1
KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM TERHADAP
RUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN
(Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
OLEH :
CUT AYA SOFIAA14201050
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
2
RINGKASAN
CUT AYA SOFIA. KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEMTERHADAP RUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN. Kasus Usaha KecilMenengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, KabupatenBogor, Jawa Barat (Dibawah bimbingan WINATI WIGNA)
Pertumbuhan industri kecil pada umumnya berkembang pesat di wilayah
pedesaan. Dewayanti dan Chotim (2004) mengungkapkan berdasarkan data statistik
keberadaan usaha skala kecil terkonsentrasi terutama di wilayah pedesaan Jawa dan
Bali sebesar 69 persen. Perempuan merupakan kelompok yang memiliki kesempatan
kecil untuk dapat masuk sebagai tenaga kerja pada sektor formal, sehingga salah satu
alternatif kesempatan perempuan bekerja adalah di sektor informal yakni industri kecil
rumahtangga, salah satunya adalah industri putting out system. Industri putting out
system merupakan alternatif pekerjaan yang diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan perempuan dan keluarga. Namun kenyataannya tidak demikian, kondisi
kerja yang buruk berimplikasi pada kesejahteraan yang rendah. Oleh karena itu tujuan
dari penelitian in adalah untuk mengidentifikasi bagaimana kondisi kerja pekerja
putting out system, faktor yang mempengaruhinya dan dampak bekerja sebagai pekerja
POS terhadap kesejahteraan perempuan dan rumahtangganya, serta upaya
memperbaikinya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survai.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama empat bulan yakni bulan Juni
2007 hingga Oktober 2007. Data yang di kumpulkan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan alat bantu kuisioner
3
dan panduan pertanyaan. Data sekunder diambil dari data monografi Desa
Bojongrangkas, dan laporan-laporan penelitian. Teknik penentuan responden
dilakukan secara tidak proporsional karena tidak terdapat data pasti jumlah pekerja tas
di Desa Bojongrangkas. Responden yang dipilih adalah pekerja industri putting out
system laki-laki dan perempuan. Jumlah responden yang diambil sebanyak 40 orang.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kondisi kerja POS yakni faktor
internal dan eksternal. Faktor internal yakni kekerabatan dan faktor eksternal
(pendidikan, pengalaman dan keterampilan) mempengaruhi kondisi kerja (memperoleh
kesempatan kerja, upah kerja/pendapatan, jaminan kerja dan jaminan keluarga). Dan
dampak dari faktor yang mempengaruhi kondisi kerja perempuan adalah tingkat
kesejahteraan yang dilihat dari pola konsumsi, kesehatan keluarga dan pendidikan
anggota keluarga
Kesimpulan dari penelitian ini adalah kondisi kerja putting out system di Desa
Bojongrangkas baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan pada umumnya
memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik industri, dalam penerimaan kerja
lebih diutamakan dalam yang memiliki hubungan kekerabatan, hubungan kekerabatan
tidak mempengaruhi upah kerja, hubungan kekerabatan mempengaruhi jaminan kerja
(kesehatan dan keselamatan pekerja) dan keselamatan keluarga. Ada pengaruh tingkat
pendidikan dengan kesulitan memperoleh kerja, tidak ada pengaruh tingkat pendidikan
dengan pendapatan per bulan. Ada hubungan antara tingkat pendidikan jaminan
keluarga (kesehatan dan keselamatan kerja) dan keluarga. Kondisi kerja
mempengaruhi kesejahteraan pekerja baik pekerja laki-laki maupun pekerja
perempuan (dilihat melalui pola makan, kesehatan keluarga dan pendidikan anggota
4
keluarga). Semakin buruk kondisi kerja pekerja putting out system maka semakin tidak
sejahtera rumahtangganya.
Upaya meningkatkan kondisi putting out system dengan memperbaiki sistem
pengupahan, membatasi umur pekerja, memperpendek rantai tata niaga dan
meningkatkan pemberian jaminan kerja dan jaminan keluarga tanpa diskriminasi
gender. Diperlukan juga peningkatan etos kerja melalui pelatihan-pelatihan kerja dan
sosialisasi gender.
5
KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM TERHADAPRUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN
(Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, KecamatanCiampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Oleh :CUT AYA SOFIA
A14201050
Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh GelarSarjana Pertanian
PadaFakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
6
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKATFAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh :
Nama : Cut Aya Sofia
NRP : A 14201050
Judul : Kondisi dan Dampak Putting Out System Terhadap
Rumahtangga Pekerja Perempuan
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dra. Winati Wigna, MDs
NIP. 131 284 835
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Didy Sopandie, M.Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus : 20 Agustus 2008
7
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
”KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM PADA PEKERJA
PEREMPUAN (KASUS:USAHA KECIL MENENGAH INDUSTRI TAS, DESA
BOJONGRANGKAS, KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR, JAWA
BARAT)”. BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN
ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA
SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK
MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU
DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN
YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2008
Cut Aya Sofia A14201050
8
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Bogor tanggal 29 Desember 1982. Penulis merupakan
anak ketiga dari empat bersaudara pasangan H. Teuku Nazaruddin dan Cut Irawati.
Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Tunas Harapan
ARCO sawangan Bogor pada tahun 1987, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar
pada tahun 1989 Duren Seribu IV ARCO Sawangan Bogor, 1989 pindah dan
menyelesaikan sekolah dasarnya di Sekolah Dasar Negeri Bantarjati V Bogor pada
tahun 1995. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikanya di SLTPN 1 Bogor.
Selanjutnya penulis melanjutkan lagi sekolahnya di SMUN 3 Bogor dan lulus pada
tahun 2001.
Pada tahun 2001, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikannya menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor melalui jalur UMPTN (Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi, Fakultas
Pertanian.
Pada masa sekolah penulis aktif menjadi anggota karate BKC (Bandung Karate
Club) dan anggota Taekwondo Indonesia cabang SMUN 3 Bogor Diperguruan tinggi
penulis juga aktif sebagai anggota Taekwondo Indonesia cabang POLWIL Bogor,
tahun 2002 dan aktif sebagai anggota Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia
(MSDM) Himpunan Profesi MISETA (Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian).
Selain itu juga, penulis juga aktif dalam berbagai acara kepanitian yang
diselenggarakan oleh beberapa organisasi kemahasiswaan IPB.
9
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Kondisi dan Dampak Putting Out System Terhadap Rumahtangga Pekerja
Perempuan (Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas,
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”. Penulisan skripsi ini merupakan
suatu karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada
Departemen Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Melalui skripsi ini, penulis mencoba untuk mengetahui bagaimana
kesejahteraan pekerja perempuan dalam bidang industri tas putting out system.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan
penghargaan yang sebesar-sebesarnya kepada Ibu Winati Wigna selaku dosen
pembimbing skripsi, yang senantiasa memberikan masukan dan saran demi perbaikan
skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
Akhir kata, semoga tulisan skripsi ini dapat membuka cakrawala ilmu
pengetahuan, memperkaya jiwa para pembaca sehingga mendorong kita untuk selalu
belajar. Dan juga penulis berharap semoga dapat menggugah kepekaan kita tentang
fakta sosial menyangkut kehidupan masyarakat disekitar kita.
Bogor, 20 Agusutus 2008
Penulis
10
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan
berkah serta hidayah-Nya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi ini dapat
terselaikan dengan baik tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis
ingin menghaturkan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. Dra. Winati Wigna, MDS. selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
mengarahkan penulis, penelusuran literatur, penulisan skripsi dan selalu memotivasi
penulis demi terselesaikannya skripsi ini. Kepada Ibu Dra. Yusalina, MSi sebagai
dosen pembimbing akademik, ucapan terima kasih saya haturkan kepada Bpk. Ir.
Murdianto MSi dan Bpk Martua Sihaloho Sp, MSi. dan yang bersedia menjadi dosen
penguji utama dan dosen penguji komisi pendidikan.
2. Papa, Mama, Bang Adek terima kasih atas segala jerih payah, kesabaran dan
doa yang selalu dipanjatkan. Bang Ami, Ima, Sarah, Fadli, Kel. Bukit Cengkeh, Kel.
Nyakwa Mawar; Nyakwa Ni, Nyakwa Naimah yang selalu memberi dukungan, saran
dan kritik. Tufah, Santi S, Telly, Aje, yang tanpa letih selalu memotivasi.
3. Kepada Rio, Ringgi, Rhino, Meina, Syah, Fera, Ijal dan teman-teman Kpm 38
lainnya terima kasih selalu memberi semangat. Tidak lupa penulis juga ingin
menyampaikan terima kasih, kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan yang
telah membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
11
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI …………………………………………………….............…………… vii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... xvi
DAFTAR MATRIKS ………………………………………………….…… xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................... 7
1.4 Kegunaan penelitian .................................................................... 8
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Kesempatan Kerja Perempuan ................................................ 9
2.2 Industri Kecil ........................................................................ 12
2.3 Pengertian Putting out System ................................................ 16
2.4 Sistem Kekerabatan ................................................................ 19
2.5 Pembagian Kerja dalam Keluarga dan Kontribusi
Ekonomi Pekerja Terhadap Rumahtangga................................ 21
2.6 Gambaran Umum Putting Out System
Desa Bojongrangkas ………………………………………. 24
2.7 Kerangka Pemikiran ................................................................ 29
2.8 Hipotesa Pengarah .................................................................. 31
2.9 Definisi Operasional ............................................................... 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi ............................................................................. 37
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 37
3.3 Penentuan Sampel .................................................................. 38
12
3.4 Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 38
3.5 Teknik Analisis Data .............................................................. 39
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1 Letak Geografis dan Keadaan Lingkungan .......................... 41
4.2 Demografi Desa ...................................................................... 42
4.3 Matapencaharian Penduduk ................................................. 45
4.4 Struktur Organisasi dan Pemerintahan .................................. 46
4.5 Pendidikan ............................................................................ 48
4.6 Gambaran Sosial Masyarakat Desa ...................................... 49
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN
5.1 Usia Responden ................................................................. 51
5.2 Hubungan Kekerabatan Antara Pekerja
dengan Pemilik Usaha ......................................................... 51
5.2 Pendidikan ........................................................................... 52
5.3 Pengalaman Kerja ............................................................... 53
5.4 Keterampilan ....................................................................... 55
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Peluang Kerja (Mudah Tidaknya Diterima
dalam POS) ......................................................................... 58
6.2 Upah ..................................................................................... 59
6.3 Jaminan Kerja ...................................................................... 61
6.3.1 Jaminan Kesehatan ................................................... 61
6.3.2 Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja ................. 62
6.3.3 Jaminan Keluarga ................................................... 63
BAB VII FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI PEKERJA
PUTTING OUT SYSTEM
7.1 Pengaruh Kekerabatan Terhadap Kondisi Kerja ................. 65
7.1.1 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap
13
Tingkat Kesulitan Memperoleh Kerja ..................... 65
7.1.2 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap
Upah Kerja/Pendapatan ............................................. 67
7.1.3 Pengaruh Hubungan Kekerabatan
Terhadap Jaminan Kesehatan ................................... 69
7.1.4 Pengaruh Hubungan Kekerabatan
Terhadap Jaminan Keselamatan Kerja ...................... 71
7.1.5 Pengaruh Hubungan Kekerabatan
Terhadap Jaminan Keluarga ....................................... 73
7.2 Pengaruh Pendidikan Terhadap Kondisi Kerja ..................... 75
7.2.1 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan
Terhadap Kesulitan Memperoleh Kerja .................... 75
7.2.2 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan
Terhadap Pendapatan Perbulan ..................................77
7.2.3 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan
Terhadap Kesehatan Pekerja ..................................... 78
7.2.4 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan
Terhadap Jaminan dan Fasilitas Kerja .......................80
7.2.5 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan
Terhadap Jaminan Keluarga ...................................... 81
7.3 Pengaruh Pengalaman dan Keterampilan Terhadap
Kondisi Kerja ....................................................................... 83
BAB VIII KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA POS
DI HOME INDUSTRY TAS
8.1 Pola Konsumsi Keluarga Pekerja POS ................................ 85
8.2 Kesehatan Keluarga Pekerja POS ........................................ 87
8.3 Tingkat Pendidikan Keluarga Pekerja POS .......................... 88
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan....................................................................... 90
9.2 Saran ................................................................................ 91
14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 93
LAMPIRAN .......................................................................................................... 96
15
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
Tabel 1 Jumlah dan Persentase Luas Lahan Berdasarkan
Jenis Penggunaannya Desa Bojongrangkas,
2005................................................................... 42
Tabel 2 Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan
Usia Kelompok Pendidikan, Desa Bojongrangkas,
2005 ......................................................... 43
Tabel 3 Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan
Usia Kelompok Tenaga Kerja Desa,
Bojongrangkas2005 ....................... 43
Tabel 4 Mobilitas Penduduk Menurut Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas, 2005 .................................... 44
Tabel 5 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Mata
Pencaharian, Desa Bojongrangkas 2005 .......................... 46
Tabel 6 Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat
Pendidikan, Dea Bojongrangkas 2005 ...................... 48
Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Tingkat Kekerabatan dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas 2007 .................................... 51
Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin,
16
Desa Bojongrangkas 2007...................................... 53
Tabel 9 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Pengalaman Kerja sebelum di Industri Tas dan Jenis
Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007.............................. 55
Tabel 10 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Keterampilan Kerja dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas 2007.............................................. 55
Tabel 11 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Keterampilan Kerja Setelah di Industri Tas
Dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ............. 57
Tabel 12 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan,
Kesempatan Kerja (Mudah Tidaknya diterima
Sebagai POS) dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrakas 2007.............................................. 58
Tabel 13 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Upah dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrakas 2007 .............................................. 60
Tabel 14 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Jaminan Kesehatan Yang Diterima Pekerja dan
Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 .................... 61
Tabel 15 Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan
Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja serta
Jenis Jelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ...................... 62
Tabel 16 Jumlah dan Persentase Responde Berdasarkan
17
Jaminan Keluarga Yang Diterima Pekerja dan
Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ....................... 64
Tabel 17 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan
Kekerabatan, Tingkat Perolehan Mencari Kerja
dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ................. 66
Tabel 18 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan
Kekerabatan, Upah dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas ........................................................... 68
Tabel 19 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan
Kekerabatan, Jaminan Kesehatan dan Jenis Kelamin
Desa Bojongrangkas .......................................................... 70
Tabel 20 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan
Kekerabatan Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja,
Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas................................... 72
Tabel 21 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan
Kekerabatan, Jaminan Keluarga dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas 2007.................... .............................. 73
Tabel 22 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat
Pendidikan, Kesulitan Memperoleh Kerja dan
Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007......................... 76
Tabel 23 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat
Pendidikan, Pendapatan dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas 2007..................................................... 77
Tabel 24 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat
18
Pendidikan, Jaminan Kesehatan dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas 2007 ................................................... 79
Tabel 25 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat
Pendidikan, Jaminan Keselamatan & Fasilitas Kerja,
Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas2007 ............................ 80
Tabel 26 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat
Pendidikan, Jaminan Keluarga, Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas2007 ....................................................... 82
Tabel 27 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan
Frekuensi Makan Sehari dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas 2007 ..................................................... 85
Tabel 28 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Kualitas
Makan Yang Dimakan Perhari dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas 2007 ..................................................... 86
Tabel 29 Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Frekuensi
Berobat Keluarga Dalam Setahun dan Jenis Kelamin,
Desa Bojongrangkas 2007 ..................................................... 87
Tabel 30 Jumlah dan Persentase Berdasarkan Jenis Pengobatan
dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007 ..................... 88
Tabel 31 Jumlah dan Persentase Jumlah Keluarga Responden
Berdasarkan Keberhasilan Menyekolahkan Anggota
Keluarga dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrakas 2007 ........ 89
19
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
Gambar 1 Rantai Tata Niaga Industri Tas
Desa Bojongrangkas................................... 26
Gambar 2 Starata Pekerjaan dalam Home Industry tas
Desa Bojongrangkas .................................. 27
Gambar 3 Kerangka Pemikiran ................................... 30
Gambar 2 Susunan Organisasi Pemerintahan, Desa
Bojongrangkas 2005........................... ........ 47
20
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
Lampiran 1 Contoh Kuisioner ................................................. 97
Lampiran 2 UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 ......... 100
Lampiran 3 Gambar Dokumentasi Penduduk ....................... 101
21
DAFTAR MATRIKS
Nomor Teks Halaman
Matriks 1 Masalah Penelitian, Keperluan Data, Sumber
dan Alat Pengumpulan Data .................................. 40
22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah mempengaruhi berbagai
sektor kehidupan di Indonesia termasuk sektor industri. Industri-industri yang
mengalami kemunduran pasca krisis ekonomi pada umumnya adalah industri skala
besar, sedangkan industri skala kecil walaupun sempat mengalami penurunan namun
dapat bangkit kembali. Salah satu fakta pada tahun 1998 dari 2.217.000 yang ada,
sebesar 96 persen adalah unit industri kecil dan kerajinan rumah tangga (IKKR) yang
dapat menyerap 5.302.000 orang pekerja. Pada tahun 1999, dari 2.538.000 total unit
usaha industri yang ada, sebesar 98 persen adalah IKKR yang dapat menyerap
6.119.000 orang pekerja (Dewayanti dan Chotim 2004).
Pertumbuhan industri kecil pada umumnya berkembang pesat di wilayah
pedesaan. Dewayanti dan Chotim (2004) mengungkapkan berdasarkan data statistik
keberadaan usaha skala kecil terkonsentrasi terutama di wilayah pedesaan Jawa dan
Bali sebesar 69 persen. Ini terjadi akibat proses awal industrialiasasi negara-negara
berkembang yang cenderung mengadopsi model pembangunan dari barat dengan
perhatian utama pada industri-industri skala besar yang bersifat padat modal dan
berteknologi tinggi. Model pembangunan demikian yang kemudian telah mengubah
pola hidup masyarakat di perkotaan dan di pedesaan dengan munculnya spesialisasi
dalam produksi komoditas pertanian, juga terjadi ketergantungan yang besar pada
pasar yang lebih luas untuk pemenuhan kebutuhan barang dan jasa, ini mendorong
berkembangnya kegiatan ekonomi non-pertanian yang menghasilkan produk yang
hanya dapat dipasarkan dalam jangkauan terbatas.
23
Ketika industri-industri manufaktur berskala besar sudah tidak mampu
menciptakan lapangan kerja yang memadai bagi sebagian besar masyarakat,
bersamaan itu pula muncul alternatif kegiatan ekonomi pinggiran yang bersakala kecil.
Usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga memiliki potensi besar dalam
penyerapan tenaga kerja. Data Direktorat Jendral Industri Kecil Departemen
Perindustrian menunjukkan bahwa sampai tahun 1992 jumlah Industri kecil Indonesia
mencapat 1.936 unit dan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap sektor ini mencapai
6.346.000.000 orang. Artinya setiap unit usaha menyerap empat orang tenaga kerja
(Departemen Perindustrian 1992 dikutip oleh Chotim 1994).
Moore, dkk (1999) dalam Dewayanti dan Chotim (2004) mengungkapkan
bahwa perempuan merupakan kelompok yang memiliki kesempatan kecil untuk dapat
masuk sebagai tenaga kerja pada sektor formal, sehingga salah satu alternatif
kesempatan perempuan bekerja adalah di sektor informal. Jumlah pekerja permepuan
dengan pekerja laki-laki dalam industri kecil hampir sama, menurut data Dewayanti
dan Chotim (2004) mengutip data BPS tahun (1999) dari total pekerja industri kecil
dan kerajinan rumah tangga (IKKR) 4.340.175, persentase pekerja laki-laki 50,20
persen dan persentase pekerja perempuan 49,80. Sedangkan dari sekitar 577.942
jumlah total pekerja IKKR yang dibayar, persentase perempuan yang dibayar hanya
16,62 persen. Data di atas memperlihatkan bahwa perempuan memiliki peran yang
cukup besar dalam kegiatan industri usaha kecil, jumlah perempuan yang menerima
haknya (upah) relatif minim, bahkan ada sebagian besar perempuan tidak mendapatkan
hak dari hasil jerih payahnya (upah).
Dari fakta di atas juga dapat terlihat bahwa di tengah keterbatasan ekonomi,
status perempuan dalam ada di posisi terendah dalam masyarakat. Hal ini terkait
24
dengan proses pembangunan yang berkiblat kapitalis yang mengakibatkan munculnya
marjinalisasi terhadap perempuan, seperti yang dikemukakan oleh Boserup (1976)
bahwa proses pembangunan kapitalis di implementasikan oleh sebagian besar negara
secara progresif, sehingga cenderung berdampak munculnya marjinalisasi pekerjaan-
pekerjaan perempuan serta mengkonsentrasikannya ke dalam bentuk-bentuk pekerjaan
pelayanan yang tidak produktif. Perkembangan skala usaha, introduksi teknologi atau
desain membuka kesempatan baru bagi pekerja laki-laki. Introduksi teknologi
membawa pengaruh negatif pekerja perempuan dan menggeser mereka ke sektor-
sektor marjinal yang berimplikasi pada kondisi dan upah kerja yang rendah namun
berakibat tergesernya kerja perempuan dari sektor-sektor yang renumeratif
(menguntungkan) ke pekerjaan tidak menguntungkan (Chotim, 1994).
Keterlibatan perempuan dalam bentuk-bentuk produksi di luar sistem pabrik
termasuk di dalamnya industri rumah tangga makin pesat pertumbuhannya. Banyak
unit rumah tangga, bengkel-bengkel, dan sebagainya yang memproduksi bermacam-
macam barang untuk diperdagangkan. Dari unit-unit tersebut ada yang secara langsung
dan tidak langsung terkait dengan perusahaan besar maupun individu melalui berbagai
bentuk pekerjaan sub kontrak dan pekerjaan yang bersifat putting out, dan diketahui
bahwa perempuan memang hadir dengan jumlah besar dalam pekerjaan yang sifatnya
putting out (Chotim, 1994).
Putting out system adalah bagian dari industri kecil yang merupakan suatu
sistem kerja yang mempekerjakan para pekerja di rumah masing-masing, dengan
bahan baku yang dapat diambil dalam pabrik industri besar ataupun industri sub
kontrak. Dewayanti dan Chotim (2004) mengungkapkan bahwa putting out system
dianggap mewakili keinginan sebagian perempuan-perempuan di desa untuk dapat
25
bekerja produktif dan domestik. Sebagian besar perempuan-perempuan yang terjun
sebagai pekerja putting out system adalah untuk membantu perekonomian keluarga.
Ciri-ciri sistem kerja putting out system diantaranya dapat membawa pekerjaan ke
dalam atau sekitar rumah dan tidak memiliki batasan waktu bekerja, pendapatannya di
hitung berdasarkan jumlah per- satuan yang mereka hasilkan. Daya tarik dari sistem
kerja ini bagi perempuan diantaranya adalah fleksibilitas ruang dan waktu, kegiatan
perekrutan tenaga kerja yang mudah (umumnya kerabat terdekat), tidak membutuhkan
banyak persyaratan kerja.
Putting out system merupakan sistem kerja yang seharusnya dapat
mensejahterakan pekerjanya, namun karena kondisi internal industri tas yang tidak
menunjang maka putting out system saat ini justru memarjinalkan peran-peran
perempuan, tidak mensejahterakan perempuan dan mengeksploitasi tenaga mereka
secara berlebihan. Marjinalisasi dan ekploitasi yang terjadi dalam putting out system
seperti dengan adanya kelonggaran atau fleksibilitas ruang dan waktu menyebabkan
para pekerja harus bekerja tidak mengenal waktu, karena untuk memenuhi pesanan
mereka harus bekerja siang dan malam, seperti yang diungkapkan oleh Chotim (1994)
bahwa di tingkat pekerja rumahan (putting out worker) dalam mekanisme subkontrak
ditemukan gejala self exploitation melalui pengerahan tenaga kerja keluarga tanpa
upah atau dengan upah yang sangat rendah.
Selain itu putting out system membuat para ibu-ibu rumah tangga mengalami
dilema peran ganda, para pekerja perempuan harus ikut kerja produktif mengejar
target, tetapi di sisi lain mereka tetap bertanggung jawab menyelesaikan tugas
domestik. Dalam pengambilan keputusan di tingkat keluarga, perempuan tidak
memiliki peran utama dalam pengambilan keputusan, perempuan sebagai pekerja
26
tambahan nomor dua dalam kerja produktif, hal ini dikarenakan adanya steriotipe
bahwa bekerja adalah tanggung jawab laki-laki sebagai kepala rumahtangga dan
tanggung jawab utama perempuan adalah mengurus rumah tangga. Salah satu fakta
yang memperkuat steriotipe ini adalah UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
secara eksplisit yang menyebutkan bahwa, suami adalah kepala rumah tangga, istri
adalah pengurus rumah tangga. Adanya persepsi tersebut berimplikasi pada aktivitas
ekonomi di sektor publik mengakibatkan perempuan dianggap sebagai pekerja
tambahan maka di bayar lebih rendah. Akibat melekatnya steriotipe perempuan dan
secara ekonomi peran perempuan tidak diperhitungkan, maka telah memunculkan
salah satu bentuk ketidakadilan gender yakni marginalisasi ekonomi kaum perempuan
(Dewayanti dan Chotim, 2004).
Jika dibandingkan antara tingkat kesejahteraan pekerja industri skala besar
dengan pekerja industri skala kecil berdasarkan waktu kerja dan tenaga yang sama,
maka tingkat kesejahteraan para pekerja industri skala kecil masih jauh di bawah
industri berskala besar. Berbeda dengan pekerja sektor formal yang memiliki
perkumpulan serikat kerja untuk menyuarakan kepentingannya, putting out system
dikategorikan sebagai pekerja informal yang tidak memiliki bargaining position dan
tidak dihitung sebagai angkatan kerja, mereka merupakan golongan pekerja atau buruh
yang tidak terlihat (invisible), dengan kata lain tidak masuk dalam angka statistik dan
belum memperoleh perlindungan sosial (Safaria, 2003).
Secara garis besar putting out system merupakan sistem kerja yang memiliki
peran penting dalam perekonomian di desa dan sangat erat kaitannya dengan
kesejahteraan masyarakat terutama pekerja perempuan. Sebagai salah satu contoh
industri yang dapat menggambarkan keadaan para pekerja perempuan putting out
27
system adalah industri tas di Kabupaten Bogor, hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut
karena industri tas di Bogor merupakan salah satu produsen tas terbesar di Jawa Barat.
Selain itu industri tas banyak menyerap tenaga kerja di sektor informal terutama tenaga
kerja perempuan, namun kehidupan para pekerja perempuan tersebut tidak
menggembirakan, sehingga memunculkan pertanyaan besar mengapa mereka tetap
bertahan dalam sistem putting out tersebut.
Melihat kondisi di atas, maka permasalahan utama yang ingin diangkat adalah
bagaimana kondisi kesejahteraan para pekerja putting out system baik laki-laki
maupun perempuan di dalam home industry tas, faktor-faktor apa yang berpengaruh
pada kondisi kerja pekerja putting out pada home industry tas dan melihat apa dampak
putting out system terhadap kesejahteraan pekerja perempuan itu sendiri dan juga
kesejahteraan rumah tangganya.
28
1.2 Perumusan Masalah
Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas maka perlu dirumuskan masalah
secara lebih terperinci.
1. Bagaimana kondisi kerja laki-laki dan perempuan yang bekerja sebagai
pekerja putting out system pada home industry di Desa Bojongrangkas?
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kondisi kerja pekerja
putting out system pada home industry di Desa Bojongrangkas?
3. Dampak bekerja sebagai pekerja putting out system pada home industry
terhadap kesejahteraan pekerja perempuan dan keluarganya?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui tujuan penelitian di atas maka perlu dirumuskan tujuan
secara terperinci, yakni :
1. Mengetahui bagaimana kondisi kerja laki-laki dan perempuan yang bekerja
sebagai pekerja putting out system pada home industry di Desa
Bojongrangkas
2. Mengidentifiksi faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap kondisi
kerja pekerja putting out system pada home industry di Desa Bojongrangkas
4. Mengidentifikasi dampak bekerja sebagai pekerja putting out system pada
home industry terhadap kesejahteraan pekerja perempuan dan keluarganya?
29
1.4 Kegunaan Penelitian
Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
dampak putting out system terhadap pekerja perempuan dalam kegiatan usaha kecil
industri tas. Selain itu juga, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dan sumber informasi ilmiah tentang permasalahan ketenagakerjaan kepada pembaca
dan khususnya tenaga kerja perempuan usaha kecil, usaha industri kecil, pemerintah
dan instansi-instansi terkait.
30
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Kesempatan Kerja Perempuan
Hubungan perempuan dan laki-laki di Indonesia yang masih di dominasi oleh
budaya patriakhi berhubungan dengan bekerja dapat di lihat dari kesempatan bekerja,
dimana laki-laki cenderung lebih didahulukan daripada perempuan walaupun
kemampuan dan keterampilan kerja mereka sama, akibatnya perempuan tergeser dari
pasar tenaga kerja (Muniarti, 2004). Selain itu Chotim (1994) mengungkapkan bahwa
dimana perkembangan skala usaha, introduksi teknologi atau desain membuka
kesempatan baru bagi pekerja laki-laki dan menggeser pekerja perempuan dari sektor-
sektor yang menguntungkan ke pekerjaan yang tidak menguntungkan. Pekerjaan yang
paling menguntungkan kemudian berkembang menjadi pekerjaan laki-laki, ini artinya
introduksi teknologi sama sekali tidak hanya membawa pengaruh negatif terhadap
pekerja perempuan tapi juga menggeser mereka ke sektor-sektor marjinal yang
berimplikasi pada kondisi dan upah yang rendah.
Perlakukan terhadap laki-laki dan perempuan mengakibatkan keterbatasan
peluang kerja perempuan dan membuat perempuan terkonsentasi pada pekerjaan
berupah rendah (Ken Surtiyah dalam Abdullah, 1997). Salah satu program
pembangunan pemerintah yang menyebabkan kemiskinan perempuan adalah
swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution), program ini secara
ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dalam pekerjaannya. Saptari dan
Holzner (1997) mengungkapkan salah satu bentuk marjinalisasi adalah penyingkiran
dari kerja produktif. Hal ini dapat terjadi pada pekerja perempuan yang tersingkir dari
31
pekerjaan produktifnya sebagai akibat pengalihan pekerjaan dari pertanian ke non
pertanian. Seperti yang di ungkapkan oleh Pudjiwati Sajogyo (1983) perubahan
teknologi yang terjadi di Jawa meliputi penanaman bibit unggul padi, pemakaian
mesin huller padi, penggunaan traktor-traktor kecil telah menggantikan banyak tenaga
perempuan.
Bagi perempuan dalam rumah tangga miskin, bekerja bukan merupakan
tawaran, tetapi suatu strategi untuk menopang kebutuhan ekonomi terutama bagi
rumahtangga yang tidak memiliki akses tanah. Kensurtiyah dalam Abdullah (1997)
mengemukakan, bahwa perempuan-perempuan di pedesaan berbondong-bondong
mencari pekerjaan di kota karena beberapa sebab antara lain : (a) Di daerah pertanian
terjadi maskulinisasi (akibat revolusi hijau, teknologi mekanis, rekayasa sosial, dan
sebagainya); (b) Sempitnya lahan pertanian; dan (c) Meningkatnya pendidikan
perempuan sehingga enggan, malu, dan gengsi untuk mengerjakan lahan pertanian.
Berdasarkan di atas peluang kerja di luar pertanian merupakan alternatif
pekerjaan bagi perempuan, tetapi tenaga kerja perempuan kalah bersaing dengan
tenaga kerja laki-laki, karena kondisi pra kerja dan dalam kerja mereka rendah, dan
merekapun hanya mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang rendah.. Kondisi pra kerja
meliputi pengalaman, pendidikan, dan keterampilan yang rendah. Pengalaman yang
diperoleh biasanya mengarahkan mereka pada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
sehingga perempuan mencari pekerjaan yang identik dengan kerja rumahtangga.
Sedangkan kondisi di dalam kerja, meliputi : kurangnya kesempatan latihan karena
dana perusahaan pemberi kerja terbatas, sehingga prioritas ditujukan pada tenaga kerja
laki-laki yang kontinuitas kerjanya dianggap lebih stabil dibanding perempuan, yang
seringkali terputus-putus karena pengaruh fungsi reproduksinya.
32
Dampak negatif terhadap kesempatan kerja perempuan yang terbatas adalah
pasar tenaga kerja mengarahkan mereka pada pekerjaan yang marjinal dengan upah
yang rendah. Dewayanti dan Chotim (2004) yang mengutip pandangan Grown dan
Sebstadt (1989) bahwa pengelompokkan kerja perempuan terbagi ke dalam tiga jenis,
yakni: (1) Sistem produksi subsisten atau non-pasar, (2) Pekerjaan tanpa upah dalam
sistem produksi keluarga, (3) Sistem putting-out. Dalam pengertian lain, kerja
perempuan di dalam ekonomi perdesaan dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis,
yaitu antara lain pekerjaan rumahan (home worker), pekerja dalam usaha rumahan
(home-based worker), pekerja rumah tangga seperti pembantu rumah tangga, buruh
upahan, dan usaha mandiri (self-employed).
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menjaga
kelangsungan hidup, pekerjaan sebagai buruh/pekerja upahan dalam industri kecil
dianggap sebagai solusi yang sesuai oleh perempuan, mereka dapat tetap mendapatkan
penghasilan namun juga tidak melalaikan kewajiban mengurus rumah tangga.
Terutama bagi perempuan-perempuan yang tinggal di pedesaan yang pada umumnya
memiliki tanggung jawab dalam kegiatan domestik rumah tangga, dimana kegiatan
domestik rumahtangga dianggap pekerjaan utama yang tidak dapat ditinggalkan,
sedangkan pekerjaan lain diluar rumahtangga dianggap pekerjaan tambahan atau
sampingan (Dewayanti dan Chotim 2004).
2.2 Industri Kecil
Industri adalah suatu usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau
barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk
mendapatkan keuntungan. Usaha perakitan atau assembling dan juga reparasi adalah
33
bagian dari industri. Hasil industri tidak hanya berupa barang, tetapi juga bentuk jasa
(Schneider, 1993). Sedangkan industri kecil atau industri kerajinan rumahtangga
menurut Chotim (1994) didefinisikan sebagai industri yang mempekerjakan lima
hingga sembilan belas orang pekerja pada industri ini, pemilik usaha dapat terlibat atau
tidak dalam proses produksi. Menurut Ken Surtiyah dalam Abdullah (1997), unit usaha
industri kecil dan rumahtangga mencakup 99,5 persen dari keseluruhan unit industri
yang ada di Indonesia. Penyerapan tenaga kerja tercatat sebesar 86,6 persen dari
keseluruhan tenaga kerja yang terserap di sektor industri. Hal ini jelas menunjukan
betapa pentingnya keberadaan industri usaha kecil.
Menurut Dewayanti dan Chotim (2004) usaha mikro/ kecil digambarkan
sebagai usaha-usaha marjinal dan subsisten yang diantaranya ditandai dengan : jenis
transaksi jual beli dalam jumlah kecil, sebagian transaksi dilakukan oleh orang-orang
yang dikenal, kesepakatan yang di bangun bersifat langsung diantara dua orang atau
lebih yang di percaya dan dapat di pertanggungjawabkan, memiliki aturan sosial
sendiri, menggabungkan berbagai jenis pekerjaan yang sumber dayanya dimiliki dan
dikendalikan oleh sendiri untuk kebutuhan yang sifatnya subsisten. Adapun menurut
Rizal Fillailli1, Kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan usaha mikro beragam
dan tumpang tindih terutama pengertian antara usaha mikro dan usaha kecil,
diantaranya adalah berdasarkan Departemen Keuangan seperti yang tercantum dalam
keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 40/KMK.06/2003, pengertian
dari usaha mikro adalah pendapatan yang di titikberatkan pada besarnya
hasil/pendapatan usaha, usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara
Indonesia dan memiliki hasil penjualan maksimum Rp100.000.000 per tahun. Adapula
1 http://www.smeru.or.id/newslet/2004/ed10/200410data.htm Profile Usaha Mikro oleh Rizki Fillaili.
34
yang menjelaskan pengertian kredit usaha mikro adalah usaha produktif dengan total
aset maksimal Rp 25 juta di luar tanah dan bangunan, dengan plafon kredit bank yang
diterima maksimal Rp 50 juta. Kredit Usaha Kecil (KUK) adalah usaha produktif yang
mempunyai kekayaan bersih maksimal Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan
bangunan, nilai penjualan tahunannya maksimal Rp 1 milyar, serta menerima plafon
kredit bank antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta. Sedangkan kredit usaha menengah
adalah usaha produktif dengan kekayaan bersih antara Rp 200 juta sampai dengan Rp
10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan, serta menerima plafon kredit bank
antara Rp 500 juta hingga Rp 5 milyar (Wijoyo dalam Kompas, 20 Maret 2003).
Industri rumah tangga adalah salah satu alternatif yang bisa menjawab
persoalan perempuan yang harus bekerja tanpa meninggalkan kerja rumahtangga
sehari-hari. Menurut Ken Surtiyah dalam Abdullah (1997) industri rumahtangga
merupakan kegiatan ekonomi yang berada di sekitar rumah (home base production)
dan dapat dikerjakan di rumah, hal tersebut dianggap menguntungkan perempuan
karena (1) Tidak memerlukan skill yang tinggi, (2) Bisa dikerjakan di rumah tanpa
harus meninggalkan tugasnya sehari-hari (3) Bisa menghasilkan uang dalam waktu
singkat (harian, mingguan) (4) Tidak membutuhkan teknologi yang tinggi (5) Modal
yang diperlukan tidak besar. Sedangkan penyebab industri kecil tetap bertahan dalam
masyarakat adalah (1) Sebagian populasi industri tersebut berada di pedesaan yang jika
di kaitkan dengan semakin meningkatnya industri rumahtangga memberikan jalan
keluar bagi rumahtangga petani. (2) Beberapa industri tersebut menggunakan bahan
baku yang berada di lingkungannya sehingga biaya bisa murah (3) Upah tenaga kerja
setempat murah (4) Harga produksi relatif murah sesuai dengan kemampuan
35
masyarakat setempat dan (5) Tetap ada permintaan terhadap beberapa jenis komoditi
yang tidak diproduksi secara maksimal, hal ini merupakan aspek pendukung yang kuat.
Terdapat dua jenis industri rumahan yang muncul akibat proses industrialisasi,
yakni : (1) Usaha dengan skala mikro ini memiliki peranan penting bagi perempuan
karena dapat memberikan peluang bagi perempuan untuk dapat menjalankan kegiatan
produktif dan juga dapat menjangkau tugas-tugas domestik, (2) Unit-unit usaha rumah
tangga pada dasarnya merupakan perpanjangan dari industri atau yang dikenal sebagai
sistem subkontrak. Jenis-jenis usaha rumah tangga tersebut secara langsung terlepas
dari proses industrialisasi. Unit-unit usaha ini cederung memanfaatkan sumberdaya
alam yang masih dapat di jangkaunya dan memuat perempuan-perempuan yang
terlempar dari arus proses industrialisasi. Jenis yang kedua yang berpotensi dan cukup
berkembang menjadi sektor-sektor ekonomi di pedesaan Indonesia. (Dewayanti dan
Chotim, 2004).
Industri kecil ini pun dikategorikan ke dalam sektor industri informal, Safaria
(2004) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan sektor informal adalah kegiatan
ekonomi yang tidak memiliki standarisasi regulasi dari pemerintah yang terdiri dari
aspek perizinan, registrasi, standar kualitas, ketenagakerjaan dan pajak. Semua hal
yang berhubungan dengan aspek-aspek tersebut hanya diikuti oleh unit-unit usaha
dengan skala kecil, yakni usaha-usaha yang tidak menghasilkan akumulasi modal yang
besar. Indikator sektor informal menurut Safaria (2004) mengutip Sukesi (2002) yang
terbagi menjadi sebelas bagian, yakni (1) Organisasi, kegiatan usaha tidak
terorganisasi, (2) Izin, pada umumnya tidak ada izin usaha, (3) Pola aktivitas, yakni
pola kegiatannya tidak teratur, (4) Kebijakan, serta bantuan dari pemerintah tidak ada,
(5) Unit usaha, pekerja dapat keluar masuk dengan mudah, (6) Teknologi, dimana
36
penggunaan teknologi masih sederhana, (7) Modal dan skala usaha tegolong kecil, (8)
Pendidikan, tidak memerlukan pendidikan formal, (9) Pengelolaan, biasanya
pengelolaan dilakukan sendiri, dan buruh berasal dari keluarga, (10) Produk,
dikonsumsi oleh golongan menengah ke bawah, (11) Modal, biasanya modal adalah
aset sendiri atau mengambil kredit tidak resmi.
Industri kecil dalam sektor informal ini dapat dijadikan salah satu solusi untuk
mengatasi permasalahan ketenagakerjaan, karena industri kecil lebih banyak
membutuhkan keterampilan tenaga kerja manusia dibanding dengan mesin-mesin
produksi, dengan penyerapan tenaga kerja, maka diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan pekerja lalu berdampak pada kesejahteraan penduduk secara luas,
terutama tenaga kerja perempuan. Namun permasalahan yang muncul bukan pada
permasalahan kesempatan kerja dan ketenagakerjaan melainkan dalam kegiatan
internal industri itu sendiri yakni munculnya marjinalisasi dan eksploitasi, terutama
pada perempuan pekerja yang tidak memiliki usaha atau hubungan kekerabatan,
biasanya mereka hanya akan di jadikan pekerja upahan dan dibayar dengan upah yang
rendah. (Dewayanti dan Chotim, 2004)
2.3 Pengertian Putting Out System
Industri kecil cukup di minati oleh sebagian perempuan, terutama di daerah-
daerah pedesaan yang cukup kental dengan tradisi. Dalam masyarakat pedesaan
perempuan-perempuan yang sudah menikah atau belum menikah pada umumnya
memiliki tanggung jawab dalam kegiatan domestik rumah tangga. Kegiatan domestik
rumahtangga dianggap pekerjaan utama yang tidak dapat ditinggalkan, sedangkan
pekerjaan lain diluar rumah tangga dianggap pekerjaan tambahan atau sampingan
37
(Dewayanti dan Chotim, 2004). Putting out system ini dianggap mewakili keinginan
sebagian perempuan-perempuan di desa untuk dapat bekerja produktif namun tidak
melalaikan tugas domestik. Sebagian besar perempuan-perempuan yang terjun sebagai
buruh/pekerja rumahan dalam industri kecil atau pekerja putting out system adalah
untuk membantu perekonomian keluarga. Putting out system ini dianggap solusi yang
sesuai bagi mereka karena memiliki kelonggaran/ fleksibilitas ruang dan waktu, yakni
mereka dapat membawa pekerjaan kedalam rumah dan tidak memiliki batasan waktu
bekerja, pendapatan dihitung berdasarkan jumlah per-satuan yang mereka hasilkan.
Putting out system menurut Wigna (1990), secara spesifik dapat di definisikan
sebagai hubungan antara mereka yang bekerja dan mereka yang mensupplynya, dimana
pekerja membawa bahan-bahan pekerjaannya yang telah disuplai oleh sub kontrak dan
mengerjakannya di sekitar rumah. Menurut Chotim (1994), pengertian lain dari putting
out worker adalah pekerja rumahan (home worker), definisinya adalah pekerja yang
mengerjakan proses-proses produksi yang memperoleh upah atas pekerjaan yang
dilakukan. Pekerja rumahan atau pekerja makloon atau putting out memiliki ciri
umumnya adalah ibu-ibu rumah tangga atau anak-anak perempuan. Kelompok pekerja
ini pada umumnya hanya mengerahkan sebagian dari tahapan-tahapan produksi.
Sebagian waktu senggangnya setelah menyelesaikan urusan rumah tangga untuk
memperoleh penghasilan tambahan atau sambilan. Penghasilan tersebut biasanya
dipergunakan untuk menambah pemenuhan keluarga atau kebutuhan rumah tangga.
Sedangkan yang diperoleh anak-anak sebagian untuk tambahan uang jajan atau
membantu keluarga. Para pekerja putting out sistem ini, biasanya melakukan
pekerjaannya di sekitar rumah, dan meminta bantuan keluarga atau tetangganya,
hubungan ini mengakibatkan adanya hubungan ekonomi yang bersifat kekeluargaan.
38
Sejarah awal berdirinya putting out system telah banyak memberikan manfaat
dan memenuhi kesempatan kerja serta kesejahteraan bagi pekerjanya, namun setelah
bertahun-tahun berlalu sistem tersebut justru membuat kondisi kerja yang buruk
terutama bagi pekerja perempuan dengan adanya upah yang rendah, waktu kerjanya
panjang, kondisi kerja yang tidak menentu dan juga tidak adanya jaminanan
keberlangsungan kerja. Terutama bagi tenaga kerja perempuan yang akhir-akhir ini
mulai terkonsentrasi dalam pekerjaan tersebut, seperti dikutip dari Wigna (1990) :
”The system creates a very bad work conditions for women worker such as a lowpaid with very long working hour, no security, and unstable work conditionbecause there is no assurance that job will continue .
Munculnya putting out system tidak luput dari interfensi kebijakan pemerintah,
kita bisa melihat bahwa putting out system telah mengambil bagian dari berbagai
macam sistem politik, dan tergantung keadaan ekonomi yang sedang berkembang saat
itu pakah kegiatan ekonomi banyak mengambil keterampilan tradisional atau
menggunakan teknologi komputer yang modern dan sophisticated. Dalam proses
industrialisasi menurut Wigna (1990), indonesia sama seperti negara berkembang
lainnya untuk mencapai kebutuhan substansial pertumbuhan ekonomi di mulai dengan
membuka kebijakan ekonomi dan mengubah beberapa regulasi seperti dengan
mengundang investor asing. Program industrialiasasi di Indonesia memang telah
sukses dalam menghasilkan produksi, namun demikian intensifikasi investasi skala
dunia telah memberikan dampak negatif terhadap perempuan jika dibandingkan
dengan laki-laki. Selain terbatasnya pendapatan langsung para perempuan yang
bekerja multinasioal juga memberikan dampak tidak langsung kepada perempuan
dalam lingkup ekonomi, yakni perempuan tersebut menjadi generasi pekerja dalam
industri sub-kontrak perusahaan multinasional manufaktur untuk eksport. perempuan
39
di pekerjakan dalam rumah mereka dan dibayar berdasarkan perhasil satuan kerja,
namun hal tersebut malah menjerumuskan mereka pada pekerjaan beban ganda.
Putting out system tidak di lihat sebagai kerja atau bahkan suatu pekerjaan,
baik bagi perempuan maupun laki-laki, salah satu alasannya adalah tidak diakuinya
bahwa putting out system adalah suatu pekerjaan karena pekerjaannya dapat dibawa
dan dilakukan dalam rumah dan dianggap aktivitas kerja rumahan, dimana pekerjaan
tersebut dapat dibawa kerumah dan di kerjakan didalam rumah, seperti yang di kutip
dalam Wigna (1990):
.....putting out work as a job work is because of the nature of putting out workwhich can be carried out at home with in the domestic chores”.
2.4 Sistem Kekerabatan
Menurut ilmu sosiologi dan antropologi, kekerabatan ialah kesatuan sosial yang
orang-orangnya mempunyai hubungan keturunan atau hubungan darah. Secara singkat
dapat juga dikatakan bahwa kekerabatan merupakan seperangkat hubungan yang
didasarkan atas perkawinan dan keturunan. Tiap individu yang hidup dalam suatu
masyarakat, secara biologis dapat menyebut kerabat semua orang sesamanya yang
mempunyai hubungan “darah” (gens) melalui ibu atau ayahnya (Koentjaranigrat,
1992).
Keluarga inti merupakan kesatuan manusia yang disebut kinroup, atau
kelompok kekerabatan. Selain keluarga inti masih banyak bentuk kelompok kerabat
lain. Menurut Jurnal Antropologi (2008) mengutip G.P Murdock (1949) terdapat tiga
kategori kekerabatan yang menyangkut fungsi-fungsi sosial dari kelompok-kelompok
kekerabatan itu, ialah:
40
1. Kelompok kekerabatan berkorporasi (corporate kingroups), yang berarti
kelompok kekerabatan yang mempunyai hak bersama terhadap sejumlah
harta. Yang termasuk dalam kategori ini adalah keluarga inti.
2. Kelompok kekerabatan kadangkala (occasional kinroup). Sifatnya biasanya
besar dengan banyak anggota, sehingga pergaulan secara terus menerus dan
intensif tidak mungkin lagi. Kelompok ini hanya bergaul secara kadang-
kala.
3. Kelompok kekerabatan menurut adat (cirrcumscriptive kinroup) kelompok
ini sedemikian besarnya sehingga para warganya tidak lagi kenal mengenal,
para anggota sering hanya bisa tahu-menahu menurut tanda-tanda yang
ditentukan oleh adat.
Jurnal Antropologi (2008) mengutip dari G.P Murdock (1949) menyatakan
batas kaum kerabat sosiologis berikatan dengan tiga sudut pandang, yaitu
1. Batas kesadaran kekerabatan (kinship awarness)
2. Batas dari pergaulan kekerabatan (kinship affiliation)
3. Batas dari hubungan-hubungan kekerabatan (kinship relation)
Teori di atas mempunyai akibat yang sifatnya selektif, karena prinsip itu yang
menentukan siapakah diantara kaum kerabat biologis yang tak terbatas jumlahnya akan
jatuh di dalam batas hubungan kekerabatan, dan akan diketahui siapakah yang jatuh
diluar batas kekerabatan. Adanya hubungan kekerabatan atau hubungan darah maka
faktor kekerabatan penting artinya di dalam proses sosialisasi. Sosialisasi adalah
sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu
generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah
sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory), karena
41
dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu
(Wikipedia, 2008).
Menurut Goode (2002) individu memiliki ketergantungan pada proses belajar
dan tidak dapat berkembang secara wajar tanpa adanya kontak sosial. Keluarga
merupakan wadah sosial yang menangani sebagian persoalan mentransformasi
organisme biologis menjadi manusia. Hubungan biologis dengan masyarakat dan
budaya dapat dilihat pada ketergantungan khas sifat biologis pada hubungan peran
yang ditekankan oleh kebudayaan. Definisi kepribadian menurut Soekanto (1990)
mengutip pada Roucek dan Warren (1962) adalah organisasi biologis, psikologis dan
sosiologis yang mendasari perilaku individu mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap dan
lain-lain sifat yang khas dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tersebut
berhubungan dengan orang lain. Ada empat faktor penting yang menentukan
kepribadian seseorang yakni:
1. Individu dan perilakunya
2. Kepribadian
3. Masyarakat / lingkungan sosial
4. Lingkungan budaya
Faktor masyarakat dan lingkungan budaya memiliki peranan yang penting dalam
menentukan kepribadian seseorang dan mempengaruhi proses sosialisasinya. Dengan
demikian tidak menutup kemungkinan masyarakat dan budaya sangat mempengaruhi
perilaku seseorang dalam memilih bidang pekerjaan yang di geluti sehari-hari. Karena
setiap individu merupakan bagian dari hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi sehingga kehidupan seseorang tidak dapat lepas dari masyarakat dan
lingkungan budayanya.
42
2.5 Pembagian Kerja Dalam Keluarga dan Kontribusi Ekonomi PekerjaTerhadap Rumah Tangga
Pengamatan mengenai persoalan relasi ditingkat unit usaha keluarga salah
satunya dikaitkan dengan pembagian kerja usaha dan kerja domestik. Munculnya
pembagian kerja bukanlah merupakan hal yang hanya terjadi karena konstruksi
budaya, tetapi terkait dengan proses kapitalisasi di pedesaan. Dalam penelitian Ann
Stoller dikutip oleh Moore (1998) dalam Dewayanti dan Chotim (2004) ditemukan
bahwa perempuan di Pulau Jawa mengendalikan keuangan rumahtangga dan
memainkan peran yang dominan dalam proses pengambilan keputusan dalam
rumahtangga. Penelitian Stoller memperlihatkan bahwa penetrasi ekonomi pedesaan
tidak mengakibatkan dikotomi yang meningkat dalam pembagian kerja berdasarkan
jenis kelamin. Peran penting perempuan sebelum dan sesudah penjajahan dalam usaha
pertanian subsisten dan pekerjaan berupah tidak memperburuk perbedaan antara
perempuan dan laki-laki dalam rumahtangga, tetapi meningkatkan perbedaan antar
rumahtangga. Dalam hal ini, perbedaan tersebut tidak hanya muncul secara ekonomi ,
tetapi juga perbedaan sosial dan kekuasaan.
Pembagian kerja yang berlangsung selama ini masih menempatkan laki-laki
sebagai pencari nafkah dan mengalokasikan waktunya untuk bekerja di ranah
produktif. Sedangkan perempuan, selain bekerja di ranah produktif tetapi juga
memiliki beban untuk mengerjakan tugas domestik atau reproduktif, ditambah lagi
dengan kegiatan sosial di komunitas. Menurut Dewayanti dan Chotim (2004)
berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai kombinasi pembagian kerja dan
alokasi waktu harian produsen gula di Jawa Tengah mencerminkan beban kerja
perempuan di ranah domestik tidak terbagi cukup adil di antara anggota keluarga
lainnya sehingga seolah-olah tanggung jawab tugas domestik diletakkan hanya di
43
punggung perempuan. Kegiatan produktif yang dilakukan oleh perempuan maupun
laki-laki dapat digantikan oleh oranglain yang diupah, tetapi tugas domestik yang
menjadi tugas perempuan tidak dapat sepenuhnya dialihkan pada pihak lain.
Pembagian kerja erat kaitannya dengan strategi bertahan hidup dan pola
pemenuhan kebutuhan usaha dan keluarga. Dalam usaha industri informal kedua jenis
ini tidak dapat dipisahkan secara jelas karena pendapatan harian masuk “kas” keluarga
tidak hanya digunakan untuk keperluan modal kerja tetapi juga sebagai modal
kelangsungan hidup keluarga.
Pilihan-pilihan kerja dan usaha yang diambil perempuan tidak terlepas dari
pola-pola pemenuhan kebutuhan keluarga yang tidak saja muncul akibat konstruksi
budaya dalam sistem masyarakat tertentu tetapi juga akibat penetrasi ekonomi sistem
kapitalis ke dalam ekonomi pedesaan yang menempatkan desa sebagai wilayah periferi
ekonomi yang miskin. Secara ekonomi, pembagian kerja dapat dijelaskan melalui
fenomena kemiskinan yaitu keluarga-keluarga miskin sedapat mungkin mengerahkan
sumberdaya yang dimilikinya atau dapat diaksesnya untuk menjaga kelangsungan
hidup (Dewayanti dan Chotim, 2004). Perempuan di beri tanggungjawab dalam
mengelola keuangan rumahtangga termasuk kebutuhan sehari-hari. Dalam hal ini,
seolah-olah perempuan memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan yang terkait
dengan sumerdaya produktif yang penting bagi kelangsungan kehidupan, tetapi hal ini
dapat juga dimaknai sebagai kerja dan tanggung jawab lebih bagi perempuan yang
bersangkutan. Perempuan sedapat mungkin menggunakan sumber daya yang
dimilikinya untuk mengembangkan berbagai jenis tabungan, dan pada saat krisis
sumber daya yang dimiliki oleh perempuanlah yang pertama kali dikorbankan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga tersebut.
44
Pekerja perempuan yang terlibat dalam industri rumahtangga pada umumnya
berasal dari rumahtangga miskin. Bekerja menjadi suatu strategi menghadapi tekanan
ekonomi dan sekaligus mewujudkan rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan
ekonomi keluarganya.
Menurut Ken Surtiyah dalam Abdullah (1997) yang dikutip dari ideology of
women secondary work , berasumsi bahwa wanita yang bekerja hanya sekedar
memperoleh tambahan uang saku untuk dinikmati sendiri tidaklah benar. Beberapa
hasil penelitian justru menunjukkan bahwa penghasilan yang diperoleh perempuan
dalam bentuk tunai, sangatlah penting karena dapat dipergunakan untuk mencukupi
kebutuhan dapur sehari-hari. Ini berarti penghasilan perempuan adalah sangat berarti
dalam kesejahteraan rumahtangga, karena memberi kontribusi dalam kebutuhan
konsumsi sehari-hari yang tidak bisa ditunda. Kebutuhan yang dapat ditunda adalah
kebutuhan musiman, misalnya biaya SPP anak sekolah, pakaian, perabotan
rumahtangga, dan perbaikan rumah.
Dari beberapa penelitian Pusat Penelitian Kependudukan UGM (1991-1994)
yang dikutip oleh Dewayanti dan Chotim (2004) ditunjukkan bahwa sumbangan
perempuan pekerja yang menggeluti industri rumahtangga, antara lain di Sulawesi
Selatan sekitar 17 persen, Irian Jaya 47 persen, Sumatera Selatan 40 persen, D.I.
Jogjakarta 44, 7 persen, Jawa Barat 39 persen, Bali 22,9 persen dan Sumatera Barat 23
persen. Penelitian tersebut lebih lanjut menjelaskan bawah tanpa sumbangan
perempuan, maka sekitar 75 persen rumahtangga di daerah penelitian termasuk
dibawah garis kemiskinan. Karena keterlibatan perempuan bekerja, maka jumlah
rumahtangga yang berada dibawah garis kemiskin tinggal 41,3 persen.
45
2.6 Gambaran Umum Putting Out System Desa Bojongrangkas
Persoalan yang dihadapi usaha industri kecil tidak selalu terjadi karena adanya
ketidakadilan gender tetapi juga adanya hambatan internal, eksternal dan struktural
dalam pengadaan barang dan pemasaran. Persoalan-persoalan yang biasanya
dihadapai oleh usaha home industry diantaranya, terbatasnya informasi pasar,
persaingan dalam pemasaran, kesulitan prosedur pengajuan kredit, dan lemahnya
manajemen produksi (Dewayanti dan Chotim, 2004). Hambatan struktural yakni
ekspolitasi yang diakibatkan ketidaksetaraan relasi dalam rantai produksi dan
perdagangan. Schitz (1982) dalam Dewayanti dan Chotim (2004) melihat bahwa
persoalan relasi eskternal merupakan kendala serius dalam pengembangan usaha kecil.
Relasi ini mencakup sistem pembiayaan/permodalan, relasi dengan penyedia bahan
baku, teknologi, jalur-jalur pemasaran, dan perjanjian sub kontrak. Pelaku-pelaku
ekonomi tersebut memberikan pengaruh yang cukup bear dalam menjamin
keberlangsungan industri kecil, bahka dalam beberapa studi memperlihatkan bahwa
peran perantara sangat besar berpengaruh dalam jalur pemasaran (Knorringa dan
Weikland, 1993 dalam Dewayanti dan Chotim, 2004).
Dalam tata niaga industri tas di Desa Bojongrangkas terdapat sub-sub jaringan
yang melibatkan perantara/mandor. Pelaku-pelaku yang menjadi perantara memiliki
akses lebih baik terhadap informasi dan sumber daya, mereka berada di tengah-tengah
jalur produksi pekerja antara pekerja upahan dengan pemilik industri besar/sub
kontraktor besar, para sub-sub jaringan/perantara ini mendapatkan keuntungan
maksimum dengan resiko kerja yang minimum. Sedangkan pekerja upahan dan
perempuan merupakan kelompok pekerja yang ada pada posisi paling bawah dan
menjadi pihak terakhir yang mendapatkan keuntungan.
46
Berikut adalah gambaran rantai tata niaga industri tas dan strata pekerja
perempuan dalam home industry tas Desa Bojongrangkas
Gambar 1. Rantai Tata Niaga Industri Tas Desa Bojongrangkas
Gambar 1 di atas, menjelaskan mengenai rantai tata niaga industri tas di Desa
Bojongrangkas, antara industri besar dengan home industry terdapat peranta-perantara
yakni sub kontraktor besar, kecil dan mandor. Demikian pula dengan rantai pemasaran
industri tas home industry harus melalui perantara untuk dapat memasarkan hasil
produksinya. Ini mengakibatkan pendapatan yang diterima semakin bawah maka
semakin kecil pendapatan yang diterima. Para perantara ini memiliki peran penting
INDUSTRI BESAR
SUB KONTRAKTORBESAR
SUB KONTRAKTORBESAR
MANDOR MANDOR MANDOR MANDOR
Homeindustry
Homeindustry
Homeindustry
Homeindustry
Homeindustry
Homeindustry
Homeindustry
Homeindustry
SUBKONTRAKTOR
KECIL
SUBKONTRAKTOR
KECIL
SUBKONTRAKTOR
KECIL
SUBKONTRAKTOR
KECil
47
dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran industri tas. Pada umumnya pemilik
home industri tidak memiliki akses modal yang besar, bahan baku serta kurang
memiliki informasi dalam pemasaran barang, hal ini di manfaatkan oleh para sub
kontraktor dan perantara untuk memperoleh keuntungan maksimal kepada pemilik
home industry. Masalah jarak pemasaran yang berimplikasi pada biaya produksi
membuat para sub-sub kontraktor terdekat berpeluang memainkan peran sebagai
pelaku tunggal jalur pemasaran industri tas. Biaya transportasi berpengaruh pada
perhitungan biaya produksi dan ketidakpastian pasar membuat para pemiliki home
industry memilih para sub kontrakor untuk memasarkannya. Pemilik home industry
juga tidak memiliki pilihan lain selain menerima mekanisme hutang yang ditawarkan
sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan produksi
Gambar 2. Strata Pekerjaan dalam Home Industry Tas Desa Bojongrangkas
Membuat pola &menjahit oleh
pekerja tas
Pengeleman,pemasangan
aksesoris olehkenek
Pengelola home industry tas adalahpemilik home industry tas
Pengeleman,pemasangan
aksesoris olehkenek
Pengeleman,pemasangan
aksesoris olehkenek
Pengeleman,pemasangan
aksesoris olehkenek
Membuat pola &menjahit oleh
pekerja tas
48
Dari Gambar 2 di atas, dapat dilihat bahwa strata pekerja tas Desa
Bojongrangkas ada tiga, yakni pemilik atau pengelola industri, pembuat pola dan
penjahit tas, lalu kenek atau “pembantu pekerja tas”. Posisi pekerja perempuan pada
umumnya di posisi paling bawah yakni sebagai “pembantu pekerja tas” dengan upah
yang rendah.
2.7 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan tinjauan pustaka maka dibuatlah kerangka pemikiran sebagai
tongkat untuk kerja di lapangan. Industri di perkotaan mulai berkembang
mempengaruhi berkembangnya industri di pedesaan, menyebabkan tumbuhnya sistem
sub kontrak di berbagai tempat terutama di pedesaan. Industri yang berkembang pesat
di pedesaan membutuhkan tenaga kerja buruh, perekrutan tenaga kerja dalam industri
pada umumnya adalah tenaga kerja di sekitar lingkungan. ini artinya kondisi suatu
kerja yang mempengaruhi kesejahteraan rumahtangga pekerja. Untuk dapat bekerja
dipengaruhi oleh faktor eksternal (kekerabatan) dan faktor internal (pendidikan,
pengalaman dan keterampilan kerja) .
Perkembangan industri di pedesaan mendorong munculnya sistem produksi
dengan apa yang disebut putting out system, yakni sistem produksi yang dikerjakan
buruhnya dirumah dalam rangka menekan biaya produksi. Putting out system
merupakan sistem produksi yang dikerjakan di luar pabrik, yang umumnya dikerjakan
dirumah-rumah atau bengkel-bengkel kerja. Sistem produksi ini (putting out system)
telah memberikan kesempatan kerja yang besar kepada perempuan, karena pekerjaan
ini dapat dilakukan bersamaan dengan pekerjaan domestik rumahtangga. Di satu sisi
putting out system ini merupakan penolong rumahtangga miskin dengan memberi
49
kesempatan kerja perempuan lebih leluasa sambil mengerjakan pekerjaan domestik, di
sisi lain pekerjaan tersebut mengeksploitasi kerja perempuan. Ini tergambar dalam
kondisi kerja pekerja memperoleh kerja, upah yang rendah, jaminan kesehatan,
jaminan keluarga dan jaminan keselamatan kerja, status kerja. Yang kemudian
mempengaruhi kondisi kesejahteraan keluarga POS yakni dilihat dari pola konsumsi,
kesehatan keluarga dan pendidikan anggota keluarga.
Dengan rendahnya kondisi pekerja putting out system terutama rendahnya upah
yang diterima menyebabkan tidak menjadi optimal bagi kesehajahteraan rumahtangga
mereka, maka kondisi putting out system yang optimal tidak menjadi lebih baik. Pada
Gambar 3 disajikan kerangka pemikiran mengenai kondisi dan dampak putting out
system terhadap kesejahteraan rumah tangga perempuan.
50
Gambar 3. Kerangka Pemikiran
Keterangan : Ada hubungan dan di uji
Ada hubungan tetapi tidak di uji
KesejahteraanRumahtanggaPOS
- Pola Konsumsi- Kesehatan Keluarga- Pendidikan Anggota
Keluarga
Faktor Internal
Kekerabatan
Kondisi POS
- Memperoleh Kerja- Upah
Kerja/Pendapatan- Jaminan Kerja- Jaminan Keluarga
Faktor Eksternal
- Pendidikan- Pengalaman
Kerja- Keterampilan
51
2.8 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan, dapat disusun
hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Diduga ada hubungan antara tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja
dengan kesempatan menjadi pekerja putting out system.
2. Diduga semakin erat tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja, maka
semakin tinggi upah yang diterima pekerja.
3. Diduga semakin erat tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja, maka
semakin tinggi kesempatan diterima sebagai pekerja putting out system.
4. Diduga semakin erat tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja, maka
semakin tinggi jaminan kerja (kesehatan dan keselamatan kerja) dan
jaminan keluarga
5. Diduga semakin erat tingkat kekerabatan yang dimiliki pekerja, maka
semakin tinggi jaminan keselamatan dan fasilitas kerja
6. Diduga ada hubungan antara pengetahuan yang dimiliki pekerja
(pendidikan, pengalaman, keterampilan) dengan kesempatan perempuan
menjadi pekerja putting out system.
7. Diduga semakin tinggi pengetahuan pekerja (pendidikan, pengalaman,
keterampilan, maka semakin tinggi upah yang diterima
8. Diduga semakin tinggi pengetahuan pekerja, maka semakin tinggi jaminan
kerja (kesehatan dan keselamatan kerja) dan jaminan keluarga.
52
2.9 Definisi Operasional
1. Faktor Internal yakni Kekerabatan, kekerabatan adalah Garis keturunan
berdasarkan darah. Dekat tidaknya buruh perempuan terhadap pemberi kerja.
Kerabat dekat = orang memiliki hubungan sedarah yang kental sedarah
(saudara kandung, orang tua, sepupu dekat), kerabat jauh = orang yang
memiliki hubungan kerabat yang tidak kental (ipar, besan, sepupu jauh) bukan
kerabat = tidak memiliki hubungan darah.
Pengukuran :
Kerabat dekat = 3
Kerabat jauh = 2
Bukan Kerabat = 1
2. Faktor Eksternal yakni latar belakang pengetahuan, latar belakang adalah
pengetahuan yang dimiliki pekerja perempuan sebelum bekerja di bidang
putting out system dalam bidang pendidikan formal, pengalaman kerja dan
keterampilan (sebelum masuk industri putting out system). Pengukuran :
a. Di lihat dari tingkat pendididikan akhir yang pernah dimasuki /
tamatan. Pengukuran:
Lulusan SLTA = 3
Lulusan SLTP = 2
Lulusan SD = 1
b. Pengalaman kerja dilihat dari sudah berapa lama bekerja di
perusaahan lain sebelum masuk putting out system. Pengukuran:
5 tahun = Tinggi = 3
3 - 4 tahun = Sedang = 2
53
2 tahun = Rendah = 1
c. Keterampilan kerja adalah keahlian atau keterampilan yang dimiliki pekerja
sebelum bekerja pada industri putting out system, dilihat dari berapa jenis
keterampilan yang dimiliki. Pengukuran:
5 x = Tinggi = 3
3 - 4 x = Sedang = 2
2 x= Rendah = 1
3. Kesempatan kerja yang peluang mudah tidaknya mendapatkan pekerjaan.
Dihitung dari Sulit tidaknya ketika masuk kedalam industri putting out system.
Pengukuran:
Tidak Sulit = Tinggi = 3
Sedang = Sedang = 2
Sangat Sulit = Rendah =1
5. Kondisi kerja dalam putting out system adalah kondisi yang diterima
perempuan dibanding laki- laki sebagai seorang pekerja putting out system,
diantaranya upah, jaminan kerja dan jaminan keselamatan kerja.
Pengukuran:
a. Upah adalah pendapatan kotor dari hasil bekerja pekerja laki-laki dan
perempuan berupa uang atau barang yang dapat di uangkan. Disesuaikan
dengan UMR. Upah UMR Kabupaten Bogor 2006–2007, Rp. 800.000,-
> UMR = Tinggi = nilai 3
Relatif Sama dengan UMR = Sedang = nilai 2
< UMR = Rendah = nilai 1
b. Jaminan kerja kesehatan, jaminan yang diberikan pemberi kerja
54
kepada penerima kerja. Pengukuran:
• Diperbolehkan libur/cuti kalau sakit
• Mendapat biaya penggantian biaya bila sakit
• Bila sakit mendapatkan biaya pengobatan rawat jalan
• Bila sakit mendapatkan biaya rawat inap
• Mendapatkan Asuransi Kesehatan penduduk miskin dari tempat
anda bekerja
• Mendapatkan hak istirahat dan beribadah
Ya 5 = Tinggi = nilai 3
Ya 3 - 4 = Sedang = nilai 2
Ya 2 = Rendah = nilai 1
c. Jaminan keluarga adalah dapat tidaknya keluarga pekerja mendapatkan
tambahan selain biaya upah pokok dapat berupa uang barang atau pinjaman.
Pengukuran:
• Mendapatkan THR
• Mendapatkan biaya santunan istri/suami/anak meninggal
• Mendapatkan biaya santunan istri/anak/anggota keluargamelahirkan
• Mendapatkan pinjaman
• Mendapatkan santunan menikah
• Keluarga mendapatkan ganti rugi kesehatan
Ya 5 = Tinggi = nilai 3
Ya 3 - 4 = Sedang = nilai 2
Ya 2 = Rendah = nilai 1
d. Jaminan keselamatan dan fasilitas kerja adalah dapat tidaknya pekerja
55
mendapatkan ganti rugi berupa uang /asuransi berkaitan dengan
keselamatan diri pekerja. Pengukuran:
• Mendapatkan asuransi keselamatan jiwa
• Mendapatkan kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja
• Mendapatkan fasilitas keselamatan kerja
Ya 3 = Tinggi = nilai 3
Ya 2 = Sedang = nilai 2
Ya 1 = Rendah = nilai 1
6. Kesejahteraan rumahtangga adalah sejauh mana rumahtangga pekerja
perempuan dan laki-laki dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yakni meliputi
aspek pola pangan, pendidikan anak dan kesehatan keluarga.
Pengukuran :
a. Makan keluarga dilihat dari frekuensi makan dan kualitas makanan yang
dimakan. Diukur dari berapa kali rumah tangga makan dalam sehari.
Pengukuran:
3x sehari = Tinggi
2x sehari = Sedang
1x sehari = rendah
b. Dilihat dari jenis kualitas makanan yang dimakan. Pengukuran :
5 jenis makanan = Sempurna
3 - 4 jenis makanan = Kurang Sempurna
2 jenis makanan = Tidak sempurna
c. Kesehatan adalah frekuensi pekerja pergi berobat dan jenis pengobatannya
dalam setahun.
56
- Diukur dari berapa kali pergi berobat dalam setahun :
5 kali dalam setahun = Tinggi
3 – 4 kali dalam setahun = Sedang
2 kali dalam setahun = Rendah
- Diukur dari jenis pengobatan yang dijalani dalam setahun
Dokter /puskesmas = Tinggi = 3
Pengobatan alternatif /dukun= Sedang = 2
Obat warung = Rendah = 1
d. Pendidikan anggota keluarga adalah dilihat dari berapa yang Drop Out atau
tidak dapat melanjutkan sekolah. Pengukuran :
3 orang = Tinggi = nilai 3
1-2 orang = Sedang = nilai 2
0 orang = Rendah = nilai 1
57
BAB III
METODOLOGI
3.1 Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei, yaitu penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulnya (Singarimbun dan Effendy, 1989). Metode survei yang didukung
dengan kualitatif, metode ini dipilih berdasarkan pertimbangan topik kajian kondisi
dan kondisi dan dampak putting out system terhadap kesejahteraan rumah tangga
perempuan, sehingga metode ini lebih tepat dan dapat menggambarkan permasalahan
tersebut. Metode ini juga dapat di gunakan utuk mengumpulkan data yang relatif
terbatas dari sejumlah kasus yang relatif besar jumlahnya.
3.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Desa Bojongrangkas yang terletak di
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, pPropinsi Jawa Barat. Alasan pemilihan
lokasi tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa Desa Bojongrangkas merupakan
sentra perajin tas dan banyak ditemukan penduduk bekerja baik sebagai pengusaha tas
maupun pengrajin/pekerja tas putting out system. Selain itu dengan
mempertimbangkan kemudahan akses yang dijangkau oleh peneliti untuk memperoleh
data dan informasi.
Waktu penelitian dilaksanakan selama enam bulan pada bulan Juli 2007
sampai dengan bulan Desember 2007. Sebelumnya penelitian telah diawali dengan
studi penjajagan pada bulan Februari hingga Maret 2007, kemudian dilanjutkan dengan
58
penyusunan proposal penelitian. Pada bulan Juni 2007 sampai dengan bulan Oktober
2007 dilakukan pengambilan data ke lembaga desa serta menyebarkan kuisioner
kepada responden pekerja tas yang sudah terpilih sebagai sampel. Kemudian pada
bulan Desember 2007, dilakukan input data, pengolahan data, interpretasi data serta
penyusunan skripsi.
3.3 Penentuan Sampel
Pilihan terhadap responden penelitian dilakukan secara sengaja karena tidak
terdapat data yang jelas mengenai jumlah keseluruhan pengrajin putting out system.
Responden adalah para pekerja atau pengrajin industri tas laki-laki dan perempuan
yang mengerjakan pekerjaannya di bawa ke rumah atau di kerjakan di sekitar rumah,
sedangkan informan adalah mereka yang terkait dengan tema penelitian seperti tokoh
masyarakat atau warga desa yang dapat memberikan informasi tambahan untuk
menyempurnakan penelitian.
Pengambilan responden dilakukan tidak proporsional, karena tidak diketahui
secara pasti jumlah penduduk yang bekerja sebagai perajin tas, sehingga di ambil 40
respoden guna memenuhi data statistik. Responden diambil dari empat RT (Rukun
Tetangga) yang mayoritas penduduknya adalah perajin tas. Pengambilan responden
dimulai dari RT satu dilanjutkan sampai ke RT empat sampai berjumlah 40 orang.
3.4 Teknik Pengumpulan data
Sumber data penelitian yang dikumpulkan adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara dan penggunaan kuisioner,
sedangkan data sekunder diperoleh dengan mengkaji beberapa dokumen dan literatur.
59
Menurut Muljono (2003) secara umum wawancara adalah cara menghimpun bahan-
bahan keterangan yang dilaksanakan dengan tanya jawab secara lisan, sepihak,
berhadapan muka dan dengan arah tujuan yang telah ditentukan. Kuisioner adalah
daftar pertanyaan yang disampaikan kepada responden untuk dijawab secara tertulis.
Analisis sekunder dilakukan dengan cara yang diambil dari profil Desa Bojongrangkas,
laporan penelitian, artikel dari internet dan jurnal serta literatur yang berkaitan dengan
topik penelitian.
3.5 Teknik Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dimulai pengumpulan data hasil wawancara melalui
kuisioner, pengolahan data, dan analisis data. Data diolah dengan mengelompokkan ke
dalam variabel-variabel yang akan dilihat hubungannya merujuk pada hipotesa yang
sudah ada. Hubungan variabel-variabel tersebut disajikan dalam bentuk tabulasi silang,
di samping itu juga di buat tabel-tabel frekuensi yang digunakan untuk
memperlihatkan dan mendeskripsikan dari fenomena yang akan di jelaskan. Berikut
dijelaskan mengenai matriks masalah penelitian, keperluan data, sumber dan alat
pengumpul data
60
Matriks 1. Masalah Penelitian, Keperluan Data, Sumber dan Alat pengumpul data
Masalah Data Yang Dibutuhkan Sumber Data Alat Pengumpul
Data
Faktor Internal Kekerabatan Responden daninforman
Wawancara dankuisioner
Faktor Eksternal Faktor latar belakangpengetahuan (pendidikan,pengalaman kerja,keterampilan)
Responden daninforman
Wawancara dankuisioner
Kondisi kerjapekerja
- Memperoleh kerja- Upah- Jaminan kerja,- Jaminan keselamatan dan - fasilitas kerja,
Responden daninforman
Wawancara dankuisioner
Kesejahteraanrumahtangga
- Pola konsumsi keluarga- Pendidikan anak- Kesehatan keluarga
Responden Wawancara dankuisioner
61
BAB IV
GAMBARAN UMUM DESA PENELITIAN
4.1 Letak Geografis dan Keadaan Lingkungannya
Desa Bojongrangkas merupakan salah satu desa yang termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Batas Sebelah
Utara Desa Bojongrangkas adalah Desa Benteng dan Desa Ciampea. Sebelah Selatan
berbatasan dengan Desa Cicadas, Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tegal Waru,
dan Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sukajembar. Jarak Dari Ibu kota
Kecamatan (Ciampea) sekitar setengah kilometer yang dapat ditempuh selama kurang
lebih lima menit, jarak dari Ibukota Kabupaten (Bogor) sekitar 20 kilometer yang
dapat ditempuh selama 45 menit, sedangkan jarak dengan Ibukota propinsi (Bandung)
adalah 125 kilometer dapat ditempuh empat jam dan jarak dari Ibukota Negara
(Jakarta) 65 kilometer dapat ditempuh selama dua jam. Desa Bojongrangkas terletak
pada ketinggian 200 meter di atas permukaan laut, rata-rata curah hujan 278 milimeter
per tahun, sedangkan suhu rata-rata adalah 28 – 30 ºC. Angka ini menggambarkan
cuaca pada siang hari panas dan pada sore hari hujan. Desa Bojongrangkas merupakan
daerah dataran rendah dan perbukitan, jenis vegetasi yang dominan dikembangkan
adalah sawah, ladang jagung dan kolam ikan. Luas Desa keseluruhan adalah 104 Ha
dengan perincian penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.
62
Tabel 1. Jumlah dan Persentase Luas Lahan Berdasarkan Jenis Penggunaannya, Desa Bojongrangkas 2005
Jenis Penggunaan Luas Lahan
(Ha)
Persentase
(%)
Tanah sawah
Tanah kering (pekarangan/bangunan/emplasement)
Tanah pemakaman
Balong/empang/kolam
35.00
67.50
1.0
0.5
33.65
64.90
0.96
0.48
Total 104.00 100
Sumber Potensi, Desa Bojongrangkas 2005
Bidang transportasi, sarana tansportasi yang menghubungkan desa dengan
wilayah sekitarnya lancar. Hal ini dibuktikan dengan ketersediaan sarana angkutan
umum untuk mobilitas penduduk ke daerah perkotaan Kota Bogor cukup memadai
selama 24 jam sehari. Mobilitas dalam desa terdapat kendaraan roda dua (ojeg) dan
kendaraan roda empat (odong-odong), sedangkan mobilitas luar desa menggunakan
kendaraan roda empat (angkot Kabupaten). Wilayah Desa Bojongrangkas terbagi
menjadi dua dusun yaitu Dusun Cikampak dan Dusun Bojongrangkas, dengan 7 RW
dan 32 RT.
4.2 Demograsi Desa
Berdasarkan data terakhir tahun 2005 jumlah penduduk Desa Bojongangkas
8.933 jiwa yang terdiri dari 4.646 orang laki-laki (52.1 persen) dan 4.347 orang
perempuan (48.8 persen). Berdasarkan kelompok umur, diketahui bahwa kelompok
tenaga kerja yang paling banyak jumlahnya adalah kelompok usia 40 tahun keatas
sebanyak 2.479 jiwa (28 persen) dan kelompok umur pendidikan yang paling banyak
jumlahnya adalah kelompok umur 19 tahun ke atas sebanyak (69,26) persen. Distribusi
63
penduduk Desa Bojongrangkas menurut umur secara keseluruhan dapat dilihat pada
Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Usia Kelompok Pendidikan, Desa Bojongrangkas 2005
Kelompok Pendidikan
Umur (tahun) Jumlah penduduk(jiwa)
Persetase(%)
0-3 311 3,48
4-6 589 6,59
7-12 345 3,86
13-15 678 7,58
16-18 823 9,21
19- keatas 6.187 69,26
Jumlah 8.933 100,0
Sumber Data Monogafi, Desa Bojongrangkas 2005
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Usia Kelompok Tenaga Kerja, Desa Bojongrangkas 2005
Kelompok Tenaga Kerja
Umur
(tahun)
Jumlah penduduk
(jiwa)
Persentase
(%)
10-14 9 0,14
15-19 20 0,32
20-26 455 7,49
27-40 2456 40,46
41-56 2277 37,51
57-keatas 852 14,03
Jumlah 6069 100,0
Sumber Data Monogafi, Desa Bojongrangkas 2005
64
Dari data jumlah penduduk dan luas wilayah dapat dihitung kepadatan
penduduk geografis Desa Bojongrangkas. Kepadatan geografis dinyatakan dengan
jumlah jiwa tiap Km2 luas wilayah. Dengan demikian kepadatan geografis Desa
Bojongrangkas adalah 8589,42 jiwa per kilometer persegi, maka kepadatan geografis
Desa Bojongrangkas termasuk kategori sangat padat2. Adanya industri kecil di sekitar
pemukiman penduduk di Desa Bojongrangkas mempengaruhi mobilitas penduduk.
Penduduk yang datang lebih banyak daripada yang pindah dari desa. Mereka
memanfaatkannya untuk mencari peluang bekerja dalam industri kecil. Mobilitas
penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat dari Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Mobilitas Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2005
Penduduk Datang Pindah
Laki-laki 30 15
Perempuan 23 11
Jumlah 53 26
Sumber Data monografi, Desa Bojongrangkas 2005
Penduduk Desa Bojongrangkas mayoritas beragama Islam, yaitu sebanyak
8.905 orang (99,68 persen). Penduduk yang beragama Kristen Protestan sebanyak 18
orang (0,20 persen), sedangkan Kristen Katolik enam orang (0,067 persen). Penduduk
yang beragama Hindu dua orang (0,022 persen) dan Konghucu dua orang (0,22
persen). Di Desa Bojongrangkas tidak ada orang yang menganut agama Budha dan
penganut/penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME. Sarana peribadatan yang
2 Kategori kepadatan penduduk geografis menurut Pujiastomo dalam metera (1996) memakai kriteriasebagai berikut : (1). 0-50 jiwa/km2 tidak padat, (2). 51-250 jiwa/km2 kurang padat, (3). 251-400jiwa/km2 sangat padat
65
terdapat di Desa Bojongrangkas adalah mesjid sebanyak sembilan buah, mushola 10
buah, sedangkan gereja, pura, kelenteng atau vihara tidak terdapat di desa ini.
4.3 Mata Pencaharian Penduduk
Mata pencaharian penduduk Desa Bojongrangkas pada umumnya adalah
perajin (20,93 persen) dan pengemudi (19,96 persen). Keberadaan industri tas
memudahkan penduduk mendapatkan pekerjaan dari industri kemudian menjadi
perajin sub kontrak industri tersebut. Sebagian penduduk Desa Bojongrangkas ada
yang bekerja di luar desa, seperti di pabrik-pabrik disekitar daerah Kota Bogor dan
Jakarta.
Dari data monografi Desa Bojongrangkas, tidak terdapat data menyangkut mata
pencaharian penduduk berdasarkan jenis kelamin. Selain itu tidak diketahui jumlah
pengusaha yang ada di sekitar Desa Bojongrangkas. Jumlah dan persentase penduduk
menurut mata pencaharian dapat dilihat dari Tabel 5 berikut:
66
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Mata Pencaharian, Desa Bojongangkas 2005
No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah Persentase
(%)
1. Petani pemilik 18 3,24
2. Petani penggarap 31 5,59
3. Buruh tani 43 7,76
2. Pengrajin 116 20,93
3. Buruh industri 37 6,67
4 Pertukangan 5 0,90
5 Pedagang 62 11,19
6 Pengemudi 94 16,96
7 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 85 15,34
8 TNI atau POLRI 7 1,26
9 Pensiunan atau purnawirawan 41 7,40
10 Lain – lain 15 2,70
Total 554 100
Sumber Potensi Desa Bojongrangkas 2005
4.4 Struktur Organisasi dan Pemerintahan
Struktur Organisasi dan Pemerintahan Desa Bojongrangkas secara lengkap
dapat dilihat pada Gambar 2. Struktur Organisasi dan Pemerintahan Desa
Bojongrangkas secara umum sama dengan struktur organisasi dan pemerintahan lain
di wilayah Bogor. Kepala Desa Bojongrangkas membawahi langsung dua dusun, tujuh
Rukun Warga (RW) dan 32 Rukun Tetangga (RT). Dalam menjalankan tugasnya
dibantu oleh Sekretaris Desa yang membawahi bendaharawan desa tiga orang Kepala
Urusan (Kaur), yaitu Kaur pemerintahan, Kaur Kesra, dan Kaur umum. Sebagai
pemegang tanggung jawab atas kelancaran pemerintahan desa. Kepala Desa
bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan dan pembangunan di desa.
Bendaharawan Desa membantu Kepala Desa dalam keuangan desa dan Sekertaris
67
Kepala Desa
BendaharawanDesa
Sekretaris Desa
BPD
KaurPemerintahan
Kaur kesra
Kaur Umum
Kampung Dusun I Kampung Dusun II
Ketua RW 1, 2 ,3 & 4 Ketua RW 5, 6 & 7
Ketua RT Ketua RT
Desa membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut dan
mengkordinasikan ketiga Kaur yang berada dibawahnya. Kinerja Kepala Desa dan
aparat desa diawasi oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). Berikut susunan organisasi
pemerintahan Desa Bojongrangkas Kecamatan Ciampea:
Gambar 3. Susunan organisasi Pemerintahan Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea,Kabupaten Bogor 2005.
68
4.5 Pendidikan
Dari data monografi desa tahun 2005 diketahui bahwa tingkat pendidikan
penduduk Desa Bojongrangkas adalah tamat Perguruan Tinggi (PT) 19 orang (0, 57
persen), tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yaitu sebanyak 925 orang
(27,78 persen), di ikuti tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sebanyak 574
orang (17,24 persen), tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 1171 orang (0,33 persen),
tidak tamat sekolah 11 orang (0,33 persen) dan penduduk yang masih buta huruf
sebesar 1569 orang (47,13 persen). Tingkat pendidikan penduduk Desa Bojongrangkas
lebih jelasnya ada pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan, Desa Bojongrangkas 2005
Tingkat pendidikan Jumlah Penduduk
(orang)
Persentase
(%)
Taman Kanak-Kanak 120 3,60
Sekolah Dasar 11 0,33
SLTP Sederajat 574 17,24
SLTA Sederajat 925 27,78
Perguruan Tinggi / Sederajat 19 0,57
Tidak Tamat Sekolah 11 0,33
Buta Huruf 1569 47,13
Total 3329 100
Sumber Potensi Desa Bojongrangkas 2005
Data pada Tabel 6 menunjukkan distribusi penduduk Desa Bojongrangkas
menurut tingkat pendidikannya. Dari data monografi Desa Bojongrangkas tidak
terdapat data tingkat penduduk berdasarkan jenis kelamin, namun menurut aparat desa
tingkat pendidikan laki-laki lebih tinggi daripada tingkat pendidikan perempuan. Dapat
69
dilihat bahwa tingkat buta huruf di Desa Bojongrangkas cukup tinggi sebesar 47,13
persen, hampir sebagian dari penduduk tidak dapat membaca dan menulis.
Sarana pendidikan yang ada di Desa Bojongrangkas cukup memadai. Di desa
ini terdapat empat Taman Kanak-Kanak (TK) swasta, lima buah Sekolah Dasar (SD),
dua buah Madrasah Ibtidaiyah (MI), satu buah SLTP, dan satu buah Madrasah
Tsanawiyah (MTS).
4.6 Gambaran Sosial Masyarakat Desa
Sebagian besar responden 95 persen adalah penduduk suku sunda, walaupun
ada sebagian pendatang yang datang ke Desa Bojongrangkas namun sebagian besar
masih dalam propinsi Jawa Barat. Posisi Desa Bojongrangkas adalah lingkungan
pedesaan yang tidak jauh dari perkotaan disebut juga daerah semi perkotaan, desa ini
tergolong unik karena sebagian budaya masih terlihat kental namun sebagian lagi
sudah mengikuti budaya perkotaan. Ini dapat dilihat dari ikatan kekerabatan antar
warga yang masih kental dalam satu lingkungan desa.
Pada umumnya baik pengusaha dan pengrajin industri memiliki ikatan kerabat,
seperti yang diungkapkan oleh aparat desa bahwa berdirinya home industry tas diawali
oleh beberapa orang pemuda desa yang memiliki hubungan kekerabatan memilih
bekerja di luar desa, mereka bekerja sebagai buruh pabrik tas di perkotaan besar,
setelah menetap dalam pekerjaan tersebut dan perekomian meningkat mereka akhirnya
membawa kerabat-kerabat mereka yang lain. Sebagian besar penduduk yang bekerja di
perkotaan setelah mendapatkan pendapatan yang cukup mereka kembali ke desa untuk
menikah, dan setelah menikah mereka memilih bekerja di sekitar rumah agar tetap
berada dekat dengan keluarga. Dengan pengalaman serta keterampilan yang mereka
70
miliki ketika bekerja di pabrik tas di perkotaan, pemuda desa ini mencoba merintis
usaha home industry tas dengan dibantu tenaga kerja yang masih kerabat.
Hubungan kekerabatan yang dimiliki oleh penduduk juga berpengaruh pada
relasi kerja, peluang kerja, jaminan dan kesejahteraan pekerja. Kerabat yang diterima
pada umumnya kerabat laki-laki yang lebih didahulukan karena laki-laki dianggap
sebagai kepala keluarga yang memiliki tanggung jawab bekerja. Para pekerja laki-laki
juga diutamakan dalam mewarisi keterampilan-keterampilan khusus yakni seperti
menjahit dan membuat pola sedangkan perempuan jarang sekali yang mendapatkan
kesempatan. Dalam pekerjaan yang sama dan waktu kerja yang sama pendapatan
perempuan berbeda dengan laki-laki, upah yang diterima pekerja perempuan lebih
rendah dibanding laki-laki. karena pada umumnya penduduk menganggap perempuan
bekerja di industri ini hanya sebagai orang yang membantu laki-laki bekerja.
71
BAB V
KARAKTERISTIK RESPONDEN
Responden memiliki karakteristik atau ciri khas yang berbeda di setiap daerah.
Karakteristik responden itu dikelompokkan dilihat dari usia, hubungan kekerabatan
pekerja dengan pemilik usaha, pendidikan, pengalaman kerja dan keterampilan
sebelum bekerja dalam industri tas yang dilihat berdasarkan jenis kelamin.
5.1 Usia Responden
Usia responden yang bekerja sebagai pekerja tas Desa Bojongrangkas adalah
antara 16-58 tahun. Responden yang berusia di bawah 20 tahun berjumlah 10 orang
yakni pekerja laki-laki berjumlah dua orang responden dan pekerja perempuan delapan
orang. Responden yang usianya antara 21-30 tahun berjumlah tujuh orang, dengan
rincian reponden pekerja laki-laki berjumlah tiga orang dan pekerja perempuan
berjumlah empat orang. Responden yang usianya antara 31-40 tahun jumlah delapan
orang, dengan rincian pekerja laki-laki tiga orang dan pekerja perempuan lima orang.
Responden yang usianya antara 41-50 tahun berjumlah 14 orang, dengan rincian
pekerja laki-laki sembilan orang dan pekerja perempuan dua orang. Responden yang
berusia di atas 50 tahun berjumlah empat orang, yakni pekerja laki-laki berjumlah tiga
orang dan pekerja perempuan berjumlah satu orang.
Usia reponden pada umumnya adalah usia produktif kerja, namun sebagian
besar responden pekerja perempuan masih di bawah usia produktif kerja yakni di
bawah usia 20 tahun berjumlah (40% ), sedangkan responden pekerja laki-laki pekerja
di dominasi pada usia 41-50 tahun berjumlah sembilan orang (45%).
72
5.2 Hubungan Kekerabatan Antara Pekerja dengan Pemilik Usaha
Hubungan kekerabatan antara pemilik/pengusaha tas dengan pekerjanya sangat
erat. Hampir disemua industri tas di Desa Bojongrangkas hubungan kekerabatan
seperti itu dapat ditemui.
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Kekerabatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Kekerabatan Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi(Kerabat dekat)
8 40,00 9 45,00
Sedang(Kerabat Jauh)
8 40,00 8 40,00
Rendah(Bukan Kerabat)
4 20,00 3 15,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Berdasarkan Tabel 7 di atas diperoleh gambaran bahwa dari keseluruhan
responden penelitian yang diambil sebanyak 40 responden, baik responden perempuan
maupun laki-laki memiliki persentase jumlah tingkat kekerabatan di atas rata-rata sama
antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, yaitu pekerja laki-laki sebesar 40
persen dan pekerja perempuan sebesar 45 persen. Hubungan kekerabatan yang cukup
tinggi ini disebabkan hubungan kekeluargaan yang telah dibina lama sehingga
memunculkan rasa tolong menolong antar saudara dalam upaya membangkitkan sosial
ekonomi keluarga. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh dua responden Bpk. TT
sebagai pemilik home industry tas dan Bpk. SD sebagai pekerja putting out system.
Pada umumnya pemilik home industry tas masih memiliki hubungaan kekerabatanbaik pekerja perempuan maupun pekerja laki-laki, ada yang kerabat dekat,kerabat jauh adapula bukan kerabat seperti pendatang. Contoh kerabat dekatadalah kakak dan adik saya yakni Bpk AD dan Bpk SY juga pemilik home industri
73
tas, namun beda RT. Hubungan kekerabatan antara pemilik home industri tasdengan para pekerja, ada yang masih kerabat dekat, kerabat jauh dan bukankerabat. Pada umumnya pekerja putting out system adalah kerabat dekat,sedangkan yang bekerja di workshop kerabat jauh atau bukan kerabat.(Bpk. TT, 38 th, pemilik home industry tas)
Kalau di pabrik yang kerja kita sendirian, keluarga yang lain di kampung tidakada yang urus dan tidak ada biaya, jadi saya inisiatif bekerja dirumah dengandibantu keluarga ayah dan adik saya, kalau mereka bekerja dan mendapatkanpenghasilan bisa buat nambah uang didapur mereka.(Bpk. SD, 40 th, pekerja POS)
Data di atas menggambarkan bahwa kekerabatan berhubungan erat dengan
kesempatan kerja dalam industri tas desa Bojongrangkas.
5.2 Pendidikan
Mayoritas pendidikan pekerja perempuan Putting out system (POS) adalah SD,
sedangkan mayoritas pendidikan pekerja laki-laki Putting outsystem (POS) adalah
SMP. Perempuan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah
sehingga pada umumnya orang tua tidak mengutamakan anak perempuannya
melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya, sedangkan anak laki-laki lebih
diutamakan Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh NI perempuan pekerja POS .
Saya lulusan SD, kata orangtua perempuan sudah cukup sekolah sudah bisa baca,kalau sudah menikah nanti juga kedapur lagi. Yang penting bisa membaca,,menulis, mengaji . Pinginnya melanjutkan sekolah tapi tidak ada biaya. Kalaudirumah saya biasanya yang laki-laki sekolah sampai SMP atau SMA, kalauperempuan jarang ada yang SMP apalagi SMA.(NI, 22 th, perempuan pekerja POS)
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Tingkat
Pendidikan
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 5 25,00 2 10,00
Sedang 9 45,00 6 30,00
Rendah 6 30,00 12 60,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
74
Dari Tabel 8. Dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan responden sangat rendah
terutama responden perempuan yakni sebesar 60 persen, ini berarti banyak industri tas
perempuan yang tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD), demikian juga persentase
responden laki-laki tertinggi berada pada posisi sedang 45 persen di tingkat (Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertamantas) SLTP. Dari Tabel 8 juga menggambarkan bahwa
tingkat pendidikan para pekerja industri tas baik perempuan maupun laki-laki masih
sangat rendah.
5.3 Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja dilihat karena banyak pengalaman kerja yang dimiliki
pekerja POS sebelum dia bekerja sebagai pekerja POS. Pekerjaan yang pernah digeluti
oeh responden sebelum bekerja di industri tas POS diantaranya adalah sebagai buruh
konveksi tas, pegawai, dan lainnya. Beberapa alasan beralihnya responden menjadi
pekerja tas POS yakni: PHK, perhitungan penghasilan bersih tidak sesuai dengan
kebutuhan rumah tangga (dipotong ongkos&makan), ingin meningkatkan
kesejahteraan ekonomi keluarga dengan merekrut anak, istri, mertua dan lainnya
sebagai pekerja POS. Sedangkan pekerja perempuan yang pernah bekerja dan memiliki
pengalaman kerja tidak memiliki pengalaman bekerja yang berkaitan dengan industri
tas, yakni menjadi pramuniaga toko atau bekerja di pasar. Sebagian besar responden
umumnya tidak memiliki pengalaman kerja. Responden laki-laki yang tidak memiliki
pengalaman kerja pada umumnya karena melihat ayah atau keluarganya bekerja di
industri tas POS, sehingga setelah tamat sekolah atau drop out langsung mengikuti
jejak keluarganya. Sedangkan responden perempuan yang tidak memiliki pengalaman
75
kerja sebagian besar adalah ibu rumahtangga. Berikut hasil wawancara dengan dua
orang pekerja POS ibu SL dan Bpk SD:
Ya, ibu ini hanya lulusan pesantren, mana ada sekarang pabrik-pabrik yang mauterima ibu-ibu sudah tua lulusan SD di pabrik mah di cari yang masih muda-muda,lagipula ibu mau kerja apa dipabrik Kalau di industri tas ini kan siapa ajaditerima walaupun ibu hanya lulusan pesantren setingkat SD dan tidak punyapengalaman, ibu mah lulusan pesantren bisanya mengajar ngaji. Kalau di industritas kan siapapun diterima asalkan mau bekerja(Ibu SL, 55 th, pekerja POS)
Saya sudah pengalaman dibidang tas sebagai buruh pabrik tas di Jembatan limaJakarta selama 10 tahun dan juga pernah menjadi pegawai bank sebagai salesselama 3 bulan, saya berhenti bukan di pecat tetapi karena dilikuidasi banknya.Alasan saya memilih bekerja dirumah adalah untuk meningkatkan kesejahteraansanak keluargakalau di pabrik yang kerja kita sendirian, keluarga yang laindikampung tidak ada yang urus dan tidak ada biaya, jadi saya inisiatif bekerjadirumah dengan dibantu keluarga ayah dan adik saya, kalau mereka bekerja danmendapatkan penghasilan bisa buat nambah uang didapur mereka.(Bpk SD, 40 th, pekerja POS)
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pengalaman Kerja Sebelum di Industri Tas dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Pengalaman
Kerja
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 4 20,00 2 10,00
Sedang 6 30,00 2 10,00
Rendah 10 50,00 16 80,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Dapat dilihat dari Tabel 9 baik responden laki-laki maupun perempuan tidak
banyak memiliki pengalaman bekerja sebelum di POS dengan pengalaman terendah
laki-laki sebesar 50 persen dan persentase pekerja perempuan sebesar 80 persen. Ini
berarti pengalaman kerja tidak dibutuhkan untuk bekerja menjadi pekerja POS di
industri tas, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
76
5.4 Keterampilan
Keterampilan adalah berapa banyak atau berapa jenis keterampilan yang
dimiliki oleh responden sebelum bekerja di dalam industri tas POS. Responden laki-
laki memiliki keterampilan pada umumnya yang pernah bekerja memiliki pengalaman
kerja seperti pegawai atau buruh konveksi tas. Sedangkan responden perempuan yang
memiliki keterampilan hanya satu orang dan memiliki keterampilan karena
pengalaman kerja sebelumnya.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterampilan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Keterampilan
sebelum POS
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi o 0.00 o 0.00
Sedang 4 20.00 1 5.00
Rendah 16 80.00 19 95.00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Dapat dilihat dari Tabel 10 baik responden laki-laki maupun perempuan tidak
banyak memiliki keterampilan bekerja sebelum di POS dengan keterampilan terendah
laki-laki sebesar 80 persen dan persentase pekerja perempuan sebesar 95 persen. Ini
berarti keterampilan tidak dibutuhkan untuk bekerja menjadi pekerja POS di industri
tas, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Keterampilan yang dimiliki responden sesudah bekerja dalam industri tas POS
yakni keterampilan yang berhubungan dengan kegiatan industri tas seperti membuat
pola, menggunting atau memotong, menjahit, mengelem, menekuk, memasang
aksesoris, dan finishing. Pada awal bekerja sebagian pekerja laki-laki dan perempuan
tidak memiliki keterampilan dan pengalaman bekerja, namun setelah bekerja sebagian
77
pekerja laki-laki mendapatkan kesempatan lebih dalam pekerjaan-pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan khusus dan menghasilkan upah lebih besar yakni seperti
membuat pola dan menjahit. Keterampilan tersebut pada umumnya diwariskan kepada
anaknya atau keluarganya yang laki-laki. Sedangkan pekerja perempuan
termarjinalkan pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan
keterampilan kerja seperti mengelem, menekuk dan lainnya. Ini disebabkan adanya
steriotipe yang mengatakan bahwa laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan
perempuan bekerja sifatnya membantu. Berikut hasil wawancara dengan Bpk ZN
pekerja POS.
Kalau perempuan cuma bantu-bantu aja di rumah, kalau bapak kan kepalakeluarga jadi musti bisa semuanya, jahit, buat pola, menggunting, mengelem,menekuk, memasang aksesoris. Jarang ada perempuan di sini yang bekerjasebagai pejahit dan pembuat pola. Yang bapak tahu dari desa ini hanya empatorang perempuan yang bisa, banyaknya perempuan tukang bantu , menjahit danmembuat pola ilmunya diturunkan ke anak bapak yang laki-laki.(Bpk. ZN, 58 th, pekerja POS)
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keterampilan Kerja Setelah di Industri Tas dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Keterampilan
Setelah POS
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 4 20,00 1 5.00
Sedang 8 40,00 3 15.00
Rendah 8 40,00 16 80.00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Dari Tabel 11 dapat dilihat jumlah keterampilan yang dimiliki adalah
keterampilan sesudah bekerja dalam POS. Keterampilan tersebut berhubungan dengan
pekerjaan yang kemudian berpengaruh pada upah pekerja. Keterampilan yang dimiliki
78
responden perempuan sangatlah rendah jika dibandingkan dengan responden laki-laki
yakni sebesar 85 persen, sedangkan persentase keterampilan kerja responden laki-laki
tinggi yakni sebesar 40 persen.
79
BAB VI
KONDISI KERJA PEKERJA PUTTING OUT SYSTEM DI
HOME INDUSTRY INDUSTRI TAS
Kondisi kerja pekerja POS (putting out system) adalah kondisi yang dialami
oleh responden ketika bekerja dalam industri tas. Kondisi kerja responden mencakup
upah, kesempatan kerja, jaminan kerja (jaminan kesehatan dan jaminan keluarga),
jaminan fasilitas dan keselamatan kerja yang dilihat berdasarkan jenis kelamin.
6.1 Peluang Kerja (Mudah Tidaknya Diterima Dalam POS)
Penduduk di Desa Bojongrangkas pada umumnya memiliki ikatan kekerabatan,
jarak antara rumah yang satu dengan yang lain dekat, sehingga dalam rekruitmen
tenaga kerja pada umumnya adalah kerabat. Selain rasa percaya karena sudah
mengenal satu dengan yang lain dan juga rasa tanggung jawab dalam meningkatkan
ekonomi keluarganya
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kesempatan Kerja (Mudah Tidaknya diterima sebagai POS) dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Mudah tidaknyaditerima dalam POS
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)Tinggi 8 40,00 6 30,00
Sedang 7 35,00 9 45,00
Rendah 5 25,00 5 25,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Berdasar Tabel 12 di atas, kesempatan pekerja laki-laki cukup tinggi atau
mudah diterima dalam dalam industri tas yaitu 40 persen, dibandingan dengan
80
perempuan yang hanya 30 persen. Kesempatan kerja bagi perempuan paling tinggi
pada tingkat sedang dalam penerimaan yaitu sebesar 45 persen.
6.2 Upah
Upah yang diterima dalam POS terbagi menjadi dua. Yakni upah borongan dan
upah mingguan. Pada pekerja laki-laki dalam pekerjaan seperti pada mengelem
umumnya diberikan upah berdasarkan borongan dan cara pembayaran dapat di
negosiasikan dengan pemilik. Pendapatan laki-laki diperoleh bisa diatas atau di bawah
yakni sekitar Rp. 800.000,- perbulan sesuai dengan waktu kerja yang mereka tempuh.
Berbeda dengan pekerja perempuan pada umumnya pekerja perempuan tidak dapat
bernegosiasi baik dengan pemilik atau keluarga sendiri. Upah yang dihasilkan oleh
pekerja perempuan telah di patok rata-rata memperoleh Rp. 50.000,- minggu atau
kurang lebih Rp. 200.000 perbulan. Selain itu ada sistem pengupahan yang bersifat
upah keluarga yaitu upah yang diberikan kepada keluarga (suami, istri dan anak) dalam
mengerjakan suatu pekerjaan sehingga cenderung upah perempuan yang mengerjakan
pekerjaan tas tidak diperhitungkan upahnya. Seperti yang di ungkapkan berikut oleh
pekerja POS:
Upah yang diterima berdasarkan tas yang dihasilkan. Bblan lalu bisa dapat 400tas dalam sebulan, upah yang diterima Rp. 450.000,- . semua terserah bapak yangatur dibagi berapa, soleh anak saya juga ikut bekerja, biasanya dibagi, bulan lalubuat soleh Rp. 150.000,-. Kalau suami istri mah gak hitungan, namanya juga kerjabantu suami duitnya nanti balik lagi ke dapur buat makan bapak dan keluargajuga. Kalau uang saku buat bapak mengopi dan ngerokok Rp.50.000.-/bulan.Selebihnya buat makan di dapur.(Ibu SL, 55 th, Pekerja POS)
Fakta di atas menggambarkan masih kentalnya ketidakadilan gender dalam
sistem pengupahan di home industry tas di Bojongrangka. Istri yang statusnya sebagai
pengelola rumahtangga didudukkan sebagai pembantu suami dalam mencari nafkah
81
keluarga sehingga dia tidak mendapat status pekerja dan tidak diperhitungkan
upahnya. Berbeda dengan Soleh sebagai seorang anak laki-laki karena dia laki-laki dia
memperoleh upah dari bagian upah keluarga. Sebetulnya keluarga Ibu SL mempunyai
anak perempuan, tetapi dia tidak mau bekerja bersama keluarganya (ayah, ibu dan
kakaknya) karena seorang perempuan istri atau anak yang bekerja dengan sistem upah
keluarga biasanya tidak memperoleh upah seperti halnya laki-laki dalam keluarga
(ayah dan anak). Anak perempuan ibu SL saat ini bekerja sebagai buruh konveksi yang
dapat menggaji buruhnya berdasarkan jerih payahnya (upah individu).
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Upah dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Upah Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 2 10,00 1 5,00
Sedang 11 55,00 2 2,00
Rendah 7 35,00 17 85,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Berdasarkan dari Tabel 13 di atas, diketahui bahwa pendapatan pekerja laki-
laki pada umumnya berada pada tingkat sedang yaitu sesuai dengan standar UMR
Kabupaten Bogor (55 persen), sedangkan pekerja perempuan berada pada tingkat
rendah yaitu di bawah UMR Kabupaten Bogor (85 persen). Ini menggambarkan bahwa
upah perempuan jauh lebih rendah daripada upah laki-laki.
82
6.3 Jaminan Kerja
Pada home industry tas Desa Bojongrangkas, jaminan-jaminan yang diberikan
sangatlah minim, baik jaminan kesehatan pekerja, jaminan keluarga maupun jaminan
keselamatan dan fasilitas kerja. Disamping jumlahnya minim jaminan-jaminan tersebut
diberikan lebih banyak kepada pekerja laki-laki, karena ada anggapan peran laki-laki
adalah kepala keluarga.
6.3.1 Jaminan Kesehatan
Jaminan Kesehatan dilihat dari mendapatkan cuti atau libur, mendapatkan
biaya penggantian bila sakit, mendapatkan biaya rawat jalan bila sakit, mendapatkan
biaya rawat inap bila sakit, mendapatkan asuransi kesehatan, mendapatkan hak
istirahat dan beribadah. Jaminan kesehatan yang diterima baik pekerja laki-laki
maupun perempuan relatif minim. Minimnya jaminan kesehatan baik pekerja laki-laki
maupun perempuan dan perbedaan jaminan yang diperoleh laki-laki dan perempuan,
dapat dilihat dari Tabel 14 di bawah ini.
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kesehatan yang Diterima Pekerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Jaminan
Kesehatan
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 4 20,00 2 10,00
Sedang 6 30,00 3 15,00
Rendah 10 50,00 14 70,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Dilihat dari Tabel 14 di atas, jaminan kesehatan baik pekerja laki-laki maupun
pekerja perempuan rendah dan perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki , yaitu
83
70 persen perempuan yang mendapat jaminan kesehatan sangat kurang (rendah)
dibanding dengan pekerja laki-laki yang hanya 50 persen mendapat jaminan kesehatan
yang kurang (rendah). Kenyataan di atas juga terungkap dari wawancara dengan Ibu
SL seorang pekerja POS.
Jaminan kesehatan kalau sakit kadang dikasih ganti rugi tetapi tidak sering-sering, paling diganti setahun 2x, itupun bapak yang datang kepada H. AK. Kalaudi usaha rumahan begini tidak ada cuti, kalau cuti justru nanti rugi karena kenadenda karena tidak memenuhi target, yang kita kerjakan tidak dibayar full dandialihkan kepada oranglain. Terkadang kalau sakit batuk parah boleh memintaobat kepada bapak H. AK, kalau orang lain jarang diperbolehkan. Kalau bapak(suami) diperbolehkan karena Bpk. H. AK masih ada hubungan kekerabatandengan saya, dengan istri Bpk H. AK. Lagipula kami tetangga beda tiga Rumah.(Ibu SL, 55 th, pekerja POS)
6.3.2 Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja
Jaminan keselamatan dan fasilitas kerja di lihat dari memperoleh asuransi /
kompensasi keselamatan jiwa, mendapatkan kompensasi apabila cacat akibat
kecelakaan kerja dan fasilitas keselamatan kerja. Demikian halnya jaminan
keselamatan dan fasilitas sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 14:
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Keselamatan
dan Fasilitas
Kerja
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 1 5,00 1 5,00
Sedang 4 20,00 2 10,00
Rendah 15 75,00 17 85,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Berdasarkan dari Tabel 15 di atas jaminan keselamatan dan fasilitas kerja
berdasarkan jenis kelamin baik pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan cukup
rendah, yakni ada 75 persen pekerja laki-laki yang mendapatkan jaminan keselamatan
84
dan fasilitas kerja yang rendah. Demikian juga pekerja perempuan ada 85 persen yang
mendapat jaminan keselamatan dan fasilitas kerja. Minimnya jaminan keselamatan dan
fasilitas kerja yang diterima pekerja POS laki-laki dan pekerja POS terungkap dari
wawancara dengan seorang pekerja POS sebagai berikut :
Di usaha rumahan begini tidak dikasih asuransi kerja, uang asuransi ganti rugiyang berkaitan dengan keselamatan diri pekerja, uang pensiun dan fasilitaskeselamatan kerja tidak ada. Kalau uang kompensasi akibat kecelakaan kerja ada,misalnya tangannya kena mesin jahit dan harus di bawa ke dokter, dari bapak H.AK akan di antarkan dengan mobilnya dan biaya rumahsakit di bayar oleh bapakH. AK, tetapi tidak semua orang seperti itu, mungkin karena saya masih adahubungan kekerabatan.(Bpk ZN, 58 th, Pekerja POS).
6.3.3 Jaminan Keluarga
Jaminan keluarga di lihat dari mendapat THR, mendapat santunan kematian
istri/anak/suami, mendapatkan biaya santunan anggota keluarga anak/istri melahirkan,
mendapatkan pinjaman, mendapatkan santunan menikah anggota keluarga, keluarga
mendapatkan ganti rugi kesehatan. Sama hal nya dengan jaminan-jaminan yang
lainnya jaminan keluarga pun diterima pekerja baik pekerja POS laki-laki maupun
pekerja POS perempuan cukup rendah dan pekerja perempuan mendapat jaminan
keluarga jauh lebih rendah dibanding dengan pekerja POS laki-laki. Dan perbedaan
yang cukup besar antara pekerja POS laki-laki dalam menerima jaminan keluarga
dapat dilihat dari Tabel 16 di bawah ini:
85
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga yang Diterima Pekerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Jaminan
Keluarga
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 2 10,00 1 5,00
Sedang 8 40,00 4 20,00
Rendah 10 50,00 15 75,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Berdasarkan dari Tabel 16 di atas, dapat dilihat bahwa jaminan keluarga baik
pekerja laki-laki maupun pekerja perempuan cukup rendah, dan jaminan yang
diterima pekerja POS perempuan jauh lebih rendah di banding dengan jaminan
keluarga yang di terima dari pekerja POS laki-laki. Ada 75 persen pekerja POS
perempuan mendapatkan jaminan keluarga yang rendah, sedangkan pekerja laki-laki
50 persen mendapatkan pekerjaan yang rendah. Rendahnya jaminan keluarga yang
diperoleh pekerja POS laki-laki maupun perempuan terungkap dari hasil wawancara
dengan pekerja POS laki-laki :
Kalau THR ada yakni Rp. 1,5 juta.uang THR itu diberikan melihat dari bukuevaluasi kerja, kalau hasil tas buatan kami itu tahun itu banyak yang bagus dantidak cacat, maka THR cukup besar yakni 1,5 juta. Kalau banyak cacatnya adacatatannya, biasanya dikasih THR Rp. 200.000 ( sambil bapak menunjukkancatatatannya).(Bpk. ZN, 58 th, pekerja POS)
Pada kenyataannya pekerja POS di home industry lebih banyak mendapatkan
THR rendah, jaminan-jaminan selain THR seperti santunan kematian, santunan
melahirkan, santunan menikah, ganti rugi kesehatan, pinjaman juga jarang diterima .
Sehingga gambaran umum lebih cenderung menggambarkan bahwa pekerja
mendapatkan jaminan keluarga yang sangat rendah.
86
BAB VII
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONDISI PEKERJA
PUTTING OUT SYSTEM
Bab VI diketahui bahwa kondisi pekerja putting out system (POS) di home
industri tas di Bojongrangkas cenderung memberikan gambaran yang tidak begitu baik
terutama dalam hal pengupahan dan jaminan kerja yang diterima, baik oleh pekerja
POS laki-laki maupun pekerja POS perempuan. Lebih jauh lagi pekerja POS
perempuan mendapatkan kondisi jauh lebih rendah dari pekerja POS laki-laki. Pada
Bab VII ini akan di lihat mengapa kondisi kerja POS baik laki-laki maupun perempuan
cenderung memprihatikan. Diduga faktor-faktor kekerabatan, pendidikan, pengalaman,
keterampilan berpengaruh terhadap kondisi kerja (kesempatan memperoleh kerja,
pendapatan dan jaminan kerja) pada POS.
7.1 Pengaruh Kekerabatan Terhadap Kondisi Kerja
7.1.1 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap Tingkat KesulitanMemperoleh Kerja
Sub bab ini dilihat dari sejauhmana hubungan kekerabatan pekerja POS antara
pengusaha/pemilik usaha tas dengan pekerjanya baik laki-laki maupun perempuan
dengan mudah tidaknya diterima menjadi pekerja di home industry tas POS
87
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Kekerabatan, Tingkat Perolehan Mencari Kerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
PekerjaMudah Tidaknya
Diterima Dalam POS
Kekerabatan(Bukan
Kerabat)Rendah
(KerabatJauh)
Sedang
(KerabatDekat)Tinggi
Laki-laki
Sulit(R )
4(100.0)
1(12.50) -
Sedang(S) -
6(75.0)
1(12.5)
Tidak sulit(T) -
1(12.5)
7(87.5)
Total4
(100)8
(100)8
(100)
Perempuan
Sulit(R )
3(100.0)
2(25.0) -
Sedang(S) -
6(75.0)
3(33.3)
Tidak sulit(T) - -
6(66.7)
Total3
(100)8
(100)9
(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Dari Tabel 17 di atas nampak ada hubungan antara hubungan kekerabatan
antara pekerja POS laki-laki dengan pengusaha/pemilik industri terhadap mudah
tidaknya diterima menjadi pekerja POS dalam home industry tas . Pekerja POS laki-
laki yang merasa kesulitan menjadi pekerja POS jauh lebih tinggi dipunyai oleh
pekerja POS laki-laki yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan (100 persen)
dibanding dengan pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat jauh (12,5
persen) lebih lagi bila dibanding dengan pekerja POS laki-laki yang mempunyai
hubungan kekerabatan dekat pengusaha/pemilik tas. Data ini menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kekerabatan dengan sulit tidaknya menjadi pekerja POS laki-laki di
industri tas. Makin jauh hubungan kerabat semakin sulit menjadi pekerja POS
diperusahaan tas.
88
Demikin pula bagi pekerja POS perempuan, makin jauh hubungan kekerabatan
dengan pemilik/pengusaha tas, makin sulit untuk menjadi pekerja POS di industri tas
tersebut. Pekerja POS perempuan yang tidak punya hubungan kekerabatan dengan
pengusaha/pemilik mempunyai kesulitan 100 persen untuk dapat diterima dalam
industri, perempuan yang mempunyai 25 persen kesulitan untuk dapat di terima dalam
industri, perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dekat tidak mempunyai
kesulitan untuk menjadi pekerja POS di industri tas. Dengan demikian makin jauh
hubungan kerabat pekerja POS perempuan dengan pengusaha/pemilik makin sulit
diterima menjadi pekerja POS di industri tas tersebut.
7.1.2 Pengaruh Hubungan Kekerabatan TerhadapUpah
Tinggi rendahnya upah mengacu kepada upah UMR Kabupaten Bogor (Rp.
800.000), dikatakan tinggi bila upah di atas UMR, sedang relatif sama dengan UMR ,
rendah di bawah UMR. Jauh dekatnya kekerabatan dilihat dari tiga kategori bukan
kerabat, kerabat jauh dan kerabat dekat. Hubungan kekerabatan antara pemilik/
pengusaha tas dengan pekerja terhadap upah dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini
89
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan Kekerabatan, Upah dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Pekerja Pendapatan
Kekerabatan(Bukan
Kerabat)Rendah
(KerabatJauh)
Sedang
(KerabatDekat)Tinggi
Laki-laki
UMR (R)1
(25.0)5
(62.5)1
(12.5)
= UMR (S)2
(50.0)2
(25.0)7
(87.5)
UMR (T)1
(25.0)1
(12.5) -
Total4
(100)8
(100)8
(100)
Perempuan
UMR (R)2
(66,7)6
(75.0)9
(100.0)
= UMR (S)1
(33,3)1
(12.5) -
UMR (T) -1
(12.5) -
Total3
(100)8
(100)9
(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Dari Tabel 18 di atas dapat dilihat tidak ada hubungan antara kekerabatan
pekerja POS laki-laki dengan upah, karena dari delapan orang pekerja POS laki-laki
(40 persen) yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat dengan pemilik/pengusaha
tas tidak ada satu pun dari kelompok tersebut memperoleh peroleh upah
kerja/pendapatan perbulan tinggi. Sebagian besar (87.5 persen) pekerja POS laki-laki
yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik/pengusaha tas hanya
memperoleh upah sedang. Ini menggambarkan tidak ada hubungan antara hubungan
kekerabatan antara pekerja POS laki-laki dengan pemilik/pengusaha tas terhadap upah
yang diperoleh. Dan pekerja POS laki-laki yang memperoleh upah kecil pun sangat
sedikit yaitu pekerja yang mempunyai hubungan kekerabatan jauh 12,5 persen dan
tidak memiliki kekerabatan 25 persen. Ini menggambarkan tidak ada hubungan antara
antara hubungan kekerabatan antara pekerja POS laki-laki dengan pemilik / pengusaha
90
tas dengan upah yang diperoleh pekerja. Sebagian besar pekerja mendapat upah sedang
sama dengan UMR dan mempunyai hubungan kekerabatan dekat. Demikian juga pada
pekerja perempuan POS tidak ada gambaran hubungan kekerabatan berpengaruh
kepada upah yang diperoleh, data Tabel 18 menggambarkan upah tinggi hanya
diperoleh oleh pekerja POS perempuan yang mempunyai hubungan kekerabatan jauh
dan itu pun hanya 12,5 persen saja. Selain itu data di atas juga menggambarkan upah
yang diperoleh pekerja POS perempuan lebih rendah daripada upah pekerja laki-laki.
Nampak dari data di atas bahwa kekerabatan erat hubungannya dengan
kemudahan untuk menjadi pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan (banyak
yang tidak mengalami kesulitan untuk menjadi pekerja POS karena mempunyai
hubungan kerabat) tetapi tidak dalam hal pengupahan. Kekerabatan tidak berpengaruh
pada upah kerja/ pendapatan perbulan, baik untuk pekerja laki-laki maupun perempuan
hal ini disebabkan karena pendapatan upah kerja atau hasil kerja ditentukan bukan oleh
perusahaan sepenuhnya (perusahaan memberikan upah sama pada setiap orang) tetapi
di tentukan oleh rajin tidaknya seseorang dapat menghasilkan suatu produksi.
7.1.3 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap Jaminan Kesehatan
Dalam sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan kerabat pekerja dengan
pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan kesehatan yang diterima pekerja. Di duga
bahwa ada hubungan kekerabatan dengan jaminan kerja yang diterima pekerja.
91
Tabel 19. Jumlah dan Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Kekerabatan, Jaminan Kesehatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Pekerja Jaminan Kesehatan
KekerabatanRendah(Bukankerabat)
Sedang(Kerabat
jauh)
Tinggi(Kerabatdekat)
Laki-laki
2(Rendah)
4(100.0)
6(75.0) -
3-4(Sedang) -
2(25.0)
4(50.0)
5(Tinggi) - -
4(50.0)
Total4
(100)8
(100)8
(100)
Perempuan
2(rendah)
3(100.0)
8(100.0)
4(44.4)
3-4(Sedang - -
3(33.3)
5(Tinggi) - -
2(22.2)
Total3
(100)8
(100)9
(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Berdasar Tabel 19 di atas pekerja POS laki-laki yang bukan kerabat pemilik
/pengusaha semuanya (100 persen) memperoleh jaminan yang sangat rendah dari
industri tas. Sedangkan pada pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan
kerabat jauh menerima jaminan kesehatan lebih sedikit dari pekerja POS laki-laki
yang bukan kerabat pemilik/industri. Demikin juga tidak ada satu pun (nol persen)
pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan
pemilik/pengusaha industri tas menerima jaminan rendah dari industri tas. Sebaliknya
jaminan kesehatan yang tinggi hanya di terima oleh kelompok pekerja POS laki-laki
yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha industri tas (50
persen).
Pekerja perempuan POS terdapat hubungan kekerabatan dengan
pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan yang diperoleh pekerja POS perempuan.
92
Semua pekerja POS perempuan yang bukan kerabat dan mempunyai hubungan jauh
semuanya (100 persen) mendapat jaminan kesehatan yang rendah., sedangkan pekerja
POS perempuan yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha
hanya 44,4 persen saja yang menerima jaminan rendah dari penngusaha. Sedangkan
jaminan kesehatan yang tinggi hanya diterima oleh pekerja POS perempuan yang
mempunyai hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha sebesar 22,3 persen.
Data ini menggambarkan bahwa ada hubungan makin dekat kekerabatan maka
semakin tinggi jaminan kesehatan yang di peroleh oleh pekerja POS. Ada hubungan
positif antara kekerabatan dan jaminan kesehatan. Data di atas didukung dengan
ungkapan di bawah ini:
……., Terkadang kalau sakit batuk parah boleh meminta obat kepada bapakH. AK, kalau orang lain jarang diperbolehkan. Kalau bapak (suami)diperbolehkan karena Bpk. H. AK masih ada hubungan kekerabatan dengansaya, dengan istri Bpk H. AK. Lagipula kami tetangga beda tiga Rumah.(Ibu SL, 55 th, pekerja POS).
7.1.4 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap Jaminan Keselamatan Kerja
Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan kerabat pekerja dengan
pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang diterima
pekerja. Di duga bahwa ada hubungan kekerabatan dengan jaminan keselamatan dan
fasilitas kerja yang diterima pekerja.
93
Tabel 20. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Hubungan Kekerabatan, Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja, Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
PekerjaJaminan Keselamatan
dan Fasilitas Kerja
Kekerabatan
Sedang(Kerabat jauh)
Sedang(Kerabat jauh)
Tinggi(Kerabatdekat)
Laki-laki
1(Rendah)
4(100.0)
8(100.0)
3(37.5)
2(Sedang) - -
4(50.0)
3(Tinggi) - -
1(12.5)
Total4
(100)8
(100)8
(100)
Perempuan
1(rendah)
3(100.0)
8(100.0)
6(66.6)
2(Sedang - -
2(22.2)
3(Tinggi) - -
1(11.2)
Total3
(100)8
(100)9
(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Pekerja POS laki-laki yang bukan kerabat dan kerabat jauh pemilik/pengusaha
semuanya (100 persen) dari masing-masing kelompok memperoleh jaminan
keselamatan dan fasilitas kerja yang sangat rendah. Demikin juga hanya (37.5
persen) pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan
pemilik/pengusaha industri tas yang menerima jaminan keselamatan dan fasilitas yang
rendah dari industri tas. Sebaliknya jaminan keselamatan dan fasilitas yang tinggi
hanya di terima oleh kelompok pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan
kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha industri tas walaupun hanya 12.5 persen dari
kelompok tersebut.
Demikian juga dengan pekerja perempuan POS nampak adanya hubungan
kekerabatan dengan pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan keselamatan dan fasilitas
94
yang diperoleh pekerja POS perempuan. pekerja perempuan POS baik dari kelompok
bukan kerabat dan kerabat jauh semuanya dari masing-masing kelompok (100 persen)
mendapat jaminan keselamatan dan fasilitas yang rendah, sedangkan pekerja POS
perempuan yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha
hanya 66,6 persen saja dari kelompok tersebut. Sedangkan jaminan keselamatan dan
fasilitas yang tinggi hanya diterima oleh pekerja POS perempuan yang mempunyai
hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha walaupun hanya 11,2 persen saja
dari kelompoknya. Data ini menggambarkan bahwa ada hubungan makin dekat
kekerabatan maka semakin tinggi jaminan keselamatan dan fasilitas yang di peroleh
oleh pekerja POS. Ada hubungan positif antara kekerabatan dengan jaminan
keselamatan dan fasilitas kerja. Data di atas didukung dengan ungkapan di bawah ini:
.. di bawa ke dokter, dari bapak H. AK akan di antarkan dengan mobilnya danbiaya rumahsakit di bayar oleh bapak H. AK, tetapi tidak semua orang seperti itu,mungkin karena saya masih ada hubungan kekerabatan.(Bpk ZN, 55 th, Pekerja POS).
7.1.5 Pengaruh Hubungan Kekerabatan Terhadap Jaminan Keluarga
Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan kerabat pekerja dengan
pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan keluarga yang diterima pekerja. Di duga
bahwa ada hubungan kekerabatan dengan jaminan keluarga yang diterima pekerja.
95
Tabel 21. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Kekerabatan, Jaminan Keluarga dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Pekerja Jaminan Keluarga
Kekerabatan
Sedang(Kerabat jauh)
Sedang(Kerabat jauh)
Tinggi(Kerabat
dekat)
Laki-laki
2(Rendah)
4(100.0)
4(50.0) -
3-4(Sedang) -
4(50.0)
6(75.0)
5(Tinggi) - -
2(25.0)
Total4
(100)8
(100)8
(100)
Perempuan
2(rendah)
3(100.0)
8(100.0)
4(44.4)
3-4(Sedang - -
4(44.4)
5(Tinggi) - -
1(11.2)
Total3
(100)8
(100)9
(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Pekerja POS laki-laki yang bukan kerabat pemilik/pengusaha semuanya (100
persen) memperoleh jaminan keluarga yang sangat rendah dari industri tas. Sedangkan
pada pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat jauh hanya 50
persennya yang mempunyai menerima jaminan keluarga yang rendah hanya lebih
sedikit lebih sedikit dari pekerja POS laki-laki yang bukan kerabat pemilik/industri.
Demikin juga tidak ada satu pun (nol persen) pekerja POS laki-laki yang mempunyai
hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha industri tas menerima jaminan
rendah dari industri tas. Sebaliknya jaminan keluarga yang tinggi hanya di terima oleh
kelompok pekerja POS laki-laki yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan
pemilik/pengusaha industri tas walaupun hanya 25 persen.
Pekerja perempuan POS memiliki hubungan kekerabatan dengan
pemilik/pengusaha tas terhadap jaminan yang diperoleh pekerja POS perempuan.
96
pekerja perempuan POS baik dari kelompok bukan kerabat dan kerabat jauh semuanya
dari masing-masing kelompok (100 persen) mendapat jaminan keluarga yang rendah,
sedangkan pekerja POS perempuan yang mempunyai hubungan kerabat dekat dengan
pemilik/pengusaha hanya 44,4 persen saja dari kelompok tersebut. Sedangkan jaminan
keluarga yang tinggi hanya diterima oleh pekerja POS perempuan yang mempunyai
hubungan kerabat dekat dengan pemilik/pengusaha walaupun hanya 11,2 persen saja
dari kelompok tersebut. Data ini menggambarkan bahwa ada hubungan makin dekat
kekerabatan maka semakin tinggi jaminan keluarga yang di peroleh oleh pekerja POS.
Ada hubungan positif antara kekerabatan dan jaminan keluarga. Data di atas didukung
dengan ungkapan di bawah ini.
7.2 Pengaruh Pendidikan Terhadap Kondisi Kerja
7.2.1 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap KesulitanMemperoleh Kerja
Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan pekerja
terhadap kesulitan memperoleh kerja yang diterima pekerja. Di duga bahwa ada
hubungan tingkat pendidikan dan kesulitan memperoleh kerja yang diterima pekerja.
Hubungan tersebut dapat dilihat dari Tabel 22 di bawah ini.
97
Tabel 22. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Kesulitan Memperoleh Kerja dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
PekerjaMudah Tidaknya
diterima dalam POSTingkat Pendidikan
Rendah Sedang Tinggi
Laki-laki
Sulit(R )
3(50.0)
1(11.2)
1(20.0)
Sedang(S)
1(16.6)
5(55.5)
1(20.0)
Tidak sulit(T)
2(33.3)
3(33.3)
3(60.0)
Total6
(100)9
(100)5
(100)
Perempuan
Sulit(R )
4(33.3)
1(16.66) -
Sedang(S)
5(41.7)
4(66,67) -
Tidak sulit(T)
3(25.0)
1(16.66)
2(100.0)
Total12
(100)6
(100)2
(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Terdapat gambaran makin tinggi pendidikan semakin tidak mendapat kesulitan
untuk diterima sebagai Pekerja POS, ada 60 persen dari kelompok pekerja yang
berpendidikan tinggi yang merasa tidak mendapat sulit untuk menjadi pekerja POS
dalam industri tas, dibanding 33,3 persen dari kelompok pekerja POS laki-laki yang
berpendidikan rendah. Untuk pekerja POS perempuan 100 persen dari kelompoknya
tidak mendapat kesulitan menjadi pekerja tas dibanding dengan 25 persen dari pekerja
POS perempuan berpendidikan rendah. Ini menggambarkan ada hubungan antara
pendidikan dengan tingkat kesulitan pada saat akan menjadi pekerja di perusahaan tas.
Namun demikian dari data sebaran pendidikan dalam kelompok pekerja di perusahaan
tas sangat sedikit sekali ditemukan pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan
yang berpendidikan tinggi. Sebagian besar pekerja POS baik laki-laki maupun
perempuan berpendidikan berpendidikan rendah dan sedang, terutama pekerja
perempuan berpendidikan rendah mendominasi dalam kelompok mereka. Ini
98
menggambarkan ada hubungan antara pendidikan dengan kesulitan memperoleh
pekerjaan di industri tas.
7.2.2 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Pendapatan Perbulan
Dalam sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan
pekerja terhadap upah kerja yang diterima pekerja. Di duga bahwa ada hubungan
tingkat pendidikan dan upah kerja yang diterima pekerja. Hubungan tersebut dapat
dilihat dari Tabel 23 di bawah ini.
Tabel 23. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Pendapatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Pekerja PendapatanTingkat Pendidikan
Rendah Sedang Tinggi
Laki-laki
UMR (R)3
(50.0)4
(40) -
= UMR (S)2
(33,3)4
(40)5
(100)
UMR (T)1
(16,7)1
(10.0) -
Total6
(100)9
(100)5
(100)
Perempuan
UMR (R)9
(45.0)6
(30.0)2
(10.0)
= UMR (S)2
(10.0) - -
UMR (T)1
(5.0) - -
Total12
(100)6
(100)2
(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Terdapat gambaran bahwa kelompok pekerja POS laki-laki berpendidikan
tinggi tidak ada yang mempunyai pendapatan tinggi (nol persen), justru kelompok
pekerjas POS laki-laki yang berpendapatan tinggi semuanya (100 persen). Ini artinya
tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan pekerja dengan pendapatan kerja
perbulan. Sistem upah yang berlaku adalah sistem borongan, berdasarkan jumlah hasil
99
yang dikerjakannya. Besar kecilnya pendapatan perbulan ditentukan oleh giat tidaknya
seseorang mengerjakan pekerjaan, dalam hal ini berarti pendidikan tidak
mempengaruhi kegiatan seseorang untuk memperoleh pendapatan yang tinggi.
Terlihat dari pekerja POS yang berpendidikan tinggi tidak memperoleh pendapatan
perbulan lebih tinggi daripada pekerja POS laki-laki yang sedang dan rendah.
Demikian juga hal tersebut berlaku pada pekerja POS perempuan tidak hubungan
antara pendidikan dengan pendapatan perbulan mereka. Nampak dari pekerja POS
perempuan yang berpendidikan tinggi semuanya (100 persen) berpendapatan rendah
perbulannya.
Dari fakta di atas dapat dilihat bahwa pendidikan tidak mempengaruhi
pendapatan para pekerja, karena pendapatan tersebut lebih ditentukan oleh diri pekerja
itu sendiri (tingkat kegiatan pekerja dalam pekerja).Ini berarti tingkat pendidikan baik
bagi pekerja POS laki-laki maupun perempuan tidak dipergunakan maksimal untuk
meningkatkan kegiatan bekerja dan pendapatan perbulan mereka.
7.2.3 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Kesehatan Pekerja
Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan pekerja
terhadap jaminan kesehatan yang diterima pekerja. Di duga bahwa ada hubungan
tingkat pendidikan dan jaminan kesehatan yang diterima pekerja. Hubungan tersebut
dapat dilihat dari Tabel 24 di bawah ini.
100
Tabel 24. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Jaminan Kesehatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
PekerjaJaminan
KesehatanTingkat Pendidikan
Rendah Sedang Tinggi
Laki-laki
2(Rendah)
4(66.7)
5(55.5)
1(20)
3-4(Sedang)
2(33.3)
3(33.3)
1(20)
5(Tinggi) -
1(11.2)
3(60)
Total6
(100)9
(100)5
(100)
Perempuan
2(rendah)
10(83.4)
5(83.4) -
3-4(Sedang
1(8.3)
1(16.6)
1(50.0)
5(Tinggi)
1(8.3) -
1(50.0)
Total12
(100)6
(100)2
(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Nampak ada hubungan antara pendidikan dengan jaminan kesehatan yang
diterima oleh pekerja terlihat ada 66.7 persen dari kelompok pekerja POS laki-laki
yang menerima jaminan kesehatan dibanding dengan 11,2 persen dari kelompok
pekerja POS laki-laki dan tidak ada sama sekali dari kelompok pekerja POS laki-laki
yang berpendidikan rendah mendapatkan jaminan kesehatan yang tinggi. Ini artinya
makin tinggi pendidikan makin tinggi jaminan yang diterima pekerja
Pekerja POS perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi
jaminan kesehatan yang diterima pekerja. Ada 50 persen dari kelompok pekerja POS
perempuan yang menerima jaminan kesehatan tinggi di banding dengan 8,3 persen
kelompok pekerja POS perempuan yang berpendidikan rendah, atau ada 83,4 dari
kelompok pekerja POS perempuan berpendidikan rendah mendapatkan jaminan
kesehatan rendah dibandingkan dengan 83,4 persen POS perempuan berpendidikan
sedang dan sama sekali dari pekerja POS perempuan yang berpendidikan tinggi
101
menerima jaminan kesehatan rendah . Ini menggambarkan bahwa tingkat pendidikan
pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan berpengaruh terhadap jaminan
kesehatan yang diterimanya.
7.2.4 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Jaminan dan
Fasilitas Kerja
Sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan pekerja
terhadap jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang diterima pekerja. Di duga bahwa
ada hubungan tingkat pendidikan dan jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang
diterima pekerja. Hubungan tersebut dapat dilihat dari Tabel 25 berikut :
Tabel 25. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Tingkat Pendidikan, Jaminan Keselamatan dan Fasilitas Kerja, Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
PekerjaJaminan Keselamatan
& Fasilitas KerjaTingkat Pendidikan
Rendah Sedang Tinggi
Laki-laki
1(Rendah)
6(100)
8(88,9)
1(20.0)
2(Sedang) -
1(11,1)
3(60.0)
3(Tinggi) - -
1(20.0)
Total6
(100)9
(100)5
(100)
Perempuan
1(rendah)
11(91.7)
6(100.0) -
2(Sedang
1(8.3) -
1(50.0)
3(Tinggi) - -
1(50.0)
Total12
(100)6
(100)2
(100)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Ada kecenderungan makin rendah tingkat pendidikan pekerja makin rendah
jaminan keselamatan dan fasilitas kerja tergambar dari semua (100 persen) pekerja
102
POS laki-laki yang dari kelompok pekerja POS yang berpendidikan rendah
mendapatkan jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang rendah, dibanding dengan
kelompok pekerja POS laki-laki dari kelompok berpendidikan sedang ada 88,9 persen
yang menerima jaminan keselamatan dan fasilitas kerja, demikian juga hanya 20
persen kelompok pekerja laki-laki dari kelompok pendidikan tinggi yang menerima
jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang rendah. Namun pada pekerja POS laki-
laki berpendidikan tinggi sebagian besar (60 persen) menerima jaminan keselamatan
dan fasilitas kerja sedang. Hal ini menunjukan bahwa hubungan pendidikan dengan
jaminan keselamatan dan fasilitas kerja tidak terlalu signifikan.
Pada pekerja perempuan POS tidak nampak pengaruh pendidikan terhadap
jaminan penerimaan jaminan keselamatan dan fasilitas kerja, karena sebagian besar (60
persen) pekerja berpendidikan rendah dan 30 persen berpendidikan sedang. Dimana
mereka memperoleh jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang rendah (pendidikan
rendah memperoleh 91,7 persen; pendidikan sedang memperoleh 100 persen ). Hanya
10 persen saja yang memperoleh jaminan keselamatan dan fasilitas kerja tinggi dan
sedang.
7.2.5 Pengaruh Hubungan Tingkat Pendidikan Terhadap Jaminan Keluarga
Dalam sub bab ini akan dibahas sejauh mana hubungan tingkat pendidikan
pekerja terhadap jaminan keluarga yang diterima pekerja. Di duga bahwa ada
hubungan tingkat pendidikan dengan jaminan keluarga yang diterima pekerja.
Hubungan tersebut dapat dilihat dari Tabel 25 di bawah ini.
103
Tabel 26. Jumlah dan Persentase Pekerja Tas Berdasarkan Pendidikan, Jaminan Keluarga, Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan persentase
Kelompok pekerja POS laki-laki berpendidikan rendah sedanga dan tinggi
berturut-turut menerima jaminan keluarga yang rendah (50 persen; 44,4 persen; dan 20
persen) ini menunjukan bawah makin rendah pendidikan makin rendah pula jaminan
keluarga yang diterima. Sebaliknya Kelompok pekerja POS laki-laki yang menerima
jaminan keluarga tinggi hanya ada pada kelompok pekerja POS laki-laki hanya ada
pada pada berpendidikan tinggi saja 20 persen tidak ditemui pada kelompok
berpendidikan rendah dan berpendidikan sedang. Pekerja perempuan POS tidak
nampak pengaruh pendidikan terhadap jaminan penerimaan keluarga, karena sebagian
besar (60 persen) pekerja berpendidikan rendah dan 30 persen berpendidikan sedang.
Dimana mereka memperoleh jaminan keluarga yang rendah (pendidikan rendah
memperoleh 75,0 persen; pendidikan sedang memperoleh 100 persen). Hanya 10
persen saja yang memperoleh jaminan keluarga tinggi dan sedang.
Pekerja Jaminan KeluargaPendidikan
Rendah Sedang Tinggi
Laki-laki
2(Rendah)
3(50.0)
4(44.4)
1(20.0)
3-4(Sedang)
3(50.0)
5(55.6)
2(40.0)
5(Tinggi) - -
2(40.0)
Total6
(100)9
(100)5
(100)
Perempuan
2(rendah)
9(75.0)
6(100.0) -
3-4(Sedang
3(25.0) -
1(50.0)
5(Tinggi) - -
1(50.0)
Total12
(100)6
(100)2
(100)
104
7.3 Pengaruh Pengalaman dan Keterampilan Terhadap Kondisi Kerja
Pengalaman kerja dan keterampilan kerja yang dipunyai dilihat dari seberapa
banyak pengalaman dan keterampilan kerja yang diperoleh oleh pekerja putting out
system baik laki-laki maupun perempuan sebelum bekerja di industri tas. Dari bahasan
bab dimuka ditemukan bahwa pengalaman dan keterampilan pekerja POS baik laki-
laki dan perempuan tidak berhubungan dengan keberadaan mereka setelah menjadi
pekerja POS di industri tas. Demikian juga keterampilan setelah menjadi pekerja POS
baik laki-laki maupun perempuan juga tidak berpengaruh baik pada pendapatan
maupun jaminan kerja yang diperoleh pekerja.
Yang berpengaruh dari faktor keterampilan bukanlah bukanlah dari berapa
banyak jenis keterampilan yang dimiliki disaat bekerja di industri tas, tetapi kualitas
keterampilan . Fakta tersebut terungkap dalam wawancara dengan Bapak TT pemilik
usaha POS.
Pekerjaan yang mudah dan gaji nya paling rendah disebut juga kerja kenek, yaknimemasang aksesoris, mengelem/ngelatek, penekuk dan finishing/mencek,pekerjaan tersebut hampir semuanya dikerjakan oleh perempuan ataupun pemula.Bulan lalu dengan gaji berkisar 50.000,- Rp. 60.000,- per minggu, tergantungkeahlian. Sedangkan menjahit dan membuat pola, memotong, dan menjahitdikerjakan oleh para laki-laki atau pun pekerja senior, dan keterampilan tersebuthanya diturunkan kepada laki-laki saja. Sangat jarang dalam desa ini perempuanmenjadi pejahit dan membuat pola. Gaji yang diterima oleh laki-laki pembuatpola, penggunting, dan penjahit. Gaji yang diterima pekerja bulan lalu berkisarantara Rp. 100.000 Rp150.000 perminggu, gaji ditentukan berdasarkan keahlian.(Bpk. TT, 38 th, pemilik home industry tas)
Ungkapan lain yang mendukung fakta di atas di kemukakan juga oleh pekerja POS
perempuan :
Yang menjahit pada umumnya laki-laki, dari suami saya bisa menjahit dan membuatpola kemudian diteruskan kepada anak saya yang laki-laki yang ikut bekerja dalambidang tas ini. Kalau saya perempuan cukup bantu-bantu mengelem, menekuk ataupasang aksesoris.(Ibu LI, 24 th, pekerja POS)
105
Dari fakta di atas dapat dilihat yang mendapat keterampilan berkualitas adalah
laki-laki, dan ini berpengaruh kepada pendapatan yang diperoleh mereka. Karena
perempuan tidak memperoleh keterampilan berkualitas tinggi tersebut maka
pendapatan perempuan pekerja POS selalu lebih kecil dari pendapatan laki-laki.
106
BAB VIII
KESEJAHTERAAN RUMAHTANGGA POS DI
HOME INDUSTRY TAS
Bab ini ingin melihat apakah setelah responden bekerja sebagai pekerja POS di
home industry tas membawa pengaruh pada kesejahteraan rumahtangganya. Sehingga
dalam bab ini perlu dilihat bagaimana kesejahteraan rumahtangga responden pada saat
penelitian ini dilakukan
Kesejahteraan rumah tangga adalah sejauhmana rumahtangga responden dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dilihat dari pola makan, kesehatan keluarga dan
pendidikan anggota keluarga berdasarkan jenis kelamin responden.
8.1 Pola Konsumsi Keluarga Pekerja POS
Pola konsumsi dilihat dari berapa kali rumahtangga makan dalam sehari dan
kualitas makanan yang dimakan dalam sehari. Kondisi pola konsumsi pekerja POS
dapat dilihat dalam Tabel 27 berikut :
Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Makan sehari dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Frekuensi Konsumsi Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 10 50,00 6 30,00
Sedang 9 45,00 13 55,00
Rendah 1 5,00 1 5,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Dilihat dari Tabel 27 di atas, nampak bahwa mereka tidak kekurangan makan,
50 persen pekerja POS laki-laki makan 3 kali sehari sedangkan 30 persen
107
perempuan pekerja makan lebih jarang daripada laki-laki. Perempuan makan cukup
dua kali sehari. Namun demikian seringnya makan tidak indentik dengan tingginya
kesehatan mereka karena sering makan belum tentu menjamin kesehatan mereka
karena bisa saja orang sering makan tetapi kualitas yang dimakannya belum memenuhi
kesehatan atau sehingga dalam hal ini perlu dilihat juga kualitas makanan yang
dimakan oleh para pekerja POS.
Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kualitas Makanan yang di Makan Per hari dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Kualitas
Konsumsi
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 2 10,00 1 5,00
Sedang 10 50,00 8 40,00
Rendah 8 40,00 11 55,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Dari tabel 28, hanya 10 persen saja pekerja POS laki-laki yang memakan
makanan berkualitas tinggi demikian pula perempuan hanya 5 persen saja dari pekerja
POS perempuan yang memakan makanan yang berkualitas tinggi. Sebagian besar baik
pekerja POS laki-laki mengkonsumsi makanan berkualitas sedang 50 persen,
sedangkan pekerja POS perempuan 55 Persen mengkonsumsi makanan berkualitas
rendah. Tabel 25 dan Tabel 26 di atas menggambarkan bahwa pekerja POS laki-laki
makan dengan frekuensi tinggi tetapi dengan kualitas yang sedang, sedangkan
perempuan makan dengan frekuensi sedang dengan kualitas makanan yang rendah. Ini
berarti pola konsumsi keluarga mereka belum dapat di katakan memenuhi persyaratan,
karena hanya sebagian kecil saja baik pekerja POS laki-laki maupun perempuan yang
dapat mengkonsumsi makanan yang berkualitas tinggi.
108
8.2 Kesehatan Keluarga Pekerja POS
Kesehatan keluarga pekerja POS di industri tas dilihat dari frekuensi keluarga
pekerja pergi berobat dalam setahun dan jenis pengobatannya dalam setahun. Kondisi
kesehatan keluarga dilihat dari Tabel 29 berikut
Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Berobat Keluarga dalam Setahun dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Frekuensi Berobat Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 2 10,00 3 15,00
Sedang 9 45,00 10 50,00
Rendah 9 45,00 7 35,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Dilihat dari Tabel 28 di atas frekuensi berobat dari keluarga pekerja POS laki-
laki cenderung pada kategori berobat sedang dan rendah (masing-masing 45 persen),
sedangkan kondisi berobat POS perempuan sebagian besar berada pada kategori
berobat dengan frekuensi sedang sebesar 50 persen. Dari data tersebut menggambarkan
bahwa berobat tidak merupakan hal yang dianggap terlalu penting dalam kehidupan
pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan, nampak dari hanya 15 persen saja dari
keluarga pekerja POS perempuan yang sering pergi ke dokter sehingga frekuensi
berobat dengan kategori tinggi hanya di temui pada 10 persen pada pekerja laki-laki
yang pergi ke dokter bila mengalami sakit. Selain frekuensi berobat kedokter juga
jenis pengobatan yang dilakukan oleh pekerja POS ikut menentukan kualitas kesehatan
yang dimiliki mereka dalam hal ini di kategorikan kualitas pengobatan tinggi bila
responden ke dokter baik dokter praktek kualitas sedang bila berobat puskesmas dan
109
kualitas berobat rendah bila mempergunakan non medis (dukun, alternatif, dll), obat
warung/jamu dan lain-lain
Tabel 30. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jenis Pengobatan dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Jenis Pengobatan Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase(%) Jumlah Persentase(%)
Tinggi 6 30,00 5 25,00
Sedang 4 20,00 6 30,00
Rendah 10 50,00 11 55,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Ternyata dari Tabel 29 ini sebagian besar baik pekerja POS laki-laki maupun
pekerja POS perempuan sebagian besar lebih memilih untuk berobat dengan cara
membeli obat dari warung (laki-laki 50 persen ; perempuan 55 persen). Dari kedua
tabel di atas (Tabel 28 dan 29 ) dapat di simpulkan bahwa tingkat kesehatan keluarga
POS baik laki-laki maupun perempuan belumlah memadai, karena kesadaran untuk
pergi berobat dan kualitas cara pengobatannya dapat dikatakan masih rendah.
8.3 Tingkat Pendidikan Keluarga Pekerja POS
Pola konsumsi dan pola kesehatan keluarga, hal yang bisa menunjukkan tingkat
kesejahteraan keluarga adalah keberhasilan menyekolahkan yang telah di capai oleh
anggota dari keluarga pekerja POS. Pada saat penelitian ini dilangsungkan, sejauh
mana tingkat pendidikan yang telah di capai anggota POS baik laki-laki maupun
perempuan. Tingkat pendidikan dilihat dari berapa jumlah anggota keluarga yang tidak
melanjutkan sekolah atau Drop Out. Keberasilan menyekolahkan anggota keluarga
dapat dilihat dari Tabel 30
110
Tabel 31. Jumlah dan Persentase Jumlah Keluarga Responden Berdasarkan Keberhasilan Menyekolahkan Anggota Keluarga dan Jenis Kelamin, Desa Bojongrangkas 2007
Jumlah Anggota Keluargayang Tidak Melajutkan
Sekolah/DO
Laki-Laki Perempuan
Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase
(%)
Tinggi 10 50,00 11 55,00
Sedang 8 40,00 8 40,00
Rendah 2 10,00 1 5,00
Jumlah 20 100,00 20 100,00
Dilihat dari Tabel 30 di atas dapat dilihat bahwa keluarga POS laki-laki
maupun perempuan belum berhasil menyekolahkan keluarga mereka terlihat dari
masih banyaknya keluarga pekerja baik laki-laki maupun perempuan yang anggota
keluarganya tidak melanjutkan sekolah atau DO. Pekerja laki-laki terlebih dari pekerja
perempuan jumlah anggota keluarga yang tidak dapat melanjutkan lebih banyak (laki-
laki 50 persen; perempuan 55 persen) , ini berarti keluarga POS belum mampu
memberikan pendidikan kepada anggota keluarganya sekalipun mereka sudah bekerja
sebagai putting out system di home industry tas.
Dari fakta-fakta di atas tingkat kesejahteraan pekerja POS laki-laki terlebih lagi
pekerja POS perempuan belum sejahtera terlihat baik dari pola konsumsi, kesehatan
keluarga dan keberhasilan dalam memberikan pendidikan dalam anggota keluarga
dapat dikatakan masih rendah.
111
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
9. 1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan kekerabatan antara pekerja dengan pemilik/ pengusaha industri tas
terhadap jumlah pekerja dalam industri tas. Jumlah pekerja yang mempunyai
hubungan kekerabatan yang dekat lebih banyak dibanding dengan pekerja yang
bukan kerabat dari pemilik/pengusaha industri tas.
2. Kondisi pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan berada pada posisi relatif
belum baik, hal ini dilihat karena :
a). Lebih mendahulukan kerabat untuk diterima menjadi pekerja.
b). Upah kerja/pendapatan perbulan laki-laki berada pada kategori sedang
Sedangkan pekerja perempuan didominasi pada kategori pendapatan rendah
(dibawah UMR). Hal ini karena ada anggapan bahwa perempuan hanya sebagai
pembantu rumahtangga, sehingga ada beberapa pekerja POS perempuan yang
dikategorikan sebagai upah POS keluarga (kerja perempuan tidak diperhitungkan).
c). Pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan menerima jaminan keluarga
yang relatif rendah terlebih pekerja perempuan menerima upah lebih rendah
daripada pekerja laki-laki.
3. Ada beberapa faktor yang berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap kondisi
kerja para pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan di industri tas, yaitu :
a). Ada hubungan kekerabatan dengan tingkat kesulitan seseorang untuk diterima
menjadi pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan pada industri tas. Makin
112
dekat hubungan kekerabatan antara pekerja dengan pengusaha/pemilik industri
maka makin mudah untuk diterima sebagai pekerja POS.
b). Tidak ada hubungan kekerabatan dengan upah kerja/pendapatan perbulan
pekerja POS baik laki-laki maupun perempuan. Kekerabatan tidak berpengaruh
pada upah kerja/ pendapatan perbulan, baik untuk pekerja laki-laki maupun
perempuan hal ini disebabkan karena pendapatan upah kerja atau dari hasil kerja
ditentukan bukan oleh perusahaan sepenuhnya (perusahaan memberikan upah sama
pada setiap orang)tetapi di tentukan oleh rajin tidaknya seseorang dapat
menghasilkan suatu produksi.
c). Kekerabatan berpengaruh pada jaminan kerja (jaminan kesehatan, jaminan
keselamatan, keluarga) tetapi tidak berpengaruh pada pekerja perempuan. Hal ini
disebabkan karena ada anggapan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga sehingga
mendapatkan jaminan lebih besar daripada perempuan.
d). Pendidikan tidak mempengaruhi pendapatan para pekerja, karena lebih
ditentukan oleh pekerja itu sendiri (faktor kegiatan pekerja) sedangkan jaminan
kerja (jaminan kesehatan, keselamatan dan fasilitas kerja) dan jaminan keluarga di
pengaruhi oleh pendidikan, karena yang menentukan jaminan tersebut adalah
perusahaan yang menghargai faktor pendidikan para pekerjanya. Berbeda dengan
pekerja perempuan jaminan kerja dan jaminan keluarga tidak di pengaruhi oleh
pendidikan pekerja. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerja POS
perempuan berpendidikan rendah.
e). Pada keterampilan berkualitas tinggi yang berdampak pada upah tinggi dalam
POS lebih diberikan pada pekerja laki-laki daripada pekerja perempuan dan lebih
diturunkan kepada anak laki-laki daripada perempuan. Sehingga pekerja
113
perempuan hampir tidak perempuan yang memiliki keterampilan yang berkualitas
tinggi sehingga berdampak pada pendapatan kerja perempuan daripada pendapatan
kerja laki-laki
4. Bekerjanya seseorang pada POS baik laki-laki maupun perempuan belum
berdampak baik terhadap kesejahteraan keluarganya. Terlebih lagi kesejahteraan
rumahtangga pekerja POS perempuan jauh lebih buruk daripada kesejahteraan
rumahtangga pekerja POS laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari pola konsumsi,
kesehatan keluarga dan keberhasilan memberikan pendidikan pada anggota
keluarga yang masih rendah.
9.2 Saran
Saran dari penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan kondisi POS yang rendah sebaiknya memperbaiki sistem
pengupahan dan meningkatkan pemberian jaminan yang sama baik untuk pekerja
POS laki-laki maupun perempuan.
2. Untuk meningkatkan produksi yang dihasilkan pekerja agar pendapatan pekerja
lebih baik peningkatan upah kerja atau pendapatan kerja sebaiknya para pekerja
meningkatkan etos kerjanya, wujud konkret peningkatan etos kerja melalui
pelatihan-pelatihan kerja.
3. Memperpendek rantai tata niaga dalam industri tas, yakni dengan menghilangkan
perantara antara industri tas besar dengan pemilik home industry.
4. Membatasi usia kerja buruh POS (pembatasan usia buruh POS)
5. Menghilangkan steriotipe perempuan hanya sebagai pekerja rumahtangga, laki-laki
sebagai pencari nafkah utama sedangkan perempuan hanya “pembantu laki-laki”,
114
salah satu upaya menghilangkan steriotipe adalah melalui sosialisasi gender pada
home industry tas di Bojongrangkas. Diharapkan dengan adanya sosialisasi gender
akan meningkatkan upah, jaminan kerja serta jaminan keluarga sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan keluarga.
115
DAFTAR PUSTAKA
Artikel dan Buku
Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender (Wanita Pabrikan : Simbol
Pergeseran Status Wanita Desa oleh Warto). Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
---------------------------- Sangkan Paran Gender (Pengorbanan Wanita
Pekerja Industri oleh Ken Surtiyah). Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Boserup, Ester. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.
Dewayanti, Ratih dan Erna Ermawati Chotim. 2004. Marjinalisasi dan
Ekspoitasi Perempuan Usaha Mikro di Pedesaan. Bandung : Penerbit
Akatiga
Goode, Wiliam. 2002. Sosiologi Keluarga. Bumi Aksara.
Koentjaranigrat. 1965. Pengantar Antropologi. Jakarta : Penerbit universitas.
Muljono, Pudji. 2003. Bahan Ajar Metodologi Penelitian Sosial. Bogor :
Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.
Muniarti, Nunuk P, dkk. 2001. Gerakan Ekonomi Perepuan Sebagai Basis
Ekonomi Rakya. Jakarta : Penerbit PT. Bina Rena Pariwara.
Safaria, A. F, dkk. 2003. Hubungan Perburuhan Di Sektor Informal
(Permasalahan dan Prospek). Bandung : Penerbit Akatiga.
Sajogyo, Pudjiwati, dkk. 1983. Peranan Wanita dalam Perkembangan
Masyarakat Desa. Jakarta : CV. Rajawali.
116
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan
Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta : PT. Pustaka
Utama Grafiti.
Schneider. 1993. Sosiologi Industri. Penerbit PT. Aksara Persada Indonesia.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metodologi Penelitian
Survai. Jakarta : LP3ES.
Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Raja Grafindo Persada.
Sumiarni, Endang. 2004. Jender dan Feminisme. Yogyakarta : PT. Wonderful
Publishing Company.
Undang-Undang Ketenagakerjaan Tahun 2003. 2005. Tim Redaksi Aulia.
Wigna, Winati. 1990. Putting Out System in Rural Industrialisation A
comparative Study between Indonesia and Japan. Summary,
unpublished.
Tesis
Metera, I Gede Made. 1996. Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk
Pembangunan Fasilitas Pariwisata dan Dampaknya Terhadap Petani.
Tesis. Bogor : Insitut Pertanian Bogor
Artikel dari Internet
Antropologi, Jurnal. 1 Agustus 2008
http:www.jurnalantropologi.com
Fillaili, Rizki. 2004. Profil Usaha Mikro.
http://www.smeru.or.id/newslet/2004/ed10/200410data.html
117
Indraswari (Senin, 24 Mei 2004). Perempuan dan Kerja.
Http://www.CyberKompas.com
SMERU, Tim. Aspek Ketenagakerjaan Semasa Krisis Ekonomi Studi
Kasus di Empat Industri.
http://www.smeru.or.id/newslet/1999/ed07/field71.htm
Wijoyo, Santoso (20 Maret 2003). Kredit Bermasalah UKM di Jatim
Cenderung Meningkat.
Http://www.CyberKompas.com
Wikipedia. 1 Agustus 2008http://www.wikipedia.com
118
KUISIONER
Tanggal :_____________
Nama Responden :_____________
Usia :_____________ tahun
Jenis Kelamin : a. Laki-laki b. Perempuan
Pendidikan terakhir : _____________
Pekerjaan saat ini : _____________
Lamanya bekerja : _____________
Subkontraktor dari : _____________
Alamat : Jalan / Gang_______________ No._____ Telp. _______
RT _____ / RW _____ Kelurahan _________
Data keluargaNama Pendidikan
Formal terakhirUmur Status dalam
keluargaJenis
kelamin(L/P)
Pekerjaan
Keterangan Pilihan :
pendidikan formal terakhir (SD, SLTP, SLTA, Perguruan tinggi/akademi)
status dalam keluarga (anak, istri, suami, orang tua, kerabata, dll)
PERTANYAAN1. Apakah anda memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik industri :
A. Ya B. Tidak
2. Bagaimana hubungan anda dengan pemilik industri?Kerabat DekatKerabat JauhBukan Kerabat
3. Apakah anda mudah masuk dan bekerja dalam industri ini?A. Tidak sulit B. Cukup C. Sangat sulit
No Responden :
119
4. Apa pendidikan terakhir anda?A. Tamatan SD B. Tamatan SLTP C. Tamatan SLTA
5. Alasan tidak melanjutkan sekolah?
6. Apakah anda memiliki pengalaman kerja sebelum bekerja dalam industri ini?A. Ya B. Tidak
7. Berapa lama anda bekerja diperusahaan lain?A. 5 th B. 3-4 th C. 2 th
8. Alasan anda pindah pekerjaan dan memiliki menekuni pekerjaan sekarang?
9. Berapa pendapatan dalam sebulan (sebulan yang lalu)?A. Rp.800.000,- B. Rp. 800.000,- C. Rp.800.000,-
10. Waktu pembayaran di perusahaan ?A. Harian B. Mingguan C. Bulanan D. Borongan
11. Berapa waktu yang anda gunakan untuk bekerja dalam sehari (kemarin)>
12. Jaminan kesehatan dibawah ini yang anda dapatkan dari perusahaan, YA atau TIDAKA. Apakah anda diperbolehkan libur/ cuti jika sakit?B. Apakah anda mendapatkan biaya penggatian bila sakit?C. Apakah anda mendapatkan biaya pengobatan rawat jalan bila sakit?D. Apakah anda mendapatkan biaya rawat inap bila sakit?E. Mendapatkan asuransi kesehatan penduduk miskin?F. Apakah anda mendapatkan hak istirahat dan beribadah?
13. Jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yang anda dapatkan dari perusahaan, JawabYA atau TIDAKA. Apakah anda mendapatkan asuransi keselamatan kerja?B. Apakah anda mendapatkan kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja?C. Apakah anda mendapatkan fasilitas kerja dan keselamatan kerja (seperti sarung
tangan, penerangan, kacamata, dll)?
14. Berapa jumlah uang atau kompensasi yang diberikana apabila terjadi kecelakaankerja?
15. Jaminan kesejahteraan keluarga yang anda dapatkan dari perusaaan, Jawab YA atauTIDAKA. Apakah anda mendapatkan THR , Jika YA berapa jumlahnya dalam rupiah.B. Apakah anda mendapatkan biaya santunan anggota keluarga meninggal duniaC. Apakah anda mendapatkan biaya santunan ketika ada melahirkan atau anak
knitan,D. Apakah anda mendapatkan pinjaman?E. Apakah anda mendapatkan biaya santunan menikah?F. Apakah jika anggota keluarga sakit anda mendapatkan santunan atau ganti rugi
kesehatan?
16. Kemarin anda makan berapa kali dalam sehari
120
A. 3 x atau lebih B. 2x C. 1x
17. Kemarin dalam satu hari, berapa jenis makanan apa saja yang anda konsumsi (Nasi,Lauk ,Pauk, Sayur, Susu, Buah, dll), sebutkan
18. Tahun lalu, dalam setahun, berapa kali anda atau keluarga sakit dan berobatA. > 5 x B. 3-4 x C. 2 x
19. Tahun lalu, jika anda atau keluarga sakit biasanya anda pergi berobat keA. Dokter B. Puskesmas C. Warung atau dukunkampung
20. Ada berapa dalam anggota keluarga anda yang (Drop Out) DO atau tidak melanjutkansekolah karena alasan biayaA. 3 orang B. 2 orang C. 1 orang
21. Alasan anggota dalam keluarga tidak melanjutkan sekolah?
22. Pengambilan keputusan rumah tangga, siapa yang lebih dominan menentukankeputusan, jawab SUAMI atau ISTRIA. yang memutuskan pemilihan sekolah anakB. yang mengelola keuangan rumahtanggaC. yang menentukan pergi berobat apabila anggota keluarga sakit
23. Bulan lalu, dalam sehari anda bekerja berapa jam
24. Bulan lalu, dalam seminggu anda bekerja berapa hari
25. Tahun lalu, dalam setahun anda bekerja berapa bulan (full)
26. Status pekerjaan anda, pekerja tetap atau musimam.
Jenis pekerjaan yang anda lakukan(jawaban diberi tanda pada salah satu jawaban)
Jenis Pekerajaan atau keterampilan pada saat bekerja pada POSJenis pekerjaan &
keterampilanYa Tidak Jika Ya, berapa waktu yang
dibutuhkan untukmenyelesaikan 1 unit tas
Membuat Pola
Memotong/ menggunting
Menjahit
Memasang aksesoris
Mengelem
Finishing/me-check
Lainnya .
121
Sistem upah yang bagaimana & berapa yang biasa anda terima.
Sistem upah Pendapatan yangdihasilkan
Jumlah jam kerja Jumlah barangyang dihasilkan
a. Harian Rp.
b. Mingguan Rp.
c. Bulanan Rp.
d. Borongan Rp.
Pendidikan informal yang pernah diikuti responden
Namapelatihan/training/k
ursus
Nama/instansipenyelenggara
Tanggal diselenggarakannya
pelatihan
Berapa lama andamengikuti pelatihan/
training/kursus
Jumlah pekerjaan dan lamanya responden bekerja
Jenis pekerjaan Pernah mengerjakan Lama waktuberkerja/ bulan
Ya Tidak
1. Kerja pabrik/konveksi
1. Wiraswasta (warung, berdagang)
2. Menjadi buruh tani
3. Pegawai
4. (yang lain, sebutkan)
122
Pendapatan Rumah Tangga (Orang dalam keluarga yang memilikipenghasilan)
No. Nama(orang dalamkeluarga yang
memiliki penghasilan)
Status dalamkeluarga
(ayah, ibu, dirisendiri, suami,
anak)
Gaji yangdidapat /bulan
Gaji yang di berikankepada
keluarganya/bulan
1. Rp. Rp.
2. Rp. Rp.
3. Rp. Rp.
4. Rp. Rp.
5. Rp. Rp.
6. Rp. Rp.
Keterampilan Sebelum Masuk Puttingout SystemNo. Keterampilan YA/TIDAK
1. Menjahit/Menyulam
2. Bahasa
3. Teknik Mesin
4. Komputer
5. Tata Rias Salon
6. Memasak
7. Lainnya................................
123
UU Ketenagakerjaan RI No. 13 Tahun 2003
Pasal-pasal yang menjelaskan tentang upah minimum pekerja dan ketentuan
imabalan hak pekerja dikelaskan pada Pasal 89 dan Pasal 93, Pasal 89 yakni (1). Upah
minimun sebagaimana dimaksud dalam pasal 88 ayat 3 huruf a terdiri atas: a). Upah
minimum berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten /kota; b). Upah minimum
berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota; (2). Upah minimum
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup
layak. (2). Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oeh gubernur
dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan atau
bupati/walikota. (3). Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuha hidup
layak sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan keputusan mentri.
Pasal 93 menjelaskan (1). Upah tidak dibayar apabila pekerja atau buruh tidak
melakukan pekerjaan. (2) ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku,
dan pengusaha wajib membayar upah apabila: a).Pekerja atau buruh sakit sehingga
tidak dapat melakukan pekerjaan b). Pekerja atau buruh perempuan yang sakit pada
hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan. c).
Pekerja atau buruh tidak masuk bekerja karena pekerja atau buruh menikah,
menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istrinya melahirkan atau
keguguran kandungan, suami istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua
atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia. d). Pekerja atau buruh tidak
dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara.
e). Pekerja atau buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah
yang diperintahkan agamanya; f). Pekerja atau buruh bersedia melakukan pekerjaan
yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena
kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; g).
Pekerja atau buruh melaksanakan hak istirahat; h).Pekerja atau buruh melaksanakan
124
tugas serikat pekerja atau serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan i). Pekerja
atau buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. (3) Upah yang dibayarkan
kepada pekerja atau buruh yang sakit sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a
sebagai berikut: a). Untuk empat bulan pertama dibayar 100 persen dari upah, b).
Untuk empat bulan kedua dibayar 75 persen dari upah, c). Untuk empat bulan ketiga
dibayar 50 persen dari upah, d). Untuk empat bulan selanjutnya dibayar 25 persen dari
upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha. (4) Upah yang
dibayarkan kepada pekerja atau buruh yang tidak masuk bekerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut. a). Pekerja atau buruh menikah,
dibayar untuk selama tiga hari, b). Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama dua
hari, c). Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama dua hari, d). Membaptiskan
anaknya, dibayar untuk selama dua hari, e). Istri melahirkan atau keguguran
kandungan, dibayar untuk selama dua hari, f). Anggota keluarga dalam satu rumah
meninggal dunia dibayar untuk selama satu hari (Tim Redaksi Aulia, 2005 mengutip
UU Ketenagarkerjaan RI No. 13 tahun 2003).