perkembangan islam tiongkok

29
http://arisheruutomo.com/2013/09/03/periode-awal-perkembangan-islam- di-tiongkok/ Masyarakat Tiongkok sudah sejak lama dikenal sebagai bangsa yang telah mencapai peradaban yang amat tinggi dan menguasai kekayaan ilmu pengetahuan. Sejak ratusan tahun sebelum Masehi, masyarakat Tiongkok diketahui telah menguasai ilmu kesehatan tradisional, produksi kertas dan bubuk mesiu yang menjadi cikal bakal pembuatan bom atau senjata peledak seperti yang dikenal saat ini. Tidak mengherankan jika dalam upaya mengembangkan dan membangun Islam, Rasullulah Muhammad SAW pernah menyerukan kepada umatnya untuk belajar sampai ke negeri Tiongkok. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah sejak kapankah Islam masuk ke Tiongkok dan siapakah yang membawanya? Guna menjawab pertanyaan tersebut, para sejarawan melakukan serangkaian penelitian untuk memperoleh penjelasan dan bukti-bukti sejarah mengenai kehadiran Islam di Tiongkok. Dari sekian banyak penelitian sejarah yang dilakukan, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan ahli sejarah kontemporer Chen Yuan terhadap dua buku yang berasal dari masa Dinasti Tang yaitu “Sejarah Tang” dan “Cefu Yuangui (Buku Pertunjuk)” (“Islam in China” oleh Mi Shoujiang dan You Jia, China Interncontinental Press, 2004) Menurut Chen Yuan, dalam kedua buku tersebut dikatakan bahwa “Pada tahun kedua pemerintahan Kaisar Gaozong Yonghui dari Dinasti Tang atau tahun 651 M, Khalifah ketiga Arab yang bernama Utsman (berkuasa pada tahun 644-656 M) mengirim utusan diplomatik ke Chang’an, ibu kota Tang, untuk melakukan kunjungan resmi kepada Kaisar Gaozong guna memperkenalkan kekhalifahan dan adat istiadatnya serta Islam”. Dalam perkembangannya kemudian diketahui bahwa Islam masuk ke Tiongkok melalui jalur laut dan darat yang kemudian dikenal sebagai jalur sutera. Jalur laut dimulai dari Teluk Persia dan Laut Arab melalui Teluk Bangladesh, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan hingga ke Guangzhou, Quanzhou dan Yangzhou. Delegasi pertama asal Arab yang singgah di Tiongkok melalui jalur sutera laut adalah utusan

Upload: erick-devanda

Post on 29-Sep-2015

243 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sejarah perkembangan islam dunia

TRANSCRIPT

http://arisheruutomo.com/2013/09/03/periode-awal-perkembangan-islam-di-tiongkok/

Masyarakat Tiongkok sudah sejak lama dikenal sebagai bangsa yang telah mencapai peradaban yang amat tinggi dan menguasai kekayaan ilmu pengetahuan. Sejak ratusan tahun sebelum Masehi, masyarakat Tiongkok diketahui telah menguasai ilmu kesehatan tradisional, produksi kertas dan bubuk mesiu yang menjadi cikal bakal pembuatan bom atau senjata peledak seperti yang dikenal saat ini. Tidak mengherankan jika dalam upaya mengembangkan dan membangun Islam, Rasullulah Muhammad SAW pernah menyerukan kepada umatnya untuk belajar sampai ke negeri Tiongkok.

Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah sejak kapankah Islam masuk ke Tiongkok dan siapakah yang membawanya? Guna menjawab pertanyaan tersebut, para sejarawan melakukan serangkaian penelitian untuk memperoleh penjelasan dan bukti-bukti sejarah mengenai kehadiran Islam di Tiongkok. Dari sekian banyak penelitian sejarah yang dilakukan, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan ahli sejarah kontemporer Chen Yuan terhadap dua buku yang berasal dari masa Dinasti Tang yaitu Sejarah Tang dan Cefu Yuangui (Buku Pertunjuk) (Islam in China oleh Mi Shoujiang dan You Jia, China Interncontinental Press, 2004)

Menurut Chen Yuan, dalam kedua buku tersebut dikatakan bahwa Pada tahun kedua pemerintahan Kaisar Gaozong Yonghui dari Dinasti Tang atau tahun 651 M, Khalifah ketiga Arab yang bernama Utsman (berkuasa pada tahun 644-656 M) mengirim utusan diplomatik ke Changan, ibu kota Tang, untuk melakukan kunjungan resmi kepada Kaisar Gaozong guna memperkenalkan kekhalifahan dan adat istiadatnya serta Islam.

Dalam perkembangannya kemudian diketahui bahwa Islam masuk ke Tiongkok melalui jalur laut dan darat yang kemudian dikenal sebagai jalur sutera. Jalur laut dimulai dari Teluk Persia dan Laut Arab melalui Teluk Bangladesh, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan hingga ke Guangzhou, Quanzhou dan Yangzhou. Delegasi pertama asal Arab yang singgah di Tiongkok melalui jalur sutera laut adalah utusan diplomatik dari Khalifah Utsman bin Affan yang dipimpin oleh paman Rasullulah Muhammad SAW yang bernama Saad bin Abi Waqqas. Utusan diplomatik ini berlabuh di pelabuhan Guangzhou (orang Arab menyebutnya Kanfu) pada tahun 651 M.

Sementara para pedagang Muslim yang memasuki Tiongkok lewat jalan darat, melakukannya dengan menempuh perjalanan panjang mulai dari wilayah Barat (sebutan yang diberikan pada masa Dinasti Han bagi daerah di kawasan Xinjiang dan Asia Tengah) melewati Persia, Afghanistan, Asia Tengah, pegunungan Tianshan dan koridor Hexi hingga ke Changan, ibu kota Tang. Menurut catatan yang terdapat dalam buku Zi Zhi Tonb Jin (sejarah sebuah kaca), pada masa Dinasti Tang tersebut terdapat lebih dari 4.000 pedagang asing melakukan kegiatan dagang di Changan.

Kedatangan utusan diplomatik dan misi dagang Muslim ke Tiongkok disambut baik oleh pemerintah dan masyarakat Tiongkok yang ingin membina hubungan antara pemerintah dan masyarakat Kerajaan Tengah (julukan untuk Tiongkok) dengan masyarakat luar. Keberadaan mereka pun sesungguhnya tidak mengagetkan masyarakat Tiongkok sudah mengetahui terlebih dahulu keberadaan Islam di Timur Tengah dan bahkan menyebut pemerintahan Rasullulah Muhammad SAW sebagai Al-Madinah, serta menyebut Islam dengan Yisilan Jiao, yang berarti agama yang murni dan menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran Buddha Ma-hia-wu, Rasullulah Muhammad SAW.

Selain lewat para pedagang Arab dan Persia, dalam kurun waktu 148 tahun (651-798 M), Islam juga diperkenalkan oleh para tentara Arab yang datang ke Tiongkok karena diminta untuk membantu meredam pemberontakan yang kerap terjadi di masa-masa akhir pemerintahan Dinasti Tang pada sekitar tahun 755 M. Usai memadamkan pemberontakan, Kaisar Zongyun yang berkuasa saat itu mengijinkan para tentara Arab tinggal secara tetap.

Dalam perkembangannya pula, utusan diplomatik dan para pedagang Arab dan Persia serta para tentara yang memilih untuk menetap di Tiongkok ini, setelah menikah dengan wanita setempat, berkembang dan membentuk kelompok masyarakat sendiri yang tetap menjaga agama dan adat istiadat yang dibawanya.

Pendatang Muslim yang sudah menetap di Tiongkok ini kemudian dinamakan sebagai Zhu Tang (kurang lebih berarti orang asing yang tinggal di Tiongkok). Sedangkan keturunannya disebut sebagai Fan Ke (orang asing yang beragama Islam). Mereka tinggal di kota-kota besar dan pelabuhan sepanjang jalur komunikasi antar kota. Guna menjalankan syariat agama, mereka pun kemudian membangun tempat ibadah berupa masjid dan tinggal di kawasan sekitarnya. Salah satu masjid pertama yang dibangun dan hingga kini masih berdiri adalah masjid Huaisheng di Guangzhou yang dibangun pada masa Dinasti Tang.

Berada di kawasan padat penduduk, masjid Huaisheng masih berdiri kokoh dan berfungsi sebagai tempat ibadah umat Muslim di Guangzhou. Beberapa bagian masjid seperti menara dan pintu gerbang yang sudah berusia ratusan tahun terlihat masih utuh, sedangkan bangunan utama masjid sudah mengalami perbaikan dari waktu ke waktu.

http://senyumislam.wordpress.com/tag/cina/Cina yang sebelumnya terkenal dengan nama RRC (Republik Rakyat China ) terletak di wilayah Asia Timur berbatasan dengan 14 negara tetangga Korea Utara, Mongolia, Rusia, Vietnam, Laos, Birma, India, Bhutan, Nepal, Pakistan dan negara-negara lainnya. Agama Islam telah tersebar di China selama lebih 1300 tahun.

Di China, terdapat 10 suku bangsa yang beragama Islam, termasuk etnik Huizu, Uygur, Kazakh, Kirgiz, Tajik, Uzbek, Tatar dan lain-lainnya. Penduduk Islam tinggal di merata tempat di seluruh China, terutamanya di bagian barat laut China, termasuk provinsi Gansu, Qinghai, Shanxi, Wilayah Autonomi Xinjiang dan Wilayah Autonomi Ningxia. Agama Islam sudah tidak asing bagi penduduk di negara ini. Ia telah menjadi salah satu agama yang penting di China.

Terdapat beberapa versi hikayat tentang awal mula Islam bersemi di dataran Cina. Versi pertama menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina dibawa para sahabat Rasul yang hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia). Sahabat Nabi hijrah ke Ethopia untuk menghindari kemarahan dan amuk massa kaum Quraish jahiliyah. Mereka antara lain : Ruqayyah (anak perempuan Nabi), Ustman bin Affan (suami Ruqayyah), Saad bin Abi Waqqas (paman Rasulullah SAW) dan sejumlah sahabat lainnya.

Para sahabat yang hijrah ke Etopia itu mendapat perlindungan dari Raja Atsmaha Negus di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap dan tak kembali ke tanah Arab. Konon, mereka inilah yang kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada saat Dinasti Sui berkuasa (581 M 618 M).

Sumber lainnya menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina ketika Saad Abi Waqqas dan tiga sahabatnya berlayar ke Cina dari Ethopia pada tahun 616 M. Setelah sampai di Cina, Saad kembali ke Arab dan 21 tahun kemudian kembali lagi ke Guangzhou membawa kitab suci Alquran. Ada pula yang menyebutkan, ajaran Islam pertama kali tiba di Cina pada 615 M kurang lebih 20 tahun setelah Rasulullah SAW tutup usia. Adalah Khalifah Utsman bin Affan yang menugaskan Saad bin Abi Waqqas untuk membawa ajaran Illahi ke daratan Cina. Konon, Saad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys Mazars.

Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang pada tahun 651 M. Kaisar pun lalu memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid Memorial di Canton masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Ketika Dinasti Tang berkuasa, Cina tengah mencapai masa keemasan dan menjadi kosmopolitan budaya. Sehingga, dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.

Pada zaman Dinasti Song, agama Islam dianggap lebih mulia oleh rakyat China, agama Islam telah mulai berkembang di China dan kawasan kediaman penduduk beragama Islam lebih luas. Banyak orang asing yang beragama Islam tinggal di bandar Guangzhou di provinsi Guangdong dan bandar Quanzhou di provinsi Fujian secara berkumpulan. Masjid pada zaman Dinasti Song yang masih ada sekarang sudah tidak banyak, yang paling terkenal ialah masjid Qing Jing Si dibandar Quanzhou.

Zaman Dinasti Yuan merupakan zaman yang paling penting bagi perkembangan agama Islam di China, karena Agama Islam di China berkembang paling pesat dan paling makmur pada zaman itu dan mempunyai kedudukan yang penting, arena politik dan kehidupan masyarakat. Penduduk yang menganut agama Islam bertambah pesat, dan warga Islam China banyak mengadakan perhubungan dengan dunia Arab. Masjid di China pada zaman itu bertambah banyak. Selain bercirikan seni Arab, reka bentuknya telah menerima seni China, karena banyak menggunakan kayu yang diukir.

Pada zaman Dinasti Ming, perkembangan agama Islam di China telah menghadapi rintangan, maharaja pertama Dinasti Ming memandang rendah terhadap agama Islam. Baginda mengeluarkan perintah untuk melarang rakyat menyembelih lembu secara tersendiri dan beberapa dasar yang mendiskriminasi umat Islam, termasuk orang Islam tidak boleh menjadi pegawai kerajaan dan lain-lainnya. Ini telah mencetuskan kemarahan umat Islam di China dan penduduk Islam mengadakan pemberontakan di ibu kota negara.

Masjid dan Perkembangan Islam di Cina

Orang Cina mengenal Islam dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti agama yang murni. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran Buddha Ma-hia-wu (Nabi Muhammad SAW). Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di Cina adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang Cina yang pertama kali memeluk Islam adalah suku Hui Chi. Sejak saat itu, pemeluk Islam di Cina kian bertambah banyak. Ketika Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat orang Muslim.

Jauh sebelum ajaran Islam diturunkan Allah SWT, bangsa Cina memang telah mencapai peradaban yang amat tinggi. Kala itu, masyarakat Negeri Tirai Bambu sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban. Tak bisa dipungkiri bahwa umat Islam juga banyak menyerap ilmu pengetahuan serta peradaban dari negeri ini. Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban, kertas, serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat Cina ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.

Sejak itu, para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan `Middle Kingdom julukan Cina. Untuk bisa berkongsi dengan para saudagar Cina, para pelaut dan saudagar Arab dengan gagah berani mengarungi ganasnya samudera. Mereka `angkat layar dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia.

Sebelum sampai ke daratan Cina, para pelaut dan saudagar Arab melintasi Srilanka dan mengarahkan kapalnya ke Selat Malaka. Setelah itu, mereka berlego jangkar di pelabuhan Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di Cina.

Kebudayaan Islam mempunyai kedudukan yang penting dalam kebudayaan China, umat Islam di China pernah memberi sumbangan yang besar terhadap perkembangan sains dan teknologi China. Kalender yang dicipta oleh umat Islam pernah digunakan di China dalam waktu yang panjang. Alat pandu arah angkasa yang dicipta oleh seorang ahli ilmu falak yang bernama Zamaruddin pada Dinasti Yuan sangat populer di China. Ilmu matematik yang dikembangkan dari Arab telah diterima oleh orang China. Ilmu perobatan Arab juga menjadi sebagian daripada ilmu perobatan China. Umat Islam juga terkenal dengan pembuatan meriam di China, Dinasti Yuan menggunakan sejenis meriam yang dikenali sebagai meriam etnik Huizu yang diciptakan oleh orang Islam China. Meriam itu tidak menggunakan bahan letupan, tetapi menggunakan batu sebagai peluru, dan meriam itu sangat populer di China pada zaman itu. Selain itu, orang Islam juga terkenal dengan teknik pembinaan dan menenun.

Untuk menunjukkan kekaguman dan penghormatannya terhadap Islam, kaisar lantas mendirikan masjid pertama di Cina. Masjid Canton (Memorial Mosque) sampai saat ini masih berdiri tegak dan telah berusia 14 abad. Masjid ini adalah saksi bisu perkembangan Islam di negeri tirai bambu itu. Setelah itu, hubungan Islam dan Cina berkembang pesat hingga muncul perkampungan Muslim. Yang pertama dibangun adalah Cheng Aan.

Pada tahun ke 133 Hijriah terjadi pertempuran besar yang menentukan sejarah Islam di Asia Tengah. Pasukan Muslim dipimpin Ziyad. Meski tak jelas berapa korbannya, Cina mengalami kekalahan menyedihkan dalam pertempuran kali ini. Setelah kemenangan itu, Muslim mengontrol penuh hampir seluruh wilayah Asia Tengah.Kemenangan itu membuka pintu lebar-lebar bagi ulama Islam.

Pada tahun 138 Hijrah, Jenderal Lieu Chen melakukan pemberontakan melawan Kaisar Sehwan Tsung. Untuk menumpas pemberontakan itu kaisar memohon pertolongan Khalifah Al Mansur dari dinasti Abbasiyah. Al Mansur menyanggupi dengan mengirim 4 ribu tentaranya ke Cina. Bantuan ini membuat kaisar bisa menghadapi para pemberontak.

Itulah mula pertama hingga tentara Turki mulai hadir di Cina. Mereka menetap dan lantas menikahi perempuan Cina. Saat ini ulama Cina berkembang baik dalam bidang ilmu agama maupun filsafat dan sosial. Bahkan tak sedikit yang ikut mewarnai filsafat Confusius. Namun belakangan umat Islam menghadapi banyak masalah. Kehidupan yang sangat keras dialami saat dinasti Manchu berkuasa (1644-1911 Masehi). Terjadi perseteruan paling keras di mana terjadi lima kali perang yakni Lanchu, Che Kanio, Singkiang, Uunanan dan Shansi. Muslim mengalami kekalahan dalam pertempuran kali ini. Korban yang jatuh tak terhitung dan mengakibatkan menyusutnya jumlah Muslim hingga sepertiganya saja.

Setelah kekalahan menyakitkan itu jumlah Muslim kembali berkembang. Diperkirakan ada 60 juta umat Islam. Mereka bukan cuma mengerti teori tapi juga praktik. Mereka mengenal rukun Islam, konsep halal dan haram dan sempat memimpin peradaban di Cina. Umat Islam punya babak baru pada masa Mao Tse Tung (1893-1976). Negarawan besar ini juga punya hubungan khusus dengan umat Islam. Ketika dia menetapkan markasnya ke Niyan, umat Islam Cina mendukungnya penuh. Bahkan sebagian Musilm ikut bergabung dalam tentara Merahnya meski sebagian menyembunyikan agama asli.

Pada 1954 pemerintah menjamin kebebasan untuk melakukan shalat, upacara ritual dan budaya serta sosial sendiri. Sebagai perbandingan terhadap etnis minoritas lainnya, mereka juga diberi kebebasan terutama menjalin hubungan dengan muslim lain di dunia. Belakangan memang pemerintah Cina memberi perlakuan khusus bagi mereka. Caranya dengan memberikan otonomi atau provinsi khusus buat mereka. Pemerintah Cina memberi hak khusus kepada etnik minoritas. Sebagai bukti, di luar dari 22 provinsi ada lima daerah otonomi penuh yang didasarkan pada pengakuan atas hak warga minoritas bukan saja Muslim tapi juga etnik lain.

Wilayah itu adalah Zhuang di Guangxi Zhuangzu, Hui-wilayah muslim di Ningxia Huizu, Uygurs di Xinjiang Uygurs, Tibet di Tibet, dan Mongol di wilayah khusus Mongol. Wilayah khusus lain dibedakan lantaran perjanjian dengan Inggris seperti Hongkong yang telah dikembalikan secara resmi.

Kental Dengan Muatan Lokal

Islam di Cina kental dengan muatan lokal. Kondisinya mirip dengan di Indonesia terutama wilayah Jawa. Desain masjid atau rumah-rumah hunian Muslim Cina mengambil budaya setempat. Warna merah, kuning dan bahkan kepercayaan terhadap unsur yin dan yang juga diyakini umat Islam. Muslim Cina masih menghormati dan bahkan meyakini kepercayaan leluhur.

Arsitektur masjid misalnya. Kubahnya dibuat model Cina. Pada pintunya terdapat tabir tipis dari plastik sebagai pencegah bala. Bagi masyarakat Cina, terlarang pintu yang menghadap ke depan. Biasanya pintu dibuat agak berliku. Dan jika langsung menghadap depan akan ada tirai yang menghalangi. Sebuah perbedaan yang bisa disaksikan secara kasat mata adalah bahwa Muslim tinggal berkelompok. Ini memudahkan mereka mencari makanan halal. Hanya di perkampungan Muslim kita bisa mendapatkan daging dan makanan halal lain. Di tempat lain makanan halal sulit ditemukan. Buku-buku agamapun ditulis dalam bahasa Han. Hadis, fikih, ahlak dan sejarah diterbitkan dalam bahasa lokal.

Penulis seperti Ma Chu, Leo Tse dan Chang Chung (1500-1700 Masehi) adalah tokoh yang berjasa menerjemahkan teks Arab dan Parsi kedalam bahasa lokal. Bahkan di antara buku-buku tersebut ada yang ajarannya bercampur dengan pengajaran filsafat Confusius. Penerjemahan Alquran pertama dilakukan pada abad 19. Ma Pu Shu mencoba menerjemahkan lima juz saja. Meski belum lengkap, apa yang ia kerjakan sangat berjasa bagi Muslim lokal. Abad 20 adalah masa sukses bagi umat Islam Cina. Sejumlah ulama berusaha meneruskan langkah Ma Pu Shu. Bukan saja Alquran, penerjemahan juga dilakukan terhadap teks agama lain seperti hadis Arbain an-Nawawy. Adalah Syaikh Wang Jing Chai dan Yang Shi Chian yang berjasa melakukannya.

Filsafat dan ilmu pengetahuan sosial lainnya adalah keuntungan yang diperoleh dari ulama Islam Cina. Telaah yang dilakukan Wang Dai Yu dan Liu Tsi pada masa Dinasti Ming dan Chend sangat berjasa bukan saja bagi pengembangan filsafat Islam tapi juga pemikiran filsafat Cina.

Pada tahun 1070 M, Kaisar Shenzong dari Dinasti Song mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara untuk tinggal di Cina. Tujuannya untuk membangun zona penyangga antara Cina dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias So-Fei Er. Dia bergelar `bapak komunitas Muslim di Cina.

Ketika Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di Cina semakin besar. Mongol, sebagai minoritas di Cina, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi Cina Han.Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus pajak dan keuangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, para arsitek Muslim juga membantu mendesain ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq.

Pada masa kekuasaan Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka, termasuk Lan Yu Who. Pada 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Tak lama setelah itu muncul Laksamana Cheng Ho seorang pelaut Muslim andal.

Masa Surut Islam di Daratan Cina

Saat Dinasti Ming berkuasa, imigran dari negara-negara Muslim mulai dilarang dan dibatasi. Cina pun berubah menjadi negara yang mengisolasi diri. Muslim di Cina pun mulai menggunakan dialek bahasa Cina. Arsitektur Masjid pun mulai mengikuti tradisi Cina. Pada era ini Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting. Setelah itu hubungan penguasa Cina dengan Islam mulai memburuk.

Hubungan antara Muslim dengan penguasa Cina mulai memburuk sejak Dinasti Qing (1644-1911) berkuasa. Tak cuma dengan penguasa, relasi Muslim dengan masyarakat Cina lainnya menjadi makin sulit. Dinasti Qing melarang berbagai kegiatan Keislaman.Menyembelih hewan qurban pada setiap Idul Adha dilarang. Umat Islam tak boleh lagi membangun masjid. Bahkan, penguasa dari Dinasti Qing juga tak membolehkan umat Islam menunaikan rukun Islam kelima menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah. Taktik adu domba pun diterapkan penguasa untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mogol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M.

Setelah jatuhnya Dinasti Qing, Sun Yat Sen akhirnya mendirikan Republik Cina. Rakyat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah Republik Cina. Pada 1911, Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Muslim yakni keluarga Ma. Kondisi umat Islam di Cina makin memburuk ketika terjadi Revolusi Budaya. Pemerintah mulai mengendorkan kebijakannya kepada Muslim pada 1978. Kini Islam kembali menggeliat di Cina. Hal itu ditandai dengan banyaknya masjid serta aktivitas Muslim antaretnis di Cina.

Ditulis dalam Perkembangan Islam, Sejarah Islam2 KomentarTag: cina, laksamana ceng ho, mongoliaKabah Menggetarkan Hati Ratusan Pekerja CinaNOV 2Posted by senyumislamHidayat bisa datang dari cara yang tak pernah diduga. Mungkin itu pula yang dialami ratusan pekerja Cina di Arab Saudi yang kemudian memilih Islam sebagai agamanya yang baru.

Setelah melihat Kabah dari televisi, tiba-tiba hati mereka bergetar. Pintu hidayah seakan terbuka. Dan Allah SWT pun melapangkan jalan mereka untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Lebih dari 600 pekerja asal Cina berpaling menjadi Muslim setelah mendapatkan pengalaman spiritual di Arab Saudi.

Mereka adalah bagian dari 4.600 warga Cina yang sedang mengerjakan proyek rel kereta api yang menghubungkan Makkah dan Madinah. Rel kereta itu nantinya akan melalui Jeddah dan Khum. Peristiwa yang sempat menghebohkan itu terjadi tahun lalu.

Awalnya, kedatangan ribuan pekerja Cina itu sempat dipertanyakan warga Arab Saudi. Pasalnya dari 4.600 pekerja itu hanya 370 orang yang Muslim. Warga meminta agar pemerintah mempekerjakan buruh Cina yang beragama Islam. Namun Allah mempunyai rencana lain dengan kedatangan para pekerja itu.

Kedatangan ke Arab Saudi ternyata membuka peluang bagi mereka untuk melihat Islam langsung dari tanah tempat agama ini diturunkan. Seperti yang dikatakan seorang pekerja yang telah menjadi Mualaf. Pekerja yang telah mengganti namanya menjadi Hamza (42) ini mengaku tertarik pada Islam setelah melihat Kabah untuk kali pertama di televisi Saudi. Ini menggetarkan saya. Saya menyaksikan siaran langsung sholat dari Masjidil Haram dan umat Islam yang sedang berjalan memutari Kabah (tawaf), katanya.

Saya bertanya ke teman yang Muslim tentang semua hal ini. Dia kemudian mengantarkan saya ke Kantor Bimbingan Asing yang ada di perusahaan, di mana saya memiliki kesempatan untuk belajar tentang berbagai aspek mengenai Islam, tuturnya. Kini Hamza merasa lebih bahagia dan lebih santai setelah menjadi seorang Muslim.

Pekerja lainnya, Ibrahim (51), mengalami peristiwa yang hampir serupa pada September tahun lalu. Dia yang bekerja di bagian pemeliharaan perusahaan negara, Kereta Api Cina, menjadi seorang Muslim usai melihat Kabah. Meskipun kami berada di Cina, kami tidak memiliki kesempatan untuk belajar tentang Islam. Ketika saya mencapai Mekah, saya sangat terkesan oleh perilaku banyak warganya. Perlakuan yang sama bagi orang Muslim dan non-Muslim memiliki dampak besar pada saya, tambahnya.

Sementara, Abdullah Al-Baligh (51), terinspirasi untuk memeluk Islam setelah melihat perubahan positif dari rekan-rekannya yang lebih dulu menjadi mualaf. Enam bulan setelah saya tiba di Makkah, saya melihat bahwa rekan saya, yang sudah menjadi Muslim, telah benar-benar berubah. Tingkah lakunya patut dicontoh. Saya menyadari bahwa Islam adalah kekuatan penuntun di balik perubahan tersebut, ujarnya.

Ketika saya bertanya padanya, ia mengatakan bahwa ia sama sekali tak tahu tentang agama ini selama di Cina. Sekarang, ia memiliki pemahaman yang tepat tentang Islam dan ingin menjadi lebih teladan.

Begitu pula dengan Younus. Pekerja asal Cina ini baru mempelajari Islam ketika berada di Makkah. Islam di Cina begitu kurang. Aku baru mengetahui Islam setelah datang ke Saudi, ujarnya.

http://okky-fib11.web.unair.ac.id/artikel_detail-46460-sejarah-SEJARAH%20MASUKNYA%20ISLAM%20DI%20CINA.htmlSEJARAH MASUKNYA ISLAM DI CINAIslam masuk ke Cina sekitar abad ke-7 masehi, pada masa-masa Rasulullah masih hidup. Ada beberapa faktor-faktor atau kejadian-kejadian yang mempengaruhi Islam dapat memasuki wilayah-wilayah Cina antara lain:

1. Hadirnya pedagang-pedagang muslim

Cina sebagai negeri yang aktif dalam perdagangan Internasional menyebabkan pedagang-pedagang-pedagang muslim dari Arab melakukan perdagangan ke Cina sambil menyebarkan Islam di berbagai wilayah yang disinggahi. Pada awalnya tujuan mereka hanya untuk melakukan perdagangan sepanjang jalan sutra atau silk road. Namun akibat dari interaksi-interaksi yang dilakukan mereka dengan pedagang-pedagang lain termasuk pedagang-pedagang Cina menyebabkan adanya suatu pengenalan kehidupan negeri asal pedagang-pedagang tersebut baik dari segi sosial, budaya maupun agama termasuk pengenalan yang dilakukan pedagang-pedagang muslim mengenai Islam yang secara tidak langsung. Pedagang-pedagang Cina yang berinteraksi dengan pedagang-pedagang muslim sedikit banyaknya menerima kehadiran Islam bahkan mereka memeluk Islam sebagai agama mereka. Penyebaran Islam ini kemudian meluas hingga ke masyarakat Cina, khususnya wilayah-wilayah yang digunakan sebagai pusat perdagangan. Masyarakat Cina yang telah memeluk Islam meminta pedagang-pedagang muslim untuk mengajarkan Islam lebih banyak lagi.

2. Permintaan kaisar Cina

Berawal dari kaisar Cina pada masa Dinasti Tang yang tampaknya memiliki pengetahuan tentang nabi-nabi Islam dan Kristen, sebagaimana yang dituturkan oleh penjelajah Arab Ibn Wahab dari Basra kepada Abu Zaid sekembalinya ke Irak. Kaisar Dinasti Tang meminta bantuan Kerajaan Persia untuk mengutus pengajar-pengajar Islam ke Cina. Namun, raja Persia yakni Raja Firus menolaknya karena daratan Cina terlalu jauh untuk didatangi. Akibat dari penolakan tersebut, Kaisar Cina lah yang mengutus orang-orang Cina untuk belajar Islam di Madinah pada masa kekhalifahan Utsman Bin Affan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya Khalifah Utsman (577-656 M) mengirimkan delegasi Islam ke Cina untuk mengajarkan Agama Islam di Cina secara mendalam. Pada tanggal 25 Agustus 651 (2 Muharram 31 Hijriyah), utusan pertama Khalifah Utsman tiba di Tiongkok, mereka memperkenalkan keadaan negerinya dan Islam di hadapan Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tang. Sejak saat itu Islam dikenal dan mulai tersebar di berbagai wilayah di Cina. Tidak hanya itu, khalifah-khalifah Islam lainnya juga sering mengirim delegasi ke Cina untuk mengajarkan Agama Islam kepada orang-orang Islam Cina seperti halnya yang dilakukan Harun Al Rosyid (A-Lun), Abu Abbas (Abo-Loba) dan Abu Djafar (A-pu-cha-fo) dalam riwayat Dinasti Tang[1].

3. Adanya serangan pasukan mongol

Pada awal abad ke-13 Genghis Khan mengadakan ekspedisi ke Barat, Genghis Khan memerintah orang-orang Islam di Asia Tengah dan Asia Barat membantu tentara Mongol. Orang-orang ini terdiri atas prajurit, tukang kayu, pandai besi dan sebagiannya ikut ke Tiongkok bersama tentara Mongol. Orang-orang Islam tersebut pada umumnya berasal dari bangsa Se Mu. Sebagaimana diketahui, pada masa Dinasti Han (206-220M) Xi Yu mengacu Xinjiang (bagian barat Laut Tiongkok). Asia Tengah dan daerah-daerah lainnya yang terletak di sebelah barat kota Yung Meng Guan (Provinsi Ghansu). Pada masa Dinasti Yuan (1206-1368) berbagai bangsa di Xi Yu disebut sebagai bangsa Se Mu. Pada waktu itu bangsa Se Mu mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi daripada bangsa Han, akan tetapi di bawah status bangsa Mongol. Dengan ditempatkannya banyak prajurit yang muslim dan dibangunnya masjid di berbagai tempat oleh penguasa Dinasti Yuan, Agama Islam mulai tersebar luas di Tiongkok[2].

Adapun perjalanan yang dilalui dalam persebaran Islam di Cina adalah dengan melalui perjalanan darat dan laut. Perjalanan darat dimulai dari daratan Arab sampai ke bagian barat Laut Tiongkok dengan melewati Persia dan Afganistan. Jalan ini terkenal dengan nama jalan sutra atau silk road. Namun, pada pertengahan periode Dinasti Tang, jalur sutra diganggu orang-orang Turki dan mengakibatkan pedagang-pedagang Arab melakukan perjalanan laut. Perjalanan itu dilakukan mulai dari Teluk Persia dan Laut Arab sampai ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok seperti Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Yang hou melalui teluk Benggala, Selat Malaka, dan Laut Tiongkok Selatan[3].

2.2 PERKEMBANGAN ISLAM DI CINA

Pada sekitar abad ke-7 dan ke-8 hubungan antara Cina (Tiongkok) dengan Arab sangat baik. Kerajaan Arab telah 37 kali mengirim utusan muhibahnya ke Tiongkok selama 147 tahun (651-798 M). Namun, dalam buku Cheng Ho-Penyebaran Islam di Cina ke Nusantara disebutkan bahwa perkembangan Islam berjalan lambat semasa Dinasti Tang hingga Dinasti Song. Hal itu disebabkan karena pedagang-pedagang Islam dari Arab itu tidak diperbolehkan menikah dengan penduduk setempat ataupun berinteraksi pada masa itu. Seiring berjalannya waktu mereka diberi kelonggaran untuk dapat berinteraksi maupun menikahi wanita setempat bahkan mereka diperbolehkan membangun pemukiman-pemukiman bagi mereka dan keturunannya.

Para pedagang Arab dan Persia yang berniaga ke Tiongkok pada umumnya orang-orang Islam yang datang secara perorangan itu kemudian memanfaatkan kebebasan tersebut dengan menikahi wanita setempat. Keturunan mereka dari generasi ke generasi memeluk Agama Islam dan menjadi penduduk di Tiongkok. Hal yang sama juga dilakukan oleh para tentara mongol muslim yang menetap di Cina setelah mengikuti ekspedisi ke Barat yang dipimpin oleh Genghis Khan. Dalam memenuhi kebutuhan mereka sebagai eks tentara mongol, mereka juga melakukan perdagangan atau bekerja sesuai dengan keahliannya seperti pengrajin kayu, pandai besi dan lain-lain.

Selain menikahi perempuan setempat, pedagang-pedagang dan tentara-tentara mongol ini sudah tentu membangun pemukiman-pemukiman yang dijadikan sebagai tempat menetap yang nyaman dan dapat melangsungkan kehidupan sehari-harinya. Mereka membangun masjid-masjid untuk memenuhi kewajiban beribadahnya.

Sedangkan orang-orang Islam Cina yang sudah berhasil dalam mempelajari Agama Islam di daratan Arab kembali ke Cina, mereka sebagai orang-orang Islam mempunyai misi untuk berupaya mengembangkan agar ilmu dan hasil yang di dapat dalam mempelajari Islam dapat di wariskan ke anak cucu mereka di Cina. Dari sinilah kemudian muncul pemuka-pemuka Islam untuk mengajarkan Islam kepada orang-orang Cina Islam lainnya dengan memanfaatkan masjid selain tempat beribadah juga sebagai sarana untuk belajar mengajar atau pusat pendidikan dan pusat komunitas. Anak-anak diajarkan membaca Al-Quran, bahasa Arab dan bahasa Persia.

http://parapencarisyafaat.blogspot.com/2013/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-china.html

Sejarah dan Perkembangan Islam China DaratanSalah satu pepatah Arab kuno yang diserap oleh Umat Islam adalah Tuntutlah Ilmu sampai ke negeri Cina,, bangsa Cina memang telah mencapai peradaban yang amat tinggi. Masyarakatnya pada masa itu sudah menguasai beragam khazanah kekayaan ilmu pengetahuan dan peradaban, pada akhirnya juga banyak diserap oleh umat Islam untuk mengembangkan beradapan Islam. Beberapa contohnya antara lain, ilmu ketabiban, kertas, serta bubuk mesiu. Kehebatan dan tingginya peradaban masyarakat Cina ternyata sudah terdengar di negeri Arab sebelum tahun 500 M.

Sejarah / Tarikh Hubungan China Daratan dan ArabMerujuk buku History of Islam in Cahina, Sejak dulu para saudagar dan pelaut dari Arab membina hubungan dagang dengan Middle Kingdom julukan Cina. Mereka berlayar dari Basra di Teluk Arab dan kota Siraf di Teluk Persia menuju lautan Samudera Hindia dan bersandar di Guangzhou atau orang Arab menyebutnya Khanfu. Guangzhou merupakan pusat perdagangan dan pelabuhan tertua di Cina. Sejak itu banyak orang Arab yang menetap di Cina. bahkan sampai sekarang masih ada keturunan arab tinggal di kota ini dan banyak makam para ulama islam tionghoa keturunan arab di kota quanzhou tersebut

Ketika Islam berkembang dan pemerintahan dipusatkan di Madina oleh Muhammad Rasulullah SAW, di Cina tengah memasuki periode penyatuan dan pertahanan. Menurut catatan sejarah awal Cina, masyarakat Tiongkok pun sudah mengetahui adanya agama Islam di Timur Tengah. Mereka menyebut pemerintahan Rasulullah SAW sebagai Al-Madinah dan agama Islam dikenal dengan sebutan Yisilan Jiao yang berarti agama yang murni. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran Buddha Ma-hia-wu (Nabi Muhammad SAW).

Sejarah / Tarikh Islam China Daratan Masa Sebelum RevolusiPada masa Hijrah pertama kaum muhajirin (tengok kitab muasal tahun Hijriah: dihitung dari Hijrah kedua) para sahabat Rasul hijrah ke al-Habasha Abyssinia (Ethopia) untuk menghindari kaum Quraish jahiliyah. Antara lain; Ruqayyah, anak perempuan Nabi; Usman bin Affan, suami Ruqayyah; Saad bin Abi Waqqas, paman Rasulullah SAW; dan sejumlah sahabat lainnya, mereka dilindungi oleh Raja Atsmaha Negus (Nasrani Ortodoks) di kota Axum. Banyak sahabat yang memilih menetap, kemudian berlayar dan tiba di daratan Cina pada th 581 masa Dinasti Sui berkuasa.

Islam secara resmi diterima pemerintah Tiongkok pada th 615 (20 th setelah wafatnya Muhammad Rasulullah SAW). Saad bin Abi Waqqas sebagai diutusan resmi Khalifah Utsman bin Affan diterima Kaisar Yung Wei dari Dinasti Tang yang kemudian memerintahkan pembangunan Masjid Huaisheng atau masjid Memorial di Canton masjid pertama yang berdiri di daratan Cina. Ketika itu Dinasti Tang dalam masa kejayaan dan pusat budaya, sehingga Islam cepat tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok. Masyarakat Islam pertama adalah suku Hui Chi, kemudian tersebar ke masyarakat lain di Cina dengan cepat. Saad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M. Kuburannya dikenal sebagai Geys Mazars

Pada masa Dinasti Sung, umat Muslim menguasai industri ekspor dan impor. Bahkan masa itu jabatan syah Bandar secara konsisten dijabat orang Muslim. Kaisar Shenzong pada th 1070 mengundang 5.300 pria Muslim dari Bukhara ke pusat negeri, untuk membangun zona penyangga dengan Kekaisaran Liao di Timur Laut. Orang Bukhara itu lalu menetap di di antara Kaifeng dan Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Pangeran Amir Sayyid alias So-Fei Er. Dia bergelar `bapak komunitas Muslim di Cina.

Masa Dinasti Mongol-Yuan (1274-1368 M), jumlah umat Islam di Cina semakin besar. Dinasti Yuan dibangun oleh Mongolia di tiongkok, mahir perang tetapi kurang mahir dalam adminstrasi Negara. Bangsa China-Han yang ditaklukan memiliki peradapan lebih maju, maka Dinasti Yuan mengangkat turunan muslim sebagai pejabat negara karena faktor politik tidak memungkinkan mengangkat orang non muslim. Sehingga pengaruh umat Islam di Cina semakin kuat. Ratusan ribu Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah kekaisaran. Para Ilmuwan Muslim mengkaji astronomi, menyusun kalender dan mendesain Khanbaluq sebagai ibu kota Dinasti Yuan. Tetapi umat islam juga mengalami tekanan sebagai akibat perbedaan budaya dan dikriminasi, sehingga umat muslim mempelopori berdirinya dinasti ming dengan mengadakan perlawanan terhadap pihak dinasti Yuan

Masa Dinasti Ming, umat Islam memiliki pengaruh yang kuat di dalam pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang dan Lan Yu Who adalah jenderal Muslim tersohor, pada th 1388, Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Pada masa yang sama munculah Laksamana Cheng Ho seorang pelaut Muslim andal. Kebijakan tertutup dengan politik isolasi membatasi hubungan dengan wilayah lain, akibatnya masyarakat Muslim berbicara dengan dialek local dan Arsitekturpun mulai mengikuti tradisi Cina. Pada masa itu Nanjing menjadi pusat studi Islam yang penting.

Dinasti Manchu-Qing (1644-1911) adalah awal surutnya pengaruh Islam di Tiongkok. Karena dianggap sebagai pembela utama dinasti Ming, maka semua kegiatan agama, pembangunan masjid dan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah dilarang. Politik devide et impera digunakan untuk memecah belah umat Islam yang terdiri dari bangsa Han, Tibet dan Mongol. Akibatnya ketiga suku penganut Islam itu saling bermusuhan. Tindakan represif Dinasti Qing itu memicu pemberontakan Muslim Panthay yang terjadi di provinsi Yunan dari 1855 M hingga 1873 M. Pemberontakan umat Muslim keturunan Han belakangan diikuti oleh orang-orang Han secara umum

Masa Setelah Revolusi Nasional ChinaRepublic China berdiri setelah Dinasti Manchu-Qing runtuh oleh Revolusi yang dipimpin dr. Sun Yat Sen (Sun Zhong Shan). Di dalam San Min Zhu Yi (tiga landasan pokok Negara) keberanian pahlawan muslim diakui sebagai sumber inspirasi utama perjuangan kebebasan negara tiongkok modern. Masa itu pejabat Kementerian Negara dan petinggi partai Kuo Min Tang banyak dijabat oleh umat Islam, menurut catatan pemerintah nasionalis ada 40 masjid dan ratusan madrasah didirikan di Beijing. Dalam konstitusi Republik China pada th 1911 disebutkan: Masyarakat Han, Hui (Muslim), Meng (Mongol) dan Tsang (Tibet) berada di bawah Pemerintahan Republik Cina, sedangkan daerah khusus Provinsi Qinhai, Gansu dan Ningxia berada dalam kekuasaan Masyarakat Muslim yakni keluarga Ma dan Masyarakat Uighur.

Kondisi yang kondusif dan stabil tersebut tidak lama, keadaan menjadi buruk ketika terjadi Revolusi Budaya oleh Partai Komunis (Gong Chan Tang) yang merubah Negara China menjadi Republik Rakyat China (RRC). Semua hal yang berbau non material dibatasi, termasuk Agama. Tetapi setelah terjadi revolusi sosialis pada th 1978 pemerintah RRC mulai memulihkan 3 Agama yang dianggap Tradisional Asli (Tao, Budha dan Islam). Kini Islam kembali berkembang di China, masjid sebagai pusat aktivitas antaretnis Muslim. Asosiasi Islam Republik Rakyat China (Zhongguo Yisilan Xie Hui) telah berdiri saat ini, disamping banyak pusat kajian islam dan pesantren berdiri. Sebagian produk makanan di China telah mencantumkan produk halal atas rekomendasi dari Zhongguo Yisilan Xie Hui. Perjalanan ibadah Haji juga telah difasilitasi pemerintah lewat beijing dan Lanzhou (propinsi gansu). Wilayah yang mayoritas warganya muslim diberikan hak otonomi untuk melaksanakan kebebasan beragama dan menjalankan kebudayaannya sendiri, bahkan untuk sekolah ke timur tengah untuk memperdalam islam.

http://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/perkembangan-etnis-tionghoa-di-indonesia-dari-masa-ke-masa/

Awal Mula Etnis Tionghoa di IndonesiaLeluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

Awal mula kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia berawal pada masa kejayaan Kerajaan Kutai di pedalaman kalimantan, atau Kabupaten Kutai, yang daerahnya kaya akan hasil tambang emas itulah mereka dibutuhkan sebagai pandai perhiasan (Emas). Karena kebutuhan akan pandai emas semakin meningkat, maka didatangkan eamas dari cina daratan, disamping itu ikut dalam kelompok tersebut adalah para pekerja pembuat bangunan dan perdagangan. Mereka bermukim menyebar mulai dari Kabupaten Kutai, Sanggau Pontianak dan daerah sekitarnya.

Gelombang kedua kedatangan Etnis Cina (Tionghoa) ke Indonesia ialah pada masa kerajaan Singasari di daerah Malaka Jawa Timur sekarang. Kedatangan mereka dibawah armada tentara laut Khubilaikan atau juga sering disebut sebagai Jhengiskan dalam rangka ekspansi wilayah kekuasaannya. Namun utusan yang pertama ini tidaklah langsung menetap, hal ini diakrenakan ditolaknya utusan tersebut oleh Raja.

Pada Ekspedisi yang kedua tentara laut Khubilaikan ke-tanah Jawa dengan tujuan membalas perlakuan raja Singasari terhadap utusan mereka terdahulu, namun mereka sudah tidak menjumpai lagi kerajaan tersebut, dan akhirnya mendarat di sebuah pantai yang mereka beri nama Loa sam (sekarang Lasem) sebagai armada mereka menyusuri pantai dan mendarat disuatu tempat yang Sam Toa Lang Yang kemudian menjadi Semarang. Masyarakat etnis Cina ini kemudian mendirikan sebuah tempat ibadat (Kelenteng) yang masih dapat dilihat sampai masa sekarang.

Karena runtuhnya Singasarai dan Majapahit, serta munculnya kerajaan baru yaitu Demak sebagai sebuah kerajaan Islam, maka keberadaan Etnis Cina ini dipakai sekutu Demak di dalam rangka menguasai tanah Jawa dan penyebaran agama Islam. Hal itu dimungkinkan karena panglima armada laut yang mendarat di Semarang, seoarang yang beragama islam, yaitu Cheng Ho. Penyebaran Islam di Jawa oleh etnis Tionghoa ini ternyata berhubungan dengan tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Jawa yaitu wali songo. Empat dari sembilan wali songo merupakan orang Cina atau masih keturunan Cina, yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang (anak dari Ampel dan seorang wanita Cina), Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunungjati. Selain menyebarkan agama Islam, Etnis Cina ini juga diberi wewenang untuk menjalankan Bandar atau pelabuhan laut di Semarang dan Lasem. Hal ini oleh Demak dimaksudkan untuk melumpuhkan Bandar-bandar laut yang lain, yang masih dikuasai oleh sisa-sisa Singasari dan Majapahit seperti bandar laut Tuban dan Gresik.

Beberapa peninggalan zaman dahulu yang menyebutkan tentang kedatangan etnis Tionghoa ada baik di Indonesia maupun di negeri Cina . Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa (To lo mo) dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta dahulu. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jnabhadra Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.

B. Perkembangan Etnis Tionghoa Berikutnya

Masa Kolonial

Belanda membagi masyarakat dalam tiga golongan: pertama, golongan Eropa atau Belanda; kedua timur asing China termasuk India dan Arab; dan ketiga pribumi yang dibagi-bagi lagi dalam suku bangsa hingga muncul Kampung Bali, Ambon, Jawa dan lain-lain. Belanda juga mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina, yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan komunitas Tionghoa. Beberapa diantara mereka ternyata juga telah berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.

Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam Republik Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX. Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.

Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lain-lainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322-323).

Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara dan swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif meningkat, tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir tidak ada.

Pada tahun 1816 sekolah Belanda telah didirikan, tetapi hanya untuk anak-anak Belanda. Pada akhir abad XIX anak-anak Tionghoa kaya diijinkan masuk sekolah Belanda, tetapi kesempatan masuk sekolah Belanda amat kecil. Maka pada tahun 1901 masyarakat Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengan nama Tionghoa Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan di berbagai kota di Hindia Belanda.

Perhatian Pemerintah Tiongkok terhadap sekolah THHK ini mulai besar, banyak guru yang dikirim ke Tiongkok untuk dididik. Melihat perkembangan baru ini pemerintah kolonial Belanda khawatir kalau tidak dapat menguasai gerak orang Tionghoa maka didirikan sekolah Belanda untuk orang Tionghoa. Namun biaya di sekolah Belanda untuk anak Tionghoa ini sangat mahal, kecuali untuk mereka yang kaya, maka anak Tionghoa yang sekolah di THHK lebih banyak. Dalam perkembangan berikutnya Sekolah Belanda lebih dipilih karena lulusan dari sekolah Belanda gajinya lebih besar dan lebih mudah mencari pekerjaan di kantor-kantor besar. Banyak orang meramalkan bahwa THHK akan bubar, tetapi kenyataannya tidak. Para pengelola eTHHK ini ternyata lebih tanggap terhadap perubahan jaman sehingga masih tetap dipercaya oleh sebagian orang Tionghoa, bahkan hingga kini masih ada dan dikenal sebagai salah satu skolah nasional

Masa Orde Lama

Pada jaman orde lama hubungan antara Indonesia dengan Cina sangat mesra, sampai-sampai tercipta hubungan politik Poros Jakarta-Peking. Pada waktu itu (PKI). Pada tahun 1946 Konsul Jendral Pem. Nasionalis Tiongkok, Chiang Chia Tung (itu waktu belum ada RRT) dengan Bung Karno datang ke Malang dan menyatakan Tiongkok sebagai salah satu 5 negara besar (one of the big five) berdiri dibelakang Republik Indonesia. Orang Tionghoa mendapat sorakan khalayak ramai sebagai kawan seperjuangan. Di stadion Solo olahragawan Tony Wen dengan isterinya (bintang film Tionghoa) menyeruhkan untuk membentuk barisan berani mati (cibaku-tai, kamikaze) melawan Belanda dan sesuai contoh batalyon Nisei generasi ke II Jepang di USA yang ikut dalam perang dunia ke II, di Malang ingin didirikan batalyon Tionghoa berdampingan dengan lain-lain kesatuan bersenjata seperti Laskar Rakyat, Pesindo, Kris (gol. Menado), Trip (pelajar) dsb. Pimpinan Tionghoa kuatir provokasi kolonial dapat menimbulkan bentrokan bersenjata dengan kesatuan Pribumi. Mereka menolak pembentukan batalyon tsb. Orang-orang Tionghoa yang ingin ikut melawan Belanda dianjurkan untuk masing-masing masuk kesatuan-kesatuan Pribumi menurut kecocokan pribadi.

Namun etnis Tionghoa yang begitu dihargai pada masa orde baru, justru menjadi sasaran pelampiasan massa yang dipolitisir, karena peristiwa G30S/PKI yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, ada anggapan bahwa komunis pasti orang Cina, padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Peristiwa G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa yang sanagt membuat trauma etnis Tionghoa selain kierusuhan Mei 98.

Masa Orde Baru

Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan Komunis di Indonesia. Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).

Ada beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia yaitu,

Pertama, Keputusan Presiden Kabinet No. 127/U/KEP/12/1996 tentang masalah ganti nama.

Kedua, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IV/6/1967 tentang Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina yang wujudnya dibentuk dalam Badan Koordinasi Masalah Cina, yaitu sebuah unit khusus di lingkungan Bakin.

Ketiga, Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967, tentang kebijakan pokok WNI keturunan asing yang mencakup pembinaan WNI keturunan asing melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan eksklusif rasial, serta adanya anjuran supaya WNI keturunan asing yang masih menggunakan nama Cina diganti dengan nama Indonesia.

Keempat, Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang tempat-tempat yang disediakan utuk anak-anak WNA Cina disekolah-sekolah nasional sebanyak 40 % dan setiap kelas jumlah murid WNI harus lebih banyak daripada murid-murid WNA Cina.

Kelima, Instruksi Menteri Dalam Negara No. 455.2-360/1968 tentang penataan Kelenteng-kelenteng di Indonesia.

Keenam, Surat Edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No. 02/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/ iklan beraksen dan berbahasa Cina.

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang di Indonesia. Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesia harus menerima pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional. Bahkan pada jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa untuk toko atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk diajarkan dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan orde baru ini selama 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati kebudayaabn mereka sebdiri. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.

C. Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa

Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan pemimpin masa orde baru. Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor dan KTP.

Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Setelah 32 tahun berdiam mereka kembali melakukan kegiatan sosial, aktif dalam bidang pendidikan. Bahasa Mandarin mulai diajarkan di pelbagai sekolah sebagai bahasa alternatif di samping bahasa Inggris. Jadi mereka mulai berani memasuki bidang-bidang di luar bisnis semata. Mereka membuka diri dan memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Merayakan ritual agama dst. Filsafat kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah: berakar di bumi tempat berpijak, artinya: (lahir dan) menetap di Indonesia selama-lamanya

BAB III

KESIMPULAN

Etnis Tionghoa di Indonesia telah ada sejak masa kerajaan-kerajaan di Indonesia. Mereka bahkan juga terlibat penyebaran agama Islam di Indonesia, meskipun sebagian besar beragama non-muslim

Etnis Tionghoa di Indonesia pada era kolonial memiliki nasib yang lebih baik daripada kaum pribumi. Meskipun begitu ada juga beberapa tokoh Tionghoa yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia.

Pada masa orde lama etns Tionghoa amatlah dihargai karena adanya poros Jakarta-Peking. Namun etnis ini menjadi pelampiasan massa karena peristiwa G30S/PKI, sehingga menimbulkan trauma.

Pada masa orde baru pergerakan kaum Tionghoa semakin terbatas, karena adanya kekhawatiran pemerintah akan adanya penggulingan kekuasaan seperti masa G30S/PKI. BeberapaSalah satu aturan yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa adalah penggantian nama orang Cina menjadi nama orang Indonesia.

Pada era reformasi etnis Tionghoa memasuki masa perkembangan yang berarti, seperti diakuinya imlek sebagai hari libur dan agama khongfuchu menjadi agama yang resmi diakui di Indonesia.