kelompok_4
DESCRIPTION
pancasilaTRANSCRIPT
![Page 1: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/1.jpg)
TUGAS PANCASILA
NEGARA PANCASILA ADALAH NEGARA KEBANGSAAN
YANG BERKEADILAN SOSIAL
OLEH:
KELOMPOK 4
AYU NALURI 1007113871
DWI YUNI ERNAWATI 1007113611
ENANG NOVILIA 1007121529
RAHMANSYAH 1007116186
SILVIA RAHMI 1007121579
UMMY AISYAH ROCHAENI 1007113753
WAHYU SYAFRIMA 1007113604
![Page 2: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/2.jpg)
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA S1
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia terbentuk melalui suatu proses sejarah yang cukup
panjang, sejak zaman kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit serta dijajah oleh
bangsa asing selama tiga abad. Pancasila adalah bersifat ‘majemuk tunggal’.
Adapaun unsur-unsur yang membentuk nasionalisme (bangsa) Indonesia adalah
sebagai berikut :
1) Kesatuan sejarah, bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang dari suatu
proses sejarah, yaitu sejak zaman prasejarah, zaman Sariwijaya,
Majapahit kemudian datang penjajah, tercetus Sumpah Pemuda 1928
dan akhirnya memproklamasikan sebagai bangsa yang merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945, dalam suatu wilayah negara republik
Indonesia.
2) Kesatuan nasib, yaitu bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki
kesamaan nasib yaitu penderitaan penjajahan selama tiga setengah abad
dan memperjuangkan demi kemerdekaan secara bersama dan akhirnya
mendapatkan kegembiraan bersama atas karunia Tuhan yang Maha Esa
tentang kemerdekaan.
3) Kesatuan kebudayaan, walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman
kebudayaan, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan
yaitu kebudayaan nasional Indonesia. Jadi, kebudayaan nasional
![Page 3: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/3.jpg)
Indonesia tumbuh dan berkembang di atas akar-akar kebudayaan daerah
yang menyusunnya.
4) Kesatuan wilayah, bangsa ini hidup dan mencari penghidupan dalam
wilayah Ibu Pertiwi, yaitu satu tumpah darah Indonesia.
5) Kesatuan asas kerohanian, bangsa ini sebagai satu bangsa memiliki
kesamaan cita-cita, kesamaan pandangan hidup dan filsafat hidup yang
berakar dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri yaitu
pandangan hidup Pancasila (Notonagoro, 1975:106)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Negara Pancasila adalah Negera Berkebangsaan yang Berkeadilan
Sosial
Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang
bearti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa. Sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan
suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial) yang meliputi tiga hal yaitu
(1) keadilan distributif (keadilan membagi), yaitu negara terhadap warganya, (2)
keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu warga terhadap negaranya untuk mentaati
peraturan perundangan, dan (3) keadilan komutatif (keadilan antar sesama warga
negara), yaitu hubungan keadilan antara warga satu dengan yang lainnya secara
timbal balik (Notonegoro, 1975).
Indonesia sebagai suatu negara berkeadilan sosial yang berdasarkan
Pancasila sebagai suatu negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap
warganya dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, serta
mencerdaskan warganya (tujuan khusus). Adapun tujuan dalam pergaulan antar
bangsa di masyarakat internasional ialah ikut menciptakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam
pengertian ini maka negara Indonesia sebagai negara kebangsaan adalah
berkeadilan sosial dalam mensejahterakan warganya, demikian pula dalam
![Page 4: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/4.jpg)
pergaulan masyarakat internasional berprinsip dasar pada kemedekaan serta
keadilan dalam hidup masyarakat
Realisasi dan perlindungan keadilan dalam hidup bersama dalam suatu
negara untuk menciptakan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam
pengertian inilah maka negara kebangsaan yang berkeadilan sosial harus
merupakan suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Sehingga sebagai suatu
negara hukum harus terpenuhi adanya tiga syarat pokok yaitu (1) pengakuan dan
perlindungan atas hak-hak asasi manusia, (2) peradilan yang bebas, (3) legalitas
dalam arti hukum dalam segala bentuknya, yang tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 1 dan 2, Pasal 28, Pasal 29 ayat 2, Pasal 31 ayat
1.
Demikianlah sebagai suatu negara yang berkeadilan maka warga negara
berkewajiban mentaati peraturan perundang undangan sebagai manifestasi
keadilan legal dalam hidup bersama. Dalam realisasinya Pembangunan Nasional
adalah merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan negara, sehingga
Pembangunan Nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan sebagai dasar
operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam
pemerintahan negara.
Tidak perlu disangkal bahwa liberalisme membawa suatu kemajuan
kebudayaan politik dan kemanusiaan yang sangat besar. Liberalisme adalah aliran
pertama yang menempatkan martabat manusia di dalam kebebasannya. Nilai
tertinggi bagi liberalisme adalah kebebasan individu.
2.2 Relasi Antara Agama dengan Negara
Mengenai relasi antara negara dan agama, kita mengenal istilah
pemahaman mendasar yakni negara agama (theokrasi) dan negara sekuler. Sesuai
dengan namanya, agama dalam theokrasi memiliki peran sangat penting, bahkan
menjadi landasan yuridis suatu negara. Namun sebaliknya, dalam paham sekuler
eksistensi suatu agama menjadi “tidak penting” di mata negara. Dengan kata lain,
agama merupakan urusan privasi masing-masing warga, dimana negara tidak akan
ikut campur di dalamnya.
![Page 5: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/5.jpg)
Dalam konteks ini, negara-negara Eropa yang menganut demokrasi liberal
(sekuler) terlihat cukup berhasil menjalin hubungan harmoni antara negara dan
agama melalui proses sekulerisasi. Sekulerisasi dimaknai sebagai penempatan
secara proporsional hubungan antara negara dan agama. Secara teoritis, terdapat 3
(tiga) prinsip dasar dalam negara sekuler, yakni pemisahan antara negara dan
agama, kebebasan beragama, dan netralitas negara.
Ketiga prinsip tersebut meniscayakan adanya jaminan bahwa negara sama
sekali tidak ikut campur urusan agama, sejauh tidak berkenaan dengan ranah
publik. Negara menjaga jarak yang sama terhadap setiap agama yang dianut oleh
masing-masing warganya. Tentunya prinsip semacam itu mengindikasikan bahwa
negara tidak diperkenankan memfasilitasi lembaga-lembaga agama, pejabat-
pejabat lembaga agama pun tidak diperkenankan menjalankan pekerjaan negara.
Namun demikian, negara menjamin kebebasan atas setiap agama, masing-
masing warga bebas untuk memeluk suatu agama bahkan untuk tidak memeluk
suatu agama sekalipun (atheis). Akan tetapi hingga dewasa ini, belum ada negara
yang sepenuhnya menjalankan prinsip ideal semacam itu, baik negara penganut
paham liberal terlebih lagi negara agama. United States of America misalnya,
meskipun di tingkat nasional telah mengamalkan hukum sekuler tetapi berbeda
dengan beberapa negara bagiannya. Sebagian negara bagian di sana masih
menggunakan dana pajak untuk membiayai lembaga-lembaga agama. Pengaruh
suatu sekte agama tertentu pun masih mendominasi.
Sementara Indonesia sendiri, menurut beberapa kalangan sebagaimana
disebut dalam “Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila”, negara
kita disebut-sebut sebagai negara sekuler yang tidak sekuleristik. Pendapat
demikian didasarkan atas 3 (tiga) pembagain negara sekuler, yakni negara sekuler
anti agama, negara sekuler netral terhadap agama, dan negara sekuler yang
menghargai agama. Dalam hal ini Indonesia masuk dalam kategori terakhir,
sebagai negara sekuler yang menghargai agama. Namun demikian, wacana
semacam itu terasa menggelikan sebab Indonesia yang memiliki landasan
Pancasila, terutama sila Ketuhanan yang Maha Esa yang mengindikasikan
tiadanya unsur sekuleriasi (Basyarat Asghar Ali, 2011).
![Page 6: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/6.jpg)
Dalam Pokok Pikiran Keempat Penjelasan Pembukaan UUD 1945,
disebutkan bahwa menurut Pancasila negara adalah berdasar atas Ketuhanan yang
Maha Esa atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Rumusan tersebut
secara jelas menerangkan bahwa negara Indonesia bukanlah negara sekuler
(Kaelan, 2001).
Negara pada hakikatnya merupakan jelmaan suatu persekutuan hidup
manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Selain itu, negara
adalah lembaga kemanusiaan, lembaga kemasyarakatan yang memiliki suatu cita-
cita luhur. Sebagai negara yang berkemanusiaan maka negara wajib melindungi
seluruh warganya serta seluruh tumpah darahnya. Artinya negara harus
melindungi seluruh warganya tanpa kecuali. Negara Pancasila yang mendasarkan
kemanusiaan yang adil dan beradab mengaplikasikan nasionalisme berdasarkan
hakikat kodrat manusia. Kebangsaan Indonesia ialah kebangsaan yang
berkemanusiaan, bukan kebangsaan yang chauvinistik. Sebagai suatu negara yang
berkeadilan sosial maka keadilan hidup bersama direalisasikan dan dilindungi
oleh negara, negara menjamin terwujudnya hal tersebut. Dengan kata lain, negara
berkeajiban membuat peraturan penundang-undangan yang mengatur hal tersebut.
Dalam pengertian inilah maka negara kebangsaan yang berkeadilan sosial harus
merupakan suatu negara yang berdasarkan atas hukum.
2.3 Agama dan Negara Saling Mengontrol
Dalam konteks relasi antara negara dan agama, meskipun secara yuridis
perundang-undangannya telah disahkan namun pelaksanaannya masih belum
memenuhi harapan. Hal tersebut semata-semata bukan disebab oleh konsepnya
yang masih mentah, melainkan sebab mentalitas para warganya. Ketika telah
bersinggungan dengan masalah agama (keyakinan), sebagian besar masyarakat
menjadi gelap mata. Pemahaman teologi beraroma individualistik maupun
chauvinistik masih sulit dihilangkan. Hal inilah yang kerap menimbulkan
ketegangan dalam hubungan antar pemeluk agama, masing-masing mengklaim
bahwa hanya agama sendirilah yang paling benar dan sah, sementara agama
lainnya salah. Tatkala ketegangan tersebut muncul, negara seharusnya
![Page 7: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/7.jpg)
menjalankan perannya sebagai pengayom alias menjamin ketutuhan keadilan
hidup bersama, sayangnya para penyenggara negara pun seorang penganut agama
yang memliki pandangan teologis tidak jauh berbeda.
Dilihat dari sisi lain, pengelolaan hubungan antar agama dan negara
sebetulnya dapat dibangun atas dasar saling kontrol dan mengimbangi. Agama
mendasari dan sekaligus mengontrol jalannya negara sementara negara pun
menjamin dan sekaligus mengontrol eksistensi agama dan para pemeluknya.
Kedunaya dapat saling bekerja sama, saling mengisi dan saling mengontrol.
Bukankah agama, dengan sistem etikanya yang ketat telah menginspirasi
pemberlakuan hukum negara? Sementara itu agama pun tidak akan berkembang
dengan baik manakala tidak mendapat dukungan dari agama. Dan dalam konteks
penataan kebijakan publik misalnya, negara mesti berperan dalam pengawasan
atas kemungkinan penyalahgunaan agama sebagai sumber dominasi dan
otoritarianisme terhadap agama lain. Sepanjang berkenaan dengan ranah publik,
yang boleh jadi masing-masing warga memeluk agama berbeda maka negara
berkewajiban memberi regulasi yang seimbang.
Disinilah peran Pancasila sebagai weltanschuung bangsa Indonesia.
Pancasila seharusnya menjadi semangat bersama, menjadi pedoman bersama
untuk hidup damai dalam perbedaan. Meskipun masing-masing warga memiliki
hak untuk menganut agama ataupun keyakinan yang berbeda tetapi masing-
masing adalah warga yang sama. Di depan kepentinga hidup bersama yang
dijamin oleh Pancasila, hierakhi metafisik mengenai baik-buruk harus dilupakan.
Penilaian tentang baik-buruk dan/ salah-benar mengenai suatu agama,
sebagaimana yang selama ini menggejala tidaklah perlu disangkut-pautkan dalam
wilayah publik.
Dan Pancasila sebagai weltanschauung, semenjak jauh-jauh hari memang
harus sudah mengantisipasi hal tersebut dan sekaligus menawarkan solusi
terbijaknya. Sebagai konsekuensinya, Pancasila memang harus senantiasa terbuka
dengan kritik dan saran, sewaktu-aktu siap melakukan evaluasi diri dan tidak
hanya duduk diam di singgasana agungnya. Sekali lagi, Pancasila yang senantiasa
![Page 8: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/8.jpg)
melakukan evaluasi diri itulah yang tidak akan tampil membosankan bagi
warganya.
Indonesia secara konstitusional mengidealkan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia, tanpa memandang latar belakang suku, rasa, golongan, agama dan
sebagainya. Konstirusi dasar ini telah menjamin tiap-tiap warga negara untuk
memperoleh hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Jaminan perlindungan
dan keadilan bagi semua warga menjadi syarat mutlak atas harmonisasi antara
agama, para pemeluknya dan negara (pemerintah). Dengan demikian, pengakuan
atas eksistensi agama dan ekspresi ‘keimanan yang selama ini terpinggirkan’
bukan didorong atas belas kasihan agama mayoritas, melainkan memang negara
menjamin hal tersebut. Pengakuan tersebut memang harus bermula dari kesadaran
bahwa setiap pemeluk agama merupakan warga negara yang sama, yang hak dan
kewajibannya sama-sama dijamin oleh konstitusi.
2.4 Ideologi Liberal
Akar-akar rasionalisme yaitu paham yang meletakkan rasio sebagai
sumber kebenaran tertinggi, materialisme yang meletakkan materi sebagai nilai
tertinggi, empirisme yang mendasarkan atas kebenaran fakta empiris (yang dapat
ditangkap dengan indra manusia) serta individualisme yang meletakkan nilai dan
kebebasan individu sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan masyarakat dan
negara.
2.5 Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Liberalisme
Negara liberal hakikatnya mendasarkan pada kebebasan individu, sehingga
masalah agama dalam negara sangat ditentukan oleh kebebasan individu. Paham
liberalisme dalam pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh paham rasionalis
yang mendasarkan atas kebenaran rasio. Materialisme yang berdasarkan atas
hakikat materi, emperisme yang mendasarkan atas kebenaran pengalaman indra
serta individualisme atas kebebasan individu (Soeryanto, 1989:185).
Negara memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya nasing-masing. Namun, Tuhan atau
![Page 9: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/9.jpg)
atheis, bahkan negara liberal memberi kebebasan untuk menilai dan mengkritik
agama misalnya tentang Nabi, Rasul, Kitab Suci bahkan Tuhan sekalipun.
Misalnya Salman Rusdi yang mengkritik kitab suci dengan tulisan ayat-ayat setan.
Karena menurut paham liberal bahwa kebenaran individu adalah sumber
kebenaran tertinggi.
Nilai-nilai agama dalam negara dipisahkan dan dibedakan dengan negara,
keputusan dan ketentuan kenegaraan terutama peraturan perundang-undangan
sangat ditentukan oleh kesepakatan individu-individu sebagai warga negaranya.
Walaupun ketentuan tersebut bertentangan dengan norma-norma agama. Misalnya
UU aborsi di Negara Irlandia tetap diberlakukan walaupun ditentang oleh gereja
dan agama lainnya, karena UU tersebut merupakan hasil referendum. Berdasarkan
pandangan filosopis tersebut hampir dapat dipastikan bahwa dalam sistem negara
liberal membedakan dan memisahkan antara negara dengan agama atau bersifat
sekuler.
Negara adalah merupakan alat atau sarana individu, sehingga masalah
agama dalam negara sangat ditentukan oleh kebebasan individu. Ideologi
Sosialisme Komunis. Bebagai macam konsep dan paham sosialisme sebenarnya
hanya paham komunismelah sebagai paham yang paling jelas dan lengkap.
Paham ini adalah sebagai bentuk reaksi atas dasar perkembangan
masyarakat kapitalis sebagai hasil dari ideologi liberal. Manusia pada hakikatnya
adalah merupakan sekumpulan relasi, sehingga yang mutlak adalah komunitas dan
bukannya idividualitas. Etika ideologi komunisme adalah mendasarkan suatu
kebaikan hanya pada kepentingan demi keuntungan kelas masyarakat secara
totalitas.
2.6 Ideologi Sosialisme Komunis
Berbagai macam konsep dan paham sosialisme sebenarnya hanya paham
komunismelah sebagai paham yang paling jelas dan lengkap. Paham ini adalah
sebagai bentuk reaksi atas perkembangan masyarakat kapitalis sebagai hasil dari
edeologi liberal. Berkembangnya paham individualisme liberalisme yang
berakibat munculnya masyarakat kapitalis menurut paham ini mengakibatkan
![Page 10: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/10.jpg)
penderitaan rakyat, sehingga komunisme muncul sebagai reaksi atas penindasan
rakyat kecil oleh kalangan kapitalis yang didukung pemerintah.
Bertolak belakang dengan paham liberalisme individualisme, maka
komunisme yang dicetuskan melalui pemikiran Karl Marx memandang bahwa
hakikat, kebebasan dan hak individu itu tidak ada. Ideologi komunisme
mendasarkan pada suatu keyakinan bahwa manusia pada hakikatnya adalah hanya
makluk sosial saja. Manusia pada hakikatnya adalah merupakan sekumpulan
relasi, sehingga yang mutlak adalah komunitas dan bukannya individulitas. Hak
milik pribadi tidak ada karena hal ini akan menimbulkan kapitalisme yang pada
gilirannya akan melakukan penindasan pada kaum proletar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa individualisme merupakan sumber penderitaan rakyat. Oleh
karena itu hak milik individual harus diganti sosialisme komunis.
Oleh karena tidak adanya hak individu, maka dapat dipastikan bahwa
menurut paham komunisme bahwa demokrasi individualis itu tidak ada yang ada
adalah hak komunal. Dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling
berinteraksi secara berinteraksi secara dialektis, yaitu kelas kapitalis dan kelas
proletar (buruh). Walaupun kedua hal tersebut bertentangan namun saling
membutuhkan. Kelas kapitalis senantiasa melakukan penindasan atas kelas buruh
proletar. Oleh karena itu, harus dilenyapkan.
Hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan melalui suatu revolusi. Hal
inilah yang merupakan konsep kaum komunis untuk melakukan suatu perubahan
terhadap masyarakat secara revolusioner infrastruktur masyarakat. Menurut
komunisme, ideologi adalah mendasarkan suatu kebaikan hanya pada kepentingan
demi keuntungan kelas masyarakat secara totalitas. Atas dasar inilah maka
komunisme mendasarkan moralnya pada kebaikan yang relatif demi keuntungan
kelasnya. oleh karena itu segala cara dapat dihalalkan.
Dalam kaitannya dengan negara, bahwa negara adalah sebagai manifestasi
dari manusia sebagai makhluk komunal. Mengubah masyarakat secara
revolusioner harus berakhir dengan kemenangan pada pihak kelas proletar.
Sehingga pada gilirannya pemerintahahan negara harus dipegang oleh orang-
orang yang meletakkan kepentingan pada kelas proletar. Demikian juga hak asasi
![Page 11: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/11.jpg)
dalam negara hanya berpusat pada hakikatnya adalah tidak ada. Atas dasar
pengertian inilah, maka sebenarnya komunisme adalah komunisme adalah anti
demokrasi dan hak asasi manusia.
2.7 Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Komunisme
Pada komunisme dalam memandang hakikat hubungan negara dengan
agama mendasarkan pada pandangan filosofis materialisme dialektis dan
materialisme historis. Hakikat kenyataan tertinggi menurut paham komunisme
adalah materi. Namun, materi menurut komunisme berada pada ketegangan intern
secara dinamis bergerak dari keadaan (tesis) ke keadaan lain (antitesis) kemudian
menyatukan (sintesis) ke tingkat yang lebih tinggi.
Selanjutnya sejarah bagaimana berlangsungnya suatu proses sangat
ditentukan oleh fenomina-fenomena dasar, yaitu dengan suatu kegiatan-kegiatan
yang paling material yaitu fenomena-fenomena ekonomis. Dalam pengertian
inilah menurut komunisme yang di pelopori oleh K. Marx, menyatakan bahwa
manusia adalah merupakan suatu hakekat yang menciptakan dirinya sendiri yang
menghasilkan sarana-sarana kehidupan sehingga menentukan dalam perubahan
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan bahkan agama.
Dari pengertian itu, maka komunisme adalah aliran berpaham atheis,
karena manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Agama menurut komunisme
adalah realisasi fanatis makhluk manusia, agama adalah keluhan makhluk
tertindas. Oleh karena itu, menurut komunisme Marxis, agama adalah merupakan
candu masyarakat (Marx, dalam Louis Leahy, 1992:97,98). Negara yang
berpaham komunisme adalah bersifat atheis bahkan bersifat antitheis, melarang
dan menekan kehidupan agama. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi
sehingga nilai manusia ditentukan oleh materi.
![Page 12: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/12.jpg)
BAB III
KESIMPULAN
1. Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang
bearti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa.
2. Sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan
suatu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial) yang meliputi tiga
hal yaitu (1) keadilan distributif (keadilan membagi), (2) keadilan legal
(keadilan bertaat), dan (3) keadilan komutatif (keadilan antar sesama
warga negara).
3. Negara berkeadilan sosial yang berdasarkan Pancasila sebagai suatu
negara kebangsaan, bertujuan untuk melindungi segenap warganya dan
seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, serta
mencerdaskan warganya (tujuan khusus).
4. Negara kebangsaan yang berkeadilan sosial harus merupakan suatu negara
yang berdasarkan atas hukum dan memiliki tiga syarat pokok yaitu (1)
pengakuan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia, (2) peradilan
yang bebas, dan (3) legalitas.
5. Negara Indonesia adalah negara sekuler yang tidak sekuleristik, artinya
negara sekuler yang menghargai agama.
![Page 13: KELOMPOK_4](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072016/55cf9c39550346d033a91709/html5/thumbnails/13.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Basyarat Asghar. Relasi Agama dan Negara: Problematika Kebijakan di
Ranah Publik, Majalah Suluh, Hlm. 6 Edisi 53, Juli-Agustus 2011.
Bourchier, David. 2007. Pancasila versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara
Organis (Integralistik). Yogyakarta: Aditya Media dan PSP UGM.
Kaelan, 2001. Pendidikan Pancasila: Proses Reformasi Paradigma
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Amandemen UU Hak Azasi
Manusia dan Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. Hlm. 23. Yogyakarta:
Paradigma.
Kaelan, 2010. Pendidikan Pancasila: Proses Reformasi Paradigma
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, Amandemen UU Hak Azasi
Manusia dan Pancasila Sebagai Sistem Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.
Notonagoro, 1995. Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Bumi Aksara.
Mukromin, Ngutsman. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka, Makalah Kuliah
Filsafat Pancasila Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2008.
Osman, Oetojo dan Alfian. 1992. Pancasila sebagai Ideologi: dalam Berbagai
Bidang Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: BP-7 Pusat.
Pasha, Musthafa Kamal, dkk. 2003. Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis
dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.