kebudayaan petani damar pesisir barat krui perspektif...
TRANSCRIPT
1
Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui
Perspektif Antropologi Linguistik
Abdullah1
Darsita Suparno
Pengelolaan hutan pinus yang getahnya disebut damar merupakan salah satu realitas
kebudayaan para petani di pesisir barat Krui Lampung yang ditampilkan dalam berbagai kosa
kata berbahasa Krui. Bagi orang Krui, pengetahuan tentang pengelolaan hutan pinus adalah
peninggalan berharga dari para leluhur mereka yang bernilai budaya, sosial dan ekonomi yang
tidak dapat dilupakan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Pengetahuan
tentang tata kelola hutan yang diungkap dalam bahasa Krui secara lisan juga merupakan
peranti komunikasi untuk menyampaikan beberapa hal seperti pengajaran, pendidikan, nasihat,
penggambaran berbagai karakter manusia dan menginformasikan berbagai nilai dari generasi
tua kepada generasi muda. Penelitian ini berfokus kepada kajian tentang medan makna ditinjau
dari segi semantik, faktor-faktor yang berkaitan dengan budidaya damar, nilai-nilai budaya, dan
sikap bahasa warga Krui terhadap bahasa yang mereka gunakan. Berbagai ungkapan bentuk
dan makna kata yang terdapat dalam ujaran maupun sastra lisan menjadi objek panelitian ini,
ungkapan itu masih dipakai oleh suku bangsa Krui yang hidup di pesisir pantai Samudra Hindia
di kecamatan Wai Krui kabupaten Pesisir Barat Lampung Barat. Penelitian ini dikategorikan
sebagai penelitian studi kasus yang menggunakan pendekatan yang menggabungkan teori-teori
antropologi dan linguistik. Penelitian ini menggunakan metodologi hibrida yang
menggabungkan metode natural dengan kuantitatif karena data diperoleh baik secara langsung
maupun survei. Bentuk-bentuk bahasa dalam ujaran maupun sastra lisan itu diidentifikasi
sebagai sebagai data. Peneliti dalam konteks ini dianggap sebagai instrumen. Data ujaran
berupa percakapan lisan dikumpulkan dari ujaran-ujaran yang digunakan para penutur asli
Krui ketika berkomunikasi dan ujaran-ujaran yang terdapat dalam sastra lisan itu. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa dalam percakapan warga Krui dan sastra lisan Krui terdapat
beberapa makna yang secara semantis menggambarkan tentang tata cara pengelolaan hutan,
adat istiadat, hubungan manusia dengan alam, pengetahuan lingkungan tumbuhan hutan dan
hasil hutan.
Kata Kunci: Krui, pinus, damar, pengelolaan hutan rakyat
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kehidupan petani di pesisir barat Krui di provinsi Lampung Barat memiliki
sistem sumberdaya alam berkelanjutan yang khas. Dalam memelihara lingkungan
hidup, suku Krui memiliki sistem pengelolaan sumberdaya alam yang diwariskan
1 Abdullah dan Darsita Suparno adalah dosen dan peneliti dari Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2
secara turun-temurun menjadi dasar bagi tetap terpeliharanya tutupan hutan buatan
yang disebut dalam bahasa Krui dengan istilah repong damar. Pengelolaan hutan
dengan model wanatani repong damar untuk menghasilkan damar2 telah dilakukan
oleh suku bangsa Krui selama lebih dari seratus tahun. Praktek itu sekarang diakui
sebagai sebuah model pengelolaan sumber daya hutan berbasis komunitas yang
sangat arif, dan teknik pengelolaan hutan yang bisa bertahan hingga kini, karena
pengetahuan pribumi (indigenous knowledge) masih tetap dipertahankan.
Tetapi khasanah pengetahuan yang sangat arif bagi kelestarian lingkungan
itu dapat saja segera musnah sejalan dengan adanya bencana alam, kerusakan oleh
ulah manusia atau menipis hingga habis sumber daya alam itu sendiri. Penelitian ini
memberikan peringatan bahwa pelestarian pengetahuan pribumi dalam mengelola
sumber daya alam sangat penting dibandingkan usaha-usaha pelestarian cagar
budaya. Pelestarian cagar budaya dapat dilakukan melalui upaya rekonstruksi fisik,
tetapi penyelamatan pengetahuan lokal yang sudah terlanjur musnah karena bencana
alam atau kerusakan lingkungan alam dapat diprediksikan akan mustahil untuk
diselamatkan.
Dalam wilayah Propinsi Lampung Barat terdapat beberapa suku bangsa dengan
masing-masing bahasa daerahnya, yaitu suku bangsa Sukau berbahasa Sukau, suku
bangsa Krui berbahasa Krui, suku bangsa Abung berbahasa Abung, suku bangsa Sungkai
berbahasa Sungkai, suku bangsa Mesuji berbahasa Mesuji, suku bangsa Belalau
berbahasa Belalau, suku bangsa Komering Ilir berbahasa Komering, suku bangsa Pubian
berbahasa Pubian, dan dan suku bangsa Semende berbahasa Semende. Di antara bahasa
itu, jika dibandingkan dengan bahasa daerah lain, penutur bahasa Krui merupakan
minoritas dengan wilayah penyebaran yang sempit pula. Sebagai bahasa minoritas, di
Kabupaten Pesisir Barat, bahasa ini dituturkan hanya di beberapa kecamatan di
kabupaten Pesisir Barat, yaitu: di kecamatan pesisir utara, pesisir tengah, persisir selatan,
Way Krui, dan Krui Selatan. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa
Krui bukan hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, atau lambang identitas
daerah dan alat komonikasi dalam keluarga dan masyarakat, melainkan juga berfungsi
sebagai pendukung bahasa nasional dan bahasa pengantar di sekolah dasar di pedesaan
pada tingkat permulaan serta alat pengembang dan pendukung kebudayaan daerah di
2 Poerwadarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), hal
356. Dammar adalah getah pohon yang dapat membeku menjadi batu berwarna merah yang bernilai ekonomis. Damar juga bermakna buah kemiri.
3
wilayah pakai bahasa itu. Saat ini, jika ditinjau dari fungsinya, bahasa Krui merupakan
alat komunikasi utama dalam masyarakat pemakai bahasa Krui. Bahasa ini digunakan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat berbahasa ibu bahasa Krui.
Bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi dalam keluarga, pergaulan sehari-hari,
keagamaan, peradatan, pendidikan dan pengajaran, pemerintah, perdagangan, sapa-
menyapa antara anggota keluarga satu dan keluarga lain serta kebudayaan. Bahasa Krui
sebagai alat komunikasi, terutama komunikasi lisan memiliki kaidah sendiri. Suku
bangsa Krui adalah penduduk asli Lampung yang hidup dari pertanian. Meskipun tinggal
di pesisir pantai, namun mereka boleh dikatakan tidak mengenal budaya maritim. Bagian
terbesar dari proses interaksi mereka dengan alam justru berlangsung di hutan.
Pemukiman penduduk umumnya berbatas dengan pantai di satu sisi dan sekaligus
dengan hutan pada sisi lainnya. Hutan itu adalah hutan buatan yang dibangun masyarakat
Krui, melalui proses bertahap selama puluhan hingga ratusan tahun.
Hutan buatan itu dalam istilah setempat dinamakan repong damar. Ia
merupakan perpaduan yang kohesif antara pertanian (agriculture) dan kehutanan
(silviculture). Pada masa sekarang, lahan penduduk yang bernama repong damar
tersebut mencakup areal kurang lebih 10.000 Ha, menyebar di tiga kecamatan bagian
pesisir (Kec. Pesisir Utara, Pesisir Tengah dan Pesisir Selatan). Hutan damar itu
dibangun di atas tanah ulayat yang secara tradisional dikuasai oleh kelompok-kelompok
marga (clan-teritorial). Menurut catatan sejarah, proses pembukaan lahan hutan menjadi
repong damar sudah berlangsung sejak abad ke-18, dimulai dari kawasan yang
berdekatan dengan pemukiman, seterusnya berkembang makin ke pedalaman hingga
sekarang telah sampai ke batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ( selanjutnya
disingkat TNBBS). Pihak instansi kehutanan kemudian mendefinisikan dan menetapkan
lahan repong damar milik penduduk tersebut sebagai kawasan penyangga (bufferzone)
bagi TNBBS. Secara fisik tampilan repong damar tidak ubahnya seperti hutan alam.
Menurut hasil penelitian tingkat keragaman biota yang hidup di dalam hutan damar
kurang lebih 75-85% sama dengan hutan perawan. Hampir semua jenis flora dan fauna
yang ada di TNBBS yang disangganya terdapat di repong dammar. Jenis tanaman
alternatif selain damar, yang terdapat di repong damar antara lain adalah:
sijanggut,sibandung, sigabal, paghi ‘padi’; sanigulai ‘umbi-umbian’, tiung ‘terung’,
lepang ‘mentimun’; petula timput, lamuja ‘labu siam’; gelinyogh ‘kecipir’; ghetak
‘kacang polong’; liwa ‘kacang buncis’; kunjegh ‘kunyit’
4
Selain menanam di hutan, petani Krui membuat tiga jenis klasifikasi kualitatif
untuk mengukur tingkat keberhasilan mereka dalam fase menanam di kawasan kebun,
yang mereka sebut yaitu a) merawan artinya keberhasilan mendapatkan keberuntungan
dan mampu mencapai tujuan-tujuan yang bersifat ekonomis, (b) cukoh-genok, berarti jika
hasil kebun hanya pas-pasan dan tidak memberi efek ekonomi, dan c) mesisil, artinya
jika usaha berkebun tidak memberikan hasil ekonomi melainkan membawa kesialan bagi
mereka.
Fase produktif ketiga adalah kelompok etnis Krui mulai menamakan lahan
hutan pertaniannya dengan repong apabila sudah terpenuhi unsur keragaman jenis
tanaman keras (perennial crops) yang tumbuh di atasnya; misalnya damar, duku, durian,
petai, jengkol, melinjo, nangka, dan lain sebagainya. Semua jenis tanaman itu secara
berangsur sudah ditanam sejak fase kebun. Satu ciri penting yang membedakan fase
kebun dengan repong terletak dalam soal perawatan tanaman. Tanaman di repong tidak
memerlukan perawatan intensif seperti halnya tanaman kebun. Hal ini membawa
implikasi pada residensi petani, yaitu berkurangnya kebutuhan untuk tetap tinggal di
“hutan” seperti ketika mengurus ladang dan kebun, dan tibanya kesempatan bagi mereka
untuk menetap kembali di desa. Saat yang demikian biasanya berlangsung antara tahun
ke 10-15 (usai masa produktif kopi dan lada).
Tahapan pengelolaan lahan hutan sejak dari fase ladang hingga menjadi repong
damar dimungkinkan berlangsung karena adanya landasan sistem pengetahuan yang
telah kukuh di dalam kebudayaan orang Krui. Sistem pengetahuan tersebut dihasilkan
dari proses belajar bersama warga masyarakat ketika berinteraksi dengan lingkungan
alam dan lingkungan sosial mereka dalam kurun waktu lima belas tahun bahkan hingga
puluhan tahun. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa sistem pengelolaan hutan dengan
pola repong damar tersebut merupakan khazanah pengetahuan budaya suku Krui, yang
terus disempurnakan dari waktu ke waktu. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
seperti halnya yang dimiliki oleh orang Krui dalam mengelola hutan, adalah pengetahuan
yang bersifat unik bagi setiap kebudayaan atau masyarakat.
Yang menarik adalah kenyataan bahwa pengetahuan budaya mereka dalam
mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan, ajeg secara ekologis, ekonomis dan
sosial budaya, itu berlangsung tanpa mereka sadari hakikat keistimewaan yang
terkandung di dalamnya. Dalam wacana teoretik, keadaan seperti ini dikategorikan
sebagai tacit culture. Pada umumnya pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
5
memang merupakan sesuatu yang bisa dinyatakan sebagai tacit knowledge and therefore
difficult to codify, it is embedded in community practices, institutions, relationships and
rituals. Artinya pengetahuan itu tidak tertulis, tapi ia melekat dalam praktik-praktik,
institusi, hubungan hubungan, dan ritus-ritus yang diselenggarakan oleh masyarakat
Krui. Khasanah pengetahuan budaya lokal seperti yang digambarkan di atas sebenarnya
dapat diprediksi sedang berada di ambang kepunahan, karena berbagai faktor teknologi
elektronika, informasi, dan komunikasi yang melanda berbagai negara yang sedang
berkembang, seperti di Indonesia.
Ancaman kepunahan itu tidak lepas dari ideologi modernisasi yang kemudian
diwujudkan dalam paradigma pembangunan dunia yang bertumpu pada pertumbuhan
ekonomi. Kenyataan bahwa pengetahuan lokal pada umumnya belum terinventarisasi
bahkan tidak terkodifikasi, atau hanya hidup dalam alam pikiran warga suatu
masyarakat, situasi seperti itu akan mempermudah proses kepunahan itu manakala
tekanan-tekanan perubahan aspek material (sumber daya alam dan acuan model
pengelolaannya) terjadi dengan derajat yang jauh lebih besar dibandingkan kemampuan
masyarakat tradisional seperti orang Krui tersebut untuk tetap mempertahankannya.
Terlebih lagi karena seperti telah disebutkan di atas pengetahuan budaya itu
pada umumnya bersifat tacit, laten, atau tersembunyi. Kasus Krui sesungguhnya menjadi
pelajaran yang baik untuk hal ini. Kedatangan para peneliti secara silih berganti dari
mancanegara maupun domestik dalam 10 tahun terakhir merupakan sebuah “blessing in
disguise” yang datang tepat waktu. Sebab, pada awal 1990-an daerah Krui sudah menjadi
incaran para investor untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Lahan yang mereka incar adalah hutan buatan milik orang Krui yang sudah
berusia ratusan tahun dan hingga kini masih memberikan kontribusi ekonomi yang
signifikan bagi penduduk lokal. Jika saja para peneliti tidak mengungkap keunikan
sistem pengelolaan hutan yang sudah ditradisikan penduduk Krui, dan fakta itu tidak
dipaparkan ke khalayak luas, termasuk kepada para pengambil kebijakan di tingkat
pusat, maka sejarah Krui tidaklah seharum seperti sekarang. Pengungkapan Indigenous
Knowledge (selanjutnya disingkat IK) yang dimiliki orang Krui oleh kalangan peneliti
dan LSM telah membuahkan pengakuan pemerintah, antara lain dengan penetapan
kawasan hutan damar di Krui sebagai etalase agroforestry dunia. Penetapan itu
dicetuskan oleh mantan Menhut Djamaluddin S. (1994), pemberian Keprihatinan
terhadap ancaman kepunahan khasanah indigenous knowledge tersebut sangat jelas
6
terlihat dari forum diskusi internet yang dikelola Nuffic dan World Bank, yang khusus
memperbincangkan isu-isu IK di seluruh dunia.
Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas, penelitian upacara budidaya damar
dalam bahasa Krui perlu dilakukan. Penelitian mengenai dari segi antropologi
linguistiknini memang belum pernah dilakukan. Penelitian ini dapat menginventarisasi
bentuk kebudayaan tentang budidaya tanaman hutan yang diwariskan secara turun
temurun dalam masyarakat Krui dewasa ini. Pertanyaan dasar yang dapat dirumuskan
adalah: ”Bagaimana suku bangsa Krui dapat membangun hutan buatan untuk
membudidayakan damar, dan lahan pertanian untuk menanam tanaman pangan padahal
mereka bermukim dan hidup di pesisir pantai Krui Samudra Hindia?”.
2. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah di atas, terdapat dua masalah
pokok yang bersifat teknis yang akan dipaparkan dalam penelitian ini, yaitu: 1)
pengetahuan budaya suku Krui dalam mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan,
ajeg secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya; 2) ancaman kepunahan itu tidak lepas
dari ideologi modernisasi yang kemudian diwujudkan dalam paradigma pembangunan
dunia yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Kedua masalah pokok itu mempunyai
hubungan yang berujung pada salah satu masalah dasar, yaitu? Bagaimana suku bangsa
Krui dapat membangun hutan buatan untuk membudidayakan damar, dan lahan
pertanian untuk menanam tanaman pangan padahal mereka bermukim dan hidup di
pesisir pantai Krui Samudra Hindia?”. Masalah dasar itu diuraikan secara rinci melalui
beberapa aspek berikut:
1) Bagaimana medan makna verba dalam bahasa Krui yang menyangkut
pengetahuan lokal etnis Krui dalam praktik budidaya damar?
2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat Krui untuk
mengadakan upacara budidaya damar?
3) Nilai budaya apa saja yang terkandung dalam upacara budidaya damar
masyarakat Krui?
4) Bagaimana sikap bahasa suku Krui terhadap bahasa Krui?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
7
1) Mencari tahu medan makna verba dalam bahasa Krui yang menyangkut
pengetahuan lokal etnis Krui dalam praktik pengelolaan damar.
2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Krui untuk
mengelola hutan damar.
3) Mencari tahu nilai budaya yang terkandung dalam praktek pengelolaan hutan
damar masyarakat Krui.
4) Mencari tahu sikap bahasa suku Krui terhadap bahasa Krui.
4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya akan bermanfaat dari dua aspek yaitu: aspek teoretis
dan aspek praktis.
1) Manfaat Teoretis
(1) Melengkapi kerangka teori pengetahuan lokal tentang kelompok etnis
dalam praktik pengelolaan hutan dan pertanian.
(2) Memberi kontribusi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat
Krui untuk mengelola hutan damar.
(3) Memberi kontribusi tentang nilai budaya yang terkandung dalam praktek
pengelolaan damar masyarakat Krui.
2) Manfaat Praktis
(1) Sebagai bahan masukan bagi Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa dalam menyusun perencanaan bahasa daerah terutama di
kabupaten Lampung Barat.
(2) Hasil penelitian ini berguna untuk memahami tingkat keterdesakan bahasa
Krui oleh bahasa lain.
(3) Hasil penelitian ini mengungkapkan tentang kearifan lokal (Indigenous
Knowledge) yang dimiliki orang Krui tentang kawasan hutan damar di
Krui yang kini terus menghadapi ancaman kepunahan.
5. Metode Penelitian
Tempat penelitian adalah di Pesisir Barat Krui, Kecamatan Wai Krui Provinsi
Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus-September 2013.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan metode survei dan teknik penelitian
yang digunakan yaitu: 1) metode simak, dengan teknik dasar bebas libat cakap, dan
sadap perekaman, metode cakap dengan teknik dasar pancing; 2) metode survei
8
dengan teknik kuesioner. Analisis data digunakan teknik interpretasi komponensial
ujaran dalam wacana berbasis konteks dan situasi; menghitung besaran persentil
satuan bahasa asal ujaran lisan dan jawaban asal kuesioner. Metode deskriptif
digunakankan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek sesuai dengan
apa adanya. Metode deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian dilakkan semata-
mata hanya didasarkan fakta yang ada dan gejala yang memang secara empiris hidup
di tengah-tengah penutur sehingga gambaran tentang yang dihasilkan, atau pemerian
tentang bahasa yang digunakan sifatnya seperti potret atau paparan sebagaimana apa
adanya.
Data penggunaan bahasa diambil dengan menggunakan prosedur penelitian
kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata lisan dari orang-
orang dan perilaku yang diamati. Prosedur model ini digunakan dengan maksud untuk
memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian dengan penjelasan secara
rinci. Data prosedur kualitatif adalah kalimat atau ujaran yang mengandung medan
makna verba yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan hasil damar yang
mencakup komponen makna-makna, jenis makna dan fungsi makna semantis verba
mengelola dalam bahasa Krui khususnya pada masyarakat desa Pahmongan, Gunung
Kemala, pesisir selatan, dan desa Labuan Mandi kecamatan Wai Krui kabupaten
Pesisir Barat. Sumber data dalam penelitian ini adalah bahasa Krui yang dituturkan
oleh masyarakat Krui di beberapa desa di kabupaten Pesisir Barat. Penelitian ini
dilakukan dengan mengambil enam orang informan dengan yang telah ditentukan.
Keenam informan dipilih dengan alasan bahwa mereka benar-benar mengerti tata
kelola hutan damar dan hasil damar dalam bahasa Krui. Jumlah informan diseusikan
dengan jumlah instrumen yang digunakan agar memudahkan peneliti mendapatkan
data.
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik komunikasi
langsung atau wawancara dengan teknik pemancingan. Menurut Lincoln dan Guba
dalam Moleong (1998) wawancara adalah suatu percakapan denga tujuan. Tujuan
dilakukan wawancara untuk memperoleh konstruksi yang terjadi sekarang tentang
orang, kejadian, kegiatan, organisasi perasaan, motivasi, pengakuan, kerisauan, dan
sebagainya3. Pada dasarnya, percakapan atau wawancara itu diwujudkan dengan
pemancingan. Untuk mendapatkan data, peneliti pertama-tama harus dengan segenap
kecerdikan dan kemauannya memancing seseorang atau beberapa orang agar
3 Moleong, Lexy. J. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung Rosdakarya, 1998), hal 23
9
berbicara. Kegiatan memancing itu dapat dipandang sebagai teknik dasarnya, dan
disebut teknik pancing, demikian Sudaryanto (1993)4.
Alat yang digunakan dalam penelitian medan makna verba mengelola dalam
bahasa Krui adalah para penutur jati bahasa Krui yang bermukim di sepanjang pesisir
barat pantai Samudra Hindia di Lampung Barat sebagai informan kunci. Adapun
insturmen yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) instrumen berupa daftar
pertanyaan; (2) daftar kosa kata Swadesh, (3) kosa kata budaya; (4) pemancingan
menggunakan gambar; (5) peragaan.
6. Hasil dan Pembahasan
1) Analisis Hasil Penelitian
Perspektif linguistik khusus dari tataran semantik digunakan untuk melakukan
analisis komponen makna terhadap leksem verba ‘mengelola’. Dalam melakukan analisis
leksem verba ‘mengelola’ itu digunakan metabahasa yang terungkap dalam pemberian
makna suatu leksem, yaitu sebagai berikut: (1) dari sudut pandang arah ‘mengelola’
ditemukan komponen makna, ke atas, ke bawah, ke depan, ke belakang, ke samping; (2)
dari sudut pandang jarak ditemukan komponen makna jauh, dekat, tinggi, curam, landai,
datar; (3) dari sudut masa barang yang dikelola ditemukan komponen makna berat,
sedang, dan ringan; (4) dari sudut pandang jenis barang yang dikelola, temukan
komponen makna manusia, hewan, tumbuhan, benda cair dan benda padat; (5) dari sudut
pandang tanpa alat (anggota tubuh) ditemukan komponen makna dengan satu tangan,
dua tangan, bahu, tengkuk, kepala, punggung; (6) dari sudut pandang alat sebagai tempat
ditemukan komponen makna perusahaan, kebun, ladang, hutan, pengairan irigasi,
pertenakan, perikanan, pabrik, perdagangan, dan pasar; (7) dari sudut alat sebagai
pengelola ditemukan komponen makna rotan, pisau, pacul, dan golok; (8) dari sudut
posisi tubuh manusia yang mengelola ditemukan komponen makna berdiri, duduk,
membungkuk, jongkok, jinjit, menaiki batang pohon, melubangi batang pohon, dan
menanam; (9) dari sudut posisi tangan ditemukan komponen makna menggenggam,
terbuka, tangan ke atas, tangan ke bawah, tangan memeluk, memanjat batang pohon; (10)
dari sudut pandang jumlah ditemukan komponen makna satu, beberapa, banyak; (11)
dari sudut pandang waktu ditemukan komponen makna pagi, siang dan sore; (12) dari
sudut pandang tujuan ditemukan komponen makna untuk disimpan, dibuat menjadi,
4 Sudaryanto. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. (Yogyakarta: Duta Wacana University
Press, 1997), hal 137
10
dipindahkan, digunakan, dijual, dimanfaatkan; (13) dari sudut pandang emosi ditemukan
komponen makna paksa, kekerasan, keharusan, kebutuhan, diam-diam, biasa; (14) dari
sudut pandang pelaku ditemukan komponen makna laki-laki dewasa, wanita dewasa,
anak laki-laki, anak perempuan, sendiri, berdua, berkelompok dan beramai-ramai.
Berdasarkan analisis komponen makna di atas ditemukan dua kelompok verba
‘mengelola’ hutan pinus damar dalam bahasa Krui, yaitu mengelola menggunakan alat
dan tanpa alat. Berikut leksem-leksem verba ‘mengelola’ dalam bahasa Krui yang tidak
menggunakan alat antara lain: 1) mahili ‘mengalir’; 2) mabusuk ‘membusuk’; 3) ngakuk
‘mengambil; 4) ngusung ‘memikul’; 5) manyangu ‘mengering’; 6) makama ‘menjadi
kotor’; 7) liyut ‘licin’; 8) ngepekok ‘meletakkan’; 9) manunggang ‘memikul’; 10)
ngunduh ‘mengambil damar’. Leksem-leksem verba ‘mengelola’ dalam bahasa Krui
yang menggunakan sesuatu sebagai alat, yaitu : 1) najagh ‘mengambil pohon damar
yang baru tumbuh dari semaian’; 2) nuka ‘membuat lubang getah pada batang damar
menggunakan pisau’; 3) nyegok ‘menyimpan dalam rumah’; 4) nenom ‘menanam‘; 5)
mansa ‘menerima’; 6) macucuk ‘menusuk’; 7) ghegah ‘menurunkan’; 8) nyuncun
‘menjunjung di kepala; 9) netak ‘membersihkan ladang’; 10) niwa ‘mengangkat’.
2) Pembahasan
Verba yang menyangkut damar dalam bahasa Krui dipilah dalam dua kategori
yaitu: (1) membawa tanpa alat, dan (2) membawa dengan alat. Berikut ini uraian :
(1) Membawa tanpa alat
(i) Leksem mahili ‘mengalir’. Mahili adalah kegiatan melelehkan getah
batang pohon pinus dengan cara membuka kulit kayu sampai getah dapat
mengalir dan ditampung lubang yang dibuat pada batang pohon pinus itu.
(ii) Leksem mabusuk ‘membusuk. Mabusuk adalah kegiatan membuat pohon
menjadi busuk. Pohon menjadi busuk terserang penyakit atau tersambar
petir. Batang yang busuk itu dibawa ke suatu tempat khusus berbentuk
lubang untuk dijadikan kompos bersama daun-daunan yang gugur dan
lembab di dalam hutan.
(iii) Leksem ngakuk ‘mengambil. Leksem ngakuk memiliki makna
meninggikan, membawa ke atas atau menaikkan. Untuk batang getah
damar yang sudah dapat dipanen yang berumur 30 hari dapat diambil dari
setiap lubang getah pada pohon damar dengan menggunakan satu tangan.
11
Setiap lubang getah damar itu memiliki masa yang ringan sehingga
anggota tubuh yang digunakan hanya satu tangan
(iv) Leksem ngusung ‘memikul’. Leksem ngusung adalah kegiatan
membawa barang dengan meletakkan barang di atas bahu. Barang yang
dibawa dapat berupa kayu pinus atau damar ‘getah pinus’ itu. Ngusung
dapat dilakukan oleh orang dewasa laki-laki karena barng yang dibawa
memiliki bobot yang berat.
(v) Leksem manyangu ‘membiarkan getah mengering’. Leksem menyangu
memiliki makna membawa getah dari dalam batang untuk dibawa ke luar
batang. Batang yang dilubangi akan melelehkan getah dan getah itu
dibiarkan mongering hingga satu bulan di lubang batang pohon.
(vi) Leksem makama ‘menjadi kotor’. Leksem makama memiliki makna
membawa getah kering yang berjatuhan di tanah yang sudah kotor,
kemudian diambil untuk dimasukkan dalam keranjangnya. Damar
makama kemudian dibersihkankan dari kotoran.
(vii) Leksem liyut ‘licin’. Leksem liyut memiliki makna membawa getah
damar dari dalam hutan menunju kampung melalui yang jalannya
menurun dan licin saat hujan. Liyut dilakukan secara perlahan-lahan.
Acuan dari kegiatan ini adalah orang yang membawa damar dari dalam
hutan yang letaknya sampai 10 kilometer ke arah kampong.
(viii) Leksem ngepekok ‘meletakkan’. Leksem ngepekok memiliki makna
membawa sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain dengan cara
melepaskan. Getah damar yang sudah banyak dialirkan ke dalam lubang
getah pada batang pohon pinus, diambil lalu diletakkan di dalam
keranjang penampung getah.
(ix) Leksem manunggang ‘memikul’. Leksem manunggang adalah kegiatan
membawa barang getah damar yang sudah kering yang diambil dari
lubang pada batang pohon dengan meletakkan di atas bahu. Barang yang
dibawa dapat berupa kayu, biji, getah, pohon pinus yang sudah
disemaikan dan siap tanam.
(x) Leksem ngunduh ‘mengambil damar’. Leksem ngunduh memiliki makna
mengambil sesuatu lalu dibawa. Yang dibawa berupa getah damar, yang
sudah kering dan berbentuk padat. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh
orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan.
12
(2) Leksem-leksem verba ‘mengelola’ dalam bahasa Krui yang menggunakan
sesuatu sebagai alat, yaitu :
(i) Leksem najagh ‘mengambil pohon damar yang baru tumbuh dari
semaian’. Leksem nayagh memiliki makna sama dengan ngunduh. Dalam
bahasa Krui dikhususkan pada mengambil pohon damar yang baru
tumbuh dari semaian misalnya ditanama di dalam polibag tas plastik
hitam untuk menanam bibit pohon untuk ditanam di repong.
(ii) Leksem nuka ‘membuat lubang getah pada batang damar menggunakan
pisau’ jika alat yang digunakan berupa rotan yang dibuat meruncing,
maka yang dibawa berupa getah damar. Menentukan objek yang dibawa
dalam leksem nuka dapat dilihat dari alat yang digunakan.
(iii) Leksem nyegok ‘menyimpan dalam rumah’. Leksem nyegok memiliki
makna memuat dan membawa. Yang dibawa atau diangkut menggunakan
gerobak. Barang yang diangkut dapat berupa damar, durian, duku,
nangka, buah-buahan lain, atau barang dalam jumlah banyak dari hasil
dari dalam hutan untuk disimpan di dalam rumah.
(iv) Leksem nenom ‘menanam‘. Leksem nenom memiliki makna memakai
atau membawa alat untuk menanam seperti cangkul atau pacul. Yang
dipacul adalah tanah, dengan cara membuat lubang untuk menanam bibit
pohon pinus atau pohon buah yang dapat hidup berdampingan di lahan
yang sama seperti buah cempedak, lada, nangka dls.
(v) Leksem mansa ‘menerima’. Leksem mansa memiliki makna mendapat
sesuatu, menadah sesuatu yang diberikan dengan tangan terbuka. Kegitan
ini dapat dilakukan oleh semua orang. Benda yang diterima bisa
berukuran sedang dan kecil.
(vi) Leksem macucuk ‘menusuk’. Leksem macucuk memiliki makna
membawa sesuatu, menusuk getah damar yang sudah mengeras di dalam
lubang yang terdapat di batang pohon untuk dikeluarkan dari lubang atau
untuk memecah getah yang menggumpal di dalam lubang getah yang
sudah disediakan menggunakan rotan yang runcing..
(vii) Leksem ghegah ‘menurunkan’. Leksem ghegah memiliki makna
membawa getah damar dengan keranjang yang digendong dipunggung.
Getah damar yang sudah diambil dari pohon dimasukkan dalam keranjang
setibanya di tempat peristirahatan berupa rumah kecil di dalam hutan.
13
(viii) Leksem nyuncun ‘menjunjung di kepala’ leksem ini memiliki makna
membawa keranjang yang menggunakan tali berbentuk selendang,
selendang itu dapat disampirkan di atas kepala atau disilangkan di dada.
(ix) Leksem netak ‘membersihkan ladang’. Leksem netak artinya mengambil
atau membersihkan dari rumput-rumput yang megganggu tanaman
bernilai ekonomis. Alat yang digunakan untuk netak adalah cangkul, arit,
golok.
(x) Leksem niwa ‘mengangkat’. Leksem niwa memiliki makna membawa
barang dari satu tempat ke tempat lain. Sasaran yang dibawa dalam
kegiatan ini beragam, mulai dari manusia, tumbuhan benda cari, getah
damar, benda padat. Leksem ini dapat dilakukan oleh orang mulai dari
anak-anak hingga orang dewasa.
(3) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Budidaya Damar
Tujuh faktor yang mempengaruhi masyarakat Krui membudidayakan damar yang
ditemukan di dalam penelitian ini. Temuan penelitian ini berbeda dengan temuan
Wijayanto (2002) yang hanya menemukan tiga faktor penyebab masyarakat Krui
membudidayakan damar, yaitu: 1) sosial; 2) ekonomi; 3) komoditi ekspor.
Berdasarkan pengamatan, wawancara, dan analisis data hubungan semantik dan
penggunaan bahasa Krui yang diperoleh melalui rekaman dan pencatatan ditemukan
faktor-faktor penyebab itu sebagai berikut: 1) warisan adat; 2) kearifan lokal tentang
budidaya damar; 3) keadaan alam; 4) pelestarian hutan; 5) lahan mananam damar; 6)
penangkal erosi genetis; 7) psikis; 8) budaya
(i) Faktor Warisan Adat
Topik pembicaraan pada percakapan tentang cerita pelipur lara di ranah
sekolah, rumah, pada data 1, 2 dan data 13 memperlihatkan bahwa damar diartikan juga
sebagai ‘harta’ yang diwariskan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya dalam
masyarakat Krui. Rumah maupun sekolah menjadi tempat menyampaikan tata adat orang
Krui mewariskan damar secara turun temurun.
Ulun tuha ni jak jaman tumbai dija haga
ngawaghisko ghepong ni damagh jama
anakni meghanai
‘Orang tua kami sejak jaman dulu mewariskan
hutan damar kepada anak mereka utamanya
kepada anak laki-lakinya.
14
Ungkapan bahasa seperti yang tertera pada data 13 menunjukkan bahwa
masyarakat Krui terus melindungi harta warisan yang diturunkan oleh orang tua mereka.
Harta itu berupa jajaran pohon damar pinus mengisi bukit di wilayah pesisir. Masyarakat
Krui dalam mengelola hutan damar mempunyai hukum adat yang khas untuk melindungi
pohon damar itu. Hukum adat yang dimaksud dalam penelitian ini hukum yang tidak
tertulis. Hukum itu berupa pesan dari orang tua Krui kepada anak-anak Krui untuk terus
menjaga dan melindungi pohon damar contoh ungkapan bahasa Krui yang berbentuk
leksem tenangau ‘penyakit pohon damar’; nanjagh ‘upaya memperlakukan pohon damar
dari serangan penyakit’; pitit ‘mencubit seseorang di bagian kulit perut sebagai hukuman
bila merusak damar’. Ungkapan itu merupakan contoh yang sangat jelas terjadinya
hokum adat yang terus terpelihara dalam rangka pelestarian adat yang berkaitan dengan
pohon damar.
(ii) Kearifan Lokal tentang Budidaya Damar
Ungkapan yang tertera pada data 14, dan data 10 tentang cawak jama batangni
damagh ‘Berbicaralah dengan pohon damar’. Ungkapan ini mengandung makna bahwa
pohon damar dapat membantu orang Krui untuk mengatasi kesulitan ekonomi dengan
cara memanfaatkan getahnya untuk dijual. Pohon itu dipersonifikasikan sebagai sosok
yan gdapat berbicara. Ungkapan itu erat dengan mepukko uwahni damagh ‘ membuat
semaian buah damar’; pohon damar perlu mendapat perhatian terus untuk tetap hidup
dengan cara melakukan pembibitan melalui buah pohon itu. Pohon yang sudah berumur
mencapai sedikitnya 20 tahun sudah dapat dibuat lubang getah yang disebut peppat
‘lubang pada batang damar’, nuka ‘penampung getah damar’. buah pohon pinus damar
ini dapat diambil untuk disemaikan. Buah yang jatuh dan sudah dapat disemaikan itu
disebut lahang ‘buah damar jatuh di tanah’. Buah lahang itu disemaikan di suatu tempat
penyemaian yang disebut tumpak damagh ‘sebidang tanah yang ditumbuhi damar’;
jelatong wai; jelatong kebau ‘benalu yang tumbuh di pohon damar’; anjung ‘tempat
istirahat di hutan damar’. Paparan di atas menunjukkan bahwa pengetahuan tentang
pembudidayaan damar berlangsung secara turun temurun yang diungkapkan dalam
bahasa Krui yang khas. Artinya petani damar di pesisir Krui memiliki sudah memiliki
pengetahuan yang sifatnya turun temurun mulai dari pembibitan, penanaman,
pemeliharaan dan pemanenan.
(iii) Potensi Alam
Data no 6, 7, 8, 9, dan 13 memperlihatkan bahwa faktor keadaan alam
menunjukkan bahwa tempat tinggal masyarakat Krui berada pada daerah topografis
15
berbukit sampai bergunung dan berombak sampai begelombang. Kutipan data no 13
sebagai berikut:
Di kanan di kiri ni ghang layang sabah
jutaan hektagh sabah jak ghepong tandani
kemakughan Lampung Pesisigh Baghat
‘Di kanan dan kiri tempat
tinggal kami terdapat
jutaan hektar sawah dan
kebun sebagai tanda
kemakmuran Lampung
Pesisir Barat’
Dua jenis daerah topografis ini dibahas sebagai berikut: daerah berbukit
merujuk pada tempat pemukiman di lereng-lereng curam atau terjal dengan ketinggian
300 m di atas permukaan laut. Daerah ini meliputi bukit barisan sebelah barat dan terus
menyusur ke pantai selatan yang berbukit-bukit dengan puncaknya adalah puncak bukit
Pugung. Daerah ini umumnya ditumbuhi tumbuhan damar. Selain di bukit curam.
Masyarakat Krui tinggal di bukit-bukit rendah yang diselingi dataran-dataran yang
sempit dengan ketinggian 500 m permukaan laut. Vegetasi di daerah ini adalah tanaman
perkebunan kopi, cengkeh, lada dan tanaman pertanian berupa perdalangan padi,
cengkeh, lada, jagung, kelapa, dan sayur-sayuran. Kutipan data no 4 berikut
memperlihatkan fakta tersebut.
Jadi masyaghakat jak kecamatan
Batang Aghi aga ngajual hasil
pertanian tiyan sebangsa
kahuwa, gula suluh, gulai, katila,
ubi tiusung pakai geghobak ghik
kuda mit pasagh Kghui. Sampai
di Labuan Mandi kigha-kigha
lima kilometegh lagi mit pasagh
jadi jelema-jelema jak bali bukit
di jenoh taghupai, jak mandi
Masyarakat dari kecamatan Sungai Ngalayah
ini akan menjual hasil pertanian merka seperti
kopi, gula merah, sayur mayor, ubi rambat,
singkong, yang diangkut menggunakan
gerobak yang ditarik kuda untuk menuju ke
pada Krui. Sampai di Labuan Mandi kira-kira
lima kilometer lagi jaraknya mereka sebelum
kembali ke bukit, istirahat, dan mandi di desa
ini, jadi istirahat disebut sebagai labuhan, dan
temat mandi di sungainya.
(iv) Pengetahuan tentang Pelestarian Hutan
Leksem pulan ‘hutan’, pulan tuha ‘hutan alam’, pulan ngugha ‘hutan buatan’,
pangghula ‘hutan untuk dijadikan kebun’, daghak ‘hutan dijadikan ladang’, ghepong
‘hutan buatan’ menunjukkan konfigurasi jenis-jenis tanaman yang tumbuh di hutan,
terdapat pada data 1-16. Fakta ini menunjukkan bahwa orang Krui memelihara hutan dan
mereka sangat dekat dengan hutan, hal itu dibuktikan dengan banyaknya kosa kata yang
digunakan untuk menyebut hutan. Artinya orang Krui melestarikan hutan. Ditinjau dari
16
lingkungan hidup hutan yang dilestarikan oleh orang Krui yang disebut dalam erbagai
istilah itu menunjukkan hutan memegang peranan penting bagi kehidupan mereka. Hutan
itu menjadi kawasan yang berfungsi sebagai resapan air, penyeimbang iklim, dan sebagai
tempat hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan. Ditinjau dari segi ekosistem, hutan
yang diperlihara oleh orang Krui dapat dianggap sebagai ekosistem buatan. Hal ini
sejalah dengan konsep yang dikemukakan oleh Johnson (2005) tentang ekosistem buatan
yakni ekosistem yang dibuat oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hutan
tanaman produksi seperti jati dan pinus.5
(v) Pengetahuan tentang Jenis Lahan Dalam Hutan
Masyarakat Krui membedakan adanya dua tipe lahan hutan untuk menanam
damar, yaitu: 1) pulan tuha ‘hutan rimba saat pertama kali dibuka oleh para leluhur’, dan
2) pulan ngura ‘hutan yang sudah dikelola menjadi lahan untuk ditanami’. Pulan tuha
menjadi sasaran pertama dalam pemilihan lahan ketika seorang petani paa jaman dahulu
berniat membuka hutan untuk kegiatan pertanian. Ini disebabkan oleh adanya anggapan
bahwa lahan demikian masih memiliki kesuburan yang tinggi. Pengelolaan lahan hutan
hutan rimba menjadi pulan ngura hutan buatan berlangsung dalam proses sekitar 20 – 30
tahun. Tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan orang Krui dibedakan atas tiga
ruang, yaitu (1) daghak, (2) pangghula, dan (3) ghepong. Ketiga ruang itu terdapat di
hutan alam yang sama. Menurut pengetahuan orang Krui hutan itu berbeda-beda ruang.
Hal itu berkaitan dengan definisi, konsepsi dan harapan-harapan yang mereka tempatkan
pada masing-masing ruang pengelolaan tumbuhan yan gada di situ. Perbedaan itu secara
jelas diwujudkan dalam bentuk kerja pengelolaan lahan. Ruang pertama atau panghula
dimulai ketika petani sudah selesai mempersiapkan lahan siap tanam yang membutuhkan
waktu sekitar 2-3 bulan. Lahan ini akan ditanami padi padang, dan palawija. Ruang
kedua disebut daghak ‘ladang’, di ruang ini ditanami jagung, terung, labu, kelapa, coklat
dan cengkeh. Daghak dapat ditanami setelah 3-5 tahun pembukaan lahan. Ruang ketiga
adalah ghepong, yang ditanami berbagai tanaman damar. lada, kopi, duku, durian,
nangka, jengkol atau cengkeh.
(vi) Interaksi Sosial
Interaksi sosial merujuk kepada pengertian saling melakukan aksi, berhubungan,
dan mempengaruhi. 6 konsep ni mengisayratkan bahwa hubungan sosial yang dinamis
5 Johnson, K. Biology (Oxford: Oxford University Press, 2005) p. 215 6 Soerjono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Raja Gafindo, 1990), hal 50
17
antar menyangkut hubungan antarindividu, individu dan kelompok, atau antarkelompok.
Bagi masyarakat Krui melakukan budidaya damar dapat dijadikan peranti untuk bekerja
sama. Bekerja sama dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu upaya bersama antar
individu atau kelompok untuk mencapat tujua bersama. Data no 1, 2, dan 13
menunjukkan bahwa masyarakat Krui saling bekerja sama satu sama lain. Ungkapan data
no 9 tentang:
Kapankah pagi ghani, nelayan
nininggeghan
‘Waktu pagi hari, nelayan sudah
berlayar ke lautan’
Ngusung iwak wai ghe huhang
mengunduh kenikmatan
‘Membawa ikan banyak untuk
kebutuhan, demikian lah mereka
mendapat kenikmatan’
Di kanan di kiri ni ghang layang
sabah jutaan hektagh sabah jak
ghepong tandani kemakughan
Lampung Pesisigh Baghat
‘Di kanan dan kiri tempat tinggal kami
terdapat jutaan hektar sawah dan kebun
sebagai tanda kemakmuran Lampung
Pesisir Barat’
Kutipan data no 9 menunjukkan bahwa masyarakat Krui menyadari memiliki
kepentingan dan tujuan yang sama memanfaatkan sumber daya alam bagi dirinya sendiri
dan orang lain. Kerja sama itu timbul karena orientasi orang perorangan terhadap
kelompoknya dan kelompok lainnya.
(vii) Psikis
Ada lima faktor psikis yang menjadi penyebab orang Krui melestarikan pohon damar,
yaitu: (1) perasaan suka; (2) pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; (3) diperoleh
dengan cara mudah.
(1) Perasaan Suka atau Tidak Suka
Perasaan suka atau tidak suka dikategorikan sebagai sikap. Contoh perasaan
suka terhadap damar dapat dilihat pada data nomor 3. Keadaan ini menggambarkan
bahwa damar sangat disukai oleh warga Krui karena bernilai untuk dijual.
(2) Pemenuhan Kebutuhan Hidup Sehari-hari
Contoh percakapan pada data no 5, 6, dan 7 memperlihatkan keadaan psikis
seperti keadaan sedang membutuhkan uang. Damar yang diperoleh sudah banyak
disimpan di dalam gudang di rumah sehingga layak untuk dijual ke pasar. Penggunaan
bahasa Krui sangat sering dipilih untuk digunakan oleh para penutur bahasa Krui ketika
merka mengungkapkan isi hatinya kepada keluarga atau teman dekatnya yang mengerti
bahasa itu.
18
(3) Getah Damar Diperoleh dengan Cara Mudah
Contoh percakapan pada data nomor 1, 2, 3, 6, 8, dan 9 menunjukkan
mengumpulkan getah damar dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Pohon
damar yang ada sekarang sudah diolah oleh orang Krui sejak ratusan tahun yang lalu.
Sekarang Krui merupakan daerah konservasi di provinsi Lampung. Wilayah ini kaya
akan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu sumber daya alam itu, adalah
poohon damar. pohon damar yang disadap getahnya terlebih dahulu dibuat tempatnya
yang disebut takik ‘lubang pada batang pohon tempat getah’. Getah damar dapat dipanen
sepanjang tahun, jangka waktu pengambilan antara 30 sampai 50 hari. Ketika penelitian
ini berlangsung harga getah damar perkilogram Rp 20.000,-, satu pohon damar dapat
menghasilkan 10-20 kilogram getah perbulan. Petani damar pada umumnya memiliki
lebih dari satu pohon damar. Artinya getah damar dapat diperoleh dengan mudah dan
bernilai untuk dijual.
8) Budaya
Data no 1 sampai dengan data no 16 berupa ujaran lisan bahasa Krui dianggap sebagai
budaya Krui. Budaya dalam penelitian ini dipahami bersumber pada manusia sebagai
makhluk paling sempurna yang memiliki pikiran, akal budi, dan perasaan. Dengan
pikiran, akal budi dan perasaan manusia mampu menciptakan segala sesuatu yang
dibutuhkan. Segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia menghasilkan “benda” budaya.
Pengertian benda dalam konteks penelitian ini merujuk pada pengertian benda budaya
yang dikemukakan oleh Sinamura (1987), antara lain alat pertanian, perkebunan, adat,
pakaian, rumah sarana transportasi, bahasa lisan, bahasa tulisan, kesenian, adat istiadat,
peraturan, kepercayaan dan kehidupan agama. Tingkah laku manusia dalam mencari,
memperoleh dan memanfaatkan barang budaya mencerminkan budaya manusia.7
Ungkapan pughanti titenom damagh ‘kebiasaan menanam damar’, mulai dari
memungut buah damar yang jatuh di tanah yang disebut lahang. Proses membibitkan biji
damar disebut mepukko uwah ni damagh. Lahang yang disemaikan dan sudah bertumbuh
disebut najar. Najar yang ditanam di lahan khusus untuk menamam damar disebut
gheppong, di dalam ghepong terdapat ruang damar yang yang disebut numpak; Pohon
damar yang masih muda disebut kaban. Urutan peristilahan di atas diurutkan sebagai
berikut: buah damar yang jatuh ke tanah dianggap sebagai buah yang dapat tumbuh
7 Sinamura, P. Ilmu Bumi Alam. (Jakarta: Pejuang Bangsa, 1987), hal 183
19
menjadi pohon damar. Biji damar yang jatuh ke tanah itu akan terjadi proses
perkecambahan yang dipengaruhi oleh iklim, suhu, keadaan air, oksigen dan keadaan biji
disebut mepukko. Tanangau, jelatong wai, atau kabau merupakan masa biji atau pohon
damar tidak aktif untuk tumbuh karena kondisi lingkungan kurang mendukung untuk
tumbuhnya kecambah. Menurut petani damar Krui, kecambah damar tumbuh pada saat
gelap atau sedikit cahaya. Dengan temperatur berkisar walu belas jak eppa em puluh
‘delapan belas sampai empat puluh’. Paparan ungkapan lisan atau ujaran ini
menunjukkan bahwa petani Krui mempunyai sistem pengetahuan yang khas tentang
budidaya damar. Artinya budaya berbahasa erat hubungannya dengan norma-norma,
nilai-nilai sosial, maupun nilai-nilai budaya Krui.
Norma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran untuk mementukan
sesuatu. Norma merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi untuk mendorong orang
perorangan, masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial. Norma
merupakan kumpulan pendapat “Bagaimanakah seharusnya manusia bertingkah laku
yang pantas dan kepantasan itu menjadi terbiasa”, yang selanjutnya diturunkan secara
turun temurun, sehingga mewujudkan peraturan-peraturan hidup bagi pergaulan dalam
kehidupan bermasyarakat.
Menurut hasil wawancara dan pengamatan peneliti ini pada sistem sapaan warga
Krui misalnya seorang ibu menceritakan tentang sesuatu, contoh kutipan data nomor 17
sebagai berikut:
P1 Mak, api jemoh tuyuk aga mulang? ‘Bu apakah besok buyut akan pulang?’
P2 Mawek jemoh! ‘Tidak besok’
Kutipan data no 17 mengilustrasikan bahwa seorang anak ketika menyebut buyut
dengan sapaan tuyuk ‘buyut’ dan menyapa adik ibu yang berjenis kelamin perempuan
dengan sapaan minan ‘bibi’dan menyapa adik ibu yang berjenis kelamin perempuan
dengan sapaan pakngah ‘paman’. Norma yang terlihat pada warga Krui ini terlihat pada
pilihan kata yang dipilih ketika bertutur sapa dibedakan berdasarkan jenis kelamin
penuturnya. Contoh ini memperlihatkan bahwa dalam berinteraksi verbal mereka masih
memegang teguh norma-norma yang terdapat dalam warga Krui dengan
mempertimbangkan kepada siapa dia bertutur. Percakapan pada ranah sekolah untuk
sekolah dasar kelas tiga data nomor 18 ketika pelajaran bahasa sedang berlangsung guru
20
dan siswa menggunakan bahasa Krui dan bahasa Indonesia secara bergantian. Para siswa
yang berasal dari berbagai suku bangsa yang tidak mengerti bahasa Krui pelajaran
dijelaskan menggunakan bahasa Indonesia. Perbedaan pemakaian bahasa pada data
nomor 18 secara implicit menunjukkan ada perbedaan budaya.
Membahas perbedaan budaya yang melingkupi warga Krui, penelitian ini
merujuk definisi kebudayaan sebagai jalinan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, keagamaan, hokum adat istiaat, dan lain-lain kenyataan maupun
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyrakat.8 Lebih lanjut
dijelaskan oleh Suparto bahwa kebudayaan ada dua jenis yaitu kebudayaan material dan
non aterial. Kebudayaan material yang dimiliki oleh warga Krui yang ditemukan di
dalam penelitian ini berupa:1) budidaya damar; 2) alat-alat untuk mengambil getah
damar dari pohon damar; 3) nama berbagai jenis getah damar; 4) penggunaan bahasa
Krui yang berkaitan dengan seluk beluk damar; 5) nama tempat getah yang terdapat pada
batang pohon damar; 6) nama-nama lahan tempat tumbuh damar; 7) jenis-jenis tanaman
yang dapat bersanding tumbuh dengan pohon damar di hutan; 8) klasifikasi getah damar
menurut cara pandang orang Krui yang dapat dijual di pasar Krui dengan harga Rp
20.000/kilogram.
Kebudayaan non material yang dimiliki warga Krui yang ditemukan dalam
penelitian ini, karsa yang berwujud kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat yang tercermin
melalui penggunaan bahasa Krui. Setiap ujaran terkandung adanya amanat atau pesan
yang bersifat intrinsik. Berikut uraian pesan itu:
(1) Pesan Instrinsik
Bahasan mengenai pesan intrinsik, pembicara menjadi tolok ukurnya.
Pembicara ketika berbicara kepada mitra bicaranya baik itu (khalayak atau individu)
memiliki tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Cara-cara dan tahap-tahap yang
dilakukan atau dilalui sangat bergantung pada tujuan dan isi pesan yang ingin
disampaikan. Setiap interaksi sosial warga Krui selalu memperlihatkan hubungan di
mana terjadi proses saling pengaruh mempengaruhi antar individu, individu dengan
kelompok, maupun antar kelompok. Proses interaksi dipahami ada pihak yang berbicara
kepada pihak lain untuk menyampaikan pesan. Temuan penelitian ini menunjukkan
beberapa fungsi pembicara sebagai penyampai pesan.
8 Suparto. Sosiologi dan Perubahan Sosial. (Bandung: CV Amino, 1987), hal 133
21
(i) Pembicara Berfungsi sebagai Pembaharu (change of agent)
Dalam konteks ini seorang pembicara mampu mengembangkan suasana
dengan tujuan mencapai suatu perubahan, atau menyadarkan khalayak. Pembicara ingin
ada sesuatu yang perlu diubah untuk mencapai tingkat kehidupan tertentu. Mula-mula
pembicara mengemukakan masalah yang sama-sama dihadapi, misalnya pada
percakapan yang tertera pada data nomor 18, 16, 15, 3 dan 4. Pada data nomor 18,
seorang guru menghadapi masalah tentang suku kata dalam bahasa Krui yang belum
dipahami oleh siswa, guru menjelaskan cara untuk mengetahui suku kata. Setelah
penjelasan disampaikan, guru di kelas itu memberi latihan kepada siswanya, dengan
tujuan agar dapat memahami suku kata dalam bahasa Krui. Pemahaman suku kata dapat
dicapai melalui beberapa latihan yang diberikan kepada siswa di kelas tiga sekolah dasar.
Data nomor 18 mengandung pesan secara intrinsik sebagai berikut: (i)
pembicara dalam hal in guru telah menciptakan keadaan hubungan yang baik antara guru
dan siswa; kemudian siswa patuh kepada guru; (ii) siswa yang belum mengerti tentang
suku kata dalam bahasa Krui dijelaskan secara berulang, setelah itu siswa mengerti,
artinya masalah itu dicarikan solusinya; (iii) guru berusaha menanamkan pengertian
kepada siswa agar keadaan belum paham tentang suku kata dihadapi dan perlu diubah.
Dengan kata lain, pembicaraan diarahkan pada upaya agar siswa mempunyai keinginan
atau hasrat kuat untuk mengubah keadaan, dari tidak mengerti suku kata bahasa Krui
menjadi mengerti tentang suku kata bahasa tersebut. Untuk mewujudkan upaya itu harus
ada kerja nyata, yaitu mempelajari kosa kata, membuat latihan, dan mengulang-ulang
untuk membuat suku kata dengan jenis-jenis kata yang berbeda.
(ii) Pedengar yang Baik
Pendengar yang baik bisa bersifat aktif maupun pasif. Pendengar yang baik
dan bersifat aktif, terjadi pada dialog para anggota keluarga di rumah, dan pada peristiwa
dialog yang terjadi di sekitar kantor kepala desa ketika kepala desa yang juga berperan
sebagai kepala adat dengan para warganya. Pendengar yang baik dan bersifat pasif juga
terjadi pada peristiwa pembacaan sagata Krui ‘puisi Krui’ di sekolah. Temuan penelitian
ini dari aspek kebudayaan Krui baik material maupun non material memiliki beberapa
fungsi: (1) kandungan dan kekuatan daya pemersatu serta daya tarik keindahan; (2)
memancarkan potensi ekonomis, yaitu menarik wisatawan baik domestik maupun
mancanegara.
(2) Ikatan Kekarabatan
22
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara peneliti dengan para informan
diperoleh, bahwa para earga Krui satu samalain masih memiliki ikatan kekeabatan yang
berasal dari satu nenek moyang, yang masih dapat ditelusuri kekerabatannya, melalui
lingkungan itulah, para kelompok warga Krui berusia muda mengenal dunia sekitarnya,
serta pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Orang tua, saudara, dan kerabat
tinggal di desa-desa yang homogen. Keadaan itu menjadikan para warga Ranau
kelompok usia tua beserta kerabatnya dapat mencurahkan perhatainnya untuk mendidik
anak, agar anak memperoleh pergaulan hidup melalui penanaman disiplin, dan pergaulan
yang terarah. Data nomor 1 hingga 18 mengindikasikan pengalihan bahasa ibu dalam hal
ini bahasa Krui dari orang tua kepada anak, demikian pula tata cara memperlakukan
pohon damar yang sangat banyak tumbuh di sekitar hutan yang tidak jauh dari tempat
tinggal mereka. Situasi sosial maupun situasi alam seperti itu menjadi dasar bagi
kelompok usia muda Krui untuk mengenal nilai-nilai tertentu seperti nilai pendidikan,
nilai kebahasaan, kesantunan, ketertiban, keindahan alam, kelestarian alam yang perlu
dijaga, ketenteraman, kedamaran, kehutanan, pertanian, kelautan, dan nilai kekerabatan.
Penelitian ini hanya membatasi diri pada nilai yang berkaitan dengan budidaya
damar/ nilai yang dimaksud ialah pandangan atau keyakinan seseorang bahwa sesuatu itu
berharga, berguna, pantas atau patut untuk dimiliki dan dilakukan. Nilai itu memiliki
cirri, antara lain nilai merupakan ciptaan masyarakat yang tercipta melalui interaksi
warga masyarakat. Nilai sosial diteruskan di antara individu-individu satu kelompok ke
kelompok lain. Nilai ini tercermin melalaui bahasa yang mereka gunakan. Warga Krui
masih memegang teguh budidaya damar berdasarkan nilai pelestarian alam, nilai
ekonomis serta istilah yang berkaitan dengan seluk beluk damar itu.
9) Tradisi Pengolahan Hutan
Ditinjau dari aspek menciptakan dan melestarikan sistem sistem tepat guna yang
dilakukan petani Krui yaitu memadukan tradisi pengolah hutan dengan perkembangan
pertanian sebagaimana tertera di atas, dianggap sebagai temuan penelitian ini. Temuan
ini berbeda dengan temuan Wijayanto (2002) dalam penelitiannya tentang “Analisis
Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Pantai Krui Lampung”.9
Wiajayanto membuat model metode dan teknik analisis strategis terhaap unsur internal
dan eksternal dari sistem pengwlolaan repong damar, yang dilakukannya dengan
9 Wijayanto, Nurheni. “Analisis Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui
Lampung”. Dalam Jurnal Menejemen Hutan Tropika Vol VIII, No 1 (39-49), tahun 2002 .
23
menggunakan analisis SWOT, AHP, dan Skala Likert. Analisis SWOT dalam penelitian
Wijayanto (2002) merujuk kepada cara mengidentifikasi berbagai faktor internal dan
eksternal secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan damar di Krui.
Dalam penelitian itu dijelaskan bawha SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal
dianggap sebagai aspek yang bersifat Strengths ‘kekuatan’ dan Weakness ‘kelemahan’;
serta lingkungan eksternal yang diistilahkan dengan Opportunities ‘peluang’, dan
Threats ‘ancaman’ yang dihadapi oleh para petani damar di Krui dalam dunia usaha atau
bisnis damar. Konsep analisis SWOT itu dikutip dari Rangkuti (1997)10. Selanjutnya
analisis Analytical Hierarchy Process (selanjutnya disingkat AHP) merujuk kepada suatu
metode menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan pertimbangan-
pertimbangan untuk menghasilkan sklaa prioritas relatif, yang diintisarikan dari konsep
yang dikemukakan oleh Saaty (1993).11 Dalam penelitian Wijayanto (2002)
memposisikan sistem pengelolaan repong damar peubah-peubah yang bersifat strategis
berupa tiga unsur yaitu: 1) unsur internal yang terdiri dari (kekuatan dan dan kelemahan);
2) unsur eksternal yang terdiri dari (peluang dan ancaman); serta 3) unsur nilai pengaruh
dari peubah-peubah yang bersifat strategis.
Penelitian Wijayanto (2002) menemukan bahwa peubah-peubah unsur kekuatan
dan nilai pengaruhnya antara lain dikemukakan bahwa: (1) institusi pewarisan yang
masih berfungsi, jaminan keamanan bagi ekonomi rumah tangga sehari-hari dari damar
maupun hasil kebun lain; (2) kesesuaian tempat tumbuh tanaman damar maupun hasil
kebun lain; (3) pengetahuan turun temurun menyangkut pengelolaan repong damar; (4)
keterpaduan pohon damar denga agro-ekosistem lain dalam satu sistem sumberdaya; (5)
keanekaragaman hayati hampir menyamai hutan alam; (6) tataniaga damar relatif
berkembang dan mapan; (7) input modal berupa biaya dan tenaga kerja relatif rendah; (8)
pemilikan repong damar merupakan simbol status sosial.
Selain mengemukakan kekuatan petani damar, Wijayanto (2002) mengemukakan
juga aspek kelemahan. Peubah-peubah unsur kelemahan dan nilai pengaruh itu sebagai
berikut: (1) organisasi masyarakat petani damar belum berkembang; (2) lembaga adat
masyarakat petani damar terdegradasi oleh kebijakan–kebijakan pemerintah; (3) belum
10 Rangkuti, F. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan
Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal 41 11 Saaty, T.L. “Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki Analitik untuk
Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks. “Jurnal Seri Manajemen No. 134. (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1993), hal 41
24
ada lembaga ekonomi masyarakat petani di Krui; (4) keterbatasan modal dan aksesnya;
(5) keterbatasan informasi dan akses; (6) teknologi pasca panen belum ada; (7)
ketergantungan yang besar terhadap pedagang atau penampung damar; (8) petani tidak
memiliki rencana yang bersifat strategis; (9) tidak ada strategi dan jaringan pemasaran
damar yang dibangun untuk kepentingan petani. Berlainan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wijayanto (2002) tentang delapan aspek kekuatan repong damar, dan
sembilan aspek kelemahan petani damar di Krui, penelitian ini memberi kontribusi
beberapa beberapa faktor penyebab tradisi kekuatan pengelolaan repong damar dilihat
dari tataran budaya khususnya penggunaan bahasa yang berkaitan erat dengan
pengelolaan, nilai, norma serta keyakinan tentang damar maupun repong damar.
Penelitian ini telah mengembangkan aspek ketiga dari penelitian Wijayanto (2002)
tentang “pengetahuan turun temurun menyangkut pengelolaan repong damar”. Penelitian
ini telah mengembangkan sembilan faktor penyebab pengetahuan turun temurun
menyangkut pengelolaan repong damar masih tepat belangsung sejak ratusan tahun yang
lalu yaitu faktor: (1) warisan adat; (2) kearifan lokal tentang budidaya damar; (3) potensi
alam; (4) pengetahuan tentang pelestarian hutan yang diwariskan secara turun temurun;
(5) pengetahuan tentang jenis lahan dalam hutan; (6) interaksi sosial; (7) psikis; (8)
kebudayaan daerah setempat yang terdiri dari pengalihan pesan secara intrinsic dan
terpeliharanya ikatan kekerabatan; (9) tradisi pengelolaan hutan. Sembilan faktor ini
dianggap dapat memberi gambaran bahwa kebudayaan petani damar di pesisir barat Krui
Lampung.
(4) Nilai-Nilai Budaya dalam Repong Damar
Nilai-nilai budaya suku asli Krui yang masih hidup dalam repong damar dapat
ditelusuri melalui bahasa lisan yang mereka gunakan. Penelitian ini mengambil sampel
desa itu antara lain, desa Pahmongan, Labuan Mandi, gunung Kemala. Literatur-literatur
yang membahas tentang nilai budaya Krui sudah dilakukan oleh beberapa namun dibahas
hanya sekilas dan tidak bertolak dari sudut pandang bahasa yang digunakan oleh orang
Krui itu. Hasil kajian pustaka tersebut selanjutnya dikonformasi dengan hasil wawancara
mendalam dengan para informan kunci yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat,
tertutrama yang mengelola repong damar terutama yang duduk dalam lembaga adat suku
Krui yang ada di beberapa desa tersebut di atas. Berikut ini adalah uraian tentang nilai-
nilai budaya suku Krui yang hidup dan berkembang dalam pengelolaan damar.
25
1) Nilai-Nilai Budaya Kepedulian Terhadap Lingkungan Hidup
Secara umum kepedulian warga Krui dalam kaitannya dengan kepedulian
terhadap lingkungan hidup. Kepedulian terhadap lingkungan hidup ini dapat dibagi
menjadi dua, yaitu : (1) kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam arti fisik; (2)
kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam arti sosial.
Ruang lingkup lingkungan hidup dalam arti fisik di daerah Krui terkait dalam
lima batas ghang ‘tempat’, yaitu : (1) lawo ‘laut’; (2) pulan ‘hutan’; (3) daghak ‘kebun’;
(4) pangghula ‘ladang’; (5) sabah ‘sawah’; (6) ghepong ‘hutan buatan’ . Dalam berbagai
hal, kelima ghang ini telah membangun kesepakatan bersama terutama dalam menangani
masalah lingkungan. Ini didasarkan karena keenam ghang ini memiliki kepentingan yang
sama untuk menjaga kepentingan distribusi air, untuk kepentingan pertanian, kehutanan,
perikanan, kelestarian hutan, keindahan alam kelautan, keamanan, dan adat tamong
kajong tumbai ‘warisan adat’. Keenam ghang ‘tempat’ ini menggunakan seorang
peghatin ‘pemimpin wilayah’ yang sama untuk mengatur kepentingan distribusi air
untuk usaha pertanian dan merawat hutan untuk lokasi penyimpan dan penadah air,
menjaga kebersihan laut untuk sumber makanan ikan dan nelayan. Untuk kelestarian
hutan dan pencegahan terjadinya erosi. Keenam ghang ‘tempat’, warga Krui itu
bersepakat untuk melarang dan memberikan sanksi penebangan kayu di hutan dan di
sepanjang ghang pekon ’tempat di sekitar desa’. Bila ada yang melanggar maka
sanksinya adalah denda berupa ngakuk gitoh damagh ’ambil getah damar’ hasil jualnya
untuk keperluan banyak warga desa, atau pitit ‘dikucilkan dari desa’. Kesepakatan ini
sangat ditaati oleh warga; dan dijaga dengan ketat oleh peghatin ‘kepala desa’ yang ada
di setiap desa. Hal itu dapat disimak pada data 2.
Untuk menjaga lingkungan keamanan lingkungan hutan dan lingkungan
sekitarnya masyarakat juga dilarang membuang sampah atau limbah rumah tangga di
sungai, got atau selokan. Pelarangan ini juga ditaati oleh para warga Krui, walaupun
tidak ada sanksi yang disampaikan secara eksplisit. Kepedulian masyarakat terhadap
lingkungan hutan dan kebersihan tampaknya ada, dengan konsep yang mereka sebut:
adat muli meghanai setekuk ghek sebambangan yang bermakna ‘rasa kebersamaan dan
senasib sepenanggungan antar warga’.
Selain kepedulian warga terhdap lingkungan fisik, warga Krui di pesisir barat
juga sangat peduli terhadap lingkungan sosialnya, seperti dalam menghadapi warga yang
sedang mengalami musibah (baik musibah kedukaan, kekurangan air karena irigasi
sawah) atau sedang menghadapi berbagai acara tertentu, seperti perkawinan, khitanan,
26
aqiqah, dan sebagainya: semua warga Krui ikut berpartisipasi, baik tenaga, barang atau
dengan uang. Sampai saat ini peran repong damat Krui sangat menonjol terutama sebagai
shorea javanicus area ‘kawasan pohon damar pinus’, yang getahnya dikenal penghasil
getah damar yang disebut dengan eye cat sap atau eye of cat sap ‘getah mata kucing’.
Pengelolaan ghepong damagh ‘hutan buatan’ bahkan semakin terorganisir. Dalam
pemberian bantuan antar sesame warga, tidak melihat status warga yang bersangkutan,
sesame warga yang merasa sebagai anggota masyarakat Krui memiliki hak dan
kewajiban yang sama.
2) Nilai Budaya Tentang Toleransi
Suku Krui dalam bergaul dengan suku, agama, dan bangsa lain bersifat
terbuka. Dalam hal bergaul, mereka sangat memperhatikan kepada siapa mereka
bertutur, kapan, di mana. Situasi ini terlihat jelas dengan lebih banyak menggunakan
bahasa Krui untuk sesama warga Krui, atau warga lain yang sudah lama tinggal di Krui.
Bila dengan orang yang belum dikenal mereka akan menggunakan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Krui diberbagai ranah, seperti keluarga, tetangga, pertemanan, di
pasar, situasi di luar sekolah, di luar ranah pemerintahan, dan disekolah pada tingkat
sekolah dasar kelas satu hingga kelas tiga. Keadaan ini banyak orang mau belajar bahasa
Krui. Dengan kata lain, bahasa Krui digunakan di mana saja mereka berada dan ketemu
dengan orang sesukunya langsung menggunakan bahasa Krui.
Di lain pihak, orang Krui memiliki sifat megelu ‘cekatan dan konsisten’. Mereka
menyatakan secara langsung apa yang dirasakan dan sangat memegang janji. Wat pi’il
pesinggighi ‘berjiwa besar, mempunyai malu dan menghargai diri sendiri, ramah suka
bergaul. Pengolahan damar dianggap sebagai pekerjaan besar, yang dianyatakan dengan
sakai sambayan meliputi pengertian yang luas di dalamnya tercakup kerja ‘mengolah
bersama pekerjaan besar, dan tolong menolong, bahu membahu dan saling member
segala sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain, bukan hanya yang bersifat materi saja
melainkan juga dalam arti moral dan pemikiran’. Sifat orang Krui yang terbuka dan suka
bergotong royong membantu orang lain menyebabkan orang lain suku, agama senang
tinggal di pantai pesisir barat ini. bahkan fakta menunjukkan penghargaan terhadap suku
lain dapat dilihat dari orang suku Jawa yang datang dari Jawa tidak punya pekerjaan
dapat bekerja menjadi buruh mengambil damar di hutan repong damar. Damar tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Krui, sebagian besar penduduk Krui terlibat
dalam produksi damar. Produksi yang besar dapat diperoleh dalam waktu mingguan, satu
27
bulanan, sampai tiga bulanan. Produksi yang tidak pernah henti itu menyebabkan warga
Krui membuka kesempatan kepada warga suku lain untuk bekerja sebagai pengambil
getah, kuli angkut, buruh sortir getah dan sebagainya. Penghargaan kepada orang luar
desa atau orang luar suku sangat tinggi. Misalnya dalam tradisi nemui nyimah
‘kemurahan hati, ramah tamah terhadap semua pihak, baik orang dalam sekeluarga, atau
orang lain.’ Bagi mereka nemui nyimah meliputi bermurah hati dengan memberikan
segala sesuatu yang ada, juga bermurah hati dalam tutur kata dan sopan santun, ramah
tamah terhadap tamu mereka.
Tingkat toleransi yang tinggi masyarakat desa-desa Krui juga diperlihatkan pada
saat ada keramaian, pekanan, atau pasaran yang diadakan setiap hari Sabtu. Hampir
semua pedagang yang datang pada saat pasaran berasal dari luar desa, luar kecamatan
bahkan luar kabupaten yang berasal dari berbagai suku dan agama; namun keamanan
desa ini tetap terjaga, tidak ada yang berperilaku jahat dengan melihat kemajuan orang
lain. Terhadap bangsa lain, toleransi masyarakat Krui juga sangat tinggi karena desa ini
sering dikunjungi bangsa asing. Desa-desa di sepanjang pesisir barat Krui merupakan
tempat wisata yang ideal untuk berselancar karena ombak laut mencapai dua meter setiap
harinya. Ditinjau dari pola pergaulan masyarakat yang bersifat terbuka diperkirakan
masyarakat akan menerimanya dengan baik selam kehadiran itu tidak mengganggu ada
istiadat dan kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat.
(5) Sikap Bahasa Warga Krui
Berdasarkan hasil sikap bahasa warga Krui (Lihat Bab V bagian A) sebagai
temuan penelitian ini, teori yang mengatakan bahwa sikap positif dapat memberikan
petunjuk ke arah keberlangsungan sebuah bahasa dan kebudayaan yang selama ini
berterima sebagai sebuah teori kini, teori itu telah dapat dibuktikan. Sikap positif warga
Krui terhadap bahasa Krui tercermin dari hasil hitung persentase pernyataan pancingan
yang diajukan membentang antara 80%-90% yang berarti positif. Temuan ini
memperkuat temuan penelitian Zulkilfi (1989) dan Wijayanto (2002) mengenai tradisi
pengelolaan damar di repong damar di Krui yang masih lestari. Baik Zulkifli (1989)
maupun Wijayanto (2002) menggunakan paradigma sistem agroforestri, tidak
menggunakan sikap bahasa dalam melihat pelestarian pengelolaan damar di repong
damar. Penelitian ini menggunakan sudut pandang sikap bahasa untuk mengetahui
adanya pelestarian pengelolaan damar di repong damar.
28
Apabila ditelaah berdasarkan teori sikap dari Anderson (1974) yang mengatakan
bahwa ada hubungan sikap dengan perilaku sosial budaya, ataupun perilaku berbahasa.12
Pernyataan ini telah ditunjukkan oleh warga Krui bahwa sikap dan perilaku sosial
budaya termasuk bahasa saling berhubungan eratr. Teori itu mengatakan bahwa sikap
seseorang terhadap sebuah objek atau suatu tindakan dapat diperhitungkan dari
sekumpulan kepercayaannya yang bersifat evaluatif yang dapat dilihat pada objek atau
tindakan tersebut. Teori itu lantas dihubungkan dengan penelitian ini, sikap bahasa
responden ditunjukkan melalui tindakannya dalam menggunakan bahasanya yang dalam
koneks kajian ini dilihat melalui skor pemakaian bahasa yang positif. Hal ini sesuai
dengan temuan penelitian Suparno (2011) yang meneliti tentang sikap positif warga
guyub tutur bahasa Ranau terhadap bahasa ibu mereka yaitu bahasa Ranau yang
dikorelasikan dengan situasi pemertahanan bahasa Ranau13, dan Wilian (2006) yang
meneliti sikap positif warga Sumbawa yang dikaitkan dengan pemertahanan bahasa
Sumbawa di Lombok14.
Temuan penelitian ini, sesuai pula dengan temuan Suhardi (1996) yang meneliti
sikap dan pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa ibu para mahasiswa dan sarjana di
Jakarta. Meskipun kajiannya itu tidak dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat petani
pesisir, ia menyimpulkan bahwa sikap bahasa berhubungan dengan kegiatan dan
kesadaran berbahasa serta ikatan emosional dengan bahasa ibu. Makin tinggi kegiatan
berbahasa dan makin tinggi kesadaran berbahasa, semakin positif sikap bahasa
sesseorang15. Temuan penelitian ini berbeda dengan hasil kajian Siregar, dkk (1998)
tentang sikap bahasa kasus masyarakat di Medan. Temuan Siregar itu memaparkan
bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa daerahnya tidak selalu diikuti oleh
pelaku penggunaan bahasa daerahnya.16
1) Implikasi Sikap Bahasa yang Positif: Terjadi Pengalihan Bahasa Krui
12 Anderson, E.A. Language Attitude Beliefs and Values: A Study in Linguistics Cognitive
Frameworks. (Washington DC: An Arbor Press, 1974), p. 4 13 Suparno, Darsita. “Situasi Pemertahanan Bahasa Ranau”. (Manado: Disertasi Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Linguistik Universitas Sam Ratulangi, belum diterbitkan, 2011, 310 halaman
14 Wilian, Sudirman. “Pemertahanan Bahasa dan Pergeseran Identitas Etnis: Kajian Atas Dwibahasawan Sumbawa-Sasak di Lombok (Depok: Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 311 halaman.
15 Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. (Jakarta: FSUI), hal 165-166
16 SIregar, Bahren Umar. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Kasus Masyrakat Bilingual di Medan. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa),
29
Pertanyaan yang dapat diajukan: Apa sesungguhnya yang menyebabkan
kecenderungan warga Krui bersikap positif yang akhirnya memperlihatkan kebudayaan
petani damar itu? Dilihat dari perolehan skor tiap-tiap pernyataan yang diajukan kepada
responden “Saya merasa senang jika orang menggunakan bahasa Krui kepaa saya”
dengan persentase (87%) dan pernyataan responden “Saya merasa bangga bisa berbahasa
Krui” dengan persentase (89%). Hal ini menunjukkan bahwa warga Krui ingin
menggunakan dan melestarikan bahasa Krui di wilayah pakai bahasa itu. Sikap positif
mereka itu muncul dari lubuk hati para responden ketika menjawab pertanyaan yang
diajukan dalam kuesioner ini. Gejala itu dipahami bahwa sikap positif mereka itu benar-
benar timbul karena faktor sosial psikologis responden yang menggambarkan
penggunaan bahasa Krui yang stabil.
Sikap positif warga Krui dapat diartikan pula bahwa para para warga Krui itu
mempunyai dukungan penuh terhadap bahasa mereka sendiri yang ditunjukkan melalui
pemakaian bahasa sehari-hari di rumah, dengan tetangga, teman di lingkungan tetangga,
sekolah sekitar kantor kepala desa dan saat ceramah. Pemakaian bahasa Krui ini
memiliki fungsi antara lain sebagai:1) pamarkah identitas; 2) melestarikan warisan
leluhur; 3) penunjuk rasa kearaban dan kebersamaan di antara sesame kelompok sosial.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sikap positif warga Krui terhadap
bahasa Krui di dasarkan atas dasar unsur kesetiaan bahasa (language loyality). Kesetiaan
bahasa warga Krui terhadap bahasanya dapat diartikan pengalihan bahasa Krui atu
pengalihan kebudayaan Krui dapat berjalan dengan baik dan teratur sehingga
memancarkan situasi pemakaian bahasa Krui yang masih dapat disaksikan hingga
sekarang ini. Warga Krui menggunakan bahasa Krui dalam menjalankan kegiatan sehari-
hari maupun dalam merepresentasikan kebudayaannya. Didukung hasil pengamatan
pengalihan bahasa Krui di dalam pelaksanaannya unsur setia bahasa itu dijalankan
melalui saluran-saluran tertentu. Saluran-saluran tersebut banyak sekali, akan tetapi
penelitian ini hanya membatasi diri pada dua saluran yaitu:
(1) Pengalihan Bahasa Krui Melalui Saluran Tradisional
Saluran tradisional yaitu saluran yang dikenal warga Krui dengan baik.
Dengan cara memberi istilah kepada pohon damar, hutan damar maupun getah damar
dengan menggunakan istilah yang berlaku di kalangan warga Krui, orang tua sebagai
pemegang tiang utama pengalihan bahasa Krui dengan tradisi menyebut yang
menggunakan istilah-istilah yang penamaan dalam bahasa Krui yang didasarkan pada
taksonomi yang dipahami dalam sistem pengetahuan mereka, maka pengalihan bahasa
30
Krui maupun kebudayaan yang berkaitan dengan pendamaran dapat berjalan dengan
lancar. Fakta bahwa istilah penamaan yang berkaitan dengan seluk beluk damar
digunakan setiap hari dalam menjalankan kegitan sehari-hari, menjadikan istilah itu
meresap dalam jiwa warga Krui. Model seperti itu, pengalihan bahasa Krui antara
kelompok warga berusia tua dan usia muda terdapat titik temu, sehingga pengalihan
kebudayaan pertanian damar dapat berjalan lancar. Situasi itu dapat diartikan bahwa
kebudayaan pertanian damar dapat terus berlangsung dan secara otomatis mencegah
kemerosotan penggunaan bahasa yang berkaitan dengan kebudayaan milik mereka.
(2) Pengalihan Melalui Saluran Ideologi
Saluran ideologi warga Krui dalam penelitian ini diamati melalui penggunaan
bahasa antara orang tua kepada anak. Data nomor 1-18 menjadi rujukan untuk
mengetahui perilaku pengalihan ideologi dari orang tua kepada anak mereka. Sering
orang-orang dalam hal ini warga Krui menyampaikan serangkaian ajaran yang bertujuan
untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan
kegiatannya.
Misalnya dengan adanya serangkaian kegiatan berbahasa seperti pemahaman
prosa narasi tentang “Perjuangan Pahlawan Raden Intan” tertera data nomor 19,
nyanyian “Bumi Pesisir Barat Krui nan Helau” tertera pada data nomor 9, Sagata atau
adi-adi bahasa Krui data nomor 16, dan rangkaian kegiatan adat seperti ungkapan: sai
bai makai sigogh jak ghanga makai setanggai, sai bakas makai kupiyah emas ‘pengantin
perempuan memakai sigor dan tangan memakai hiasan kuku panjang’; lapah gham
meghwatin di balai adat ‘mari kita musyawarah di balai adat’; masigit ’mesjid’; lamban
balak ‘rumah besar’; anjung ‘tempat beristirahat di repong damar’; minok mahais damar
‘getah damar sangat berharga‘, istilah-istilah kebudayaan itu menggambarkan dasaaar
bagi saluran ideologinya. Di dalam situasi ini orang tua akan berusaha untuk
menerangkan ideologinya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga terjadi pemahaman
yang baik dalam diri anak sebagai generasi penerus pemakai bahasa dan kebudayaan
Krui yang memiliki dan mencintai damar serta potensi alam lainnya yang melingkupi
kehidupan mereka sehari-hari.
2) Kebudayaan Petani Damar Ditinjau dari Aspek Sikap Bahasa Warga Krui
Berangkat dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam konteks kebudayaan
petani damar di kalangan warga Krui, faktor sikap bahasa merupakan faktor non
31
linguistik yang dapat memperlihatkan keberadaan kebudayaan petani damar di Krui.
Kiranya tiga ciri sikap bahasa yang dirumuskan oleh Garvin dan Mathiot (1968) telah
menunjukkan kenyataan terhadap kebudayaan petani damar masih tetap ada hingga
dewasa ini, meski umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Ketiga ciri sikap bahwa yang
dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot itu adalah :
(1) Kesetiaan bahasa (language loyality) yang mendorong warga Krui
mempergunakan bahasa Krui dalam menjalankan kegiatan sehiari-hari, bahkan
bila perlu mereka mencegah pengaruh bahasa lain;
(2) Kebanggaan bahasa (language pride) telah mendorong warga Krui
mengembangkan bahasa Krui dan menggunakannya sebagai lambang identitas
dan kesatuan masyarakat Krui itu sebagai sebuah masyarakat dan
penghidupannya;
(3) Kesadaran adanya norma (awareness the norm) yang mendorong warga Krui
menggunakan bahasa Krui dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor
yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan
bahasa (language use) dalam berbagai kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan
pertanian yang menyangkut damar.
Akhirnya, penelitian ini mengemukakan dua jenis faktor yang mempengaruhi
kebudayaan petani damar, yaitu:
1. Faktor Non Linguistik meliputi:
(1) Sikap positif warga Krui;
(2) Wilayah konsentrasi pemukiman penduduk dan tempat tumbuh damar;
(3) Ikatan kekerabatan.
2. Faktor Linguistik meliputi:
(1) Penggunaan bahasa ibu dan bahasa lain sesuai ranah
(2) Pengalihan Bahasa Krui yang terus berlangsung
Faktor-faktor non linguistik dan faktor linguistik yang menjadi temuan penelitian
ini, dan faktor-faktor yang dirumuskan para ahli, adalah variabel-variabel sosiokultural
psikologis yang diperincikan secara berbeda-beda bahkan ada yang tumpang tindih,
(matrik terlampir).
32
Temuan ini berbeda denga temuan Wijayanto (2002) yang membagi empat faktor
penting yang mempengaruhi sistem pengelolaan repong damar di pesisir pantai Krui
yaitu:
(1) kekuatan berupa (i) pemilikan damar merupakan simbol status sosial; (ii)
dilakukan dengan modal murah; (iii) tata niaga yang terus berkembang
(2) kelemahan berupa (i) organisasi yang berlum berkembang; (ii) tidak ada
rencana strategis; (iii) tidak ada jaringan pemasaran damar.
(3) peluang, merujuk kepada peubah-peubah unsur peluang dan nilai
pengaruhnya, berupa: (i) infrastruktur jalan lintas barat; (ii) industri ramah lingkungan
untuk kayu dan produk-produk kayu; (iii) industri getah damar mata kucing; (iv)
pendampingan kelembagaan masyarakat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (disingkat
LSM) atau fasilitasi pemberdayaan kelompok tani; (v) dukungan hasil penelitian dari
Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi, seperti hasil penelitian peningkatan
produktivitas repong damar; (vi) pengembangan peraturan yang mendukung
keberlanjutan repong damar; (vii) dukungan sistem informasi; (viii) pengembangan
ekoturisme; (ix) dukungan bantuan dari lembaga-lembaga donor.
(4) ancaman merujuk kepada peubah-peubah unsur ancaman dan nilai
pengaruhnya, terdiri dari : (i) ketidakpastian jaminan hokum bagi penduduk atau
kawasan repong damar; (ii) kurangnya sumberdaya manusi; (iii) kepadatan penduduki;
(iv) penduduk pendatang tidak mengerti kebudayaan setempat; (v) adanya iuran dan
retribusi hasil hutan; (vi) keterbatasan lahan untuk pengembangan; (vii) serangan hama
dan penyakit tanaman; (viii) pengelolaan yang bersifat eksploratif pada repong damar
yang berstatus gadai; (ix) cara memanen getah menggunakan buruh upahan17.
Temuan penelitian ini berbeda dengan temuan penelitian Lhi (2011) tentang lima
faktor yang menunjukkan aspek kekuatan sistem pengelolaan repong damar tetap
berlangsung selama ratusan tahun, yaitu (i) sistem pengelolaan dilakukan oleh laki-laki
maupun perempuan; (ii) kesadaran masyarakat Krui untuk terus melindungi pohon
damar sebagai warisan leluhur; (iii) ada hukum adat yang melindungi pohon damar; (iii)
setiap pengantin Krui harus menanam pohon damar sebagai mahar; (iv) transmisi pesan
orang tua kepada anak-anak untuk melestarikan kebudayaan damar; (v) sumber utama
pendapatan. Ditinjau dari aspek ancaman, Lhi (2011) mengemukakan tiga faktor yang
mengancam repong damar antara lain: (i) kawasan perkebunan damar diganti dengan
17 Wijayanto, Nurheni, Loc.cit. hal 38-41.
33
perkebunan kelapa sawit; (ii) ada penduduk mengabaikan hukum adat; (iii) polisi hutan
tidak dapat menghadang masuknya penebang liar.18
7. Simpulan
Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana tertera di atas
disimpulkan sebagai berikut: perian semantik medan makna membawa yang menyangkut
berbagai kosa kata yang bermakna seluk-beluk damar menurut masyarakat Krui antara
lain bahwa verba membawa memiliki beragam istilah yang berlainan untuk menamai
atau menyebut membawa damar atau benda lain. Begitu pula untuk kata dengan kelas
kata nomina hutan memilik beragam istilah yang berlainan, contoh pulan ‘hutan alam’;
hutan belantara; hutan rimba’, daghak ‘hutan yang dibuat menjadi kebun’ pangghula
‘hutan yang dibuat menjadi ladang, ghepong ‘hutan yang dibuat untuk menamam
tanaman pinus damar’.
Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Krui untuk mengadakan budidaya
damar yaitu faktor: 1) warisan adat; 2) kearifan local; 3) keadaan alam; 4) pelestarian
hutan; 5) lahan untuk menanam pinus; 6) penangkal erosi; 7) psikis; 8) budaya.
Selanjutnya nilai budaya yang terkandung dalam domain damar bagi masyarakt Krui
adalah sebagai berikut: nilai kepedulian terhadap lingkungan hidup dan nilai toleransi.
Sikap orang Krui positif terhadap bahasa Krui. Mereka memandang bahwa
bahasa Krui perlu terus digunakan untuk menjalankan berbagai kegiatan kehidupan
merka di Krui. Sikap positif itu telah berimplikasi terjadi pengalihan bahasa Krui dari
orang tua kepada anak-anak mereka.
18 Lhi, Azzura. “Damar dan Cara Masyarakat Krui Melestarikan Lingkungan Adat” (Lampung:
arthliwa wordpress, 2011), hal 1-2
34
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.A. Language Attitude Beliefs and Values: A Study in Linguistics Cognitive
Frameworks. (Washington DC: An Arbor Press, 1974), p. 4
Johnson, K. Biology . 2005. Oxford: Oxford University Press.
Lhi, Azzura. 2011. “Damar dan Cara Masyarakat Krui Melestarikan Lingkungan Adat”.
Lampung: arthliwa wordpress.
Moleong, Lexy. J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung Rosdakarya.
Poerwadarminto, W.J.S. 2010. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rangkuti, F. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep
Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), hal 41
Saaty, T.L. “Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki Analitik
untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks. “Jurnal Seri Manajemen
No. 134. (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1993), hal 41
Sinamura, P. 1987. Ilmu Bumi Alam. Jakarta: Pejuang Bangsa.
Siregar, Bahren Umar. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Kasus Masyrakat
Bilingual di Medan. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa),
Sudaryanto. 1997. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan
Mahasiswa di Jakarta. (Jakarta: FSUI), hal 165-166
Suparno, Darsita. “Situasi Pemertahanan Bahasa Ranau”. (Manado: Disertasi Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Linguistik Universitas Sam
Ratulangi, belum diterbitkan, 2011, 310 halaman
Suparto. Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: CV Amino, 1987.
Soerjono, Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Gafindo.
Wijayanto, Nurheni. “Analisis Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir
Krui Lampung”. Dalam Jurnal Menejemen Hutan Tropika Vol VIII, No 1 (39-
49), tahun 2002 .
Wilian, Sudirman. “Pemertahanan Bahasa dan Pergeseran Identitas Etnis: Kajian Atas
Dwibahasawan Sumbawa-Sasak di Lombok (Depok: Disertasi Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 311 halaman.
35