gaya personal trump disamakan dengan dutertegelora45.com/news/sp_20161112_03.pdf · telegraph...

1
3 Suara Pembaruan Sabtu-Minggu, 12-13 November 2016 Utama [WASHINGTON] Terpilihnya Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-45 seolah membenarkan tren baru di dunia politik, bahwa pemilih lebih tertarik dengan sosok pemimpin yang tegas dan vokal, bahkan cenderung kasar. Meskipun publik di selu- ruh dunia menjulukinya figur yang kontroversial, hasil survei BBC menunjukkan rakyat AS memilih Trump bukan karena kerap memun- culkan kontroversi dengan pernyataan kasar atau sindir- an, melainkan karena latar belakangnya yang bukan politikus. Selain itu, tentu saja program kerjanya diya- kini yang lebih menjanjikan perubahan dibandingkan Hillary Clinton. Beberapa pemilih yang diwawancara BBC saat hari pemilihan, mengungkapkan, mereka memilih Trump karena muak dengan politisi yang kerap menebar janji, namun manipulatif. Mereka juga menilai Trump bukan dari dinasti politisi AS, seperti klan Bush, Clinton, atau Kennedy, sehingga kepemimpinannya diyakini akan membawa warna baru dan perubahan signifikan bagi AS. “Dia membawa energi kembali ke masyarakat AS. Kami menginginkan seseo- rang yang tidak terhubung dengan pemerintahan saat ini, atau dari klan politisi,” kata Linda Callahan, dari Florida. Sejumlah pemilih lainnya menilai, latar belakang Trump yang seorang pengusaha dan manager andal, dapat mem- buatnya membawa perubah- an pada sistem pemerintahan AS yang sarat kepentingan politik. Ada juga yang ber- harap, keahlian Trump akan membawa warga AS keluar dari tekanan ekonomi. Meskipun kerap menge- luarkan pernyataan rasis, bahkan terkesan anti-Islam, sejumlah komunitas Islam, Hindu, dan Sikh, justru men- dukung Trump dibandingkan Hillary. Saat Trump meme- nangkan pemilihan dini di sejumlah negara bagian, BBC menemukan bahwa sejumlah komunitas Muslim, Hindu, dan Sikh turut berkampanye untuk kemenangannya. Pendiri kelompok Muslim, Sajid Tarar, seorang Amerika keturunan Pakistan, menga- takan, ia sepenuhnya men- dukung pernyataan Trump tentang membatasi masuknya imigran Muslim khususnya dari negara-negara sumber konflik seperti Suriah dan Irak. “Saya warga Amerika dan saya percaya apa yang disampaikan Trump, karena dia menempatkan kepenting- an dan keselamatan Amerika yang utama, bukan untuk permisif dengan tekanan dunia,” kata Tarar. Mirip Duterte Namun, bagi sebagian kalangan, Trump tetaplah figur kontroversial. Tak heran, kemenangannya seolah men- jadi peneguhan bahwa masyarakat menyukai model pemimpin yang kontroversi- al. Sejumlah pengamat juga menghubungkan gaya keras Trump dan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, yang mena- rik bagi para pemilih. Sama seperti Trump, hasil sebuah survei menunjukkan Duterte dipilih bukan karena sikapnya yang kontroversial, melainkan karena sikap tegasnya dalam memimpin. Hal itu sudah terbukti mem- bawa perubahan yang signi- fikan, khususnya dalam memberantas korupsi dan kriminal di Kota Davao, saat dia menjabat menjadi wali kota. “Rakyat Filipina lelah dengan kata-kata manis politisi, namun tak ada yang seberani Duterte untuk memberantas korupsi dan kriminal. Itu yang mem- buat rakyat Filipina mendu- kungnya, bahkan membela dia saat ditekan AS,” demi- kian laporan Inquire. Menanggapi banyak pihak yang menyandingkan gara personal dirinya dengan Trump, Duterte merendah, “Saya hanyalah sebuah molekul kecil di planet ini. Dia (Trump), kini presiden negara yang paling kuat di dunia. Saya hanya seorang presiden yang bertahan di atas ombak,” sebagaimana dikutip ABS-CBN News, baru-baru ini. Duterte, yang pernah menyejajarkan dirinya dengan Hitler dalam rekor membu- nuh, berujar, dirinya dan Trump adalah pemimpin yang sama-sama memiliki hasrat untuk melayani rakyat di negara masing-masing. Pemimpin Filipina itu meng- ungkapkan keyakinan bahwa Washington akan tetap men- jadi teman dan sekutu Manila, di bawah kepemimpinan Trump. The Washington Post, pernah menjuluki Duterte sebagai “Trump dari Filipina” atau “Trump dari Timur”. Namun, hal itu dibantah keras oleh Duterte dengan mengatakan bahwa dia jelas lebih ekstrem dari Trump, namun tidak fanatik seperti miliarder kontrover- sial itu. Tom Smith dari The Telegraph mengulas bebera- pa perbedaan mendasar antara Trump dan Duterte. Dia bahkan secara terang-te- rangan mengatakan bahwa tak pantas menyamakan Trump dengan Duterte. “Duterte mungkin memi- liki karakter yang sama karena bermulut tajam dan populis, namun Trump dipo- les oleh tim kampanye dan media, sedangkan Duterte memiliki karisma untuk mempesona orang dengan kata-katanya meskipun kasar,” kata Smith, dalam ulasan The Telegraph, Mei lalu. Dia mengungkapkan, perbedaan yang sangat jelas dari keduanya juga terlihat dari latar belakang atau rekam jejak karier politik keduanya. Trump buka seorang politisi melainkan pengusaha yang mencoba terjun ke dunia politik dengan menjadi capres Partai Republik. Di sisi lain, Duterte ada- lah politikus terlatih, di mana keluarganya sedang mengem- bangkan klan politik yang kuat di Filipina. Jika Trump masih menebar janji-janji, Duterte tinggal mencontoh kebijakan yang dibuatnya saat menjadi Wali Kota Davao dalam memimpin Filipina ke depan. “Pendukung Trump bah- kan lawan politiknya masih meraba-raba bagaimana gaya kepemimpinan Trump jika nanti terpilih sebagai presiden. Tapi tidak dengan pendukung Duterte. Mereka sudah meli- hat kerja nyatanya saat menjadi Wali Kota Davao, sehingga kata-kata kasarnya, bahkan sikap diktatornya tidak membuat mereka kehi- langan kepercayaan terhadap kapabilitasnya untuk mem- bawa perubahan yang lebih besar bagi Filipina,” kata Smith. [U-5/BBC/CBN News/J-9] Publik Jenuh dengan Kepemimpinan Dinasti Politik Gaya Personal Trump Disamakan dengan Duterte [JAKARTA] Sosiolog dari Universitas Nasional Jakarta, Sigit Rochadi menilai terpilihnya figur kontroversial, seperti Donald Trump, secara sosiologis karena ada kehen- dak dari masyarakat asli AS yang ingin mengembalikan kejayaan masa lalunya. Kejayaan dimaksud, mencakup dipulihkannya peran masyarakat kulit putih di sektor ekonomi dan politik. Pasalnya, penduduk asli yang berusia 50 tahun yang tinggal di pedesaan, mulai resah dengan perubahan yang terjadi di AS. Lapangan kerja diambil alih imigran Meksiko, Amerika Latin, dan Afrika. Kemudian muncul kelompok-kelompok Islam dari Timur Tengah yang mengambil alih porsi ekonomi. “Mereka menentukan pilih- an seperti ini karena masuknya imigran yang membuat pendu- duk asli AS tersisih dan disingkir- kan. Padahal mereka merasa sebagai pewaris yang sah di nega- ra itu. Maka mereka memilih pemimpin yang bisa mengembali- kan kejayaan,” jelasnya, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (12/11). Menurut Sigit, fenomena yang terjadi di AS dan Filipina, kemung- kinan akan terjadi di Jerman. Pasalnya, Jerman sedang mengha- dapi kondisi yang sama, yakni hadirnya imigran, selain mengam- bil alih sektor ekonomi, juga mendominasi bidang sosial dan politik. Sigit menyebutkan, di AS, kehidupan politik mulai diisi orang bukan asli, seperti Barack Obama, dan beberapa kota yang dipimpin oleh warga keturunan Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. “Ini membuat generasi tua kulit putih merasa khawatir masa depan AS di bawah Partai Demokrat akan tidak jelas, tidak ada identitas bagi AS. Maka, meski Trump hadir dengan penuh kontroversi, dia tetap menjadi harapan, khususnya warga asli AS,” ujarnya. Moralitas Rendah Menurut Sigit, Trump merupa- kan pemimpin AS pertama yang memenangkan pemilu dengan moralitas buruk. Sebelumnya, warga AS memilih capres yang memiliki moralitas tinggi. Sedangkan, Trump dicurigai tidak taat pajak, tidak menghormati HAM, dan meren- dahkan martabat perempuan. “Namun karena besarnya kei- nginan mengembalikan kejayaan, Trump menjadi pilihan. Sebab kelompok tua menilai pemerintah saat ini terlalu lemah menghadapi imigran. Ini perubahan original yang nyata. Kelompok konservatif bang- kit ingin mengembalikan kejayaan di masa lalu,” ujarnya. Senada dengan itu, sosiolog dari UGM Sunyoto Usman meni- lai, rakyat AS yang mendukung Trump yakin, dia mampu mengem- balikan kejayaan AS. Secara terpisah, psikolog poli- tik Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, publik AS melihat Hillary tidak terlalu meya- kinkan dan dipandang masyarakat sebagai bagian dari rezim lama. Hamdi menjelaskan, dunia melihat Trump seorang yang kon- troversial dan menampilkan sikap negatif yang menyuarakan keben- cian terkait ras dan agama. Namun, ada spekulasi yang menganggap hal itu hanya cara tampilan untuk membuat kampanyenya unik dan mudah diingat. “Ternyata faktanya dia lebih populer. Ada orang yang putus asa dengan Demokrat karena ekonomi melambat,” jelasnya. Ia berpandangan, Trump yang berlatar belakang pengusaha sukses, bisa mudah bernegosiasi dengan negara lain. Dengan alasan ekono- mi dapat menciptakan win-win solution dan tidak ingin merugikan ekonomi AS. “Hanya yang dikha- watirkan, provokasinya dapat menyulut ketegangan hubungan internasional,” katanya. Psikolog Universitas Airlangga Cholicul Hadi melihat ada kekha- watiran yang berlebihan atas ter- pilihnya Trump. Ia menyatakan, AS telah memiliki kepastian hukum dan politik. “Masyarakat dunia pun memi- liki harapan pada mereka selaku negara besar. Teori jejaring global tentu tidak terlepas dari politik, kebijakan dan hukum,” katanya. [FAT/R-15] Keresahan Warga Asli AS Dorong Kemenangan Trump

Upload: habao

Post on 14-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3Sua ra Pem ba ru an Sabtu-Minggu, 12-13 November 2016 Utama

[ W A S H I N G T O N ] Terpilihnya Donald Trump menjadi presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-45 seolah membenarkan tren baru di dunia politik, bahwa pemilih lebih tertarik dengan sosok pemimpin yang tegas dan vokal, bahkan cenderung kasar.

Meskipun publik di selu-ruh dunia menjulukinya figur yang kontroversial, hasil survei BBC menunjukkan rakyat AS memilih Trump bukan karena kerap memun-culkan kontroversi dengan pernyataan kasar atau sindir-an, melainkan karena latar belakangnya yang bukan politikus. Selain itu, tentu saja program kerjanya diya-kini yang lebih menjanjikan perubahan dibandingkan Hillary Clinton.

Beberapa pemilih yang diwawancara BBC saat hari pemilihan, mengungkapkan, mereka memilih Trump karena muak dengan politisi yang kerap menebar janji, namun manipulatif. Mereka juga menilai Trump bukan dari dinasti politisi AS, seperti klan Bush, Clinton, atau Kennedy, sehingga kepemimpinannya diyakini akan membawa warna baru dan perubahan signifikan bagi AS.

“Dia membawa energi kembali ke masyarakat AS. Kami menginginkan seseo-rang yang tidak terhubung dengan pemerintahan saat ini, atau dari klan politisi,” kata Linda Callahan, dari Florida.

Sejumlah pemilih lainnya menilai, latar belakang Trump yang seorang pengusaha dan manager andal, dapat mem-buatnya membawa perubah-an pada sistem pemerintahan AS yang sarat kepentingan

politik. Ada juga yang ber-harap, keahlian Trump akan membawa warga AS keluar dari tekanan ekonomi.

Meskipun kerap menge-luarkan pernyataan rasis, bahkan terkesan anti-Islam, sejumlah komunitas Islam, Hindu, dan Sikh, justru men-dukung Trump dibandingkan Hillary. Saat Trump meme-nangkan pemilihan dini di sejumlah negara bagian, BBC menemukan bahwa sejumlah komunitas Muslim, Hindu, dan Sikh turut berkampanye untuk kemenangannya.

Pendiri kelompok Muslim, Sajid Tarar, seorang Amerika keturunan Pakistan, menga-takan, ia sepenuhnya men-dukung pernyataan Trump tentang membatasi masuknya imigran Muslim khususnya dari negara-negara sumber konflik seperti Suriah dan Irak. “Saya warga Amerika dan saya percaya apa yang disampaikan Trump, karena dia menempatkan kepenting-an dan keselamatan Amerika yang utama, bukan untuk permisif dengan tekanan dunia,” kata Tarar.

Mirip DuterteNamun, bagi sebagian

kalangan, Trump tetaplah figur kontroversial. Tak heran, kemenangannya seolah men-jadi peneguhan bahwa masyarakat menyukai model pemimpin yang kontroversi-al. Sejumlah pengamat juga menghubungkan gaya keras Trump dan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, yang mena-rik bagi para pemilih.

Sama seperti Trump, hasil sebuah survei menunjukkan Duterte dipilih bukan karena sikapnya yang kontroversial, melainkan karena sikap tegasnya dalam memimpin. Hal itu sudah terbukti mem-

bawa perubahan yang signi-fikan, khususnya dalam memberantas korupsi dan kriminal di Kota Davao, saat dia menjabat menjadi wali kota.

“Rakyat Filipina lelah dengan kata-kata manis p o l i t i s i , namun

tak ada yang seberani Duterte untuk memberantas korupsi dan kriminal. Itu yang mem-buat rakyat Filipina mendu-kungnya, bahkan membela dia saat ditekan AS,” demi-kian laporan Inquire.

Menanggapi banyak pihak yang menyandingkan gara personal dirinya dengan

Trump, Duterte merendah, “Saya hanyalah sebuah molekul kecil di planet ini. Dia (Trump), kini presiden negara yang paling kuat di dunia. Saya hanya seorang presiden yang bertahan di atas ombak,” sebagaimana dikutip ABS-CBN News, baru-baru ini.

Duterte, yang pernah menyejajarkan dirinya dengan Hitler dalam rekor membu-nuh, berujar, dirinya dan Trump adalah pemimpin yang sama-sama memiliki hasrat untuk melayani rakyat di negara masing-masing. Pemimpin Filipina itu meng-ungkapkan keyakinan bahwa

Washington akan tetap men-jadi teman dan sekutu Manila, di bawah kepemimpinan Trump.

The Washington Post, pernah menjuluki Duterte sebagai “Trump dari Filipina” atau “Trump dari Timur”.

N a m u n , hal itu

dibantah keras oleh Duterte dengan mengatakan bahwa dia jelas lebih ekstrem dari Trump, namun tidak fanatik seperti miliarder kontrover-sial itu.

Tom Smith dari The Telegraph mengulas bebera-pa perbedaan mendasar antara Trump dan Duterte.

Dia bahkan secara terang-te-rangan mengatakan bahwa tak pantas menyamakan Trump dengan Duterte.

“Duterte mungkin memi-liki karakter yang sama karena bermulut tajam dan populis, namun Trump dipo-les oleh tim kampanye dan media, sedangkan Duterte memiliki karisma untuk mempesona orang dengan kata-katanya meskipun kasar,” kata Smith, dalam ulasan The Telegraph, Mei lalu.

Dia mengungkapkan, perbedaan yang sangat jelas dari keduanya juga terlihat dari latar belakang atau rekam jejak karier politik keduanya. Trump buka seorang politisi melainkan pengusaha yang mencoba terjun ke dunia politik dengan menjadi capres Partai Republik.

Di sisi lain, Duterte ada-lah politikus terlatih, di mana keluarganya sedang mengem-bangkan klan politik yang kuat di Filipina. Jika Trump masih menebar janji-janji, Duterte tinggal mencontoh kebijakan yang dibuatnya saat menjadi Wali Kota Davao dalam memimpin Filipina ke depan.

“Pendukung Trump bah-kan lawan politiknya masih meraba-raba bagaimana gaya kepemimpinan Trump jika nanti terpilih sebagai presiden. Tapi tidak dengan pendukung Duterte. Mereka sudah meli-hat kerja nyatanya saat menjadi Wali Kota Davao, sehingga kata-kata kasarnya, bahkan sikap diktatornya tidak membuat mereka kehi-langan kepercayaan terhadap kapabilitasnya untuk mem-bawa perubahan yang lebih besar bagi Filipina,” kata Smith. [U-5/BBC/CBN News/J-9]

Publik Jenuh dengan Kepemimpinan Dinasti PolitikGaya Personal Trump Disamakan dengan Duterte

[JAKARTA] Sosiolog dari Universitas Nasional Jakarta, Sigit Rochadi menilai terpilihnya figur kontroversial, seperti Donald Trump, secara sosiologis karena ada kehen-dak dari masyarakat asli AS yang ingin mengembalikan kejayaan masa lalunya. Kejayaan dimaksud, mencakup dipulihkannya peran masyarakat kulit putih di sektor ekonomi dan politik.

Pasalnya, penduduk asli yang berusia 50 tahun yang tinggal di pedesaan, mulai resah dengan perubahan yang terjadi di AS. Lapangan kerja diambil alih imigran Meksiko, Amerika Latin, dan Afrika. Kemudian muncul kelompok-kelompok Islam dari Timur Tengah yang mengambil alih porsi ekonomi.

“Mereka menentukan pilih-an seperti ini karena masuknya imigran yang membuat pendu-

duk asli AS tersisih dan disingkir-kan. Padahal mereka merasa sebagai pewaris yang sah di nega-ra itu. Maka mereka memilih pemimpin yang bisa mengembali-kan kejayaan,” jelasnya, saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (12/11).

Menurut Sigit, fenomena yang terjadi di AS dan Filipina, kemung-kinan akan terjadi di Jerman. Pasalnya, Jerman sedang mengha-dapi kondisi yang sama, yakni hadirnya imigran, selain mengam-bil alih sektor ekonomi, juga mendominasi bidang sosial dan politik.

Sigit menyebutkan, di AS, kehidupan politik mulai diisi orang bukan asli, seperti Barack Obama, dan beberapa kota yang dipimpin oleh warga keturunan Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. “Ini membuat generasi tua kulit putih merasa khawatir masa depan AS di bawah

Partai Demokrat akan tidak jelas, tidak ada identitas bagi AS. Maka, meski Trump hadir dengan penuh kontroversi, dia tetap menjadi harapan, khususnya warga asli AS,” ujarnya.

Moralitas RendahMenurut Sigit, Trump merupa-

kan pemimpin AS pertama yang memenangkan pemilu dengan moralitas buruk. Sebelumnya, warga AS memilih capres yang memiliki moralitas tinggi. Sedangkan, Trump dicurigai tidak taat pajak, tidak menghormati HAM, dan meren-dahkan martabat perempuan.

“Namun karena besarnya kei-nginan mengembalikan kejayaan, Trump menjadi pilihan. Sebab kelompok tua menilai pemerintah saat ini terlalu lemah menghadapi imigran. Ini perubahan original yang nyata. Kelompok konservatif bang-

kit ingin mengembalikan kejayaan di masa lalu,” ujarnya.

Senada dengan itu, sosiolog dari UGM Sunyoto Usman meni-lai, rakyat AS yang mendukung Trump yakin, dia mampu mengem-balikan kejayaan AS.

Secara terpisah, psikolog poli-tik Universitas Indonesia Hamdi Muluk mengatakan, publik AS melihat Hillary tidak terlalu meya-kinkan dan dipandang masyarakat sebagai bagian dari rezim lama.

Hamdi menjelaskan, dunia melihat Trump seorang yang kon-troversial dan menampilkan sikap negatif yang menyuarakan keben-cian terkait ras dan agama. Namun, ada spekulasi yang menganggap hal itu hanya cara tampilan untuk membuat kampanyenya unik dan mudah diingat.

“Ternyata faktanya dia lebih populer. Ada orang yang putus asa

dengan Demokrat karena ekonomi melambat,” jelasnya.

Ia berpandangan, Trump yang berlatar belakang pengusaha sukses, bisa mudah bernegosiasi dengan negara lain. Dengan alasan ekono-mi dapat menciptakan win-win solution dan tidak ingin merugikan ekonomi AS. “Hanya yang dikha-watirkan, provokasinya dapat menyulut ketegangan hubungan internasional,” katanya.

Psikolog Universitas Airlangga Cholicul Hadi melihat ada kekha-watiran yang berlebihan atas ter-pilihnya Trump. Ia menyatakan, AS telah memiliki kepastian hukum dan politik.

“Masyarakat dunia pun memi-liki harapan pada mereka selaku negara besar. Teori jejaring global tentu tidak terlepas dari politik, kebijakan dan hukum,” katanya. [FAT/R-15]

Keresahan Warga Asli AS Dorong Kemenangan Trump