analisis jurnal sinus arrest
DESCRIPTION
analisis jurnal sinus arrestTRANSCRIPT
ANALISA JURNAL KARDIOVASKULER: MANAJEMEN PASIEN
DENGAN SINUS ARREST
MAKALAH
oleh
Kelompok 3
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
ANALISA JURNAL KARDIOVASKULER: MANAJEMEN PASIEN
DENGAN SINUS ARREST
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Keperawatan Klinik IA
dengan dosen pembimbing Ns. Wantiyah, M.Kep NIP.19810712 200604 2 001
Oleh :
Kelompok 3
Wulan Diaz Tri Kurniawati NIM 142310101034
Anggi Kurniawati NIM 142310101039
Nuhita Siti Rohmin NIM 142310101042
Novika Putri Dwi Cahyani NIM 142310101045
Nanda Khoiril Mala Sulastri NIM 142310101048
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aritmia atau disritmia gangguan irama jantung yang bisa di sebabkan oleh
gangguan pembentukan inpuls, juga bisa disebabkan oleh gangguyan penghantaran
inpuls seperti penghantaran cepat /tachi, penghantaran lambat /bradi, atau
terhalang/blok. Aritmia atau Disritmia adalah perubahan pada frekuensi dan ikrama
jantung yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal atauotomatis
(Doenghes,1999). Aritmia timbul akibat perubahan elek trofisiologi sel-sel
miokardium. Perubahan elektro fisiologi ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk
potensial aksi yaitu rekaman grafik aktifitas listrik sel (Price, 1994). Gangguan irama
jantung tidak hanya terbatas pada iregularitas denyut jantung tapi juga termasuk
gangguan kecepatan denyut dan konduksi (Hanafi,1996). Sumber aritmia bias dari
atrium atau ventrikel, jika dari atrium gelombang QRS sempit, jika dari ventrikel
gelombang QRS lebar. Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel
miokardium sebagai perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivital
listrik sel. Disritmia dibagi menjadi dua golongan besar yaitu ganguan pembentukan
implus dan gangguan penghantar implus. Gangguan pembentukan implus terdiri dari
gangguan pembentukan implus di sinus, gangguan pembentukan implus atria (aritmia
atrial), pembentukan implus di penghubung AV (aritmia penghubung), pembentukan
implus di ventricular (aritmia ventricular). Sedangkan gangguan penghantar implus
terdiri dari blok sinoatrial, blok atrio ventrikular, dan blok intraventrikular.
Berdasarkan laporan kesehatan dunia tahun 1997, diperkirakan tren penyakit
akan bergeser ke arah penyakit degeneratif, salah satunya adalah penyakit
kardiovaskular dengan angka kematian mencapa 30% dari seluruh kematian di dunia
sekaligus penyabab tersering kematian di dunia saat ini. Di Indonesia belum ada data
epidemiologi untuk gagal jantung, namun pada Survei Kesehatan Nasional
(SurkerNas) 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab
kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada profil Kesehatan Indonesia 2003
disebutkan bahwa penyakit jantung berada diurutkan ke delapan (2,8%) pada 10
penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia. Selain gagal
jantung mortalitas dari penyakit kardiovaskular juga banyak disebabkan oleh aritmia.
Aritmia memiliki insidens yang tinggi sebagai penyebab kematian mendadak (sudden
death) pada populasi berumur 40-50 tahun di negara maju. Tercatat di Amerika sekita
tahun 2001, 450.000 meninggal karena aritmia. Hubungan antara gagal jantung
dengan aritmia msaih kontroversial.
1.2 Epidemiologi
Sejak 40 hingga 50 tahun lalu, penyakit kardiovaskuler masih tetap merupakan
penyebab kematian yang cukup banyak pada Negara-negara berkembang. Gangguan
irama jantung dapat terkena pada siapa saja didunia tanpa memperhatikan distribusi
suku atau ras. Kematian mendadak yang berasal dari gangguan irama jantung
diperkirakan mencapai angka 50 % dari seluruh kematian karena penyakit jantung.
Gangguan irama jantung yang terjadi dapat berupa aritmia dan disritmia yang
disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal dan otoatis. Arirtia timbul juga bisa
disebabkan karena gangguan pembentukan implus dan gangguan penghantar implus.
Salah satu gangguan pembentukan implus disinus adalah sinus arrest atau yang bisa
disebut dengan henti sinus. Sinus arrest (henti sinus/sinus pause/sinus standstill)
merupakan sebuah keadaan yang ditandai oleh kegagalan nodus SA menghasilkan
potensial aksi. Sinus arrest tidak selalu berarti kelainan jantung. Pada orang sehat,sinus
arrest bisa ditimbulkan oleh rangsangan vegal yang sangat kuat seperti pada pemijatan
atau hipersensifitas sinus karotis dan rangsangan pada faring.selain itu juga bisa
disebabkan oleh obat-obatan atau penyakit tertentu yang mengganggu pembentukan
impuls di nodus SA.
BAB 2. KONSEP DASAR PENYAKIT
2.1 Pengertian/Definisi
Sinus arrest (Sinus pause/sinus standstill) merupakan sebuah keadaan yang
ditandai oleh kegagalan nodus SA menghasilkan potensial aksi. Bisa ditimbulkan oleh
rangsangan vagal yang sangat kuat seperti pada pemijatan/hipersensitivitas sinus
karotis dan rangsangan pada faring. Selain itu bisa juga disebabkan oleh obat-obatan
atau penyakit tertentu yang mengganggu pembentukan impuls di nodus SA, seperti
yang telah disebutkan diatas. Meskipun demikian sinus arrest tidak selalu berarti
kelainan jantung. Pada orang sehat, arrest kadang timbul kurang dari 2 detik tanpa
disertai keluhan. Lebih dari itu biasanya menggambarkan kondisi patologis tertentu,
seperti disfungsi simpul SA/sindroma sinus akut.
Henti sinus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1. Irama: teratur, kecuali pada grafik yang hilang
2. Frekuensi: biasanya kurang dari 60 x/menit
3. Gelombang P: normal, kecuali pada grafik yang hilang tidak ada gelombang P
4. Interval PR: normal kecuali pada grafik yang hilang
5. Gelombang QRS: normal (0,06-0,12)
2.2 Penyebab/Etiologi
Sinus Arrest bisa ditimbulkan oleh rangsangan vagal yang sangat kuat seperti
pada pemijatan/hipersensitivitas sinus karotis dan rangsangan pada faring. Selain itu
dapat diseabkan oleh obat-obatan atau penyakit tertentu yang mengganggu
pembentukan impuls di nodus SA (Thaler, 2009).
Penyebab lain pada sinus Arrest sebagai berikut :
1. Penyakit pada sinus node seperti: fibrosis dan adiopathic degeneration.
2. Peningkatan irama vagal, akibat Valsalva’s Manuver, carotid Sinus Massage, dan
muntah.
3. Obat seperti digoxin (Lanoxin), Qunidine, Procainamide dan Salicylates,
khususnya jika diberikan pada tingkat toksin.
4. Dosis besar beta adrenergic blocker, seperti toprolol (Lopressor) dan propanorol
(Inderal).
5. Penyakit jantung, seperti Coronary Artery Desease kronik, Miokarditis akut,
Carmiomyopathy, dan penyakit jantung hipertensif.
6. Miokard infark akut pada dinding inferior
7. Sick sinus syndrome
8. Infeksi akut
2.3 Patofisiologi
Sinus arrest terjadi ketika SA node gagal menghasilkan potensial aksi.
Kegagalan dapat disebabkan oleh beberapa kondisi seperti peningkatan irama vagal,
infeksi akut, obat-obatan atau penyakit tertentu yang mengganggu pembentukan
impuls di nodus SA. Arrest dapat dihubungkan dengan sick sinus syndrome (sindrom
sinus patologis). Manifestasi klinis dari sinus arrest bergantung pada gejala pasien.
Jika kejadian henti jantung pendek dan tidak sering, kebanyakan pasien tidak
meperlihatkan gejala (asymptomatic) dan tidak membutuhkan treatment. Pasien
mungkin mempunyai irama sinus harian atau mingguan yang normal diantara episode
sinus arrest. Pasien tidak dapat untuk merasakan aritmia disepanjang waktu. Henti
denyut dalam waktu 2-3 detik normal terjadi pada orang dewasa selama tidur dan
biasanya pada pasien dengan peningkatan irama vagal atau pada hypersensitive carotid
sinus disease.
2.4 Tanda dan gejala
Manifestasi sinus arrest pada EKG kita nilai dengan pengamatan hilangnya
gelombang P. Sebelumnya kita telah pelajari bersama bahwa gelombang P adalah
depleksi yang timbul akibat depolarisasi atrium, bukan depolarisasi simpul SA. Pada
EKG biasa kita tidak bisa melihat aktifitas yang terjadi pada simpul SA karena masa
ototnya yang sangat kecil. Bila demikian, bagaimana kita dapat membedakan antara
(1) simpul SA gagal mencetuskan impuls yang kita kenal sebagai sinus arrest atau (2)
depolarisasi yang dihasilkan oleh simpil SA dihambat / block hingga tidak
mendepolarisasi atrium (sinoatrial exit block) ? pada EKG yang kita lihat sama, yaitu
hilangnya gelombang P dengan durasi pause yang bervariasi.
Kadang memang sulit membedakan keduanya, karena sinoartial exit block juga
dapat menunjukan pola yang tidak khas / klasik. Beberapa hal yang mungkin dapat
menjadi pertunjuk adalah (1) interfal P-P pada irama sinus baselime, (2) durasi pause
serta (3) irama yang mengambil alih (subsidiary pacemaker). Hal-hal ini akan
diuraikan lebih jauh pada penjelasan tentang sinoartial exit block selanjutnya.
Pada sinus arrest, durasi pause dapat bervariasi, namun bukan merupakan
kelipatan aritmatika dari laju sinus (interval P-P) baseline. Butuh waktu bagi simpul
SA untuk dapat mencetuskan depolarisasi yang baru. Waktu ini tidak dapat diprediksi,
karena itu tidak akan mengikuti kelipatan interval P-P sebelumnya. Pada pause yang
cukup lama, dapat terjadi episode asistol bila tidak ada subsidialy pacemaker bisa
mengambil alih. Pasien bisa mengalami sinkope atau sindroma Stokes-Adams bahkan
kematian. Karena pada sinus arrest subsidiary pacemaker yang ada di atrium juga
sering terganggu, kita biasanya akan menemukan junction escape complex/rhythm.
Bunyi dan suara jantung tidak dapat terdeteksi ketika henti jantung terjadi.
Biasanya, pasien tidak merasakan gejala apapun (asymptomatic). Kekambuhan
(pengulangan) henti jantung menyebabkan tanda penurunan curah jantung (cardiac
output), seperti tekanan darah rendah, perubahan status mental, kedinginan, dan kulit
pucat. Pasien juga mengeluhkan pusing dan penglihatan kabur.
2.5 Prosedur Diagnostik
Henti sinus dapat diketahui melalui pemeriksaan EKG. Pada EKG akan terlihat
hilangnya gelombang PQRST yang disebabkan karena kurangnya kelistrikan jantung
bagian atrium. Selama dalam kondisi ini, atrium tidak di stimulus dan seluruh komplek
PQRST akan hilang dari strip EKG. EKG akan tetap normal kecuali untuk komplek
yang hilang atau berhenti (pause). Sinus arrest disebut juga sinus pause terjadi ketika
satu atau dua denyut gelombang sinus tidak terbentuk dan disebut sinus arrest (henti
sinus) ketika tiga atau lebih denyut tidak terbentuk.
2.6 Penatalaksanaan Medis
1. Obat-obatan
Ada beberapa jenis obat yang tersedia untuk mengendalikan aritmia. Pemilihan
obat harus dilakukan dengan hati-hati karena mereka pun memiliki efek samping.
Beberapa di antaranya justru menyebabkan aritimia bertambah parah. Evaluasi
terhadap efektivitas obat dapat dikerjkan melalui pemeriksaan EKG (pemeriksaan
listrik jantung).
2. Pacu jantung
Pacu jantung atau Pacemaker adalah alat listrik yang mampu menghasilkan
stimulus listrik berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekwensi jantung. Alat
ini memulai dan memeprtahankan frekwensi jantung kerika pacemaker alamiah
jantung tak mampu lagi memenuhi fungsinya. Pacemaker biasanya digunakan bila
pasien mengalami gangguan hantaran atau loncatan gangguan hantaran yang
mengakibatkan kegagalan curah jantung.
3. Kardioversi
Kardioversi mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan disritmia yang
memiliki kompleks QRS, biasanya merupakan prosedur elektif. Pasien dalam
keadaan sadar dan diminta persetujuannya.
4. Cairan parenteral
Terapi cairan parental digunakan untuk mempertahankan atau mengembalikan
volume dan komposisi normal cairan tubuh. Tujuan dari pemberian terapi tersebut
adalah untuk menormalkan lingkungan kimiawi intraseluler dan ekstraseluler
yang mengoptimalkan fungsi sel dan organ.
5. Resusitasi jantung-paru (RJP)
Resusitasi jantung-paru harus dilakukan karena RJP merupakan tidakan darurat
sebagai usaha untuk mengembalikan keadaan henti jantung dan/atau henti nafas.
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat penyakit sekarang adanya sinkop (pingsan), baik yang dahulu maupun
sekarang, kepala ringan, kelelahan, nyeri dada, berdebar-debar mauoun
sekarang, kepala ringan, kelelahan, nyeri dada, berdebar-debar, tekanan darah
rendah, perubahan status mental, kedinginan, dan kulit pucat. Pasien juga
mengeluhkan pusing dan penglihatan kabur.
b. Riwayat Kesehatan Dahulu
Riwayat IM sebelumnya keluarga (disritmia), kardiomegali, GJK, penyakit
katup jantung, hipertensi. Penggunaan obat digitalis, quinidin dan obat anti
aritmia lainnya kemungkinan untuk terjadinya intoksikasi.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat kesehatan keluarga dilihat dengan cara anamnesa maupun melihat data
kesehatan keluarga bila ada. Apabila salah satu anggota keluarga pernah
memiliki riwayat penyakit jantung maka dapat dicurigai adanya penyakit jantung
bawaan. Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi.
Selain itu, lingkungan, kondisi psikososial dan gaya hidup pasien juga perlu di
kaji untuk mengetahui penyebab lain terjadinya sinus arrest.
3.1.2 Pengkajian: pola Gordon, NANDA
1. persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan sebelum sakit:
Bagaimana klien menjaga kesehatan?
Bagaimana cara menjaga kesehatan?
Saat sakit:
Apakah klien tahu tentang penyakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika terjadi rasa sakit?
Apa yang dilakukan jika rasa sakitna timbul?
Apakah pasien tahu penyebab dari rasa sakitnya?
Tanda dan gejala apa yang sering muncul jika terjadi rasa sakit?
2. Nutrisi metabolik
Sebelum sakit:
Makanan/minuman : frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi?
Apakah ada mengkonsumsi obat-obatan seperti vitamin?
Saat sakit:
Apakah klien merasa mual/ muntah/ sulit menelan?
Apakah klien mengalami anoreksia?
Makan/minum: frekuensi, jenis, waktu, volume, porsi?
3. Eliminasi
Sebelum sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur, frekuensi, warna,
konsisten, keluhan nyeri?
Apakah mengejan saat buang air besar atau buang air kecil sehingga
berpengaru pada pernafasan?
Saat sakit:
Apakah buang air besar atau buang air kecil: teratur, frekuensi, waktu, warna,
konsisten, keluhan nyeri?
4. Aktivitas dalam latihan
Sebelum sakit:
Apakah bisa melakukan aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhan sehari-
hari?
Apakah mengalami kelelahan saat aktivitas?
Apakah mengalami sesak nafas saat beraktivitas?
Saat sakit:
Apakah memerlukan bantuan saat beraktivitas (pendidikan kesehatan, sebagai,
total)?
Apakah ada keluhan saat beraktivitas (sesak, batuk)?
5. Tidur dan istirahat
Sebelum sakit:
Apakah tidur klien terganggu?
Berapa lama, kualitas tidur (siang dan? Atau malam)?
Kebiasaan sebelum tidur?
6. Kognitif dan persepsi sensori
Sebelum sakit:
Bagaimana menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami penurunan fungsi pancaindra, apa saja?
Apakah menggunakan alat bantu (kacamata)?
Saat sakit:
Bagaimna menghindari rasa sakit?
Apakah mengalami nyeri (PQRST)?
Apakah mengalami penurunan fungsi pancaindara, apa saja?
Apakah merasa pusing?
7. persepsi dan konsep diri
Sebelum sakit:
Bagaimana klien menggambarkan dirinya?
Saat sakit:
Bagaimana pendangan pasien dengan dirinya terkait dengan penyakitnya?
8. Reran dan hubungan dengan sesama
Sebelum sakit:
Bagaimana hubungan klien dengan sesama?
Saat sakit:
Bagaimana hubungan dengan orang lain (teman, keluarga, perawat, dan dokter)?
Apakah peran?pekerjaan terganggu, siapa yang menggantikan?
9. Reproduksi dan seksualitas
Sebelumnya sakit:
Apakah dan gangguan hubungan seksual klien?
Saat sakit:
Apakah dan gangguan hubungan seksual klien?
10. Mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
Sebelum sakit:
Bagaimana menghadapi masalah?
Apakah klien stres dengan penyakitnya?
Bagaimana klien mengatasinya?
Siapa yang bisa membantu mengatasi/mencari solusi?
Saat sakit:
Bagaimana menghadapi masalah?
Apakah klien stres dengan penyakitnya?
Bagaimana klien mengatasinya?
Siapa yang bisa membantu mengatsi/mencari solusi?
11. Nilai dan kepercayaan
Sebelum sakit:
Bagaimana kebiasaan dalam menjalankan ajaran agama?
Saat sakit:
Apakah ada tindakan medis yang bertentangan kepercayaan?
Apakah penyakit yang dialami mengganggu dalam menjalankan ajaran agama yang
dianut?
Bagaimana persepsi terkait dengan penyakit yang dialami dilihat dari sudut
pandang nilai kepercayaan?
3.1.3 Pemeriksaan fisik
1. Aktivitas: kelelahan umum.
2. Sirkulasi: perubahan TD (hipertensi atau hipotensi), nadi mungkin tidak teratur,
defisit nadi, bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurut, kulit
warna dan kelembapan berubah misal pucat, sianosis, berkeringan, edema,
haluaran urin menurun bila curah jantung menurun berat.
3. Integritas ego: perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut, menolak,
marah, gelisah, menagis.
4. Makanan/cairan: hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan, mual muntah, penyumbatan berat badan, perubahan kelembapan kulit.
5. Neurosensori: pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, latargi,
perubahan pupil.
6. Nyeri/ketidaknyamanan: nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak
dengan obat antiangina, gelisah.
7. Pernafasan: nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan atau kedalaman
pernafasan.
8. Keamanan: kedinginan, kehilangan tonus otot?kekuatan sehingga pasien dapat
jatuh dan membahayakan dirinya.
3.1.4 Analisa ata dan Masalah
Data Fokus Masalah Etiologi
DS :
Data kasus :
-
Data dari hasil pengkajian:
1) Pasien merasakan nyeri
DO :
Data Kasus :
-Data dari hasil pengkajian:Gambaran gelombang P tidak terlihat
Penurunan curah jantung Penurunan kontraktilitas
miokard.
DS :
Data Kasus :
-
Data dari hasil pengkajian :
Pasien mengeluh sesak
DO :
Data kasus :
-
Data dari hasil pengkajian :
N: 90-100 x/menit
Gangguan pertukaran gas Suplai oksigen tidak
adekuat
DS :
Data kasus :
-
Data pengkajian:
Pasien mengeluh nyeri dada
DO :
Data kasus :
-
Data dari hasil pengkajian :
RR 27 x/menit
Gangguan perfusi
jaringan
Penurunan suplai oksigen ke otak
Obat-obatan
Disfungsi ventrikel
Penurunan jantung untuk
memompa
Syok kardiogenik
Penurunan curah jantung
Gangguan perfusi
jaringan
Darah ke pulmonal
Gangguan pertukaran gas
Penyakit tertentu
Peningkatan irama vagal
Infeksi akut
Sinus arrest
HR meningkat
Kontraktilitas miokardial menurun
3.1.5 Pathway
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas miokard.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai oksigen tidak adekuat
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke otak
3.3 Perencanaan Keperawatan
DxTUJUAN DAN
KRITERIA HASIL
INTERVENSI
KEPERAWATAN
RASIONAL
1Dx :
Penurunan curah
jantung
berhubungan
dengan
penurunan
kontraktilitas
miokard
Setelah dilakukan
perawatan 3x24 jam
penurunan kardiak
output pasien teratasi
dengan kriteria hasil:
1. Tanda Vital dalam
rentang normal
(Tekanan darah, Nadi,
respirasi)
2. Tidak ada penurunan
kesadaran
3.
1. Monitor TTV
2. Evaluasi adanya nyeri
dada (intensitas, lokasi,
durasi)
3. Monitor status
kardiovaskuler
4. Monitor respon pasien
terhadap efek
pengobatan antiaritmia
5. Monitor toleransi aktivitas
pasien
1. Mengetahui perubahan
tanda-tanda vital pada
pasien
2. Mengetahui tingkat
nyeri pasien, lokasi
nyeri dan lama nyeri
pasien
3. Mengetahui gambaran
EKG
4. Mengetahui efek obat
terhadap perkembangan
kondisi pasien
5. Mengetahui peningkatan
toleransi aktivitas pasien
Dx :
Gangguan
1. Monitor TTV pasien
2. Monitor respirasi dan
1. Mengetahui perubahan
TTV pasien
2pertukaran gas
berhubungan dengan
suplai oksigen tidak
adekuat
Setelah dilakukan
perawatan 3x24 jam
gangguan pertukaran
gas pasien teratasi
dengan ktiteria hasil:
1. TTV dalam
rentang normal
(Tekanan darah,
Nadi, respirasi)
2. Mendemonstras
ikan
peningkatam
ventilasi dan
oksigenasi yang
adekuat
status oksigen
3. Posisikan pasien
semifowler
2. Mengetahui status
pernapasan pasien
3. Untuk mengurangi rasa
sesak pada pasien
3Dx:
Gangguan perfusi
jaringan berhubungan
dengan penurunan
kemampuan jantung
untuk memompa
Setelah dilakukan
perawatan selama
3x24 jam gangguan
perfusi jaringan
pasien dapat teratasi
dengan kriteria hasil:
1. Monitor TTV pasien
2. Evaluasi adanya nyeri
dada (intensitas, lokasi,
durasi)
3. Monitor status
kardiovaskuler
4. Monitor respon pasien
terhadap efek
pengobatan antiaritmia
5. Monitor toleransi
aktivitas pasien
1. Mengetahui perubahan
TTV pasien
2. Mengetahui tingkat
nyeri pasien, lokasi
nyeri dan lama nyeri
pasien
3. Mengetahui gambaran
EKG
4. Mengetahui efek obat
terhadap perkembangan
kondisi pasien
1. TTV dalam
keadaan normal
(Tekanan darah,
Nadi, respirasi)
2. Denyut
jantung, AGD,
ejeksi fraksi
dalam batas
nornal
3. Nyeri dada
tidak ada
5. Mengetahui peningkatan
toleransi aktivitas pasien
3.4 Intervensi Keperawatan
Dx
.Tgl/Jam Tindakan Keperawatan Ttd
1. 24 Oktober 2015
07.00
07.10
07.20
07.50
Mengkaji nadi dan frekuensi
jantung, TD dan pernapasan
pasien.
Evaluasi adanya nyeri dada
(intensitas, lokasi, durasi)
Monitor status kardiovaskuler
pasien
Monitor toleransi aktivitas
pasien
08.10
08.15
08. 30
Posisikan pasien
semifowler
Monitor respirasi dan status
oksigen
Monitor respon pasien terhadap
efek pengobatan antiaritmia
3.5 Evaluasi Keperawatan
Dx. Tangg
al Jam
Evaluasi
1 24 Oktober
2015
S: pasien mengatakan dada
masih terasa nyeri
O: gambaran EKG tidak
teratur
A:gangguan penurunan
curah jantung belum
teratasi
P: lanjutkan intervensi
nomor 2, 3, 4, 5
2. 24 Oktober
2015
S: pasien mengeluh sesak
O: RR 19 x/menit
A:gangguan pertukaran gas
teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
nomor 3
3
.
24 Oktober
2015
S : pasien mengatakan
dada masih terasa nyeri
O: N: 90-100 x/menit
A:gangguan perfusi
jaringan belum teratasi
P: lanjutkan intervensi 2, 3,
4, 5
BAB IV. PEMBAHASAN
4.1 Algoritma
Cardiac disritmia yang menghasilkan pulseless cardiac arrest adalah (1) VF,
(2) VT yang cepat, (3) pulseless electrical activity (PEA), dan (4) asystole (lihat gbr.
44-5). Selama terjadi pulseless cardiac arrest, yang perlu dilakukan adalah
memberikan kompresi dada yang tepat dan defibrilasi dini jika iramanya VT dan VF.
Pemberian obat adalah hal yang kedua karena obat sangat sulit dibuktikan
kemanjurannya pada keadaan ini. Setelah pemberian CPR dan defibrilasi, penolong
kemudian dapat memberikan akses jika dalam tubuh pasien, membuka saluran
pernafasan dan mempertimbangkan pemberian obat, semuanya dilakukan sambil terus
memberikan kompresi dada dan ventilasi.
MANAJEMEN AIRWAY
Bag-mask ventilasi dan ventilasi melalui saluran pernafasan tambahan
(endotracheal tube, supraglottic airway adalah metode ventilasi yang efektif selama
CPR. Karena kompresi dada tidak bisa dilakukan selama intubasi endotrakeal,
penolong harus mempertimbangkan kebutuhan akan kompresi dada dan kebutuhan
akan manajemen saluran pernafasan. Mungkin perlunya memasukkan saluran
pernafasan tambahan jika pasien tidak memberikan respon setelah dilakukan beberapa
kali CPR dan defibrilasi. Akan tetapi, keputusan ini tidak selalu benar. Misalnya
pasien yang mengalami edema pulmonal yang boleh diberikan intubasi endotracheal
cepat atau lambat.
Dengan adanya saluran pernafasan tambahan ini, pemberian ventilasi perlu
dipertimbangkan lagi. Dada pasien seharusnya terangkat dua-duanya dan suara nafas
seharusnya auskultasi. Selain itu, posisi yang tepat dari endotracheal tube sebaiknya
dites dua kali untuk mengurangi ditemukannya false positive dan false negative.
Capnograhy untuk mengukur end-tidal carbon dioxide (PETCO2) adalah tes yang ideal
dan sangat direkomendasikan. Tes alternative termasuk pH (perubahan warna) dan
esopagheal detector device (EDD). Sebuah EDD menggunakan pengisap balon lampu
yang disambungkan di ujung endotracheal tube bila balon tersebut ditekan. Jika
endotrakheal tube ada di trakhea, balon segera mengembang dengan udara dalam paru-
paru karena cincin-cincin trachea kenyal dan tidak akan memecahkan tabung. Jika
endotrakheal tube ada di esophagus, dinding-dinding esophagus yang lunak akan
pecah di sekitar endotrakheal tube, dan balon tetap dalam keadaan tertekan. Begitu
endotrakhea tube sudah diketahui ada di trakhea, ia akan aman. Satu nafas dapat
diberikan dalam 6-8 detik tanpa harus bersamaan dengan kompresi. Gagalnya
kesadaran pasien mungkin disebabkan karena buruknya cara kompresi dada dan
migrasi endotrachea tube di dalam trachea. Memonitor PETCO2 secara menerus adalah
cara yang paling baik untuk mengembalikan kesadaran pasien. Walaupun hasilnya
belum dibuktikan dalam ROSC, sehingga dapat menuntun penolong dalam
mengembalikan aliran darah pasien. Jika monitor carbon dioxide tidak tersedia,
penempatan tabung dapat diperiksa secara berkala, khususnya selama kesadaran
pasien berlangsung lama.
PENGOBATAN
Mempersiapkan akses penyuntikan sangat penting, tapi sebaiknya dilakukan
bersamaan dengan CPR dan Defibrilisasi. kateter yang besar sudah cukup untuk
menyadarkan banyak pasien yang sudah tidak berdenyut. Obat sebaiknya diberikan
dengan cepat diikuti dengan 20mL cairan pil jika diberikan belakangan. Jika akses
penyuntikan obat tidak biasa dilakukan, obat-obat tertentu (epinephrine, lidocaine,
vasopressin, atropine, naloxone) dapat diberikan melalui endotracheal tube. Dosis
endotracheal tube adalah 2 – 3 kali dosis penyuntikan yang direkomendasikan, dan
obatnya sebaiknya dicairkan dalam 5 sampai 10 mL air steril sebelum dimasukkan
dalam endotrachea tube. Alternative cara penyuntikan biasa dilakukan dengan cara
intraosseus. Peralatannya sudah banyak dijual di mana-mana. Tidak ada perubahan
dosis pada cara-cara yang lain.
4.2 Pembahasan
Sick Sinus Syndrom disebut juga sindrom bradi-taki yang ditandai dengan
episode takiardia supraventrikular yang selang-seling (misalnya fibrilasi atrium), dan
bradikardia. Sering kali bila aritmia supraventrikular berhenti, terdapat jeda lama
(lebih dari 4 detik) sebelum node sinus menghasilkan impuls lagi. Sick sinus sindrom
menggambarkan sudah adanya gangguan sistem konduksi yang signifikan.
Kebanyakan pasien dengan sick sinus syndrome berusia lebih dari 60 tahun, tetapi
siapa pun dapat mengalami aritmia. Kasus tersebut jarang terjadi pada anak kecuali
setelah operasi jantung terbuka yang menyebabkan kerusakan pada SA node. Aritmia
dapat mempengaruhi pria dan wanita. Sick Sinus Syndrome disebabkan oleh disfungsi
automisasi sinus node atau konduksi abnormal atau terbloknya implus yang datang
dari wilayah nodal. Dapat disebabkan oleh halangan dari area degenerasi sistem saraf
autunomik dan kerusakan parsial dari sinus node, yang mungkin terjadi dengan
gangguan suplai darah setelah dinding inferior mengalami infark miokard. Penyebab
sick sinus sindrom antara lain: kondisi yang menyebabkan fibrosis pada sinoatrial(SA)
node, seperti peningkatan usia, arterosklerosis, hipertensi dan kardiomiopati; trauma
SA node yang disebabkan oleh pembedahan terbuka jantung (misalnya pembedahan
katub jantung), perikarditis atau penyakit reumatik jantung; gangguan saraf seperti
hipervagatonia dan degenerasi sistem saraf autonom; obat-obatan kardioaktif seperti
digoxin (lanoxin), beta-adrenergic blocker, dan calcium chanel blocker.
Dalam jurnal menjelaskan bahwa pasien berumur 79 tahun dengan riwayat
diabetes militus dan dislipidemia dirujuk ke rumah sakit bagian kardiovaskular untuk
dilakukan pemeriksaan lebih detail mengenai henti sinus yang terjadi pada saat makan.
Kejadian tersebut terjadi sejak usia 75 tahun, namun tidak dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut pada saat itu. Selama ini, pada saat beliau makan tiba-tiba perasaannya serasa
menghilang. Selain itu beliau juga memiliki riwayat intervensi perkutan koroner, sebuah
cincin ditempatkan pada arteri kiri anterior sejak usia 72 tahun. Pasien menjalani
laminectomy untuk spondylosis serviks di rumah sakit di departemen ortoped pada usia
79 tahun. Setelah operasi, EKG menunjukkan adanya penyimpangan konduksi AV.
Pasien tidak pernah meminum obat penurun denyut jantung seperti beta-blocker,
kalsium, dan digitalis. Pada pemeriksaan MRI tidak menunjukkan penyebab luar dari
henti sinus karena kelainan neurologis. Endoskopi saluran cerna tidak menunjukkan
abnormalitas. USG ekokardiografidiography (UCG) menunjukkan fungsi jantung
normal (ejection fraksi = 67%) tanpa asynergy terlepas dari riwayat penyakit jantung
iskemik. Pasien ini merasa sakit pada daerah leher setelah Laminektomi untuk
spondylosis serviks dan saat menjalani terapi head-up leher tidak bisa ditegakkan pada
sudut 60-80derajat. Namun, fungsi sinus node normal seperti ditunjukkan pada waktu
pemulihan sinus node (SNRT) dari 1369 ms. diperbaiki dengan memodifikasi diet untuk
sering mengkonsumsi makanan dalam jumlah sedikit, yang ditunjukkan oleh SNRT
tidak berubah selama EPS. Namun demikian, implantasi pacu jantung (PMI) dilakukan
dengan persetujuan pasien. Pasien tetap asimtomatik setelah PMI.
Syncope menelan adalah gangguan langka, dan mekanismenya tetap harus
dijelaskan. Refleks vasovagal antara jantung dan kerongkongan adalah penyebab utama
terjadinya sinkop. syncope menelan adalah sindrom dysautonomic terkait dengan
hypersensi-aktivasi vagal tive diinduksi oleh stimulasi esofagus, memproduksi
gastrointestinal untuk meningkatkan refleks vagovagal jantung, yang oleh
penghambatan simpatik dapat menginduksi berbagai bradyar-rhythmias: bradikardia
sinus, penangkapan sinus, blok sinoatrial, AV blok, atau atrium dan ventrikel detak
jantung. Sinkop menelan terjadi pada pasien dengan gangguan fungsional dari esofagus
dan hati, termasuk kejang esofagus, striktur, akalasia, divertikula, kanker, dan hernia
hiatus. sinkop menelan diamati pada penyakit jantung, seperti infark miokard inferior
atau posterior dan karditis rematik, dan toksisitas digoxin. Penelitian sebelumnya
melaporkan bahwa infark miokard inferior atau posterior bisa menyebabkan sinkop
menelan. Telah dibertahukan bahwa atropine adalah salah satu pengobatan sinkop
menelan, obat antikolinergik oral, diet modifikasi, PMI, dan sebagainya. Penelitian
sebelumnya melaporkan bahwa penggunaan atropin efektif untuk pengobatan sinkop
menelan. Namun, efek dari atroppin hanya sementara; Oleh karena itu, suntikan atropin
diberikan pada pasien selama dirawat di rumah sakit dan bukan pengobatan efektif bagi
pasien sinkop menelan, maka dari itu penggunaan atropin tidak dilakukan. Khasiat obat
antikolinergik oral, glikopirolat, juga dilaporkan sebagai pengobatan efektif. Dengan
demikian kombinasi glikopirolat dan modifikasi diet diakui dapat menjadi langkah
efektif untuk pengobatan.
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sinus arrest (Sinus pause/sinus standstill) merupakan sebuah keadaan yang
ditandai oleh kegagalan nodus SA menghasilkan potensial aksi. Bisa ditimbulkan oleh
rangsangan vagal yang sangat kuat seperti pada pemijatan/hipersensitivitas sinus karotis
dan rangsangan pada faring. Arrest dapat dihubungkan dengan sick sinus syndrome
(sindrom sinus patologis). Kegagalan dapat disebabkan oleh beberapa kondisi seperti
peningkatan irama vagal, infeksi akut, obat-obatan atau penyakit tertentu yang
mengganggu pembentukan impuls di nodus SA. Manifestasi klinis dari sinus arrest
bergantung pada gejala pasien. Jika kejadian henti jantung pendek dan tidak sering,
kebanyakan pasien tidak meperlihatkan gejala (asymptomatic) dan tidak membutuhkan
treatment. Penatalaksanaan medis dapat dilakukan melalui pemberian obat-obatan, pacu
jantung, kardioversi, cairan parenteral, resusitasi jantung paru (RJP).
5.2 Saran
Sebaiknya kita sebagai mahasiswa keperawatan penting memahami lebih
dalam lagi mengenai penyakit sistem kardiovaskular khususnya sinus arrest. Dengan
begitu mahasiswa akan lebih tahu mengenai tanda gejala, diagnosa banding dari
penyakit sistem kardiovakular, manifestasi klinis, serta penyebab dari sinus arrest
sehingga mahasiswa dapat menerapkan asuhan keperawatan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
http://dokumen.tips/documents/122930953-terjemahan-cpr-docdoc.html(diakses
tanggal 24 Oktober 2015)
http://eylarahajeng.blogspot.co.id/2012/10/aritmia-disaritmia.html (diakses tanggal 18
Oktober 2015)
http://indikesma.blogspot.co.id/2013/07/makalah-ekgelektrokardiogarfimengenai.html
(diakses tanggal 20 Oktober 2015)
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2004/3/7/ink1.html (diakses tanggal 21
Oktober 2105)
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar ilmu keperawatan klien dengan gangguan sistem
kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan
berdasarkan diagnosa medis dan NANDA, NIC-NOC jilid 1. Jogjakarta:
Mediaction
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan
berdasarkan diagnosa medis dan NANDA, NIC-NOC jilid 2. Jogjakarta:
Mediaction
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan
berdasarkan diagnosa medis dan NANDA, NIC-NOC jilid 3. Jogjakarta:
Mediaction
Pakpahan, Henry A.P. 2012. Elektrokardiografi ilutratif. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia