keracunan lithium 2

12
I. KASUS Seorang wanita berusia 51 tahun dengan keterbelakangan mental meninggal dunia akibat keracunan lithium pada tanggal 13 Mei 2002. Sejarah medis yang dimiliki korban yaitu keterbelakangan mental, gangguan bipolar, hipotiroid, dan parkinsonism. Pada tanggal 13 April 2002, salah satu tersangka yang merupakan seorang farmasis melakukan kesalahan dalam pembacaan resep yang dibawa oleh korban. Farmasis memberikan lithium karbonat 300 mg/kapsul kepada pasien padahal dari resep yang dibawa pasien lithium yang diberikan adalah 150 mg/kapsul. Pada tanggal 25 April 2002, dokter pribadi korban (juga merupakan tersangka) melakukan pemeriksaan keluhan korban berupa diare selama tiga hari. Dokter pribadi korban mencatat bahwa korban tidak memiliki kelainan klinis berupa dehidrasi, oleh karenanya dia menyarankan agar korban meningkatkan asupan cairan serta diet seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Dokter pribadi korban (Primary Care Physician ‘PCP’) juga mengintruksikan agar keluarga korban melakukan perawatan dan melaporkan apabila korban menunjukkan gejala penurunan asupan cairan, perubahan tingkat aktifitas yang ditetapkan sebagai lesu, atau gejala memburuk. Selama beberapa hari berikutnya korban masih terus mengalami diare dan gangguan makan. Akan tetapi keluhan tersebut tidak dikomunikasikan ke PCP. Pada tanggal 30 April 2002, korban kembali diperiksa oleh terdakwa PCP. Tidak ada notasi tentang keluhan diare seperti yang terlihat pada lima hari sebelumnya, sehingga PCP mencatat bahwa symptom yang dialami korban telah membaik dan mulai hilang. PCP mencatat adanya sedikit perubahan pada kondisi korban, tetapi tidak mencari tahu penyebab perubahan kondisi tersebut. Perubahan kondisi pasien meliputi peningkatan kontraksi otot atau kekakuan otot. PCP memerintahkan korban melakukan tes darah selama kunjungan ini, tetapi melupakan pemeriksaan kadar lithium. Pada tanggal 2 Mei 2002, korban masih mengalami diare. Keluarga korban diberitahukan bahwa korban tidak diizinkan untuk kembali sampai perawatan medis korban selesai dilakukan. Perawat menghubungi PCP untuk melaporkan gejala-gejala yang dialami pasien. Pada waktu itu PCP melakukan penghentian pemberian dosis pagi Zyprexa 2,5-mg untuk pengobatan kelesuan pasien.

Upload: ida-bagus-deny-prayudi

Post on 27-Nov-2015

30 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

litium 2

TRANSCRIPT

Page 1: Keracunan Lithium 2

I. KASUS

Seorang wanita berusia 51 tahun dengan keterbelakangan mental meninggal dunia akibat

keracunan lithium pada tanggal 13 Mei 2002. Sejarah medis yang dimiliki korban yaitu

keterbelakangan mental, gangguan bipolar, hipotiroid, dan parkinsonism.

Pada tanggal 13 April 2002, salah satu tersangka yang merupakan seorang farmasis

melakukan kesalahan dalam pembacaan resep yang dibawa oleh korban. Farmasis memberikan

lithium karbonat 300 mg/kapsul kepada pasien padahal dari resep yang dibawa pasien lithium

yang diberikan adalah 150 mg/kapsul.

Pada tanggal 25 April 2002, dokter pribadi korban (juga merupakan tersangka)

melakukan pemeriksaan keluhan korban berupa diare selama tiga hari. Dokter pribadi korban

mencatat bahwa korban tidak memiliki kelainan klinis berupa dehidrasi, oleh karenanya dia

menyarankan agar korban meningkatkan asupan cairan serta diet seperti yang telah dilakukan

sebelumnya. Dokter pribadi korban (Primary Care Physician ‘PCP’) juga mengintruksikan agar

keluarga korban melakukan perawatan dan melaporkan apabila korban menunjukkan gejala

penurunan asupan cairan, perubahan tingkat aktifitas yang ditetapkan sebagai lesu, atau gejala

memburuk. Selama beberapa hari berikutnya korban masih terus mengalami diare dan gangguan

makan. Akan tetapi keluhan tersebut tidak dikomunikasikan ke PCP.

Pada tanggal 30 April 2002, korban kembali diperiksa oleh terdakwa PCP. Tidak ada

notasi tentang keluhan diare seperti yang terlihat pada lima hari sebelumnya, sehingga PCP

mencatat bahwa symptom yang dialami korban telah membaik dan mulai hilang. PCP mencatat

adanya sedikit perubahan pada kondisi korban, tetapi tidak mencari tahu penyebab perubahan

kondisi tersebut. Perubahan kondisi pasien meliputi peningkatan kontraksi otot atau kekakuan

otot. PCP memerintahkan korban melakukan tes darah selama kunjungan ini, tetapi melupakan

pemeriksaan kadar lithium.

Pada tanggal 2 Mei 2002, korban masih mengalami diare. Keluarga korban diberitahukan

bahwa korban tidak diizinkan untuk kembali sampai perawatan medis korban selesai dilakukan.

Perawat menghubungi PCP untuk melaporkan gejala-gejala yang dialami pasien. Pada waktu itu

PCP melakukan penghentian pemberian dosis pagi Zyprexa 2,5-mg untuk pengobatan kelesuan

pasien.

Page 2: Keracunan Lithium 2

Pada tanggal 8 Mei 2002, salah seorang karyawan rumah hunian melaporkan bahwa

korban mengalami gejala ketidakstabilan, hampir tidak bisa bergerak, dan sangat lemah dan tak

berdaya. Akan tetapi keadaan ini tidak dilaporkan kepada Supervisornya.

Pada tanggal 11 Mei 2002, korban dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan.

Korban tercatat mengalami kelemahan dan gangguan kestabilan selama 1 minggu. Korban juga

menyatakan bahwa dirinya menderita hiponatremia berat, hiperkalemia. Kadar lithium yang

tercatat dalam darah korban adalah 6,8 mEq/L. Hari berikutnya ia tercatat memiliki dehidrasi

berat persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi, serta gagal ginjal akut, akibat

tanda toksisitas lithium. Pasien meninggal pada tanggal 13 Mei 2002.

Litigasi terus dilakukan dalam kasus ini. PCP dan psikiater menyatakan bahwa gejala

toksisitas yang ditunjukkan korban tidak disampaikan kepada mereka oleh staf perumahan. Para

PCP berpendapat bahwa gejala korban pada tanggal dan hari pada saat dilakukan pemeriksaan

tidak sugestif menunjukkan adanya gejala keracunan lithium dan dia tidak bertanggung jawab

untuk memantau pengobatan kerena dia bukanlah orang yang meresepkan obat. Psikiater yang

meresepkan obat kepada korban berpendapat bahwa dia tidak diberitahu tentang kelemahan dan

kelesuan yang diderita korban. Kasus ini berakhir dengan ganti rugi sebesar Satu Miliar Dolar ($

1.000.000.000) oleh pihak farmasis.

(Lubin and Mayer, 2010)

Page 3: Keracunan Lithium 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Bipolar

Penyakit bipolar, sebelumnya dikenal dengan nama penyakit manik-depresi merupakan

gangguan mood yang bersifat siklik dengan fluktuasi perasaan, energi, dan kelakuan dari ujung-

ujung yang ekstrim. Bipolar merupakan gangguan psikiatrik yang unik karena bersifat genetik,

dipengaruhi oleh lingkungan, dan gambaran penyakitnya berbeda satu orang dengan lainnya.

Diagnosis penyakit ini melibatkan kemunculan mania, hipomania, atau kombinasi antar episode

selama penjalanan penyakit (Tjay dan Rahardja 2008).

Gejala-gejala penyakit bipolar termasuk depresi dan perasaan-perasaan putus asa. Gejala-

gejala depresi lain termasuk pikiran-pikiran bunuh diri, perubahan-perubahan pada pola-pola

tidur, dan kehilangan minat pada aktivitas-aktivitas yang pernah menjadi sumber dari

kesenangan. Penyakit ini umumnya berkembang pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa,

namun mungkin ada juga yang memulai gejalanya sejak anak-anak (Tjay dan Rahardja 2008).

Terdapat beberapa teori patofisiologi dari penyakit bipolar antara lain teori

neurotransmitter, teori kation dan membran.

1. Teori Neurotransmiter

Menurut teori ini gangguan mood disebabkan karena ketidakseimbangan neurotransmiter

di SSP. Adanya kelebihan senyawa amin (norefinefrin “NE” dan dopamine “DA”) akan

menyebabkan munculnya mania. Sedangkan pada kondisi dimana terjadi kekurangan NE, DA,

dan/atau serotonin (5-HT) akan menyebabkan terjadinya depresi. Ketidakseimbangan antara

aktifitas NE dan DA akan menyebabkan terjadinya perubahan mood dari depresi menjadi mania

(Ikawati, 2009).

2. Teori Kation Dan Membran

Menurut teori ini gangguan mood disebabkan perubahan keseimbangan elektrolit,

terutama Ca+dan Na+, yang diduga terkait dengan fluktuasi mood. Adanya perubahan konsentrasi

Ca+ ekstrasel dan intrasel dapat mempengaruhi pelepasan DA, NE dan 5-HT . Keadaan ini

menyebabkan terjadinya eksitabilitas saraf yang akan mempengaruhi variasi (fluktuasi) perasaan

sehingga terjadi perubahan dari depresi ke mania atau sebaliknya. Pasien bipolar yang tidak

diobati memiliki konsentrasi Ca+ intrasel yang lebih tinggi pada limfosit dan plateletnya

dibanding dengan orang normal (Ikawati, 2009).

Page 4: Keracunan Lithium 2

Obat-obat Ca-Bloker yang bekerja dengan memblok kanal Ca akan menyebabkan

penurunan konsentrasi Ca+ intraseluler. Penurunan konsentrasi Ca+ akan menyebabkan

pemblokan terhadap aktivitas 5-HT, dopamin, dan endorfin sehingga mengurangi mania. Obat

lain seperti lamotrigin bekerja dengan memblok kanal Na sehingga menghambat pelepasan

glutamate dan aspartat. Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan aktifitas Ca+ (Ikawati,

2009).

2.2 Lithium Karbonat

2.2.1 Farmakologi

Lithium karbonat adalah jenis garam lithium yang paling sering digunakan untuk

mengatasi gangguan bipolar. Sejak disahkan oleh Food and Drug Administration (FDA) pada

tahun 1970 lithium digunakan sebagai obat untuk mengatasi mania akut, lithium masih efektif

dalam menstabilkan mood pasien dengan gangguan bipolar. Efek samping yang ditimbulkan dari

penggunaan lithium hampir serupa dengan efek mengonsumsi banyak garam, yakni tekanan

darah tinggi, retensi air, dan konstipasi. Oleh karena itu, selama penggunannya obat ini harus

dilakukan tes darah secara teratur (Therapy Drug Monitoring “TDM”) untuk menentukan kadar

lithium mengingat dosis terapeutik lithium berdekatan dengan dosis toksiknya (Israr, dkk.,

2008).

a. Indikasi

Mengatasi episode mania. Gejala hilang dalam jangka waktu 1-3 minggu setelah minum

obat. Lithium juga digunakan untuk mencegah atau mengurangi intensitas serangan ulang pasien

bipolar dengan riwayat mania (Israr, dkk., 2009).

b. Mekanisme kerja

Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi ”dopaminereseptor

supersensitivity” meningkatkan ”cholinergic muscarinic activity” dan menghambat ” cyclic

AMP” (adenosine monophospat) (Israr, dkk., 2009).

c. Efek Samping

Efek samping lithium seperti tremor, diare, nausea, dan sering kencing, bergantung pada

dosis yang dikonsumsi. Pada kadar lithium darah yang tinggi (> 2 mg), pasien akan mengalami

ataksia, kebingungan, bahkan koma. Beberapa pasien dapat mencapai kadar lithium darah

normal (sekitar 1 mg) dengan mengkonsumsi dua pil perhari sementara pada pasien lainnya perlu

Page 5: Keracunan Lithium 2

dua belas pil per hari. Jika kita dapat mengukur kadar obat dalam darah pada semua jenis obat

serupa, kemungkinan kita dapat menemukan perbedaan individual. Ini dapat menjelaskan

mengapa beberapa pasien kizofrenia menunjukkan perbaikan dengan pemberian 200 mg

klorpromazin per hari sementara yang lainnya memerlukan 2000 mg per hari (Israr, dkk., 2009).

Gejala intoksikasi (kadar serum lithium > 1,5 mEq/L) dapat berupa:

• Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, konsentrasi pikiran menurun, bicara

sulit, pengucapan kata tidak jelas, dan gaya berjalan tidak stabil.

• Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala : kesadaran menurun dapat sampai

koma dengan hipertoni otot dan kedutan, oliguria, dan kejangkejang.

Page 6: Keracunan Lithium 2

d. Interaksi obat

Penggunaan diuretik bersama lithium harus dilakukan hati-hati. Hal ini dikarenakan

diuretik yang menginduksi pengeluaran natrium, bisa mengurangi klirens renal lithium yang

akan menyebabkan kadar lithium serum meningkat dan risiko toksisitas juga meningkat. Begitu

juga pada pemberian bersamaan dengan beberapa obat lain seperti NSAID dan ACE inhibitor.5

Lithium sebaiknya tidak diberikan pada pasien jantung dan ginjal. Tapi jika kondisi psikiatri

pasien mengancam jiwa dan pasien tidak berespon dengan obat lain, maka lithium bisa diberikan

dengan pengawasan yang sangat ketat (Israr, dkk., 2009).

Pemeriksaan kadar lithium serum dilakukan tiap hari dan kemudian dilakukan pengaturan

dosis. Lithium sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena diduga bisa mendatangkan

efek merugikan bagi janin. Lithium juga disekresikan melalui air susu ibu, sehingga tidak

dianjurkan diberikan pada wanita yang menyusui. Penggunaan lithium pada anak usia dibawah

12 tahun sebaiknya tidak dilakukan mengingat data keamanan dan keefektifan dari obat ini pada

populasi ini belum ada. Pemberian lithium pada orang tua harus dilakukan pengaturan dosis

(Israr, dkk., 2009).

2.2.2 Farmakokinetik

Lithium diabsorbsi baik setelah pemakaian peroral. Kira-kira 97% diekskresikan dalam

bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari. Hanya sedikit obat diekskresikan melalui feses, saliva,

dan keringat. Ekskresi lithium melalui urin akan lebih lambat pada pediatri dari pada pasien

muda dan juga akan bertambah lambat dimalam hari. Ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh

kadar natrium dan kalium. Pada pasien yang asupan natriumnya rendah, lithium akan

direabsorpsi melalui tubulus ginjal dan sebaliknya pada pasien dengan asupan natrium tinggi,

ekskresi lithium akan meningkat. Lithium terdistribusi secara luas di tubuh dan konsentrasi

tertinggi ditemukan di tulang, kelenjar tiroid, dan dan otak. Obat ini dapat melewati plasenta dan

dapat diekskresikan melalui air susu ibu (Mofat, et al.,2005).

Efek toksik dihasilkan apabila konsentrasi serum lithium lebih dari 2 mmol/L.

Konsentrasi 5 mmol/L akan berakibat fatal. T ½ plasma kira-kira 20-24 jam setelah dosis tunggal

tergantung dari lamanya pengobatan. Pada pasien yang pertama kali ditreatment dengan lithium,

t ½ plasma lithium rata-rata 31 jam. Plasma t ½ lithium meningkat mencapai 40 jam pada pasien

yang ditreatmen dengan lithium kurang dari satu tahun dan mencapai 58 jam pada pasien yang

Page 7: Keracunan Lithium 2

ditreatment lebih dari 1 tahun. T ½ akan meningkat pada pasien pediatric dan gangguan ginjal.

Klirens plasma setelah dosis tunggal kira-kira 0,4 mL/min/kg, akan menurun pada pasien uremia

dan pediatri (Mofat, et al.,2005).

Dosis litihium dari satu pemberian ke pemberian yang lain menghsilkan bioavaibilitas

yang sangat bervariasi. Dosis biasanya dijaga agar berada pada rentang konsentrasi serum 0,4-1

mmol/L, dimana dosis dimaintenance agar berada dibawah range atas konsentrasi (Mofat, et

al.,2005).

Page 8: Keracunan Lithium 2

III. PEMBAHASAN KASUS

Kasus diatas merupakan salah satu dari kasus medication error yang melibatkan banyak

pihak diataranya farmasis, dokter, psikiter pribadi serta keluarga selaku pengawas korban.

Korban yang merupakan seorang wanita berumur 51 tahun dengan riwayat keterbelakangn

mental, bipolar disorder, dan parkinson menerima terapi lithium untuk pengobatan penyakit

bipolar disorder yang dideritanya.

Kesalahan pengobatan bermula terjadi karena adanya kesalahan pembacaan resep dan

dispensing obat yang dilakukan oleh farmasis tempat korban menebus resepnya. Farmasis

memberikan 300 mg lithium karbonat per kapsul kepada pasien padahal pada resep tertulis 150

mg lithium per kapsul. Kesalahan ini mengakibatkan korban mengkonsumsi lithium karbonat

perharinya dua kali lipat dari dosis yang diresepkan. Peningkatan dosis lithium hingga dua kali

lipat ini mengakibatkan korban mengalami gejala toksisitas lithium yang ditandai dengan diare

kronis yang dialami korban setelah tiga hari mengkonsumsi obat. Selain itu terjadi juga

peningkatan kontraksi dan kekakuan otot, gangguang keseimbangan, dan lesu. Namun gejala ini

tidak disadari oleh PCP dan dokter korban sampai akhirnya korban mengalami dehidrasi berat

persisten dengan kekacauan metabolisme dan hipotensi, serta gagal ginjal akut dan meninggal

dunia.

Dari hasil pemeriksaan, kadar lithium darah korban mencapai 6,8 mEq/L setelah hampir

satu bulan mengkonsumsi lithium. Kadar ini merupakan kadar yang sangat tinggi mengingat

kadar lithium normalnya berkisar antara 0,6 dan 1,2 mEq/L (non-beracun).

Lithium merupakan obat yang memiliki indeks terapi sempit (narrow terapeutic index)

dimana konsentrasi yang digunakan untuk mencapai efek terapi tidak jauh berbeda dengan

konsentrasi yang menyebabkan toksisitas. T ½ plasma kira-kira 20-24 jam setelah dosis tunggal

tergantung dari lamanya pengobatan dan akan meningkat pada pasien pediatri dan gangguan

ginjal. Selain itu dosis litihium dari satu pemberian ke pemberian yang lain menghasilkan

bioavaibilitas yang sangat bervariasi (Moffat, et al.,2005).

Efek antimania lithium disebabkan oleh kemampuannya mengurangi ”dopaminereseptor

supersensitivity” meningkatkan ”cholinergic muscarinic activity” dan menghambat ”cyclic

AMP” (adenosine monophospat). Lithium diabsorbsi baik setelah pemakaian peroral. Kira-kira

97% diekskresikan dalam bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari. Ekskresi lithium melalui

Page 9: Keracunan Lithium 2

urin akan lebih lambat pada pediatri. Ekskresi lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan

kalium. Pada pasien yang asupan natriumnya rendah, lithium akan direabsorpsi melalui tubulus

ginjal dan sebaliknya pada pasien dengan asupan natrium tinggi, ekskresi lithium akan

meningkat. Klirens plasma setelah dosis tunggal kira-kira 0,4 mL/min/kg, akan menurun pada

pasien uremia dan pediatri (Mofat, et al.,2005).

Jika ditinjau dari farmakologi dan farmakokinetik obat, catatan medis korban, kondisi

fisik korban, umur, serta penyakit yang dideritanya maka seharusnya perlu dilakukan monitoring

kadar lithium dalam darah korban (Therapy Drug Monitoring). Korban merupakan seorang

pediatri yang memiliki riwayat penyakit hipotirodisme, menderita hiponatremia berat dan

hiperkalemia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa lithium 97% diekskresikan dalam

bentuk bebas melalui urin dalam 10 hari dan akan lebih lambat pada pediatri. Hal ini disebabkan

karena terjadinya penurunan fungsi ginjal pada pasien pediatri sehingga klirens plasma akan

menurun dan obat akan lebih lama berada didalam tubuh pasien. Korban juga menderita

hiponatremia dan hiperkalemia berat.

Keadaan ini tentunya akan berpengaruh besar pada ekskresi lithium dimana ekskresi

lithium juga dipengaruhi oleh kadar natrium dan kalium. Pada kondisi dimana kadar natrium

dalam tubuh rendah, lithium yang seharusnya diekskresikan akan direabsorpsi kembali melalui

tubulus ginjal sehingga obat akan kembali berada pada sistem sistemik. Oleh karenanya sebelum

korban meninggal korban mengalami dehidrasi berat persisten dengan kekacauan metabolisme

dan hipotensi dan akhirnya terjadi gagal ginjal akut akibat toksisitas dari lithium.

Pada review dokumen dan wawancara yang dilakuan sebelum dan selama litigasi, jelas

bahwa staf perumahan mencatat dan menyatakan bahwa korban menunjukkan gangguan gaya

berjalan, kelesuan, dan kelemahan sekitar satu bulan sebelum dia meninggal. Keadaan ini juga

terjadi pada waktu dua kali kunjungan ke PCP. Akan tetapi tidak ada tanda-tanda atau gejala

yang dicatat oleh PCP terkait dengan evaluasi terhadap tingkat lithium yang dikonsumsi korban.

Kasus ini diselesaikan dengan Satu Juta Dolar ($ 1.000.000) selama litigasi dengan

farmasis. Akan tetapi jika dianalisis secara keseluruhan, pada kasus diatas tidak ada komunikasi

yang baik antara PCP, psikiater, farmasis, dan keluarga korban. Pada saat melakukan pembacaan

resep dan dispensing obat, farmasis hendaknya mampu melakukan evaluasi terhadap resep yang

dibawa oleh korban dan lebih teliti sebelum dan pada saat melakukan peracikan obat. Bahkan

jika perlu, menyarankan untuk dilakukan TDM pada korban karena obat yang diresepkan

Page 10: Keracunan Lithium 2

merupakan obat yang tergolong kedalam obat yang memiliki narrow terapeutic index dan

menimbulkan bioavaibilitas yang bervariasi meskipun diberikan pada dosis yang tetap. PCP

sebagai ahli medis pribadi korban seharusnya melakukan pemantauan terhadap obat-obat yang

dikonsumsi korban sehingga apabila muncul efek samping atau gejala toksisitas obat dapat

segera dikenali dan dikomunikasikan dengan tenaga medis lainnya dalam hal ini adalah psikiater

korban. Psikiater korban sebagai orang yang meresepkan korban hendaknya melakukan evaluasi

terhadap pengobatan yang diberikan. Dengan melihat riwayat penyakit korban dan obat yang

diberikan seharusnya psikiater mampu meramalkan kemungkinan terburuk dari peresepan yang

dilakukan dan tidak semata-mata menyerahkan evaluasi peresepan kepada tenaga medis lain.

Apabila memang terjadi komunikasi yang baik dari tenaga medis terkait maka tentunya

medication error seperti kasus diatas tidak akan terjadi.

Page 11: Keracunan Lithium 2

DAFTAR PUSTAKA

Lubin and Mayer. 2010. Medication Error And Failure To Notice Signs And Lithium Toxicity

Lead To Death Of 51 Year-Old Woman. (Cited: Dec 18, 2010)

Available at: http//www.lubinandmayer.com/hoterneys/indek.html.

Moffat, C Anthony, David Osselton, Brian Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drugs and

Poisons in Pharmaceutical, Body Fluids, and Post-Mortem Material. 3rd Edition.

London: The Pharmaceutical Pres

Israr, Y.A., W.R. Mardhiya.,dan N. Faradilla. 2009. Obat Antimania (Cited: Dec 18, 2010)

Available at: http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/09/

antimania_files_of_drsmed.pdf

Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2008. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek

Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Computindo

Zullies, Ikawati. 2009. Bipolar-Disorder (Cited: Dec 18, 2010)

Available at: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/

bipolar-disorder.pdf

Page 12: Keracunan Lithium 2

FARMASI FORENSIK

STUDI KASUS

Medication Error And Failure To Notice Signs And Lithium Toxicity Lead To Death Of 51

Year-Old Woman

Nama :

I Made Dwi Mulya Purbandika (0708505035)

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA

2010