s paud 0702593 chapter2x -...
TRANSCRIPT
17
BAB II
KAJIAN TEORITIS KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK DAN METODE BCCT (BEYOND CENTRES AND CIRCLE TIME)
A. Konsep Keterampilan Sosial Anak Taman Kanak-kanak
1. Definisi dan Teori Keterampilan Sosial
Bandura (Santrock, 2007) sebagai pelopor teori belajar sosial mengemukakan
bahwa teori belajar sosial (social learning theory) ialah pandangan para pakar
psikologi yang menekankan perilaku, lingkungan, dan kognisi sebagai faktor kunci
dalam perkembangan. Dalam teorinya Bandura yakin bahwa faktor-faktor pribadi
(personal), kognitif (cognitive), perilaku (behavior) dan lingkungan (environment)
mempunyai hubungan timbal balik, bukan searah dalam perkembangan sosial anak
TK, dan Vigostsky meyakini pengalaman interaksi sosial sangat penting bagi
perkembangan proses berpikir anak atau kognitifnya (Santrock, 2007). Dari teori
tersebut di atas maka melahirkan beberapa definisi tentang keterampilan sosial,
diantaranya sebagai berikut:
Mussen, at al (Lismayanti, 2008) menyatakan bahwa keterampilan sosial
adalah istilah yang digunakan oleh para ahli psikologi untuk mengacu pada tindakan
moral yang diekspresikan secara kultural, seperti berbagi, membantu seseorang yang
membutuhkan, bekerjasama dengan orang lain, dan mengungkapkan simpati.
Selanjutnya menurut Cartledge dan Milburn (Syaodih, 2007: 50)
menyatakan bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan seseorang saat
memecahkan masalah sehingga dapat beradaptasi secara harmonis dengan
18
masyarakat di sekitarnya. Keterampilan sosial juga melibatkan faktor-faktor afektif,
terutama dalam pengungkapan keterampilan tersebut.
Sementara menurut Ahmad (Kurniati dalam Lismayanti, 2008) menyebutkan
bahwa keterampilan sosial yang dimiliki anak adalah kemampuan untuk mereaksi
secara efektif dan bermanfaat terhadap lingkungan sosial yang merupakan
persyaratan bagi penyesuaian yang baik, kehidupan yang memuaskan dan dapat
diterima masyarakat.
Secara singkat Setiawati (2008) mengungkapkan bahwa keterampilan sosial
pada anak adalah salah satu hal penting dalam membantu anak untuk bisa mempunyai
teman dan berinteraksi dengan orang lain, serta membantu perkembangan anak
dalam menjalani tugas perkembangannya.
Senada dengan pernyataan sebelunya, Nasution (2010) menyebutkan bahwa
keterampilan sosial anak merupakan cara anak dalam melakukan interaksi, baik
dalam bertingkah laku maupun dalam hal berkomunikasi dengan orang lain.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa:
• Keterampilan sosial adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
berinteraksi dengan orang lain secara baik sehingga mudah diterima sesuai harapan
lingkungan.
• Keterampilan sosial adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
menyeimbangkan kemampuan proses berpikir atau kognitif yang diekspresikan
19
secara kultural, seperti berbagi, membantu seseorang yang sedang membutuhkan, dan
mengungkapkan simpati.
2. Jenis-jenis Keterampilan Sosial
Beaty (Afiati dalam Lismayanti, 2008) menyebutkan bahwa keterampilan
sosial atau disebut juga prosocial behavior mencakup perilaku-perilaku seperti:
a. Empati yang di dalamnya anak-anak mengekspresikan rasa haru dengan
memberikan perhatian kepada seseorang yang sedang tertekan karena suatu
masalah dan mengungkapkan perasaan orang lain yang sedang mengalami konflik
sebagai bentuk bahwa anak menyadari perasaan orang lain.
b. Kemurahan hati atau kedermawanan yang di dalamnya anak-anak berbagi dan
memberikan barang sesuatu miliknya kepada seseorang.
c. Kerjasama yang di dalamnya anak-anak mengambil giliran atau bergantian
menuruti perintah secara suka rela tanpa menimbulkan pertengkaran.
d. Memberi bantuan yang di dalamnya anak-anak membantu seseorang untuk
melengkapi suatu tugas dan membantu seseorang yang membutuhkan.
Menurut Hurlock (1996: 118) pola-pola perilaku sosial yang ditampilkan
anak-anak adalah sebagai berikut:
a. Meniru, agar sama dengan kelompok, anak meniru sikap dan perilaku orang yang
sangat dikaguminya.
20
b. Persaingan, keinginan untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain tampak
pada usia empat tahun. Ini dimulai di rumah dan kemudian berkembang dalam
bermain dengan anak di luar rumah.
c. Kerjasama, pada akhir tahun ketiga bermain kooperatif dan kegiatan kelompok
mulai berkembang dan meningkat baik dalam frekuensi maupun lamanya
berlangsung, bersamaan dengan meningkatnya kesempatan untuk bermain dengan
anak lain.
d. Simpati, karena simpati membutuhkan pengertian tentang perasaan-perasaan dan
emosi orang lain maka hal ini hanya kadang-kadang timbul sebelum tiga tahun,
semakin banyak kontak bermain, semakin cepat simpati akan berkembang.
e. Dukungan sosial, menjelang berakhirnya masa anak-anak, dukungan dari teman-
teman menjadi lebih penting daripada persetujuan orang-orang dewasa. Anak
beranggapan bahwa perilaku nakal merupakan cara untuk memperoleh dukungan
dari teman-teman sebaya.
f. Membagi, dari pengalaman bersama orang lain, anak mengetahui bahwa salah
satu cara memperoleh persetujuan sosial adalah dengan membagi miliknya,
terutama mainan unuk anak lain. Lambat laun sifat mementingkan diri sendiri
berubah menjadi sifat murah hati.
g. Perilaku akrab, anak yang pada bayi memperoleh kepuasan dari hubungan yang
hangat, erat, dan personal dengan orang lain berangsur-angsur memberikan kasih
sayang kepada orang di luar rumah, seperti guru taman kanak-kanak atau benda-
21
benda mati seperti mainan kesukaannya atau bahkan selimut. Benda-benda ini
disebut “objek kesayangan”.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pada masa usia dini (TK) kondisi
sosial emosi anak-anak masih sangat rentan dan membutuhkan stimulasi yang
berkesinambungan yang disesuaikan dengan tahap perkembangannya dan
didukung dengan lingkungan yang kondusif, agar potensi keterampilan sosial
yang sudah ada dapat dikembangkan dengan optimal. Seperti, memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan pengetahuan dan
pengalamannya melalui kegiatan yang bermanfaat baik di rumah ataupun di
sekolah.
3. Tahap Perkembangan Keterampilan Sosial
Bar-Tal, et al. (Martini dalam Lismayanti, 2008:18) mengemukakan enam
tahap perkembangan perilaku sosial. Ke enam tahap perkembangan perilaku
sosial tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tahap Compliance and Concrete Defined Reinforcement
Pada tahap ini seseorang akan melakukan perilaku menolong berdasarkan
permintaan dan perintah yang disertai oleh janji akan adanya reward kongkrit
atau ancaman nyata akan adanya punishment. Pada tahap ini perspektif sosial
anak akan bersifat egosentris, sehingga tidak menyadari bahwa orang lain dapat
memiliki pikiran dan perasaan yang berbeda dengan perilaku sosial yang
22
ditampilkan anak berdasarkan pada pemahaman terhadap reward atau punishment
secara kongkrit.
b. Tahap Compliance
Pada tahap ini individu akan melakukan perilaku menolong karena tunduk
dan taat pada otoritas atau orang yang dianggap memiliki kekuasaan. Individu
tidak memiliki inisiatif sendiri untuk melakukan pertolongan, melainkan
pertolongan dilakukan karena taat pada perintah dan permintaan orang yang
memiliki kekuasaan. Perilaku menolong dimotivasi oleh kebutuhan untuk
mendapatkan persetujuan dan menghindari punishment. Pada tahap ini individu
tidak lagi membutuhkan reinforcement kongkrit sebab dia menyadari adanya
kekuasaan ototritas, dalam hal ini, reinforcement diartikan sebagai persetujuan.
c. Tahap Internal Initiative and Concrete Reward
Pada tahap ini, individu secara spotan berinisiatif untuk menolong agar
memperoleh reward. Perilaku individu dimotivasi oleh keinginanya untuk
mendapatkan keuntungan atau reward untuk memuaskan dirinya. Perilaku
menolong dilakukan seseorang jika dia menganggap bahwa hal tersebut
merupakan sesuatu kesempatan untuk memperoleh reward kongkrit.
d. Tahap Normative Behavior
Pada tahap ini, individu melakukan perilaku menolong karena tunduk
pada norma atau untuk mematuhi tuntutan sosial, agar tidak melanggar norma
yang berlaku. Individu menyadari adanya berbagai perilaku yang memiliki
kesesuaian dengan norma yang dapat mendatangkan sangsi positif, dan
23
menghindari adanya pelanggaran norma yang mendatangkan sangsi negatif.
Perilaku menolong pada tahap ini, dilakukan individu agar dapat dikatakan
sebagai orang yang baik dimata orang lain.
e. Tahap Generalized Reciprocity
Pada tahap ini, perilaku menolong individu didasari oleh prinsip-prinsip
umum dan pertukaran. Individu memberikan pertolongan karena dia percaya pada
suatu saat jika membutuhkan pertolongan, maka dia akan mendapatkannya dari
orang lain. Hal ini merupakan persetujuan sosial yang resiprositas atas dasar
kontrak yang abstrak. Reward yang diharapkan oleh seseorang dalam melakukan
perilaku menolong adalah non kongkrit. Prinsip-prinsip pertukaran terhadap
norma resiprositas, yaitu: 1) seseorang akan menolong pada orang yang telah
menolongnya, dan 2) seseorang tidak akan merugikan orang yang telah
menolongnya. Norma ini sangat berfungsi untuk menstabilkan hubungan antara
manusia dalam masyarakat, melindungi seseorang dari kekuasaan yang akan
menodai statusnya, memotivasi dan mengtur hukum resiprositas sebagai pola
pertukaran, dan melindungi seseorang dari hubungan yang eksploitatif
f. Tahap Altruistik Behavior
Pada tahap ini inisiatif individu untuk memberikan pertolongan sukarela
dan hanya untuk menguntungkan orang lain, tanpa mengharapkan reward
eksternal. Perilaku menolong dilakukan karena kemauan sendiri yang didasari
oleh prinsip-prinsip moral, individu memperhatikan keselamatan, kebutuhan, dan
simpatik pada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Itu semua dilakukan
24
individu tanpa mengharapkan keuntungan timbal balik dari orang lain, kecuali
adanya rasa self-rewarded, yaitu adanya rasa kepuasan dan penghargaan pada diri
sendiri.
Dari uraian tentang tahapan perilaku sosial di atas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan keterampilan sosial setiap individu akan berkembang sesuai dengan
tahapannya secara optimal apabila didukung dengan treatment yang diperoleh dari
lingkungannya. Pola-pola interaksi yang diterima oleh individu pada masa usia dini
akan sangat penting karena akan berpengaruh bagi perkembangan kepribadian dan
perilaku seseorang di masa mendatang. Maka seyogianya keterampilan sosial perlu
dibina sejak dini karena akan menjadi pondasi bagi perilaku anak selanjutnya.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial
Sunarto dan Hartono (1995:130) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan sosial anak TK, diantarnya adalah:
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri individu
antara lain: kapasitas mental, emosi dan inteligensi serta kematangan harga diri.
1) Kapasitas Mental, Emosi dan Inteligensi
Anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa
secara baik. Oleh karena itu, kemampuan intelektual tinggi, kemampuan berbahasa
25
baik dan pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan keberhasilan
dalam perkembangan sosial anak.
2) Kematangan
Bersosialisasi membutuhkan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu
mempertimbangkan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain,
memerlukan kematangan intelektual dan emosional.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan yang berpengaruh
terhadap perilaku sosial anak antara lain; faktor keluarga, status sosial ekonomi, dan
guruan (Hafi, 2008).
1) Keluarga
a) Lingkungan rumah
Jika lingkungan rumah secara keseluruhan memupuk sikap sosial yang baik,
kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi sosial dan sebaliknya.
b) Hubungan antara ayah dan ibu, anak dan saudaranya mempunyai pengaruh yang
sangat kuat.
c) Posisi Anak dalam Keluarga
Anak yang lebih tua atau yang jarak umurnya dengan saudaranya terlalu jauh,
atau satu-satunya anak yang jenis kelaminnya lain dari saudara-saudaranya,
cenderung lebih banyak menyendiri ketika bersama anak-anak lain. Anak yang jenis
kelaminnya sama dengan saudara-saudaranya menemukan kesulitan dalam bergaul
26
dengan teman yang jenis kelaminnya berlainan tetapi mudah membina pergaulan
dengan anak yang jenis kelaminnya sama.
d) Ukuran Keluarga
Sebagai contoh, anak tunggal sering mendapatkan perhatian yang lebih dari
semestinya. Akibatnya mereka mengharapkan perlakuan yang sama dari orang luar
dan jengkel jika mereka tidak mendapatkannya.
e) Perilaku Sosial dan Sikap Anak Mencerminkan Perlakuan yang Diterima Di
rumah
Anak yang merasa ditolak oleh orang tua, atau saudara kandungnya mungkin
menganut sikap kesyahidan (attitude of martyrdom) di luar rumah dan membawa
sikap ini sampai dewasa. Anak semacam itu mungkin akan suka menyendiri dan
menjadi introvert. Sebaliknya penerimaan dan sikap orang tua yang penuh cinta
kasih mendorong anak bersikap ekstrovert.
2) Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga
dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang
telah ditanamkan oleh keluarganya.
3) Pendidikan
Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang demokratis
mungkin melakukan penyesuaian sosial yang paling baik. Mereka aktif secara sosial
dan mudah bergaul. Sebaliknya, mereka yang dimanjakan cenderung menjadi tidak
27
aktif dan menyendiri. Anak-anak yang dididik dengan cara otoriter cenderung
menjadi pendiam dan tidak suka melawan, dan keingintahuan serta kreativitas
mereka terhambat oleh tekanan orang tua.
5. Hambatan dalam Keterampilan Sosial Anak
Nasution (2010) mengungkapkan beberapa indikasi untuk melihat hambatan
dalam perkembangan keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak, yaitu:
a. Anak mudah merajuk dan merengek
b. Anak lebih banyak diam dan tidak mau ikut serta dalam kegiatan bersama
temannya.
c. Anak sering membuat orang lain atau temannya marah
d. Sukar bergaul dan tidak disukai oleh orang lain atau temannya
e. Bertengkar dan suka mengganggu temannya atau orang lain
f. Tidak mau menuruti kata yang disampaikan
g. Berusaha menarik perhatian orang lain
h. Banyak menyerah dan sering mengikuti orang lain atau temannya
i. Lebih suka bermain dengan orang yang lebih tua.
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada masa usia dini khususnya
anak usia 4-6 tahun adalah bagian dari anak usia dini dimana pada usia ini anak-
anak memiliki keinginan kuat untuk bersosialisasi dan dapat diterima oleh
lingkungan sosialnya. Karena anak belum bisa mengungkapkannya secara lisan
apa yang mereka sampaikan, maka mereka menunjukkannaya dengan caranya
28
sendiri melalui perilaku-perilaku yang dapat menarik perhatian orang lain.
Beberapa indikasi yang ditunjukkan dengan berbagai perilaku di atas merupakan
bagian dari cara anak untuk mengungkapkan atau mengekspresikan apa yang
sedang dirasakannya agar orang disekitarnya memahaminya.
B. Konsep BCCT (Beyond Centres and Circle Time)
1. Definisi dan Teori BCCT (Beyond Centres ang Circle Time)
a. Definisi BCCT (Beyond Centres ang Circle Time)
Metode BCCT (Beyond Centres and Circle Time) adalah suatu konsep
belajar yang difokuskan agar guru sebagai guru menghadirkan dunia nyata di dalam
kelas dan mendorong anak didik membuat hubungan antara pengetahuan,
pengalaman, dan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari (Hidayatullah:
2009). Sehingga otak anak dirangsang untuk terus berpikir secara aktif dalam
menggali pengalamannya sendiri bukan sekedar mencontoh dan menghapal saja.
Menurut Piaget (Hidayatullah, 2009), “anak-anak seharusnya mampu melakukan
percobaan dan penelitian sendiri, guru tentu saja dapat menuntun anak-anak dengan
menyediakan bahan-bahan yang tepat tetapi yang terpenting agar anak dapat
memahami sesuatu, ia harus membangun pengertian itu sendiri, ia harus
menemukan sendiri”.
Metode BCCT di Indonesia dipopulerkan dengan istilah SELING (Sentra &
Lingkaran) yaitu suatu metode atau pendekatan dalam penyelenggaraan TK yang
29
dikembangkan berdasarkan hasil kajian teoritik dan empirik dan metode ini
dirancang dalam bentuk sentra-sentra, sehingga kita sering menyebutnya dengan
metode sentra (Tim Petutor TK Jawa Timur, 2010).
Selanjutnya (Tim Petutor Jawa Timur, 2010) menyebutkan bahwa metode
BCCT adalah suatu metode pengajaran yang menempatkan anak pada posisi yang
proporsional, karena dunia anak adalah dunia bermain maka selayaknyalah konsep
guruan untuk anak usia dini dirancang dalam bentuk bermain, karena intinya
bermain adalah belajar, dan belajar adalah bermain.
Parkhust (Kartini, 2000), mengungkapkan bahwa metode BCCT adalah
kegiatan pengajaran yang disesuaikan dengan sifat dan keadaan individu yang
mempunyai tempat dan irama perkembangan yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Setiap anak akan maju dan berkembang sesuai dengan kapasitas
kemampuannya masing-masing. Walaupun demikian kegiatan pengajaran harus
memberikan kemungkinan kepada murid untuk berinteraksi, bersosialisasi dan
bekerja sama dengan murid lain dalam mengerjakan tugas tertentu secara mandiri.
Senada dengan pendapat yang diungkapkan Parkhust (Kartini, 2000) bahwa
kegiatan pembelajaran sentra tidak hanya mementingkan aspek individu, tapi juga
aspek sosial, untuk itu bentuk pengajaran ini merupakan keterpaduan antara bentuk
klasikal dan bentuk individual.
30
Dipaparkan secara sistematis lagi bahwa metode BCCT adalah pengelolaan
kelas yang terpusat pada satu kegiatan dan ditangani oleh satu orang guru secara
khusus (TKPN, 2009).
Pengertian dalam metode BCCT dalam penelitian ini adalah suatu metode
atau pendekatan dalam penyelenggaraan guruan anak usia dini yang dirancang
secara khusus sesuai dengan kemampuan individu agar terjalin hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan sehari-hari.
b. Filosofi dan Landasan BCCT
Menurut Parkhust (Kartini, 2000) landasan filosofi BCCT ini adalah
konstrukivisme, yakni filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak
sekedar menghapal, bahwa pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-
fakta yang terpisah namun mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
Maslow (Fardiana, 2008) memaparkan dalam teorinya tentang kebutuhan
manusia yang pada intinya membantu anak terpenuhi kebutuhan fisik, non fisik dan
membangun konsep diri positif. Dan diharapkan dapat diaplikasikan melalui guruan
yang holistic dengan layanan peningkatan gizi dan kesehatan, dan menciptakan
atmosfir lingkungan yang aman, nyaman, menghargai, memahami keunikan individu
dan membolehkan anak berkreasi.
Selanjutnya Erikson dengan teori psikososialnya (Fardiana, 2008) yang pada
intinya mennguraikan bahwa proses belajar itu dapat membangun konsep diri anak,
31
memotivasi anak untuk bereksperimen, eksplorasi dan membangun motivasi intrinsik.
Dan diaplikasikan dengan cara; mengembangkan hubungan positif setiap anak,
membangun jadwal konsisten, menginformasikan rencana dan hal-hal yang akan
dilakukan, menata lingkungan dan alat main yang memungkinkan anak mengunakan
dan menyimpan kembali alat main, menyediakan alat & bahan main yang mendukung
dan menantang kemampuan anak, membantu anak mengekspresikan perasaannya saat
main pembangunan, mendukung anak dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya, memotivasi anak untuk membangun kemampuan start dan finish,
menyediakan kesempatan untuk memilih mainan, menyediakan bahan yang
memungkinkan anak untuk mengembangkan daya kreativitasnya, membolehkan anak
secara bebas melakukan eksplorasi terhadap lingkungan, mengizinkan anak untuk
kotor selama bermain.
Vigotsky tentang perkembangan sosial (Fardiana, 2008) menyebutkan bahwa
perkembangan kognitif dipengaruhi oleh interaksi sosial dan budaya. Interaksi sosial
anak dengan orang dewasa yang lebih terampil serta teman sebaya adalah penting
dalam meningkatkan perkembangan kognitif, juga dapat ditingkatkan lewat pijakan
(Scaffolding) yang tepat. Dan diaplikasikan dengan; menciptakan lingkungan kelas
sebagai kumpulan masyarakat yang mendukung interaksi sosial, menjadi modeling,
motivator dan fasilitator bagi anak, membangun hubungan dengan semua anak dalam
kelompok atau dengan anak secara perseorangan, guru atau orang dewasa harus
memiliki kemampuan yang diperlukan untuk memberi pijakan tepat bagi anak,
32
observasi dan dokumentasi apa yang anak lakukan dan katakan merupakan cara yang
sangat penting dalam memahami perkembangan setiap anak sebagai dasar untuk
memberikan pijakan
Secara sistematisnya metode BCCT ini menekankan pada suasana belajar
sebagai berikut (Tim Petutor TK, 2010):
1) Belajar tidak sekedar menghapal. Anak harus mengkonstruksikan pengetahuan
di benak mereka
2) Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari
pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru
3) Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi
yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
4) Anak perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
5) Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit),
sedikit demi sedikit.
6) Penting bagi anak tahu untuk apa ia belajar, dan bagaimana ia menggunakan
pengetahuan dan keterampilan itu.
7) Tugas guru memfasilitasi agar informasi yang baru menjadi bermakna, memberi
kesempatan kepada anak untuk menemukan dan menerpakan ide mereka
sendiri, dan menyadarkan anak untuk menerapkan cara mereka sendiri.
33
8) Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara anak menggunakan
pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan daripada
hasilnya.
Pada kesimpulannya pembelajaran yang baik untuk anak usia dini harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan anak. Saat ini guruan masih
didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang
harus dihapal. Guru masih menjadi center (pengetahuan, informasi dll) dan metode
ceramah yang hanya mendengarkan penjelasan dari guru selalu menjadi pilihan
utama strategi belajar. Dan hal tersebut dapat menjadi suatu penghambat bagi anak
untuk aktif. Maka dari itu sebagai guru, harus mengembalikan ruang kelas menjadi
arena bermain, bernyanyi, bergerak bebas, dan menjadikan ruang kelas sebagai ajang
kreaktif bagi anak.
2. Karakteristik BCCT
Adapun karakteristik BCCT (Hidayatullah, 2009) adalah sebagai berikut:
a. Anak distimulus untuk menjadi anak yang aktif, kreatif, dan berani
b. Anak dibiasakan memecahkan masalah
c. Anak menentukan sesuatu yang berguna bagi dirinya
d. Anak mengeluarkan ide-ide yang dimilikinya
e. Anak menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dialami, serta
f. Anak dapat mengembangkan kemampuannya secara optimal
34
g. Guru bertanggungjawab dalam mengatur kegiatan di sentra masing-masing
h. Guru dapat lebih fokus dalam mengamati perkembangan anak di setiap sentra
i. Sarana yang mendukung pengembangan kemampuan
j. Proses pembelajaran lebih optimal
3. Prosedur Metode BCCT
Prosedur penerapan metode BCCT dalam meningkatkan keterampilan sosial anak
terdiri dari tiga tahapan yakni pertama, langkah-langkah pelaksanaan; kedua, proses
pembelajaran pembelajaran; dan yang ketiga, evaluasi pembelajaran. Penulis akan
memaparkan dengan terperinci ketiga prosedur sebagai berikut:
a. Langkah-langkah Pelaksanaan
1) Persiapan
a) Penyiapan guru dan pengelola melalui pelatihan dan pemagangan. Pelatihan
dapat memberikan pembekalan konsep sedangkan magang memberikan
pengalaman praktik.
b) Penyiapan tempat dan alat permainan edukatif (APE) sesuai dengan jenis sentra
yang akan di buka dan tingkatan usia anak.
c) Penyiapan administrasi kelompok dan pencatatan perkembangan anak.
d) Pengenalan metode pembelajaran kepada orang tua. Kegiatan ini penting agar
orang tua mengenal metode ini sehingga tidak protes ketika kegiatan anaknya
hanya bermain. Mintalah orang tua untuk mencoba bermain disetiap sentra
main yang disiapkan untuk anak agar merasakan sendiri nuansanya. Kegiatan
35
ini hendaknya dilakukan setiap awal tahun ajaran baru sebelum anak mulai
belajar.
2) Pelaksanaan
a) Bukalah sentra secara bertahap, sesuai dengan kesiapan guru dan sarana
pendukung lainnya.
b) Gilirlah setiap kelompok anak untuk bermain di sentra sesuai dengan jadwal.
Setiap kelompok dalam satu hari hanya bermain di satu sentra saja.
c) Berikan variasi dan kesempatan bermain yang cukup kepada setiap anak agar
tidak bosan dan tidak berebut.
d) Seiring dengan kesiapan guru dan sarana pendukung, tambahlah sentra baru
apabila belum lengkap.
e) Lengkapilah setiap sentra dengan berbagai jenis APE baik yang buatan pabrik
maupun yang dikembangkan sendiri dengan memanfaatkan bahan limbah dan
lingkungan alam sekitar.
b. Proses Pembelajaran
1) Penataan Lingkungan Main
a) Sebelum anak datang, guru menyiapkan bahan dan alat main yang akan
digunakan sesuai rencana dan jadwal kegiatan yang telah disusun untuk
kelompok anak yang dibinanya.
36
b) Guru menata alat dana bahan main yang akan digunakan sesuai dengan
kelompok yang dibimbingnya.
c) Penataan alat main harus mencerminkan rencana pembelajaran yang sudah
dibuat. Artinya tujuan yang ingin dicapai anak selama bermain dengan alat
main tersebut.
2) Penyambutan Anak
Sambil menyiapkan tempat dan alat main, agar ada seorang guru yang
bertugas menyambut kedatangan anak. Anak-anak langsung diarahkan untuk
bermain bebas dulu dengan teman-teman lainnya sambil menunggu kegiatan
dimulai. Sebaiknya para oarang tua sudah tidak bergabung dengan anak.
3) Bermain Pembukaan (Pengalaman Gerakan Kasar)
Guru menyiapkan seluruh anak dalam lingkaran lalu menyebutkan kegiatan
pembuka yang akan dilakukan. Kegiatan pembuka bisa berupa permainan
tradisional, gerak dan musik, atau sebagainya. Satu guru yang memimpin, guru
lain menjdi peserta bersama anak (mencontohkan). Kegiatan ini berlangsung
sekitar 15 menit.
37
4) Transisi 10 menit
a) Setelah selesai pemainan pembukaan, anak-anak diberi waktu untuk
pendinginan dengan cara bernyanyi dalam lingkaran, atau main tebak-
tebakaan. Tujuannya agar anak kembali tenang. Setelah anak tenang, anak
secara bergiliran dipersilahkan minum atau ke kamar kecil. Gunakan
kesempatan ini untuk mendidik (pembiasaan) kebersihan diri anak.
Kegiatannya bisa berupa cuci tangan, muka, kaki maupun BAK (buang air
kecil).
b) Sambil menunggu anak minum/ke kamar kecil masing-masing guru siap di
tempat bermain yang sudah siapkan untuk kelompoknya
5) Kegiatan Inti di Masing-masing Kelompok
a) Pijakan Pengalaman Sebelum Bermain (15 menit)
1) Guru dan anak duduk melingkar. Guru memberi salam dan menanyakan
kabar anak-anak.
2) Guru meminta anak-anak untuk mmeperhatikan siapa saja yang tidak hadir
hari ini (mengabsen)
3) Berdoa bersama, mintalah anak secara bergilir menjadi pemimpin doa.
4) Guru menyampaikan tema hari ini dan dikaitkan dengan kehidupan anak.
5) Guru membacakan buku yanng terkait dengan tema, setelah membaca, guru
menanyakan kembali isi cerita
6) Guru mengaitkan isi cerita dengan kegiatan main yang akan dilakukan anak.
38
7) Guru mengenalkan semua tempat dan alat main yang sudah disiapkan.
8) Dalam memberi pijakan, guru harus mengaitkan kemampuan apa yang
diharapakan muncul pada anak, sesuai dengan rencana belajar yang sudah
disusun
9) Guru menyampaikan bagaimana aturan main (digali dari anak), memilih
teman main, memilih mainan, cara menggunakkan alat, kapan memulai dan
mengakhiri main, serta merapikan kembali alat yang sudah dimainkan.
10) Guru mengatur teman main dengan memberi kesempatan kepada anak
untuk memilih teman mainnya. Apabila ada anak yang hanya memilih anak
tertentu sebagai teman mainnya, maka guru agar menawarkan untuk
menukar teman mainnya.
11) Setelah anak siap untuk main, guru mempersilahkan anak untuk mulai
bermain. Agar tidak berebut serta lebih tertib, dapat menggilir kesempatan
setiap anak untuk mulai bermain, misalnya berdasarkan warna baju, usia
anak, huruf depan nama anak, atau cara lain agar lebih teratur.
b) Pijakan Pengalaman Selama Anak Main (60 menit)
1) Guru berkeliling diantara anak-anak yang sedang bermain.
2) Memberi contoh cara main pada anak yang belum bisa menggunakkan alat.
3) Memberi dukungan berupa pernyataan positif tentang pekerjaan yang
dilakukan anak.
39
4) Memancing dengan pertanyaan terbuka untuk memperluas cara main anak.
Pertanyaan terbuka artinya pertanyaan yang tidak cukup dijawab ya atau
tidak, tetapi banyak kemungkinana jawaban dari anak.
5) Memberikan bantuan kepada anak yang membutuhkan
6) Mendorong anak untuk mencoba dengan cara lain, sehingga anak memiliki
pengalaman main yang kaya.
7) Mencatat yang dilakukan anak (jenis main, tahap perkembangan, tahapan
sosial).
8) Mengumpulkan hasil kerja anak. Jangan lupa mencatat nama dan tanggal di
lembar kerja anak.
9) Bila waktu tinggal 5 menit, guru memberitahukan kepada anak untuk
bersiap-siap menyelesaikan kegiatan.
c) Pijakan Pengalaman Setelah Main (30 menit)
1) Bila waktu main habis, guru memberitahukan saatnya membereskan alat dan
bahan yang sudah digunakan dengan melibatkan anak.
2) Bila anak belum terbiasa untuk membereskan, guru bisa membuat permainan
yang menarik agar anak ikut membereskan.
3) Saat membereskan, guru menyiapkan tempat yang berbeda untuk setiap jenis
alat, sehingga anak dapat mengelompokkan alat main sesuai dengan
tempatnya.
4) Bila anak sudap rapi, mereka diminta duduk melingkar bersama guru.
40
5) Setelah semua anak duduk dalam lingkaran, guru menanyakan pada setiap
anak kegiatan main yang tadi dilakukannya. Kegiatan menanyakan kembali
(recalling) melatih daya ingat anak dan melatih anak mengemukakan
gagasan dan pengalaman mainnya (memperluas perbendaharaan kata anak).
6) Makan Bekal Bersama
a) Usahakan setiap pertemuan ada kegiatan makan bersama. Jenis makanan berupa
kue atau makanan lainnya yang dibawa oleh masing-masing anak.
b) Sekali dalam 1 minggu diupayakan ada makanan yang disediakan untuk
perbaikan gizi.
c) Sebelum makan bersama, guru mengecek apakah ada anak yang tidak membawa
makanan. Jika ada tanyakan siapa yang mau memberi makan pada temannya
(konsep berbagi).
d) Guru memberitahukan jenis makanan yang baik dan kurang baik.
e) Jadikan waktu makan bekal bersama sebagai pembiasaan tata cara makan yang
baik (adab makan).
f) Libatkan anak untuk membereskan bekas makanan dan membuang bungkus
makanan ke tempat sampah.
7) Kegiatan Penutup (15 Menit)
a) Setelah semua anak berkumpul membentuk lingkaran, guru dapat mengajak
anak bernyanyi atau membaca puisi. Guru menyampaikan rencana kegiatan
41
minggu depan, menganjurkan anak untuk bermain yang sama di rumah masing-
masing.
b) Guru meminta anak yang sudah besar secara bergiliran untuk memimpin doa
penutup.
c) Untuk menghindari berebut saat pulang. Digunakan urutan berdasarkan warna
baju, usia, atau cara lain untuk keluar dan bersalaman terlebih dahulu.
c. Evaluasi
1) Evaluasi Program
Bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program TK. Evaluasi
program mengukur sejauh mana indikator keberhasilan penyelenggaraan TK yang
bersangkutan.
Evaluasi program mencakup penilaian terhadap:
a) Kinerja guru dan pengelola.
b) Program pembelajaran.
c) Administrasi kelompok
Evaluasi program dilakukan oleh petugas Dinas Guruan Kecamatan
(pengawas) bersama unsur terkait. Evaluasi Program dapat dilakukan setidaknya
setiap akhir tahun kegiatan belajar anak.
42
2) Evaluasi Kemajuan Perkembangan Anak
Pencatatan kegiatan belajar anak dilakukan setiap pertemuan dengan cara
mencatat perkembangan kemampuan anak dalam hal motorik kasar, motorik
halus, berbahasa, sosial dan aspek-aspek lainnya.
Pencatatan kegiatan main anak dilakukan oleh guru. Selain mencatat
kemajuan belajar anak, guru juga dapat menggunakan lembaran ceklis
perkembangan anak. Dilihat dari perkembangan dari hasil karya anak, karena itu
semua hasil karya anak dijadikan sebagai bahan evaluasi dan laporan
perkembangan belajar kepada orang tua masing-masing.
Tabel 2.1
Format Evaluasi Perkembangan Anak
Semester /Minggu : 2/minggu 1
Kelompok : TK A Sentra : Bermain peran Tema : Pakaian Hari/tanggal : Selasa, 8 Maret
2011
Jenis Bermain Nama Anak
Dzaki Angel Feryl Zahra Bhintang
Kognitif Mengurutkan proses pembuatan pakaian Membedakan perbedaan dua buah benda Menghitung dengan benda
Fisik Motorik Menjiplak pola yang telah dicontohkan. Menjahit sederhana (jahitan selusur) pola baju
43
Dapat melipat pakaian Bahasa
Menyebutkan warna baju
Seni Melipat pakaian
Masek Memakai pakaian Senang bermain dengan teman Berdoa sebleum dan sesudah kegiatan
d. Sentra-sentra BCCT
Idealnya, setiap sekolah memiliki ke-7 sentra. Tetapi, berapa pun yang bisa
sekolah selenggarakan, itu sudah lebih baik daripada menggunakan sistem klasikal
(direct teaching) atau belajar dengan cara menggurui. Dibawah ini contoh-contoh
sentra yang bisa di selenggarakan dalam pendekatan BCCT. Meskipun pada
pelaksanaanya diserahkan kepada kemampuan guru dan sekolah di setiap TK itu
sendiri.
1) Sentra Imajinasi/Bermain Peran
Tempat bermain sambil belajar, dimana anak dapat mengembangkan daya
imajinasi dan mengekspresikan perasaan saat ini, kemarin, dan yang akan datang.
Penekanan sentra ini terletak pada alur cerita sehingga anak terbiasa untuk berpikir
secara sistematis.
Tujuan :
a) Mengembangkan kemampuan imajinasi, akhlaq, sosialisasi dan berbahasa
b) Anak mengetahui cara menggunakan peralatan Rumah Tangga
44
c) Mengenal kegiatan dalam profesi tertentu
d) Mengenal peran dan fungsi anggota keluarga
Contoh Kegiatan :
a) Bermain drama pekerjaan/kegiatan rumah tangga
b) Bermain dramatisasi kehidupan keluarga
c) Bermain drama macam-macam profesi
d) Kegiatan ibadah dalam keluarga
2) Sentra Persiapan
Tempat bermain sambil belajar untuk mengembangkan pengalaman keaksaraan.
Di sentra ini anak difasilitasi dengan permainan yang dapat mendukung pengalaman
baca, tulis, hitung dengan cara yang menyenangkan dan anak dapat memilih kegiatan
yang diminati
Tujuan :
a) Menumbuhkan kecintaan anak terhadap ilmu dan Tuhan
b) Mengembangkan kognitif, motorik dan emosi
c) Menumbuhkan minat baca dan tulis
Contoh Kegiatan :
a) Permainan matematika / berhitung
b) Persiapan membaca dan menulis
c) Puzzle, menyusun pola, meniru pola
d) Menjahit, meronce, bermain papan pasak
45
e) Bermain kartu bilangan, angka, gambar, huruf, kata
f) Menjiplak, mengelompokkan, bermain jam
g) Menggambar, membaca cerita
h) Diskusi sains
3) Sentra Seni Kreasi
Tempat bermain sambil belajar yang menitik beratkan pada kemampuan anak
dalam berkreasi. Kegiatan di sentra ini dilaksanakan dalam bentuk proyek, dimana
anak diajak untuk menciptakan kreasi tertentu yang akan menghasilkan sebuah karya.
Tujuan :
a) Melatih rasa estetika (keindahan)
b) Melatih motorik halus
c) Anak dapat berpikir secara kreatif
Contoh Kegiatan :
a) Melukis / menggambar
b) Melipat, meronce, menganyam, menjahit
c) Merobek, menggunting, merekat
d) Menyanyi, main musik dan menari
4) Sentra rancang bangun
Tempat bermain sambil belajar untuk mempresentasikan ide ke dalam bentuk
nyata (bangunan). Di sentra ini anak dapat memainkan balok dengan perbandingan 1
46
anak ± 100 balok plus asesoris. Penekanan sentra ini pada start and finish, dimana
anak mengambil balok sesuai kebutuhan dan mengembalikan dengan mengklasifikasi
berdasarkan bentuk balok
Tujuan :
a) Mengembangkan daya pikir, daya cipta dan kreativitas
b) Mengenal konsep ruang, bentuk dan ukuran
c) Mengembangkan kemampuan matematika dan logika
d) Koordinasi mata dan tangan
e) Sosialisasi, kerjasama, disiplin dan tanggung jawab
Contoh Kegiatan :
a) Sosialisasi aturan sentra
b) Menyusun balok, lego, kardus bekas, gelas plastik bekas atau puzzle busa
c) Bermain sosiodrama dan microplay
5) Sentra Kebun
Tujuan :
a) Memperkenalkan cara menanam tanaman dan mempraktekkannya
b) Memperkenalkan dan mempraktekkan bagaimana cara memelihara tanaman
c) Memperkenalkan proses pertumbuhan tumbuhan secara langsung dan nyata
d) Membangkitkan rasa tanggung jawab anak
e) Membangkitkan rasa kagum anak terhadap ciptaan-Nya
47
Contoh Kegiatan :
a) Mengamati bibit tanaman
b) Menyemai bibit tanaman, merawat dan mengamati pertumbuhannya
c) Memperkenalkan bagian-bagian tanaman
d) Kunjungan ke perkebunan/sawah
e) Menyiram tumbuhan
6) Sentra Cooking
Tujuan :
a) Melatih motorik halus
b) Mengembangkan dasar-dasar kemampuan membaca dan menulis, matematika,
proses kimia dan fisika
c) Mengenal bentuk dan warna
Contoh Kegiatan :
a) Membedakan bahan makanan yang bagus dan yang tidak dengan cara melihat,
memegang dan mencium
b) Mencuci bahan, mengupas, menimbang, memeras, memecah, mematahkan,
memotong, mencicipi
c) Memasak
48
7) Sentra Ibadah
Tempat bermain sambil belajar untuk mengembangkan kecerdasan jamak
dimana kegiatan main lebih menitikberatkan pada kegiatan keagamaan. Di sentra ini
anak di fasilitasi dengan kegiatan bermain yang memfokuskan pada pembiasaan
beribadah dan mengenal huruf hijaiyyah dengan cara bermain sambil belajar.
Tujuan :
a) Membangkitkan rasa kecintaan anak terhadap Penciptanya
b) Memperkenalkan cara mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita
c) Memperkenalkan kewajiban-kewajiban sebagai umat beragama
d) Memperkenalkan budi pekerti kepada sesama makhluk Tuhan.
Contoh Kegiatan :
a) Memperkenalkan cara beribadah
b) Memperkenalkan dan membiasakan mengucapkan kalimat thoyyibah
c) Memperkenalkan doa-doa dan artinya serta tujuan kita berdoa
d) Lagu-lagu keagamaan
e) Berbagi cerita tentang kebaikan
f) Menonton VCD tentang keagamaan
C. HASIL PENELITIAN YANG RELEVAN
Beberapa hasil penelitian yang relevan dalam meningkatkan keterampilan
sosial anak melalui penerapan metode BCCT dengan pendekatan kontruktivisme
adalah sebagai berikut:
49
Hasil penelitian yang dilakukan Kartini (2009) pada sekolah Taman Kanak-
kanak di wilayah Bandung Tengah menyebutkan bahwa pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan konstruktivisme dapat menantang anak untuk
meningkatkan sosiobilitas dan kreativitas sehingga mendorong anak bermain sambil
belajar sesuai dengan prinsip pokok guruan di TK. Melalui pendekatan
konstruktivisme anak dapat bermain sambil mempelajari berbagai hal tentang bahasa,
intelektual, motorik, disiplin, emosi dan sosial. Selain itu juga dengan pendekatan
konstruktivisme mendorong munculnya inovasi dan kreativitas guru dalam
menciptakan dan mengembangkan iklim guruan yang kondusif di TK.
Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan Nuraliah (2008) menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dapat
meningkatkan pemahaman anak dilihat dari peningkatan hasil belajar matematika
sehingga dapat dilakukan guru dalam upaya meningkatkan motivasi belajar di
Sekolah Dasar. Pendekatan ini dapat meningkatkan motivasi anak di dalam kelas
dimana siswa dilibatkan langsung untuk berperan aktif. Anak mendapatkan
pengalaman belajar yang lebih bermakna dan menyenangkan tidak lagi
membosankan. Melalui pendekatan konstruktivisme perkembangan anak dalam
ranah kognitif, afektif, psikomotor mendapat pengaruh yang utuh. Dengan demikian
pendekatan konstruktivisme tepat digunakan karena sesuai dengan perkembangan
anak yang memerlukan pengalaman langsung dalam memahami setiap pembelajaran.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan Riswandi (2008) menunjukkan bahwa
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dapat memberikan
50
pengalaman belajar secara langsung dan beragam kepada anak Sekolah Dasar. Anak
secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran yang didukung dengan menggunakan
alat yang dapat mempermudah siswa untuk memahami materi pembelajaran.
Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme anak dipandang sebagai
pembelajar yang aktif, yang membangun pemahamannya sendiri. Pendekatan
konstruktivisme membantu anak dalam menemukan konsep sendiri dan mampu
memecahkan masalah secara ilmiah dan sistematis. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pendekatan ini efektif dan efisien untuk digunakan dalam proses
pembelajaran karena memiliki dampak baik terhadap peningkatan hasil belajar dan
aktivitas anak pada saat pembelajaran.
Irmansyah et al. (2006) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa secara
umum respon siswa terhadap pendekatan kontekstual (contextual teaching and
learning = CTL) yang diterapkan tergolong kategori baik. Demikian juga aspek minat
dan motivasi belajar siswa untuk masing-masing item tergolong sangat tinggi, dengan
skor rata-rata item 4,45 atau 89% dari skor maksimal 5. Secara umum siswa yang
diberi perlakuan model pembelajaran konstruktivis dengan pendekatan CTL memiliki
motivasi dan minat yang tinggi dalam belajar matematika. Dengan melihat aktivitas,
kesungguhan, dan keceriaan siswa dalam proses belajar mengajar serta berdasarkan
hasil wawancara dengan siswa maka dapat disimpulkan bahwa respon/pandangan
siswa terhadap model belajar konstruktivis sangat positif dan dapat memberikan
kemudahan dalam pembelajaran konsep-konsep matematika khususnya tentang
51
konsep pecahan. Dengan memperoleh kesempatan yang cukup untuk mengemukakan
gagasannya, siswa dapat bertukar pikiran sesama teman sejawatnya, menjadi lebih
kreatif, maka minat dan motivasi belajar lebih tinggi, sehingga proses belajar
dirasakan lebih bermakna bagi mereka. Indikasi ini menunjukkan bahwa model
belajar konstruktivis memiliki keunggulan komparatif terhadap model belajar
konvensional.
Adapun yang menjadi motivasi serta alasan penulis untuk melakukan
penelitian ini berharap agar pihak yang terkait dalam penyelenggaraan guruan
khususnya untuk anak usia dini bisa memberikan proses pengajaran yang lebih
bermakna sesuai dengan perkembangan anak khususnya dalam meningkatkan
keterampilan sosial anak melalui penerapan metode BCCT.
Meskipun telah cukup sumber dan hasil penelitian mengenai pembelajaran
dengan pendekatan konstruktivisme terhadap perkembangan anak, akan tetapi sumber
dan hasil penelitian pendekatan konstruktivisme dengan metode BCCT terhadap
peningkatan keterampilan sosial anak masih sangat sedikit. Latar belakang ini
memberikan motivasi bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang
meningkatakan keterampilan sosial anak taman kanak-kanak melalui penerapan
metode BCCT.