kebijakan indonesia dalam merespon hegemoni produk cina di pasar domestik pasca ratifikasi asean

21

Click here to load reader

Upload: nitta-cii-blossom-tambunan

Post on 28-Jul-2015

562 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

Dampak Hegemoni Produk Cina Bagi Produk Domestik Indonesia Pasca Ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA)

Abstrak

Tahun Baru 2010 menandai diberlakukannya Perjanjian Perdagangan ASEAN-Cina Free Trade Area, (ACFTA). Dengan kesepakatan ini, maka barang-barang antarnegara China dan ASEAN akan saling bebas masuk dengan pembebasan tarif hingga nol persen. Sejumlah pengusaha menilai, sektor usaha kecil dan menengah akan tergilas karena serbuan barang-barang murah dari China. Dalam konteks ini, kita tidak punya pilihan untuk menunda, apalagi mundur. Satu-satunya hal yang harus kita lakukan adalah berbenah, mempersiapkan diri, dan memenangi persaingan ini.

Peningkatan daya saing produk domestik (yang menjadi harga mati untuk tidak tergilas oleh derasnya arus masuk produk-produk China ke Indonesia) harus dilakukan, selain itu kita juga harus memaksimalkan pengelolaan Intellectual Capital (IC) yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan. Strategi ini mutlak diperlukan karena ACFTA ini merupakan pertanda dari munculnya era baru dalam ekonomi, dari old economy kepada new economy. Dalam old economy, kesejahteraan diciptakan melalui peningkatan unit produk dan sistem pengukurannya berdasarkan pada pendapatan (revenue), kos (cost), dan laba (profit). Sedangkan dalam new economy, kesejahteraan diciptakan melalui peningkatan incorporated value added dari produk dan jasa.

Setiap perusahaan memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai dan solusi yang unik yang dapat ditransformasikan ke dalam nilai di pasar. Jika pengelolaan sumberdaya tak berwujud (intangible resources) dapat membantu meraih keunggulan kompetitif, maka peningkatan produktivitas dan nilai pasar (market value) bukan lagi sebuah pilihan, tetapi adalah sebuah kepastian (Pulic and Kolakovic, 2003). Hal inilah yang disebut sebagai intellectual capital, yang menjadi kunci bagi perusahaan untuk memanangi kompetisi dalam ACFTA.

IC adalah suatu istilah yang diberikan kepada kombinasi aktiva tidak berwujud dari pasar (intangible assets of market), intellectual property, human-centred dan infrastruktur yang memungkinkan perusahaan untuk bisa berfungsi (Brooking, 1996). IC umumnya diidentifikasikan sebagai perbedaan antara nilai pasar perusahaan (bisnis perusahaan) dan nilai buku dari aset perusahaan tersebut atau dari financial capitalnya.  Hal ini berdasarkan suatu observasi bahwa sejak akhir 1980-an, nilai pasar dari bisnis kebanyakan dan secara khusus adalah bisnis yang berdasar pengetahuan telah menjadi lebih besar dari nilai yang dilaporkan dalam laporan keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh akuntan (Roslender & Fincham, 2004).

Keywords: CAFTA, intellectual capital, efficiency, competitiveness.

Page 2: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tahun 2010 lalu diwarnai situasi yang menegangkan dalam kiprah perdagangan Indonesia.

Bagaimana tidak, pasca pemerintah meratifikasi Asean-Cina Free Trade Area (ACFTA) yang

mulai berlaku implementatif sejak awal tahun 2010 lalu, pasar domestik Indonesia mulai

didera oleh kompetisi yang sangat sengit dengan Cina. Siap atau tidak siap, kita tidak lagi

mempunyai pilihan dalam menghadapi situasi perdagangan internasional. Tuntutan

munculnya suatu mekanisme perdagangan yang borderless, telah memicu lahirnya berbagai

kesepakatan yang membebaskan keluar masuknya barang dan jasa dari berbagai Negara

seperti halnya barang dan jasa dari Cina. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila

kemudian ACFTA ini menimbulkan polarisasi opini publik yang pecah dalam dua kubu yakni

pro dan kontra dalam menanggapi ratifikasi ACFTA oleh pemerintah.. Kalangan yang kontra

menilai bahwa kebijakan partisipasi Indonesia dalam ACFTA ini merupakan ajang bunuh

diri, karena kapabilitas pasar domestik yang masih tertinggal jauh di belakang Cina. Argumen

yang diberikan rata-rata berkisar pada anggapan bahwa industri kita, terutama industri kecil

dan menengah, belum siap dan tidak akan mampu bersaing dalam menghadapi derasnya arus

masuk produk-produk China ke Indonesia Namun sebagian publik lain yang pro terhadap

produk kebijakan ini beragumen bahwa sebenarnya kebijakan ini merupakan langkah

strategis yang harus didukung. Karena kebijakan ini mengindikasikan komitmen Kabinet

Indonesia Bersatu jilid II untuk menyukseskan proses debottlenecking arus ekspor barang

Indonesia ke pasar Cina. Sehingga sirkulasi produk Indonesia dalam kuantitas yang lebih

masif dapat lebih ekspansif ke pasar Cina, yang akhirnya akan bermuara pada meningkatnya

neraca perdagangan Indonesia. Selain itu, tidak sedikit yang dengan penuh optimisme

menyambut era ACFTA. ACFTA ditempatkan sebagai sebuah peluang besar untuk

mengembangkan diri dan meningkatkan efisiensi produksi. Tentu saja dengan setumpuk

argumentasi untuk meyakinkan diri bahwa perusahaan dan industri kita dapat memetik

keuntungan dari ACFTA. Salah satunya (menurut saya) adalah karena kita memahami betul

karakter konsumen kita, dan apa yang mereka butuhkan. Kekayaan kita atas informasi

tentang konsumen, jaringan distribusi untuk menjangkaunya, dan sebagainya adalah

merupakan sumberdaya yang luar biasa akan memberikan dampak positif kepada organisasi

ketika dikelola secara efektif. Kekayaan tersebut, yang merupakan intangible resources

Page 3: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

adalah bagian penting dari intellectual capital yang diyakini merupakan driver bagi

penciptaan nilai (value creation) bagi perusahaan.

Namun sayangnya fakta yang terjadi malah sebaliknya. Karena kurang kompetitifnya

produk Indonesia dalam spektrum pertarungan kualitas, kuantitas, maupun harga, akhirnya

secara otomatis menyebabkan fenomena superioritas produk Cina di pasar domesik. Kuota

produk Cina dalam kuantitas super masif telah berhasil membanjiri pasar domestik Indonesia.

Bahkan lebih jauh, realita pasar membuktikan bahwa bagi konsumen lokal: produk Cina jauh

lebih “magnetis” dibanding produk lokal dimana harga produk Cina yang jauh lebih murah

telah menarik perhatian konsumen lokal yang notabene-nya memiliki daya beli rendah.

Sehingga konsumen lokal berbondong-bondong mengkonsumsi produk Cina. Jadi intinya,

produk Cina tidak hanya telah berhasil membanjiri pasar domestik secara territorial tetapi

juga telah berhasil merampas pangsa pasar domestik.

Indonesia juga menyadari kehadiran China sebagai great power yang memiliki

pengaruh yang sangat kuat di kawasan Asia Timur. Indonesia mau tidak mau akan berusaha

menerapkan berbagai strategi untuk merespon hegemoni China di kawasan Asia Timur.

Sebagai negara great power, China memiliki empat tujuan dasar yang ingin dicapai

(Mearsheimer,2001). Pertama, menjadi dan mempertahankan keberadaanya sebagai hegemon

di kawasan. China secara perlahan telah memperluas jangkauan pengaruhnya di kawasan,

baik secara militer maupun politik. Kedua, China sebagai great power memiliki tujuan untuk

memaksimalkan kekayaannya. Ketiga, mendominasi perimbangan kekuatan sekaligus

memaksimalkan kekuatan militernya di darat, laut dan udara. Tujuan ini dapat dilihat dari

jumlah anggaran pertahanannya yang besar dan mulai menggeser kekuatan lain di kawasan.

Keempat, superioritas nuklir yang ingin dimiliki untuk memastikan keunggulannya dari great

power lainnya.

Indonesia memiliki landasan visi dalam melakukan hubungan luar negeri. Visi ini

tercantum dalam UUD 45 sebagai landasan konstitusional dan UU No. 37 tentang Hubungan

Luar Negeri sebagai landasan operasional. Prinsip bebas aktif menjadi landasan prinsipil dari

kebijakan luar negeri. Untuk menyesuaikan dan bertahan dalam pergeseran konstelasi politik

internasional, Indonesia membutuhkan inovasi kebijakan luar negeri bebas aktif untuk

mengantisipasi kehadiran China sebagai hegemoni. Inovasi yang berupa cara-cara kreatif,

Page 4: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

luwes, dan berpandangan ke depan dalam mengantisipasi hegemoni Cina. Inovasi yang

berbeda dari biasanya yang menghadirkan terobosan-terobosan baru.

Alternatif strategi yang baik untuk dikedepankan adalah dengan menciptakan proses

distribusi ide yang seimbang. Suatu proses yang melibatkan Indonesia, Cina dan negara-

negara lain dalam suatu wadah untuk membangun saling kesepahaman dalam mengatasi

tantangan global saat ini. Proses distribusi ide yang seimbang dapat meminimalisir praduga-

praduga yang keliru mengenai kebangkitan Cina. Proses ini dapat dilakukan secara aktif

melalui ASEAN dan berbagai konferensi tingkat tinggi lainnya dimana Indonesia memainkan

peran sentral di dalamnya. Usaha membangun saling kesepahaman antara Indonesia dan Cina

serta negara-negara lain di kawasan dapat membangun hubungan internasional yang solid dan

harmonis antar negara.

Kehadiran Cina sebagai great power di kawasan Asia Timur perlu dihadapi dengan

inovasi kebijakan luar negeri Indonesia. Inovasi yang dapat mengarahkan dan memanfaatkan

kekuatan Cina ke dalam wadah yang bermanfaat demi kepentingan nasional Indonesia.

Inovasi yang juga dapat memberikan stabilitas dan mendorong kesejahteraan kawasan.

Inovasi ini juga diharapkan dapat mendorong Cina sebagai great power yang menyadari

peran dan tanggung jawabnya untuk mewujudkan perkembangan positif dan perdamaian di

kawasan Asia.

1.2 Rumusan Masalah

Tulisan ini akan menyoroti tentang:

1. Sejauh mana respon pemerintah dan pengusaha lokal dalam menanggapi “hegemoni

produk Cina di pasar lokal” pasca ratifikasi ACFTA?

2. Apa saja faktor yang menghambat perkembangan produk lokal sehingga kalah saing

dengan produk Cina?

3. Apa rekomendasi solutif untuk membuat Indonesia bisa “survive” dalam arena

pertarungan dengan Cina tersebut?

1.3 Tujuan dan Kegunaan penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

Page 5: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

1. Untuk menganalisa dampak dari hegemoni produk Cina di pasar domestik.

2. Untuk menganalisa dan memaparkan mengenai apa saja yang dilakukan pemerintah

Indonesia untuk melawan hegemoni produk Cina di pasar domestik pasca ratifikasi

ACFTA.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1.3.2.1 Kegunaan Teoritis

Adapun kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi studi hubungan internasional mengenai

penerapan ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) di Asia tenggara, khususnya

dampak hegemoni produk Cina di pasar Indonesia.

2. Sebagai referensi dan bahan kajian tambahan bagi pihak lain yang tertarik untuk

mempelajari maupun mengetahui lebih jauh mengenai penerapan ACFTA di

Indonesia khususnya dampak hegemoni produk Cina di pangsa pasar Indonesia

serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk siap bersaing di era

ACFTA.

1.3.2.2 Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini adalah sebagai salah satu syarat dalam pembuatan

tugas akhir guna menempuh sidang sarjana strata satu (S1) pada jurusan Hubungan

Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.

1.4 Kerangka Dasar Teori

Kerangka acuan dalam berpikir untuk memecahkan permasalah pokok yang diajukan

dalam penelitian ini, penulis memerlukan suatu kerangka teoritis yang berguna sebagai alat

untuk menganalisa. Dalam penelitian ini, penulis menetapkan tingkat analisa negara bangsa

dimana analisa ini mempercayai bahwa negara adalah aktor dominan dalam interaksi di dunia

internasional. Tingkat analisa ini berusaha menjelaskan hubungan-hubungan antar negara

bangsa. Dalam hai ini, actor yang dominan adalah pemerintah Indonesia dimana hubungan

yang terjadi antara negara Indonesia, Cina, beserta negara-negara ASEAN lainnya merupakan

kerjasama dalam bidang ekonomi, tepatnya yaitu kerjasama dalam bidang perdagangan.

Page 6: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

Untuk membantu mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

pendekatan ekonomi internasional.

Menurut Mochtar Mas’oed : Ekonomi politik internasional merupakan studi tentang

saling keterkaitan dan interaksi antara fenomena politik dan ekonomi yang dilakukan oleh

beberapa aktor seperti aktor negara, aktor bukan negara, perusahaan multinasional (MNCs)

ataupun organisasi internasional.

1. Konsep “Variabel Sistemile” dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri yaitu untuk

menganalis alasan di balik kebijakan Indonesia dalam meratifikasi ACFTA walaupun

tanpa disertai oleh kesiapan pasar domestik tersebut-variabel yang paling relevan

adalah Variabel Sistemile yang diadopsi dari pemikiran James N. Rosenau dan

disempurnakan oleh Holsti. Konsep ini menyebutkan bahwa: “kebijakan suatu negara

juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang merujuk pada situasi politik-ekonomi

internasional”. Seperti diketahui bahwa fenomena integrasi pasar kini telah melanda

seluruh dunia (adanya Uni Eropa, NAFTA, dll) maka sebagai negara yang berdaulat

pasar bebas, dimulai dengan Cina karena Cina kini merupakan “The Emerging

Power” di Asia.

2. Teori “Comparative Advantage” (Keunggulan Komparatif) karya David Ricardo

yang mengatakan bahwa; “Dalam mekanisme pasar bebas, suatu negara akan

diuntungkan apabila mampu memproduksi barang dan jasa dalam kuota masif, namun

dengan biaya yang lebih murah dibandingkan negara saingannya, serta mampu

membuat spesialisasi, dengan memproduksi komoditas unggulan yang tidak bisa

diproduksi oleh negara lain. Teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa pengusaha

domestik “kewalahan” menghadapi kompetisi dengan Cina.

1.5 Hipotesa

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka peneliti menari hipotesa Hegemoni

Produk Cina di Indonesia Berdampak Pada Produk Dalam Negeri Indonesia Terlebih

Lagi Setelah Ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA).

Adapun variabel yang penulis ambil yaitu:

a. Variabel Independen: Diratifikasinya ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) oleh

pemerintah Indonesia pada awal tahun 2010 yang lalu, dengan indikator sebagai

berikut:

Page 7: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

1. Meningkatnya penguasaan pasar domestik oleh produk Cina pasca ratifikasi

ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) oleh pemerintah Indonesia.

2. Ratifikasi

b. Variabel dependen:

1.6 Definisi Konseptual

Komunitas atau masyarakat Internasional yang terbentuk pada skala internasional,

saling berinteraksi pada sebuah pola lingkungan, termasuk ke dalam ruang lingkup hubungan

Internasional. Menurut Mc. Lelland, hubungan Internasional adalah studi atau pengkajian

tentang interaksi antara kesatuan-kesatuan sosial, termasuk studi tentang keadaan-keadaan

yang berkaitan (relevant) yang mengelilingi interaksi. Fakta-fakta hubungan internasional

dapat dipilih dan ditata dengan dua acuan yaitu pelaku (aktor) dan interaksi.

Hubungan Internasional bertkaitan erat dengan aktivitas manusia baik secara individu

maupun kelompok dari suatu negara yang berinteraksi secara resmi maupun tidak resmi

dengan individu atau kelompok lainnya yang melintasi batas-batas wilayah negara.

Hubungan internasional mempunyai cakupan diberbagai bidang kehidupan masyarakat

internasional. Salah satunya adalah kerjasama dibidang ekonomi. Kerjasama ini dilakukan

untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara dalam kehidupan masyarakat global.

Hubungan antar negara dibidang ekonomi ini disebut hubungan ekonomi internasional.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa ekonomi politik internasional memuat

berbagai aksi atau tindakan, reaksi serta interaksi keadaan ekonomi dan politik yang

dilakukan oleh beberapa aktor seperti aktor negara, aktor non-negara, perusahaan-perusahaan

internasional (MNCs) ataupun organisasi internasional.

1.7 Definisi Operasional

Untuk memperjelas dan mempermudah peneliti dalam menganalisa permasalahan

dalam penelitian ini, maka dibuat pembatasan definisi operasional sebagai berikut:

1. ASEAN - Cina Free Trade Area (ACFTA)

Penelitian ini menggunakan ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) sebagai suatu

bentuk perjanjian perdagangan bebas antara kawasan Asia tenggara dengan negara

Cina yang berupaya untuk menjalin kerjasama di bidang ekonomi antara negara-

negara Asia Tenggara dengan Cina, termasuk Indonesia. ASEAN-Cina Free Trade

Area (ACFTA) terdiri dari indikator-indikator sebagai berikut:

Page 8: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

a. Peluang (opportunities)

b. Ancaman (threat)

2. Produk Domestik di Indonesia

Penelitian ini membahas tentang eksistensi produk dalam negeri Indonesia

sebagai faktor utama yang diperhatikan pemerintah Indonesia pasca ratifikasi ACFTA

yang telah dilakukan sehingga tidak tergilas oleh hegemoni produk Cina. ASEAN-

Cina Free Trade Area (ACFTA) yang merupakan kerjasama ekonomi yang mulai

diterapkan di Indonesia sejak awal tahun 2010 yang lalu.

1.8 Metode dan Teknik Penelitian

1.8.1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif yang bersifat eksplanatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menjelaskan

hubungan antara variabel-variabel yang berkenaan dengan masalah dan fenomena yang

diteliti berdasarkan kerangka pemikiran yang digunakan, kemudian dilanjutkan dengan

meneliti, menelaah, dan menjelaskan dari faktor-faktor yang berhubungan dengan fenomena

yang sedang diteliti.

1.8.2. Teknik Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data Studi

Kepustakaan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan cara mengkaji dan mempelajari

konsep-konsep serta informasi lain yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku-buku,

majalah, surat kabar, artikel-artikel, laporan-laporan, mmaupun sumber-sumber dari internet

yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.

1.9 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan dampak hegemoni produk Cina bagi pangsa pasar

Indonesia sebagai faktor utama yang diperhatikan pemerintah pasca ratifikasi ACFTA di

Indonesia. Dampak hegemoni produk Cina di Indonesia akan menjelaskan bahwa pasca

ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA), produk Cina semakin menguasai pasar

domestik dengan kata lain lambat laun akan menggeser produk dalam negeri di pasaran.

1.10 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Page 9: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

Bab ini berisikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan, kerangka

konseptual, kerangka analisia, asumsi, hipotesis, definisi operasional, metode penelitian,

teknik pengumpulan data, analisis data, lokasi dan waktu penelitian serta sistematika

penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM HEGEMONI PRODUK CINA DAN ACFTA

Bab ini berisikan kondisi, latar belakang penelitian, perkembangan dan

dampak hegemoni produk Cina di Indonesia dan ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA).

BAB III TANTANGAN DAN PELUANG EKONOMI INDONESIA PASCA

RATIFIKASI ACFTA

Bab ini berisikan tentang tantangan dan peluang ekonomi yang dihadapi

Indonesia pasca ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA).

BAB IV DAMPAK HEGEMONI PRODUK CINA BAGI PASAR DAMESTIK

PASCA RATIFIKASI ACFTA

Bab ini berisikan analisis tentang dampak hegemoni produk Cina bagi pasar

domestik.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan berupa uraian secara singkat mengenai

permasalahan yang diteliti dan saran yang peneliti ajukan untuk melengkapi

hasil penelitian.

Pembahasan

Menurut peta perdagangan dunia, ACFTA saat ini merupakan salah satu blok

perdagangan terbesar di dunia. Dengan didukung jumlah akumulatif penduduk ASEAN plus

Cina yang mencapai 1,9 milyar jiwa, ACFTA pantas dinobatkan sebagai blok perdagangan

dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Apalagi dilihat dari sisi volume perdagangan,

nilai perdagangan ACFTA yang mencapai 200 milyar dollar AS, membuat blok perdagangan

ini pantas dianugerahi kategori sebagai blok perdagangan terbesar ke-3 setelah Uni Eropa dan

NAFTA. Data ini mengindikasikan bahwa pasar ACFTA adalah blok perdagangan yang

sangat potensial dan prosfektif. Sehingga kemudian, data itulah yang menstimulasi para

Page 10: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

kepala Negara ASEAN dan RRC untuk meratifikasi ACFTA pada tanggal 4 November 2002

yaitu dengan ditandatanginya Framework Agreement on Comprehensive Economic

Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di Phnom Penh, Kamboja.

Esensialnya, dalam formulasi tujuan blok perdagangan ini, tercantumlah 4 poin elementer

yang menjadi landasan utama tujuan kerjasama negara-negara anggota ACFTA ini. Ke-4 poin

tersebut terdiri dari:

1. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi

antara negara-negara anggota.

2. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta

menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi

3. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan

yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.

4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif bagi para anggota ASEAN baru

(Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dan menjembatani kesenjangan

pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota. Namun tak diduga akhirnya

ACFTA malah menyebabkan Indonesia terjerat dalam tentakel Cina.

Menyadari implikasi negatif tersebut, publik domestik pun bergolak, lahirlah aksi-aksi

demonstrasi menentang ACFTA – yang marak terjadi di awal hingga pertengahan tahun

2010. Tema utama yang diangkat adalah “bahwa pelaku bisnis Indonesia, yang mayoritas

UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) belum siap bertarung dengan Cina”. Keterlibatan

Indonesia dalam ACFTA ini diyakini sebagai sebuah ajang bunuh diri bagi pasar domestik,

karena banyak pihak meragukan kapabilitas pelaku bisnis domestik untuk memenangkan

pertarungan melawan Cina tersebut. Tanpa ACFTA saja, produk Cina, baik legal maupun

selundupan, telah membanjiri pasar Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia-Cina terbukti

defisit sejak tahun 2008. Ekspor Indonesia ke Cina sebesar US$11,6 milyar, sedangkan impor

dari Cina ke Indonesia mencapai US$ 15,2 milyar pada tahun 2008. Data Januari hingga

September 2009, defisit perdagangan Indonesia-Cina mencapai US$1,7 milyar karena ekspor

Indonesia lebih rendah daripada impor dari Cina. Ini hanya sekelumit bukti otentik bahwa

produk Indonesia terpuruk menghadapi serbuan produk Cina dengan harga murah dan jumlah

yang jauh lebih banyak.

Lebih parah lagi, jauh sebelum tahun 2010, Artikel 6 Perjanjian ACFTA

mencantumkan program penurunan tariff yang disebut Early Harvest Programme (EHP).

Page 11: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

Program ini bertujuan untuk mempercepat implementasi penurunan bea masuk barang.

Cakupan produk yang masuk dalam EHP adalah:

• Chapter 01 s.d 08 : Binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran, dan buah-

buahan (SK Menkeu No 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 Tentang Penetapan Tarif

Bea Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA).

• Kesepakatan Bilateral (Produk Spesifik) antara lain kopi, minyak kelapa/CPO, Coklat,

Barang dari karet, dan perabotan (SK Menkeu No 356/KMK.01/2004 tanggal 21 juli 2004

Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP Bilateral

Indonesia-China FTA).

Program tersebut telah berlaku implementatif terhitung sejak 1 Januari 2004, hal ini

berarti jauh sebelum ACFTA efektif diberlakukan awal tahun 2010 lalu. Sayangnya, sebelum

meliberalisasi pasar domestik, pemerintah tidak sempat mengidentifikasi seberapa jauh

kesiapan sektor riil, UMKM, ekspor, dan industri domestik. Dengan sangat gegabah mereka

meratifikasi perjanjian ACFTA.

Kebijakan partisipasi Indonesia dalam ACFTA ini terlihat bagaikan keputusan yang

sangat prematur tanpa disertai kesiapan untuk menanggung konsekwensinya. Sehingga

akhirnya pasar domestik seolah menjadi “gudang” barang Cina. Namun semuanya sudah

terlanjur terjadi, perjanjian ACFTA tak mungkin lagi dapat diabrogasi. Namun sepanjang

tahun 2010, jika disoroti lebih dalam, pemerintah belum dapat sempat memformulasikan

kebijakan yang dapat mengeliminasi dampak negatif tersebut secara signifikan. Oleh karena

itu, pemerintah kini masih memiliki banyak 'pekerjaan rumah' yang berkaitan dengan export

chain di tahun 2011 ini.

Dari analisis di lapangan, sepanjang tahun 2010, lemahnya daya saing produk ekspor

Indonesia ternyata disebabkan oleh sejumlah faktor yang menyebabkan “ekonomi biaya

tinggi” yang belum diatasi oleh pemeintah, yaitu:

1. Biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN. Ini masih

ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan.

2. Biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor. Pungli masih

ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di

pusat maupun daerah. Pemerintah belum secara signifikan berhasil mengurangi

sumber-sumber ekonomi biaya tinggi ini.

Page 12: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

3. Rendahnya lokal konten dalam proses produksi industri domestic. Karena pengusaha

domestik masih bergantung pada penggunaan bahan baku impor yang berkisar antara

28-90 persen.

4. Masih lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri domestik masih

banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit”, di samping juga permasalahan

rendahnya produktivitas tenaga kerja industri, belum terintegrasinya UMKM dalam

satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar, kurang sehatnya iklim

persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi

mendekati “monopoli”, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan

Sumatra.

5. Indonesia masih mengalami fenomena rendahnya keunggulan komparatif. Indonesia

belum mampu menetapkan produk unggulannya, bahkan sebagai negara agraris,

Indonesia belum mampu menjadi sentrum produk pertanian. Lebih jauh jika ingin

disebut negara Industri, produk industri lokal pun masih belum bisa bersaing dengan

produk Cina, sebagai contoh, kini Batik Cina pun kian menggeser eksistensi batik

lokal.

6. Kurang signifikannya bargaining position Indonesia dalam melakukan diplomasi

ekonomi dengan Cina. Sehingga menyebabkan, hubungan perdagangan Indonesia-

Cina masih diwarnai banyak hambatan. Misalnya adanya kasus-kasus sengketa

perdagangan Indonesia-Cina. Seringkali dalam penyelesaian sengketa perdagangan,

Indonesia lebih sering mengalah dengan Cina. Bahkan dalam formulasi kebijakan

perdagangan pun, Indonesia masih di bawah tekanan Cina, misalnya saja tentang

penetapan tariff 0%, atau masalah membanjirnya produk batik Cina yang menggeser

batik lokal – Indonesia seolah tak bisa berbuat banyak untuk menekan Cina. Sehingga

akhirnya Cina pun berani melakukan manuver politis yang bersifat intimidatif untuk

memaksa Indonesia membuat kebijakan yang bisa menguntungkan pengusaha Cina,

walupun harus mengorbankan industri lokal.

Kesimpulan

Singkatnya, ACFTA merupakan sentrum tantangan sekaligus peluang. Peluang

terbesar yang harus dipertimbangkan adalah bahwa Cina adalah pusat gravitasi

perekonomian di Asia, dengan realitas pasar yang sangat luas dan prosfektif, maka dapat

dibayangkan betapa besarnya profit yang mampu diraup oleh pelaku bisnis domestik

Page 13: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

apabila dapat menguasai pasar Cina. Oleh karena itu hendaknya pemerintah lebih

mempertajam strategi untuk menyelamatkan pasar domestik dari hegemoni produk Cina.

Pemerintah harus lebih serius untuk mengeliminasi faktor-faktor yang

menyebabkan “ekonomi biaya tinggi”. Serta pemerintah juga harus lebih percaya diri

dalam kerangka diplomasi vis a vis dengan Cina. Terutama dalam penyelesaian sengketa

perdagangan serta mengupayakan terjadinya “FAIR TRADE” (Iklim pasar yang lebih adil

dan tidak bersifat predatoris terhadap pengusaha kecil lokal) sehingga eksistensi dan

performa industri lokal dapat terjamin.

Disamping itu, ACFTA ini merupakan suatu ajang “uji kapabilitas”, sebelum

nantinya Indonesia berkompetisi di arena “ASEAN ECONOMY COMMUNITY” (AEC)

2015. Indonesia harus menempa diri untuk berlaga di arena pertarungan ACFTA, agar

nantinya ketika menghadapi AEC 2015, Indonesia tidak gugup karena telah tertempa

dengan baik. Liberalisasi pasar merupakan sebuah fenomena yang tak dapat terelakkan

lagi. Sepertinya fenomena ini merupakan konsekwensi dari episode globalisasi, daripada

terus mengkritik fenomena ini, lebih baik Indonesia segera berkomitmen untuk

meningkatkan kompetensi, kapabilitas, dan daya saing sebagai strategi untuk dapat

survive dan diperhitungkan di arena kompetisi regional maupun global. Selain itu,

optimalisasi Intellectual Capital untuk dapat bersaing di era ACFTA juga harus dilakukan

dengan menempatkan ACFTA sebagai peluang untuk meraih kesempatan bisnis secara

lebih luas, bukan hanya memenangi persaingan di dalam negeri, tetapi juga untuk bisa

menguasai pasar China. Optimisme ini harus dibangun, karenanIndonesia tidak memiliki

alternatif untuk tidak optimis. Ada beberapa hal yang dapat dielaborasi untuk bisa

bersaing di era ACFTA dengan memaksimalkan pengelolaan intellectual capital

diantaranya yaitu:

Pertama, pengelolaan karyawan. Karyawan adalah aset terpenting dalam industri.

Maka karyawan harus ditempatkan sebagai kekayaan utama perusahaan dan dikelola

secara efektif. Karyawan (human capital) adalah ruh dari organisasi. Dalam diri mereka

tersimpan segala hal yang dapat mengantarkan organisasi untuk bersaing dan memenangi

persaingan. Pengelolaan karyawan yang baik, proporsional, tidak diskriminatif akan

menggerakkan roda organisasi secara maksimal. Hubungan yang ‘manusiawi’ antara

pemilik dengan karyawan akan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi.

Page 14: Kebijakan Indonesia Dalam merespon Hegemoni Produk Cina di Pasar Domestik Pasca Ratifikasi ASEAN

Kedua, jalinan pelanggan dan jalur distribusi (relational/customer capital). Untuk

memenangi persaingan di dalam negeri, kita telah memiliki ‘kekayaan’ berupa jalinan

pelanggan dan jalur distribusi. Kita yang paham betul apa, siapa, dan bagaimana

pelanggan kita. Kita juga jauh lebih paham tentang jalur distribusi yang bisa jadi menjadi

sumber inefisiensi dalam organisasi lain. Pengelolaan yang lebih baik atas customer

capital ini akan meningkatkan loyalitas pelanggan dan dengan sendirinya akan

menempatkan produk kita di dalam hati para pelanggan.

Ketiga, menjual keunikan. Salah satu daya tarik utama produk-produk lokal

Indonesia adalah keunikannya. Dengan mempertahankan dan menciptakan keunikan-

keunikan baru dalam setiap produk domestik, maka produk itu akan memiliki daya saing

yang tinggi di pasar, baik pasar lokal maupun internasional.

Meskipun sepanjang tahun 2010 lalu, pemerintah belum mampu

memformulasikan upaya solutif untuk menyelamatkan pasar domestik, namun di tahun

2011 ini diharapkan pemerintah mampu bekerja lebih baik agar pasar domestik bisa terus

bertahan sepanjang ACFTA ini berlangsung.