kementerian keuangan dan...perang dagang as – tiongkok yang belum akan mencapai kesepakatan damai,...

6
Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 1 DAN 5 s.d. 11 Agustus 2019 KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL I. Pasar Global Pasar Saham. Wall Street ditutup melemah dibanding penutupan pekan sebelumnya dengan indeks Dow Jones turun 0,75 persen, sementara S&P 500 mencatatkan pelemahan sebesar 0,46 persen. Sentimen utama yang mempengaruhi pergerakan Wall Street selama sepekan bersumber dari eskalasi perang dagang AS – Tiongkok yang belum akan mencapai kesepakatan damai, tuduhan Trump bahwa Tiongkok memanipulasi mata uangnya, dan kekhawatiran investor bahwa pelemahan ekonomi global bisa terjadi lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Dari perang dagang AS – Tiongkok, Trump menyatakan bahwa AS tidak akan berbisnis dengan Huawei, tetapi Gedung Putih kemudian mengklarifikasi bahwa pernyataan tersebut hanya tentang pemerintah AS yang tidak membeli produk Huawei. Di tengah berbagai sentimen negatif, investor terlihat memilih mengalihkan portofolionya ke aset dengan risiko lebih rendah, yaitu dari saham ke obligasi dan emas serta Yen Jepang. Pada akhir pekan, data perdagangan Tiongkok yang lebih baik dari ekspektasi sedikit memberikan ketenangan bagi investor. Dari rilis data ekonomi AS, indikator ISM Non-Manufacturing PMI bulan Juli 2019 menunjukkan sedikit pelemahan dari 55,1 ke 53,7, di bawah ekspektasi sebesar 55,5. Indeks ini mengukur kinerja non-manufaktur AS mencakup aktivitas bisnis, pesanan baru, penyerapan tenaga kerja, dan pengiriman supplier. Angka di atas 50 menunjukkan ekspansi, sementara angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi. Di sisi lain, indeks harga produsen (PPI) bulan Juli 2019 naik sesuai ekspektasi sebesar 0,2 persen secara bulanan. Dari kawasan Eropa, bursa saham utama di kawasan seperti FTSE 100 Inggris, DAX Jerman, dan CAC Prancis juga ditutup melemah dalam sepekan. Selain perkembangan perang dagang AS – Tiongkok, investor di Kawasan juga mencermati perkembangan politik di Italia. Pemimpin partai yang memerintah, Matteo Salvini, dikabarkan menarik dukungan terhadap koalisi pemerintahan pada tengah pekan dan menyerukan pemilu baru. Gambar 1. Pasar Saham Global Indikator 9 Agt 2019 Perubahan (%) WoW YoY Ytd T1 ---- Nilai Tukar/USD ---- Euro 0,89 0,81 (2,93) (2,37) Yen 105,69 0,84 4,85 3,65 GBP 0,83 (1,12) (6,63) (6,06) Real 3,94 (1,34) (3,72) (1,74) Rubel 65,28 (0,04) 2,09 6,36 Rupiah 14.194,00 (0,06) 1,50 1,36 Rupee 70,79 (1,70) (3,07) (1,46) Yuan 7,06 (1,75) (3,53) (2,67) KRW 1.210,00 (1,01) (8,32) (8,44) SGD 1,39 (0,57) (1,27) (1,63) Ringgit 4,18 (0,63) (2,69) (1,22) Baht 30,73 0,27 7,38 5,59 Peso 51,89 (0,87) 2,26 1,31 T2 ----- Pasar Modal ------ DJIA 26.287,44 (0,75) 1,04 12,69 S&P500 2.918,65 (0,46) 4,31 16,43 FTSE 100 7.253,85 (2,07) (5,81) 7,81 DAX 11.693,80 (1,50) (11,95) 10,75 KOSPI 1.937,75 (3,02) (22,98) (5,06) Brazil IBrX 867,56 (1,73) (9,82) 0,84 Nikkei 20.684,82 (1,91) (12,96) 3,35 SENSEX 37.581,91 1,25 6,58 4,20 JCI 6.282,13 (0,92) (2,94) 1,41 Hangseng 25.939,30 (3,64) (19,25) 0,36 Shanghai 2.774,75 (3,25) (20,15) 11,26 STI 3.168,94 (2,83) (10,01) 3,26 FTSE KLCI 1.615,05 (0,72) (11,34) (4,47) SET 1.650,64 (2,02) (9,27) 5,55 PSEi 7.854,39 (3,39) (10,96) 5,20 T3 ------ Surat Berharga Negara ------ Yield 5 th, (FR 77) 6,71 (10) n/a (118) Yield 10 th, (FR78) 7,28 (10) n/a (68) T4 ------ Komoditas ------ Brent Oil 58,53 (5,43) (7,15) 6,46 CPO 2.141,00 6,36 (13,14) 6,84 Gold 1.496,95 3,89 12,80 16,72 Coal 67,85 (1,88) (36,44) (33,51) Nickel 15.550,00 7,61 24,70 45,46 T5 ------ Rilis Data ------ GDP Inggris Q2 : 0,2 Q1 : 05 Indonesia Q2 : 5,05 Q1 : 4,20 Interest rate India Agt : 5,40 Jul : 5,75 PMI Manufacturing Inggris Jul : 50,7 Jun : 49,7 Highlight Minggu Ini Bursa saham Wall Street ditutup melemah seiring dengan sentimen negatif dari perang dagang AS-Tiongkok dan kekhawatiran investor terhadap pelemahan ekonomi global yang dapat terjadi lebih cepat dari perkiraan, sedangkan rilis data ekonomi AS menunjukkan indikator ISM Non-Manufacturing PMI melemah dibawah ekspektasi pada bulan Juli. Indeks dolar AS tercatat melemah sebesar 0,59 persen dalam sepekan ke level 97,49 pada Jumat (09/08), sementara yield US Treasury 10 tahun turun sekitar 10 bps ke level 1,74 persen dalam sepekan. Dari pasar komoditas, harga minyak mentah jenis Brent terpantau turun 5,43 persen dalam sepekan dipicu oleh memanasnya tensi perang dagang AS-Tiongkok dan kenaikan persediaan minyak AS, sementara itu harga CPO naik 6,36 persen seiring dengan ekspektasi kenaikan permintaan dari Tiongkok setelah otoritas Tiongkok menghentikan pembelian seluruh produk pertanian dari AS. IHSG melemah sebesar 0,92 persen secara mingguan ke level 6.282,13 dengan investor nonresiden mencatatkan jual bersih hingga Rp3,07 triliun dalam sepekan, sementara Rupiah melemah 0,06 persen terhadap dollar AS ke level Rp14.194. Neraca pembayaran Indonesia pada Q2 mencatatkan defisit sebesar US$2 miliar. Meskipun defisit, kondisi neraca pembayaran Indonesia masih menggambarkan ketahanan sektor eksternal Indonesia sekaligus positifnya kepercayaan investor, tidak hanya terhadap kondisi perekonomian Indonesia terkini namun juga prospeknya di masa depan, yang tercermin dari peningkatan FDI dan masih berlanjutnya capital inflow di pasar keuangan domestik.

Upload: others

Post on 07-Feb-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 1

    DAN 5 s.d. 11 Agustus 2019

    KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL

    I. Pasar Global

    Pasar Saham. Wall Street ditutup melemah dibanding penutupan pekan

    sebelumnya dengan indeks Dow Jones turun 0,75 persen, sementara S&P 500

    mencatatkan pelemahan sebesar 0,46 persen. Sentimen utama yang

    mempengaruhi pergerakan Wall Street selama sepekan bersumber dari eskalasi

    perang dagang AS – Tiongkok yang belum akan mencapai kesepakatan damai,

    tuduhan Trump bahwa Tiongkok memanipulasi mata uangnya, dan

    kekhawatiran investor bahwa pelemahan ekonomi global bisa terjadi lebih cepat

    dari perkiraan sebelumnya. Dari perang dagang AS – Tiongkok, Trump

    menyatakan bahwa AS tidak akan berbisnis dengan Huawei, tetapi Gedung

    Putih kemudian mengklarifikasi bahwa pernyataan tersebut hanya tentang

    pemerintah AS yang tidak membeli produk Huawei. Di tengah berbagai

    sentimen negatif, investor terlihat memilih mengalihkan portofolionya ke aset

    dengan risiko lebih rendah, yaitu dari saham ke obligasi dan emas serta Yen

    Jepang. Pada akhir pekan, data perdagangan Tiongkok yang lebih baik dari

    ekspektasi sedikit memberikan ketenangan bagi investor.

    Dari rilis data ekonomi AS, indikator ISM Non-Manufacturing PMI bulan Juli

    2019 menunjukkan sedikit pelemahan dari 55,1 ke 53,7, di bawah ekspektasi

    sebesar 55,5. Indeks ini mengukur kinerja non-manufaktur AS mencakup

    aktivitas bisnis, pesanan baru, penyerapan tenaga kerja, dan pengiriman

    supplier. Angka di atas 50 menunjukkan ekspansi, sementara angka di bawah 50

    menunjukkan kontraksi. Di sisi lain, indeks harga produsen (PPI) bulan Juli 2019

    naik sesuai ekspektasi sebesar 0,2 persen secara bulanan.

    Dari kawasan Eropa, bursa saham utama di kawasan seperti FTSE 100

    Inggris, DAX Jerman, dan CAC Prancis juga ditutup melemah dalam

    sepekan. Selain perkembangan perang dagang AS – Tiongkok, investor di

    Kawasan juga mencermati perkembangan politik di Italia. Pemimpin partai yang

    memerintah, Matteo Salvini, dikabarkan menarik dukungan terhadap koalisi

    pemerintahan pada tengah pekan dan menyerukan pemilu baru.

    Gambar 1. Pasar Saham Global

    Indikator 9 Agt 2019 Perubahan (%)

    WoW YoY Ytd

    T1 ---- Nilai Tukar/USD ---- Euro 0,89 0,81 (2,93) (2,37) Yen 105,69 0,84 4,85 3,65

    GBP 0,83 (1,12) (6,63) (6,06) Real 3,94 (1,34) (3,72) (1,74)

    Rubel 65,28 (0,04) 2,09 6,36 Rupiah 14.194,00 (0,06) 1,50 1,36 Rupee 70,79 (1,70) (3,07) (1,46) Yuan 7,06 (1,75) (3,53) (2,67) KRW 1.210,00 (1,01) (8,32) (8,44) SGD 1,39 (0,57) (1,27) (1,63)

    Ringgit 4,18 (0,63) (2,69) (1,22) Baht 30,73 0,27 7,38 5,59 Peso 51,89 (0,87) 2,26 1,31

    T2 ----- Pasar Modal ------

    DJIA 26.287,44 (0,75) 1,04 12,69 S&P500 2.918,65 (0,46) 4,31 16,43

    FTSE 100 7.253,85 (2,07) (5,81) 7,81 DAX 11.693,80 (1,50) (11,95) 10,75

    KOSPI 1.937,75 (3,02) (22,98) (5,06) Brazil IBrX 867,56 (1,73) (9,82) 0,84

    Nikkei 20.684,82 (1,91) (12,96) 3,35 SENSEX 37.581,91 1,25 6,58 4,20

    JCI 6.282,13 (0,92) (2,94) 1,41 Hangseng 25.939,30 (3,64) (19,25) 0,36 Shanghai 2.774,75 (3,25) (20,15) 11,26

    STI 3.168,94 (2,83) (10,01) 3,26 FTSE KLCI 1.615,05 (0,72) (11,34) (4,47)

    SET 1.650,64 (2,02) (9,27) 5,55 PSEi 7.854,39 (3,39) (10,96) 5,20

    T3 ------ Surat Berharga Negara ------ Yield 5 th, (FR 77) 6,71 (10) n/a (118) Yield 10 th, (FR78) 7,28 (10) n/a (68)

    T4 ------ Komoditas ------ Brent Oil 58,53 (5,43) (7,15) 6,46

    CPO 2.141,00 6,36 (13,14) 6,84 Gold 1.496,95 3,89 12,80 16,72 Coal 67,85 (1,88) (36,44) (33,51)

    Nickel 15.550,00 7,61 24,70 45,46 T5 ------ Rilis Data ------

    GDP Inggris Q2 : 0,2 Q1 : 05 Indonesia Q2 : 5,05 Q1 : 4,20

    Interest rate India Agt : 5,40 Jul : 5,75 PMI Manufacturing Inggris Jul : 50,7 Jun : 49,7

    Highlight Minggu Ini

    Bursa saham Wall Street ditutup melemah seiring dengan sentimen negatif dari perang dagang AS-Tiongkok dan kekhawatiran investor terhadap pelemahan ekonomi global yang dapat terjadi lebih cepat dari perkiraan, sedangkan rilis data ekonomi AS menunjukkan indikator ISM Non-Manufacturing PMI melemah dibawah ekspektasi pada bulan Juli.

    Indeks dolar AS tercatat melemah sebesar 0,59 persen dalam sepekan ke level 97,49 pada Jumat (09/08), sementara yield US Treasury 10 tahun turun sekitar 10 bps ke level 1,74 persen dalam sepekan.

    Dari pasar komoditas, harga minyak mentah jenis Brent terpantau turun 5,43 persen dalam sepekan dipicu oleh memanasnya tensi perang dagang AS-Tiongkok dan kenaikan persediaan minyak AS, sementara itu harga CPO naik 6,36 persen seiring dengan ekspektasi kenaikan permintaan dari Tiongkok setelah otoritas Tiongkok menghentikan pembelian seluruh produk pertanian dari AS.

    IHSG melemah sebesar 0,92 persen secara mingguan ke level 6.282,13 dengan investor nonresiden mencatatkan jual bersih hingga Rp3,07 triliun dalam sepekan, sementara Rupiah melemah 0,06 persen terhadap dollar AS ke level Rp14.194.

    Neraca pembayaran Indonesia pada Q2 mencatatkan defisit sebesar US$2 miliar. Meskipun defisit, kondisi neraca pembayaran Indonesia masih menggambarkan ketahanan sektor eksternal Indonesia sekaligus positifnya kepercayaan investor, tidak hanya terhadap kondisi perekonomian Indonesia terkini namun juga prospeknya di masa depan, yang tercermin dari peningkatan FDI dan masih berlanjutnya capital inflow di pasar keuangan domestik.

    Gam

    bar

    1. P

    asa

    r S

    ah

    am

    Glo

    bal

  • Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 2

    KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL

    tidak memberikan penjelasan yang memadai

    Gambar 4. Yield curve obligasi Pemerintah AS

    semakin flat, secara historis menjadi indikasi resesi

    Gambar 2. Yield treasury AS tenor 10 tahun turun 10

    bps ke level 1,74 pada hari Jumat (09/08)

    Dari rilis data ekonomi di kawasan, PDB UK Q2 2019 tumbuh sebesar 1,2

    persen yoy, di bawah ekspektasi sebesar 1,4 persen yoy. Sementara itu,

    produksi manufaktur UK bulan Juni 2019 mengalami kontraksi sebesar 0,2

    persen secara bulanan, lebih buruk dari ekspektasi sebesar -0,1 persen. Namun

    demikian, indikator composite PMI UK bulan Juli 2019 telah menunjukkan

    ekspansi dengan berada di level 50,7, lebih baik dari ekspektasi sebesar 49,8.

    Di Jerman, produksi industri bulan Juni 2019 berkontraksi sebesar 1,5 persen

    secara bulanan, lebih buruk dari ekspektasi penurunan sebesar 0,5 persen. Hal

    ini yang kemudian turut meningkatkan kekhawatiran investor atas perlambatan

    perekonomian global.

    Dari kawasan Asia, indeks saham di Kawasan juga ditutup sebagian besar

    melemah dalam sepekan dengan indeks Hangseng Hongkong dan PSEi

    Filipina mengalami pelemahan mingguan terdalam di kawasan masing –

    masing sebesar 3,64 dan 3,39 persen. Sebaliknya, indeks Sensex India

    mencatatkan penguatan sebesar 1,25 persen. Dari rilis data ekonomi di

    kawasan, PDB Jepang Q2 2019 tumbuh sebesar 0,4 persen secara kuartalan, di

    atas ekspektasi sebesar 0,1 persen. Di tempat lain, Bank Sentral India (RBI)

    menurunkan suku bunga acuannya sebesar 35 bps dari 5,75 persen ke 5,40

    persen, lebih rendah dari perkiraan analis pasar sebesar 5,50 persen. Di

    Tiongkok, ekspor Tiongkok bulan Juli 2019 naik sebesar 3,3 persen yoy,

    berbeda dengan perkiraan analis yang sebesar negatif 2 persen yoy.

    Pasar Uang. Indeks dollar AS turun ke level 97,49 pada akhir perdagangan

    pekan lalu (09/08) atau melemah sebesar 0,59 persen dalam sepekan

    terhadap enam mata uang utama dunia dari posisi 98,07 pada akhir pekan

    sebelumnya (02/08). Sepanjang pekan lalu, indeks dollar AS bergerak di

    bawah 98,00 seiring pandangan yang kurang dovish dari the Fed dalam

    pengumuman kebijakan moneter pekan sebelumnya serta kenaikan tensi

    perdagangan AS dan Tiongkok yang mengarah pada currency war. Namun

    demikian tekanan terhadap indeks dollar sedikit tertahan oleh melemahnya

    Euro sebagai dampak penurunan imbal hasil obligasi di kawasan tersebut

    sehingga bank sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan memangkas suku bunga

    sebesar 10 bps pada bulan September mendatang. Namun demikian, rilis data

    indeks harga produsen di AS untuk bulan Juli yang naik 0,2 persen mom atau

    1,7 persen yoy memberikan tekanan terhadap dollar AS mengingat kondisi

    tersebut mengindikasikan inflasi yang lemah. Apabila dihitung tanpa harga

    makanan, energi dan jasa perdagangan, maka indeks harga produsen inti akan

    mencatatkan kontraksi 0,1 persen atau penurunan pertama sejak Oktober 2015.

    Kondisi ini membentuk ekspektasi di pasar keuangan AS bahwa the Fed bisa

    saja menurunkan suku bunga acuan hingga 50 bps pada bulan September

    mendatang sebagai respon. Di sisi lain, dampak inflasi dari pengenaan tarif oleh

    pemerintah AS terhadap produk Tiongkok masih terbatas mengingat sebagian

    besar barang yang dikenakan tarif saat ini berupa barang modal. Dampak inflasi

    mungkin akan terlihat apabila AS benar-benar akan mengenakan tarif sebesar

    10 persen untuk US$300 miliar produk Tiongkok per 1 September mendatang

    mengingat mayoritas barang yang disasar adalah barang konsumsi.

    Pasar Obligasi. Yield US Treasury tenor 10 tahun pada akhir pekan lalu

    (09/08) ditutup di level 1,74 persen atau turun sekitar 10 bps

    dibandingkan penutupan pekan sebelumnya sekaligus melewati level

    terendahnya sejak November 2016. Mayoritas investor global melakukan

    langkah flight to safety sebagai respon atas semakin memanasnya tensi perang

    dagang AS dan Tiongkok. Sebagai respon atas penetapan tarif sebesar 10

    persen untuk produk impor dari Tiongkok senilai US$300 miliar per 1

    September 2019 oleh otoritas AS, pemerintah Tiongkok merespon dengan

    menghentikan pembelian seluruh produk pertanian dari AS, sementara bank

    sentral Tiongkok menetapkan nilai tukar Yuan terhadap dolar AS yang lebih

    rendah dibandingkan estimasi pasar. Yuan yang lebih rendah diperkirakan

    menjadi senjata pemerintah Tiongkok untuk mendorong harga ekspor

    Tiongkok menjadi lebih murah di pasar internasional. Melihat situasi ini, pelaku

    pasar mengalihkan aset mereka terutama dari aset yang lebih berisiko seperti

    saham ke US Treasury dan emas

    Gambar 3. Trade war dikhawatirkan melebar menjadi

    currency war setelah terjadi pelemahan Yuan

  • Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 3

    KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL

    Gambar 6. Harga hard commodities: harga emas, nikel,

    dan tembaga menguat secara mingguan sementara

    harga minyak melemah

    Gambar 5. Harga minyak mentah Brent, minyak

    mentah WTI dan harga acuan batubara ICE

    Newcastle melemah secara mingguan

    Pasar Komoditas. Harga minyak Brent kontrak berjangka acuan global

    pekan lalu masih melanjutkan pelemahan yang terjadi pada pekan

    sebelumnya. Pada penutupan pekan Jumat (09/08), harga minyak Brent tercatat

    di level US$58,53 per barel atau turun 5,43 persen dalam sepekan dari posisi

    US$61,89 per barel pada Jumat (02/08). Kembali memanasnya tensi perang

    dagang AS dan Tiongkok menjadi sentimen utama yang menekan harga minyak.

    Pelaku pasar khawatir apabila AS merealisasikan ancaman untuk mengenakan

    tarif sebesar 10 persen atas produk Tiongkok mulai 1 September 2019 maka

    perlambatan perekonomian dan permintaan minyak global akan semakin parah.

    Selain itu, kenaikan stok minyak mentah AS juga turut menekan harga minyak.

    Energy Information Administration (EIA) AS melaporkan

    persediaan minyak mentah komersial di AS naik 2,4 juta barel pada pekan yang

    berakhir pada 4 Agustus 2019, jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar

    untuk penurunan 2,8 juta barel. Selain itu, persedian BBM AS naik 4,4 juta barel

    sementara stok distilat naik 1,5 juta barel. Kenaikan persediaan minyak mentah

    AS ini merupakan yang pertama setelah dalam tujuh minggu berturut-turut

    mencatatkan penurunan. Saat ini stok minyak mentah AS berada sekitar dua

    persen di bawah rata-rata lima tahun. EIA juga merilis rata-rata produksi minyak

    mentah harian AS untuk tahun ini yang diperkirakan naik 1,28 juta barel per hari

    menjadi 12,27 juta barel per hari dan terus naik ke level 13,3 juta barel per hari

    pada 2020. Pesaing AS yaitu Rusia dilaporkan memompa 11,32 juta barel per

    hari pada 1 hingga 8 Agustus 2019, lebih tinggi dibanding 11,15 juta barel per

    hari pada Juli 2019.

    Harga komoditas batubara pekan lalu masih melanjutkan pelemahan yang

    terjadi pada pekan sebelumnya. Harga batubara ICE Newcastle kontrak acuan

    paling aktif tercatat melemah 1,88 persen secara mingguan ke level US$67,85

    per metriks ton pada hari Jumat (09/08). Sentimen negatif terhadap harga

    batubara masih berasal dari Tiongkok dimana konsumsi batubara di pembangkit

    listrik di wilayah Tiongkok bagian timur dan selatan sedikit berkurang setelah

    hujan yang dipicu oleh angin topan membawa cuaca yang dingin. Selain itu,

    otoritas bea cukai Tiongkok untuk provinsi Shandong dan beberapa pelabuhan

    di Tiongkok bagian utara seperti Jingtang dan Caofeidian masih melanjutkan

    pembatasan impor batubara. Selain faktor stok yang masih melimpah,

    penghentian impor ini berkaitan dengan pembatasan kuota impor batubara

    yang ditetapkan oleh Pemerintah Tiongkok sejak tahun 2017 demi melindungi

    produsen lokal. Untuk tahun 2019, kuota impor yang ditetapkan sebesar 280,8

    juta metrik ton atau sama dengan kuota tahun 2018. Hingga akhir semester

    pertama 2019, impor batubara Tiongkok telah mencapai 154 juta metrik ton

    atau naik 6,4 persen dibanding semester pertama 2018. Dengan demikian, kuota

    yang tersisa untuk semester kedua 2019 hanya sebesar 126,8 juta metriks ton

    sehingga penghentian impor menjadi hal yang wajar untuk memastikan kuota

    impor 2019 tidak terlampaui. Di sisi lain, produksi batubara domestik Tiongkok

    mengalami lonjakan yang signifikan. Pada Juni 2019, produksi batubara

    Tiongkok mencapai 333,35 juta metrik ton atau naik 10,4 persen dibandingkan

    dengan produksi pada periode yang sama tahun 2018, sementara sepanjang

    semester pertama 2019 produksi batubara Tiongkok telah mencapai 1,76 miliar

    ton atau naik 2,6 persen dibandingkan dengan semester pertama 2018.

    Dari dalam negeri, Kementerian ESDM menetapkan harga batubara acuan untuk

    bulan Agustus sebesar US$72,67 per ton, naik tipis dari bulan sebelumnya

    US$71,92 per ton. Kenaikan tersebut merupakan yang pertama terjadi di tahun

    2019 terutama dipengaruhi oleh kenaikan permintaan batubara berkalori

    menengah dan tinggi. Kementerian ESDM juga mencatat produksi batubara

    Indonesia ytd hingga awal Agustus mencapai 237,55 juta ton atau sekitar 48,51

    persen dari target produksi tahun ini yang mencapai 489,73 juta ton. Total

    produksi tersebut merupakan laporan dari pemegang Perjanjian Karya

    Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) serta Izin Usaha Pertambangan

    (IUP) Modal Asing namun belum menghitung produksi dari produsen batubara

    pemegang Izin Usaha Pertambangan di daerah.

    Dari komoditas CPO, harga CPO berjangka kontrak acuan di Bursa Malaysia

    Derivatives Exchange pekan lalu menguat sebesar 6,36 persen sekaligus

    mencatatkan penguatan mingguan dalam empat pekan berturut-turut.

    Gambar 7. Harga soft commodities: selain kakao, semua

    harga soft commodities menguat secara mingguan

    https://www.fxstreet.web.id/markets/commodities/energy/oil

  • Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 4

    KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL

    Harga CPO pekan lalu ditutup naik ke level 2.141 Ringgit/ton pada Jumat (09/08)

    dari penutupan pekan sebelumnya di level 2.013 Ringgit/ton. Penguatan harga

    CPO terutama terutama dipengaruhi oleh sentimen langkah Tiongkok yang

    menghentikan pembelian produk pertanian dari AS sebagai respon terhadap

    ancaman pengenaan tarif 10 persen terhadap produk impor dari Tiongkok

    senilai US$300 miliar oleh Presiden AS Donald Trump. Langkah Tiongkok ini

    berdampak serius terhadap harga produk kedelai AS yang merupakan produk

    subtitusi dari minyak sawit. Penghentian pembelian kedelai diperkirakan akan

    mendorong permintaan CPO oleh Tiongkok. Selain itu, otoritas Tiongkok juga

    berencana menghapus minyak sawit, minyak kedelai dan minyak lobak dari

    kuota tarif impornya. Kebijakan tersebut diperkirakan akan membuka potensi

    peningkatan ekspor untuk komoditas minyak sawit mentah dari Indonesia. Pada

    semester pertama 2019, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mencatat

    kinerja ekspor CPO Indonesia dan produk turunannya seperti biodiesel dan

    oleochemical hanya naik 10 persen, dari 15,30 juta ton pada semester I 2018

    menjadi 16,84.

    II. Pasar Keuangan Domestik

    Pekan lalu, IHSG tercatat melemah 0,92 persen secara mingguan ke level

    6.282,13 dengan investor nonresiden mencatatkan jual bersih dalam

    sepekan, imbal hasil SBN seri benchmark bergerak turun dengan posisi kepemilikan investor nonresiden mengalami penurunan, sementara nilai

    tukar Rupiah melemah 0,06 persen ke level Rp14.185 per US$.

    IHSG tercatat melemah 0,92 persen secara mingguan ke level 6.282,13 dan

    diperdagangkan di kisaran 6.022,60 – 6.319,44 pekan

    lalu. Investor nonresiden mencatatkan jual bersih sebesar Rp3,07 triliun

    sepanjang pekan lalu dan tercatat jual bersih sebesar Rp3,61 triliun mtd dan

    tercatat beli bersih sebesar Rp64,93 triliun secara ytd. Nilai rata-rata

    transaksi perdagangan harian selama sepekan terpantau turun ke ke level

    Rp8,63 triliun dari pekan sebelumnya yang sebesar Rp9,17 triliun.

    Dari pasar SBN, yield SUN seri benchmark bergerak turun dibandingkan

    posisi Jumat (02/08) dengan penurunan antara 18 hingga 30 bps.

    Berdasarkan data setelmen BI tanggal 9 Agustus 2019, kepemilikan investor

    nonresiden turun Rp13,72 triliun (1,35 persen) dibandingkan posisi Jumat

    (02/09) dari Rp1.019,36 triliun (39,33 persen) ke Rp1.005,64 triliun (38,74

    persen). Kepemilikan nonresiden naik Rp112,39 triliun (12,58 persen)

    secara year to date dan turun Rp7,40 triliun (0,73 persen) secara month to date.

    Nilai tukar Rupiah melemah sebesar 0,06 persen secara mingguan, secara

    mtd Rupiah terdepresiasi sebesar 1,21 persen dan menguat sebesar 1,38 persen

    secara ytd, berada di level Rp14.194 per US$ pada akhir perdagangan hari

    Jumat (09/08). Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah relatif meningkat selama

    sepekan, sebagaimana tercermin dari perkembangan spread harian antara

    nilai spot dan non deliverable forward 1 bulan yang bergerak dalam rentang

    Rp28 sampai Rp320 per US$, lebih tinggi dibanding spread Rp41 sampai Rp224

    per US$ pada pekan sebelumnya. Pekan lalu, Rupiah diperdagangkan di

    kisaran 14.175 – 14.360 per US$. Secara ytd, rata-rata penutupan harian Rupiah

    berada di level Rp14.171 per US$.

    III. Perekonomian Internasional

    Dari kawasan AS, data lowongan pekerjaan AS JOLTS bulan Juni 2019 tercatat turun menjadi 7.348 juta atau lebih rendah dari ekspektasi pasar sebelumnya sebesar 7.450 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan tenaga kerja menurun seiring dengan perekonomian yang melambat dan dapat memberikan alasan lain bagi Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga selanjutnya bulan depan.

    Dari kawasan Eropa Laporan ekonomi terbaru dari Inggris menunjukkan pemulihan yang cukup substansial di awal kuartal tiga tahun ini. Menurut laporan IHS Markit, hasil survei PMI untuk sektor konstruksi, jasa, dan manufaktur Inggris secara keseluruhan pulih dari 49,7 menjadi 50,7 pada periode Juli 2019. Secara khusus, PMI Jasa Inggris bahkan melonjak dari 50,2

    Gambar 9. Tekanan terhadap Rupiah relatif lebih tinggi

    dibanding pekan sebelumnya

    Gambar 8. Pasar Keuangan Indonesia sepekan: Rupiah

    terdepresiasi, IHSG melemah, yield SBN seri benchmark turun

    Gambar 10. Semua mata uang Asia yang diamati

    mengalami depresiasi terhadap Dollar AS secara

    mingguan kecuali Baht Thailand

  • Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 5

    KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL

    Gambar 12. RBI melakukan pemotongan suku bunga

    acuan untuk keempat kalinya dalam tahun ini sehingga

    tingkat repo acuan berada di level 5,40 persen

    Gambar 13. Perekonomian Indonesia tumbuh 5,05 persen

    pada Q2 2019

    menjadi 51,4 pada bulan Juli melampaui ekspektasi yang dipatok pada 50,4 sekaligus mencetak rekor tertinggi dalam sembilan bulan terakhir.

    Dari kawasan Asia Pasifik, Bank Sentral India (RBI) memangkas suku bunga acuan untuk keempat kalinya sepanjang tahun ini. Hal ini dilakukan saat India tengah berjuang mengatasi perlambatan ekonomi dan angka pengangguran yang tinggi. Tingkat repo acuan atau tingkat pinjaman kepada perbankan umum dipangkas 35 basis poin (bps) menjadi 5,40%. Penurunan itu menjadi level terendah sejak 2010. Penurunan permintaan domestik menghambat pertumbuhan ekonomi India, dengan realisasi 5,8% per kuartal II 2019. Adapun tingkat pengangguran pada periode tersebut mencapai level tertinggi sejak 1970. RBI juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi periode 2019-2020 dari 7,0% menjadi 6,9%.

    IV. Perekonomian Domestik

    Optimisme konsumen pada bulan Juli 2019 masih dalam level tinggi yakni di atas 100, namun lebih rendah dibandingkan dengan bulan Juni 2019 seiring dengan kondisi ekonomi ke depan yang diperkirakan melemah. Hasil survei konsumen Bank Indonesia pada Juli 2019 menyatakan bahwa Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juli 2019 tetap terjaga pada level optimis (di atas 100) yaitu sebesar 124,8, meskipun lebih rendah dibandingkan dengan IKK pada bulan sebelumnya sebesar 126,4. Berdasarkan komposisinya, Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) masih dalam tren melemah di level 111,2 pada Juli 2019, sedangkan bulan sebelumnya 114,7. Sementara Indeks Ekspansi Ekonomi (IEK) naik tipis dari 138,1 pada Juni 2019 menjadi 138,4 di bulan Juli.

    Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa Indonesia pad akhir bulan Juli 2019 mencapai US$125,9 miliar. Jumlah tersebut naik US$2,1 miliar dibanding Juni yang hanya US$123,8 miliar. Peningkatan cadangan devisa tersebut dipengaruhi oleh devisa migas dan valas lainnya dan terjadi karena penarikan utang luar negeri pemerintah. Cadangan tersebut setara dengan pembiayaan 7,3 bulan impor atau 7,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

    Pemerintah merelaksasi pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan bea masuk dan PPN maupun PPnBM bagi impor yang dilakukan oleh industri kecil dan menengah (IKM). Dalam beleid PMK No.110/PMK.04/2019 pemerintah menegaskan bahwa fasilitas fiskal berupa bea masuk, PPN maupun PPnBM tak hanya diberikan pada impor barang mesin tetapi juga diberikan bagi barang contoh yang digunakan untuk menunjang proses produksi yang hasil produksinya untuk tujuan ekspor. Adapun ketentuan mengenai IKM yang dapat memperoleh fasilitas fiskal tersebut diantaranya yaitu industri kecil yang memiliki nilai investasi maksimal Rp1 miliar di luar aset tanah dan bangunan.

    Rilis data terbaru oleh BPS menunjukkan ekonomi Indonesia Q2-2019 tumbuh 5,05 persen (yoy). Dari sisi produksi, pertumbuhan didorong oleh hampir semua lapangan usaha, dimana pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Jasa Lainnya yang tumbuh 10,73 persen. Dari sisi Pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nonprofit yang Melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT) yang tumbuh sebesar 15,27 persen. Ekonomi Indonesia Q2-2019 dibanding Q1-2019 meningkat sebesar 4,20 persen (qoq). Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku Q2-2019 mencapai Rp3.963,5 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.735,2 triliun.

    Survei Penjualan Eceran yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan penjualan eceran pada Juni 2019 menurun sejalan dengan kembali normalnya pola konsumsi masyarakat pasca bulan Ramadan dan perayaan Hari Raya Idulfitri. Hal ini tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) yang menurun 1,8 persen (yoy), dari IPR bulan sebelumnya yang tumbuh 7,7

    persen (yoy).

    Gambar 13. Inflasi Tiongkok bulan Maret 2019 tumbuh 2,3

    persen yoy atau yang tertinggi dalam 5 bulan

    Gambar 11. Survei PMI di Inggris menunjukkan

    pemulihan substansial, meskipun masih di zona kontraksi

    indeks PMI sektor konstruksi bergerak menguat ke level

    45,3 dari 43,1 pada bulan Juni

    Sumber: Trading Economics

  • Laporan Ekonomi Keuangan Mingguan / Weekly Report 6

    KEMENTERIAN KEUANGAN BADAN KEBIJAKAN FISKAL

    Sementara itu, neraca transaksi berjalan mencatatkan defisit

    sebesar US$8,4 miliar (3,0% PDB), melebar bila dibandingkan

    dengan Q1 2019 yang sebesar US$7 miliar (2,6% PDB).

    Pelebaran defisit transaksi berjalan tidak lepas dari penurunan

    kinerja transaksi barang, transaksi jasa dan pendapatan primer

    sementara pendapatan sekunder mencatatkan perbaikan

    kinerja.

    Meskipun masih mencatatkan surplus, neraca perdagangan

    mencatatkan penurunan net export dari US$1,2 miliar pada Q1

    menjadi US$0,2 miliar seiring (1) lebih rendahnya kinerja

    ekspor non migas seiring penurunan permintaan secara global

    dan harga komoditas yang lebih rendah serta, (2) kenaikan

    defisit neraca perdagangan migas menjadi US$3,2 miliar

    seiring kenaikan harga minyak dan kenaikan permintaan impor

    migas musiman periode Idul Fitri dan liburan sekolah.

    Di sisi lain, neraca jasa masih melanjutkan tren defisit

    sebagaimana kuartal-kuartal sebelumnya dengan total defisit

    yang sedikit melebar dari US$1,87 miliar pada Q1 menjadi

    US$1,96 miliar yang salah satunya dipengaruhi oleh

    menurunnya jasa perjalanan. Sementara itu, neraca

    pendapatan primer mencatatkan defisit tertinggi sepanjang

    sejarah di level US$8,7 miliar terutama disebabkan oleh

    repatriasi deviden dan bunga utang yang tinggi pada bulan

    Juni 2019. Terakhir, neraca pendapatan sekunder mencatatkan

    perbaikan kinerja dari surplus US$1,8 miliar pada Q1 menjadi

    US$2,1 miliar pada Q2.

    Sebagai kesimpulan, meskipun mencatatkan defisit pada Q2

    2019, kondisi neraca pembayaran Indonesia masih

    menggambarkan ketahanan sektor eksternal Indonesia

    Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Penyusun: Kindy Rinaldy Syahrir, Alfan Mansur, Pipin Prasetyono, Adya Asmara Muda, Nurul Fatimah, Indah Kurnia JE, Ari Nugroho Tajuk: Kindy Rinaldy Syahrir Sumber Data: Bloomberg, Reuters,

    CNBC, The Street, Investing, WSJ, CNN Money, Channel News Asia, BBC, New York Times, BPS, Kontan,

    IMF dan World Bank telah

    menutup Spring Meeting

    yang diselenggarakan

    sepanjang minggu lalu. Para

    pembuat kebijakan

    menyampaikan pesan

    mengenai kekhawatiran

    yang bercampur dengan

    optimisme prospek ekonomi

    ke depan. Para Menteri

    Keuangan dunia mengakhiri

    pembicaraan di Washington

    DC yang memadukan

    kekhawatiran terhadap

    keadaan ekonomi dunia

    yang bergerak melambat

    saat ini dengan keyakinan

    akan segera pulih.

    Pergeseran tren yang

    menjauh dari pengetatan

    kebijakan moneter oleh

    bank sentral, kebijakan

    stimulus baru-baru ini di

    Tiongkok dan meredanya

    ketegangan perdagangan

    menjadi harapan bahwa

    perlambatan ekonomi akan

    berlangsung tidak terlalu

    lama meskipun tidak ada

    yang memperkirakan

    momentum booming baru.

    Rally pasar saham yang kini

    terjadi cukup mengundang

    optimisme tentang prospek

    pertumbuhan untuk berbalik

    "menguat." Direktur

    Pelaksana IMF Christine

    Lagarde tetap

    memperingatkan dunia

    berada pada "saat yang

    Tajuk Minggu Ini:

    Neraca Pembayaran Q2 2019: Defisit US$ 2 Miliar

    Dalam rilis data oleh Bank Indonesia pada Jumat (09/08), neraca pembayaran Indonesia untuk Q2 2019 mencatatkan defisit sebesar

    US$2 miliar setelah dua kuartal sebelumnya mencatatkan surplus.

    Defisit tersebut disebabkan oleh peningkatan defisit pada neraca

    transaksi berjalan yang tidak mampu dibiayai oleh surplus pada

    neraca transaksi modal dan finansial.

    Meskipun mencatatkan defisit, satu catatan penting adalah

    terjaganya neraca transaksi modal dan finansial pada posisi surplus

    sebesar US$7,1 miliar ditopang oleh aliran masuk investasi langsung

    dan investasi portofolio. Sepanjang Q2, aliran masuk investasi

    langsung mencapai US$7,0 miliar, lebih tinggi dibanding kuartal

    sebelumnya sebesar US$6,1 miliar. Di sisi lain, aliran investasi

    portofolio sedikit turun dari US$5,3 miliar pada Q1 2019 menjadi

    US$4,5 miliar. Penurunan ini tidak lepas dari kondisi pasar keuangan

    global yang masih diliputi ketidakpastian seiring berbagai sentimen

    negatif seperti perang dagang dan perubahan arah kebijakan

    moneter di negara-negara maju.

    Kenaikan investasi langsung atau foreign direct investment (FDI)

    menjadi highlight utama dari neraca finansial. Secara nominal,

    realisasi investasi langsung pada Q2 2019 merupakan yang tertinggi

    sejak Q3 2016. Hal ini tidak lepas dari berbagai upaya yang ditempuh

    Pemerintah untuk menarik investasi, baik melalui kebijakan bersifat

    insentif maupun non insentif, serta perbaikan iklim usaha. Namun

    demikian, masih terdapat ruang yang luas untuk improvement

    mengingat OECD dalam laporan Regulatory Restrictiveness Index

    yang dirilis pada 8 Agustus 2019 menempatkan Indonesia sebagai

    salah satu negara dengan hambatan regulasi investasi langsung

    tertinggi, yaitu di peringkat 67 dari 69 negara.

    Pengarah: Kepala Badan Kebijakan Fiskal Penanggung Jawab: Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Penyusun: Alfan Mansur, Pipin Prasetyono, Adya Asmara Muda, Nurul Fatimah, Indah Kurnia JE, Ari Nugroho Sumber Data: Bloomberg, Reuters, CNBC, The Street, Investing, WSJ, CNN Money, Channel News Asia, BBC, New York Times, BPS, Kontan, Kompas, Media Indonesia, Tempo, Antara News Dokumen ini disusun hanya sebatas sebagai informasi. Semua hal yang relevan telah dipertimbangkan untuk memastikan informasi ini benar, tetapi tidak ada jaminan bahwa informasi tersebut akurat dan lengkap serta tidak ada

    kewajiban yang timbul terhadap kerugian yang terjadi atas tindakan yang dilakukan dengan mendasarkan pada laporan ini. Hak cipta Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan.

    sekaligus positifnya kepercayaan investor,

    tidak hanya terhadap kondisi perekonomian

    Indonesia terkini namun juga prospeknya di

    masa depan. Ke depan, neraca transaksi

    berjalan akan semakin membaik seiring

    dengan nilai tukar Rupiah yang lebih stabil dan

    FDI yang masih berpotensi untuk terus

    meningkat. Terdapat setidaknya empat alasan

    bahwa aliran FDI akan terus meningkat, yaitu

    (1) stabilitas poliitik yang semakin kondusif, (2)

    regulasi yang lebih business friendly, (3)

    permintaan domestik yang robust dan (4)

    tingkat suku bunga yang lebih rendah.

    Gambar 14. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia

    Sumber: Bank Indonesia