kondisi dan dampakputting out system terhadap … · pertumbuhan industri kecil pada umumnya...

125
1 KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM TERHADAP RUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN (Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) OLEH : CUT AYA SOFIA A14201050 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: truongtu

Post on 15-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM TERHADAP

RUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN

(Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, Kecamatan

Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

OLEH :

CUT AYA SOFIAA14201050

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

2

RINGKASAN

CUT AYA SOFIA. KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEMTERHADAP RUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN. Kasus Usaha KecilMenengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, KabupatenBogor, Jawa Barat (Dibawah bimbingan WINATI WIGNA)

Pertumbuhan industri kecil pada umumnya berkembang pesat di wilayah

pedesaan. Dewayanti dan Chotim (2004) mengungkapkan berdasarkan data statistik

keberadaan usaha skala kecil terkonsentrasi terutama di wilayah pedesaan Jawa dan

Bali sebesar 69 persen. Perempuan merupakan kelompok yang memiliki kesempatan

kecil untuk dapat masuk sebagai tenaga kerja pada sektor formal, sehingga salah satu

alternatif kesempatan perempuan bekerja adalah di sektor informal yakni industri kecil

rumahtangga, salah satunya adalah industri putting out system. Industri putting out

system merupakan alternatif pekerjaan yang diharapkan dapat meningkatkan

kesejahteraan perempuan dan keluarga. Namun kenyataannya tidak demikian, kondisi

kerja yang buruk berimplikasi pada kesejahteraan yang rendah. Oleh karena itu tujuan

dari penelitian in adalah untuk mengidentifikasi bagaimana kondisi kerja pekerja

putting out system, faktor yang mempengaruhinya dan dampak bekerja sebagai pekerja

POS terhadap kesejahteraan perempuan dan rumahtangganya, serta upaya

memperbaikinya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan

pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survai.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten

Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama empat bulan yakni bulan Juni

2007 hingga Oktober 2007. Data yang di kumpulkan adalah data primer dan data

sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan alat bantu kuisioner

3

dan panduan pertanyaan. Data sekunder diambil dari data monografi Desa

Bojongrangkas, dan laporan-laporan penelitian. Teknik penentuan responden

dilakukan secara tidak proporsional karena tidak terdapat data pasti jumlah pekerja tas

di Desa Bojongrangkas. Responden yang dipilih adalah pekerja industri putting out

system laki-laki dan perempuan. Jumlah responden yang diambil sebanyak 40 orang.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kondisi kerja POS yakni faktor

internal dan eksternal. Faktor internal yakni kekerabatan dan faktor eksternal

(pendidikan, pengalaman dan keterampilan) mempengaruhi kondisi kerja (memperoleh

kesempatan kerja, upah kerja/pendapatan, jaminan kerja dan jaminan keluarga). Dan

dampak dari faktor yang mempengaruhi kondisi kerja perempuan adalah tingkat

kesejahteraan yang dilihat dari pola konsumsi, kesehatan keluarga dan pendidikan

anggota keluarga

Kesimpulan dari penelitian ini adalah kondisi kerja putting out system di Desa

Bojongrangkas baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan pada umumnya

memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik industri, dalam penerimaan kerja

lebih diutamakan dalam yang memiliki hubungan kekerabatan, hubungan kekerabatan

tidak mempengaruhi upah kerja, hubungan kekerabatan mempengaruhi jaminan kerja

(kesehatan dan keselamatan pekerja) dan keselamatan keluarga. Ada pengaruh tingkat

pendidikan dengan kesulitan memperoleh kerja, tidak ada pengaruh tingkat pendidikan

dengan pendapatan per bulan. Ada hubungan antara tingkat pendidikan jaminan

keluarga (kesehatan dan keselamatan kerja) dan keluarga. Kondisi kerja

mempengaruhi kesejahteraan pekerja baik pekerja laki-laki maupun pekerja

perempuan (dilihat melalui pola makan, kesehatan keluarga dan pendidikan anggota

4

keluarga). Semakin buruk kondisi kerja pekerja putting out system maka semakin tidak

sejahtera rumahtangganya.

Upaya meningkatkan kondisi putting out system dengan memperbaiki sistem

pengupahan, membatasi umur pekerja, memperpendek rantai tata niaga dan

meningkatkan pemberian jaminan kerja dan jaminan keluarga tanpa diskriminasi

gender. Diperlukan juga peningkatan etos kerja melalui pelatihan-pelatihan kerja dan

sosialisasi gender.

5

KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM TERHADAPRUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN

(Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, KecamatanCiampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

Oleh :CUT AYA SOFIA

A14201050

Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh GelarSarjana Pertanian

PadaFakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

6

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKATFAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh :

Nama : Cut Aya Sofia

NRP : A 14201050

Judul : Kondisi dan Dampak Putting Out System Terhadap

Rumahtangga Pekerja Perempuan

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dra. Winati Wigna, MDs

NIP. 131 284 835

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Didy Sopandie, M.Agr

NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus : 20 Agustus 2008

7

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

”KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM PADA PEKERJA

PEREMPUAN (KASUS:USAHA KECIL MENENGAH INDUSTRI TAS, DESA

BOJONGRANGKAS, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR, JAWA

BARAT)”. BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN

ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA

SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK

MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU

DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN

YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Agustus 2008

Cut Aya Sofia A14201050

8

RIWAYAT PENULIS

Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 29 Desember 1982. Penulis merupakan

anak ketiga dari empat bersaudara pasangan H. Teuku Nazaruddin dan Cut Irawati.

Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Tunas Harapan

ARCO sawangan Bogor pada tahun 1987, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar

pada tahun 1989 Duren Seribu IV ARCO Sawangan Bogor, 1989 pindah dan

menyelesaikan sekolah dasarnya di Sekolah Dasar Negeri Bantarjati V Bogor pada

tahun 1995. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikanya di SLTPN 1 Bogor.

Selanjutnya penulis melanjutkan lagi sekolahnya di SMUN 3 Bogor dan lulus pada

tahun 2001.

Pada tahun 2001, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan

pendidikannya menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN (Ujian

Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi, Fakultas

Pertanian.

Pada masa sekolah penulis aktif menjadi anggota karate BKC (Bandung Karate

Club) dan anggota Taekwondo Indonesia cabang SMUN 3 Bogor Diperguruan tinggi

penulis juga aktif sebagai anggota Taekwondo Indonesia cabang POLWIL Bogor,

tahun 2002 dan aktif sebagai anggota Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia

(MSDM) Himpunan Profesi MISETA (Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian).

Selain itu juga, penulis juga aktif dalam berbagai acara kepanitian yang

diselenggarakan oleh beberapa organisasi kemahasiswaan IPB.

9

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

”Kondisi dan Dampak Putting Out System Terhadap Rumahtangga Pekerja

Perempuan (Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas,

Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”. Penulisan skripsi ini merupakan

suatu karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada

Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Melalui skripsi ini, penulis mencoba untuk mengetahui bagaimana

kesejahteraan pekerja perempuan dalam bidang industri tas putting out system.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan

penghargaan yang sebesar-sebesarnya kepada Ibu Winati Wigna selaku dosen

pembimbing skripsi, yang senantiasa memberikan masukan dan saran demi perbaikan

skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah

membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

Akhir kata, semoga tulisan skripsi ini dapat membuka cakrawala ilmu

pengetahuan, memperkaya jiwa para pembaca sehingga mendorong kita untuk selalu

belajar. Dan juga penulis berharap semoga dapat menggugah kepekaan kita tentang

fakta sosial menyangkut kehidupan masyarakat disekitar kita.

Bogor, 20 Agusutus 2008

Penulis

10

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan

berkah serta hidayah-Nya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini dapat

terselaikan dengan baik tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis

ingin menghaturkan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dra. Winati Wigna, MDS. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar

mengarahkan penulis, penelusuran literatur, penulisan skripsi dan selalu memotivasi

penulis demi terselesaikannya skripsi ini. Kepada Ibu Dra. Yusalina, MSi sebagai

dosen pembimbing akademik, ucapan terima kasih saya haturkan kepada Bpk. Ir.

Murdianto MSi dan Bpk Martua Sihaloho Sp, MSi. dan yang bersedia menjadi dosen

penguji utama dan dosen penguji komisi pendidikan.

2. Papa, Mama, Bang Adek terima kasih atas segala jerih payah, kesabaran dan

doa yang selalu dipanjatkan. Bang Ami, Ima, Sarah, Fadli, Kel. Bukit Cengkeh, Kel.

Nyakwa Mawar; Nyakwa Ni, Nyakwa Naimah yang selalu memberi dukungan, saran

dan kritik. Tufah, Santi S, Telly, Aje, yang tanpa letih selalu memotivasi.

3. Kepada Rio, Ringgi, Rhino, Meina, Syah, Fera, Ijal dan teman-teman Kpm 38

lainnya terima kasih selalu memberi semangat. Tidak lupa penulis juga ingin

menyampaikan terima kasih, kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan yang

telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

11

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI …………………………………………………….............…………… vii

DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... xvi

DAFTAR MATRIKS ………………………………………………….…… xvii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 7

1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 7

1.4 Kegunaan penelitian .................................................................... 8

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Kesempatan Kerja Perempuan ................................................ 9

2.2 Industri Kecil ........................................................................ 12

2.3 Pengertian Putting out System ................................................ 16

2.4 Sistem Kekerabatan ................................................................ 19

2.5 Pembagian Kerja dalam Keluarga dan Kontribusi

Ekonomi Pekerja Terhadap Rumahtangga................................ 21

2.6 Gambaran Umum Putting Out System

Desa Bojongrangkas ………………………………………. 24

2.7 Kerangka Pemikiran ................................................................ 29

2.8 Hipotesa Pengarah .................................................................. 31

2.9 Definisi Operasional ............................................................... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi ............................................................................. 37

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 37

3.3 Penentuan Sampel .................................................................. 38

12

3.4 Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 38

3.5 Teknik Analisis Data .............................................................. 39

BAB IV GAMBARAN UMUM

4.1 Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan .......................... 41

4.2 Demografi Desa ...................................................................... 42

4.3 Matapencaharian Penduduk ................................................. 45

4.4 Struktur Organisasi dan Pemerintahan .................................. 46

4.5 Pendidikan ............................................................................ 48

4.6 Gambaran Sosial Masyarakat Desa ...................................... 49

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN

5.1 Usia Responden ................................................................. 51

5.2 Hubungan Kekerabatan Antara Pekerja

dengan Pemilik Usaha ......................................................... 51

5.2 Pendidikan ........................................................................... 52

5.3 Pengalaman Kerja ............................................................... 53

5.4 Keterampilan ....................................................................... 55

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Peluang Kerja (Mudah Tidaknya Diterima

dalam POS) ......................................................................... 58

6.2 Upah ..................................................................................... 59

6.3 Jaminan Kerja ...................................................................... 61

6.3.1 Jaminan Kesehatan ................................................... 61

6.3.2 Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja ................. 62

6.3.3 Jaminan Keluarga ................................................... 63

BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI PEKERJA

PUTTING OUT SYSTEM

7.1 Pengaruh Kekerabatan Terhadap Kondisi Kerja ................. 65

7.1.1 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap

13

Tingkat Kesulitan Memperoleh Kerja ..................... 65

7.1.2 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap

Upah Kerja/Pendapatan ............................................. 67

7.1.3 Pengaruh Hubungan Kekerabatan

Terhadap Jaminan Kesehatan ................................... 69

7.1.4 Pengaruh Hubungan Kekerabatan

Terhadap Jaminan Keselamatan Kerja ...................... 71

7.1.5 Pengaruh Hubungan Kekerabatan

Terhadap Jaminan Keluarga ....................................... 73

7.2 Pengaruh Pendidikan Terhadap Kondisi Kerja ..................... 75

7.2.1 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan

Terhadap Kesulitan Memperoleh Kerja .................... 75

7.2.2 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan

Terhadap Pendapatan Perbulan ..................................77

7.2.3 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan

Terhadap Kesehatan Pekerja ..................................... 78

7.2.4 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan

Terhadap Jaminan dan Fasilitas Kerja .......................80

7.2.5 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan

Terhadap Jaminan Keluarga ...................................... 81

7.3 Pengaruh Pengalaman dan Keterampilan Terhadap

Kondisi Kerja ....................................................................... 83

BAB VIII KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA POS

DI HOME INDUSTRY TAS

8.1 Pola Konsumsi Keluarga Pekerja POS ................................ 85

8.2 Kesehatan Keluarga Pekerja POS ........................................ 87

8.3 Tingkat Pendidikan Keluarga Pekerja POS .......................... 88

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan....................................................................... 90

9.2 Saran ................................................................................ 91

14

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 93

LAMPIRAN .......................................................................................................... 96

15

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

Tabel 1 Jumlah dan Persentase Luas Lahan Berdasarkan

Jenis Penggunaannya Desa Bojongrangkas,

2005................................................................... 42

Tabel 2 Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan

Usia Kelompok Pendidikan, Desa Bojongrangkas,

2005 ......................................................... 43

Tabel 3 Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan

Usia Kelompok Tenaga Kerja Desa,

Bojongrangkas2005 ....................... 43

Tabel 4 Mobilitas Penduduk Menurut Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas, 2005 .................................... 44

Tabel 5 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Mata

Pencaharian, Desa Bojongrangkas 2005 .......................... 46

Tabel 6 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat

Pendidikan, Dea Bojongrangkas 2005 ...................... 48

Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Tingkat Kekerabatan dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas 2007 .................................... 51

Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin,

16

Desa Bojongrangkas 2007...................................... 53

Tabel 9 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Pengalaman Kerja sebelum di Industri Tas dan Jenis

Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007.............................. 55

Tabel 10 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Keterampilan Kerja dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas 2007.............................................. 55

Tabel 11 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Keterampilan Kerja Setelah di Industri Tas

Dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ............. 57

Tabel 12 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan,

Kesempatan Kerja (Mudah Tidaknya diterima

Sebagai POS) dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrakas 2007.............................................. 58

Tabel 13 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Upah dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrakas 2007 .............................................. 60

Tabel 14 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Jaminan Kesehatan Yang Diterima Pekerja dan

Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 .................... 61

Tabel 15 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan

Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja serta

Jenis Jelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ...................... 62

Tabel 16 Jumlah dan Persentase Responde Berdasarkan

17

Jaminan Keluarga Yang Diterima Pekerja dan

Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ....................... 64

Tabel 17 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan

Kekerabatan, Tingkat Perolehan Mencari Kerja

dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ................. 66

Tabel 18 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan

Kekerabatan, Upah dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas ........................................................... 68

Tabel 19 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan

Kekerabatan, Jaminan Kesehatan dan Jenis Kelamin

Desa Bojongrangkas .......................................................... 70

Tabel 20 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan

Kekerabatan Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja,

Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas................................... 72

Tabel 21 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan

Kekerabatan, Jaminan Keluarga dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas 2007.................... .............................. 73

Tabel 22 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat

Pendidikan, Kesulitan Memperoleh Kerja dan

Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007......................... 76

Tabel 23 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat

Pendidikan, Pendapatan dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas 2007..................................................... 77

Tabel 24 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat

18

Pendidikan, Jaminan Kesehatan dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas 2007 ................................................... 79

Tabel 25 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat

Pendidikan, Jaminan Keselamatan & Fasilitas Kerja,

Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas2007 ............................ 80

Tabel 26 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat

Pendidikan, Jaminan Keluarga, Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas2007 ....................................................... 82

Tabel 27 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan

Frekuensi Makan Sehari dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas 2007 ..................................................... 85

Tabel 28 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Kualitas

Makan Yang Dimakan Perhari dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas 2007 ..................................................... 86

Tabel 29 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Frekuensi

Berobat Keluarga Dalam Setahun dan Jenis Kelamin,

Desa Bojongrangkas 2007 ..................................................... 87

Tabel 30 Jumlah dan Persentase Berdasarkan Jenis Pengobatan

dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ..................... 88

Tabel 31 Jumlah dan Persentase Jumlah Keluarga Responden

Berdasarkan Keberhasilan Menyekolahkan Anggota

Keluarga dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrakas 2007 ........ 89

19

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

Gambar 1 Rantai Tata Niaga Industri Tas

Desa Bojongrangkas................................... 26

Gambar 2 Starata Pekerjaan dalam Home Industry tas

Desa Bojongrangkas .................................. 27

Gambar 3 Kerangka Pemikiran ................................... 30

Gambar 2 Susunan Organisasi Pemerintahan, Desa

Bojongrangkas 2005........................... ........ 47

20

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Teks Halaman

Lampiran 1 Contoh Kuisioner ................................................. 97

Lampiran 2 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 ......... 100

Lampiran 3 Gambar Dokumentasi Penduduk ....................... 101

21

DAFTAR MATRIKS

Nomor Teks Halaman

Matriks 1 Masalah Penelitian, Keperluan Data, Sumber

dan Alat Pengumpulan Data .................................. 40

22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah mempengaruhi berbagai

sektor kehidupan di Indonesia termasuk sektor industri. Industri-industri yang

mengalami kemunduran pasca krisis ekonomi pada umumnya adalah industri skala

besar, sedangkan industri skala kecil walaupun sempat mengalami penurunan namun

dapat bangkit kembali. Salah satu fakta pada tahun 1998 dari 2.217.000 yang ada,

sebesar 96 persen adalah unit industri kecil dan kerajinan rumah tangga (IKKR) yang

dapat menyerap 5.302.000 orang pekerja. Pada tahun 1999, dari 2.538.000 total unit

usaha industri yang ada, sebesar 98 persen adalah IKKR yang dapat menyerap

6.119.000 orang pekerja (Dewayanti dan Chotim 2004).

Pertumbuhan industri kecil pada umumnya berkembang pesat di wilayah

pedesaan. Dewayanti dan Chotim (2004) mengungkapkan berdasarkan data statistik

keberadaan usaha skala kecil terkonsentrasi terutama di wilayah pedesaan Jawa dan

Bali sebesar 69 persen. Ini terjadi akibat proses awal industrialiasasi negara-negara

berkembang yang cenderung mengadopsi model pembangunan dari barat dengan

perhatian utama pada industri-industri skala besar yang bersifat padat modal dan

berteknologi tinggi. Model pembangunan demikian yang kemudian telah mengubah

pola hidup masyarakat di perkotaan dan di pedesaan dengan munculnya spesialisasi

dalam produksi komoditas pertanian, juga terjadi ketergantungan yang besar pada

pasar yang lebih luas untuk pemenuhan kebutuhan barang dan jasa, ini mendorong

berkembangnya kegiatan ekonomi non-pertanian yang menghasilkan produk yang

hanya dapat dipasarkan dalam jangkauan terbatas.

23

Ketika industri-industri manufaktur berskala besar sudah tidak mampu

menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi sebagian besar masyarakat,

bersamaan itu pula muncul alternatif kegiatan ekonomi pinggiran yang bersakala kecil.

Usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga memiliki potensi besar dalam

penyerapan tenaga kerja. Data Direktorat Jendral Industri Kecil Departemen

Perindustrian menunjukkan bahwa sampai tahun 1992 jumlah Industri kecil Indonesia

mencapat 1.936 unit dan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap sektor ini mencapai

6.346.000.000 orang. Artinya setiap unit usaha menyerap empat orang tenaga kerja

(Departemen Perindustrian 1992 dikutip oleh Chotim 1994).

Moore, dkk (1999) dalam Dewayanti dan Chotim (2004) mengungkapkan

bahwa perempuan merupakan kelompok yang memiliki kesempatan kecil untuk dapat

masuk sebagai tenaga kerja pada sektor formal, sehingga salah satu alternatif

kesempatan perempuan bekerja adalah di sektor informal. Jumlah pekerja permepuan

dengan pekerja laki-laki dalam industri kecil hampir sama, menurut data Dewayanti

dan Chotim (2004) mengutip data BPS tahun (1999) dari total pekerja industri kecil

dan kerajinan rumah tangga (IKKR) 4.340.175, persentase pekerja laki-laki 50,20

persen dan persentase pekerja perempuan 49,80. Sedangkan dari sekitar 577.942

jumlah total pekerja IKKR yang dibayar, persentase perempuan yang dibayar hanya

16,62 persen. Data di atas memperlihatkan bahwa perempuan memiliki peran yang

cukup besar dalam kegiatan industri usaha kecil, jumlah perempuan yang menerima

haknya (upah) relatif minim, bahkan ada sebagian besar perempuan tidak mendapatkan

hak dari hasil jerih payahnya (upah).

Dari fakta di atas juga dapat terlihat bahwa di tengah keterbatasan ekonomi,

status perempuan dalam ada di posisi terendah dalam masyarakat. Hal ini terkait

24

dengan proses pembangunan yang berkiblat kapitalis yang mengakibatkan munculnya

marjinalisasi terhadap perempuan, seperti yang dikemukakan oleh Boserup (1976)

bahwa proses pembangunan kapitalis di implementasikan oleh sebagian besar negara

secara progresif, sehingga cenderung berdampak munculnya marjinalisasi pekerjaan-

pekerjaan perempuan serta mengkonsentrasikannya ke dalam bentuk-bentuk pekerjaan

pelayanan yang tidak produktif. Perkembangan skala usaha, introduksi teknologi atau

desain membuka kesempatan baru bagi pekerja laki-laki. Introduksi teknologi

membawa pengaruh negatif pekerja perempuan dan menggeser mereka ke sektor-

sektor marjinal yang berimplikasi pada kondisi dan upah kerja yang rendah namun

berakibat tergesernya kerja perempuan dari sektor-sektor yang renumeratif

(menguntungkan) ke pekerjaan tidak menguntungkan (Chotim, 1994).

Keterlibatan perempuan dalam bentuk-bentuk produksi di luar sistem pabrik

termasuk di dalamnya industri rumah tangga makin pesat pertumbuhannya. Banyak

unit rumah tangga, bengkel-bengkel, dan sebagainya yang memproduksi bermacam-

macam barang untuk diperdagangkan. Dari unit-unit tersebut ada yang secara langsung

dan tidak langsung terkait dengan perusahaan besar maupun individu melalui berbagai

bentuk pekerjaan sub kontrak dan pekerjaan yang bersifat putting out, dan diketahui

bahwa perempuan memang hadir dengan jumlah besar dalam pekerjaan yang sifatnya

putting out (Chotim, 1994).

Putting out system adalah bagian dari industri kecil yang merupakan suatu

sistem kerja yang mempekerjakan para pekerja di rumah masing-masing, dengan

bahan baku yang dapat diambil dalam pabrik industri besar ataupun industri sub

kontrak. Dewayanti dan Chotim (2004) mengungkapkan bahwa putting out system

dianggap mewakili keinginan sebagian perempuan-perempuan di desa untuk dapat

25

bekerja produktif dan domestik. Sebagian besar perempuan-perempuan yang terjun

sebagai pekerja putting out system adalah untuk membantu perekonomian keluarga.

Ciri-ciri sistem kerja putting out system diantaranya dapat membawa pekerjaan ke

dalam atau sekitar rumah dan tidak memiliki batasan waktu bekerja, pendapatannya di

hitung berdasarkan jumlah per- satuan yang mereka hasilkan. Daya tarik dari sistem

kerja ini bagi perempuan diantaranya adalah fleksibilitas ruang dan waktu, kegiatan

perekrutan tenaga kerja yang mudah (umumnya kerabat terdekat), tidak membutuhkan

banyak persyaratan kerja.

Putting out system merupakan sistem kerja yang seharusnya dapat

mensejahterakan pekerjanya, namun karena kondisi internal industri tas yang tidak

menunjang maka putting out system saat ini justru memarjinalkan peran-peran

perempuan, tidak mensejahterakan perempuan dan mengeksploitasi tenaga mereka

secara berlebihan. Marjinalisasi dan ekploitasi yang terjadi dalam putting out system

seperti dengan adanya kelonggaran atau fleksibilitas ruang dan waktu menyebabkan

para pekerja harus bekerja tidak mengenal waktu, karena untuk memenuhi pesanan

mereka harus bekerja siang dan malam, seperti yang diungkapkan oleh Chotim (1994)

bahwa di tingkat pekerja rumahan (putting out worker) dalam mekanisme subkontrak

ditemukan gejala self exploitation melalui pengerahan tenaga kerja keluarga tanpa

upah atau dengan upah yang sangat rendah.

Selain itu putting out system membuat para ibu-ibu rumah tangga mengalami

dilema peran ganda, para pekerja perempuan harus ikut kerja produktif mengejar

target, tetapi di sisi lain mereka tetap bertanggung jawab menyelesaikan tugas

domestik. Dalam pengambilan keputusan di tingkat keluarga, perempuan tidak

memiliki peran utama dalam pengambilan keputusan, perempuan sebagai pekerja

26

tambahan nomor dua dalam kerja produktif, hal ini dikarenakan adanya steriotipe

bahwa bekerja adalah tanggung jawab laki-laki sebagai kepala rumahtangga dan

tanggung jawab utama perempuan adalah mengurus rumah tangga. Salah satu fakta

yang memperkuat steriotipe ini adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

secara eksplisit yang menyebutkan bahwa, suami adalah kepala rumah tangga, istri

adalah pengurus rumah tangga. Adanya persepsi tersebut berimplikasi pada aktivitas

ekonomi di sektor publik mengakibatkan perempuan dianggap sebagai pekerja

tambahan maka di bayar lebih rendah. Akibat melekatnya steriotipe perempuan dan

secara ekonomi peran perempuan tidak diperhitungkan, maka telah memunculkan

salah satu bentuk ketidakadilan gender yakni marginalisasi ekonomi kaum perempuan

(Dewayanti dan Chotim, 2004).

Jika dibandingkan antara tingkat kesejahteraan pekerja industri skala besar

dengan pekerja industri skala kecil berdasarkan waktu kerja dan tenaga yang sama,

maka tingkat kesejahteraan para pekerja industri skala kecil masih jauh di bawah

industri berskala besar. Berbeda dengan pekerja sektor formal yang memiliki

perkumpulan serikat kerja untuk menyuarakan kepentingannya, putting out system

dikategorikan sebagai pekerja informal yang tidak memiliki bargaining position dan

tidak dihitung sebagai angkatan kerja, mereka merupakan golongan pekerja atau buruh

yang tidak terlihat (invisible), dengan kata lain tidak masuk dalam angka statistik dan

belum memperoleh perlindungan sosial (Safaria, 2003).

Secara garis besar putting out system merupakan sistem kerja yang memiliki

peran penting dalam perekonomian di desa dan sangat erat kaitannya dengan

kesejahteraan masyarakat terutama pekerja perempuan. Sebagai salah satu contoh

industri yang dapat menggambarkan keadaan para pekerja perempuan putting out

27

system adalah industri tas di Kabupaten Bogor, hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut

karena industri tas di Bogor merupakan salah satu produsen tas terbesar di Jawa Barat.

Selain itu industri tas banyak menyerap tenaga kerja di sektor informal terutama tenaga

kerja perempuan, namun kehidupan para pekerja perempuan tersebut tidak

menggembirakan, sehingga memunculkan pertanyaan besar mengapa mereka tetap

bertahan dalam sistem putting out tersebut.

Melihat kondisi di atas, maka permasalahan utama yang ingin diangkat adalah

bagaimana kondisi kesejahteraan para pekerja putting out system baik laki-laki

maupun perempuan di dalam home industry tas, faktor-faktor apa yang berpengaruh

pada kondisi kerja pekerja putting out pada home industry tas dan melihat apa dampak

putting out system terhadap kesejahteraan pekerja perempuan itu sendiri dan juga

kesejahteraan rumah tangganya.

28

1.2 Perumusan Masalah

Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas maka perlu dirumuskan masalah

secara lebih terperinci.

1. Bagaimana kondisi kerja laki-laki dan perempuan yang bekerja sebagai

pekerja putting out system pada home industry di Desa Bojongrangkas?

2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kondisi kerja pekerja

putting out system pada home industry di Desa Bojongrangkas?

3. Dampak bekerja sebagai pekerja putting out system pada home industry

terhadap kesejahteraan pekerja perempuan dan keluarganya?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui tujuan penelitian di atas maka perlu dirumuskan tujuan

secara terperinci, yakni :

1. Mengetahui bagaimana kondisi kerja laki-laki dan perempuan yang bekerja

sebagai pekerja putting out system pada home industry di Desa

Bojongrangkas

2. Mengidentifiksi faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kondisi

kerja pekerja putting out system pada home industry di Desa Bojongrangkas

4. Mengidentifikasi dampak bekerja sebagai pekerja putting out system pada

home industry terhadap kesejahteraan pekerja perempuan dan keluarganya?

29

1.4 Kegunaan Penelitian

Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

dampak putting out system terhadap pekerja perempuan dalam kegiatan usaha kecil

industri tas. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

dan sumber informasi ilmiah tentang permasalahan ketenagakerjaan kepada pembaca

dan khususnya tenaga kerja perempuan usaha kecil, usaha industri kecil, pemerintah

dan instansi-instansi terkait.

30

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Kesempatan Kerja Perempuan

Hubungan perempuan dan laki-laki di Indonesia yang masih di dominasi oleh

budaya patriakhi berhubungan dengan bekerja dapat di lihat dari kesempatan bekerja,

dimana laki-laki cenderung lebih didahulukan daripada perempuan walaupun

kemampuan dan keterampilan kerja mereka sama, akibatnya perempuan tergeser dari

pasar tenaga kerja (Muniarti, 2004). Selain itu Chotim (1994) mengungkapkan bahwa

dimana perkembangan skala usaha, introduksi teknologi atau desain membuka

kesempatan baru bagi pekerja laki-laki dan menggeser pekerja perempuan dari sektor-

sektor yang menguntungkan ke pekerjaan yang tidak menguntungkan. Pekerjaan yang

paling menguntungkan kemudian berkembang menjadi pekerjaan laki-laki, ini artinya

introduksi teknologi sama sekali tidak hanya membawa pengaruh negatif terhadap

pekerja perempuan tapi juga menggeser mereka ke sektor-sektor marjinal yang

berimplikasi pada kondisi dan upah yang rendah.

Perlakukan terhadap laki-laki dan perempuan mengakibatkan keterbatasan

peluang kerja perempuan dan membuat perempuan terkonsentasi pada pekerjaan

berupah rendah (Ken Surtiyah dalam Abdullah, 1997). Salah satu program

pembangunan pemerintah yang menyebabkan kemiskinan perempuan adalah

swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution), program ini secara

ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dalam pekerjaannya. Saptari dan

Holzner (1997) mengungkapkan salah satu bentuk marjinalisasi adalah penyingkiran

dari kerja produktif. Hal ini dapat terjadi pada pekerja perempuan yang tersingkir dari

31

pekerjaan produktifnya sebagai akibat pengalihan pekerjaan dari pertanian ke non

pertanian. Seperti yang di ungkapkan oleh Pudjiwati Sajogyo (1983) perubahan

teknologi yang terjadi di Jawa meliputi penanaman bibit unggul padi, pemakaian

mesin huller padi, penggunaan traktor-traktor kecil telah menggantikan banyak tenaga

perempuan.

Bagi perempuan dalam rumah tangga miskin, bekerja bukan merupakan

tawaran, tetapi suatu strategi untuk menopang kebutuhan ekonomi terutama bagi

rumahtangga yang tidak memiliki akses tanah. Kensurtiyah dalam Abdullah (1997)

mengemukakan, bahwa perempuan-perempuan di pedesaan berbondong-bondong

mencari pekerjaan di kota karena beberapa sebab antara lain : (a) Di daerah pertanian

terjadi maskulinisasi (akibat revolusi hijau, teknologi mekanis, rekayasa sosial, dan

sebagainya); (b) Sempitnya lahan pertanian; dan (c) Meningkatnya pendidikan

perempuan sehingga enggan, malu, dan gengsi untuk mengerjakan lahan pertanian.

Berdasarkan di atas peluang kerja di luar pertanian merupakan alternatif

pekerjaan bagi perempuan, tetapi tenaga kerja perempuan kalah bersaing dengan

tenaga kerja laki-laki, karena kondisi pra kerja dan dalam kerja mereka rendah, dan

merekapun hanya mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang rendah.. Kondisi pra kerja

meliputi pengalaman, pendidikan, dan keterampilan yang rendah. Pengalaman yang

diperoleh biasanya mengarahkan mereka pada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga

sehingga perempuan mencari pekerjaan yang identik dengan kerja rumahtangga.

Sedangkan kondisi di dalam kerja, meliputi : kurangnya kesempatan latihan karena

dana perusahaan pemberi kerja terbatas, sehingga prioritas ditujukan pada tenaga kerja

laki-laki yang kontinuitas kerjanya dianggap lebih stabil dibanding perempuan, yang

seringkali terputus-putus karena pengaruh fungsi reproduksinya.

32

Dampak negatif terhadap kesempatan kerja perempuan yang terbatas adalah

pasar tenaga kerja mengarahkan mereka pada pekerjaan yang marjinal dengan upah

yang rendah. Dewayanti dan Chotim (2004) yang mengutip pandangan Grown dan

Sebstadt (1989) bahwa pengelompokkan kerja perempuan terbagi ke dalam tiga jenis,

yakni: (1) Sistem produksi subsisten atau non-pasar, (2) Pekerjaan tanpa upah dalam

sistem produksi keluarga, (3) Sistem putting-out. Dalam pengertian lain, kerja

perempuan di dalam ekonomi perdesaan dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis,

yaitu antara lain pekerjaan rumahan (home worker), pekerja dalam usaha rumahan

(home-based worker), pekerja rumah tangga seperti pembantu rumah tangga, buruh

upahan, dan usaha mandiri (self-employed).

Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menjaga

kelangsungan hidup, pekerjaan sebagai buruh/pekerja upahan dalam industri kecil

dianggap sebagai solusi yang sesuai oleh perempuan, mereka dapat tetap mendapatkan

penghasilan namun juga tidak melalaikan kewajiban mengurus rumah tangga.

Terutama bagi perempuan-perempuan yang tinggal di pedesaan yang pada umumnya

memiliki tanggung jawab dalam kegiatan domestik rumah tangga, dimana kegiatan

domestik rumahtangga dianggap pekerjaan utama yang tidak dapat ditinggalkan,

sedangkan pekerjaan lain diluar rumahtangga dianggap pekerjaan tambahan atau

sampingan (Dewayanti dan Chotim 2004).

2.2 Industri Kecil

Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau

barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk

mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah

33

bagian dari industri. Hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga bentuk jasa

(Schneider, 1993). Sedangkan industri kecil atau industri kerajinan rumahtangga

menurut Chotim (1994) didefinisikan sebagai industri yang mempekerjakan lima

hingga sembilan belas orang pekerja pada industri ini, pemilik usaha dapat terlibat atau

tidak dalam proses produksi. Menurut Ken Surtiyah dalam Abdullah (1997), unit usaha

industri kecil dan rumahtangga mencakup 99,5 persen dari keseluruhan unit industri

yang ada di Indonesia. Penyerapan tenaga kerja tercatat sebesar 86,6 persen dari

keseluruhan tenaga kerja yang terserap di sektor industri. Hal ini jelas menunjukan

betapa pentingnya keberadaan industri usaha kecil.

Menurut Dewayanti dan Chotim (2004) usaha mikro/ kecil digambarkan

sebagai usaha-usaha marjinal dan subsisten yang diantaranya ditandai dengan : jenis

transaksi jual beli dalam jumlah kecil, sebagian transaksi dilakukan oleh orang-orang

yang dikenal, kesepakatan yang di bangun bersifat langsung diantara dua orang atau

lebih yang di percaya dan dapat di pertanggungjawabkan, memiliki aturan sosial

sendiri, menggabungkan berbagai jenis pekerjaan yang sumber dayanya dimiliki dan

dikendalikan oleh sendiri untuk kebutuhan yang sifatnya subsisten. Adapun menurut

Rizal Fillailli1, Kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan usaha mikro beragam

dan tumpang tindih terutama pengertian antara usaha mikro dan usaha kecil,

diantaranya adalah berdasarkan Departemen Keuangan seperti yang tercantum dalam

keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 40/KMK.06/2003, pengertian

dari usaha mikro adalah pendapatan yang di titikberatkan pada besarnya

hasil/pendapatan usaha, usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara

Indonesia dan memiliki hasil penjualan maksimum Rp100.000.000 per tahun. Adapula

1 http://www.smeru.or.id/newslet/2004/ed10/200410data.htm Profile Usaha Mikro oleh Rizki Fillaili.

34

yang menjelaskan pengertian kredit usaha mikro adalah usaha produktif dengan total

aset maksimal Rp 25 juta di luar tanah dan bangunan, dengan plafon kredit bank yang

diterima maksimal Rp 50 juta. Kredit Usaha Kecil (KUK) adalah usaha produktif yang

mempunyai kekayaan bersih maksimal Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan

bangunan, nilai penjualan tahunannya maksimal Rp 1 milyar, serta menerima plafon

kredit bank antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta. Sedangkan kredit usaha menengah

adalah usaha produktif dengan kekayaan bersih antara Rp 200 juta sampai dengan Rp

10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan, serta menerima plafon kredit bank

antara Rp 500 juta hingga Rp 5 milyar (Wijoyo dalam Kompas, 20 Maret 2003).

Industri rumah tangga adalah salah satu alternatif yang bisa menjawab

persoalan perempuan yang harus bekerja tanpa meninggalkan kerja rumahtangga

sehari-hari. Menurut Ken Surtiyah dalam Abdullah (1997) industri rumahtangga

merupakan kegiatan ekonomi yang berada di sekitar rumah (home base production)

dan dapat dikerjakan di rumah, hal tersebut dianggap menguntungkan perempuan

karena (1) Tidak memerlukan skill yang tinggi, (2) Bisa dikerjakan di rumah tanpa

harus meninggalkan tugasnya sehari-hari (3) Bisa menghasilkan uang dalam waktu

singkat (harian, mingguan) (4) Tidak membutuhkan teknologi yang tinggi (5) Modal

yang diperlukan tidak besar. Sedangkan penyebab industri kecil tetap bertahan dalam

masyarakat adalah (1) Sebagian populasi industri tersebut berada di pedesaan yang jika

di kaitkan dengan semakin meningkatnya industri rumahtangga memberikan jalan

keluar bagi rumahtangga petani. (2) Beberapa industri tersebut menggunakan bahan

baku yang berada di lingkungannya sehingga biaya bisa murah (3) Upah tenaga kerja

setempat murah (4) Harga produksi relatif murah sesuai dengan kemampuan

35

masyarakat setempat dan (5) Tetap ada permintaan terhadap beberapa jenis komoditi

yang tidak diproduksi secara maksimal, hal ini merupakan aspek pendukung yang kuat.

Terdapat dua jenis industri rumahan yang muncul akibat proses industrialisasi,

yakni : (1) Usaha dengan skala mikro ini memiliki peranan penting bagi perempuan

karena dapat memberikan peluang bagi perempuan untuk dapat menjalankan kegiatan

produktif dan juga dapat menjangkau tugas-tugas domestik, (2) Unit-unit usaha rumah

tangga pada dasarnya merupakan perpanjangan dari industri atau yang dikenal sebagai

sistem subkontrak. Jenis-jenis usaha rumah tangga tersebut secara langsung terlepas

dari proses industrialisasi. Unit-unit usaha ini cederung memanfaatkan sumberdaya

alam yang masih dapat di jangkaunya dan memuat perempuan-perempuan yang

terlempar dari arus proses industrialisasi. Jenis yang kedua yang berpotensi dan cukup

berkembang menjadi sektor-sektor ekonomi di pedesaan Indonesia. (Dewayanti dan

Chotim, 2004).

Industri kecil ini pun dikategorikan ke dalam sektor industri informal, Safaria

(2004) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan sektor informal adalah kegiatan

ekonomi yang tidak memiliki standarisasi regulasi dari pemerintah yang terdiri dari

aspek perizinan, registrasi, standar kualitas, ketenagakerjaan dan pajak. Semua hal

yang berhubungan dengan aspek-aspek tersebut hanya diikuti oleh unit-unit usaha

dengan skala kecil, yakni usaha-usaha yang tidak menghasilkan akumulasi modal yang

besar. Indikator sektor informal menurut Safaria (2004) mengutip Sukesi (2002) yang

terbagi menjadi sebelas bagian, yakni (1) Organisasi, kegiatan usaha tidak

terorganisasi, (2) Izin, pada umumnya tidak ada izin usaha, (3) Pola aktivitas, yakni

pola kegiatannya tidak teratur, (4) Kebijakan, serta bantuan dari pemerintah tidak ada,

(5) Unit usaha, pekerja dapat keluar masuk dengan mudah, (6) Teknologi, dimana

36

penggunaan teknologi masih sederhana, (7) Modal dan skala usaha tegolong kecil, (8)

Pendidikan, tidak memerlukan pendidikan formal, (9) Pengelolaan, biasanya

pengelolaan dilakukan sendiri, dan buruh berasal dari keluarga, (10) Produk,

dikonsumsi oleh golongan menengah ke bawah, (11) Modal, biasanya modal adalah

aset sendiri atau mengambil kredit tidak resmi.

Industri kecil dalam sektor informal ini dapat dijadikan salah satu solusi untuk

mengatasi permasalahan ketenagakerjaan, karena industri kecil lebih banyak

membutuhkan keterampilan tenaga kerja manusia dibanding dengan mesin-mesin

produksi, dengan penyerapan tenaga kerja, maka diharapkan dapat meningkatkan

kesejahteraan pekerja lalu berdampak pada kesejahteraan penduduk secara luas,

terutama tenaga kerja perempuan. Namun permasalahan yang muncul bukan pada

permasalahan kesempatan kerja dan ketenagakerjaan melainkan dalam kegiatan

internal industri itu sendiri yakni munculnya marjinalisasi dan eksploitasi, terutama

pada perempuan pekerja yang tidak memiliki usaha atau hubungan kekerabatan,

biasanya mereka hanya akan di jadikan pekerja upahan dan dibayar dengan upah yang

rendah. (Dewayanti dan Chotim, 2004)

2.3 Pengertian Putting Out System

Industri kecil cukup di minati oleh sebagian perempuan, terutama di daerah-

daerah pedesaan yang cukup kental dengan tradisi. Dalam masyarakat pedesaan

perempuan-perempuan yang sudah menikah atau belum menikah pada umumnya

memiliki tanggung jawab dalam kegiatan domestik rumah tangga. Kegiatan domestik

rumahtangga dianggap pekerjaan utama yang tidak dapat ditinggalkan, sedangkan

pekerjaan lain diluar rumah tangga dianggap pekerjaan tambahan atau sampingan

37

(Dewayanti dan Chotim, 2004). Putting out system ini dianggap mewakili keinginan

sebagian perempuan-perempuan di desa untuk dapat bekerja produktif namun tidak

melalaikan tugas domestik. Sebagian besar perempuan-perempuan yang terjun sebagai

buruh/pekerja rumahan dalam industri kecil atau pekerja putting out system adalah

untuk membantu perekonomian keluarga. Putting out system ini dianggap solusi yang

sesuai bagi mereka karena memiliki kelonggaran/ fleksibilitas ruang dan waktu, yakni

mereka dapat membawa pekerjaan kedalam rumah dan tidak memiliki batasan waktu

bekerja, pendapatan dihitung berdasarkan jumlah per-satuan yang mereka hasilkan.

Putting out system menurut Wigna (1990), secara spesifik dapat di definisikan

sebagai hubungan antara mereka yang bekerja dan mereka yang mensupplynya, dimana

pekerja membawa bahan-bahan pekerjaannya yang telah disuplai oleh sub kontrak dan

mengerjakannya di sekitar rumah. Menurut Chotim (1994), pengertian lain dari putting

out worker adalah pekerja rumahan (home worker), definisinya adalah pekerja yang

mengerjakan proses-proses produksi yang memperoleh upah atas pekerjaan yang

dilakukan. Pekerja rumahan atau pekerja makloon atau putting out memiliki ciri

umumnya adalah ibu-ibu rumah tangga atau anak-anak perempuan. Kelompok pekerja

ini pada umumnya hanya mengerahkan sebagian dari tahapan-tahapan produksi.

Sebagian waktu senggangnya setelah menyelesaikan urusan rumah tangga untuk

memperoleh penghasilan tambahan atau sambilan. Penghasilan tersebut biasanya

dipergunakan untuk menambah pemenuhan keluarga atau kebutuhan rumah tangga.

Sedangkan yang diperoleh anak-anak sebagian untuk tambahan uang jajan atau

membantu keluarga. Para pekerja putting out sistem ini, biasanya melakukan

pekerjaannya di sekitar rumah, dan meminta bantuan keluarga atau tetangganya,

hubungan ini mengakibatkan adanya hubungan ekonomi yang bersifat kekeluargaan.

38

Sejarah awal berdirinya putting out system telah banyak memberikan manfaat

dan memenuhi kesempatan kerja serta kesejahteraan bagi pekerjanya, namun setelah

bertahun-tahun berlalu sistem tersebut justru membuat kondisi kerja yang buruk

terutama bagi pekerja perempuan dengan adanya upah yang rendah, waktu kerjanya

panjang, kondisi kerja yang tidak menentu dan juga tidak adanya jaminanan

keberlangsungan kerja. Terutama bagi tenaga kerja perempuan yang akhir-akhir ini

mulai terkonsentrasi dalam pekerjaan tersebut, seperti dikutip dari Wigna (1990) :

”The system creates a very bad work conditions for women worker such as a lowpaid with very long working hour, no security, and unstable work conditionbecause there is no assurance that job will continue .

Munculnya putting out system tidak luput dari interfensi kebijakan pemerintah,

kita bisa melihat bahwa putting out system telah mengambil bagian dari berbagai

macam sistem politik, dan tergantung keadaan ekonomi yang sedang berkembang saat

itu pakah kegiatan ekonomi banyak mengambil keterampilan tradisional atau

menggunakan teknologi komputer yang modern dan sophisticated. Dalam proses

industrialisasi menurut Wigna (1990), indonesia sama seperti negara berkembang

lainnya untuk mencapai kebutuhan substansial pertumbuhan ekonomi di mulai dengan

membuka kebijakan ekonomi dan mengubah beberapa regulasi seperti dengan

mengundang investor asing. Program industrialiasasi di Indonesia memang telah

sukses dalam menghasilkan produksi, namun demikian intensifikasi investasi skala

dunia telah memberikan dampak negatif terhadap perempuan jika dibandingkan

dengan laki-laki. Selain terbatasnya pendapatan langsung para perempuan yang

bekerja multinasioal juga memberikan dampak tidak langsung kepada perempuan

dalam lingkup ekonomi, yakni perempuan tersebut menjadi generasi pekerja dalam

industri sub-kontrak perusahaan multinasional manufaktur untuk eksport. perempuan

39

di pekerjakan dalam rumah mereka dan dibayar berdasarkan perhasil satuan kerja,

namun hal tersebut malah menjerumuskan mereka pada pekerjaan beban ganda.

Putting out system tidak di lihat sebagai kerja atau bahkan suatu pekerjaan,

baik bagi perempuan maupun laki-laki, salah satu alasannya adalah tidak diakuinya

bahwa putting out system adalah suatu pekerjaan karena pekerjaannya dapat dibawa

dan dilakukan dalam rumah dan dianggap aktivitas kerja rumahan, dimana pekerjaan

tersebut dapat dibawa kerumah dan di kerjakan didalam rumah, seperti yang di kutip

dalam Wigna (1990):

.....putting out work as a job work is because of the nature of putting out workwhich can be carried out at home with in the domestic chores”.

2.4 Sistem Kekerabatan

Menurut ilmu sosiologi dan antropologi, kekerabatan ialah kesatuan sosial yang

orang-orangnya mempunyai hubungan keturunan atau hubungan darah. Secara singkat

dapat juga dikatakan bahwa kekerabatan merupakan seperangkat hubungan yang

didasarkan atas perkawinan dan keturunan. Tiap individu yang hidup dalam suatu

masyarakat, secara biologis dapat menyebut kerabat semua orang sesamanya yang

mempunyai hubungan “darah” (gens) melalui ibu atau ayahnya (Koentjaranigrat,

1992).

Keluarga inti merupakan kesatuan manusia yang disebut kinroup, atau

kelompok kekerabatan. Selain keluarga inti masih banyak bentuk kelompok kerabat

lain. Menurut Jurnal Antropologi (2008) mengutip G.P Murdock (1949) terdapat tiga

kategori kekerabatan yang menyangkut fungsi-fungsi sosial dari kelompok-kelompok

kekerabatan itu, ialah:

40

1. Kelompok kekerabatan berkorporasi (corporate kingroups), yang berarti

kelompok kekerabatan yang mempunyai hak bersama terhadap sejumlah

harta. Yang termasuk dalam kategori ini adalah keluarga inti.

2. Kelompok kekerabatan kadangkala (occasional kinroup). Sifatnya biasanya

besar dengan banyak anggota, sehingga pergaulan secara terus menerus dan

intensif tidak mungkin lagi. Kelompok ini hanya bergaul secara kadang-

kala.

3. Kelompok kekerabatan menurut adat (cirrcumscriptive kinroup) kelompok

ini sedemikian besarnya sehingga para warganya tidak lagi kenal mengenal,

para anggota sering hanya bisa tahu-menahu menurut tanda-tanda yang

ditentukan oleh adat.

Jurnal Antropologi (2008) mengutip dari G.P Murdock (1949) menyatakan

batas kaum kerabat sosiologis berikatan dengan tiga sudut pandang, yaitu

1. Batas kesadaran kekerabatan (kinship awarness)

2. Batas dari pergaulan kekerabatan (kinship affiliation)

3. Batas dari hubungan-hubungan kekerabatan (kinship relation)

Teori di atas mempunyai akibat yang sifatnya selektif, karena prinsip itu yang

menentukan siapakah diantara kaum kerabat biologis yang tak terbatas jumlahnya akan

jatuh di dalam batas hubungan kekerabatan, dan akan diketahui siapakah yang jatuh

diluar batas kekerabatan. Adanya hubungan kekerabatan atau hubungan darah maka

faktor kekerabatan penting artinya di dalam proses sosialisasi. Sosialisasi adalah

sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu

generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah

sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory), karena

41

dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu

(Wikipedia, 2008).

Menurut Goode (2002) individu memiliki ketergantungan pada proses belajar

dan tidak dapat berkembang secara wajar tanpa adanya kontak sosial. Keluarga

merupakan wadah sosial yang menangani sebagian persoalan mentransformasi

organisme biologis menjadi manusia. Hubungan biologis dengan masyarakat dan

budaya dapat dilihat pada ketergantungan khas sifat biologis pada hubungan peran

yang ditekankan oleh kebudayaan. Definisi kepribadian menurut Soekanto (1990)

mengutip pada Roucek dan Warren (1962) adalah organisasi biologis, psikologis dan

sosiologis yang mendasari perilaku individu mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap dan

lain-lain sifat yang khas dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tersebut

berhubungan dengan orang lain. Ada empat faktor penting yang menentukan

kepribadian seseorang yakni:

1. Individu dan perilakunya

2. Kepribadian

3. Masyarakat / lingkungan sosial

4. Lingkungan budaya

Faktor masyarakat dan lingkungan budaya memiliki peranan yang penting dalam

menentukan kepribadian seseorang dan mempengaruhi proses sosialisasinya. Dengan

demikian tidak menutup kemungkinan masyarakat dan budaya sangat mempengaruhi

perilaku seseorang dalam memilih bidang pekerjaan yang di geluti sehari-hari. Karena

setiap individu merupakan bagian dari hubungan timbal balik yang saling

mempengaruhi sehingga kehidupan seseorang tidak dapat lepas dari masyarakat dan

lingkungan budayanya.

42

2.5 Pembagian Kerja Dalam Keluarga dan Kontribusi Ekonomi PekerjaTerhadap Rumah Tangga

Pengamatan mengenai persoalan relasi ditingkat unit usaha keluarga salah

satunya dikaitkan dengan pembagian kerja usaha dan kerja domestik. Munculnya

pembagian kerja bukanlah merupakan hal yang hanya terjadi karena konstruksi

budaya, tetapi terkait dengan proses kapitalisasi di pedesaan. Dalam penelitian Ann

Stoller dikutip oleh Moore (1998) dalam Dewayanti dan Chotim (2004) ditemukan

bahwa perempuan di Pulau Jawa mengendalikan keuangan rumahtangga dan

memainkan peran yang dominan dalam proses pengambilan keputusan dalam

rumahtangga. Penelitian Stoller memperlihatkan bahwa penetrasi ekonomi pedesaan

tidak mengakibatkan dikotomi yang meningkat dalam pembagian kerja berdasarkan

jenis kelamin. Peran penting perempuan sebelum dan sesudah penjajahan dalam usaha

pertanian subsisten dan pekerjaan berupah tidak memperburuk perbedaan antara

perempuan dan laki-laki dalam rumahtangga, tetapi meningkatkan perbedaan antar

rumahtangga. Dalam hal ini, perbedaan tersebut tidak hanya muncul secara ekonomi ,

tetapi juga perbedaan sosial dan kekuasaan.

Pembagian kerja yang berlangsung selama ini masih menempatkan laki-laki

sebagai pencari nafkah dan mengalokasikan waktunya untuk bekerja di ranah

produktif. Sedangkan perempuan, selain bekerja di ranah produktif tetapi juga

memiliki beban untuk mengerjakan tugas domestik atau reproduktif, ditambah lagi

dengan kegiatan sosial di komunitas. Menurut Dewayanti dan Chotim (2004)

berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai kombinasi pembagian kerja dan

alokasi waktu harian produsen gula di Jawa Tengah mencerminkan beban kerja

perempuan di ranah domestik tidak terbagi cukup adil di antara anggota keluarga

lainnya sehingga seolah-olah tanggung jawab tugas domestik diletakkan hanya di

43

punggung perempuan. Kegiatan produktif yang dilakukan oleh perempuan maupun

laki-laki dapat digantikan oleh oranglain yang diupah, tetapi tugas domestik yang

menjadi tugas perempuan tidak dapat sepenuhnya dialihkan pada pihak lain.

Pembagian kerja erat kaitannya dengan strategi bertahan hidup dan pola

pemenuhan kebutuhan usaha dan keluarga. Dalam usaha industri informal kedua jenis

ini tidak dapat dipisahkan secara jelas karena pendapatan harian masuk “kas” keluarga

tidak hanya digunakan untuk keperluan modal kerja tetapi juga sebagai modal

kelangsungan hidup keluarga.

Pilihan-pilihan kerja dan usaha yang diambil perempuan tidak terlepas dari

pola-pola pemenuhan kebutuhan keluarga yang tidak saja muncul akibat konstruksi

budaya dalam sistem masyarakat tertentu tetapi juga akibat penetrasi ekonomi sistem

kapitalis ke dalam ekonomi pedesaan yang menempatkan desa sebagai wilayah periferi

ekonomi yang miskin. Secara ekonomi, pembagian kerja dapat dijelaskan melalui

fenomena kemiskinan yaitu keluarga-keluarga miskin sedapat mungkin mengerahkan

sumberdaya yang dimilikinya atau dapat diaksesnya untuk menjaga kelangsungan

hidup (Dewayanti dan Chotim, 2004). Perempuan di beri tanggungjawab dalam

mengelola keuangan rumahtangga termasuk kebutuhan sehari-hari. Dalam hal ini,

seolah-olah perempuan memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan yang terkait

dengan sumerdaya produktif yang penting bagi kelangsungan kehidupan, tetapi hal ini

dapat juga dimaknai sebagai kerja dan tanggung jawab lebih bagi perempuan yang

bersangkutan. Perempuan sedapat mungkin menggunakan sumber daya yang

dimilikinya untuk mengembangkan berbagai jenis tabungan, dan pada saat krisis

sumber daya yang dimiliki oleh perempuanlah yang pertama kali dikorbankan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga tersebut.

44

Pekerja perempuan yang terlibat dalam industri rumahtangga pada umumnya

berasal dari rumahtangga miskin. Bekerja menjadi suatu strategi menghadapi tekanan

ekonomi dan sekaligus mewujudkan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan

ekonomi keluarganya.

Menurut Ken Surtiyah dalam Abdullah (1997) yang dikutip dari ideology of

women secondary work , berasumsi bahwa wanita yang bekerja hanya sekedar

memperoleh tambahan uang saku untuk dinikmati sendiri tidaklah benar. Beberapa

hasil penelitian justru menunjukkan bahwa penghasilan yang diperoleh perempuan

dalam bentuk tunai, sangatlah penting karena dapat dipergunakan untuk mencukupi

kebutuhan dapur sehari-hari. Ini berarti penghasilan perempuan adalah sangat berarti

dalam kesejahteraan rumahtangga, karena memberi kontribusi dalam kebutuhan

konsumsi sehari-hari yang tidak bisa ditunda. Kebutuhan yang dapat ditunda adalah

kebutuhan musiman, misalnya biaya SPP anak sekolah, pakaian, perabotan

rumahtangga, dan perbaikan rumah.

Dari beberapa penelitian Pusat Penelitian Kependudukan UGM (1991-1994)

yang dikutip oleh Dewayanti dan Chotim (2004) ditunjukkan bahwa sumbangan

perempuan pekerja yang menggeluti industri rumahtangga, antara lain di Sulawesi

Selatan sekitar 17 persen, Irian Jaya 47 persen, Sumatera Selatan 40 persen, D.I.

Jogjakarta 44, 7 persen, Jawa Barat 39 persen, Bali 22,9 persen dan Sumatera Barat 23

persen. Penelitian tersebut lebih lanjut menjelaskan bawah tanpa sumbangan

perempuan, maka sekitar 75 persen rumahtangga di daerah penelitian termasuk

dibawah garis kemiskinan. Karena keterlibatan perempuan bekerja, maka jumlah

rumahtangga yang berada dibawah garis kemiskin tinggal 41,3 persen.

45

2.6 Gambaran Umum Putting Out System Desa Bojongrangkas

Persoalan yang dihadapi usaha industri kecil tidak selalu terjadi karena adanya

ketidakadilan gender tetapi juga adanya hambatan internal, eksternal dan struktural

dalam pengadaan barang dan pemasaran. Persoalan-persoalan yang biasanya

dihadapai oleh usaha home industry diantaranya, terbatasnya informasi pasar,

persaingan dalam pemasaran, kesulitan prosedur pengajuan kredit, dan lemahnya

manajemen produksi (Dewayanti dan Chotim, 2004). Hambatan struktural yakni

ekspolitasi yang diakibatkan ketidaksetaraan relasi dalam rantai produksi dan

perdagangan. Schitz (1982) dalam Dewayanti dan Chotim (2004) melihat bahwa

persoalan relasi eskternal merupakan kendala serius dalam pengembangan usaha kecil.

Relasi ini mencakup sistem pembiayaan/permodalan, relasi dengan penyedia bahan

baku, teknologi, jalur-jalur pemasaran, dan perjanjian sub kontrak. Pelaku-pelaku

ekonomi tersebut memberikan pengaruh yang cukup bear dalam menjamin

keberlangsungan industri kecil, bahka dalam beberapa studi memperlihatkan bahwa

peran perantara sangat besar berpengaruh dalam jalur pemasaran (Knorringa dan

Weikland, 1993 dalam Dewayanti dan Chotim, 2004).

Dalam tata niaga industri tas di Desa Bojongrangkas terdapat sub-sub jaringan

yang melibatkan perantara/mandor. Pelaku-pelaku yang menjadi perantara memiliki

akses lebih baik terhadap informasi dan sumber daya, mereka berada di tengah-tengah

jalur produksi pekerja antara pekerja upahan dengan pemilik industri besar/sub

kontraktor besar, para sub-sub jaringan/perantara ini mendapatkan keuntungan

maksimum dengan resiko kerja yang minimum. Sedangkan pekerja upahan dan

perempuan merupakan kelompok pekerja yang ada pada posisi paling bawah dan

menjadi pihak terakhir yang mendapatkan keuntungan.

46

Berikut adalah gambaran rantai tata niaga industri tas dan strata pekerja

perempuan dalam home industry tas Desa Bojongrangkas

Gambar 1. Rantai Tata Niaga Industri Tas Desa Bojongrangkas

Gambar 1 di atas, menjelaskan mengenai rantai tata niaga industri tas di Desa

Bojongrangkas, antara industri besar dengan home industry terdapat peranta-perantara

yakni sub kontraktor besar, kecil dan mandor. Demikian pula dengan rantai pemasaran

industri tas home industry harus melalui perantara untuk dapat memasarkan hasil

produksinya. Ini mengakibatkan pendapatan yang diterima semakin bawah maka

semakin kecil pendapatan yang diterima. Para perantara ini memiliki peran penting

INDUSTRI BESAR

SUB KONTRAKTORBESAR

SUB KONTRAKTORBESAR

MANDOR MANDOR MANDOR MANDOR

Homeindustry

Homeindustry

Homeindustry

Homeindustry

Homeindustry

Homeindustry

Homeindustry

Homeindustry

SUBKONTRAKTOR

KECIL

SUBKONTRAKTOR

KECIL

SUBKONTRAKTOR

KECIL

SUBKONTRAKTOR

KECil

47

dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran industri tas. Pada umumnya pemilik

home industri tidak memiliki akses modal yang besar, bahan baku serta kurang

memiliki informasi dalam pemasaran barang, hal ini di manfaatkan oleh para sub

kontraktor dan perantara untuk memperoleh keuntungan maksimal kepada pemilik

home industry. Masalah jarak pemasaran yang berimplikasi pada biaya produksi

membuat para sub-sub kontraktor terdekat berpeluang memainkan peran sebagai

pelaku tunggal jalur pemasaran industri tas. Biaya transportasi berpengaruh pada

perhitungan biaya produksi dan ketidakpastian pasar membuat para pemiliki home

industry memilih para sub kontrakor untuk memasarkannya. Pemilik home industry

juga tidak memiliki pilihan lain selain menerima mekanisme hutang yang ditawarkan

sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan produksi

Gambar 2. Strata Pekerjaan dalam Home Industry Tas Desa Bojongrangkas

Membuat pola &menjahit oleh

pekerja tas

Pengeleman,pemasangan

aksesoris olehkenek

Pengelola home industry tas adalahpemilik home industry tas

Pengeleman,pemasangan

aksesoris olehkenek

Pengeleman,pemasangan

aksesoris olehkenek

Pengeleman,pemasangan

aksesoris olehkenek

Membuat pola &menjahit oleh

pekerja tas

48

Dari Gambar 2 di atas, dapat dilihat bahwa strata pekerja tas Desa

Bojongrangkas ada tiga, yakni pemilik atau pengelola industri, pembuat pola dan

penjahit tas, lalu kenek atau “pembantu pekerja tas”. Posisi pekerja perempuan pada

umumnya di posisi paling bawah yakni sebagai “pembantu pekerja tas” dengan upah

yang rendah.

2.7 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka maka dibuatlah kerangka pemikiran sebagai

tongkat untuk kerja di lapangan. Industri di perkotaan mulai berkembang

mempengaruhi berkembangnya industri di pedesaan, menyebabkan tumbuhnya sistem

sub kontrak di berbagai tempat terutama di pedesaan. Industri yang berkembang pesat

di pedesaan membutuhkan tenaga kerja buruh, perekrutan tenaga kerja dalam industri

pada umumnya adalah tenaga kerja di sekitar lingkungan. ini artinya kondisi suatu

kerja yang mempengaruhi kesejahteraan rumahtangga pekerja. Untuk dapat bekerja

dipengaruhi oleh faktor eksternal (kekerabatan) dan faktor internal (pendidikan,

pengalaman dan keterampilan kerja) .

Perkembangan industri di pedesaan mendorong munculnya sistem produksi

dengan apa yang disebut putting out system, yakni sistem produksi yang dikerjakan

buruhnya dirumah dalam rangka menekan biaya produksi. Putting out system

merupakan sistem produksi yang dikerjakan di luar pabrik, yang umumnya dikerjakan

dirumah-rumah atau bengkel-bengkel kerja. Sistem produksi ini (putting out system)

telah memberikan kesempatan kerja yang besar kepada perempuan, karena pekerjaan

ini dapat dilakukan bersamaan dengan pekerjaan domestik rumahtangga. Di satu sisi

putting out system ini merupakan penolong rumahtangga miskin dengan memberi

49

kesempatan kerja perempuan lebih leluasa sambil mengerjakan pekerjaan domestik, di

sisi lain pekerjaan tersebut mengeksploitasi kerja perempuan. Ini tergambar dalam

kondisi kerja pekerja memperoleh kerja, upah yang rendah, jaminan kesehatan,

jaminan keluarga dan jaminan keselamatan kerja, status kerja. Yang kemudian

mempengaruhi kondisi kesejahteraan keluarga POS yakni dilihat dari pola konsumsi,

kesehatan keluarga dan pendidikan anggota keluarga.

Dengan rendahnya kondisi pekerja putting out system terutama rendahnya upah

yang diterima menyebabkan tidak menjadi optimal bagi kesehajahteraan rumahtangga

mereka, maka kondisi putting out system yang optimal tidak menjadi lebih baik. Pada

Gambar 3 disajikan kerangka pemikiran mengenai kondisi dan dampak putting out

system terhadap kesejahteraan rumah tangga perempuan.

50

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

Keterangan : Ada hubungan dan di uji

Ada hubungan tetapi tidak di uji

KesejahteraanRumahtanggaPOS

- Pola Konsumsi- Kesehatan Keluarga- Pendidikan Anggota

Keluarga

Faktor Internal

Kekerabatan

Kondisi POS

- Memperoleh Kerja- Upah

Kerja/Pendapatan- Jaminan Kerja- Jaminan Keluarga

Faktor Eksternal

- Pendidikan- Pengalaman

Kerja- Keterampilan

51

2.8 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan, dapat disusun

hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Diduga ada hubungan antara tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja

dengan kesempatan menjadi pekerja putting out system.

2. Diduga semakin erat tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja, maka

semakin tinggi upah yang diterima pekerja.

3. Diduga semakin erat tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja, maka

semakin tinggi kesempatan diterima sebagai pekerja putting out system.

4. Diduga semakin erat tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja, maka

semakin tinggi jaminan kerja (kesehatan dan keselamatan kerja) dan

jaminan keluarga

5. Diduga semakin erat tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja, maka

semakin tinggi jaminan keselamatan dan fasilitas kerja

6. Diduga ada hubungan antara pengetahuan yang dimiliki pekerja

(pendidikan, pengalaman, keterampilan) dengan kesempatan perempuan

menjadi pekerja putting out system.

7. Diduga semakin tinggi pengetahuan pekerja (pendidikan, pengalaman,

keterampilan, maka semakin tinggi upah yang diterima

8. Diduga semakin tinggi pengetahuan pekerja, maka semakin tinggi jaminan

kerja (kesehatan dan keselamatan kerja) dan jaminan keluarga.

52

2.9 Definisi Operasional

1. Faktor Internal yakni Kekerabatan, kekerabatan adalah Garis keturunan

berdasarkan darah. Dekat tidaknya buruh perempuan terhadap pemberi kerja.

Kerabat dekat = orang memiliki hubungan sedarah yang kental sedarah

(saudara kandung, orang tua, sepupu dekat), kerabat jauh = orang yang

memiliki hubungan kerabat yang tidak kental (ipar, besan, sepupu jauh) bukan

kerabat = tidak memiliki hubungan darah.

Pengukuran :

Kerabat dekat = 3

Kerabat jauh = 2

Bukan Kerabat = 1

2. Faktor Eksternal yakni latar belakang pengetahuan, latar belakang adalah

pengetahuan yang dimiliki pekerja perempuan sebelum bekerja di bidang

putting out system dalam bidang pendidikan formal, pengalaman kerja dan

keterampilan (sebelum masuk industri putting out system). Pengukuran :

a. Di lihat dari tingkat pendididikan akhir yang pernah dimasuki /

tamatan. Pengukuran:

Lulusan SLTA = 3

Lulusan SLTP = 2

Lulusan SD = 1

b. Pengalaman kerja dilihat dari sudah berapa lama bekerja di

perusaahan lain sebelum masuk putting out system. Pengukuran:

5 tahun = Tinggi = 3

3 - 4 tahun = Sedang = 2

53

2 tahun = Rendah = 1

c. Keterampilan kerja adalah keahlian atau keterampilan yang dimiliki pekerja

sebelum bekerja pada industri putting out system, dilihat dari berapa jenis

keterampilan yang dimiliki. Pengukuran:

5 x = Tinggi = 3

3 - 4 x = Sedang = 2

2 x= Rendah = 1

3. Kesempatan kerja yang peluang mudah tidaknya mendapatkan pekerjaan.

Dihitung dari Sulit tidaknya ketika masuk kedalam industri putting out system.

Pengukuran:

Tidak Sulit = Tinggi = 3

Sedang = Sedang = 2

Sangat Sulit = Rendah =1

5. Kondisi kerja dalam putting out system adalah kondisi yang diterima

perempuan dibanding laki- laki sebagai seorang pekerja putting out system,

diantaranya upah, jaminan kerja dan jaminan keselamatan kerja.

Pengukuran:

a. Upah adalah pendapatan kotor dari hasil bekerja pekerja laki-laki dan

perempuan berupa uang atau barang yang dapat di uangkan. Disesuaikan

dengan UMR. Upah UMR Kabupaten Bogor 2006–2007, Rp. 800.000,-

> UMR = Tinggi = nilai 3

Relatif Sama dengan UMR = Sedang = nilai 2

< UMR = Rendah = nilai 1

b. Jaminan kerja kesehatan, jaminan yang diberikan pemberi kerja

54

kepada penerima kerja. Pengukuran:

• Diperbolehkan libur/cuti kalau sakit

• Mendapat biaya penggantian biaya bila sakit

• Bila sakit mendapatkan biaya pengobatan rawat jalan

• Bila sakit mendapatkan biaya rawat inap

• Mendapatkan Asuransi Kesehatan penduduk miskin dari tempat

anda bekerja

• Mendapatkan hak istirahat dan beribadah

Ya 5 = Tinggi = nilai 3

Ya 3 - 4 = Sedang = nilai 2

Ya 2 = Rendah = nilai 1

c. Jaminan keluarga adalah dapat tidaknya keluarga pekerja mendapatkan

tambahan selain biaya upah pokok dapat berupa uang barang atau pinjaman.

Pengukuran:

• Mendapatkan THR

• Mendapatkan biaya santunan istri/suami/anak meninggal

• Mendapatkan biaya santunan istri/anak/anggota keluargamelahirkan

• Mendapatkan pinjaman

• Mendapatkan santunan menikah

• Keluarga mendapatkan ganti rugi kesehatan

Ya 5 = Tinggi = nilai 3

Ya 3 - 4 = Sedang = nilai 2

Ya 2 = Rendah = nilai 1

d. Jaminan keselamatan dan fasilitas kerja adalah dapat tidaknya pekerja

55

mendapatkan ganti rugi berupa uang /asuransi berkaitan dengan

keselamatan diri pekerja. Pengukuran:

• Mendapatkan asuransi keselamatan jiwa

• Mendapatkan kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja

• Mendapatkan fasilitas keselamatan kerja

Ya 3 = Tinggi = nilai 3

Ya 2 = Sedang = nilai 2

Ya 1 = Rendah = nilai 1

6. Kesejahteraan rumahtangga adalah sejauh mana rumahtangga pekerja

perempuan dan laki-laki dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yakni meliputi

aspek pola pangan, pendidikan anak dan kesehatan keluarga.

Pengukuran :

a. Makan keluarga dilihat dari frekuensi makan dan kualitas makanan yang

dimakan. Diukur dari berapa kali rumah tangga makan dalam sehari.

Pengukuran:

3x sehari = Tinggi

2x sehari = Sedang

1x sehari = rendah

b. Dilihat dari jenis kualitas makanan yang dimakan. Pengukuran :

5 jenis makanan = Sempurna

3 - 4 jenis makanan = Kurang Sempurna

2 jenis makanan = Tidak sempurna

c. Kesehatan adalah frekuensi pekerja pergi berobat dan jenis pengobatannya

dalam setahun.

56

- Diukur dari berapa kali pergi berobat dalam setahun :

5 kali dalam setahun = Tinggi

3 – 4 kali dalam setahun = Sedang

2 kali dalam setahun = Rendah

- Diukur dari jenis pengobatan yang dijalani dalam setahun

Dokter /puskesmas = Tinggi = 3

Pengobatan alternatif /dukun= Sedang = 2

Obat warung = Rendah = 1

d. Pendidikan anggota keluarga adalah dilihat dari berapa yang Drop Out atau

tidak dapat melanjutkan sekolah. Pengukuran :

3 orang = Tinggi = nilai 3

1-2 orang = Sedang = nilai 2

0 orang = Rendah = nilai 1

57

BAB III

METODOLOGI

3.1 Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei, yaitu penelitian yang

mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat

pengumpulnya (Singarimbun dan Effendy, 1989). Metode survei yang didukung

dengan kualitatif, metode ini dipilih berdasarkan pertimbangan topik kajian kondisi

dan kondisi dan dampak putting out system terhadap kesejahteraan rumah tangga

perempuan, sehingga metode ini lebih tepat dan dapat menggambarkan permasalahan

tersebut. Metode ini juga dapat di gunakan utuk mengumpulkan data yang relatif

terbatas dari sejumlah kasus yang relatif besar jumlahnya.

3.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Desa Bojongrangkas yang terletak di

Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, pPropinsi Jawa Barat. Alasan pemilihan

lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Desa Bojongrangkas merupakan

sentra perajin tas dan banyak ditemukan penduduk bekerja baik sebagai pengusaha tas

maupun pengrajin/pekerja tas putting out system. Selain itu dengan

mempertimbangkan kemudahan akses yang dijangkau oleh peneliti untuk memperoleh

data dan informasi.

Waktu penelitian dilaksanakan selama enam bulan pada bulan Juli 2007

sampai dengan bulan Desember 2007. Sebelumnya penelitian telah diawali dengan

studi penjajagan pada bulan Februari hingga Maret 2007, kemudian dilanjutkan dengan

58

penyusunan proposal penelitian. Pada bulan Juni 2007 sampai dengan bulan Oktober

2007 dilakukan pengambilan data ke lembaga desa serta menyebarkan kuisioner

kepada responden pekerja tas yang sudah terpilih sebagai sampel. Kemudian pada

bulan Desember 2007, dilakukan input data, pengolahan data, interpretasi data serta

penyusunan skripsi.

3.3 Penentuan Sampel

Pilihan terhadap responden penelitian dilakukan secara sengaja karena tidak

terdapat data yang jelas mengenai jumlah keseluruhan pengrajin putting out system.

Responden adalah para pekerja atau pengrajin industri tas laki-laki dan perempuan

yang mengerjakan pekerjaannya di bawa ke rumah atau di kerjakan di sekitar rumah,

sedangkan informan adalah mereka yang terkait dengan tema penelitian seperti tokoh

masyarakat atau warga desa yang dapat memberikan informasi tambahan untuk

menyempurnakan penelitian.

Pengambilan responden dilakukan tidak proporsional, karena tidak diketahui

secara pasti jumlah penduduk yang bekerja sebagai perajin tas, sehingga di ambil 40

respoden guna memenuhi data statistik. Responden diambil dari empat RT (Rukun

Tetangga) yang mayoritas penduduknya adalah perajin tas. Pengambilan responden

dimulai dari RT satu dilanjutkan sampai ke RT empat sampai berjumlah 40 orang.

3.4 Teknik Pengumpulan data

Sumber data penelitian yang dikumpulkan adalah data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara dan penggunaan kuisioner,

sedangkan data sekunder diperoleh dengan mengkaji beberapa dokumen dan literatur.

59

Menurut Muljono (2003) secara umum wawancara adalah cara menghimpun bahan-

bahan keterangan yang dilaksanakan dengan tanya jawab secara lisan, sepihak,

berhadapan muka dan dengan arah tujuan yang telah ditentukan. Kuisioner adalah

daftar pertanyaan yang disampaikan kepada responden untuk dijawab secara tertulis.

Analisis sekunder dilakukan dengan cara yang diambil dari profil Desa Bojongrangkas,

laporan penelitian, artikel dari internet dan jurnal serta literatur yang berkaitan dengan

topik penelitian.

3.5 Teknik Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dimulai pengumpulan data hasil wawancara melalui

kuisioner, pengolahan data, dan analisis data. Data diolah dengan mengelompokkan ke

dalam variabel-variabel yang akan dilihat hubungannya merujuk pada hipotesa yang

sudah ada. Hubungan variabel-variabel tersebut disajikan dalam bentuk tabulasi silang,

di samping itu juga di buat tabel-tabel frekuensi yang digunakan untuk

memperlihatkan dan mendeskripsikan dari fenomena yang akan di jelaskan. Berikut

dijelaskan mengenai matriks masalah penelitian, keperluan data, sumber dan alat

pengumpul data

60

Matriks 1. Masalah Penelitian, Keperluan Data, Sumber dan Alat pengumpul data

Masalah Data Yang Dibutuhkan Sumber Data Alat Pengumpul

Data

Faktor Internal Kekerabatan Responden daninforman

Wawancara dankuisioner

Faktor Eksternal Faktor latar belakangpengetahuan (pendidikan,pengalaman kerja,keterampilan)

Responden daninforman

Wawancara dankuisioner

Kondisi kerjapekerja

- Memperoleh kerja- Upah- Jaminan kerja,- Jaminan keselamatan dan - fasilitas kerja,

Responden daninforman

Wawancara dankuisioner

Kesejahteraanrumahtangga

- Pola konsumsi keluarga- Pendidikan anak- Kesehatan keluarga

Responden Wawancara dankuisioner

61

BAB IV

GAMBARAN UMUM DESA PENELITIAN

4.1 Letak Geografis dan Keadaan Lingkungannya

Desa Bojongrangkas merupakan salah satu desa yang termasuk ke dalam

wilayah Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Batas Sebelah

Utara Desa Bojongrangkas adalah Desa Benteng dan Desa Ciampea. Sebelah Selatan

berbatasan dengan Desa Cicadas, Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tegal Waru,

dan Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukajembar. Jarak Dari Ibu kota

Kecamatan (Ciampea) sekitar setengah kilometer yang dapat ditempuh selama kurang

lebih lima menit, jarak dari Ibukota Kabupaten (Bogor) sekitar 20 kilometer yang

dapat ditempuh selama 45 menit, sedangkan jarak dengan Ibukota propinsi (Bandung)

adalah 125 kilometer dapat ditempuh empat jam dan jarak dari Ibukota Negara

(Jakarta) 65 kilometer dapat ditempuh selama dua jam. Desa Bojongrangkas terletak

pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut, rata-rata curah hujan 278 milimeter

per tahun, sedangkan suhu rata-rata adalah 28 – 30 ºC. Angka ini menggambarkan

cuaca pada siang hari panas dan pada sore hari hujan. Desa Bojongrangkas merupakan

daerah dataran rendah dan perbukitan, jenis vegetasi yang dominan dikembangkan

adalah sawah, ladang jagung dan kolam ikan. Luas Desa keseluruhan adalah 104 Ha

dengan perincian penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.

62

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Luas Lahan Berdasarkan Jenis Penggunaannya, Desa Bojongrangkas 2005

Jenis Penggunaan Luas Lahan

(Ha)

Persentase

(%)

Tanah sawah

Tanah kering (pekarangan/bangunan/emplasement)

Tanah pemakaman

Balong/empang/kolam

35.00

67.50

1.0

0.5

33.65

64.90

0.96

0.48

Total 104.00 100

Sumber Potensi, Desa Bojongrangkas 2005

Bidang transportasi, sarana tansportasi yang menghubungkan desa dengan

wilayah sekitarnya lancar. Hal ini dibuktikan dengan ketersediaan sarana angkutan

umum untuk mobilitas penduduk ke daerah perkotaan Kota Bogor cukup memadai

selama 24 jam sehari. Mobilitas dalam desa terdapat kendaraan roda dua (ojeg) dan

kendaraan roda empat (odong-odong), sedangkan mobilitas luar desa menggunakan

kendaraan roda empat (angkot Kabupaten). Wilayah Desa Bojongrangkas terbagi

menjadi dua dusun yaitu Dusun Cikampak dan Dusun Bojongrangkas, dengan 7 RW

dan 32 RT.

4.2 Demograsi Desa

Berdasarkan data terakhir tahun 2005 jumlah penduduk Desa Bojongangkas

8.933 jiwa yang terdiri dari 4.646 orang laki-laki (52.1 persen) dan 4.347 orang

perempuan (48.8 persen). Berdasarkan kelompok umur, diketahui bahwa kelompok

tenaga kerja yang paling banyak jumlahnya adalah kelompok usia 40 tahun keatas

sebanyak 2.479 jiwa (28 persen) dan kelompok umur pendidikan yang paling banyak

jumlahnya adalah kelompok umur 19 tahun ke atas sebanyak (69,26) persen. Distribusi

63

penduduk Desa Bojongrangkas menurut umur secara keseluruhan dapat dilihat pada

Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Usia Kelompok Pendidikan, Desa Bojongrangkas 2005

Kelompok Pendidikan

Umur (tahun) Jumlah penduduk(jiwa)

Persetase(%)

0-3 311 3,48

4-6 589 6,59

7-12 345 3,86

13-15 678 7,58

16-18 823 9,21

19- keatas 6.187 69,26

Jumlah 8.933 100,0

Sumber Data Monogafi, Desa Bojongrangkas 2005

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Usia Kelompok Tenaga Kerja, Desa Bojongrangkas 2005

Kelompok Tenaga Kerja

Umur

(tahun)

Jumlah penduduk

(jiwa)

Persentase

(%)

10-14 9 0,14

15-19 20 0,32

20-26 455 7,49

27-40 2456 40,46

41-56 2277 37,51

57-keatas 852 14,03

Jumlah 6069 100,0

Sumber Data Monogafi, Desa Bojongrangkas 2005

64

Dari data jumlah penduduk dan luas wilayah dapat dihitung kepadatan

penduduk geografis Desa Bojongrangkas. Kepadatan geografis dinyatakan dengan

jumlah jiwa tiap Km2 luas wilayah. Dengan demikian kepadatan geografis Desa

Bojongrangkas adalah 8589,42 jiwa per kilometer persegi, maka kepadatan geografis

Desa Bojongrangkas termasuk kategori sangat padat2. Adanya industri kecil di sekitar

pemukiman penduduk di Desa Bojongrangkas mempengaruhi mobilitas penduduk.

Penduduk yang datang lebih banyak daripada yang pindah dari desa. Mereka

memanfaatkannya untuk mencari peluang bekerja dalam industri kecil. Mobilitas

penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Mobilitas Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2005

Penduduk Datang Pindah

Laki-laki 30 15

Perempuan 23 11

Jumlah 53 26

Sumber Data monografi, Desa Bojongrangkas 2005

Penduduk Desa Bojongrangkas mayoritas beragama Islam, yaitu sebanyak

8.905 orang (99,68 persen). Penduduk yang beragama Kristen Protestan sebanyak 18

orang (0,20 persen), sedangkan Kristen Katolik enam orang (0,067 persen). Penduduk

yang beragama Hindu dua orang (0,022 persen) dan Konghucu dua orang (0,22

persen). Di Desa Bojongrangkas tidak ada orang yang menganut agama Budha dan

penganut/penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Sarana peribadatan yang

2 Kategori kepadatan penduduk geografis menurut Pujiastomo dalam metera (1996) memakai kriteriasebagai berikut : (1). 0-50 jiwa/km2 tidak padat, (2). 51-250 jiwa/km2 kurang padat, (3). 251-400jiwa/km2 sangat padat

65

terdapat di Desa Bojongrangkas adalah mesjid sebanyak sembilan buah, mushola 10

buah, sedangkan gereja, pura, kelenteng atau vihara tidak terdapat di desa ini.

4.3 Mata Pencaharian Penduduk

Mata pencaharian penduduk Desa Bojongrangkas pada umumnya adalah

perajin (20,93 persen) dan pengemudi (19,96 persen). Keberadaan industri tas

memudahkan penduduk mendapatkan pekerjaan dari industri kemudian menjadi

perajin sub kontrak industri tersebut. Sebagian penduduk Desa Bojongrangkas ada

yang bekerja di luar desa, seperti di pabrik-pabrik disekitar daerah Kota Bogor dan

Jakarta.

Dari data monografi Desa Bojongrangkas, tidak terdapat data menyangkut mata

pencaharian penduduk berdasarkan jenis kelamin. Selain itu tidak diketahui jumlah

pengusaha yang ada di sekitar Desa Bojongrangkas. Jumlah dan persentase penduduk

menurut mata pencaharian dapat dilihat dari Tabel 5 berikut:

66

Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Mata Pencaharian, Desa Bojongangkas 2005

No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah Persentase

(%)

1. Petani pemilik 18 3,24

2. Petani penggarap 31 5,59

3. Buruh tani 43 7,76

2. Pengrajin 116 20,93

3. Buruh industri 37 6,67

4 Pertukangan 5 0,90

5 Pedagang 62 11,19

6 Pengemudi 94 16,96

7 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 85 15,34

8 TNI atau POLRI 7 1,26

9 Pensiunan atau purnawirawan 41 7,40

10 Lain – lain 15 2,70

Total 554 100

Sumber Potensi Desa Bojongrangkas 2005

4.4 Struktur Organisasi dan Pemerintahan

Struktur Organisasi dan Pemerintahan Desa Bojongrangkas secara lengkap

dapat dilihat pada Gambar 2. Struktur Organisasi dan Pemerintahan Desa

Bojongrangkas secara umum sama dengan struktur organisasi dan pemerintahan lain

di wilayah Bogor. Kepala Desa Bojongrangkas membawahi langsung dua dusun, tujuh

Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Dalam menjalankan tugasnya

dibantu oleh Sekretaris Desa yang membawahi bendaharawan desa tiga orang Kepala

Urusan (Kaur), yaitu Kaur pemerintahan, Kaur Kesra, dan Kaur umum. Sebagai

pemegang tanggung jawab atas kelancaran pemerintahan desa. Kepala Desa

bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan dan pembangunan di desa.

Bendaharawan Desa membantu Kepala Desa dalam keuangan desa dan Sekertaris

67

Kepala Desa

BendaharawanDesa

Sekretaris Desa

BPD

KaurPemerintahan

Kaur kesra

Kaur Umum

Kampung Dusun I Kampung Dusun II

Ketua RW 1, 2 ,3 & 4 Ketua RW 5, 6 & 7

Ketua RT Ketua RT

Desa membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut dan

mengkordinasikan ketiga Kaur yang berada dibawahnya. Kinerja Kepala Desa dan

aparat desa diawasi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). Berikut susunan organisasi

pemerintahan Desa Bojongrangkas Kecamatan Ciampea:

Gambar 3. Susunan organisasi Pemerintahan Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea,Kabupaten Bogor 2005.

68

4.5 Pendidikan

Dari data monografi desa tahun 2005 diketahui bahwa tingkat pendidikan

penduduk Desa Bojongrangkas adalah tamat Perguruan Tinggi (PT) 19 orang (0, 57

persen), tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yaitu sebanyak 925 orang

(27,78 persen), di ikuti tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 574

orang (17,24 persen), tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 1171 orang (0,33 persen),

tidak tamat sekolah 11 orang (0,33 persen) dan penduduk yang masih buta huruf

sebesar 1569 orang (47,13 persen). Tingkat pendidikan penduduk Desa Bojongrangkas

lebih jelasnya ada pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Bojongrangkas 2005

Tingkat pendidikan Jumlah Penduduk

(orang)

Persentase

(%)

Taman Kanak-Kanak 120 3,60

Sekolah Dasar 11 0,33

SLTP Sederajat 574 17,24

SLTA Sederajat 925 27,78

Perguruan Tinggi / Sederajat 19 0,57

Tidak Tamat Sekolah 11 0,33

Buta Huruf 1569 47,13

Total 3329 100

Sumber Potensi Desa Bojongrangkas 2005

Data pada Tabel 6 menunjukkan distribusi penduduk Desa Bojongrangkas

menurut tingkat pendidikannya. Dari data monografi Desa Bojongrangkas tidak

terdapat data tingkat penduduk berdasarkan jenis kelamin, namun menurut aparat desa

tingkat pendidikan laki-laki lebih tinggi daripada tingkat pendidikan perempuan. Dapat

69

dilihat bahwa tingkat buta huruf di Desa Bojongrangkas cukup tinggi sebesar 47,13

persen, hampir sebagian dari penduduk tidak dapat membaca dan menulis.

Sarana pendidikan yang ada di Desa Bojongrangkas cukup memadai. Di desa

ini terdapat empat Taman Kanak-Kanak (TK) swasta, lima buah Sekolah Dasar (SD),

dua buah Madrasah Ibtidaiyah (MI), satu buah SLTP, dan satu buah Madrasah

Tsanawiyah (MTS).

4.6 Gambaran Sosial Masyarakat Desa

Sebagian besar responden 95 persen adalah penduduk suku sunda, walaupun

ada sebagian pendatang yang datang ke Desa Bojongrangkas namun sebagian besar

masih dalam propinsi Jawa Barat. Posisi Desa Bojongrangkas adalah lingkungan

pedesaan yang tidak jauh dari perkotaan disebut juga daerah semi perkotaan, desa ini

tergolong unik karena sebagian budaya masih terlihat kental namun sebagian lagi

sudah mengikuti budaya perkotaan. Ini dapat dilihat dari ikatan kekerabatan antar

warga yang masih kental dalam satu lingkungan desa.

Pada umumnya baik pengusaha dan pengrajin industri memiliki ikatan kerabat,

seperti yang diungkapkan oleh aparat desa bahwa berdirinya home industry tas diawali

oleh beberapa orang pemuda desa yang memiliki hubungan kekerabatan memilih

bekerja di luar desa, mereka bekerja sebagai buruh pabrik tas di perkotaan besar,

setelah menetap dalam pekerjaan tersebut dan perekomian meningkat mereka akhirnya

membawa kerabat-kerabat mereka yang lain. Sebagian besar penduduk yang bekerja di

perkotaan setelah mendapatkan pendapatan yang cukup mereka kembali ke desa untuk

menikah, dan setelah menikah mereka memilih bekerja di sekitar rumah agar tetap

berada dekat dengan keluarga. Dengan pengalaman serta keterampilan yang mereka

70

miliki ketika bekerja di pabrik tas di perkotaan, pemuda desa ini mencoba merintis

usaha home industry tas dengan dibantu tenaga kerja yang masih kerabat.

Hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh penduduk juga berpengaruh pada

relasi kerja, peluang kerja, jaminan dan kesejahteraan pekerja. Kerabat yang diterima

pada umumnya kerabat laki-laki yang lebih didahulukan karena laki-laki dianggap

sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab bekerja. Para pekerja laki-laki

juga diutamakan dalam mewarisi keterampilan-keterampilan khusus yakni seperti

menjahit dan membuat pola sedangkan perempuan jarang sekali yang mendapatkan

kesempatan. Dalam pekerjaan yang sama dan waktu kerja yang sama pendapatan

perempuan berbeda dengan laki-laki, upah yang diterima pekerja perempuan lebih

rendah dibanding laki-laki. karena pada umumnya penduduk menganggap perempuan

bekerja di industri ini hanya sebagai orang yang membantu laki-laki bekerja.

71

BAB V

KARAKTERISTIK RESPONDEN

Responden memiliki karakteristik atau ciri khas yang berbeda di setiap daerah.

Karakteristik responden itu dikelompokkan dilihat dari usia, hubungan kekerabatan

pekerja dengan pemilik usaha, pendidikan, pengalaman kerja dan keterampilan

sebelum bekerja dalam industri tas yang dilihat berdasarkan jenis kelamin.

5.1 Usia Responden

Usia responden yang bekerja sebagai pekerja tas Desa Bojongrangkas adalah

antara 16-58 tahun. Responden yang berusia di bawah 20 tahun berjumlah 10 orang

yakni pekerja laki-laki berjumlah dua orang responden dan pekerja perempuan delapan

orang. Responden yang usianya antara 21-30 tahun berjumlah tujuh orang, dengan

rincian reponden pekerja laki-laki berjumlah tiga orang dan pekerja perempuan

berjumlah empat orang. Responden yang usianya antara 31-40 tahun jumlah delapan

orang, dengan rincian pekerja laki-laki tiga orang dan pekerja perempuan lima orang.

Responden yang usianya antara 41-50 tahun berjumlah 14 orang, dengan rincian

pekerja laki-laki sembilan orang dan pekerja perempuan dua orang. Responden yang

berusia di atas 50 tahun berjumlah empat orang, yakni pekerja laki-laki berjumlah tiga

orang dan pekerja perempuan berjumlah satu orang.

Usia reponden pada umumnya adalah usia produktif kerja, namun sebagian

besar responden pekerja perempuan masih di bawah usia produktif kerja yakni di

bawah usia 20 tahun berjumlah (40% ), sedangkan responden pekerja laki-laki pekerja

di dominasi pada usia 41-50 tahun berjumlah sembilan orang (45%).

72

5.2 Hubungan Kekerabatan Antara Pekerja dengan Pemilik Usaha

Hubungan kekerabatan antara pemilik/pengusaha tas dengan pekerjanya sangat

erat. Hampir disemua industri tas di Desa Bojongrangkas hubungan kekerabatan

seperti itu dapat ditemui.

Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kekerabatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Kekerabatan Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi(Kerabat dekat)

8 40,00 9 45,00

Sedang(Kerabat Jauh)

8 40,00 8 40,00

Rendah(Bukan Kerabat)

4 20,00 3 15,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Berdasarkan Tabel 7 di atas diperoleh gambaran bahwa dari keseluruhan

responden penelitian yang diambil sebanyak 40 responden, baik responden perempuan

maupun laki-laki memiliki persentase jumlah tingkat kekerabatan di atas rata-rata sama

antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, yaitu pekerja laki-laki sebesar 40

persen dan pekerja perempuan sebesar 45 persen. Hubungan kekerabatan yang cukup

tinggi ini disebabkan hubungan kekeluargaan yang telah dibina lama sehingga

memunculkan rasa tolong menolong antar saudara dalam upaya membangkitkan sosial

ekonomi keluarga. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh dua responden Bpk. TT

sebagai pemilik home industry tas dan Bpk. SD sebagai pekerja putting out system.

Pada umumnya pemilik home industry tas masih memiliki hubungaan kekerabatanbaik pekerja perempuan maupun pekerja laki-laki, ada yang kerabat dekat,kerabat jauh adapula bukan kerabat seperti pendatang. Contoh kerabat dekatadalah kakak dan adik saya yakni Bpk AD dan Bpk SY juga pemilik home industri

73

tas, namun beda RT. Hubungan kekerabatan antara pemilik home industri tasdengan para pekerja, ada yang masih kerabat dekat, kerabat jauh dan bukankerabat. Pada umumnya pekerja putting out system adalah kerabat dekat,sedangkan yang bekerja di workshop kerabat jauh atau bukan kerabat.(Bpk. TT, 38 th, pemilik home industry tas)

Kalau di pabrik yang kerja kita sendirian, keluarga yang lain di kampung tidakada yang urus dan tidak ada biaya, jadi saya inisiatif bekerja dirumah dengandibantu keluarga ayah dan adik saya, kalau mereka bekerja dan mendapatkanpenghasilan bisa buat nambah uang didapur mereka.(Bpk. SD, 40 th, pekerja POS)

Data di atas menggambarkan bahwa kekerabatan berhubungan erat dengan

kesempatan kerja dalam industri tas desa Bojongrangkas.

5.2 Pendidikan

Mayoritas pendidikan pekerja perempuan Putting out system (POS) adalah SD,

sedangkan mayoritas pendidikan pekerja laki-laki Putting outsystem (POS) adalah

SMP. Perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah

sehingga pada umumnya orang tua tidak mengutamakan anak perempuannya

melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, sedangkan anak laki-laki lebih

diutamakan Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh NI perempuan pekerja POS .

Saya lulusan SD, kata orangtua perempuan sudah cukup sekolah sudah bisa baca,kalau sudah menikah nanti juga kedapur lagi. Yang penting bisa membaca,,menulis, mengaji . Pinginnya melanjutkan sekolah tapi tidak ada biaya. Kalaudirumah saya biasanya yang laki-laki sekolah sampai SMP atau SMA, kalauperempuan jarang ada yang SMP apalagi SMA.(NI, 22 th, perempuan pekerja POS)

Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Tingkat

Pendidikan

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 5 25,00 2 10,00

Sedang 9 45,00 6 30,00

Rendah 6 30,00 12 60,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

74

Dari Tabel 8. Dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan responden sangat rendah

terutama responden perempuan yakni sebesar 60 persen, ini berarti banyak industri tas

perempuan yang tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), demikian juga persentase

responden laki-laki tertinggi berada pada posisi sedang 45 persen di tingkat (Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertamantas) SLTP. Dari Tabel 8 juga menggambarkan bahwa

tingkat pendidikan para pekerja industri tas baik perempuan maupun laki-laki masih

sangat rendah.

5.3 Pengalaman Kerja

Pengalaman kerja dilihat karena banyak pengalaman kerja yang dimiliki

pekerja POS sebelum dia bekerja sebagai pekerja POS. Pekerjaan yang pernah digeluti

oeh responden sebelum bekerja di industri tas POS diantaranya adalah sebagai buruh

konveksi tas, pegawai, dan lainnya. Beberapa alasan beralihnya responden menjadi

pekerja tas POS yakni: PHK, perhitungan penghasilan bersih tidak sesuai dengan

kebutuhan rumah tangga (dipotong ongkos&makan), ingin meningkatkan

kesejahteraan ekonomi keluarga dengan merekrut anak, istri, mertua dan lainnya

sebagai pekerja POS. Sedangkan pekerja perempuan yang pernah bekerja dan memiliki

pengalaman kerja tidak memiliki pengalaman bekerja yang berkaitan dengan industri

tas, yakni menjadi pramuniaga toko atau bekerja di pasar. Sebagian besar responden

umumnya tidak memiliki pengalaman kerja. Responden laki-laki yang tidak memiliki

pengalaman kerja pada umumnya karena melihat ayah atau keluarganya bekerja di

industri tas POS, sehingga setelah tamat sekolah atau drop out langsung mengikuti

jejak keluarganya. Sedangkan responden perempuan yang tidak memiliki pengalaman

75

kerja sebagian besar adalah ibu rumahtangga. Berikut hasil wawancara dengan dua

orang pekerja POS ibu SL dan Bpk SD:

Ya, ibu ini hanya lulusan pesantren, mana ada sekarang pabrik-pabrik yang mauterima ibu-ibu sudah tua lulusan SD di pabrik mah di cari yang masih muda-muda,lagipula ibu mau kerja apa dipabrik Kalau di industri tas ini kan siapa ajaditerima walaupun ibu hanya lulusan pesantren setingkat SD dan tidak punyapengalaman, ibu mah lulusan pesantren bisanya mengajar ngaji. Kalau di industritas kan siapapun diterima asalkan mau bekerja(Ibu SL, 55 th, pekerja POS)

Saya sudah pengalaman dibidang tas sebagai buruh pabrik tas di Jembatan limaJakarta selama 10 tahun dan juga pernah menjadi pegawai bank sebagai salesselama 3 bulan, saya berhenti bukan di pecat tetapi karena dilikuidasi banknya.Alasan saya memilih bekerja dirumah adalah untuk meningkatkan kesejahteraansanak keluargakalau di pabrik yang kerja kita sendirian, keluarga yang laindikampung tidak ada yang urus dan tidak ada biaya, jadi saya inisiatif bekerjadirumah dengan dibantu keluarga ayah dan adik saya, kalau mereka bekerja danmendapatkan penghasilan bisa buat nambah uang didapur mereka.(Bpk SD, 40 th, pekerja POS)

Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Kerja Sebelum di Industri Tas dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Pengalaman

Kerja

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 4 20,00 2 10,00

Sedang 6 30,00 2 10,00

Rendah 10 50,00 16 80,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Dapat dilihat dari Tabel 9 baik responden laki-laki maupun perempuan tidak

banyak memiliki pengalaman bekerja sebelum di POS dengan pengalaman terendah

laki-laki sebesar 50 persen dan persentase pekerja perempuan sebesar 80 persen. Ini

berarti pengalaman kerja tidak dibutuhkan untuk bekerja menjadi pekerja POS di

industri tas, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

76

5.4 Keterampilan

Keterampilan adalah berapa banyak atau berapa jenis keterampilan yang

dimiliki oleh responden sebelum bekerja di dalam industri tas POS. Responden laki-

laki memiliki keterampilan pada umumnya yang pernah bekerja memiliki pengalaman

kerja seperti pegawai atau buruh konveksi tas. Sedangkan responden perempuan yang

memiliki keterampilan hanya satu orang dan memiliki keterampilan karena

pengalaman kerja sebelumnya.

Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterampilan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Keterampilan

sebelum POS

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi o 0.00 o 0.00

Sedang 4 20.00 1 5.00

Rendah 16 80.00 19 95.00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Dapat dilihat dari Tabel 10 baik responden laki-laki maupun perempuan tidak

banyak memiliki keterampilan bekerja sebelum di POS dengan keterampilan terendah

laki-laki sebesar 80 persen dan persentase pekerja perempuan sebesar 95 persen. Ini

berarti keterampilan tidak dibutuhkan untuk bekerja menjadi pekerja POS di industri

tas, baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Keterampilan yang dimiliki responden sesudah bekerja dalam industri tas POS

yakni keterampilan yang berhubungan dengan kegiatan industri tas seperti membuat

pola, menggunting atau memotong, menjahit, mengelem, menekuk, memasang

aksesoris, dan finishing. Pada awal bekerja sebagian pekerja laki-laki dan perempuan

tidak memiliki keterampilan dan pengalaman bekerja, namun setelah bekerja sebagian

77

pekerja laki-laki mendapatkan kesempatan lebih dalam pekerjaan-pekerjaan yang

membutuhkan keterampilan khusus dan menghasilkan upah lebih besar yakni seperti

membuat pola dan menjahit. Keterampilan tersebut pada umumnya diwariskan kepada

anaknya atau keluarganya yang laki-laki. Sedangkan pekerja perempuan

termarjinalkan pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan

keterampilan kerja seperti mengelem, menekuk dan lainnya. Ini disebabkan adanya

steriotipe yang mengatakan bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan

perempuan bekerja sifatnya membantu. Berikut hasil wawancara dengan Bpk ZN

pekerja POS.

Kalau perempuan cuma bantu-bantu aja di rumah, kalau bapak kan kepalakeluarga jadi musti bisa semuanya, jahit, buat pola, menggunting, mengelem,menekuk, memasang aksesoris. Jarang ada perempuan di sini yang bekerjasebagai pejahit dan pembuat pola. Yang bapak tahu dari desa ini hanya empatorang perempuan yang bisa, banyaknya perempuan tukang bantu , menjahit danmembuat pola ilmunya diturunkan ke anak bapak yang laki-laki.(Bpk. ZN, 58 th, pekerja POS)

Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterampilan Kerja Setelah di Industri Tas dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Keterampilan

Setelah POS

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 4 20,00 1 5.00

Sedang 8 40,00 3 15.00

Rendah 8 40,00 16 80.00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Dari Tabel 11 dapat dilihat jumlah keterampilan yang dimiliki adalah

keterampilan sesudah bekerja dalam POS. Keterampilan tersebut berhubungan dengan

pekerjaan yang kemudian berpengaruh pada upah pekerja. Keterampilan yang dimiliki

78

responden perempuan sangatlah rendah jika dibandingkan dengan responden laki-laki

yakni sebesar 85 persen, sedangkan persentase keterampilan kerja responden laki-laki

tinggi yakni sebesar 40 persen.

79

BAB VI

KONDISI KERJA PEKERJA PUTTING OUT SYSTEM DI

HOME INDUSTRY INDUSTRI TAS

Kondisi kerja pekerja POS (putting out system) adalah kondisi yang dialami

oleh responden ketika bekerja dalam industri tas. Kondisi kerja responden mencakup

upah, kesempatan kerja, jaminan kerja (jaminan kesehatan dan jaminan keluarga),

jaminan fasilitas dan keselamatan kerja yang dilihat berdasarkan jenis kelamin.

6.1 Peluang Kerja (Mudah Tidaknya Diterima Dalam POS)

Penduduk di Desa Bojongrangkas pada umumnya memiliki ikatan kekerabatan,

jarak antara rumah yang satu dengan yang lain dekat, sehingga dalam rekruitmen

tenaga kerja pada umumnya adalah kerabat. Selain rasa percaya karena sudah

mengenal satu dengan yang lain dan juga rasa tanggung jawab dalam meningkatkan

ekonomi keluarganya

Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kesempatan Kerja (Mudah Tidaknya diterima sebagai POS) dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Mudah tidaknyaditerima dalam POS

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)Tinggi 8 40,00 6 30,00

Sedang 7 35,00 9 45,00

Rendah 5 25,00 5 25,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Berdasar Tabel 12 di atas, kesempatan pekerja laki-laki cukup tinggi atau

mudah diterima dalam dalam industri tas yaitu 40 persen, dibandingan dengan

80

perempuan yang hanya 30 persen. Kesempatan kerja bagi perempuan paling tinggi

pada tingkat sedang dalam penerimaan yaitu sebesar 45 persen.

6.2 Upah

Upah yang diterima dalam POS terbagi menjadi dua. Yakni upah borongan dan

upah mingguan. Pada pekerja laki-laki dalam pekerjaan seperti pada mengelem

umumnya diberikan upah berdasarkan borongan dan cara pembayaran dapat di

negosiasikan dengan pemilik. Pendapatan laki-laki diperoleh bisa diatas atau di bawah

yakni sekitar Rp. 800.000,- perbulan sesuai dengan waktu kerja yang mereka tempuh.

Berbeda dengan pekerja perempuan pada umumnya pekerja perempuan tidak dapat

bernegosiasi baik dengan pemilik atau keluarga sendiri. Upah yang dihasilkan oleh

pekerja perempuan telah di patok rata-rata memperoleh Rp. 50.000,- minggu atau

kurang lebih Rp. 200.000 perbulan. Selain itu ada sistem pengupahan yang bersifat

upah keluarga yaitu upah yang diberikan kepada keluarga (suami, istri dan anak) dalam

mengerjakan suatu pekerjaan sehingga cenderung upah perempuan yang mengerjakan

pekerjaan tas tidak diperhitungkan upahnya. Seperti yang di ungkapkan berikut oleh

pekerja POS:

Upah yang diterima berdasarkan tas yang dihasilkan. Bblan lalu bisa dapat 400tas dalam sebulan, upah yang diterima Rp. 450.000,- . semua terserah bapak yangatur dibagi berapa, soleh anak saya juga ikut bekerja, biasanya dibagi, bulan lalubuat soleh Rp. 150.000,-. Kalau suami istri mah gak hitungan, namanya juga kerjabantu suami duitnya nanti balik lagi ke dapur buat makan bapak dan keluargajuga. Kalau uang saku buat bapak mengopi dan ngerokok Rp.50.000.-/bulan.Selebihnya buat makan di dapur.(Ibu SL, 55 th, Pekerja POS)

Fakta di atas menggambarkan masih kentalnya ketidakadilan gender dalam

sistem pengupahan di home industry tas di Bojongrangka. Istri yang statusnya sebagai

pengelola rumahtangga didudukkan sebagai pembantu suami dalam mencari nafkah

81

keluarga sehingga dia tidak mendapat status pekerja dan tidak diperhitungkan

upahnya. Berbeda dengan Soleh sebagai seorang anak laki-laki karena dia laki-laki dia

memperoleh upah dari bagian upah keluarga. Sebetulnya keluarga Ibu SL mempunyai

anak perempuan, tetapi dia tidak mau bekerja bersama keluarganya (ayah, ibu dan

kakaknya) karena seorang perempuan istri atau anak yang bekerja dengan sistem upah

keluarga biasanya tidak memperoleh upah seperti halnya laki-laki dalam keluarga

(ayah dan anak). Anak perempuan ibu SL saat ini bekerja sebagai buruh konveksi yang

dapat menggaji buruhnya berdasarkan jerih payahnya (upah individu).

Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Upah dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Upah Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 2 10,00 1 5,00

Sedang 11 55,00 2 2,00

Rendah 7 35,00 17 85,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Berdasarkan dari Tabel 13 di atas, diketahui bahwa pendapatan pekerja laki-

laki pada umumnya berada pada tingkat sedang yaitu sesuai dengan standar UMR

Kabupaten Bogor (55 persen), sedangkan pekerja perempuan berada pada tingkat

rendah yaitu di bawah UMR Kabupaten Bogor (85 persen). Ini menggambarkan bahwa

upah perempuan jauh lebih rendah daripada upah laki-laki.

82

6.3 Jaminan Kerja

Pada home industry tas Desa Bojongrangkas, jaminan-jaminan yang diberikan

sangatlah minim, baik jaminan kesehatan pekerja, jaminan keluarga maupun jaminan

keselamatan dan fasilitas kerja. Disamping jumlahnya minim jaminan-jaminan tersebut

diberikan lebih banyak kepada pekerja laki-laki, karena ada anggapan peran laki-laki

adalah kepala keluarga.

6.3.1 Jaminan Kesehatan

Jaminan Kesehatan dilihat dari mendapatkan cuti atau libur, mendapatkan

biaya penggantian bila sakit, mendapatkan biaya rawat jalan bila sakit, mendapatkan

biaya rawat inap bila sakit, mendapatkan asuransi kesehatan, mendapatkan hak

istirahat dan beribadah. Jaminan kesehatan yang diterima baik pekerja laki-laki

maupun perempuan relatif minim. Minimnya jaminan kesehatan baik pekerja laki-laki

maupun perempuan dan perbedaan jaminan yang diperoleh laki-laki dan perempuan,

dapat dilihat dari Tabel 14 di bawah ini.

Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kesehatan yang Diterima Pekerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Jaminan

Kesehatan

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 4 20,00 2 10,00

Sedang 6 30,00 3 15,00

Rendah 10 50,00 14 70,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Dilihat dari Tabel 14 di atas, jaminan kesehatan baik pekerja laki-laki maupun

pekerja perempuan rendah dan perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki , yaitu

83

70 persen perempuan yang mendapat jaminan kesehatan sangat kurang (rendah)

dibanding dengan pekerja laki-laki yang hanya 50 persen mendapat jaminan kesehatan

yang kurang (rendah). Kenyataan di atas juga terungkap dari wawancara dengan Ibu

SL seorang pekerja POS.

Jaminan kesehatan kalau sakit kadang dikasih ganti rugi tetapi tidak sering-sering, paling diganti setahun 2x, itupun bapak yang datang kepada H. AK. Kalaudi usaha rumahan begini tidak ada cuti, kalau cuti justru nanti rugi karena kenadenda karena tidak memenuhi target, yang kita kerjakan tidak dibayar full dandialihkan kepada oranglain. Terkadang kalau sakit batuk parah boleh memintaobat kepada bapak H. AK, kalau orang lain jarang diperbolehkan. Kalau bapak(suami) diperbolehkan karena Bpk. H. AK masih ada hubungan kekerabatandengan saya, dengan istri Bpk H. AK. Lagipula kami tetangga beda tiga Rumah.(Ibu SL, 55 th, pekerja POS)

6.3.2 Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja

Jaminan keselamatan dan fasilitas kerja di lihat dari memperoleh asuransi /

kompensasi keselamatan jiwa, mendapatkan kompensasi apabila cacat akibat

kecelakaan kerja dan fasilitas keselamatan kerja. Demikian halnya jaminan

keselamatan dan fasilitas sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 14:

Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Keselamatan

dan Fasilitas

Kerja

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 1 5,00 1 5,00

Sedang 4 20,00 2 10,00

Rendah 15 75,00 17 85,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Berdasarkan dari Tabel 15 di atas jaminan keselamatan dan fasilitas kerja

berdasarkan jenis kelamin baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan cukup

rendah, yakni ada 75 persen pekerja laki-laki yang mendapatkan jaminan keselamatan

84

dan fasilitas kerja yang rendah. Demikian juga pekerja perempuan ada 85 persen yang

mendapat jaminan keselamatan dan fasilitas kerja. Minimnya jaminan keselamatan dan

fasilitas kerja yang diterima pekerja POS laki-laki dan pekerja POS terungkap dari

wawancara dengan seorang pekerja POS sebagai berikut :

Di usaha rumahan begini tidak dikasih asuransi kerja, uang asuransi ganti rugiyang berkaitan dengan keselamatan diri pekerja, uang pensiun dan fasilitaskeselamatan kerja tidak ada. Kalau uang kompensasi akibat kecelakaan kerja ada,misalnya tangannya kena mesin jahit dan harus di bawa ke dokter, dari bapak H.AK akan di antarkan dengan mobilnya dan biaya rumahsakit di bayar oleh bapakH. AK, tetapi tidak semua orang seperti itu, mungkin karena saya masih adahubungan kekerabatan.(Bpk ZN, 58 th, Pekerja POS).

6.3.3 Jaminan Keluarga

Jaminan keluarga di lihat dari mendapat THR, mendapat santunan kematian

istri/anak/suami, mendapatkan biaya santunan anggota keluarga anak/istri melahirkan,

mendapatkan pinjaman, mendapatkan santunan menikah anggota keluarga, keluarga

mendapatkan ganti rugi kesehatan. Sama hal nya dengan jaminan-jaminan yang

lainnya jaminan keluarga pun diterima pekerja baik pekerja POS laki-laki maupun

pekerja POS perempuan cukup rendah dan pekerja perempuan mendapat jaminan

keluarga jauh lebih rendah dibanding dengan pekerja POS laki-laki. Dan perbedaan

yang cukup besar antara pekerja POS laki-laki dalam menerima jaminan keluarga

dapat dilihat dari Tabel 16 di bawah ini:

85

Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga yang Diterima Pekerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Jaminan

Keluarga

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 2 10,00 1 5,00

Sedang 8 40,00 4 20,00

Rendah 10 50,00 15 75,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Berdasarkan dari Tabel 16 di atas, dapat dilihat bahwa jaminan keluarga baik

pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan cukup rendah, dan jaminan yang

diterima pekerja POS perempuan jauh lebih rendah di banding dengan jaminan

keluarga yang di terima dari pekerja POS laki-laki. Ada 75 persen pekerja POS

perempuan mendapatkan jaminan keluarga yang rendah, sedangkan pekerja laki-laki

50 persen mendapatkan pekerjaan yang rendah. Rendahnya jaminan keluarga yang

diperoleh pekerja POS laki-laki maupun perempuan terungkap dari hasil wawancara

dengan pekerja POS laki-laki :

Kalau THR ada yakni Rp. 1,5 juta.uang THR itu diberikan melihat dari bukuevaluasi kerja, kalau hasil tas buatan kami itu tahun itu banyak yang bagus dantidak cacat, maka THR cukup besar yakni 1,5 juta. Kalau banyak cacatnya adacatatannya, biasanya dikasih THR Rp. 200.000 ( sambil bapak menunjukkancatatatannya).(Bpk. ZN, 58 th, pekerja POS)

Pada kenyataannya pekerja POS di home industry lebih banyak mendapatkan

THR rendah, jaminan-jaminan selain THR seperti santunan kematian, santunan

melahirkan, santunan menikah, ganti rugi kesehatan, pinjaman juga jarang diterima .

Sehingga gambaran umum lebih cenderung menggambarkan bahwa pekerja

mendapatkan jaminan keluarga yang sangat rendah.

86

BAB VII

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI PEKERJA

PUTTING OUT SYSTEM

Bab VI diketahui bahwa kondisi pekerja putting out system (POS) di home

industri tas di Bojongrangkas cenderung memberikan gambaran yang tidak begitu baik

terutama dalam hal pengupahan dan jaminan kerja yang diterima, baik oleh pekerja

POS laki-laki maupun pekerja POS perempuan. Lebih jauh lagi pekerja POS

perempuan mendapatkan kondisi jauh lebih rendah dari pekerja POS laki-laki. Pada

Bab VII ini akan di lihat mengapa kondisi kerja POS baik laki-laki maupun perempuan

cenderung memprihatikan. Diduga faktor-faktor kekerabatan, pendidikan, pengalaman,

keterampilan berpengaruh terhadap kondisi kerja (kesempatan memperoleh kerja,

pendapatan dan jaminan kerja) pada POS.

7.1 Pengaruh Kekerabatan Terhadap Kondisi Kerja

7.1.1 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap Tingkat KesulitanMemperoleh Kerja

Sub bab ini dilihat dari sejauhmana hubungan kekerabatan pekerja POS antara

pengusaha/pemilik usaha tas dengan pekerjanya baik laki-laki maupun perempuan

dengan mudah tidaknya diterima menjadi pekerja di home industry tas POS

87

Tabel 17. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Kekerabatan, Tingkat Perolehan Mencari Kerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

PekerjaMudah Tidaknya

Diterima Dalam POS

Kekerabatan(Bukan

Kerabat)Rendah

(KerabatJauh)

Sedang

(KerabatDekat)Tinggi

Laki-laki

Sulit(R )

4(100.0)

1(12.50) -

Sedang(S) -

6(75.0)

1(12.5)

Tidak sulit(T) -

1(12.5)

7(87.5)

Total4

(100)8

(100)8

(100)

Perempuan

Sulit(R )

3(100.0)

2(25.0) -

Sedang(S) -

6(75.0)

3(33.3)

Tidak sulit(T) - -

6(66.7)

Total3

(100)8

(100)9

(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Dari Tabel 17 di atas nampak ada hubungan antara hubungan kekerabatan

antara pekerja POS laki-laki dengan pengusaha/pemilik industri terhadap mudah

tidaknya diterima menjadi pekerja POS dalam home industry tas . Pekerja POS laki-

laki yang merasa kesulitan menjadi pekerja POS jauh lebih tinggi dipunyai oleh

pekerja POS laki-laki yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan (100 persen)

dibanding dengan pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat jauh (12,5

persen) lebih lagi bila dibanding dengan pekerja POS laki-laki yang mempunyai

hubungan kekerabatan dekat pengusaha/pemilik tas. Data ini menunjukkan bahwa ada

hubungan antara kekerabatan dengan sulit tidaknya menjadi pekerja POS laki-laki di

industri tas. Makin jauh hubungan kerabat semakin sulit menjadi pekerja POS

diperusahaan tas.

88

Demikin pula bagi pekerja POS perempuan, makin jauh hubungan kekerabatan

dengan pemilik/pengusaha tas, makin sulit untuk menjadi pekerja POS di industri tas

tersebut. Pekerja POS perempuan yang tidak punya hubungan kekerabatan dengan

pengusaha/pemilik mempunyai kesulitan 100 persen untuk dapat diterima dalam

industri, perempuan yang mempunyai 25 persen kesulitan untuk dapat di terima dalam

industri, perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dekat tidak mempunyai

kesulitan untuk menjadi pekerja POS di industri tas. Dengan demikian makin jauh

hubungan kerabat pekerja POS perempuan dengan pengusaha/pemilik makin sulit

diterima menjadi pekerja POS di industri tas tersebut.

7.1.2 Pengaruh Hubungan Kekerabatan TerhadapUpah

Tinggi rendahnya upah mengacu kepada upah UMR Kabupaten Bogor (Rp.

800.000), dikatakan tinggi bila upah di atas UMR, sedang relatif sama dengan UMR ,

rendah di bawah UMR. Jauh dekatnya kekerabatan dilihat dari tiga kategori bukan

kerabat, kerabat jauh dan kerabat dekat. Hubungan kekerabatan antara pemilik/

pengusaha tas dengan pekerja terhadap upah dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini

89

Tabel 18. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan Kekerabatan, Upah dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Pekerja Pendapatan

Kekerabatan(Bukan

Kerabat)Rendah

(KerabatJauh)

Sedang

(KerabatDekat)Tinggi

Laki-laki

UMR (R)1

(25.0)5

(62.5)1

(12.5)

= UMR (S)2

(50.0)2

(25.0)7

(87.5)

UMR (T)1

(25.0)1

(12.5) -

Total4

(100)8

(100)8

(100)

Perempuan

UMR (R)2

(66,7)6

(75.0)9

(100.0)

= UMR (S)1

(33,3)1

(12.5) -

UMR (T) -1

(12.5) -

Total3

(100)8

(100)9

(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Dari Tabel 18 di atas dapat dilihat tidak ada hubungan antara kekerabatan

pekerja POS laki-laki dengan upah, karena dari delapan orang pekerja POS laki-laki

(40 persen) yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat dengan pemilik/pengusaha

tas tidak ada satu pun dari kelompok tersebut memperoleh peroleh upah

kerja/pendapatan perbulan tinggi. Sebagian besar (87.5 persen) pekerja POS laki-laki

yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik/pengusaha tas hanya

memperoleh upah sedang. Ini menggambarkan tidak ada hubungan antara hubungan

kekerabatan antara pekerja POS laki-laki dengan pemilik/pengusaha tas terhadap upah

yang diperoleh. Dan pekerja POS laki-laki yang memperoleh upah kecil pun sangat

sedikit yaitu pekerja yang mempunyai hubungan kekerabatan jauh 12,5 persen dan

tidak memiliki kekerabatan 25 persen. Ini menggambarkan tidak ada hubungan antara

antara hubungan kekerabatan antara pekerja POS laki-laki dengan pemilik / pengusaha

90

tas dengan upah yang diperoleh pekerja. Sebagian besar pekerja mendapat upah sedang

sama dengan UMR dan mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Demikian juga pada

pekerja perempuan POS tidak ada gambaran hubungan kekerabatan berpengaruh

kepada upah yang diperoleh, data Tabel 18 menggambarkan upah tinggi hanya

diperoleh oleh pekerja POS perempuan yang mempunyai hubungan kekerabatan jauh

dan itu pun hanya 12,5 persen saja. Selain itu data di atas juga menggambarkan upah

yang diperoleh pekerja POS perempuan lebih rendah daripada upah pekerja laki-laki.

Nampak dari data di atas bahwa kekerabatan erat hubungannya dengan

kemudahan untuk menjadi pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan (banyak

yang tidak mengalami kesulitan untuk menjadi pekerja POS karena mempunyai

hubungan kerabat) tetapi tidak dalam hal pengupahan. Kekerabatan tidak berpengaruh

pada upah kerja/ pendapatan perbulan, baik untuk pekerja laki-laki maupun perempuan

hal ini disebabkan karena pendapatan upah kerja atau hasil kerja ditentukan bukan oleh

perusahaan sepenuhnya (perusahaan memberikan upah sama pada setiap orang) tetapi

di tentukan oleh rajin tidaknya seseorang dapat menghasilkan suatu produksi.

7.1.3 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap Jaminan Kesehatan

Dalam sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan kerabat pekerja dengan

pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan kesehatan yang diterima pekerja. Di duga

bahwa ada hubungan kekerabatan dengan jaminan kerja yang diterima pekerja.

91

Tabel 19. Jumlah dan Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Kekerabatan, Jaminan Kesehatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Pekerja Jaminan Kesehatan

KekerabatanRendah(Bukankerabat)

Sedang(Kerabat

jauh)

Tinggi(Kerabatdekat)

Laki-laki

2(Rendah)

4(100.0)

6(75.0) -

3-4(Sedang) -

2(25.0)

4(50.0)

5(Tinggi) - -

4(50.0)

Total4

(100)8

(100)8

(100)

Perempuan

2(rendah)

3(100.0)

8(100.0)

4(44.4)

3-4(Sedang - -

3(33.3)

5(Tinggi) - -

2(22.2)

Total3

(100)8

(100)9

(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Berdasar Tabel 19 di atas pekerja POS laki-laki yang bukan kerabat pemilik

/pengusaha semuanya (100 persen) memperoleh jaminan yang sangat rendah dari

industri tas. Sedangkan pada pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan

kerabat jauh menerima jaminan kesehatan lebih sedikit dari pekerja POS laki-laki

yang bukan kerabat pemilik/industri. Demikin juga tidak ada satu pun (nol persen)

pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan

pemilik/pengusaha industri tas menerima jaminan rendah dari industri tas. Sebaliknya

jaminan kesehatan yang tinggi hanya di terima oleh kelompok pekerja POS laki-laki

yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha industri tas (50

persen).

Pekerja perempuan POS terdapat hubungan kekerabatan dengan

pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan yang diperoleh pekerja POS perempuan.

92

Semua pekerja POS perempuan yang bukan kerabat dan mempunyai hubungan jauh

semuanya (100 persen) mendapat jaminan kesehatan yang rendah., sedangkan pekerja

POS perempuan yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha

hanya 44,4 persen saja yang menerima jaminan rendah dari penngusaha. Sedangkan

jaminan kesehatan yang tinggi hanya diterima oleh pekerja POS perempuan yang

mempunyai hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha sebesar 22,3 persen.

Data ini menggambarkan bahwa ada hubungan makin dekat kekerabatan maka

semakin tinggi jaminan kesehatan yang di peroleh oleh pekerja POS. Ada hubungan

positif antara kekerabatan dan jaminan kesehatan. Data di atas didukung dengan

ungkapan di bawah ini:

……., Terkadang kalau sakit batuk parah boleh meminta obat kepada bapakH. AK, kalau orang lain jarang diperbolehkan. Kalau bapak (suami)diperbolehkan karena Bpk. H. AK masih ada hubungan kekerabatan dengansaya, dengan istri Bpk H. AK. Lagipula kami tetangga beda tiga Rumah.(Ibu SL, 55 th, pekerja POS).

7.1.4 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap Jaminan Keselamatan Kerja

Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan kerabat pekerja dengan

pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang diterima

pekerja. Di duga bahwa ada hubungan kekerabatan dengan jaminan keselamatan dan

fasilitas kerja yang diterima pekerja.

93

Tabel 20. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan Kekerabatan, Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja, Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

PekerjaJaminan Keselamatan

dan Fasilitas Kerja

Kekerabatan

Sedang(Kerabat jauh)

Sedang(Kerabat jauh)

Tinggi(Kerabatdekat)

Laki-laki

1(Rendah)

4(100.0)

8(100.0)

3(37.5)

2(Sedang) - -

4(50.0)

3(Tinggi) - -

1(12.5)

Total4

(100)8

(100)8

(100)

Perempuan

1(rendah)

3(100.0)

8(100.0)

6(66.6)

2(Sedang - -

2(22.2)

3(Tinggi) - -

1(11.2)

Total3

(100)8

(100)9

(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Pekerja POS laki-laki yang bukan kerabat dan kerabat jauh pemilik/pengusaha

semuanya (100 persen) dari masing-masing kelompok memperoleh jaminan

keselamatan dan fasilitas kerja yang sangat rendah. Demikin juga hanya (37.5

persen) pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan

pemilik/pengusaha industri tas yang menerima jaminan keselamatan dan fasilitas yang

rendah dari industri tas. Sebaliknya jaminan keselamatan dan fasilitas yang tinggi

hanya di terima oleh kelompok pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan

kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha industri tas walaupun hanya 12.5 persen dari

kelompok tersebut.

Demikian juga dengan pekerja perempuan POS nampak adanya hubungan

kekerabatan dengan pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan keselamatan dan fasilitas

94

yang diperoleh pekerja POS perempuan. pekerja perempuan POS baik dari kelompok

bukan kerabat dan kerabat jauh semuanya dari masing-masing kelompok (100 persen)

mendapat jaminan keselamatan dan fasilitas yang rendah, sedangkan pekerja POS

perempuan yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha

hanya 66,6 persen saja dari kelompok tersebut. Sedangkan jaminan keselamatan dan

fasilitas yang tinggi hanya diterima oleh pekerja POS perempuan yang mempunyai

hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha walaupun hanya 11,2 persen saja

dari kelompoknya. Data ini menggambarkan bahwa ada hubungan makin dekat

kekerabatan maka semakin tinggi jaminan keselamatan dan fasilitas yang di peroleh

oleh pekerja POS. Ada hubungan positif antara kekerabatan dengan jaminan

keselamatan dan fasilitas kerja. Data di atas didukung dengan ungkapan di bawah ini:

.. di bawa ke dokter, dari bapak H. AK akan di antarkan dengan mobilnya danbiaya rumahsakit di bayar oleh bapak H. AK, tetapi tidak semua orang seperti itu,mungkin karena saya masih ada hubungan kekerabatan.(Bpk ZN, 55 th, Pekerja POS).

7.1.5 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap Jaminan Keluarga

Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan kerabat pekerja dengan

pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan keluarga yang diterima pekerja. Di duga

bahwa ada hubungan kekerabatan dengan jaminan keluarga yang diterima pekerja.

95

Tabel 21. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Kekerabatan, Jaminan Keluarga dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Pekerja Jaminan Keluarga

Kekerabatan

Sedang(Kerabat jauh)

Sedang(Kerabat jauh)

Tinggi(Kerabat

dekat)

Laki-laki

2(Rendah)

4(100.0)

4(50.0) -

3-4(Sedang) -

4(50.0)

6(75.0)

5(Tinggi) - -

2(25.0)

Total4

(100)8

(100)8

(100)

Perempuan

2(rendah)

3(100.0)

8(100.0)

4(44.4)

3-4(Sedang - -

4(44.4)

5(Tinggi) - -

1(11.2)

Total3

(100)8

(100)9

(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Pekerja POS laki-laki yang bukan kerabat pemilik/pengusaha semuanya (100

persen) memperoleh jaminan keluarga yang sangat rendah dari industri tas. Sedangkan

pada pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat jauh hanya 50

persennya yang mempunyai menerima jaminan keluarga yang rendah hanya lebih

sedikit lebih sedikit dari pekerja POS laki-laki yang bukan kerabat pemilik/industri.

Demikin juga tidak ada satu pun (nol persen) pekerja POS laki-laki yang mempunyai

hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha industri tas menerima jaminan

rendah dari industri tas. Sebaliknya jaminan keluarga yang tinggi hanya di terima oleh

kelompok pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan

pemilik/pengusaha industri tas walaupun hanya 25 persen.

Pekerja perempuan POS memiliki hubungan kekerabatan dengan

pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan yang diperoleh pekerja POS perempuan.

96

pekerja perempuan POS baik dari kelompok bukan kerabat dan kerabat jauh semuanya

dari masing-masing kelompok (100 persen) mendapat jaminan keluarga yang rendah,

sedangkan pekerja POS perempuan yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan

pemilik/pengusaha hanya 44,4 persen saja dari kelompok tersebut. Sedangkan jaminan

keluarga yang tinggi hanya diterima oleh pekerja POS perempuan yang mempunyai

hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha walaupun hanya 11,2 persen saja

dari kelompok tersebut. Data ini menggambarkan bahwa ada hubungan makin dekat

kekerabatan maka semakin tinggi jaminan keluarga yang di peroleh oleh pekerja POS.

Ada hubungan positif antara kekerabatan dan jaminan keluarga. Data di atas didukung

dengan ungkapan di bawah ini.

7.2 Pengaruh Pendidikan Terhadap Kondisi Kerja

7.2.1 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap KesulitanMemperoleh Kerja

Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan pekerja

terhadap kesulitan memperoleh kerja yang diterima pekerja. Di duga bahwa ada

hubungan tingkat pendidikan dan kesulitan memperoleh kerja yang diterima pekerja.

Hubungan tersebut dapat dilihat dari Tabel 22 di bawah ini.

97

Tabel 22. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Kesulitan Memperoleh Kerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

PekerjaMudah Tidaknya

diterima dalam POSTingkat Pendidikan

Rendah Sedang Tinggi

Laki-laki

Sulit(R )

3(50.0)

1(11.2)

1(20.0)

Sedang(S)

1(16.6)

5(55.5)

1(20.0)

Tidak sulit(T)

2(33.3)

3(33.3)

3(60.0)

Total6

(100)9

(100)5

(100)

Perempuan

Sulit(R )

4(33.3)

1(16.66) -

Sedang(S)

5(41.7)

4(66,67) -

Tidak sulit(T)

3(25.0)

1(16.66)

2(100.0)

Total12

(100)6

(100)2

(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Terdapat gambaran makin tinggi pendidikan semakin tidak mendapat kesulitan

untuk diterima sebagai Pekerja POS, ada 60 persen dari kelompok pekerja yang

berpendidikan tinggi yang merasa tidak mendapat sulit untuk menjadi pekerja POS

dalam industri tas, dibanding 33,3 persen dari kelompok pekerja POS laki-laki yang

berpendidikan rendah. Untuk pekerja POS perempuan 100 persen dari kelompoknya

tidak mendapat kesulitan menjadi pekerja tas dibanding dengan 25 persen dari pekerja

POS perempuan berpendidikan rendah. Ini menggambarkan ada hubungan antara

pendidikan dengan tingkat kesulitan pada saat akan menjadi pekerja di perusahaan tas.

Namun demikian dari data sebaran pendidikan dalam kelompok pekerja di perusahaan

tas sangat sedikit sekali ditemukan pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan

yang berpendidikan tinggi. Sebagian besar pekerja POS baik laki-laki maupun

perempuan berpendidikan berpendidikan rendah dan sedang, terutama pekerja

perempuan berpendidikan rendah mendominasi dalam kelompok mereka. Ini

98

menggambarkan ada hubungan antara pendidikan dengan kesulitan memperoleh

pekerjaan di industri tas.

7.2.2 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Pendapatan Perbulan

Dalam sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan

pekerja terhadap upah kerja yang diterima pekerja. Di duga bahwa ada hubungan

tingkat pendidikan dan upah kerja yang diterima pekerja. Hubungan tersebut dapat

dilihat dari Tabel 23 di bawah ini.

Tabel 23. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Pendapatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Pekerja PendapatanTingkat Pendidikan

Rendah Sedang Tinggi

Laki-laki

UMR (R)3

(50.0)4

(40) -

= UMR (S)2

(33,3)4

(40)5

(100)

UMR (T)1

(16,7)1

(10.0) -

Total6

(100)9

(100)5

(100)

Perempuan

UMR (R)9

(45.0)6

(30.0)2

(10.0)

= UMR (S)2

(10.0) - -

UMR (T)1

(5.0) - -

Total12

(100)6

(100)2

(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Terdapat gambaran bahwa kelompok pekerja POS laki-laki berpendidikan

tinggi tidak ada yang mempunyai pendapatan tinggi (nol persen), justru kelompok

pekerjas POS laki-laki yang berpendapatan tinggi semuanya (100 persen). Ini artinya

tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan pekerja dengan pendapatan kerja

perbulan. Sistem upah yang berlaku adalah sistem borongan, berdasarkan jumlah hasil

99

yang dikerjakannya. Besar kecilnya pendapatan perbulan ditentukan oleh giat tidaknya

seseorang mengerjakan pekerjaan, dalam hal ini berarti pendidikan tidak

mempengaruhi kegiatan seseorang untuk memperoleh pendapatan yang tinggi.

Terlihat dari pekerja POS yang berpendidikan tinggi tidak memperoleh pendapatan

perbulan lebih tinggi daripada pekerja POS laki-laki yang sedang dan rendah.

Demikian juga hal tersebut berlaku pada pekerja POS perempuan tidak hubungan

antara pendidikan dengan pendapatan perbulan mereka. Nampak dari pekerja POS

perempuan yang berpendidikan tinggi semuanya (100 persen) berpendapatan rendah

perbulannya.

Dari fakta di atas dapat dilihat bahwa pendidikan tidak mempengaruhi

pendapatan para pekerja, karena pendapatan tersebut lebih ditentukan oleh diri pekerja

itu sendiri (tingkat kegiatan pekerja dalam pekerja).Ini berarti tingkat pendidikan baik

bagi pekerja POS laki-laki maupun perempuan tidak dipergunakan maksimal untuk

meningkatkan kegiatan bekerja dan pendapatan perbulan mereka.

7.2.3 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Kesehatan Pekerja

Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan pekerja

terhadap jaminan kesehatan yang diterima pekerja. Di duga bahwa ada hubungan

tingkat pendidikan dan jaminan kesehatan yang diterima pekerja. Hubungan tersebut

dapat dilihat dari Tabel 24 di bawah ini.

100

Tabel 24. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Jaminan Kesehatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

PekerjaJaminan

KesehatanTingkat Pendidikan

Rendah Sedang Tinggi

Laki-laki

2(Rendah)

4(66.7)

5(55.5)

1(20)

3-4(Sedang)

2(33.3)

3(33.3)

1(20)

5(Tinggi) -

1(11.2)

3(60)

Total6

(100)9

(100)5

(100)

Perempuan

2(rendah)

10(83.4)

5(83.4) -

3-4(Sedang

1(8.3)

1(16.6)

1(50.0)

5(Tinggi)

1(8.3) -

1(50.0)

Total12

(100)6

(100)2

(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Nampak ada hubungan antara pendidikan dengan jaminan kesehatan yang

diterima oleh pekerja terlihat ada 66.7 persen dari kelompok pekerja POS laki-laki

yang menerima jaminan kesehatan dibanding dengan 11,2 persen dari kelompok

pekerja POS laki-laki dan tidak ada sama sekali dari kelompok pekerja POS laki-laki

yang berpendidikan rendah mendapatkan jaminan kesehatan yang tinggi. Ini artinya

makin tinggi pendidikan makin tinggi jaminan yang diterima pekerja

Pekerja POS perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi

jaminan kesehatan yang diterima pekerja. Ada 50 persen dari kelompok pekerja POS

perempuan yang menerima jaminan kesehatan tinggi di banding dengan 8,3 persen

kelompok pekerja POS perempuan yang berpendidikan rendah, atau ada 83,4 dari

kelompok pekerja POS perempuan berpendidikan rendah mendapatkan jaminan

kesehatan rendah dibandingkan dengan 83,4 persen POS perempuan berpendidikan

sedang dan sama sekali dari pekerja POS perempuan yang berpendidikan tinggi

101

menerima jaminan kesehatan rendah . Ini menggambarkan bahwa tingkat pendidikan

pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan berpengaruh terhadap jaminan

kesehatan yang diterimanya.

7.2.4 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Jaminan dan

Fasilitas Kerja

Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan pekerja

terhadap jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang diterima pekerja. Di duga bahwa

ada hubungan tingkat pendidikan dan jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang

diterima pekerja. Hubungan tersebut dapat dilihat dari Tabel 25 berikut :

Tabel 25. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja, Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

PekerjaJaminan Keselamatan

& Fasilitas KerjaTingkat Pendidikan

Rendah Sedang Tinggi

Laki-laki

1(Rendah)

6(100)

8(88,9)

1(20.0)

2(Sedang) -

1(11,1)

3(60.0)

3(Tinggi) - -

1(20.0)

Total6

(100)9

(100)5

(100)

Perempuan

1(rendah)

11(91.7)

6(100.0) -

2(Sedang

1(8.3) -

1(50.0)

3(Tinggi) - -

1(50.0)

Total12

(100)6

(100)2

(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Ada kecenderungan makin rendah tingkat pendidikan pekerja makin rendah

jaminan keselamatan dan fasilitas kerja tergambar dari semua (100 persen) pekerja

102

POS laki-laki yang dari kelompok pekerja POS yang berpendidikan rendah

mendapatkan jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang rendah, dibanding dengan

kelompok pekerja POS laki-laki dari kelompok berpendidikan sedang ada 88,9 persen

yang menerima jaminan keselamatan dan fasilitas kerja, demikian juga hanya 20

persen kelompok pekerja laki-laki dari kelompok pendidikan tinggi yang menerima

jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang rendah. Namun pada pekerja POS laki-

laki berpendidikan tinggi sebagian besar (60 persen) menerima jaminan keselamatan

dan fasilitas kerja sedang. Hal ini menunjukan bahwa hubungan pendidikan dengan

jaminan keselamatan dan fasilitas kerja tidak terlalu signifikan.

Pada pekerja perempuan POS tidak nampak pengaruh pendidikan terhadap

jaminan penerimaan jaminan keselamatan dan fasilitas kerja, karena sebagian besar (60

persen) pekerja berpendidikan rendah dan 30 persen berpendidikan sedang. Dimana

mereka memperoleh jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang rendah (pendidikan

rendah memperoleh 91,7 persen; pendidikan sedang memperoleh 100 persen ). Hanya

10 persen saja yang memperoleh jaminan keselamatan dan fasilitas kerja tinggi dan

sedang.

7.2.5 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Jaminan Keluarga

Dalam sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan

pekerja terhadap jaminan keluarga yang diterima pekerja. Di duga bahwa ada

hubungan tingkat pendidikan dengan jaminan keluarga yang diterima pekerja.

Hubungan tersebut dapat dilihat dari Tabel 25 di bawah ini.

103

Tabel 26. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Pendidikan, Jaminan Keluarga, Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase

Kelompok pekerja POS laki-laki berpendidikan rendah sedanga dan tinggi

berturut-turut menerima jaminan keluarga yang rendah (50 persen; 44,4 persen; dan 20

persen) ini menunjukan bawah makin rendah pendidikan makin rendah pula jaminan

keluarga yang diterima. Sebaliknya Kelompok pekerja POS laki-laki yang menerima

jaminan keluarga tinggi hanya ada pada kelompok pekerja POS laki-laki hanya ada

pada pada berpendidikan tinggi saja 20 persen tidak ditemui pada kelompok

berpendidikan rendah dan berpendidikan sedang. Pekerja perempuan POS tidak

nampak pengaruh pendidikan terhadap jaminan penerimaan keluarga, karena sebagian

besar (60 persen) pekerja berpendidikan rendah dan 30 persen berpendidikan sedang.

Dimana mereka memperoleh jaminan keluarga yang rendah (pendidikan rendah

memperoleh 75,0 persen; pendidikan sedang memperoleh 100 persen). Hanya 10

persen saja yang memperoleh jaminan keluarga tinggi dan sedang.

Pekerja Jaminan KeluargaPendidikan

Rendah Sedang Tinggi

Laki-laki

2(Rendah)

3(50.0)

4(44.4)

1(20.0)

3-4(Sedang)

3(50.0)

5(55.6)

2(40.0)

5(Tinggi) - -

2(40.0)

Total6

(100)9

(100)5

(100)

Perempuan

2(rendah)

9(75.0)

6(100.0) -

3-4(Sedang

3(25.0) -

1(50.0)

5(Tinggi) - -

1(50.0)

Total12

(100)6

(100)2

(100)

104

7.3 Pengaruh Pengalaman dan Keterampilan Terhadap Kondisi Kerja

Pengalaman kerja dan keterampilan kerja yang dipunyai dilihat dari seberapa

banyak pengalaman dan keterampilan kerja yang diperoleh oleh pekerja putting out

system baik laki-laki maupun perempuan sebelum bekerja di industri tas. Dari bahasan

bab dimuka ditemukan bahwa pengalaman dan keterampilan pekerja POS baik laki-

laki dan perempuan tidak berhubungan dengan keberadaan mereka setelah menjadi

pekerja POS di industri tas. Demikian juga keterampilan setelah menjadi pekerja POS

baik laki-laki maupun perempuan juga tidak berpengaruh baik pada pendapatan

maupun jaminan kerja yang diperoleh pekerja.

Yang berpengaruh dari faktor keterampilan bukanlah bukanlah dari berapa

banyak jenis keterampilan yang dimiliki disaat bekerja di industri tas, tetapi kualitas

keterampilan . Fakta tersebut terungkap dalam wawancara dengan Bapak TT pemilik

usaha POS.

Pekerjaan yang mudah dan gaji nya paling rendah disebut juga kerja kenek, yaknimemasang aksesoris, mengelem/ngelatek, penekuk dan finishing/mencek,pekerjaan tersebut hampir semuanya dikerjakan oleh perempuan ataupun pemula.Bulan lalu dengan gaji berkisar 50.000,- Rp. 60.000,- per minggu, tergantungkeahlian. Sedangkan menjahit dan membuat pola, memotong, dan menjahitdikerjakan oleh para laki-laki atau pun pekerja senior, dan keterampilan tersebuthanya diturunkan kepada laki-laki saja. Sangat jarang dalam desa ini perempuanmenjadi pejahit dan membuat pola. Gaji yang diterima oleh laki-laki pembuatpola, penggunting, dan penjahit. Gaji yang diterima pekerja bulan lalu berkisarantara Rp. 100.000 Rp150.000 perminggu, gaji ditentukan berdasarkan keahlian.(Bpk. TT, 38 th, pemilik home industry tas)

Ungkapan lain yang mendukung fakta di atas di kemukakan juga oleh pekerja POS

perempuan :

Yang menjahit pada umumnya laki-laki, dari suami saya bisa menjahit dan membuatpola kemudian diteruskan kepada anak saya yang laki-laki yang ikut bekerja dalambidang tas ini. Kalau saya perempuan cukup bantu-bantu mengelem, menekuk ataupasang aksesoris.(Ibu LI, 24 th, pekerja POS)

105

Dari fakta di atas dapat dilihat yang mendapat keterampilan berkualitas adalah

laki-laki, dan ini berpengaruh kepada pendapatan yang diperoleh mereka. Karena

perempuan tidak memperoleh keterampilan berkualitas tinggi tersebut maka

pendapatan perempuan pekerja POS selalu lebih kecil dari pendapatan laki-laki.

106

BAB VIII

KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA POS DI

HOME INDUSTRY TAS

Bab ini ingin melihat apakah setelah responden bekerja sebagai pekerja POS di

home industry tas membawa pengaruh pada kesejahteraan rumahtangganya. Sehingga

dalam bab ini perlu dilihat bagaimana kesejahteraan rumahtangga responden pada saat

penelitian ini dilakukan

Kesejahteraan rumah tangga adalah sejauhmana rumahtangga responden dapat

memenuhi kebutuhan hidupnya dilihat dari pola makan, kesehatan keluarga dan

pendidikan anggota keluarga berdasarkan jenis kelamin responden.

8.1 Pola Konsumsi Keluarga Pekerja POS

Pola konsumsi dilihat dari berapa kali rumahtangga makan dalam sehari dan

kualitas makanan yang dimakan dalam sehari. Kondisi pola konsumsi pekerja POS

dapat dilihat dalam Tabel 27 berikut :

Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Makan sehari dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Frekuensi Konsumsi Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 10 50,00 6 30,00

Sedang 9 45,00 13 55,00

Rendah 1 5,00 1 5,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Dilihat dari Tabel 27 di atas, nampak bahwa mereka tidak kekurangan makan,

50 persen pekerja POS laki-laki makan 3 kali sehari sedangkan 30 persen

107

perempuan pekerja makan lebih jarang daripada laki-laki. Perempuan makan cukup

dua kali sehari. Namun demikian seringnya makan tidak indentik dengan tingginya

kesehatan mereka karena sering makan belum tentu menjamin kesehatan mereka

karena bisa saja orang sering makan tetapi kualitas yang dimakannya belum memenuhi

kesehatan atau sehingga dalam hal ini perlu dilihat juga kualitas makanan yang

dimakan oleh para pekerja POS.

Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kualitas Makanan yang di Makan Per hari dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Kualitas

Konsumsi

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 2 10,00 1 5,00

Sedang 10 50,00 8 40,00

Rendah 8 40,00 11 55,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Dari tabel 28, hanya 10 persen saja pekerja POS laki-laki yang memakan

makanan berkualitas tinggi demikian pula perempuan hanya 5 persen saja dari pekerja

POS perempuan yang memakan makanan yang berkualitas tinggi. Sebagian besar baik

pekerja POS laki-laki mengkonsumsi makanan berkualitas sedang 50 persen,

sedangkan pekerja POS perempuan 55 Persen mengkonsumsi makanan berkualitas

rendah. Tabel 25 dan Tabel 26 di atas menggambarkan bahwa pekerja POS laki-laki

makan dengan frekuensi tinggi tetapi dengan kualitas yang sedang, sedangkan

perempuan makan dengan frekuensi sedang dengan kualitas makanan yang rendah. Ini

berarti pola konsumsi keluarga mereka belum dapat di katakan memenuhi persyaratan,

karena hanya sebagian kecil saja baik pekerja POS laki-laki maupun perempuan yang

dapat mengkonsumsi makanan yang berkualitas tinggi.

108

8.2 Kesehatan Keluarga Pekerja POS

Kesehatan keluarga pekerja POS di industri tas dilihat dari frekuensi keluarga

pekerja pergi berobat dalam setahun dan jenis pengobatannya dalam setahun. Kondisi

kesehatan keluarga dilihat dari Tabel 29 berikut

Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Berobat Keluarga dalam Setahun dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Frekuensi Berobat Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 2 10,00 3 15,00

Sedang 9 45,00 10 50,00

Rendah 9 45,00 7 35,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Dilihat dari Tabel 28 di atas frekuensi berobat dari keluarga pekerja POS laki-

laki cenderung pada kategori berobat sedang dan rendah (masing-masing 45 persen),

sedangkan kondisi berobat POS perempuan sebagian besar berada pada kategori

berobat dengan frekuensi sedang sebesar 50 persen. Dari data tersebut menggambarkan

bahwa berobat tidak merupakan hal yang dianggap terlalu penting dalam kehidupan

pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan, nampak dari hanya 15 persen saja dari

keluarga pekerja POS perempuan yang sering pergi ke dokter sehingga frekuensi

berobat dengan kategori tinggi hanya di temui pada 10 persen pada pekerja laki-laki

yang pergi ke dokter bila mengalami sakit. Selain frekuensi berobat kedokter juga

jenis pengobatan yang dilakukan oleh pekerja POS ikut menentukan kualitas kesehatan

yang dimiliki mereka dalam hal ini di kategorikan kualitas pengobatan tinggi bila

responden ke dokter baik dokter praktek kualitas sedang bila berobat puskesmas dan

109

kualitas berobat rendah bila mempergunakan non medis (dukun, alternatif, dll), obat

warung/jamu dan lain-lain

Tabel 30. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Pengobatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Jenis Pengobatan Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)

Tinggi 6 30,00 5 25,00

Sedang 4 20,00 6 30,00

Rendah 10 50,00 11 55,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Ternyata dari Tabel 29 ini sebagian besar baik pekerja POS laki-laki maupun

pekerja POS perempuan sebagian besar lebih memilih untuk berobat dengan cara

membeli obat dari warung (laki-laki 50 persen ; perempuan 55 persen). Dari kedua

tabel di atas (Tabel 28 dan 29 ) dapat di simpulkan bahwa tingkat kesehatan keluarga

POS baik laki-laki maupun perempuan belumlah memadai, karena kesadaran untuk

pergi berobat dan kualitas cara pengobatannya dapat dikatakan masih rendah.

8.3 Tingkat Pendidikan Keluarga Pekerja POS

Pola konsumsi dan pola kesehatan keluarga, hal yang bisa menunjukkan tingkat

kesejahteraan keluarga adalah keberhasilan menyekolahkan yang telah di capai oleh

anggota dari keluarga pekerja POS. Pada saat penelitian ini dilangsungkan, sejauh

mana tingkat pendidikan yang telah di capai anggota POS baik laki-laki maupun

perempuan. Tingkat pendidikan dilihat dari berapa jumlah anggota keluarga yang tidak

melanjutkan sekolah atau Drop Out. Keberasilan menyekolahkan anggota keluarga

dapat dilihat dari Tabel 30

110

Tabel 31. Jumlah dan Persentase Jumlah Keluarga Responden Berdasarkan Keberhasilan Menyekolahkan Anggota Keluarga dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007

Jumlah Anggota Keluargayang Tidak Melajutkan

Sekolah/DO

Laki-Laki Perempuan

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase

(%)

Tinggi 10 50,00 11 55,00

Sedang 8 40,00 8 40,00

Rendah 2 10,00 1 5,00

Jumlah 20 100,00 20 100,00

Dilihat dari Tabel 30 di atas dapat dilihat bahwa keluarga POS laki-laki

maupun perempuan belum berhasil menyekolahkan keluarga mereka terlihat dari

masih banyaknya keluarga pekerja baik laki-laki maupun perempuan yang anggota

keluarganya tidak melanjutkan sekolah atau DO. Pekerja laki-laki terlebih dari pekerja

perempuan jumlah anggota keluarga yang tidak dapat melanjutkan lebih banyak (laki-

laki 50 persen; perempuan 55 persen) , ini berarti keluarga POS belum mampu

memberikan pendidikan kepada anggota keluarganya sekalipun mereka sudah bekerja

sebagai putting out system di home industry tas.

Dari fakta-fakta di atas tingkat kesejahteraan pekerja POS laki-laki terlebih lagi

pekerja POS perempuan belum sejahtera terlihat baik dari pola konsumsi, kesehatan

keluarga dan keberhasilan dalam memberikan pendidikan dalam anggota keluarga

dapat dikatakan masih rendah.

111

BAB IX

KESIMPULAN DAN SARAN

9. 1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan kekerabatan antara pekerja dengan pemilik/ pengusaha industri tas

terhadap jumlah pekerja dalam industri tas. Jumlah pekerja yang mempunyai

hubungan kekerabatan yang dekat lebih banyak dibanding dengan pekerja yang

bukan kerabat dari pemilik/pengusaha industri tas.

2. Kondisi pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan berada pada posisi relatif

belum baik, hal ini dilihat karena :

a). Lebih mendahulukan kerabat untuk diterima menjadi pekerja.

b). Upah kerja/pendapatan perbulan laki-laki berada pada kategori sedang

Sedangkan pekerja perempuan didominasi pada kategori pendapatan rendah

(dibawah UMR). Hal ini karena ada anggapan bahwa perempuan hanya sebagai

pembantu rumahtangga, sehingga ada beberapa pekerja POS perempuan yang

dikategorikan sebagai upah POS keluarga (kerja perempuan tidak diperhitungkan).

c). Pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan menerima jaminan keluarga

yang relatif rendah terlebih pekerja perempuan menerima upah lebih rendah

daripada pekerja laki-laki.

3. Ada beberapa faktor yang berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap kondisi

kerja para pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan di industri tas, yaitu :

a). Ada hubungan kekerabatan dengan tingkat kesulitan seseorang untuk diterima

menjadi pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan pada industri tas. Makin

112

dekat hubungan kekerabatan antara pekerja dengan pengusaha/pemilik industri

maka makin mudah untuk diterima sebagai pekerja POS.

b). Tidak ada hubungan kekerabatan dengan upah kerja/pendapatan perbulan

pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan. Kekerabatan tidak berpengaruh

pada upah kerja/ pendapatan perbulan, baik untuk pekerja laki-laki maupun

perempuan hal ini disebabkan karena pendapatan upah kerja atau dari hasil kerja

ditentukan bukan oleh perusahaan sepenuhnya (perusahaan memberikan upah sama

pada setiap orang)tetapi di tentukan oleh rajin tidaknya seseorang dapat

menghasilkan suatu produksi.

c). Kekerabatan berpengaruh pada jaminan kerja (jaminan kesehatan, jaminan

keselamatan, keluarga) tetapi tidak berpengaruh pada pekerja perempuan. Hal ini

disebabkan karena ada anggapan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga

mendapatkan jaminan lebih besar daripada perempuan.

d). Pendidikan tidak mempengaruhi pendapatan para pekerja, karena lebih

ditentukan oleh pekerja itu sendiri (faktor kegiatan pekerja) sedangkan jaminan

kerja (jaminan kesehatan, keselamatan dan fasilitas kerja) dan jaminan keluarga di

pengaruhi oleh pendidikan, karena yang menentukan jaminan tersebut adalah

perusahaan yang menghargai faktor pendidikan para pekerjanya. Berbeda dengan

pekerja perempuan jaminan kerja dan jaminan keluarga tidak di pengaruhi oleh

pendidikan pekerja. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerja POS

perempuan berpendidikan rendah.

e). Pada keterampilan berkualitas tinggi yang berdampak pada upah tinggi dalam

POS lebih diberikan pada pekerja laki-laki daripada pekerja perempuan dan lebih

diturunkan kepada anak laki-laki daripada perempuan. Sehingga pekerja

113

perempuan hampir tidak perempuan yang memiliki keterampilan yang berkualitas

tinggi sehingga berdampak pada pendapatan kerja perempuan daripada pendapatan

kerja laki-laki

4. Bekerjanya seseorang pada POS baik laki-laki maupun perempuan belum

berdampak baik terhadap kesejahteraan keluarganya. Terlebih lagi kesejahteraan

rumahtangga pekerja POS perempuan jauh lebih buruk daripada kesejahteraan

rumahtangga pekerja POS laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari pola konsumsi,

kesehatan keluarga dan keberhasilan memberikan pendidikan pada anggota

keluarga yang masih rendah.

9.2 Saran

Saran dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk meningkatkan kondisi POS yang rendah sebaiknya memperbaiki sistem

pengupahan dan meningkatkan pemberian jaminan yang sama baik untuk pekerja

POS laki-laki maupun perempuan.

2. Untuk meningkatkan produksi yang dihasilkan pekerja agar pendapatan pekerja

lebih baik peningkatan upah kerja atau pendapatan kerja sebaiknya para pekerja

meningkatkan etos kerjanya, wujud konkret peningkatan etos kerja melalui

pelatihan-pelatihan kerja.

3. Memperpendek rantai tata niaga dalam industri tas, yakni dengan menghilangkan

perantara antara industri tas besar dengan pemilik home industry.

4. Membatasi usia kerja buruh POS (pembatasan usia buruh POS)

5. Menghilangkan steriotipe perempuan hanya sebagai pekerja rumahtangga, laki-laki

sebagai pencari nafkah utama sedangkan perempuan hanya “pembantu laki-laki”,

114

salah satu upaya menghilangkan steriotipe adalah melalui sosialisasi gender pada

home industry tas di Bojongrangkas. Diharapkan dengan adanya sosialisasi gender

akan meningkatkan upah, jaminan kerja serta jaminan keluarga sehingga dapat

meningkatkan kesejahteraan keluarga.

115

DAFTAR PUSTAKA

Artikel dan Buku

Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender (Wanita Pabrikan : Simbol

Pergeseran Status Wanita Desa oleh Warto). Yogyakarta : Pustaka

Pelajar.

---------------------------- Sangkan Paran Gender (Pengorbanan Wanita

Pekerja Industri oleh Ken Surtiyah). Yogyakarta : Pustaka

Pelajar.

Boserup, Ester. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta :

Yayasan Obor Indonesia.

Dewayanti, Ratih dan Erna Ermawati Chotim. 2004. Marjinalisasi dan

Ekspoitasi Perempuan Usaha Mikro di Pedesaan. Bandung : Penerbit

Akatiga

Goode, Wiliam. 2002. Sosiologi Keluarga. Bumi Aksara.

Koentjaranigrat. 1965. Pengantar Antropologi. Jakarta : Penerbit universitas.

Muljono, Pudji. 2003. Bahan Ajar Metodologi Penelitian Sosial. Bogor :

Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.

Muniarti, Nunuk P, dkk. 2001. Gerakan Ekonomi Perepuan Sebagai Basis

Ekonomi Rakya. Jakarta : Penerbit PT. Bina Rena Pariwara.

Safaria, A. F, dkk. 2003. Hubungan Perburuhan Di Sektor Informal

(Permasalahan dan Prospek). Bandung : Penerbit Akatiga.

Sajogyo, Pudjiwati, dkk. 1983. Peranan Wanita dalam Perkembangan

Masyarakat Desa. Jakarta : CV. Rajawali.

116

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan

Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta : PT. Pustaka

Utama Grafiti.

Schneider. 1993. Sosiologi Industri. Penerbit PT. Aksara Persada Indonesia.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metodologi Penelitian

Survai. Jakarta : LP3ES.

Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada.

Sumiarni, Endang. 2004. Jender dan Feminisme. Yogyakarta : PT. Wonderful

Publishing Company.

Undang-Undang Ketenagakerjaan Tahun 2003. 2005. Tim Redaksi Aulia.

Wigna, Winati. 1990. Putting Out System in Rural Industrialisation A

comparative Study between Indonesia and Japan. Summary,

unpublished.

Tesis

Metera, I Gede Made. 1996. Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk

Pembangunan Fasilitas Pariwisata dan Dampaknya Terhadap Petani.

Tesis. Bogor : Insitut Pertanian Bogor

Artikel dari Internet

Antropologi, Jurnal. 1 Agustus 2008

http:www.jurnalantropologi.com

Fillaili, Rizki. 2004. Profil Usaha Mikro.

http://www.smeru.or.id/newslet/2004/ed10/200410data.html

117

Indraswari (Senin, 24 Mei 2004). Perempuan dan Kerja.

Http://www.CyberKompas.com

SMERU, Tim. Aspek Ketenagakerjaan Semasa Krisis Ekonomi Studi

Kasus di Empat Industri.

http://www.smeru.or.id/newslet/1999/ed07/field71.htm

Wijoyo, Santoso (20 Maret 2003). Kredit Bermasalah UKM di Jatim

Cenderung Meningkat.

Http://www.CyberKompas.com

Wikipedia. 1 Agustus 2008http://www.wikipedia.com

118

KUISIONER

Tanggal :_____________

Nama Responden :_____________

Usia :_____________ tahun

Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan

Pendidikan terakhir : _____________

Pekerjaan saat ini : _____________

Lamanya bekerja : _____________

Subkontraktor dari : _____________

Alamat : Jalan / Gang_______________ No._____ Telp. _______

RT _____ / RW _____ Kelurahan _________

Data keluargaNama Pendidikan

Formal terakhirUmur Status dalam

keluargaJenis

kelamin(L/P)

Pekerjaan

Keterangan Pilihan :

pendidikan formal terakhir (SD, SLTP, SLTA, Perguruan tinggi/akademi)

status dalam keluarga (anak, istri, suami, orang tua, kerabata, dll)

PERTANYAAN1. Apakah anda memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik industri :

A. Ya B. Tidak

2. Bagaimana hubungan anda dengan pemilik industri?Kerabat DekatKerabat JauhBukan Kerabat

3. Apakah anda mudah masuk dan bekerja dalam industri ini?A. Tidak sulit B. Cukup C. Sangat sulit

No Responden :

119

4. Apa pendidikan terakhir anda?A. Tamatan SD B. Tamatan SLTP C. Tamatan SLTA

5. Alasan tidak melanjutkan sekolah?

6. Apakah anda memiliki pengalaman kerja sebelum bekerja dalam industri ini?A. Ya B. Tidak

7. Berapa lama anda bekerja diperusahaan lain?A. 5 th B. 3-4 th C. 2 th

8. Alasan anda pindah pekerjaan dan memiliki menekuni pekerjaan sekarang?

9. Berapa pendapatan dalam sebulan (sebulan yang lalu)?A. Rp.800.000,- B. Rp. 800.000,- C. Rp.800.000,-

10. Waktu pembayaran di perusahaan ?A. Harian B. Mingguan C. Bulanan D. Borongan

11. Berapa waktu yang anda gunakan untuk bekerja dalam sehari (kemarin)>

12. Jaminan kesehatan dibawah ini yang anda dapatkan dari perusahaan, YA atau TIDAKA. Apakah anda diperbolehkan libur/ cuti jika sakit?B. Apakah anda mendapatkan biaya penggatian bila sakit?C. Apakah anda mendapatkan biaya pengobatan rawat jalan bila sakit?D. Apakah anda mendapatkan biaya rawat inap bila sakit?E. Mendapatkan asuransi kesehatan penduduk miskin?F. Apakah anda mendapatkan hak istirahat dan beribadah?

13. Jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang anda dapatkan dari perusahaan, JawabYA atau TIDAKA. Apakah anda mendapatkan asuransi keselamatan kerja?B. Apakah anda mendapatkan kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja?C. Apakah anda mendapatkan fasilitas kerja dan keselamatan kerja (seperti sarung

tangan, penerangan, kacamata, dll)?

14. Berapa jumlah uang atau kompensasi yang diberikana apabila terjadi kecelakaankerja?

15. Jaminan kesejahteraan keluarga yang anda dapatkan dari perusaaan, Jawab YA atauTIDAKA. Apakah anda mendapatkan THR , Jika YA berapa jumlahnya dalam rupiah.B. Apakah anda mendapatkan biaya santunan anggota keluarga meninggal duniaC. Apakah anda mendapatkan biaya santunan ketika ada melahirkan atau anak

knitan,D. Apakah anda mendapatkan pinjaman?E. Apakah anda mendapatkan biaya santunan menikah?F. Apakah jika anggota keluarga sakit anda mendapatkan santunan atau ganti rugi

kesehatan?

16. Kemarin anda makan berapa kali dalam sehari

120

A. 3 x atau lebih B. 2x C. 1x

17. Kemarin dalam satu hari, berapa jenis makanan apa saja yang anda konsumsi (Nasi,Lauk ,Pauk, Sayur, Susu, Buah, dll), sebutkan

18. Tahun lalu, dalam setahun, berapa kali anda atau keluarga sakit dan berobatA. > 5 x B. 3-4 x C. 2 x

19. Tahun lalu, jika anda atau keluarga sakit biasanya anda pergi berobat keA. Dokter B. Puskesmas C. Warung atau dukunkampung

20. Ada berapa dalam anggota keluarga anda yang (Drop Out) DO atau tidak melanjutkansekolah karena alasan biayaA. 3 orang B. 2 orang C. 1 orang

21. Alasan anggota dalam keluarga tidak melanjutkan sekolah?

22. Pengambilan keputusan rumah tangga, siapa yang lebih dominan menentukankeputusan, jawab SUAMI atau ISTRIA. yang memutuskan pemilihan sekolah anakB. yang mengelola keuangan rumahtanggaC. yang menentukan pergi berobat apabila anggota keluarga sakit

23. Bulan lalu, dalam sehari anda bekerja berapa jam

24. Bulan lalu, dalam seminggu anda bekerja berapa hari

25. Tahun lalu, dalam setahun anda bekerja berapa bulan (full)

26. Status pekerjaan anda, pekerja tetap atau musimam.

Jenis pekerjaan yang anda lakukan(jawaban diberi tanda pada salah satu jawaban)

Jenis Pekerajaan atau keterampilan pada saat bekerja pada POSJenis pekerjaan &

keterampilanYa Tidak Jika Ya, berapa waktu yang

dibutuhkan untukmenyelesaikan 1 unit tas

Membuat Pola

Memotong/ menggunting

Menjahit

Memasang aksesoris

Mengelem

Finishing/me-check

Lainnya .

121

Sistem upah yang bagaimana & berapa yang biasa anda terima.

Sistem upah Pendapatan yangdihasilkan

Jumlah jam kerja Jumlah barangyang dihasilkan

a. Harian Rp.

b. Mingguan Rp.

c. Bulanan Rp.

d. Borongan Rp.

Pendidikan informal yang pernah diikuti responden

Namapelatihan/training/k

ursus

Nama/instansipenyelenggara

Tanggal diselenggarakannya

pelatihan

Berapa lama andamengikuti pelatihan/

training/kursus

Jumlah pekerjaan dan lamanya responden bekerja

Jenis pekerjaan Pernah mengerjakan Lama waktuberkerja/ bulan

Ya Tidak

1. Kerja pabrik/konveksi

1. Wiraswasta (warung, berdagang)

2. Menjadi buruh tani

3. Pegawai

4. (yang lain, sebutkan)

122

Pendapatan Rumah Tangga (Orang dalam keluarga yang memilikipenghasilan)

No. Nama(orang dalamkeluarga yang

memiliki penghasilan)

Status dalamkeluarga

(ayah, ibu, dirisendiri, suami,

anak)

Gaji yangdidapat /bulan

Gaji yang di berikankepada

keluarganya/bulan

1. Rp. Rp.

2. Rp. Rp.

3. Rp. Rp.

4. Rp. Rp.

5. Rp. Rp.

6. Rp. Rp.

Keterampilan Sebelum Masuk Puttingout SystemNo. Keterampilan YA/TIDAK

1. Menjahit/Menyulam

2. Bahasa

3. Teknik Mesin

4. Komputer

5. Tata Rias Salon

6. Memasak

7. Lainnya................................

123

UU Ketenagakerjaan RI No. 13 Tahun 2003

Pasal-pasal yang menjelaskan tentang upah minimum pekerja dan ketentuan

imabalan hak pekerja dikelaskan pada Pasal 89 dan Pasal 93, Pasal 89 yakni (1). Upah

minimun sebagaimana dimaksud dalam pasal 88 ayat 3 huruf a terdiri atas: a). Upah

minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten /kota; b). Upah minimum

berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota; (2). Upah minimum

sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup

layak. (2). Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oeh gubernur

dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan atau

bupati/walikota. (3). Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuha hidup

layak sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan keputusan mentri.

Pasal 93 menjelaskan (1). Upah tidak dibayar apabila pekerja atau buruh tidak

melakukan pekerjaan. (2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku,

dan pengusaha wajib membayar upah apabila: a).Pekerja atau buruh sakit sehingga

tidak dapat melakukan pekerjaan b). Pekerja atau buruh perempuan yang sakit pada

hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. c).

Pekerja atau buruh tidak masuk bekerja karena pekerja atau buruh menikah,

menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istrinya melahirkan atau

keguguran kandungan, suami istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua

atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia. d). Pekerja atau buruh tidak

dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara.

e). Pekerja atau buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah

yang diperintahkan agamanya; f). Pekerja atau buruh bersedia melakukan pekerjaan

yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena

kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; g).

Pekerja atau buruh melaksanakan hak istirahat; h).Pekerja atau buruh melaksanakan

124

tugas serikat pekerja atau serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan i). Pekerja

atau buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. (3) Upah yang dibayarkan

kepada pekerja atau buruh yang sakit sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a

sebagai berikut: a). Untuk empat bulan pertama dibayar 100 persen dari upah, b).

Untuk empat bulan kedua dibayar 75 persen dari upah, c). Untuk empat bulan ketiga

dibayar 50 persen dari upah, d). Untuk empat bulan selanjutnya dibayar 25 persen dari

upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha. (4) Upah yang

dibayarkan kepada pekerja atau buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut. a). Pekerja atau buruh menikah,

dibayar untuk selama tiga hari, b). Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama dua

hari, c). Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama dua hari, d). Membaptiskan

anaknya, dibayar untuk selama dua hari, e). Istri melahirkan atau keguguran

kandungan, dibayar untuk selama dua hari, f). Anggota keluarga dalam satu rumah

meninggal dunia dibayar untuk selama satu hari (Tim Redaksi Aulia, 2005 mengutip

UU Ketenagarkerjaan RI No. 13 tahun 2003).

125

Gambar