keefektifan terapi tambahan asam folat dan · pdf filesehingga penulis bisa menyusun tugas...
TRANSCRIPT
KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN B12 DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA KRONIK
DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Dokter Spesialis Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa
Oleh :
Betty Hidayati
Pembimbing :
Prof. Dr. Moh Fanani, dr., Sp.KJ(K)
dr. Djoko Soewito, Sp.KJ
dr. Rohmaningtyas, Sp.KJ. M.Kes
dr. Adriesti Herdaetha, Sp.KJ. MH
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
1
2
3
KATA PENGANTAR
Assalamu'alaikumWr. Wb.
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkah, rahmat,
taufiq, hidayah dan `inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul
“KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN B12
DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA KRONIK DI
RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA.”
Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis memperoleh bantuan dan sumbangan
dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. dr. Aris Sudiyanto, SpKJ(K), selaku Ketua Program Studi PPDS-I
Psikiatri FK UNS-RSUD dr. Moewardi Surakarta yang telah membimbing dan
memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis ini.
2. Prof. Dr. dr. M. Syamsulhadi, SpKJ(K), selaku Guru Besar yang telah memberi
kemudahan, dan bimbingan, dorongan, pengarahan, dukungan baik moril
maupun materiil sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
3. Prof. Dr. dr. M. Fanani, SpKJ(K), selaku Guru Besar dan pembimbing yang
telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
4. Prof. dr. Ibrahim Nuhriawangsa, SpKJ (K), SpS, selaku Guru Besar yang telah
4
memberi kemudahan, dan bimbingan, dorongan, pengarahan, dukungan baik
moril maupun materiil sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
5. dr. Djoko Suwito, SpKJ, selaku Kepala KSM Psikiatri RSUD Dr. Mowardi
Surakarta, Pembimbing Akademik dan pembimbing tesis yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
6. dr. IGB Indro Nugroho, SpKJ, selaku Sekretaris Program Studi PPDS-I Psikiatri
FK UNS-RSUD dr. Moewardi Surakarta yang telah memberikan dorongan,
semangat dalam penulisan tesis ini.
7. dr. Rohmaningtyas HS, SpKJ., M.Kes, selaku pembimbing yang telah
membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
8. dr. Adriesti Herdaetha, SpKJ., MH, selaku pembimbing yang telah membimbing
dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
9. Seluruh Staf Pengajar Psikiatri FK UNS / RSUD Dr. Moewardi : dr. Yusvick M.
Hadin, SpKJ, dr. Mardiatmi Susilohati, SpKJ(K), dr. Debree Septiawan, SpKJ,
M.Kes., dr. IstarYuliadi, MSi, FIAS, dan Dra. Hj. Machmuroh, Msi, yang telah
memberi dorongan, membimbing, dan memberikan bantuan dalam segala bentuk
sehingga penulis bisa menyusun tugas penelitian akhir ini.
10. Seluruh Staf Pengajar RSJD dr. Arif Zainudin : dr. Rh. Budhi Muljanto, SpKJ,
dr. A. Ama, Sp.KJ, dr. Maria Rini I., SpKJ. M.Kes., dr. Wahyu Nur Ambarwati,
SpKJ, dr. Setyowati Raharjo, Sp.KJ., M.Kes, dr. Aliyah Himawari, Sp.KJ, dan
dr. Agung Priatmaja, Sp.KJ, yang telah memberi dorongan, membimbing, dan
memberikan bantuan dalam segala bentuk sehingga penulis bisa menyusun tugas
5
penelitian akhir ini.
11. Seluruh rekan residen PPDS-I Psikiatri FK-UNS Surakarta, yang telah
membantu sesuai kemampuan masing- masing, baik moril maupun materiil.
12. Sifa Abdullah, SE dan Mahendra, SH selaku tim administrasi KSM - PPDS-I
Psikiatri FK UNS – RSUD Dr. Moewardi Surakarta atas segala bantuannya.
13. Kepada orang-orang tercinta, ayah, ibu, suami, anak, kakak, adik, yang telah
bersabar dan berkorban sehingga penulis tetap mampu menjalani pendidikan
program spesialisasi ini dengan baik.
14. Kepada siapapun yang tidak kami sebut satu per satu yang telah membantu dan
mendukung penyelesaian tesis ini.Semoga amal kebaikannya tersebut
mendapatkan imbalan dari Allah SWT.
Walaupun disadari dalam tesis ini masih banyak kekurangan, namun diharapkan
tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan Psikiatri.
Wabilahittaufiq walhidayah, Wassalamu`alaikumWr. Wb.
Surakarta, November 2016
Penulis
6
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
Tesis berjudul “KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN
VITAMIN B12 DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA
KRONIK DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA” ini adalah benar-benar karya
saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan
oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis
digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan dan
daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya
bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
(Permendiknas No. 17, tahun 2010).
Surakarta, Oktober 2016
Mahasiswa
Betty Hidayati
S571108009
7
Betty Hidayati, S571108009. KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN B12 DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA KRONIK DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA. TESIS. Pembimbing I : Prof. Dr. dr. Moh Fanani, SpKJ(K); Pembimbing II : dr. Djoko Suwito, SpKJ. Pembimbing III : dr. Rohmaningtyas HS, Sp.KJ., M.Kes; Pembimbing IV : dr. Adriesti Herdaetha, Sp.KJ., MH. Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
ABSTRAK
Latar Belakang: Pasien skizofrenia mempunyai kadar asam folat dan B12 yang rendah. Defisiensi asam folat maupun vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan neurologis dan psikiatris. Suplementasi asam folat dan vitamin B12 dapat memberikan manfaat terapeutik melalui mekanisme yang berbeda dari rejimen pengobatan saat ini.
Tujuan: Mengetahui efektifitas terapi tambahan asam folat dan vitamin B12dalam memperbaiki skor PANSS pasien skizofrenia kronis.
Metode: Studi ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan randomized controlled trial, double-blind, pre-post test design .
Hasil: Padakelompok intervensi didapatkan perbaikan skor PANSS yang signifikan pada subskala gejala positif (p=0,01), gejala negatif (p=0,004), psikopatologi umum (p=0,01) dan PANSS total (p=0,014). Hasil analisis ONE-WAY ANAVA didapatkan adanya penurunan yang signifikan (p=0,000) pada keempat subskala tersebut.
Simpulan: Penambahan asam folat dan vitamin B12 sebagai adjuvan pada terapi antipsikotik standar efektif dalam menurunkan skor PANNS pada pasien skizofrenia kronis.
Kata kunci: asam folat, vitamin B12, skor PANSS, skizofrenia
8
Betty Hidayati, S571108009. THE EFFECTIVENESS OF FOLIC ACID AND VITAMIN B12 ADJUVANT THERAPY IN IMPROVING CHRONIC SCHIZOPHRENIA PATIENT’S PANSS SCORE IN dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA. TESIS. Advisor I: Prof. Dr. dr. Moh. Fanani, SpKJ(K); advisor II: dr. DjokoSuwito, SpKJ. Advisor III : dr. Rohmaningtyas HS, SpKJ., M.Kes; Advisor IV: dr. AdriestiHerdaetha, SpKJ., MH. Program PendidikanDokterSpesialisKedokteranJiwa Medical Faculty of SebelasMaret University Surakarta
ABSTRACT
Background: Schizophrenia patients have low folic acid and vitamin B12 levels. Folic acid and vitamin B12 deficienciesmay lead to neurologic and psychiatric impairment. Folic acid and vitamin B12 supplementation could bring therapeutic advantage through different mechanism from current-therapeutic regimen.
Specific Aim:Investigatethe efficacy of folic acid and vitamin B12 as an adjunctive therapy in addition to improve chronic schizophrenia patient’s PANSS score.
Method: The study design is an experimental study with randomized controlled trial, double-blind, pre-post test design.
Result: The intervention group had significant PANSS score improvementin positive symptoms (p = 0,01), negative symptoms (p = 0,004), general psychopathologies (p = 0,01) and PANSS total score (p = 0,014) subscales. ONE-WAY ANAVA statistic analysis result shows significant reduction in all four subscales (p = 0,000).
Conclusion: Adding folic acid and vitamin B12 as adjuvant therapy with standard antipsychotic medication effective in reducing chronic schizophrenia patient’s PANSS score.
Keywords: folic acid, vitamin B12, PANSS score, schizophrenia
9
DAFTARISI
HALAMAN JUDUL
.................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN
...................................................................................................ii
KATA PENGANTAR
.............................................................................................................iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
..........................................................................................vi
ABSTRAK BAHASA INDONESIA
......................................................................................vii
ABSTRAK BAHASA INGGRIS
..........................................................................................viii
DAFTAR ISI
........................................................................................................................ix
DAFTAR SINGKATAN
......................................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR
10
.............................................................................................................xiv
DAFTAR TABEL
..................................................................................................................xv
DAFTAR GRAFIK
................................................................................................................xvi
DAFTAR LAMPIRAN
.........................................................................................................xvii
BAB I
A. Latar Belakang Masalah
..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah
........................................................................................................4
C. Tujuan Penelitian
.........................................................................................................5
D. Manfaat Penelitian
........................................................................................................5
E. Orisinalitas Penelitian
..................................................................................................5
BAB II
A. Kajian Teori
11
1. Skizofrenia
.............................................................................................................8
2. Etiologi Skizofrenia
...............................................................................................9
3. Patogenesis Skizofrenia
........................................................................................10
4. Vitamin B12
4.1 Deskripsi
.......................................................................................................14
4.2 Sumber Vitamin B12
.......................................................................................15
4.3 Fungsi Vitamin B12
........................................................................................15
4.4 Kebutuhan Harian Vitamin B12
.....................................................................15
4.5 Defisiensi Vitamin B12
..................................................................................16
4.6 Efek Samping Kelebihan Vitamin B12
...........................................................17
4.7 Dosis Vitamin B12
.........................................................................................18
4.8 Interaksi Obat
12
................................................................................................19
4.9 Sediaan
...........................................................................................................21
5. Asam folat
5.1. Definisi Asam Folat
......................................................................................22
5.2. Sumber Asam Folat
.......................................................................................22
5.3. Fungsi Asam Folat
........................................................................................23
5.4. Kebutuhan Harian Asam Folat
.....................................................................23
5.5. Efek Samping Asam Folat
............................................................................23
5.6. Dosis Asam Folat
.........................................................................................24
5.7. Sediaan Asam Folat
......................................................................................24
6. Instrumen PANSS
...............................................................................................24
6.1. Skor PANSS
.................................................................................................25
13
6.2. Presentase perubahan total skor PANSS
.......................................................26
7. Biomekanik Asam Folat dan Vitamin B12 pada Neuropsikiatri
.........................26
8. Level Hemosistein yang tinggi pada Skizofrenia
................................................28
9. Status Folat dan Vitamin B12 pada Pasien Skizofrenia
........................................29
10. Peran Asam Folat dan B12 pada Pasien Skizofrenia
.............................................31
B. Kerangka Pikir
............................................................................................................33
C. Hipotesis
....................................................................................................................34
BAB III
A. Jenis Penelitian
...........................................................................................................35
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
......................................................................................35
C. Subjek Penelitian
.......................................................................................................35
D. Teknik Penetapan Sampel
14
..........................................................................................36
E. Besar Sampel
..............................................................................................................36
F. Identifikasi Variabel
...................................................................................................37
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
....................................................................37
H. Instrument Penelitian
..................................................................................................37
I. Prosedur Penelitian
.....................................................................................................37
J. Alur Prosedur Penelitian
.............................................................................................38
K. Teknik Analisis Data
.................................................................................................39
L. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
.....................................................................................39
BAB IV HASIL PENELITIAN
.............................................................................................40
BAB V PEMBAHASAN
.......................................................................................................48
15
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
..............................................................................................................53
B. SARAN
.....................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................................54
LAMPIRAN
..........................................................................................................................59
16
DAFTAR SINGKATAN
AIMS : Abnormal Involuntary Movement Scale BHMT : Betaine–Homocysteine Methyltransferase BPRS : Brief Psychiatric Rating Scale
CBS : Cystathionine B-Synthase
COMT : Catechol-O-Methyltransferase
DHF : Dihydrofolate
DNA :Deoxyribonucleic Acid
Dnmt-1 : DNA methyltransferase-1
GCPII : Glutamate Carboksipeptidase II
GNMT : Glycine N-Methyltransferase
GRD : Gastroesophageal Reflux Disease
Hcy : Homosisteine
IL -6 : Inter Leukine
MAT : Methionine Adenosyltransferase
MMA : Metyl Maloic Acid
MRI : Magnetic Resonance Imaging
MS : Methionine Synthase
MSR : Methionine Synthase Reductase
MTHF : Methyltetrahydrofolate
MTHFR : Methylenetetrahydrofolate Reductase
NFα : Tumor Necroting Factor α
NMDA : N-Metil D-Aspartate
NTD : Neural Tube Deffect
OTC : Over The Counter
PANSS : the Possitive and Negative Symptom Scale PEMT : Phosphatidylethanolamine
PPI : Proton Pump Inhibitors
RBC : Red Blood Cell
RCT : Randomized Control Trial
RSJD : Rumah Sakit Jiwa Daerah
SAH : S-adenosylhomocysteine
SAHH : SAH hydrolase
SAM : S-adenosylmethionine
SANS : Scale for Assessment of Negative Symptoms SHMT : Serine Hydroxymethyltransferase
THF : Tetrahydrofolate
17
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Metabolisme hubungan antara folat, vitamin B12dan metabolisme asam
amino sulfur .............................................................................................................27
18
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Karakteristik demografi subyek penelitian................................................40
Tabel 4.2. Nilai rata-rata (mean ) skor PANNS pretest pada kelompok intervensi dan
kontrol..............................................................................................................................42
Tabel 4.3. Nilai rata-rata (mean ) skor PANNS postest pada kelompok intervensi dan
kontrol..............................................................................................................................44
Tabel 4.4. Nilai rata-rata (mean ) selisih skor PANNS pretest-postest pada kelompok
intervensi dan kontrol......................................................................................................45
19
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1. Nilai rata-rata (mean ) skor PANNS pretest pada kelompok intervensi dan
kontrol
.............................................................................................................................................
.....43
Grafik 4.2. Nilai rata-rata (mean ) skor PANNS postest pada kelompok intervensi dan
kontrol
.............................................................................................................................................
.....44
Grafik 4.3. Penurunan nilai rata-rata skor PANNS total dan subskala antara pretest dan
posttest pada kelompok intervensi
.........................................................................................46
Grafik 4.4. Penurunan nilai rata-rata skor PANNS total dan subskala antara pretest dan
posttest pada kelompok kontrol
..............................................................................................47
20
21
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penjelasan penelitian
.........................................................................................59
Lampiran 2. Persetujuan penelitian
........................................................................................60
Lampiran 3. Data peserta penelitian
......................................................................................61
Lampiran 4. INTERRATER
...................................................................................................62
Lampiran 5. PANSS Versi Bahasa Indonesia
.........................................................................64
Lampiran 6. Ethical Clearance
...................................................................................... ........67
22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat dengan tanda dan gejala yang
beraneka ragam, baik dalam derajat maupun jenisnya. Perjalanan gangguan ini
sering kali kronik dan berulang (Sadock et.al., 2009). Menurut penelitian di
berbagai negara, prevalensinya pada populasi umum berkisar 1% (Howes and
Murray, 2014). Di Indonesia angka kejadian skizofrenia mencapai 1,7 per 1000
penduduk Indonesia atau sekitar 400.000 orang. Gangguan jiwa berat terbanyak di
DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah (Depkes, 2014).
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental paling misterius (van Os
and Kapur, 2009). Sejak didefinisikan oleh Eugene Bleuler, skizofrenia telah
mengalami perkembangan baik dalam hal pengenalan, diagnosis dan terapi
(Tandon et.al., 2010). Banyak hipotesis dikemukakan untuk menjelaskan etiologi
skizofrenia. Namun sampai saat ini, berbagai teori dan hipotesis tentang
skizofrenia masih belum memberikan hasil yang memuaskan ( Pino et.al., 2014).
Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa metabolisme folat yang
menyimpang berkontribusi terhadap patogenesis skizofrenia. Skizofrenia adalah
suatu penyakit kejiwaan yang kompleks, hasil dari beberapa faktor genetik dan
23
lingkungan. Sebuah studi oleh Silver (2000) pada 644 pasien psikotik yang
dirawat melaporkan bahwa 78.3% dari pasien penderita skizofrenia memiliki
defisiensi vitamin B12. Beberapa studi dengan jelas menunjukkan kontribusi asam
folat, vitamin B12 dan homosistein pada perubahan metabolisme karbon tunggal
dan perannya dalam psikopatofisologi skizofrenia. Serum dan RBC (Red Blood
Cell ) folat pada pasien penderita skizofrenia secara signifikan lebih rendah
daripada kelompok kontrol (Ahmad, 2011).
Fava (2009) menyebutkan hasil penelitian kadar Serum TNFα (Tumor
Necroting Factor α ), IL -6 (Inter Leukin ), B12, homosistein, folat dan folat sel darah
merah (RBC ) serta genotipe MTHFR (Metthylene Tetra Hydrofolate Reductase )
pada kelompok pasien penderita skizofrenia dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Level RBC folat berkurang sementara konsentrasi homosistein dan sitokin
meningkat dua kali pada seluruh pasien skizofrenia dibandingkan kelompok
kontrol.
Wang et.al. tahun 2016 melakukan penelitian metaanalasis mengenai
hubungan antara serum folat dan risiko skizofrenia. Penelitian menggunakan data
PubMed , Embase , dan Web of Science . Hasil metanalisis menunjukkan adanya
hubungan antara serum folat dan risiko skizofrenia yang signifikan dengan model
penelitian random (p=0.001, I ²=90.3). Penelitian menunjukkan bahwa penurunan
serum asam folat berhubungan dengan faktor risiko skizofrenia (p=0.001) dan
dengan kekuatan statistik 100%.
24
Folat dan vitamin B12 dibutuhkan pada metilasi homosistein menjadi
metionin maupun sintesis SAM (S-adenosylmethionine) . S-adenosylmethionine
terlibat dalam berbagai reaksi metilasi melibatkan protein, fosfolipid, DNA
( deoxyribonucleic acid) , dan metabolisme neurotransmiter. Baik defisiensi asam
folat maupun vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan neurologis dan psikiatris.
Teori menyatakan bahwa cacat dalam proses metilasi merupakan dasar biokimia
utama neuropsychiatry akibat defisiensi vitamin ini. Defisiensi folat secara
spesifik mempengaruhi metabolisme pusat monoamin dan memperburuk
gangguan psikiatri (Maria, 2009). Tingginya kadar homosistein dalam darah telah
dikaitkan dengan beberapa gangguan psikiatri dan neurodegeneratif termasuk
depresi, skizofrenia, penyakit Alzheimer, dan penyakit Parkinson (Bottiglieri,
2009) yang terkait dengan defisiensi folat dan vitamin B12 (Maria, 2009).
Saat ini Indonesia menghadapi berbagai masalah gizi. Salah satu masalah
gizi yang dihadapi adalah masalah gizi mikro dan perilaku masyarakat yang
belum mendukung kesehatan, gizi, sanitasi, higine dan pola pengasuhan
(KemenPPN/Bappenas, 2015). Dimana asam folat dan vitamin B12 merupakan
salah satu jenis mikronutrien. Faktor yang mempengaruhi masalah gizi antara lain
adalah ketahanan pangan tingkat rumah tangga, kemiskinan serta kebiasaan
makan dan perilaku hidup sehat (UNICEF, 1998).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah
penduduk miskin sebesar ± 28,01 juta orang (10,86 persen) pada Maret 2016.
Sebagian besar penduduk miskin lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total
25
jumlah penduduk miskin 14,97 juta jiwa atau 56,81% dari total penduduk miskin
Indonesia. Rata-rata tingkat kemiskinan Provinsi Jawa Tengah merupakan yang
paling tinggi dibanding provinsi lain di pulau jawa yaitu sebesar 4,506 juta jiwa
atau sebesar 13,27% (BPS, 2016).
Menurut studi yang dilakukan oleh Hudson (2005) tahun 1994-2000 di
Massachusetts terdapat korelasi negatif yang kuat antara status sosial ekonomi
dengan gangguan jiwa. Orang dengan skizofrenia cenderung berasal dari kalangan
sosial ekonomi rendah (Eaten et.al., 2004; Byrne et.al., 2004). Akan tetapi masih
belum jelas apakah faktor ini berkontribusi terhadap etiologi atau apakah faktor
ini merupakan akibat kemunduran sosial akibat gejala prodormal (Croudace et.al.,
2000). Level status sosial ekonomi seseorang saat lahir dihubungkan dengan
peningkatan risiko skizofrenia (Werner et.al., 2007).
Penderita skizofrenia rata-rata mempunyai gaya hidup yang buruk,
sedentary life style , kurangnya aktivitas fisik, dan asupan makanan yang buruk.
Sebagian dari faktor gaya hidup dipengaruhi oleh aspek-aspek dari gangguan
seperti gejala negatif, dan kerentanan terhadap stres (De Hert et.al., 2009).
Banyak peneliti telah mengaitkan skizofrenia dengan defisiensi vitamin,
baik setelah diagnosis atau selama perkembangan prenatal. Suplementasi vitamin
dapat memberikan manfaat terapeutik melalui mekanisme yang berbeda dari
rejimen pengobatan saat ini, yang berfokus terutama pada monoamine dan
histamin (Brown and Roffman, 2015). Penelitian manfaat terapi tambahan asam
26
folat dan vitamin B12 pada pasien skizofrenia kronis bersamaan terapi
risperidon-clorpomazin belum dilakukan. Hal ini menjadi pertimbangan penulis
untuk melakukan penelitian efektifitas pemberian terapi tambahan asam folat dan
vitamin B12.
B. Rumusan Masalah
Apakah pemberian terapi tambahan asam folat dan vitamin B12 pada pasien
skizofrenia kronis efektif memperbaiki skor PANSS (the Possitive and Negative
Symptom Scale) ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas terapi tambahan
asam folat dan vitamin B12 dalam memperbaiki skor PANSS pasien skizofrenia
kronis.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah pengetahuan tentang manfaat pemberian terapi tambahan
asam folat dan vitamin B12 pada penatalaksanaan pasien skizofrenia.
b. Menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya tentang pemberian terapi
tambahan asam folat dan vitamin B12 pada penatalaksanaan pasien
skizofrenia.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai usulan standar terapi dalam
27
penatalaksanaan pasien skizofrenia.
b. Sebagai masukan/wacana khususnya bagi dokter/ tenaga medis di bidang
ilmu kedokteran jiwa dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia.
E. Orisinalitas Penelitian
Berikut ini disampaikan beberapa penelitian sebelumnya :
No.
Peneliti, Tahun;
Populasi
Judul Desaign Subjek Hasil Perbedaan dengan studi
yang dilakukan Penulis
1 Roffman et.al., 2013; Amerika Serikat
A Randomized Multi-Center Investigation of Folate Plus B12 Supplementation in Schizophrenia
Parallel-group, randomized, double-blind, placebo-controlled clinical trial
140 Pemberian tambahan asam folat dan vitamin b12 secara signifikan memperbaiki gejala positif, gejala negatif dan semua gejala dibandingkan placebo
Populasi di Amerika Serikat, Instrumen PANSS, SANS (Scale for Assessment of Negative Symptoms )
2 Levine et.al., 2006; Israel
Homocysteine-reducing strategies improve symptoms in chronic schizophrenic patients with hyperhomocysteinemia
a randomized, double-blind, placebo-controlled, crossover design.
42 Gejala klinis skizofrenia menurun secara signifikan dibandingkan plasebo diukur dengan PANSS
Populasi di Israel, Instruen PANSS, AIMS (Abnormal Involuntary Movement Scale ) Suplemen asam folat, vitamin B12 dan vitamin B6
Dari beberapa penelitian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan beberapa
28
perbedaan penelitian diatas dengan studi kami :
1. Perbedaan dengan penelitian oleh Roffman et.al., 2013, lokasi penelitian
tersebut di Amerika Serikat. Instrumen yang digunakan PANSS, SANS,
dengan jumlah subjek 140. Perbedaan lokasi memungkinkan adanya
perbedaan budaya, gaya hidup, dan perekonomian.
2. Perbedaan dengan penelitian oleh Levine et.al., 2006, lokasi penelitian di
Israel. Instrumen yang digunakan PANSS dan AIMS. Jumlah subjek studi 42
subjek. Perbedaan metode penelitian, dimana Levine menggunakan metode
crossover design . Terapi tambahan yang diberikan tidak hanya asam folat dan
vitamin B12, akan tetapi diberikan juga vitamin B6. Perbedaan lokasi
memungkinkan ada perbedaan budaya, gaya hidup, dan perekonomian.
Perbedaan terapi tambahan asam folat, vitamin B12 dan vitamin B6
memungkinkan perbedaan hasil studi.
Maka, dapat penulis sampaikan simpulan perbedaan dengan studi oleh
penulis yang menjadi landasan orisinalitas studi penulis, bahwa studi dilakukan di
kota Solo, subjek studi adalah pasien rawat inap RSJD (Rumah Sakit Jiwa
Daerah) dr. Arif Zainudin. Perbedaan dengan studi sebelumnya, bahwa ada
perbedaan lokai studi, dengan perbedaan iklim, cuaca, perbedaan perekonomian,
perbedaan genetik, perbedaan kultur budaya, karena kultur budaya banyak
berpengaruh terhadap timbulnya gangguan jiwa.
29
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Skizofrenia
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada
persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock dkk., 2003). Gangguan ini di
karakteristikkan dengan simptom positif atau negatif dan sering dihubungkan
dengan kemunduran penderita dalam menjalankan fungsinya sehari-hari (Sinaga,
2007).
Terdapat beberapa macam pembagian fase skizofrenia. Diantaranya
berdasarkan lamanya pasien skizofrenia mengalami gangguan tersebut.
Skozofrenia subkronis mengacu pada waktu seseorang pertama mulai
menunjukkan tanda-tanda skizofrenia. Fase ini biasanya berlangsung selama 6
bulan dan tidak lebih dari 2 tahun. Skizofrenia kronis mengacu pada suatu
penyakit yang telah hadir selama minimal 2 tahun. Skizofrenia akut mengacu
pada kemunculan kembali atau intensifikasi gejala psikotik pada orang yang
sebelumnya tidak memiliki gejala atau gejala yang tidak berubah untuk sejumlah
besar waktu (APA, 2005).
30
2. Etiologi Skizofrenia
Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum
diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan
dalam menganalisis penyebab skizofrenia, antara lain :
2.1. Faktor Genetik
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang
disebut quantitative trait loci . Skizofrenia yang paling sering kita lihat
mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang
berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada
gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini
(dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia
semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang
memiliki penyakit ini (Barlow, 2007).
2.2. Faktor Biokimia
Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang
disebut neurotransmiter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan
neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan
bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmiter dopamine yang
berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang
abnormal terhadap dopamin. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas
31
dopamin yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa
neurotransmiter lain seperti serotonin dan norepinefrin tampaknya juga
memainkan peranan (Durand, 2007).
2.3. Faktor Psikologis dan Sosial
Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin
lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan
orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga
(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).
Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga
mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah schizophregenic
mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang
memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi
penyebab skizofrenia pada anak-anaknya. Keluarga pada masa kanak-kanak
memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua
terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan
anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan
tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang
dibutuhkannya.
3. Patogenesis Skizofrenia
3.1. Skizofrenia dan Dopamin
Semua jenis obat antipsikotik yang tersedia dapat mengurangi gejala
32
skizofrenia dengan menurunkan neurotransmiter dopaminergik. Turunnya
neurotransmiter dopaminergik mengurangi gejala dari pasien dengan
skizofrenia dan meningkatkan kemampuan persepsi mereka. Pasien yang
diterapi dengan obat-obat tersebut secara terus menerus menunjukkan
penurunan munculnya halusinasi dan waham, pasien juga lebih baik dalam
mengatur perilakunya.
Teori dopamin pada skizofrenia masih mempunyai beberapa kekurangan.
Pertama blokade pada neurotransmiter dopaminergik tidak sepenuhnya
mengurangi gejala skizofrenia. Kedua, meskipun gejala positif skizofrenia
berkurang ketika neurotransmiter dopaminergik diturunkan dengan obat
antipsikotik, level metabolit dopamin dan reseptor dopamin ketika diukur
sebelum dan setelah pengobatan masih dalam batas harga normal. Ketiga,
peranan dopamin bagi otak lebih komplek daripada pergantian secara
sederhana dari gejala psikotik. Selama periode psikotik akut, banyak orang
yang menderita skizofrenia nampak menunjukkan perangsangan reseptor
dopamin yang berlebihan di ganglia basalis, yang diukur dengan penggunaan
ligan radioaktif dari single-photon-emission yang tertomografi.
Bagaimanapun juga, penurunan aktivitas dopaminergik pada korteks serebral
pada lobus frontal dapat menjadi satu faktor konstribusi dalam penanganan
gangguan kognitif yang sering ditemukan pada pasien yang menderita
skizofrenia. Oleh karena itu, investigasi pada patofisiologi skizofrenia
mengembangkan lebih jauh lagi mengenai dopamin, para peniliti menggali
33
lebih dalam mengenai pengobatan farmakologi dari skizofrenia, yang tidak
mengabaikan dopamin sebagai target, telah memperluas bidang penyelidikan
mereka termasuk neurotransmiter yang lain.
Tidak ada lesi tunggal yang dapat menyebabkan skizofrenia. Tapi,
adanya peran dari faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi fungsi
dan perkembangan dari otak yang juga dapat menyebabkan skizofrenia.
Penghambatan interneuron biasanya terjadi, hal ini dapat ditunjukan dengan
adanya penurunan jumlah dari neurotranmiter, pengeluaran enzim yang
mensintesis penghambat neurotransmitter γ-asam aminobutrat yang menurun,
penurunan pengeluaran dari neuropeptide seperti kolesistokinin dan
somatostatin yang dilepaskan selama neurotransmisi, dan pengurangan
migrasi neuron ke korteks dari lapisan white mater otak. Sebagai tambahan
pada perubahan spesifik pada interneuron, terdapat pengurangan secara
umum dari neuropil kortikal, seperti dendrit dan akson yang mengubungkan
neuron, menggambarkan proses kerusakan pada piramidal maupun
penghambat neuron menjadi bentuk penghubung sinapsis. Pada beberapa area
dalam otak, terjadi berkurangnya jumlah total neuron secara nyata.
3.2. Penemuan Neuropatologi
Penemuan secara neuropatologi, Magnetic Resonance Imaging (MRI)
menunjukan adanya pembesaran ventrikel dan penurunan volume dari
beberapa bagian otak, termasuk didalamnya hipokampus dan korteks
temporosuperior. Dengan menganalisis hasil dari MRI dapat dikatakan bahwa
34
terjadi penurunan bagian neuronal baik pada hipokampus maupun pada
korteks prefrontal, yang diindikasikan dengan level neuronal asam amino
N-asetilaspartat. Meskipun terjadi penurunan dari jaringan otak, pencitraan
otak secara fungsional dengan tomografi emisi-positron dan MRI fungsional
menunjukan adanya hiperaktivitas pada hipokampus dan korteks prefrontal
lateral dorsal, mungkin seterusnya dikuti dengan kehilangan penghambat
fungsi neuron (Oliver, 2014).
3.3. Temuan genetika pada skizofrenia
Perbedaan temuan neurobiologi pada skizofrenia terbayang dengan
adanya keberagaman dari temuan genetik. Temuan genetik secara
epidemiologi, seperti adanya indeks besar yang berkaitan dengan skizofrenia
antara kembar monozigot dan kembar dizigot dan insidensi tinggi dari
penyakit pada anak yang diadopsi yang mana ibu biologisnya mengidap
skizofrenia, terdapat risiko sebesar 70%. Walaupun demikian, skizofrenia
tidak terlihat sebagai monogen, dan terdapat sejumlah lokus kromosom yang
nantinya akan bekaitan terhadap penyakit yang telah bereplikasi.
Polimorfisme nukleotid tunggal berhubungan dengan skizofrenia, yang
beberapa telah menunjukan adanya penurunan fungsi neural, telah ditemukan
dalam gen dengan lokus ini, termasuk regulator Protein G pada kromosom 1,
protein pada kromosom 6 yang berhubungan dengan struktur sinaps, faktor
pertumbuhan pada kromosom 8 yang berhubungan dengan pertumbungan
sinapsis, respon modulator pada kromosom 13 yang mempengaruhi N-metil
35
D-aspartat glutamate, sebuah reseptor pada kromosom 15 untuk asetilkolin
dan enzim pada kromosom 22 yang mempengaruhi metabolisme dopamin.
Mekanisme neuronal glutamatergik, kolinergik, dan dopaminergik
dipengaruhi oleh faktor genetik ini dan dikaitkan dengan berbagai macam
aspek pada disfungsi kognitif termasuk ketidakmampuan dalam perasaan dan
pengingat.
Sebagai tambahan untuk faktor genetik, komponen lingkungan dari
patogenesis pada skizofrenia, mempunyai risiko sebanyak 30%, termasuk
kerusakan otak ketika perinatal dan masa anak-anak dan stres psikososial
selama masa kehidupan seperti terpisah dari keluarga (Freedman, 2003).
Brown dan Susser (2008) mengajukan 3 hipotesis yang menjelaskan
defisiensi folat. Defisiensi folat : 1) mengganggu sintesis dan perbaikan
DNA, yang mengarah ke peningkatan mutasi de novo, 2) mengganggu
metilasi DNA dan ekspresi gen, dan 3) membatasi konversi homosistein
menjadi metionin, mengakibatkan peningkatan homosistein pada
perkembangan otak. Selanjutnya Prenatal Determinants of Schizophrenia
(PDS) meliti ibu hamil di US dengan metode kohort, penelitian menemukan
bahwa terdapat peningkatan homosistein pada trimester ketiga (yang
berbanding terbalik dengan folat), berhubungan dengan peningkatan dua kali
lipat risiko skizofrenia pada keturunannya (Brown dan Susser, 2008). Namun
Brown et.al. (2007) juga menunjukkan bahwa kadar homosistein yang tinggi
dapat berkontribusi pada perkembangan skizofrenia melalui mekanisme lain
36
(disfungsi reseptor NMDA (N-Metil D-Aspartate ), vaskulopati plasenta yang
menyebabkan hipoksia janin) dibanding gangguan metabolisme folat.
4. Vitamin B12
4.1 Deskripsi
Vitamin B12 yang merupakan salah satu unsur dari vitamin B adalah
vitamin yang larut dalam air dan dikenal juga dengan nama kobalamin atau
sianokobalamin. Secara struktur, vitamin B12 adalah vitamin yang paling
kompleks karena tersusun atas cincin seperti porfirin dengan pusat berupa atom
kobalt yang melekat pada suatu nukleotida. Atom kobalt ini merupakan elemen
yang jarang tersedia secara biokimia di alam. Biosintesis dari struktur dasar
vitamin ini hanya dapat dilakukan oleh bakteri, namun konversi menjadi bentuk
aktifnya yaitu deoksiadenosilkobalamin dan metilkobalamin dapat terjadi dalam
tubuh manusia (Katzung, 2010). Berikut ini adalah struktur dari vitamin B12:
4.2 Sumber Vitamin B12
37
Vitamin B12 secara alami dapat ditemukan dalam produk hewani seperti
ikan, unggas (ayam, bebek), daging (sapi, domba, kelinci), telur, susu, dan
produk susu seperti keju. Bagi vegetarian, sumber vitamin B12 dapat diperoleh
dari sereal atau ragi. Selain dari makanan, vitamin B12 juga dapat ditemukan
dalam suplemen makanan baik dalam bentuk tunggal ataupun dalam bentuk
sediaan vitamin B kompleks (Saresai, et.al., 2003).
4.3 Fungsi Vitamin B12
Vitamin B12 diperlukan dalam proses pembentukan sel darah merah,
fungsi neurologis, dan sintesis DNA. Vitamin B12 bertindak sebagai kofaktor
dalam sintesis metionin dan L-metilmalonil yang berperan dalam reaksi
metabolisme lemak dan protein. Selain itu vitamin B12 juga berfungsi untuk
mengobati atau mencegah defisiensi ( Katzung, 2010).
4.4 Kebutuhan Harian Vitamin B12
Rekomendasi asupan rata-rata harian dari vitamin B12 untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi pada individu yang sehat adalah:
Anak-anak:
0 – 6 bulan : 0,4 mcg/hari
7 – 12 bulan : 0,5 mcg/hari
1 – 3 tahun : 0,9 mcg/hari
4 – 8 tahun : 1,2 mcg/hari
9 – 13 tahun : 1,8 mcg/hari
> 14 tahun dan dewasa : 2,4 mcg/hari
38
Wanita hamil : 2,6 mcg/hari
Wanita menyusui : 2,8 mcg/hari
(Lacy et.al. , 2011)
4.5 Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi vitamin B12 ditandai dengan munculnya gejala anemia
megaloblastik, kelelahan, sembelit, kehilangan nafsu makan, penurunan berat
badan, perubahan neurologis seperti mati rasa dan kesemutan di tangan serta
kaki. Gejala tambahan dari defisiensi vitamin B12 adalah seperti kesulitan
menjaga keseimbangan, depresi, demensia, sakit pada mulut dan lidah serta
gangguan pada memori (kognitif) (Berdanier et.al., 2006).
Salah satu penyebab terjadinya defisiensi vitamin B12 adalah anemia
pernisiosa yang terjadi akibat penurunan fungsi pada sekresi faktor intrinsik oleh
sel mukosa lambung. Pasien anemia pernisiosa menderita atrofi lambung dan
gagal menyekresi faktor intrinsik begitu juga dengan asam klorida. Defisiensi
vitamin B12 juga terjadi ketika daerah di ileum distal yang mengabsorpsi
kompleks faktor intrinsik-vitamin B12 mengalami cedera seperti ketika ileum
terkena radang usus. Penyebab defisiensi vitamin B12 lainnya yang jarang
meliputi pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus halus, pankreatitis kronik,
dan penyakit tiroid (Katzung, 2010).
4.6 Efek Samping Kelebihan Vitamin B12
Vitamin B12 memiliki potensi toksisitas yang kecil apabila kelebihan asupan
vitamin B12 tersebut diperoleh dari makanan dan suplemen. Namun dalam terapi
39
menggunakan vitamin B12 apabila dosis yang digunakan berlebih dapat
menimbulkan efek samping sebagai berikut:
1. Heart Failure
Kelebihan vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan pada pompa jantung
yang dapat menyebabkan gejala heart failure . Vitamin B12 yang diberikan
melalui injeksi memiliki risiko yang lebih besar untuk menyebabkan masalah
di jantung dibandingkan vitamin B12 oral karena vitamin yang diberikan
melalui injeksi akan langsung masuk ke dalam aliran darah. Pasien dengan
masalah jantung harus menghindari penggunaan vitamin B12 OTC (Over The
Counter ) apabila tidak ada rekomendasi dari dokter (Office of Dietary
Supplement , 2011).
2. Gangguan pada Hati dan Ginjal
Kelebihan vitamin B12 dapat merusak sel hati dan ginjal yang memicu
terjadinya gejala gangguan hati dan gagal ginjal. Akibat dari paparan vitamin
B12 dalam konsentrasi tinggi terhadap hati adalah kerusakan dari sel-sel hati
tersebut yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut.
Pada ginjal, paparan dari vitamin B12 tersebut dapat merusak sel-sel dari
tubulus ginjal. Pasien dengan masalah gangguan hati dan ginjal harus
berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu sebelum menggunakan vitamin
OTC yang mengandung B12 (Berdanier et.al., 2006).
3. Penggumpalan Darah
Kelebihan vitamin B12 dapat menyebabkan pembentukan gumpalan darah
40
di pembuluh darah utama. Gumpalan darah ini berbahaya karena dapat
menghambat aliran darah ke organ-organ tubuh yang dapat menyebabkan
kegagalan organ. Pasien dengan riwayat gangguan dalam pembekuan darah,
stroke, dan serangan jantung harus berhati-hati dalam mengkonsumsi vitamin
B12 (Saresai et.al., 2003).
4.7 Dosis Vitamin B12
1. Pengobatan defisiensi vitamin B12:
a. Intramuscular (i.m)
❖ Anak-anak
Dosis terapi sebesar 0,2 mcg/kg selama 2 hari yang kemudian diikuti
dengan dosis sebesar 1000 mcg/hari selama 2 – 7 hari lalu dosis
sebesar 100 mcg/minggu selama sebulan.
❖ Dewasa
Dosis terapi sebesar 30 mcg/hari selama 5 – 10 hari diikuti dengan
dosis pemeliharaan sebesar 100 – 200 mcg/bulan.
b. Intranasal
❖ Dewasa
Dosis terapi sebesar 100 mcg/hari (dalam dua dosis terbagi) dengan
dosis pemeliharaan sebesar 50 mcg/hari.
c. Oral
❖ Dewasa : 250 mcg/hari
41
2. Pengobatan anemia pernisiosa:
Intramuscular (i.m)
❖ Anak-anak
Dosis terapi sebesar 30 – 50 mcg/hari selama 2 minggu atau lebih
(total dosis 1000 – 5000 mcg) yang kemudian diikuti dengan dosis
pemeliharaan sebesar 100 mcg/bulan.
❖ Dewasa
Dosis terapi sebesar 100 mcg/hari selama 6 – 7 hari, apabila
menunjukkan adanya perbaikan maka dosis yang sama diberikan
setiap 3 – 4 hari selama 2 – 3 minggu, kemudian diikuti dengan dosis
pemeliharaan sebesar 100 mcg/bulan bila jumlah darah telah kembali
ke angka normal.
(Lacy et.al. , 2011)
4.8 Interaksi Obat
Vitamin B12 memiliki potensi untuk berinteraksi dengan beberapa obat
tertentu yang akibatnya dapat menurunkan keefektifan kerja dari vitamin B12
sendiri. Obat-obat tersebut antara lain:
1. Kloramfenikol
Pada beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa kloramfenikol yang
merupakan antibiotik bakteriostatik dapat mengganggu beberapa respon sel
darah merah yang diperlukan oleh vitamin B12 untuk bekerja (Office of Dietary
Supplement , 2011).
42
2. Proton Pump Inhibitors
Obat-obatan yang termasuk ke dalam golongan Proton Pump Inhibitors
(PPI) seperti omeprazole dan lansoprazole, yang biasanya digunakan untuk
terapi Gastroesophageal Reflux Disease (GRD) dan ulkus peptikum dapat
mengganggu penyerapan vitamin B12 dari makanan dengan cara memperlambat
pelepasan asam klorida ke dalam saluran pencernaan.
3. Antagonis reseptor H2
Obat-obatan yang tergolong sebagai antagonis reseptor histamin H2 yang
digunakan dalam pengobatan ulkus peptikum, seperti cimetidin, famotidin, dan
ranitidin memiliki potensi untuk mengganggu penyerapan vitamin B12 dari
makanan dengan cara memperlambat pelepasan asam klorida ke dalam saluran
pencernaan. Interaksi obat ini dapat terjadi pada pasien yang menggunakan
antagonis reseptor histamin H2 terus menerus lebih dari 2 tahun (Issac et.al.,
2015).
4. Metformin
Metformin yang merupakan agen hipoglikemik untuk mengobat
diabetes, memiliki potensi untuk mengurangi penyerapan vitamin B12 melalui
perubahan dalam mobilitas usus, meningkatkan pertumbuhan bakteri yang
berlebihan atau perubahan dalam penyerapan kalsium oleh sel-sel ileum.
Berdasarkan laporan dari studi kasus yang dilakukan terhadap pasien dibetes tipe
2 yang diberikan metformin selama 4 tahun, kadar vitamin B12 dalam tubuhnya
menurun secara signifikan sebesar 19 % dan meningkatkan risiko kekurangan
43
vitamin B12 sebesar 7,2 %. Pada beberapa studi yang lain menunjukkan bahwa
suplemen kalsium dapat membantu memperbaiki malabsorpsi vitamin B12 yang
diakibatkan oleh metformin, namun tidak semua peneliti setuju terhadap
tindakan tersebut (Office of Dietary Supplement, 2011).
4.9 Sediaan
❖ Bentuk sediaan:
Larutan injeksi tersedia dalam dosis 1000 mcg/mL (1, 10, dan 30 mL)
Lozenge oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, dan 500 mcg
Lozenge sublingual tersedia dalam dosis 500 mcg
Larutan intranasal (spray ) tersedia dalam dosis 25 mcg/spray (10,7 mL)
dan 500 mcg/spray (2,3 mL)
Tablet bukal/sublingual tersedia dalam dosis 1000, 2500, dan 5000 mcg
Tablet oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, 500, dan 1000 mcg
Tablet time released oral tersedia dalam dosis 1000 dan 1500 mcg
(Lacy et.al. , 2011)
❖ Contoh sediaan yang beredar:
Vitamin B12 IPI (Generik) tablet 50 mcg (Obat Bebas)
Vitamin B12 (Kimia Farma) tablet 50 mcg (Obat Bebas), injeksi 500
mcg/5 mL (Obat Keras)
Vitaneuron mengandung vitamin B12 200 mcg (Obat Bebas Terbatas)
Stavit tablet salut selaput mengandung vitamin B12 200 mcg (Obat
Bebas)
44
Nevramin tablet salut gula mengandung vitamin B12 500 mcg (Obat
Bebas)
(MIMS, 2009)
5. Asam Folat
5.1 Definisi Asam Folat
Asam folat merupakan bagian dari vitamin B kompleks yang dapat
diisolasi dari daun hijau ( seperti bayam ), buah segar, kulit, hati, ginjal, dan
jamur. Asam folat disebut juga dengan folacin/liver lactobacillus cosil
factor/factor U dan factor R.
Asam folat, atau disebut juga vitamin B9, adalah salah satu dari delapan
vitamin B. Asam folat sangat penting untuk fungsi otak dan memainkan peran
penting dalam kesehatan mental dan emosional. Asam folat juga bekerja sama
dengan vitamin B12 untuk membantu membuat sel-sel darah merah dan
membantu besi bekerja dengan baik dalam tubuh (Lanham et.al., 2011).
5.2 Sumber Asam Folat
45
Asam folat hanya ditemukan di dalam daging hewan dan produk-produk
hewani. Orang yang hanya makan sayuran (vegetarian) dapat melindungi diri
sendiri melawan defisiensi (kekurangan) dengan menambah konsumsi susu, keju
dan telur (Saresai, et.al., 2003).
5.3 Fungsi Asam Folat
Asam folat berperan penting pada saat pembelahan sel yang berlangsung
dengan cepat. Asam folat juga memelihara lapisan yang mengelilingi dan
melindungi serat syaraf dan mendorong pertumbuhan normalnya. Selain itu juga
berperan dalam aktifitas dan metabolisme sel-sel tulang. Vitamin B12 juga
dibutuhkan untuk melepaskan folat, sehingga dapat membantu pembentukan
sel-sel darah merah (Katzung, 2010).
5.4 Kebutuhan Harian Asam Folat
RDA untuk asam folat adalah sekitar 2 mikro-gram perhari.
5.5 Efek Samping Asam Folat
Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan kekurangan darah
(anemia), yang sebenarnya disebabkan oleh kekurangan folat. Tanpa vitamin
B12, folat tidak dapat berperan dalam pembentukan sel-sel darah merah. Gejala
kekurangan lainnya adalah sel-sel darah merah menjadi belum matang
(immature ), yang menunjukkan sintesis DNA yang lambat. Kekurangan asam
folat dapat juga mempengaruhi sistem saraf, berperan pada regenerasi saraf
46
periferal, dan mendorong kelumpuhan. Selain itu juga dapat menyebabkan
hipersensitif pada kulit. Efek toksik asam folat yaitu pada dosis lebih dari 100
kali dosis harian yang dianjurkan, asam folat dapat meningkatkan frekuensi
kejang pada penderita epilepsi dan memperburuk kerusakan saraf pada
orang-orang yang menderita kekurangan vitamin B12. Dengan dosis per oral 15
mg/hari dapat terjadi tanda-tanda anorexia, nausea, abdominal distention,
flatulence, biter/bad taste, altered sleep patterns , kesulitan berkonsentrasi,
irritabilitas, aktivitas berlebihan, depresi (Berdanier et.al., 2008; Muskiet et.al.,
2006).
5.6 Dosis Asam Folat
a. Profilaksis : kekurangan asam folat ringan diberikan folat oral 300-400
μg/hari, disertai pemberian vitamin dan diet tinggi protein. Di Amerika
Serikat dianjurkan setiap produk makanan diberikan asam folat
didalamnya.
b. Kuratif diberikan asam folat pada anemia yang ringan secara oral
500-1000 gr/hari. Pada kasus yang lebih berat harus diberikan secara
parenteral karena absorbsi asam folat terganggu akibat kerusakan pada
usus. Jika terjadi pada akhir kehamilan, maka dibutuhkan tranfusi darah.
c. Untuk wanita yang mempunyai riwayat melahirkan bayi dengan NTD
(Neural Tube Deffect ), diberikan asam folat 4 mg per hari selama
kehamilan
(Lacy et.al. , 2011)
47
5.7 Sediaan Asam Folat
Bentuk sediaan asam folat yaitu tablet dan injeksi sedangkan
posologinya, tablet 0.4 mg, tablet 0.8 mg, tablet 1 mg, injeksi 5 mg/mL. Asam
folat dapat diberikan per oral, intravena, intra muskular, sub kutan (MIMS,
2009).
6. Instrumen The Possitive and Negative Symptom Scale ( PANSS)
Skala penilaian terhadap gejala positif dan negatif pada skizofrenia
bermula dari dijumpainya heterogenitas hasil penelitian yang tidak konsisten,
yang diduga disebabkan karena metode pengukuran yang kurang dapat
dipercaya (Kusumawardhani, 1994).
Berbagai kuesioner dan instrumen dikembangkan untuk memeriksa
kedua macam tipe skizofrenia berdasarkan gejala yang mendominasi, antara lain
: The Possitive and Negative Symptom Scale ( PANSS) . PANSS pertama kali
disusun oleh Stanlay Kay, Lewis Opler, dan Abraham Fizbein pada tahun 1987
yang disusun berdasarkan indtrumen Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) dan
Psychopathology Rating Scale yang sudah muncul terlebh dahulu.
Untuk dapat dipakai pada pasien skizofrenia di Indonesia, telah
dilakukan uji reliabilitas, validitas dan sensitivitas oleh A. Kusumawardhani dan
tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1994
(Kusumawardhani, 1994).
PANSS terdiri dari 33 butir pertanyaan yang masing-masing dinilai dalam 7
skala poin. Tujuh butir dikelompokkan dalam skala positif, tujuh butir dalam
48
skala negatif, enam belas butir dalam skala psikopatologi umum, dan tiga butir
untuk menilai risiko agresi.
6.1. Skor PANSS
Masing-masing item dinilai sebagai berikut :
1 = tidak ada
2 = minimal
3 = ringan
4 = sedang
5 = agak berat
6 = berat
7 = sangat berat
6.2. Presentase perubahan total Skor PANSS
Untuk mengetahui adanya manfaat terapi yang diberikan, dilakukan
pengukuran sebelum dan setelah terapi diberikan. Presentase perubahan total
skor PANSS dianggap mempunyai nilai klinis apabila memenuhi kriteria berikut
:
- Minimal improved : penurunan skor ± 19% - 28%
- Much improved : penurunan skor ± 40% - 53%
- Very much improved : penurunan skor ± 71% - 83%
49
Selain itu, penilaian klinis dapat diketahui dari perubahan skor PANSS total
(Nurmiati, 2008).
7. Biomekanik Asam Folat dan Vitamin B12 pada Neuropsikiatri
Teori saat ini menyatakan bahwa proses biokimia metilasi dasar
neuropsikiatri adalah defisinesi folat dan vitamin B12. Hal ini telah dibuktikan
dari beberapa studi klinis dan eksperimental. Reaksi penting yang
menghubungkan folat dan vitamin B12 pada proses metilasi dikatalisis oleh enzim
metionin sintetase. Reaksi ini terbentuk dari gugus metil
5-methyltetrahydrofolate (MTHF) yang ditransfer ke homosistein untuk
membentuk metionin dan tetrahydrofolate (gambar 1). Sintesis de novo metionin
memerlukan vitamin B12 yang terlibat langsung pada transfer metil kelompok
sintesis S-adenosylmethionine (SAM), satu-satunya donor metil dalam berbagai
reaksi metilasi melibatkan protein, fosfolipid dan amina biogenik. Produk dari
semua reaksi metilasi adalah S-adenosylhomocysteine (SAH), yang dengan cepat
dimetabolisme menjadi homosistein (Sarah, 2011).
Homosistein dihasilkan sepenuhnya dari siklus metilasi. Defisiensi folat dan
vitamin B12 menyebabkan efek pada sintesis metionin. Penelitian Stabler
menunjukkan bahwa plasma total homosistein meningkat signifikan pada
keadaan defisinesi folat dan vitamin B12 sebagai akibat dari penurunan aktivitas
metionin sintetase dan kegagalan pembentukan methylate homosistein secara
efektif (Sarah, 2011).
50
Gambar 1. Metabolisme hubungan antara folat, vitamin B12 dan metabolisme asam
amino sulfur. Enzim kunci: 1, Metionin adenosyltransferase ; 2, x-methyltransferase ;
3, S-adenosylhomocysteine hydrolase ; 4, Metionine sintetase ; 5, methyltransferase
betaine-homosistein ; 6, cystathionine-P-sintetase .
8. Level Hemosistein yang Tinggi pada Skizofrenia
Homosistein adalah marker spesifik untuk defisit metilasi yang melibatkan
folat, B12 dan atau B6. Homosistein adalah tahap tosik dalam metabolism siklus
metilasi (dan siklus folat) (Mabrouk et.al., 2011). Homosistein bersifat toksik
tidak hanya pada sel-sel endotel vaskular (Austin et.al., 2004), tetapi juga
51
terhadap sel-sel saraf (Mattson and Shea, 2003). Tingginya kadar homosistein
dalam darah telah dikaitkan dengan beberapa gangguan psikiatri dan
neurodegeneratif termasuk depresi, skizofrenia, penyakit Alzheimer, dan
penyakit Parkinson (Bottiglieri, 2009).
Peningkatan total homosistein plasma telah telah diusulkan sebagai faktor
risiko skizofrenia (Muntjewerff et.al., 2006). Hiperhomosisteinemia telah
diusulkan untuk berkontribusi pada patofisiologi skizofrenia melalui berbagai
efek biologis, seperti antagonis parsial sisi glutamat dari reseptor N-metil-D
aspartate, stres oksidatif (Dietrich-Muszalska et.al., 2012), kerusakan DNA dan
sel sitotoksisitas (Liu et.al., 2009), apoptosis neuronal (Kruman et.al., 2000),
penyimpangan metilasi DNA (Kinoshita et.al., 2013) dan akumulasi oksida nitrat
mitokondria (Tyagi et.al., 2000).
Satu studi kasus-kontrol melaporkan level homosistein skizofrenia rata-rata
hampir 50% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (16.1 berbanding 10.9
µmol/L; p = 0.028) (Mabrouk et.al., 2011). Kemperman et.al. (2006) melaporkan
bahwa 28% dari subyek berada dalam persentil 97.5 untuk level homosistein
tertinggi dibandingkan dengan 2% dari kontrol (p < 0.001). Feng et.al. (2009)
melaporkan level homosistein lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan
kontrol.
9. Status Folat dan Vitamin B12 pada Pasien Skizofrenia
Defisiensi folat dan B12 telah lama dikaitkan dengan skizofrenia. Kelompok
tertentu yang memiliki defisit metabolism siklus folat herediter lebih cenderung
52
menjadi skizofrenia daripada populasi umum. Penelitian kohort pada bayi lahir
yang mengalami kelaparan lebih mungkin untuk berkembang menjadi
skizofrenia beberapa dekade kemudian. Beberapa gen tertentu termasuk varian
C77T gen MTHFR (dewasa muda dalam studi kasus defisiensi B12 dan psikosis
memiliki variasi ini gen ini). MTHFR diperlukan untuk mengubah folat dari
makanan ke jenis folat yang kita gunakan dalam tubuh, dan banyak dari kita
memiliki defisit enzim ini (Michele et.al., 2011).
Penelitian menunjukkan bahwa penurunan folat dalam plasma menjadi
faktor risiko skizofrenia. Kami menemukan frekuensi defisiensi serum folat yang
lebih tinggi pada pasien penderita skizofrenia dibandingkan kontrol (8.3%
dibandingkan dengan 0%).
Pada suatu penelitian, level folat dalam plasma yang lebih rendah terdapat
pada pasien penderita skizofrenia dibandingkan dengan pasien kontrol yang
sehat. Di sisi lain, para peneliti tidak menemukan perbedaan dalam status asam
folat antara gangguan kejiwaan yang berbeda dibandingkan kontrol yang sehat.
Dilaporkan terdapat penurunan serum folat tetapi tidak pada sel darah merah
pada pasien dengan gangguan skizofrenia dan depresi. Dalam penelitian tersebut
menyatakan bahwa rata-rata asupan folat pada pasien penderita skizofrenia lebih
rendah (167.3 ± 90.5) daripada kontrol sehat (195.9 ± 70). Namun demikian
tidak terdapat indikasi kekurangan gizi atau cacat pada penyerapan folat untuk
menjelaskan penurunan level folat pada kelompok pasien skizofrenia dalam
penelitian ini (Moustafa et.al., 2014).
53
Dalam penelitian sebelumnya menyatakan bahwa level serum kobalamin
rata-rata pada pasien penderita skizofrenia secara signifikan lebih tinggi daripada
kontrol sehat. Defisiensi kobalamin pasien skizofrenia (13,3%) secara signifikan
lebih rendah daripada kontrol (23,3%). Pada suatu penelitian dimana hasil
penelitian ini bertentangan dengan hasil sebelumnya menyatakan bahwa
konsentrasi serum kobalamin antara pasien skizofrenia dan kontrol adalah
serupa. Di sisi lain, satu penelitian telah menunjukkan penurunan level folat dan
kobalamin pada pasien penderita skizofrenia (Silver, 2000)
Sebuah survei di Meksiko memperlihatkan rata-rata level serum kobalamin
pada pasien penderita skizofrenia (409.75 ± 243.79) yang lebih tinggi dari
kontrol sehat (407.71 ± 210.18). Sementara itu, beberapa peneliti telah
merekomendasikan pemeriksaan serum Metyl Maloic Acid (MMA) dan/atau
homosistein (Hcy) sebagai bukti defisiensi kobalamin atau folat (Moustafa et.al.,
2014). Semua masalah yang berkaitan dengan folat telah diidentifikasi dengan
jelas pada skizofrenia. Masalah utama adalah terdapat kadar folat plasma yang
rendah pada gangguan ini. Sebuah studi kasus-kontrol menemukan kadar
homosistein yang tinggi pada skizofrenia berhubungan dengan kadar folat
setengah dari kontrol (8,2 vs 4,2 umol / L; p <0,001) (Mabrouk et.al., 2011).
Level folat yang rendah terkait dengan keparahan gejala. Goff et.al. (2004)
melaporkan level folat dalam plasma pada skizofrenia lebih rendah 43%
dibandingkan dengan kontrol dan berkorelasi dengan keparahan gejala negatif
yang diukur menggunakan Schedule for Assessment of Negative Symptoms
54
(SANS) (r = -0,31, N = 91, p<0,01). Dengan kata lain terdapat korelasi antara
level folat yang rendah dengan gejala negatif yang memburuk.
Kale et.al. (2010) melaporkan terdapat 36% penurunan folat dalam plasma
dan 53% penurunan folat dalam sel darah merah pada individu dengan episode
pertama psikosis dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Studi ini jelas
menunjukkan bahwa level folat yang rendah bukan hasil dari penggunaan obat
antipsikotik.
10. Peran Asam Folat dan B12 pada Pasien Skizofrenia
Penelitian Roffman (2013) pada 140 subjek yang secara acak
menambahkan asam folat ditambah B12 atau plasebo per oral. Subjek yang
menyelesaikan studi (n = 135) diperiksa perubahan gejala yang ada. Pasien yang
menerima folat ditambah B12 menunjukkan penurunan gejala negatif yang
signifikan (-0,19 perubahan SANS per minggu; 95% CI, -0,35 untuk -0,03; p =
0,02) dan mereka yang diberi plasebo tidak menunjukkan perubahan (0,02 per
minggu; 95% CI, -0,21 0,24; p = 88). Hasil ini menunjukkan bahwa
suplementasi obat antipsikotik dengan folat dan B12 memperbaiki gejala negatif
skizofrenia.
Beberapa strategi suplementasi vitamin B memperlihatkan hasil yang
baik pada penderita skizofrenia. Pada penelitian double blind plasebo-kontrol,
Godfrey et.al. (1970), menunjukkan perbaikan gejala dan sosial pada 17 pasien
skizofrenia yang menerima suplementasi methylfolate (15 mg / hari)
berdampingan dengan pengobatan farmakologis standar. Sebuah penelitian cross
55
sectional baru-baru ini, Levine dkk melaporkan perbaikan gejala pada 42 pasien
skizofrenia dengan level homosistein tinggi, ditambah dengan asam folat (2 mg /
hari), vitamin B6 (25 mg / hari) dan vitamin B12 (400 mcg / hari) di samping
pengobatan antipsikotik biasa.
Brown et.al. (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
suplementasi vitamin, terutama asam folat, vitamin B12 dan vitamin D,
memainkan peranan penting pada pengobatan skizofrenia di subkelompok
tertentu. Di antara pasien dengan varian genetik tertentu suplementasi baik folat
maupun vitamin B12 bermanfaat, terutama untuk memperbaiki gejala negatif.
56
B. Kerangka Pikir
57
C. Hipotesis
Pemberian terapi tambahan folat dan vitamin B12 pada pasien skizofrenia
kronis dapat meningkatkan manfaat pengobatan antipsikotik dalam memperbaiki
skor PANSS.
58
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan
randomized controlled trial, pre-post test design .
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di unit rawat inap RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta
dan dilakukan pada bulan Agustus-Oktober 2016.
C. Subjek Penelitian
Populasi target dari penelitian ini adalah pasien skizofrenia kronik yang
menjalani rawat inap di RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta pada periode bulan
Agustus-Oktober 2016 dan memenuhi kriteria inklusi:
1. Pasien skizofrenia yang telah mengalami gangguan minimal selama 2 tahun.
2. Pasien mendapat pengobatan antipsikotik kombinasi risperidon –
chlorpromazine.
3. Pasien yang menjalani rawat inap di RSJD Arif Zainudin Surakarta pada bulan
Agustus-Oktober 2016.
4. Usia 21-50 tahun.
5. Keluarga pasien bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani surat
59
persetujuan
Kriteria eksklusi:
Terdapat riwayat penyakit jantung, anemia dan hipertensi.
D. Teknik Penetapan Sampel
Pengambilan sampel menggunakan tehnik consecutive sampling .
E. Besar Sampel
Pengambilan besar sampel dihitung berdasarkan rumus :
n = 2 ( )(X1 – X2) (Zα+Zβ)S 2
n = besar subjek, subjek dua kelompo sama besar (n1=n2)
Zα = batas nilai konversi pada distribusi normal kemaknaan 0,05 adala 1,96
Zβ = batas bawah nilai konversi pada distribusi normal untuk batas kemaknaan 0,005
adalah 1,64
S = standar deviasi perkiraan perbedaan, sebesar 5,3
X1-X2 = Selisih rerata minimal yang dianggap bermakna = 5
Simpang baku populasi yang tidak diketahui dapat diperkirakan dari survei
awal (penelitian pilot) atau penelitian sebelumnya. Desain penelitian sebelumnya
tidak perlu sama dengan desain penelitian sekarang, tetapi harus berasal dari
populasi dengan karakteristik serupa, misalnya jenis kelamin, usia, faktor risiko dan
demografi (Sastroasmoro, 2010).
Sehingga dapat dihitung
60
= 29,12n = 2 ( )(5) (1,96+1,64)5,3 2
Berdasarkan rumus tersebut, maka didapatkan besarnya subjek penelitian pada
masing-masing kelompok dibulatkan menjadi 30 subjek.
F. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas : asam folat dan vitamin b12
2. Variabel terikat: skor PANNS
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Skizofrenia kronik : pasien dengan diagnosis skizofrenia dan telah mengalami
gangguan tersebut selama lebih dari 2 tahun.
2. Antipsikotik kombinasi : dalam penelitian ini ditentukan penggunaan
antipsikotik kombinasi risperidon – chlorpromazine.
3. Asam folat: diberikan tablet 2 mg peroral selama 4 minggu
4. Vitamin B12 : diberikan tablet 400 µg peroral selama 4 minggu
5. Skor PANSS : pada penelitian ini dilakukan penilaian pada skor PANSS pre dan
post-tes.
H. Instrument Penelitian
1. Informed consent
2. Data identitas subjek penelitian
3. Lembar penilaian PANSS
61
I. Prosedur Penelitian
1. Keluarga pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
dimotivasi untuk mengikuti penelitian dan menandatangani persetujuan
penelitian.
2. Pada rekam medik pasien yang menjadi subjek penelitian diberikan kode berupa
stiker dengan tulisan P (penelitian) oleh dokter penanggung jawab ruangan.
3. Dilakukan penilaian skor PANSS pre-tes pada seluruh subjek penelitian.
4. Dilakukan pemberian terapi tambahan asam folat dan vitamin B12 selama 4
minggu pada pasien yang masuk dalam kelompok perlakuan. Penentuan
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dilakukan oleh dokter penanggung
jawab ruangan.
5. Dilakukan penilaian skor PANSS post-tes 4 minggu kemudian. Pengukuran
dilakukan secara blind oleh penulis.
6. Dilakukan analisa hasil secara statistik.
J. Alur Prosedur Penelitian
62
K. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisa dengan uji t . Untuk signifikansi
hubungan variabel dengan tingkat kemaknaan 5%.
63
64
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Telah dilakukan studi untuk mengetahui efektifitas terapi tambahan asam folat
dan vitamin B12 dalam memperbaiki skor PANSS pasien skizofrenia kronis, pada bulan
Agustus- September 2016. Besar sampel pada studi ini adalah 60 subyek yang telah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dari seluruh jumlah tersebut secara
acak dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.
Pada kelompok perlakuan terdiri dari 30 subyek yang diberikan antipsikotik dan terapi
tambahan asam folat dan vitamin B12 selama 4 minggu. Pada kelompok kontrol terdiri
dari 30 subyek dengan terapi antipsikotik. Skor PANSS posttest dinilai setelah 4
minggu.
Karakteristik demografi subyek studi kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 4.1. Karakteristik demografi subyek studi
Variabel Kelompok
Intervensi Kontrol Nilai p
Jenis kelamin :
●Laki-laki
●Perempuan
19/30 (63,33%)
11/30 (36,67%)
11/30 (36,67%)
19/30 (63,33%)
0,07
Umur (mean ) 36,77 ± 9,06 34,53 ± 5,86 0,262
65
Pendidikan :
●Tidak sekolah
●SD
●SMP
●SMA/SMK
●PT
3/30 (10%)
7/30 (23,33%)
8/30 (26.67%)
11/30 (36,67%)
1/30 (3,33%)
8/30 (26,67%)
8/30 (26,67%)
7/30 (23,33%)
7/30 (23,33%)
0/30 (0%)
0,425
Pekerjaan :
●Bekerja
●Tidak bekerja
16/30 (53,33%)
14/30 (46,67%)
8/30 (26,67%)
22/30 (73,33%)
0,065
Status perkawinan :
●Kawin
●Tidak kawin
9/30 (30%)
21/30 (70%)
5/30 (16,67%)
25/30 (83,33%)
0,360
Pada tabel 4.1 didapatkan pada kelompok intervensi lebih banyak laki-laki
(63,33%), untuk kelompok kontrol lebih banyak perempuan (63,33%), sedangkan untuk
total laki-laki dan perempuan sama banyak (masing-masing 50%). Untuk variabel umur,
umur rata-rata kelompok intervensi (36,77 ± 9,06) sedikit lebih tua daripada umur
rata-rata kelompok kontrol. Pada variabel pendidikan, didapatkan pada kelompok
intervensi lebih banyak lulusan SMA/SMK (36,67%), untuk kelompok kontrol sama
banyak antara yang tidak sekolah dengan lulusan SD (masing-masing 26,67%),
sedangkan untuk total sedikit lebih banyak lulusan SMA (30%).
66
Pada variabel pekerjaan, didapatkan pada kelompok intervensi lebih banyak yang
bekerja (53,33%), untuk kelompok kontrol lebih banyak yang tidak bekerja (73,33%),
sedangkan untuk total lebih banyak yang tidak bekerja (60%). Pada variabel status
perkawinan, didapatkan pada kelompok intervensi lebih banyak yang tidak kawin
(70%), untuk kelompok kontrol juga lebih banyak yang tidak kawin (83,33%),
sedangkan untuk total juga lebih banyak yang tidak kawin (76.67%).
Berdasarkan tabel 4.1 dilakukan uji komparatif terhadap karakteristik demografik
kedua kelompok. Dengan uji tersebut didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada jenis kelamin (p=0,07), umur
(p=0,262), pekerjaan (p=0,065), status perkawinan (p=0,360) dan tingkat pendidikan
(p=0,425). Uji ini dilakukan agar data yang didapat memenuhi syarat untuk dilakukan
uji statistik berikutnya.
Tabel 4.2. Nilai rata-rata (mean ) skor PANNS pretest pada kelompok intervensi dan
kontrol
Variabel Kelompok Nilai p
Intervensi
(n = 30)
Kontrol
(n = 30)
PANNS gejala positif 22,5 ± 5,87 24,89 ± 6,61 0,228
PANNS gejala negatif 22,47 ± 9,12 25,33 ± 8,11 0,203
PANNS psikopatologi
umum
40,83 ± 11,31 43 ± 13,17 0,497
67
PANNS risiko agresi 7,83 ± 2,28 8,07 ± 2,82 0,970
PANNS total 93,13 ± 21,95 101,5±23,22 0,157
Grafik 4.1. Nilai rata-rata (mean ) skor PANNS pretest pada kelompok intervensi dan
kontrol
Pada tabel 4.2 dan grafik 4.1 didapatkan nilai rata-rata skor PANNS pretest gejala
positif lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 24,89 ± 6,61, dibandingkan
22,5 ± 5,87 pada kelompok intervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS pretest gejala
negatif lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 25,33 ± 8,11 dibandingkan
22,47 ± 9,12 pada kelompok itervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS pretest
psikopatologi umum lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 43 ± 13,17
68
dengan 40,83 ± 11,31 pada kelompok intervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS
pretest risiko agresi lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 8,07 ± 2,82.
Sedangkan untuk nilai rata-rata skor PANNS total pretest lebih tinggi pada kelompok
kontrol yaitu sebesar 97,77 ± 25,69.
Pada skor PANSS pretest dilakukan uji beda, dari dua kelompok dapat dilihat
adanya perbedaan tidak bermakna nilai rata-rata skor PANNS pretest baik gejala positif
(p=0,228), gejala negatif (p=0,203), psikopatologi umum (p=0,497), agresi (p=0,970),
maupun skor total (p=0,157).
Tabel 4.3. Nilai rata-rata (mean ) skor PANNS postest pada kelompok intervensi dan
kontrol
Variabel Kelompok Nilai p
Intervensi
(n = 30)
Kontrol
(n = 30)
PANNS gejala positif 10,77 ± 2,42 15,6 ± 3,59 0,001
PANNS gejala negatif 13,47 ± 9,07 20,27 ± 7,23 0,001
PANNS psikopatologi
umum
23,1 ± 7,27 31,3 ± 7,03 0,001
PANNS risiko agresi 3,67 ± 0,92 4,9 ± 1,12 0,001
PANNS total 51,1 ± 17,83 72,00 ± 14,52 0,001
69
Grafik 4.2. Nilai rata-rata (mean ) skor PANNS postest pada kelompok intervensi dan
kontrol
Pada tabel 4.3 dan grafik 4.2 didapatkan nilai rata-rata skor PANNS posttest
gejala positif lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 15,6 ± 3,59,
dibandingkan 10,77 ± 2,42 pada kelompok intervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS
posttest gejala negatif lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 20,27 ± 7,23
dibandingkan 13,47 ± 9,07 pada kelompok intervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS
posttest psikopatologi umum lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 31,3 ±
7,03. Untuk nilai rata-rata skor PANNS posttest risiko agresi lebih tinggi pada
kelompok kontrol yaitu sebesar 4,9 ± 1,12. Sedangkan untuk nilai rata-rata skor PANNS
total posttest lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 72,00 ± 14,52.
Dari skor PANSS postetst dilakukan uji beda terhadap kelompok untervensi dan
kelompok kontrol, pada dua kelompok didapatkan perbedaan bermakna nilai rata-rata
70
skor PANNS posttest baik gejala positif (p=0,001), gejala negatif (p=0,001),
psikopatologi umum (p=0,001), agresi (p=0,001), maupun skor total (p=0,001).
Tabel 4.4. Nilai rata-rata (mean ) selisih skor PANNS pretest-postest pada kelompok
intervensi dan kontrol
Variabel Kelompok Nilai p
Intervensi
(n = 30)
Kontrol
(n = 30)
PANNS gejala positif 12 ± 5,75 8,23 ± 4,27 0,01
PANNS gejala negatif 8,59 ± 5,73 5,03 ± 3,99 0,004
PANNS psikopatologi umum 18,07 ± 10,89 11,2 ± 9,09 0,01
PANNS risiko agresi 4,07 ± 2,25 3,1 ± 2,41 0,114
PANNS total 42,03 ± 21,61 29,83 ± 15,01 0,014
Pada tabel 4.4 didapatkan nilai rata-rata (mean ) selisih skor PANNS
pretest-postest pada kelompok intervensi lebih besar daripada kelompok kontrol pada
semua variabel. Analisa statistik menggunakan uji t tidak berpasangan karena sebaran
data semua variabel tersebar normal. Didapatkan perbedaan nilai rata-rata (mean ) selisih
skor PANNS pretest-postest antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang
signifikan terdapat pada skala gejala positif (p=0,01), skala gejala negatif (p=0,004),
skala psikopatologi umum (p=0,001) dan skor PANNS total (p=0,014). Sedangkan
pada skala risiko agresi, perbedaaan nilai rata-rata selisih skornya tidak signifikan
(p=0,114). Pada grafik 4.3 dan grafik 4.4 disajikan penurunan nilai rata-rata skor
71
PANNS total dan subskala antara pretest dan posttest pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol.
Grafik 4.3. Penurunan nilai rata-rata skor PANNS total dan subskala antara pretest dan
posttest pada kelompok intervensi.
72
Grafik 4.4. Penurunan nilai rata-rata skor PANNS total dan subskala antara pretest dan
posttest pada kelompok kontrol.
Selanjutnya dilakukan uji One-Way ANOVA nilai rata-rata selisih skor PANSS
postest subsakala gejala positif, negatif, psikopatologi umum, dan PANSS total
kelompok intervensi. Dari hasil uji statistik didapatkan selisih skor PANSS yang
bermakna pada keempat subskala (gejala positif, negatif, psikopatologi umum, dan
PANSS total)dengan nilai p=0,000.
73
BAB V
PEMBAHASAN
Pada studi ini jenis kelamin laki-laki didapatkan sama banyak dengan perempuan,
masing-masing 50%. Skizofrenia adalah sama-sama prevalensinya antara laki-laki dan
wanita.Tetapi, dua jenis kelamin tersebut menunjukkan perbedaan dalam onset dan
perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset skizofrenia yang lebih awal daripada
wanita. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih mungkin
daripada wanita untuk terganggu oleh gejala negatif dan bahwa wanita lebih mungkin
memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir
untuk pasien skizofrenia wanita adalah lebih baik pada hasil akhir daripada pasien
skizofrenia laki-laki (Kaplan, Sadock & Grebb, 2010).
Usia rata-rata pasien skizofrenia pada studi ini adalah 35,65 ± 7,65. Onset
skizofrenia sering terjadi pada masa remaja atau dewasa awal. Usia puncak onset untuk
laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun; untuk wanita usia puncak adalah 25 sampai 35
tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50 tahun adalah sangat
jarang (Sinaga, 2007). Pada studi ini, sebagian besar pasien skizofrenia berpendidikan
rendah dan menengah, sedangkan yang berpendidikan tinggi hanya satu subyek
(1,67%). Bahkan, yang tidak bersekolah cukup besar yaitu 18,33%. Adanya gejala
–gejala gangguan skizofrenia terutama gejala negatif dan gangguan kognitif berdampak
74
buruk bagi tingkat pendidikan pasien skizofrenia. Pada studi yang dilakukan Palmer
et.al. (1997) didapatkan hanya 27 % pasien skizofrenia yang secara neuropsikologi
normal. Hal ini menandakan defisit kognitif pada pasien skizofrenia adalah signifikan.
Defisit kognitif berkonstribusi terhadap terjadinya perburukan fungsi. Tidak hanya
berpengaruh pada tingkat pendidikan, kesulitan dalam menjaga semangat kerja dan
hubungan sosial, hidup mandiri dan mendapatkan ketrampilan dalam program
rehabilitasi menyebabkan disabilitas pada pasien skizofrenia (Green et.al. (2004).
Pada studi ini didapatkan pula sebagian besar pasien skizofrenia tidak bekerja,
yaitu sebesar 60%. Tidak bekerjanya pasien skizofrenia berkaitan dengan tingkat
sosioekonomi. Dalam literatur dijelaskan bahwa sebagian besar pasien skizofrenia
berada dalam kelompok sosioekonomi rendah. Hal tersebut dijelaskan oleh hipotesis
pergeseran ke bawah (downward drift hypothesis ) yang menyatakan bahwa pasien
skizofrenia bergeser ke kelompok sosioekonomi yang lebih rendah atau gagal keluar
dari kelompok sosioekonomi rendah akibat gangguannya. Suatu penjelasan alternatif
adalah hipotesis akibat sosial (social causation hypothesis ) yang menyatakan bahwa
stres yang dialami oleh anggota kelompok sosioekonomi rendah berperan dalam
perkembangan skizofrenia (Kaplan, Sadock & Grebb, 2010).
Pada studi ini juga didapatkan 76,67% pasien skizofrenia tidak menikah. Individu
yang didiagnosis dengan skizofrenia 60-70% tidak pernah menikah (Sinaga, 2007).
Status menikah pada umumnya merupakan faktor yang mendukung untuk prognosis
yang lebih baik pada pasien skizofrenia. Sedangkan sebaliknya pasien skizofrenia yang
75
tidak menikah dikaitkan dengan prognosis yang lebih jelek berkaitan dengan seringnya
rawat inap, besarnya tingkat bunuh diri, kualitas hidup yang lebih jelek, tingkat depresi
yang lebih banyak dan disabilitas sosial yang lebih berat (Nyer et.al., 2010; Kaplan,
Sadock & Grebb, 2010).
Pada studi ini, berdasarkan penilaian dengan PANNS didapatkan perbedaan yang
signifikan dibanding kelompok kontrol dalam perbaikan gejala positif, gejala negatif,
psikopatologi umum dan skor total. Hasil ini sesuai dengan hasil studi oleh Levine dan
kolega (2006) yang melaporkan terjadinya perbaikan gejala skizofrenia baik gejala
positif, gejala negatif maupun skor total. Penelitian tersebut dilakukan pada 42 pasien
skizofrenia dengan hiperhomosisteinemia yang dilakukan di Israel dengan memberikan
terapi tambahan asam folat plus vitamin B12.
Terapi dengan menggunakan asam folat dan vitamin B12 sebenarnya lebih
dikaitkan dengan perbaikan gejala negatif . Pada studi RCT (Randomized Contrl Trial )
oleh Roffman et.al. (2013) yang dilakukan terhadap 140 pasien skizofrenia dengan
diberikan terapi tambahan asam folat 2 mg dan vitamin B12 400 mcg. Pada studi ini
didapatkan perbaikan signifikan pada gejala negatif, sedangkan perubahan gejala positif
dan skor total tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok terapi yang lain.
Pada studi yang dilakukan penulis, tidak hanya gejala negatif yang mengalami
perbaikan, namun pula gejala positif dan psikopatologi umum. Hal ini dipengaruhi oleh
antipsikotik yang digunakan oleh subyek. Selama ini, antipsikotik dihubungkan dengan
perbaikan yang besar dalam gejala positif dan sedikit perbaikan atau malah
76
memperburuk gejala negatif. Berdasarkan literatur, tingkat respon individu dengan
gangguan skizofrenia dalam perbaikan gejala negatif setelah diberikan asam folat dan
vitamin B12 dipengaruhi oleh variasi genetik sehingga mempengaruhi absorpsi. Gen
MTHFR-677C>T dan FOLHI-484T telah dikaitkan dengan perbaikan gejala negatif
(Roffman, 2013).
Perbaikan gejala negatif juga dikaitkan dengan meningkatnya kadar asam folat
setelah diberikan terapi tambahan asam folat dan vitamin B12. Pada penelitian oleh
Donald C. Goff (2004) didapatkan kadar serum folat yang rendah berhubungan
signifikan dengan gejala negatif skizofrenia. Mekanisme yang mendasari hal tersebut
ada beberapa kemungkinan, seperti rendahnya masukan gizi folat, aktivitas GCPII
(Glutamate Carboksipeptidase II) yang rendah, pengaruh merokok dan keterlibatan folat
dalam sintesis neurotransmitter. Studi lanjutan diperlukan untuk mengklarifikasi temuan
tersebut (Arrol et.al., 2014).
Dalam literatur lain disebutkan mekanisme folat memperbaiki gejala negatif dan
meningkatkan neuroplastisitas tidak jelas, karena folat berperan banyak dalam
perkembangan dan fungsi otak. Mekanisme yang diduga terlibat seperti sintesis
neurotransmiter, pemeliharaan DNA, modulasi konsentrasi dopamin prefrontal dengan
metilasi katekol-O-metil-transferase (COMT), dan modulasi ekspresi gen dan
neurogenesis (Goff, 2013).
Terdapat mekanisme yang mencoba menjelaskan peran folat daam memperbaiki
gejala negatif yaitu melalui derivatnya, L-metilfolat. MTHFR (metilen tetrahidrofolat
77
reduktase) mengubah folat menjadi L-metilfolat. L-metilfolat beraksi untuk memodulasi
sintesis monoamine melalui 3 tahap proses. Yang pertama, L-metilfolat membatu
formasi kofaktor penting yaitu tetrahidro biopterin (BH4). Kedua, BH4 mengaktivasi
enzim tirosin hidroksilase dan triptofan hidroksilase. Ketiga, tirosin berikatan dengan
tirosin hidroksilase kemudian akhirnya diubah menjadi dopamin dan norepinefrin,
sedangkan triptofan berikatan dengan triptofan hidroksilase kemudian akhirnya diubah
menjadi serotonin (Stahl, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bouaziz et.al. (2010) penurunan kadar
homosistein secara signifikan berkaitan dengan keparahan gejala negatif skizofrenia.
Song et.al. (2014) dalam penelitiannya mendapatkan korelasi negatif antara homosistein
dan kadar asam folat. Dimana kadar homosistein dapat diturunkan dengan
sumplementasi asam folat dan vitamin B12.
Pada studi yang dilakukan oleh penulis didapatkan tidak ada perbedaan signifikan
dalam perbaikan gejala agresi. Hal ini menurut penulis disebabkan subyek yang terlibat
dalam studi ini sudah cukup tenang atau kurang agresi sebelum diberikan terapi.
Dengan demikian, setelah diberikan antipsikotik dan terapi tambahan folat dan vitamin
B12 maka perbaikan gejala agresi yang dinilai PANNS hanya sedikit.
Keterbatasan studi
Studi ini memiliki beberapa keterbatasa antara lain :
1. Waktu studi yang relatif pendek sehingga tidak diketahui efek perlakuan dalam
78
jangka panjang.
2. Banyak variabel yang mempengaruhi skizofrenia yang tidak dikendalikan dalam
studi ini seperti gaya hidup, intake dan status gizi, serta faktor genetik sehingga
dapat menyebabkan bias pada hasil akhir studi.
3. Tidak dilakukan pemeriksaan kadar asam folat dan vitamin B12.
4. Belum diketahui secara pasti dosis asam folat dan vitamin B12 yang tepat untuk
memperbaiki gangguan mental, khususnya skizofrenia.
79
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data studi dapat diambil simpulan bahwa
penambahan asam folat dan vitamin B12 sebagai adjuvan pada terapi antipsikotik
standar efektif dalam menurunkan skor PANNS pada pasien skizofrenia kronis
(hipotesis diterima).
B. Saran
Diperlukan adanya studi lanjutan dengan desain studi yang lebih sesuai dengan
mengendalikan faktor-faktor perancu : gaya hidup, status gizi serta faktor genetik dan
memperhatikan kadar asam folat dan vitamin B12, sehingga mendapat hasil yang lebih
baik pada studi penambahan asam folat dan vitamin B12 pada pasien skizofrenia.
80
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad et.al. 2011. Folate and vitamin B 12 status in schizophrenic patients . Department of Nutrition and Biochemistry, School of Public Health, Tehran University of Medical Sciences, Tehran, Iran.
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi . Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
APA. 2005. Schizophrenia and Other Psychotic Disorders . Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV – Text Revision (DSM IV - TR). Washington CD: American Psychiatric Association.
Arrol, M.A.; Wilder, R & Neil, J. 2014. Nutritional Interventions for The Adjunctive Treatment of Schizophrenia: A Brief Review. Nutrition Journal 2014, 13:91
Austin, R.C., Lentz, S.R., Werstuck, G.H., 2004. Role of hyperhomocysteinemiain endothelial dysfunction and atherothrombotic disease. Cell Death Differ . 11 (Suppl 1), S56– S64.
Berdanier CD, et.al., 2008. Advance Nutrition Micronutrients . New York Washington, D.C : CRC Press.
Bottiglieri T, 2009. Homocysteine and folate metabolism in depression . ProgNeuro-Psychopharmacol Biol Psychiatry; 29: 1103–12.
Bouaziz N, et.al. 2010. Plasma homocysteine in schizophrenia: Determinants and clinical correlations in Tunisian patients free from antipsychotics . Psychiatry Research 179 (2010) 24–29. doi:10.1016/j.psychres.2010.04.008.
Brown AS, et.al., 2007. Elevatedprenatal homocysteine levels as a risk factor for schizophrenia . Archives of general psychiatry. [PubMed: 17199052].
Brown AS, Susser ES. 2008. Prenatal nutritional deficiency and risk of adult schizophrenia . Schizophrenia bulletin. [PubMed: 18682377].
Brown HE, et.al., 2014. Vitamin Supplementation in the Treatment of Schizophrenia. CNS Drugs.; 28(7): 611–622. doi:10.1007/s40263-014-0172-4.
Byrne M, Agerbo E, Eaton WW, Mortensen PB. 2004. Parental socio-economic status and risk of first admission with schizophrenia - a Danish national register based study . Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol. 2004;39:87–96.
Croudace, T., Bloom, R., Jones, P., et.al. 2000. Non linear relationship between a measure of social deprivation, psychiatric admission prevalence and the incidence of psychosis . Psychological Medicine. 30. 177-185.
Dietrich-Muszalska A, Malinowska J, Olas B, Glowacki R, Bald E, Wachowicz B, et al.
81
The oxidative stress may be induced by the elevated homocysteine in schizophrenicpatients . Neurochem Res 2012; 37:1057-62; PMID:22270909; http://dx.doi.org/10.1007/s11064012-0707-3.
Depkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta : Departemen Kesehatan RI
Durland VM, and Barlow DH. 2007. Essentials of Abnormal Psychology. 3rd edition Pacific Grove , CA: Wadsworth
Eaton, W. & Harrison, G. 2001. Life chances, life planning and schizophrenia : a review and interpretation of reserch on social deprivation . International Journal of Mental Health. 30. 58-81.
Fava M, et.al., 2009. Folate in Depression: Efficacy, Safety, Differences in Formulations, and Clinical Issues . Department of Psychiatry, Harvard Medical School and Massachusetts General Hospital, Boston.
Feng LG, et.al., 2009. Association of plasma homocysteine and methylenetetrahydrofolatereductase C677T gene variant with schizophrenia: A Chinese Han population -based case-control study . Psychiatry Res.;168(3):205-8.
Freedman R. 2003. Schizophrenia. The New England Journal of Medicine . Colorado: University of Colorado Health Sciences Center.
Goff et al., 2004. Folate, homocysteine, and negative symptoms in schizophrenia . Food and Behaviour Research No SC034604.
Goff, D.C. 2013. Future Perspectives on The Treatment of Cognitive Decits and Negative Symptoms in Schizophrenia. World Psychiatry 2013;12:99–107.
Green, M.F. 2006. Cognitive Impairment and Functional Outcome in Schizophrenia and Bipolar Disorder. J Clin Psychiatry; 67 (suppl 9) : 3-8.
Howes OD and Murray RM. 2014. Schizophrenia: an integrated sociodevelopmental-cognitive model . Lancet 2014; 383: 1677–87. http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(13)62036-X.
Hudson, Christopher G. 2005. Socioeconomic Status and Mental Illness: Tests of the Social Causation and Selection Hypotheses . American Journal of Orthopsychiatry 2005, Vol. 75, No. 1, 3–18. DOI: 10.1037/0002-9432.75.1.3.
Issac TG, et.al., 2015. Vitamin B 12 Deficiency: An Important Reversible Co-Morbidity in Neuropsychiatric Manifestations . Indian Journal of Psychological Medicine Vol 37.
Kale et.al., 2010. Reduced folic acid, vitamin B 12 and docosahexaenoic acid and increased homocysteine and cortisol in never-medicated schizophrenia
82
patients: Implications for altered one-carbon metabolism. Elsevier : Psychiatry Research 175 (2010) 47–53.
Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik . Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
KemenPPN/Bappenas. 2015. Health Sector Review (HSR) . Kumpulan Policy brief. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas. Jakarta.
Kemperman et.al., 2006. Low essential fatty acid and B-vitamin status in a subgroup of patients with schizophrenia and its response to dietary supplementation . Food and Behaviour Research No SC034604.
Kinoshita, M., Numata, S., Tajima, A., Shimodera, S., Imoto, I., and Ohmori, T. (2013). Plasma total homocysteine is associated with DNA methylation in patients with schizophrenia . Epigenetics 8, 584–590. doi: 10.4161/epi. 24621.
Kruman II, Culmsee C, Chan SL, Kruman Y, Guo Z, Penix L, et.al. Homocysteine elicits a DNA damage response in neurons that promotes apoptosis and hypersensitivity to excitotoxicity . J Neurosci 2000; 20:6920-6; PMID:10995836.
Kusumawardhanni a., dkk. 1994. Pedoman Definisi PANSS. FK UI.
Lacy, C.F., L.L. Amstrong, M.P. Goldman and L. L. Lance. 2011. Drug Information Handbook. Twentieth Edition. United States: Lexi-Comp Inc.
Lanham SA, e. al., 2011. Nutrition and Metabolism. Second Edition. India : Blackwell Nutrient Society
Levine SZ, et.al., 2006. Homocysteine-Reducing Strategies Improve Symptoms in Chronic Schizophrenic Patients with Hyperhomocysteinemia . BIOL PSYCHIATRY 2006;60:265–269
Levine SZ, et.al., 2012. Negative symptoms have greater impact on functioning than positive symptoms in schizophrenia: analysis of CATIE data. Schizophrenia research 137(1-3):147–50. doi:10.1016/j.schres.2012.01.015. [PubMed: 22316568].
Levine J, Stahl Z, Sela BA, Ruderman V, Shumaico O, Babushkin I, Osher Y, Bersudsky Y, Belmaker RH. Homocysteine reducing strategies improve symptoms in chronic schizophrenic patients with hyperhomocysteinemia . Biol Psychiatry. 2006; 60:265–269.
Liu CC, Ho WY, Leu KL, Tsai HM, Yang TH. Effects of S-adenosylhomocysteine and homocysteineon DNA damage and cell cytotoxicity in murinehepatic and microglia cell lines . J Biochem Mol Toxicol 2009; 23:349-56; PMID:19827130; http://dx.doi.org/10.1002/jbt.20298.
Mabrouk H, et.al., Hyperhomocysteinemia and schizophrenia: case control
83
study . L’Encéphale. 2011;37(4):308–313.doi: 10.1016/j.encep.2010.12.004.
Maharatih GA, Nuhriawangsa I, dan Sudiyanto A. 2010. Psikiatri Komprehensif . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Maria, 2009. Folate, homocysteine, interleukin-6, and tumor necrosis factor alfa levels, but not the methylenetetrahydrofolatereductase C677T polymorphism, are risk factors for schizophrenia . Elseveir, Journal of Psychiatric Research 44 (2010) 441–446.
Mattson, M.P., Shea, T.B., 2003. Folate and homocysteine metabolism inneural plasticity and neurodegenerative disorders . Trends Neurosci. 26(3), 137– 146.
Michele et.al., 2011. Folate supplementation in schizophrenia: A possible role for MTHFR genotype . Elsevier Schizophrenia Research 127 (2011) 41–45.
MIMS, 2009. MIMS Edisi Bahasa Indonesia . Volume 10. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia).
Moustafa et.al., 2014. Homocysteine levels in schizophrenia and affective disorders—focus on cognition . Frontiers in Behavioral Neuroscience :Volume 8.
Muntjewerff JW, Kahn RS, Blom HJ, den Heijer M. Homocysteine, methylenetetrahydrofolate reductase and risk of schizophrenia: a meta-analysis . Mol Psychiatry 2006; 11:143-9; PMID:16172608; http:// dx.doi.org/10.1038/sj.mp.4001746.
Murti, B., 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
Muskiet FAJ, et.al., 2006. Folate and long-chain polyunsaturated fatty acids in psychiatric disease . Journal of Nutritional Biochemistry 17-717–727.
Nurmiati Amir. 2008. Pengenalan Instrumen PANSS. FK UI. Jakarta.
Nyer, M; Kasckow, J; Fellow, I; et.al. 2010. The relationship of marital status and clinical characteristics in middle-aged and older patients with schizophrenia and depressive symptoms. Annals of Clinical Psychiatry. 2010;22(3):172-179.
Office of Dietary Supplement. 2011. Dietary Supplement Fact Sheet: Vitamin B 12 . USA: National Institutes of Health.
Oliver et.al., 2014. Schizophrenia: an integrated sociodevelopmental-cognitive model . Lancet 2014; 383: 1677–87.
Reynolds E. 2006. Vitamin B 12 , folic acid, and the nervous system . Lancet Neurol 5: 949–60 Institute of Epileptology, King’s College, Denmark Hill Campus,
84
London.
Roffman JL, et.al., 2013. A Randomized Multi-Center Investigation of Folate Plus B12 Supplementation in Schizophrenia . JAMA Psychiatry; 70(5): 481–489. doi:10.1001/jamapsychiatry.2013.900.
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Sarah et.al., 2011. Cerebral folate deficiency: A neurometabolic syndrome? Elsevier Molecular Genetics and Metabolism 104 (2011) 369–372.
Saresai, et.al., 2003. Introduction to Clinical Nutrition . Second edition, revised and expanded. Newyork : Marcel Dekker.
Sastroasmoro, Sudigdo, dan Sofyan. 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Ketiga. Sagung Seto. Jakarta. 78-100.
Shirli Werner, Dolores Malaspina, and Jonathan Rabinowitz. 2007. Socioeconomic Status at Birth Is Associated With Risk of Schizophrenia: Population-Based Multilevel Study . Schizophrenia Bulletin vol. 33 no. 6 pp. 1373–1378, 2007. doi:10.1093/schbul/sbm032.
Silver H. 2000. Vitamin B 12 levels are low in hospitalized psychiatric patients . Isr J Psychiatry Relat Sci. [PubMed: 10857271].
Sinaga BR. 2007. Skizofrenia dan Diagnosis banding, Jakarta:12-137
Song X et.al. 2014. Serum levels of BDNF, folate and homocysteine: In relation to hippocampal volume and psychopathology in drug naïve, first episode schizophrenia . Schizophrenia Research 159 (2014) 51–55. http://dx.doi.org/10.1016/j.schres.2014.07.033.
Stahl, S.M. 2008. L- Methylfolate : A Vitamin for Your Monoamine. J. Clin Psychiatry 69:9 September 2008.
Sugden C. 2006. One-carbon metabolism in psychiatric illness . Nutrition Research Reviews, 19, 117–136
Tandon et.al., (2010). Schizophrenia, “just the facts” 5. Treatment and prevention. Past, present, and future. Schizophr Res 122, 1–23.
Tyagi N, Moshal KS, Ovechkin AV, Rodriguez W, Steed M, Henderson B, et.al. Mitochondrial mechanism of oxidative stress and systemic hypertension in hyperhomocysteinemia. J Cell Biochem. 2005; 96:66571; PMID:16149054; http://dx.doi.org/10.1002/jcb.20578.
Unicef. 1998. The State of the World’s Children 1998. Oxford: Oxford University Press.
van Os, J., Kapur, S., 2009. Schizophrenia. Lancet 374, 635–645.
85
Wang D, et.al., 2016. Serum folate levels in schizophrenia: A meta-analysis . Elsevier PsychiatryResearch235-83–89.
Wiraminaradja dan Sutardjo, 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama
86
Lampiran 1. Dari Naskah Tesis
PENJELASAN TENTANG PENELITIAN
Judul penelitian : KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN
B12 DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA KRONIK DI RSJD dr.
ARIF ZAINUDIN SURAKARTA
Penulis : dr. Betty Hidayati
No Telp : 085642010114
Saya dr. Betty Hidayati (Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran
Jiwa FK UNS) bermaksud mengadakan penelitian “KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN
ASAM FOLAT DAN VITAMIN B12 DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN
SKIZOFRENIA KRONIK DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA.”
Penulis menjamin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak negatif pada
siapapun. Penulis berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak subyek dengan cara :
a. Menjaga kerahasiaan data yang diperoleh, baik dalam proses pengumpulan data, dan
penyajian hasil penelitian.
b. Menghargai keinginan subyek untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini, subyek/keluarga akan diminta mengisi kuesioner untuk data demografi
dan dilakukan wawancara dan observasi oleh penulis.
Melalui penjelasan singkat ini, penulis mengharapkan partisipasi saudara untuk menjadi
partisipan atau subyek penelitian ini. Terima kasih atas kesediaan dan partisipasinya.
87
88
Lampiran 2. Dari Naskah Tesis
PERSETUJUAN PENELITIAN
No. Penelitian : PERSETUJUAN PENELITIAN
( Informed Consent )
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
Tempat / tanggal lahir/jenis kelamin
Pendidikan terakhir
Pekerjaan
Alamat
Telp
Hubungan dengan pasien
:
:
:
:
:
:
:
Setelah diberi penjelasan mengenai penelitian, maka dengan ini saya menyatakan :
Nama
No. CM
Tempat / tanggal lahir
Jenis kelamin
Status perkawinan
Pendidikan terakhir
Pekerjaan
Alamat
:
:
: L / P
:
:
:
:
:
Bersedia sebagai peserta penelitian dengan judul ”KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN B12 DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA KRONIK DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA”
Surakarta, …..............…....… 2016 Saya yang membuat pernyataan
89
(………………………..…… )
Lampiran 3. Dari Naskah Tesis
Data Peserta Penelitian
DATA PESERTA PENELITIAN
No. Penelitian :
No. RM :
Data dan Identitas :
1. Nama Lengkap : ......................................................................
2. Alamat : ......................................................................
3. Umur : ..............tahun
4. Jenis kelamin : .....................................................................
5. Agama : .....................................................................
6. Pendidikan terakhir : .....................................................................
7. Pekerjaan : .....................................................................
8. Bila ya, penghasilan : 1. < 1,5juta 2. ≥ 1,5 juta
9. Status nikah : 1. Ya 2. Tidak
10. Riwayat Hipertensi : 1. Ya 2. Tidak
11. Riwayat Diabetes melitus : 1. Ya 2. Tidak
12. Riwayat NAPZA/Alkohol: 1. Ya 2. Tidak
13. Riwayat Skizofrenia : 1. Ya 2. Tidak
14. Anemia : 1. Ya 2. Tidak
90
Lampiran 4. Dari Naskah Tesis
INTERRATER
91
Reliability
92
Scale: ALL VARIABLES Case Processing Summary
N %
Cases Valid 5 100,0
Excludeda 0 ,0
Total 5 100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
,990 2
Item Statistics
Mean Std. Deviation N
PANSSdr.E 99,80 32,492 5
PANSSB 100,20 32,353 5
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
PANSSdr.E 100,20 1046,700 ,980
PANSSB 99,80 1055,700 ,980
Correlations
PANSSdr.E PANSSB
Spearman's rho PANSSdr.E Correlation Coefficient 1,000 ,900*
Sig. (2-tailed) . ,037
N 5 5
PANSSB Correlation Coefficient ,900* 1,000
Sig. (2-tailed) ,037 .
N 5 5
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
93
Lampiran 5. Dari Naskah Tesis
PANSS Versi Bahasa Indonesia
Daftar Pertanyaan Pemeriksaan PANSS
A. Identitas 1. Nama : Pemeriksa : 2. Umur : 3. Diagnosis :
B. Keluhan Utama : C. Petunjuk
Berikan penilaian dengan memberikan tanda silang (X) pada kolom nilai yang sesuai, dengan ketentuan sebagai berikut:
1 = Tidak ada 2 = Minimal 3 = Ringan 4 = Sedang 5 = Agak berat 6 = Berat 7 = Sangat berat
No Uraian penilaian dan pertanyaan Nilai
1 2 3 4 5 6 7 P1 Waham (isi pikiran tidak realistik, aneh, egosentrik, dan sulit dikoreksi).
Adakah keyakinan atau keadaan luar biasa yang terjadi/ dialami pasien?
P2 Kekacauan proses pikir (proses pikir verbal yang terputus atau tidak segera tersampaikan oleh karena asosiasi longgar, melingkar, tidak urut atau tidak mengandung arti). Penilaian dengan pencermatan pembicaraan pasien selama wawancara.
P3 Perilaku halusinatorik (perilaku aneh atau tidak bertujuan tanpa dirangsang stimuli dari luar). Penilaian berdasarkan observasi atau laporan dari orang lain (perawat atau keluarga)
P4 Gaduh gelisah (hiperaktivitas motorik, peningkatan respon terhadap stimuli, kewaspadaan berlebihan, atau labilitas mood yang berlebihan). Penilaian berdasarkan observasi atau laporan dari orang lain yang mengetahui.
P5 Waham kebesaran (keyakinan tentang diri sendiri yang berlebihan). Adakah kekuatan, kekayaan, kesaktian, atau kemampuan lain yang luar biasa dimiliki pasien?
P6 Kecurigaan/kejaran (ide atau keyakinan tidak realistik/mskakal tentang kecurigaan terhadap sesuatu yang akan mencelakai pasien). Adakah seseorang atau sekelompok orang, atau keadaan tertentu yang akan mencelakai atau memonitor, atau memata-matai pasien?
P7 Permusuhan (sikap atau ekspresi verbal kemarahan, kebencian, termasuk kata-kata kotor, cacimaki, atau penyerangan fisik). Penilaian berdasarkan observasi atau laporan orang lain.
94
N1 Afek tumpul (berkurangnya respon emosional). Penilaian berdasarkan observasi terhadap ekspresi wajah, modulasi perasaan, dan gerak-gerik selama wawancara.
N2 Keruntuhan/ penarikan emosional (berkurangnya minat dan keterlibatan, serta curahan perasaan terhadap peristiwa kehidupan). Penilaian berdasarkan laporan dari perawat atau keluarga dan observasi selama wawancara.
N3 Kemiskinan raport (berkurangnya interaksi atau keterlibatan dengan pewawancara). Penilaian berdasarkan perilaku interpersonal selama wawancara.
N4 Penarikan diri dari hubungan sosial secara pasif/apatis (berkurangnya minat dan inisiatif dlm interaksi sosial, disebabkan karena pasivitas, apatis, anergi). Penilaian berdasarkan laporan perilaku sosial dari perawat atau keluarga.
N5 Kesulitan dalam pemikiran abstrak (hendaya dalam berfiki rabstrak atau simbolik). Apa persamaan apel dan pisang? Apa persamaan jeruk dan bola? Apa artinya air susu dibalas air tuba?
N6 Kurangnya spontanitas dan arus percakapan (berkurangnya arus normal percakapan, berkurangnya kelancaran dan produktivitas dalam pembicaraan). Penilaian berdasarkan observasi selama wawancara.
N7 Pemikiran stereotipik (kekakuan, pengulangan, atau isi pikir yang miskin). Penilaian berdasarkan observasi selama wawancara.
G1 Kekhawatiran somatik (keluhan-keluhan fisik atau keyakinan tentang penyakit atau malfungsi tubuh). Bagaimana perasaan Anda mengenai kesehatan Anda selama ini?
G2 Anxietas (kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan dan ketidaktenangan) Pernahkah Anda merasakan kecemasan atau gugup dalam minggu lalu?
G3 Rasa bersalah (rasa penyesalan yang mendalam atau menyalahkan diri sendiri terhadap perbuatan salah atau bayangan kelakuan buruk pada masa lampau). Apakah Anda merasa lebih buruk dari orang lain?
G4 Ketegangan (manifestasi fisik yang jelas tentang ketakutan, anxietas, dan agitasi, seperti kekakuan, tremor, keringat berlebihan, dan ketidaktenangan). Penilaian berdasarkan observasi selama wawancara.
G5 Mannerisme dan sikap tubuh (Gerakan atau sikap tubuh yang tidak wajar seperti ditandai oleh kejanggalan, kaku, disorganisasi, atau penampilan yang bizzare). Penilaian berdasarkan observasi dan laporan dari perawat atau keluarga.
G6 Depresi (perasaan sedih, putus asa, rasa tdk berdaya dan pesimisme) Bagaimanakah perasaan Anda selama seminggu terakhir? Sebagian besar baik atau sebagian besar buruk?
G7 Retardasi motorik (penurunan aktivitas motorik yang tampak sebagai perlambatan atau kurangnya gerakan dan pembicaraan, penurunan respons terhadap stimuli dan pengurangan tonus tubuh) Penilaian berdasarkan observasi dan laporan dari perawat atau keluarga.
G8 Ketidak kooperatifan (aktif menolak untuk patuh terhadap keinginan tokoh bermakna) Penilaian berdasarkan observasi dan laporan dari perawat atau keluarga.
G9 Isi pikiran yang aneh (proses pikir ditandai oleh ide-ide yang asing, fanatik, atau bizzar berkisar dari yang ringan ataua tipikal sampai distorsi, tidak logis dan sangat tidak masuk akal). Apakah Anda merasa ada sesuatu yang aneh masuk dalam pikiran Anda?
95
G10 Disorientasi( kurang menyadari hubungan seseorang dengan lingkungan, termasuk orang, tempat, dan waktu yang mungkin disebabkan oleh kekacauan atau penarikan diri) Tanggal berapakah hari ini? Dimana kita berada sekarang?
G11 Perhatian buruk (gagal dalam memusatkan perhatian yang ditandai oleh konsentrasi yang buruk, perhatian mudah teralih oleh stimulus eksternal dan internal, dan kesulitan dalam mengendalikan, mempertahankan dan mengalihkan fokus pada stimuli baru. Penilaian berdasarkan observasi selama wawancara.
G12 Kurangnya daya nilai dan tilikan (hendaya kesadaran atau pemahaman atas kondisi psikiatrik dan situasi kehidupan dirinya) Apakah yang menyebabkan Anda dibawa ke Rumah Sakit Jiwa?
G13 Gangguan dorongan dan kehendak (gangguan dalam dorongan kehendak, makan-minum, dan pengendalian pikiran, perilaku, gerakan-gerakan, serta pembicaraan). Penilaian berdasarkan observasi selama wawancara.
G14 Pengendalian impuls yang buruk (gangguan pengaturan dan pengendalian impuls yang mengakibatkan ketegangan dan emosi yang tiba-tiba, tidak teratur, sewenang-wenang, atau tidak terarah tanpa memperhatikan konsekuensinya) Penilaian berdasarkan observasi dan laporan dari perawat atau keluarga.
G15 Preokupasi (terpaku pada pikiran dan perasaan yang timbul dari dalam diri dan disertai pengalaman autistik sedemikian rupa sehingga terjadi gangguan orientasi realita dan perilaku adaptif) Penilaian berdasarkan observasi dan laporan dari perawat atau keluarga.
G16 Penghindaran sosial secara aktif (penurunan keterlibatan sosial yang disertai adanya ketakutan yang tidak beralasan, permusuhan, atau ketidakpercayaan) laporan fungsi sosial oleh perawat atau keluarga
S1 Amarah (suasana perasaan agresif/marah thdp objek atau keadaan didalam atau diluardirinya). Penilaian berdasarkan laporan atau pernyataan selama wawancara. Apakah akhir-akhir ini Anda merasa sangat marah?
S2 Kesulitan dalam menunda pemenuhan kepuasan (kesulitan dalam menunda, mengalihkan, atau merubah objek tujuan yang akan dicapai). Penilaian berdasarkan observasi dan laporan orang lain atau pernyataan pasien. Apakah Anda saat ini sangat menginginkan sesuatu dan bgmn kalo tidak mendapatkannya?
S3 Afek yang labil (suasana perasaan dan emosi yang tidak stabil, fluktuatif dari waktu ke waktu). Penilaian berdasarkan pemeriksaan mood, afek, emosi dan pengaruhnya terhadap ekspresi wajah, sikap, atau perilaku. Apakah Anda merasa cepat marah, cepat sedih, cepat gembira?
96
Lampiran 6. Dari Naskah Tesis
Ethical Clearance
97
98