif harus diaplikasikan dalam menghadapi masalah semacam ini.
Perbedaan nilai-nilai yang terjadi di dalam konflik lahan antara pemilik modal dan penduduk
setempat pun tidak seyogaynya disamaratakan dan didasarkan hanya kepada kepentingan
pemilik modal.
DAFTAR PUSTAKA
Arviezha, Zhayn . Kehidupan Bermasyarakat (online), http://zainul.alkhoirot.net / 2011/11/
kehidupan-bermasyarakat.html, diakses tanggal 10 Desember 2012).
Teteto. Kohesi Sosial (online), (http://teteto.wordpress.com/2012/09/12/kohesi-sosial/,
diakses tanggal 10 Desember 2012).
Andika, Boni. 2011. Kohesi Sosial : Pendekatan Konseptual dan Strategis, (online), (http://andikaboni.blogspot.com/2011/07/kohesi-sosial-pendekatan-konseptual-dan.html, diakses tanggal 10 Desember 2012).
Huber dkk. 2004. Menuju Pembangunan Damai: Membangun Kohesi Sosial dan Rekonsiliasi Sulawesi tengah dan Maluku Utara. Kajian Tematis
Nasution. 2010. Konflik dan Lunturnya Solidaritas Sosial Masyarakat Desa Transisi. http://berkarya.um.ac.id/2010/02/05/konflik-dan-lunturnya-solidaritas-sosial-masyarakat-desa-transisi-oleh-zulkarnain-nasution/.
Sb-04. 2007. Anatomi Konflik Masyarakat Bali: Dari Puik hingga Bentrok Fisik. Tabloid Suluh Bali edisi 4 September 2007. http://suluhbali.multiply.com/journal/item/11/ natomi_Konflik_Masyarakat_Bali_Dari_Puik_hingga_Bentrok_Fisik