kel2-grup b-laporan akhir pbpal-2014.pdf

110
TL 4101 DESIGN TEKNIK LINGKUNGAN 1 LAPORAN PERENCANAAN DESAIN INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK Disusun oleh : Kelompok 2B 1. Siti Maryam : 15311013 2. Budi Khaerunnisa S : 15311021 3. Astrid Tiara Bening : 15311041 4. Bellaria Ekaputri : 15311075 PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2014

Upload: stmarriam

Post on 21-Nov-2015

77 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

  • TL 4101

    DESIGN TEKNIK LINGKUNGAN 1

    LAPORAN PERENCANAAN DESAIN

    INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK

    Disusun oleh :

    Kelompok 2B

    1. Siti Maryam : 15311013

    2. Budi Khaerunnisa S : 15311021

    3. Astrid Tiara Bening : 15311041

    4. Bellaria Ekaputri : 15311075

    PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

    FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

    INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

    2014

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 656'49''

    - 745'00'' Lintang Selatan dan 10725'8'' - 1087'30'' Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki

    luas wilayah administratif sebesar 306.519 Ha (3.065,19 km) dengan batas-batas sebelah

    Utara dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, sebelah Timur dengan

    Kabupaten Tasikmalaya, sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia, dan sebelah Barat

    dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur.

    Kabupaten Garut yang secara geografis berdekatan dengan Kota Bandung sebagai

    ibukota provinsi Jawa Barat, merupakan daerah penyangga dan hitterland bagi

    pengembangan wilayah Bandung Raya. Oleh karena itu, kabupaten Garut mempunyai

    kedudukan strategis dalam memasok kebutuhan warga Kota dan Kabupaten Bandung

    sekaligus pula berperan di dalam mengendalikan keseimbangan lingkungan. Dalam perannya

    ini, kabupaten Garut memiliki kendala dalam pengolahan air limbah domestik, dimana sarana

    pembuangan air limbah domestik yang ada berupa pemakaian septic tank bahkan ada yang

    langsung dibuang begitu saja ke saluran drainase atau langsung ke badan air penerima yakni

    sungai Cimanuk.

    Akibat dari pencemaran tersebut tentu akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan

    masyarakat. Terganggunya kesehatan masyarakat akibat dari terganggunya sistem sanitasi di

    Kabupaten Garut. Kabupaten Garut belum memiliki suatu Instalasi Pengolahan Air Limbah

    (IPAL) Domestik sebagai sarana sanitasi masyarakat. Dikhawatirkan tanpa adanya IPAL

    akan berpotensi memperburuk pencemaran Sungai Cimanuk dan akan berdampak pada

    kesehatan masyarakat serta tentunya akan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian

    masyarakat. Dengan direncanakan suatu sistem pengolahan air limbah domestik secara

    terpusat diharapkan akan dapat mengurangi tingkat pencemaran air tanah maupun permukaan

    (Sungai Cimanuk) dan dapat meningkatkan kualitas lingkungan pada umumnya.

    Dalam mengelola penyediaan dan pelayanan air minum, terdapat regulasi yang menjadi

    acuan untuk melaksanakan pengelolaan dan penyediaan air minum dengan tujuan untuk

    memudahkan dalam mempertimbangkan perencanaan instalasi pengolahan air minum.

    Permenkes No. 492 Tahun 2010 mengatur mengenai persyaratan kualitas air minum,

  • sedangkan PP No. 82 Tahun 2001 mengatur mengenai pengelolaan kualitas dan pencemaran

    air.

    1.2 Tujuan

    1. Memahami dan mampu merencanakan suatu sistem pengolahan air limbah.

    2. Memahami tujuan pengolahan air limbah; penyisihan TSS, pengolahan BOD, eliminasi

    organisme patogen, dan penyisihan nutrien.

    3. Mampu mengevaluasi permasalahan yang timbul dalam sistem pengolahan air limbah.

    1.3 Metodologi

    1.4 Sistematika Penulisan

    Adapun sistematika pembahasan laporan tugas akhir adalah sebagai berikut:

    1. BAB I Pendahuluan

    Bab ini berisi mengenai latar belakang, tujuan, metodologi, dan sistematika penulisan dari

    tugas ini.

    2. BAB II Gambaran Umum Wilayah Perencanaan

    Bab ini menerangkan gambaran wilayah yang akan direncanakan meliputi jumlah

    penduduk daerah tersebut, kondisi eksisting IPAL terpusat, pengaliran limbah menuju

    IPAL dan kontur daerah tersebut.

    Identifikasi Masalah

    Studi Literatur

    Pengambilan Data

    Analisis dan Pembahasan

    Penyusunan Laporan

  • 3. BAB III Tinjauan Pustaka

    Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai literatur yang berhubungan dengan

    pengerjaan tugas meliputi literatur mengenai limbah domestik, parameter pencemar, dan

    unit pengolahan pada IPAL.

    4. BAB IV Dasar Perencanaan

    Bab ini berisi mengenai karakteristik air limbah, dan perhitungan beban pengolahan IPAL.

    5. BAB V Alternatif Pengolahan

    Bab ini berisi alternatif-alternatif pengolahan yang memungkinkan untuk digunakan,

    metode pemilihan alternatif yang paling sesuai, dan rencana awal dari denah IPAL yang

    akan digunakan.

    6. BAB VI Perencanaan Rinci Alternatif

    Bab ini berisi perhitungan-perhitungan detail dari alternatif terpilih, dimensi dari tiap alat

    yang digunakan, headloss masing-masing unit, tinggi muka air masing-masing unit (profil

    hidrolis)

    7. BAB VII Penutup

    Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari pengerjaan tugas yang telah dilakukan.

  • BAB II

    GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

    2.1 Jumlah Penduduk

    BPS melakukan perhitungan penduduk berdasarkan sensus penduduk yang diadakan

    setiap 10 tahun, disesuaikan dengan data mutasi kependudukan. Sensus penduduk setelah

    kemerdekaan dimulai tahun 1961, kemudian 1971, 1980, 1990, 2000, 2010 dan terakhir tahun

    2013.

    Berdasarkan perhitungan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tahun 2013

    disesuaikan dengan registrasi mutasi penduduk, jumlah penduduk Kabupaten Garut tercatat

    sebanyak 3.003.004 jiwa, dengan pertumbuhan penduduk sekitar 2%.

    Tabel 2.1 Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio Kab. Garut 2013

    ( Diurutkan berdasarkan jumlah penduduk terbesar per kecamatan )

    Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah Sex Ratio

    Garut Kota 87.006 83.869 170.875 103,7

    Karangpawitan 77.564 74.536 152.100 104,0

    Wanaraja 33.854 32.734 66.588 105,1

    Pangatikan 20.715 19.278 39.993 107,4

    Sucinaraja 17.651 17.160 34.811 102,8

    Tarogong Kaler 47.960 45.599 93.562 105,1

    Tarogong Kidul 66.617 64.501 131.118 103,2

    Banyuresmi 48.565 44.286 92.851 109,6

    Samarang 44.728 42.959 87.687 104,1

    Pasirwangi 37.108 35.276 72.384 105,1

    Leles 48.997 47.478 96.475 103,1

    Kadungora 57.311 54.322 111.633 105,5

    Leuwigoong 28.504 27.160 55.664 104,9

    Cibatu 45.693 43.555 89.248 104,9

  • Kersamanah 24.522 22.924 47.446 104,9

    Malangbong 76.952 73.499 150.451 104,6

    Sukawening 35.530 33.507 69.037 106,0

    Karangtengah 10.529 10.403 20.932 101,2

    Bayongbong 70.497 67.935 138.436 103,7

    Cigedug 23.043 22.235 45.278 103,6

    Cilawu 73.304 71.089 144.393 103,1

    Cisurupan 58.323 55.864 114.187 104,4

    Sukaresmi 25.281 24.434 49.715 103,4

    Cikajang 48.993 47.814 96.807 102,4

    Singajaya 25.896 25.185 51.081 102,8

    Cihurip 10.824 10.179 21.543 100,9

    Banjarwangi 31.021 29.753 60.774 104,2

    Peundeuy 12.684 12.126 24.810 104,6

    Pameungpeuk 23.335 22.450 45.786 103,9

    Cisompet 30.835 29.794 60.629 103,4

    Cikelet 22.559 21.647 44.209 104,2

    Cibalong 23.257 22.645 45.902 102,7

    Bungbulang 35.183 34.310 69.493 102,5

    Mekarmukti 9.548 9.443 18.991 101,1

    Pakenjeng 37.838 36.641 74.479 103,2

    Cisewu 20.720 20.156 40.876 102,7

    Caringin 17.772 16.957 34.729 104,8

    Telegong 18.099 18.041 36.140 100,3

    Pamulihan 10.681 10.482 21.163 101,8

    Bl. Limbangan 47.720 45.531 93.251 104,8

    Selaawi 24.524 23.159 47.683 105,8

    Cibiuk 20.724 19.110 39.834 108,4

  • Jumlah 1.532.467 1.470.566 3.003.004 104,2

    Sumber: DISDUKCAPIL, Tahun 2013

    Dari data tersebut didapt bahwa jumlah penduduk terbanyak berada di wilayah Garut

    Kota.

    2.2 Kondisi Eksisting IPAL Terpusat

    Kabupaten Garut belum memiliki sistem pengelolaan limbah domestik secara terpusat.

    Selain itu, air limbah domestik Kota Palembang umumnya menggunakan sistem sanitasi

    setempat (on site sanitation) dengan menggunakan jamban, baik yang dikelola secara

    individu maupun secara komunal, yang dilengkapi dengan tangki septik atau cubluk.

    Sebagian masyakat pula membuang air limbah secara langsung menuju ke sungai.

    2.3 Kondisi Eksisting Sistem Pengaliran Ail Limbah

    Kabupaten Garut belum memiliki sistem pengaliran air limbah secara terpusat. Fluktuasi

    air limbah terhadap waktu ditampilkan pada tabel di bawah ini.

    Tabel 2.3 Fluktuasi Air Limbah

    Waktu % Air

    Buangan

    00.00-01.00 2.5

    01.00-02.00 2.5

    02.00-03.00 2.5

    03.00-04.00 2.5

    04.00-05.00 3.3

    05.00-06.00 3.79

    06.00-07.00 5.01

    07.00-08.00 5.91

    08.00-09.00 5.91

    09.00-10.00 5.4

    10.00-11.00 5.05

    11.00-12.00 4.65

  • Waktu % Air

    Buangan

    12.00-13.00 4.65

    13.00-14.00 4.85

    14.00-15.00 4.85

    15.00-16.00 4.85

    16.00-17.00 5.38

    17.00-18.00 6.1

    18.00-19.00 4.32

    19.00-20.00 4.32

    20.00-21.00 3.53

    21.00-22.00 2.93

    22.00-23.00 2.6

    23.00-24.00 2.6

    Debit Kelompok B

    (m3/day)

    14.250

    4.7

    Berikut kondisi kualitas air sungai yang akan dijadikan badan air penerima limbah

    Tabel 2.4 Kualitas Air Sungai

    No Paramter Satuan Kualitas

    FISIKA

    1 Temperatur Celcius 27.7

    2 Residuterlarut mg/l 143.67

    3 Zattersuspensi mg/l 15

    4 Kekeruhan NTU NTU -

    6 Kecerahan Cm 135

    KIMIA

    1 pH - 7.6

    2 CO2bebas mg/l 13.2

    3 HCO3 mg/l 129.3

    4 Kesadahan(CaCO3) mg/l 53.4

    5 Sulfida(H2S) mg/l -

  • No Paramter Satuan Kualitas

    6 Ammonia(NH3) mg/l 0.01

    7 Nitrit(NO2-N) mg/l 0.04

    8 Nitrat(NO3-N) mg/l 1.15

    9 Fosfat(PO4) mg/l 0.22

    11 OksigenTerlarut mg/l 2.9

    12 COD mg/l 15.42

    13 BOD mg/l 10.87

    16 Besi (Fe) mg/l 0.14

    17 Air Raksa (Hg) 0.54

    18 Nikel (Ni) mg/l 0.03

    19 Tembaga (Cu) mg/l 0.01

    20 Seng (Zn) mg/l 0.02

    22 Kadmium (Cd) mg/l

    23 Timbal (Pb) mg/l 0.0087

    28 Mangan (Mn) mg/l 0.076

    29 Natrium (Na) mg/l 34.33

    BIOLOGI

    1 MPN E.coli JPT/100 240

    2 MPN Coliform JPT/100 460

    Melihat kualitas air sungai tersebut masuk kedalam air kelas IV berdasarkan

    Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001.

    2.4 Kontur Wilayah Perencanaan

    Ibukota Kabupaten Garut berada pada ketinggian 717 m dpl dikelilingi oleh Gunung

    Karacak (1838 m), Gunung Cikuray (2821 m), Gunung Papandayan (2622 m), dan Gunung

    Guntur (2249 m).

    Karakteristik topografi Kabupaten Garut sebelah Utara terdiri dari dataran tinggi dan

    pegunungan, sedangkan bagian Selatan sebagian besar permukaannya memiliki tingkat

    kecuraman yang terjal dan di beberapa tempat labil. Kabupaten Garut mempunyai ketinggian

    tempat yang bervariasi antara wilayah yang paling rendah yang sejajar dengan permukaan

    laut hingga wilayah tertinggi dipuncak gunung. Wilayah yang berada pada ketinggian 500-

  • 100 m dpl terdapat di kecamatan Pakenjeng dan Pamulihan dan wilayah yang berada pada

    ketinggian 100-1500 m dpl terdapat di kecamatan Cikajang, Pakenjeng-Pamulihan,

    Cisurupan dan Cisewu. Wilayah yang terletak pada ketinggian 100-500 m dpl terdapat di

    kecamatan Cibalong, Cisompet, Cisewu, Cikelet dan Bungbulang serta wilayah yang terletak

    di daratan rendah pada ketinggian kurang dari 100 m dpl terdapat di kecamatan Cibalong dan

    Pameungpeuk.

    Rangkaian pegunungan vulkanik yang mengelilingi dataran antar gunung Garut Utara

    umurnya memiliki lereng dengan kemiringin 30-45% disekitar puncak, 15-30% di bagian

    tengah, dan 10-15% di bagian kaki lereng pegunungan. Lereng gunung tersebut umumnya

    ditutupi vegetasi cukup lebat karena sebagian diantaranya merupakan kawasan konservasi

    alam. Wilayah Kabupaten Garut mempunyai kemiringan lereng yang bervariasi antara 0-

    40%, diantaranya sebesar 71,42% atau 218.924 Ha berada pada tingkat kemiringan antara 8-

    25%. Luas daerah landai dengan tingkat kemiringan dibawah 3% mencapai 29.033 Ha atau

    9,47%; wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 8% mencakup areal seluas 79.214

    Ha atau 25,84%; luas areal dengan tingkat kemiringan sampai 15% mencapai 62.975 Ha atau

    20,55% wilayah dengan tingkat kemiringan sampai dengan 40% mencapai luas areal 7.550

    Ha atau sekitar 2.46%.

    Berdasarkan arah alirannya, sungai-sungai di wilayah Kabupaten Garut dibagi menjadi

    dua daerah aliran sungai (DAS) yaitu Daerah Aliran Utara yang bermuara di Laut Jawa dan

    Daerah Aliran Selatan yang bermuara di Samudera Indonesia. Daerah aliran selatan pada

    umumnya relatif pendek, sempit dan berlembah-lembah dibandingkan dengan daerah aliran

    utara. Daerah aliran utara merupakan DAS Cimanuk Bagian Utara, sedangkan daerah aliran

    selatan merupakan DAS Cikaengan dan Sungai Cilaki. Wilayah Kabupaten Garut terdapat 33

    buah sungai dan 101 anak sungai dengan panjang sungai seluruhnya 1.397,34 km; dimana

    sepanjang 92 Km diantaranya merupakan panjang aliran Sungai Cimanuk dengan 58 buah

    anak sungai.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    3.1 Air Limbah Domestik

    Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha atau kegiatan

    permukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama. Beberapa

    bentuk dari air limbah ini berupa tinja, air seni, limbah kamar mandi, dan juga sisa kegiatan

    dapur rumah tangga.

    Jumlah air limbah yang dibuang akan selalu bertambah dengan meningkatnya jumlah

    penduduk dengan segala kegiatannya. Apabila jumlah air yang dibuang berlebihan melebihi

    dari kemampuan alam untuk menerimanya maka akan terjadi kerusakan lingkungan.

    Lingkungan yang rusak akan menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan manusia yang

    tinggal pada lingkungannya itu sendiri sehingga oleh karenanya perlu dilakukan penanganan

    air limbah yang seksama dan terpadu baik itu dalam penyaluran maupun pengolahannya.

    Menurut Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 122 Tahun

    2005, baku mutu air limbah domestik diatur dalam tabel berikut.

    Tabel 3.1 Baku Mutu Air limbah Domestik

    (sumber: Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 122 Tahun 2005)

    Pada umumnya seluruh limbah domestik dibuang langsung ke dalam badan sungai tanpa

    didahului pengolahan walapun sederhana. Limbah domestik mengandung campuran unsur-

    unsur yang sangat kompleks, sehingga seharusnya limbah diolah terlebih dahulu sebelum

    dibuang ke dalam badan air. Oleh karena itu terdapat regulasi dari pemerintah yang mengatur

  • baku mutu limbah domestik yang boleh dibuang ke badan air agar tidak mencemari dan

    membahayakan lingkungan.

    3.2 Parameter Kualitas Air

    3.2.1 pH (Derajat Keasaman)

    pH merupakan parameter yang menyatakan derajat keasaman air berdasarkan

    banyaknya ion H+ di dalam air tersebut. Persamaan yang menggambarkan nilai pH yang

    dimiliki oleh air adalah pH = -log[H+]

    Berdasarkan persamaan tersebut maka pH air yang tinggi menunjukkan bahwa

    konsentrasi H+ rendah dan air bersifat basa. Sebaliknya, jika konsentrasi H+ tinggi maka pH

    air menjadi rendah dan air bersifat asam. Hal-hal yang menyebabkan air bersifat asam atau

    basa antara lain adalah asam mineral, asam organik, atau garam-garam yang bersifat alkali.

    Besaran pH berkisar dari 0 (sangat asam) sampai dengan 14 (sangat basa). Nilai pH

    yang kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang asam, sedangkan nilai pH di atas 7

    menunjukkan lingkungan yang basa atau alkali. Sedangkan pH = 7 disebut sebagai netral.

    Lakmus adalah suatu kertas dari bahan kimia yang akan berubah warna jika dicelupkan

    ke dalam larutan asam atau basa. Warna yang dihasilkan oleh lakmus dipengaruhi oleh kadar

    pH dalam larutan yang ada.

    Gambar 3.1 Skala pH

    Data pH sangat diperlukan untuk mengetahui apakah air tersebut memenuhi

    persyaratan tertentu. Misalnya untuk air minum, pH yang disyaratkan berkisar antara 6,5-8,5.

    Parameter pH juga berguna untuk air yang akan digunakan sebagai keperluan industri dan

  • pertanian. Dalam proses pengolahan air, pH mempengaruhi efisiensi dari proses yang

    berlangsung, misalnya proses koagulasi dan pengolahan air limbah secara biologis.

    3.2.2 Zat Tersuspensi (TSS)

    Total Suspended Solid (TSS) atau padatan tersuspensi total adalah residu dari padatan

    total yang tertahan oleh saringan dengan ukuran partikel maksimal 2 m atau lebih besar dari

    ukuran partikel koloid. Yang termasuk ke dalam TSS adalah lumpur, tanah liat, logam

    oksida, sulfida, ganggang, bakteri, dan jamur. TSS umumnya dihilangkan melalui proses

    flokulasi dan penyaringan. TSS memberikan kontribusi untuk kekeruhan (turbidity) dengan

    membatasi penetrasi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis tumbuhan dan visibilitas di

    perairan.

    Perbedaan antara padatan tersuspensi total (TSS) dan padatan terlarut total (TDS)

    adalah berdasarkan prosedur penyaringannya. Padatan selalu diukur sebagai berat kering dan

    prosedur pengeringan harus diperhatikan untuk menghindari kesalahan yang disebabkan oleh

    kelembapan yang tertahan atau kehilangan bahan akibat penguapan atau oksidasi.

    Analisis nilai TSS dapat dilakukan dengan cara menyaring hasil uji yang telah

    homogen dengan kertas saring yang telah ditimbang. Residu yang tertahan pada saringan

    dikeringkan sampai mencapai berat konstan pada suhu 103-105C. Kenaikan berat saringan

    mewakili padatan tersuspensi total (TSS). Jika padatan tersuspensi menghambat saringan dan

    memperlambat proses penyaringan maka diameter pori-pori saringan perlu diperbesar atau

    mengurangi volume contoh uji. Untuk memperoleh estimasi TSS, dihitung perbedaan antara

    padatan terlarut total dan padatan total.

    TSS (mg/l) = [(A-B) x 1000] / V

    Keterangan :

    A = Berat kertas saring + residu kering (mg)

    B = Berat kertas saring (mg)

    V = Volume contoh (ml)

    3.2.3 Amonia

    Amonia merupakan senyawa yang terdiri atas unsur nitrogen dan hidrogen yang dikenal

    memiliki bau menyengat yang khas. Molekul amonia terbentuk dari ion nitrogen bermuatan

    negatif dan tiga ion hidrogen bermuatan positif dengan rumus kimia NH3. Amonia dapat

    terjadi secara alami atau diproduksi secara sintetis. Amonia yang terdapat di alam (atmosfer)

  • berasal dari dekomposisi bahan organik. Produksi amonia buatan melibatkan serangkaian

    proses kimia untuk menggabungkan ion nitrogen dan hidrogen. pH amonia berkisar pada

    nilai 11,5 sehingga amonia bersifat basa. Amonia memiliki kemampuan menetralisir asam

    dan saat dilarutkan dalam air akan membentuk ammonium bermuatan positif (NH4+) dan ion

    hidroksida bermuatan negatif (OH-).

    Amonia umum digunakan sebagai bahan pembuat obat-obatan, campuran pembuat

    pupuk untuk menyediakan unsur nitrogen bagi tanaman, dan apabila dilarutkan dalam air

    dapat digunakan untuk membersihkan berbagai perkakas rumah tangga. Amonia dalam

    konsentrasi tinggi bisa menjadi berbahaya apabila terhirup, tertelan, atau tersentuh.

    3.2.4 BOD (Biochemical Oxygen Demand) & COD (Chemical Oxygen Demand)

    BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, terutama

    bakteri, untuk menguraikan senyawa organik. Penguraian senyawa organik oleh

    mikroorganisme dapat diartikan bahwa zat organik sebagai bahan makanan untuk

    mikroorganisme dan diuraikan melalui rangkaian reaksi biokimia yang panjang dan rumit di

    dalam sel. Hasil akhir dari penguraian zat organik tersebut adalah energi untuk kebutuhan

    hidup mikroorganisme sendiri, H2O, gas CO2, dan senyawa lainnya. Dengan demikian,

    pengukuran BOD adalah pengukuran banyaknya zat organik yang dapat diuraikan oleh

    mikroorganisme pada waktu dan temperatur tertentu.

    Hasil pengukuran parameter BOD diperlukan untuk menentukan tingkat pencemaran

    dalam air yang disebabkan oleh zat organik, baik dalam air limbah domestik maupun industri,

    studi dan evaluasi kemampuan badan air dalam proses self purification, dan evaluasi suatu

    sistem pengolahan air dalam menurunkan atau mengolah senyawa organik dalam air limbah.

    Parameter COD digunakan secara luas untuk menentukan tingkat pencemaran oleh

    senyawa organik dari suatu air limbah domestik maupun industri. Definisi COD adalah

    banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik, sehingga dapat

    dikatakan parameter COD sebagai parameter untuk mengetahui konsentrasi senyawa

    organik yang dapat dioksidasi oleh oksidator kuat dalam suasana asam.

    3.2.5 Minyak dan Lemak

    Sumber minyak dan lemak di dalam air dapat berasal dari limbah domestik, industri

    pengolahan daging dan makanan, serta air limbah industri lainnya. Minyak dan lemak

    merupakan senyawa organik yang kurang larut dalam air sehingga adanya senyawa-senyawa

  • minyak dan lemak di dalam air akan cenderung membentuk lapisan yang terpisah di bagian

    atas air dan sebagian lagi membentuk emulsi di dalam air.

    Tingginya kadar minyak dan lemak di dalam air limbah dapat menimbulkan berbagai

    gangguan teknis dalam pengolahan air, misalnya pengolahan air menggunakan trickling filter

    dan activated sludge akan berpengaruh terhadap kinerja dari alat tersebut. Lapisan minyak

    dan lemak di permukaan air juga akan mengganggu transfer oksigen yang sangat dibutuhkan

    oleh biota air dari atmosfer ke dalam air.

    Pengukuran minyak dan lemak merupakan pengukuran senyawa organik dalam air

    yang dapat diekstraksi dengan pelarut organik tertentu, seperti heksana. Dengan demikian,

    senyawa-senyawa hidrokarbon, minyak, lemak, lilin, dan senyawa asam lemak dengan berat

    molekul tinggi dapat larut dalam pelarut organik tersebut.

    3.3 Pengolahan Limbah Domestik

    3.3.1 Pengolahan Pendahuluan (pre treatment)

    Pengolahan pendahuluan bertujuan untuk melindungi unit pengolahan dark kegagalan

    proses dan mengurangi efisiensi yang mungkin terjadi akibat proses awal yang salah.

    Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pengambilan benda terapung dan benda

    mengendap. Setiap sistem pada proses pengolahan limbah cair umumnya memiliki alat

    penyaring awal. Proses penyaringan ini disebut screening yang bertujuan untuk menyaring

    atau menghilangkan sampah/benda padat yang besar agar proses berikutnya dapat lebih

    mudah lagi menanganinya. Dengan hilangnya sampah-sampah padat besar, maka transportasi

    limbah cair tidak akan terganggu. Pengambilan benda terapung dilakukan dengan memasang

    saringan kasar atau dengan menggunakan alat pencacah (communitor) untuk memotong zat

    padat yang terdapat dalam air limbah. Perangkat penyaringan kasar ini biasa disebut dengan

    bar screen atau bar racks. Alat ini biasanya diletakkan pada intake bak penampung limbah

    cair untuk mencegah masuknya material besar. Umumnya jarak antara bar yang tersusun

    pada rack bervariasi antara 20 mm hingga 75 mm. Pada keadaan tertentu digunakan pula

    microstrainer dengan ukuran 15 64 m dengan tujuan untuk menyaring organisme

    plankton. Microstrainer biasa digunakan untuk limbah cair dari reservoir pertama (awal).

    Sedangkan pengambilan benda mengendap digunakan bak penangkap pasir. Untuk

    mengangkat pasir yang mengendap digunakan alat penyedot pasir (grit dragger) atau alat

    pengangkut pasir (macerator).

    Selain penyisihan benda padat, dalam tahap pre treatment juga dilakukan penyisihan

    minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses yang terjadi pada tahapan pengolahan

  • selanjutnya. Minyak dan lemak dapat disisihkan dengan menggunakan unit penyisihan

    minyak dan lemak yaitu grease trap.

    Grease Trap / Penyaring Minyak adalah perangkat yang dirancang untuk mencegat

    minyak sebelum memasuki sistem pembuangan air limbah. Alat ini membantu untuk

    memisahkan minyak dari air, sehingga minyak / lemak tidak menggumpal dan mengeras di

    pipa pembuangan. Lemak pada limbah cair terdiri dalam berbagai bentuk material, seperti

    lemak, malam/lilin, fatic-acid, sabun, mineral-oil, dan materi non volatile lainnya. Lemak

    merupakan senyawa yang seharusnya dapat diuraikan oleh mikroorganisme, namun untuk

    menaikkan efisiensi pengolahan limbah secara biologis lemak dapat disisihkan dengan proses

    fisik terlebih dahulu mengingat karakter fisik lemak memiliki berat jenis yang ringan. Prinsip

    pemisahan grease trap ini memanfaatkan sifat natural lemak/minyak yang memiliki berat

    jenis yang lebih ringan dari pada air, sehingga cenderung mengapung/berada di permukan.

    Prinsip penyisihan lemak melalui grease trap dapat ditunjukan dalam gambar berikut ini.

    Gambar 3.2 Grease Trap

    3.3.2 Pengolahan Pertama (Primary Treatment)

    Yang dilakukan pada tahap ini adalah pengendapan atau pengapungan bahan- bahan

    padat sehingga dapat dihilangkan. Kecepatan pada bak pengendap ini diperlambat untuk

    memberi kesempatan pasir dan bahan organik mengendap.

    1. Bak Sedimentasi

    Bak sedimentasi merupakan bagian sistem pengolahan air limbah domestik yang berfungsi

    untuk menyisihkan suspended solid (50-70%) dan BOD (25-40%). Pada bak sedimentasi

    terjadi proses fisis pemisahan floating material (minyak,lemak, scum dll) dan suspended

    material (secara gravitasi).

  • Gambar 3.3 Bak Sedimentasi

    Selain dengan pengendapan, bisa dilakukan dengan cara pengapungan, yaitu dengan

    menggunakan gelembung gas untuk meningkatkan daya apung campuran. Dengan adanya

    gas ini membuat larutan menjadi kecil sehingga campuran mudah mengapung (Sugiharto

    1987). Pada pengolahan tahap pertama ini terjadi pengurangan BOD 35%, SS berkurang

    sampai 60%. Pengurangan BOD dan SS dapat mengurangi beban pengolahan pada tahap

    selanjutnya.

    2. Tangki Septik

    Tangki septik merupakan suatu ruangan yang terdiri atas beberapa kompartemen yang

    berfungsi sebagai bangunan pengendap untuk menampung kotoran padat agar mengalami

    pengolahan biologis oleh bakteri anaerob dalam jangka waktu tertentu. Untuk mendapat

    proses yang baik, sebuah tangki septik haruslah kedap air (Sugiharto, 1987). Prinsip

    operasional tangki septik adalah pemisahan partikel dan cairan partikel yang mengendap

    (lumpur) dan juga partikel yang mengapung (scum) disisihkan dan diolah dengan proses

    dekompoisisi anaerobik. Pada umumnya bangunan tangki septik dilengkapi dengan sarana

    pengolahan effluen berupa bidang resapan (sumur resapan). Tangki septik dengan

    peresapan merupakan jenis fasilitas pengolahan air limbah rumah tangga yang paling

    banyak digunakan di Indonesia. Pada umumnya diterapkan didaerah permukiman yang

    berpenghasilan menengah ke atas perkotaan serta pelayanan umum. Desain Tangki Septik

    dapat dilihat pada gambar berikut ini.

  • Gambar 3.4 Contoh Desain Tangki Septik

    3. Ekualisasi Tank

    Ekualisasi tank merupakan tangki yang memiliki prinsip meminimkan atau mengontrol

    fluktuasi dari debit limbah agar mendapatkan debit limbah yang konstan. Berikut adalah

    beberapa fungsi dari ekualisasi tank.

    - Meningkatkan proses biologi : mencegah dan mengurangi shock loading,

    mengencerkan substansi inhibitor, menstabilkan pH

    - Meningkatkan kualitas effluen dan kinerja pemekatan dari bak sedimentasi

    - Meningkatkan kinerja filtrasi dan siklus backwash teratur

    - Meningkatkan control umpan dan keandalan proses dalam pengolahan kimia

    Perletakan ekualisasi tank tidak menentu, tergantung kebutuhan dari IPAL yang didesain,

    dapat diletakan sebelum primary treatment dan dapat diletakan setelah secondary

    treatment.

    2.3.3 Pengolahan Kedua (Secondary Treatment)

    Sesudah melewati pengolahan primer, air limbah dialirkan ke pengolahan sekunder.

    Pada pengolahan kedua ini diperkirakan terjadi penurunan kadar BOD dalam rentang 35-

    95%.

    1. Pengolahan dengan Activated Sludge

    Air limbah dialirkan ke tangki aerasi. Di tangki ini air limbah dicampur lumpur yang telah

    diberi udara sehingga bakteri aerobik menjadi aktif. Bakteri ini akan mendekomposisi

    bahan organik dalam air limbah dan menggumpal. Gumpalan ini akan tertinggal di dasar

    tangki sehingga air lapisan atas menjadi jernih. Bakteri memiliki peranan penting pada

    pengolahan dengan metode ini karena mikroorganisme bertanggung jawab untuk

    melakukan proses dekomposisi material organik dalam air limbah.

  • 2. Pengolahan dengan Trickling Filter

    Trickling filter adalah tipe pengolahan dengan biofilter dengan menggunakan prinsip

    attached growth processes yang memanfaatkan mikroorganisme yang menempel pada

    media dan membentuk lapisan film untuk menguraikan zat organik. Konsep trickling filter

    muncul seiring dengan pertumbuhan kontak filter di Inggris diakhir tahun 1890-an.

    Kontak filter didesain sebagai reactor dengan diameter media kecil dan dioperasikan

    dengan mode recycle (Metcalf & Eddy, 2003). Tetapi akibat seringnya reactor ini

    tersumbat, ukuran media yang lebih besar digunakan. Tahun 1950-an, media plastik mulai

    digunakan di AS, yang menyebabkan tinggi filter bertambah dan laju pengolahan

    bertambah. Trickling filter terdiri dari suatu bak dengan media permeable untuk

    pertumbuhan organisme yang tersusun oleh lapisan materi yang kasar, tajam, dan kedap

    air. Prinsip kerja trickling filter adalah mengolah air limbah dengan mekanisme air yang

    jatuh perlahan-lahan melalui lapisa batu kemudia tersaing melalui biofilm yang terbentuk

    pada media, sehingga mikroorganisme dapat menguraikan senyawa organik yang ada pada

    air limbah.

    Trickling filter mempunyai 3 komponen utama, yaitu :

    a. Distributor

    Air limbah didistribusikan pada bagian atas lengan distributor yang dapat berputar

    b. Pengolahan (media trickling filter)

    Sistem pengolahan pada trickling filter terdiri dari suatu bak atau bejana dengan media

    permeable untuk pertumbuhan baktei. Bentuk bejana biasanya bundar uas dengan

    diameter 6-60 meter, dindingya biasaya terbuat dari beton atau bahan lain tetapi tidak

    perlu kedap air. Disepanjang dinding diberi ventilasi dengan maksud terjadi pertukaran

    udara (aerasi) sehingga proses biologis aerobik dapat berlangsung dengan baik. Pada

    beberapa trickling filter, media disusun tanpa dinding jadi tidak diperlukan ventilasi

    tetapi konstruksi seperti ini kurang baik.

    c. Pengumpul

    Filter juga dilengkapi dengan underdrain untuk mengupukan biofim yang mati,

    kemudia diendapkan dalam bak sedimentasi. Bagian cairan yang keluar biasanya

    dikembalikan ke trickling filter sebagai air pengencer air baku yang diolah.

    Faktor-faktor yang berpengaruh pada efisiensi penggunaan trickling filter :

    a. Jenis media

    Bahan untuk media trickling filter harus kuat, keras, tahan tekanan, tahan lama, tidak

    mudah berubah dan mempunyai luas permukaan per unit volume yang tinggi. Bahan

  • yang biasa digunakan adalah kerikil, batu kali, antrasit, batu bara, dan sebagainya.

    Akhir-akhir ini telah digunakan media plastik yang dirancang sedemikian rupa

    sehingga menghasilkan panas yang tinggi.

    b. Diameter media

    Diameter media trickling filter biasanya antara 2,5-7,5 cm. Sebaiknya dihindari

    penggunaan media dengan diameter terlalu kecil karena akan memperbesar

    kemungkinan penyumbatan. Makin luas permukaan media, maka makin banyak pula

    mikroorganisme yang hidup di atasnya.

    c. Ketebalan susunan media

    Ketebalan media trickling filter minimum 1 meter dan maksimum 3-4 meter. Makin

    tinggi ketebalan media, maka akan makin besar pula total luas permukaan yang

    ditumbuhi mikroorganisme sehingga makin banyak pula mikroorganisme yang tumbuh

    menempel di atasnya.

    d. Lama waktu tinggal trickling filter

    Diperlukan lama waktu tinggal yang disebut dengan masa pengkondisian atau

    pendewasaan agar mikroorganisme yang tumbuh di atas permukaan media telah

    tumbuh cukup memadai untuk terselenggaranya proses yang diharapkan. Masa

    pengkondisian atau pendewasaan yang diperlukan berkisar antara 2-6 minggu. Lama

    waktu tinggal ini dimaksudkan agar mikroorganisme dapat menguraikan bahan-bahan

    organik dan tumbuh di permukaan media trickling filter membentuk lapisan biofilm

    atau lapisan berlendir. Penelitian yang dilakukan oleh Arum Siwiendrayanti (2004),

    pertumbuhan mikroorganisme pada media batu kali mulai terbentuk lapisan biofilm

    pada hari ke-3 masa pengkondisian.

    e. pH

    Pertumbuhan mikroorganisme khususnya bakteri, dipengaruhi oleh nilai pH. Agar

    pertumbuhan baik, diusahakan nilai pH mendekati keadaan netral. Nilai pH antara 4-9,5

    dengan nilai pH yang optimum 6,5-7,5 merupakan lingkungan yang sesuai.

    f. Suhu

    Pertumbuhan mikroorganisme juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu yang baik untuk

    pertumbuhan mikroorganisme adalah 25-370C. Selain itu suhu juga mempengaruhi

    kecepatan reaksi dari suatu proses biologis. Bahkan efisiensi dari trickling filter sangat

    dipengaruhi oleh suhu.

  • g. Aerasi

    Agar aerasi berlangsung dengan baik, media trickling filter harus disusun sedemikian

    rupa sehingga memungkinkan masuknya udara ke dalam sistem trickling filter tersebut.

    Ketersediaan udara dalam hal ini adalah oksigen sangat berpengaruh terhadap proses

    penguraian oleh mikroorganisme.

    Gambar 3.5 Desain Trickling Filter

    Adapun prinsip kerja trickling filter adalah air buangan yang diolah dengan trickling

    filter harus terlebih dahulu diendapkan, karena pengendapan dimaksudkan untuk

    mencegah penyumbatan pada distributor dan media filter. Air limbah diteteskan secara

    periodik dan terus-menerus ke atas media trickling filter. Bahan organik yang ada dalam

    air limbah diuraikan oleh mikroorganisme yang menempel pada media filter. Bahan

    organik sebagai substrat yang terlarut dalam air limbah diabsorbsi biofilm atau lapisan

    berlendir dan kemudian dilepaskan sebagai bahan suspensi yang kemudian karena

    massanya lebih berat maka lebih mudah mengendap.

    Bahan organik yang ada dalam limbah cair diuraikan oleh mikroorganisme yang

    menempel pada media filter. Pada bagian luar biofilm, bahan organic diuraikan oleh

    mikroorganisme aerobik. Pertumbuhan mikroorganisme akan mempertebal lapisan biofilm

    (0,1-0,2 mm). Oksigen yang terdifusi dapat dikonsumsi sebelum biofilm mencapai

    ketebalan maksimum. Pada saat mencapai ketebalan penuh, oksigen dapat mencapai

    penetrasi secara penuh, akibatnya bagian dalam atau permukaan media menjadi anaerobik.

    Yang diabsorbsi dapat diuraikan oleh mikroorganisme, namun tidak dapat mencapai

    mikroorganisme yang berada di permukaan media. Dengan kata lain, tidak tersedia bahan

    organik untuk sel karbon pada bagian permukaan media sehingga mikroorganisme pada

  • bagian permukaan akan mengalami fase indigenous (mati). Pada akhirnya,

    mikroorganisme sebagai biofilm tersebut akan lepas dari media. Cairan yang masuk akan

    turut melepas atau mencuci dan mendorong biofilm keluar. Setelah itu lapisan biofilm

    baru akan segera tumbuh. Fenomena lepasnya biofilm dari media disebut juga sloughing.

    Mikroorganisme yang terdapat dalam trickling filter

    Mikroorganisme yang umum didapatkan dalam trickling filter serta turut berperan

    dalam proses penguraian bahan-bahan organik terutama air limbah yang berasal dari

    industri pangan seperti industri tahu adalah bakteri dan mikroalgae. Jamur, protozoa

    dan mikrofauna merupakan tambahan saja.

    Air limbah tahu yang banyak mengandung bahan-bahan organik akan diuraikan

    mikroorganisme dan merangsang pertumbuhan mikroorganisme pada permukaan media

    yang berupa lapisan biofilm.

    Lapisan biofilm terdiri dari bakteri, protozoa dan fungi (antara lain: Zoogloea

    ramiqera, Carchesium dan Opercularia vorticella). Ketika air limbah mengalir melalui

    biofilm tersebut, zat-zat organik yang larut akan segera diuraikan dan zat-zat organik

    koloidal diserap pada permukaan biofilm tersebut. Pada saat itu mikroorganisme akan

    tumbuh secara cepat.

    Pengolahan dengan stabilization ponds (kolam oksidasi)

    Kolam oksidasi merupakan saluran dengan system aliran tertutup, yaitu

    melingkar dengan bentul oval. Kolam ini merupakan modifikasi dari proses Lumpur

    aktif dengan menggunakan teknik yang kebih sederhana sehingga sesuai dengan

    instalasi kecil /sedang (Departemen PU, 1986). Pengolahan limbah dengan kolam

    oksidasi menggunakan sinar matahari dan organisme. Kolam oksidasi terdiri dari

    berbagai macam tipe, ada yang aerobik, anaerobik, dan aerobik-anaerobik.

    Kolam aerobik digunakan untuk pengolahan limbah organik yang dapat larut dan

    enfluen dari pengolahan limbah. Aerobik-anaerobik dalah tipe yang paling sering

    digunakan untuk mengolah limbah domestik dan industri. Biasanya kolam anerobik

    digunakan secara seri dengan kolam aerobik-anaerobik untuk melengkapi pengolahan.

    Pengolahan dengan kolam oksidasi memiliki keuntungan dari segi kontruksi dan biaya

    oprasional yang rendah.

    Selain dengan proses biologis secondary treatment dapat dilakukan dengan

    menggunakan prinsp fisik dan kimia. Pengolahan secondary treatment dengan

  • menggunakan bahan kimia dan fisik secara umum dapat dilakukan dengan cara proses

    koagulasi dan flokulasi

    3.3.4 Pengolahan Ketiga (Tertiary Treatment)

    Pengolahan ini baru dilakukan jika dari pengolahan pertama dan kedua masih terdapat

    zat tertentu yang berbahaya. Pada pengolahan ini ditunjukkan untuk meningkatkan kualitas

    limbah cair sebelum dibuang atau digunakan kembali. Pengolahan tahap ketiga ini untuk

    menghilangkan kandungan BOD, senyawa fosfor dengan bahan kimia sebagai koagulan,

    senyawa nitrogen melalui proses ammonia stripping atau nitrifikasi-denitrifikasi,

    menghilangkan senyawa organik, dan menghilangkan padatan terlarut (Soeparaman, 2001).

    Pengolahan ketiga diantaranya adalah dengan saringan pasir lambat, saringan pasir cepat.

    3.3.5 Pengolahan lumpur

    Lumpur yang dihasilkan dari proses sedimentasi diolah lebih lanjut untuk

    mengurangisebanyak mungkin air yang masih terkandung didalamnya. Proses pengolahan

    lumpur yang bertujuan mengurangi kadar air tersebut disebut dengan pengeringan lumpur.

    Ada empat cara proses pengurangan kadar air, yaitu:

    1. Alamiah

    Pengeringan dengan cara ilmiah dilakukan dengan mengalirkan atau memompa lumpur

    endapan ke sebuah kolam pengering yang memiliki luas permukaan yang besar dengan

    kedalaman sekitar 1 2 m. Proses pengeringan berjalan dengan alamiah, yaitu dengan

    panas matahari dan angin yang bergerak di atas kolam tersebut. Bila lumpur tidak

    mengandung bahan berbahaya, maka kolam pengering lumpur dapat hanya berupa galian

    tanah biasa, sehingga sebagian air akan meresap ke tanah dibawahnya. Tetapi bila lumpur

    mengandung bahan berbahaya (misalnya logam berat dan phenol), maka kolam lumpur

    harus terbuat dari beton dan pada bagian bawah kolam harus mempunyai saluran

    rembesan larutan yang kemudian harus diolah kembali. Cara pengeringan ini tergolong

    mudah dan murah, namun membutuhkan waktu yang lama, serta tidak cocok untuk

    lumpur yang mengandung zat zat berbahaya yang mudah menguap. Secara periodik

    kolam lumpur harus dikeruk untuk memindahkan lumpur kering. Bila lumpur kering

    masih mengandung unsur berbahaya, maka harus ditangani secara khusus, misalnya diolah

    dengan pembakaran insenerator.

  • 2. Pengepresan (tekanan)

    Cara ini dilakukan dengan mengalirkan lumpur diantara dua plat yang berforasi.

    Kemudian dengan sistem rolling kedua plat tersebut bergerak dan menekan lumpur

    ditengahnya. Dengan demikian lumpur seolah terperas dan cairan keluar melalui lubang

    lubang perforasi. Cara pengeringan lumpur ini sungguh efektif dan banyak digunakan

    untuk skala besar. Cairan yang keluar apabila masih mengandung bahan yang berbahaya,

    maka harus diolah lebih lanjut. Pengurangan lumpur dengan cara ini dapat mengurangi

    kadar air dibawah 10%. Cara pengeringan dengan tekanan memang membutuhkan banyak

    energi, namun prosesnya dapat jauh lebih cepat. Bila lumpur kering masih mengandung

    unsur berbahaya, maka harus ditangani secara khusus, misalnya diolah dengan

    pembakaran insenerator.

    3. Gaya sentrifugal

    Prinsip pengeringan lumpur dengan gaya sentrifugal mirip dengan mesin cuci pakaian.

    Namun, hasil lumpur yang sudah melekat dan memadat pada bagian dinding dibawa

    dengan suatu Screw Conveyor yang berputar dan kemudian mengeluarkan lumpur

    keringnya pada bagian sisi yang lain. Pengurangan kadar airnya dapat dilakukan dengan

    skala kecil sampai besar

    4. Pemanasan

    Proses pengeringan lumpur dengan pemanasan biasanya diterapkan pada suatu pabrik

    yang mempunyai panas buang yang cukup tinggi, sehingga panas buang tersebut dapat

    dimanfaatkan secara optimal.

  • BAB IV

    DASAR-DASAR PERENCANAAN

    4.1 Kualitas Air Limbah

    Pada perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ini, air limbah yang akan

    diolah adalah air buangan domestik yang memiliki karekteristik yang tipikal. Parameter-

    parameter utama yang ditinjau adalah zat tersuspensi, ammonia, BOD5, COD, dan minyak

    dan lemak. Pada tabel 4.1 dan 4.2 merupakan tabel konsentrasi pencemar pada air limbah dan

    fluktuasi debitnya :

    Tabel 4.1 Karakteristik Air Buangan Domestik

    No Parameter Satuan Kualitas

    1 pH - 7,8

    2 TSS mg/L 21,2

    3 Ammonia mg/L 80,13

    4 BOD mg/L 204,44

    5 COD mg/L 326

    6 Minyak dan Lemak mg/L 46

    Tabel 4.2 Fluktuasi Debit Air Buangan Domestik

    Waktu % Air Buangan

    00.00-01.00 2.5

    01.00-02.00 2.5

    02.00-03.00 2.5

    03.00-04.00 2.5

    04.00-05.00 3.3

    05.00-06.00 3.79

    06.00-07.00 5.01

    07.00-08.00 5.91

    08.00-09.00 5.91

    09.00-10.00 5.4

  • Waktu % Air Buangan

    10.00-11.00 5.05

    11.00-12.00 4.65

    12.00-13.00 4.65

    13.00-14.00 4.85

    14.00-15.00 4.85

    15.00-16.00 4.85

    16.00-17.00 5.38

    17.00-18.00 6.1

    18.00-19.00 4.32

    19.00-20.00 4.32

    20.00-21.00 3.53

    21.00-22.00 2.93

    22.00-23.00 2.6

    23.00-24.00 2.6

    Debit rata-rata

    (m3/day)

    14.250

    4.2 Kualitas Badan Air Penerima

    Air hasil pengolahan pada akhirnya akan dikembalikan ke badan air penerima. Badan air

    dapat berupa sungai, danau, atau laut. Letak dari badan air penerima sebaiknya dekat dengan

    IPAL dan memiliki elevasi yang lebih rendah dari outlet IPAL agar memungkinkan

    pengaliran secara gravitasi. Adapun kualitas sungai yang akan menjadi badan air penerima

    yakni :

    Tabel 4.3 Kualitas Air Sungai

    No Parameter Satuan Kualitas

    FISIKA

    1 Temperatur Celcius 27.7

    2 Residu terlarut mg/l 143.67

    3 Zat tersuspensi mg/l 15

    4 Kekeruhan NTU NTU -

    6 Kecerahan Cm 135

  • No Parameter Satuan Kualitas

    KIMIA

    1 pH - 7.6

    2 CO2 bebas mg/l 13.2

    3 HCO3 mg/l 129.3

    4 Kesadahan (CaCO3) mg/l 53.4

    5 Sulfida (H2S) mg/l -

    6 Ammonia (NH3) mg/l 0.01

    7 Nitrit (NO2-N) mg/l 0.04

    8 Nitrat(NO3-N) mg/l 1.15

    9 Fosfat (PO4) mg/l 0.22

    11 Oksigen Terlarut mg/l 2.9

    12 COD mg/l 15.42

    13 BOD mg/l 10.87

    16 Besi (Fe) mg/l 0.14

    17 Air Raksa (Hg) 0.54

    18 Nikel (Ni) mg/l 0.03

    19 Tembaga (Cu) mg/l 0.01

    20 Seng (Zn) mg/l 0.02

    22 Kadmium (Cd) mg/l

    23 Timbal (Pb) mg/l 0.0087

    28 Mangan (Mn) mg/l 0.076

    29 Natrium (Na) mg/l 34.33

    BIOLOGI

    1 MPN E.coli JPT/100 240

    2 MPN Coliform JPT/100 460

    Debit

    M3/detik 4.7

    4.3 Penentuan Effluent Standard dan Stream Standard

    Sebagai acuan batas efluen yang boleh dikeluarkan oleh instalasi, digunakan baku mutu

    efluen standar KEPMENLH No. 112 Tahun 2003

    Tabel 4.4 Baku Mutu Efluen Standar Air Buangan Domestik Kepmen LH No.112/2003

  • Parameter Satuan Kadar Maksimum

    pH - 6-9

    BOD mg/L 100

    TSS mg/L 100

    Minyak dan Lemak mg/L 10

    Stream standard ditentukan dari Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001. Nilai stream

    standard yang digunakan berdasarkan baku mutu air sungai kelas IV. Hal ini ada parameter

    yang nilai kualitasnya melewati nilai baku mutu kualitas sungai kelas IV. Berikut adalah

    perbandingan antara data kualitas sungai dengan baku mutu di PP 82 Tahun 2001.

    Tabel 4.4 Perbandingan Kualitas Air Sungai dengan Baku Mutu di PP 82 Thn

    2010

    No. Paramter Satuan Kualitas Kelas

    FISIKA I II III IV

    1 Temperatur Celcius 27.7

    2 Residu terlarut mg/l 143.67

    3 Zat tersuspensi mg/l 15

    4 Kekeruhan NTU NTU -

    6 Kecerahan Cm 135

    KIMIA

    1 pH - 7.6

    2 CO2bebas mg/l 13.2

    3 HCO3 mg/l 129.3

    4 Kesadahan

    (CaCO3) mg/l 53.4

    5 Sulfida (H2S) mg/l -

    6 Ammonia(NH3) mg/l 0.01

    7 Nitrit (NO2-N) mg/l 0.04

    No. Paramter Satuan Kualitas Kelas

    8 Nitrat (NO3-N) mg/l 1.15

    9 Fosfat (PO4) mg/l 0.22

    11 Oksigen Terlarut mg/l 2.9

  • 12 COD mg/l 15.42

    13 BOD mg/l 10.87

    16 Besi (Fe) mg/l 0.14

    17 Air Raksa (Hg) 0.54

    18 Nikel (Ni) mg/l 0.03

    19 Tembaga (Cu) mg/l 0.01

    20 Seng (Zn) mg/l 0.02

    22 Kadmium (Cd) mg/l

    23 Timbal (Pb) mg/l 0.0087

    28 Mangan (Mn) mg/l 0.076

    29 Natrium (Na) mg/l 34.33

    BIOLOGI

    1 MPN E. coli JPT/100 240

    2 MPN Coliform JPT/100 460

    4.4 Perhitungan Bebam Pengolahan

    Tabel 4.5 Beban Pengolahan

    No Parameter Satuan Kualitas Qlimbah

    (m3/dtk)

    Beban

    Pengolahan

    (g/hari)

    1 pH - 7.8

    0.165

    2 TSS mg/L 21.2 0,302

    3 Ammonia mg/L 80.13 1,142

    4 BOD mg/L 204.44 2,914

    5 COD mg/L 326 4,647

    6 Minyak

    dan Lemak mg/L 46

    0,655

    Beban Pengolahan (untuk TSS)

    =

    = 21,1 mg/L x 0,165 m3/detik x 86400 detik/hari / 1000 m3/L / 1000 g/mg = 0,30 g/hari

  • 4.5 Penentuan Efisiensi Pengolahan

    Dalam menghitung efisiensi pengolahan digunakan persamaan sebagai berikut:

    ( )

    Sehingga didapat hasil sebagai berikut

    Tabel 4.6 Efisiensi Pengolahan dengan Baku Mutu Effluent

    No Parameter Satuan Kualitas

    (Ceff)

    Qlimbah

    (m3/dtk)

    Effluent

    Standard

    (Cbm)

    penyisihan

    Efisiensi

    Pengolahan

    (%)

    1 pH - 7,8

    0,16

    2 TSS mg/L 21,2 100

    3 Ammonia mg/L 80,13

    4 BOD mg/L 204,44 100 104,44 51,08

    5 COD mg/L 326

    6 Minyak dan

    Lemak

    mg/L 46

    10 36 78,26

    Tabel 4.7 Efisiensi Pengolahan dengan Baku Mutu Stream

    No Parameter Satuan Kualitas

    (Ceff)

    Kualitas

    Stream

    (Cstream)

    Q

    stream

    (m3/dtk)

    Baku

    mutu

    stream

    (Cbm)

    konsentrasi

    efluen

    maks

    (Cmax)

    penyisihan

    Efisiensi

    Pengolahan

    (%)

    1 pH - 7,8

    4,7

    2 TSS mg/L 21,2 15 400 11371,28

    3 Ammonia mg/L 80,13 0,01 0,5 14,46 65,6 81,95

    4 BOD mg/L 204,44 10,87 12 44,20 160,2 78,37

    5 COD mg/L 326 15,42 100 2510,26

    6 Minyak

    dan

    Lemak

    mg/L 46

    1000 29496,84

    Contoh perhitungan:

    (menggunakan data parameter minyak dan lemak)

  • Konsentrasi baku mutu air sungai berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 : 1000 mg/L

    Konsentrasi baku mutu effluent berdasarkan Kepmen LH No. 112 Tahun 2003 : 10

    mg/L

    Konsentrasi air buangan (influen) (C limbah) : 46 mg/L

    Konsentrasi badan air penerima ( C stream) : 0 mg/L

    Debit air buangan (Q limbah) : 12960 m3/day = 0,165 m3/s

    Debit badan air (Q stream) : 4,7 m3/s

    Debit total (Q total) : 4,865 m3/s

    C effluent yang dapat dikeluarkan untuk memenuhi baku mutu:

    Cmax = ( ) ( )

    C max= ( ) ( )

    Cmax = 29496,84 mg/L

    ( )

    Maka dari hasil perhitungan diatas dapat disimpulkan bahwa jika dibandingkan dengan

    baku mutu efluen, diperlukan unit pengolahan yang memiliki efisiensi 78,26% sehingga

    minyak dan lemak dapat tersisihkan hingga mencapai batas aman.

    Apabila dibandingkan antara beban pengolahan dengan baku mutu effluent atau beban

    pengolah dengan baku mutu stream adalah tergantung hasil perhitungan beban

    pengolahannya, sebab yang kami ambil adalah beban pengolahan tertinggi.

    Untuk parameter PH pada kedua baku mutu tidak terdapat batas maksimum tetapi kami

    akan membuat PH tetap berada range pH normal. Untuk COD juga demikian, tidak ada batas

    maksimum yang diwajibkan tetapi apabila BOD tersisihkan maka COD pun akan ikut

    tersisihkan.

    Sehingga diharapkan unit pengolahan yang terpilih adalah unit pengolah yang dapat

    menurunkan kadar parameter-parameter berikut sesuai dengan efisiensi unit yang diperlukan

    Tabel 4.8 Efisiensi Unit yang Dibutuhkan

    No Parameter Satuan Kualitas Efisiensi

    Penyisihan

    Unit (%)

    1 pH - 7,8

  • 2 TSS mg/L 21,2

    3 Ammonia mg/L 80,13 81,95

    4 BOD mg/L 204,44 78,37

    5 COD mg/L 326

    6 Minyak dan

    Lemak

    mg/L 46

    78,26

    4.6 Analisis Kualitas dan Kuantitas Air Limbah

    Secara keseluruhan, kualitas air limbah yang melebihi baku mutu adalah parameter

    Amonia dan BOD. Besarnya debit air limbah sebanyak 0,165 m3/detik akan mempengaruhi

    kualitas badan air penerima apabila konsentrasi pencemar cukup tinggi. untuk itu besarnya

    debit haruslah diperhitungkan dalam menghitung batas konsentrasi pencemar yang bisa

    masuk ke badan air. berikut ini merupakan analisis pencemar di dalam air limbah untuk

    setiap parameternya.

    a. Zat Tersuspensi

    Nilai konsentrasi konsentrasi zat tersuspensi air limbah yang dihasilkan yaitu 21,2 mg/L.

    apabila dibandingkan dengan Kepmen LH No. 112 Tahun 2003, dimana disebutkan bahwa

    konsentrasi maksimal effluent standard yang boleh dibuang adalah 100 mg/L, maka

    kualitas zat tersuspensi air limbah masih memenuhi baku mutu. Setelah melalui

    perhitungan dengan memperhitungkan debit pun diperoleh nilai effluent maksimal yang

    dibolehkan untuk masuk ke badan air sejumlah 11371,28 mg/L. Sehingga, untuk

    parameter zat tersuspensi tidak perlu ada pengolahan. Zat tersuspensi pada limbah

    domestik bisa dihasilkan dari limbah dapur maupun toilet.

    b. Ammonia

    Kandungan ammonia di dalam air limbah adalah sebesar 80,13 mg/L. Pada baku mutu

    effluent standard berdasarkan Kepmen LJ No.112 Tahun 2003 tidak tercantum batasan

    untuk parameter ammonia, untuk itu perlu dibandingkan dengan parameter lain. Dari hasil

    perhitungan, didapat nilai effluent konsentrasi ammonia maksimal yang boleh dibuang ke

    badan air yaitu 14,46 mg/L. nilai ini berada di bawah nilai ammonia yang dihasilkan,

    sehingga, untuk parameter ammonia perlu ada pengolahan. Ammonia biasanya dihasilkan

    dari urine manusia. Beban pengolahan effluent standard dan stream standard untuk zat

    tersuspensi pun bernilai cukup besar, untuk stream standard yaitu 81,95%.

  • c. BOD

    Nilai kandungan BOD yang dimiliki air limbah adalah 204,44 mg/L. apabila dibandingkan

    dengan Kepmen LH No. 112 Tahun 2003, dimana tercantum bahwa konsentrasi BOD

    maksimal effluent standard yang boleh dibuang adalah 100 mg/L, maka kandungan BOD

    air limbah telah melebihi standar yang diijinkan sehingga memerlukan pengolahan terlebih

    dahulu sebelum dibuang ke badan air. selain dengan Kepmen LH, nilai kandungan ini juga

    perlu dihitung berapa konsentrasi maksimal yang boleh dimasukkan ke badan air dengan

    mempertimbangkan debit, kualitas badan air, debit badan air, dan baku mutu stream.

    Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 nilai konsentrasi maksimum BOD di badan air adalah

    12 mg/L, sedangkan nilai BOD badan air itu sendiri telah mencapai 10,87 mg/L. Dari hasil

    perhitungan, didapat nilai effluent maksimal yang boleh dibuang ke badan air yaitu 44,2

    mg/L, nilai ini jauh di bawah nilai konsentrasi BOD air limbah yang dihasilkan sehingga

    untuk parameter BOD ini sangat dibutuhkan pengolahan. BOD biasa dihasilkan dari

    limbah toilet maupun limbah dapur. Beban pengolahan effluent standard dan stream

    standard untuk zat tersuspensi yaitu, untuk stream standard 78,38%

    d. COD

    Nilai kandungan COD yang dimiliki oleh air limbah adalah sebesar 362 mg/L. Dari hasil

    perhitungan, didapat nilai effluent maksimal yang boleh dibuang ke badan air yaitu

    2510,26 mg/L. Oleh karena itu tidak perlu ada penanganan khusus untuk penyisihan

    COD karena penyisihan BOD pun akan menyisihkan COD secara otomatis. .COD biasa

    dihasilkan dari limbah toilet maupun limbah dapur.

    e. Minyak dan Lemak

    Nilai kandungan minyak dan lemak dari air limbah adalah sebesar 46 mg/L. apabila

    dibadningkan dengan batas effluent standard berdasarkan Kepmen LH No. 112 Tahun

    2003 , dimana tercantum bahwa nilai batas effluent untuk minyak dan lemak adalah 10

    mg/L, maka kandungan air limbah telah melampaui batas. Dari hasil perhitungan, didapat

    nilai effluent maksimal yang boleh dibuang ke badan air yaitu 19486,28 mg/L, nilai ini

    jauh di atas nilai konsentrasi minyak dan lemak air limbah yang dihasilkan yaitu 56 mg/L.

    Meskipun begitu, kandungan minyak dan lemak pada efluen melebihi baku mutu efluen

    standar. sehingga, untuk parameter minyak dan lemak perlu ada pengolahan.

  • BAB V

    ALTERNATIF PROSES PENGOLAHAN

    Dalam menentukan sistem pengolahan yang akan digunakan, terlebih dahulu dilakukan

    pemilihan dari berbagai alternatif sistem pengolahan yang ada untuk mendapatkan sistem

    yang paling sesuai. Untuk melakukan pemilihan sistem pengolahan, pertimbangan-

    pertimbangan yang perlu dilakukan meliputi :

    1. Beban Pengolahan

    Dalam menentukan beban pengolahan, harus dipertimbangkan kualitas dan kuantitas

    influen air buangan. Selain itu juga perlu diketahui kualitas efluen yang ditetapkan.

    Dengan demikian, alternatif sistem pengolahan yang diajukan diperkirakan akan dapat

    memenuhi kualitas pengolaha yang diinginkan.

    2. Efisisensi Pengolahan

    Efisiensi pengolahan bergantung pada kemampuan unit-unit pengolahan dalam

    menyisihkan parameter pencemar berdasarkan baku mutu yang dipakai. Efisiensi

    pengolahan dari beberapa unit yang tersedia biasanya telah diketahu melalu literatur yang

    didapat dari berbagai percobaan dan data-data dari unit pengolahan yang telah ada

    sebelumnya.

    3. Aspek Teknis

    Berdasarkan aspek teknis, hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah topografi wilayah,

    ketersediaan lahan, kemudahan teknis pelaksanaan, dan pengadaan material dalam

    pembangunan instalasi. Selain itu juga dipertimbangkan segi operasionalnya, menyangkut

    ketersediaan tenaga ahli peralatan, kemudahan dalam pengadaan barang-barang penunjang

    operasionalnya dan juga pemeliharaan instalasi.

    4. Aspek Ekonomi

    Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam aspek ekonomi adalah masalah pembiayaan

    untuk konstruksi, operasional dan pemeliharaan. Aspek ini merupakan dasar pertimbangan

    yang sangat penting sehingga sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan pendanaan

    sehingga pembiayaan menjadi efisien.

    5. Aspek Lingkungan

    Adanya pertimbangan terhadap pengaruh keberadaan instalasi pengolahan air buangan

    yang direncanakan terhadap kenyamaan dan kesehatan penduduk di sekitar lokasi. Oleh

    karena itu, pencemaran yang mungkin terjadi harus diminimalisasi sekecil mungkin.

  • Pengolahan air buangan yang akan dilakukan terdiri dari beberapa tahapan, antara lain :

    1. Pengolahan tingkat pertama (Primary Treatment), yaitu pengolahan secara fisik dengan

    tujuan memisahkan bendabenda kasar, material tersuspensi secara gravitasi. Selain itu,

    pengolahan ini bertujuan untuk melindungi unit-unit pengolahan dari material kasar yang

    dapat merusak peralatan serta mengurangi beban pengolahan selanjutnya (Metcalf &

    Eddy, 2003).

    2. Pengolahan tingkat kedua (Secondary Treatment), yaitu pengolahan secara biologis

    maupun kimiawi dengan tujuan untuk menyisihkan material organik terlarut.

    3. Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment), yaitu pengolahan lumpur yang berasal dari unit

    unit pengolahan sebelumnya, bertujuan untuk mengurangi kadar air pada lumpur sehingga

    dapat diperlakukan sebagai buangan padat dengan volume yang lebih kecil dan

    mengurangi tingkat toksisitasnya.

    5.1 Pengolahan Tingkat Pertama (Primary Treatment )

    Unit-unit pengolahan tingkat pertama terdiri dari:

    1. Bar screen adalah rangkaian kisi-kisi besi yang berguna untuk menyisihkan atau

    menyaring material kasar seperti kertas, plastik, atau potongan kayu terapung yang dapat

    mengganggu jalannya proses pengolahan air limbah seperti penyumbatan pada valve dan

    kerusakan pompa. Oleh karena itu, bar screen diletakkan pada awal pengolahan. Bar

    screen yang digunakan dalam perencanaan adalah manually cleaned bar screen. Cara

    pembersihan manual digunakan bagi air limbah dengan volume sampah kasar relatif kecil.

    Untuk air limbah domestik di Kabupaten Bengkulu Utara, digunakan cara manual karena

    ukuran sampah yang relatif kecil dan tidak ada saluran penyaluran air buangan yang

    terbuka.

    2. Grit chamber adalah bak yang berfungsi untuk menyisihkan grit, termasuk di dalamnya

    pasir, kerikil, atau biji-bijian dan material lainnya yang tidak dapat membusuk dan

    mempunyai spesific gravity yang lebih besar dibanding material organik. Material ini

    harus disisihkan untuk melindungi peralatan dari penggerusan dan kerusakan, mencegah

    penyumbatan pada pipa dan pengendapan pada saluran, mencegah timbulnya kerak pada

    dasar sludge digester serta mengurangi akumulasi material inert pada tangki aerasi dan

    sludge digester yang dapat menyebabkan berkurangnya volume dari tangki.

  • Terdapat dua tipe grit chamber, yaitu hoizotal flow velocityr grit chamber dan aerated grit

    chamber. Tipe pertama merupakan bak panjang dengan pengontrolan kecepatan aliran.

    Pengontrolan kecepatan aliran biasanya dipasang pada akhir bak berupa alat ukur parshal

    flume ataupun proportional weir. Sedangkan tipe kedua adalah berupa bak yang

    dilengkapi sistem aerasi (diffused compressed air) sehingga terjadi aliran keluar dari grit

    chamber. Tipe grit chamber yang digunakan adalah tipe horizontal flow velocity

    controlled. Tipe ini dipilih karena biaya operasional dan konstruksinya lebih murah dan

    pengoperasiannya juga lebih mudah. Pengontrol kecepatan yang digunakan adalah

    proportional weir.

    3. Comminutor adalah alat berupa penggiling yang berfungsi memotong material yang masih

    terbawa aliran sehingga berukuran lebih kecil dan atau hancur sama sekali sehingga

    meringankan pengolahan selanjutnya. Comminutor diletakkan sebelum pompa bertujuan

    untuk mengurangi beban pompa dan mencegah kerusakan pompa karena terdapat material

    yang terbawa aliran. Pada perencanaan ini digunakan jenis comminutor dengan spesifikasi

    yang berasal dari pabrik Chicago Pump. Pabrik ini memiliki berbagai jenis comminutor

    sesuai dengan debit yang akan diolah dan ketersediaan comminutor jenis ini di Indonesia.

    4. Bak pengendap berfungsi untuk untuk menyisihkan zat organik tersuspensi dalam air

    buangan. Pada umumnya, bak pengendap dapat menyisihkan 50-70 % TSS dan 30-40 %

    BOD5 (Qasim, 1985) sehingga dapat mengurangi beban pengolahan pada unit selanjutnya.

    Bak pengendap terbagi menjadi tiga tipe yaitu horizontal flow, solid contact, dan inclined

    surface. Bentuk bak yang biasa digunakan adalah rectangular, circular, dan square. Pada

    perencanaan ini digunakan bak pengendap tipe horizontal flow berbentuk persegi panjang.

    Hal ini bertujuan agar partikel yang ada dalam air limbah akan mempunyai waktu

    perjalanan yang lebih lama sehingga memperkecil adanya aliran pendek, memperkecil

    headloss antara inlet dan outlet, konsumsi energi yang relatif kecil.

    5.2 Pengolahan Tingkat Kedua (Secondary Treatment)

    Tiga alternatif proses pengolahan biologi yang diajukan dalam perencanaan ini adalah

    Completely Mixed Activated Sludge (CMAS), Rotating Biological Contactor (RBC), dan

    Aerated Lagoon. Pengajuan ketiga alternatif tersebut berdasarkan pertimbangan-

    pertimbangan sbb :

    1. Efisiensi pengolahan

    Berdasarkan perhitungan tingkat pengolahan IPAL, dibutuhkan tingkat pengolahan IPAL

    secara keseluruhan sebesar (80-85)%.

  • 2. Ketersediaan lahan pada daerah perencanaan

    Lahan yang tersedia di Kabupaten Garut relatif memadai sehingga instalasi dengan lahan

    yang relatif besar tidak menjadi masalah. Selain itu, perlu diperhatikan kesesuaian sistem

    pengolahan dengan kondisi fisik lahan terkait dengan keadaan topografi kota, drainase

    kota, pola perumahan dan sebagainya.

    3. Kemudahan dalam pengoperasian

    Aspek ini menyangkut tentang kemudahan dalam pelaksanaan pemasangan pipa,

    kemudahan dalam penyambungan instalasi, dan yang paling utama adalah kesederhanaan

    dalam pengoperasian dari sistem pengolahan air limbah.

    5.2.1. Completely Mixed Activated Sludge

    Completely Mixed Activated Sludge (CMAS) merupakan salah satu modifikasi dari

    proses lumpur aktif. Air buangan terlebih dahulu harus melalui bak pengendap pertama

    sebelum memasuki tangki aerasi. Influen dari bak pengendap pertama ini dimasukkan ke

    dalam suatu sistem inlet sehingga beban pengolahan dapat tersebar merata keseluruh tangki

    aerasi. Dengan cara ini diharapkan rasio antara substrat dan mikroorganisme cukup seimbang

    sehingga memungkinkan terjadinya adsorbsi material organik terlarut dalam biomassa

    dengan cepat.

    Proses selanjutnya adalah proses dekomposisi materi biodegradable secara aerob.

    Waktu detensi hidrolis dalam bak aerasi yang direncanakan harus mencukupi untuk

    terjadinya dekomposisi aerob yaitu sekitar 4 sampai 36 jam dan biasanya 4 sampai 8 jam

    untuk air buangan domestik (Reynolds, 1982). Peralatan yang banyak digunakan untuk aerasi

    adalah mekanikal aerator karena menghasilkan pengadukan yang lebih baik. Aliran

    resirkulasi yang biasa digunakan sebesar 35%-100% dari aliran influen. Kelebihan dan

    kekurangan dari unit perngolahan ini dapat dilihat pada tabel 5.1.

    Tabel 5.1. Kelebihan dan Kekurangan CMAS

    Alternatif Pengolahan Kelebihan Kekurangan

    CMAS

    Sumber : Metcalf & Eddy,

    1. Tahan terhadap shock

    loading

    1. Lumpur yang sulit

    mengendap karena

  • 2003

    2. Mampu mengolah air

    buangan dengan

    konsentrasi yang tinggi

    atau yang mengandung

    zat toksik karena

    kondisi tangki yang

    homogen

    3. Pengoperasian

    sederhana

    4. Proses yang umum dan

    sudah terbukti

    5. Mudah beradaptasi

    dengan berbagai jenis

    air buangan

    6. Kebutuhan oksigen

    seragam

    7. Desain relatif tidak

    kompleks

    8. Sesuai untuk semua

    jenis peralatan aerasi

    terbentuk bulking

    sludge akibat asimilasi

    organisme filamentous

    2. F/M rendah

    5.2.2 Rotating Biological Contactor

    Rotating Biological Contacor (RBC) atau Cakram Biologi merupakan reaktor

    pertumbuhan melekat (Bioreaktor Film Tetap) yang dipergunakan untuk penyisihan bahan

    organik terlarut. Unit ini terdiri dari cakram berbentuk circular yang secara seri dipasang

    berdekatan dan terbuat dari polystyrene atau polyvinyl chloride. Cakram ini terhubung dengan

    horizontal shaft dan memiliki ukuran standar yaitu diameter 3.5 m dan panjang 7.5 m.

    Sebagian dari unit ini terendam (umumnya 40 %) dalam tangki yang berisi air buangan dan

    cakram berputar dengan kecepatan sekitar 11.6 rpm (Metcalf & Eddy, 2003).

    Air buangan akan teradsorbsi pada biological film yang tumbuh pada cakram dan

    mengubah bahan organik yang terlarut dalam air buangan menjadi energi dan selsel selama

    cakram berputar. Air buangan dan udara dapat melalui kisi-kisi pada cakram sehingga terjadi

    transfer oksigen ke dalam film dan terjadi bio-oksidasi pada biological film. Pertumbuhan

  • mikroorganisme yang berlebih akan mengakibatkan mikroorganisme tidak terlekat. Oleh

    karena itu, dibutuhkan secondary clarifier. Beberapa pertimbangan dalam mendesain RBC

    antara lain kecepatan cakram berputar, staging, kriteria beban, waktu retensi air buangan,

    karakteristik efluen, temperatur, dan desain secondary clarifier. Kelebihan dan kekurangan

    dari unit perngolahan ini dapat dilihat pada tabel 5.2.

    Tabel 5.2. Kelebihan dan Kekurangan RBC

    Alternatif Pengolahan Kelebihan Kekurangan

    RBC

    Sumber : Qasim, 1985

    1. Waktu kontak yang

    relatif pendek karena

    memiliki luas

    permukaan aktif yang

    besar

    2. Dapat digunakan untuk

    debit yang bervariasi

    dengan range < 1 MGD

    s.d. 100 MGD

    3. Lahan yang dibutuhkan

    relatif kecil

    4. Tingkat efisiensi yang

    dapat mencapai 95%

    dengan menggunakan

    beberapa stage

    5. Tidak memerlukan

    resirkulasi

    6. Kuantitas lumpur lebih

    kecil, sehingga biaya

    pengolahan lumpur

    lebih murah

    7. Kebutuhan energi

    rendah

    8. Stabilitas proses lebih

    1. Beban organik yang

    tinggi mungkin

    mengakibatkan

    timbulnya kondisi

    septik pada stage

    pertama, sehingga

    diperlukan

    penambahan aerasi

    2. Dapat terjadi clogging

    3. Sensitif terhadap

    temperatur

    4. Biaya konstruksi tinggi

    dan sulit mendapatkan

    pengganti jika ada unit

    yang rusak

    5. Rentan terhadap

    penambahan beban

    organik sehingga

    penggunaan bak

    pengendap pada

    pengolahan

    pendahuluan perlu

    dipertimbangkan

  • besar

    9. Beban organik lebih

    tinggi

    5.2.3 Aerated Lagoon

    Aerated lagoon merupakan reaktor pertumbuhan tersuspensi tanpa resirkulasi lumpur

    dengan variasi kedalaman 2-5 m. Aerator mekanis umumnya digunakan untuk pengadukan

    dan suplai kebutuhan oksigen. Unit ini memiliki waktu detensi yang panjang (2-6 hari),

    sehingga sejumlah proses nitrifikasi dapat tercapai. Terdapat dua jenis dasar dari kolam

    aerasi:

    1. Kolam Aerobik

    Kolam aerobik dirancang dengan level daya ( level power ) cukup tinggi untuk

    mempertahankan semua padatan (solid ) dalam kolam tetap tersuspensi dan juga untuk

    membagikan oksigen terlarut di seluruh volume cairan sehingga oksigen terlarut dan

    padatan tersuspensi terdistribusi merata pada kolam. Efisiensi penyisihan BOD pada

    kolam ini tidak terlalu tinggi karena semua padatan tetap tertahan dalam suspensi, efluen

    dari suatu kolam aerobik akan mempunyai konsentrasi padatan yang jauh lebih tinggi

    daripada efluen dari kolam fakultatif. Hal ini membutuhkan suatu tahap pemisahan

    padatan-cairan setelah proses aerobik jika suatu efluen kualitas tinggi akan dicapai.

    Kolam Aerobik biasanya beroperasi pada rasio F/M yang tinggi atau waktu detensi

    lumpur yang pendek ( sistem kecepatan tinggi ). Sistem ini mencapai stabilisasi organik

    yang kecil karena lebih menekankan konversi material organik terlarut menjadi material

    organik seluler. Semua padatan (solid) dipertahankan dalam keadaan tersuspensi sehingga

    waktu detensi dalam kolam aerobik yang diperlukan untuk pemisahan BOD terlarut akan

    lebih kecil daripada waktu detensi yang diperlukan untuk kolam fakultatif (Kormanik,

    1972). Akan tetapi, kebutuhan energi untuk pengadukan dalam kolam aerobik akan jauh

    lebih besar daripada kebutuhan daya dalam kolam fakultatif.

    2. Kolam Fakultatif

    Kolam fakultatif sejenis dengan kolam untuk stabilisasi air buangan, kecuali suplai

    oksigen pada kolam fakultatif berasal dari aerator mekanis dan bukan berasal dari

    fotosintesis alga. Kolam fakultatif dirancang dengan level daya hanya cukup untuk

    mempertahankan oksigen terlarut di seluruh volume cairan. Dalam hal ini, sebagian besar

    padatan (solid) dalam kolam tidak dipertahankan dalam keadaan tersuspensi, tetapi

    mengendap pada dasar kolam yang dalam hal ini padatan tersebut didekomposisikan

  • secara anaerobik. Oleh karena itu, aktivitas yang terjadi pada kolam sebagian aerobik dan

    sebagian anaerobik. Waktu detensi lumpur pada kolam fakultatif relatif lebih lama (sistem

    kecepatan rendah) dan terjadi stabilisasi organik.

    Kelebihan dari kolam ini, seperti pada tabel 5.3. adalah sederhana dalam

    pengoperasian dan penyisihan BOD tinggi. Waktu detensi kolam tergantung pada

    besarnya pemisahan BOD dan temperatur, yaitu berkisar 2-6 hari. Penyisihan bahan

    organik terlarut akan sangat baik jika waktu detensi hidrolis yang diaplikasikan cukup

    panjang.

    Tabel 5.3. Kelebihan dan Kekurangan Aerated Lagoon

    Alternatif Pengolahan Kelebihan Kekurangan

    Aerated Lagoon

    Sumber : Barnhart, 1972 ;

    Randall, 1980

    1. Mudah dalam operasi

    dan pemeliharaan.

    2. Ekualisasi air limbah.

    3. Suatu kapasitas yang

    tinggi dalam

    pemborosan panas

    bilamana dibutuhkan.

    1. Kebutuhan lahan yang

    besar.

    2. Kesulitan untuk

    modifikasi proses.

    3. Konsentrasi padatan

    tersuspensi effluen

    tinggi.

    4. Sensitifitas proses

    terhadap variasi suhu

    udara embien

    5.3 Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)

    Sebagai tahap akhir dari proses pengolahan air buangan ini dilakukan pengolahan

    terhadap lumpur yang timbul dari unitunit pengolahan sebelumnya. Lumpur dapat dibagi

    menjadi 2 jenis lumpur, yaitu lumpur primer dan lumpur sekunder. Lumpur primer berasal

    dari solid yang diendapkan di bak pengendap pertama atau pengolahan tingkat pertama

    sedangkan lumpur sekunder dapat berasal dari proses biologi atau kimia sebagai pengolahan

    tingkat kedua.

    Proses pengolahan lumpur meliputi proses pengentalan (thickening), stabilisasi

    (stabilization atau digestion), pengeringan (dewatering), dan pembuangan (disposal).

    Thickening digunakan untuk meningkatkan kandungan solid di dalam lumpur dengan

  • menyisihkan fase liquidnya. Kelebihan dari proses thickening antara lain meningkatkan

    proses stabilisasi dan mengurangi biaya kapital untuk proses stabilisasi, mengurangi volume

    lumpur untuk tempat pembuangan lumpur, serta proses dewatering akan lebih ekonomis.

    Stabilisasi lumpur adalah untuk merduksi mikroorganisme patogen dan menghilangkan bau.

    Proses ini banyak diterapkan untuk lumpur biologi atau bila lumpur akan diaplikasikan ke

    tanah. Dewatering bertujuan untuk menurunkan kandungan air dari lumpur. Berikut beberapa

    alternatif metode pengolahan lumpur:

    1. Thickening

    a. Gravity Thickening

    b. Dissolved Air Flotation (DAF)

    c. Centrifugation

    2. Digestion

    a. Aerobic Digestion

    b. Anaerobic Disestion

    c. Proses lain, seperti Chemical Oxidation, Lime Stabilization, dan Heat Treatment

    3. Dewatering

    a. Drying Beds

    b. Drying Lagoons

    c. Centrifugal Dewatering

    d. Vacuum Filter

    e. Plate and Frame Filter Press

    f. Belt Filter Press

    Unit pengolahan lumpur yang digunakan adalah gravity thickener sebagai unit

    pengentalan lumpur dan sludge drying bed sebagai unit pengeringan lumpur.

    5.3.1 Gravity Thickener

    Bentuk geometri pada gravity thickener hampir sama dengan bentuk geometri yang

    dipergunakan pada clarifier. Solids yang masuk ke dalam thickener akan terbagi dalam tiga

    zona yaitu zona clear water, zona sedimentasi, dan zona thickening. Pada zona thickening

    terjadi sludge blanket dimana massa lumpur tertekan oleh massa yang diatasnya yang akan

    terus bertambah.

    Pada perencanaan ini digunakan gravity thickener karena unit ini cocok untuk

    diterapkan pada instalasi berukuran kecil-sedang, dengan solid capture 85-92 %. Supernatan

  • dari gravity thickener diresirkulasikan ke tangki aerasi dalam proses CMAS sedangkan

    thickened sludge akan diolah pada sludge drying bed.

    5.3.2 Sludge Drying Bed

    Sludge drying bed merupakan salah satu fasilitas pengeringan lumpur yang cukup

    banyak digunakan. Pada pengoperasiannya, lumpur diletakkan di atas bed dengan ketebalan

    lapisan lumpur (200 300) mm lalu dibiarkan mengering. Sebagian air yang terkandung di

    dalam lumpur akan mengalir melalui pori pori bed dan sebagian lagi akan menguap. Untuk

    menampung air yang mengalir ke bawah ini dibuat suatu sistem drainase lateral dengan

    menggunakan pipa berpori (berlubang). Lumpur yang telah mengering pada bagian atas bed

    disisihkan dan dapat dibuang ke landfill ataupun dapat juga digunakan sebagai penyubur

    tanah.

    Pada perencanaan ini, digunakan sludge drying bed sebagai unit dewatering karena unit

    ini cocok diterapkan untuk pengolahan lumpur dengan kuantitas kecil apabila tersedia lahan

    yang cukup luas (Qasim, 1985). Keuntungan penggunaan sludge drying bed adalah biaya

    investasi yang kecil, tidak memerlukan perhatian khusus dalam pengoperasiannya dan

    konsentrasi solild yang tinggi pada lumpurnya.

    5.4 Diagram Alir Tiga Alternatif

    Diagram alir masing-masing alternatif dapat dilihat pada gambar 5.1, gambar 5.2 dan

    gambar 5.3.

    Gamber 5.1. Alternatif I : Diagram Alir Menggunakan Complete Mixed Activated

    Sludge (CMAS)

  • Gamber 5.2. Alternatif II : Diagram Alir Menggunakan Rotating Biological

    Contactor (RBC)

    Gamber 5.3. Alternatif III : Diagram Alir Menggunakan Aerated Lagoon

    5.5 Metode Pemilihan

    Pemilihan alternatif pengolahan akan dilakukan berdasarkan aspek teknis dan ekonomis.

    Untuk aspek teknis, pemilihan akan dilakukan dengan teknik pembobotan. Pertimbangan

    ekonomi merupakan pertimbangan terakhir untuk menentukan proses pengolahan yang akan

    dipilih karena faktor ekonomi memberikan pengaruh yang besar terhadap pemilihan

    alternatif yang akan dibangun dalam suatu proyek.

    Dalam perencanaan sistem pengolahan air limbah Kabupaten Garut, terdapat 3 buah

    alternatif yang mungkin untuk diterapkan, yaitu : Alternatif 1 (Complete Mixed Activated

    Sludge); Alternatif 2 (Rotating Biological Contactor); dan Alternatif 3 (Aerated Lagoon).

  • Langkah-langkah berdasarkan metode pembobotan :

    1. Menentukan faktor-faktor/ parameter penting dalam menunjang terwujudnya sistem

    2. Membandingkan nilai kepentingan, satu parameter terhadap parameter lainnya. Skor 1

    untuk prioritas terbaik, skor 2 untuk prioritas baik dan skor 3 untuk prioritas cukup baik.

    3. Menjumlahkan nilai kepentingan

    4. Total nilai keuntungan dan kepentingan teknis bagi setiap alternatif. Alternatif yang

    memperoleh nilai terkecil dipertimbangkan untuk dipilih.

    Pemilihan alternatif pengolahan pada IPAL yang akan direncanakan seperti yang telah

    disebutkan di atas (metode pembobotan). Berikut tabel 5.4. menampilkan perbandingan

    antara ketiga alternatif pengolahan untuk memudahkan dalam penentuan alternatif terpilih :

    Tabel 5.4. Pembobotan Tiga Alternatif Yang Diusulkan

    Parameter CMAS RBC Aerated Lagoon

    Efisiensi Pengolahan

    BOD5

    85-95% 80-85% 90%

    Kebutuhan Lahan 2 3 1

    Operasi dan

    Pemeliharaan

    1 2 3

    Biaya Operasional 1 2 3

    Kebutuhan Energi 1 2 3

    Bau 3 2 1

    Tenaga Operasional Memerlukan

    tenaga kerja

    terlatih

    Memerlukan

    tenaga kerja

    terlatih

    Tidak memerlukan

    tenaga kerja terlatih

    Kemudahan dalam

    Modifikasi dan

    Pengembangan

    3 2 1

    Estimasi Biaya 1 3 2

    Pembobotan 12 16 14

    Keterangan :

    Skor 1 menunjukkan prioritas terbaik

  • Skor 2 menunujukkan prioritas baik

    Skor 3 menunjukkan prioritas cukup baik

    Ketiga alternatif proses pengolahan yang diajukan diatas dianggap telah memenuhi

    pertimbangan lain diantaranya adalah :

    Keberadaannya tidak memberikan pengaruh buruk terhadap lingkungan sekitarnya.

    Tersedianya lahan dan material pada saat pembangunan instalasi.

    Tersedianya tenaga ahli, operator, dan peralatan untuk pengoperasian dan

    pemeliharaan.

    Dari hasil perhitungan diatas, tabel 5.4. menunjukkan bahwa alternatif pertama

    yang menggunakan proses Completely Mixed Activated Sludge merupakan alternatif

    yang memiliki estimasi nilai pembobotan terkecil, sehingga dipilih sebagai alternatif

    pengolahan dengan digram alir seperti pada gambar 5.1.

  • BAB VI

    DETAIL DIMENSI UNIT-UNIT PENGOLAHAN

    6.1 Umum

    Pada perencanaan ini, system pengolhan yang digunakan adalah Completely Mixed

    Aerated Sludge. Dari ketiga alternative yang diberikan, system inilah yang memenuhi

    persyaratan teknik dan ekonomi. Unit-unit yang digunakan pada system ini antara lain:

    - Pengolahan tingkat pertama: Bak equaliasasi dan bak pengendap pertama

    - Pengolahan tingkat kedua: Tanki aerasi dan clarifier

    - Pengolahan lumpur: Gravity thickener dan Sludge drying bed

    6.2 Pengolahan Tingkat Pertama

    Gamber 6.1. Alternatif I : Diagram Alir Menggunakan Complete Mixed Activated

    Sludge (CMAS)

    6.2.1 Bar Screen

    Bar screen merupakan unit pengolahan tingkat pertama yang memiliki fungus sebagai

    penyisih materi-materi kasar yang terbawa dalam sistem penyaluran. Penyisihan materi-

    materi ini dilakukan secara mekanis.

    A. Kriteria Desain

  • Berikut adalah beberapa kriteria desain yang akan dijadikan acuan untuk perancangan bar

    screen:

    Tabel 6.1 Kriteria Desain Bar Screen

    Parameter Simbol Satuan Besaran Sumber

    Kecepatan saluran penyaring V m/det >0,6 Qasim, 1985

    Kecepatan melalui bar screen vbar

    m/det 0,6 1 Qasim, 1985

    Head loss maksimum hL m 0,8 Qasim, 1985

    Kemiringan dari horizontal 60 85 Qasim, 1985

    Batang: Lebar

    Space

    Kedalaman

    W cm 0,8 1,0 Qasim, 1985

    B cm 1,0 5,0 Qasim, 1985

    D cm 5,0 7,5 Qasim, 1985

    (Sumber: Abfertiawan)

    Tabel 6.1 Faktor Batang Unit Bar Screen

    No Jenis Bar

    1 Sharp-edged rectangular 2,42

    2 Rectangular with semicircular upstream face 1,83

    3 Circular 1,79

    4 Rectangular with semicircular upstream and

    down stream face 1,67

    5 Tear shape 0,76

    Tabel 6.3 Parameter Untuk Bar Screen

    Parameter

    U.S Unit SI Unit

    Unit Cleaning Method

    Unit Cleaning Method

    Manual Mechanical Manual Mechanical

    Bar size

    Width in 0.2 0.6 0.2 0.6 mm 5 15 5 15

    Depth in 1 1.5 1 1.5 mm 25 38 25 38

    Clear spacing

    between bars in 1 2 0.6 3 mm 25 50 15 75

  • Slope from

    vertical - 30 45 0 30 - 30 45 0 30

    Approach velocity

    Maximum ft/s 1 2 2 3,25 m/s 0.3 0.6 0.6 1

    Minimum ft/s 1 1,6 m/s 0.3 0.5

    Max headloss In 6 6-24 mm 150 150 600

    B. Persamaan-persamaan yang Digunakan

    Persamaan yang digunakan pada perencanaan bar screen diantaranya:

    ( )

    (

    )

    Dimana:

    hL = head loss di rack (m)

    vbar = kecepatan aliran melalui bar screen (m/det)

    v2 = kecepatan aliran di saluran (m/det)

    g = percepatan gravitasi (m/det)

    = faktor tingkat pada bentuk batang

    w = lebar batang (m)

    b = bukaan (m)

    hv = velocity head aliran, mendekati bars (m)

    = sudut bar dengan horizontal ()

    C. Data Perencanaan

    Berikut ini adalah data-data yang akan digunakan sebagai data awal dalam merencanakan

    unit bar screen

    Tabel 6.4 Data Perencanaan Unit Bar Screen

    Parameter Simbol Satuan Besaran

    Debit

    Minimum Qmin

    m3/det

    0,082

    Rata-rata Qr 0,165

    Maksimum Qmaks 0,247

    Bukaan (jarak antar batang) b cm 3

  • Kecepatan melalui bar

    screen (bersih) Vbar m/det 0,8

    Kemiringan batang 75

    Diameter batang cm 1

    Konstanta untuk lingkaran - 1,67

    Freeboard

    cm 20

    Kedalaman aliran pada bar

    screen d m 0,5

    Kecepatan melalui bar

    screen (clogging) vv m/det 0,4

    D. Perhitungan Desain Bar Screen

    Jumlah bar screen yang akan dibuat adalah sebanyak 2 unit mechanical bar screen dan

    beroperasi pada kondisi maksimum.

    Debit masing-masing bar screen

    Luat total bukaan batang

    Lebar bersih bukaan (Lebar tanpa bar)

    Jumlah space kosong

    Jumlah batang

    Lebar bukaan total saringan

    ( ) ( )

    Lebar total bangunan saringan

    ( ) ( )

    Panjang saringan yang terendam air

  • Efisiensi bar screen

    Head Loss Bersih

    ( )

    ( )

    (

    )

    (

    )

    (

    )

    Head Loss saat 50% Clogging

    (

    )

    (

    )

    6.2.2 Grit Chamber

    A. Umum

    Jenis grit chamber yang akan direncanakan adalah grit chamber aliran horizontal dengan

    kontrol kecepatan yang baik berupa bak pengendap panjang dan sempit. Grit chamber

    aliran horizontal didesain untuk mencapai kecepatan pengaliran sekitar 0.3 m/s dan waktu

    yang cukup untuk mengendapkan partikel grit di dasar saluran.

    B. Kriteria Desain

    Kriteria desain untuk grit chamber dapat dilihat pada Tabel 6.5

    Tabel 6.5 Kriteria Desain Grit Chamber

    Parameter Simbol Satuan Besaran Sumber

    Waktu detensi td detik 45-90 Metcalf & Eddy

    Kecepatan horizontal vh m/detik 0,24-0,4 Edward JM

    Kecepatan mengendap

    Diameter 0.2 mm

    Diameter 0.15 mm

    ft/min

    3,2-4,2

    2-3

    Metcalf & Eddy

  • Spesific gravity grit gs 1,5-2,7 Qasim

    Spesific gravity material

    organik

    1,02 Qasim

    Overflow rate debit maks OR m3/m

    2/det 0,021-0,023 Tom D Reynold

    Jumlah grit yang

    disisihkan

    m3/10

    6/m

    3 5-200 Qasim

    Headloss melalu grit hl % 30-40 Qasim

    Jumlah bak minimal unit 2 Kawamura

    C. Rumus yang Digunakan

    Overflow rate (OR) = 900 x Vsettling

    Dimana, OR = overflow rate, gal/hari/ft3

    Vsettling = kecapata mengendap, inchi/menit

    (

    )

    Dimana, hl = headloss melalui grit chamber, m

    V = kecepatan pada saluran grit chamber, m/detik

    n = koefisien Manning

    R = jari-jari hidrolis

    L = panjang saluran grit chamber, m

    D. Data Perencanaan

    Data perencanaan dapat dilihat pada tabel 6.6

    Tabel 6.6 Data Perencanaan Unit Grit Chamber

    Parameter Simbol Satuan Besaran

    Debit minimum Qmin 0,082465 m3/detik

    Debit rata-rata Qrata 0,164931 m3/detik

    Debit maksimum Qmax 0,247396 m3/detik

    Diameter pasir kecil 0,2 mm

    Kecepatan mengendap Vs 50,4 inchi/menit

  • Volume pasir Vp 0,05 m3/1000 m3 air buangan

    Jumlah bak grit 2

    Waktu detensi td 50 s

    Kecepatan horizontal Vh 0,3 m/s

    Kecepatan mengendap Vs 0,021336 m/s

    Koefisien manning n 0,013

    Hl di proporsional weir % 35

    (%tinggi muka air maks)

    Jumlah grit yang

    disisihkan Vp 0,05 m3/1000 m

    3 air buangan

    E. Perhitungan

    1. Demensi Grit Chamber

    Direncanakan terdapat dua unit grit chamber yang akan bekerja pada kondisi

    maksimum. Setiap unit akan diberikan pintu air (gate) yang akan berfungsi untuk

    mengatur jumlah unit yang dioperasikan sesuai dengan kondisi debit. Pada kondisi

    minimum hanya akan dioperasikan oleh satu unit.

    Dengan asumsi kecepatan pengendapan (vs) partikel untuk diameter 0,2 mm

    adalah 4,2 ft/menit ` 50,4 inchi/menit maka kondisi maksimum diperhitungkan sebagai

    berikut:

    a. Overflow rate (OR) = 900 x vs = 900 x 50,4 inchi/menit = 45360 gpd/ft3

    = 0,02142 m3/m

    2 detik

    b. Luas permukaan bak (Asurface) = Qmax / OR

    Asurface =

    c. Luas penampang melintang (Across) = Q / vhorizontal

    Across =

    d. Volume bak (V)

    V = 0,247/2

    e. Tinggi muka air di bak pada saat maksimum (d)

    d =

    f. Lebar bak (w)

  • w =

    g. Panjang (p)

    p =

    2. Kontrol Desain Perhitungan

    Volume bak pada saat debit maksimum diperiksa ulang dengan pengkondisian

    panjang (p), lebar (w) dan tinggi bak (d) sebagai berikut:

    Volume (V) = p x w x d = 9,6 m x 0,40 m x 1,1 m = 4,224 m3 ; dengan waktu detensi

    (td) = volume / (Q maks/2) = 34,15 detik ;

    OR = (Qmaks/2)/ Asurface =

    Nilai OR memenuhi.

    Profil hidrolis dari masing-masing debit diperiksa untuk mengetahi keceparan aliran

    horizontalnya (vh), seperti pada tabel 6.7

    Tabel 6.7 Profil Hidrolis Grit Chamber

    Debit

    Satuan Qmin Qrata-rata Qmax

    m3/s 0,082465 0,164930556 0,24739583

    Volume terisi (td=50 s) m3 2,061632 4,123263889 6,18489583

    Level air (pxl=14*0,6) m 0,245432 0,490864749 0,73629712

    Kecepatan (dxw=1*0,6) m/s 0,137442 0,274884259 0,41232639

    Kecepatan ketika debit minumum sekitar 0,0824 m3/s masih memiliki laju

    kecepatan horizontal berada dibawah 0,24 m/s sehingga diperlukan pengkondisian

    untuk mencegah terjadinya aliran balik dan/ berhenti sementara. Sedangkan ketika debit

    rata-rata dan maksimum. Kecepatan horizontal ma