knowledge management

98
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian yang diperoleh, ruang lingkup penelitian yang terdiri dari batasan dan asumsi yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, persaingan ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan perubahan paradigma dalam sebuah perusahaan. Keunggulan bersaing sebuah perusahaan kini tidak hanya berupa sumber daya, tetapi juga berupa Knowledge. Menurut (Drucker, 1998), dasar sumber daya ekonomi tidak lagi berupa capital, sumber daya alam, dan atau karyawan, tetapi berupa ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, setiap perusahaan sudah terdapat manajemen yang mengatur Knowledge tertulis (Explicit Knowledge) berupa notulensi rapat, arsip dokumen, prosedur perusahaan dan literature, serta Knowledge tak tertulis (Tacit Knowledge) berupa skill dan pengalaman selama bekerja di perusahaan. Knowledge tersebut disusun, digunakan, dan dimanfaatkan bersama-sama oleh karyawan perusahaan untuk mendukung terjadinya inovasi. Di samping itu, baja merupakan komoditas bahan baku yang sangat penting dalam menunjang kebutuhan ekonomi nasional dan digunakan secara industri dalam memenuhi kebutuhan produksi pengolahan bahan dasar sebagai bahan baku industri lainnya.

Upload: awan-sykes

Post on 16-Jan-2016

43 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Aplikasi KM pada Krakatau Steel

TRANSCRIPT

Page 1: Knowledge Management

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian yang diperoleh, ruang lingkup penelitian yang terdiri dari

batasan dan asumsi yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang

Pada era globalisasi saat ini, persaingan ditandai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

menyebabkan perubahan paradigma dalam sebuah perusahaan. Keunggulan bersaing sebuah

perusahaan kini tidak hanya berupa sumber daya, tetapi juga berupa Knowledge. Menurut

(Drucker, 1998), dasar sumber daya ekonomi tidak lagi berupa capital, sumber daya alam,

dan atau karyawan, tetapi berupa ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, setiap perusahaan sudah

terdapat manajemen yang mengatur Knowledge tertulis (Explicit Knowledge) berupa notulensi

rapat, arsip dokumen, prosedur perusahaan dan literature, serta Knowledge tak tertulis (Tacit

Knowledge) berupa skill dan pengalaman selama bekerja di perusahaan. Knowledge tersebut

disusun, digunakan, dan dimanfaatkan bersama-sama oleh karyawan perusahaan untuk

mendukung terjadinya inovasi.

Di samping itu, baja merupakan komoditas bahan baku yang sangat penting dalam

menunjang kebutuhan ekonomi nasional dan digunakan secara industri dalam memenuhi

kebutuhan produksi pengolahan bahan dasar sebagai bahan baku industri lainnya. Industri ini

berperan vital dalam berbagai sektor seperti pada sektor manufaktur (permesinan dan suku

cadang), infrastruktur (industri berbahan kimia, properti, jalan, jembatan, rel kereta api,

pelabuhan/dermaga, bandar udara, listrik, dan telekomunikasi), otomotif/transportasi (mobil,

motor, dirgantara, perkapalan, dan perkeretaapian), pertahanan, dan peralatan rumah tangga.

Oleh karena itu, industri ini memainkan peran strategis tidak hanya dalam perekonomian

nasional tapi juga pembangunan suatu bangsa.

Menurut Wicaksono (2013) Amerika Serikat dan China menjadi negara dengan

ekonomi terkuat saat ini diawali dari pesatnya perkembangan industri manufaktur mereka

yang didukung oleh keberadaan industri logam. Walaupun kedua negara mencapainya dalam

waktu yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan sebagai produsen baja terbesar pada

masanya. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mencapai

prestasi tersebut, apalagi memiliki kedua faktor utama penggerak perindustrian yaitu bahan

tambang pasir besi dan sumber energi batu bara yang melimpah.

Page 2: Knowledge Management

Pada tahun 2008 lalu, pemerintah mencanangkan visi pembangunan industri nasional

dimana Indonesia menjadi negara industri tangguh pada tahun 2025 mendatang dengan

mengeluarkan Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 (Kemenperin, 2010). Akan tetapi

pencapaian visi tersebut menemui jalan terjal bila melihat infrastruktur di masing-masing

provinsi yang masih tidak memadai. Kendala ini memerlukan strategi untuk mempercepat

pembangunan, yang lebih dikenal dengan sebutan Masterplan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sebuah rencana yang dicetuskan di akhir 2008

silam untuk memecah leher botol (debottlenecking) regulasi di daerah agar pembangunan

tidak lagi terhambat (Hidayat, 2013). Program MP3EI ini secara langsung akan meningkatkan

konsumsi baja nasional dalam 12 tahun mendatang. Bila dilihat pada Anggraran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN) 2013, belanja pemerintah pusat untuk pembangunan

infrastruktur pendorong pertumbuhan menghabiskan anggaran sebesar Rp201,3 trilun

meningkat 24,7% bila dibandingkan tahun 2012 yang hanya sebesar Rp161,4 triliun.

Sejumlah proyek pembangunan infrastruktur yang sudah terealisasi pada rentang tahun 2012 –

2013 antara lain, bandar udara baru, penambahan jalur rel kereta api baru mencapai 500 km,

pembangunan jalan lintas propinsi dan jembatan hingga tahun 2013 mencapai 19.370 km,

pembangunan 61 dermaga penyeberangan dan 20 unit kapal perintis, pembangunan jaringan

transmisi hingga tahun 2013 mencapai 9216 km (Dirjen Anggaran Kemenkeu, 2013).

Namun hal tersebut belum dapat terealisasi secara optimal mengingat laju pertumbuhan

industri pengolahan non-migas (kumulatif) dan kontribusi industri pengolahan non-migas

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami fluktuasi selama kurun waktu tahun 2007

hingga tahun 2012 (triwulan 1). Berikut merupakan data yang disajikan oleh Kementrian

Perindustrian RI dalam situs resminya:

Gambar 1.1 Grafik Laju Pertumbuhan (%) Industri Pengolahan Non-Migas (Kumulatif) dan Grafik Kontribusi (%) Industri Pengolahan Non-Migas Terhadap PDB Tahun 2007 – 2012 (TW 1) (Kemenperin, 2014)

Gambar 1.1 menunjukkan laju pertumbuhan industri pengolahan non-migas (kumulatif)

dalam sektor logam dasar besi dan baja berturut-turut 1,69 (2007), -2,0528 (2008), -4,2599

(2009), 2,3838 (2010), 13,0567 (2011), 5,5737 (2012 s.d TW 1) dan kontribusi industri

Page 3: Knowledge Management

pengolahan non-migas terhadap PDB dalam sektor logam dasar besi dan baja berturut-turut

0,5798 (2007), 0,5903 (2008), 0,4782 (2009), 0,4172 (2010), 0,4188 (2011), 0,42 (2012 s.d

TW 1).

Pada saat ini industri baja nasional sedang mengalami tantangan berupa masih

defisitnya jumlah produksi terhadap tingkat konsumsi baja dalam negeri. Kapasitas produksi

industri baja nasional baru mencapai angka 7 juta ton, sementara tingkat konsumsi baja dalam

negeri berdasarkan data dari Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) pada tahun

2013 lalu, tingkat konsumsi baja di Indonesia di antara negara-negara ASEAN tergolong

rendah kendati itu pun belum mampu dipenuhi pabrikan lokal. Tercatat, tingkat konsumsi baja

di Indonesia berada di sekitar 51 kg/kapita atau hanya sedikit di atas Vietnam dengan

konsumsi sebesar 31 kg/ kapita. Jika dibandingkan dengan konsumsi baja di Malaysia,

misalnya, sudah mencapai 235 kg/kapita. Jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Thailand

sudah mendekati 267 kg/ kapita, dan Filipina 67 kg/ kapita sedangkan Singapura sudah

menembus 791 kg/ kapita. Diperkirakan, tahun 2020 nanti, konsumsi baja Indonesia

menembus 93 kg/ kapita dan Vietnam sudah mengungguli dengan konsumsi 161 kg/ kapita.

Sedangkaan Malaysia, mencapai 412 kg/ kapita, Thailand 317 kg/ kapita. Untuk permintaan

baja di Filipina dan Singapura masing-masing 82 kg/ kapita dan 974 kg/ kapita (Indonesian

Iron & Steel Industry Association (IISIA), 2014).

Sementara itu besarnya biaya energi dalam negeri juga menjadi salah satu penyebab

maraknya impor baja nasional. Tingginya biaya energi tersebut berdampak langsung kepada

pembentukan harga jual baja yang dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan harga baja dari

impor, sehingga para konsumen baja lebih memilih untuk impor dibandingkan dengan

menggunakan baja produksi dalam negeri. Perkembangan impor non-migas (komoditi)

mengalami fluktuasi selama kurun waktu 2009 hingga tahun 2014. Berikut merupakan data

yang disajikan oleh Kementrian Perdagangan RI dalam situs resminya:

Page 4: Knowledge Management

Gambar 1.2 Grafik Perkembangan Impor Non-Migas (Komoditi) Logam Dasar Besi dan Baja (Juta US$) Periode: 2009 – 2013 (Kemendag, 2014)

Gambar 1.2 menunjukkan perkembangan impor non-migas berturut-turut 2784,1

(2009), 3451 (2010), 3573,3 (2011), 4889,6 (2012), 4747,7 (2013). Sementara itu data

pendukung lain menunjukkan trend impor dari tahun 2009 – 2013 sebesar 15,21%. Pada

kuartal pertama tahun 2014 industri besi dan baja mengalami defisit meskipun defisit

perdagangan pada tahun 2014 tidak separah dengan yang terjadi pada tahun 2013.

Berdasarkan data Kemenperin (2014), defisit perdagangan baja periode Januari – April

tahun 2014 sebesar 3,3 miliar dolar AS. Jumlah tersebut menurun sebesar 19,6% jika

dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 4,6 miliar dolar AS.

Defisit perdagangan yang terjadi dikarenakan masih tingginya nilai impor dibandingkan

dengan kinerja ekspor baja nasional. Pada kuartal pertama tahun 2014 ini impor baja

Indonesia mencapai nilai 5,03 miliar dolar AS, dimana nilai ini menyusut sebesar 1,05 miliar

dibandingkan dengan impor baja pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 6.08

miliar dolar AS. Sementara itu kinerja ekspor baja Indonesia mencapai 1,7 miliar dolar AS.

Meskipun nilai ekspor pada kuartal I tahun 2014 ini masih jauh dibawah nilai impor baja,

akan tetapi ekspor baja pada tahun ini masih terbilang lebih baik. Kondisi tersebut membuat

pasar baja domestik diserbu oleh produk-produk baja yang berasal dari China, hal ini

ditambah dengan keadaan China yang mengalami over supply. Oleh karena itu, dibutuhkan

kebijakan pemerintah yang mendukung industri baja nasional dengan meliputi pelarangan

terbatas impor baja, serta mempercepat pembangunan infrastruktur dalam negeri.

Dalam hal ini, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan perusahaan BUMN yang

terdaftar sebagai pelaku industri baja nasional per 2008 silam dan bersaing dengan 8

perusahaan lokal lainnya yang berada pada level industri antara sampai dengan hilir

diharapkan mampu memenuhi kebutuhan baja nasional, mengingat semakin banyaknya

kompetitor dalam bidang serupa yang tadinya hanya menjadi eksportir baja dari negara

asalnya kini mulai mendirikan pabrik dan beroperasi dalam menghasilkan produk baja yang

juga ikut bersaing dalam pasar lokal. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk sebagai perusahaan

baja terintegrasi sebenarnya memiliki keunggulan kompetitif baik dari segi bahan baku dan

ketiadaan bea impor (produksi lokal). Hal tersebut dikarenakan PT Krakatau Steel (Persero)

Tbk sudah berdiri sejak lama dan memiliki anak perusahaan yang beroperasi pada tiap

Page 5: Knowledge Management

tahapan dari struktur industri baja, mulai dari hulu , antara, hingga hilirnya. Meskipun begitu,

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk perlu meningkatkan kekuatan internal perusahaan di tengah-

tengah pasar komoditi baja. Selama ini perusahaan hanya melihat dari aspek sumber daya

manusia dan finansial. Sedangkan kekuatan internal perusahaan tidak hanya berasal dari

sumber daya manusia dan finansial, tetapi juga berasal dari sumber daya pengetahuan. PT

Krakatau Steel (Persero) Tbk sebenarnya sudah memiliki dan mengaplikasikan pendekatan

berbasis pilar Human Capital Learning and Knowledge Management, namun PT Krakatau

Steel (Persero) Tbk merasa Knowledge Management yang diterapkan masih belum efektif dan

menginginkan adanya Knowledge Management yang lebih baik. Knowledge Management

tersebut harus dapat membudaya dalam diri masing-masing karyawan perusahaan dan

merujuk pada visi, misi, strategi, dan juga budaya yang dimiliki oleh perusahaan. Selain itu,

Knowledge Management yang diterapkan diharapkan dapat mencegah terjadinya pengulangan

proses kegagalan dan dapat mengatur arus perputaran Knowledge yang dimiliki oleh PT

Krakatau Steel (Persero) Tbk. Kemampuan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dalam mengatur

arus perputaran Knowledge sangatlah penting. Knowledge Management yang diterapkan

dalam mengatur arus perputaran Knowledge tersebut dapat mengikuti arus keluar masuknya

karyawan yang bekerja pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Sehingga Knowledge yang

dimiliki oleh perusahaan tidak hilang bersamaan dengan hilangnya salah satu karyawan

perusahaan. Salah satu aktivitas dalam Knowledge Management yang dilakukan oleh PT

Krakatau Steel (Persero) Tbk dalam mengatur arus Knowledge merupakan Knowledge

Transfer. Knowledge Transfer diharapkan dapat membantu PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

dalam mencapai strategi perusahaan, sehingga PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dapat

bersaing di tengah-tengah pasar komoditi baja. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki

beberapa unit produksi utama yang terbagi menjadi enam pabrik yaitu Pabrik Besi Spons

(Direct Reduction Plant), Pabrik Slab Baja (Slab Steel Plant), Pabrik Billet Baja (Billet Steel

Plant), Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja Lembaran Dingin (Cold

Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill). Pada keenam unit produksi

tersebut sudah diterapkan Knowledge Management. Namun, pihak Departemen Produksi yang

menaungi keenam unit produksi tersebut merasa bahwa aktivitas Knowledge Transfer yang

dilakukan masih belum terukur secara efektif. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat

membantu PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dalam melakukan pengukuran efektifitas

Knowledge Transfer dengan melihat beberapa faktor penyebab ketidakefektifan dan

memberikan usulan rekomendasi perbaikan.

Page 6: Knowledge Management

1.2 Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian tugas akhir ini

mengenai bagaimana mengukur efektifitas Transfer Knowledge pada Departemen Produksi

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

1.3 Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian tugas akhir yang ingin

dicapai, antara lain:

1. Merumuskan Database Knowledge yang harus dimiliki perusahaan yang

mendukung pencapaian Strategic Objectives perusahaan.

2. Menentukan Critical Knowledge yang terlibat dalam aktivitas Knowledge Transfer

dan harus dimiliki perusahaan.

3. Mendapatkan pengukuran Critical Knowledge Transfer yang efektif.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tugas akhir ini, antara lain:

1. Sebagai bahan pertimbangan evaluasi kinerja perusahaan.

2. Sebagai masukan dan saran untuk memperbaiki sistem yang berlaku pada

perusahaan terkait Knowledge Management.

3. Mempermudah perusahaan dalam menyusun sebuah Database Knowledge yang di

dalamnya terdapat Knowledge apa saja yang terlibat dalam aktivitas Knowledge

Transfer dan berkolerasi dengan Strategic Objectives perusahaan.

4. Mempermudah perusahaan dalam mengetahui Knowledge kritis yang terdapat

dalam aktivitas Knowledge Transfer dan dibutuhkan untuk menunjang kinerja

perusahaan dalam mencapai Strategic Objectives perusahaan.

1.5 Batasan dan Asumsi

Berikut merupakan batasan dan asumsi yang digunakan pada penelitian tugas akhir ini:

1.5.1 Batasan

Adapun batasan yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini, antara lain:

1. Data yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari PT Krakatau Steel

(Persero) Tbk.

2. Objek yang diteliti pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan Departemen

Produksi.

Page 7: Knowledge Management

1.5.2 Asumsi

Sedangkan asumsi yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini, antara lain:

1. Tidak terjadi perubahan terkait visi, misi, dan strategis perusahaan selama

penelitian berlangsung.

2. Tidak terjadi perubahan struktur organisasi pada perusahaan selama penelitian

berlangsung.

1.6 Sistematika Penulisan

Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai sistematika penulisan yang digunakan dalam

laporan penelitian tugas akhir ini. Berikut merupakan sistematika penulisan tersebut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian,

perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian

yang diperoleh, ruang lingkup penelitian yang terdiri dari batasan dan asumsi yang digunakan

dalam penelitian serta sistematika penulisan laporan yang dilakukan dalam penelitian tugas

akhir ini.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori dan studi literatur sebagai landasan yang

digunakan penulis untuk memperkuat pemahaman dan menentukan metode penelitian yang

sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Adapun literatur yang digunakan berhubungan

dengan konsep Knoweldge, Knowledge Management, Key Performance Indicator (KPI),

Analytical Hierarchy Process (AHP), Knowledge Management Process, Knowledge Audit,

Knowledge Management Self-Assessment, dan Performance Measurement. Dengan adanya

studi literatur, diharapkan penulis memiliki pedoman yang kuat dalam menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi serta mampu mencapai tujuan penelitian.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan yang dilakukan dalam melakukan

penelitian. Tahapan yang terdapat di dalam metodologi akan dijadikan oleh penulis sebagai

pedoman agar dapat melakukan penelitian secara sistematis dan teratur, sehingga dapat

mencapai tujuan penelitian.

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Pada bab ini akan dibahas mengenai pengumpulan dan pengolahan data guna

menyelesaikan permasalahan yang dirumuskan dan mencapai tujuan penelitian. Data-data

yang dikumpulkan berupa informasi profil perusahaan, proses bisnis yang dilakukan, visi dan

misi perusahaan, strategi perusahaan, strategi Departemen Produksi, Key Performance

Page 8: Knowledge Management

Indicator (KPI) yang dimiliki Departemen Produksi, data yang berkaitan dengan Knowledge

Audit yang selama ini dimiliki perusahaan dan Departemen Produksi, data yang berkaitan

dengan Layout tiap unit produksi dan jumlah Decision Making Unit (DMU) pada tiap unit

produksi di Departemen Produksi. Adapun pengolahan data yang dilakukan dengan mengolah

data yang telah dikumpulkan yang berkaitan dengan Knowledge yang selama ini dimiliki

perusahaan dan Departemen Produksi dengan menyusun Database Knowledge yang

mendukung pencapaian Strategic Objectives perusahaan dan disertai Key Performance

Indicator (KPI) yang ada, dilakukan perhitungan bobot pada setiap Knowledge yang dimiliki

perusahaan dan Departemen Produksi untuk ditentukan Critical Knowledge perusahaan,

dilakukan pengujian level implementasi Knowledge dengan menggunakan River Diagram dan

Stairs Diagram, dan dilakukan pengukuran efektifitas Knowledge Transfer dengan

menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) yang mengacu pada Key

Performance Indicator (KPI) dan Critical Knowledge perusahaan yang telah didapatkan dari

hasil tahapan sebelumnya.

BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

Pada bab ini akan dilakukan analisis hasil dan interpretasi data. Hasil yang dianalisis

merupakan hasil yang telah diperoleh dari pengolahan data. Sedangkan interpretasi data

merupakan uraian secara detail dan sistematis dari hasil pengolahan data. Hasil yang

diperoleh dari pengolahan data merupakan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dan

menjadi dasar untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pemberian saran/rekomendasi.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penarikan kesimpulan dari penelitian yang telah

dilakukan dengan tujuan untuk menjawab tujuan penelitian dan akan diberikan

saran/rekomendasi perbaikan untuk perusahaan serta peluang bagi penelitian selanjutnya.

Page 9: Knowledge Management

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori dan studi literatur yang menjadi landasan

penulis untuk memperkuat pemahaman dan menentukan metode penelitian yang sesuai

dengan permasalahan yang dihadapi. Adapun literatur yang digunakan berhubungan dengan

konsep Knoweldge, Knowledge Management, Key Performance Indicator, Analytical

Hierarchy Process, Knowledge Management Process, Knowledge Audit, Knowledge

Management Self-Assessment, dan Performance Measurement. Dengan adanya studi literatur,

diharapkan penulis memiliki pedoman yang kuat dalam menyelesaikan permasalahan yang

dihadapi serta mampu mencapai tujuan penelitian.

2.1 Knowledge

Menurut Ryle (1949), konsepsi pengetahuan membagi Knowledge ke dalam lima

kategori Knowledge. Berikut merupakan konsepsi pengetahuan yang membagi Knowledge ke

dalam lima kategori:

1. Pengetahuan Tentang “Mengapa”

Pengetahuan tentang “mengapa”, bertujuan untuk memperoleh kejelasan suatu

alasan tentang terjadinya sesuatu.

2. Pengetahuan Tentang “Cara”

Pengetahuan tentang “cara”, bertujuan untuk mengetahui urutan tindakan dalam

menyelesaikan persoalan.

3. Pengetahuan Tentang “Apa”

Pengetahuan tentang “apa”, bertujuan untuk mengetahui fakta yang terkait dengan

pengalaman sebelumnya.

4. Pengetahuan Tentang “Siapa”

Pengetahuan tentang “siapa”, bertujuan untuk mengetahui siapa yang mengetahui

dan membutuhkan pengetahuan dalam suatu jaringan pengetahuan.

5. Pengetahuan Tentang “ Arti”

Pengetahuan tentang “ arti”, bertujuan untuk mengetahui arti atau makna di balik

suatu kejadian.

Knowledge merupakan informasi yang merubah sesuatu atau seseorang baik dengan

tindakan dasar atau dengan membuat individu atau lembaga mampu melakukan tindakan yang

berbeda atau beberapa tindakan yang lebih efektif (Drucker, 1989).

Page 10: Knowledge Management

Berikut merupakan Knowledge Typology Map sebagai gambaran keseluruhan dalam

memahami Knowledge:

Gambar 2.1 Knowledge Typology Map

(Sumber: http://www.nwlink.com)

Menurut Locke (1689), Knowledge merupakan persepsi persetujuan atau

ketidaksetujuan dari dua ide. Menurut Davenport & Prusak (1998), Knowledge merupakan

gabungan dari pengalaman, nilai, informasi kontekstual, pandangan pakar dan intuisi

mendasar yang memberikan suatu lingkungan dan kerangka untuk mengevaluasi dan

menyatukan pengalaman baru dengan informasi. Dari definisi tersebut dapat ditelaah dengan

membagi dua bagian. Bagian pertama mendefinisikan gabungan kerangka pengalaman,

informasi kontekstual, nilai-nilai dan wawasan ahli, yang mencakup sejumlah hal yang

dimiliki, seperti pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, motivasi, dan informasi. Bagian kedua

mendefinisikan fungsi atau tujuan ilmu pengetahuan yang menyediakan kerangka kerja untuk

mengevaluasi dan menggabungkan pengalaman baru dan informasi.

Nonaka & Takeuchi (1995), membedakan Knowledge antara Tacit Knowledge dan

Explicit Knowledge. Berikut merupakan penjelasan kedua jenis Knowledge tersebut:

1. Tacit Knowledge

Tacit Knowledge merupakan Knowledge pribadi yang tertanam dalam pengalaman

individu dan melibatkan faktor-faktor tak berwujud, seperti wawasan subjektif,

Page 11: Knowledge Management

keyakinan pribadi, perspektif, intuisi, firasat, dan sitem nilai. Tacit Knowledge

merupakan sesuatu yang sulit diartikulasikan ke dalam bahasa formal berupa kata-

kata maupun angka dan sulit disampaikan dari satu individu ke individu lainnya

dalam bentuk ilmiah, ekspresi matematika, spesifikasi, manual, dan lainnya. Tacit

Knowledge dapat disampaikan dengan mengubah wawasan subjektif, keyakinan

pribadi, perspektif, intuisi, firasat, dan sitem nilai ke dalam bentuk kata-kata

maupun angka yang dapat dimengerti.

2. Explicit Knowledge

Explicit Knowledge merupakan sesuatu yang dapat diartikulasikan ke dalam bahasa

formal berupa kata-kata maupun angka dan dapat dengan mudah disampaikan dari

satu individu ke individu lainnya dalam bentuk ilmiah, ekspresi matematika,

spesifikasi, manual, dan lainnya. Explicit Knowledge dapat dengan mudah diproses

secara komputerisasi, ditransmisikan secara elektronik, atau disimpan dalam

database. Explicit Knowledge juga dapat dijelaskan sebagai sesuatu proses, metode,

cara, pola bisnis, dan pengalaman.

Nonaka & Takeuchi (1995), membagi model konversi Knowledge menjadi empat cara.

Berikut merupakan model konversi Knowldge yang dibagi atas empat cara:

Gambar

2.2 Model Konversi

Knowledge (Nonaka

& Takeuchi, 1995)

Berdasarkan Gambar 2.2 Model Konversi Knowledge dibagi menjadi empat cara, yaitu:

1. Tacit Knowledge ke Tacit Knowledge (Socialization)

Socialization merupakan konversi pengetahuan dari Tacit Knowledge ke Tacit

Knowledge. Socialization dapat dilakukan dengan cara tatap muka untuk berbagi

pengetahuan, seperti diskusi dan team meeting.

2. Tacit Knowledge ke Explicit Knowledge (Externalization)

Externalization merupakan konversi pengetahuan dari Tacit Knowledge ke Explicit

Knowledge. Externalization dapat dilakukan dengan cara mendokumentasikan

notulen rapat, mendatangkan ahli untuk menghasilkan konsep-konsep, sistem serta

Page 12: Knowledge Management

prosuder, manual, laporan pelaksanaan, uraian pekerjaan dan sebagainya, dan

diskusi kelompok secara elektronik yang didokumentasikan.

3. Explicit Knowledge ke Tacit Knowledge (Internalization)

Internalization merupakan konversi pengetahuan dari Explicit Knowledge ke Tacit

Knowledge. Internalization dapat dilakukan dengan mempelajari laporan,

dokumen, dan report.

4. Explicit Knowledge ke Explicit Knowledge (Combination)

Combination merupakan konversi pengetahuan dari Explicit Knowledge ke Explicit

Knowledge. Combination dapat dilakukan dengan menggunakan Enterprise Portal

sebagai media penampung data dan informasi terkait yang telah diiputkan.

Pada sebuah perusahaan, dibutuhkan Knowledge sebagai modal untuk mengevaluasi

dan menyatukan pengalaman perusahaan. Perusahaan dapat menggunakan kerangka berpikir

Zack sebagai alat bantu untuk mengetahui Knowledge apa yang harus dimiliki dan yang sudah

dimiliki (Tiwana, 2000). Berikut merupakan kerangka berpikir Zack:

Gambar 2.3 Diagram Analisis Kesenjangan Strategic Knowledge

Berbasis Kerangka Berpikir Zack (Tiwana, 2000)

Gambar 2.3 menunjukkan bahwa analisis kesenjangan Knowledge pada dasarnya

merupakan kegiatan yang sangat sulit dipisahkan dari kegiatan penyusunan strategi

perusahaan. Kegiatan pengkajian posisi Knowledge perusahaan memerlukan suatu

pendokumentasian aset Knowledge yang ada. Knowledge dapat diklasifikasikan dalam tiga

kerangka, yaitu Core Knowledge, Advanced Knowledge, dan Innovative Knowledge (Tiwana,

2000).

Page 13: Knowledge Management

Berikut merupakan tiga kerangka klasifikasi Knowledge:

1. Core Knowledge

Core Knowledge merupakan Knowledge yang dibutuhkan untuk melaksanakan

bisnis perusahaan. Pada dasarnya tidak menghasilkan suatu yang membedakan

perusahaan dengan kompetitor.

2. Advanced Knowledge

Advanced Knowledge merupakan Knowledge yang membuat suatu perusahaan

mungkin untuk bersaing (competitively viable), dimana Knowledge memungkinkan

perusahaan untuk menghasilkan sesuatu yang membedakan dengan kompetitor.

3. Innovative Konowledge

Innovative Konowledge merupakan Knowledge yang memungkinkan perusahaan

untuk memimpin industrinya dan yang membedakannya dengan kompetitor.

2.2 Knowledge Management

Knowledge Management telah menarik minat dari para praktisi, konsultan, dan peneliti

di seluruh dunia. Bidang minat Knowledge Management didasarkan pada argumen bahwa aset

tidak berwujud, seperti Knowledge, telah menggantikan aset berwujud sebagai pemacu utama

pertumbuhan ekonomi (Boisot, 2002). Sebagaimana minat pada Knowledge Management

terus berkembang, terdapat kebutuhan bukti empiris mengenai tools Knowledge Management

yang digunakan, bagaimana menerapkan Knowledge Management, dan bagaimana mengukur

nilainya. Meskipun minat yang tumbuh pada Knowledge Management memiliki banyak kritik,

Storey & Barnett (2000) menyatakan penelitian utama pada Knowledge Management

merupakan “Overwhelmingly Optimistic.” Knowledge Management digambarkan sebagai

retorika manajerial (Andreeva & Kianto, 2012) atau mode manajemen yang menjanjikan lebih

dari yang diberikan. Kritik utama tampaknya didasarkan pada tiga tema. Pertama, knowledge

yang tidak dapat dipisahkan dari berpengetahuan dan oleh karena itu, tidak dapat dikelola

oleh perusahaan (Ray & Clegg, 2005). Knowledge individu ini melihat hak istimewa dan

didasarkan pada epistemologi empiris. Knowledge dianggap bukanlah sesuatu yang dapat

ditangkap, disimpan dan dibagikan, dan klaim yang dibuat oleh Knowledge Management

bahwa hal ini dapat dilakukan merupakan hal yang salah. Kedua, Knowledge Management

sulit dan membutuhkan pemahaman tentang hambatan yang terlibat, seringkali budaya dan

sistem, serta komitmen manajemen untuk mengatasi hambatan ini (Storey & Barnett, 2000).

Pandangan ini berpendapat bahwa banyak inisiatif Knowledge Management yang gagal dan

oleh karena itu, Knowledge Management tidak menciptakan nilai bagi perusahaan, dan

pengembalian investasi menjadi hal yang tidak mungkin. Ketiga, terdapat kekurangan dari

Page 14: Knowledge Management

studi empiris yang menunjukkan koneksi sebenarnya antara Knowledge Management dan

kinerja organisasi (Andreeva & Kianto, 2012).

Knowledge Management terdiri dari berbagai praktik yang digunakan oleh perusahaan

untuk mengidentifikasi, menciptakan, merepresentasikan, dan mendistribusikan Knowledge.

Knowledge Management telah menjadi disiplin ilmu yang didirikan sejak tahun 1995. Banyak

perusahaan besar memiliki sumber daya yang didedikasikan untuk Knowledge Management.

Program Knowledge Management biasanya dikaitkan dengan tujuan perusahaan seperti

meningkatkan kinerja, inovasi keunggulan kompetitif, Transfer Knowledge (misalnya antara

proyek) dan pengembangan umum praktek kolaboratif.

Menurut McInerney (2002), Knowledge Management merupakan usaha untuk

meningkatkan pengetahuan yang berguna dalam perusahaan, diantaranya membiasakan

budaya komunikasi antar karyawan, memberikan kesempatan untuk belajar, dan menggalakan

saling berbagi Knowledge. Menurut Murray (2002), Knowledge Management merupakan

manajemen aset perusahaan yang berupa Knowledge yang dapat meningkatkan serangkaian

karakteristik kinerja perusahaan dan mampu memberi added value bagi perusahaan dengan

memungkinkan perusahaan untuk bertindak lebih cerdas. Menurut Brooking (1997),

Knowledge Management merupakan aktivitas yang terkait dengan strategi danntaktik untuk

mengelola aset yang terkait dengan sumber daya mnusia dalam perusahaan. Knowledge

Managmenet dapat dipandang sebagai manajemen sumber dan proses pengetahuan dengan

tujuan untuk meningkatkan competitive advantage dan kinerja perusahaan (Wong &

Aspinwall, 2006).

Menurut De Jarnett (1996), Knowledge Management merupakan proses dari penciptaan,

interpretasi, penyebaran, dan pemurnian serta penetapan hak milik Knowledge. Menurut Jac

& Barbara (2001), Knowledge Management merupakan hasil dari perkembangan pergerakan

modal intelektual, dimana modal intelektual merupakan sinonim untuk intangible asset atau

aset tak berwujud. Terdapat empat pertanyaan utama dalam Knowledge Management, yaitu:

1. Apakah orang benar-benar dapat mengelola Knowledge ?

2. Apa perbedaan antara Knowledge, Wisdom, dan informasi ?

3. Kapan informasi menjadi Knowledge ?

4. Dapatkah dilihat proses terjadinya atau haruskah diterima sebagai sebuah misteri

dalam proses manusia ?

Knowledge Management dibagi menjadi empat tahap yang didefinisikan dengan

singkatan CODE, yaitu:

1. Collect Information

2. Organize It

Page 15: Knowledge Management

3. Disseminate It

4. Evaluate It’s Utility

Sementara itu menggambarkan konsep Knowledge Management harus dianggap sebagai

Knowldege Management Process dalam organisasi seperti menyimpan, mengumpulkan,

penataan, berbagi, mengendalikan, membuat, menyebarkan, kodifikasi, menggunakan dan

memanfaatkan. Proses ini yang didasarkan pada Knowledge Management yang telah

dievaluasi dalam literatur Knowledge Management dan menggambarkan bagian dari definisi

Knowledge Management. Perusahaan dapat menerapkan Knowledge Management dengan

mengambil pertimbangan semua rincian Knowldege Process dalam kerangka hierarki dan

bagaimana model tersebut dapat dipertahankan. Untuk Knowledge Management yang efektif

dalam sebuah perusahaan, seorang Chief Knowledge Officers harus fokus pada Knowledge

Management Life Cycle Model dengan mempertimbangkan Knowldege Management Process.

2.3 Key Performance Indicator

Key Performance Indicator (KPI) merupakan indikator-indikator yang digunakan untuk

mengukur kinerja (Luis & Prima, 2007). Key Performance Indicator (KPI) juga dapat

didefinisikan sebagai satu setukuran kuantitatif yang digunakan industri atau perusahaan

untuk mengukur atau membandingkan kinerja dalam hal memenuhi tujuan strategis dan

operasional (Investopedia, 2012). Key Performance Indicator (KPI) juga diartikan sebagai

seperangkat ukuran kuantitatif yang telah disepakati terlebih dahulu, yang mencerminkan

faktor penentu keberhasilan suatu organisasi, dimana Key Performance Indicator (KPI) akan

berbeda-beda tergantung pada organiasi yang bersangkutan. Menurut (Parmenter, 2007) Key

Performance Indicator (KPI) menyajikan serangkaian ukuran yang fokus pada aspek-aspek

kinerja organisasi yang paling penting untuk keberhasilan organisasi pada saat ini dan waktu

yang akan datang. Penggunaan Key Performance Indicator (KPI) sangatlah tepat bagi

organisasi yang ingin meningkatkan pilihan karena dengan Key Performance Indicator (KPI)

maka organisasi dapat terpacu untuk menemukan ide-ide dan contoh praktis yang memiliki

nilai lebih. Menggunakan ukuran sendiri dari manajemen organisasi yang bersangkutan untuk

mengukur kesuksesan suatu organisasi sangat membantu dalam memperdalam pemahaman

investor terhadap kemajuan dan pergerakan bisnis, baik itu poin kontekstual, finansial dan

non finansial, poin-poin ini dapat tren dalam bisnis menjadi transparan dan membantu

manajemen dalam menjaga tanggung jawabnya. Ilustrasi dari pelaporan Key Performance

Indicator (KPI) yang baik secara praktis menunjukkan secara langsung apa yang dibutuhkan

secara praktik dan dengan cara yang lebih efektif. Menurut (Parmenter, 2007) banyak

perusahaan ataupun organisasi yang menggunakan ukuran kerja yang salah dan banyak

Page 16: Knowledge Management

diantaranya yang mengartikan Key Performance Indicator (KPI) dengan interpretasi yang

kurang benar dikarenakan hanya sedikit perusahaan yang benar-benar memahami arti Key

Performance Indicator (KPI). (Parmenter, 2007) mendefinisikan tiga tipe ukuran kinerja,

yaitu:

1. Indikator Hasil Utama (Key Result Indicators), menggambarkan bagaimana

keberhasilan secara perspektif.

2. Indikator Kinerja (Performance Indicators), menjelaskan apa yang harus dilakukan.

3. Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicators), menjelaskan apa yang

harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja secara dramatis.

Gambar 2.4 Tiga Tipe Ukuran Kinerja

Sumber: (Parmenter, 2007)

Setiap sasaran strategi yang ada dalam bagan BSC harus ditentukan Key Performance

Indicator (KPI)-nya. Penentuan Key Performance Indicator (KPI) ini bukan merupakan

proses yang muda karena jika salah dalam menentukan Key Performance Indicator (KPI),

maka kinerja organisasi yang dihasilkan bisa tidak relevan (Sholihah, 2012). Menurut

(Diangga, 2013) dalam sebuah Key Performance Indicator (KPI) setiap Sasaran Strategis

disarankan untuk memiliki satu hingga dua Key Performance Indicator (KPI), dan secara

keseluruhan dari sebuah peta strategis perusahaan akan lebih baik jika tidak lebih dari 30 KPI.

Diberlakukannya pembatasan ini dikarenakan jika jumlah Key Performance Indicator (KPI)

yang terlalu banyak akan membuat perusahaan tidak fokus dalam mencapai sasaran strategis.

Menurut (Parmenter, 2007) terdapat tujuh kharakteristik Key Performance Indicator (KPI)

yang efektif, yaitu:

1. Ukuran non-finansial (tidak dinyatakan dalam dollar, yen, dan sebagainya).

2. Ukuran kekerapan (misalnya, harian atau 24 jam/7 hari).

3. Ditindaklanjuti oleh tim manajemen senior.

4. Semua anggota organisasi harus memahami pengukuran dan tindakan koreksi.

Page 17: Knowledge Management

5. Baik individu maupun tim harus ikut bertanggung jawab.

6. Berpengaruh signifikan (misalnya, berpengaruh hampir pada inti semua faktor

kunci keberhasilan Critical Success Factors (CSF) dan lebih dari satu perspektif

dalam BSC).

7. Berpengaruh positif (misalnya, mempengaruhi pengukuran kinerja lain secara

positif).

Dalam menentukan Key Performance Indicator (KPI) tidak boleh menimbukan

ambiguitas atau multi interpretasi. Key Performance Indicator (KPI) harus SMART (Specific,

Measurable, Agreeable, Realistic, Timebound) (Sholihah, 2012). Key Performance Indicator

(KPI) juga berhubungan dengan pengumpulan data, sehingga sebaiknya dalam menentukan

Key Performance Indicator (KPI) sebagai dasar pengukuran kinerja dipilih Key Performance

Indicator (KPI) yang membutuhkan data yang tidak sulit untuk dikumpulkan. Jika Key

Performance Indicator (KPI) telah selesai dibangun dari sasaran strategis, maka dilanjutkan

dengan menentukan nilai target yang ingin dicapai yang bertujuan untuk mengetahui apakah

hasil dari Key Performance Indicator (KPI) yang telah diisi, performansinya sesuai harapan

atau tidak, baik atau tidak. Jika nilainya sama dengan target yang ditentukan maka dapat

dikatakan bahwa performansi cukup baik karena sesuai ekspektasi, dan jika lebih dari target

maka dapat dikatakan performansinya sangat bagus karena dapat melebihi target yang

ditentukan, begitu pula dengan sebaliknya. Berikut merupakan tabel contoh Key Performance

Indicator (KPI) dan target dari sasaran strategi dari Financial Perspective.

Menurut (Sholihah, 2012) untuk memperoleh suatu kartu nilai dari organisasi

(Scorecard) seperti layaknya laporan, maka perlu dilakukan perhitungan nilai dari kinerja

organisasi disetiap sasaran strateginya. Score ini diperoleh dengan menggunakan rumus:

Score = (Actual : Target) x Weight

Ilustrasi perhitungan laporan kinerja organisasi ditunjukkan pada Tabel diatas dimana

terdapat bobot dari masing-masing Key Performance Indicator (KPI). Bobot tersebut

diperoleh dari perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing Key Performance

Indicator (KPI) dimana pembobotan dilakukan dengan menggunakan metode Analytical

Hierarchy Process (AHP) dengan penilaian dari seorang ahli yang telah memiliki pemahaman

dan penguasaan yang mumpuni dari proses bisnis organisasi.

2.4 Analytical Hierarchy Process

Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan seperangkat aksiom yang secara

seksama membatasi ruang lingkup dari lingkungan masalah (Saaty, 1980) yang didasarkan

pada struktur matematika yang jelas dengan metriks yang konsisten dan Right-Eigenvectors

Page 18: Knowledge Management

yang saling terkait dnegan kemampuan untuk menghasilkan bobot atau perkiraan yang benar

(Merkin, 1979) (Saaty, 1980). Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) membandingkan

kriteria atau alternatif yang berhubungan dengan kriteria, atau alamiahnya yaitu secara

berpasangan dimana dalam melakukan hal ini Analytical Hierarchy Process (AHP)

menggunakan skala fundamental dari angka absolut yang telah terbukti secara praktek dan

telah divalidasi oleh eksperimen masalah baik secara fisik maupun terkait keputusan (Forman

& Gass, 2013). Skala yang fundamental telah terbukti dapat menjadi skala yang menangkap

preferensi individu terkait atribut kuantitatif dan kualitatif setara atau bahkan lebih baik dari

skala lainnya (Saaty, 1980). Analytical Hierarchy Process (AHP) mengkonversikan preferensi

individual menjadi rasio terbobot dengan skala yang daapt dikombinasikan menjadi bobot

linier aditif w(a) untuk tiap alternatif a, dimana resultan w(a) dapat digunakan untuk

membandingkan dan mengurutkan peringkat alternative, sehingga membantu pengambilan

keputusan dalam menentukan pilihan (Forman & Gass, 2013). Analytical Hierarchy Process

(AHP) dapat juga digunakan untuk menguraikan permasalahan dengan multi faktor dan juga

multi kriteria dari suatu permasalahan yang kompleks menjadi sebuah hierarki (Sholihah,

2012). Menurut (Saaty, 1980) hierarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah

permasalahan yang komplek dalam suatu struktur multi level dimana level pertama

merupakan tujuan, yang diikuti oleh level faktor, kriteria, sub kriteria dan seterusnya ke

bawah hingga level terakhir dari alternatif. Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan

sistem pembuat keputusan dengan menggunakan model matematis, dimana dengan hierarki,

suatu masalah yang komplek dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompok yang kemudian

diatur menjadi suatu bentuk hierarki, sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur

dan sistematis. Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menyelesaikan suatu

permasalahan yang komplek atau tidak berkerangka dimana data dan informasi statistik dari

masalah yang dihadapi sangat sedikit atau lebih bersifat kualitatif, didasarkan atas persepsi,

pengalaman, dan instuisi (Sholihah, 2012).

Analytical Hierarchy Process (AHP) sering digunakan sebagai metode pemecahan

masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih, sampai pada

subkriteria yang paling dalam.

2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai

kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.

3. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan.

Dalam sistem pengelolaan kinerja yang dimaksud dengan kriteria tersebut merupakan

Key Performance Indicator (KPI) (Sholihah, 2012), namun dalam penelitian ini Analytical

Page 19: Knowledge Management

Hierarchy Process (AHP) akan secara khusus digunakan untuk membantu dalam hal

pembobotan Critical Knowledge yang datanya didapatkan dari para ahli. Berikut merupakan

ide dan prinsip Analytical Hierarchy Process (AHP) menurut (Saaty, 1980):

1. Penyusunan Hierarki

Persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria

dan alternatif yang kemudian disusun menjadi struktur hierarki.

2. Penilaian Kriteria dan Alternatif

Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut (Saaty,

1980) untuk berbagai persoalan skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala terbaik

dalam mengekspresikan pendapat.

3. Penentuan Prioritas

Untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan perbandingan berpasangan

(Pairwise Comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk

menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun

kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan Judgement yang telah

ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung

dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematis.

4. Konsistensi Logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten

sesuai dengan suatu Intuitives yang mencari arti segala hal dan berfokus pada

implikasi dan thinkers membuat keputusan secara impersonal dan logis. Bila

digabungkan, kedua preferensi ini membentuk “Intuitives Thinkers”, sebuah tipe

kepribadian orang yang intelektual dan kompeten.

Keunggulan dari metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ini merupakan

diingkinkannya dimasukkan semua aspek permasalahan yang selaras, baik hal tersebut

bersifat objektif, ke dalam satu model dan keunggulan utamanya terletak pada mekanisme

pengujian konsistensi dari partisipannya (Sholihah, 2012). Kelebihan dari metode ini, antara

lain menurut (Saaty, 1980):

1. Kesatuan, Analytical Hierarchy Process (AHP) memberi suatu model tunggal yang

mudah dimengerti dan luwes untuk aneka ragam persoalan tak terstruktur.

2. Kompleksitas, Analytical Hierarchy Process (AHP) memadukan rancangan

deduktif berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3. Saling ketergantungan, Analytical Hierarchy Process (AHP) dapat menangani

saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan

pemikiran linier.

Page 20: Knowledge Management

4. Penyusunan hierarki, Analytical Hierarchy Process (AHP) mencerminkan

kecenderungan alami untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam

berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan struktur yang serupa dalam setiap

tingkat.

5. Pengukuran, Analytical Hierarchy Process (AHP) memberi suatu skala untuk

mengukur hal-hal dan wujud. Suatu metode untuk menetapkan prioritas.

6. Konsistensi, Analytical Hierarchy Process (AHP) melacak konsistensi logis dari

pertimbangan pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7. Sintesis, Analytical Hierarchy Process (AHP) menuntun ke suatu taksiran yang

menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

8. Tawar-menawar, Analytical Hierarchy Process (AHP) mempertimbangkan

prioritas-prioritas relative dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan seseorang

memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan mereka.

9. Penilaian dan consensus, Analytical Hierarchy Process (AHP) memaksakan

konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian

yang berbeda-beda.

10. Pengulangan proses, Analytical Hierarchy Process (AHP) memungkinkan orang

memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaikipertimbangan

dan pengertian mereka melalui pengulangan.

Selain memiliki kelebihan tentunya sebuah metode juga mempunyai kelemahan, dimana

kelemahan dari Analytical Hierarchy Process (AHP), antara lain (Saaty, 1980):

1. Ketergantungan model Analytical Hierarchy Process (AHP) pada Input utamanya.

Input utama ini berupa persepsi seorang ahli, sehingga dalam hal ini melibatkan

subjektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut

memberikan penilaian yang keliru.

2. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ini hanya merupakan metode

matematis tanpa ada pengujian secara statistik, sehingga tidak ada batas

kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk.

Menurut (Sholihah, 2012) prosedur penyelesaian masalah dengan menggunakan metode

Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan sebagai berikut:

1. Konstruksi Hierarki

Masalah yang komplek dapat lebih mudah dipahami melalui konsep hierarki.

Dalam hal ini, masalah tersebut diuraikan dalam elemen-elemen yang bersangkutan

kemudian elemen-elemen tersebut di susun secara hierarki kemudian dilakukan

penilaian atas elemen-elemen tersebut dan akhirnya keputusan diambil berdasarkan

Page 21: Knowledge Management

penilaian yang telah dilakukan. Proses penyusunan elemen-elemen secara hierarkis

meliputi pengelompokan elemen-elemen ke dalam komponen yang sifatnya

homogen dan penusunan komponen-komponen tersebut dalam level hierarki yang

tepat.

2. Perbandingan Berpasangan

Proses perbandingan berpasangan ini menggunakan bilangan/skala yang

mencerminkan tingkat kepentingan/preferensi suatu elemen keputusan dengan

elemen keputusan lain dalam level hierarki yang sama. Hal ini membantu

pengambil keputusan dalam membandingkan masing-masing elemen keputusan

karena dalam setiap perbandingan berpasangan, mereka hanya berkonsentrasi pada

dua diantaranya (Saaty, 1980). Berikut merupakan skala perbandingan berpasangan

dalam metode Analytical Hierarchy Process (AHP):

Tabel 2. 1 Skala Perbandingan Berpasangan pada Analytical Hierarchy Process (AHP)

Tingkat Kepentingan

Definisi

1 Kedua elemen sama penting

3Satu elemen sedikit lebih penting daripada elemen

yang lain

5Satu elemen sesungguhnya lebih penting dari elemen

yang lain

7Satu elemen jelas lebih

penting dari elemen yang lain

9Satu elemen mutlak lebih

penting daripada elemen lain

2,4,6,8Nilai tengah diantara 2

penilaian yang berdampingan

Sumber: (Saaty, 1980)

Dalam melakukan analisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process

(AHP), biasanya digunakan Software Expert Choice untuk membantu membobotkan masing-

masing kriteria yang ada agar lebih objektif (meminimalisir subjektifitas).

Page 22: Knowledge Management

2.5 Knowledge Management Process

Knowldege Management Process penting bagi perusahaan yang melihat pengetahuan

sebagai faktor utama dalam daya saing. Knowledge Management telah dilihat sebagai respon

yang cepat untuk kelemahan dan ancaman yang mempengaruhi cara bisnis perusahaan.

Menurut Stollberg Michael et al (2004), proses KM pengetahuan digambarkan dengan

Knowldege Identification, Knowldege Acqusition, Knowldege Preparation, Knowldege

Allocation, Knowldege Dissemination, Knowldege Usage, dan Knowldege Maintenance.

Sementara itu menurut Awad & Ghaziri (2004), terdapat empat Knowldege Management

Process yang terdiri dari menangkap (Capturing), pengorganisasian (Organized), penyulingan

(Refining), dan mentransfer (Transfering). Fase menangkap (Capturing) dimaksud dengan

menangkap pengetahuan seperti berupa e-mail, file audio, file digital, dan sejenisnya. Setelah

fase menangkap (Capturing), pada fase kedua menangkap data atau informasi harus diatur

dengan cara yang dapat diambil dan digunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang

bermanfaat dengan cara menggunakan pengindeksan, clustering, katalog, penyaringan,

kodifikasi, dan metode lain yang dapat digunakan. Fase ketiga dari manajemen pengetahuan

merupakan penyulingan (Refining). Data mining dapat diterapkan dalam fase ini. Data mining

membutuhkan Explicit Knowledge ditemukan dalam database dan mengubahnya menjadi

Tacit Knowledge. Fase terakhir dari proses manajemen pengetahuan merupakan transfer

(Transferring). Knowledge harus disebarluaskan atau ditransfer dengan membuat Knowledge

tersedia bagi karyawan melalui tutorial atau panduan untuk penggunaan yang efektif.

Sedangkan menurut Alavi & Leidner (2001), Knowldege Management Process terbagi atas

Knowledge Creation, Knowledge Storage and Retrieval, Knowledge Transfer, dan Knowledge

Application. Transaksi fase Knowledge Creation dengan menggabungkan sumber-sumber

Knowledge baru. Knowledge Storage and Retrieval digunakan untuk mendukung memori dan

individu organisasi untuk mengakses pengetahuan. Knowledge Storage and Retrieval

memberikan coding dan pengindeksan Knowledge untuk pemulihan nanti. Knowledge

Transfer menyediakan saluran komunikasi dan akses cepat ke sumber-sumber pengetahuan.

Langkah terakhir dari proses ini merupakan Knowledge Application yang membantu dalam

menerapkan pengetahuan dalam lokasi yang berbeda melalui otomatisasi alur kerja.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirangkum bahwa Knowldege Management

Process dapat meningkatkan Knowldege Management Process eksisting dengan melakukan

Knowldege Identification, Knowldege Capturing, Knowldege Sharing, Knowldege

Application, dan Knowldege Creation. Berikut merupakan Knowledge Management Process

Cycle:

Page 23: Knowledge Management

Gambar 2.4 Knowledge Management Process Cycle

2.5.1 Knowledge Identification

Menurut Michael et al (2004), Knowledge Identification berfokus pada memahami

atribut Knowledge yang diperlukan, memilih Knowledge yang berlaku diperoleh dan

menempatkan Knowledge Asset yang perlu dipelajari dan diproduksi. Menurut Becerr-

Fernandez at el (2004), Knowledge Identification merupakan metode untuk mengembangkan

Tacit Knowledge maupun Explicit Knowledge baru dari data atau informasi atau dari

campuran Knowledge sebelumnya. Selain itu, menurut Sun & Gang Gao (2006) bahwa

Knowledge Identification merupakan proses mencari keluar pengetahuan yang berharga dalam

organisasi. Knowledge Identification juga digunakan untuk menggali modal intelektual yang

berharga dari database, dokumentasi dan diam-diam dari para ahli. Knowledge Identification

dilibatkan dalam mencari Knowledge internal dalam perusahaan ataupun sumber eksternal.

Knowledge Identification mencari melalui sejumlah besar data dan memilih informasi yang

berlaku. Hal ini bergantung pada penggalian informasi dari kejujuran Set Data seperti teknik

eksperimental dan pemeriksaan modern. Knowledge Identification bergantung pada Tools

seperti Data Mining dan wawancara. Data Mining membantu Knowledge Seeker untuk

menemukan Knowledge yang disukai atau Knowledge yang berharga yang tak terduga dari

Database yang sangat besar. Sementara wawancara menemani dengan insentif mendorong

individu untuk mengekspresikan Knowledge yang mereka miliki. Knowledge Identification

juga bergantung pada individu yang memiliki pengetahuan dan tidak dapat dengan baik

Page 24: Knowledge Management

mengungkapkannya secara terbuka. Selain itu, Knowledge Identification berguna dalam

menemukan Knowledge yang ada dalam perusahaan besar (Bouthillier & Shearer, 2002).

2.5.2 Knowledge Capturing

Menurut Becerr-Fernandez at el (2004), Knowledge Capturing dapat didefinisikan

sebagai proses mengambil pengetahuan baik eksplisit atau diam-diam yang berada dalam

orang (individu atau kelompok), artefak (praktek, teknologi atau repositori) atau badan

organisasi (unit organisasi, organisasi, jaringan interorganisasional). Knowledge Capturing

merupakan langkah eksternalisasi yang melibatkan mengubah Tacit Knowledge ke dalam

bentuk eksplisit seperti kata-kata, konsep, visual, atau bahasa kiasan dan internalisasi yang

mengubah Explicit Knowledge ke Tacit Knowledge. Selain itu, menurut Rezende & Souza

(2007) dicatat bahwa Knowledge Capturing melambangkan perolehan pengetahuan dengan

kompetensi penting dan pengalaman untuk menciptakan dan memperbarui bidang

pengetahuan yang dipilih. Selain itu, Knowledge Capturing atau batas perolehan Knowledge

dengan menggunakan teknologi pencocokan dan melambangkan atau memformalkan

pengetahuan dalam format yang digunakan oleh komputer (Deng Qianwang & Yu Dejie,

2006).

2.5.3 Knowledge Sharing

Menurut Jensen & Meckling (1996), Pertama, Knowledge Sharing berarti transfer yang

efektif, sehingga penerima dapat mengerti dengan baik cukup untuk bertindak di atasnya.

Kedua, apa yang dibagi secara Knowledge Sharing bukan rekomendasi berdasarkan

Knowledge. Ketiga, Knowledge Sharing dapat terjadi di seluruh individu maupun antar

kelompok, departemen, atau organisasi. Berikut merupakan penekanan cara dan alat agar

Knowledge Sharing efektif:

1. Jaringan komunikasi sosial formal

2. Jaringan komunikasi sosial informal

3. Kerja sama tim

4. Praktek masyarakat

5. Pembelajaran organisasi

6. Rumor

7. Jaringan resmi terstruktur teknologi komunikasi (e-mail, komunikasi selular,

telekonferensi, konferensi video, dan lain-lain).

Knowledge Sharing melibatkan pembuatan Knowledge secara individu dan kelompok

dengan interaktivitas dan konektivitas dalam perusahaan. Knowledge Sharing dilakukan

dengan saluran komunikasi sosial dan teknis. Dalam rangka untuk membangun saluran ini

secara efektif, itu tergantung pada stabilitas dan daya tahan infrastruktur perusahaan. Jika

Page 25: Knowledge Management

infrastruktur perusahaan cocok untuk menyelaraskan infrastruktur sistem manajemen

pengetahuan, berbagi pengetahuan yang sukses dapat dilakukan. Knowledge Sharing berfokus

dalam mentransfer dan berbagi Knowledge di antara individu-individu dalam perusahaan.

Selain itu, fase ini dianggap sebagai proses inti dari Knowledge Management karena tujuan

utama dan tujuan dari penelitian dan praktek Knowledge Management merupakan untuk

mendorong aliran pengetahuan antara individu-individu (Chua, 2004; Shin, 2000). Selain itu,

Knowledge Management System yang sukses merupakan sistem bersama di mana orang dapat

mengambil dan memberikan kontribusi ke kolam Knowledge. Bahkan, orang harus berbicara

bahasa yang sama untuk dapat melakukan Knowledge Sharing. Menurut Sun & Gang Gao

(2006), Knowledge Sharing dijalankan dengan mendistribusikan dan menggunakan

pengetahuan dipilih dari dalam perusahaan atau dari luar. Selain itu, selama berbagi

pengetahuan, pengetahuan baru yang diciptakan dengan menggabungkan pengetahuan

bersama dan pengetahuan yang ada (Davenport & McElroy, 2000). Struktur Knowledge

Sharing juga didasarkan pada pelatihan ahli kerja, pusat pelatihan, pertemuan kelompok

fokus, lokakarya, dan Knowledge Sharing dewan (Hung et al, 2007). Menurut Parikh (2001),

Knowledge Sharing dapat lebih diperluas untuk mencakup personalisasi dan distribusi.

Intranet dan Extranet menyediakan Platform yang cocok untuk aktivitas Knowledge Sharing.

Profil pengguna dapat digunakan untuk mempersonalisasi presentasi dan akses Knowledge.

Teknologi Push dapat digunakan untuk secara otomatis memperbarui dan pengguna

peringatan ketika perubahan terjadi. Oleh karena itu, untuk mendukung inisiatif Knowledge

Sharing, campuran struktur bujukan dan perilaku kooperatif dalam budaya organisasi

diperlukan. Menurut Sun & Gang Gao (2006), ditegaskan bahwa Knowledge Sharing berisi

sub-proses berikut: representasi Knowledge, distribusi Knowledge dan pemanfaatan

Knowledge. Representasi Knowledge merupakan untuk mewakili pengetahuan dalam cara

yang lebih jelas dan dapat disimpan. Distribusi Knowledge mendukung penyebaran

Knowledge di seluruh perusahaan. Pada akhirnya, pemanfaatan Knowledge mendukung

Knowledge Application.

2.5.4 Knowledge Application

Knowledge Application merupakan proses membuat keputusan dan melakukan tugas

dengan sempurna dalam perusahaan. Hal tersebut membutuhkan pemanfaatan pengetahuan

manfaat dari dua proses yang tidak melibatkan transfer aktual atau pertukaran Knowledge

antara individu yang bersangkutan rutinitas dan arah yang terdiri dari subproses dalam

langkah ini. Arahnya mengacu pada proses di mana individu yang memiliki Knowledge

langsung beraksi pada individu lain tanpa mentransfer Knowledge yang mendasari arah.

Rutinitas melibatkan pemanfaatan pengetahuan tertanam dalam prosedur, aturan, dan norma-

Page 26: Knowledge Management

norma yang memandu perilaku masa depan. Menurut Sun & Gang Gao (2006), tujuan

Knowledge Application merupakan untuk menerapkan dan mewakili informasi kepada

Knowledge Seeker dalam hal yang tepat. Selain itu, Knowledge Application merupakan solusi

untuk membungkus Knowledge untuk menjamin penggunaan secara luas. Selain itu,

Knowledge Application menerjemahkan informasi menjadi alat praktis dan menerapkan

Knowledge ke dalam dunia nyata. Knowledge Application menyajikan pengetahuan dalam

cara yang lebih jelas dan dapat disimpan. Sementara itu, menurut Lai & Chu (2000) berbeda,

bahwa Knowledge dapat tersedia untuk individu melalui proses interaktif manusia atau

dengan menggunakan teknologi informasi. Selain itu, teknologi dapat mendukung Knowledge

Application dengan menanamkan pengetahuan ke dalam praktek organisasi. Demikian juga,

Knowledge dapat didorong berdasarkan dua strategi yaitu mendorong dan menarik. Strategi

Dorong membuat keputusan tentang apa informasi yang akan dialokasikan kepada siapa dan

pengguna secara otomatis waspada perubahan, sedangkan strategi tarik didasarkan pada

permintaan pengguna dan kebutuhan (Davenport & Prussak, 1997). Knowledge Application

juga didasarkan pada komponen teknologi seperti alur kerja, sistem pakar, sistem manajemen

paten, dan portal informasi perusahaan. Akibatnya dengan menerapkan dan memiliki nilai

tambah Knowledge menjamin budaya eksekusi yang sukses (Hung et al, 2007).

2.5.5 Knowledge Creation

Knowledge Creation merupakan proses menciptakan pengetahuan baru melalui

menggabungkan pengetahuan internal dengan pengetahuan internal lain dan menganalisis

informasi untuk menciptakan pengetahuan baru (Bouthillier & Shearer, 2002). Selain itu,

Knowledge Creation bergantung pada pemilihan kedua pengetahuan internal dan eksternal

yang dibutuhkan oleh perusahaan. Perusahaan harus mengakui persyaratan perusahaan

dengan memahami tugas, tanggung jawab dan pengetahuan yang dibutuhkan (Supyuenyong

& Islam, 2006). Selain itu, perusahaan perlu mengenali Knowledge yang lama, yang ada, dan

baru yang mungkin diinginkan selama rute sebagai upaya Knowledge Management dan bisnis

yang luas (Sunassee & Sewry, 2002). Selain itu, menurut Sun & Gang Gao (2006) bahwa

Knowledge Creation dalam perusahaam berfokus pada menciptakan produk-produk baru, ide-

ide ditingkatkan dan layanan yang lebih efektif atau ide-ide baru. Knowledge Creation

menarik jika Knowledge diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan atau eksklusif. Selain itu,

Knowledge Creation tergantung pada budaya organisasi, tujuan organisasi, dan upaya

penelitian (Davenport & McElroy, 2000). Menurut Hung et al (2007), Knowledge Creation

menggunakan komponen teknologi seperti brainstorming, sistem pendukung keputusan,

portal informasi perusahaan, kecerdasan buatan, intelijen bisnis, data mining dan alat

penemuan pengetahuan. Menurut Krogh et al (2000), terdapat beberapa hambatan yang terjadi

Page 27: Knowledge Management

dalam Knowledge Creation. Pertama merupakan individu dan yang kedua merupakan tingkat

organisasi. Hambatan pertama berisi keyakinan bahwa orang tidak dapat dengan mudah

beradaptasi dengan organisasi yang cukup dan yang kedua merupakan kebutuhan untuk

bahasa yang sah, cerita organisasi, prosedur, dan paradigma perusahaan (Berger & Luckmann,

1967).

2.6 Knowledge Audit

Menurut Paramasivan (2003), Knowledge Audit merupakan fase atau langkah inisiatif

Knowledge Management dan digunakan untuk mendukung investigasi mengenai kesehatan

perusahaan. Hal ini merupakan sebuah fasilitas analisis, interpretasi, dan pelaporan kegiatan

yang mencakup studi tentang informasi perusahaan, kebijakan Knowledge, struktur

Knowledge, dan aliran Knowledge. Knowledge Audit berfungsi untuk membantu perusahaan

agar dapat menentukan apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui, selain itu dapat

membantu perusahaan yang diaudit untuk menentukan Knowledge yang sedang dikelola dan

seberapa baik Knowledge tersebut telah dikelola. Knowledge Audit mengidentifikasi informasi

inti dan kebutuhan serta penggunaan Knowledge dalam suatu perusahaan, sehingga dapat

mengidentifikasi gap, duplikasi, aliran, dan kontribusi Knowledge dalam tujuan bisnis.

Berikut merupakan tujuan dilakukannya Knowledge Audit menurut Paramasivan (2003):

1. Untuk memberikan High-Level-View dari batas, alam, dan struktur Knowledge

tertentu.

2. Untuk memberikan masukan data sulit yang berarti untuk rencana strategis

pengolahan Knowledge.

3. Untuk mengidentifikasi Repository Knowledge yang relevan dalam perusahaan.

4. Untuk memberikan pernyataan terkait karakteristik kualitatif dari Knowledge

dengan spesifikasi khusus.

5. Untuk memberikan perkiraan ilmiah terkait karakteristik kuantitatif dari Knowledge

dengan spesifikasi khusus.

Pertanyaan-pertanyaan Knowledge Audit berisi tentang konsep bisnis, Enterprise Know-

How, pelaku Knowledge, mediasi Knowledge melalui IT, dan desain perusahaan (Shah et al,

1998). Menurut Paramasivan (2003), Knowledge Audit umumnya akan fokus pada hal-hal

sebagai berikut:

1. Apakah Knowledge yang dibutuhkan perusahaan ?

2. Aset dan sumber daya Knowledge apa saja yang dimiliki dan dimana letaknya ?

3. Apakah gap yang terdapat pada Knowledge tersebut ?

4. Bagaimana aliran Knowledge dalam perusahaan ?

Page 28: Knowledge Management

5. Apakah terdapat hambatan dalam aliran Knowledge tersebut ? (Misalnya: manusia,

proses, dan teknologi yang mendukung atau mengahambat efektifitas dari aliran

Knowledge ?)

Menurut Wiig (1993), Knowledge Audit dapat mengidentifikasi kelebihan atau

kekurangan informasi, letak kurangnya kesadaran informasi dalam perusahaan,

ketidakmampuan untuk mengikuti informasi yang relevan, signifikan dari “Reinventing The

Wheel”, penggunaan umum dari informasi yang Out-of-Date, ketidaktahuan terkait keahlian

pada bidang tertentu.

Berikut merupakan langkah-langkah dalam melakukan Knowledge Audit menurut

Paramasivan (2003):

1. Mengidentifikasi Knowledge eksisting pada area yang bersangkutan.

2. Mengidentifikasi Knowledge yang hilang pada area yang bersangkutan.

3. Memberikan rekomendasi dari Knowledge Audit untuk manajemen terkait Status-

Quo dan kegiatan perbaikan yang mungkin dilakukan terkait Knowledge

Management pada area yang bersangkutan.

Berikut merupakan pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam melaksanakan

Knowledge Audit menurut Paramasivan (2003):

1. Identifikasi Kebutuhan Knowledge

Identifikasi kebutuhan Knowledge dan pihak-pihak yang terkait dibutuhkan dengan

maksud untuk mendukung perusahaan agar dapat mencapai sasaran dan tujuannya.

Pendekatan yang pada umumnya digunakan yaitu kuesioner berbasis survey,

wawancara, dan FGD (Facilitated Group Discussions), serta kombinasi dari ketiga

hal tersebut.

2. Menggambarkan Knowledge Inventory

Aktivitas yang terkait yaitu menghitung dan mengkategorikan Tacit Knowledge dan

Explicit Knowledge. Knowledge Inventory dapat memberikan gambaran kepada

perusahaan mengenai aset dan sumber Knowledge yang dimiliki. Knowledge

Inventory merupakan sebuah stok untuk mengidentifikasi dan menggambarkan

lokasi aset Knowledge atau sumber daya Knowledge bagi perusahaan. Sehingga,

perusahaan dapat menganalisis gap serta duplikasi yang ada pada area Knowledge-

nya.

3. Menganalisis Aliran Knowledge

Analisis aliran Knowledge bertujuan untuk melihat bagaimana karyawan dapat

menemukan Knowledge yang dibutuhkan dengan kata lain, karyawan dapat

menemukan Knowledge yang dibutuhkan dan dapat membagikan Knowledge yang

Page 29: Knowledge Management

dimiliki. Analisis aliran Knowledge dapat membantu perusahaan dalam

menemukan metode yang efektif untuk melakukan Transfer Knowledge dan aliran

yang efektif.

4. Membuat Knowledge Map

Pembuatan Knowledge Map sebagai upaya melihat representasi Knowledge pada

perusahaan. Berikut merupakan dua pendekatan yang pada umumnya digunakan

dalam pembuatan Knowledge Map:

Pemetaan sumber dan aset Knowledge, menggambarkan Knowledge yang ada

pada perusahaan dan mencari letaknya.

Pemetaan sumber dan aset Knowledge yang juga disertai aliran Knowledge,

menggambarkan bagaimana Knowledge dapat berpindah secara keseluruhan

dari suatu area kepada area yang membutuhkannya.

Terdapat banyak metode analisis yang dapat digunakan dalam melaksanakan

Knowledge Audit. Menurut Paramasivan (2003), terdapat sepuluh metode yang dapat

digunakan untuk melakukan Knowledge Audit. Kesepuluh metode tersebut dijelaskan dalam

Tabel sebagai berikut:

Tabel 2.3 Metode Analisis Knowledge dan Penggunaanya dalam Knowledge Audit

No Metode Analisis Knowledge Penggunaannya dalam Knowledge Audit

1Kuesioner Berbasis Survey

KnowledgeUntuk mendapatkan Overview secara luas tentang status

Knowledge operasi

2Sesi Kelompok Middle-

Management Target

Untuk mengidentifikasi Knowledge yang berhubungan dengan kondisi tertentu yang membutuhkan perhatian

manajemen

3 Tugas Analisis LingkunganUntuk memahami dengan sangat rinci, apa Knowledge yang

ada dan peran Knowledge tersebut

4 Analisis Protokol VerbalUntuk mengidentifikasi unsur-unsur, fragmen , dan atom

Knowledge

5 Analisis Basic KnowledgeUntuk mengidentifikasi Knowledge secara gabungan atau

terperinci

6 Knowledge MappingUntuk mengembangkan peta konsep sebagai Chies hierarki

atau jaring

7Analisis Fungsi Kritis

KnowledgeUntuk menemukan daerah sensitif Knowledge

8Analisis Persyaratan dan Penggunaan Knolwedge

Untuk mengidentifikasi bagaimana knowledge digunakan untuk tujuan bisnis dan menentukan bagaimana situasi dapat

ditingkatkan

Page 30: Knowledge Management

No Metode Analisis Knowledge Penggunaannya dalam Knowledge Audit

9Knowledge Scripting and

Profiling

Untuk mengidentifikasi rincian dari kerja intensif Knowledge dan Knowledge mana yang berperan dalam menghasilkan

produk berkualitas

10 Analisis Aliran KnowledgeUntuk mendapatkan Overview tentang Knowledge terkait

pertukaran, kerugian , atau input dari tugas pada proses bisnis atau keseluruhan perusahaan

Sumber: (Paramasivan, 2003)

Metode yang banyak digunakan salah satunya yaitu penggunaan kuesioner. Melalui

kuesioner dapat diketahui manakah Knowledge yang kritis pada suatu perusahaan, sehingga

dapat dilakukan tindakan selanjutnya. Kuesioner dijawab oleh para ahli dalam perusahaan

tersebut, sehingga hasil yang didapat lebih akurat dan sesuai dengan keadaan perusahaan

eksisting.

2.7 Knowledge Management Self-Assessment

Self-Assessment telah lama digunakan dan dipelajari dalam dunia pendidikan,

khususnya dalam les dan pengaturan belajar mandiri. Self-Assessment memiliki beberapa

keunggulan. LeBlanc & Painchaud (1985) menunjukkan bahwa penilaian diri dapat

mengambil lebih sedikit waktu untuk mengelola daripada metode lain dari penilaian, dan

karena siswa diminta bagaimana perasaan mereka tentang melakukan tugas, metode pengujian

dan pengumpulan data menjadi lebih sederhana. Selain itu, penilaian diri menghilangkan

kebutuhan untuk pengamanan gainst kecurangan, memungkinkan siswa untuk mengisi survei

di waktu luang mereka, yang pada gilirannya mengurangi tekanan untuk memiliki jadwal

pengujian yang ketat. Juga, penilaian diri dapat membantu membuat siswa lebih aktif,

membantu mereka memahami kemajuan mereka sendiri, dan mendorong mereka untuk

melihat nilai dalam apa yang mereka pelajari (Harris, 1997). Tetapi penggunaan Self-

Assessment datang dengan banyak peringatan. Misalnya, Meta-Review oleh Boud &

Falchikov (1989), bahwa Self-Assessment dalam pendidikan tinggi menemukan bahwa siswa

dewasa dan kompeten yang mampu menilai diri mereka identik sebagai guru, akan tetapi

beberapa siswa superkritis menjadi kekurangan mereka sendiri, terutama siswa yang bekerja

dalam sebuah topik baru, yang dapat menyebabkan siswa meremehkan diri mereka sendiri.

Para peneliti dalam pembelajaran bahasa juga telah mempelajari Self-Assessment.

Sebagai contoh, Malabonga et al (2005) menemukan bahwa mayoritas siswa (92%) yang

berhasil dalam menggunakan instrumen Self-Assessment untuk memilih tugas-tugas tes di

Page 31: Knowledge Management

tingkat kesulitan awal yang tepat. Harrington & Carey (2009) menemukan bahwa

pengetahuan kosakata penilaian diri dengan pilihan biner merupakan sekitar seefektif tes

penempatan tata bahasa. Brantmeier (2006) menemukan bahwa Self-Assessment pada

kemampuan membaca yang tidak dapat diandalkan dalam memprediksi kinerja pada kegiatan

membaca berbasis komputer. Terlebih lagi, Cole et al. (2010) menemukan bahwa penilaian

diri dapat digunakan dalam memunculkan pengetahuan topik. Suatu hal yang penting dalam

menggunakan Knowledge Management Self-Assessment merupakan bagaimana

diandalkannya pertanyaan penilaian diri ketika berhadapan dengan peserta didik kosakata

bahasa kedua, dibandingkan dengan jenis lain dari pertanyaan yang ada. Dijelaskan sebuah

penelitian yang membandingkan efektifitas penilaian diri dan pertanyaan dalam menilai

Knowledge awal siswa kosakata L2, menggambarkan penggunaan Knowledge Management

Self-Assessment.

Knowledge Management Self-Assessment merupakan suatu cara menguji bagaimana

sebuah Knowledge Management pada sebuah perusahaan berlangsung. Salah satu penggunaan

yang paling umum dari Knowledge Management Self-Assessment merupakan untuk menilai

Knowledge Worker, sering kali dijadikan sebagai penilaian awal dari keterampilan pekerja.

Keuntungan yang jelas jika menggunakan Knowledge Management Self-Assessment

merupakan pengurangan waktu yang dibutuhkan untuk menilai Knowledge Worker, tetapi ada

banyak hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan Knowledge Management Self-

Assessment. Selain itu, dalam penggunaan Knowledge Management Self-Assessment

dilakukan pembuatan dua buah diagram yang hasil akhirnya dapat menunjukkan kesenjangan

Knowledge yang dimiliki perusahaan. Kedua diagram tersebut yaitu River Diagram dan Stairs

Diagram.

2.7.1 River Diagram

Menurut Collison (2013), dewasa ini banyak perusahaan menginginkan peningkatan

kinerja. Benchmarking merupakan cara yang populer untuk mendefinisikan sebuah praktek

yang baik, mengukur kinerja, dan mengidentifikasi kesenjangan. Sayangnya, kegiatan

benchmarking sering dapat menghasilkan "League Table" mentalitas dan mengurangi

kolaborasi antara unit bisnis atau departemen. Daripada berbagi apa yang diketahui, banyak

orang pada sebuah perusahaan secara sengaja menghambat untuk melakukan Knowledge

Sharing dan belajar dari orang lain serta mulai menimbun pengetahuan karena memberikan

keuntungan lebih dari rekan-rekannya dan menganggap bahwa "Knowledge is Power". Ketika

dilakukan Gap Analysis, perusahaan dapat merasa bahwa target realistis yang dikenakan

padanya tanpa ada dukungan untuk menjangkau. Oleh karena itu perlu ada suatu Tools yang

dapat membantu perusahaan untuk mengevaluasi kinerja berdasarkan Gap yang ada.

Page 32: Knowledge Management

River Diagram meruapakan Tools yang berguna yang dirancang untuk

memvisualisasikan data hasil penilaian diri dan Peer-Learning dari berbagai sumber. Menurut

Parcell & Collison (2009), River Diagram dikembangkan mereka dalam buku yang berjudul

“No More Consultants: We Know More Than We Think”. River Diagram secara khusus,

memungkinkan pengguna untuk secara visual merepresentasikan rubrik dari berbagai sumber

yang masing-masing berisi matriks informasi mereka sendiri seperti, beberapa rubrik bagi

individu, desa, departemen, dan lainnya dalam satu diagram yang mudah dibaca. River

Diagram mertimbangkan rubrik individu dengan mencatat sepuluh langkah kunci dari kinerja

pada 1 sampai 5 skala. Informasi ini relatif mudah untuk plot pada diagram dengan

menempatkan masing-masing ukuran pada sumbu-x dan tingkat kinerja 1 sampai 5 di sumbu

y. Namun, jika terdapat beberapa rubrik dari sejumlah sumber yang berbeda (misalnya, setiap

unit bisnis atau departemen dalam suatu perusahaan, atau bentuk penilaian diri dari setiap

pekerja di suatu unit bisnis atau departemen) ke diagram yang sama, titik data akan cepat

menjadi berantakan dan sulit untuk menafsirkan. Berikut merupakan contoh gambar River

Diagram:

Gambar 2.5 River Diagram

River Diagram hanya mengambil tingkat maksimum dan minimum untuk setiap

pengukuran dan menunjukkan kisaran skor di seluruh kelompok yang dipertimbangkan.

Daerah antara nilai maksimum dan minimum merupakan yang berwarna biru, sedangkan

sisanya merupakan yang berwarna hijau. Diagram berwarna biru ditampilkan sebagai sungai

dan berbatasan dengan tepi hijau yang merupakan daerah dimana sungai berada pada titik

terluas (dimana kesenjangan dalam kinerja terbaik dan terburuk di antara responden individu

berada pada titik tertinggi) menunjukkan peluang terbesar untuk Lessons-Learning and

Sharing. Berikut merupakan keuntungan yang didapat jika menggunakan River Diagram:

Page 33: Knowledge Management

1. Melibatkan tim utama dalam mecapai keuntungan dari sebuah Bench-Sharing.

2. Melibatkan tim dalam menghasilkan alat penilaian perusahaan yang efektif.

3. Memfasilitasi Self-Assessment Workshop yang menemukan praktik secara baik,

menghasilkan tindakan, dan meningkatkan kerjasama.

4. Melatih pekerja untuk menjalankan Self-Assessment Workshop untuk diri mereka

sendiri.

5. Menghasilkan River Diagram dan Stairs Diagram analisis yang menyajikan hasil

dalam cara yang menarik.

6. Menyediakan sejumlah intervensi Knowledge Management dan perubahan untuk

menutup kesenjangan dan meningkatkan kinerja seluruh perusahaan.

2.7.2 Stairs Diagram

Melihat River Diagram yang kini telah menjadi Tools yang cukup mapan dalam

menggabungkan prinsip-prinsip penyimpangan positif dengan berbagi Knowledge. Namun,

masih terdapat sedikit orang yang akrab dengan Tools pendamping dari River Diagram. Tools

pendamping tersebut merupakan Stairs Diagram. Stairs Diagram menunjukkan tingkat

kemampuan (sering berasal dari Tools Self-Assessment Umum atau Model Maturity) yang

diplot terhadap ukuran sebuah tujuan perbaikan dan diidentifikasi juga sejumlah target untuk

perbaikannya. Salah satu praktik dalam Self-Assessment merupakan "Network Leadership &

Facilitation". Berikut merupakan contoh (fiktif) yang menunjukkan hasil dari sejumlah

jaringan kesehatan terkait yang semuanya menggunakan Tools Self-Assessment Umum untuk

membahas dan menyepakati mengenai tingkat kemampuan jaringan yang ada terhadap

sejumlah praktik:

Gambar 2.6 Stairs Diagram

Berdasarkan Gambar 2.6, Stairs Diagram tersebut menggambarkan sebuah tingkat

kemampuan yang diplot terhadap ukuran suatu tujuan perbaikan dan pengidentifikasian

Page 34: Knowledge Management

sejumlah target untuk perbaikan. Berikut merupakan penjelasan mengenai contoh Stairs

Diagram di atas:

1. Jaringan Diabetes berada pada tingkat 5, dan jelas memiliki sesuatu untuk di-share-

kan.

2. Jaringan Peningkatan Kualitas berada pada tingkat 1, namun memiliki keinginan

untuk memperbaiki dengan meningkatkan dua tingkat di atasnya.

3. Cardio-Community berada pada tingkat 2, dan tidak memilih praktek ini sebagai

prioritas untuk perbaikan.

4. Terdapat sekelompok jaringan yang berada pada tingkat 3 dengan tidak adanya

aspirasi untuk meningkatkan, termasuk Jaringan Informatika Kesehatan.

5. Akhirnya, Jaringan TB berada pada tingkat 3, tetapi masih berusaha untuk

memeperbaiki dengan meningkatkan dua tingkat di atasnya.

Menurut Collison (2013), kekuatan Stairs Diagram mampu memetakan koneksi potensi

nilai tertinggi yang menghubungkan siapa saja yang memiliki sesuatu untuk dibagikan dengan

siapa saja yang memiliki sesuatu untuk dipelajari. Hal ini ditunjukkan dalam daerah hijau dan

merah masing-masing pada Stairs Diagram. Stairs Diagram memiliki ukuran umum (dalam

hal ini, Tools Self-Assessment) yang diaktifkan pada sebuah kelompok jaringan untuk

mengidentifikasi tidak hanya pelaku PD (positive deviants), tetapi juga jaringan dengan

aspirasi yang terbesar untuk ditingkatkan. Untuk setiap kelompok dapat dilatih menggunakan

Tools Knowledge Management yang tepat untuk membantu dalam pembibitan untuk

ditingkatkan. Jadi dengan motivasi yang benar, kepemimpinan yang tepat dan metode yang

tepat, dapat sangat membantu perusahaan untuk menghindari kesenjangan yang menghambat

dan berpotensi menghentikan kinerja sebuah perusahaan.

2.8 Perfomance Measurement

Performance merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang

pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan

kepadanya (Fikrotuzzakiah, 2012). Performance merupakan gambaran mengenai tingkat

pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program kebijakan dalam mewujudkan sasaran,

tujuan, misi, dan visi perusahaan yang tertuang dalam Strategic Planning suatu perusahaan.

Istilah Performance sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan

individu maupun kelompok. Kinerja dapat diketahui hanya jika individu atau kelompok

tersebut memiliki kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa

tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target,

Page 35: Knowledge Management

kinerja seseorang atau perusahaan tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolok

ukurnya.

Performance Measurement merupakan proses mengukur efisiensi dan efektifitas

tindakan masa lalu (Nelly et al, 1996). Performance Measurement merupakan hal yang sangat

penting bagi perusahaan karena hal ini merupakan salah satu cara perusahaan untuk mengukur

pencapaian perusahaan terkait strategi yang ditetapkan untuk mecapai tujuan dan untuk

memenangkan kompetisi bisnis yang ada di pasar. Melalui Performance Measurement, maka

perusahaan dapat memahami kelebihan dan kekurangan yang ada pada perusahaan, sehingga

dapat dilakukan perbaikan-perbaikan untuk terus meningkatkan perusahaan agar lebih baik

lagi. Pada awal penerapan Performance Measurement digunakan konsep Performance

Measurement tradisional, dimana pada konsep ini aspek finansial merupakan aspek yang

dianggap paling berpengaruh terhadap pencapaian strategi perusahaan, sehingga aspek yang

diukur lebih ke arah aspek finansial saja tanpa memperhatikan aspek non-finansial lainnya.

Namun seiring berjalananya waktu, dewasa kini banyak metode Performance Measurement

modern yang diterapkan untuk mengukur kinerja perusahaan dengan lebih baik. Namun,

terdapat beberapa kekurangan pada metode Performance Measurement tradisional, sehingga

banyak dilakukan penelitian untuk mengembangkan metode Performance Measurement agar

lebih baik lagi. Berikut merupakan beberapa kekurangan yang terdapat pada Performance

Measurement tradisional menurut (Kaplan & Norton, 1996), yaitu:

1. Tidak mampu mengukur kinerja harta-harta tak tampak (Intangible Assets) dan

harta-harta intelektual (sumber daya manusia) organisasi karena itu kinerja

keuangan tidak mampu bercerita banyak mengenai masa lalu perusahaan dan tidak

mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik.

2. Pengukuran lebih berorientasi pada manajemen operasional dan kurang mengarah

kepada manajemen strategis.

3. Tidak mampu mempresentasikan kinerja Intangible Assets yang merupakan bagian

struktur aset perusahaan. Terlalu agregat atau kurang detail dalam hal pengukuran,

sehingga hasilnya kurang menjelaskan secara terperinci.

4. Metriks pengukuran yang tidak independen atau terpengaruh oleh metriks lainnya

(Lagging Metrics).

5. Pengukuran kinerja tradisional cenderung mendorong manajemen organisasi hanya

fokus pada kinerja jangka pendek dan mengabaikan tujuan jangka panjang.

Organisasi didorong mencapai keuntungan finansial saat ini sebesar-besarnya tanpa

memperhatikan kepentingan perusahaan jangka panjang.

Page 36: Knowledge Management

Dikarenakan hal-hal tersebut, maka dewasa ini perusahaan beralih kepada metode

Performance Measurement modern yang dirasa lebih menjawab kebutuhan perusahaan akan

pengukuran yang efektif dan efisien. Sementara (Moulin, 2007) mendefinisikan Performance

Measurement sebagai proses evaluasi bagaimana organisasi dikelola dengan baik dan nilai

yang organisasi berikan bagi pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan

Performance Measurement merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap

tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas efisiensi

penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa

(seberapa baik barang dan jasa diberikan kepada pelanggan dan seberapa jauh pelanggan

terpuaskan), hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan dan efektifitas

tindakan dalam mencapai tujuan (Robertson et al, 2002). Menurut Mahsun (2009),

Performance Measurement merupakan suatu aktivitas penilaian pencapaian target-target

tertentu yang diderivasi dari tujuan strategis organisasi. Performance Measurement juga

membantu manajer dalam memonitor implementasi strategi bisnis dengan cara

membandingkan antara hasil aktual dengan sasaran dan tujuan strategis. Performance

Measurement merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas

pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat empat

elemen pokok Performance Measurement (Mahsun, 2009). Berikut merupakan keempat

elemen pokok Performance Measurement dalam meningkatkan kualitas pengambilan

keputusan dan akuntabilitas:

1. Menetapkan Tujuan, Sasaran, dan Strategi Organisasi

Tujuan merupakan pernyataan umum tentang apa yang ingin dicapai organisasi.

Sasaran merupakan tujuan organisasi yang sudah dinyatakan secara eksplisit

dengan disertai batasan waktu yang jelas. Strategi merupakan cara atau teknik yang

digunakan organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran. Tujuan, sasaran, dan

strategi tersebut ditetapkan dengan berpedoman pada visi dan misi organisasi.

Berdasarkan tujuan, sasaran dan strategi tersebut selanjutnya dapat ditentukan

indikator dan ukuran kinerja secara tepat.

2. Merumuskan Indikator dan Ukuran Kinerja

Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-

hal yang sifatnya merupakan indikasi-indikasi kinerja. Indikator kinerja dan ukuran

kinerja ini sangat dibutuhkan untuk menilai tingkat pencapaian tujuan, sasaran dan

strategi. Indikator kinerja dapat berbentuk Critical Success Factors dan Key

Performance Indicator. Critical Success Factors merupakan gambaran preferensi

manajerial dengan memperhatikan variabel kunci finansial dan non-finansial pada

Page 37: Knowledge Management

kondisi waktu tertentu. Critical Success Factors harus secara konsisten mengikuti

perubahan yang terjadi dalam organisasi. Sedangkan Key Performance Indicator

merupakan ukuran kinerja kunci yang bersifat finansial maupun non-finansial untuk

melaksanakan operasi dan kinerja unit bisnis.

3. Mengukur Tingkat Pencapaian Tujuan dan Sasaran Organisasi

Jika perusahaan telah memiliki indikator dan ukuran kinerja yang jelas, maka

performance measurement dapat diimplementasikan. Mengukur tingkat pencapaian

tujuan, sasaran, dan strategi dengan membandingkan hasil aktual dengan indikator

dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan. Analisis antara hasil aktual dengan

indikator dan ukuran kinerja ini menghasilkan penyimpangan positif,

penyimpangan negatif, atau penyimpangan nol. Penyimpangan positif berarti

pelaksanaan kegiatan sudah berhasil mencapai serta melampaui indikator dan

ukuran kinerja yang telah ditetapkan. Penyimpangan negatif berarti pelaksanaan

kegiatan belum berhasil mencapai serta melampaui indikator dan ukuran kinerja

yang telah ditetapkan. Penyimpangan nol pelaksanaan kegiatan sudah berhasil

mencapai atau sama dengan indikator dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan.

4. Evaluasi Kinerja

Evaluasi kinerja akan memberikan gambaran kepada penerima informasi mengenai

nilai kinerja yang berhasil dicapai organisasi. Pencapaian kinerja organisasi dapat

dinilai dengan skala pengukuran tertentu. Informasi pencapaian kinerja dapat

dijadikan Feedback dan Reward Punsihment, penilaian kinerja organisasi dan dasar

peningkatan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.

a. Feedback

Hasil pengukuran terhadap pencapaian kinerja dijadikan dasar bagi manajemen

atau pengelola organisasi untuk perbaikan kinerja periode berikutnya. Selain

itu, hasil ini juga dapat dijadikan landasan pemberian Reward and Punishment

terhadap manajer dan anggota organisasi.

b. Penilaian Kemajuan Organisasi

Pengukuran kinerja yang dilakukan setiap periode waktu tertentu sangat

bermanfaat untuk menilai kemajuan yang telah dicapai organisasi. Dengan

membandingkan hasil aktual yang tercapai dengan tujuan organisasi yang

dilakukan secara berkala maka kemajuan organisasi dapat dinilai.

c. Meningkatkan Kualitas Pengambilan Keputusan dan Akuntabilitas

Pengukuran kinerja menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat untuk

pengambilan keputusan manajemen maupun Stakeholders. Keputusan-

Page 38: Knowledge Management

keputusan yang bersifat strategis dan ekonomis sangat membutuhkan

dukungan informasi kinerja. Informasi kinerja juga membantu menilai

keberhasilan manajemen atau pihak yang diberi amanah untuk mengelola dan

mengurus organisasi.

Pengukuran performansi Knowledge Management sangat penting dilaksanakan untuk

melihat atau menilai apakah visi dan tujuan strategis telah tercapai karena penerapan

Knowldge Management. Sehingga nantinya suatu perusahaan dapat mengevaluasi bagaimana

performansi Knowledge Management yang diimplementasikan di perusahaan tersebut dan

merumuskan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan untuk meningkatkan performansi

Knowledge Management tersebut. Menurut (Kuah & Wong, 2011) terdapat dua metodologi

yang dapat digunakan dalam mengukur performansi Knowledge Management, yaitu:

1. Metode Kualitatif

Penelitian Kualitatif biasanya memurnikan indikasi dan temuan dari studi

percontohan pada sebuah organisasi dan tinjauan peneliti dalam sebuah

pembelajaran organisasi (Chen & Chen, 2005). Keuntungan dari penelitian

kualitatif termasuk efektifitas dalam mengidentifikasi faktor Intangible dan

kapabilitasnya dalam menghasilkan deskripsi tekstual yang kompleks dari sisi

manusia Knowledge Management, seperti budaya, kebiasaan, praktek, opini, dan

pengalaman (Kuah & Wong, 2011). Metode ini banyak diguanakan karena

Knowledge merupakan sebuah aset yang Intangible, namun metode ini biasanya

dilakukan secara subjektif, sehingga keakuratan dari hasil penelitian dengan

menggunakan metode kualitatif sepenuhnya bergantung kepada keahlian sang

peneliti atau praktisi yang terlibat dalam penelitian. Pendekatan kualitatif yang

umum dilakukan seperti kuesioner, survey, dan Expert Interview. Pada pendekatan

kuesioner (Changchit et al, 2001), kuesioner digunakan untuk mengetahui pengaruh

sistem dari para ahli dalam memfasilitasi pemindahan dari Internal Control

Knowledge untuk manajer. Sementara pendekatan survey dibangun (Darroch &

MacNaughton, 2002) berbasis Kohli Jaworski’s Market Orientation Instrument

(Jaworski BJ, 1993) serta Nonaka & Takeuchi’s Knowledge Creation Spiral

(Nonaka & Takeuchi, 1995) untuk mengevaluasi Knowledge Management Model.

Pendekatan terakhir yang sering digunakan yaitu pendekatan Expert Interview yang

dilakukan dengan cara mewawancarai 12 ahli Knowledge Management untuk

membangun sebuah kerangka kerja guna menyelidiki relevansi Knowledge

Management atau Intelectual Capital Research terhadap output akademis dari

sekolah bisnis.

Page 39: Knowledge Management

2. Metode Kuantitatif

Metode ini banyak menggunakan model statistik, teori, dan hipotesis dalam

mengevaluasi Knowledge Management, sehingga hasil numerik dan kausal

hubungan dalam Knowledge Management dapat ditentukan. Dalam Knowledge

Management, pendekatan ini digunakan untuk mengukur pengetahuan ekplisit dan

sejauh mana dampaknya terhadap pengambilan keputusan dan tugas kinerja

organisasi atau individu baik indikator non-finansial maupun indikator finansial

(Chen & Chen, 2005). Pendekatan kuantitatif yang digunakan dengan membangun

berbagai metriks. Metriks merupakan Input indikator yang berfungsi sebagai

Enabler untuk Knowledge Management yang akan dieksekusi dan atau Output

indikator yang merupakan Input dan atau Output diasumsikan berkorelasi dengan

kinerja Knowledge Management. Dengan menggunakan metriks ini, maka kinerja

Knowledge Management dapat dinilai, dipantau, dan ditingkatkan, selain itu

tindakan finansial dan non-finansial juga dapat dievaluasi. Tidak ada standar

mengenai metriks yang dapat digunakan untuk pengukuran kinerja Knowledge

Management, namun metriks non-finansial dapat dikelompokkan menjadi empat

kategori, yaitu Customer, Structural, Human, dan Development (Krogh et all,

1998). Di samping berbagai kelebihan, pendekatan metriks juga memiliki beberapa

kelemahan (Kuah & Wong, 2011). Pertama, tidak ada susunan metriks yang

standar, hal ini dapat menjadi masalah untuk menetapkan perbandingan antara

perusahaan. Kedua, sulit untuk menggabungkan berbagai metrics, sehingga

menghasilkan skor efisiensi tunggal. Yang terakhir, pendekatan ini tidak

memberikan cukup informasi utnuk mendukung organisasi dalam melakukan

pengembangan berkelanjutan. Pendekatan kuantitatif lainnya yang dapat digunakan

yaitu Data Envelopment Analysis (DEA), Multiple Regresi, Goal Programming,

dan KPI.

Salah satu metode yang kerap kali digunakan untuk mengukur performansi suatu

perusahaan dengan mengacu pada pengukuran efektifitas merupakan Data Envelopment

Analysis (DEA). Kebutuhan untuk mengukur performansi KM berdasarkan tujuan strategis

dan menyeluruh dengan mengacu pada efektifitas Transfer Knowledge yang dilakukan oleh

perusahaan. Hal inilah yang menjadi latar belakang terpilihnya Data Envelopment Analysis

(DEA) sebagai metode untuk mengukur efektifitas Transfer Knowledge dalam penerapan

Knowledge Management yang dilakukan oleh perusahaan karena Data Envelopment Analysis

(DEA) selain dapat mengukur efektifitas juga dapat mengidentifikasi hal teknis yang terkait

dengan efisiensi manajerial yang dilakukan. Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan

Page 40: Knowledge Management

sebuah metode yang cukup efektif untuk mengevaluasi hasil pengambilan keputusan dan

untuk mengidentifikasi hasil Pareto yang efisien dari beberapa kandidat potensial yang besar

berdasarkan Knowledge yang terdapat dalam Knowledge Management perusahaan (Robins,

2001; Schonberger & Knod, 1997).

2.8.1 Data Envelopment Analysis

Data Envelopment Analysis (DEA) dikembangkan oleh Rhodes (1978) dan pada

awalnya dipublikasikan oleh Charnes et al (1978) untuk mengevaluasi lebih dari dua hasil

keputusan dan/atau pengambilan keputusan unit yang berhubungan dengan efisiensi relatif

berdasarkan dari beberapa kriteria. Dibangun di atas pondasi teoritis yang disediakan oleh

Farrell (1957) dan terus menjadi populer untuk berbagai macam aplikasi (Norton, 1994;

Dyckhoff & Allen, 2001; Wen et al, 2003.). Selain dapat mengukur efektifitas, Data

Envelopment Analysis (DEA) juga dapat mengidentifikasi hal teknis yang terkait dengan

efisiensi manajerial yang dilakukan. Menurut Cooper et al (2000), Data Envelopment Analysis

(DEA) merupakan pendekatan data yang berorientasi relatif baru untuk mengevaluasi kinerja

satu set entitas yang disebut Decision Making Unit (DMU) dengan mengkonversi beberapa

Input ke beberapa output, seperti perusahaan, unit produksi, dan lain-lain. Definisi dari

Decision Making Unit (DMU) sifatnya generik dan fleksibel. Beberapa tahun terakhir telah

ada berbagai macam aplikasi dari Data Envelopment Analysis (DEA) untuk digunakan dalam

mengevaluasi kinerja berbagai jenis perusahaan yang bergerak dalam berbagai kegiatan yang

berbeda dalam konteks yang berbeda di berbagai negara. Data Envelopment Analysis (DEA)

ini telah menggunakan Decision Making Unit (DMU) berbagai bentuk untuk mengevaluasi

kinerja entitas, seperti rumah sakit, angkatan udara Amerika Serikat, universitas, kota,

lapangan, perusahaan bisnis, kinerja negara, daerah, dan lain-lain. Karena membutuhkan

sangat sedikit asumsi, Data Envelopment Analysis (DEA) juga telah membuka kemungkinan

untuk digunakan dalam kasus-kasus yang telah resisten terhadap pendekatan lain karena

kompleks natural (sering tidak diketahui) dari hubungan antara beberapa Input dan beberapa

output yang terlibat dalam Decision Making Unit (DMU). Sejak Data Envelopment Analysis

(DEA) dalam bentuk yang sekarang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978, para

peneliti di sejumlah bidang dengan cepat menyadari bahwa itu merupakan metodologi yang

sangat baik dan mudah digunakan untuk memodelkan proses operasional untuk evaluasi

kinerja. Hal ini telah disertai oleh perkembangan lainnya. Misalnya, Zhu (2002) memberikan

sejumlah model Spreadsheet Data Envelopment Analysis (DEA) yang dapat digunakan dalam

evaluasi kinerja dan Benchmarking. Orientasi empiris Data Envelopment Analysis (DEA) dan

tidak adanya kebutuhan untuk berbagai sebuah asumsi yang menyertai pendekatan lain

(seperti bentuk standar analisis regresi statistik) telah mengakibatkan penggunaannya dalam

Page 41: Knowledge Management

sejumlah studi yang melibatkan estimasi perbatasan efisien di sektor pemerintah dan nirlaba,

di sektor yang terregulasi, dan di sektor swasta. Contohnya, penggunaan Data Envelopment

Analysis (DEA) untuk memandu penghapusan Diet dan instansi pemerintah lainnya dari

Tokyo untuk mencari modal baru di Jepang, seperti yang dijelaskan dalam (Takamura &

Nada, 2003).

Dalam studinya, Charnes et al (1978) menjelaskan bahwa Data Envelopment Analysis

(DEA) sebagai model pemrograman matematika diterapkan pada data pengamatan yang

menyediakan cara baru untuk mendapatkan hubungan perkiraan empiris. Secara formal, Data

Envelopment Analysis (DEA) merupakan metodologi yang diarahkan ke perbatasan daripada

kecenderungan pusat. Motivasi awal Data Envelopment Analysis (DEA) untuk

membandingkan efisiensi produktif organisasi serupa yang disebut sebagai Decision Making

Unit (DMU). Karena perspektif ini, Data Envelopment Analysis (DEA) membuktikan dengan

sangat mahir mengungkap hubungan yang tetap tersembunyi dari metodologi lain. Sebagai

contoh, pertimbangkan apa dimaksud dengan efisiensi atau lebih umum, apa dimaksud

dengan mengatakan bahwa salah satu Decision Making Unit (DMU) lebih efisien daripada

Decision Making Unit (DMU) yang lain. Hal ini dilakukan dengan cara langsung oleh Data

Envelopment Analysis (DEA) tanpa memerlukan asumsi eksplisit yang dirumuskan dan

variasi dengan berbagai jenis model seperti pada model regresi linear dan non linear. Efisiensi

relatif pada Data Envelopment Analysis (DEA) selaras dengan definisi yang memiliki

keuntungan dengan menghindari kebutuhan untuk menetapkan langkah-langkah apriori dari

kepentingan relatif untuk setiap Input atau output. Pengujian masalah efisiensi dirumuskan

sebagai tugas fraksional pemrograman, tetapi prosedur aplikasi untuk Data Envelopment

Analysis (DEA) terdiri dari pemecahan tugas linear programming (LP) untuk masing-masing

unit di bawah evaluasi. Dengan membiarkan xij - menunjukkan besarnya i yang diamati - jenis

Input untuk entitas j (xij> 0, i = 1, 2, ..., m, j = 1, 2, ..., n) dan ytj – menunjukkan besarnya r

yang diamati - jenis output untuk entitas j (ytj> 0, r = 1, 2, ..., s, j = 1, 2, ..., n). Kemudian,

Charnes-Cooper-Rhodes Model (CCR) diformulasikan dalam bentuk sebagai berikut untuk

entitas k yang dipilih:

Page 42: Knowledge Management

Dimana,

vi adalah bobot yang akan ditentukan untuk input i;

m merupakan jumlah input;

ur merupakan bobot yang akan ditentukan untuk output r;

s merupakan jumlah output;

hk merupakan efisiensi relatif DMUk;

n merupakan jumlah entitas;

ε merupakan nilai positif yang kecil.

Efisiensi relatif hk, suatu pengambilan keputusan satuan k yang didefinisikan sebagai

rasio jumlah tertimbang Output mereka (Output Virtual) dan jumlah tertimbang Input mereka

(Input Virtual). Adapun pengambilan keputusan satuan k yang maksimal dalam fungsi tujuan

dicari, kondisinya benar, artinya jelas 0 < hk ≤ 1, untuk setiap DMUk. Bobot vi dan ur

menunjukkan pentingnya setiap Input dan Output serta ditentukan dalam model, sehingga

sebanyak mungkin setiap DMU efisien. Mengingat bahwa kondisi (2) berlaku untuk setiap

DMU, itu menunjukkan bahwa masing-masing terletak di perbatasan efisiensi atau di luar itu.

Jika Max hk = hk* = 1, itu menujukkan efisiensi yang dicapai, sehingga dapat dikatakan

bahwa DMUk efisien. Efisiensi tidak tercapai untuk hk* < 1 dan DMUk tidak efisien dalam

kasus itu. DMUk harus dianggap relatif tidak efisien, apakah mungkin untuk memperluas

salah satu Output tanpa mengurangi Input apapun, dan tanpa mengurangi Output apapun

(orientasi Output) lainnya, atau jika mungkin untuk mengurangi Input tanpa mengurangi

apapun Output dan tanpa memperluas beberapa masukan lain (orientasi Input).

Page 43: Knowledge Management

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan yang dilakukan dalam melakukan

penelitian. Tahapan yang terdapat di dalam metodologi akan dijadikan oleh penulis sebagai

pedoman agar dapat melakukan penelitian secara sistematis dan teratur, sehingga dapat

mencapai tujuan penelitian.

3.1 Tahap Identifikasi dan Perumusan Masalah

Pada tahap ini dilakukan Brainstorming dan identifikasi masalah, penetapan rumusan

masalah, penetapan tujuan penelitian, dan studi literatur serta studi lapangan.

3.1.1 Brainstorming dan Identifikasi Masalah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

Pada tahap ini dilakukan Brainstorming dengan staff atau Kepala Departemen Produksi

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk selaku pihak yang mengerti dan merancang Knowledge

Management System dan Performance Measurement System di perusahaan dan dilakukan

identifikasi permasalahan yang diperoleh dari hasil pengumpulan informasi.

3.1.2 Perumusan Masalah dan Penetapan Tujuan Penelitian

Setelah diketahui permasalahan dan sumber dari masalah tersebut, maka pada tahap ini

dirumuskan masalah yang akan dicari penyelesaiannya melalui penelitian ini, dan selanjutnya

ditetapkan tujuan penelitian agar penelitian ini berjalan secara sistematis dan teratur dengan

memiliki arah yang jelas.

3.1.3 Studi Literatur dan Studi Lapangan

Setelah dilakukan perumusan masalah yang harus diselesaikan dan penetapan tujuan

penelitian, maka pada tahap ini dilakukan pembelajaran/studi dari kondisi eksisting, melalui

studi literatur untuk mempelajari metode dan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini,

seperti konsep Knoweldge, Knowledge Management, Key Performance Indicator (KPI),

Analytical Hierarchy Process (AHP), Knowledge Management Process, Knowledge Audit,

Knowledge Management Self-Assessment, dan Performance Measurement. Dengan adanya

studi literatur, diharapkan penulis memiliki pedoman yang kuat dalam menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi serta mampu mencapai tujuan penelitian. Adapun studi lapangan

yang dilakukan dengan melihat dan bertanya secara langsung terkait kondisi eksisting,

Strategic Objectives perusahaan, dan kondisi eksisting Knowledge Management perusahaan.

Page 44: Knowledge Management

3.2 Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data untuk merefleksikan kondisi eksisting

perusahaan dan mengidentifikasi Knowledge yang dimiliki perusahaan. Berikut merupakan

data yang harus dikumpulkan agar dapat menganalisis kondisi perusahaan.

3.2.1 Identifikasi Kondisi Eksisting Perusahaan

Pada tahap ini dilakukan identifikasi data yang dikumpulkan berupa informasi profil

perusahaan, proses bisnis yang dilakukan, visi dan misi perusahaan, data yang berkaitan

dengan Layout tiap unit produksi dan jumlah Decision Making Unit (DMU) pada tiap unit

produksi di Departemen Produksi.

3.2.2 Pengumpulan Data Primer Strategic Objectives dan Key Performance Indicator

(KPI)

Pada tahapan ini dilakukan kegiatan pengumpulan data primer terkait Strategic

Objectives dan Key Performance Indicator (KPI) yang dimiliki PT Krakatau Steel (Persero)

Tbk pada tiap unit produksi di Departemen Produksi yang digunakan untuk menunjang

tahapan pengolahan data dalam mengukur level pemanfaatan Knowledge Management untuk

mencapai efektifitas Knowledge Transfer pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT

Krakatau Steel (Persero) Tbk.

3.2.3 Pengumpulan Data Primer Knowledge Audit dengan Wawancara dan Kuesioner

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data Knowledge pada tiap unit produksi di

Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Metode yang digunakan untuk

pengumpulan data merupakan Knoweldge Audit dengan melakukan kuesioner dan

wawancara. Wawancara dan kuesioner akan disebarkan kepada Expert pada tiap unit produksi

di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Data Knowledge yang diperoleh

akan digunakan menjadi bahan pengolahan data dalam mengukur level implementasi

Knowledge Management pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

3.3 Tahap Pengolahan Data

Berdasarkan data yang telah diperoleh, maka selanjutnya pada tahap ini akan dilakukan

pengolahan data. Berikut merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan pada tahap

pengolahan data.

3.3.1 Penyusunan Database Knowledge pada Tiap Unit Produksi yang Disesuaikan

dengan Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic Objectives, dan

Key Performance Indicator (KPI)

Pada tahap ini dilakukan pengolahan data Knowledge yang telah didapat dari hasil

Knowledge Audit, Knowledge yang telah didapatkan, direkap ke dalam sebuah Database

Page 45: Knowledge Management

Knowledge yang berbentuk tabel. Database Knowledge tersebut akan dikelompokkan

berdasarkan Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic Objectives, dan

Key Performance Indicator (KPI)-nya.

3.3.2 Pembobotan Knowledge yang Sesuai dengan Key Performance Indicator (KPI) pada

Tiap Unit Produksi dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process

(AHP)

Pada tahap ini dilakukan pembobotan terhadap masing-masing poin Knowledge yang

dianggap penting bagi tiap unit produksi dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy

Process (AHP) melalui Software Expert Choice, sehingga dapat diketahui Knowledge yang

memiliki bobot terbesar atau memiliki bersifat kritis untuk mencapai Strategic Objectives dan

Key Performance Indicator (KPI) pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT

Krakatau Steel (Persero) Tbk. Hal ini dilakukan untuk menentukan bobot kepentingan dari

tiap Knowledge dimana bobot tersebut akan menjadi salah satu Input dalam perhitungan pada

tahap selanjutnya yaitu pembuatan River Diagram untuk dilakukan Knowledge Management

Self-Assessment.

3.3.3 Pengujian Knowledge pada Tiap Unit Produksi

Pada tahap ini dilakukan pengujian Knowledge yang telah dimiliki perusahaan untuk

dibandingkan dengan target pencapaian Knowledge yang ingin dicapai perusahaan.

Knowledge yang diuji merupakan Knowledge pada tiap unit produksi di Departemen Produksi

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Pengujian Knowledge dilakukan dengan menggunakan

metode River Diagram dan Stairs Diagram untuk mendapatkan hasil bagaimana pencapaian

level implementasi Knowledge Management pada tiap unit produksi di Departemen Produksi

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

3.3.4 Pengukuran Efektifitas Knowledge pada Tiap Unit Produksi

Pada tahap ini dilakukan pengukuran efektifitas Knowledge pada tiap unit produksi di

Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dengan menggunakan metode Data

Envelopment Analysis (DEA). Pengukuran efektifitas dilakukan untuk mendapatkan hasil

bagaimana level pemanfaatan Knowledge Management untuk mencapai efektifitas Knowledge

Transfer pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

3.4 Tahap Analisis dan Interpretasi Data

Pada tahap ini dilakukan analisis dan interpretasi berdasarkan hasil pengolahan data

yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Berikut merupakan data yang dianalisis

berdasarkan hasil pengolahan data yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya.

Page 46: Knowledge Management

3.4.1 Analisis Database Knowledge pada Tiap Unit Produksi yang Disesuaikan dengan

Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic Objectives, dan Key

Performance Indicator (KPI)

Pada tahap ini dilakukan analisis terkait Database Knowledge pada tiap unit produksi

yang disesuaikan dengan Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic

Objectives, dan Key Performance Indicator (KPI).

3.4.2 Analisis Pembobotan Knowledge yang Disesuaikan dengan Key Performance

Indicator (KPI) pada Tiap Unit Produksi dengan Menggunakan Analytical

Hierarchy Process (AHP)

Pada tahap ini dilakukan analisis terkait pembobotan Knowledge yang disesuaikan

dengan Key Performance Indicator (KPI) pada tiap unit produksi dengan menggunakan

Analytical Hierarchy Process (AHP).

3.4.3 Analisis Pengujian Knowledge pada Tiap Unit Produksi

Pada tahap ini dilakukan analisis terkait pengujian Knowledge yang telah dimiliki

perusahaan untuk dibandingkan dengan target pencapaian Knowledge yang ingin dicapai

perusahaan dan analisis hasil bagaimana pencapaian level implementasi Knowledge

Management pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero)

Tbk.

3.4.4 Analisis pada Pengukuran Efektifitas Knowledge pada Tiap Unit Produksi

Pada tahap ini dilakukan analisis terkait pengukuran efektifitas Knowledge pada tiap

unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dan analisis hasil

bagaimana level pemanfaatan Knowledge Management untuk mencapai efektifitas Knowledge

Transfer pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

3.5 Kesimpulan dan Saran

Pada tahap ini disusun kesimpulan dan saran/rekomendasi terkait penelitian, dimana

kesimpulan dan saran/rekomendasi disusun berdasarkan hasil analisis dan interpretasi yang

telah dirumuskan pada tahapan sebelumnya. Kesimpulan yang dirumuskan menjawab tujuan

penelitian yang telah ditetapkan di awal dan saran/rekomendasi yang dirumuskan merupakan

usulan bagi perusahaan dan peluang bagi penelitian selanjutnya.

Gambar Flowchart metodologi penelitian yang digunakan akan ditampilkan pada

Gambar 3.1.

Berikut merupakan gambar Flowchart metodologi penelitian yang digunakan:

Page 47: Knowledge Management

Gambar 3.1 Flowchart Metodologi Penelitian

Page 48: Knowledge Management

BAB IV

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Pada bab ini akan dibahas mengenai pengumpulan dan pengolahan data guna

menyelesaikan permasalahan yang dirumuskan dan mencapai tujuan penelitian. Data-data

yang dikumpulkan berupa informasi profil perusahaan, proses bisnis yang dilakukan, visi dan

misi perusahaan, strategi perusahaan, strategi Departemen Produksi, data yang berkaitan

dengan Knowledge yang selama ini dimiliki perusahaan dan Departemen Produksi. Adapun

pengolahan data yang dilakukan dengan mengolah data yang telah dikumpulkan yang

berkaitan dengan Knowledge yang selama ini dimiliki perusahaan dan Departemen Produksi

dengan menyusun Database Knowledge yang mendukung pencapaian Strategic Objectives

perusahaan, dilakukan perhitungan bobot pada setiap Knowledge yang dimiliki perusahaan

dan Departemen Produksi untuk ditentukan Knowledge kritis perusahaan, dilakukan

pengukuran efektifitas Knowledge Transfer dengan mengacu pada Knowledge kritis

perusahaan yang telah didapatkan hasil sebelumnya.

4.1 Gambaran Umum Perusahaan

4.1.1 Sejarah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

Era tahun 1960, Presiden Soekarno mencanangkan Proyek Besi Baja Trikora sebagai

dasar industri nasional yang tangguh. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 31

Agustus 1970, berdirilah PT Krakatau Steel (Persero) dimana memanfaatkan kembali

peralatan dari Proyek Besi Baja Trikora seperti pabrik kawat baja dan pabrik batang baja.

Pada tahun 1977, Presiden Soeharto meresmikan operasi pertama dari produsen baja terbesar

di Indonesia.

Perkembangan Krakatau Steel sebagai perusahaan yang bergerak dalam industri baja

berlangsung cukup signifikan. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, perusahaan telah

menambah berbagai fasilitas produksi seperti pabrik besi spons, pabrik billet baja, pabrik

batang kawat, serta fasilitas infrastruktur berupa pembangkit listrik, pusat penjernihan air,

pelabuhan khusus Cigading dan sistem telekomunikasi. Perkembangan ini menyebabkan PT

Krakatau Steel untuk menjadi satu-satunya perusahaan baja terpadu di Indonesia. Selain itu,

perusahaan terus mengembangkan produksi berbagai jenis baja untuk bermacam keperluan,

seperti gulungan baja panas dan dingin (HRC & CRC) serta batang kawat. Saat ini, Krakatau

Steel memiliki kapasitas produksi baja mentah sebesar 2,45 juta ton per tahun untuk

mendukung produksi baja. Bersama dengan sepuluh anak perusahaan, Krakatau Steel mampu

mendiversifiasi usahanya pada usaha-usaha penunjang yang menghasilkan berbagai produk

Page 49: Knowledge Management

baja bernilai tambah tinggi (seperti pipa spiral, pipa ERW, baja tulangan, dan baja profil),

menyediakan industri utilitas (air dan tenaga listrik), industri infrastruktur (pelabuhan dan

kawasan industri), EPC (Engineering Procurement and Construction) jasa, teknologi

informasi dan pelayanan medis (rumah sakit). Produk- produk baja Krakatau Steel ini tak

hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan baja nasional, tetapi juga dipasarkan secara

internasional.

Sejak awal berdiri, keahlian teknis Krakatau Steel telah diakui standar internasional.

Pada tahun 1973 perusahaan memperoleh A252 ASTM dan AWWA C200, serta API 5L

untuk produksi pipa spiral pada tahun 1977. Pada tahun 1993, PT Krakatau Steel (Persero)

dianugerahi ISO 9001 certifiction yang telah ditingkatkan menjadi ISO 9001:2000 pada tahun

2003. Pada tahun 1997, SGS International menganugrahkan sertifikasi ISO yang lain (ISO

14001) untuk komitmen perusahaan terhadap kesadaran lingkungan dan pekerjaan

keselamatan.

Pada tanggal 10 November 2010, di tengah kondisi pasar yang bergejolak, PT Krakatau

Steel (Persero) berhasil menjadi Perusahaan Terbuka dengan melaksanakan Penawaran

Umum Perdana (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 2011,

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 17.9 triliun dan

laba bersih sebesar Rp 1.02 triliun. Selain itu, pada tahun 2011, Perusahaan dan Anak

Perusahaan memiliki asset sebesar Rp 21.5 triliun dan mempekerjakan 8.023 orang. (Krakatau

Steel, 2013)

4.1.2 Visi dan Misi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki visi yang digunakan sebagai pedoman dalam

kegiatannya untuk ikut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yaitu sebagai

berikut:

“Perusahaan baja terpadu dengan keunggulan kompetitif untuk tumbuh dan

berkembang secara berkesinambungan menjadi perusahaan terkemuka di dunia”

Adapun misi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk yang merupakan usaha perusahaan untuk

mencapai visi yang ada merupakan sebagai berikut :

“Menyediakan produk baja bermutu dan jasa terkait bagi kemakmuran bangsa”

4.1.3 Nilai-Nilai PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki budaya perusahaan dimana budaya

tersebutlah yang dijadikan sebagai kepercayaan, prinsip-prinsip, nilai-nilai yang menjadi

dasar dan referensi sistem manajemen perusahaan serta perilaku karyawan dalam bekerja.

Sehingga diharapkan nantinya akan meningkatkan kinerja perusahaan dan menumbuhkan

profesionalisme seluruh jajaran PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

Page 50: Knowledge Management

Adapun budaya yang terdapat pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan sebagai

berikut:

1. Competence

Mencerminkan kepercayaan dan kemampuan diri serta semangat untuk meningkatkan

pengetahuan, ketrampilan, keahlian, dan sikap mental demi peningkatan kinerja yang

berkesinambungan.

2. Integrity

Mencerminkan komitmen yang tinggi terhadap setiap kesepakatan, aturan, dan 

ketentuan serta undang-undang yang berlaku, melalui loyalitas profesi dalam

memperjuangkan kepentingan perusahaan.

3. Reliable

Mencerminkan kesiapan, kecepatan dan tanggap dalam merespon komitmen dan janji,

dengan mensinergikan berbagai kemampuan untuk meningkatkan kepuasan dan

kepercayaan pelanggan.

4. Innovative

Mencerminkan kemauan dan kemampuan untuk  menciptakan gagasan baru dan

implementasi yang  lebih baik dalam  memperbaiki kualitas proses dan hasil  kerja di

atas standar.

Competence, Integrity, Reliable, dan Innovation merupakan kesatuan nilai yang utuh

dan saling berhubungan satu sama lain. Competence dan Integrity merupakan modal dasar

untuk dapat berkarya dan berprestasi dalam mewujudkan perusahaan yang Profitable,

Growth, dan Sustainable. Competence dapat diwujudkan dengan sumber daya manusia yang

unggul serta dukungan managemen dan teknologi yang handal. Sumber daya manusia yang

unggul dapat dilihat dengan sifat Integrity, dimana karyawan memiliki komitmen dalam

berprilaku dan berbicara. Perusahaan yang ditunjang oleh sumber daya handal mampu untuk

merespon setiap permintaan pasar dan konsumen secara meyakinkan dimana tentunya dengan

hasil produk yang berkualitas. Hal tersebut merupakan perwujudan dari nilai Reliable. Ketika

perusahaan telah mencapai pada titik tersebut maka perusahaan akan terus melakukan

peningkatan melalui karyawan yang selalu melakukan Inovative, sehingga terjadinya

perbaikan kinerja perusahaan dari waktu ke waktu.

4.1.4 Struktur Organisasi PT Krakatau Steel (persero) Tbk

Berikut merupakan struktur organisasi dari PT Krakatau Steel (Persero) Tbk:

Page 51: Knowledge Management

Gambar 4.1 Struktur Organisasi PT Krakatau (Persero) Tbk

4.1.5 Lokasi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk terletak sekitar 110 km dari Jakarta dengan luas

keseluruhan sekitar 350 hektar. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk terletak di kawasan industri

Krakatau, tepatnya di Jalan Industri No. 5 PO BOX 14, Cilegon, Banten, 42434. Kantor pusat

PT Krakatau Steel Tbk terletak di Wisma Baja dan Gatot Subroto Kav. 54 Jakarta. Adapun

yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi pabrik ini merupakan sebagai berikut:

1. Lokasi dekat laut, sehingga dapat memudahkan pengangkutan bahan baku dan

produk menggunakan kapal.

2. Lokasi dekat dengan pemasaran (Ibu Kota).

3. Tanah yang tersedia untuk pabrik cukup luas.

4. Sumber air yang cukuo memadai untuk kelangsungan produksi.

5. Adanya jaringan rel kereta api dan jalan raya yang memadai untuk pengangkutan.

Gambar 4. 2 Peta PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

Page 52: Knowledge Management

Sedangkan tata letak pabrik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk yang sedemikian rupa

bertujuan untuk:

1. Memudahkan jalur transportasi dalam pabrik untuk menunjang proses produksi dan

pengangkutan bahan baku serta pabrik.

2. Memudahkan pengendalian proses produksi.

3. Terdapat bengkel dalam kawasan pabrik, sehingga memudahkan dalam melakukan

perawatan dan perbaikan mesin.

4. Ukuran jalan yang cukup luas, sehingga memudahkan karyaan dalam melakukan

pergerakan serta menjamin keselamatan pekerja.

4.1.6 Unit Penunjang PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

PT Krakatau Steel memiliki anak perusahaab yang berfungsi sebagai unit penunjang

produksi. Berikut merupakan anak perusahaan dari PT Krakatau Steel (Persero) Tbk:

1. PT KHI Pipe Industries2. PT Krakatau Wajatama (KW)3. PT Meratus Jaya Iron & Steel (MJIS)4. PT Krakatau Daya Listrik (KDL)5. PT Krakatau Tirta Industri (KTI)6. PT Krakatau Bandar Samudera (KBS)7. PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC)8. PT Krakatau Engineering (KE)9. PT Krakatau Information Technology(KITech)10. PT Krakatau Medika (KM)11. PT Krakatau National Resource (PT KNR)

4.1.7 Unit Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan satu-satunya pabrik baja terintegrasi di

Indonesia. Dalam menunjang produksinya, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki

beberapa unit produksi utama yang terbagi menjadi enam pabrik yaitu Pabrik Besi Spons

(Direct Reduction Plant), Pabrik Slab Baja (Slab Steel Plant), Pabrik Billet Baja (Billet Steel

Plant), Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja Lembaran Dingin (Cold

Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill).

1. Pabrik Besi Spons (Direct Reduction Plant)

Pabrik Besi Spons mereduksi langsung bahan baku biji besi (pellet) menjadi besi

spons (sponge iron) yang nantinya akan digunakan sebagai bahan baku pada Pabrik

Slab Baja dan Pabrik Billet Baja. Kapasias produksi dari Pabrik Besi Spons seberat

1.350.000 ton per tahun. Adapun proses yang terjadi pada Pabrik Besi Spons

merupakan sebagai berikut:

a. Pengisian (Charging)

b. Pendinginan (Cooling) hingga 60%

Page 53: Knowledge Management

c. Reduksi Primary (1000⁰C)

d. Reduksi Secondary (1000⁰C)

e. Pengeluaran (Discharging)

2. Pabrik Slab Baja (Slab Steel Plant)

Pabrik Slab Baja terdiri dari dua pabrik yaitu SSP I dan SSP II. SSP I memiliki

empat dapur listrik dimana setiap dapur listrik memiliki kapasitas produksi sebesar

250.000 ton per tahun. Sedangkan SSP II memiliki dua dapur listrik dimana setiap

dapur listrik memiliki kapasitas produksi sebesar 400.000 ton per tahun. Bahan

baku baja yang digunakan dalam proses pembuatan slab berasal dari baja reject

yang dihasilkan dari Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja

Lembaran Dingin (Cold Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod

Mill). Pabrik Slab Baja menghasilkan produk baja dengan ukuran penampang 200

mm x (600 - 1200) mm dan ukuran panjang maksimal sebesar 12.000 mm. Adapun

fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari:

a. Electric Arc Furnance, berfungsi untuk menghasilkan baja cair dari bahan

baku besi spons, scraps, dan kapur.

b. Ladle Furnance, berfungsi mereduksi kandungan oksigen dalam bak dengan

alumunium, homogenisasi temperatur, dan komponen kima.

c. RH-Vacuum Degassing, berfungsi untuk memenuhi permintaan produk baja

yang high-grade dari konsumen.

d. Continuous Casting Machine, berfungsi untuk proses pencetakan.

Gambar 4. 3 Produk Slab Steel Plant PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

3. Pabrik Billet Baja (Billet Steel Plant)

Pabrik Billet Baja memiliki kapasitas produksi 600.000 ton per tahun dimana

memiliki ukuran yang berbeda, yaitu ukuran penampang sebesar 110 mm x 110

Page 54: Knowledge Management

mm, 120 mm x 120 mm, 130 mm x 130 mm dan ukuran panjang maksimal sebesar

12.000 mm. Pabrik Billet Baja menghasilkan baja batangan dengan bahan baku

sebagai berikut:

a. Besi spons yang dihasilkan dari Pabrik Besi Spons.

b. Scrap, yaitu besi yang dibuang dari proses pemotongan yang dilakukan oleh

Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja Lembaran Dingin

(Cold Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill).

c. HB I, CB I, Pig Iron Scull.

d. Hot Briquetted Iron.

e. Cold Briquetted Iron.

f. Batu kapur, sebagai bahan baku pembantu

Adapun fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari:

a. Electric Arc Furnance, berfungsi untuk menghasilkan baja cair dari bahan

baku besi spons, scraps, dan kapur.

b. Ladle Furnance, berfungsi mereduksi kandungan oksigen dalam bak dengan

alumunium, homogenisasi temperatur, dan komponen kima.

c. Continuous Casting Machine, berfungsi untuk proses pencetakan.

Gambar 4. 4 Produk Billet Steel Plant PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

4. Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill)

Pabrik Baja Lembaran Panas memiliki kapasitas produksi 2.400.000 ton per tahun

dimana terdiri dari tiga jenis produk yang berbeda, yaitu sebagai berikut:

a. Coil, dengan spesifikasi:

Ketebalan : 1,8 - 25 mm

Lebar : 600 - 2080 mm

Diameter (inner) : 760 mm

Diameter (outer) : 2200 mm

Page 55: Knowledge Management

Berat : 5 - 30 ton

b. Plate, dengan spesifikasi:

Ketebalan : 1,8 - 25 mm

Lebar : 600 - 2080 mm

Panjang : 1500 - 12000 mm

Berat : 7,5 ton

c. Sheet, dengan spesifikasi:

Ketebalan : 2 - 6 mm

Lebar : 600 - 2080 mm

Panjang : 1000 - 6000 mm

Adapun fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari :

a. Reheating Furnance, berfungsi untuk melakukan pemanasan pada baja slab

hingga mencapai 1200 - 1250 ⁰ C.

b. Sizing Press, berfungsi mereduksi ketebalan slab hingga 200 mm dengan

tujuan meningkatkan fleksibilitas produksi.

c. Roughing Mill, berfungsi untuk mereduksi slab dengan ketebalan 200 mm

menjadi transfer bar dengan ketebalan 28 - 40 mm.

d. Finishing Mill, berfungsi mereduksi transfer bar menjadi baja lembaran (strip)

dengan ketebalan sesuai dengan permintaan konsumen.

e. Laminar Cooling, proses dilakukan dalam Water Laminar Cooling dengan

tujuan mendapatkan baja lembaran dengan kualitas baik.

f. Down Coiler, berfungsi untuk membentuk baja batang lembaran menjadi

gulungan.

g. Shearing Line, Baja lembaran panas berbentuk gulungan diproses menjadi

kondisi slit, trimmed, atau recoiled.

Gambar 4. 5 Produk Hot Strip Mill PT Krakatau Steel

(Persero) Tbk

Page 56: Knowledge Management

4. Pabrik Baja Lembaran Dingin (Cold Rolling Mill)

Pabrik Baja Lembaran Dingin merupakan pabrik yang mengelola lembaran baja

Pabrik Baja Lembaran Panas dimana pada pabrik ini lembaran baja ditipiskan

dengan proses pendinginan, sehingga menghasilkan ketebalan 0,18 mm - 3 mm.

Pabrik Baja Lembarang Dingin memiliki kapasitas produksi sebesar 950.000 ton

per tahun. Adapun fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari:

a. Continue Picking Line, berfungsi untuk menghilangkan oksida yang terbentuk

selama proses pengerolan sebelum nantinya memasuki proses Cold Reduction

agar mencegah ketidakseragaman dan berfungsi untuk meninggalkan

ketidakaturan permukaan.

b. Tanden Cold Mill, berfungsi mereduksi ketebalan baja yang dihasilkan untuk

memperoleh permukaan yang halus serta padat.

c. Yemper Pass Mill, berfungsi untuk memberikan kekerasan yang tepat pada

permukaan, memperbaiki kerataan dari baja lembaran, menutupi kerusakan

pada derajat tertentu, dan memberikan tegangan yang cukup.

d. Continuous Annealing Line, berfungsi dalam proses pemanasan, soaking,

pendinginan, dan over-aging.

e. Annealing, proses pengerolang dingin menyebabkan struktur mengalami

perpanjangan, sehingga perlu dilakukan pemanasan agar mengembalikan sifat

ductility.

f. Electrolitic Cleaning Line, berfungsi untuk menghasilkan baja dengan

permukaan yang bersih.

g. Finishing, baja lembaran dingin gulungan dapat diproses lebih lanjut menjadi

bentuk shared, trimmed, dan recoiled.

Page 57: Knowledge Management

Gambar 4. 6 Produk Cold Rolling Mill PT Krakatau Steel (Persero)

Tbk

6. Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill)

Pabrik Baja Batang Kawat memiliki kapasitas produksi sebesar 450.000 ton per

tahun dimana menghasilkan baja dengan spesifikasi sebagai berikut:

Ukuran penampang : 110 mm x 110 mm

Diameter : 5,5 - 14 mm

Panjang : 1000 mm

Berat : 900 kg

Adapun fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari:

a. Reheating Furnance, berfungsi untuk melakukan pemanasan pada baja billet.

b. Pre - Roughing Mill, berfungsi mereduksi ukuran bloom menjadi 18 mm

dengan tujuan meningkatkan fleksibilitas produksi.

c. Roughing Mill, berfungsi untuk mereduksi bar dengan dimensi 165 mm x 165

mm menjadi transfer bar dengan diameter 18 mm.

d. Finishing Mill, berfungsi mereduksi diameter baja batang kawat sesuai

permintaan konsumen dengan menggunakan proses no twist mill.

e. Cooling Zone, berfungsi untuk proses pendinginan, sehingga mendapatkan baja

batang kawat dengan kualitas baik.

f. Down Coiler, berfungsi untuk membentuk baja batang kawat menjadi gulungan.

Gambar 4. 7 Produk Wirerod Mill PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

Berikut merupakan Aliran Produk dari PT Krakatau Steel (Persero) Tbk :

Page 58: Knowledge Management

Gambar 4. 8 Aliran Produk PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

Proses produksi baja di PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dimulai dari Pabrik Besi

Spons. Pabrik ini mengolah bijih besi pellet menjadi besi dengan menggunakancement, gas

alam dan air sebagai katalisator. Besi sponge yang dihasilkan kemudian diproses lebih lanjut

pada Electric Arc Furnace (EAF) di Pabrik Slab Baja dan Pabrik Billet Baja. Di dalam EAF

besi dicampur dengan scrap, hot bricket iron dan material tambahan lainnya berupa ferro

alloy untuk menghasilkan dua jenis baja yang disebut baja slab dan baja billet. Baja slab

selanjutnya menjalani proses pemanasan ulang dan pengerolan di Pabrik Baja Lembaran

Panas menjadi produk akhir yang dikenal dengan nama baja lembaran panas (HRC). Produk

ini banyak digunakan untuk aplikasi konstruksi kapal, pipa, bangunan, konstruksi umum, dan

lain-lain. Baja lembaran panas dapat diolah lebih lanjut melalui proses pengerolan ulang dan

proses kimiawi di Pabrik Baja Lembaran Dingin menjadi produk akhir yang disebut baja

lembaran dingin (CRC). Produk ini umumnya digunakan untuk aplikasi bagian dalam dan luar

kendaraan bermotor, kaleng, peralatan rumah tangga, dan sebagainya. Sementara itu, baja

billet mengalami proses pengerolan di Pabrik Batang Kawat untuk menghasilkan batang

kawat baja yang banyak digunakan untuk aplikasi senar piano, mur dan baut, kawat baja,

pegas, dan lain-lain.

Page 59: Knowledge Management

DAFTAR PUSTAKA

Alavi, M. & Leidner, D., 2001. Review: Knowledge Management and Knowledge

Management System. Conceptual Foundation and Research Issues, 1(25), pp.107-16.

Andre, B., 2012. What is Knowledge. [Online] Available at:

http://www.businessdictionary.com/definiton/knowledge.html [Accessed 28 Februari

2015].

Andreeva, T. & Kianto, A., 2012. Does Knowledge Management Really Matter? Linking

Knowledge Management Practices, Competitiveness, and Economic Performance.

Journal of Knowledge Management, 16(4), pp.617-36.

Awad, M.A. & H.M, G., 2004. Knowledge Management. Upper Sadle River, New Jersey:

Pearson Education, Prentice Hall.

Beccer-Fernandez, I. et al, 2004. Knowledge Management: Challenges, Solutions, and

Technologies. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall Inc.

Berger, P. & Luckmann, T., 1967. The Social Construction of Reality. New York: Penguin.

Boisot, M., 2002. The Creation and Sharing of Knowledge. The Strategic Management of

Intellectual Capital and Organizational Knowledge, pp.65-78.

Boud, D. & Falchikov, N., 1989. Quantitative Studies of Student Self-Assessment in Higher

Education: A Critical Analysis of Findings. Journal of Higher Education, 18(5),

pp.529-49.

Bouthillier, F. & Shearer, K., 2002. Understanding Knowledge Management and Information

Management: The Need for An Empirical Perspective. Information Research Journal,

8(1), pp.1-39.

Brantmeier, C., 2006. Advanced L2 Learners and Reading Placement: Self-Assessment,

CBT, and Subsequent Performance. System, 34, pp.15-35.

Brooking, A., 1997. The Management of Intellectual Capital. Long Range Plan, 30(3),

pp.364-65.

Buwono, A., 2014. Perdagangan Baja Nasional Masih Alami Defisit. [Online] Available at:

http://beritadaerah.co.id/2014/10/23/perdagangan-baja-nasional-masih-alami-defisit

[Accessed 12 Februari 2015].

Changchit, C., 2001. Transferring Auditors Internal Control Evaluation Knowledge to

Management. Expert System Appl, 20, pp.275-91.

Page 60: Knowledge Management

Charnes, A. et al, 1978. Measuring the Efficiency of Decision Making. European Journal of

Operational Research, 2(6), pp.429-44.

Chen, A. & Chen, M., 2005. A Review of Survey Research in Knowledge Management

Performance Measurement. Journal of Universal Knowledge Management, 1, pp.4-12.

Chua, A., 2004. Knowledge Management Systems Architecture: A Bridge Between KM

Consultans and Technologies. International Journal of Information Management, 24,

pp.87-98.

Cole, M.J. et al, 2010. Are Self-Assessments Reliable Indicators of Topic Knowledge?

Annual Meeting of the American Society for Information Science and Technology.

Collison, C., 2013. Knowledgeable Ltd. [Online] Available at:

http://www.chriscollison.com/pib.html [Accessed 23 Maret 2015].

Cooper, W.W. et al, 2000. Data Envelopment Analysis: A Comprehensive Text with Models,

Applications, References and DEA-Solver Software. Boston: Kluwer Academic

Publishers.

Darroch, J. & MacNaughton, R., 2002. Developing a Measure of Knowledge Management.

In N, B., ed. World Congress on Intelectual Capital Readings., 2002.

Davenport, T.H. & McElroy, M.W., 2000. Working Knowledge: How Organization Manage

What They Know. Boston: Harvard Business School Press.

Davenport, T.H. & Prussak, L., 1997. Information Ecology: Mastering Information and

Knowledge Environment. New York: Oxford.

Davenport, T.H. & Prussak, L., 1998. Working Knowledge. Boston: Harvard Business School

Press.

De Jarnett, L., 1996. Knowledge the Latest Thing. Information strategy: Executive Journal,

12(2), pp.3-5.

Deng Qianwang & Yu Dejie, 2006. An Approach To Integrating Knowledge Management

Into The Product Development Process. Journal of Knowledge Management Practice,

7(2).

Diangga, S.I., 2013. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja PT Kereta Api Indonesia

(Persero) dengan Mempertimbangkan Aspek Sosial dan Bisnis. Laporan Tugas Akhir.

Dirjen Anggaran Kemenkeu, 2013. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013.

[Online] Available at: http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/APBN%202013.pdf

[Accessed 11 Februari 2015].

Drucker, P.F., 1989. The New Realities. 9780060161293rd ed. New York: Harper & Row.

Drucker, P.F., 1998. The Coming of the New Organization. Harvard Bussiness Review.

Page 61: Knowledge Management

Dyckhoff, H. & Allen, K., 2001. Measuring Ecological Efficiency with Data Envelopment

Analysis (DEA). European Journal of Operational Research, 132(2), pp.312-25.

Farrell, M., 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of the Royal Statistical

Society, 120(3), pp.253-90.

Fikrotuzzakiah, F., 2012. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja Project-Based dengan

Menggunakan Balanced Scorecard (Studi Kasus: PT Wijaya Karya Bangunan Gedung).

Laporan Tugas Akhir.

Forman, H.E. & Gass, I.S., 2013. The Analytical Hierarchy Process - An Exposition. The

Analytical Hierarchy Process.

Harrington, M. & Carey, M., 2009. The On-Line Yes/No Test as a Placement Tool. System,

37(4), pp.614-26.

Harris, M., 1997. Self-Assessment of Language Learning in Formal Settings. ELT Journal,

51(1), pp.12-20.

Hidayat, T., 2013. Mengenal MP3EI: Seperti Apa Indonesia di Tahun 2025? [Online]

Available at: http://www.teguhhidayat.com/2013/07/mengenal-mp3ei-seperti-apa-

indonesia-di.html [Accessed 11 Februari 2015].

Hung, Y. et al, 2007. Knowledge Management Strategic Planning. In International

Conference on Information Reuse and Integration., 2007. IEEE.

Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), 2014. Prospek Industri Baja Kian

Cerah. [Online] Available at: http://iisia.or.id/index.php?page=content&cid=28

[Accessed 12 Februari 2015].

Investopedia, 2012. Key Performance Indicator (KPI) Definiton. [Online] Available at:

http://www.investopedia.com/terms/k/kpi.asp [Accessed 24 Maret 2015].

Jac, F. & Barbara, D., 2001. How to Measure Human Resources Management. 3rd ed.

Jakarta: Kencana Pernada Media Group.

Jaworski BJ, K., 1993. Market Orientation Antecendents an Consequences. 57, pp.53-70.

Jensen, M.C. & Meckling, W.H., 1996. Spesific and General Knowledge and Organizational

Structure: Knowledge Management and Organizational Design. In Myers, P.S. ed.

Newton: Oxford University Press.

Kaplan, R. & Norton, D., 1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategy in Action. 1st

ed. Boston: The Harvard Business School Press.

Kemendag, 2014. Perkembangan Impor Non Migas (Komoditi) Periode: 2009 - 2014.

[Online] Available at: http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-

Page 62: Knowledge Management

export-import/growth-of-non-oil-and-gas-import-commodity [Accessed 11 Februari

2015].

Kemenperin, 2010. Laporan Studi Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering

Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous). [Online] Available at:

http://kemenperin.go.id/download/3279/Laporan-Studi-2010---Telaahan-Kedalaman-

Struktur-Industri-Engineering-Prioritas-(Industri-Baja-dan-Industri-Logam-Non-

Ferrous [Accessed 12 Februari 2015].

Kemenperin, 2014. Laju Pertumbuhan Industri Non Migas (Kumulatif). [Online] Available

at: http://www.kemenperin.go.id/statistik/pdb_growthc.php [Accessed 11 Februari

2015].

Kemenperin, 2014. Kontribusi Industri Pengolahan Non Migas Terhadap PDB. [Online]

Available at: http://www.kemenperin.go.id/statistik/pdb_share.php [Accessed 11

Februari 2015].

Krogh, G.V. et al, 1998. Knowing in Firms: Understanding, Managing and Measuring

Knowledge. SAGE.

Krogh, G.V. et al, 2000. Enabling Knowledge Creation: How To Unlock The Mystery of

Tacit Knowledge and Release The Power of Innovation. Oxford: Oxford University

Press.

Kuah, C.T. & Wong, K.Y., 2011. Knowledge management performance measurement: A

review. African Journal of Business Management, 15(5), pp.6021-27.

Lai, H. & Chu, T.H., 2000. Knowledge Management: A Review of Theoretical Frameworks

and Industrial Cases. In In Proceedings of The 33rd Hawaii International Conference

on System Sciences., 2000. IEEE.

LeBlanc, R. & Painchaud, G., 1985. Self-Assessment as a Second Language Placement

Instrument. TESOL Quarterly, 19(4), pp.673-87.

Locke, J., 1689. BOOK IV. Of Knowledge and Probability. An Essay: Concerning Human

Understanding.

Luis, S. & Prima, A.B., 2007. Step by Step in Cascading Balanced Scorecard to Functional

Scorecard. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mahsun, M., 2009. Pengukuran Kinerja Sektor. Yogyakarta: PBFE.

Malabonga, V. et al, 2005. Self-Assessment, Preparation and Response Time on a

Computerized Oral Proficiency Test. Language Testing, 22(1), pp.59-92.

Page 63: Knowledge Management

McInerney, C., 2002. Knowledge Management and The Dynamic Nature of Knowledge.

Journal of The American Society for Information Science and Technology, 53(12),

pp.1009 - 1018.

Merkin, B., 1979. Group Choice. New York: John Wiley & Sons.

Moulin, 2007. Performance Measurement: Guidelines, Myths, and Examples. [Online]

Available at: http://managementhelp.org/performancemanagement/guidelines.htm

[Accessed 27 Februari 2015].

Murray, P., 2002. Knowledge Management as a Sustained Competitive Advantage. 66(4),

pp.71-76.

Nelly, A. et al, 1996. Performance Measurement System Design. International Journal of

Operations & Production Management, 15(4), pp.80-116.

Nonaka, I. & Takeuchi, H., 1995. The Knowledge Creating Company: How Japanese

Companies Create the Dynamics of Innovation. New York: Oxford University Press.

Norton, R., 1994. Which Offices or Stores Really Perform Best? A New Tool Tells. Fortune,

130, p.38.

Parcell, G. & Collison, C., 2009. No More Consultants: We Know More Than Think. London.

Parmenter, D., 2007. Key Performance Indicator. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Ray, T. & Clegg, S., 2005. Tacit Knowing, Communication and Power: Lessons from Japan?

Managing Knowledge: An Essential Reader, 2nd ed, pp.319-48.

Rezende, R. & Souza, J., 2007. Using Knowledge Management Techniques To Improve The

Learning Process through The Exchange of Knowledge Chains. In 11th International

Conference on Computer Supported Cooperative Work in Design., 2007.

Rhodes, E., 1978. Data Envelopment Analysis and Related Approaches for Measuring the

Efficiency of Decision Making Units with an Application to Program Follow through in

US Education. Pittsburgh, PA: Unpublished Doctoral Dissertation.

Robertson, S.L., 2002. GATS and the Education Service Industry. Comparative Education

Review, 46(4), pp.472-97.

Robins, E., 2001. Brief History of Decision-Making. [Online] Available at:

www.technologyevaluation.com/arlingsoft/History_Decision_Making.pdf [Accessed 26

Maret 2015].

Ryle, G., 1949. Concept of Mind. Chicago: The University of Chicago Press.

Saaty, L.T., 1980. The Analytical Hierarchy Process. New York: Mc.Graw Hill Book Co.

Schonberger, R. & Knod, E., 1997. Operations Management: Continuous Improvement. 6th

ed. Irwin, Chicago.

Page 64: Knowledge Management

Setiawan, E., 2012. KBBI. [Online] (3) Available at: http://kbbi.web.id/audit [Accessed 28

Februari 2015].

Shah et al, 1998. Knowledge Auidt of The Call Center at MindSpring.

Shin, A., 2000. Framework for Evaluating Economics of Knowledge Management Systems.

Journal of Information and Management, 3(14), pp.179-96.

Sholihah, M., 2012. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja ITS International Office dengan

Menggunakan Balanced Scorecard. Laporan Tugas Akhir.

Stollberg Michael et al, 2004. H-TechSight A Next Generation Knowledge Management

Platform. Journal of Information and Knowledge Management, 1(3), pp.47-66.

Storey, J. & Barnett, E., 2000. Knowledge Management Initiatives: Learning from Failure.

Journal of Knowledge Management, 4(2), pp.145-56.

Sun, Z. & Gao, G., 2006. HSM: Hierarchical Spiral Model for Knowledge Management. In

In Proceedings The 2nd International Conference on Information Management and

Business. Sydney, 2006.

Sunassee, N.N. & Sewry, D.A., 2002. A Theoretical Framework for Knowledge Management

Implementation. In In Proceeding Annual Research Conference of The South African

Institute of Computer and Scientists an Information Technologists., 2002.

Supyuenyong, V. & Islam, N., 2006. Knowledge Management Architecture: Building Blocks

and Their Relationship. In Technology Management for The Global Future. 3rd ed.

pp.1210-19.

Takamura, T. & Tone, K., 2003. A Comparative Site Evaluation Study for Relocating

Japanese Government Agencies Out of Tokyo. Socio-Economic Planning Sciences, 37,

pp.85-102.

Tiwana, A., 2000. The Knowledge Management Toolkit. 07458th ed. Prentice Hall PTR.

River Upper Saddle.

Wen, H. et al, 2003. Measuring E-Commerce Efficiency: A Data Envelopment Analysis

(DEA) Approach. Industrial Management & Data Systems, 103(9), pp.703-10.

Wicaksono, D.G., 2013. General Business Environment PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

Magister Manajemen Paper. Jakarta: Universitas Gadjah Mada.

Wiig, K., 1993. Knowledge Management Methods. Arlington, TX: Schema Press.

Wong, K. & Aspinwall, E., 2006. Development of a Knowledge Management Initiative and

System. A Case Study: Expert System Application , 30(4), pp.633-41.

Page 65: Knowledge Management

Zhu, J., 2002. Quantitative Models for Performance Evaluation and Benchmarking: Data

Envelopment Analysis with Spreadsheets and DEA Excel Solver. Boston: Kluwer

Academic Publishers.