analisis penolakan republik rakyat tiongkok...
TRANSCRIPT
ANALISIS PENOLAKAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK
TERHADAP HASIL KEPUTUSAN PERMANENT COURT OF
ARBITRATION ATAS GUGATAN FILIPINA DI LAUT CHINA SELATAN
TAHUN 2016
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Adam Risman Adhimarif
1113113000075
PORGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019
iv
ABSTRAK
Skripsi ini secara khusus bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi kebijakan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam penolakannya
terhadap Hasil keputusan Permanent Court of Arbitrations (PCA) atas gugatan
Filipina atas kepemilikan wilayah Laut China Selatan pada tahun 2016. Penelitian
ini memiliki tektnik pengumpulan data berupa studi pustaka dengan metode
penelitian kualitatif sebagai acuan pengolahan data. Kerangka teoritis yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu teori neoliberal dan konsep kepentingan
nasional. Dari hasil analisis menggunakan teori dan konsep tersebut ditemukan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penolakan Tiongkok yaitu pertama
bahwa Tiongkok merupakan sebuah negara yang derajatnya lebih tinggi dari PCA
yang merupakan sebuah institusi internasional. Kedua, sistem internasional yang
anarki membuat tidak ada badan yang lebih tinggi dari negara sehingga tidak ada
entitas apapun yang dapat mengatur sebuah negara. Selanjutnya dengan
memperhitungkan rasionalisme, dalam penolakannya Tiongkok dapat mengurangi
cost yang mungkin timbul dan mendapatkan benefit atas penolakannya tersebut.
Terakhir Tiongkok dapat mempertahan kan kepentingan nasionalnya di kawasan
ini. Kepentingan nasional tersebut terdapat dari beberapa bidang. Yaitu bidang
wilayah kedaulatan, bidang ekonomi dan bidang militer.
Kata kunci: Sengketa, Laut China Selatan, Tiongkok, Filipina, PCA, kepentingan
nasional
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrrahim, segala puji dan syukur selalu penulis ucapkan
kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan nikmatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada Nabi
Muhammad saw.
Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis telah melibatkan beberapa pihak
yang sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis
sampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Keluarga penulis, ayahanda Alm. Adjrisman dan ibunda Alm. Dewi,
Kakak penulis Dea Adreanni dan Suami Adnan Afif, Abang penulis Adi
Nurghany, Adik Penulis Fadhil Azharrisman dan Keponakan tercinta
Ibrahim yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, cinta dan
nasehat kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan;
2. Bapak Ahmad Alfajri, MA., selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyetujui permohonan penyusunan
skripsi;
3. Bapak Dr. Badrus Sholeh, M.A. selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai;
4. Dosen-dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta. Terima kasih atas segala
ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan;
5. Rekan-rekan di PT. Iron Bird Logistics terutama divisi Finance and
Accounting yang telah memberikan semangat dan dukungannya selama
vi
saya mengerjakan skripisi ini;
6. Kawan-kawan HI UIN Jakarta angkatan 2013;
7. Rekan-rekan ANTABUR yang selalu menyemangati untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan berbagai cara;
8. Sanak Saudara dan Teman-teman yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-
persatu;
Penulis berharap segala dukungan dan bantuan ini mendapatkan balasan
dari Allah SWT. Terakhir, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis
harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi setiap pembacanya dan bagi
perkembangan studi Hubungan Internasional
Jakarta, April 2019
Adam Risman Adhimarif
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ........................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................................................ iii
SKRIPSI ................................................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Penelitian ............................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7
D. KerangkaTeoritis .......................................................................................... 8
a. Neo-Realisme ........................................................................................... 9
b. Konsep Kepentingan Nasional ............................................................... 10
E. Metode Penelitian....................................................................................... 13
F. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 14
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 18
BAB II DINAMIKA KEPEMILIKAN LAUT CHINA SELATAN DAN KLAIM
TIONGKOK .......................................................................................................... 22
A. Kepemilikan Laut China Selatan ............................................................... 22
B. Klaim Tiongkok ......................................................................................... 33
BAB III POSISI FILIPINA DAN PENOLAKAN TIONGKOK PADA HASIL
KEPUTUSAN PERMANENT COURT OF ARBITRATION ............................. 41
A. Posisi Filipina dan Gugatan ke Permanent Court of Arbitration (PCA) ... 41
B. Keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) dan Penolakan
Tiongkok ........................................................................................................... 50
BAB IV ANALISA PENOLAKAN TIONGKOK ATAS HASIL KEPUTUSAN
PERMANENT COURT OF ARBITRATION (PCA) .......................................... 56
viii
A. Menurut pandangan Neo-Realisme ............................................................ 56
B. Kepentingan Nasional Tiongkok di Laut China Selatan ............................ 60
a. Bidang Kedaulatan Teritorial Negara ..................................................... 61
b. Bidang Ekonomi ..................................................................................... 62
c. Bidang Militer ........................................................................................ 64
C. Penolakan Tiongkok Terhadap Hasil Keputusan PCA .............................. 65
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................ 68
A. Kesimpulan ................................................................................................ 68
B. Saran ........................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 72
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 0-1 Peta Laut China Selatan berdasarkan klaim RRT dan UNCLOS ................... 4
x
DAFTAR SINGKATAN
AMTI Asia Maritime Transparency Intiative
ARF ASEAN Regional Forum
AS Amerika Serikat
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
DoC Declaration on the Conduct
EEZ Economic Exclusive Zone
LCS Laut China Selatan
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PCA Permanent Court of Arbitrations
PRC People Republic of China
RRT Republik Rakyat Tiongkok
SCS South China Sea
UN United Nations
UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea
US United States
ZEE Zona Ekonomi Eksklusif
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Laut China Selatan merupakan wilayah di kawasan Asia Pasifik yang
mengalami beberapa kasus sengketa perbatasan maritim. Kasus-kasus tersebut
mulai muncul sejak awal abad 20 dengan ditandai dengan perebutan klaim
teritorial oleh Republik Rakyat Tiongkok dan dua kekuatan kolonial yaitu Jepang
dan Perancis di perairan ini.1 Pasca Perang Dunia II muncul klaim-klaim baru dari
negara-negara yang baru memerdekakan diri di kawasan Laut China Selatan. Saat
ini, sengketa yang terjadi di Laut China Selatan berasal dari beberapa kepulauan
yang berada dalam kawasan Laut China Selatan. Kepulauan tersebut yaitu
Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, Kepulauan Pratas dan Macclesfield Bank.
Namun, yang menjadi inti dalam sengketa ini merupakan Kepulauan Spratly dan
Kepulauan Paracel.2
Sengketa kawasan Maritim ini dinilai cukup rumit mengingat banyak negara
yang terlibat, pada Kepulauan Spratly melibatkan Tiongkok, Taiwan, Vietnam,
Brunei, Filipina dan Malaysia. Selain itu terdapat pula pihak-pihak lain seperti
Indonesia dan Amerika Serikat yang terkena dampak spill over. Indonesia
memang tidak terlibat dalam sengketa kepulauan di LCS, namun klaim RRT
1Fitriyasa, Akbar,Kerjasama Militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam Mengelola Ancaman
Keamanan Laut Tiongkok Selatan Tahun 2011 (Skripsi FISIP UIN Jakarta: Tidak diterbitkan,
2011), 1 2Faudzan Farhana, “Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut
Cina Selatan,” Jurnal Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 11 (Juni 2014):
169
2
mencakup sebagian perairan Indonesia yang saat ini disebut dengan Laut Natuna
Utara sedangkan AS ikut terkena dampak mengingat AS menjunjung tinggi
kebebasan bernavigasi.3
Konflik Laut China Selatan mulai menjadi perhatian dunia sejak RRT pada
masa pemerintahan partai Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai Sek pada
tahun 1947 mengklaim Laut China Selatan sebagai bagian dari teritorialnya
dengan menerbitkan peta Laut China Selatan menurut sejarah RRT. Wilayah yang
di klaimnya itu saat ini dikenal dengan „nine-dash line’. Klaim RRT ini juga
mendapatkan dukungan dari Taiwan yang sebelumnya merupakan bagian dari
kedaulatan RRT.4
Memandang banyaknya kasus mengenai sengketa teritorial perairan pasca
perang dunia kedua, PBB membentuk sebuah konvensi yang mengatur tentang
hukum-hukum laut. Konvensi ini diberi nama United Nations Convention on the
Law of the Sea (UNCLOS). UNCLOS juga lahir atas tuntutan negara-negara
pantai yang ingin memperluas kontrol mereka atas wilayah laut yang berdekatan
dengan garis pantai negaranya.
UNCLOS I dirangkum dalam 4 konvensi yaitu, Konvensi tentang High
Seas, Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, Konvensi tentang
Landas Kontinen dan Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati Laut Tinggi. Namun UNCLOS I dinilai masih belum bisa
memecahkan beberapa masalah salah satunya mengenai lebar laut teritorial. Pada
3 Hukumpedia.com, Natuna Milik Kita Indonesia, diakses pada 17 Agustus 2018 dari
http://www.hukumpedia.com/agungh28/natuna-milik-kita-indonesia 4 BBC.com, Why is the South China Sea Contentious?, diakses pada 30 Juli 2018 dari
http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-13748349
3
akhirnya di bentuk UNCLOS II dangan tujuan menyempurnakan hasil-hasil yang
telah dicapai pada konvensi sebelumnya. UNCLOS II di bentuk pada tahun 1960,
namun UNCLOS II kembali dianggap gagal karena tidak bisa menghasilkan
perjanjian internasional.
Setelah kegagalan UNCLOS II dalam menyempurnakan UNCLOS I, pada
tahun 1982 PBB kembali mengadakan konvensi ketiga yang dikenal sebagai
UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 ditandatangani oleh 119 negara (Termasuk RRT
dan Filipina)5 dan menghasilkan 3 pembagian laut, yaitu, laut yang termasuk
kedalam wilayah kedaulatan negara yang bersangkutan (laut teritorial, laut
pedalaman), laut yang tidak termasuk kedalam wilayah kedaulatan, namun negara
bersangkutan mendapatkan yurisdiksi terhadap aktifitas-aktifitas tertentu (ZEE)
dan laut yang berada diluar kedua wilayah tersebut dengan kata lain tidak
termasuk kedalam kedaulatan negara yang bersangkutan (laut bebas).6
Selain membahas pembagian wilayah teritorial, UNCLOS 1982 juga
membahas mengenai penyelesaian sengketa. Pada UNCLOS 1982 bagian 15
mengenai penyelesaian sengketa, menyatakan bahwa sengketa yang terjadi harus
diselesaikan dengan cara damai. Bertukar pendapat dan konsoliasi merupakan
cara yang pertama kali disarankan dalam pasal ini. Namun, jika cara tersebut tidak
membuahkan hasil, para pihak dapat mengangkat kasus ke jenjang pengadilan
internasional maupun arbitrase internasional sesuai yang telah diatur pada
UNCLOS bagian 15 mengenai penyelesaian sengketa. Pada pasal 287, para pihak
5 Table of Recapitulating the Status of the Convention and the Related Agreement, (Jenewa: United
Nations, 10 Oktober 2014), Diakses pada 31 Juli 2018 dari
http://www.un.org/depts/los/reference_files/status2010.pdf 6 UN.org, Convention Historical Perspective, diakses pada 5 Agustus 2018 dari
http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_historical_perspective.htm
4
yang terlibat dapat memilih beberapa institusi dengan menggunakan cara yang di
rujuk UNCLOS pada lampiran VI, VII dan VIII.7
Dalam kasus Laut China Selatan, Klaim RRT yang hampir mencakup
seluruh Laut China Selatan tentu melebihi hak wilayahnya seperti yang telah
diatur dalam UNCLOS 1982. Selain itu, klaim RRT juga merengut hak-hak
wilayah negara-negara di sekitar Laut China Selatan hal ini menjadi dasar
sengketa kepulauan di wilayah tersebut saat ini. Untuk lebih jelas mengenai klaim
dan pembagian wilayah UNCLOS 1982 dapat melihat peta berikut:
Gambar 0-1 Peta Laut China Selatan berdasarkan klaim RRT dan UNCLOS8
7United Nations Convention on the Law of the Sea, (Jenewa: United Nations, 17 Desember 1970),
diakses pada 31 Juli 2018 dari
www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf 8BBC.com, Why is the South China Sea Contentious?
5
Sengketa ini kembali memanas sejak AS mulai menekan Tiongkok untuk
segera menyelesaikan konflik sengketa di Laut China Selatan. Namun Tiongkok
justru mengeluarkan peringatan yang menentang perilaku provokatif di Laut
China Selatan yang sepertinya di tujukan untuk AS. Tiongkok yang meningkatkan
kekuatan militernya untuk pertama kali pada 2006, semakin memperkeruh
sengketa ketika menurunkan kapal dengan tenaga nuklirnya pada 2009. Hingga
saat ini upaya-upaya terus dilakukan dari berbagai pihak untuk menyelesaikan
konflik di Laut China Selatan, namun belum menemui titik terang. Upaya mediasi
yang dilakukan oleh organisasi internasional seperti ASEAN masih belum
membuahkan hasil.
Sengketa yang berlarut menyebabkan Filipina memutuskan untuk
mengajukan sebuah kasus kepada Pengadilan Arbitrase Permanen (Permanent
Court of Arbitration) di Den Haag pada 2013. Pengaduan ini terkait interpretasi
dan aplikasi Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) tahun 1982, mengenai batas-
batas wilayah Laut China Selatan. Laporan Filipina ini pun diterima oleh PCA.9
PCA pun membuka sebuah arbitrase yang di beri nama The South China Sea
Arbitration (The Republic of Philippines v. The People’s Republic of China).
Awal mula kehadiran PCA yaitu dari sebuah treaty atau perjanjian
internasional yang merupakan hasil dari Konferensi Perdamaian Den Haag I tahun
1899 dan Konferensi Perdamaian Den Haag II tahun 1907.10
Pada konferensi
9 Ben Westcott, Philippines vs China: Why the South China Sea rulling may change Asia, diakses
pada 04 Agustus 2018 dari http://edition.cnn.com/2016/07/04/asia/south-china-sea-un-case-
explainer/ 10
Permanent Court of Arbitration,”History” diakeses pada 03 Agustus 2018 dari https://pca-
cpa.org/en/about/introduction/history/
6
pertama, terdapat 68 negara telah meratifikasinya sedangkan sebanyak 64 negara
telah meratifikasi konferensi kedua. RRT termasuk salah satu negara yang
meratifikasi kedua konferensi tersebut, sedangkan Filipina hanya meratifikasi
konferensi yang kedua.11
Fungsi PCA yaitu memberikan bantuan administratif
melalui arbitrase internasional dalam menyelesaikan kasus sengketa yang berasal
dari sebuah perjanjian internasional (treaties) antar aktor internasional baik
Negara, Organisasi Internasional maupun pihak Swasta atau Individu.12
Pada 12 Juli 2016, PCA mengeluarkan keputusan mengenai gugatan
Filipina atas klaim RRT di Laut China Selatan. Hasil kepututsan PCA menyatakan
bahwa RRT tidak memiliki hak atas klaimnya di wilayah perairan tersebut. PCA
menyatakan bahwa klaim RRT yang berdasarkan sejarah dinilai tidak memiliki
dasar.13
Tiongkok yang dianggap kalah dalam pengadilan, tidak mengakui akan
hasil keputusan PCA tersebut. Sejak awal gugatan yang diajukan oleh Filipina
telah ditolak dan RRT tidak pernah sekalipun berpartisipasi dalam setiap
persidangan yang di gelar PCA. Oleh karena itu RRT menganggap bahwa PCA
tidak memiliki hak untuk memutuskan kasus tersebut. RRT menolak keputusan
Pengadilan Arbitrase Permanen tersebut melalui Menteri Luar Negerinya,
mendeklarasikan bahwa hasil keputusan ini tidak sah dan tidak mengikat.14
11
Permanent Court of Arbitration,”Contracting Parties” diakeses pada 03 Agustus 2018 dari
https://pca-cpa.org/en/about/introduction/contracting-parties/ 12
Permanent Court of Arbitration, “Arbitration Services”,diakses pada 17 Agustus 2018 dari
https://pca-cpa.org/en/services/arbitration-services/ 13
Jane Perlez, “Tribunal Rejects Beijing‟s Claims in South China Sea”, diakses pada 17 Agustus
2018 dari https://www.nytimes.com/2016/07/13/world/asia/south-china-sea-hague-ruling-
philippines.html 14
Theguardian.com, “Beijing Rejects Tribunal‟s Ruling in South China Sea Case”, [berita on-
line], diakses pada 17 Agustus 2018 dari
7
Dilihat dari fakta-fakta yang terkumpul, sikap RRT yang menolak secara
tegas hasil keputusan PCA memperlihatkan bahwa RRT memiliki kepentingan
yang besar di Laut China Selatan. Sebenarnya apa saja kepentingan RRT di Laut
China Selatan dan apa saja faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kebijakan
RRT tersebut. Dan apabila kepentingan RRT sangat mendesak apakah
kepentingan itu sepadan dengan akibat yang akan diterima RRT atas kebijakannya
yang menolak keputusan PCA tersebut.
B. Pertanyaan Penelitian
Mengapa Republik Rakyat Tiongkok menolak hasil keputusan Permanent
Court of Abitration atas gugatan Filipina di Laut China Selatan Tahun 2016?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya memiliki tujuan dan manfaat yang di
maksudkan untuk mendapatkan keterangan dari sumber yang jelas yang
membahas tentang alasan mengapa Republik Rakyat Tiongkok menolak hasil
keputusan Permanent Court of Arbitration. Adapun tujuan yang ingin dicapai
penulis yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui alasan-alasan yang mempengaruhi keputusan RRT
dalam penolakannya terhadap hasil keputusan PCA.
https://www.theguardian.com/world/2016/jul/12/philippines-wins-south-china-sea-case-against-
china
8
2. Mengetahui dasar-dasar klaim RRT dalam konflik Laut China Selatan.
3. Mengetahui dasar dari keputusan PCA dalam kasus sengketa teritorial di
Laut China Selatan atas gugatan Filipina tahun 2013.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini diantaranya, yaitu:
1. Manfaat secara teoritis, skripsi ini diharapkan dapat memberikan
masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan atau tambahan dokumentasi
karya tulis dalam bidang Hukum Laut Internasional.
2. Manfaat secara praktis, skripsi ini bertujuan untuk lebih mengetahui
informasi mengenai bagaimana Penegakan Hukum Internasional
terhadap permasalahan yang sangat sensitive mengenai daerah territorial
setiap negara yang bersengketa dan bagaimana pertimbangan sebuah
negara dalam membentuk suatu kebijakan dalam menanggapi kasus
tersebut.
D. Kerangka Teoritis
Dalam sebuah penelitian kerangka teori digunakan sebagai dasar bagi
peneliti unyuk menemukan kebenaran. Selain itu teori juga membantu penulis
dalam memahami permasalahan yang sedang di teliti. Dalam memahami
penelitian mengenai penolakan Republik Rakyat Tiongkok atas hasil keputusan
Permanent Court of Arbitration ini, penulis menggunakan beberapa pendekatan.
9
Pendekatan yang diguanakan diantaranya yaitu neo-realisme dan konsep
kepentingan nasional.
a. Neo-Realisme
Neo-realisme atau realisme strutural hadir sebagai kritik atas teori klasik
realisme sekaligus perpanjangan intelektulal yang substansial dari tradisi teorits
yang berada diantara perubahan-perubahan cepat dalam wilayah politik global.15
Neo-realisme muncul pada tahun 1970-an dicetuskan oleh seorang pemikir,
Kennth Waltz melalui karyanya yang berjudul Theory of International Politics.
Namun sebelumnya Waltz telah mengkritik realisme klasik sejak 1950-an melalui
disertasinya yang berjudul Man, The State and War.
Waltz mengkritik enam prinsipal yang dikemukakan oleh Morgenthau
dalam realisme Klasik. Kritik tersebut diantaranya yaitu Morgenthau
menggunakan human nature untuk menjelaskan Nation-States, menurutnya
masalah utama yang menyebabkan perang dalam hubungan internasional berada
di level sistem, keadaan anarki yang membentuk karakter negara di sistem
internasional dan bukan karakter homo homini lupus16
. Para tradisionalis terlalu
fokus pada data empiris namun tidak membangun framework, yang berpengaruh
pada pengambilan keputusan yang membutuhkan waktu lama.Tradisionalis juga
dalam menganalisa terlalu deskriptif, padahal teori yang baik haruslah eksplanatif.
Terakhir, teori yang baik adalah tentang „what is‟ bukan „what it should be‟.
15
Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of Internatinal Relations (New York: ST
Martin‟s Press, INC, 1996), h. 112-113. 16
Homo homini lupus merupakan bahasa latin yang berarti ‘Manusia merupakan serigala atas
manusia lainnya’.
10
Sama halnya dengan realisme klasik, neo-realisme juga memandang bahwa
aktor utama dalam struktur internasional adalah Negara. Negara merupakan aktor
yang rasional dan mencari keuntungan dengan mempertimbangkan cost dan
benefit. Namun jika dalam realisme klasik negara merupakan satu-satunya aktor,
neo-realis justru mengkui adanya aktor-aktor lain selain negara. Dalam sistem
internasional neo-realis percaya bahwa struktur lah yang membentuk perilaku
aktor internasional tersebut.17
Dalam kasus penolakan RRT terhadap keputusan PCA, Neo-realisme
menjelaskan bahwa PCA merupakan suatu aktor internasional yang diakui.
Namun, konsep negara sebagai aktor utama menjelaskan mengapa RRT yang
memiliki status sebagai negara menjadi aktor utama yang rasional tidak bisa
dengan mudah di kendalikan oleh aktor non-state (PCA) sehingga timbul
penolakan dari RRT terhadap hasil keputusan PCA. Penolakan RRT terhadap
hasil keputusan PCA dinilai diperlukan demi mempertahankan kepentingan
nasional RRT. Hasil keputusan PCA yang merupakan produk dari struktur
internasional dalam hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi kebijakan RRT.
Ini merupakan penjelasan Neo-realisme dimana sebuah struktur internasional
membentuk perilaku sebuah negara yang diperlihatkan melalui sebuah kebijakan.
b. Konsep Kepentingan Nasional
Kepentingan Nasional adalah tujuan yang perlu dicapai oleh sebuah Negara
demi mencapai kesejahteraan. Dengan begitu kepentingan nasional akan
17
Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of Internatinal Relations (New York: ST
Martin‟s Press, INC, 1996), h. 116-118.
11
membentuk perilaku suatu Negara. Hal ini dikarenakan Suatu negara akan
melakukan segala cara demi memenuhi kepentingan nasionalnya. Menurut
pandangan neo-realisme yang merupakan turunan dari realisme menganggap
bahwa dalam kondisi yang anarkis suatu negara harus memenuhi kepentingan
nasionalnya dalam rangka survival.18
Menurut Hans J. Morgenteau kepentingan utama setiap Negara yaitu
mengejar kekuasaan atau power. Dengan adanya kekuasaan seuatu negara dapat
memenuhi kepentingan lainnya dengan lebih mudah. Kepentingan nasional suatu
Negara dapat dicapai dengan beberapa cara diantaranya dengan bekerjasama atau
dengan sedikit paksaan.19
Sedangkan dalam bukunya Roy Olton dan Jack C. Plano berpendapat bahwa
dalam mencapai kepentingan nasional, harus turut mempertimbangkan kekuatan
nasional yang dimiliki oleh negara tersebut. Mereka juga menambahkan bahwa
terdapat elemen-elemen dari kepentingan nasional, yaitu, pertahanan diri (self
preservation), kemandirian (independence), integritas teritorial (territorial
integrity), keamanan militer (military security) dan kemakmuran ekonomi
(economic wellbeing).20
Setiap negara tentu saja memiliki perbedaan prioritas, tergantung dari
bagaimana keadaan suatu negara. Prioritas tersebut tentu akan memperlihatkan
18 Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplindan Metodologi (LP3ES: Jakarta,
1990),h. 140. 19
Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplindan Metodologi 20
Jack C Plano dan Roy Olton, The International Dictionary (Wentern Michigan University: New
York, 1973), h. 217.
12
kepentingan nasional yang perlu dicapai dan tentu saja dengan berbedanya
keadaan antar suatu negara dengan negara lain akan berbeda juga cara yang
digunakan untuk memenuhi kepentingan nasionalnya.
Kepentingan nasional nantinya akan disalurkan melalui politik luar negeri
negara tersebut. Politik luar negeri yang dikeluarkan telah melewati proses
pertimbangan matang oleh pengambil keputusan (decision makers) dan pihak
pihak yang terkait. Hal yang menjadi pertimbangan utama bagi setiap negara pada
umumnya yaitu kesejahteraan ekonomi.
Sengketa di Laut China Selatan timbul akibat terdapatnya klaim-klaim dari
kedua negara. keduanya tentu ingin menyalurkan kepentingannya di kawasan
tersebut dengan menggunakan klaim-klaim tersebut. Selain untuk memenuhi
kepentingan dalam hal kekuasaan wilayah, dalam sengketa ini juga terdapat
kepentingan ekonomi didalamnya. Banyak pihak meyakini bahwa kawsan Laut
China Selatan memiliki cadangan minyak dan gas bumi. Selain itu, kawasan Laut
China Selatan merupakan jalur perdagangan yang strategis.
Dalam kasus penolakan RRT atas putusan PCA terlihat bahwa RRT
mencoba terus mempertahankan kepentingannya di Laut China Selatan. PCA
yang telah menyatakan bahwa klaim RRT tidak memiliki dasar, secara tidak
langsung akan mepengaruhi kedaulatan RRT di kawasan tersebut. Oleh karena itu
penolakan tegas harus dilakukan RRT demi mempertahankan kepentingan
nasionalnya.
13
E. Metode Penelitian
Dalam sebuah penelitian, metode penelitian digunakan sebagai alat yang
memudahkan penulis untuk mendapatkan cara yang sistematis dalam melakukan
sebuah penelitian. Adapun tipe penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah tipe deskriptif, yakni menggambarkan, mencatat, menganalisis serta
menginterpretasikan kondisi-kondisi atau peristiwa-peristiwa yang terkait dengan
permasalahan yang diangkat.21
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik pengumpulan data
berupa telaah pustaka (Library Research) yaitu dengan cara pengumpulkan data
dan informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti baik berupa buku,
artikel, dokumen, internet, majalah maupun surat kabar. Selain itu juga penulis
melakukan wawancara dengan beberapa ahli yang juga menguasai atau telah
melakukan penelitian mengenai tema yang sedang diteliti oleh penulis.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data teoritis yang
bersumber dari berbagai litelatur yang berkaitan dengan materi skripsi penulis.
Adapun data yang diperlukan antara lain mengenai Sengketa di Laut China
Selatan, Klaim-klaim RRT di Laut China Selatan dan Hasil Keputusan PCA.
Penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif berupa studi kasus artinya
penulis berusaha menampilkan beberapa fakta yang terjadi dari beberapa sumber
yang menggambarkan sengketa Kepulauan Paracel beserta klaim-klaimnya.
21
Suryana, Metodologi Penelitian Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif(Bandung:
UPI, 2010), h. 19-20.
14
F. Tinjauan Pustaka
Kasus sengketa toritorial Laut China Selatan sudah menjadi perhatian dunia.
Oleh karena itu penelitian mengenai kasus tersebut cukup banyak dikaji oleh
beberapa peneliti. Selain itu, penolakan terhadap hasil keputusan sebuah Arbitrase
Internasional juga bukan kali pertama terjadi. Berikut beberapa penelitian yang
relevan dengan kasus yang diangkat oleh penulis.
Penelitian pertama berjudul An International History of the Dispute in The
South China Sea. Penelitian ini merupakan sebuah working paper oleh Dr. Stein
Tønnesson. Dalam tulisannya ini, Stein membahas mengenai sejarah sengketa
teritorial Laut China Selatan terutama pada kepulauan yang berada di dalamnya,
yaitu kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Stein membagi sejarah sengketa
Laut China Selatan menjadi beberapa masa-masa yang penting, yaitu pada tahun
1877, 1909, 1933, 1946-1947, 1951-1952, 1956, 1971, 1974, 1982-1983, dan
1988.22
Penelitian ini memiliki persamaan dalam hal tema sengketa yang diangkat
dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Dari penelitian ini penulis dapat
memahami lebih lanjut bagaimana awal mula sengketa teritorial di Laut China
Selatan. Selain itu dalam penelitian ini dijelaskan bagaimana awal mula klaim-
klaim bermunculan di kawasan ini yang pada akhirnya menghasilkan sengketa.
22
Stein Tønnesson, “An International History of the Dispute in the South China Sea”, EAI
Working Paper No.71, 2001, h. 1.
15
Perbedaan antara penelitian ini dan penelitian yang akan dilaksanakan oleh
penulis terletak pada fokus permasalahan yang diangkat, jika Stein lebih
membahas mengenai sejarah dan klaim-klaim yang pada akkhirnya menimbulkan
sengketa di Laut China Selatan. Penulis memfokuskan kepada klaim Republik
Rakyat China yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan RRC
dalam menolak hasil keputusan PCA.
Rujukan kedua berasal dari buku yang berjudul Konflik Laut China Selatan
dan Implikasinya Terhadap Kawasan. Buku ini ditulis Oleh Prof. Dr. Phil. Poltak
Partogi Nainggolan, M.A. dan diterbitkan oleh P3DI Setjen DPR Republik
Indonesia dan Azza Grafika. Buku ini merupakan gabungan dari beberapa laporan
yang sudah dilakukan sebelumnya pada tahun 2012-2013. Laporan-laporan
tersebut memiliki topik yang saling terikat yaitu mengenai dinamika ketegangan
yang terjadi di kawasan Laut China Selatan. Dalam buku ini dijelaskan bahwa
konflik yang terjadi dikawasan ini akibat dari terdapatnya klaim tumpang tindih
dari negara-negara di sekitar kawasan ini. Diantaranya yaitu, Tiongkok, Vietnam,
Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. Dalam buku ini juga dijelaskan
mengenai kepentingan apasaja yang ada di dalam konflik ini.23
Rujukan Pustaka ini memiliki kesamaan mengenai topik yang dibahas yaitu
mengenai konflik yang terjadi di kawasan Laut China Selatan. Dari Rujukan
Pustaka ini penulis dapat memahami mengenai tumpang tindihnya klaim-klaim di
wilayah ini dan kepentingan-kepentingan apa saja yang di perjuangkan dalam
23 Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan
(P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika: Jakarta, 2013),h. 140.
16
sengketa ini. Perbedaan antara penelitian yang sedang Penulis kerjakan dan
Rujukan Pustaka ini yaitu mengenai fokus penelitiannya. Penulis lebih terfokus
terhadap kebijakan Tiongkok dalam menanggapi keputusan Permanent Court of
Arbitrations (PCA).
Rujukan Pustaka Selanjutnya merupakan sebuah Jurnal Yudisial Fakultas
Hukum Universitas Indonesia dengan judul Penolakan Putusan Arbitrase
Internasional dalam kasus Astro All Asia Network Plc yang di tulis oleh Mutiara
Hikmah. Dalam penelitiannya, Mutiara menjelaskan mengenai pertimbangan
Pemerintah Indonesia menolak keputusan Arbitrase Internasional. Hal ini
bertentangan dengan status Indonesia yang ikut serta dalam Konvensi New York
1958 mengenai pengakuan dan undang-undang Arbitrase Asing.24
Dalam penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian penulis yaitu
dalam hal tema yang dibahas. Penelitian ini juga membahas mengenai penolakan
sebuah negara atas hasil keputusan arbitrase internasional. Namun perbedaanya
terletak pada pemilihan kasus dan negara yang menjadi subjek utama penelitian.
Rujukan keempat berjudul South China Sea: How We Got to This Stage di
tulis oleh Fu Ying dan Wu Shicun. Dalam penelitian ini dijelaskan mengenai
sumber dari ketegangan yang terjadi di wilayah yang di sengketakan ini. Dalam
jurnal ini dijelaskan bagaimana ketegangan mulai terjadi sejak 2009 dan
meningkat pada 2012.25
Ketegangan mulai terjadi ketika AS yang menjunjung
24
Mutiara Hikmah, “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro All Asia
Network Plc”, Jurnal Yudisial Vol. 5 No.1 Fakultas Hukum UI (2012): h. 64-65. 25
Fu Ying dan Wu Sichun, “South China Sea : How We Got to This Stage”, Institue for Security &
Developement Policy (ISDP) Jurnal Publikasi (2016): h. 4-5.
17
kebebasan bernavigasi memperingati Tiongkok yang mengklaim sebagian besar
wilayah Laut China Selatan dan meningkatkan kekuatan militernya di Kawasan
Tersebut.
Jurnal ini membantu Penulis untuk dapat memahami awal mula ketegangan
terjadi dalam sengketa yang terjadi dikawasan Laut China Selatan. Jurnal ini juga
menjelaskan bagaimana dinamika sengketa sejak sebelum terbentuknya
kedaulatan nasional, hingga terbentuknya UNCLOS, konflik pada masa perang
dingin hingga ketegangan yang terjadi hingga tulisan ini dibuat. Perbedaan
dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu terdapat pada fokus penelitian.
Penulis membahas mengenai respon Tiongkok terhadap hasil keputusan PCA
setelah Filipina mengangkat sengketa ini ke Pengadilan Arbitrase tersebut.
Rujukan pustaka yang terakhir merupakan sebuah jurnal penelitian politik
dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jurnal ini di tulis oleh salah satu
peneliti lembaga tersebut bernama Faudzan Farhana dengan judul Memahami
Perspektif Republik Rakyat Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut
China Selatan. Jurnal ini merupakan sebuah review dari sebuah buku yang di tulis
oleh Prof. Wu Sichun yang berjudul Disputes for Regional Coorporation and
Development in the South China Sea: A Chinese Prespective.
Jurnal ini mengulas mengenai materi yang di bahas dalam buku Prof. Wu
mengenai prespektif RRT yang merupakan aktor penting dalam sengketa teritorial
ini. Dalam Jurnal ini menjelaskan mengenai klaim RRT atas keempat kepulauan
yang termasuk dalam wilayah LCS. Selain itu juga dalam jurnal ini membahas
18
mengenai penyelesaian konflik di LCS tentu dalam pandangan RRT. Jurnal ini
akan membantu penulis dalam memahami lebih dalam mengenai pandangan RRT
dalam Sengketa di LCS.
Kesamaan jurnal ini dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu sama-
sama menjelaskan mengenai pandangan RRT dalam konflik LCS. Sedangkan
perbedaannya yaitu jika dalam tulisannya Faudzan dan Prof. Wu menjelaskan
pandangan RRT dalam keseluruhan sengketa di LCS. Penulis hanya membahas
pandangan RRT dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pertimbangan RRT
yang memutuskan untuk menolak hasil keputusan PCA.
G. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab ini akan menjelaskan secara singkat mengenai pernyataan masalah
penelitian dan dikembangkan menjadi sebuah pertanyaan penelitian. Bab ini juga
akan membahas mengenai tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Kemudian akan
dijelaskan mengenai kerangka teoritis dari penelitian ini. Bab ini juga membahas
mengenai metode penelitian, tinjauan pustaka dan sisitematika penulisan yang di
gunakan dalam penelitian ini.
BAB II Dinamika Kepemilikan Laut China Selatan dan Klaim Tiongkok
Pada Bab ini akan dijelaskan mengenai dinamika kepemilikan di Laut China
Selatan dan Klaim Tiongkok di wilayah Laut China Selatan. Sub-bab pertama
akan menjelaskan mengenai kepemilikan Laut China Selatan pada periode
19
sebelum hadirnya kedaulatan nasional hingga awal mula terbentuknya konflik
Laut China Selatan. Selanjutnya akan dibahas mengenai hubungan antara negara-
negara yang terlibat di konflik ini, salah satunya antara Tiongkok dengan negara-
negara ASEAN.
Pada sub-bab Selanjutnya akan membahas lebih spesifik mengenai klaim
sejarah Republik Rakyat Tiongkok yang ditandai dengan sembilan garis putus-
putus. Selanjutnya akan dibahas mengenai presfektif RRT sehingga pada akhirnya
menimbulkan sengketa dengan Filipina.
Bab ini perlu dibahas karena pada bab ini dijelaskan bagaimana awal mula
terjadinya konflik di LCS yang pada akhirnya berkepanjangan dan pada akhirnya
kasus ini dtangani oleh PCA. Dengan mengetahui akar dari konflik akan
mempermudah mengetahui mengenai pertimbangan RRT yang pada akhirnya
menolak keputusan PCA.
BAB III Posisi Filipina dan Penolakan Tiongkok pada Hasil Keputusan
Permanent Court of Arbitration
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai posisi Filipina yang menggugat
Tiongkok atas klaimnya di Laut China Selatan dan hasil keputusan Permanent
Court of Arbitration (PCA) sebagai instansi yang ditunjuk untuk menyelesaikan
kasus sengketa ini.
Pada sub-bab pertama akan dijelaskan mengenai kedudukan Filipina pada
sengketa wilayah tersebut. Selanjutnya dibahas mengenai tuntutan-tuntuan
Filipina terhadap Tiongkok dan pengajuan gugatan Filipina ke Permanent Court
20
of Arbitration. Pada sub-bab ini juga akan dibahas mengenai pembentukan United
Nations Conventions on Law of the Sea (UNCLOS) yang menjadi dasar hukum
baik dalam tuntutan Filipina maupun PCA sebagai instansi hukum yang dipercaya
untuk menyelesaikan sengketa ini.
Pada sub-bab seanjutnya akan dijelaskan mengenai landasan hukum dan
kedudukan PCA dalam kasus sengketa kepemilikian LCS ini. Selanjutnya akan
dibahas mengenai hasil keputusan PCA atas kasus sengketa wilayah di Laut China
Selatan. Bab ini penting untuk dibahas karena dengan mengetahui pertimbangan
dan hasil keputusan dari PCA akan memudahkan penulis dalam mengetahui
alasan RRT menolak hasil keputusan tersebut.
BAB IV Analisa Penolakan Tiongkok atas hasil keputusan PCA
Bab ini akan menjelaskan secara spesifik mengenai penolakan RRT atas
keputusan PCA dalam kasus kepemilikan LCS. Pada sub-bab pertama akan
dijelaskan mengenai kronologis penolakan RRT atas keutusan PCA. Pada sub-bab
selanjutnya akan membahas mengenai alasan-alasan RRT dalam menolak
keputusan PCA.
Bab ini merupakan bab yang akan menjawab pertanyaan penelitian yang
didukung oleh fakta-fakta yang sudah diungkapkan pada bab-bab selanjutnya
menggunakan teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB V Penutup
21
Bab ini berisi kesimpulan secara keseluruhan penelitian dan jawaban
penulis mengenai pertanyaan penelitian dan terkait penolakan Republik Rakyat
Tiongkok atas hasil keputusan Permanent Court of Arbitration dalam kasus
kepemilikan Laut China Selatan atas gugatan Filipina.
22
BAB II
DINAMIKA KEPEMILIKAN LAUT CHINA SELATAN
DAN KLAIM TIONGKOK
A. Kepemilikan Laut China Selatan
Konflik Laut China Selatan telah berlangsung cukup lama sejak awal abad
ke-20, telah banyak klaim-klaim dari banyak negara atas wilayah perairan ini.
Pasca perang dingin isu kedaulatan menjadi hal yang sangat sensitif. Dalam
membahas sengketa kedaulatan internasional, Stein menjelaskan bahwa terdapat 3
cara, yaitu: Pertama, yaitu dengan melihat prespektif nasional. Digunakan dengan
cara melihat sejauh mungkin kedalam sejarah negara-negara yang bersangkutan.
Hal ini digunakan untuk mencari bukti-bukti mengenai status teritorial tersebut,
dengan cara mencari jawaban dari apakah wilayah tersebut warisan turun-temurun
dan bagaimana wilayah tersebut dapat bertahan dari okupasi dan sebagainya.
Kedua, menyusun naskah-naskah hukum yang tidak memihak, menyajikan
kronologis klaim yang tidak sesuai dengan kedaulatan dan mengevaluasi mana
yang relatif berhak berdasarkan hukum internasional. Ketiga yaitu menjadikan
sengketa sebagai bagian dari sejarah internasional secara umum dan menganalisa
kejadian atau tren berdasarkan perubahan dari sistem internasional dan balance of
power.26
26
Stein Tønnesson, “An International History of the Dispute in the South China Sea”, EAI
Working Paper No.71, 2001, h. 1-2.
23
Dalam membahas sengketa kedaulatan di wilayah Laut China Selatan,
sejarah memilki peran yang sangat penting. Sengketa kepulauan di Laut China
Selatan ini mulai muncul pada abad ke-19 didukung dengan munculnya
kedaulatan nasional. Konflik Laut China Selatan memang baru mencuat sejak
abad ke-19.27
Namun beberapa pihak yang terlibat menggunakan sejarah berupa
peninggalan prasasti dan artefak yang mereka temukan di wilayah Laut China
Selatan. Memang sebelum terbentuknya kedaulatan nasional di wilayah ini, Laut
China Selatan sudah di gunakan sebagai jalur perdagangan bahkan sejak 2000
tahun yang lalu.
Jalur perdagangan ini pada saat itu dipenuhi dengan barang-barang kerajaan
menengah dan delewati oleh macam-macam kapal dari berbagai bangsa. Wilayah
ini dikuasai oleh Tiongkok sebagai kerajaan besar pada saat itu. Tiongkok pada
saat itu berada di bawah kepemimpinan Dinasti Han dan Dinasti-dinasti
dibawahnya. Namun, pada masa peperangan, pedagang Tiongkok lebih sering
menggunakan jalur sutra di Asia Tengah, hal ini menjadikan beberapa kerjaan
lainnya lebih leluasa dalam melakukan perdagangan di wilayah Laut China
Selatan.
Beberapa kerajaan menengah yang pada saat itu ikut menggunakan wilayah
ini diantaranya yaitu, Kerajanaan Funan, Angkor, Sriwijaya, Ayunthaya, Champa
dan Kesultanan Malaka. Jalur perdagangan ini meliputi garis pantai Tiongkok
melewati Taiwan dan Hainan, lalu turun ke semenanjung Indochina, lalu melewati
27
Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan
(P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika: Jakarta, 2013),h. 7.
24
teluk Thailand hingga ke selat Malaka. Selama abad ke-8 hingga abad ke-12
kerajaan Sriwijaya yang pada saat itu mengontrol kedua sisi Selat Malaka
mendominasi wilayah perdagangan ini. 28
Hingga pada abad ke-12 hingga abad ke-15 kekaisaran Tiongkok
mendominasi perdagangan dan diakhiri dengan ekspedisi laksamana Zheng He.
Baru sejak abad ke-16 perdagangan baru muncul jauh dari barat, sepanjang jalan
hingga sekitar Afrika. Portugis mulai menguasai malaka pada 1511 dan
membentuk sebuah kehadiran permanen di Makau sejak 1557. Di tahun 1571
Spanyol merebut manila. Pada 1612 Belanda mengambil alih Malaka dari spanyol
dan mendominasi penjualan rempah-rempah yang menguntungkan selama abad
ke-17. Selama abad ke-18 hingga ke-19 timbul penolakan terhadap kehadiran
barat di wilayah ini, hal ini dimanfaatkan Tiongkok untuk membangun kembali
peperkapalan, namun Inggris dan Perancis datang dengan kapal tempur yang
menyeramkan dan memulai kolonialisme di wilayah ini.
Selama abad ke-19, terdapat dua tambahan kekuatan baru di kawasan.
Jepang yang memenangkan Perang Sino-Jepang di tahun 1895 dan AS yang
memenangkan Perang Spanyol-Amerika di tahun 1898 dan mengambil wilayah
Filipina. Pada akhirnya ini membagi kekuatan perairan di wilayah Laut China
Selatan menjadi 5 kekuatan, Inggris, Perancis, Belanda, Jepang dan AS.29
28
Stein Tønnesson, “An International History of the Dispute in the South China Sea”, EAI
Working Paper No.71, 2001, h. 3 29
Stein Tønnesson, “An International History of the Dispute in the South China Sea”, h. 6.
25
Faktor yang memicu ketertarikan terhadap wilayan ini yaitu dengan
perkembangan Jepang, terutama saat invasinya ke Manchuria pada tahun 1932.
Invasi ini menjadikan Jepang diasingkan oleh keempat kekuatan besar lainnya
yang berasal dari barat. Sudah sejak lama pedagang Jepang bersaing dengan
kekuatan barat dalam perdagangan Tiongkok. Pada 1920 bahkan perusahaan
Jepang di Taiwan telah melakukan aktivitas di kedua kepulauan besar di wilayah
ini, meskipun tidak secara resmi mengklaimnya.
Perancis secara formal mengklaim beberapa Kepulauan Spratly pada tahun
1933 dan menyatakan bahwa Kepulauan Paracel sebagai Annam pada tahun
1938.30
Namun mendapat penolakan dari Jepang yang juga mengklaim wilayah
ini melalui Taiwan. Sistem kolonial sedikit demi sedikit digantikan dengan sistem
Negara bebas dengan ideologinya masing-masing. Awal mula periode ini dimulai
dengan kegagalan Inggris dalam mempertahankan Singapura dari serangan
Jepang.
Selama tahun 1942 hingga tahun 1945 Wilayah Laut China Selatan
mendapatkan julukan „Japanese Lake’, ini menjadi kali pertama dimana hanya
ada satu Negara saja yang mengontrol wilayah ini.31
Pada tahun 1941 Jepang
mengadakan kerjasama dengan Perancis dengan tujuan untuk dapat menggunakan
pelabuhan dan landasan udara di wilayah Indochina.
30
Stein Tønnesson, “An International History of the Dispute in the South China Sea”, EAI
Working Paper No.71, 2001, h. 9. 31
Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan
(P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika: Jakarta, 2013),h. 7
26
Republik Rakyat Tiongkok yang baru terbentuk pada 1949 di bawah
kepemimpinan Mao Zedong menandatangani kerjasama dengan Uni Soviet.
Dengan kerjasama ini Tiongkok dan Uni Soviet terbentuk pada 1949 di bawah
kepemimpinan Mao Zedong menandatangani kerjasama dengan Uni Soviet.
Dengan kerjasama ini Tiongkok dan Uni Soviet berhasil menyebarkan ketakutan
atas penyebaran komunis ke seluruh Asia dengan „teori domino‟. Namun,
kehadiran komunis bertujuan untuk penyebaran ideologi, tidak terfokuskan untuk
menguasai kekuatan maritim.
Selama periode ini berlangsung, kejatuhan jepang menjadikan AS sebagai
pemimpin dalam kekuatan maritim. Bahkan kehadiran kekuatan maritim kolonial
seperti Perancis berakhir pada tahun 1956-57 dan dan Inggris pada tahun 1968.
Sedangkan Tiongkok pada saat itu tidak melakukan pengembangan terhadap
kekuatan maritimnya.
Pasca perang dunia kedua, klaim yang paling aktif terhadap wilayah
perairan ini berasal dari Tiongkok di bawah kepemimpinan Chiang Kai-shek.32
Pada tahun 1946-47 Tiongkok mengirimkan ekspedisi kelautan ke kedua
kepulauan di wilayah Laut China Selatan yaitu Kepulauan Paracel dan Kepulauan
Spratly. Tiongkok juga menyiapkan pembentukan kedaulatan dan kehadiran
permanen di Itu Aba dan Woody Island yang merupakan pulau terbesar di
masing-masing kepulauan.
32
Fu Ying dan Wu Sichun, “South China Sea : How We Got to This Stage”, Institue for Security &
Developement Policy (ISDP) Jurnal Publikasi (2016): h. 5-6.
27
Selanjutnya, pada tahun 1948 Tiongkok mempublikasikan sebuah peta
berbentuk huruf „U‟ yang mencangkup hampir keseluruhan wilayah perairan Laut
China Selatan.33
Meskipun legal, status peta ini tidak pernah di klarifikasi. Bahkan
belum jelas juga bahwa peta yang menjadi klaim Tiongkok ini mencangkup
kepulauan yang berada dalam batas yang di klaim, atau keseluruhan wilayah laut
hingga dasar laut wilayah perairan ini di klaim Tiongkok sebagai wilayahnya.
Disisi lain pada tahun yang sama Perancis juga ikut mengadakan expedisi ke
kedua kepulauan ini. Melalui ‘Annamese’ –nya yang saat ini menjadi Vietnam,
Perancis mencoba mengusir Tiongkok dari Woody Island. Namun perancis gagal
menandingi kekuatan Tiongkok, dan hanya dapat menduduki Pattle Island yang
berada disisi barat kepulauan Paracel. Setelah Filipina resmi terbentuk pada tahun
1946, pemerintah Filipina mencoba untuk mengklaim sebagian besar wilayah
kepulauan Spartly, namun klaim tersebut tidak di dukung oleh AS mengacu
kepada perjanjian Spanyol – Amerika pada 1989 menjelaskan bahwa wilayah
Filipina tidak termasuk kepulauan Spartly. Selain itu klaim Filipina tersebut juga
akan mengakibatkan konflik dengan Tiongkok dan Prancis. 34
Vietnam menjadi negara dekolonisasi pertama yang mengambil langkah
nyata untuk mengklaim wilayah perairan ini. Pada saat itu Vietnam diakui secara
internasional dengan memiliki dua rezim, rezim The Democratic Republic of
Vietnam diakui oleh Tiongkok, Uni Soviet dan negara-negara di Eropa Timur,
33
Fu Ying dan Wu Sichun, “South China Sea : How We Got to This Stage”, Institue for Security &
Developement Policy (ISDP) Jurnal Publikasi (2016): h. 5-6. 34
Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan
(P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika: Jakarta, 2013),h. 9-12
28
sedangkan The State of Vietnam diakui oleh Inggris dan AS, dan masih dalam
bayang-bayang Prancis.35
The Democratic Republic of Vietnam yang
mendapatkan dukungan dari Tiongkok tidak mengganggu gugat kepualaun
Paracel dan Spratly yang telah lebih dahulu di klaim oleh Tiongkok, sedangkan
disisi lain The State of Vietnam dengan aktif mencoba mengambil alih kekuasaan
di kedua kepulauan ini. Tindakan ini mendapatkan tanggapan positif dari
Perancis. Meskipun Perancis mengakui bahwa kepulauan Paracel seluruhnya
merupakan bagian dari Vietnam, namun Perancis tidak melepaskan klaimnya atas
Kepulauan Spratly.
Pada konferensi perdamaian San Francisco 1951, Jepang secara formal
melepaskan klaimnya atas Hainan, Taiwan dan Kepulauan lainnya di Laut China
Selatan.36
Sayangnya, dalam konferensi ini tidak dijelaskan mengenai siapa yang
memiliki hak penuh atas seluruh kepulauan ini. Meskipun sudah Jelas Hainan dan
Taiwan akan menjadi bagian dari Tiongkok, namun Tiongkok tidak mengirimkan
perwakilan dalam konferensi ini. Sedangkan Perancis dan Vietnam yang hadir
dalam Konferensi tetap mempertahankan klaimnya atas kedua kepulauan
diwilayah tersebut, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly.
Inggris dan AS pada saat itu membiarkan masalah ini tidak terpecahkan dan
menyisakan beberapa pihak yang saling mengklaim, Prancis, Vietnam, Taiwan
dan Filipina. Banyaknya kepentingan yang dimiliki masing-masing pihak yang
35
Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan
(P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika: Jakarta, 2013),h. 9-12 36
Fu Ying dan Wu Sichun, “South China Sea : How We Got to This Stage”, Institue for Security &
Developement Policy (ISDP) Jurnal Publikasi (2016): h. 8-9.
29
terlibat, menciptakan beberapa protes dalam klaim dan klaim balasan atas wilayah
perairan ini.37
Faktor utama yang menjadi daya tarik utama pada wilayah ini yaitu
keberadaan minyak dan UNCLOS 1982.38
Pada pertengahan 1950 perusahaan
Inggris dan AS mulai tertarik terhadap kemungkinan menemukan minyak di
wilayah Spratly. Baru pada tahun 1969, kemungkinan terdapatnya minyak
menjadi faktor yang sangat kuat dalam perselisihan kedaulatan di wilayah ini
dimulai dengan negoisasi AS-Vietnam Utara. Hal ini mendorong negara
sekitarnya untuk mengklaim kedaulatannya masing-masing. Ini sejalan dengan
faktor lainnya, dengan adanya klaim-klaim mengenai kedaulatan sebuah negara,
timbul pertanyaan umum mengenai seberapa luas kedaulatan sebuah negara yang
memiliki wilayah pantai. Hal ini dijawab dengan diadakannya negosiasi terbuka
dibawah naungan PBB yaitu United Nations on Law of the Sea atau biasa disebut
UNCLOS.
UNCLOS mengatur mengenai zona-zona yang termasuk dalam kedaulatan
sebuah negara yang memiliki wilayah perairan termasuk hak dan kewajiban bagi
negara tersebut. Zona-zona ini di tarik dari garis pantai wilayah negara tersebut
sesuai yang sudah di atur dalam konferensi. Kemungkinan untuk memperluas
wilayah kedaulatan dan adanya rumor ketersediaan cadangan minyak di wilayah
37
Fu Ying dan Wu Sichun, “South China Sea : How We Got to This Stage”, Institue for Security &
Developement Policy (ISDP) Jurnal Publikasi (2016): h. 8-9. 38
Stein Tønnesson, “An International History of the Dispute in the South China Sea”, EAI
Working Paper No.71, 2001, h. 15.
30
LCS mulai mulai dipertimbangkan oleh negara-negara di sekitar Laut China
Selatan.39
Filipina menjadi negara pertama yang bertindak, pada tahun 1971 Filipina
mengokupasi setidaknya lima kepulauan kecil di area Reed Bank di wilayah timur
perairan ini. Sedangkan pada sisi barat, Vietnam Selatan mencoba mengeksplorasi
wilayah barat kepulauan Spratly dan menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian
administrasi provisi Vietnam Selatan. Pada sisi selatan wilayah Laut China
Selatan, Malaysia dan Brunei juga ikut berpartisipasi. Brunei menjadi yang
pertama yang membuka ladang minyak di dekat pesisir pantainya. Sedangkan
Malaysia mempublikasikan sebuah peta yang mencangkup wilayah bekas jajahan
Inggris di wilayah Borneo Utara atau Kalimantan Utara. Dengan peta yang
mencangkup beberapa kepulauan kecil dan terumbu karang di wilayah selatan
LCS, malaysia mengirim pasukan dan mulai mengokupasi wilayah tersebut.
Tindakan ini mendapat tanggapan negatif dari Brunei yang juga sebelumnya
negara jajahan Inggris. 40
Sedangkan Vietnam yang mencoba meraih wilayah barat Kepulauan Paracel
pada akhirnya gagal karena sejak 1974 wilayah ini sudah dalam kontrol penuh
Tiongkok.41
Pada akhirnya Vietnam memilih untuk mengirimkan tentaranya
untuk menginjakan kaki di wilayah barat Spratly yang belum diduduki oleh
negara lain lain yang juga menginvasi wilayah kepulauan ini.
39
Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan
(P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika: Jakarta, 2013),h.7. 40
Stein Tønnesson, “An International History of the Dispute in the South China Sea”, EAI
Working Paper No.71, 2001, h. 16-17. 41
Stein Tønnesson, “An International History of the Dispute in the South China Sea”., h. 18.
31
Baik AS maupun Rusia mengurangi peran mereka di wilayah Laut China
Selatan. Hampir tidak ada sama sekali kegiatan militer Rusia di wilayah ini.
Sedangkan AS juga perlu menarik pasukannya dari wilayah Subic Bay karena
Pemerintah Filipina yang menyatakan untuk membebaskan wilayahnya dari
lindungan angkatan laut AS.
Dengan menghilanya kekuasaan besar dari wilayah Laut China Selatan ini,
memicu adanya perlombaan senjata diantara Tiongkok dan Negara-negara
ASEAN, terutama yang berada di wilayah ini. Pada 1995 Tiongkok mulai
menunjukan ancamannya dengan membuat sebuah pulau buatann di Mischiefs
Reefs di Kepulauan Spratly dekat dengan Filipina, Lalu pada 1996 ketika
Tiongkok mengadakan latihan perang dengan meluncurkan misil di wilayah
Taiwan.42
Langkah Tiongkok ini mendapat respon tegas dari AS. Untuk dapat
bermain aman, Tiongkok perlu untuk mempererat kerjasama dengan AS yang
juga pernah menjadi musuh ASEAN.
Sengketa teritorial menjadi perhatian utama dalam hubungan Tiongkok dan
ASEAN. Hal ini menempatkan Taiwan berada diposisi yang sulit. Taiwan yang
juga ikut mengklaim wilayah di Laut China Selatan mendapatkan dukungan dari
Tiongkok. Sedangkan disisi lain, Taiwan yang ini memerdekakan dirinya dari
Tiongkok perlu dukungan dan pengakuan dari dunia internasional termasuk
negara-negara ASEAN. Diantara negara-negara ASEAN sendiri beberapa negara
melakukan klaim tumpang-tindih di wilayah Laut China Selatan. Hal ini juga
42
Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan
(P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika: Jakarta, 2013),h.49-53.
32
mempersulit penyelesaian sengketa ini mengingat bahkan untuk menyatukan
suara untuk ASEAN akan sangat sulit.
Beberapa usaha dilakukan ASEAN untuk menyelesaikan sengketa ini
dengan mengundang Tiongkok, namun Tiongkok selalu menolak. Baru pada
ASEAN Regional Forum (ARF) Tiongkok mulai melunak dan membiarkan topik
ini diangkat dalam Forum. Pada akhirnya Tiongkok dan ASEAN mencapai
kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa di wilayah ini dengan cara damai
tanpa kekerasan. Namun, belum ada kesepakatan akhir mengenai bagaimana
sengketa ini dapat diselesaikan.
Pada tahun 2001, Hasjim Djalal ahli hukum laut yang menjabat sebagai
Duta Besar Indonesia berkerjasama dengan profesor hukum asal Kanada Ian
Townsend-Gault, mengadakan sebuah workshop dengan tema „Managing
Potential Conflicts in the South China Sea Workshop’. Workshop ini diikuti oleh
seluruh negara di sekitar Laut China Selatan termasuk Taiwan. Meskipun
workshop ini gagal untuk menyelasai konflik sengketa ini, namun terdapat
capaian yang cukup baik untuk mengurangi potensi konflik. Capaian itu
diantaranya yaitu, Tiongkok dan Taiwan setuju untuk berpartisipasi bersama
menjadi satu pihak dan persetujuan bersama mengenai pentingnya untuk menjaga
kelestarian lingkungan perairan di wilayah Laut China Selatan. Seluruh pihak
33
pada akhirnya setuju untuk berkerjasama dalam riset ilmiah dan monitoring
keragaman biologis.43
Beberapa pendekatan sudah dilakukan, baik secara formal maupun informal,
untuk menyelesaikan sengketa ini. Pendekatan itu diantaranya pendekatan
informal melalui institusi akademik, melalui pejabat-pejabat resmi namun dalam
kapasitas personal masing-masing dan Pendekatan informal yang telah diinisiasi
oleh Indonesia melalui Workshop Process on Managing Potential Conflict in the
South China Sea sejak tahun 1989. Sedangkan pendekatan formal melalui
beberapa forum dan perjanjian international seperti pada pembentukan
“Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea” (DoC) yang
ditandatangani oleh Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN dan Tiongkok pada
tahun 2002. Pada bulan Juli 2011 dalam ASEAN Regional Forum (ARF)
kemudian lalu dikeluarkan pula “Guidelines for the Implementation of DoC.”
Selain itu, ada kesepakatan antara Tiongkok dan Filipina (1995), dan Filipina
dengan Vietnam (1996) dalam pembentukan Confidence Building Measures, kode
etik di antara mereka.44
B. Klaim Tiongkok
Dengan banyaknya upaya dalam menyelesaikan sengketa ini, potensi
konflik masih tetap ada. Ketegangan kembali muncul ketika pertama kalinya
43
Stein Tønnesson, “An International History of the Dispute in the South China Sea”, EAI
Working Paper No.71, 2001, h. 20. 44
Faudzan Farhana, “Memahami Presfektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut
Cina Selatan”, Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2014): hlm. 2-3,
review buku Sichun, Wu, Solving Disputes for Regional Coorporation and Development in the
South China Sea: A Chinese Perspective (Chanos Publishing, 2013).
34
Tiongkok mempublikasikan sebuah peta yang mencakup empat gugus kepulauan
di LCS yang ditandai dengan 9 garis putus-putus pada tahun 2009. Peta ini
diperlihatkan ke Publik internasional dengan cara dilampirkan di dalam Nota
Verbal kepada United Nations Commission on the Limits of the Continental Shelf
sebagai aksi protes terhadap misi kerja sama antara Vietnam dan Malaysia yang
dilakukan di batas terluar landas kontinen mereka di Laut China Selatan.45
Tidak
hanya berhenti disitu, Tiongkok juga meningkatkan aktivitasnya di wilayah Laut
China Selatan.
Meskipun Tiongkok sudah myatakan klaimnya secara resmi, namun
Tiongkok tidak pernah mengklarifikasi makna yang tepat maupun detail yang
jelas dari Sembilan garis putus atau sifat hukum yang di klaim di Laut China
Selatan. Makna klaim ini masih sangan umum dan luas, Tiongkok bisa saja
menegaskan kedaulatan atas pulau-pulau dan seluruh laut hingga dasar laut yang
tercakup dalam sembilan garis putus-putus. Atau bisa jadi klaim terbatas hanya
kedaulatan atas pulau-pulau di dalam cakupan tersebut dengan hak maritim di
bawah hukum internasional. Taiwan yang berada dalam posisi yang sama dengan
Tiongkok menegaskan bahwa yang menjadi klaimnya yaitu seluruh wilayah yang
tercakup sebagai laut tradisional.
Klaim Tiongkok secara resmi sudah dimulai sejak 1947, saat Tiongkok
masih dikuasai Partai Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai Sek,
45
Tran Truong Thuy, “China‟s U-shaped Line in the South China Sea: Interpretations, Asserting
Activities, and Reactions from Outside”, diakses pada 20 Oktober 2018 dari
http://nghiencuubiendong.vn/en/publications/vietnamese-publications/784-chinas-u-shaped-line-
in-the-south-china-sea-possible-interpretations-asserting-activities-and-reactions-from-outside-by-
tran-truong-thuy
35
menetapkan klaim teritorialnya atas Laut China Selatan. Pada masa itu
pemerintahan Kuomintang mendeklarasikan garis dalam peta Laut China Selatan
yang mereka sebut sebagai "eleven-dash line". Dengan klaim ini Tiongkok
menguasai hampir seluruh wilayah Laut China Selatan termasuk Kepulauan
Pratas, Macclesfield Bank serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang didapat
China dari Jepang usai Perang Dunia II.46
Perang Saudara Tiongkok antara kaum komunis dan kaum nasionalis, tahun
1949 dimenangkan oleh kaum komunis terjadi pada saat perang ini kau nasionalis
melarikan diri ke Taiwan. Kemenangan dipakai kaum komunis untuk membentuk
Republik Rakyat Tiongkok. Dalam kepemimpinan komunis mengenai klaim
Tiongkok di Laut China Selatan yang ditandai dengan sebelas garis putus-putus
tetap di pertahankan. Namun, pada 1953, pemerintah Tiongkok mengeluarkan
wilayah Teluk Tonkin dari peta "eleven-dash line" buatan Kuomintang.47
Hal ini
dilakukan untuk memungkinkan Tiongkok untuk mencapai kesepakatan dengan
Vietnam. Klaim Tiongkok pun disederhanakan menjadi klaim 9 garis putus-putus
di peta klaim mereka di Laut China Selatan yang kita kenal hingga saat ini.
Klaim yang dilancarkan oleh Tiongkok di Laut China Selatan tentu
memancing konflik bagi negara-negara di sekitar wilayah ini mengingat wilayah
yang masuk sebagai wilayah klaim Tiongkok merupakan wilayah negara-negara
46
Ervan Hardoko, “Laut China Selatan, Perairan Menggiurkan Sumber Sengketa 6 Negara”,
Kompas Internasional, diakses pada 20 Okotber 2018 dari
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/13/17401251/laut.china.selatan.perairan.menggiurk
an.sumber.sengketa.6.negara?page=all 47
Council on Foreign Policy, “China’s Maritime Disputes”, Council on Foreign Policy, diakses 20 Okotber 2018 dari http://www.cfr.org/asia-and-pacific/chinas-maritime-
disputes/p31345#!/?cid=otr-marketing_use-china_sea_InfoGuide#overview
36
yang memiliki kedekatan geografis dan bahkan masuk batas teritorial kepemilikan
mereka. Adapun beberapa negara yang terlibat dalam konflik akibat klaim
Tiongkok ini yaitu beberapa negara di Asia Tenggara diantaranya Vietnam,
Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Negara-negara ini selain memprotes
klaim Tiongkok, juga turut mengklaim sebagian wilayah di Laut China Selatan
yang termasuk kedalam wilayah kedaulatannya atau berada di sekitar wilayah
kedaulatannya. Namun terdapat pula negara yang tidak ikut mengklaim wilayah,
namun merasa dirugikan dengan adanya klaim dari Tiongkok ini. Diantaranya
yaitu Indonesia dan AS. Klaim Tiongkok yang ditandai sembilan garis putus-
putus, mencangkup sebagian wilayah Laut Natuna Utara yang merupakan bagian
dari kedaulatan Indonesia. Setelah klaim Tiongkok ini pada akhirnya berlanjut
pada ketegangan antara ASEAN dengan Tiongkok mengingat terdapatnya
tumpang tindih klaim kedaulatan antara Tiongkok dengan beberapa wilayah
negara anggota ASEAN.
Klaim dan ketegangan di wilayah Laut China Selatan terus berlanjut.
Tiongkok semakin Frontal dengan melakukan pembangunan di pulau Mischief
Reef, yang dikatakan akan berfungsi sebagai tempat penampungan bagi nelayan.48
Kemudian, pada tahun 1997, kapal angkatan laut Filipina mencegah kapal
Tiongkok mendekati Scarborough Shoal, sebuah pulau karang tidak berpenghuni
yang dikenal sebagai pulau Huangyan oleh Tiongkok. Penghadangan tersebut
memicu protes keras dari Tiongkok. Dalam tahun-tahun berikutnya, Filipina
48
Yon Dema, “Ini Perjalanan Sengketa Kawasan Laut Cina Selatan”, Tempo.co, diaskes pada 27
Oktober 2018 dari https://m.tempo.co/read/news/2016/07/12/118787130/ini-perjalanan-sengketa-
kawasan-laut-cina-selatan
37
menahan nelayan Tiongkok berkali-berkali untuk dugaan pencurian ikan di
kawasan itu.
Tiongkok terus meningkatkan aktivitasnya di Laut China Selatan guna
menjaga stabilitas klaim yang diakui sebagai sebagian wilayah milik mereka.
Salah satu kegiatan yang dilakukan Tiongkok di Laut China Selatan antara lain
dengan menggelar latihan militer di wilayah tersebut. Beberapa latihan militer
bahkan dilakukan bersama militer negara lain dengan menggelar sebuah latihan
gabungan militer antara kedua negara, seperti pada oktober 2015, Tiongkok
menggelar latihan gabungan militer dengan Australia di wilayah Laut China
Selatan.49
Tiongkok juga menggelar latihan militer sendiri pada Juli 2016. Latihan
ini dilaksanakan selama 7 Hari dan Tiongkok melarang kapal-kapal memasuki
wilayah itu pada saat latihan berlangsung.50
Tiongkok merupakan negara yang cukup besar dan memiliki power yang
cukup besar pula. Dengan power yang besar Tiongkok memanfaatkan kekuatan
militernya untuk melakukan pengamanan militer di wilayah sengketa tersebut.
Dalam bidang militer, Tiongkok dianggap unggul dibanding negara-negara lain
49
Denny Armandhanu, “Australia Latihan Gabungan dengan China di Laut Sengketa”, CNN
Indonesia, diakses pada 3 November 2018dari
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151029112559-113-88122/australia-latihan-
gabungan-dengan-china-di-laut-sengketa/ 50
BBC Indonesia, “Cina Menggelar Latihan Militer di Laut China Selatan”, BBC Indonesia,
diakses pada 3 November 2018 dari
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160704_dunia_cina_lautcinaselatan#orb-banner
38
yang juga mengklaim wilayah Laut China Selatan. Bahkan, dalam peringkat
kekuatan militer dunia, Tiongkok berada pada urutan ke 3 dunia.51
Keagresifitasan Tiongkok pun ditunjukan dengan mereklamasi beberapa
batu karang yang berada di kepulauan Spratly. Kegiatan reklamasi pulau yang
sedang berjalan akan mendukung kemampuan Tiongkok untuk dapat
mempertahankan patroli yang lebih lama di Laut China Selatan.52
Sesuai dengan
laporan dari Panglima Komando Pasifik Amerika (PACCOM), Laksamana AL
Amerika Samuel Locklear kepada anggota kongres anggota komite Angkatan
bersenjata DPR Amerika, laporan ini berkaitan dengan upaya reklamasi yang
dilakukan Tiongkok di daratan cukup besar di pulau-pulau yang disengketakan di
Laut China Selatan.53
Asia Maritime Transparency Intiative (AMTI) mengatakan bahwa Tiongkok
melakukan reklamasi dimulai tahun 2013 dan daerah-daerah yang telah
direklamasi berada di kepulauan Spratly yang lebih dari 3.200 area tanah baru.54
Terdapat 20 wilayah di Kepulauan Paracel dan 7 wilayah di Kepulauan Spratly
yang direklamasi oleh Tiongkok beberapa diantaranya berupa pulau dan terumbu
karang yang direklamasi menjadi beberapa fasilitas militer. Diantaranya yaitu
pada Subi Reef dibangun landasan pacu, helipad dan fasilitas satelit. Pada
51
Global Fire Power, “Countrie Ranked by Military Strength”, Global Fire Power , diakses pada
10 November 2018 dari http://www.globalfirepower.com/countries-listing.asp 52
Secretary of Defense, “China Military Power Report”, Defense.Gov, diakses pada 10 November
2018 dari
https://www.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/2015_China_Military_Power_Report.pdf 53
Victor Beattie, “China Reklamasi Daratan yang Dipersengketakan”, VOA Indonesia, diakses
pada 17 November 2018 dari http://www.voaindonesia.com/a/china-reklamasi-daratan-yang-
dipersengketakan/2722864.html 54
Asia Maritime Transparency Initiative, “China”, Asia Maritime Transparency Initiative, diakses
pada 17 November 2018 dari https://amti.csis.org/island-tracker/china/
39
Mischief Reef dibangun fasilitas militer, satelit komunikasi dan pangkalan armada
laut. Pada Fiery Cross Reef dibangun pertahanan udara, radar, helipad dan
mercusuar. Pada Johnson South Reef dibangun fasilitas radar dan pelabuhan kecil.
Gaven Reefs dibangun pelabuhan kapal, radar dan satelit komunikasi. Terakhir
pada Cuarteron Reef dibangun lima antena komunikasi, dua helipad dan lima
fasilitas rudal.55
Wilayah-wilayah yang telah direklamasi oleh Tiongkok menimbulkan
tumpang tindih klaim oleh beberapa negara Asia lain termasuk Vietnam dan
Filipina. Negara-negara itu mengatakan bahwa Tiongkok melakukan reklamasi
tanah secara tidak sah didaerah yang diperbutkan untuk membuat pulau buatan
dengan fasilitas yang berpotensi untuk digunakan bagi kepentingan militer.
Aktivitas Tiongkok yang semakin aktif ini tentu menjadi perhatian bagi
negara-negara di sekitarnya terutama beberapa negara yang juga mengklaim
wilayah yang di reklamasi oleh Tiongkok. Filipina merupakan salah satu negara
tersebut, kepulauan Spratly yang reklamasi oleh Tiongkok merupakan wilayah
yang masuk dalam teritorial klaim Filipina. Pemerintah Filipina mengatakan
upaya Tiongkok mereklamasi tujuh pulau di kepulauan Spratly menjadi pulau-
pulau buatan bukan hanya masalah kawasan, hal ini juga menjadi masalah dunia
karena 40% perdagangan global melewati Laut China Selatan.56
55
Australia Plus ABC, “China diduga Ubah Terumbu Karang Jadi Pangkalan Militer di Laut
China Selatan”, Detiknews, diakes pada 24 November 2018 dari http://news.detik.com/australia-
plus-abc/3025378/china-diduga-ubah-terumbu-karang-jadi-pangkalan-militer-di-laut-china-selatan 56
Simone Orendain, “China bangun Landasan Udara di Kawasan Laut China Selatan”, VOA
Indonesia, diakses pada 24 November 2018 dari http://www.voaindonesia.com/a/chinabangun-
landasan-terbang-di-kawasan-laut-china-selatan/2723475.html
40
Terkait dengan reklamasi yang dilakukan Tiongkok di wilayah kepulauan
Spratly, Tiongkok menyampaikan kejelasan dengan reklamasi tersebut melalui
juru bicara Kementrian Luar Negeri Ching Hong Lei yang menjelaskan bahwa
pembangunan dilakukan di wilayah kedaulatan Tiongkok. Beliau juga
menambahkan “Itu wajar, bisa dimengerti dan sah di mata hukum. Pembangunan
itu tidak menarget atau mengganggu negara manapun. Kami berharap negara-
negara yang terkait dan pihak-pihak yang relevan bisa mempertimbangkan hal
ini.”57
57
Simone Orendain, “China bangun Landasan Udara di Kawasan Laut China Selatan”, VOA
Indonesia, diakses pada 24 November 2018 dari http://www.voaindonesia.com/a/chinabangun-
landasan-terbang-di-kawasan-laut-china-selatan/2723475.html
41
BAB III
POSISI FILIPINA DAN PENOLAKAN TIONGKOK PADA HASIL
KEPUTUSAN PERMANENT COURT OF ARBITRATION
A. Posisi Filipina dan Gugatan ke Permanent Court of Arbitration (PCA)
Klaim tupang tindih di wilayah Laut China Selatan merupakan permaslahan
utama dari konflik yang mulai memanas di wilayah ini. Reklamasi besar-besaran
yang dilakukan Tiongkok menjadi pemicu awal konflik antara Tiongkok dan
Filipina. Empat wilayah yang menjadi permasalahan utama diantaranya adalah
wilayah sekitar Kepulauan Batanes, Scarborough Shoal, Kepulauan Kalayaan dan
Bank Reed.
Kepulauan Batanes terdiri dari sepuluh pulau yang terletak di selat antara
Taiwan dan Luzon. Kepulauan ini termasuk kedalam wilayah paling utara
Filipina, provinsi Batanes. meskipun Taiwan dan Filipina tidak aktif
memperebutkan kepemilikan pulau-pulau ini, beberapa akademisi Taiwan telah
terus-menerus mempertanyakan legalitas kepemilikan Filipina atas Batanes.
Mengingat dalam sejarah wilayah ini tidak termasuk kedalam wilayah yang
diberikan Spanyol ke AS dalam Perjanjian Paris pada 1898.58
Nelayan Taiwan
sering datang dan mayoritas kapal dituduh mencuri ikan di wilayah ini. Akhirnya
sering terjadi penyitaan bahkan sebuah insiden penembakan yang memburuk
hubungan bilateral antara Taiwan dan Filipina terjadi di sini. Sedangkan Tiongkok
58
Chunjuan Nancy Wei dan William Lay,”International Law and the South China Sea Disputes:
China, Taiwan and The Philippines.” Harvard Asia Quarterly 15.2 (2013) : h. 2-3.
42
yang menganggap Taiwan sebagai bagian dari Tiongkok, memberikan dukungan
penuh untuk Taiwan dalam insiden ini.
The Scarborough Shoal berupa terumbu karang yang berjajar membentuk
segitiga yang terletak sekitar 220 kilometer barat provinsi Zambales Filipina.
Tiongkok menyebutnya Huangyan Island, dan Filipina menyebutnya sebagai Bajo
de Masinloc (yang berarti “di bawah Masinloc,” sebuah kota di Zambales) atau
Panatag Shoal. Wilayah ini juga tidak termasuk kedalam wilayah yang diberikan
AS pada perjanjian Paris, namun tetap masuk dalam klaim Filipina.59
Kepulauan Kalayaan biasa dikenal dengan Kalayaan Island Group (KIG),
merupakan kelompok pulau-pulau yang berada di Wilayah Spratly. Wilayah ini
bukan hanya diperebutkan oleh Filipina dan Tiongkok saja, namun Vietnam,
Malaysia dan Brunei juga ikut mengklaim sebagian wilayah ini sebagai bagian
dari kedaulatannya.60
Filipina sudah menduduki Thitu Island yang merupakan
pulau terbesar kedua sejak 1970-an. selama mengokupasi wilayah ini, Filipina
sudah membangun sebuah pangkalan militer dengan landasan pacu. Thitu Island
menjadi satu-satunya wilayah yang dapat dihuni oleh penduduk Filipina, wilayah
ini mampu mengakomodasi sekitar 60 warga sipil dan sudah dilengkapi dengan
sebuah balai desa kecil. Meskipun hanya Thitu Island yang dapat di tinggali,
namun klaim Filipina di wilayah ini mencangkup lebih dari 35 pulau kecil,
terumbu karang dan wilayah memancing yang mereka sebut sebagai. Thomas
59
Chunjuan Nancy Wei dan William Lay,”International Law and the South China Sea Disputes:
China, Taiwan and The Philippines.” Harvard Asia Quarterly 15.2 (2013) : h. 3-4. 60
Chunjuan Nancy Wei dan William Lay,”International Law and the South China Sea Disputes:
China, Taiwan and The Philippines.”
43
Cloma seorang Nelayan asal Filipina mendarat di wilayah ini dan memberi nama
wilayah ini sebagai Kalayaan (Freedomland)61
dan mendapat dukungan dari
pemerintah Filipina. Menganggap status “terra nullius”62
untuk pulau-pulau
tersebut, akhirnya pada tahun 1978, Presiden Filipina saat itu Ferdinand Marcos
menganeksasi delapan pulau di wilayah ini dan menciptakan Kalayaan Kota di
bawah Provinsi Palawan. Filipina meresmikan taman kanak-kanak untuk setengah
lusin siswa pada Thitu pada pertengahan 2012. Tindakan ini mendapat protes dari
Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam meminta Filipina untuk menghapus semua warga
dan fasilitas dari Kalayaan.
Reed Bank terletak sekitar 149 kilometer sebelah barat dari provinsi
Palawan. Wilayah ini diyakini memiliki persediaan hidrokarbon yang cukup
besar. Cadangan minyak diwilayah ini diperkirakan mencapai 5,4 miliar barel dan
55,1 triliun kaki kubik gas.63
Wilayah ini menjanjikan kekayaan alam yang
banyak bagi siapa saja yang mampu mengembangkannya. Filipina sudah
menawarkan sekitar 15 kontrak dengan perusahaan minyak asing di wilayah ini.
Sayangnya rencana Filipina terganggu setelah pada 2011 dua kapal patroli
Tiongkok mengganggu proses survei wilayah ini. Tiongkok pun memaksa Filipina
untuk membubarkan kerjasama ekplorasi Minyak dengan negara-negara lain, baik
disekitar maupun negara diluar kawasan. Selain keempat wilayah tersebut,
Taiping Island menjadi wilayah yang termasuk kedalam daftar klaim tumpang
61
Kingdom of Colonia St. John, The History of the Kingdom of Colonia St John. Diakses pada 1
Desember 2018 dari http://www.colonia.asia/history%20-
%20the%20history%20of%20the%20kingdom%20of%20colonia%20st%20john.htm 62
Sebuah wilayah yang tidak bertuan dan tidak termasuk kedalam kedaulatan negara manapun 63
Pia Randa, “Reed Bank 'holds huge oil, gas reserves'.”, diakses pada 8 Desember 2018 dari
https://www.rappler.com/business/21460-reed-bank-holds-untapped-riches-us-agency
44
tindih antara Tiongkok dan Filipina. Filipina juga dengan penuh semangat
menentang reklamasi besar-besaran yang dilakukan Tiongkok di pulau-pulau kecil
di sekitar spratly.
Perselisihan dan percobaan penyelesaian konflik diantara Filipina dan
Tiongkok terus berlanjjut, namun hingga saat ini sengketa masih terus berlanjut.
Menteri Luar Negeri Filipina saat itu, Albert del Rosario mengatakan bahwa
Filipina sudah melakukan hampir semua jalan politik maupun diplomatik untuk
menyelesaikan sengketa maritim secara damai dengan Tiongkok, namun belum
bisa membuahkan hasil.64
Ketegangan kembali mencuat antara kedua negara ini
ketika kedua kekuatan militer negara ini bertemu situasi buntu di wilayah
terpencil di wilayah yang disengketakan. Hal ini berlangsung hingga berbulan
bulan dan berpotensi berhakir dengan konflik yang besar. Namun pada akhirnya
Filipina menarik pasukannya dengan alasan cuaca yang buruk.
Akhirnya pada Januari 2013, Filipina menyatakan akan mengangkat kasus
ini ke ranah hukum internasional. Filipina menentang klaim Tiongkok atas
kepemilikan hampir seluruh kawasan Laut China Selatan yang ditandai dengan
sembilan garis putus-putus sesuai peta yang dirilis Tiongkok. Selain itu juga
Filipina menuntut hak kedaulatannya atas wilayah Laut China Selatan yang telah
diatur pada United Nation Convention Of The Law Of The Sea (UNCLOS).
64
Jethro Mullen, “Philippines takes territorial fight with China to international tribunal”, Diakses
Pada 9 Desember 2018 dari https://edition.cnn.com/2013/01/22/world/asia/philippines-china-
territorial-dispute/
45
United Nation Convention Of The Law Of The Sea (UNCLOS) adalah
sebuah konvensi dibawah naungan PBB yang membahas mengenai hukum laut.
UNCLOS pertama kali dilaksanakan pada 1958 sebagai jawaban atas tutuntutan
negara-negara pantai yang ingin memperluas wilayahnya ke perairan. UNCLOS I
dirangkum dalam 4 konvensi yaitu, Konvensi tentang High Seas, Konvensi
tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, Konvensi tentang Landas Kontinen
dan Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Laut
Tinggi. UNCLOS I dianggap gagal karena belum bisa menyelesaikan beberapa
permasalahan teritorial laut. UNCLOS II di bentuk dangan tujuan
menyempurnakan UNCLOS I yang telah dianggap gagal. UNCLOS II di bentuk
pada tahun 1960, namun karena kearoganan negara-negara maritim yang bersar
dan maju dalam bidang teknologi UNCLOS II kembali dianggap gagal karena
tidak bisa menghasilkan perjanjian internasional.
UNCLOS III hadir sebagai upaya untuk menyempurnakan UNCLOS I dan
UNCLOS II. UNCLOS III berlangsung pada tahun 1973 hingga tahun 1982,
hingga saat ini menjadi dasar hukum bagi negara-negara pantai yang menetapkan
kedaulatannya di wilayah perairan dan dikenal sebagai UNCLOS 1982. Hingga
April 2018 UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh 168 negara.65
Baik Tiongkok
maupun Filipina telah meratifikasi konvensi ini. Tingkok telah meratifikasi
65
United Nations Convention on the Law of the Sea, “Chronological List of Ratifications”, Diakses pada 16 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm
46
konvensi ini pada 7 Juni 1996 sedangkan Filipina sudah terlebih dahulu pada 8
Mei 1984.66
UNCLOS 1982 membagi wilayah laut menjadi tiga bagian, yaitu, laut yang
termasuk kedalam wilayah kedaulatan negara yang bersangkutan (laut teritorial,
laut pedalaman), laut yang tidak termasuk kedalam wilayah kedaulatan, namun
negara bersangkutan mendapatkan yurisdiksi terhadap aktifitas-aktifitas tertentu
(ZEE) dan laut yang berada diluar kedua wilayah tersebut dengan kata lain tidak
termasuk kedalam kedaulatan negara yang bersangkutan (laut bebas). Untuk
menentukan batasan-batasan tersebut, maka diperlukan garis pangkal sebagai
acuan penentuan wilayah laut. Garis pangkal ditarik pada pantai ketika pasang
surut. Terdapat tiga jenis garis pangkal, yaitu garis pangkal normal, dimana sesuai
dalam pasal 5 UNCLOS, garis pangkal normal merupakan garis pangkal yang
ditarik pada pantai pada saat air laut surut dengan mengikuti lekukan-lekukan
pantai. 67
Kedua, garis pangkal lurus, sesuai pasal 7 UNCLOS, garis yang ditarik
tidak mengikuti lekukan pantai tetapi menghubungkan titik-titik atau yang terluar
dari pantai.68
Garis pangkal ini dapat digunakan apabila lekukan pantai benar-
benar menikung atau menjorok dan memotong kedalam atau jika terdapat pulau
tepi disepanjang pantai yang tersebar disekitar garis pantai. Terakhir, garis pantai
kepulauan, dalam pasal 47 UNCLOS garis pangkal kepulauan merupakan garis
66
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”, Diakses pada 23 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm 67
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”. 68
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”
47
yang ditarik dengan menghubungkan titik terluar pulau-pulau atau karang terluar
dari kepulauan suatu negara.69
Garis pangkal kepulauan hanya bisa dipakai oleh
negara kepualaun seperti Indoensia dan Filipina. Negara pantai seperti Malaysia
tidak boleh menggunakan garis pangkal kepulauan untuk mengukur wilayahnya,
namun dapat menggunakan garis pangkal normal atau garis pangkal lurus sesuai
dengan karakteristik wilayahnya.
Dalam UNCLOS 1982, yang termasuk kedalam wilayah kedaulatan yaitu,
Wilayah Perairan Dalam, dijelaskan dalam pasal 8 UNCLOS, wilayah ini
mencangkup perairan nasional atau interior merupakan perairan yang terletak
pada sisi darat dari garis pangkal yang digunakan untuk mengkur laut teritorial.70
Contohnya adalah teluk. Pada wilayah ini berlaku kedaulatan penuh dari negara
yang bersangkutan. Wilayah Perairan Kepulauan, dalam pasal 49 UNCLOS,
wilayah perairan kepuluan merupakan peraian yang berada pada sisi dalam garis
pangkal untuk mengukur laut teritorial tanpa memerhatikan kedalaman dan
jaraknya pada pantai, asalkan karakteristik wilayah negara tersebut adalah negara
kepualaun.71
Pada wilayah laut ini, negara bersangkutan memiliki kedaulatan
namun tidak berlaku kerdaulatan penuh. Karena negara bersangkutan
berkewajiban untuk menyediakan alur laut yang ditetapkan oleh negara
kepulauan. Dijelaskan pula dalam Pasal 34-44 UNCLOS, merupakan selat yang
69
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text” Diakses pada 23 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm 70
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”. 71
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”.
48
digunaka untuk pelayaran internasional. Penggunaan selat untuk pelayaran
internasional ini tidak memengaruhi status hukum dari perairan suatu negara.72
Terakhir, Wilayah Laut Teritorial, sesuai dalam pasal 3 UNCLOS, Rezim wilayah
laut teritorial yaitu wilayah laut yang diukur sejauh 12 mil laut yang diukur dari
garis pangkal. Pada wilayah laut ini negara mempunyai kedaulatan penuh dan
yurisdiksi untuk menetapkan dan melaksanakan hukum dinegaranya.73
Wilayah laut tambahan termasuk kedalam wilayah diluar kedaulatan sebuah
negara pantai, namun negara tersebut memiliki yurisdiksi terhadap aktifitas-
aktifitas tertentu di wilayah ini. Wilayah ini memiliki luas 24 mil dari garis
pangkal, dalam wilayah ini, sesuai dengan pasal 33 UNCLOS, negara
bersangkutan memiliki kedaulatan terbatas hanya untuk penegakan hukum,
keimigrasian, fiskal dan saniter.74
Wilayah laut tambahan berikutnya disebut
dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pada pasal 57 UNCLOS, ZEE diukur
dari garis pangkal seluas 200 mil.75
Sama dengan zona wilayah tambahan, yaitu
hanya berlaku hak berdaulat bagi negara yang berpantai diantara lain untuk
melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan SDA, hak
penerbangan udara, pendirian dan pengggunaan pulau buatan, riset imiah, dan
penanaman kabel serta jalur pipa.
72
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”, Diakses pada 23 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm 73
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”. 74
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”. 75
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”.
49
Wilayah laut yang melewati 200 mil dari garis pangkal, sesuai yang
dijelaskan pada pasal 86-120 UNCLOS, disebut dengan Zona Bebas.76
Wilayah
ini merupakan laut internasional dimana semua negara berhak melakukan
eskplorasi dan eksploitasi diwilayah ini dengan batas-batas yang telah ditentukan
dalam UNCLOS. Tidak hanya wilayah perairan, UNCLOS 1982 juga membahas
mengenai wilayah dasar laut. Wilayah dasar laut, disebut juga sebagai Landas
Kontinen, wilayah ini dibahas pada pasal 76 UNCLOS, landas kontinen yaitu
daerah dasar laut dan tanah dibawahnya yang berada diluar laut teritorial yang
merupakan kelanjutan alamiah dari daratan sampai batas terluar tepian kontinen
atau sampai jarak 200 mil laut diukur dari garis pangkal. Jika batas terluar tepian
kontinen lebih dari 200 mil maka luas landas kontinen dapat ditarik hingga 350
mil laut dari garis pangkal. Namun, landas kontinen tidak boleh terletak lebih dari
100 mil laut dari kedalaman 2,500 meter.77
Di wilayah Laut China Selatan sendiri sejumlah negara sudah meratifikasi
perjanjian hukum laut ini. Namun dengan hadirnya UNCLOS tidak semerta-merta
dapat menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan. Oleh karena itu, mengacu
pada bagian XV pada konvensi ini menjelaskan bahwa setiap perselisihan
haruslah diselesaikan dengan cara-cara damai. Namun, jika cara diplomasi dinilai
masih belum bisa menyelesaikan konflik ini, maka para pihak yang terlibat dapat
menggunakan Jasa mahkamah arbitrase internasional dengan syarat-syarat dan
76
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”, Diakses pada 23 Desember 2018 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm 77
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”.
50
prosedur yang sudah diatur dalam konvensi ini. Pada akhirnya setelah
menganggap bahwa seluruh langkah diplomasi dengan Tiongkok sudah dilalui,
namun masih belum dapat menyelesaikan perselisihan di wilayah ini. Filipina
pada Januari 2013 mengajukan permohonannya arbitrase yang di tunjuk yaitu
Permanent Court of Arbitrartion (PCA) yang berbasis di Den Haag, Belanda.78
B. Keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) dan Penolakan
Tiongkok
Permanent Court of Arbitration (PCA) merupakan sebuah organisasi
internasional yang didirikan pada Convention for the Pacific Settlement of
International Disputes, disimpulkan di Den Haag pada tahun 1899 selama
Konferensi Damai Den Haag pertama. Konferensi ini diadakan atas inisiatif Tsar
Nicolas II dari Rusia “dengan tujuan mencari cara yang paling objektif untuk
memastikan bagi semua orang manfaat dari perdamaian yang nyata dan abadi, dan
yang terpenting, membatasi perkembangan progresif persenjataan yang ada".79
Sejak abad ke-18, prestasi arbitrase cukup baik dan dinilai sebagai sebuah
sarana yang ampuh dalam menyelesaikan beberapa sengketa. Dimulai dengan
Komisi Campuran "Jay Treaty" pada akhir abad ke-18, dan mencapai puncak
78
Jethro Mullen, “Philippines takes territorial fight with China to international tribunal”, Diakses
Pada 9 Desember 2018 dari https://edition.cnn.com/2013/01/22/world/asia/philippines-china-
territorial-dispute/ 79
Permanent Court of Arbitration,”History” diakeses pada 24 Desember 2018 dari https://pca-
cpa.org/en/about/introduction/history/
51
dengan arbitrasi Alabama, pada 1871-1872. Selain itu, Institut de Droit
International telah mengadopsi kode prosedur arbitrase pada tahun 1875.80
Penyelesaian perselisihan internasional dengan bantuan mahkamah arbitrase
terus berlanjut hingga tahun 1899, dan pencapaian paling konkret dari Konferensi
1899 adalah pembentukan PCA sebagai mekanisme global pertama untuk
penyelesaian perselisihan antar negara. Pasal 16 Konvensi 1899 mengakui bahwa
“Dalam masalah yang bersifat hukum, dan khususnya dalam penafsiran atau
penerapan Konvensi Internasional” arbitrase merupakan “cara yang paling efektif,
dan pada saat yang sama paling adil, untuk menyelesaikan perselisihan yang tidak
dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi”.81
Oleh karena itu, Pasal 20 Konvensi 1899 secara resmi membentuk PCA, 82
yang menyatakan:
“With the object of facilitating an immediate recourse to arbitration for
international differences which it has not been possible to settle by diplomacy, the
signatory Powers undertake to organize a Permanent Court of Arbitration,
accessible at all times and operating, unless otherwise stipulated by the parties, in
accordance with the rules of procedure inserted in the present Convention.”
“Dengan tujuan memfasilitasi jalan lain dari perselisihan internasional yang
tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi, para pihak dapat mengadakan sebuah
pengadilan arbitrase permanen, dapat diakses setiap saat dan beroperasi, atau
80
Permanent Court of Arbitration,”History”, Diakeses pada 24 Desember 2018 dari https://pca-
cpa.org/en/about/introduction/history/ 81
Permanent Court of Arbitration,”History”. 82
Permanent Court of Arbitration,”History”.
52
sesuai yang ditetapkan oleh setiap pihak, sesuai aturan dan prosedur yang sudah
ada dalam konvensi ini.”
PCA diselenggarakan dalam dua Konvensi, yaitu Konvensi 1899 dan
Konvensi 1907. Hingga saat ini sudah terdapat 121 Negara yang tergabung atau
telah meratifikasi satu atau kedua konvensi PCA tersebut. Pada situs resmi PCA
Filipina hanya meratifikasi konvensi kedua PCA pada 12 September 2010.
Sedangkan Republik Rakyat Tiongkok telah meratifikasi kedua konvensi PCA
pada 21 November 1904 dan 26 Januari 1910.83
Sebelum dapat melaksanakan tugasnya, sebagai sebuah mahkamah tentu
PCA harus memiliki yurisdiksi yang jelas atas kasus yang akan ditanganinya.
Dengan adanya yurisdiksi, sebuah Arbitrase dapat mengetahui dengan jelas
batasan dalam melaksanakan tugasnya. Jika tidak ada yurisdiksi yang jelas,
namun suatu arbitrase sudah melaksanakan tugasnya, maka hasil keputusan yang
dikeluarkannya dinyatakan tidak sah, sehingga salah satu pihak dapat menolak
hasil keputusan tersebut. Keputusannya dianggap batal demi hukum dan
mengakibatkan tidak terlaksananya hasil keputusan tersebut. Yurisdiksi suatu
badan arbitrase lahir berdasarkan instrumen hukum yang melandasi lahirnya
badan arbitrase tersebut, atau dari instrumen hukum yang memberi dasar hukum
mengenai hal-hal apa saja yang menjadi kewenangan hukumnya untuk memutus
sengketa danjuga dari kesepakatan para pihak. Instrumen hukum baik
internasional atau nasional merupakan prasyarat utama untuk lahirnya
83
Permanent Court of Arbitration,”Contracting Parties” diakeses pada 24 Desember 2018 dari
https://pca-cpa.org/en/about/introduction/contracting-parties/
53
kewenangan hukum atau yurisdiksi arbitrase.84
Dalam kasus sengketa di Laut
China Selatan, dasar hukum yang menjadi Yurisdiksi bagi PCA untuk menangani
permohonan Filipina yaitu merujuk pada United Nations Convention on Law of
the Sea (UNCLOS). Sesuai Convensi ini, diatur dalam Bagian XV, membahas
mengenai berbagai prosedur penyelesaian sengketa, termasuk didalamnya melalui
arbitrase yang diatur sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam Lampiran VII
Konvensi. Dalam kasus ini Filipina menunjuk PCA sebagai Arbitrase untuk dapat
menyelesaikan sengketanya dengan Tiongkok.
Berikut merupakan tiga hal yang menjadi dasar gugatan dari Filipina,85
(1)
Menyatakan bahwa hak dan kewajiban masing-masing Pihak terkait dengan
perairan, dasar laut dan fitur maritim dari Laut China Selatan diatur oleh
UNCLOS, dan bahwa klaim China berdasarkan "sembilan garis putus-putus"
tidak konsisten dengan Konvensi dan oleh karena itu tidak valid. (2) menentukan
apakah, berdasarkan Pasal 121 dari UNCLOS, beberapa fitur maritim yang
diklaim oleh Cina dan Filipina adalah pulau-pulau, ketinggian air pasang rendah
atau kekayaan alam dasar laut, dan apakah mereka mampu menghasilkan hak
untuk zona maritim yang lebih besar dari 12 M. (3) memungkinkan Filipina untuk
menggunakan dan menikmati hak-hak di dalam dan di luar zona ekonomi
eksklusif dan landas kontinen yang ditetapkan dalam Konvensi.
84
Muhammad Rafi Darajati, Huala Adolf dan Idris, “Implikasi Hukum atas Putusan Permanent Court of Arbitration Terkait Sengketa Laut China Selatan Terhadap Negara di Sekitar Kawasan Tersebut”, Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2, Nomor 1 (2017): h. 7-8. 85
Muhammad Rafi Darajati, Huala Adolf dan Idris, “Implikasi Hukum atas Putusan Permanent Court of Arbitration Terkait Sengketa Laut China Selatan Terhadap Negara di Sekitar Kawasan Tersebut”, Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2, Nomor 1 (2017): h. 9.
54
Penyelidikan PCA beranggotakan seorang Arbitrator, komisi bersama
anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak bersengketa dan komisi campuran
yang terdiri atas orang-orang yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa
ditambah anggota yang dipilih dengan cara lain. Penyelidikan ini berlangsung
selama lebih dari tiga tahun. Pada 12 Juli 2016 PCA mengumumkan hasil
keputusannya diantaranya yaitu:86
a. Tiongkok tidak memiliki hak histois di perarian LCS dan berdasarkan
Konvensi Hukum Laut 1982 konsep nine dash line dinyatakan tidak
memiliki landasan hukum
b. Tidak ada apa pun di Kepulauan Spratly yang memberikan China hak
Zona Ekonomi Ekslusif
c. Tiongkok telah mencampuri hak tradisional warga Filipina untuk
menangkap ikan, terutama di Scarborough Shoal
d. Eksplorasi minyak Tiongkok di dekat Reed Bank melanggar kedaulatan
Filipina
e. Tiongkok merusak ekosistem di Kepulauan Spratly dengan aktivitas
seperti penangkapan ikan berlebihan dan menciptakan pulau buatan
f. Tindakan Tiongkok telah memperburuk konflik dengan Filipina
Pada Hasil keputusan pengadilan ini juga dijelaskan bahwa, PCA
menyatakan bahwa arbitrase ini dibentuk atas dasar yang kuat sesuai lampiran VII
86
Muhammad Rafi Darajati, Huala Adolf dan Idris, “Implikasi Hukum atas Putusan Permanent Court of Arbitration Terkait Sengketa Laut China Selatan Terhadap Negara di Sekitar Kawasan Tersebut”, Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2, Nomor 1 (2017): h. 9.
55
UNCLOS. Hasil keputusan ini bersifat mengikat dan Ketidakhadiran Tiongkok
dalam proses pengadilan ini tidak berpengaruh atas yurisdiksi arbitrase.87
Menanggapi hasil keputusan PCA tersebut, pemerintah Tiongkok
menyatakan dengan tegas bahwa Tiongkok menolak hasil keputusan tersebut.
Menurut Tiongkok, pihaknya tidak pernah menyetujui keputusan Filipina yang
mengambil jalur arbitrase sejak awal, sehingga dengan begitu keputusan PCA ini
dapat dikatakan batal demi hukum, tidak sah dan tidak mengikat.88
Menurut
Tiongkok, PCA tidak memiliki wewenang untuk menentukan hal tersebut.
Penolakan dari Tiongkok ini tentu menjadi perhatian masyarakat internasional,
terutama negara-negara yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan ini
termasuk Filipina. Tiongkok yang sudah meratifikasi UNCLOS maupun PCA,
tidak seharusnya menyatakan penolakan atas keputusan yang dikeluarkan PCA.
Penolakan Tiongkok ini tentu tidak sesuai dengan kebijakannya yang telah
meratifikasi baik UNCLOS maupun PCA. Namun, Tiongkok tentu memiliki
pertimbangan yang matang sebelum akhirnya mendeklarasikan penolakan tersebut
dan tentu ada faktor-faktor yang mendukung penolakan tersebut.
87
Permanent Court of Arbitration, “PCA Case Nº 2013-19 In the Matter of an Arbitration before an Arbitral Tribunal Constituted Under ANNEX VII to the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea between The Republic Of The Philippines and The People’s Republic Of China”, diakses pada 25 Desember 2018 dari http://www.pcacases.com/web/sendAttach/1506 88
Christine Novita Nababan,”China Tolak Hasil Arbitrase Laut China Selatan”, diakses pada 25 Desember 2018 dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160712183026-113-144380/china-tolak-hasil-arbitrase-laut-china-selatan
56
BAB IV
ANALISA PENOLAKAN TIONGKOK ATAS HASIL KEPUTUSAN
PERMANENT COURT OF ARBITRATION (PCA)
Pada bab-bab sebelumnya sudah dibahas mengenai dinamika kepemilikan
wilayah Laut China Selatan sejak periode sebelum kemunculan kedaulatan
nasional, awal mula timbulnya konflik, klaim Tiongkok hingga gugatan Filipina
ke Permanent Court of Arbitration (PCA). Setelah PCA menganalisis sengketa
yang terjadi di wilayah ini dan klaim-klaim pihak yang terkait, pada akhirnya
PCA mengeluarkan keputusan memenangkan Filipina pada sidang arbitrase
tersebut. Secara garis besar, PCA menyatakan bahwa klaim Tiongkok di Laut
China Selatan yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus tidak memiliki
dasar hukum yang kuat. Menanggapi hal tersebut Tiongkok segera mengeluarkan
pernyataan yang tegas mengenai penolakan terhadap keputusan PCA tersebut.89
Dalam menganalisa sikap Tiongkok ini, penulis mencoba mejabarkan analisa
yang disusun dengan menggunakan pendekatan-pendekatan teoritis yang
digunakan dalam penelitian ini.
A. Menurut pandangan Neo-Realisme
Dalam usaha memahami alasan Tiongkok yang berani menolak keputusan
PCA, terdapat beberapa asumsi dari pendekatan neo-realisme yang ideal untuk
89
Tom Phillips, Oliver Holmes dan Owen Bowcott,” Beijing rejects tribunal's ruling in South China Sea case”, diakses pada 15 Januari 2019 dari https://www.theguardian.com/world/2016/jul/12/philippines-wins-south-china-sea-case-against-china
57
menjawab atau menjelaskan pertanyaan dari penelitian ini. Kenneth Waltz dan
Neo-realisme yang merupakan turunan dari realisme klasik memiliki asumsi
utama bahwa negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional.
Tetapi, menurut Waltz berpendapat bahwa aktor-aktor non-negara juga termasuk
kedalam Hubungan Internasional, namun kedudukannya tetap dibawah negara.90
Waltz berpendapat bahwa sistem internasional bersifat anarki, dimana tidak
ada entitas yang memiliki kekuasaan lebih besar dari negara. Hal ini
mempengaruhi asumsi sebelumnya. Dengan sistem internasional yang anarki,
negara yang merupakan aktor utama dan tidak ada yang lebih tinggi dari negara,
maka tidak ada entitas yang mampu mengendalikan negara.91
Selain itu dalam
hukum internasional, meskipun ada sanksi, namun tidak ada otoritas yang
berperan sebagai polisi. Sehingga, hukum internasional pun tidak dapat
memaksakan aturan-aturannya kepada suatu negara.92
Sanksi yang diberlakukan
dalam hukum internasional hanya berupa sanksi sosial seperti embargo,
pemutusan hubungan kerjsama atau diplomatik, dan sebagainya.
Dalam kasus sengketa wilayah di Laut China Selatan, Tiongkok sebagai
sebuah negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional. Selama ini
meskipun Tiongkok mengakui dan ikut tergabung dalam beberapa organisai
Internasional, Tiongkok sebisa mungkin menghindari kehadiran organisasi atau
entitas lain selain negara dalam menyelesaikan masalahnya. Tiongkok cenderung
90
Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of Internatinal Relations (New York: ST
Martin‟s Press, INC, 1996), h. 116-118. 91
Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of Internatinal Relations. 92
Sefriani, Hukum Internasional : Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 15-16.
58
menggunakan cara diplomasi bilateral dibandingkan melalui forum-forum
internasional dan sebagainya. Sedangkan PCA merupakan sebuah aktor non
negara yang kedudukannnya berada dibawah negara.
Pada kasus sengketa ini Tiongkok menolak dengan tegas hasil keputusan
PCA dan menyatakan bahwa PCA bukan sebuah instansi yang sah dalam
menyelesaikan kasus sengketa ini. Tiongkok menyatakan bahwa tidak pernah
terlibat atau pun melibatkan dirinya dalam pemilihan penyelesaian kasus.
Tiongkok juga tidak pernah menghadiri persidangan PCA mengenai kasus
sengketa ini. Pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa hasil keputusan ini tidak
akan berpengaruh terhadap wilayah kedaulatan Tiongkok. 93
Secara hukum internasional tindakan Tiongkok ini dapat dipertanyakan.
Mengingat dalam kasus ini, status hukum PCA sudah jelas, Pada UNCLOS
dinyatakan bahwa jika diplomasi bilateral sudah tidak dapat menyelesaikan
sengketa, setiap negara yang terlibat berhak untuk menunjuk salah satunya yaitu
pengadilan arbitrase internasional dengan syarat-syarat dan cara-cara yang sudah
di tentukan dalam UNCLOS. PCA sudah memenuhi syarat-syarat dan dilakukan
dengan cara-cara sesuai dengan pasal UNCLOS tersebut.94
Pada kapabilitasnnya,
PCA dapat melakukan proses penyelidikan terhadap suatu kasus dengan atau
93
Tom Phillips, Oliver Holmes dan Owen Bowcott,” Beijing rejects tribunal's ruling in South China Sea case”, diakses pada 15 Januari 2019 dari https://www.theguardian.com/world/2016/jul/12/philippines-wins-south-china-sea-case-against-china 94
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”, Diakses pada 23 Januari 2019 dari http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm
59
tanpa kehadiran pihak tergugat atau dalam kasus ini Tiongkok.95
Namun
meskipun Tiongkok sudah jelas-jelas melanggar sebuah bentuk hukum
internasional, dengan sistem internasional yang anarki, PCA tidak dapat
memaksakan hasil keputusannya dan tidak dapat memberikan sanksi kepada
Tiongkok. Hal ini mempengaruhi keputusan Tiongkok dalam menolak keputusan
PCA tersebut.
Namun, penolakan Tiongkok ini tentu melalui pertimbangan yang jelas,
sesuai asumsi neo-realisme berikutnya bahwa negara merupakan aktor yang
rasional.96
Menurut neo-realisme sebuah negara akan bertindak rasional dengan
menggunakan konsep rational choice dalam setiap kebijakannya. Dengan rational
choice sebuah negara akan memperhitungkan cost dan benefit atas keputusannya.
Cost merupakan biaya atau harga yang dibayarkan atau dikorbankan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan benefit merupakan keuntungan yang
akan didapatkan atas tindakan tersebut. Setiap negara tentu akan mengeluarkan
kebijakan yang memiliki benefit yang lebih besar dibandingkan dengan cost yang
harus dikeluarkan. Dengan kata lain, cost dan benefit ini juga menjadi
pertimbangan dalam menentukan kebijakan sebuah negara.
Begitu pula dalam kasus sengketa di LCS ini, Tiongkok tentu sudah
mempertimbangkan cost dan benefit dari kebijakan yang akan dikeluarkan.
95
Permanent Court of Arbitration, “PCA Case Nº 2013-19 In the Matter of an Arbitration before an Arbitral Tribunal Constituted Under ANNEX VII to the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea between The Republic Of The Philippines and The People’s Republic Of China”, diakses pada 25 Januari 2019 dari http://www.pcacases.com/web/sendAttach/1506 96
Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of Internatinal Relations (New York: ST
Martin‟s Press, INC, 1996), h. 116-118.
60
Sebelum memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan untuk menolak hasil
keputusan PCA. Cost yang perlu dikeluarkan oleh Tiongkok dalam keputusannya
untuk menolak keputusan PCA, yaitu dengan sikap Tiongkok yang dinilai telah
melanggar sebuah bentuk hukum internasional, akan berdampak terhadap
kerjasama Tiongkok dengan Filipina dan negara-negara yang berada dikawasan
Laut China Selatan lainnya. Mengingat Filipina dan beberapa negara lainnya
merupakan bagian dari ASEAN hal ini juga akan berdampak kepada kerjasama
Tiongkok dengan ASEAN. Sentimen yang nantinya muncul dari negara-negara
ASEAN terhadap Tiongkok akan berbahaya terhadap pengaruh atau hegemoni
Tiongkok di kawasan ini.
Sedangkan benefit yang akan didapatkan Tiongkok dengan penolakan yang
dilakukan Tiongkok ini, Tiongkok dapat mempertahankan beberapa kepentingan
nasionalnya di kawasan Laut China Selatan. Seperti yang sudah dijelakan bahwa
kepentingan nasional ini merupakan tujuan utama semua negara yang perlu
diperjuangkan untuk mencapai kesejahteraan.
B. Kepentingan Nasional Tiongkok di Laut China Selatan
Kepentingan national merupakan tujuan-tujuan yang perlu dicapai oleh
suatu negara demi mencapai keamanan dan kesejahteraan yang merupakan tujuan
umum bagi setiap negara.97
Kepentingan nasional ini memiliki peran penting bagi
97 Mohtar Mas‟oed, Ilmu Hubungan Internasional Disiplindan Metodologi (LP3ES: Jakarta,
1990),h. 140.
61
decision makers. Dengan adanya kepentingan nasional sebuah negara
mendapatkan tolak ukur dalam menentukan kebijakannya. Dalam sengketa Laut
China Selatan, Tiongkok memiliki kepentingan dalam beberapa bidang
diantaranya yaitu, bidang kedaulatan teritorial negara, bidang ekonomi dan bidang
militer.
a. Bidang Kedaulatan Teritorial Negara
Dalam hukum internasional sebuah negara dapat terbentuk dengan beberapa
syarat, yaitu, rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan kemampuan untuk
melakukan hubungan internasional.98
Mengacu pada pernyataan tersebut, wilayah
merupakan hal yang penting dalam pembentukan sebuah negara. Sebuah negara
yang berdaulat atas teritorialnya memiliki hak dan kewajiban dalam
memanfaatkan wilayahnya baik untuk tempat tinggal hingga memanfaatkan
sumber daya alam dari wilayahnya. Semakin besar suatu negara dan semakin
banyak rakyat nya, maka suatu negara memiliki tuntutan untuk memperluas
wilayahnya dengan maksud untuk dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Tiongkok merupakan negara dengan jumlah penduduk paling banyak di dunia
dengan 1,4 milyar orang.99
Dengan banyaknya penduduk, tentu sebuah negara
perlu sumber daya lebih untuk dapat mensejahterakan rakyatnya. Dengan
memperluas wilayahnya Tiongkok dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan
sumber daya lainnya untuk kesejahteraan penduduknya yang banyak dan padat.
98
Sefriani, Hukum Internasional : Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 103-107. 99
World meters,”China Population (Live)”, diakses pada 01 Februari 2019 dari http://www.worldometers.info/world-population/china-population/
62
Dalam klaimnya di Laut China Selatan, Tiongkok mengklaim lebih dari 80
persen wilayah tersebut merupakan wilayahnya. Klaim Tiongkok ini berdasarkan
sejarah terbentuknya negara ini dan ditambah dengan penemuan-penemuan
artefak masa Dinasti Tiongkok kuno.100
Berdasarkan Klaim Tiongkok tersebut,
Laut China Selatan merupakan bagian dari kedaulatan Tiongkok dan dengan
begitu Tiongkok memiliki hak dan kewajiban atas wilayah tersebut. Dengan
adanya hasil keputusan PCA yang menyatakan bahwa klaim Tiongkok tersebut
tidak berdasar dan Tiongkok tidak memiliki hak atas wilayah Laut China Selatan,
akan mempengaruhi kedaulatan nasional Tiongkok. Sebagai negara yang
berdaulat, Tiongkok tentu harus mempertahankan wilayah yang merupakan
bagian dari kedaulatannya. Melihat dari permasalahan tersebut, mempertahankan
wilayah kedaulatan menjadi prioritas bagi Tiongkok. Prioritas ini akhirnya
membentuk kepentingan nasional Tiongkok untuk menolak hasil kepuutusan
PCA.
b. Bidang Ekonomi
Dalam bidang Ekonomi, Laut China Selatan merupakan jalur lalu lintas
kapal terpadat di Dunia.101
Dengan menguasai wilayah strategis ini tentu akan
menguntungkan Tiongkok yang memiliki intensitas perdagangan internasional
yang tinggi. Perdagangan merupakan salah satu cara yang menjadi tujuan utama
bagi sebuah negara untuk meningkatkan perekonomian negaranya. Dengan
100
Faudzan Farhana, “Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut
Cina Selatan,” Jurnal Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 11 (Juni 2014):
hlm. 6-9. 101
Faudzan Farhana, “Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut
Cina Selatan,” hlm. 4-5.
63
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, setiap negara berlomba untuk
meningkatkan produksi untuk ikut serta dalam perdagangan internasional. Disisi
lain, beberapa negara memiliki kebutuhan atas produksi negara lain, menjadi
elemen penting yang melengkapi perdagangan internasional. Dengan begitu peran
jalur perdagangan yaitu menyediakan alur yang dapat dilewati dengan aman untuk
melancarkan kegiatan perdagangan internasional.
Selain dari jalur perdagangan internasional, keuntungan ekonomi yang
terdapat di Laut China Selatan juga didapat dari sumber daya alam yang
terkandung di dalamnya. Dengan penduduk yang sangat banyak, krisis pangan
menjadi fokus utama yang perlu diantisipasi. Tiongkok dalam mempertahankan
kesejahteraan rakyatnya, meningkatkan aspek pertaniannya untuk memenuhi
kebutuhan pangan rakyatnya,102
namun krisis pangan dapat terjadi kapanpun dan
Tiongkok tidak dapat hanya mengandalkan bidang pertaniannya. Wilayah Laut
China Selatan memiliki luas sekitar 3.685.000 kilometer persegi103
tentu memiliki
kekayaan makhluk hidup yang cukup banyak, hal ini dapat membantu Tiongkok
dalam upaya memenuhi pangan masyarakat Tiongkok.
Laut China Selatan juga di prediksi memiliki sumber daya alam yang cukup
banyak. Pada Februari 2018, perusahaan penyulingan minyak Korea Selatan, SK
Innovation Co., menemukan minyak mentah di ladang China di Laut Cina
102
National Bureau of Statistics of China,” Office of the Leading Group of the State Council for the Second National Agricultural Census”, diakses pada 25 Februari 2019 dari http://www.stats.gov.cn/was40/reldetail.jsp?docid=402464541 103
Eugene C. LaFond,”South China Sea”, diakses pada 18 Februari 2019 dari https://www.britannica.com/place/South-China-Sea
64
Selatan.104
Ini bukanlah kali pertama ekplorasi wilayah ini dilakukan, sebelumnya
Amerika Serikat sudah terlebih dahulu melakukan eksplorasi dan pada 2016
Badan Informasi Energi AS menyatakan bahwa dikawasan ini tersimpas sekitar
11 miliar barel cadangan minyak bumi dan sekitar 190 triliun kaki kubik gas
alam.105
c. Bidang Militer
Dalam bidang militer Tiongkok memiliki kepentingan yang cukup terlihat.
Tiongkok telah melakukan beberapa kali latihan militer di wilayah ini. Pada 2015
bahkan tiongkok menggelar latihan militer terbesar di wilayah Laut China Selatan
dengan melibatkan 10.000 personil, 48 kapal angkatan laut, 76 jet tempur dan dua
kapal andalan Tiongkok yaitu kapal perusak Changsa dan kapal induk
Liaoning.106
Banyaknya pulau karang di wilayah ini, dimanfaatkan Tiongkok
sebagai sasaran Tembak dalam latihan militernya ini.
Selain latihan militer Tiongkok juga membangun pangkalan militer di
beberapa kepulauan di Laut China Selatan. Sebelumnya Tiongkok sudah
membangun beberapa pulau buatan di wilayah Laut China Selatan tepatnya di
Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel dan Kepulauan Woody. Diatas kepulauan-
kepulauan tersebut Tiongkok membangun pangkalan militer yang beberapanya
memiliki skala yang besar. Dalam pangkalan militer tersebut di bangun landasan
104
Kim Da-sol,”SK Innovation discovers crude oil in South China Sea”, diakses pada 25 Februari 2019 dari http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20180222000742 105
Lin Shu-yuan dan Jamie Wang,” U.S. report details rich resources in South China Sea. ”, diakses pada 13 Maret 2019 dari http://focustaiwan.tw/news/aipl/201302090013.aspx 106
Rizky Chandra Septania,” China Gelar Latihan Militer Terbesar di Laut China Selatan diakses pada 27 maret 2019 dari https://internasional.kompas.com/read/2018/04/13/13345231/china-gelar-latihan-militer-terbesar-di-laut-china-selatan
65
udara, radar, fasilitas pertahanan rudal dan penyimpanan senjata milik militer
Tiongkok.107
Melihat Perkembangan kekuatan militer Tiongkok di kawasan Laut
China Selatan diatas, terlihat hal ini juga menjadi faktor yang mempengaruhi
keputusan Tiongkok untuk menolak hasil keputusan PCA. Jika Tiongkok tidak
menolak hasil keputusan PCA dalam sidang kepemilikan Laut China Selatan,
Tiongkok tentu harus menutup pangkalan-pangkalan militer yang telah di bangun
di wilayah Laut China Selatan. Hal ini akan mengurangi kekuatan militer
Tiongkok khusunya di wilayah Laut China Selatan.
C. Penolakan Tiongkok Terhadap Hasil Keputusan PCA
Keputusan Permanent Court of Arbitrations pada keputusannya menyatakan
bahwa Tiongkok tidak memiliki hak atas klaim nya di Laut China Selatan. PCA
menyatakan bahwa klaim sejarah Tiongkok tidak memiliki dasar dan tidak bisa
dijadikan dasar atas klaimnya di Laut China Selatan.108
Meskipun Tiongkok
memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam pengadilan dan tidak menghadiri
semua sidang yang digelar PCA, namun dengan adanya keputusan PCA yang
menolak klaimnya di Laut China Selatan Tiongkok harus merespon keputusan
tersebut untuk mempertahankan posisinya di sengketa ini.
107
Reuters.com,”China building on new reef in South China Sea, think tank says”, diakses pada 20 Maret 2019 dari https://www.reuters.com/article/us-china-southchinasea/china-building-on-new-reef-in-south-china-sea-think-tank-says-idUSKCN1NQ08Y 108
Permanent Court of Arbitration, “PCA Case Nº 2013-19 In the Matter of an Arbitration before an Arbitral Tribunal Constituted Under ANNEX VII to the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea between The Republic Of The Philippines and The People’s Republic Of China”, diakses pada 25 Desember 2018 dari http://www.pcacases.com/web/sendAttach/1506
66
Penolakan Tiongkok ini tentu memiliki pertimbangan dan dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor pertama yaitu Status Tiongkok yang merupakan Negara
sebagai aktor utama dalam hubungan internasional dan sistem internasional yang
anarki sehingga Tiongkok sebagai sebuah negara memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari PCA yang merupakan sebuah organisasi internasional. Selain itu,
mekanisme sanksi dalam hukum internasional tidak cukup kuat untuk dapat
memaksa Tiongkok agar dapat mengikuti hasil keputusan PCA.
Faktor selanjutnya, mengenai cost atau kerugian yang akan didapatkan
Tiongkok ketika menyatakan menolak hasil Keputusan PCA tersebut. Tiongkok
akan mengalami kesulitan dalam kerjasama dengan Filipina dan negara-negara
ASEAN lainnya, terutama negara-negara yang terlibat di sengketa ini. Namun,
Tiongkok lebih memilih untuk melakukan kerjasama bilateral. Dengan
meningkatkan kerjasama bilateral, Tiongkok akan mengurangi dampak cost yang
akan dihadapinya. Disisi lain, dengan menolak hasil keputusan PCA Tiongkok
akan mendapatkan benefit berupa mempertahankan kepentingan nasionalnya di
Laut China Selatan. Faktor terakhir yaitu dari benefit yang akan diraih Tiongkok
jika Tiongkok menolak hasil keputusan tersebut. Dengan penolakannya, Tiongkok
dapat mempertahankan kepentingan nasionalnya di wilayah Laut China Selatan
dalam beberapa bidang, yaitu bidang kedaulatan teritorial, ekonomi dan militer
seperti yang sudah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya.
Pada akhirnya, Faktor-faktor tersebut mendorong Tiongkok memutuskan
untuk menyatakan dengan tegas dengan mengeluarkan pernyataan resmi bahwa
Tiongkok menolak hasil keputusan PCA tersebut. Tiongkok menyatakan bahwa
67
PCA bukan sebuah lembaga yang berhak untuk memutuskan hal tersebut.
Terakhir Tiongkok tidak akan mengakui klaim-klaim yang berdasarkan kepada
hasil keputusan PCA tersebut. Langkah tiongkok tersebut merupakan langkah
yang tepat. Dengan sikapnya, Tiongkok dapat mempertahankan posisinya di
sengketa Laut China Selatan. Namun juga, dapat tetap mempertahankan
kerjasamanya dengan negara-negara lain yang juga terlibat sengketa ini, terutama
Filipina.
68
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Sengketa kelautan di wilayah Laut China Selatan sudah ada cukup lama. Saat
ini beberapa negara yang terlibat di sengketa ini yaitu Tiongkok, Taiwan, Filipina,
Vietnam, Malaysia dan Brunei Darrusalam. Selain itu Indonesia terkena dampak
spillover karena klaim Tiongkok mencangkup wilayah Natuna Utara. Sedangkan
Amerika Serikat juga ikut terkena dampak karena sengketa dan klaim di wilayah
ini tidak sesuai dengan prinsip kebebasan navigasi AS.
Permasalahan utama pada sengketa di Laut China Selatan mulai muncul ketika
Tiongkok merilis peta kedaulatannya. Pada peta ini menunjukan wilayah Laut
China Selatan di klaim Tiongkok sebagai bagian dari kedaulatannya. Klaim
Tiongkok ini di tandai dengan sembilan garis putus-putus yang mencangkup
sekitar 80 persen dari wilayah Laut China Selatan. Klaim ini juga menimpa
beberapa wilayah ZEE beberapa negara di wilayah Laut China Selatan
diantaranya yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darrusalam dan Indonesia.
Namun, selain Tiongkok beberapa negara juga ikut mengklaim beberapa
kepulauan di wilayah Laut China Selatan yang mendekati wilayah ZEE nya.
Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly merupakan kedua kepulauan yang
menjadi fokus utama dalam klaim tumpang tindih beberapa negara yang menjadi
peserta sengketa wilayah ini. Dengan adanya klaim yang saling tumpang tindih,
ditambah dengan tindakan Tiongkok yang mulai membangun fasilitas militer
69
diatas pulau-pulau buatan di wilayah Laut China Selatan membuat konflik
semakin memanas.
Beberapa usaha untuk menyelesaikan sengketa ini sudah sering dilakukan baik
secara bilateral maupu dalam forum-forum internasional, namun belum
membuahkan hasil. Tiongkok selalu menghindar dalam beberapa forum
internasional. Konflik terus berlangsung, tidak jarang terjadi konflik bersenjata
diantana negara-negara yang klaimnya tumpang tindih hingga penangkapan
nelayan yang dianggap telah melewati batas teritorial. Hingga pada akhirnya
Filipina merasa memerlukan tindakan tegas untuk Tiongkok yang mengklaim
hampir seluruh wilayah Laut China Selatan dan membangun fasilitas militer
disana. Pada 2013 Filipina memutuskan untuk mengajukan kasus klaim ini ke
Permanent Court of Arbitrations (PCA). Tuntutan Filipina ini mengenai hak
kedaulatannya atas sebagian wilayah di Laut China Selatan sesuai yang sudah
diatur di United Nations on Law of the Sea (UNCLOS) dan klaim Tiongkok atas
kepemilikian Laut China Selatan.
Setelah melewati bebrapa persidangan, pada 2016, PCA mengeluarkan
keputusan yang menyatakan bahwa Klaim Tiongkok di Laut China Selatan yang
berdasarkan sejarah tidak sah dan tidak berdasar. Tiongkok meskipun tidak
pernah menghadiri persidangan yang digelar PCA, perlu merespon hasil
keputusan PCA tersebut karena akan mempengaruhi posisi Tiongkok di Laut
China Selatan. Dalam neo-realisme, sebuah negara merupakan aktor utama dalam
hubungan internsaional. Meskipun neo-realisme mengakui adanya aktor lain
selain negara, namun negara tetap merupakan aktor utama. Oleh karena itu sebuah
70
negara tidak dapat diatur oleh aktor internasional lainnya seperti PCA. Namun,
Tiongkok perlu berhati-hati dalam menentukan kebijakan dalam merespon hasil
keputusan PCA tersebut. Sesuai asumsi neo-realisme lainnya yaitu sebuah negara
merupakan aktor yang rasional. Sebuah negara akan mempertimbangkan cost dan
benefit sebelum melakukan sebuah kebijakannya. Dalam merespon keputusan
PCA, Tiongkok tentu tidak bisa menerima hasil keputusan PCA tersebut
mengingat keputusan tersebut memberatkan posisi Tiongkok di Laut China
Selatan. Namun, sebelum Tiongkok memberikan pernyataan resmi, sebagai
negara yang bersifat rasional, Tiongkok tentu lebih dulu memperhitungkan cost
dan benefit yang akan dia dapatkan apabila dia melakukan penolakan atas hasil
kepustusan PCA.
Cost yang mungkin akan didapatkan oleh Tiongkok yaitu merusak hubungan
kerjasama antara Tiongkok dan beberapa negara ASEAN terutama yang terlibat
dalam sengketa di wilayah Laut China Selatan ini. Namun cost ini dapat dikurangi
dengan meningkatkan kerjasama bilateral dengan negara-negara terkait. Disisi lain
dengan menolak keputusan PCA ini Tiongkok dapat mempertahankan
kepentingan nasionalnya di Laut China Selatan sebagai benefit yang akan diterima
oleh Tiongkok. Kepentingan Tiongkok ini terdapat dalam beberapa bidang,
diantaranya yaitu dalam bidang kedaulatan wilayah nasional, bidang ekonomi dan
bidang militer.
Melihat faktor-faktor diatas, pada akhirnya Tiongkok mengeluarkan
pernyataan resmi yang menunjukan respon Tiongkok terhadap hasil keputusan
PCA. Tiongkok menyatakan bahwa PCA bukan lembaga yang berhak untuk
71
mengeluarkan keputusan tersebut dan Tiongkok dengan tegas menolak hasil
keputusan yang dikeluarkannya. Tiongkok juga menyatakan tidak akan mengakui
segala bentuk klaim yang berdasarkan kepada hasil keputusan PCA tersebut.
B. Saran
Penelitian ini mengenai penolakan Tiongkok kepada hasil keputusan
Pemanent Court of Arbitrations (PCA) atas gugatan Filipina dalam sengketa Laut
China Selatan tahun 2016. Penelitian ini diharapakan mampu menjadi referensi
bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan sengketa kelautan di wilayah Laut
China Selatan. Untuk menyempurnakan penelitian ini, diharapkan agar penelitian
selanjutnya dapat menggunakan narasumber yang lebih beragam untuk semakin
memperkaya sudut pandang dan fakta. Selain itu juga dapat menggunakan
kerangka teori yang berbeda sesuai dengan perkembangan hubungan maupun
kebijakan Tiongkok khusunya di wilayah Laut China Selatan.
72
DAFTAR PUSTAKA
Armandhanu, Denny.“Australia Latihan Gabungan dengan China di Laut
Sengketa”, CNN Indonesia, diakses dari
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20151029112559-113-
88122/australia-latihan-gabungan-dengan-china-di-laut-sengketa/
Asia Maritime Transparency Initiative, “China”, Asia Maritime Transparency
Initiative, diakses dari https://amti.csis.org/island-tracker/china/
Australia Plus ABC, “China diduga Ubah Terumbu Karang Jadi Pangkalan
Militer di Laut China Selatan”, Detiknews, diakes dari
http://news.detik.com/australia-plus-abc/3025378/china-diduga-ubah-
terumbu-karang-jadi-pangkalan-militer-di-laut-china-selatan
BBC Indonesia, “Cina Menggelar Latihan Militer di Laut China Selatan”, BBC
Indonesia, diakses dari
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160704_dunia_cina_lautcinas
elatan#orb-banner
BBC.com, Why is the South China Sea Contentious?, dari
http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-13748349
Beattie, Victor. “China Reklamasi Daratan yang Dipersengketakan”, VOA
Indonesia, diakses dari http://www.voaindonesia.com/a/china-reklamasi-
daratan-yang-dipersengketakan/2722864.html
73
Burchill, Scott dan Linklater, Andrew. Theories of Internatinal Relations. New
York: ST Martin‟s Press, INC, (1996)
Council on Foreign Policy, “China‟s Maritime Disputes”, Council on Foreign
Policy, diakses dari http://www.cfr.org/asia-and-pacific/chinas-maritime-
disputes/p31345#!/?cid=otr-marketing_use-china_sea_InfoGuide#overview
Darajati, Muhammad Rafi, Adolf, Huala dan Idris, “Implikasi Hukum atas
Putusan Permanent Court of Arbitration Terkait Sengketa Laut China
Selatan Terhadap Negara di Sekitar Kawasan Tersebut”, Jurnal Bina Mulia
Hukum Volume 2, Nomor 1 (2017)
Da-sol, Kim. “SK Innovation discovers crude oil in South China Sea”, diakses
dari http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20180222000742
Dema, Yon. “Ini Perjalanan Sengketa Kawasan Laut Cina Selatan”, Tempo.co,
diaskes dari https://m.tempo.co/read/news/2016/07/12/118787130/ini-
perjalanan-sengketa-kawasan-laut-cina-selatan
Farhana, Faudzan. “Memahami Perspektif Tiongkok dalam Upaya Penyelesaian
Sengketa Laut Cina Selatan,” Jurnal Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (2014)
Fitriyasa, Akbar. Kerjasama Militer Vietnam dengan Amerika Serikat dalam
Mengelola Ancaman Keamanan Laut China Selatan Tahun 2011 Skripsi
FISIP UIN Jakarta (2011)
74
Global Fire Power, “Countrie Ranked by Military Strength”, Global Fire Power ,
diakses dari http://www.globalfirepower.com/countries-listing.asp
Hardoko, Ervan. “Laut China Selatan, Perairan Menggiurkan Sumber Sengketa 6
Negara”, Kompas Internasional, diakses dari
http://internasional.kompas.com/read/2016/07/13/17401251/laut.china.selat
an.perairan.menggiurkan.sumber.sengketa.6.negara?page=all
Hikmah, Mutiara. “Penolakan Putusan Arbitrase Internasional dalam Kasus Astro
All Asia Network Plc”, Jurnal Yudisial Vol. 5 No.1 Fakultas Hukum UI
(2012)
Hukumpedia.com, Natuna Milik Kita Indonesia, diakses dari
http://www.hukumpedia.com/agungh28/natuna-milik-kita-indonesia
Kingdom of Colonia St. John, The History of the Kingdom of Colonia St John.
Diakses dari http://www.colonia.asia/history%20-
%20the%20history%20of%20the%20kingdom%20of%20colonia%20st%20
john.htm
LaFond, Eugene C. “South China Sea”, diakses dari
https://www.britannica.com/place/South-China-Sea
Mas‟oed, Mohtar. Ilmu Hubungan Internasional Disiplindan Metodologi. Jakarta
: LP3ES (1990)
75
Mullen, Jethro. “Philippines takes territorial fight with China to international
tribunal”, dari https://edition.cnn.com/2013/01/22/world/asia/philippines-
china-territorial-dispute/
Nababan, Christine Novita. “China Tolak Hasil Arbitrase Laut China Selatan”,
diakses dari https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160712183026-
113-144380/china-tolak-hasil-arbitrase-laut-china-selatan
Nainggolan, Poltak Partogi. Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya
Terhadap Kawasan. Jakarta : P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan
Azza Grafika (2013)
Nancy Wei, Chunjuan dan Lay, William,”International Law and the South China
Sea Disputes: China, Taiwan and The Philippines.” Harvard Asia Quarterly
15.2 (2013)
National Bureau of Statistics of China,” Office of the Leading Group of the State
Council for the Second National Agricultural Census”, diakses dari
http://www.stats.gov.cn/was40/reldetail.jsp?docid=402464541
Orendain, Simone. “China bangun Landasan Udara di Kawasan Laut China
Selatan”, VOA Indonesia, diakses dari
http://www.voaindonesia.com/a/chinabangun-landasan-terbang-di-kawasan-
laut-china-selatan/2723475.html
76
Perlez, Jane. “Tribunal Rejects Beijing‟s Claims in South China Sea”, diakses dari
https://www.nytimes.com/2016/07/13/world/asia/south-china-sea-hague-
ruling-philippines.html
Permanent Court of Arbitration, “Arbitration Services”,diakses dari https://pca-
cpa.org/en/services/arbitration-services/
Permanent Court of Arbitration, “PCA Case Nº 2013-19 In the Matter of an
Arbitration before an Arbitral Tribunal Constituted Under ANNEX VII to
the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea between The
Republic Of The Philippines and The People‟s Republic Of China”, diakses
dari http://www.pcacases.com/web/sendAttach/1506
Permanent Court of Arbitration, ”Contracting Parties” diakeses dari https://pca-
cpa.org/en/about/introduction/contracting-parties/
Permanent Court of Arbitration, ”History” diakeses dari https://pca-
cpa.org/en/about/introduction/history/
Phillips, Tom, Holmes, Oliver dan Bowcott, Owen. “Beijing rejects tribunal's
ruling in South China Sea case”, diakses dari
https://www.theguardian.com/world/2016/jul/12/philippines-wins-south-
china-sea-case-against-china
Plano, Jack C dan Olton, Roy. The International Dictionary. New York : Wentern
Michigan University (1973)
77
Randa, Pia. “Reed Bank 'holds huge oil, gas reserves'.”, diakses dari
https://www.rappler.com/business/21460-reed-bank-holds-untapped-riches-
us-agency
Reuters.com,”China building on new reef in South China Sea, think tank says”,
diakses dari https://www.reuters.com/article/us-china-southchinasea/china-
building-on-new-reef-in-south-china-sea-think-tank-says-
idUSKCN1NQ08Y
Secretary of Defense, “China Military Power Report”, Defense.Gov, diakses dari
https://www.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/2015_China_Military_
Power_Report.pdf
Sefriani. Hukum Internasional : Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press (2010)
Septania, Rizky Chandra. “China Gelar Latihan Militer Terbesar di Laut China
Selatan”, diakses dari
https://internasional.kompas.com/read/2018/04/13/13345231/china-gelar-
latihan-militer-terbesar-di-laut-china-selatan
Shu-yuan, Lin dan Wang, Jamie, ” U.S. report details rich resources in South
China Sea. ”, diakses dari
http://focustaiwan.tw/news/aipl/201302090013.aspx
Suryana. Metodologi Penelitian Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif Bandung: UPI (2010)
78
Theguardian.com, “Beijing Rejects Tribunal‟s Ruling in South China Sea Case”,
[berita on-line], diakses dari
https://www.theguardian.com/world/2016/jul/12/philippines-wins-south-
china-sea-case-against-china
Thuy, Tran Truong. “China‟s U-shaped Line in the South China Sea:
Interpretations, Asserting Activities, and Reactions from Outside”, diakses
dari http://nghiencuubiendong.vn/en/publications/vietnamese-
publications/784-chinas-u-shaped-line-in-the-south-china-sea-possible-
interpretations-asserting-activities-and-reactions-from-outside-by-tran-
truong-thuy
Tønnesson, Stein. “An International History of the Dispute in the South China
Sea”, EAI Working Paper No.71 (2001)
UN.org, “Convention Historical Perspective”, Diakses dari
http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_historical_
perspective.htm
UN.org, “Table of Recapitulating the Status of the Convention and the Related
Agreement”, (Jenewa: United Nations, 10 Oktober 2014), Diakses dari
http://www.un.org/depts/los/reference_files/status2010.pdf
UN.org, “United Nations Convention on the Law of the Sea”, (Jenewa: United
Nations, 17 Desember 1970), diakses dari
www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
79
United Nations Convention on the Law of the Sea, “Chronological List of
Ratifications”, Diakses dari
http://www.un.org/depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratificati
ons.htm
United Nations Convention on the Law of the Sea, “United Nations Convention
on the Law of the Sea of 10 December 1982 Overview and full text”,
Diakses dari
http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_overview_
convention.htm
Westcott, Ben. “Philippines vs China: Why the South China Sea rulling may
change Asia”, diakses dari http://edition.cnn.com/2016/07/04/asia/south-
china-sea-un-case-explainer/
World Meters, ”China Population (Live)”, diakses dari
http://www.worldometers.info/world-population/china-population/
Ying, Fu dan Sichun, Wu. “South China Sea : How We Got to This Stage”,
Institue for Security & Developement Policy (ISDP) Jurnal Publikasi
(2016).