kebijakan moneter 2

15
1 KEBIJAKAN MONETER DALAM PEMBANGUNAN DISUSUN OLEH : SANTI CAROLINA NIM : 012008043 UJIAN AKHIR SEMESTER MANAGEMENT STRATEGIC Dosen : Prof.Ir. Rudy C.Tarumingkeng, Ph.D PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN JURUSAN MANAJEMEN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 2009

Upload: angga-pebriant

Post on 29-Jun-2015

793 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Moneter 2

1

KEBIJAKAN MONETER DALAM

PEMBANGUNAN

DISUSUN OLEH :

SANTI CAROLINA

NIM : 012008043

UJIAN AKHIR SEMESTER

MANAGEMENT STRATEGIC

Dosen : Prof.Ir. Rudy C.Tarumingkeng, Ph.D

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

JURUSAN MANAJEMEN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

2009

Page 2: Kebijakan Moneter 2

2

KEBIJAKAN MONETER DALAM

PEMBANGUNAN

I. Pendahuluan Masalah dan cakupan dalam pembahasan makro ekonomi dapat

digolongkan atas empat kelompok besar, yaitu pertumbuhan ekonomi

(growth), inflasi (inflation), pengangguran (unemployment) dan neraca

pembayaran (balance of payment). Untuk menangani persoalan-persoalan

makro ekonomi tersebut, misal ingin meningkatkan atau mengejar

pertumbuhan ekonomi pada suatu tingkat tertentu, secara teoritis dapat

didekati dengan dua cara, yaitu :

1. Demand management. Pendekatan ini dilakukan pada upaya pengendalian

makro ekonomi yang bertumpu pada pengelolaan permintaan agregat

atau aggregate demand (AD), artinya demand management adalah kebijakan

pengendalian makro ekonomi yang utama. Ada dua kebijakan pokok

dengan pendekatan ini yaitu kebijakan fiskal (fiscal policy) dan kebijakan

moneter (monetary policy). Kebijakan fiskal biasanya eksekusinya lambat,

karena untuk mengimplementasikannya harus melalui prosedur yang

cukup panjang, misalnya perlu pembahasan (public hearing) dengan

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun demikian, dari segi efektivitas

kebijakan ini lebih ampuh. Di sisi lain, kebijakan moneter, merupakan

kebijakan yang dapat dieksekusi secara cepat atau dapat dilakukan

seketika, karena kebijakan ini dimiliki oleh otoritas moneter dalam hal ini

Bank Indonesia. Namun, seringkali pengaruh kebijakan tersebut lambat

dan tidak selalu seperti yang diharapkan dan biasanya sifatnya untuk

mengatasi masalah dalam jangka pendek atau sesaat saja.

2. Supply Management. Upaya pengendalian makro ekonomi dengan

pendekatan ini sampai saat ini masih sulit dilakukan, karena menyangkut

teknologi yang sifatnya jangka panjang. Teori Keynes yang merupakan

Page 3: Kebijakan Moneter 2

3

demand side dari makro ekonomi masih mendominasi kebijakan yang

dipegang pada sebagian besar negara. Apa yang terjadi dengan harga

dan output (GNP) hanya mengikuti apa yang terjadi dengan permintaan

agregat. Sehingga kebijakan-kebijakan makro harus diarahkan

bagaimana mempengaruhi permintaan agregat agar pada tingkat yang

sesuai dengan yang diinginkan. Menurut dasar logika ini, penawaran

agregat (aggregat supply) dianggap seolah-olah sebagai sesuatu yang

(paling tidak dalam jangka pendek) tidak dapat dipengaruhi secara

langsung, tetapi hanya secara tidak langsung lewat permintaan agregat.

Akhir-akhir ini ahli makro ekonomi mulai sadar akan pentingnya

pengaruh kebijakan makro pada sisi penawaran (supply side), sehingga

analisa makro dapat menjadi lebih berimbang. Kesulitan utamanya

adalah bahwa sampai sat ini belum dapat dirumuskan hubungan yang

jelas antara kebijakan-kebijakan makro dengan sisi penawaran ini.

Setidak-tidaknya belum ada rumusan semantap atau semapan teori

mengenai sisi permintaan (Boediono, 1995).

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pemikiran makroekonmi

Keynes dengan demand managemant masih mendominasi dalam memecahkan

persoalan-persoalan makroekonomi. Tulisan ini hanya akan membahas

pengelolaan makroekonomi dari sisi demand management yaitu pada aspek

kebijakan moneter.

II. Posisi dan Arti IS-LM Dalam Penentuan Kebijakan

Pada posisi normal, kurva LM mempunyai slope positif dan kurva IS

berslope negatif. Dalam kasus-kasus ekstrim akan dijumpai dimana kurva

LM dan IS salah satu atau kedua-duanya dapat vertikal dan horisontal.

Uraian berikut memperlihatkan empat keadaan, dimana kurva LM

horisontal, LM vertikal, IS horisontal dan IS vertikal, serta implikasi

kebijakan yang harus diambil.

Page 4: Kebijakan Moneter 2

4

Kasus ekstrim pertama yaitu kurva LM vertikal. Kasus ini mendekati

teori klasik, sehingga sering disebut kasus klasik. Keadaan ini terjadi jika

tidak ada permintaan uang untuk spekulasi, sehingga total permintaan untuk

uang menjadi inelastis sempurna dalam kaitannya dengan tingkat bunga,

artinya permintaan uang sepenuhnya ditentukan oleh tingkat pendapatan.

Pada kasus ini kebijakan fiskal tidak efektif. Pergeseran kurva IS akan

meningkatkan atau menurunkan tingkat bunga dan tidak merubah income

sehingga jika kebijakan fiskal dilakukan maka mengakibatkan complete

crowding out. Oleh karenanya kebijakan yang efektif adalah kebijakan

moneter yang menghasilkan peningkatan income, karena investasi

meningkat sebagai akibat dari menurunnya tingkat bunga, seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 1.

IS LM LM’

r*

r’

y* y’ y

Gambar 1. Kurva LM Vertikal (Complete Crowding Out)

(Sumber Galbraith dan Darity, 1994)

Kasus ekstrim kedua yaitu kurva LM horisontal. Kurva LM ini

horisontal karena permintaan uang yang bersifat elastis sempurna terhadap

tingkat bunga. Pada kasus seperti kebijakan moneter tidak efektif, sebaliknya

kebijakan fiskal akan sangat efektif, karena pergeseran ke kanan atas kurva IS

sepanjang kurva LM yang horisontal akan meningkatkan income atau output

tanpa mempengaruhi tingkat suku bunga. Kasus seperti ini sering disebut

r

Page 5: Kebijakan Moneter 2

5

liquidity trap atau kasus Keynesian ( Gambar 2).

r

LM

r*

IS IS’

y* y’ y

Gambar 2. Kurva LM Horisontal (Liquidity Trap) (Sumber Galbraith dan Darity, 1994)

Kasus esktrim ketiga yaitu kurva IS horisontal. Kurva IS yang horisontal ini

terjadi jika investasi bersifat elastis sempurna terhadap tingkat bunga. Pada

kasus ini suatu peningkatan dalam pengeluaran pemerintah tidak

berpengaruh terhadap income, karena kenaikan yang kecil terhadap tingkat

bunga itu akan menyebabkan investasi swasta menurun dengan jumlah yang

sama (crowding out). Oleh karenanya kebijakan yang efektif adalah kebijakan

moneter yang dapat meningkatkan income pada full employment tanpa

mempengaruhi tingkat suku bunga. Hal itu diperlihatkan pada Gambar 3.

r LM

IS

y* yf y

Gambar 3. Kurva IS Horisontal (Sumber Galbraith dan Darity, 1994)

Kasus ekstrim keempat adalah kurva IS vertikal. Kasus ini terjadi jika

konsumsi dan investasi sama sekali tidak respon terhadap tingkat suku

bunga. Kebijakan yang efektif adalah kebijakan fiskal dan tidak akan terjadi

Page 6: Kebijakan Moneter 2

6

crowding out. Peningkatan pengeluaran pemerintah dapat dengan cepat

menghasilkan keadaan full employment seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 4. Sebaliknya kebijakan moneter tidak akan efektif pada kasus

seperti ini.

r IS LM

r*

y* yf y

Gambar 4. Kurva IS Vertikal (Sumber Galbraith dan Darity, 1994)

III. Pengertian dan Instrumen Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah tindakan pemerintah (atau Bank Sentral)

untuk mempengaruhi situasi makro ekonomi yang dilaksanakan melalui

pasar uang. Secara khusus, kebijakan moneter dapat diartikan sebagai

tindakan makro pemerintah (Bank Sentral) dengan cara mempengaruhi

proses penciptaan uang. Proses pencipatan uang ini dapat mempengaruhi

jumlah uang beredar. Dengan mempengaruhi jumlah uang beredar

pemerintah dapat mempegnaruhi tingkat suku bunga yang berlaku di pasar

uang. Dan melalui tingkat suku bunga pemerintah dapat mempengaruhi

pengeluaran investasi (I), dan selanjutnya permintan agregat (AD) dan pada

akhirnya tingkat harga (P) dan output.

Dianggap atau diasumsikan bahwa setiap anggota masyarakat

menghasilkan barang-barang dengan tujuan untuk dijual ke pasar,

pertukaran dilakukan dengan menggunakan uang dan jasa-jasa sistem bank

dan pasar uang maupun pasar modal yang keadaannya sudah berjalan

dengan baik. Di dalam perekonomian yang mempunyai sifat-sifat yang

demikian tingkat pengeluaran masyarakat dapat diatur dengan

mempengaruhi penawaran uang dalam masyarakat atau mempengaruhi

Page 7: Kebijakan Moneter 2

7

tingkat bunga. Kebijakan pemerintah untuk tujuan dan maksud yang

demikian dinamakan kebijakan moneter. Kebijakan tersebut berkaitaan

dengan berbagai kebijakan atau tindakan yang diambil untuk mengatur uang

yang beredar serta biaya dan ketersediaan kredit dalam perekonomian.

Kebijakan moneter biasanya dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini

Bank Sentral atau untuk Indonesia Bank Indonesia yang menurut undang-

undang keberadaannya adalah independen. Seringkali Bank Sentral disebut

sebagai otoritas moneter, karena dengan sifat independen tersebut Bank

Indonesia mempunyai wewenang melakukan pengendalian uang yang

beredar untuk maksud tertentu. Oleh karenanya perlu diketahui apa fungsi

dan dari lembaga otoritas moneter tersebut.

Otoritas moneter adalah lembaga yang melaksanakan pengendalian

moneter dengan fungsi (Bank Indonesia, 2001) :

1. Mengeluarkan dan mengedarkan uang kartal sebagai alat pembayaran

yang sah

2. Memelihara dan menjaga posisi cadangan devisa

3. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank-bank

4. Memegang kas pemerintah

Kebijakan moneter yang akan dibahas disini berdasarkan asumsi yang

diberikan di atas, dimana kebijakan yang akan diuraikan terutama untuk

negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Sedangkan di negara-negara berkembang lainnya kebijakan seperti ini perlu

dilakukan penyesuaian sesuai keadaan perekonomian yang bersangkutan,

serta kesulitan-kesulitan dalam pelaksananya. Kesulitan dan permasalahan

ini akan dibahas kemudian.

Pada umumnya di negara-negara maju, kebijakan moneter dilakukan

dengan tiga instrumen kebijakan. Ketiganya adalah operasi pasar terbuka

atau open market operation, kebijakan cadangan wajib minimum atau legal

reserve ratio atau required reserve ratio (RRr), dan penentuan tingkat suku

bunga diskonto (discount rate).

1. Kebijakan Pasar terbuka.

Page 8: Kebijakan Moneter 2

8

Kebijakan ini menaikkan dan menurunkan jumlah cadangan bank umum

yang ada pada bank sentral untuk mempengaruhi penawaran uang. Hal

tersebut dilakukan dengan membeli atau menjual surat berharga atau

obligasi di pasar terbuka. Jika bank sentral ingin menambah suplai uang

maka bank sentral akan membeli obligasi, dan sebaliknya bila akan

menurunkan jumlah uang beredar maka bank sentral akan menjual

obligasi.

2. Cadangan Wajib Minimum. Bank sentral umumnya menentukan angka

rasio minimum antara uang tunai (reserve) dengan kewajiban giral bank

(demand deposits), yang biasa disebut minimum legal reserve ratio. Apabila

bank sentral menurunkan angka tersebut maka dengan uang tunai yang

sama, bank dapat menciptakan uang dengan jumlah yang lebih banyak

daripada sebelumnya. Sebaliknya, apabila pemerintah menghendaki

mengurangi jumlah uang yang beredar, yang sering disebut dengan tight

money policy, dapat dilakukan dengan cara menaikkan minimum legal

reserve ratio. Nilai dari multiplier moneter tergantung pada cadangan

wajib minimum.

3. Penentuan Discount Rate. Apabila bank sentral menaikkan tingkat

diskontonya maka jumlah uang nominal yang beredar akan cenderung

berkurang, dan jika pemerintah menghendaki jumlah uang yang beredar

bertambah, maka diskonto bank sentral harus diturunkan. Bank sentral

merupakan sumber dana bagi bank-bank umum atau komersial dan

sebagai sumber dana yang terakhir. Bank komersial dapat meminjam

dari bank sentral dengan tingkat suku bunga sedikit di bawah tingkat

suku bunga kredit jangka pendek yang berlaku di pasar bebas. Discount

rate yang bank sentral kenakan terhadap pinjaman ke bank komersial

mempengaruhi tingkat keuntungan bank komersial tersebut dan

keinginan meminjam dari bank sentral. Ketika discount rate relatif rendah

terhadap tingkat bunga

pinjaman, maka bank komersial akan mempunyai kecendrungan untuk

meminjam dari bank sentral.

Page 9: Kebijakan Moneter 2

9

IV. Efektifitas Kebijakan Moneter

Pada Gambar 5 menunjukkan cara kerja dan efektivitas kebijakan

moneter. Kebijakan moneter menggeser kurva LM dari LM0 ke LM1, maka

keseimbangan IS-LM berada pada :

1. Kisaran liquidity trap, yaitu bagian dari kurva LM yang horisontal.

Kebijakan moneter pada kisaran in tidak akan efektif, karena tidak akan

mampu menaikkan tingkat pendapatan nasional. Pada tingkat bunga

yang begitu rendah harga surat berharga atau obligasi menjadi begitu

tinggi, sehingga semua orang akan meramalkan akan terjadinya

penurunan harga surat-surat obligasi. Dengan ramalan seperti itu, maka

tambahan uang yang tersedia untuk spekulasi tidak dibelikan lagi untuk

surat berharga melainkan disimpan dalam bentuk uang. Dengan

bergesernya kurva LM ke kanan, pada kurva IS adalah IS1, maka titik

keseimbangan IS-LM tidak pindah dari tempat semula (y1) dan tingkat

bunga tetap r1. Keadaan liquidity trap ini sering dijumpai dalam masa

depresi yang parah, dimana seolah-olah pasar uang “macet” sehinga

kebijakan moneter tidak efektif.

r

IS3 LM0 LM1

IS2

IS1

r1

y1 y2 y4 y3 y5 y

Page 10: Kebijakan Moneter 2

10

Gambar 5. Efektifitas Kebijakan Moneter Sumber : Kaunang, 2001

2. Kisaran intermediate atau daerah tengah, yaitu bagian dari kurva LM

yang berada antara daerah klasik dan Keynes. Pada kasus ini, elastisitas

tingkat bunga kurva LM lebih besar daripada nol. Akan tetapi lebih kecil

daripada tidak terhingga. Pada kisaran ini kebijakan moneter mampu

menaikan tingkat pendapatan nasional, tetapi tidak seefektif di daerah

klasik.

3. Kisaran klasik, yaitu bagian dari kurva LM vertikal. Disebut daerah

klasik karena dari daerah inilah kesimpulan secara teoritis dihasilkan oleh

kaum klasik. Dengan peningkatan jumlah uang beredar yang sama, misal

titik keseimbangan IS-LM berada di tengah-tengah, maka pertambahan

pendapatan nasional hanya sebesar y2y4, sedangkan apabila titik

keseimbangan IS-LM di dalam daerah klasik maka tambahan pendapatan

nasional akan sebesar y3y5. Nilai y3y5 lebih besar dari y2y4 sehingga dapat

disimpulkan bahwa kebijakan moneter efektif di daerah klasik.

Efektifitas kebijakan moneter mendapat kritikan dari ekonom Milton

Friedman. Menurut Friedman bahwa kebijakan moneter tidak akan efektif

karena satu hal, yaitu sulitnya diterka atau diperkirakan berapa besar dan

kapan efeknya akan terasa, sebagaimana yang diutarakan pada pendahuluan

tulisan ini. Friedman tidak mengatakan bahwa kebijakan moneter tidak akan

mempunyai pengaruh terhadap situasi makro, tetapi menurutnya dalam

praktek sulit untuk menentukan berapa besar dan kapan pengaruh dari

suatu kebijakan moneter yang diambil hari ini, karena situasi makro selalu

berubah. Sehingga besar kemungkinan efek kebijakan yang diinginkan

untuk mengatasi situasi, misal triwulan atau catur wulan yang lampau baru

muncul dan terasa pada triwulan atau catur wulan ini, sedangkan situasi

makro triwulan atau catur wulan ini dapat saja sudah berubah. Keadaan

seperti itu dikatakan policy lags dimana kebijakan moneter tidak efektif

Page 11: Kebijakan Moneter 2

11

karena adanya perbedaan waktu antara diambilnya tindakan moneter

dengan timbulnya efek kebijakan tersebut yang tidak dapat diketahui secara

persis atau pasti.

V. Masalah dan kesulitan Penerapan Kebijakan Moneter Di Negara

Berkembang

Pemerintah (dalam hal ini Bank Sentral) harus menggunakan

kebijakan moneter untuk mempengaruhi pengeluaran swasta dan

masyarakat ke arah yang dinginkan dalam kegiatan ekonomi dan

pembangunan secara keseluruhan. Pada waktu resesi dan tingkat

pengangguran tinggi, pemerintah harus berusaha meningkatkan seluruh

pengeluaran masyarakat antara lain dengan cara meningkatkan penawaran

uang dalam masyarakat. Meningkatknya penawaran uang akan

mengakibatkan penawaran uang riil akan naik, sehingga kurva LM bergeser

ke kanan bawah yang mengakibatkan tingkat suku bunga turun. Turunnya

suku tingkat bunga menimbulkan gairah investasi yang pada akhirnya

meningkatkan permintaan agregat, dan akhirnya menurunkan tingkat harga

dan menaikkan output nasional. Kebijakan moneter yang dapat dilakukan

untuk mecapai tujuan ini adalah mengurangi tingkat cadangan minimum,

menurunkan tingkat bunga dan membeli surat-surat berharga dari

masyarakat. Pada masa inflasi dan ekonomi yang memanas, kebijakan

moneter dilakukan haruslah berjalan ke arah yang sebaliknya.

Kebijakan moneter yang dilakukan tersebut kurang besar

efektifitasnya dalam melaksanakan fungsinya di negara-negara berkembang

dibandingkan dengan di negara-negara maju. Namun demikian, kebijakan

moneter masih tetap besar peranannya dalam menciptakan kestabilan

ekonomi dan uang di negara berkembang. Bentuk kebijakan yang

dilaksanakan perlu disesuaikan dengan masalah-masalah yang sebenarnya

dihadapi oleh negara berkembang. Karena uang tunai merupakan bagian

terbesar dari penawaran uang, maka kebijakan moneter bukan saja harus

ditujukan untuk mempengaruhi penawaran uang yang diciptakan oleh

Page 12: Kebijakan Moneter 2

12

sistem perbankan, tetapi harus pula meliputi usaha untuk mempengaruhi

penawaran uang tunai yang beredar dalam masyarakat.

Pertambahan penduduk dan pendapatan masyarakat sebagai akibat

dari usaha dan kegiatan pembangunan menyebabkan dari tahun ke tahun

penawaran uang yang beredar harus ditambah (Tabel 1). Tabel tersebut

menunjukkan bahwa setiap tahun selalu terjadi peningkatan uang beredar.

Pada tahun 1996 jumlah uang kartal dan giral (M1) sebesar Rp 64.089 milyar

dimana kontribusi uang giral lebih banyak (65%) dibandingkan uang kartal.

Pada tahun 2000 M1 sebesar Rp 162.186 miliar. Data terakhir tahun 2001

sampai dengan bulan November mencapai Rp 171.383 milyar.

Dengan demikian, salah satu tugas dari kebijakan moneter adalah

menyediakan pertambahan penawaran uang yang cukup sehingga usaha-

usaha pembangunan dapat berjalan lancar. Pada masa terjadi kelebihan

permintaan dan inflasi, penawaran uang dalam masyarakat harus dikurangi.

Di negara-negara berkembang kebijakan ini harus mencakup juga kebijakan

untuk mempengaruhi penawaran uang tunai dalam masyarakat, yaitu

dengan berusaha menarik uang tersebut dari tangan masyarakat, sehingga

akan menurunkan tingkat pengeluarannya. Cara yang dapat ditempuh

dengan menarik uang tersebut ke dalam sistem perbankan, misalnya dengan

cara memberikan bunga yang tinggi kepada nasabah deposito berjangka.

Tabel 1. Jumlah Uang yang Beredar, 1996-2001

Tah

un

Uang Beredar (Milliar Rp)

M2

M1

Uang Kartal

(1)

Uang Giral

(2)

(1) +

(2)

Uang

Kuasi Jumla

h

1996 22.487 41.602

64.089

224.543 228.63

2

1997 28.424 49.919 277.300 355.64

Page 13: Kebijakan Moneter 2

13

78.343 3

1998 41.394 59.803 101.19

7

476.197 577.38

1

1999 58.353 66.280 124.63

3

521.572 646.20

5

2000 72.371 89.815 162.18

6

584.842 747.02

8

2001

*

73.139 98.244 171.38

3

650.308 821.69

1

Sumber : Bank Indonesia, 2001

Keterangan : * Data sampai dengan Bulan November

Kebijakan moneter yang harus dilakukan di negara berkembang pada

umumnya lebih berat dan sulit jika dibandingkan dengan negara-negara

maju. Faktor pertama yang menjadi penyebabnya bahwa tugas untuk

menciptakan penawaran uang yang cukup sehingga pertambahannya dapat

selalu selaras dengan jalannya pembangunan yang memerlukan disiplin

yang kuat di kalangan otoritas moneter dan pemerintah. Kekurangan modal

dan terbatasnya pendapatan pemerintah seringkali menimbulkan dorongan

yang kuat kepada pemerintah untuk meminjam secara berlebihan kepada

Bank Sentral. Kalau ini dilakukan, maka laju pertambahan uang tunai akan

menjadi lebih cepat daripada yang diperlukan, akibatnya terjadi inflasi.

Kedua, bank sentral di negara-negara berkembang harus secara lebih

teliti dan berhati-hati mengawasi perkembangan penerimaan valuta asing

dan mengawasi kegiatan dalam ekspor dan impor. Kegiatan di sektor ini

sangat mudah menimbulkan inflasi karena berfluktuasinya harga-harga

bahan mentah yang diekspor, sehingga penerimaan dari kegiatan ekspor

mengalami perubahan yang tidak teratur, adakalanya kenaikannya besar

sekali dan adakalanya menjadi sangat merosot. Akibatnya dari naik

turunnya pendapatan ekspor, akan bear pengaruhnya atas terjadinya

ketidakstabilan ekonomi dan moneter serta ketidakstabilan pembangunan

nasional.

Page 14: Kebijakan Moneter 2

14

Kebijakan moneter seyogyanya pula menjalankan langkah-langkah

yang menjamin agar modal atau tabungan yang dikumpulkan dapat

diarahkan penggunaannya kepada kegiatan-kegiatan yang lebih produktif.

Biasanya, perbankan di negara berkembang lebih menitikberatkan

kegiatannya dalam memberikan pinjaman kepada sektor perdagangan,

karena seringkali lebih menguntungkan dan resikonya relatif lebih kecil. Di

sisi lain, pembangunan ekonomi memerlukan perluasan pinjaman kepada

sektor industri dan pertanian. Untuk menjamin agar dana tabungan yang

dciptakan dapat mengalir ke sektor-sektor produktif tersebut, maka perlu

dilakukan pengaturan dan pengawasan oleh pemeritah atau Bank Sentral

dengan melaksanakan kebijakan moneter yang sesuai untuk tujuan tersebut.

VI. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik

kesimpulan :

1. Posisi atau slope dari kurva IS-LM akan mempengaruhi kebijakan moneter

yang harus diambil oleh pemerintah (Bank Sentral) dan efektifitas dari

kebijakan itu sendiri.

2. Tiga instrumen penting dalam kebijakan moneter dalam rangka

mengendalikan jumlah uang beredar yaitu kebijakan pasar terbuka (open

market operation), ketentuan cadangan wajib minimum (required reserve

ratio), dan penentuan discount rate Bank Sentral.

3. Kebijakan moneter yang dilakukan di negara-negara berkembang seperti

Indonesia kurang besar efektifitasnya dibandingkan di negara-negara

maju, karena dalam penerapannya (enforcement) lebih berat dan sulit.

Page 15: Kebijakan Moneter 2

15

DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia. 2001. Buletin Bulanan Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia Vol III No. 12 Bank Indonesia Jakarta. Boediono, 1995. Ekonomi Makro. Edisi 4. BPFE. Yogyakarta Branson, W.H.J.M. Litvack 1981. Macroeconomics. Harper & Row, Publishers New York. Galbraith, J.K and W. Darity, Jr. 1994. Macroeconomics. Houghton Mifflin Company Boston Toronto. Glahe, F. R. 1977. Macroeconomics Theori and Policy. Harcourt Brace Jovanovich, Inc. New York. Kamaluddin, R. 1998. Pengantar Ekonomi Pembangunan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Kaunang, R. 2001. Kebijakan Moneter. Makalah Makroekonomi Lanjutan PS EPN IPB. Bogor.