kel2-grup b-laporan akhir pbpal-2014.pdf
TRANSCRIPT
-
TL 4101
DESIGN TEKNIK LINGKUNGAN 1
LAPORAN PERENCANAAN DESAIN
INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK
Disusun oleh :
Kelompok 2B
1. Siti Maryam : 15311013
2. Budi Khaerunnisa S : 15311021
3. Astrid Tiara Bening : 15311041
4. Bellaria Ekaputri : 15311075
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 656'49''
- 745'00'' Lintang Selatan dan 10725'8'' - 1087'30'' Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki
luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha (3.065,19 km) dengan batas-batas sebelah
Utara dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, sebelah Timur dengan
Kabupaten Tasikmalaya, sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia, dan sebelah Barat
dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.
Kabupaten Garut yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai
ibukota provinsi Jawa Barat, merupakan daerah penyangga dan hitterland bagi
pengembangan wilayah Bandung Raya. Oleh karena itu, kabupaten Garut mempunyai
kedudukan strategis dalam memasok kebutuhan warga Kota dan Kabupaten Bandung
sekaligus pula berperan di dalam mengendalikan keseimbangan lingkungan. Dalam perannya
ini, kabupaten Garut memiliki kendala dalam pengolahan air limbah domestik, dimana sarana
pembuangan air limbah domestik yang ada berupa pemakaian septic tank bahkan ada yang
langsung dibuang begitu saja ke saluran drainase atau langsung ke badan air penerima yakni
sungai Cimanuk.
Akibat dari pencemaran tersebut tentu akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan
masyarakat. Terganggunya kesehatan masyarakat akibat dari terganggunya sistem sanitasi di
Kabupaten Garut. Kabupaten Garut belum memiliki suatu Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) Domestik sebagai sarana sanitasi masyarakat. Dikhawatirkan tanpa adanya IPAL
akan berpotensi memperburuk pencemaran Sungai Cimanuk dan akan berdampak pada
kesehatan masyarakat serta tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian
masyarakat. Dengan direncanakan suatu sistem pengolahan air limbah domestik secara
terpusat diharapkan akan dapat mengurangi tingkat pencemaran air tanah maupun permukaan
(Sungai Cimanuk) dan dapat meningkatkan kualitas lingkungan pada umumnya.
Dalam mengelola penyediaan dan pelayanan air minum, terdapat regulasi yang menjadi
acuan untuk melaksanakan pengelolaan dan penyediaan air minum dengan tujuan untuk
memudahkan dalam mempertimbangkan perencanaan instalasi pengolahan air minum.
Permenkes No. 492 Tahun 2010 mengatur mengenai persyaratan kualitas air minum,
-
sedangkan PP No. 82 Tahun 2001 mengatur mengenai pengelolaan kualitas dan pencemaran
air.
1.2 Tujuan
1. Memahami dan mampu merencanakan suatu sistem pengolahan air limbah.
2. Memahami tujuan pengolahan air limbah; penyisihan TSS, pengolahan BOD, eliminasi
organisme patogen, dan penyisihan nutrien.
3. Mampu mengevaluasi permasalahan yang timbul dalam sistem pengolahan air limbah.
1.3 Metodologi
1.4 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika pembahasan laporan tugas akhir adalah sebagai berikut:
1. BAB I Pendahuluan
Bab ini berisi mengenai latar belakang, tujuan, metodologi, dan sistematika penulisan dari
tugas ini.
2. BAB II Gambaran Umum Wilayah Perencanaan
Bab ini menerangkan gambaran wilayah yang akan direncanakan meliputi jumlah
penduduk daerah tersebut, kondisi eksisting IPAL terpusat, pengaliran limbah menuju
IPAL dan kontur daerah tersebut.
Identifikasi Masalah
Studi Literatur
Pengambilan Data
Analisis dan Pembahasan
Penyusunan Laporan
-
3. BAB III Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai literatur yang berhubungan dengan
pengerjaan tugas meliputi literatur mengenai limbah domestik, parameter pencemar, dan
unit pengolahan pada IPAL.
4. BAB IV Dasar Perencanaan
Bab ini berisi mengenai karakteristik air limbah, dan perhitungan beban pengolahan IPAL.
5. BAB V Alternatif Pengolahan
Bab ini berisi alternatif-alternatif pengolahan yang memungkinkan untuk digunakan,
metode pemilihan alternatif yang paling sesuai, dan rencana awal dari denah IPAL yang
akan digunakan.
6. BAB VI Perencanaan Rinci Alternatif
Bab ini berisi perhitungan-perhitungan detail dari alternatif terpilih, dimensi dari tiap alat
yang digunakan, headloss masing-masing unit, tinggi muka air masing-masing unit (profil
hidrolis)
7. BAB VII Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari pengerjaan tugas yang telah dilakukan.
-
BAB II
GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN
2.1 Jumlah Penduduk
BPS melakukan perhitungan penduduk berdasarkan sensus penduduk yang diadakan
setiap 10 tahun, disesuaikan dengan data mutasi kependudukan. Sensus penduduk setelah
kemerdekaan dimulai tahun 1961, kemudian 1971, 1980, 1990, 2000, 2010 dan terakhir tahun
2013.
Berdasarkan perhitungan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tahun 2013
disesuaikan dengan registrasi mutasi penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Garut tercatat
sebanyak 3.003.004 jiwa, dengan pertumbuhan penduduk sekitar 2%.
Tabel 2.1 Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio Kab. Garut 2013
( Diurutkan berdasarkan jumlah penduduk terbesar per kecamatan )
Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio
Garut Kota 87.006 83.869 170.875 103,7
Karangpawitan 77.564 74.536 152.100 104,0
Wanaraja 33.854 32.734 66.588 105,1
Pangatikan 20.715 19.278 39.993 107,4
Sucinaraja 17.651 17.160 34.811 102,8
Tarogong Kaler 47.960 45.599 93.562 105,1
Tarogong Kidul 66.617 64.501 131.118 103,2
Banyuresmi 48.565 44.286 92.851 109,6
Samarang 44.728 42.959 87.687 104,1
Pasirwangi 37.108 35.276 72.384 105,1
Leles 48.997 47.478 96.475 103,1
Kadungora 57.311 54.322 111.633 105,5
Leuwigoong 28.504 27.160 55.664 104,9
Cibatu 45.693 43.555 89.248 104,9
-
Kersamanah 24.522 22.924 47.446 104,9
Malangbong 76.952 73.499 150.451 104,6
Sukawening 35.530 33.507 69.037 106,0
Karangtengah 10.529 10.403 20.932 101,2
Bayongbong 70.497 67.935 138.436 103,7
Cigedug 23.043 22.235 45.278 103,6
Cilawu 73.304 71.089 144.393 103,1
Cisurupan 58.323 55.864 114.187 104,4
Sukaresmi 25.281 24.434 49.715 103,4
Cikajang 48.993 47.814 96.807 102,4
Singajaya 25.896 25.185 51.081 102,8
Cihurip 10.824 10.179 21.543 100,9
Banjarwangi 31.021 29.753 60.774 104,2
Peundeuy 12.684 12.126 24.810 104,6
Pameungpeuk 23.335 22.450 45.786 103,9
Cisompet 30.835 29.794 60.629 103,4
Cikelet 22.559 21.647 44.209 104,2
Cibalong 23.257 22.645 45.902 102,7
Bungbulang 35.183 34.310 69.493 102,5
Mekarmukti 9.548 9.443 18.991 101,1
Pakenjeng 37.838 36.641 74.479 103,2
Cisewu 20.720 20.156 40.876 102,7
Caringin 17.772 16.957 34.729 104,8
Telegong 18.099 18.041 36.140 100,3
Pamulihan 10.681 10.482 21.163 101,8
Bl. Limbangan 47.720 45.531 93.251 104,8
Selaawi 24.524 23.159 47.683 105,8
Cibiuk 20.724 19.110 39.834 108,4
-
Jumlah 1.532.467 1.470.566 3.003.004 104,2
Sumber: DISDUKCAPIL, Tahun 2013
Dari data tersebut didapt bahwa jumlah penduduk terbanyak berada di wilayah Garut
Kota.
2.2 Kondisi Eksisting IPAL Terpusat
Kabupaten Garut belum memiliki sistem pengelolaan limbah domestik secara terpusat.
Selain itu, air limbah domestik Kota Palembang umumnya menggunakan sistem sanitasi
setempat (on site sanitation) dengan menggunakan jamban, baik yang dikelola secara
individu maupun secara komunal, yang dilengkapi dengan tangki septik atau cubluk.
Sebagian masyakat pula membuang air limbah secara langsung menuju ke sungai.
2.3 Kondisi Eksisting Sistem Pengaliran Ail Limbah
Kabupaten Garut belum memiliki sistem pengaliran air limbah secara terpusat. Fluktuasi
air limbah terhadap waktu ditampilkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.3 Fluktuasi Air Limbah
Waktu % Air
Buangan
00.00-01.00 2.5
01.00-02.00 2.5
02.00-03.00 2.5
03.00-04.00 2.5
04.00-05.00 3.3
05.00-06.00 3.79
06.00-07.00 5.01
07.00-08.00 5.91
08.00-09.00 5.91
09.00-10.00 5.4
10.00-11.00 5.05
11.00-12.00 4.65
-
Waktu % Air
Buangan
12.00-13.00 4.65
13.00-14.00 4.85
14.00-15.00 4.85
15.00-16.00 4.85
16.00-17.00 5.38
17.00-18.00 6.1
18.00-19.00 4.32
19.00-20.00 4.32
20.00-21.00 3.53
21.00-22.00 2.93
22.00-23.00 2.6
23.00-24.00 2.6
Debit Kelompok B
(m3/day)
14.250
4.7
Berikut kondisi kualitas air sungai yang akan dijadikan badan air penerima limbah
Tabel 2.4 Kualitas Air Sungai
No Paramter Satuan Kualitas
FISIKA
1 Temperatur Celcius 27.7
2 Residuterlarut mg/l 143.67
3 Zattersuspensi mg/l 15
4 Kekeruhan NTU NTU -
6 Kecerahan Cm 135
KIMIA
1 pH - 7.6
2 CO2bebas mg/l 13.2
3 HCO3 mg/l 129.3
4 Kesadahan(CaCO3) mg/l 53.4
5 Sulfida(H2S) mg/l -
-
No Paramter Satuan Kualitas
6 Ammonia(NH3) mg/l 0.01
7 Nitrit(NO2-N) mg/l 0.04
8 Nitrat(NO3-N) mg/l 1.15
9 Fosfat(PO4) mg/l 0.22
11 OksigenTerlarut mg/l 2.9
12 COD mg/l 15.42
13 BOD mg/l 10.87
16 Besi (Fe) mg/l 0.14
17 Air Raksa (Hg) 0.54
18 Nikel (Ni) mg/l 0.03
19 Tembaga (Cu) mg/l 0.01
20 Seng (Zn) mg/l 0.02
22 Kadmium (Cd) mg/l
23 Timbal (Pb) mg/l 0.0087
28 Mangan (Mn) mg/l 0.076
29 Natrium (Na) mg/l 34.33
BIOLOGI
1 MPN E.coli JPT/100 240
2 MPN Coliform JPT/100 460
Melihat kualitas air sungai tersebut masuk kedalam air kelas IV berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001.
2.4 Kontur Wilayah Perencanaan
Ibukota Kabupaten Garut berada pada ketinggian 717 m dpl dikelilingi oleh Gunung
Karacak (1838 m), Gunung Cikuray (2821 m), Gunung Papandayan (2622 m), dan Gunung
Guntur (2249 m).
Karakteristik topografi Kabupaten Garut sebelah Utara terdiri dari dataran tinggi dan
pegunungan, sedangkan bagian Selatan sebagian besar permukaannya memiliki tingkat
kecuraman yang terjal dan di beberapa tempat labil. Kabupaten Garut mempunyai ketinggian
tempat yang bervariasi antara wilayah yang paling rendah yang sejajar dengan permukaan
laut hingga wilayah tertinggi dipuncak gunung. Wilayah yang berada pada ketinggian 500-
-
100 m dpl terdapat di kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan dan wilayah yang berada pada
ketinggian 100-1500 m dpl terdapat di kecamatan Cikajang, Pakenjeng-Pamulihan,
Cisurupan dan Cisewu. Wilayah yang terletak pada ketinggian 100-500 m dpl terdapat di
kecamatan Cibalong, Cisompet, Cisewu, Cikelet dan Bungbulang serta wilayah yang terletak
di daratan rendah pada ketinggian kurang dari 100 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong dan
Pameungpeuk.
Rangkaian pegunungan vulkanik yang mengelilingi dataran antar gunung Garut Utara
umurnya memiliki lereng dengan kemiringin 30-45% disekitar puncak, 15-30% di bagian
tengah, dan 10-15% di bagian kaki lereng pegunungan. Lereng gunung tersebut umumnya
ditutupi vegetasi cukup lebat karena sebagian diantaranya merupakan kawasan konservasi
alam. Wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi antara 0-
40%, diantaranya sebesar 71,42% atau 218.924 Ha berada pada tingkat kemiringan antara 8-
25%. Luas daerah landai dengan tingkat kemiringan dibawah 3% mencapai 29.033 Ha atau
9,47%; wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 8% mencakup areal seluas 79.214
Ha atau 25,84%; luas areal dengan tingkat kemiringan sampai 15% mencapai 62.975 Ha atau
20,55% wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 40% mencapai luas areal 7.550
Ha atau sekitar 2.46%.
Berdasarkan arah alirannya, sungai-sungai di wilayah Kabupaten Garut dibagi menjadi
dua daerah aliran sungai (DAS) yaitu Daerah Aliran Utara yang bermuara di Laut Jawa dan
Daerah Aliran Selatan yang bermuara di Samudera Indonesia. Daerah aliran selatan pada
umumnya relatif pendek, sempit dan berlembah-lembah dibandingkan dengan daerah aliran
utara. Daerah aliran utara merupakan DAS Cimanuk Bagian Utara, sedangkan daerah aliran
selatan merupakan DAS Cikaengan dan Sungai Cilaki. Wilayah Kabupaten Garut terdapat 33
buah sungai dan 101 anak sungai dengan panjang sungai seluruhnya 1.397,34 km; dimana
sepanjang 92 Km diantaranya merupakan panjang aliran Sungai Cimanuk dengan 58 buah
anak sungai.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Air Limbah Domestik
Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha atau kegiatan
permukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. Beberapa
bentuk dari air limbah ini berupa tinja, air seni, limbah kamar mandi, dan juga sisa kegiatan
dapur rumah tangga.
Jumlah air limbah yang dibuang akan selalu bertambah dengan meningkatnya jumlah
penduduk dengan segala kegiatannya. Apabila jumlah air yang dibuang berlebihan melebihi
dari kemampuan alam untuk menerimanya maka akan terjadi kerusakan lingkungan.
Lingkungan yang rusak akan menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan manusia yang
tinggal pada lingkungannya itu sendiri sehingga oleh karenanya perlu dilakukan penanganan
air limbah yang seksama dan terpadu baik itu dalam penyaluran maupun pengolahannya.
Menurut Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 122 Tahun
2005, baku mutu air limbah domestik diatur dalam tabel berikut.
Tabel 3.1 Baku Mutu Air limbah Domestik
(sumber: Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 122 Tahun 2005)
Pada umumnya seluruh limbah domestik dibuang langsung ke dalam badan sungai tanpa
didahului pengolahan walapun sederhana. Limbah domestik mengandung campuran unsur-
unsur yang sangat kompleks, sehingga seharusnya limbah diolah terlebih dahulu sebelum
dibuang ke dalam badan air. Oleh karena itu terdapat regulasi dari pemerintah yang mengatur
-
baku mutu limbah domestik yang boleh dibuang ke badan air agar tidak mencemari dan
membahayakan lingkungan.
3.2 Parameter Kualitas Air
3.2.1 pH (Derajat Keasaman)
pH merupakan parameter yang menyatakan derajat keasaman air berdasarkan
banyaknya ion H+ di dalam air tersebut. Persamaan yang menggambarkan nilai pH yang
dimiliki oleh air adalah pH = -log[H+]
Berdasarkan persamaan tersebut maka pH air yang tinggi menunjukkan bahwa
konsentrasi H+ rendah dan air bersifat basa. Sebaliknya, jika konsentrasi H+ tinggi maka pH
air menjadi rendah dan air bersifat asam. Hal-hal yang menyebabkan air bersifat asam atau
basa antara lain adalah asam mineral, asam organik, atau garam-garam yang bersifat alkali.
Besaran pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa). Nilai pH
yang kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang asam, sedangkan nilai pH di atas 7
menunjukkan lingkungan yang basa atau alkali. Sedangkan pH = 7 disebut sebagai netral.
Lakmus adalah suatu kertas dari bahan kimia yang akan berubah warna jika dicelupkan
ke dalam larutan asam atau basa. Warna yang dihasilkan oleh lakmus dipengaruhi oleh kadar
pH dalam larutan yang ada.
Gambar 3.1 Skala pH
Data pH sangat diperlukan untuk mengetahui apakah air tersebut memenuhi
persyaratan tertentu. Misalnya untuk air minum, pH yang disyaratkan berkisar antara 6,5-8,5.
Parameter pH juga berguna untuk air yang akan digunakan sebagai keperluan industri dan
-
pertanian. Dalam proses pengolahan air, pH mempengaruhi efisiensi dari proses yang
berlangsung, misalnya proses koagulasi dan pengolahan air limbah secara biologis.
3.2.2 Zat Tersuspensi (TSS)
Total Suspended Solid (TSS) atau padatan tersuspensi total adalah residu dari padatan
total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2 m atau lebih besar dari
ukuran partikel koloid. Yang termasuk ke dalam TSS adalah lumpur, tanah liat, logam
oksida, sulfida, ganggang, bakteri, dan jamur. TSS umumnya dihilangkan melalui proses
flokulasi dan penyaringan. TSS memberikan kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan
membatasi penetrasi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis tumbuhan dan visibilitas di
perairan.
Perbedaan antara padatan tersuspensi total (TSS) dan padatan terlarut total (TDS)
adalah berdasarkan prosedur penyaringannya. Padatan selalu diukur sebagai berat kering dan
prosedur pengeringan harus diperhatikan untuk menghindari kesalahan yang disebabkan oleh
kelembapan yang tertahan atau kehilangan bahan akibat penguapan atau oksidasi.
Analisis nilai TSS dapat dilakukan dengan cara menyaring hasil uji yang telah
homogen dengan kertas saring yang telah ditimbang. Residu yang tertahan pada saringan
dikeringkan sampai mencapai berat konstan pada suhu 103-105C. Kenaikan berat saringan
mewakili padatan tersuspensi total (TSS). Jika padatan tersuspensi menghambat saringan dan
memperlambat proses penyaringan maka diameter pori-pori saringan perlu diperbesar atau
mengurangi volume contoh uji. Untuk memperoleh estimasi TSS, dihitung perbedaan antara
padatan terlarut total dan padatan total.
TSS (mg/l) = [(A-B) x 1000] / V
Keterangan :
A = Berat kertas saring + residu kering (mg)
B = Berat kertas saring (mg)
V = Volume contoh (ml)
3.2.3 Amonia
Amonia merupakan senyawa yang terdiri atas unsur nitrogen dan hidrogen yang dikenal
memiliki bau menyengat yang khas. Molekul amonia terbentuk dari ion nitrogen bermuatan
negatif dan tiga ion hidrogen bermuatan positif dengan rumus kimia NH3. Amonia dapat
terjadi secara alami atau diproduksi secara sintetis. Amonia yang terdapat di alam (atmosfer)
-
berasal dari dekomposisi bahan organik. Produksi amonia buatan melibatkan serangkaian
proses kimia untuk menggabungkan ion nitrogen dan hidrogen. pH amonia berkisar pada
nilai 11,5 sehingga amonia bersifat basa. Amonia memiliki kemampuan menetralisir asam
dan saat dilarutkan dalam air akan membentuk ammonium bermuatan positif (NH4+) dan ion
hidroksida bermuatan negatif (OH-).
Amonia umum digunakan sebagai bahan pembuat obat-obatan, campuran pembuat
pupuk untuk menyediakan unsur nitrogen bagi tanaman, dan apabila dilarutkan dalam air
dapat digunakan untuk membersihkan berbagai perkakas rumah tangga. Amonia dalam
konsentrasi tinggi bisa menjadi berbahaya apabila terhirup, tertelan, atau tersentuh.
3.2.4 BOD (Biochemical Oxygen Demand) & COD (Chemical Oxygen Demand)
BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, terutama
bakteri, untuk menguraikan senyawa organik. Penguraian senyawa organik oleh
mikroorganisme dapat diartikan bahwa zat organik sebagai bahan makanan untuk
mikroorganisme dan diuraikan melalui rangkaian reaksi biokimia yang panjang dan rumit di
dalam sel. Hasil akhir dari penguraian zat organik tersebut adalah energi untuk kebutuhan
hidup mikroorganisme sendiri, H2O, gas CO2, dan senyawa lainnya. Dengan demikian,
pengukuran BOD adalah pengukuran banyaknya zat organik yang dapat diuraikan oleh
mikroorganisme pada waktu dan temperatur tertentu.
Hasil pengukuran parameter BOD diperlukan untuk menentukan tingkat pencemaran
dalam air yang disebabkan oleh zat organik, baik dalam air limbah domestik maupun industri,
studi dan evaluasi kemampuan badan air dalam proses self purification, dan evaluasi suatu
sistem pengolahan air dalam menurunkan atau mengolah senyawa organik dalam air limbah.
Parameter COD digunakan secara luas untuk menentukan tingkat pencemaran oleh
senyawa organik dari suatu air limbah domestik maupun industri. Definisi COD adalah
banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik, sehingga dapat
dikatakan parameter COD sebagai parameter untuk mengetahui konsentrasi senyawa
organik yang dapat dioksidasi oleh oksidator kuat dalam suasana asam.
3.2.5 Minyak dan Lemak
Sumber minyak dan lemak di dalam air dapat berasal dari limbah domestik, industri
pengolahan daging dan makanan, serta air limbah industri lainnya. Minyak dan lemak
merupakan senyawa organik yang kurang larut dalam air sehingga adanya senyawa-senyawa
-
minyak dan lemak di dalam air akan cenderung membentuk lapisan yang terpisah di bagian
atas air dan sebagian lagi membentuk emulsi di dalam air.
Tingginya kadar minyak dan lemak di dalam air limbah dapat menimbulkan berbagai
gangguan teknis dalam pengolahan air, misalnya pengolahan air menggunakan trickling filter
dan activated sludge akan berpengaruh terhadap kinerja dari alat tersebut. Lapisan minyak
dan lemak di permukaan air juga akan mengganggu transfer oksigen yang sangat dibutuhkan
oleh biota air dari atmosfer ke dalam air.
Pengukuran minyak dan lemak merupakan pengukuran senyawa organik dalam air
yang dapat diekstraksi dengan pelarut organik tertentu, seperti heksana. Dengan demikian,
senyawa-senyawa hidrokarbon, minyak, lemak, lilin, dan senyawa asam lemak dengan berat
molekul tinggi dapat larut dalam pelarut organik tersebut.
3.3 Pengolahan Limbah Domestik
3.3.1 Pengolahan Pendahuluan (pre treatment)
Pengolahan pendahuluan bertujuan untuk melindungi unit pengolahan dark kegagalan
proses dan mengurangi efisiensi yang mungkin terjadi akibat proses awal yang salah.
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pengambilan benda terapung dan benda
mengendap. Setiap sistem pada proses pengolahan limbah cair umumnya memiliki alat
penyaring awal. Proses penyaringan ini disebut screening yang bertujuan untuk menyaring
atau menghilangkan sampah/benda padat yang besar agar proses berikutnya dapat lebih
mudah lagi menanganinya. Dengan hilangnya sampah-sampah padat besar, maka transportasi
limbah cair tidak akan terganggu. Pengambilan benda terapung dilakukan dengan memasang
saringan kasar atau dengan menggunakan alat pencacah (communitor) untuk memotong zat
padat yang terdapat dalam air limbah. Perangkat penyaringan kasar ini biasa disebut dengan
bar screen atau bar racks. Alat ini biasanya diletakkan pada intake bak penampung limbah
cair untuk mencegah masuknya material besar. Umumnya jarak antara bar yang tersusun
pada rack bervariasi antara 20 mm hingga 75 mm. Pada keadaan tertentu digunakan pula
microstrainer dengan ukuran 15 64 m dengan tujuan untuk menyaring organisme
plankton. Microstrainer biasa digunakan untuk limbah cair dari reservoir pertama (awal).
Sedangkan pengambilan benda mengendap digunakan bak penangkap pasir. Untuk
mengangkat pasir yang mengendap digunakan alat penyedot pasir (grit dragger) atau alat
pengangkut pasir (macerator).
Selain penyisihan benda padat, dalam tahap pre treatment juga dilakukan penyisihan
minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses yang terjadi pada tahapan pengolahan
-
selanjutnya. Minyak dan lemak dapat disisihkan dengan menggunakan unit penyisihan
minyak dan lemak yaitu grease trap.
Grease Trap / Penyaring Minyak adalah perangkat yang dirancang untuk mencegat
minyak sebelum memasuki sistem pembuangan air limbah. Alat ini membantu untuk
memisahkan minyak dari air, sehingga minyak / lemak tidak menggumpal dan mengeras di
pipa pembuangan. Lemak pada limbah cair terdiri dalam berbagai bentuk material, seperti
lemak, malam/lilin, fatic-acid, sabun, mineral-oil, dan materi non volatile lainnya. Lemak
merupakan senyawa yang seharusnya dapat diuraikan oleh mikroorganisme, namun untuk
menaikkan efisiensi pengolahan limbah secara biologis lemak dapat disisihkan dengan proses
fisik terlebih dahulu mengingat karakter fisik lemak memiliki berat jenis yang ringan. Prinsip
pemisahan grease trap ini memanfaatkan sifat natural lemak/minyak yang memiliki berat
jenis yang lebih ringan dari pada air, sehingga cenderung mengapung/berada di permukan.
Prinsip penyisihan lemak melalui grease trap dapat ditunjukan dalam gambar berikut ini.
Gambar 3.2 Grease Trap
3.3.2 Pengolahan Pertama (Primary Treatment)
Yang dilakukan pada tahap ini adalah pengendapan atau pengapungan bahan- bahan
padat sehingga dapat dihilangkan. Kecepatan pada bak pengendap ini diperlambat untuk
memberi kesempatan pasir dan bahan organik mengendap.
1. Bak Sedimentasi
Bak sedimentasi merupakan bagian sistem pengolahan air limbah domestik yang berfungsi
untuk menyisihkan suspended solid (50-70%) dan BOD (25-40%). Pada bak sedimentasi
terjadi proses fisis pemisahan floating material (minyak,lemak, scum dll) dan suspended
material (secara gravitasi).
-
Gambar 3.3 Bak Sedimentasi
Selain dengan pengendapan, bisa dilakukan dengan cara pengapungan, yaitu dengan
menggunakan gelembung gas untuk meningkatkan daya apung campuran. Dengan adanya
gas ini membuat larutan menjadi kecil sehingga campuran mudah mengapung (Sugiharto
1987). Pada pengolahan tahap pertama ini terjadi pengurangan BOD 35%, SS berkurang
sampai 60%. Pengurangan BOD dan SS dapat mengurangi beban pengolahan pada tahap
selanjutnya.
2. Tangki Septik
Tangki septik merupakan suatu ruangan yang terdiri atas beberapa kompartemen yang
berfungsi sebagai bangunan pengendap untuk menampung kotoran padat agar mengalami
pengolahan biologis oleh bakteri anaerob dalam jangka waktu tertentu. Untuk mendapat
proses yang baik, sebuah tangki septik haruslah kedap air (Sugiharto, 1987). Prinsip
operasional tangki septik adalah pemisahan partikel dan cairan partikel yang mengendap
(lumpur) dan juga partikel yang mengapung (scum) disisihkan dan diolah dengan proses
dekompoisisi anaerobik. Pada umumnya bangunan tangki septik dilengkapi dengan sarana
pengolahan effluen berupa bidang resapan (sumur resapan). Tangki septik dengan
peresapan merupakan jenis fasilitas pengolahan air limbah rumah tangga yang paling
banyak digunakan di Indonesia. Pada umumnya diterapkan didaerah permukiman yang
berpenghasilan menengah ke atas perkotaan serta pelayanan umum. Desain Tangki Septik
dapat dilihat pada gambar berikut ini.
-
Gambar 3.4 Contoh Desain Tangki Septik
3. Ekualisasi Tank
Ekualisasi tank merupakan tangki yang memiliki prinsip meminimkan atau mengontrol
fluktuasi dari debit limbah agar mendapatkan debit limbah yang konstan. Berikut adalah
beberapa fungsi dari ekualisasi tank.
- Meningkatkan proses biologi : mencegah dan mengurangi shock loading,
mengencerkan substansi inhibitor, menstabilkan pH
- Meningkatkan kualitas effluen dan kinerja pemekatan dari bak sedimentasi
- Meningkatkan kinerja filtrasi dan siklus backwash teratur
- Meningkatkan control umpan dan keandalan proses dalam pengolahan kimia
Perletakan ekualisasi tank tidak menentu, tergantung kebutuhan dari IPAL yang didesain,
dapat diletakan sebelum primary treatment dan dapat diletakan setelah secondary
treatment.
2.3.3 Pengolahan Kedua (Secondary Treatment)
Sesudah melewati pengolahan primer, air limbah dialirkan ke pengolahan sekunder.
Pada pengolahan kedua ini diperkirakan terjadi penurunan kadar BOD dalam rentang 35-
95%.
1. Pengolahan dengan Activated Sludge
Air limbah dialirkan ke tangki aerasi. Di tangki ini air limbah dicampur lumpur yang telah
diberi udara sehingga bakteri aerobik menjadi aktif. Bakteri ini akan mendekomposisi
bahan organik dalam air limbah dan menggumpal. Gumpalan ini akan tertinggal di dasar
tangki sehingga air lapisan atas menjadi jernih. Bakteri memiliki peranan penting pada
pengolahan dengan metode ini karena mikroorganisme bertanggung jawab untuk
melakukan proses dekomposisi material organik dalam air limbah.
-
2. Pengolahan dengan Trickling Filter
Trickling filter adalah tipe pengolahan dengan biofilter dengan menggunakan prinsip
attached growth processes yang memanfaatkan mikroorganisme yang menempel pada
media dan membentuk lapisan film untuk menguraikan zat organik. Konsep trickling filter
muncul seiring dengan pertumbuhan kontak filter di Inggris diakhir tahun 1890-an.
Kontak filter didesain sebagai reactor dengan diameter media kecil dan dioperasikan
dengan mode recycle (Metcalf & Eddy, 2003). Tetapi akibat seringnya reactor ini
tersumbat, ukuran media yang lebih besar digunakan. Tahun 1950-an, media plastik mulai
digunakan di AS, yang menyebabkan tinggi filter bertambah dan laju pengolahan
bertambah. Trickling filter terdiri dari suatu bak dengan media permeable untuk
pertumbuhan organisme yang tersusun oleh lapisan materi yang kasar, tajam, dan kedap
air. Prinsip kerja trickling filter adalah mengolah air limbah dengan mekanisme air yang
jatuh perlahan-lahan melalui lapisa batu kemudia tersaing melalui biofilm yang terbentuk
pada media, sehingga mikroorganisme dapat menguraikan senyawa organik yang ada pada
air limbah.
Trickling filter mempunyai 3 komponen utama, yaitu :
a. Distributor
Air limbah didistribusikan pada bagian atas lengan distributor yang dapat berputar
b. Pengolahan (media trickling filter)
Sistem pengolahan pada trickling filter terdiri dari suatu bak atau bejana dengan media
permeable untuk pertumbuhan baktei. Bentuk bejana biasanya bundar uas dengan
diameter 6-60 meter, dindingya biasaya terbuat dari beton atau bahan lain tetapi tidak
perlu kedap air. Disepanjang dinding diberi ventilasi dengan maksud terjadi pertukaran
udara (aerasi) sehingga proses biologis aerobik dapat berlangsung dengan baik. Pada
beberapa trickling filter, media disusun tanpa dinding jadi tidak diperlukan ventilasi
tetapi konstruksi seperti ini kurang baik.
c. Pengumpul
Filter juga dilengkapi dengan underdrain untuk mengupukan biofim yang mati,
kemudia diendapkan dalam bak sedimentasi. Bagian cairan yang keluar biasanya
dikembalikan ke trickling filter sebagai air pengencer air baku yang diolah.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada efisiensi penggunaan trickling filter :
a. Jenis media
Bahan untuk media trickling filter harus kuat, keras, tahan tekanan, tahan lama, tidak
mudah berubah dan mempunyai luas permukaan per unit volume yang tinggi. Bahan
-
yang biasa digunakan adalah kerikil, batu kali, antrasit, batu bara, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini telah digunakan media plastik yang dirancang sedemikian rupa
sehingga menghasilkan panas yang tinggi.
b. Diameter media
Diameter media trickling filter biasanya antara 2,5-7,5 cm. Sebaiknya dihindari
penggunaan media dengan diameter terlalu kecil karena akan memperbesar
kemungkinan penyumbatan. Makin luas permukaan media, maka makin banyak pula
mikroorganisme yang hidup di atasnya.
c. Ketebalan susunan media
Ketebalan media trickling filter minimum 1 meter dan maksimum 3-4 meter. Makin
tinggi ketebalan media, maka akan makin besar pula total luas permukaan yang
ditumbuhi mikroorganisme sehingga makin banyak pula mikroorganisme yang tumbuh
menempel di atasnya.
d. Lama waktu tinggal trickling filter
Diperlukan lama waktu tinggal yang disebut dengan masa pengkondisian atau
pendewasaan agar mikroorganisme yang tumbuh di atas permukaan media telah
tumbuh cukup memadai untuk terselenggaranya proses yang diharapkan. Masa
pengkondisian atau pendewasaan yang diperlukan berkisar antara 2-6 minggu. Lama
waktu tinggal ini dimaksudkan agar mikroorganisme dapat menguraikan bahan-bahan
organik dan tumbuh di permukaan media trickling filter membentuk lapisan biofilm
atau lapisan berlendir. Penelitian yang dilakukan oleh Arum Siwiendrayanti (2004),
pertumbuhan mikroorganisme pada media batu kali mulai terbentuk lapisan biofilm
pada hari ke-3 masa pengkondisian.
e. pH
Pertumbuhan mikroorganisme khususnya bakteri, dipengaruhi oleh nilai pH. Agar
pertumbuhan baik, diusahakan nilai pH mendekati keadaan netral. Nilai pH antara 4-9,5
dengan nilai pH yang optimum 6,5-7,5 merupakan lingkungan yang sesuai.
f. Suhu
Pertumbuhan mikroorganisme juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme adalah 25-370C. Selain itu suhu juga mempengaruhi
kecepatan reaksi dari suatu proses biologis. Bahkan efisiensi dari trickling filter sangat
dipengaruhi oleh suhu.
-
g. Aerasi
Agar aerasi berlangsung dengan baik, media trickling filter harus disusun sedemikian
rupa sehingga memungkinkan masuknya udara ke dalam sistem trickling filter tersebut.
Ketersediaan udara dalam hal ini adalah oksigen sangat berpengaruh terhadap proses
penguraian oleh mikroorganisme.
Gambar 3.5 Desain Trickling Filter
Adapun prinsip kerja trickling filter adalah air buangan yang diolah dengan trickling
filter harus terlebih dahulu diendapkan, karena pengendapan dimaksudkan untuk
mencegah penyumbatan pada distributor dan media filter. Air limbah diteteskan secara
periodik dan terus-menerus ke atas media trickling filter. Bahan organik yang ada dalam
air limbah diuraikan oleh mikroorganisme yang menempel pada media filter. Bahan
organik sebagai substrat yang terlarut dalam air limbah diabsorbsi biofilm atau lapisan
berlendir dan kemudian dilepaskan sebagai bahan suspensi yang kemudian karena
massanya lebih berat maka lebih mudah mengendap.
Bahan organik yang ada dalam limbah cair diuraikan oleh mikroorganisme yang
menempel pada media filter. Pada bagian luar biofilm, bahan organic diuraikan oleh
mikroorganisme aerobik. Pertumbuhan mikroorganisme akan mempertebal lapisan biofilm
(0,1-0,2 mm). Oksigen yang terdifusi dapat dikonsumsi sebelum biofilm mencapai
ketebalan maksimum. Pada saat mencapai ketebalan penuh, oksigen dapat mencapai
penetrasi secara penuh, akibatnya bagian dalam atau permukaan media menjadi anaerobik.
Yang diabsorbsi dapat diuraikan oleh mikroorganisme, namun tidak dapat mencapai
mikroorganisme yang berada di permukaan media. Dengan kata lain, tidak tersedia bahan
organik untuk sel karbon pada bagian permukaan media sehingga mikroorganisme pada
-
bagian permukaan akan mengalami fase indigenous (mati). Pada akhirnya,
mikroorganisme sebagai biofilm tersebut akan lepas dari media. Cairan yang masuk akan
turut melepas atau mencuci dan mendorong biofilm keluar. Setelah itu lapisan biofilm
baru akan segera tumbuh. Fenomena lepasnya biofilm dari media disebut juga sloughing.
Mikroorganisme yang terdapat dalam trickling filter
Mikroorganisme yang umum didapatkan dalam trickling filter serta turut berperan
dalam proses penguraian bahan-bahan organik terutama air limbah yang berasal dari
industri pangan seperti industri tahu adalah bakteri dan mikroalgae. Jamur, protozoa
dan mikrofauna merupakan tambahan saja.
Air limbah tahu yang banyak mengandung bahan-bahan organik akan diuraikan
mikroorganisme dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan media
yang berupa lapisan biofilm.
Lapisan biofilm terdiri dari bakteri, protozoa dan fungi (antara lain: Zoogloea
ramiqera, Carchesium dan Opercularia vorticella). Ketika air limbah mengalir melalui
biofilm tersebut, zat-zat organik yang larut akan segera diuraikan dan zat-zat organik
koloidal diserap pada permukaan biofilm tersebut. Pada saat itu mikroorganisme akan
tumbuh secara cepat.
Pengolahan dengan stabilization ponds (kolam oksidasi)
Kolam oksidasi merupakan saluran dengan system aliran tertutup, yaitu
melingkar dengan bentul oval. Kolam ini merupakan modifikasi dari proses Lumpur
aktif dengan menggunakan teknik yang kebih sederhana sehingga sesuai dengan
instalasi kecil /sedang (Departemen PU, 1986). Pengolahan limbah dengan kolam
oksidasi menggunakan sinar matahari dan organisme. Kolam oksidasi terdiri dari
berbagai macam tipe, ada yang aerobik, anaerobik, dan aerobik-anaerobik.
Kolam aerobik digunakan untuk pengolahan limbah organik yang dapat larut dan
enfluen dari pengolahan limbah. Aerobik-anaerobik dalah tipe yang paling sering
digunakan untuk mengolah limbah domestik dan industri. Biasanya kolam anerobik
digunakan secara seri dengan kolam aerobik-anaerobik untuk melengkapi pengolahan.
Pengolahan dengan kolam oksidasi memiliki keuntungan dari segi kontruksi dan biaya
oprasional yang rendah.
Selain dengan proses biologis secondary treatment dapat dilakukan dengan
menggunakan prinsp fisik dan kimia. Pengolahan secondary treatment dengan
-
menggunakan bahan kimia dan fisik secara umum dapat dilakukan dengan cara proses
koagulasi dan flokulasi
3.3.4 Pengolahan Ketiga (Tertiary Treatment)
Pengolahan ini baru dilakukan jika dari pengolahan pertama dan kedua masih terdapat
zat tertentu yang berbahaya. Pada pengolahan ini ditunjukkan untuk meningkatkan kualitas
limbah cair sebelum dibuang atau digunakan kembali. Pengolahan tahap ketiga ini untuk
menghilangkan kandungan BOD, senyawa fosfor dengan bahan kimia sebagai koagulan,
senyawa nitrogen melalui proses ammonia stripping atau nitrifikasi-denitrifikasi,
menghilangkan senyawa organik, dan menghilangkan padatan terlarut (Soeparaman, 2001).
Pengolahan ketiga diantaranya adalah dengan saringan pasir lambat, saringan pasir cepat.
3.3.5 Pengolahan lumpur
Lumpur yang dihasilkan dari proses sedimentasi diolah lebih lanjut untuk
mengurangisebanyak mungkin air yang masih terkandung didalamnya. Proses pengolahan
lumpur yang bertujuan mengurangi kadar air tersebut disebut dengan pengeringan lumpur.
Ada empat cara proses pengurangan kadar air, yaitu:
1. Alamiah
Pengeringan dengan cara ilmiah dilakukan dengan mengalirkan atau memompa lumpur
endapan ke sebuah kolam pengering yang memiliki luas permukaan yang besar dengan
kedalaman sekitar 1 2 m. Proses pengeringan berjalan dengan alamiah, yaitu dengan
panas matahari dan angin yang bergerak di atas kolam tersebut. Bila lumpur tidak
mengandung bahan berbahaya, maka kolam pengering lumpur dapat hanya berupa galian
tanah biasa, sehingga sebagian air akan meresap ke tanah dibawahnya. Tetapi bila lumpur
mengandung bahan berbahaya (misalnya logam berat dan phenol), maka kolam lumpur
harus terbuat dari beton dan pada bagian bawah kolam harus mempunyai saluran
rembesan larutan yang kemudian harus diolah kembali. Cara pengeringan ini tergolong
mudah dan murah, namun membutuhkan waktu yang lama, serta tidak cocok untuk
lumpur yang mengandung zat zat berbahaya yang mudah menguap. Secara periodik
kolam lumpur harus dikeruk untuk memindahkan lumpur kering. Bila lumpur kering
masih mengandung unsur berbahaya, maka harus ditangani secara khusus, misalnya diolah
dengan pembakaran insenerator.
-
2. Pengepresan (tekanan)
Cara ini dilakukan dengan mengalirkan lumpur diantara dua plat yang berforasi.
Kemudian dengan sistem rolling kedua plat tersebut bergerak dan menekan lumpur
ditengahnya. Dengan demikian lumpur seolah terperas dan cairan keluar melalui lubang
lubang perforasi. Cara pengeringan lumpur ini sungguh efektif dan banyak digunakan
untuk skala besar. Cairan yang keluar apabila masih mengandung bahan yang berbahaya,
maka harus diolah lebih lanjut. Pengurangan lumpur dengan cara ini dapat mengurangi
kadar air dibawah 10%. Cara pengeringan dengan tekanan memang membutuhkan banyak
energi, namun prosesnya dapat jauh lebih cepat. Bila lumpur kering masih mengandung
unsur berbahaya, maka harus ditangani secara khusus, misalnya diolah dengan
pembakaran insenerator.
3. Gaya sentrifugal
Prinsip pengeringan lumpur dengan gaya sentrifugal mirip dengan mesin cuci pakaian.
Namun, hasil lumpur yang sudah melekat dan memadat pada bagian dinding dibawa
dengan suatu Screw Conveyor yang berputar dan kemudian mengeluarkan lumpur
keringnya pada bagian sisi yang lain. Pengurangan kadar airnya dapat dilakukan dengan
skala kecil sampai besar
4. Pemanasan
Proses pengeringan lumpur dengan pemanasan biasanya diterapkan pada suatu pabrik
yang mempunyai panas buang yang cukup tinggi, sehingga panas buang tersebut dapat
dimanfaatkan secara optimal.
-
BAB IV
DASAR-DASAR PERENCANAAN
4.1 Kualitas Air Limbah
Pada perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ini, air limbah yang akan
diolah adalah air buangan domestik yang memiliki karekteristik yang tipikal. Parameter-
parameter utama yang ditinjau adalah zat tersuspensi, ammonia, BOD5, COD, dan minyak
dan lemak. Pada tabel 4.1 dan 4.2 merupakan tabel konsentrasi pencemar pada air limbah dan
fluktuasi debitnya :
Tabel 4.1 Karakteristik Air Buangan Domestik
No Parameter Satuan Kualitas
1 pH - 7,8
2 TSS mg/L 21,2
3 Ammonia mg/L 80,13
4 BOD mg/L 204,44
5 COD mg/L 326
6 Minyak dan Lemak mg/L 46
Tabel 4.2 Fluktuasi Debit Air Buangan Domestik
Waktu % Air Buangan
00.00-01.00 2.5
01.00-02.00 2.5
02.00-03.00 2.5
03.00-04.00 2.5
04.00-05.00 3.3
05.00-06.00 3.79
06.00-07.00 5.01
07.00-08.00 5.91
08.00-09.00 5.91
09.00-10.00 5.4
-
Waktu % Air Buangan
10.00-11.00 5.05
11.00-12.00 4.65
12.00-13.00 4.65
13.00-14.00 4.85
14.00-15.00 4.85
15.00-16.00 4.85
16.00-17.00 5.38
17.00-18.00 6.1
18.00-19.00 4.32
19.00-20.00 4.32
20.00-21.00 3.53
21.00-22.00 2.93
22.00-23.00 2.6
23.00-24.00 2.6
Debit rata-rata
(m3/day)
14.250
4.2 Kualitas Badan Air Penerima
Air hasil pengolahan pada akhirnya akan dikembalikan ke badan air penerima. Badan air
dapat berupa sungai, danau, atau laut. Letak dari badan air penerima sebaiknya dekat dengan
IPAL dan memiliki elevasi yang lebih rendah dari outlet IPAL agar memungkinkan
pengaliran secara gravitasi. Adapun kualitas sungai yang akan menjadi badan air penerima
yakni :
Tabel 4.3 Kualitas Air Sungai
No Parameter Satuan Kualitas
FISIKA
1 Temperatur Celcius 27.7
2 Residu terlarut mg/l 143.67
3 Zat tersuspensi mg/l 15
4 Kekeruhan NTU NTU -
6 Kecerahan Cm 135
-
No Parameter Satuan Kualitas
KIMIA
1 pH - 7.6
2 CO2 bebas mg/l 13.2
3 HCO3 mg/l 129.3
4 Kesadahan (CaCO3) mg/l 53.4
5 Sulfida (H2S) mg/l -
6 Ammonia (NH3) mg/l 0.01
7 Nitrit (NO2-N) mg/l 0.04
8 Nitrat(NO3-N) mg/l 1.15
9 Fosfat (PO4) mg/l 0.22
11 Oksigen Terlarut mg/l 2.9
12 COD mg/l 15.42
13 BOD mg/l 10.87
16 Besi (Fe) mg/l 0.14
17 Air Raksa (Hg) 0.54
18 Nikel (Ni) mg/l 0.03
19 Tembaga (Cu) mg/l 0.01
20 Seng (Zn) mg/l 0.02
22 Kadmium (Cd) mg/l
23 Timbal (Pb) mg/l 0.0087
28 Mangan (Mn) mg/l 0.076
29 Natrium (Na) mg/l 34.33
BIOLOGI
1 MPN E.coli JPT/100 240
2 MPN Coliform JPT/100 460
Debit
M3/detik 4.7
4.3 Penentuan Effluent Standard dan Stream Standard
Sebagai acuan batas efluen yang boleh dikeluarkan oleh instalasi, digunakan baku mutu
efluen standar KEPMENLH No. 112 Tahun 2003
Tabel 4.4 Baku Mutu Efluen Standar Air Buangan Domestik Kepmen LH No.112/2003
-
Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH - 6-9
BOD mg/L 100
TSS mg/L 100
Minyak dan Lemak mg/L 10
Stream standard ditentukan dari Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001. Nilai stream
standard yang digunakan berdasarkan baku mutu air sungai kelas IV. Hal ini ada parameter
yang nilai kualitasnya melewati nilai baku mutu kualitas sungai kelas IV. Berikut adalah
perbandingan antara data kualitas sungai dengan baku mutu di PP 82 Tahun 2001.
Tabel 4.4 Perbandingan Kualitas Air Sungai dengan Baku Mutu di PP 82 Thn
2010
No. Paramter Satuan Kualitas Kelas
FISIKA I II III IV
1 Temperatur Celcius 27.7
2 Residu terlarut mg/l 143.67
3 Zat tersuspensi mg/l 15
4 Kekeruhan NTU NTU -
6 Kecerahan Cm 135
KIMIA
1 pH - 7.6
2 CO2bebas mg/l 13.2
3 HCO3 mg/l 129.3
4 Kesadahan
(CaCO3) mg/l 53.4
5 Sulfida (H2S) mg/l -
6 Ammonia(NH3) mg/l 0.01
7 Nitrit (NO2-N) mg/l 0.04
No. Paramter Satuan Kualitas Kelas
8 Nitrat (NO3-N) mg/l 1.15
9 Fosfat (PO4) mg/l 0.22
11 Oksigen Terlarut mg/l 2.9
-
12 COD mg/l 15.42
13 BOD mg/l 10.87
16 Besi (Fe) mg/l 0.14
17 Air Raksa (Hg) 0.54
18 Nikel (Ni) mg/l 0.03
19 Tembaga (Cu) mg/l 0.01
20 Seng (Zn) mg/l 0.02
22 Kadmium (Cd) mg/l
23 Timbal (Pb) mg/l 0.0087
28 Mangan (Mn) mg/l 0.076
29 Natrium (Na) mg/l 34.33
BIOLOGI
1 MPN E. coli JPT/100 240
2 MPN Coliform JPT/100 460
4.4 Perhitungan Bebam Pengolahan
Tabel 4.5 Beban Pengolahan
No Parameter Satuan Kualitas Qlimbah
(m3/dtk)
Beban
Pengolahan
(g/hari)
1 pH - 7.8
0.165
2 TSS mg/L 21.2 0,302
3 Ammonia mg/L 80.13 1,142
4 BOD mg/L 204.44 2,914
5 COD mg/L 326 4,647
6 Minyak
dan Lemak mg/L 46
0,655
Beban Pengolahan (untuk TSS)
=
= 21,1 mg/L x 0,165 m3/detik x 86400 detik/hari / 1000 m3/L / 1000 g/mg = 0,30 g/hari
-
4.5 Penentuan Efisiensi Pengolahan
Dalam menghitung efisiensi pengolahan digunakan persamaan sebagai berikut:
( )
Sehingga didapat hasil sebagai berikut
Tabel 4.6 Efisiensi Pengolahan dengan Baku Mutu Effluent
No Parameter Satuan Kualitas
(Ceff)
Qlimbah
(m3/dtk)
Effluent
Standard
(Cbm)
penyisihan
Efisiensi
Pengolahan
(%)
1 pH - 7,8
0,16
2 TSS mg/L 21,2 100
3 Ammonia mg/L 80,13
4 BOD mg/L 204,44 100 104,44 51,08
5 COD mg/L 326
6 Minyak dan
Lemak
mg/L 46
10 36 78,26
Tabel 4.7 Efisiensi Pengolahan dengan Baku Mutu Stream
No Parameter Satuan Kualitas
(Ceff)
Kualitas
Stream
(Cstream)
Q
stream
(m3/dtk)
Baku
mutu
stream
(Cbm)
konsentrasi
efluen
maks
(Cmax)
penyisihan
Efisiensi
Pengolahan
(%)
1 pH - 7,8
4,7
2 TSS mg/L 21,2 15 400 11371,28
3 Ammonia mg/L 80,13 0,01 0,5 14,46 65,6 81,95
4 BOD mg/L 204,44 10,87 12 44,20 160,2 78,37
5 COD mg/L 326 15,42 100 2510,26
6 Minyak
dan
Lemak
mg/L 46
1000 29496,84
Contoh perhitungan:
(menggunakan data parameter minyak dan lemak)
-
Konsentrasi baku mutu air sungai berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 : 1000 mg/L
Konsentrasi baku mutu effluent berdasarkan Kepmen LH No. 112 Tahun 2003 : 10
mg/L
Konsentrasi air buangan (influen) (C limbah) : 46 mg/L
Konsentrasi badan air penerima ( C stream) : 0 mg/L
Debit air buangan (Q limbah) : 12960 m3/day = 0,165 m3/s
Debit badan air (Q stream) : 4,7 m3/s
Debit total (Q total) : 4,865 m3/s
C effluent yang dapat dikeluarkan untuk memenuhi baku mutu:
Cmax = ( ) ( )
C max= ( ) ( )
Cmax = 29496,84 mg/L
( )
Maka dari hasil perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa jika dibandingkan dengan
baku mutu efluen, diperlukan unit pengolahan yang memiliki efisiensi 78,26% sehingga
minyak dan lemak dapat tersisihkan hingga mencapai batas aman.
Apabila dibandingkan antara beban pengolahan dengan baku mutu effluent atau beban
pengolah dengan baku mutu stream adalah tergantung hasil perhitungan beban
pengolahannya, sebab yang kami ambil adalah beban pengolahan tertinggi.
Untuk parameter PH pada kedua baku mutu tidak terdapat batas maksimum tetapi kami
akan membuat PH tetap berada range pH normal. Untuk COD juga demikian, tidak ada batas
maksimum yang diwajibkan tetapi apabila BOD tersisihkan maka COD pun akan ikut
tersisihkan.
Sehingga diharapkan unit pengolahan yang terpilih adalah unit pengolah yang dapat
menurunkan kadar parameter-parameter berikut sesuai dengan efisiensi unit yang diperlukan
Tabel 4.8 Efisiensi Unit yang Dibutuhkan
No Parameter Satuan Kualitas Efisiensi
Penyisihan
Unit (%)
1 pH - 7,8
-
2 TSS mg/L 21,2
3 Ammonia mg/L 80,13 81,95
4 BOD mg/L 204,44 78,37
5 COD mg/L 326
6 Minyak dan
Lemak
mg/L 46
78,26
4.6 Analisis Kualitas dan Kuantitas Air Limbah
Secara keseluruhan, kualitas air limbah yang melebihi baku mutu adalah parameter
Amonia dan BOD. Besarnya debit air limbah sebanyak 0,165 m3/detik akan mempengaruhi
kualitas badan air penerima apabila konsentrasi pencemar cukup tinggi. untuk itu besarnya
debit haruslah diperhitungkan dalam menghitung batas konsentrasi pencemar yang bisa
masuk ke badan air. berikut ini merupakan analisis pencemar di dalam air limbah untuk
setiap parameternya.
a. Zat Tersuspensi
Nilai konsentrasi konsentrasi zat tersuspensi air limbah yang dihasilkan yaitu 21,2 mg/L.
apabila dibandingkan dengan Kepmen LH No. 112 Tahun 2003, dimana disebutkan bahwa
konsentrasi maksimal effluent standard yang boleh dibuang adalah 100 mg/L, maka
kualitas zat tersuspensi air limbah masih memenuhi baku mutu. Setelah melalui
perhitungan dengan memperhitungkan debit pun diperoleh nilai effluent maksimal yang
dibolehkan untuk masuk ke badan air sejumlah 11371,28 mg/L. Sehingga, untuk
parameter zat tersuspensi tidak perlu ada pengolahan. Zat tersuspensi pada limbah
domestik bisa dihasilkan dari limbah dapur maupun toilet.
b. Ammonia
Kandungan ammonia di dalam air limbah adalah sebesar 80,13 mg/L. Pada baku mutu
effluent standard berdasarkan Kepmen LJ No.112 Tahun 2003 tidak tercantum batasan
untuk parameter ammonia, untuk itu perlu dibandingkan dengan parameter lain. Dari hasil
perhitungan, didapat nilai effluent konsentrasi ammonia maksimal yang boleh dibuang ke
badan air yaitu 14,46 mg/L. nilai ini berada di bawah nilai ammonia yang dihasilkan,
sehingga, untuk parameter ammonia perlu ada pengolahan. Ammonia biasanya dihasilkan
dari urine manusia. Beban pengolahan effluent standard dan stream standard untuk zat
tersuspensi pun bernilai cukup besar, untuk stream standard yaitu 81,95%.
-
c. BOD
Nilai kandungan BOD yang dimiliki air limbah adalah 204,44 mg/L. apabila dibandingkan
dengan Kepmen LH No. 112 Tahun 2003, dimana tercantum bahwa konsentrasi BOD
maksimal effluent standard yang boleh dibuang adalah 100 mg/L, maka kandungan BOD
air limbah telah melebihi standar yang diijinkan sehingga memerlukan pengolahan terlebih
dahulu sebelum dibuang ke badan air. selain dengan Kepmen LH, nilai kandungan ini juga
perlu dihitung berapa konsentrasi maksimal yang boleh dimasukkan ke badan air dengan
mempertimbangkan debit, kualitas badan air, debit badan air, dan baku mutu stream.
Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 nilai konsentrasi maksimum BOD di badan air adalah
12 mg/L, sedangkan nilai BOD badan air itu sendiri telah mencapai 10,87 mg/L. Dari hasil
perhitungan, didapat nilai effluent maksimal yang boleh dibuang ke badan air yaitu 44,2
mg/L, nilai ini jauh di bawah nilai konsentrasi BOD air limbah yang dihasilkan sehingga
untuk parameter BOD ini sangat dibutuhkan pengolahan. BOD biasa dihasilkan dari
limbah toilet maupun limbah dapur. Beban pengolahan effluent standard dan stream
standard untuk zat tersuspensi yaitu, untuk stream standard 78,38%
d. COD
Nilai kandungan COD yang dimiliki oleh air limbah adalah sebesar 362 mg/L. Dari hasil
perhitungan, didapat nilai effluent maksimal yang boleh dibuang ke badan air yaitu
2510,26 mg/L. Oleh karena itu tidak perlu ada penanganan khusus untuk penyisihan
COD karena penyisihan BOD pun akan menyisihkan COD secara otomatis. .COD biasa
dihasilkan dari limbah toilet maupun limbah dapur.
e. Minyak dan Lemak
Nilai kandungan minyak dan lemak dari air limbah adalah sebesar 46 mg/L. apabila
dibadningkan dengan batas effluent standard berdasarkan Kepmen LH No. 112 Tahun
2003 , dimana tercantum bahwa nilai batas effluent untuk minyak dan lemak adalah 10
mg/L, maka kandungan air limbah telah melampaui batas. Dari hasil perhitungan, didapat
nilai effluent maksimal yang boleh dibuang ke badan air yaitu 19486,28 mg/L, nilai ini
jauh di atas nilai konsentrasi minyak dan lemak air limbah yang dihasilkan yaitu 56 mg/L.
Meskipun begitu, kandungan minyak dan lemak pada efluen melebihi baku mutu efluen
standar. sehingga, untuk parameter minyak dan lemak perlu ada pengolahan.
-
BAB V
ALTERNATIF PROSES PENGOLAHAN
Dalam menentukan sistem pengolahan yang akan digunakan, terlebih dahulu dilakukan
pemilihan dari berbagai alternatif sistem pengolahan yang ada untuk mendapatkan sistem
yang paling sesuai. Untuk melakukan pemilihan sistem pengolahan, pertimbangan-
pertimbangan yang perlu dilakukan meliputi :
1. Beban Pengolahan
Dalam menentukan beban pengolahan, harus dipertimbangkan kualitas dan kuantitas
influen air buangan. Selain itu juga perlu diketahui kualitas efluen yang ditetapkan.
Dengan demikian, alternatif sistem pengolahan yang diajukan diperkirakan akan dapat
memenuhi kualitas pengolaha yang diinginkan.
2. Efisisensi Pengolahan
Efisiensi pengolahan bergantung pada kemampuan unit-unit pengolahan dalam
menyisihkan parameter pencemar berdasarkan baku mutu yang dipakai. Efisiensi
pengolahan dari beberapa unit yang tersedia biasanya telah diketahu melalu literatur yang
didapat dari berbagai percobaan dan data-data dari unit pengolahan yang telah ada
sebelumnya.
3. Aspek Teknis
Berdasarkan aspek teknis, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah topografi wilayah,
ketersediaan lahan, kemudahan teknis pelaksanaan, dan pengadaan material dalam
pembangunan instalasi. Selain itu juga dipertimbangkan segi operasionalnya, menyangkut
ketersediaan tenaga ahli peralatan, kemudahan dalam pengadaan barang-barang penunjang
operasionalnya dan juga pemeliharaan instalasi.
4. Aspek Ekonomi
Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam aspek ekonomi adalah masalah pembiayaan
untuk konstruksi, operasional dan pemeliharaan. Aspek ini merupakan dasar pertimbangan
yang sangat penting sehingga sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan pendanaan
sehingga pembiayaan menjadi efisien.
5. Aspek Lingkungan
Adanya pertimbangan terhadap pengaruh keberadaan instalasi pengolahan air buangan
yang direncanakan terhadap kenyamaan dan kesehatan penduduk di sekitar lokasi. Oleh
karena itu, pencemaran yang mungkin terjadi harus diminimalisasi sekecil mungkin.
-
Pengolahan air buangan yang akan dilakukan terdiri dari beberapa tahapan, antara lain :
1. Pengolahan tingkat pertama (Primary Treatment), yaitu pengolahan secara fisik dengan
tujuan memisahkan bendabenda kasar, material tersuspensi secara gravitasi. Selain itu,
pengolahan ini bertujuan untuk melindungi unit-unit pengolahan dari material kasar yang
dapat merusak peralatan serta mengurangi beban pengolahan selanjutnya (Metcalf &
Eddy, 2003).
2. Pengolahan tingkat kedua (Secondary Treatment), yaitu pengolahan secara biologis
maupun kimiawi dengan tujuan untuk menyisihkan material organik terlarut.
3. Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment), yaitu pengolahan lumpur yang berasal dari unit
unit pengolahan sebelumnya, bertujuan untuk mengurangi kadar air pada lumpur sehingga
dapat diperlakukan sebagai buangan padat dengan volume yang lebih kecil dan
mengurangi tingkat toksisitasnya.
5.1 Pengolahan Tingkat Pertama (Primary Treatment )
Unit-unit pengolahan tingkat pertama terdiri dari:
1. Bar screen adalah rangkaian kisi-kisi besi yang berguna untuk menyisihkan atau
menyaring material kasar seperti kertas, plastik, atau potongan kayu terapung yang dapat
mengganggu jalannya proses pengolahan air limbah seperti penyumbatan pada valve dan
kerusakan pompa. Oleh karena itu, bar screen diletakkan pada awal pengolahan. Bar
screen yang digunakan dalam perencanaan adalah manually cleaned bar screen. Cara
pembersihan manual digunakan bagi air limbah dengan volume sampah kasar relatif kecil.
Untuk air limbah domestik di Kabupaten Bengkulu Utara, digunakan cara manual karena
ukuran sampah yang relatif kecil dan tidak ada saluran penyaluran air buangan yang
terbuka.
2. Grit chamber adalah bak yang berfungsi untuk menyisihkan grit, termasuk di dalamnya
pasir, kerikil, atau biji-bijian dan material lainnya yang tidak dapat membusuk dan
mempunyai spesific gravity yang lebih besar dibanding material organik. Material ini
harus disisihkan untuk melindungi peralatan dari penggerusan dan kerusakan, mencegah
penyumbatan pada pipa dan pengendapan pada saluran, mencegah timbulnya kerak pada
dasar sludge digester serta mengurangi akumulasi material inert pada tangki aerasi dan
sludge digester yang dapat menyebabkan berkurangnya volume dari tangki.
-
Terdapat dua tipe grit chamber, yaitu hoizotal flow velocityr grit chamber dan aerated grit
chamber. Tipe pertama merupakan bak panjang dengan pengontrolan kecepatan aliran.
Pengontrolan kecepatan aliran biasanya dipasang pada akhir bak berupa alat ukur parshal
flume ataupun proportional weir. Sedangkan tipe kedua adalah berupa bak yang
dilengkapi sistem aerasi (diffused compressed air) sehingga terjadi aliran keluar dari grit
chamber. Tipe grit chamber yang digunakan adalah tipe horizontal flow velocity
controlled. Tipe ini dipilih karena biaya operasional dan konstruksinya lebih murah dan
pengoperasiannya juga lebih mudah. Pengontrol kecepatan yang digunakan adalah
proportional weir.
3. Comminutor adalah alat berupa penggiling yang berfungsi memotong material yang masih
terbawa aliran sehingga berukuran lebih kecil dan atau hancur sama sekali sehingga
meringankan pengolahan selanjutnya. Comminutor diletakkan sebelum pompa bertujuan
untuk mengurangi beban pompa dan mencegah kerusakan pompa karena terdapat material
yang terbawa aliran. Pada perencanaan ini digunakan jenis comminutor dengan spesifikasi
yang berasal dari pabrik Chicago Pump. Pabrik ini memiliki berbagai jenis comminutor
sesuai dengan debit yang akan diolah dan ketersediaan comminutor jenis ini di Indonesia.
4. Bak pengendap berfungsi untuk untuk menyisihkan zat organik tersuspensi dalam air
buangan. Pada umumnya, bak pengendap dapat menyisihkan 50-70 % TSS dan 30-40 %
BOD5 (Qasim, 1985) sehingga dapat mengurangi beban pengolahan pada unit selanjutnya.
Bak pengendap terbagi menjadi tiga tipe yaitu horizontal flow, solid contact, dan inclined
surface. Bentuk bak yang biasa digunakan adalah rectangular, circular, dan square. Pada
perencanaan ini digunakan bak pengendap tipe horizontal flow berbentuk persegi panjang.
Hal ini bertujuan agar partikel yang ada dalam air limbah akan mempunyai waktu
perjalanan yang lebih lama sehingga memperkecil adanya aliran pendek, memperkecil
headloss antara inlet dan outlet, konsumsi energi yang relatif kecil.
5.2 Pengolahan Tingkat Kedua (Secondary Treatment)
Tiga alternatif proses pengolahan biologi yang diajukan dalam perencanaan ini adalah
Completely Mixed Activated Sludge (CMAS), Rotating Biological Contactor (RBC), dan
Aerated Lagoon. Pengajuan ketiga alternatif tersebut berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan sbb :
1. Efisiensi pengolahan
Berdasarkan perhitungan tingkat pengolahan IPAL, dibutuhkan tingkat pengolahan IPAL
secara keseluruhan sebesar (80-85)%.
-
2. Ketersediaan lahan pada daerah perencanaan
Lahan yang tersedia di Kabupaten Garut relatif memadai sehingga instalasi dengan lahan
yang relatif besar tidak menjadi masalah. Selain itu, perlu diperhatikan kesesuaian sistem
pengolahan dengan kondisi fisik lahan terkait dengan keadaan topografi kota, drainase
kota, pola perumahan dan sebagainya.
3. Kemudahan dalam pengoperasian
Aspek ini menyangkut tentang kemudahan dalam pelaksanaan pemasangan pipa,
kemudahan dalam penyambungan instalasi, dan yang paling utama adalah kesederhanaan
dalam pengoperasian dari sistem pengolahan air limbah.
5.2.1. Completely Mixed Activated Sludge
Completely Mixed Activated Sludge (CMAS) merupakan salah satu modifikasi dari
proses lumpur aktif. Air buangan terlebih dahulu harus melalui bak pengendap pertama
sebelum memasuki tangki aerasi. Influen dari bak pengendap pertama ini dimasukkan ke
dalam suatu sistem inlet sehingga beban pengolahan dapat tersebar merata keseluruh tangki
aerasi. Dengan cara ini diharapkan rasio antara substrat dan mikroorganisme cukup seimbang
sehingga memungkinkan terjadinya adsorbsi material organik terlarut dalam biomassa
dengan cepat.
Proses selanjutnya adalah proses dekomposisi materi biodegradable secara aerob.
Waktu detensi hidrolis dalam bak aerasi yang direncanakan harus mencukupi untuk
terjadinya dekomposisi aerob yaitu sekitar 4 sampai 36 jam dan biasanya 4 sampai 8 jam
untuk air buangan domestik (Reynolds, 1982). Peralatan yang banyak digunakan untuk aerasi
adalah mekanikal aerator karena menghasilkan pengadukan yang lebih baik. Aliran
resirkulasi yang biasa digunakan sebesar 35%-100% dari aliran influen. Kelebihan dan
kekurangan dari unit perngolahan ini dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1. Kelebihan dan Kekurangan CMAS
Alternatif Pengolahan Kelebihan Kekurangan
CMAS
Sumber : Metcalf & Eddy,
1. Tahan terhadap shock
loading
1. Lumpur yang sulit
mengendap karena
-
2003
2. Mampu mengolah air
buangan dengan
konsentrasi yang tinggi
atau yang mengandung
zat toksik karena
kondisi tangki yang
homogen
3. Pengoperasian
sederhana
4. Proses yang umum dan
sudah terbukti
5. Mudah beradaptasi
dengan berbagai jenis
air buangan
6. Kebutuhan oksigen
seragam
7. Desain relatif tidak
kompleks
8. Sesuai untuk semua
jenis peralatan aerasi
terbentuk bulking
sludge akibat asimilasi
organisme filamentous
2. F/M rendah
5.2.2 Rotating Biological Contactor
Rotating Biological Contacor (RBC) atau Cakram Biologi merupakan reaktor
pertumbuhan melekat (Bioreaktor Film Tetap) yang dipergunakan untuk penyisihan bahan
organik terlarut. Unit ini terdiri dari cakram berbentuk circular yang secara seri dipasang
berdekatan dan terbuat dari polystyrene atau polyvinyl chloride. Cakram ini terhubung dengan
horizontal shaft dan memiliki ukuran standar yaitu diameter 3.5 m dan panjang 7.5 m.
Sebagian dari unit ini terendam (umumnya 40 %) dalam tangki yang berisi air buangan dan
cakram berputar dengan kecepatan sekitar 11.6 rpm (Metcalf & Eddy, 2003).
Air buangan akan teradsorbsi pada biological film yang tumbuh pada cakram dan
mengubah bahan organik yang terlarut dalam air buangan menjadi energi dan selsel selama
cakram berputar. Air buangan dan udara dapat melalui kisi-kisi pada cakram sehingga terjadi
transfer oksigen ke dalam film dan terjadi bio-oksidasi pada biological film. Pertumbuhan
-
mikroorganisme yang berlebih akan mengakibatkan mikroorganisme tidak terlekat. Oleh
karena itu, dibutuhkan secondary clarifier. Beberapa pertimbangan dalam mendesain RBC
antara lain kecepatan cakram berputar, staging, kriteria beban, waktu retensi air buangan,
karakteristik efluen, temperatur, dan desain secondary clarifier. Kelebihan dan kekurangan
dari unit perngolahan ini dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2. Kelebihan dan Kekurangan RBC
Alternatif Pengolahan Kelebihan Kekurangan
RBC
Sumber : Qasim, 1985
1. Waktu kontak yang
relatif pendek karena
memiliki luas
permukaan aktif yang
besar
2. Dapat digunakan untuk
debit yang bervariasi
dengan range < 1 MGD
s.d. 100 MGD
3. Lahan yang dibutuhkan
relatif kecil
4. Tingkat efisiensi yang
dapat mencapai 95%
dengan menggunakan
beberapa stage
5. Tidak memerlukan
resirkulasi
6. Kuantitas lumpur lebih
kecil, sehingga biaya
pengolahan lumpur
lebih murah
7. Kebutuhan energi
rendah
8. Stabilitas proses lebih
1. Beban organik yang
tinggi mungkin
mengakibatkan
timbulnya kondisi
septik pada stage
pertama, sehingga
diperlukan
penambahan aerasi
2. Dapat terjadi clogging
3. Sensitif terhadap
temperatur
4. Biaya konstruksi tinggi
dan sulit mendapatkan
pengganti jika ada unit
yang rusak
5. Rentan terhadap
penambahan beban
organik sehingga
penggunaan bak
pengendap pada
pengolahan
pendahuluan perlu
dipertimbangkan
-
besar
9. Beban organik lebih
tinggi
5.2.3 Aerated Lagoon
Aerated lagoon merupakan reaktor pertumbuhan tersuspensi tanpa resirkulasi lumpur
dengan variasi kedalaman 2-5 m. Aerator mekanis umumnya digunakan untuk pengadukan
dan suplai kebutuhan oksigen. Unit ini memiliki waktu detensi yang panjang (2-6 hari),
sehingga sejumlah proses nitrifikasi dapat tercapai. Terdapat dua jenis dasar dari kolam
aerasi:
1. Kolam Aerobik
Kolam aerobik dirancang dengan level daya ( level power ) cukup tinggi untuk
mempertahankan semua padatan (solid ) dalam kolam tetap tersuspensi dan juga untuk
membagikan oksigen terlarut di seluruh volume cairan sehingga oksigen terlarut dan
padatan tersuspensi terdistribusi merata pada kolam. Efisiensi penyisihan BOD pada
kolam ini tidak terlalu tinggi karena semua padatan tetap tertahan dalam suspensi, efluen
dari suatu kolam aerobik akan mempunyai konsentrasi padatan yang jauh lebih tinggi
daripada efluen dari kolam fakultatif. Hal ini membutuhkan suatu tahap pemisahan
padatan-cairan setelah proses aerobik jika suatu efluen kualitas tinggi akan dicapai.
Kolam Aerobik biasanya beroperasi pada rasio F/M yang tinggi atau waktu detensi
lumpur yang pendek ( sistem kecepatan tinggi ). Sistem ini mencapai stabilisasi organik
yang kecil karena lebih menekankan konversi material organik terlarut menjadi material
organik seluler. Semua padatan (solid) dipertahankan dalam keadaan tersuspensi sehingga
waktu detensi dalam kolam aerobik yang diperlukan untuk pemisahan BOD terlarut akan
lebih kecil daripada waktu detensi yang diperlukan untuk kolam fakultatif (Kormanik,
1972). Akan tetapi, kebutuhan energi untuk pengadukan dalam kolam aerobik akan jauh
lebih besar daripada kebutuhan daya dalam kolam fakultatif.
2. Kolam Fakultatif
Kolam fakultatif sejenis dengan kolam untuk stabilisasi air buangan, kecuali suplai
oksigen pada kolam fakultatif berasal dari aerator mekanis dan bukan berasal dari
fotosintesis alga. Kolam fakultatif dirancang dengan level daya hanya cukup untuk
mempertahankan oksigen terlarut di seluruh volume cairan. Dalam hal ini, sebagian besar
padatan (solid) dalam kolam tidak dipertahankan dalam keadaan tersuspensi, tetapi
mengendap pada dasar kolam yang dalam hal ini padatan tersebut didekomposisikan
-
secara anaerobik. Oleh karena itu, aktivitas yang terjadi pada kolam sebagian aerobik dan
sebagian anaerobik. Waktu detensi lumpur pada kolam fakultatif relatif lebih lama (sistem
kecepatan rendah) dan terjadi stabilisasi organik.
Kelebihan dari kolam ini, seperti pada tabel 5.3. adalah sederhana dalam
pengoperasian dan penyisihan BOD tinggi. Waktu detensi kolam tergantung pada
besarnya pemisahan BOD dan temperatur, yaitu berkisar 2-6 hari. Penyisihan bahan
organik terlarut akan sangat baik jika waktu detensi hidrolis yang diaplikasikan cukup
panjang.
Tabel 5.3. Kelebihan dan Kekurangan Aerated Lagoon
Alternatif Pengolahan Kelebihan Kekurangan
Aerated Lagoon
Sumber : Barnhart, 1972 ;
Randall, 1980
1. Mudah dalam operasi
dan pemeliharaan.
2. Ekualisasi air limbah.
3. Suatu kapasitas yang
tinggi dalam
pemborosan panas
bilamana dibutuhkan.
1. Kebutuhan lahan yang
besar.
2. Kesulitan untuk
modifikasi proses.
3. Konsentrasi padatan
tersuspensi effluen
tinggi.
4. Sensitifitas proses
terhadap variasi suhu
udara embien
5.3 Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)
Sebagai tahap akhir dari proses pengolahan air buangan ini dilakukan pengolahan
terhadap lumpur yang timbul dari unitunit pengolahan sebelumnya. Lumpur dapat dibagi
menjadi 2 jenis lumpur, yaitu lumpur primer dan lumpur sekunder. Lumpur primer berasal
dari solid yang diendapkan di bak pengendap pertama atau pengolahan tingkat pertama
sedangkan lumpur sekunder dapat berasal dari proses biologi atau kimia sebagai pengolahan
tingkat kedua.
Proses pengolahan lumpur meliputi proses pengentalan (thickening), stabilisasi
(stabilization atau digestion), pengeringan (dewatering), dan pembuangan (disposal).
Thickening digunakan untuk meningkatkan kandungan solid di dalam lumpur dengan
-
menyisihkan fase liquidnya. Kelebihan dari proses thickening antara lain meningkatkan
proses stabilisasi dan mengurangi biaya kapital untuk proses stabilisasi, mengurangi volume
lumpur untuk tempat pembuangan lumpur, serta proses dewatering akan lebih ekonomis.
Stabilisasi lumpur adalah untuk merduksi mikroorganisme patogen dan menghilangkan bau.
Proses ini banyak diterapkan untuk lumpur biologi atau bila lumpur akan diaplikasikan ke
tanah. Dewatering bertujuan untuk menurunkan kandungan air dari lumpur. Berikut beberapa
alternatif metode pengolahan lumpur:
1. Thickening
a. Gravity Thickening
b. Dissolved Air Flotation (DAF)
c. Centrifugation
2. Digestion
a. Aerobic Digestion
b. Anaerobic Disestion
c. Proses lain, seperti Chemical Oxidation, Lime Stabilization, dan Heat Treatment
3. Dewatering
a. Drying Beds
b. Drying Lagoons
c. Centrifugal Dewatering
d. Vacuum Filter
e. Plate and Frame Filter Press
f. Belt Filter Press
Unit pengolahan lumpur yang digunakan adalah gravity thickener sebagai unit
pengentalan lumpur dan sludge drying bed sebagai unit pengeringan lumpur.
5.3.1 Gravity Thickener
Bentuk geometri pada gravity thickener hampir sama dengan bentuk geometri yang
dipergunakan pada clarifier. Solids yang masuk ke dalam thickener akan terbagi dalam tiga
zona yaitu zona clear water, zona sedimentasi, dan zona thickening. Pada zona thickening
terjadi sludge blanket dimana massa lumpur tertekan oleh massa yang diatasnya yang akan
terus bertambah.
Pada perencanaan ini digunakan gravity thickener karena unit ini cocok untuk
diterapkan pada instalasi berukuran kecil-sedang, dengan solid capture 85-92 %. Supernatan
-
dari gravity thickener diresirkulasikan ke tangki aerasi dalam proses CMAS sedangkan
thickened sludge akan diolah pada sludge drying bed.
5.3.2 Sludge Drying Bed
Sludge drying bed merupakan salah satu fasilitas pengeringan lumpur yang cukup
banyak digunakan. Pada pengoperasiannya, lumpur diletakkan di atas bed dengan ketebalan
lapisan lumpur (200 300) mm lalu dibiarkan mengering. Sebagian air yang terkandung di
dalam lumpur akan mengalir melalui pori pori bed dan sebagian lagi akan menguap. Untuk
menampung air yang mengalir ke bawah ini dibuat suatu sistem drainase lateral dengan
menggunakan pipa berpori (berlubang). Lumpur yang telah mengering pada bagian atas bed
disisihkan dan dapat dibuang ke landfill ataupun dapat juga digunakan sebagai penyubur
tanah.
Pada perencanaan ini, digunakan sludge drying bed sebagai unit dewatering karena unit
ini cocok diterapkan untuk pengolahan lumpur dengan kuantitas kecil apabila tersedia lahan
yang cukup luas (Qasim, 1985). Keuntungan penggunaan sludge drying bed adalah biaya
investasi yang kecil, tidak memerlukan perhatian khusus dalam pengoperasiannya dan
konsentrasi solild yang tinggi pada lumpurnya.
5.4 Diagram Alir Tiga Alternatif
Diagram alir masing-masing alternatif dapat dilihat pada gambar 5.1, gambar 5.2 dan
gambar 5.3.
Gamber 5.1. Alternatif I : Diagram Alir Menggunakan Complete Mixed Activated
Sludge (CMAS)
-
Gamber 5.2. Alternatif II : Diagram Alir Menggunakan Rotating Biological
Contactor (RBC)
Gamber 5.3. Alternatif III : Diagram Alir Menggunakan Aerated Lagoon
5.5 Metode Pemilihan
Pemilihan alternatif pengolahan akan dilakukan berdasarkan aspek teknis dan ekonomis.
Untuk aspek teknis, pemilihan akan dilakukan dengan teknik pembobotan. Pertimbangan
ekonomi merupakan pertimbangan terakhir untuk menentukan proses pengolahan yang akan
dipilih karena faktor ekonomi memberikan pengaruh yang besar terhadap pemilihan
alternatif yang akan dibangun dalam suatu proyek.
Dalam perencanaan sistem pengolahan air limbah Kabupaten Garut, terdapat 3 buah
alternatif yang mungkin untuk diterapkan, yaitu : Alternatif 1 (Complete Mixed Activated
Sludge); Alternatif 2 (Rotating Biological Contactor); dan Alternatif 3 (Aerated Lagoon).
-
Langkah-langkah berdasarkan metode pembobotan :
1. Menentukan faktor-faktor/ parameter penting dalam menunjang terwujudnya sistem
2. Membandingkan nilai kepentingan, satu parameter terhadap parameter lainnya. Skor 1
untuk prioritas terbaik, skor 2 untuk prioritas baik dan skor 3 untuk prioritas cukup baik.
3. Menjumlahkan nilai kepentingan
4. Total nilai keuntungan dan kepentingan teknis bagi setiap alternatif. Alternatif yang
memperoleh nilai terkecil dipertimbangkan untuk dipilih.
Pemilihan alternatif pengolahan pada IPAL yang akan direncanakan seperti yang telah
disebutkan di atas (metode pembobotan). Berikut tabel 5.4. menampilkan perbandingan
antara ketiga alternatif pengolahan untuk memudahkan dalam penentuan alternatif terpilih :
Tabel 5.4. Pembobotan Tiga Alternatif Yang Diusulkan
Parameter CMAS RBC Aerated Lagoon
Efisiensi Pengolahan
BOD5
85-95% 80-85% 90%
Kebutuhan Lahan 2 3 1
Operasi dan
Pemeliharaan
1 2 3
Biaya Operasional 1 2 3
Kebutuhan Energi 1 2 3
Bau 3 2 1
Tenaga Operasional Memerlukan
tenaga kerja
terlatih
Memerlukan
tenaga kerja
terlatih
Tidak memerlukan
tenaga kerja terlatih
Kemudahan dalam
Modifikasi dan
Pengembangan
3 2 1
Estimasi Biaya 1 3 2
Pembobotan 12 16 14
Keterangan :
Skor 1 menunjukkan prioritas terbaik
-
Skor 2 menunujukkan prioritas baik
Skor 3 menunjukkan prioritas cukup baik
Ketiga alternatif proses pengolahan yang diajukan diatas dianggap telah memenuhi
pertimbangan lain diantaranya adalah :
Keberadaannya tidak memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan sekitarnya.
Tersedianya lahan dan material pada saat pembangunan instalasi.
Tersedianya tenaga ahli, operator, dan peralatan untuk pengoperasian dan
pemeliharaan.
Dari hasil perhitungan diatas, tabel 5.4. menunjukkan bahwa alternatif pertama
yang menggunakan proses Completely Mixed Activated Sludge merupakan alternatif
yang memiliki estimasi nilai pembobotan terkecil, sehingga dipilih sebagai alternatif
pengolahan dengan digram alir seperti pada gambar 5.1.
-
BAB VI
DETAIL DIMENSI UNIT-UNIT PENGOLAHAN
6.1 Umum
Pada perencanaan ini, system pengolhan yang digunakan adalah Completely Mixed
Aerated Sludge. Dari ketiga alternative yang diberikan, system inilah yang memenuhi
persyaratan teknik dan ekonomi. Unit-unit yang digunakan pada system ini antara lain:
- Pengolahan tingkat pertama: Bak equaliasasi dan bak pengendap pertama
- Pengolahan tingkat kedua: Tanki aerasi dan clarifier
- Pengolahan lumpur: Gravity thickener dan Sludge drying bed
6.2 Pengolahan Tingkat Pertama
Gamber 6.1. Alternatif I : Diagram Alir Menggunakan Complete Mixed Activated
Sludge (CMAS)
6.2.1 Bar Screen
Bar screen merupakan unit pengolahan tingkat pertama yang memiliki fungus sebagai
penyisih materi-materi kasar yang terbawa dalam sistem penyaluran. Penyisihan materi-
materi ini dilakukan secara mekanis.
A. Kriteria Desain
-
Berikut adalah beberapa kriteria desain yang akan dijadikan acuan untuk perancangan bar
screen:
Tabel 6.1 Kriteria Desain Bar Screen
Parameter Simbol Satuan Besaran Sumber
Kecepatan saluran penyaring V m/det >0,6 Qasim, 1985
Kecepatan melalui bar screen vbar
m/det 0,6 1 Qasim, 1985
Head loss maksimum hL m 0,8 Qasim, 1985
Kemiringan dari horizontal 60 85 Qasim, 1985
Batang: Lebar
Space
Kedalaman
W cm 0,8 1,0 Qasim, 1985
B cm 1,0 5,0 Qasim, 1985
D cm 5,0 7,5 Qasim, 1985
(Sumber: Abfertiawan)
Tabel 6.1 Faktor Batang Unit Bar Screen
No Jenis Bar
1 Sharp-edged rectangular 2,42
2 Rectangular with semicircular upstream face 1,83
3 Circular 1,79
4 Rectangular with semicircular upstream and
down stream face 1,67
5 Tear shape 0,76
Tabel 6.3 Parameter Untuk Bar Screen
Parameter
U.S Unit SI Unit
Unit Cleaning Method
Unit Cleaning Method
Manual Mechanical Manual Mechanical
Bar size
Width in 0.2 0.6 0.2 0.6 mm 5 15 5 15
Depth in 1 1.5 1 1.5 mm 25 38 25 38
Clear spacing
between bars in 1 2 0.6 3 mm 25 50 15 75
-
Slope from
vertical - 30 45 0 30 - 30 45 0 30
Approach velocity
Maximum ft/s 1 2 2 3,25 m/s 0.3 0.6 0.6 1
Minimum ft/s 1 1,6 m/s 0.3 0.5
Max headloss In 6 6-24 mm 150 150 600
B. Persamaan-persamaan yang Digunakan
Persamaan yang digunakan pada perencanaan bar screen diantaranya:
( )
(
)
Dimana:
hL = head loss di rack (m)
vbar = kecepatan aliran melalui bar screen (m/det)
v2 = kecepatan aliran di saluran (m/det)
g = percepatan gravitasi (m/det)
= faktor tingkat pada bentuk batang
w = lebar batang (m)
b = bukaan (m)
hv = velocity head aliran, mendekati bars (m)
= sudut bar dengan horizontal ()
C. Data Perencanaan
Berikut ini adalah data-data yang akan digunakan sebagai data awal dalam merencanakan
unit bar screen
Tabel 6.4 Data Perencanaan Unit Bar Screen
Parameter Simbol Satuan Besaran
Debit
Minimum Qmin
m3/det
0,082
Rata-rata Qr 0,165
Maksimum Qmaks 0,247
Bukaan (jarak antar batang) b cm 3
-
Kecepatan melalui bar
screen (bersih) Vbar m/det 0,8
Kemiringan batang 75
Diameter batang cm 1
Konstanta untuk lingkaran - 1,67
Freeboard
cm 20
Kedalaman aliran pada bar
screen d m 0,5
Kecepatan melalui bar
screen (clogging) vv m/det 0,4
D. Perhitungan Desain Bar Screen
Jumlah bar screen yang akan dibuat adalah sebanyak 2 unit mechanical bar screen dan
beroperasi pada kondisi maksimum.
Debit masing-masing bar screen
Luat total bukaan batang
Lebar bersih bukaan (Lebar tanpa bar)
Jumlah space kosong
Jumlah batang
Lebar bukaan total saringan
( ) ( )
Lebar total bangunan saringan
( ) ( )
Panjang saringan yang terendam air
-
Efisiensi bar screen
Head Loss Bersih
( )
( )
(
)
(
)
(
)
Head Loss saat 50% Clogging
(
)
(
)
6.2.2 Grit Chamber
A. Umum
Jenis grit chamber yang akan direncanakan adalah grit chamber aliran horizontal dengan
kontrol kecepatan yang baik berupa bak pengendap panjang dan sempit. Grit chamber
aliran horizontal didesain untuk mencapai kecepatan pengaliran sekitar 0.3 m/s dan waktu
yang cukup untuk mengendapkan partikel grit di dasar saluran.
B. Kriteria Desain
Kriteria desain untuk grit chamber dapat dilihat pada Tabel 6.5
Tabel 6.5 Kriteria Desain Grit Chamber
Parameter Simbol Satuan Besaran Sumber
Waktu detensi td detik 45-90 Metcalf & Eddy
Kecepatan horizontal vh m/detik 0,24-0,4 Edward JM
Kecepatan mengendap
Diameter 0.2 mm
Diameter 0.15 mm
ft/min
3,2-4,2
2-3
Metcalf & Eddy
-
Spesific gravity grit gs 1,5-2,7 Qasim
Spesific gravity material
organik
1,02 Qasim
Overflow rate debit maks OR m3/m
2/det 0,021-0,023 Tom D Reynold
Jumlah grit yang
disisihkan
m3/10
6/m
3 5-200 Qasim
Headloss melalu grit hl % 30-40 Qasim
Jumlah bak minimal unit 2 Kawamura
C. Rumus yang Digunakan
Overflow rate (OR) = 900 x Vsettling
Dimana, OR = overflow rate, gal/hari/ft3
Vsettling = kecapata mengendap, inchi/menit
(
)
Dimana, hl = headloss melalui grit chamber, m
V = kecepatan pada saluran grit chamber, m/detik
n = koefisien Manning
R = jari-jari hidrolis
L = panjang saluran grit chamber, m
D. Data Perencanaan
Data perencanaan dapat dilihat pada tabel 6.6
Tabel 6.6 Data Perencanaan Unit Grit Chamber
Parameter Simbol Satuan Besaran
Debit minimum Qmin 0,082465 m3/detik
Debit rata-rata Qrata 0,164931 m3/detik
Debit maksimum Qmax 0,247396 m3/detik
Diameter pasir kecil 0,2 mm
Kecepatan mengendap Vs 50,4 inchi/menit
-
Volume pasir Vp 0,05 m3/1000 m3 air buangan
Jumlah bak grit 2
Waktu detensi td 50 s
Kecepatan horizontal Vh 0,3 m/s
Kecepatan mengendap Vs 0,021336 m/s
Koefisien manning n 0,013
Hl di proporsional weir % 35
(%tinggi muka air maks)
Jumlah grit yang
disisihkan Vp 0,05 m3/1000 m
3 air buangan
E. Perhitungan
1. Demensi Grit Chamber
Direncanakan terdapat dua unit grit chamber yang akan bekerja pada kondisi
maksimum. Setiap unit akan diberikan pintu air (gate) yang akan berfungsi untuk
mengatur jumlah unit yang dioperasikan sesuai dengan kondisi debit. Pada kondisi
minimum hanya akan dioperasikan oleh satu unit.
Dengan asumsi kecepatan pengendapan (vs) partikel untuk diameter 0,2 mm
adalah 4,2 ft/menit ` 50,4 inchi/menit maka kondisi maksimum diperhitungkan sebagai
berikut:
a. Overflow rate (OR) = 900 x vs = 900 x 50,4 inchi/menit = 45360 gpd/ft3
= 0,02142 m3/m
2 detik
b. Luas permukaan bak (Asurface) = Qmax / OR
Asurface =
c. Luas penampang melintang (Across) = Q / vhorizontal
Across =
d. Volume bak (V)
V = 0,247/2
e. Tinggi muka air di bak pada saat maksimum (d)
d =
f. Lebar bak (w)
-
w =
g. Panjang (p)
p =
2. Kontrol Desain Perhitungan
Volume bak pada saat debit maksimum diperiksa ulang dengan pengkondisian
panjang (p), lebar (w) dan tinggi bak (d) sebagai berikut:
Volume (V) = p x w x d = 9,6 m x 0,40 m x 1,1 m = 4,224 m3 ; dengan waktu detensi
(td) = volume / (Q maks/2) = 34,15 detik ;
OR = (Qmaks/2)/ Asurface =
Nilai OR memenuhi.
Profil hidrolis dari masing-masing debit diperiksa untuk mengetahi keceparan aliran
horizontalnya (vh), seperti pada tabel 6.7
Tabel 6.7 Profil Hidrolis Grit Chamber
Debit
Satuan Qmin Qrata-rata Qmax
m3/s 0,082465 0,164930556 0,24739583
Volume terisi (td=50 s) m3 2,061632 4,123263889 6,18489583
Level air (pxl=14*0,6) m 0,245432 0,490864749 0,73629712
Kecepatan (dxw=1*0,6) m/s 0,137442 0,274884259 0,41232639
Kecepatan ketika debit minumum sekitar 0,0824 m3/s masih memiliki laju
kecepatan horizontal berada dibawah 0,24 m/s sehingga diperlukan pengkondisian
untuk mencegah terjadinya aliran balik dan/ berhenti sementara. Sedangkan ketika debit
rata-rata dan maksimum. Kecepatan horizontal ma