kelompok_4

21
TUGAS PANCASILA NEGARA PANCASILA ADALAH NEGARA KEBANGSAAN YANG BERKEADILAN SOSIAL OLEH: KELOMPOK 4 AYU NALURI 1007113871 DWI YUNI ERNAWATI 1007113611 ENANG NOVILIA 1007121529

Upload: ervina-hunafa

Post on 02-Jan-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pancasila

TRANSCRIPT

Page 1: KELOMPOK_4

TUGAS PANCASILA

NEGARA PANCASILA ADALAH NEGARA KEBANGSAAN

YANG BERKEADILAN SOSIAL

OLEH:

KELOMPOK 4

AYU NALURI 1007113871

DWI YUNI ERNAWATI 1007113611

ENANG NOVILIA 1007121529

RAHMANSYAH 1007116186

SILVIA RAHMI 1007121579

UMMY AISYAH ROCHAENI 1007113753

WAHYU SYAFRIMA 1007113604

Page 2: KELOMPOK_4

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA S1

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

2012

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup

panjang, sejak zaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit serta dijajah oleh

bangsa asing selama tiga abad. Pancasila adalah bersifat ‘majemuk tunggal’.

Adapaun unsur-unsur yang membentuk nasionalisme (bangsa) Indonesia adalah

sebagai berikut :

1) Kesatuan sejarah, bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dari suatu

proses sejarah, yaitu sejak zaman prasejarah, zaman Sariwijaya,

Majapahit kemudian datang penjajah, tercetus Sumpah Pemuda 1928

dan akhirnya memproklamasikan sebagai bangsa yang merdeka pada

tanggal 17 Agustus 1945, dalam suatu wilayah negara republik

Indonesia.

2) Kesatuan nasib, yaitu bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki

kesamaan nasib yaitu penderitaan penjajahan selama tiga setengah abad

dan memperjuangkan demi kemerdekaan secara bersama dan akhirnya

mendapatkan kegembiraan bersama atas karunia Tuhan yang Maha Esa

tentang kemerdekaan.

3) Kesatuan kebudayaan, walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman

kebudayaan, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan

yaitu kebudayaan nasional Indonesia. Jadi, kebudayaan nasional

Page 3: KELOMPOK_4

Indonesia tumbuh dan berkembang di atas akar-akar kebudayaan daerah

yang menyusunnya.

4) Kesatuan wilayah, bangsa ini hidup dan mencari penghidupan dalam

wilayah Ibu Pertiwi, yaitu satu tumpah darah Indonesia.

5) Kesatuan asas kerohanian, bangsa ini sebagai satu bangsa memiliki

kesamaan cita-cita, kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup yang

berakar dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri yaitu

pandangan hidup Pancasila (Notonagoro, 1975:106)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Negara Pancasila adalah Negera Berkebangsaan yang Berkeadilan

Sosial

Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang

bearti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa. Sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan

suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial) yang meliputi tiga hal yaitu

(1) keadilan distributif (keadilan membagi), yaitu negara terhadap warganya, (2)

keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu warga terhadap negaranya untuk mentaati

peraturan perundangan, dan (3) keadilan komutatif (keadilan antar sesama warga

negara), yaitu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya secara

timbal balik (Notonegoro, 1975).

Indonesia sebagai suatu negara berkeadilan sosial yang berdasarkan

Pancasila sebagai suatu negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap

warganya dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, serta

mencerdaskan warganya (tujuan khusus). Adapun tujuan dalam pergaulan antar

bangsa di masyarakat internasional ialah ikut menciptakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam

pengertian ini maka negara Indonesia sebagai negara kebangsaan adalah

berkeadilan sosial dalam mensejahterakan warganya, demikian pula dalam

Page 4: KELOMPOK_4

pergaulan masyarakat internasional berprinsip dasar pada kemedekaan serta

keadilan dalam hidup masyarakat

Realisasi dan perlindungan keadilan dalam hidup bersama dalam suatu

negara untuk menciptakan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam

pengertian inilah maka negara kebangsaan yang berkeadilan sosial harus

merupakan suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Sehingga sebagai suatu

negara hukum harus terpenuhi adanya tiga syarat pokok yaitu (1) pengakuan dan

perlindungan atas hak-hak asasi manusia, (2) peradilan yang bebas, (3) legalitas

dalam arti hukum dalam segala bentuknya, yang tercantum dalam Undang-

Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 dan 2, Pasal 28, Pasal 29 ayat 2, Pasal 31 ayat

1.

Demikianlah sebagai suatu negara yang berkeadilan maka warga negara

berkewajiban mentaati peraturan perundang undangan sebagai manifestasi

keadilan legal dalam hidup bersama. Dalam realisasinya Pembangunan Nasional

adalah merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan negara, sehingga

Pembangunan Nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan sebagai dasar

operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam

pemerintahan negara.

Tidak perlu disangkal bahwa liberalisme membawa suatu kemajuan

kebudayaan politik dan kemanusiaan yang sangat besar. Liberalisme adalah aliran

pertama yang menempatkan martabat manusia di dalam kebebasannya. Nilai

tertinggi bagi liberalisme adalah kebebasan individu.

2.2 Relasi Antara Agama dengan Negara

Mengenai relasi antara negara dan agama, kita mengenal istilah

pemahaman mendasar yakni negara agama (theokrasi) dan negara sekuler. Sesuai

dengan namanya, agama dalam theokrasi memiliki peran sangat penting, bahkan

menjadi landasan yuridis suatu negara. Namun sebaliknya, dalam paham sekuler

eksistensi suatu agama menjadi “tidak penting” di mata negara. Dengan kata lain,

agama merupakan urusan privasi masing-masing warga, dimana negara tidak akan

ikut campur di dalamnya.

Page 5: KELOMPOK_4

Dalam konteks ini, negara-negara Eropa yang menganut demokrasi liberal

(sekuler) terlihat cukup berhasil menjalin hubungan harmoni antara negara dan

agama melalui proses sekulerisasi. Sekulerisasi dimaknai sebagai penempatan

secara proporsional hubungan antara negara dan agama. Secara teoritis, terdapat 3

(tiga) prinsip dasar dalam negara sekuler, yakni pemisahan antara negara dan

agama, kebebasan beragama, dan netralitas negara.

Ketiga prinsip tersebut meniscayakan adanya jaminan bahwa negara sama

sekali tidak ikut campur urusan agama, sejauh tidak berkenaan dengan ranah

publik. Negara menjaga jarak yang sama terhadap setiap agama yang dianut oleh

masing-masing warganya. Tentunya prinsip semacam itu mengindikasikan bahwa

negara tidak diperkenankan memfasilitasi lembaga-lembaga agama, pejabat-

pejabat lembaga agama pun tidak diperkenankan menjalankan pekerjaan negara.

Namun demikian, negara menjamin kebebasan atas setiap agama, masing-

masing warga bebas untuk memeluk suatu agama bahkan untuk tidak memeluk

suatu agama sekalipun (atheis). Akan tetapi hingga dewasa ini, belum ada negara

yang sepenuhnya menjalankan prinsip ideal semacam itu, baik negara penganut

paham liberal terlebih lagi negara agama. United States of America misalnya,

meskipun di tingkat nasional telah mengamalkan hukum sekuler tetapi berbeda

dengan beberapa negara bagiannya. Sebagian negara bagian di sana masih

menggunakan dana pajak untuk membiayai lembaga-lembaga agama. Pengaruh

suatu sekte agama tertentu pun masih mendominasi.

Sementara Indonesia sendiri, menurut beberapa kalangan sebagaimana

disebut dalam “Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila”, negara

kita disebut-sebut sebagai negara sekuler yang tidak sekuleristik. Pendapat

demikian didasarkan atas 3 (tiga) pembagain negara sekuler, yakni negara sekuler

anti agama, negara sekuler netral terhadap agama, dan negara sekuler yang

menghargai agama. Dalam hal ini Indonesia masuk dalam kategori terakhir,

sebagai negara sekuler yang menghargai agama. Namun demikian, wacana

semacam itu terasa menggelikan sebab Indonesia yang memiliki landasan

Pancasila, terutama sila Ketuhanan yang Maha Esa yang mengindikasikan

tiadanya unsur sekuleriasi (Basyarat Asghar Ali, 2011).

Page 6: KELOMPOK_4

Dalam Pokok Pikiran Keempat Penjelasan Pembukaan UUD 1945,

disebutkan bahwa menurut Pancasila negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang

Maha Esa atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Rumusan tersebut

secara jelas menerangkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler

(Kaelan, 2001).

Negara pada hakikatnya merupakan jelmaan suatu persekutuan hidup

manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Selain itu, negara

adalah lembaga kemanusiaan, lembaga kemasyarakatan yang memiliki suatu cita-

cita luhur. Sebagai negara yang berkemanusiaan maka negara wajib melindungi

seluruh warganya serta seluruh tumpah darahnya. Artinya negara harus

melindungi seluruh warganya tanpa kecuali. Negara Pancasila yang mendasarkan

kemanusiaan yang adil dan beradab mengaplikasikan nasionalisme berdasarkan

hakikat kodrat manusia. Kebangsaan Indonesia  ialah kebangsaan yang

berkemanusiaan, bukan kebangsaan yang chauvinistik. Sebagai suatu negara yang

berkeadilan sosial maka keadilan hidup bersama direalisasikan dan dilindungi

oleh negara, negara menjamin terwujudnya hal tersebut. Dengan kata lain, negara

berkeajiban membuat peraturan penundang-undangan yang mengatur hal tersebut.

Dalam pengertian inilah maka negara kebangsaan yang berkeadilan sosial harus

merupakan suatu negara yang berdasarkan atas hukum.

2.3 Agama dan Negara Saling Mengontrol

Dalam konteks relasi antara negara dan agama, meskipun secara yuridis

perundang-undangannya telah disahkan namun pelaksanaannya masih belum

memenuhi harapan. Hal tersebut semata-semata bukan disebab oleh konsepnya

yang masih mentah, melainkan sebab mentalitas para warganya. Ketika telah

bersinggungan dengan masalah agama (keyakinan), sebagian besar masyarakat

menjadi gelap mata. Pemahaman teologi beraroma individualistik maupun

chauvinistik masih sulit dihilangkan. Hal inilah yang kerap menimbulkan

ketegangan dalam hubungan antar pemeluk agama, masing-masing mengklaim

bahwa hanya agama sendirilah yang paling benar dan sah, sementara agama

lainnya salah. Tatkala ketegangan tersebut muncul, negara seharusnya

Page 7: KELOMPOK_4

menjalankan perannya sebagai pengayom alias menjamin ketutuhan keadilan

hidup bersama, sayangnya para penyenggara negara pun seorang penganut agama

yang memliki pandangan teologis tidak jauh berbeda.

Dilihat dari sisi lain, pengelolaan hubungan antar agama dan negara

sebetulnya dapat dibangun atas dasar saling kontrol dan mengimbangi. Agama

mendasari dan sekaligus mengontrol jalannya negara sementara negara pun

menjamin dan sekaligus mengontrol eksistensi agama dan para pemeluknya.

Kedunaya dapat saling bekerja sama, saling mengisi dan saling mengontrol.

Bukankah agama, dengan sistem etikanya yang ketat telah menginspirasi

pemberlakuan hukum negara? Sementara itu agama pun tidak akan berkembang

dengan baik manakala tidak mendapat dukungan dari agama. Dan dalam konteks

penataan kebijakan publik misalnya, negara mesti berperan dalam pengawasan

atas kemungkinan penyalahgunaan agama sebagai sumber dominasi dan

otoritarianisme terhadap agama lain. Sepanjang berkenaan dengan ranah publik,

yang boleh jadi masing-masing warga memeluk agama berbeda maka negara

berkewajiban memberi regulasi yang seimbang.

Disinilah peran Pancasila sebagai weltanschuung bangsa Indonesia.

Pancasila seharusnya menjadi semangat bersama, menjadi pedoman bersama

untuk hidup damai dalam perbedaan. Meskipun masing-masing warga memiliki

hak untuk menganut agama ataupun keyakinan yang berbeda tetapi masing-

masing adalah warga yang sama. Di depan kepentinga hidup bersama yang

dijamin oleh Pancasila, hierakhi metafisik mengenai baik-buruk harus dilupakan.

Penilaian tentang baik-buruk dan/ salah-benar mengenai suatu agama,

sebagaimana yang selama ini menggejala tidaklah perlu disangkut-pautkan dalam

wilayah publik.

Dan Pancasila sebagai weltanschauung, semenjak jauh-jauh hari memang

harus sudah mengantisipasi hal tersebut dan sekaligus menawarkan solusi

terbijaknya. Sebagai konsekuensinya, Pancasila memang harus senantiasa terbuka

dengan kritik dan saran, sewaktu-aktu siap melakukan evaluasi diri dan tidak

hanya duduk diam di singgasana agungnya. Sekali lagi, Pancasila yang senantiasa

Page 8: KELOMPOK_4

melakukan evaluasi diri itulah  yang tidak akan tampil membosankan bagi

warganya.

Indonesia secara konstitusional mengidealkan keadilan bagi seluruh rakyat

Indonesia, tanpa memandang latar belakang suku, rasa, golongan, agama dan

sebagainya. Konstirusi dasar ini telah menjamin tiap-tiap warga negara untuk

memperoleh hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Jaminan perlindungan

dan keadilan bagi semua warga menjadi syarat mutlak atas harmonisasi antara

agama, para pemeluknya dan negara (pemerintah). Dengan demikian, pengakuan

atas eksistensi agama dan ekspresi ‘keimanan yang selama ini terpinggirkan’

bukan didorong atas belas kasihan agama mayoritas, melainkan memang negara

menjamin hal tersebut. Pengakuan tersebut memang harus bermula dari kesadaran

bahwa setiap pemeluk agama merupakan warga negara yang sama,  yang hak dan

kewajibannya sama-sama dijamin oleh konstitusi.

2.4 Ideologi Liberal

Akar-akar rasionalisme yaitu paham yang meletakkan rasio sebagai

sumber kebenaran tertinggi, materialisme yang meletakkan materi sebagai nilai

tertinggi, empirisme yang mendasarkan atas kebenaran fakta empiris (yang dapat

ditangkap dengan indra manusia) serta individualisme yang meletakkan nilai dan

kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan masyarakat dan

negara.

2.5 Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Liberalisme

Negara liberal hakikatnya mendasarkan pada kebebasan individu, sehingga

masalah agama dalam negara sangat ditentukan oleh kebebasan individu. Paham

liberalisme dalam pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh paham rasionalis

yang mendasarkan atas kebenaran rasio. Materialisme yang berdasarkan atas

hakikat materi, emperisme yang mendasarkan atas kebenaran pengalaman indra

serta individualisme atas kebebasan individu (Soeryanto, 1989:185).

Negara memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan

menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya nasing-masing. Namun, Tuhan atau

Page 9: KELOMPOK_4

atheis, bahkan negara liberal memberi kebebasan untuk menilai dan mengkritik

agama misalnya tentang Nabi, Rasul, Kitab Suci bahkan Tuhan sekalipun.

Misalnya Salman Rusdi yang mengkritik kitab suci dengan tulisan ayat-ayat setan.

Karena menurut paham liberal bahwa kebenaran individu adalah sumber

kebenaran tertinggi.

Nilai-nilai agama dalam negara dipisahkan dan dibedakan dengan negara,

keputusan dan ketentuan kenegaraan terutama peraturan perundang-undangan

sangat ditentukan oleh kesepakatan individu-individu sebagai warga negaranya.

Walaupun ketentuan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Misalnya

UU aborsi di Negara Irlandia tetap diberlakukan walaupun ditentang oleh gereja

dan agama lainnya, karena UU tersebut merupakan hasil referendum. Berdasarkan

pandangan filosopis tersebut hampir dapat dipastikan bahwa dalam sistem negara

liberal membedakan dan memisahkan antara negara dengan agama atau bersifat

sekuler.

Negara adalah merupakan alat atau sarana individu, sehingga masalah

agama dalam negara sangat ditentukan oleh kebebasan individu. Ideologi

Sosialisme Komunis. Bebagai macam konsep dan paham sosialisme sebenarnya

hanya paham komunismelah sebagai paham yang paling jelas dan lengkap.

Paham ini adalah sebagai bentuk reaksi atas dasar perkembangan

masyarakat kapitalis sebagai hasil dari ideologi liberal. Manusia pada hakikatnya

adalah merupakan sekumpulan relasi, sehingga yang mutlak adalah komunitas dan

bukannya idividualitas. Etika ideologi komunisme adalah mendasarkan suatu

kebaikan hanya pada kepentingan demi keuntungan kelas masyarakat secara

totalitas.

2.6 Ideologi Sosialisme Komunis

Berbagai macam konsep dan paham sosialisme sebenarnya hanya paham

komunismelah sebagai paham yang paling jelas dan lengkap. Paham ini adalah

sebagai bentuk reaksi atas perkembangan masyarakat kapitalis sebagai hasil dari

edeologi liberal. Berkembangnya paham individualisme liberalisme yang

berakibat munculnya masyarakat kapitalis menurut paham ini mengakibatkan

Page 10: KELOMPOK_4

penderitaan rakyat, sehingga komunisme muncul sebagai reaksi atas penindasan

rakyat kecil oleh kalangan kapitalis yang didukung pemerintah.

Bertolak belakang dengan paham liberalisme individualisme, maka

komunisme yang dicetuskan melalui pemikiran Karl Marx memandang bahwa

hakikat, kebebasan dan hak individu itu tidak ada. Ideologi komunisme

mendasarkan pada suatu keyakinan bahwa manusia pada hakikatnya adalah hanya

makluk sosial saja. Manusia pada hakikatnya adalah merupakan sekumpulan

relasi, sehingga yang mutlak adalah komunitas dan bukannya individulitas. Hak

milik pribadi tidak ada karena hal ini akan menimbulkan kapitalisme yang pada

gilirannya akan melakukan penindasan pada kaum proletar. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa individualisme merupakan sumber penderitaan rakyat. Oleh

karena itu hak milik individual harus diganti sosialisme komunis.

Oleh karena tidak adanya hak individu, maka dapat dipastikan bahwa

menurut paham komunisme bahwa demokrasi individualis itu tidak ada yang ada

adalah hak komunal. Dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling

berinteraksi secara berinteraksi secara dialektis, yaitu kelas kapitalis dan kelas

proletar (buruh). Walaupun kedua hal tersebut bertentangan namun saling

membutuhkan. Kelas kapitalis senantiasa melakukan penindasan atas kelas buruh

proletar. Oleh karena itu, harus dilenyapkan.

Hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan melalui suatu revolusi. Hal

inilah yang merupakan konsep kaum komunis untuk melakukan suatu perubahan

terhadap masyarakat secara revolusioner infrastruktur masyarakat. Menurut

komunisme, ideologi adalah mendasarkan suatu kebaikan hanya pada kepentingan

demi keuntungan kelas masyarakat secara totalitas. Atas dasar inilah maka

komunisme mendasarkan moralnya pada kebaikan yang relatif demi keuntungan

kelasnya. oleh karena itu segala cara dapat dihalalkan.

Dalam kaitannya dengan negara, bahwa negara adalah sebagai manifestasi

dari manusia sebagai makhluk komunal. Mengubah masyarakat secara

revolusioner harus berakhir dengan kemenangan pada pihak kelas proletar.

Sehingga pada gilirannya pemerintahahan negara harus dipegang oleh orang-

orang yang meletakkan kepentingan pada kelas proletar. Demikian juga hak asasi

Page 11: KELOMPOK_4

dalam negara hanya berpusat pada hakikatnya adalah tidak ada. Atas dasar

pengertian inilah, maka sebenarnya komunisme adalah komunisme adalah anti

demokrasi dan hak asasi manusia.

2.7 Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Komunisme

Pada komunisme dalam memandang hakikat hubungan negara dengan

agama mendasarkan pada pandangan filosofis materialisme dialektis dan

materialisme historis. Hakikat kenyataan tertinggi menurut paham komunisme

adalah materi. Namun, materi menurut komunisme berada pada ketegangan intern

secara dinamis bergerak dari keadaan (tesis) ke keadaan lain (antitesis) kemudian

menyatukan (sintesis) ke tingkat yang lebih tinggi.

Selanjutnya sejarah bagaimana berlangsungnya suatu proses sangat

ditentukan oleh fenomina-fenomena dasar, yaitu dengan suatu kegiatan-kegiatan

yang paling material yaitu fenomena-fenomena ekonomis. Dalam pengertian

inilah menurut komunisme yang di pelopori oleh K. Marx, menyatakan bahwa

manusia adalah merupakan suatu hakekat yang menciptakan dirinya sendiri yang

menghasilkan sarana-sarana kehidupan sehingga menentukan dalam perubahan

sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan bahkan agama.

Dari pengertian itu, maka komunisme adalah aliran berpaham atheis,

karena manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama menurut komunisme

adalah realisasi fanatis makhluk manusia, agama adalah keluhan makhluk

tertindas. Oleh karena itu, menurut komunisme Marxis, agama adalah merupakan

candu masyarakat (Marx, dalam Louis Leahy, 1992:97,98). Negara yang

berpaham komunisme adalah bersifat atheis bahkan bersifat antitheis, melarang

dan menekan kehidupan agama. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi

sehingga nilai manusia ditentukan oleh materi.

Page 12: KELOMPOK_4

BAB III

KESIMPULAN

1. Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang

bearti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan

Yang Maha Esa.

2. Sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan

suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial) yang meliputi tiga

hal yaitu (1) keadilan distributif (keadilan membagi), (2) keadilan legal

(keadilan bertaat), dan (3) keadilan komutatif (keadilan antar sesama

warga negara).

3. Negara berkeadilan sosial yang berdasarkan Pancasila sebagai suatu

negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap warganya dan

seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, serta

mencerdaskan warganya (tujuan khusus).

4. Negara kebangsaan yang berkeadilan sosial harus merupakan suatu negara

yang berdasarkan atas hukum dan memiliki tiga syarat pokok yaitu (1)

pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, (2) peradilan

yang bebas, dan (3) legalitas.

5. Negara Indonesia adalah negara sekuler yang tidak sekuleristik, artinya

negara sekuler yang menghargai agama.

Page 13: KELOMPOK_4

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Basyarat Asghar. Relasi Agama dan Negara: Problematika Kebijakan di

Ranah Publik, Majalah Suluh, Hlm. 6 Edisi 53, Juli-Agustus 2011.

Bourchier, David. 2007. Pancasila versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara

Organis (Integralistik). Yogyakarta: Aditya Media dan PSP UGM.

Kaelan, 2001. Pendidikan Pancasila: Proses Reformasi Paradigma

Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Amandemen UU Hak Azasi

Manusia dan Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. Hlm. 23. Yogyakarta:

Paradigma.

Kaelan, 2010. Pendidikan Pancasila: Proses Reformasi Paradigma

Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Amandemen UU Hak Azasi

Manusia dan Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.

Notonagoro, 1995. Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Bumi Aksara.

Mukromin, Ngutsman. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka, Makalah Kuliah

Filsafat Pancasila Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2008.

Osman, Oetojo dan Alfian. 1992. Pancasila sebagai Ideologi: dalam Berbagai

Bidang Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat.

Pasha, Musthafa Kamal, dkk. 2003. Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis

dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.