kebudayaan petani damar pesisir barat krui perspektif

35
1 Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif Antropologi Linguistik Abdullah 1 Darsita Suparno Pengelolaan hutan pinus yang getahnya disebut damar merupakan salah satu realitas kebudayaan para petani di pesisir barat Krui Lampung yang ditampilkan dalam berbagai kosa kata berbahasa Krui. Bagi orang Krui, pengetahuan tentang pengelolaan hutan pinus adalah peninggalan berharga dari para leluhur mereka yang bernilai budaya, sosial dan ekonomi yang tidak dapat dilupakan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Pengetahuan tentang tata kelola hutan yang diungkap dalam bahasa Krui secara lisan juga merupakan peranti komunikasi untuk menyampaikan beberapa hal seperti pengajaran, pendidikan, nasihat, penggambaran berbagai karakter manusia dan menginformasikan berbagai nilai dari generasi tua kepada generasi muda. Penelitian ini berfokus kepada kajian tentang medan makna ditinjau dari segi semantik, faktor-faktor yang berkaitan dengan budidaya damar, nilai-nilai budaya, dan sikap bahasa warga Krui terhadap bahasa yang mereka gunakan. Berbagai ungkapan bentuk dan makna kata yang terdapat dalam ujaran maupun sastra lisan menjadi objek panelitian ini, ungkapan itu masih dipakai oleh suku bangsa Krui yang hidup di pesisir pantai Samudra Hindia di kecamatan Wai Krui kabupaten Pesisir Barat Lampung Barat. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian studi kasus yang menggunakan pendekatan yang menggabungkan teori-teori antropologi dan linguistik. Penelitian ini menggunakan metodologi hibrida yang menggabungkan metode natural dengan kuantitatif karena data diperoleh baik secara langsung maupun survei. Bentuk-bentuk bahasa dalam ujaran maupun sastra lisan itu diidentifikasi sebagai sebagai data. Peneliti dalam konteks ini dianggap sebagai instrumen. Data ujaran berupa percakapan lisan dikumpulkan dari ujaran-ujaran yang digunakan para penutur asli Krui ketika berkomunikasi dan ujaran-ujaran yang terdapat dalam sastra lisan itu. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa dalam percakapan warga Krui dan sastra lisan Krui terdapat beberapa makna yang secara semantis menggambarkan tentang tata cara pengelolaan hutan, adat istiadat, hubungan manusia dengan alam, pengetahuan lingkungan tumbuhan hutan dan hasil hutan. Kata Kunci: Krui, pinus, damar, pengelolaan hutan rakyat PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kehidupan petani di pesisir barat Krui di provinsi Lampung Barat memiliki sistem sumberdaya alam berkelanjutan yang khas. Dalam memelihara lingkungan hidup, suku Krui memiliki sistem pengelolaan sumberdaya alam yang diwariskan 1 Abdullah dan Darsita Suparno adalah dosen dan peneliti dari Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Upload: others

Post on 24-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

1

Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui

Perspektif Antropologi Linguistik

Abdullah1

Darsita Suparno

Pengelolaan hutan pinus yang getahnya disebut damar merupakan salah satu realitas

kebudayaan para petani di pesisir barat Krui Lampung yang ditampilkan dalam berbagai kosa

kata berbahasa Krui. Bagi orang Krui, pengetahuan tentang pengelolaan hutan pinus adalah

peninggalan berharga dari para leluhur mereka yang bernilai budaya, sosial dan ekonomi yang

tidak dapat dilupakan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Pengetahuan

tentang tata kelola hutan yang diungkap dalam bahasa Krui secara lisan juga merupakan

peranti komunikasi untuk menyampaikan beberapa hal seperti pengajaran, pendidikan, nasihat,

penggambaran berbagai karakter manusia dan menginformasikan berbagai nilai dari generasi

tua kepada generasi muda. Penelitian ini berfokus kepada kajian tentang medan makna ditinjau

dari segi semantik, faktor-faktor yang berkaitan dengan budidaya damar, nilai-nilai budaya, dan

sikap bahasa warga Krui terhadap bahasa yang mereka gunakan. Berbagai ungkapan bentuk

dan makna kata yang terdapat dalam ujaran maupun sastra lisan menjadi objek panelitian ini,

ungkapan itu masih dipakai oleh suku bangsa Krui yang hidup di pesisir pantai Samudra Hindia

di kecamatan Wai Krui kabupaten Pesisir Barat Lampung Barat. Penelitian ini dikategorikan

sebagai penelitian studi kasus yang menggunakan pendekatan yang menggabungkan teori-teori

antropologi dan linguistik. Penelitian ini menggunakan metodologi hibrida yang

menggabungkan metode natural dengan kuantitatif karena data diperoleh baik secara langsung

maupun survei. Bentuk-bentuk bahasa dalam ujaran maupun sastra lisan itu diidentifikasi

sebagai sebagai data. Peneliti dalam konteks ini dianggap sebagai instrumen. Data ujaran

berupa percakapan lisan dikumpulkan dari ujaran-ujaran yang digunakan para penutur asli

Krui ketika berkomunikasi dan ujaran-ujaran yang terdapat dalam sastra lisan itu. Temuan

penelitian ini menunjukkan bahwa dalam percakapan warga Krui dan sastra lisan Krui terdapat

beberapa makna yang secara semantis menggambarkan tentang tata cara pengelolaan hutan,

adat istiadat, hubungan manusia dengan alam, pengetahuan lingkungan tumbuhan hutan dan

hasil hutan.

Kata Kunci: Krui, pinus, damar, pengelolaan hutan rakyat

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kehidupan petani di pesisir barat Krui di provinsi Lampung Barat memiliki

sistem sumberdaya alam berkelanjutan yang khas. Dalam memelihara lingkungan

hidup, suku Krui memiliki sistem pengelolaan sumberdaya alam yang diwariskan

1 Abdullah dan Darsita Suparno adalah dosen dan peneliti dari Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 2: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

2

secara turun-temurun menjadi dasar bagi tetap terpeliharanya tutupan hutan buatan

yang disebut dalam bahasa Krui dengan istilah repong damar. Pengelolaan hutan

dengan model wanatani repong damar untuk menghasilkan damar2 telah dilakukan

oleh suku bangsa Krui selama lebih dari seratus tahun. Praktek itu sekarang diakui

sebagai sebuah model pengelolaan sumber daya hutan berbasis komunitas yang

sangat arif, dan teknik pengelolaan hutan yang bisa bertahan hingga kini, karena

pengetahuan pribumi (indigenous knowledge) masih tetap dipertahankan.

Tetapi khasanah pengetahuan yang sangat arif bagi kelestarian lingkungan

itu dapat saja segera musnah sejalan dengan adanya bencana alam, kerusakan oleh

ulah manusia atau menipis hingga habis sumber daya alam itu sendiri. Penelitian ini

memberikan peringatan bahwa pelestarian pengetahuan pribumi dalam mengelola

sumber daya alam sangat penting dibandingkan usaha-usaha pelestarian cagar

budaya. Pelestarian cagar budaya dapat dilakukan melalui upaya rekonstruksi fisik,

tetapi penyelamatan pengetahuan lokal yang sudah terlanjur musnah karena bencana

alam atau kerusakan lingkungan alam dapat diprediksikan akan mustahil untuk

diselamatkan.

Dalam wilayah Propinsi Lampung Barat terdapat beberapa suku bangsa dengan

masing-masing bahasa daerahnya, yaitu suku bangsa Sukau berbahasa Sukau, suku

bangsa Krui berbahasa Krui, suku bangsa Abung berbahasa Abung, suku bangsa Sungkai

berbahasa Sungkai, suku bangsa Mesuji berbahasa Mesuji, suku bangsa Belalau

berbahasa Belalau, suku bangsa Komering Ilir berbahasa Komering, suku bangsa Pubian

berbahasa Pubian, dan dan suku bangsa Semende berbahasa Semende. Di antara bahasa

itu, jika dibandingkan dengan bahasa daerah lain, penutur bahasa Krui merupakan

minoritas dengan wilayah penyebaran yang sempit pula. Sebagai bahasa minoritas, di

Kabupaten Pesisir Barat, bahasa ini dituturkan hanya di beberapa kecamatan di

kabupaten Pesisir Barat, yaitu: di kecamatan pesisir utara, pesisir tengah, persisir selatan,

Way Krui, dan Krui Selatan. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa

Krui bukan hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, atau lambang identitas

daerah dan alat komonikasi dalam keluarga dan masyarakat, melainkan juga berfungsi

sebagai pendukung bahasa nasional dan bahasa pengantar di sekolah dasar di pedesaan

pada tingkat permulaan serta alat pengembang dan pendukung kebudayaan daerah di

2 Poerwadarminto, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2010), hal

356. Dammar adalah getah pohon yang dapat membeku menjadi batu berwarna merah yang bernilai ekonomis. Damar juga bermakna buah kemiri.

Page 3: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

3

wilayah pakai bahasa itu. Saat ini, jika ditinjau dari fungsinya, bahasa Krui merupakan

alat komunikasi utama dalam masyarakat pemakai bahasa Krui. Bahasa ini digunakan

dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat berbahasa ibu bahasa Krui.

Bahasa ini berfungsi sebagai alat komunikasi dalam keluarga, pergaulan sehari-hari,

keagamaan, peradatan, pendidikan dan pengajaran, pemerintah, perdagangan, sapa-

menyapa antara anggota keluarga satu dan keluarga lain serta kebudayaan. Bahasa Krui

sebagai alat komunikasi, terutama komunikasi lisan memiliki kaidah sendiri. Suku

bangsa Krui adalah penduduk asli Lampung yang hidup dari pertanian. Meskipun tinggal

di pesisir pantai, namun mereka boleh dikatakan tidak mengenal budaya maritim. Bagian

terbesar dari proses interaksi mereka dengan alam justru berlangsung di hutan.

Pemukiman penduduk umumnya berbatas dengan pantai di satu sisi dan sekaligus

dengan hutan pada sisi lainnya. Hutan itu adalah hutan buatan yang dibangun masyarakat

Krui, melalui proses bertahap selama puluhan hingga ratusan tahun.

Hutan buatan itu dalam istilah setempat dinamakan repong damar. Ia

merupakan perpaduan yang kohesif antara pertanian (agriculture) dan kehutanan

(silviculture). Pada masa sekarang, lahan penduduk yang bernama repong damar

tersebut mencakup areal kurang lebih 10.000 Ha, menyebar di tiga kecamatan bagian

pesisir (Kec. Pesisir Utara, Pesisir Tengah dan Pesisir Selatan). Hutan damar itu

dibangun di atas tanah ulayat yang secara tradisional dikuasai oleh kelompok-kelompok

marga (clan-teritorial). Menurut catatan sejarah, proses pembukaan lahan hutan menjadi

repong damar sudah berlangsung sejak abad ke-18, dimulai dari kawasan yang

berdekatan dengan pemukiman, seterusnya berkembang makin ke pedalaman hingga

sekarang telah sampai ke batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ( selanjutnya

disingkat TNBBS). Pihak instansi kehutanan kemudian mendefinisikan dan menetapkan

lahan repong damar milik penduduk tersebut sebagai kawasan penyangga (bufferzone)

bagi TNBBS. Secara fisik tampilan repong damar tidak ubahnya seperti hutan alam.

Menurut hasil penelitian tingkat keragaman biota yang hidup di dalam hutan damar

kurang lebih 75-85% sama dengan hutan perawan. Hampir semua jenis flora dan fauna

yang ada di TNBBS yang disangganya terdapat di repong dammar. Jenis tanaman

alternatif selain damar, yang terdapat di repong damar antara lain adalah:

sijanggut,sibandung, sigabal, paghi ‘padi’; sanigulai ‘umbi-umbian’, tiung ‘terung’,

lepang ‘mentimun’; petula timput, lamuja ‘labu siam’; gelinyogh ‘kecipir’; ghetak

‘kacang polong’; liwa ‘kacang buncis’; kunjegh ‘kunyit’

Page 4: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

4

Selain menanam di hutan, petani Krui membuat tiga jenis klasifikasi kualitatif

untuk mengukur tingkat keberhasilan mereka dalam fase menanam di kawasan kebun,

yang mereka sebut yaitu a) merawan artinya keberhasilan mendapatkan keberuntungan

dan mampu mencapai tujuan-tujuan yang bersifat ekonomis, (b) cukoh-genok, berarti jika

hasil kebun hanya pas-pasan dan tidak memberi efek ekonomi, dan c) mesisil, artinya

jika usaha berkebun tidak memberikan hasil ekonomi melainkan membawa kesialan bagi

mereka.

Fase produktif ketiga adalah kelompok etnis Krui mulai menamakan lahan

hutan pertaniannya dengan repong apabila sudah terpenuhi unsur keragaman jenis

tanaman keras (perennial crops) yang tumbuh di atasnya; misalnya damar, duku, durian,

petai, jengkol, melinjo, nangka, dan lain sebagainya. Semua jenis tanaman itu secara

berangsur sudah ditanam sejak fase kebun. Satu ciri penting yang membedakan fase

kebun dengan repong terletak dalam soal perawatan tanaman. Tanaman di repong tidak

memerlukan perawatan intensif seperti halnya tanaman kebun. Hal ini membawa

implikasi pada residensi petani, yaitu berkurangnya kebutuhan untuk tetap tinggal di

“hutan” seperti ketika mengurus ladang dan kebun, dan tibanya kesempatan bagi mereka

untuk menetap kembali di desa. Saat yang demikian biasanya berlangsung antara tahun

ke 10-15 (usai masa produktif kopi dan lada).

Tahapan pengelolaan lahan hutan sejak dari fase ladang hingga menjadi repong

damar dimungkinkan berlangsung karena adanya landasan sistem pengetahuan yang

telah kukuh di dalam kebudayaan orang Krui. Sistem pengetahuan tersebut dihasilkan

dari proses belajar bersama warga masyarakat ketika berinteraksi dengan lingkungan

alam dan lingkungan sosial mereka dalam kurun waktu lima belas tahun bahkan hingga

puluhan tahun. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa sistem pengelolaan hutan dengan

pola repong damar tersebut merupakan khazanah pengetahuan budaya suku Krui, yang

terus disempurnakan dari waktu ke waktu. Pengetahuan lokal (indigenous knowledge)

seperti halnya yang dimiliki oleh orang Krui dalam mengelola hutan, adalah pengetahuan

yang bersifat unik bagi setiap kebudayaan atau masyarakat.

Yang menarik adalah kenyataan bahwa pengetahuan budaya mereka dalam

mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan, ajeg secara ekologis, ekonomis dan

sosial budaya, itu berlangsung tanpa mereka sadari hakikat keistimewaan yang

terkandung di dalamnya. Dalam wacana teoretik, keadaan seperti ini dikategorikan

sebagai tacit culture. Pada umumnya pengetahuan lokal (indigenous knowledge)

Page 5: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

5

memang merupakan sesuatu yang bisa dinyatakan sebagai tacit knowledge and therefore

difficult to codify, it is embedded in community practices, institutions, relationships and

rituals. Artinya pengetahuan itu tidak tertulis, tapi ia melekat dalam praktik-praktik,

institusi, hubungan hubungan, dan ritus-ritus yang diselenggarakan oleh masyarakat

Krui. Khasanah pengetahuan budaya lokal seperti yang digambarkan di atas sebenarnya

dapat diprediksi sedang berada di ambang kepunahan, karena berbagai faktor teknologi

elektronika, informasi, dan komunikasi yang melanda berbagai negara yang sedang

berkembang, seperti di Indonesia.

Ancaman kepunahan itu tidak lepas dari ideologi modernisasi yang kemudian

diwujudkan dalam paradigma pembangunan dunia yang bertumpu pada pertumbuhan

ekonomi. Kenyataan bahwa pengetahuan lokal pada umumnya belum terinventarisasi

bahkan tidak terkodifikasi, atau hanya hidup dalam alam pikiran warga suatu

masyarakat, situasi seperti itu akan mempermudah proses kepunahan itu manakala

tekanan-tekanan perubahan aspek material (sumber daya alam dan acuan model

pengelolaannya) terjadi dengan derajat yang jauh lebih besar dibandingkan kemampuan

masyarakat tradisional seperti orang Krui tersebut untuk tetap mempertahankannya.

Terlebih lagi karena seperti telah disebutkan di atas pengetahuan budaya itu

pada umumnya bersifat tacit, laten, atau tersembunyi. Kasus Krui sesungguhnya menjadi

pelajaran yang baik untuk hal ini. Kedatangan para peneliti secara silih berganti dari

mancanegara maupun domestik dalam 10 tahun terakhir merupakan sebuah “blessing in

disguise” yang datang tepat waktu. Sebab, pada awal 1990-an daerah Krui sudah menjadi

incaran para investor untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Lahan yang mereka incar adalah hutan buatan milik orang Krui yang sudah

berusia ratusan tahun dan hingga kini masih memberikan kontribusi ekonomi yang

signifikan bagi penduduk lokal. Jika saja para peneliti tidak mengungkap keunikan

sistem pengelolaan hutan yang sudah ditradisikan penduduk Krui, dan fakta itu tidak

dipaparkan ke khalayak luas, termasuk kepada para pengambil kebijakan di tingkat

pusat, maka sejarah Krui tidaklah seharum seperti sekarang. Pengungkapan Indigenous

Knowledge (selanjutnya disingkat IK) yang dimiliki orang Krui oleh kalangan peneliti

dan LSM telah membuahkan pengakuan pemerintah, antara lain dengan penetapan

kawasan hutan damar di Krui sebagai etalase agroforestry dunia. Penetapan itu

dicetuskan oleh mantan Menhut Djamaluddin S. (1994), pemberian Keprihatinan

terhadap ancaman kepunahan khasanah indigenous knowledge tersebut sangat jelas

Page 6: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

6

terlihat dari forum diskusi internet yang dikelola Nuffic dan World Bank, yang khusus

memperbincangkan isu-isu IK di seluruh dunia.

Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas, penelitian upacara budidaya damar

dalam bahasa Krui perlu dilakukan. Penelitian mengenai dari segi antropologi

linguistiknini memang belum pernah dilakukan. Penelitian ini dapat menginventarisasi

bentuk kebudayaan tentang budidaya tanaman hutan yang diwariskan secara turun

temurun dalam masyarakat Krui dewasa ini. Pertanyaan dasar yang dapat dirumuskan

adalah: ”Bagaimana suku bangsa Krui dapat membangun hutan buatan untuk

membudidayakan damar, dan lahan pertanian untuk menanam tanaman pangan padahal

mereka bermukim dan hidup di pesisir pantai Krui Samudra Hindia?”.

2. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah di atas, terdapat dua masalah

pokok yang bersifat teknis yang akan dipaparkan dalam penelitian ini, yaitu: 1)

pengetahuan budaya suku Krui dalam mengelola hutan secara lestari dan berkelanjutan,

ajeg secara ekologis, ekonomis dan sosial budaya; 2) ancaman kepunahan itu tidak lepas

dari ideologi modernisasi yang kemudian diwujudkan dalam paradigma pembangunan

dunia yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Kedua masalah pokok itu mempunyai

hubungan yang berujung pada salah satu masalah dasar, yaitu? Bagaimana suku bangsa

Krui dapat membangun hutan buatan untuk membudidayakan damar, dan lahan

pertanian untuk menanam tanaman pangan padahal mereka bermukim dan hidup di

pesisir pantai Krui Samudra Hindia?”. Masalah dasar itu diuraikan secara rinci melalui

beberapa aspek berikut:

1) Bagaimana medan makna verba dalam bahasa Krui yang menyangkut

pengetahuan lokal etnis Krui dalam praktik budidaya damar?

2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masyarakat Krui untuk

mengadakan upacara budidaya damar?

3) Nilai budaya apa saja yang terkandung dalam upacara budidaya damar

masyarakat Krui?

4) Bagaimana sikap bahasa suku Krui terhadap bahasa Krui?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

Page 7: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

7

1) Mencari tahu medan makna verba dalam bahasa Krui yang menyangkut

pengetahuan lokal etnis Krui dalam praktik pengelolaan damar.

2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Krui untuk

mengelola hutan damar.

3) Mencari tahu nilai budaya yang terkandung dalam praktek pengelolaan hutan

damar masyarakat Krui.

4) Mencari tahu sikap bahasa suku Krui terhadap bahasa Krui.

4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya akan bermanfaat dari dua aspek yaitu: aspek teoretis

dan aspek praktis.

1) Manfaat Teoretis

(1) Melengkapi kerangka teori pengetahuan lokal tentang kelompok etnis

dalam praktik pengelolaan hutan dan pertanian.

(2) Memberi kontribusi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat

Krui untuk mengelola hutan damar.

(3) Memberi kontribusi tentang nilai budaya yang terkandung dalam praktek

pengelolaan damar masyarakat Krui.

2) Manfaat Praktis

(1) Sebagai bahan masukan bagi Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa dalam menyusun perencanaan bahasa daerah terutama di

kabupaten Lampung Barat.

(2) Hasil penelitian ini berguna untuk memahami tingkat keterdesakan bahasa

Krui oleh bahasa lain.

(3) Hasil penelitian ini mengungkapkan tentang kearifan lokal (Indigenous

Knowledge) yang dimiliki orang Krui tentang kawasan hutan damar di

Krui yang kini terus menghadapi ancaman kepunahan.

5. Metode Penelitian

Tempat penelitian adalah di Pesisir Barat Krui, Kecamatan Wai Krui Provinsi

Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus-September 2013.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan metode survei dan teknik penelitian

yang digunakan yaitu: 1) metode simak, dengan teknik dasar bebas libat cakap, dan

sadap perekaman, metode cakap dengan teknik dasar pancing; 2) metode survei

Page 8: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

8

dengan teknik kuesioner. Analisis data digunakan teknik interpretasi komponensial

ujaran dalam wacana berbasis konteks dan situasi; menghitung besaran persentil

satuan bahasa asal ujaran lisan dan jawaban asal kuesioner. Metode deskriptif

digunakankan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek sesuai dengan

apa adanya. Metode deskriptif itu menyarankan bahwa penelitian dilakkan semata-

mata hanya didasarkan fakta yang ada dan gejala yang memang secara empiris hidup

di tengah-tengah penutur sehingga gambaran tentang yang dihasilkan, atau pemerian

tentang bahasa yang digunakan sifatnya seperti potret atau paparan sebagaimana apa

adanya.

Data penggunaan bahasa diambil dengan menggunakan prosedur penelitian

kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang berupa kata-kata lisan dari orang-

orang dan perilaku yang diamati. Prosedur model ini digunakan dengan maksud untuk

memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian dengan penjelasan secara

rinci. Data prosedur kualitatif adalah kalimat atau ujaran yang mengandung medan

makna verba yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan hasil damar yang

mencakup komponen makna-makna, jenis makna dan fungsi makna semantis verba

mengelola dalam bahasa Krui khususnya pada masyarakat desa Pahmongan, Gunung

Kemala, pesisir selatan, dan desa Labuan Mandi kecamatan Wai Krui kabupaten

Pesisir Barat. Sumber data dalam penelitian ini adalah bahasa Krui yang dituturkan

oleh masyarakat Krui di beberapa desa di kabupaten Pesisir Barat. Penelitian ini

dilakukan dengan mengambil enam orang informan dengan yang telah ditentukan.

Keenam informan dipilih dengan alasan bahwa mereka benar-benar mengerti tata

kelola hutan damar dan hasil damar dalam bahasa Krui. Jumlah informan diseusikan

dengan jumlah instrumen yang digunakan agar memudahkan peneliti mendapatkan

data.

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik komunikasi

langsung atau wawancara dengan teknik pemancingan. Menurut Lincoln dan Guba

dalam Moleong (1998) wawancara adalah suatu percakapan denga tujuan. Tujuan

dilakukan wawancara untuk memperoleh konstruksi yang terjadi sekarang tentang

orang, kejadian, kegiatan, organisasi perasaan, motivasi, pengakuan, kerisauan, dan

sebagainya3. Pada dasarnya, percakapan atau wawancara itu diwujudkan dengan

pemancingan. Untuk mendapatkan data, peneliti pertama-tama harus dengan segenap

kecerdikan dan kemauannya memancing seseorang atau beberapa orang agar

3 Moleong, Lexy. J. Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung Rosdakarya, 1998), hal 23

Page 9: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

9

berbicara. Kegiatan memancing itu dapat dipandang sebagai teknik dasarnya, dan

disebut teknik pancing, demikian Sudaryanto (1993)4.

Alat yang digunakan dalam penelitian medan makna verba mengelola dalam

bahasa Krui adalah para penutur jati bahasa Krui yang bermukim di sepanjang pesisir

barat pantai Samudra Hindia di Lampung Barat sebagai informan kunci. Adapun

insturmen yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) instrumen berupa daftar

pertanyaan; (2) daftar kosa kata Swadesh, (3) kosa kata budaya; (4) pemancingan

menggunakan gambar; (5) peragaan.

6. Hasil dan Pembahasan

1) Analisis Hasil Penelitian

Perspektif linguistik khusus dari tataran semantik digunakan untuk melakukan

analisis komponen makna terhadap leksem verba ‘mengelola’. Dalam melakukan analisis

leksem verba ‘mengelola’ itu digunakan metabahasa yang terungkap dalam pemberian

makna suatu leksem, yaitu sebagai berikut: (1) dari sudut pandang arah ‘mengelola’

ditemukan komponen makna, ke atas, ke bawah, ke depan, ke belakang, ke samping; (2)

dari sudut pandang jarak ditemukan komponen makna jauh, dekat, tinggi, curam, landai,

datar; (3) dari sudut masa barang yang dikelola ditemukan komponen makna berat,

sedang, dan ringan; (4) dari sudut pandang jenis barang yang dikelola, temukan

komponen makna manusia, hewan, tumbuhan, benda cair dan benda padat; (5) dari sudut

pandang tanpa alat (anggota tubuh) ditemukan komponen makna dengan satu tangan,

dua tangan, bahu, tengkuk, kepala, punggung; (6) dari sudut pandang alat sebagai tempat

ditemukan komponen makna perusahaan, kebun, ladang, hutan, pengairan irigasi,

pertenakan, perikanan, pabrik, perdagangan, dan pasar; (7) dari sudut alat sebagai

pengelola ditemukan komponen makna rotan, pisau, pacul, dan golok; (8) dari sudut

posisi tubuh manusia yang mengelola ditemukan komponen makna berdiri, duduk,

membungkuk, jongkok, jinjit, menaiki batang pohon, melubangi batang pohon, dan

menanam; (9) dari sudut posisi tangan ditemukan komponen makna menggenggam,

terbuka, tangan ke atas, tangan ke bawah, tangan memeluk, memanjat batang pohon; (10)

dari sudut pandang jumlah ditemukan komponen makna satu, beberapa, banyak; (11)

dari sudut pandang waktu ditemukan komponen makna pagi, siang dan sore; (12) dari

sudut pandang tujuan ditemukan komponen makna untuk disimpan, dibuat menjadi,

4 Sudaryanto. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. (Yogyakarta: Duta Wacana University

Press, 1997), hal 137

Page 10: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

10

dipindahkan, digunakan, dijual, dimanfaatkan; (13) dari sudut pandang emosi ditemukan

komponen makna paksa, kekerasan, keharusan, kebutuhan, diam-diam, biasa; (14) dari

sudut pandang pelaku ditemukan komponen makna laki-laki dewasa, wanita dewasa,

anak laki-laki, anak perempuan, sendiri, berdua, berkelompok dan beramai-ramai.

Berdasarkan analisis komponen makna di atas ditemukan dua kelompok verba

‘mengelola’ hutan pinus damar dalam bahasa Krui, yaitu mengelola menggunakan alat

dan tanpa alat. Berikut leksem-leksem verba ‘mengelola’ dalam bahasa Krui yang tidak

menggunakan alat antara lain: 1) mahili ‘mengalir’; 2) mabusuk ‘membusuk’; 3) ngakuk

‘mengambil; 4) ngusung ‘memikul’; 5) manyangu ‘mengering’; 6) makama ‘menjadi

kotor’; 7) liyut ‘licin’; 8) ngepekok ‘meletakkan’; 9) manunggang ‘memikul’; 10)

ngunduh ‘mengambil damar’. Leksem-leksem verba ‘mengelola’ dalam bahasa Krui

yang menggunakan sesuatu sebagai alat, yaitu : 1) najagh ‘mengambil pohon damar

yang baru tumbuh dari semaian’; 2) nuka ‘membuat lubang getah pada batang damar

menggunakan pisau’; 3) nyegok ‘menyimpan dalam rumah’; 4) nenom ‘menanam‘; 5)

mansa ‘menerima’; 6) macucuk ‘menusuk’; 7) ghegah ‘menurunkan’; 8) nyuncun

‘menjunjung di kepala; 9) netak ‘membersihkan ladang’; 10) niwa ‘mengangkat’.

2) Pembahasan

Verba yang menyangkut damar dalam bahasa Krui dipilah dalam dua kategori

yaitu: (1) membawa tanpa alat, dan (2) membawa dengan alat. Berikut ini uraian :

(1) Membawa tanpa alat

(i) Leksem mahili ‘mengalir’. Mahili adalah kegiatan melelehkan getah

batang pohon pinus dengan cara membuka kulit kayu sampai getah dapat

mengalir dan ditampung lubang yang dibuat pada batang pohon pinus itu.

(ii) Leksem mabusuk ‘membusuk. Mabusuk adalah kegiatan membuat pohon

menjadi busuk. Pohon menjadi busuk terserang penyakit atau tersambar

petir. Batang yang busuk itu dibawa ke suatu tempat khusus berbentuk

lubang untuk dijadikan kompos bersama daun-daunan yang gugur dan

lembab di dalam hutan.

(iii) Leksem ngakuk ‘mengambil. Leksem ngakuk memiliki makna

meninggikan, membawa ke atas atau menaikkan. Untuk batang getah

damar yang sudah dapat dipanen yang berumur 30 hari dapat diambil dari

setiap lubang getah pada pohon damar dengan menggunakan satu tangan.

Page 11: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

11

Setiap lubang getah damar itu memiliki masa yang ringan sehingga

anggota tubuh yang digunakan hanya satu tangan

(iv) Leksem ngusung ‘memikul’. Leksem ngusung adalah kegiatan

membawa barang dengan meletakkan barang di atas bahu. Barang yang

dibawa dapat berupa kayu pinus atau damar ‘getah pinus’ itu. Ngusung

dapat dilakukan oleh orang dewasa laki-laki karena barng yang dibawa

memiliki bobot yang berat.

(v) Leksem manyangu ‘membiarkan getah mengering’. Leksem menyangu

memiliki makna membawa getah dari dalam batang untuk dibawa ke luar

batang. Batang yang dilubangi akan melelehkan getah dan getah itu

dibiarkan mongering hingga satu bulan di lubang batang pohon.

(vi) Leksem makama ‘menjadi kotor’. Leksem makama memiliki makna

membawa getah kering yang berjatuhan di tanah yang sudah kotor,

kemudian diambil untuk dimasukkan dalam keranjangnya. Damar

makama kemudian dibersihkankan dari kotoran.

(vii) Leksem liyut ‘licin’. Leksem liyut memiliki makna membawa getah

damar dari dalam hutan menunju kampung melalui yang jalannya

menurun dan licin saat hujan. Liyut dilakukan secara perlahan-lahan.

Acuan dari kegiatan ini adalah orang yang membawa damar dari dalam

hutan yang letaknya sampai 10 kilometer ke arah kampong.

(viii) Leksem ngepekok ‘meletakkan’. Leksem ngepekok memiliki makna

membawa sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain dengan cara

melepaskan. Getah damar yang sudah banyak dialirkan ke dalam lubang

getah pada batang pohon pinus, diambil lalu diletakkan di dalam

keranjang penampung getah.

(ix) Leksem manunggang ‘memikul’. Leksem manunggang adalah kegiatan

membawa barang getah damar yang sudah kering yang diambil dari

lubang pada batang pohon dengan meletakkan di atas bahu. Barang yang

dibawa dapat berupa kayu, biji, getah, pohon pinus yang sudah

disemaikan dan siap tanam.

(x) Leksem ngunduh ‘mengambil damar’. Leksem ngunduh memiliki makna

mengambil sesuatu lalu dibawa. Yang dibawa berupa getah damar, yang

sudah kering dan berbentuk padat. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh

orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan.

Page 12: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

12

(2) Leksem-leksem verba ‘mengelola’ dalam bahasa Krui yang menggunakan

sesuatu sebagai alat, yaitu :

(i) Leksem najagh ‘mengambil pohon damar yang baru tumbuh dari

semaian’. Leksem nayagh memiliki makna sama dengan ngunduh. Dalam

bahasa Krui dikhususkan pada mengambil pohon damar yang baru

tumbuh dari semaian misalnya ditanama di dalam polibag tas plastik

hitam untuk menanam bibit pohon untuk ditanam di repong.

(ii) Leksem nuka ‘membuat lubang getah pada batang damar menggunakan

pisau’ jika alat yang digunakan berupa rotan yang dibuat meruncing,

maka yang dibawa berupa getah damar. Menentukan objek yang dibawa

dalam leksem nuka dapat dilihat dari alat yang digunakan.

(iii) Leksem nyegok ‘menyimpan dalam rumah’. Leksem nyegok memiliki

makna memuat dan membawa. Yang dibawa atau diangkut menggunakan

gerobak. Barang yang diangkut dapat berupa damar, durian, duku,

nangka, buah-buahan lain, atau barang dalam jumlah banyak dari hasil

dari dalam hutan untuk disimpan di dalam rumah.

(iv) Leksem nenom ‘menanam‘. Leksem nenom memiliki makna memakai

atau membawa alat untuk menanam seperti cangkul atau pacul. Yang

dipacul adalah tanah, dengan cara membuat lubang untuk menanam bibit

pohon pinus atau pohon buah yang dapat hidup berdampingan di lahan

yang sama seperti buah cempedak, lada, nangka dls.

(v) Leksem mansa ‘menerima’. Leksem mansa memiliki makna mendapat

sesuatu, menadah sesuatu yang diberikan dengan tangan terbuka. Kegitan

ini dapat dilakukan oleh semua orang. Benda yang diterima bisa

berukuran sedang dan kecil.

(vi) Leksem macucuk ‘menusuk’. Leksem macucuk memiliki makna

membawa sesuatu, menusuk getah damar yang sudah mengeras di dalam

lubang yang terdapat di batang pohon untuk dikeluarkan dari lubang atau

untuk memecah getah yang menggumpal di dalam lubang getah yang

sudah disediakan menggunakan rotan yang runcing..

(vii) Leksem ghegah ‘menurunkan’. Leksem ghegah memiliki makna

membawa getah damar dengan keranjang yang digendong dipunggung.

Getah damar yang sudah diambil dari pohon dimasukkan dalam keranjang

setibanya di tempat peristirahatan berupa rumah kecil di dalam hutan.

Page 13: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

13

(viii) Leksem nyuncun ‘menjunjung di kepala’ leksem ini memiliki makna

membawa keranjang yang menggunakan tali berbentuk selendang,

selendang itu dapat disampirkan di atas kepala atau disilangkan di dada.

(ix) Leksem netak ‘membersihkan ladang’. Leksem netak artinya mengambil

atau membersihkan dari rumput-rumput yang megganggu tanaman

bernilai ekonomis. Alat yang digunakan untuk netak adalah cangkul, arit,

golok.

(x) Leksem niwa ‘mengangkat’. Leksem niwa memiliki makna membawa

barang dari satu tempat ke tempat lain. Sasaran yang dibawa dalam

kegiatan ini beragam, mulai dari manusia, tumbuhan benda cari, getah

damar, benda padat. Leksem ini dapat dilakukan oleh orang mulai dari

anak-anak hingga orang dewasa.

(3) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Budidaya Damar

Tujuh faktor yang mempengaruhi masyarakat Krui membudidayakan damar yang

ditemukan di dalam penelitian ini. Temuan penelitian ini berbeda dengan temuan

Wijayanto (2002) yang hanya menemukan tiga faktor penyebab masyarakat Krui

membudidayakan damar, yaitu: 1) sosial; 2) ekonomi; 3) komoditi ekspor.

Berdasarkan pengamatan, wawancara, dan analisis data hubungan semantik dan

penggunaan bahasa Krui yang diperoleh melalui rekaman dan pencatatan ditemukan

faktor-faktor penyebab itu sebagai berikut: 1) warisan adat; 2) kearifan lokal tentang

budidaya damar; 3) keadaan alam; 4) pelestarian hutan; 5) lahan mananam damar; 6)

penangkal erosi genetis; 7) psikis; 8) budaya

(i) Faktor Warisan Adat

Topik pembicaraan pada percakapan tentang cerita pelipur lara di ranah

sekolah, rumah, pada data 1, 2 dan data 13 memperlihatkan bahwa damar diartikan juga

sebagai ‘harta’ yang diwariskan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya dalam

masyarakat Krui. Rumah maupun sekolah menjadi tempat menyampaikan tata adat orang

Krui mewariskan damar secara turun temurun.

Ulun tuha ni jak jaman tumbai dija haga

ngawaghisko ghepong ni damagh jama

anakni meghanai

‘Orang tua kami sejak jaman dulu mewariskan

hutan damar kepada anak mereka utamanya

kepada anak laki-lakinya.

Page 14: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

14

Ungkapan bahasa seperti yang tertera pada data 13 menunjukkan bahwa

masyarakat Krui terus melindungi harta warisan yang diturunkan oleh orang tua mereka.

Harta itu berupa jajaran pohon damar pinus mengisi bukit di wilayah pesisir. Masyarakat

Krui dalam mengelola hutan damar mempunyai hukum adat yang khas untuk melindungi

pohon damar itu. Hukum adat yang dimaksud dalam penelitian ini hukum yang tidak

tertulis. Hukum itu berupa pesan dari orang tua Krui kepada anak-anak Krui untuk terus

menjaga dan melindungi pohon damar contoh ungkapan bahasa Krui yang berbentuk

leksem tenangau ‘penyakit pohon damar’; nanjagh ‘upaya memperlakukan pohon damar

dari serangan penyakit’; pitit ‘mencubit seseorang di bagian kulit perut sebagai hukuman

bila merusak damar’. Ungkapan itu merupakan contoh yang sangat jelas terjadinya

hokum adat yang terus terpelihara dalam rangka pelestarian adat yang berkaitan dengan

pohon damar.

(ii) Kearifan Lokal tentang Budidaya Damar

Ungkapan yang tertera pada data 14, dan data 10 tentang cawak jama batangni

damagh ‘Berbicaralah dengan pohon damar’. Ungkapan ini mengandung makna bahwa

pohon damar dapat membantu orang Krui untuk mengatasi kesulitan ekonomi dengan

cara memanfaatkan getahnya untuk dijual. Pohon itu dipersonifikasikan sebagai sosok

yan gdapat berbicara. Ungkapan itu erat dengan mepukko uwahni damagh ‘ membuat

semaian buah damar’; pohon damar perlu mendapat perhatian terus untuk tetap hidup

dengan cara melakukan pembibitan melalui buah pohon itu. Pohon yang sudah berumur

mencapai sedikitnya 20 tahun sudah dapat dibuat lubang getah yang disebut peppat

‘lubang pada batang damar’, nuka ‘penampung getah damar’. buah pohon pinus damar

ini dapat diambil untuk disemaikan. Buah yang jatuh dan sudah dapat disemaikan itu

disebut lahang ‘buah damar jatuh di tanah’. Buah lahang itu disemaikan di suatu tempat

penyemaian yang disebut tumpak damagh ‘sebidang tanah yang ditumbuhi damar’;

jelatong wai; jelatong kebau ‘benalu yang tumbuh di pohon damar’; anjung ‘tempat

istirahat di hutan damar’. Paparan di atas menunjukkan bahwa pengetahuan tentang

pembudidayaan damar berlangsung secara turun temurun yang diungkapkan dalam

bahasa Krui yang khas. Artinya petani damar di pesisir Krui memiliki sudah memiliki

pengetahuan yang sifatnya turun temurun mulai dari pembibitan, penanaman,

pemeliharaan dan pemanenan.

(iii) Potensi Alam

Data no 6, 7, 8, 9, dan 13 memperlihatkan bahwa faktor keadaan alam

menunjukkan bahwa tempat tinggal masyarakat Krui berada pada daerah topografis

Page 15: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

15

berbukit sampai bergunung dan berombak sampai begelombang. Kutipan data no 13

sebagai berikut:

Di kanan di kiri ni ghang layang sabah

jutaan hektagh sabah jak ghepong tandani

kemakughan Lampung Pesisigh Baghat

‘Di kanan dan kiri tempat

tinggal kami terdapat

jutaan hektar sawah dan

kebun sebagai tanda

kemakmuran Lampung

Pesisir Barat’

Dua jenis daerah topografis ini dibahas sebagai berikut: daerah berbukit

merujuk pada tempat pemukiman di lereng-lereng curam atau terjal dengan ketinggian

300 m di atas permukaan laut. Daerah ini meliputi bukit barisan sebelah barat dan terus

menyusur ke pantai selatan yang berbukit-bukit dengan puncaknya adalah puncak bukit

Pugung. Daerah ini umumnya ditumbuhi tumbuhan damar. Selain di bukit curam.

Masyarakat Krui tinggal di bukit-bukit rendah yang diselingi dataran-dataran yang

sempit dengan ketinggian 500 m permukaan laut. Vegetasi di daerah ini adalah tanaman

perkebunan kopi, cengkeh, lada dan tanaman pertanian berupa perdalangan padi,

cengkeh, lada, jagung, kelapa, dan sayur-sayuran. Kutipan data no 4 berikut

memperlihatkan fakta tersebut.

Jadi masyaghakat jak kecamatan

Batang Aghi aga ngajual hasil

pertanian tiyan sebangsa

kahuwa, gula suluh, gulai, katila,

ubi tiusung pakai geghobak ghik

kuda mit pasagh Kghui. Sampai

di Labuan Mandi kigha-kigha

lima kilometegh lagi mit pasagh

jadi jelema-jelema jak bali bukit

di jenoh taghupai, jak mandi

Masyarakat dari kecamatan Sungai Ngalayah

ini akan menjual hasil pertanian merka seperti

kopi, gula merah, sayur mayor, ubi rambat,

singkong, yang diangkut menggunakan

gerobak yang ditarik kuda untuk menuju ke

pada Krui. Sampai di Labuan Mandi kira-kira

lima kilometer lagi jaraknya mereka sebelum

kembali ke bukit, istirahat, dan mandi di desa

ini, jadi istirahat disebut sebagai labuhan, dan

temat mandi di sungainya.

(iv) Pengetahuan tentang Pelestarian Hutan

Leksem pulan ‘hutan’, pulan tuha ‘hutan alam’, pulan ngugha ‘hutan buatan’,

pangghula ‘hutan untuk dijadikan kebun’, daghak ‘hutan dijadikan ladang’, ghepong

‘hutan buatan’ menunjukkan konfigurasi jenis-jenis tanaman yang tumbuh di hutan,

terdapat pada data 1-16. Fakta ini menunjukkan bahwa orang Krui memelihara hutan dan

mereka sangat dekat dengan hutan, hal itu dibuktikan dengan banyaknya kosa kata yang

digunakan untuk menyebut hutan. Artinya orang Krui melestarikan hutan. Ditinjau dari

Page 16: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

16

lingkungan hidup hutan yang dilestarikan oleh orang Krui yang disebut dalam erbagai

istilah itu menunjukkan hutan memegang peranan penting bagi kehidupan mereka. Hutan

itu menjadi kawasan yang berfungsi sebagai resapan air, penyeimbang iklim, dan sebagai

tempat hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan. Ditinjau dari segi ekosistem, hutan

yang diperlihara oleh orang Krui dapat dianggap sebagai ekosistem buatan. Hal ini

sejalah dengan konsep yang dikemukakan oleh Johnson (2005) tentang ekosistem buatan

yakni ekosistem yang dibuat oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hutan

tanaman produksi seperti jati dan pinus.5

(v) Pengetahuan tentang Jenis Lahan Dalam Hutan

Masyarakat Krui membedakan adanya dua tipe lahan hutan untuk menanam

damar, yaitu: 1) pulan tuha ‘hutan rimba saat pertama kali dibuka oleh para leluhur’, dan

2) pulan ngura ‘hutan yang sudah dikelola menjadi lahan untuk ditanami’. Pulan tuha

menjadi sasaran pertama dalam pemilihan lahan ketika seorang petani paa jaman dahulu

berniat membuka hutan untuk kegiatan pertanian. Ini disebabkan oleh adanya anggapan

bahwa lahan demikian masih memiliki kesuburan yang tinggi. Pengelolaan lahan hutan

hutan rimba menjadi pulan ngura hutan buatan berlangsung dalam proses sekitar 20 – 30

tahun. Tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan orang Krui dibedakan atas tiga

ruang, yaitu (1) daghak, (2) pangghula, dan (3) ghepong. Ketiga ruang itu terdapat di

hutan alam yang sama. Menurut pengetahuan orang Krui hutan itu berbeda-beda ruang.

Hal itu berkaitan dengan definisi, konsepsi dan harapan-harapan yang mereka tempatkan

pada masing-masing ruang pengelolaan tumbuhan yan gada di situ. Perbedaan itu secara

jelas diwujudkan dalam bentuk kerja pengelolaan lahan. Ruang pertama atau panghula

dimulai ketika petani sudah selesai mempersiapkan lahan siap tanam yang membutuhkan

waktu sekitar 2-3 bulan. Lahan ini akan ditanami padi padang, dan palawija. Ruang

kedua disebut daghak ‘ladang’, di ruang ini ditanami jagung, terung, labu, kelapa, coklat

dan cengkeh. Daghak dapat ditanami setelah 3-5 tahun pembukaan lahan. Ruang ketiga

adalah ghepong, yang ditanami berbagai tanaman damar. lada, kopi, duku, durian,

nangka, jengkol atau cengkeh.

(vi) Interaksi Sosial

Interaksi sosial merujuk kepada pengertian saling melakukan aksi, berhubungan,

dan mempengaruhi. 6 konsep ni mengisayratkan bahwa hubungan sosial yang dinamis

5 Johnson, K. Biology (Oxford: Oxford University Press, 2005) p. 215 6 Soerjono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Raja Gafindo, 1990), hal 50

Page 17: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

17

antar menyangkut hubungan antarindividu, individu dan kelompok, atau antarkelompok.

Bagi masyarakat Krui melakukan budidaya damar dapat dijadikan peranti untuk bekerja

sama. Bekerja sama dalam penelitian ini diartikan sebagai suatu upaya bersama antar

individu atau kelompok untuk mencapat tujua bersama. Data no 1, 2, dan 13

menunjukkan bahwa masyarakat Krui saling bekerja sama satu sama lain. Ungkapan data

no 9 tentang:

Kapankah pagi ghani, nelayan

nininggeghan

‘Waktu pagi hari, nelayan sudah

berlayar ke lautan’

Ngusung iwak wai ghe huhang

mengunduh kenikmatan

‘Membawa ikan banyak untuk

kebutuhan, demikian lah mereka

mendapat kenikmatan’

Di kanan di kiri ni ghang layang

sabah jutaan hektagh sabah jak

ghepong tandani kemakughan

Lampung Pesisigh Baghat

‘Di kanan dan kiri tempat tinggal kami

terdapat jutaan hektar sawah dan kebun

sebagai tanda kemakmuran Lampung

Pesisir Barat’

Kutipan data no 9 menunjukkan bahwa masyarakat Krui menyadari memiliki

kepentingan dan tujuan yang sama memanfaatkan sumber daya alam bagi dirinya sendiri

dan orang lain. Kerja sama itu timbul karena orientasi orang perorangan terhadap

kelompoknya dan kelompok lainnya.

(vii) Psikis

Ada lima faktor psikis yang menjadi penyebab orang Krui melestarikan pohon damar,

yaitu: (1) perasaan suka; (2) pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; (3) diperoleh

dengan cara mudah.

(1) Perasaan Suka atau Tidak Suka

Perasaan suka atau tidak suka dikategorikan sebagai sikap. Contoh perasaan

suka terhadap damar dapat dilihat pada data nomor 3. Keadaan ini menggambarkan

bahwa damar sangat disukai oleh warga Krui karena bernilai untuk dijual.

(2) Pemenuhan Kebutuhan Hidup Sehari-hari

Contoh percakapan pada data no 5, 6, dan 7 memperlihatkan keadaan psikis

seperti keadaan sedang membutuhkan uang. Damar yang diperoleh sudah banyak

disimpan di dalam gudang di rumah sehingga layak untuk dijual ke pasar. Penggunaan

bahasa Krui sangat sering dipilih untuk digunakan oleh para penutur bahasa Krui ketika

merka mengungkapkan isi hatinya kepada keluarga atau teman dekatnya yang mengerti

bahasa itu.

Page 18: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

18

(3) Getah Damar Diperoleh dengan Cara Mudah

Contoh percakapan pada data nomor 1, 2, 3, 6, 8, dan 9 menunjukkan

mengumpulkan getah damar dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Pohon

damar yang ada sekarang sudah diolah oleh orang Krui sejak ratusan tahun yang lalu.

Sekarang Krui merupakan daerah konservasi di provinsi Lampung. Wilayah ini kaya

akan sumber daya alam yang melimpah. Salah satu sumber daya alam itu, adalah

poohon damar. pohon damar yang disadap getahnya terlebih dahulu dibuat tempatnya

yang disebut takik ‘lubang pada batang pohon tempat getah’. Getah damar dapat dipanen

sepanjang tahun, jangka waktu pengambilan antara 30 sampai 50 hari. Ketika penelitian

ini berlangsung harga getah damar perkilogram Rp 20.000,-, satu pohon damar dapat

menghasilkan 10-20 kilogram getah perbulan. Petani damar pada umumnya memiliki

lebih dari satu pohon damar. Artinya getah damar dapat diperoleh dengan mudah dan

bernilai untuk dijual.

8) Budaya

Data no 1 sampai dengan data no 16 berupa ujaran lisan bahasa Krui dianggap sebagai

budaya Krui. Budaya dalam penelitian ini dipahami bersumber pada manusia sebagai

makhluk paling sempurna yang memiliki pikiran, akal budi, dan perasaan. Dengan

pikiran, akal budi dan perasaan manusia mampu menciptakan segala sesuatu yang

dibutuhkan. Segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia menghasilkan “benda” budaya.

Pengertian benda dalam konteks penelitian ini merujuk pada pengertian benda budaya

yang dikemukakan oleh Sinamura (1987), antara lain alat pertanian, perkebunan, adat,

pakaian, rumah sarana transportasi, bahasa lisan, bahasa tulisan, kesenian, adat istiadat,

peraturan, kepercayaan dan kehidupan agama. Tingkah laku manusia dalam mencari,

memperoleh dan memanfaatkan barang budaya mencerminkan budaya manusia.7

Ungkapan pughanti titenom damagh ‘kebiasaan menanam damar’, mulai dari

memungut buah damar yang jatuh di tanah yang disebut lahang. Proses membibitkan biji

damar disebut mepukko uwah ni damagh. Lahang yang disemaikan dan sudah bertumbuh

disebut najar. Najar yang ditanam di lahan khusus untuk menamam damar disebut

gheppong, di dalam ghepong terdapat ruang damar yang yang disebut numpak; Pohon

damar yang masih muda disebut kaban. Urutan peristilahan di atas diurutkan sebagai

berikut: buah damar yang jatuh ke tanah dianggap sebagai buah yang dapat tumbuh

7 Sinamura, P. Ilmu Bumi Alam. (Jakarta: Pejuang Bangsa, 1987), hal 183

Page 19: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

19

menjadi pohon damar. Biji damar yang jatuh ke tanah itu akan terjadi proses

perkecambahan yang dipengaruhi oleh iklim, suhu, keadaan air, oksigen dan keadaan biji

disebut mepukko. Tanangau, jelatong wai, atau kabau merupakan masa biji atau pohon

damar tidak aktif untuk tumbuh karena kondisi lingkungan kurang mendukung untuk

tumbuhnya kecambah. Menurut petani damar Krui, kecambah damar tumbuh pada saat

gelap atau sedikit cahaya. Dengan temperatur berkisar walu belas jak eppa em puluh

‘delapan belas sampai empat puluh’. Paparan ungkapan lisan atau ujaran ini

menunjukkan bahwa petani Krui mempunyai sistem pengetahuan yang khas tentang

budidaya damar. Artinya budaya berbahasa erat hubungannya dengan norma-norma,

nilai-nilai sosial, maupun nilai-nilai budaya Krui.

Norma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran untuk mementukan

sesuatu. Norma merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi untuk mendorong orang

perorangan, masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial. Norma

merupakan kumpulan pendapat “Bagaimanakah seharusnya manusia bertingkah laku

yang pantas dan kepantasan itu menjadi terbiasa”, yang selanjutnya diturunkan secara

turun temurun, sehingga mewujudkan peraturan-peraturan hidup bagi pergaulan dalam

kehidupan bermasyarakat.

Menurut hasil wawancara dan pengamatan peneliti ini pada sistem sapaan warga

Krui misalnya seorang ibu menceritakan tentang sesuatu, contoh kutipan data nomor 17

sebagai berikut:

P1 Mak, api jemoh tuyuk aga mulang? ‘Bu apakah besok buyut akan pulang?’

P2 Mawek jemoh! ‘Tidak besok’

Kutipan data no 17 mengilustrasikan bahwa seorang anak ketika menyebut buyut

dengan sapaan tuyuk ‘buyut’ dan menyapa adik ibu yang berjenis kelamin perempuan

dengan sapaan minan ‘bibi’dan menyapa adik ibu yang berjenis kelamin perempuan

dengan sapaan pakngah ‘paman’. Norma yang terlihat pada warga Krui ini terlihat pada

pilihan kata yang dipilih ketika bertutur sapa dibedakan berdasarkan jenis kelamin

penuturnya. Contoh ini memperlihatkan bahwa dalam berinteraksi verbal mereka masih

memegang teguh norma-norma yang terdapat dalam warga Krui dengan

mempertimbangkan kepada siapa dia bertutur. Percakapan pada ranah sekolah untuk

sekolah dasar kelas tiga data nomor 18 ketika pelajaran bahasa sedang berlangsung guru

Page 20: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

20

dan siswa menggunakan bahasa Krui dan bahasa Indonesia secara bergantian. Para siswa

yang berasal dari berbagai suku bangsa yang tidak mengerti bahasa Krui pelajaran

dijelaskan menggunakan bahasa Indonesia. Perbedaan pemakaian bahasa pada data

nomor 18 secara implicit menunjukkan ada perbedaan budaya.

Membahas perbedaan budaya yang melingkupi warga Krui, penelitian ini

merujuk definisi kebudayaan sebagai jalinan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,

kesenian, moral, keagamaan, hokum adat istiaat, dan lain-lain kenyataan maupun

kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyrakat.8 Lebih lanjut

dijelaskan oleh Suparto bahwa kebudayaan ada dua jenis yaitu kebudayaan material dan

non aterial. Kebudayaan material yang dimiliki oleh warga Krui yang ditemukan di

dalam penelitian ini berupa:1) budidaya damar; 2) alat-alat untuk mengambil getah

damar dari pohon damar; 3) nama berbagai jenis getah damar; 4) penggunaan bahasa

Krui yang berkaitan dengan seluk beluk damar; 5) nama tempat getah yang terdapat pada

batang pohon damar; 6) nama-nama lahan tempat tumbuh damar; 7) jenis-jenis tanaman

yang dapat bersanding tumbuh dengan pohon damar di hutan; 8) klasifikasi getah damar

menurut cara pandang orang Krui yang dapat dijual di pasar Krui dengan harga Rp

20.000/kilogram.

Kebudayaan non material yang dimiliki warga Krui yang ditemukan dalam

penelitian ini, karsa yang berwujud kebiasaan-kebiasaan atau adat istiadat yang tercermin

melalui penggunaan bahasa Krui. Setiap ujaran terkandung adanya amanat atau pesan

yang bersifat intrinsik. Berikut uraian pesan itu:

(1) Pesan Instrinsik

Bahasan mengenai pesan intrinsik, pembicara menjadi tolok ukurnya.

Pembicara ketika berbicara kepada mitra bicaranya baik itu (khalayak atau individu)

memiliki tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Cara-cara dan tahap-tahap yang

dilakukan atau dilalui sangat bergantung pada tujuan dan isi pesan yang ingin

disampaikan. Setiap interaksi sosial warga Krui selalu memperlihatkan hubungan di

mana terjadi proses saling pengaruh mempengaruhi antar individu, individu dengan

kelompok, maupun antar kelompok. Proses interaksi dipahami ada pihak yang berbicara

kepada pihak lain untuk menyampaikan pesan. Temuan penelitian ini menunjukkan

beberapa fungsi pembicara sebagai penyampai pesan.

8 Suparto. Sosiologi dan Perubahan Sosial. (Bandung: CV Amino, 1987), hal 133

Page 21: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

21

(i) Pembicara Berfungsi sebagai Pembaharu (change of agent)

Dalam konteks ini seorang pembicara mampu mengembangkan suasana

dengan tujuan mencapai suatu perubahan, atau menyadarkan khalayak. Pembicara ingin

ada sesuatu yang perlu diubah untuk mencapai tingkat kehidupan tertentu. Mula-mula

pembicara mengemukakan masalah yang sama-sama dihadapi, misalnya pada

percakapan yang tertera pada data nomor 18, 16, 15, 3 dan 4. Pada data nomor 18,

seorang guru menghadapi masalah tentang suku kata dalam bahasa Krui yang belum

dipahami oleh siswa, guru menjelaskan cara untuk mengetahui suku kata. Setelah

penjelasan disampaikan, guru di kelas itu memberi latihan kepada siswanya, dengan

tujuan agar dapat memahami suku kata dalam bahasa Krui. Pemahaman suku kata dapat

dicapai melalui beberapa latihan yang diberikan kepada siswa di kelas tiga sekolah dasar.

Data nomor 18 mengandung pesan secara intrinsik sebagai berikut: (i)

pembicara dalam hal in guru telah menciptakan keadaan hubungan yang baik antara guru

dan siswa; kemudian siswa patuh kepada guru; (ii) siswa yang belum mengerti tentang

suku kata dalam bahasa Krui dijelaskan secara berulang, setelah itu siswa mengerti,

artinya masalah itu dicarikan solusinya; (iii) guru berusaha menanamkan pengertian

kepada siswa agar keadaan belum paham tentang suku kata dihadapi dan perlu diubah.

Dengan kata lain, pembicaraan diarahkan pada upaya agar siswa mempunyai keinginan

atau hasrat kuat untuk mengubah keadaan, dari tidak mengerti suku kata bahasa Krui

menjadi mengerti tentang suku kata bahasa tersebut. Untuk mewujudkan upaya itu harus

ada kerja nyata, yaitu mempelajari kosa kata, membuat latihan, dan mengulang-ulang

untuk membuat suku kata dengan jenis-jenis kata yang berbeda.

(ii) Pedengar yang Baik

Pendengar yang baik bisa bersifat aktif maupun pasif. Pendengar yang baik

dan bersifat aktif, terjadi pada dialog para anggota keluarga di rumah, dan pada peristiwa

dialog yang terjadi di sekitar kantor kepala desa ketika kepala desa yang juga berperan

sebagai kepala adat dengan para warganya. Pendengar yang baik dan bersifat pasif juga

terjadi pada peristiwa pembacaan sagata Krui ‘puisi Krui’ di sekolah. Temuan penelitian

ini dari aspek kebudayaan Krui baik material maupun non material memiliki beberapa

fungsi: (1) kandungan dan kekuatan daya pemersatu serta daya tarik keindahan; (2)

memancarkan potensi ekonomis, yaitu menarik wisatawan baik domestik maupun

mancanegara.

(2) Ikatan Kekarabatan

Page 22: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

22

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara peneliti dengan para informan

diperoleh, bahwa para earga Krui satu samalain masih memiliki ikatan kekeabatan yang

berasal dari satu nenek moyang, yang masih dapat ditelusuri kekerabatannya, melalui

lingkungan itulah, para kelompok warga Krui berusia muda mengenal dunia sekitarnya,

serta pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Orang tua, saudara, dan kerabat

tinggal di desa-desa yang homogen. Keadaan itu menjadikan para warga Ranau

kelompok usia tua beserta kerabatnya dapat mencurahkan perhatainnya untuk mendidik

anak, agar anak memperoleh pergaulan hidup melalui penanaman disiplin, dan pergaulan

yang terarah. Data nomor 1 hingga 18 mengindikasikan pengalihan bahasa ibu dalam hal

ini bahasa Krui dari orang tua kepada anak, demikian pula tata cara memperlakukan

pohon damar yang sangat banyak tumbuh di sekitar hutan yang tidak jauh dari tempat

tinggal mereka. Situasi sosial maupun situasi alam seperti itu menjadi dasar bagi

kelompok usia muda Krui untuk mengenal nilai-nilai tertentu seperti nilai pendidikan,

nilai kebahasaan, kesantunan, ketertiban, keindahan alam, kelestarian alam yang perlu

dijaga, ketenteraman, kedamaran, kehutanan, pertanian, kelautan, dan nilai kekerabatan.

Penelitian ini hanya membatasi diri pada nilai yang berkaitan dengan budidaya

damar/ nilai yang dimaksud ialah pandangan atau keyakinan seseorang bahwa sesuatu itu

berharga, berguna, pantas atau patut untuk dimiliki dan dilakukan. Nilai itu memiliki

cirri, antara lain nilai merupakan ciptaan masyarakat yang tercipta melalui interaksi

warga masyarakat. Nilai sosial diteruskan di antara individu-individu satu kelompok ke

kelompok lain. Nilai ini tercermin melalaui bahasa yang mereka gunakan. Warga Krui

masih memegang teguh budidaya damar berdasarkan nilai pelestarian alam, nilai

ekonomis serta istilah yang berkaitan dengan seluk beluk damar itu.

9) Tradisi Pengolahan Hutan

Ditinjau dari aspek menciptakan dan melestarikan sistem sistem tepat guna yang

dilakukan petani Krui yaitu memadukan tradisi pengolah hutan dengan perkembangan

pertanian sebagaimana tertera di atas, dianggap sebagai temuan penelitian ini. Temuan

ini berbeda dengan temuan Wijayanto (2002) dalam penelitiannya tentang “Analisis

Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Pantai Krui Lampung”.9

Wiajayanto membuat model metode dan teknik analisis strategis terhaap unsur internal

dan eksternal dari sistem pengwlolaan repong damar, yang dilakukannya dengan

9 Wijayanto, Nurheni. “Analisis Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui

Lampung”. Dalam Jurnal Menejemen Hutan Tropika Vol VIII, No 1 (39-49), tahun 2002 .

Page 23: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

23

menggunakan analisis SWOT, AHP, dan Skala Likert. Analisis SWOT dalam penelitian

Wijayanto (2002) merujuk kepada cara mengidentifikasi berbagai faktor internal dan

eksternal secara sistematis untuk merumuskan strategi pengelolaan damar di Krui.

Dalam penelitian itu dijelaskan bawha SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal

dianggap sebagai aspek yang bersifat Strengths ‘kekuatan’ dan Weakness ‘kelemahan’;

serta lingkungan eksternal yang diistilahkan dengan Opportunities ‘peluang’, dan

Threats ‘ancaman’ yang dihadapi oleh para petani damar di Krui dalam dunia usaha atau

bisnis damar. Konsep analisis SWOT itu dikutip dari Rangkuti (1997)10. Selanjutnya

analisis Analytical Hierarchy Process (selanjutnya disingkat AHP) merujuk kepada suatu

metode menstruktur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan pertimbangan-

pertimbangan untuk menghasilkan sklaa prioritas relatif, yang diintisarikan dari konsep

yang dikemukakan oleh Saaty (1993).11 Dalam penelitian Wijayanto (2002)

memposisikan sistem pengelolaan repong damar peubah-peubah yang bersifat strategis

berupa tiga unsur yaitu: 1) unsur internal yang terdiri dari (kekuatan dan dan kelemahan);

2) unsur eksternal yang terdiri dari (peluang dan ancaman); serta 3) unsur nilai pengaruh

dari peubah-peubah yang bersifat strategis.

Penelitian Wijayanto (2002) menemukan bahwa peubah-peubah unsur kekuatan

dan nilai pengaruhnya antara lain dikemukakan bahwa: (1) institusi pewarisan yang

masih berfungsi, jaminan keamanan bagi ekonomi rumah tangga sehari-hari dari damar

maupun hasil kebun lain; (2) kesesuaian tempat tumbuh tanaman damar maupun hasil

kebun lain; (3) pengetahuan turun temurun menyangkut pengelolaan repong damar; (4)

keterpaduan pohon damar denga agro-ekosistem lain dalam satu sistem sumberdaya; (5)

keanekaragaman hayati hampir menyamai hutan alam; (6) tataniaga damar relatif

berkembang dan mapan; (7) input modal berupa biaya dan tenaga kerja relatif rendah; (8)

pemilikan repong damar merupakan simbol status sosial.

Selain mengemukakan kekuatan petani damar, Wijayanto (2002) mengemukakan

juga aspek kelemahan. Peubah-peubah unsur kelemahan dan nilai pengaruh itu sebagai

berikut: (1) organisasi masyarakat petani damar belum berkembang; (2) lembaga adat

masyarakat petani damar terdegradasi oleh kebijakan–kebijakan pemerintah; (3) belum

10 Rangkuti, F. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep Perencanaan

Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal 41 11 Saaty, T.L. “Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki Analitik untuk

Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks. “Jurnal Seri Manajemen No. 134. (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1993), hal 41

Page 24: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

24

ada lembaga ekonomi masyarakat petani di Krui; (4) keterbatasan modal dan aksesnya;

(5) keterbatasan informasi dan akses; (6) teknologi pasca panen belum ada; (7)

ketergantungan yang besar terhadap pedagang atau penampung damar; (8) petani tidak

memiliki rencana yang bersifat strategis; (9) tidak ada strategi dan jaringan pemasaran

damar yang dibangun untuk kepentingan petani. Berlainan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Wijayanto (2002) tentang delapan aspek kekuatan repong damar, dan

sembilan aspek kelemahan petani damar di Krui, penelitian ini memberi kontribusi

beberapa beberapa faktor penyebab tradisi kekuatan pengelolaan repong damar dilihat

dari tataran budaya khususnya penggunaan bahasa yang berkaitan erat dengan

pengelolaan, nilai, norma serta keyakinan tentang damar maupun repong damar.

Penelitian ini telah mengembangkan aspek ketiga dari penelitian Wijayanto (2002)

tentang “pengetahuan turun temurun menyangkut pengelolaan repong damar”. Penelitian

ini telah mengembangkan sembilan faktor penyebab pengetahuan turun temurun

menyangkut pengelolaan repong damar masih tepat belangsung sejak ratusan tahun yang

lalu yaitu faktor: (1) warisan adat; (2) kearifan lokal tentang budidaya damar; (3) potensi

alam; (4) pengetahuan tentang pelestarian hutan yang diwariskan secara turun temurun;

(5) pengetahuan tentang jenis lahan dalam hutan; (6) interaksi sosial; (7) psikis; (8)

kebudayaan daerah setempat yang terdiri dari pengalihan pesan secara intrinsic dan

terpeliharanya ikatan kekerabatan; (9) tradisi pengelolaan hutan. Sembilan faktor ini

dianggap dapat memberi gambaran bahwa kebudayaan petani damar di pesisir barat Krui

Lampung.

(4) Nilai-Nilai Budaya dalam Repong Damar

Nilai-nilai budaya suku asli Krui yang masih hidup dalam repong damar dapat

ditelusuri melalui bahasa lisan yang mereka gunakan. Penelitian ini mengambil sampel

desa itu antara lain, desa Pahmongan, Labuan Mandi, gunung Kemala. Literatur-literatur

yang membahas tentang nilai budaya Krui sudah dilakukan oleh beberapa namun dibahas

hanya sekilas dan tidak bertolak dari sudut pandang bahasa yang digunakan oleh orang

Krui itu. Hasil kajian pustaka tersebut selanjutnya dikonformasi dengan hasil wawancara

mendalam dengan para informan kunci yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat,

tertutrama yang mengelola repong damar terutama yang duduk dalam lembaga adat suku

Krui yang ada di beberapa desa tersebut di atas. Berikut ini adalah uraian tentang nilai-

nilai budaya suku Krui yang hidup dan berkembang dalam pengelolaan damar.

Page 25: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

25

1) Nilai-Nilai Budaya Kepedulian Terhadap Lingkungan Hidup

Secara umum kepedulian warga Krui dalam kaitannya dengan kepedulian

terhadap lingkungan hidup. Kepedulian terhadap lingkungan hidup ini dapat dibagi

menjadi dua, yaitu : (1) kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam arti fisik; (2)

kepedulian terhadap lingkungan hidup dalam arti sosial.

Ruang lingkup lingkungan hidup dalam arti fisik di daerah Krui terkait dalam

lima batas ghang ‘tempat’, yaitu : (1) lawo ‘laut’; (2) pulan ‘hutan’; (3) daghak ‘kebun’;

(4) pangghula ‘ladang’; (5) sabah ‘sawah’; (6) ghepong ‘hutan buatan’ . Dalam berbagai

hal, kelima ghang ini telah membangun kesepakatan bersama terutama dalam menangani

masalah lingkungan. Ini didasarkan karena keenam ghang ini memiliki kepentingan yang

sama untuk menjaga kepentingan distribusi air, untuk kepentingan pertanian, kehutanan,

perikanan, kelestarian hutan, keindahan alam kelautan, keamanan, dan adat tamong

kajong tumbai ‘warisan adat’. Keenam ghang ‘tempat’ ini menggunakan seorang

peghatin ‘pemimpin wilayah’ yang sama untuk mengatur kepentingan distribusi air

untuk usaha pertanian dan merawat hutan untuk lokasi penyimpan dan penadah air,

menjaga kebersihan laut untuk sumber makanan ikan dan nelayan. Untuk kelestarian

hutan dan pencegahan terjadinya erosi. Keenam ghang ‘tempat’, warga Krui itu

bersepakat untuk melarang dan memberikan sanksi penebangan kayu di hutan dan di

sepanjang ghang pekon ’tempat di sekitar desa’. Bila ada yang melanggar maka

sanksinya adalah denda berupa ngakuk gitoh damagh ’ambil getah damar’ hasil jualnya

untuk keperluan banyak warga desa, atau pitit ‘dikucilkan dari desa’. Kesepakatan ini

sangat ditaati oleh warga; dan dijaga dengan ketat oleh peghatin ‘kepala desa’ yang ada

di setiap desa. Hal itu dapat disimak pada data 2.

Untuk menjaga lingkungan keamanan lingkungan hutan dan lingkungan

sekitarnya masyarakat juga dilarang membuang sampah atau limbah rumah tangga di

sungai, got atau selokan. Pelarangan ini juga ditaati oleh para warga Krui, walaupun

tidak ada sanksi yang disampaikan secara eksplisit. Kepedulian masyarakat terhadap

lingkungan hutan dan kebersihan tampaknya ada, dengan konsep yang mereka sebut:

adat muli meghanai setekuk ghek sebambangan yang bermakna ‘rasa kebersamaan dan

senasib sepenanggungan antar warga’.

Selain kepedulian warga terhdap lingkungan fisik, warga Krui di pesisir barat

juga sangat peduli terhadap lingkungan sosialnya, seperti dalam menghadapi warga yang

sedang mengalami musibah (baik musibah kedukaan, kekurangan air karena irigasi

sawah) atau sedang menghadapi berbagai acara tertentu, seperti perkawinan, khitanan,

Page 26: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

26

aqiqah, dan sebagainya: semua warga Krui ikut berpartisipasi, baik tenaga, barang atau

dengan uang. Sampai saat ini peran repong damat Krui sangat menonjol terutama sebagai

shorea javanicus area ‘kawasan pohon damar pinus’, yang getahnya dikenal penghasil

getah damar yang disebut dengan eye cat sap atau eye of cat sap ‘getah mata kucing’.

Pengelolaan ghepong damagh ‘hutan buatan’ bahkan semakin terorganisir. Dalam

pemberian bantuan antar sesame warga, tidak melihat status warga yang bersangkutan,

sesame warga yang merasa sebagai anggota masyarakat Krui memiliki hak dan

kewajiban yang sama.

2) Nilai Budaya Tentang Toleransi

Suku Krui dalam bergaul dengan suku, agama, dan bangsa lain bersifat

terbuka. Dalam hal bergaul, mereka sangat memperhatikan kepada siapa mereka

bertutur, kapan, di mana. Situasi ini terlihat jelas dengan lebih banyak menggunakan

bahasa Krui untuk sesama warga Krui, atau warga lain yang sudah lama tinggal di Krui.

Bila dengan orang yang belum dikenal mereka akan menggunakan bahasa Indonesia.

Penggunaan bahasa Krui diberbagai ranah, seperti keluarga, tetangga, pertemanan, di

pasar, situasi di luar sekolah, di luar ranah pemerintahan, dan disekolah pada tingkat

sekolah dasar kelas satu hingga kelas tiga. Keadaan ini banyak orang mau belajar bahasa

Krui. Dengan kata lain, bahasa Krui digunakan di mana saja mereka berada dan ketemu

dengan orang sesukunya langsung menggunakan bahasa Krui.

Di lain pihak, orang Krui memiliki sifat megelu ‘cekatan dan konsisten’. Mereka

menyatakan secara langsung apa yang dirasakan dan sangat memegang janji. Wat pi’il

pesinggighi ‘berjiwa besar, mempunyai malu dan menghargai diri sendiri, ramah suka

bergaul. Pengolahan damar dianggap sebagai pekerjaan besar, yang dianyatakan dengan

sakai sambayan meliputi pengertian yang luas di dalamnya tercakup kerja ‘mengolah

bersama pekerjaan besar, dan tolong menolong, bahu membahu dan saling member

segala sesuatu yang diperlukan bagi pihak lain, bukan hanya yang bersifat materi saja

melainkan juga dalam arti moral dan pemikiran’. Sifat orang Krui yang terbuka dan suka

bergotong royong membantu orang lain menyebabkan orang lain suku, agama senang

tinggal di pantai pesisir barat ini. bahkan fakta menunjukkan penghargaan terhadap suku

lain dapat dilihat dari orang suku Jawa yang datang dari Jawa tidak punya pekerjaan

dapat bekerja menjadi buruh mengambil damar di hutan repong damar. Damar tidak

dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Krui, sebagian besar penduduk Krui terlibat

dalam produksi damar. Produksi yang besar dapat diperoleh dalam waktu mingguan, satu

Page 27: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

27

bulanan, sampai tiga bulanan. Produksi yang tidak pernah henti itu menyebabkan warga

Krui membuka kesempatan kepada warga suku lain untuk bekerja sebagai pengambil

getah, kuli angkut, buruh sortir getah dan sebagainya. Penghargaan kepada orang luar

desa atau orang luar suku sangat tinggi. Misalnya dalam tradisi nemui nyimah

‘kemurahan hati, ramah tamah terhadap semua pihak, baik orang dalam sekeluarga, atau

orang lain.’ Bagi mereka nemui nyimah meliputi bermurah hati dengan memberikan

segala sesuatu yang ada, juga bermurah hati dalam tutur kata dan sopan santun, ramah

tamah terhadap tamu mereka.

Tingkat toleransi yang tinggi masyarakat desa-desa Krui juga diperlihatkan pada

saat ada keramaian, pekanan, atau pasaran yang diadakan setiap hari Sabtu. Hampir

semua pedagang yang datang pada saat pasaran berasal dari luar desa, luar kecamatan

bahkan luar kabupaten yang berasal dari berbagai suku dan agama; namun keamanan

desa ini tetap terjaga, tidak ada yang berperilaku jahat dengan melihat kemajuan orang

lain. Terhadap bangsa lain, toleransi masyarakat Krui juga sangat tinggi karena desa ini

sering dikunjungi bangsa asing. Desa-desa di sepanjang pesisir barat Krui merupakan

tempat wisata yang ideal untuk berselancar karena ombak laut mencapai dua meter setiap

harinya. Ditinjau dari pola pergaulan masyarakat yang bersifat terbuka diperkirakan

masyarakat akan menerimanya dengan baik selam kehadiran itu tidak mengganggu ada

istiadat dan kepercayaan atau agama yang dianut masyarakat.

(5) Sikap Bahasa Warga Krui

Berdasarkan hasil sikap bahasa warga Krui (Lihat Bab V bagian A) sebagai

temuan penelitian ini, teori yang mengatakan bahwa sikap positif dapat memberikan

petunjuk ke arah keberlangsungan sebuah bahasa dan kebudayaan yang selama ini

berterima sebagai sebuah teori kini, teori itu telah dapat dibuktikan. Sikap positif warga

Krui terhadap bahasa Krui tercermin dari hasil hitung persentase pernyataan pancingan

yang diajukan membentang antara 80%-90% yang berarti positif. Temuan ini

memperkuat temuan penelitian Zulkilfi (1989) dan Wijayanto (2002) mengenai tradisi

pengelolaan damar di repong damar di Krui yang masih lestari. Baik Zulkifli (1989)

maupun Wijayanto (2002) menggunakan paradigma sistem agroforestri, tidak

menggunakan sikap bahasa dalam melihat pelestarian pengelolaan damar di repong

damar. Penelitian ini menggunakan sudut pandang sikap bahasa untuk mengetahui

adanya pelestarian pengelolaan damar di repong damar.

Page 28: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

28

Apabila ditelaah berdasarkan teori sikap dari Anderson (1974) yang mengatakan

bahwa ada hubungan sikap dengan perilaku sosial budaya, ataupun perilaku berbahasa.12

Pernyataan ini telah ditunjukkan oleh warga Krui bahwa sikap dan perilaku sosial

budaya termasuk bahasa saling berhubungan eratr. Teori itu mengatakan bahwa sikap

seseorang terhadap sebuah objek atau suatu tindakan dapat diperhitungkan dari

sekumpulan kepercayaannya yang bersifat evaluatif yang dapat dilihat pada objek atau

tindakan tersebut. Teori itu lantas dihubungkan dengan penelitian ini, sikap bahasa

responden ditunjukkan melalui tindakannya dalam menggunakan bahasanya yang dalam

koneks kajian ini dilihat melalui skor pemakaian bahasa yang positif. Hal ini sesuai

dengan temuan penelitian Suparno (2011) yang meneliti tentang sikap positif warga

guyub tutur bahasa Ranau terhadap bahasa ibu mereka yaitu bahasa Ranau yang

dikorelasikan dengan situasi pemertahanan bahasa Ranau13, dan Wilian (2006) yang

meneliti sikap positif warga Sumbawa yang dikaitkan dengan pemertahanan bahasa

Sumbawa di Lombok14.

Temuan penelitian ini, sesuai pula dengan temuan Suhardi (1996) yang meneliti

sikap dan pemakaian bahasa Indonesia dan bahasa ibu para mahasiswa dan sarjana di

Jakarta. Meskipun kajiannya itu tidak dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat petani

pesisir, ia menyimpulkan bahwa sikap bahasa berhubungan dengan kegiatan dan

kesadaran berbahasa serta ikatan emosional dengan bahasa ibu. Makin tinggi kegiatan

berbahasa dan makin tinggi kesadaran berbahasa, semakin positif sikap bahasa

sesseorang15. Temuan penelitian ini berbeda dengan hasil kajian Siregar, dkk (1998)

tentang sikap bahasa kasus masyarakat di Medan. Temuan Siregar itu memaparkan

bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa daerahnya tidak selalu diikuti oleh

pelaku penggunaan bahasa daerahnya.16

1) Implikasi Sikap Bahasa yang Positif: Terjadi Pengalihan Bahasa Krui

12 Anderson, E.A. Language Attitude Beliefs and Values: A Study in Linguistics Cognitive

Frameworks. (Washington DC: An Arbor Press, 1974), p. 4 13 Suparno, Darsita. “Situasi Pemertahanan Bahasa Ranau”. (Manado: Disertasi Program

Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Linguistik Universitas Sam Ratulangi, belum diterbitkan, 2011, 310 halaman

14 Wilian, Sudirman. “Pemertahanan Bahasa dan Pergeseran Identitas Etnis: Kajian Atas Dwibahasawan Sumbawa-Sasak di Lombok (Depok: Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 311 halaman.

15 Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan Mahasiswa di Jakarta. (Jakarta: FSUI), hal 165-166

16 SIregar, Bahren Umar. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Kasus Masyrakat Bilingual di Medan. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa),

Page 29: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

29

Pertanyaan yang dapat diajukan: Apa sesungguhnya yang menyebabkan

kecenderungan warga Krui bersikap positif yang akhirnya memperlihatkan kebudayaan

petani damar itu? Dilihat dari perolehan skor tiap-tiap pernyataan yang diajukan kepada

responden “Saya merasa senang jika orang menggunakan bahasa Krui kepaa saya”

dengan persentase (87%) dan pernyataan responden “Saya merasa bangga bisa berbahasa

Krui” dengan persentase (89%). Hal ini menunjukkan bahwa warga Krui ingin

menggunakan dan melestarikan bahasa Krui di wilayah pakai bahasa itu. Sikap positif

mereka itu muncul dari lubuk hati para responden ketika menjawab pertanyaan yang

diajukan dalam kuesioner ini. Gejala itu dipahami bahwa sikap positif mereka itu benar-

benar timbul karena faktor sosial psikologis responden yang menggambarkan

penggunaan bahasa Krui yang stabil.

Sikap positif warga Krui dapat diartikan pula bahwa para para warga Krui itu

mempunyai dukungan penuh terhadap bahasa mereka sendiri yang ditunjukkan melalui

pemakaian bahasa sehari-hari di rumah, dengan tetangga, teman di lingkungan tetangga,

sekolah sekitar kantor kepala desa dan saat ceramah. Pemakaian bahasa Krui ini

memiliki fungsi antara lain sebagai:1) pamarkah identitas; 2) melestarikan warisan

leluhur; 3) penunjuk rasa kearaban dan kebersamaan di antara sesame kelompok sosial.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sikap positif warga Krui terhadap

bahasa Krui di dasarkan atas dasar unsur kesetiaan bahasa (language loyality). Kesetiaan

bahasa warga Krui terhadap bahasanya dapat diartikan pengalihan bahasa Krui atu

pengalihan kebudayaan Krui dapat berjalan dengan baik dan teratur sehingga

memancarkan situasi pemakaian bahasa Krui yang masih dapat disaksikan hingga

sekarang ini. Warga Krui menggunakan bahasa Krui dalam menjalankan kegiatan sehari-

hari maupun dalam merepresentasikan kebudayaannya. Didukung hasil pengamatan

pengalihan bahasa Krui di dalam pelaksanaannya unsur setia bahasa itu dijalankan

melalui saluran-saluran tertentu. Saluran-saluran tersebut banyak sekali, akan tetapi

penelitian ini hanya membatasi diri pada dua saluran yaitu:

(1) Pengalihan Bahasa Krui Melalui Saluran Tradisional

Saluran tradisional yaitu saluran yang dikenal warga Krui dengan baik.

Dengan cara memberi istilah kepada pohon damar, hutan damar maupun getah damar

dengan menggunakan istilah yang berlaku di kalangan warga Krui, orang tua sebagai

pemegang tiang utama pengalihan bahasa Krui dengan tradisi menyebut yang

menggunakan istilah-istilah yang penamaan dalam bahasa Krui yang didasarkan pada

taksonomi yang dipahami dalam sistem pengetahuan mereka, maka pengalihan bahasa

Page 30: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

30

Krui maupun kebudayaan yang berkaitan dengan pendamaran dapat berjalan dengan

lancar. Fakta bahwa istilah penamaan yang berkaitan dengan seluk beluk damar

digunakan setiap hari dalam menjalankan kegitan sehari-hari, menjadikan istilah itu

meresap dalam jiwa warga Krui. Model seperti itu, pengalihan bahasa Krui antara

kelompok warga berusia tua dan usia muda terdapat titik temu, sehingga pengalihan

kebudayaan pertanian damar dapat berjalan lancar. Situasi itu dapat diartikan bahwa

kebudayaan pertanian damar dapat terus berlangsung dan secara otomatis mencegah

kemerosotan penggunaan bahasa yang berkaitan dengan kebudayaan milik mereka.

(2) Pengalihan Melalui Saluran Ideologi

Saluran ideologi warga Krui dalam penelitian ini diamati melalui penggunaan

bahasa antara orang tua kepada anak. Data nomor 1-18 menjadi rujukan untuk

mengetahui perilaku pengalihan ideologi dari orang tua kepada anak mereka. Sering

orang-orang dalam hal ini warga Krui menyampaikan serangkaian ajaran yang bertujuan

untuk menerangkan dan sekaligus memberi dasar pembenaran bagi pelaksanaan

kegiatannya.

Misalnya dengan adanya serangkaian kegiatan berbahasa seperti pemahaman

prosa narasi tentang “Perjuangan Pahlawan Raden Intan” tertera data nomor 19,

nyanyian “Bumi Pesisir Barat Krui nan Helau” tertera pada data nomor 9, Sagata atau

adi-adi bahasa Krui data nomor 16, dan rangkaian kegiatan adat seperti ungkapan: sai

bai makai sigogh jak ghanga makai setanggai, sai bakas makai kupiyah emas ‘pengantin

perempuan memakai sigor dan tangan memakai hiasan kuku panjang’; lapah gham

meghwatin di balai adat ‘mari kita musyawarah di balai adat’; masigit ’mesjid’; lamban

balak ‘rumah besar’; anjung ‘tempat beristirahat di repong damar’; minok mahais damar

‘getah damar sangat berharga‘, istilah-istilah kebudayaan itu menggambarkan dasaaar

bagi saluran ideologinya. Di dalam situasi ini orang tua akan berusaha untuk

menerangkan ideologinya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga terjadi pemahaman

yang baik dalam diri anak sebagai generasi penerus pemakai bahasa dan kebudayaan

Krui yang memiliki dan mencintai damar serta potensi alam lainnya yang melingkupi

kehidupan mereka sehari-hari.

2) Kebudayaan Petani Damar Ditinjau dari Aspek Sikap Bahasa Warga Krui

Berangkat dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam konteks kebudayaan

petani damar di kalangan warga Krui, faktor sikap bahasa merupakan faktor non

Page 31: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

31

linguistik yang dapat memperlihatkan keberadaan kebudayaan petani damar di Krui.

Kiranya tiga ciri sikap bahasa yang dirumuskan oleh Garvin dan Mathiot (1968) telah

menunjukkan kenyataan terhadap kebudayaan petani damar masih tetap ada hingga

dewasa ini, meski umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Ketiga ciri sikap bahwa yang

dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot itu adalah :

(1) Kesetiaan bahasa (language loyality) yang mendorong warga Krui

mempergunakan bahasa Krui dalam menjalankan kegiatan sehiari-hari, bahkan

bila perlu mereka mencegah pengaruh bahasa lain;

(2) Kebanggaan bahasa (language pride) telah mendorong warga Krui

mengembangkan bahasa Krui dan menggunakannya sebagai lambang identitas

dan kesatuan masyarakat Krui itu sebagai sebuah masyarakat dan

penghidupannya;

(3) Kesadaran adanya norma (awareness the norm) yang mendorong warga Krui

menggunakan bahasa Krui dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor

yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan

bahasa (language use) dalam berbagai kegiatan kebudayaan termasuk kegiatan

pertanian yang menyangkut damar.

Akhirnya, penelitian ini mengemukakan dua jenis faktor yang mempengaruhi

kebudayaan petani damar, yaitu:

1. Faktor Non Linguistik meliputi:

(1) Sikap positif warga Krui;

(2) Wilayah konsentrasi pemukiman penduduk dan tempat tumbuh damar;

(3) Ikatan kekerabatan.

2. Faktor Linguistik meliputi:

(1) Penggunaan bahasa ibu dan bahasa lain sesuai ranah

(2) Pengalihan Bahasa Krui yang terus berlangsung

Faktor-faktor non linguistik dan faktor linguistik yang menjadi temuan penelitian

ini, dan faktor-faktor yang dirumuskan para ahli, adalah variabel-variabel sosiokultural

psikologis yang diperincikan secara berbeda-beda bahkan ada yang tumpang tindih,

(matrik terlampir).

Page 32: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

32

Temuan ini berbeda denga temuan Wijayanto (2002) yang membagi empat faktor

penting yang mempengaruhi sistem pengelolaan repong damar di pesisir pantai Krui

yaitu:

(1) kekuatan berupa (i) pemilikan damar merupakan simbol status sosial; (ii)

dilakukan dengan modal murah; (iii) tata niaga yang terus berkembang

(2) kelemahan berupa (i) organisasi yang berlum berkembang; (ii) tidak ada

rencana strategis; (iii) tidak ada jaringan pemasaran damar.

(3) peluang, merujuk kepada peubah-peubah unsur peluang dan nilai

pengaruhnya, berupa: (i) infrastruktur jalan lintas barat; (ii) industri ramah lingkungan

untuk kayu dan produk-produk kayu; (iii) industri getah damar mata kucing; (iv)

pendampingan kelembagaan masyarakat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (disingkat

LSM) atau fasilitasi pemberdayaan kelompok tani; (v) dukungan hasil penelitian dari

Lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi, seperti hasil penelitian peningkatan

produktivitas repong damar; (vi) pengembangan peraturan yang mendukung

keberlanjutan repong damar; (vii) dukungan sistem informasi; (viii) pengembangan

ekoturisme; (ix) dukungan bantuan dari lembaga-lembaga donor.

(4) ancaman merujuk kepada peubah-peubah unsur ancaman dan nilai

pengaruhnya, terdiri dari : (i) ketidakpastian jaminan hokum bagi penduduk atau

kawasan repong damar; (ii) kurangnya sumberdaya manusi; (iii) kepadatan penduduki;

(iv) penduduk pendatang tidak mengerti kebudayaan setempat; (v) adanya iuran dan

retribusi hasil hutan; (vi) keterbatasan lahan untuk pengembangan; (vii) serangan hama

dan penyakit tanaman; (viii) pengelolaan yang bersifat eksploratif pada repong damar

yang berstatus gadai; (ix) cara memanen getah menggunakan buruh upahan17.

Temuan penelitian ini berbeda dengan temuan penelitian Lhi (2011) tentang lima

faktor yang menunjukkan aspek kekuatan sistem pengelolaan repong damar tetap

berlangsung selama ratusan tahun, yaitu (i) sistem pengelolaan dilakukan oleh laki-laki

maupun perempuan; (ii) kesadaran masyarakat Krui untuk terus melindungi pohon

damar sebagai warisan leluhur; (iii) ada hukum adat yang melindungi pohon damar; (iii)

setiap pengantin Krui harus menanam pohon damar sebagai mahar; (iv) transmisi pesan

orang tua kepada anak-anak untuk melestarikan kebudayaan damar; (v) sumber utama

pendapatan. Ditinjau dari aspek ancaman, Lhi (2011) mengemukakan tiga faktor yang

mengancam repong damar antara lain: (i) kawasan perkebunan damar diganti dengan

17 Wijayanto, Nurheni, Loc.cit. hal 38-41.

Page 33: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

33

perkebunan kelapa sawit; (ii) ada penduduk mengabaikan hukum adat; (iii) polisi hutan

tidak dapat menghadang masuknya penebang liar.18

7. Simpulan

Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana tertera di atas

disimpulkan sebagai berikut: perian semantik medan makna membawa yang menyangkut

berbagai kosa kata yang bermakna seluk-beluk damar menurut masyarakat Krui antara

lain bahwa verba membawa memiliki beragam istilah yang berlainan untuk menamai

atau menyebut membawa damar atau benda lain. Begitu pula untuk kata dengan kelas

kata nomina hutan memilik beragam istilah yang berlainan, contoh pulan ‘hutan alam’;

hutan belantara; hutan rimba’, daghak ‘hutan yang dibuat menjadi kebun’ pangghula

‘hutan yang dibuat menjadi ladang, ghepong ‘hutan yang dibuat untuk menamam

tanaman pinus damar’.

Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Krui untuk mengadakan budidaya

damar yaitu faktor: 1) warisan adat; 2) kearifan local; 3) keadaan alam; 4) pelestarian

hutan; 5) lahan untuk menanam pinus; 6) penangkal erosi; 7) psikis; 8) budaya.

Selanjutnya nilai budaya yang terkandung dalam domain damar bagi masyarakt Krui

adalah sebagai berikut: nilai kepedulian terhadap lingkungan hidup dan nilai toleransi.

Sikap orang Krui positif terhadap bahasa Krui. Mereka memandang bahwa

bahasa Krui perlu terus digunakan untuk menjalankan berbagai kegiatan kehidupan

merka di Krui. Sikap positif itu telah berimplikasi terjadi pengalihan bahasa Krui dari

orang tua kepada anak-anak mereka.

18 Lhi, Azzura. “Damar dan Cara Masyarakat Krui Melestarikan Lingkungan Adat” (Lampung:

arthliwa wordpress, 2011), hal 1-2

Page 34: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

34

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, E.A. Language Attitude Beliefs and Values: A Study in Linguistics Cognitive

Frameworks. (Washington DC: An Arbor Press, 1974), p. 4

Johnson, K. Biology . 2005. Oxford: Oxford University Press.

Lhi, Azzura. 2011. “Damar dan Cara Masyarakat Krui Melestarikan Lingkungan Adat”.

Lampung: arthliwa wordpress.

Moleong, Lexy. J. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung Rosdakarya.

Poerwadarminto, W.J.S. 2010. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rangkuti, F. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi Konsep

Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 1997), hal 41

Saaty, T.L. “Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hierarki Analitik

untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Kompleks. “Jurnal Seri Manajemen

No. 134. (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1993), hal 41

Sinamura, P. 1987. Ilmu Bumi Alam. Jakarta: Pejuang Bangsa.

Siregar, Bahren Umar. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Kasus Masyrakat

Bilingual di Medan. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa),

Sudaryanto. 1997. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press.

Suhardi, B. 1996. Sikap Bahasa: Suatu Telaah Eksploratif atas Sekelompok Sarjana dan

Mahasiswa di Jakarta. (Jakarta: FSUI), hal 165-166

Suparno, Darsita. “Situasi Pemertahanan Bahasa Ranau”. (Manado: Disertasi Program

Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Program Studi Linguistik Universitas Sam

Ratulangi, belum diterbitkan, 2011, 310 halaman

Suparto. Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: CV Amino, 1987.

Soerjono, Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Gafindo.

Wijayanto, Nurheni. “Analisis Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir

Krui Lampung”. Dalam Jurnal Menejemen Hutan Tropika Vol VIII, No 1 (39-

49), tahun 2002 .

Wilian, Sudirman. “Pemertahanan Bahasa dan Pergeseran Identitas Etnis: Kajian Atas

Dwibahasawan Sumbawa-Sasak di Lombok (Depok: Disertasi Program

Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 311 halaman.

Page 35: Kebudayaan Petani Damar Pesisir Barat Krui Perspektif

35