konsep penanganan cardiac arrest di instalasi gawat darurat baru

19
2.3 KONSEP PENANGANAN CARDIAC ARREST DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) 2.3.1 Definisi IGD Departemen darurat / IGD adalah pintu utama jalan masuknya korban gawat darurat yang merupakan komponen penting dari system kesehatan yang bertujuan memberikan perawatan untuk pasien yang memiliki kondisi hidup yang mengancam atau lainnya yang membutuhkan perawatan medis yang mendesak untuk mengurangi angka kecacatan dan kematian (Australian Institute of Health and Welfare, 2014). Kematian adalah suatu keadaan dimana berhentinya sirkulasi darah dan pernafasan sehingga sel-sel dalam tubuh tidak mendapatkan oksigen dan jika dalam waktu < 5 menit kerusakan jaringan secara permanen serta menyebabkan kematian. Mati klinis adalah suatu keadaan henti nafas, henti sirkulasi, henti jantung dan otak tidak berfungsi sementara (reversible), kematian ini paling banyak disebabkan karena cardiac arrest (sudiharto, 2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no 340/MENKES/PER/III/2010 Menyatakan Bahwa instalasi gawat darurat adalah sebuah unit yang harus dapat memberikan pelayanan gawat

Upload: eka-putri

Post on 14-Apr-2016

57 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

konsep igd

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

2.3 KONSEP PENANGANAN CARDIAC ARREST DI INSTALASI GAWAT

DARURAT (IGD)

2.3.1 Definisi IGD

Departemen darurat / IGD adalah pintu utama jalan masuknya

korban gawat darurat yang merupakan komponen penting dari system

kesehatan yang bertujuan memberikan perawatan untuk pasien yang

memiliki kondisi hidup yang mengancam atau lainnya yang

membutuhkan perawatan medis yang mendesak untuk mengurangi

angka kecacatan dan kematian (Australian Institute of Health and

Welfare, 2014).

Kematian adalah suatu keadaan dimana berhentinya sirkulasi darah

dan pernafasan sehingga sel-sel dalam tubuh tidak mendapatkan

oksigen dan jika dalam waktu < 5 menit kerusakan jaringan secara

permanen serta menyebabkan kematian. Mati klinis adalah suatu

keadaan henti nafas, henti sirkulasi, henti jantung dan otak tidak

berfungsi sementara (reversible), kematian ini paling banyak

disebabkan karena cardiac arrest (sudiharto, 2011).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no

340/MENKES/PER/III/2010 Menyatakan Bahwa instalasi gawat

darurat adalah sebuah unit yang harus dapat memberikan pelayanan

gawat darurat 24 (duapuluh empat) jam dan 7 (tujuh) hari seminggu

dengan kemampuan melakukan pemeriksaan awal kasus – kasus gawat

darurat melakukan resusitasi dan stabilisasi sesuai dengan standar

(Kemenkes, 2010).

Page 2: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

2.3.3 Penanganan Cardiac Arrest di Instalasi Gawat Darurat

1. Algoritma

Page 3: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

Setiap instalasi gawat darurat rumah sakit harus mempunyai

standart operasional prosedur mengenai penatalaksanaan pasien di

instalasi gawat darurat, penanganan penderita gawat darurat harus

mengikuti prinsip dasar yang sudah berlaku secara umumya itu

berdasarkan prioritas ABC–DE (Airway, Breathing, Circulation,

Disability, Exposure) sesuai kasus yang dihadapi. Pada kasus

cardiac arrest, prioritas yang digunakan dalam penanganan korban

adalah prinsip CAB (Circulation, Airway, Breathing). Dalam

pengelolaan penderita gawat darurat memerlukan pengelolaan yang

tepat dan cepat, yang bertujuan untuk menghindari kematian.

2. TRIAGE

a. Prioritas TRIAGE

NO PRIORITAS KETERANGAN KASUS

1 Prioritas tertinggi

(merah)

Korban gawat darurat,

artinya terancam jiwa atau

anggota badannya (akan

menjadi cacat), jika tidak

mendapatkan pertolongan

secepatnya.

Kelainan pernafasan

(obstruksi jalan nafas), henti

nafas, sukar bernafas hebat,

henti jantung, perdarahan

tidak terkontrol / lebih dari 2

liter, cedera kepala hebat

(korban tidak sadar ) luka

dada terbuka dan luka

hancur pada abdominopelvic

(perut-piggul), shock hebat

dan tekanan systolic < 80

mmhg, luka bakar yang

mengenai saluran nafas,

serangan jantung, stroke,

heat stroke, hipotermi berat,

dan masalah medis berat

lainnya.

2 Prioritas tinggi

(kuning)

Korban moderate

emergent, yaitu korban

gawat atau darurat yang

tidak dapat dimasukan

Luka bakar hebat, cidera

spinal selin pada cervical,

perdarahan sedang atau

lebih dari 2 liter, korban

Page 4: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

prioritas tertinggi maupun

prioritas sedang (tidak

merah, tidak kuning).

sadar dengan cidera kepala

serius, fraktur multiple

(selain diatas) cidera bagian

belakang, overdosis obatdll)

3 Prioritas sedang

(hijau)

Korban gawat tidak

darurat, artinya meskipun

kondisinya dalam keadaan

gawat, tetapi tidak

memerlukan tindakan

segera, atau korban tidak

gawat, korban tidak gawat

tidak darurat.

Perdarahan ringan; fraktur

dan cidera daerah lunak

minor, luka bakar ringan dan

sedang, trauma dengan

tingkat survival yang sangat

rendah dan sulit diharapkan

(korban tidak sadar dengan

otak terekspos, luka bakar

derajat 2/3 hingga lebih dari

40% luas tubuh) dll.

4 Prioritas terakhir

(hitam)

Korban ada tanda-tanda

telah meninggal.

Tidak adanya respirasi dan

denyut nadi < 20 menit

mulai kejadian (kecuali

korban tenggelam atau

korban hipotermia ekstrem),

tidak adanya respirasi dan

denyut nadi, trauma yang

menyebankan RJP tidak

dapat dilakukan atau tidak

efektif, dekapitasi (leher

putus )

Tabel 2.4 Prioritas TRIAGE (Tim bantuan medis panacea, 2014)

b. Prosedur TRIAGE

Algoritma ini menggunakan empat poin keputusan (A, B,

C, dan D) untuk menyortir pasien kesalah satu dari lima tingkat

triase. Triase dengan algoritma ESI membutuhkan perawat

departemen emergensi berpengalaman, yang dimulai di bagian

atas algoritma. Dengan latihan, perawat triase akan dapat

dengan cepat berpindah dari satu ESI titik keputusan untuk

selanjutnya.

Page 5: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

Gambar 2.12 Algoritma Triage (Gilboy, dkk, 2012)

Empat poin keputusan digambarkan dalam ESI algoritma

sangat penting untuk akurat dan dapat diandalkan. Angka ini

menunjukkan empat poin keputusan menjadi empat kunci

pertanyaan:

1) Apakah pasien ini membutuhkan segera menyelamatkan jiwa

intervensi?

2) Apakah ini seorang pasien yang tidak harus menunggu?

3) Berapa banyak sumber pasien ini perlu?

4) Bagaimana tanda-tanda vital pasien?

3. Resusitasi

a. Penilaian CAB (Circulation Airway Breathing)

1) Circulation

Bila ada ganguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya

2 jalur (IV line/intra vena line). Kateter IV yang dipakai

harus berukuran besar. Pada awalnya sebaiknya

menggunakan vena pada lengan. Syok pada korban gawat

darura takibat trauma umumnya disebabkan hipovolemia.

Korban gawat darurat saat pertama datang atau ditemukan

harus di infuse dengan 1,5-2 liter cairan kristaloid,

Page 6: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

sebaiknya Ringer Lactat. Bila tidak ada respon dengan

pemberian bolus kristaloid, maka diberikan darah

segolongan (type specific). Bila tidak ada darah segolongan

dapat diberikan darah tipe O resus negatif, atau tipe O Rh

positif titer rendah.

2) Airway

Airway harus dijaga dan dipertahankan dengan baik,

khususnya pada korban gawat darurat tidak sadar. Jaw

thurst atau chin lift dapat dipakai pada beberapa kasus.

Pada korban gawat darurat yang masih sadar dapat dipakai

nano-phyaryngeal airway. Bila korban gawat darurat tidak

sadar dan tidak ada reflek mual (gag reflex) dapat dipakai

nano-phyaryngeal airway (Guedel).

Kontrol jalan nafas pada korban gawat darurat yang

airway-nya terganggu karena faktor mekanik, atau ada

gangguan ventilasi akibat gangguan kesadaran. Kontrol

jalan nafas dicapai dengan intubasi endo-tracheal, baik oral

maupun nasal. Prosedur ini harus dilakukan dengan control

terhadap servikal.

3) Breathing

Ventilasi akan terganggu bila ada tension peneumotoraks.

Bila dicurigai ada tension pneumothorak maka harus segera

dilakukan dekompresi. Dekompresi dilakukan dengan cara

masuk rongga thorax dengan jarum besar, kemudian

dilanjutkan dengan pemasangan WSD (Water Seal

Drainage). Setiap korban gawat darurat cardiac arrest

seharusnya diberikan oksigen, sebaiknya oksigen diberikan

dengan face-mask (Sudiharto, 2013).

Page 7: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

b. Algoritma

Page 8: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

4. Terapi farmakologi

Menurut AHA, 2010 tujuan utama pada terapi farmakology

selama cardiac arrest adalah fasilitasi pengembalian dan menjaga

irama spontan jantung sehingga perfusi jaringan tetap terjaga.

Umtuk mencapai hal tersebut , terapi obat ACLS lebih sering

dihubungkan dengan peningkatan tercapainya ROSC dan

penanganan lebih lanjut di rumah sakit, bukan untuk

memperbaiki long-term-survival dengan neurologic outcome

yang baik.

a. Pemberian vasopressor

Pemberian vasopressor agent pada stage manapun

selama penatalaksanaan VF, PEA, atau asistol terbukti dapat

meningkatkan survival neurologicall intack setelah pasien

keluar dari rumah sakit. Vasopressor juga terbukti dapat

meningkatkan tercapainya ROSC pada saat RJP.

b. Epineprine

Epineprine hydrochloride bermanfaat pada pasien

dengan cardiac arrest, utama nya karena memilikki efek α-

adrenergic reseptor-stimulating (vasokonstriktor). Efek α-

adrenergic dari Epineprine dapat meningkatkan CPP

( coronary perfusion pressure/aortic relaxation ”diastolic”

pressure minus right atrial relaxation “diastolic” pressure)

dan tekanan perfusi cerebral selama RJP. Untuk efek β-

adrenergik dari Epineprine masih kontoversi karena bereflek

meningkatkan kerja miocardium dan mengurangi perfusi

subendo kardial. Berdasarkan kerja nya tersebut cukup

beralasan jika pemberian 1 mg Epineprine IV setiap 3 sampai

5 menit dianjurkan pada cardiac arrest. Dosis lebih tinggi

hanya di indikasikan pada keadan khusus, seperti pada

overdosis β-blocker atau calcium channel blocker jika akses

Page 9: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

vena (IV) terlambat atau tidak di temukan Epineprine dapat

di berikan endotrakeal dengan dosis 2 mg sampai 2,5 mg.

c. Vasopressine

Vasopressine adalah nonadrenergic peripheral

vasoconstrictor yang juga dapat mengakibatkan

vasokonstriksi padaa koroner dan ginjal. Berdasarkan 3 meta-

analysis trials dan 2 randomized controlled clinical

trials(RCTs), mendapatkan pemberian vasopressin

dikombinasi dengan epinephrine tidak memberikan

perbedaan bermakna jika dibandingkan dengan pemberian

epinephrine tanpa kombinasi vasopressine. Oleh karena itu,

vasopressine single dose 40 unit IV tidak lagi dipakai dalam

algoritma cardiac arrest.

d. Anti aritmia ( aminodarone )

Aminodarone IV beefek pada channels natrium, kalium,

dan kalsium serta memiliki efek α dan β adrenergik blocking.

Aminodarone dapat dipertimbangkan untuk terapi VF

ataupun pulseles VT yang tidak memberikan respon terhadap

shock, RJP dan vasopressor. Dosis pertama dapat diberikan

300 mg IV , diikuti dosis tunggal 150 mg IV. Pada blinded-

RCTs didapatkan pemberian aminodorane 300 mg/5 mg/ kg

BB secara bermakna dapat memperbaiki keadaan pasien

VF / pulseles Vt di rumah sakit, dibandingkan pemberian

placebo atau lidocaine 1,5 mg/kg BB.(AHA,2010)

e. Lidokain

Lidokain merupakan antiaritmia alternatif yang sudah lama

digunakan karena memiliki lebih sedikit efek samping

langsung yang mungkin ditemui pada antiaritmia lainnya.

Namun, Lidokain tidak memiliki khasiat jangka pendek atau

jangka panjang yang terbukti dalam penanganan gagal

jantung. Lidokain dapat dipertimbangkan jika amiodaron

Page 10: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

tidak tersedia (Kelas IIb, LOE B). Dosis awal nya adalah 1

sampai 1,5 mg / kg IV. Jika VF / VT pulseless berlanjut, di

tambahkan dosis tambahan 0,5 0,75 mg / kg melalui jalur IV

selang waktu 5- 10 menit berikut nya diberikan dosis

maksimal 3 mg / kg (AHA, 2010).

Obat - obatan yang Tidak dianjurkan untuk di Gunakan

Secara Rutin Selama Serangan Jantung

a. Atropin

Atropin sulfat membalikkan penurunan kolinergik-

dimediasi denyut jantung dan konduksi nodal

atrioventrikular. Studi klinis memberikan bukti yang

bertentangan dari manfaat penggunaan rutin atropin pada

henti jantung. Tidak ada bukti bahwa atropin memiliki

efek merugikan selama serangan jantung bradikardia atau

asistolik. Dan tidak ada nya bukti yang menunjukkan

bahwa penggunaan rutin atropin selama PEA atau asistol

yang memiliki manfaat terapeutik (Kelas IIb, LOE B).

Karena alasan ini lah atropin telah dihapus dari algoritma

serangan jantung.

b. Sodium bikarbonat

Berbagai efek samping yang di temukan berkaitkan

dengan penggunaan bikarbonat selama henti jantung.

Bikarbonat dapat mengganggu CPP dengan mengurangi

sistemik vaskular resistance. Hal ini dapat membuat

alkalosis ekstraseluler yang akan menggeser kurva

saturasi oksihemoglobin dan menghambat pelepasan

oksigen. Hal ini dapat menghasilkan hipernatremia yang

dapat menyebabkan hyperosmolarity. Ini menghasilkan

kelebihan CO2, yang bebas berdifusi ke miokard dan sel

otak dan mungkin paradoks berkontribusi intraseluler

acidosis. Hal ini dapat memperburuk asidosis vena sentral

Page 11: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

dan dapat menonaktifkan secara bersamaan jika diberikan

katekolamin. Dalam beberapa situasi resusitasi khusus,

seperti yang sudah ada sebelumnya seperti asidosis

metabolik, hiperkalemia, atau antidepresan trisiklik

overdosis, bikarbonat dapat bermanfaat (lihat Bagian 12:

"Jantung Penangkapan di Situasi Khusus "). Namun,

penggunaan rutin natrium bikarbonat tidak

direkomendasikan untuk pasien di serangan jantung

(Kelas III, LOE B). (AHA, 2010)

5. Recovery

a. Emergency Precuntaneus intervention

Pada keadaan STEMI, reperfusi koroner dapat ditangani

dengan 2 cara yaitu :

Page 12: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

1). Percuntaneous coronary intervention (PCI) dapat

digunakan untuk membuka kembali arteri yang

tersumbat. Tindakan ini disebut Primary Percuntaneous

coronary intervention.

2). Terapi fibrinolitik dapat diberikan untuk mengencerkan

thrombus yang menghambat dan mengendap pada

infark miokard. Obat yang digunakan adalah aspiri 300

mg, clopidogel 600 mg, terapi antitrhombin.

b. Emergency CABG performed

  Operasi coronary artery bypass graft (CABG) adalah prosedur

pembedahan revaskularisasi yang digunakan untuk memperbaiki

dan meningkatkan aliran darah ke jantung. Operasi CABG

dilakukan untuk mengurangi angina pada pasien yang telah gagal

dengan terapi medis dan bukan kandidat yang tepat

untukangioplastty (PTCA). Operasi CABG sangat ideal untuk

pasien dengan penyempitan di beberapa cabang arteri koroner.

Pada CABG pembuluh pintasan baru dibuat yaitu arteri atau vena

yang sehat diambil dari kaki, lengan atau dada pasien. Arteri atau

vena tersebut diambil melalui pembedahan dan dijahitkan ke

sekeliling bagian yang tersumbat dan memulihkan aliran darah ke

otot jantung (Chatarina,2011).

c. Emergency Hypothermia therapy

1). Indukasi hipotermiaSangat disarankan Indukasi hipotermia (32oC ke

34oC) untuk sekelompok pasien keluar rumah sakit dengan VF/ pulseless ventrikel takikardia (PVT) cardiac arrest dan pasien koma post ROSC dan didorong bahwa hipotermia di indukasi untuk mempertimbangkan sebagian pasien koma post cardiac arrest lainnya. Pertanyaan yang tetap tentang indikasi tertentu dan populasi, waktu dan durasi terapi, dan metode untuk induksi, pemiliharaan dan meringankan hipotermia (AHA, 2015).

Untuk pasien dengan cardiac arrestdirumah sakit tidak data acak yang tersedia. Studi observasional yang ditemukan tidak ada hubungan antara induksi hipotermia dan kelangsungan hidup atau status

Page 13: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru

fungsional yang menguntungkan dirumah sakit. Namun analisis penelitian ini juga dihambat oleh beberapa faktor, termasuk kurangnya informasi tentan pasien koma dan karena itu adanya potensial untuk induksi hipotermia (AHA, 2015).

Dapat dilakukan percobaan acak terkontrol menemukan bahwa hasil neurologis dan kelangsungan hidup pada 6 bulan setelah OCHA tidak maju bila suhu dikontrol pada 36oC dibandingkan 33oC. Tidak ada perbandingan langsung dengan durasi yang berbeda dari TTM pada pasien post cardiac arrest, uji terbesar dan studi TTM dipertahankan suhu selama 24 jam atau 28 jam diikuti dengan suhu (sekitar 0,25oC/jam) kembali kenormothermia (AHA, 2015).

2). HipertermiSetelah resusitasi, elevasi suhu dapat dapat

meningkat post cardiac arrest mungkin terkait dengan aktivitas inflamasi sitokin, hal ini dapat menyebabkan gangguan pemulihan otak. Suhu ≥37.6oC dapat memperburuk kondisi neuron pasien post cardiac arrest, dengan demikian dapat berkembang setelah rewarming pengobatan posthipothermia. Hiper akhir Esplanade juga harus di identifikasi dan dicegah, penolong harus memonotoring suhu pasien setelah ROSC dan secara aktif campur tangan untuk menghindari hipertrmia.

d. Terapi extracorporeal membrane Oxygenation therapy

initiated

Extracorporeal Membrane Oxygenation Extracorporeal

membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang

menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan

(membrane oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2

dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan

pasien (Venovenosis ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur

ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan menghindari

tekanan tinggi ventilator. ECMO paling sering digunakan pada

keadaan-keadaan seperti: sindroma aspirasi mekonium, dengan

rata-rata 94% dapat bertahan hidup setelah terapi, persistent

pulmonary hypertension, sepsis, respiratory dystress syndrome,

hernia diafragmatika.(syarif, 2010)

Page 14: Konsep Penanganan Cardiac Arrest Di Instalasi Gawat Darurat Baru