bab v rivalitas hegemoni republik rakyat tiongkok ... · bab v rivalitas hegemoni republik rakyat...
TRANSCRIPT
76
BAB V
RIVALITAS HEGEMONI REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK &
AMERIKA SERIKAT
Realisme struktural mengetengahkan distribusi kekuatan dan perbedaan
kapabilitas negara sebagai gagasan sentral yang membentuk struktur perpolitikan
dunia (Waltz, 2003: 36). Oleh karena signifikansi dari kapabilitas dan atau
kekuatan negara tersebut dalam konteks hubungan internasional, maka menjadi
wajar bilamana dalam rangka mencapai titik kapabilitas yang mumpuni, negara-
negara bersedia untuk menggunakan berbagai cara implementasi kebijakan.
Semua hal tersebut dilaksanakan agar menciptakan relasi asimentris, dengan
negaranya berada di puncak sistem internasional, atau dikenal dengan sebutan
negara hegemon. Mearsheimer (2006: 75) melengkapi nosi tersebut dengan
memperkenalkan hegemoni sebagai cara terbaik guna menjamin keberlangsungan
negara. Di sisi lain, peningkatan kekuatan suatu negara di tengah ketidakpastian
sistem internasional yang anarki berdampak langsung terhadap kecemasan negara
lain, yang kemudian bermuara pada usaha maksimalisasi kekuatan masing-masing
negara.
Aplikasi dari pendekatan realisme struktural ofensif yang dijabarkan
Mearsheimer kemudian menjadi jelas ketika melihat bagaimana RRT dengan
sengaja meluncurkan paket kebijakan luar negeri Chinese Dream untuk
memanfaatkan potensi yang dihadirkan kawasan Indo-Pasifik, baik dari segi
ekonomi, politik, maupun militer-keamanan. Di samping itu, pada bab
sebelumnya telah dijelaskan dengan berbagai macam contoh di mana AS melalui
kebijakan Free and Open Indo-Pacific ditujukan sebagai alat merespon usaha
RRT menjadi kekuatan besar di kawasan. Kebijakan AS selama administrasi
Trump didorong oleh ketakutan terhadap kemungkinan RRT muncul sebagai
hegemon di Indo-Pasifik. Benturan kepentingan RRT dan AS mengarahkan corak
rivalitas keduanya untuk memperebutkan hegemoni kawasan. Keinginan menjadi
hegemoni di Indo-Pasifik menurut Yazid (2015: 68-69) harus diseragamkan
77
dengan kemampuan menyediakan insentif berupa barang publik, seperti bantuan
moneter, investasi pembangunan jalan dan pelabuhan, serta bantuan finansial
sebagai timbal balik mempertahankan dominasi atas negara-negara yang
dimaksud. Segaris dengan intensi menjadi negara hegemon di antara dua negara
Barry Gills (Dalam Chase Dunn, 1994: 371) menjelaskan bahwasannya negara
hegemon diwajibkan memiliki kombinasi karakteristik yang stabil antara
ekonomi, politik dan militer.
Proses menuju hegemoni umumnya diacapi melalui persaingan atau
rivalitas di antara dua negara atau lebih. Rivalitas yang dimaksud memiliki unsur
konsistensi ruang, waktu atau durasi dan militerisasi (Diehl & Goertz, 2000: 19-
26). Berangkat dari pemahaman tersebut, bab ini bertujuan mengejawantahkan
ikhwal rivalitas dalam memperebutkan status hegemoni melalui konsistensi ruang
di Kawasan Indo-Pasifik, selama durasi tahun 2017-2018, dan salah satunya
meliputi persaingan militerisasi. Lebih lanjut, bab ini akan menguraikan rivalitas
hegemoni di antara RRT dan AS melalui implementasi kebijakan Chinese Dream
dan Free and Open Indo-Pacific pada aspek ekonomi, politik dan militer-
keamanan
5.1 Rivalitas Hegemoni Ekonomi
Rivalitas secara sempit dapat dimaknai sebagai kompetisi antara dua pihak
yang relatif setara. Dalam konteks rivalitas kebijakan luar negeri RRT dan AS
yang telah analisis dalam Bab 4 melalui Chinese Dream dan Free and Open Indo-
Pacific, penulis mendapati relasi rivalitas pada aspek ekonomi antara kedua
negara menjadi sorotan publik internasional, tidak hanya di kalangan pejabat
pemerintahan, namun juga menjadi wacana yang bersirkulasi di masyarakat biasa.
Hegemoni ekonomi bekerja dengan aliansi-aliansinya guna mengarahkan
ekonomi global sehingga hasil keluaran dari institusi internasional tersebut sejalan
dengan nilai dan keinginan aliansi. Mengarahkan ekonomi dan mengadakan
keinginan aliansi inilah yang selanjutnya dimaknai Yazid (2015: 68-69) sebagai
barang publik (public good). Barang publik tersebut dapat berupa pemberian
bantuan tunai atau hutang-piutang dari negara hegemon kepada negara subordinat;
78
pengadaan infrastruktur semisal jalan, jembatan dan jalur kereta yang bertujuan
memudahkan arus ekonomi (dari produksi hingga konsumsi); atau pembentukan
badan yang mampu mempengaruhi sistem perekonomian dunia melalui kebijakan
keuangan, dalam hal ini dapat berupa bank multinasional atau bank konvensional
yang dijalankan oleh satu negara tertentu.
Adapun rivalitas hegemoni ekonomi yang menjadi fokus penulis terletak
di antara proyek Belt and Road Initiative (BRI) RRT bila dibandingkan dengan
proyek investasi AS bersama lembaga bentukan Bretton Woods – khususnya
Bank Dunia.
5.1.1 Rivalitas hegemoni ekonomi Chinese Dream
Robert Cox dalam “Hegemony and Social Change” mengingatkan
bahwa hegemoni sejatinya sesuatu yang dinamis dikarenakan berangkat
dari transformasi demi transformasi oleh entitas yang saling kontradiktif
(Chase Dunn, 1994: 366). Begitupun dengan mega proyek BRI yang mana
merupakan bagian dari sebuah perjalanan RRT secara keseluruhan, bukan
sekedar rangkaian pembangunan. Proyek BRI pertama kali diumumkan Xi
Jinping selama pidatonya dalam kunjungan ke Universitas Nazarbayev,
Kazakhstan, 7 September 2013. Di bawah judul, “Promote Friendship
Between Our People and Work Together to Build a Bright Future” Xi
menyatakan visinya guna mendekatkan ikatan ekonomi, memperdalam
kerja sama dan memperluas pembanguan Asia-Eropa dengan cara
mendirikan suatu “sabuk ekonomi dan jalan sutera” seperti kutipan
berikut: “To forge closer economic ties, deepen cooperation and expand
development space in the Eurasian region, we should take an innovative
approach and jointly build an "economic belt along the Silk Road” (Xi
Jinping, 2013).
Setelah kurang lebih empat tahun diumumkan sebagai mega proyek
RRT dalam rangka menyongsong mimpi orang Tiongkok, keberadaan BRI
perlu dimaknai dalam dua hal: Pertama, BRI ialah suatu proses perjalanan,
bukan sekedar pengadaan proyek infrastruktur; dan kedua, BRI lebih dari
program investasi, melainkan ambisi menyabungkan konektivitas dunia
79
melalui perdagangan dan pembangunan (Deloitte, 2018: 4). Berkesesuaian
dengan ambisi konektivitas itulah BRI selanjutnya disegmentasi menjadi:
pertama, Silk Road Economic Belt (SREB) dalam bentuk proyek
pengadaan jalan raya dan rel kereta; serta yang kedua adalah Maritime
Road Economic Belt (MREB) dalam bentuk pengadaan jalur maritim,
yakni pembangunan pelabuhan di kawasan Indo-Pasifik.
Pertama, SREB merupakan satu dari dua komponen segmentasi
proyek besar BRI yang telah digalakan Xi Jinping semenjak terpilih
menjadi pemimpin PKT secara khusus dan pemimpin RRT secara umum.
SREB atau Silk Road Economic Belt tidak lain adalah serangkaian
pembangunan – khususnya infastruktur – yang bertujuan menyabungkan
perdagangan melalui jalur darat di Asia-Eropa dengan Tiongkok sebagai
pusatnya. Hingga saat ini SREB telah memiliki setidaknya enam koridor
perdagangan darat dengan tiga di antaranya masuk ke dalam kawasan
Indo-Pasifik, yaitu koridor yang menghubungkan RRT dan Semenanjung
Indocina, koridor BCIM (Bangladesh-China-India-Myanmar) dan koridor
RRT-Pakistan (China-Pakistan Economic Corridor, CPEC).
Gambar 15.
Proyek Belt and Road Initiative (BRI)
Sumber: Lehman Brown, “The Belt and Road Initiative”. Dalam Lehman
Brown International Accountant.
80
Menjadi tidak salah bilamana seperti poin yang dikemukanan Barry
Gills (Dalam Chase Dunn, 1994: 371) bahwa negara yang berjuang untuk
menjadi hegemoni diharuskan memiliki kekuatan ekonomi yang stabil,
yakni diwujudkan melalui jaringan perdagangan yang solid dengan negara-
negara lain. Segaris lurus dengan Gills, koridor ekonomi yang telah dan
sedang dibangun Tiongkok bertujuan untuk memperkuat kerja sama RRT
dengan Semenanjung Indocina di Asia Tenggara. Penguatan hubungan
kerja sama dengan Asia Tenggara melalui koridor ekonomi selanjutnya
menjadi pertimbangan penting jika melihat relasi perdagangan Tiongkok
hingga tahun 2015 yang menjadi negara eksportir sekaligus importir
terbesar bagi Asia Tenggara di mana 13 persen dari total ekspor Asia
Tenggara ditujukan ke Tiongkok dan di sisi lain 21 persen barang-barang
impor yang masuk ke Asia Tenggara merupakan produk RRT (Yoon Ah
Oh, 2017: 2).
Motivasi menjadi hegemoni dan pentingnya menjaga soliditas
relasi perdagangan RRT-Asia Tenggara kemudian ditindaklanjuti
Tiongkok dengan cara mempermudah arus perdagangan memangkas biaya
distribusi melalui pembangunan barang publik – berupa konstruksi
jaringan rel kereta di Semenanjung Indocina. Jaringan rel kereta ini terdiri
dari empat rute atau jalur: rute timur, rute pusat, rute barat dan jalur
tambahan dengan total pembiayaan proyek pembanguan oleh RRT senilai
39,96 miliar dolar AS (DBS Research Group, 2017: 18).
81
Indocina yang telah terhubung lantaran negara-negara yang
tergabung di dalamnya bukan saja berbatasan darat langsung dan berbagai
historis yang sama, namun juga ikut dalam keanggotaan regional ASEAN
sehingga cenderung lebih terbuka, di pihak lain berbeda dengan
keterhubungan koridor BCIM – terdiri dari Bangladesh, Tiongkok/China,
India dan Myanmar – yang masih belum terintegrasi dalam organisasi
regional. Berangkat dari lemahnya keterhubungan tersebut, BRI melalui
pengejawantahan BCIM bertujuan membangun infrastruktur yang
menghubungkan Tiongkok melalui Kunming-RRT, Mandalay-Myanmar,
Dhaka-Bangladesh dan Kolkata-India dengan estimasi jarak koridor
ekonomi mencapai 2.800 kilometer (Karim & Islam, 2018: 284).
Gambar 16.
Proyek Jaringan Jalur Kereta RRT-Indocina
Sumber: DBS Research Group, “One Belt One Road Infrastructure
Sector”. Dalam DBS Asian Insight.
82
Posisi RRT sebagai negara yang bertujuan menjadi hegemoni
regional menjadi relevan terutama bilamana berkaca dari minimnya
perdagangan di antara negara-negara Asia Selatan tersebut. Hingga tahun
2015 misalnya negara anggota BCIM hanya mampu memperdagangkan 5
persen dari total perdagangan nasional masing-masing negara, kenyataan
ini bertentangan dengan negara intra-ASEAN yang mampu
memperdagangkan 35 persen barang dan jasa kepada negara-negara
anggota ASEAN (The Daily Star, 2015). Kenyataan tentang lemahnya
perdagangan yang terjadi di antara negara-negara intra-BCIM dimaknai
Karim dan Islam (2018: 292) sebagai akibat dari instabilitas keamanan
yang berdampak pada kondusivitas menjalankan aktivitas perekonomian.
Sebagai contoh ialah konflik antara Tentara Myamnar dengan
pemberontak etnis Kokang yang membentuk Aliansi Demokrasi Nasional
Myanmar yang mana berdekatan dengan perbatasan Tiongkok oleh
karenanya mengancam perdagangan. Di lain pihak, ketegangan politik
Gambar 17.
Jalur Koridor Ekonomi BCIM
Sumber: Karim & Islam, “Bangladesh-China-India-Myanmar (BCIM)
Economic Corrior: Challenges and Prospects”. Dalam Korea
Institute for Defense Analyses.
83
India dan RRT turut serta memperlambat proses integrasi perekonomian
kedua negara.
Merespon peluang permasalahan konektivitas di antara negara-
negara BCIM, RRT hadir dan berusaha menjawab kebutuhan tersebut
melalui investasi barang publik berupa investasi pembangunan rel kereta.
Terkhusus bagi India dan Bangladesh, pembangunan tersebut dimulai
dengan mendanai proyek Rel Metro Bangalore, India dan proyek Rel
Jembatan Padma, Bangladesh. Bangalore merupakan ibukota dari Negara
Bagian Karnataka, India sehingga menjadikan kota ini tumbuh sebagai
kota metropolitan dengan sirkulasi perekonomian yang tinggi. Adapun
dalam rangka menyukseskan proyek koridor BCIM, RRT melalui
perpanjangan tangan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)
menggelontorkan dana senilai 335 juta dolar AS guna mendanai proyek
Rel Metro Bangalore (AIIB, 2017: 1-3).
Karim (2018) seperti yang dilansir Xinhua melaporkan
bahwasannya RRT telah mengeluarkan 3 miliar dolar AS untuk mendanai
168 km yang menghubungkan Dhaka dengan kecamatan Jessore dan juga
sebagai instrumen penghubung Bangladesh-India. Proyek Padma mampu
memotong jarak waktu tempuh dari Dhaka ke Kolkata – sesuai dengan
tujuan koridor ekonomi BCIM. Selain berdampak positif bagi
pembangunan dan keterhubungan BCIM, Tiongkok mandapatkan poin
tambahan dikarenakan proyek tersebut didanai oleh organisasi bentukan
negara itu sendiri, yakni oleh AIIB dan Bank Ekspor Impor Tiongkok
(China Export-Import Bank, Chexim), serta dieksekusi oleh badan usaha
milik negara Tiongkok sendiri – SMEC sebagai salah satunya.
SREB terakhir yang mencakup kawasan Indo-Pasifik ialah proyek
koridor ekonomi antara Tiongkok dan Pakistan (China Pakistan Economic
Corridor, CPEC). CPEC bertujuan untuk mengisi kekosongan
pembanguan Pakistan dengan cara membantu pembangunan proyek
energi, infrastruktur komunikasi, Pelabuhan Gwadar dan Bandara
Internasional, dan membangun zona industri dengan total uang yang
84
dikeluarkan RRT sebesar 62 miliar dolar AS (Siddiqui, 2017). CPEC
sendiri sedang mengerjakan 3.000 kilometer jalan yang bilamana selesai
akan mengubungkan RRT dengan pelabuhan Gwadar (Ali, dkk., 2018:
20). Pembangunan jalan yang mengubungkan RRT dan Pakistan menjadi
penting dikarenakan selama ini 60 persen minyak yang diimpor Tiongkok
berasal dari Teluk Persia yang jaraknya lebih dari 16.000 kilometer (Ali,
dkk., 2018: 21).
Segmentasi kedua dari mega proyek BRI ialah proses
pembangunan koridor ekonomi maritim atau kemudian dilabeli dengan
nama MREB (Maritime Road Economic Belt). Sejalan dengan pidato Xi
Jinping yang dilansir media Xinhua, semangat MREB pada dasarnya
merupakan semangat membangun kerja sama menang-menang pada
Gambar 18.
Pembangunan Rel Kereta Proyek CPEC
Sumber: DBS Group Research, “One Belt, One Road: Moving Faster
Than Expected”. Dalam DBS Asian Insight.
85
tataran hubungan internasional dengan semua negara mitra (Yamei, 2017).
Berkenaan dengan MREB, menurut hemat penulis di kawsan Indo-Pasifik
negara mitra yang dimaksud ialah Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh,
Malaysia, Brunei Darussalam, Myanmar dan Australia.
Melalui kerja sama dengan negara-negara tersebut, RRT berhasil
menguasai perdagangan laut melalui investasi pelabuhan di Pelabuhan
Gwadar, Pakistan; Pelabuhan Hambantota, Sri Lanka; dan Pelabuhan
Kyaukpyu, Myanmar.
Pembangunan Pelabuhan Gwadar merupakan elemen penting dari
keberlanjutnya koridor ekonomi Tiongkok-Pakistan (CPEC). Menjadi
penting sebab investasi pengembangan jalan darat yang telah dan sedang
digarap Pakistan bersama Tiongkok pada akahirnya akan menuju
Gambar 19.
Investasi Pelabuhan RRT di Kawasan Indo-Pasifik
Sumber: Thore & Spevack, “Harbored Ambitions: How China’s Port
Investments Are Strategically Reshaping the Indo-Pacific”.
CA4DS.
86
Pelabuhan Gwadar. Pelabuhan Gwadar menjadi titik kerja sama senilai 62
miliar dolar AS (Szechenyi, 2018: 12). Selain berfungsi untuk
menghubungkan Provinsi Xinjiang-RRT sampai Gwadar-Pakistan, letak
pelabuhan yang sangat strategis juga turut menjadi pertimbangan RRT
dalam rangka menjadi hegemoni regional di bidang perekonomian. Nilai
strategis yang dimaksud disebabkan oleh letak Pelabuhan Gwadar secara
geografis yang berdekatan dengan Selat Hormuz di Teluk Persia yang
biasanya menjadi wadah lalu lintas pengiriman minyak bumi dari Timur
Tengah.
Pelabuhan Hambantota, Sri Lanka berhasil didapat RRT untuk
jangka waktu 99 tahun dan diberikan pada Desember 2017 setelah Sri
Lanka tidak mampu membayar hutang yang digelontorkan Tiongkok (lihat
tabel 5.1). Ketidakmampuan Sri Lanka melunasi hutang dari Tiongkok
dilatarbelakangi oleh pemasukan Hambantota yang tidak sebanding
dengan besaran hutang. Di sisi lain, RRT melihat jatuhnya pelabuhan
Hambantota kepada Tiongkok sebagai “salah satu batu loncatan bagi
proyek seabad BRI”. seperti cuitan agensi berita resmi RRT, Xinhua yang
dikutip The Sidney Morning Herald (Wade, 2018). Adapun pelabuhan
selanjutnya yang menjadi perhatian RRT sebagai penunjang BRI dan
implikasinya terhadaap hegemoni Tiongkok di Kawasan Indo-Pasifik ialah
Pelabuhan Kyaukpyu di pesisir Pulau Yanbye, Myanmar. Perusahaan
milik negara (RRT), CITIC Group memenangkan proyek Pelabuhan
Kyaukpyu senilai 7,5 miliar dolar AS (Mullen, 2018: 5). Selain itu, badan
usaha lainnya milik RRT, China Harbor Engineering Company pun
terlibat dalam kontrak 2,5 miliar dolar AS guna membangun pipa minyak
dan gas di mana mengalir ke Kota Kunming, Provinsi Yunnan, RRT
(Szechenyi, 2018: 5).
87
Tabel 5.1
Kontrol RRT Terhadap Pelabuhan-Pelabuhan di Indo-Pasifik
Pelabuhan Lama Kontrak
(Tahun)
Nilai Kepemilikan (%)
Pelabuhan Colombo, Sri Lanka 35 85
Pelabuhan Baru Koh Kong,
Kamboja 99 100
Pelabuhan Darwin, Australia 99 80
Pelabuhan Gwadar, Pakistan 99 Tidak Diketahui
Pelabuhan Hambantota, Sri Lanka 40 70
Pelabuhan Kuantan, Malaysia 99 49
Gerbang Malaka, Malaysia 99 49
Pelabuhan Muara, Brunei 60 57
Pelabuhan Kyaukpyu, Myanmar Tidak Ada 70
Snidal (1985: 581) menyimpulkan bahwa suatu negara dapat
menjadi hegemon bilamana kerja sama di antara aliansi atau mitra
menghasilkan hubungan yang saling menguntungkan – terlepas dari
persentase atau besaran keuntungan yang dibagi. Berangkat dari hal
tersebut, penerapan kebijakan BRI antara RRT dengan negara-negara
mitra di kawasan Indo-Pasifik tidak melenceng dari nosi tersebut.
Keuntungan tersebut dibagi menjadi dua, yakni pertama bagi RRT dan
kedua keuntungan bagi negara-negara mitra di kawasan Indo-Pasifik.
Pertama, mega proyek seabad BRI sejauh ini telah banyak
menguntungkan RRT, khususnya terhadap badan-badan usaha yang
dimiliki negara (state-owned enterprieses, SOEs). Dikatakan
menguntungkan dikarenakan berbeda dari proyek-proyek pembangunan
lainnya yang terdapat kesetaraan pendanaan dari beberapa pihak atau
negara, Proyek BRI sebagian besar dijalankan oleh badan-badan usaha
milik pemerintahan Tiongkok sendiri.
Sumber: Rani Mullen, The New Great Game in the Indo-Pacific, 2018, diolah.
88
Fenomena tersebut berimplikasi pada konvergensi keuntungan dari
program-program pembangunan di Kawasan Indo-Pasifik. Pada Gambar
22 di bawah bahkan menunjukan hingga akhir tahun 2016 – menjelang
2017 – RRT telah menguasai semua sumber dana pembiayaan dan
pemiutangan BRI, yakni empat bank komersial dari Tiongkok (Industrial
Gambar 21.
Akuisisi Infrastruktur oleh RRT di Negara Penerima BRI
Sumber: Deloitte, “Embracing the BRI ecosystem in 2018: Navigating
pitfalls and seizing opportunities”. Deloitte China.
Gambar 20.
Sumber Pembiayaan Proyek BRI
Sumber: Deloitte, “Embracing the BRI ecosystem in 2018: Navigating
pitfalls and seizing opportunities”. Deloitte China.
89
and Commercial Bank of China, Bank of China, China Construction Bank,
dan Agricultural Bank of China), China Development Bank,Export-Import
Bank of China, Silk Road Fund, AIIB, dan New Development Bank. Selain
dari pada itu, keberhasilan RRT dalam mengambil alih atau mengakuisisi
investasi infrastruktur di negara-negara BRI turut serta menambah daftar
panjang keuntungan Tiongkok. Akusisi tersebut bernilai sekitar 35 miliar
dolar AS (lihat Gambar 23) dan telah dicontohkan dengan kontrol
pelabuhan-pelabuhan di regional Indo-Pasifik untuk jangka waktu hampir
satu abad dan dengan persentase kepemilikan yang tinggi (lihat Tabel 5.1).
Kedua merupakan keuntungan bagi negara-negara yang terlibat
dalam implementasi BRI (lihat gambar 22). Berangkat dari keuntungan
inilah, Departemen Kerja Sama Internasional, Kementerian Sains dan
Teknologi, RRT (MOST, 2017: 1-10) menjabarkan pencapaian Tiongkok
sebagai instrumen membawa hubungan mutualisme antar-negara sebagai
berikut: 1) melalui BRI, perdagangan RRT dengan negara-negara yang
berpartisipasi di dalam proyek tersebut meningkat 0.6 persen. Investasi
langsung dari RRT juga ikut meningkat hingga 14,5 miliar dolar AS; 2)
RRT telah menghubungkan lebih dari 130 perjanjian transportasi dengan
negara-negara BRI, membuka 364 rute internasional dan 73 pelabuhan.
Lebih lanjut, perdagangan di antara negara-negara yang telah tersambung
dengan koridor ekonomi BRI juga ikut meningkat hingga 12 persen
(Konings, 2018: 4).
90
5.1.2 Rivalitas hegemoni ekonomi Free and Open Indo-Pacific
Menjawab ekspansi ekonomi RRT khususnya dua tahun terakhir,
Free and Open Indo-Pacific melalui kepemimpinan AS bergerak melalui
kepemimpinannya di Bank Dunia dan usaha nasional yang mengadakan
forum bisnis Indo-Pasifik guna membangun akses Asia dan menciptakan
pasar global di kawasan Indo-Pasifik.
Keberadaan Bank Dunia tidak bisa dilepaskan dari latar belakang
Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet di akhir Perang Dunia II. Dalam
rangka membangun kembali Eropa yang sempat hancur selama Perang
Dunia II dan menahan laju pengaruh ekonomi Uni Soviet, terkhususnya di
daratan Eropa, AS menginisiasi pertemuan Bretton Woods, New
Hampshire yang pada akhirnya melahirkan Bank Dunia di tahun 1944.
Bantuan pinjaman pertama oleh Bank Dunia diberikan kepada Prancis di
tahun 1947, setelah itu melanjutkan fokusnya ke Amerika Latin, Afrika
dan Asia pada dekade-dekade selanjutnya. Saat ini, Bank Dunia memiliki
dua badan utama dan beberapa badan mitra. Badan utama yang
dimaksudkan ialah International Bank for Recostruction and Development
Gambar 22.
Total Persentase Peningkatan Perdagangan
Sumber: Konings, “Trade impacts of the Belt and Road Initiative”. Ing.
91
(IBRD) dan International Development Association (IDA). IBRD
diperuntukan kepada negara-negara berkembang dengan pendapatan
menengah, sedangkan IDA menyediakan pinjaman bebas bunga yang
diberikan kepada negara-negara miskin (World bank, 2018).
Kontrol AS atas Bank Dunia pernah mencapai puncaknya di tahun
1950 ketika 74 persen dari uang tunai yang terinvestasi di Bank Dunia
berasal dari AS sendiri (Clemens, 2016). Total investasi yang segaris lurus
dengan persentase kepemilikan saham sekaligus memberikan AS
keleluasaan guna menjadikan Bank Dunia sebagai perpanjangan tangan
alat politik AS. Hingga akhir tahun 2018, AS masih tetap menjadi
pemegang terbesar kekuatan suara Bank Dunia, yakni 15,98 persen di
IBRD dari 189 negara dan 10,20 persen di IDA dari 173 negara anggota
(World Bank, 2019).
gnh
Gambar 23.
Penurunan Kapital AS Selama Bergabung di Bank Dunia
Sumber: Michael Clemens, “World Bank’s US dependency has to end”.
Politico.
92
Menjadi tidak mengherankan bilamana Bank Dunia – khususnya
melalui IBRD dan IDA – yang dipimpin oleh AS menggeser fokus dari
kawasan lain, seperti Afrika dan Timur Tengah ke Indo-Pasifik. Tercatat
pada tahun 2017, Bank Dunia telah mengeluarkan 31 persen dari total 42,1
miliar dolar AS kapitalnya guna meminjamkan kepada negara-negara di
kawasan Indo-Pasifik (World Bank, 2017: 10). Tidak berbeda dengan
penekanan BRI yang sedang dikerjakan RRT, proyek-proyek investasi
yang didonorkan Bank Dunia berkisar antara industri dan transportasi
senilai lebih dari 13 miliar dolar AS (World Bank 2017: 24-40). Lebih dari
pada itu, negara tujuan Bank Dunia pada dasarnya sama dengan tujuan
BRI, yakni Bangladesh dan India.
Bank Dunia hadir di Bangladesh dalam bentuk tawaran
membangun infrastrukur guna mempererat konektivitas dalam negeri.
Melalui program Operation for Supporting Rural Bridges Project for
Bangladesh (SupRB) Bank Dunia menyetujui pembangunan dengan total
dana 425 juta dolar AS. Dana tersebut setidaknya dicanangkan untuk
meningkatkan keterhubungan dan ketahanan dari ancaman iklim di 19
distrik pesisir, memperbaiki 29 kilometer jembatan, membangun 20
kilometer jembatan baru di 61 distrik Bangladesh (World Bank, 2018).
Adapun, terlepas dari kritikan AS dan Bank Dunia terhadap proyek RRT
yang mengakibatkan negara seperti Sri Lanka dan Myamar harus
menyerahkan pelabuhan mereka akibat ketidakmampuan membayar
hutang, praktek-praktek serupa juga dapat ditemui pada berbagai bantuan
Bank Dunia sendiri. Proyek SupRB dipastikan jatuh tempo 30 tahun
mendatang, atau dengan kata lain bilamana selama tenggang waktu yang
ditargetkan tidak mampu mengganti 425 juta dolar AS, maka Bangladesh
akan semakin mudah tergantung dan dipengaruhi oleh program asistensi
moneter dan fiskal oleh badan bentukan Bretton Woods – baik IMF mapun
Bank Dunia.
Selain Bangladesh yang mendapatkan donor hutang, di Asia
Selatan India juga turut serta meminjam dari Bank Dunia. Melalui Madhya
93
Pradesh Rural Connectivity Project (MPRCP), India bersama Bank Dunia
sepakat untuk meminjam 210 juta dolar AS (World Bank, 2018). MPRCP
bertujuan untuk merevitalisasi 10.000 kilometer jalan pedesaan dan
membangun 510 kilometer jalan baru, akan tetapi hingga saat ini hanya
29,61 juta dolar AS yang dicairkan Bank Dunia (World Bank, 2018: 7).
Lebih lanjut, selain memanfaatkan kepemimpinannya dalam Bank
Dunia, AS secara independen mengiventasikan uangnya kepada negara-
negara di Indo-Pasifik. Menteri Dalam Negeri AS, Michael Pompeo
(2018) dalam pidato menyambut “America’s Indo-Pacific Economic
Vision” mengingatkan pentingnya kawasan Indo-Pasifik bagi AS dilihat
dari besaran dana yang digelontorkan. Pompeo memperkirakan akan ada
60 miliar dolar AS yang akan dicairkan untuk membangun ekonomi
digital, energi dan infrastruktur Indo-Pasifik. Di sisi lain, ambisi AS dalam
memberikan investasi sebesar 60 miliar dolar AS menurut hemat penulis
adalah berlebihan lantaran data terbaru pada tahun fiskal 2017 mencatat
besaran asistensi keuangan AS kepada Indo-Pasifik tidak lebih dari 1,3
miliar dolar AS (Congressional Research Service, 2018: 15-16).
Selanjutnya, bantuan keuangan yang digalakan AS ditambah
dengan tiga usaha Trump mempercepat implementasi Free and Open
Gambar 24.
Pencairan Dana Pinjaman MPRCP
Sumber: World Bank, “Madhya Pradesh Rural Connectivity Project
(P157054)”. The World Bank.
94
Indo-Pacific melalui forum bisnis guna membangun akses Asia dan
mengadakan pasar global di Indo-Pasifik. Forum bisnis pertama kali
dilaksanakan pada 30 Juli 2018, di mana Kementerian Perdagangan AS
mengundang berbagai kementerian terkait dan mengajak 150 pengusaha
untuk bersama-sama mengekspansi bisnisnya ke Indo-Pasifik. Hasil dari
forum bisnis ini ialah inisiatif sebesar 113 juta dolar AS untuk mendukung
ekonomi digital, energi dan akses infrastruktur kawasan dan pasar global
(Pompeo, 2018). Di pihak lain, penerapan kebijakan Free and Open Indo-
Pacific oleh Presiden Trump mendapatkan kritikan Ayres (2018) melalui
laman berita CNN yang mana menganggap pendanaan 113 juta dolar AS
bagi Indo-Pasifik merupakan angka yang kecil untuk dapat membiayai
kebutuhan regional, seperti dikutip: “The $113 million in assistance will
clearly not scratch the surface of the financing needs in the Indo-Pacific
region”.
5.2 Rivalitas Hegemoni Politik
Tradisi besar realisme – khususnya bagi realisme struktural ofensif –
dalam hubungan internasional masih menjadi jalan yang relevan ketika menilik
fenomena rivalitas negara-negara dan keterkaitannya dengan usaha-usaha
mencapai hegemoni. Baik RRT maupun AS tidak terkecuali perihal
kontekstualisasi hegemoni regional seperti yang dimaksud Mearsheimer dalam
bukunya “The Tragedy of Great Power Politics” (Mearsheimer 2001: 40-42).
Merujuk pada pembahasan konseptual BAB III menjadi jelas bahwasannya
hegemoni diejawantahkan melalui penciptaan jaringan kerja sama atau aliansi
dengan tujuan menciptakan stabilitas – kemudian dapat dimengerti sebagai bentuk
perdamaian – dan bermuara kepada struktur internasional yang asimetris, yang
mana menghantarkan negara hegemon sebagai puncak sumber pengaruh dan
poros ketergantungan bagi negara-negara lain. Dinamika politik inilah yang
berusaha dikejar RRT dan AS dengan cara penerapan kebijakan berturut-turut
Chinese Dream dan Free and Open Indo-Pacific.
95
5.2.1 Rivalitas hegemoni politik Chinese Dream
Secara utuh, menggambarkan relasi RRT dan AS dalam rangka
mengejar hegemoni sebagai bentuk rivalitas seperti yang terjadi ketika
Perang Dingin menurut banyak akademisi merupakan hal yang telah
kusam (outdated), akan tetapi nosi rivalitas perebutan kekuasaan juga tidak
bisa secara menyeluruh ditentang. Menjadi naif bilamana menyampingkan
rentetan kompetisi dan pertentangan kedua negara dewasa ini. Walaupun
negara-negara di Indo-Pasifik – misalnya di kawasan Asia Tenggara –
berusaha menahan diri untuk mengambil posisi dan kubu tertentu antara
Tiongkok dan AS seperti yang digambarkan Minghao (2018), namun
pengaruh politik menjadi tidak bisa dielakkan. Berkenaan dengan
kepentingan politik RRT, Beijing dikatakan akan terus berjuang untuk
menciptakan Asia yang unipolar, serta mempercayai bahwa Tiongkok
harus menjadi kekuatan dominan (hegemoni) terhadap regional Indo-
Pasifik (Khurana, 2018: 42). Hegemoni dan hubungannya dengan politik
selanjutnya bertemu pada titik yang sama: usaha mendapatkan pengaruh.
RRT setidaknya memberikan pengaruh politiknya bagi Indo-Pasifik dalam
dua hal, yakni pertama pengaruh politik melalui perubahan tatanan
internasional yang dicapai melalui pemindahan ketegangan dan kerja sama
multilateral; dan kedua kemampuan penciptaan stabilitas politik regional,
khusunya di Semenanjung Korea.
Pertama, Xi Jinping dalam Kongres Partai Komunis Tiongkok ke-
19 menegaskan bila Tiongkok akan terus memainkan peran besan untuk
mengembangkan sistem pemerintahan global, serta pada kesempatan yang
sama, Xi menyatakan betapa Tiongkok telah menjadi pemimpin global
dalam hal kekuatan nasional dan pengaruh internasional (Jinping, 2017: 1-
65). Menurut hemat penulis, RRT memainkan dua cara untuk mendulang
pengaruh politik di regional, yaitu melalui pemindahan ketegangan atau
permusuhan dan melalui kerangka kerja sama multilateral. Pemindahan
ketegangan yang dimaksud adalah usaha Tiongkok membangun partisipasi
negara lain yang berguna untuk mendelegitimasi dan mengganti kekuatan
96
lain di kawasan, khususnya terhadap pengaruh AS. Salah satu langkah
RRT mendelegitimasi AS ialah dengan keterlibatannya dalam keanggotaan
Konferensi tentang Interaksi dan Langkah Pembangunan Kepercayaan Diri
di Asia (Conference on Interaction and Cofidence Building Measures in
Asia, CICA). Anggota-anggota CICA yang juga berada di dalam kawasan
Indo-Pasifik di antaranya Bangladesh, Kamboja, Tiongkok, India,
Pakistan, Korea Selatan, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam (CICA, 2017a).
Secara normatif, CICA merupakan forum multinasional yang bertujuan
meningkatkan kerja sama melalui peningkatan perdamaian, keamanan dan
stabilitas di Asia. RRT berkesempatan mengepalai forum ini selama
periode 2014-2016, namun diperpanjang sampai tahun 2018.
Lebih dari pada itu, CICA yang secara khusus memiliki dimensi
politik dalam kerangka kerja sama dapat dimanfaatkan RRT di mana
terbukti sejak 2013 hingga saat ini Tiongkok selalu menjadi pemimpin
inisiatif penguatan keamanan di regional Asia Pasifik (CICA, 2017b).
Selain memimpin inisiatif penguatan Asia-Pasifik, sentraliasi RRT dalam
CICA dapat dilihat jelas dari pengaruh politiknya terhadap Kamboja.
Perdana Mentri Kamboja, Hun Sen menyatakan selama bertahun-tahun
Tiongkok telah membantu Kamboja yang tengah dilanda krisis politik;
adapun Tiongkok sumber utama persenjataan, pelatihan dan pendanaan
militer Kamboja (CICA, 2017c; Pereira, Jung & Penna 2018: 119).
Melalui periode kepemimpinan pada tahun 2014-2018, Tiongkok
juga berhasil menjalin aliansi politik dengan Pakistan yang adalah musuh
historis India. Di sisi lain, Tiongkok berkesempatan memperluas pengaruh
politiknya dengan menempatkan kapal perangnya di Pelabuhan Gwadar,
milik Pakistan sebagai ganti jaminan keamanan melawan terorisme dan
dukungan atas konflik berkepanjangan dengan India berupa pasokan
pesawat tempur JF-17, rudal balistik, kapal balistik, pesawat anti rudal,
kapal anti rudal dan tank (The Economic Times, 2018). Semua bantuan
Tiongkok kepada negara-negara anggota CICA seperti yang dijabarkan
berangkat dari tujuan dimensi politik CICA, yaitu peningkatan kerja sama
97
keamanan multilateral, melawan terorisme, dan bantuan kemanusiaan
(CICA, 2017b).
Berikutnya, cara mendulang pengaruh politik adalah dengan
keterlibatan dalam kerangka kerja multilateral. Hal ini bertujuan untuk
menciptakan citra partisipasi positif Tiongkok di mata internasional, serta
secara lebih signifikan bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan
institusi (Mazarr, Heath & Cevallos, 2018: 109). Contoh dari cara
mendulang pengaruh politik ini ialah dengan terlibat dalam kerangka kerja
yang dipimpin ASEAN, yakni Regional Comprehensive Economic
Partnership (RCEP). RCEP pada dasarnya merupakan inisiasi ASEAN
untuk mempersatukan enam negara mitra – RRT, Korea Selatan, Jepang,
India, Australia dan Selandia Baru – yang sebelumnya secara terpisah
melakukan hubungan kerja sama dengan ASEAN. Pada Agustus 2012,
sepuluh negara anggota ASEAN dan enam negara mitra membentuk
RCEP selama pertemuan ASEAN ke-21 di Phnom Penh, Kamboja
(ASEAN, 2016). Melalui total 16 negara yang tergabung dalam
keanggotaan RCEP, tujuannya adalah untuk memperluas dan
memperdalam integrasi ASEAN dan negara-negara mitra. Di pihak lain,
kebaharuan RCEP memberikan Tiongkok kesempatan besar untuk
kemudian ikut serta membangun agenda nasional dalam kesepakatan-
kesepakatan fundamental. Bertolak dari nosi tersebut, keanggotaan
Tiongkok dalam RCEP tidak lebih merupakan usaha mempromotori dan
menginfiltrasi serangkaian agenda ke dalam sistem regional sesuai dengan
kepentingan nasional, dengan kata lain terlepas dari sentralisasi ASEAN,
RRT disebut akan menjadi pemimpin de facto yang mendominasi
pengambilan keputusan internal RCEP (Brown, 2017: 22).
Secara lebih dalam, terdapat tiga motivasi yang mendorong RRT
agar terlibat aktif menggerakan integrasi regional RCEP menurut Tae-
Kyung, akan tetapi penulis menyoroti dua dorongan utama, yaitu pertama
sebagai alat Tiongkok dalam rangka menyeimbangi AS di Indo-Pasifik;
dan kedua diperuntukkan sebagai instrumen mempengaruhi persepsi dan
98
tindakan negara-negara yang kemudian berujung kepada justifikasi
kawasan terhadap kebijakan RRT (Tae-Kyung, 2015: 8). Terlepas dari
pembentukan RCEP yang baru saja dilaksanakan serta program-program
kerja yang belum efektif berjalan, pada dasarnya bukan menjadi halangan
bagi penerapan Chinese Dream mengingat justru dapat dijadikan potensi
mempengaruhi agenda. Sejalan dengan hal tersebut, bilamana menilik
Joint Leaders’ Statement RCEP yang terbaru pada November 2017, RRT
kemudian mendapatkan posisi yang baik dikarenakan pertemuan tersebut
salah satunya membahas mengenai langkah-langkah yang harus diambil
ASEAN beserta mitra wicara lainnya – dalam hal ini khususnya Tiongkok
– guna mengantisipasi kenaikan praktek proteksionisme layaknya yang
sedang dilakukan AS. AS di bawah administrasi Trump yang menunjukan
kecenderungan tidak ingin tergabung pada organisasi-organisasi
multilateral – contohnya dengan menarik diri dari keanggotan Trans
Pacific Partnership – berbanding terbalik dengan usaha RRT mendekatkan
pengaruhnya pada RCEP.
Nosi pengaruh RRT menjadi semakin jelas ketika perwakilan
Singapura, Chan Chun Sing, negara internal ASEAN yang paling maju
dalam bidang informasi, komunikasi dan teknologi justru meminta bantuan
RRT guna mendukung rancangan kerja sama dalam bidang e-commerce
dan telekomunikasi RCEP ketika diwartakan The Strait Times di bawah
tajuk “Singapore wants to work with China to produce a RCEP with high
standards: Chan Chun Sing” yang menandakan besarnya kemampuan
Tiongkok mengontrol agenda RCEP (Peng, 2018; ITU, 2017: 31). Adapun
pemanfaatan CICA dan RCEP sebagai alat politik sejalan dengan tabel
berikut sebagai strategi RRT mendulang pengaruh politik.
99
Tabel 5.2
Strategi RRT Mendulang Pengaruh Politik
Pemindahan Ketegangan Kerja Sama Multilateral
Partisipasi RRT di dalam institusi
internasional.
Bersifat RRT-sentris untuk
mereduksi pengaruh kekuatan lain. Penekanan pada RRT yang
memberikan bantuan terhadap
negara relatif lemah yang
mendapatkan bantuan.
Partisipasi RRT di dalam institusi
internasional
Terdapat organisasi multilateral
yang meregulasi setiap anggota-
anggotanya, sehingga RRT tidak
serta merta mendominasi.
Pengaruh RRT bertahap dan
terbatas.
Adapun menurut hemat penulis, bagian kedua dari usaha
menampuk posisi hegemoni politik di Indo-Pasifik bagi RRT tidak bisa
serta merta dilepaskan dari peranannya menjaga stabilitas regional. Untuk
itu daerah yang kemudian menjadi perhatian RRT menjadi relevan bila
difokuskan kepada Semenanjung Korea. Instabilitas yang dimaksud
selanjutnya dapat ditilik dari fakta bahwa baik Korea Selatan mapun Korea
Utara secara de jure masih tergolong berperang dikarenakan belum adanya
satupun sumber tertulis hingga akhir tahun 2017 yang berisikan perjanjian
damai di antara kedua negara semenjak pecah Perang Korea pada tahun
1950. Merangkum hal tersebut, RRT memiliki tanggung jawab politik
untuk memperpanjang kerja sama, dan menghindari konfrontasi
berkepanjangan di kawasan. Tanggung jawab tersebut kemudian penting
tidak hanya murni berangkat dari motif perdamaian, akan tetapi adanya
kemungkinan keterlibatan AS di kawasan jika RRT gagal (Menegazzi,
2017: 3-4).
Menyambut kenyataan bahwa instabilitas politik di Semenanjung
Korea sebagai salah satu isu penting bagi hegemoni RRT, menjadi relevan
guna melakukan manuver-manuver politik pula. Di pihak lain, hingga saat
ini RRT terus memainkan peranan ganda, yang mana pada satu sisi RRT
sebagai negara yang mendukung proses non-proliferasi nuklir dan senjata
pemusnah massal lainnya, akan tetapi pada sisi yang lain RRT juga turut
melanggar sanksi yang dikenakan kepada Korea Utara. Dari perihal
100
tersebut, menjadi terang bahwa RRT ingin mempromosikan stabilitas
Semenanjung Korea dengan tidak mengeyampingkan kemungkinan
kehilangan Korea Utara sebagai aliansi.
Kepentingan normatif Tiongkok akan pentingnya melaksanakan
pelucutan fasilitas nuklir Korea Utara dan menjaga stabilitas Semenanjung
Korea kemudian berbenturan dengan keengganan menerapkan jalur
militerisme dan paksaan. Hal tersebut dikarenakan RRT menimbang harga
yang terlalu mahal untuk dibayar bila terjadi miskalkulasi dan potensi
menjadikan Korea serupa konflik berkepanjangan di Timur Tengah
(Menegazzi, 2017: 5). Sejalan dengan resiko miskalkulasi inilah, RRT
menggunakan diplomasi atau yang kemudian direduksi dalam istilah
negosiasi dalam rangka menjaga stabilitas Semenanjung Korea. Adapun
penulis telah mendaftar usaha-usaha negosiasi perdamaian Korea Utara
dan Korea Selatan yang dipimpin RRT.
Gambar 25.
49 Negara Telah Melanggar Sanksi Terhadap Korea Utara
Sumber: Niall McCarthy, “49 Countries Have Violated Sanctions on
North Korea [Infographic]”. Forbes.
101
Tabel 5.3
Kronologi Negosiasi RRT Untuk Mendamaikan Semenanjung Korea
Waktu Keterangan
4 Mei 2018 Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in dan Presiden RRT,
Xi Jinping berbicara melalui telepon. Xi mengabarkan
bahwa RRT telah mengimplementasikan secara bertahap
konsensus-konsensus yang telah disepakati dengan Korea
Selatan. Konsensus tersebut berhubungan dengan
penguatan komunikasi, memperdalam kerja sama praktikal
dan pertukaran diplomasi people to people.
7 Mei 2018 RRT dan Korea Selatan melanjutkan pertemuan bilateral di
Seoul berkaitan dengan kebijakan pertahanan.
7-8 Mei 2018 Xi Jinping dan Kim Jong Un melaksanakan pertemuan di
Kota Dalian, Tiongkok Timur Laut.
9 Mei 2018 Korea Selatan, Tiongkok dan Jepang mengadakan
pertemuan trilateral, kemudian Moon Jae-in dan Li
Keqiang melanjutkan pertemuan di samping agenda
trilateral.
24 Mei 2018 Korea Utara menghancurkan lokasi uji coba nuklir di
Punggye-ri.
19-20 Juni 2018 Kim Jong Un bertemu Xi Jinping di Beijing dengan tujuan
membahas komitmen kedua negara menjaga perdamaian
Semenanjung Korea dan stabilitas kawasan.
21 Juni 2018 Tiongkok dan Korea Selatan menandatangani pakta
persahabatan di Pulau Jeju.
6 Agustus 2018 Utusan Korea Selatan bertandang ke Beijing dalam rangka
membicarakan pelucutan nuklir Korea Utara.
10 Agustus 2018 Korea Utara dan Korea Selatan berpartisipasi dalam
festival pariwisata di Kota Hunchun, Tiongkok.
19 September 2018 Menteri Luar Negerti RRT menyatakan dukungannya pada
pertemuan inter-Korea mendatang.
19 Oktober 2018 RRT dan Korea Selatan mengutus berturut-turut, Kong
Xuanyou dan Lee Do-hoon untuk bertemu di Beijing guna
membahas isu nuklir di Semenanjung Korea.
Sumber: Dikutip dari berbagai sumber, diolah.
102
5.2.2 Rivalitas Hegemoni Politik Free and Open Indo-Pacific
AS telah menjadi negara adidaya tunggal di dunia semenjak Perang
Dingin. Memainkan peranan sebagai negara hegemoni lantaran pengaruh
politik Uni Soviet tergerus perpecahan domestik. Di sisi lain, memasuki
abad ke-21, wajah perpolitikan dunia mulai bergerak ke arah
multipolaritas. Keberadaan the Group of Twenty (G20), gabungan
kekuatan negara berkembang di BRICS (Brazil, Rusia, India, China atau
Tiongkok dan Afrika Selatan), pembentukan ASEAN dan kebangkitan
RRT menyebabkan dunia tidak lagi bergantung pada satu kekuatan
tertentu. Bilamana sebelumnya AS berfokus di regional Timur Tengah,
saat ini dengan kemunculan RRT yang berusaha menghegemoni Indo-
Pasifik, kemudian memaksa AS untuk turut serta mengimbangi kekuatan
RRT. Robert Manning bahkan menyatakan bahwa AS mengalami
kesulitan untuk beradaptasi dengan dinamika dunia yang multipolar saat
ini (Manning, 2018: 7). Kesulitan beradaptasi dengan multipolaritas dunia
selanjutnya sejalan dengan temuan laporan dalam grafik berikut yang
mengindikasikan kemerosotan pengaruh AS terhadap beberapa negara
penting di Indo-Pasifik, termasuk di dalamnya negara aliansi AS.
Gambar 26.
Negara Paling Berpengaruh di Indo-Pasifik Saat Ini
Sumber: Simon Jackman, Gordon Flake, dkk, “The Asian research
Network: Survey on America’s Role in the Indo-Pacific”.
University of Sidney.
103
Berkenaan dengan kepentingan politis menahan pengaruh
Tiongkok di RRT, setidaknya AS melakukan dua cara. Cara pertama ialah
dengan menjalin kerja sama quadrilateral kembali dengan Australia,
Jepang dan India; dan cara kedua ialah dengan memanfaatkan kapabilitas
nasionalnya melalui penyediaan asistensi (barang publik) dan menjaga
stablitas kawasan Indo-Pasifik. Pertama, kebijakan Free and Open Indo-
Pacific di bawah administrasi Trump diejawantahkan melalui
pembentukan kembali Quadrilateral yang pernah beroperasi di tahun 2004
ketika Samudra Hindia dilanda gempa dan tsunami. Quadrilateral atau
Quad pada dasarnya bukan merupakan suatu aliansi, melainkan
kesepakatan geostrategi antara empat negara (Amerika Serikat, Australia,
India dan Jepang) tidak mengikat yang memiliki kesamaan keresahan
terkait potensi Tiongkok menganggu keterpenuhan kepentingan mereka,
namun secara bersamaan tidak ingin memprovokasi Tiongkok dengan
mekanisme aliansi tertentu (Hemmings, 2017).
Pertemuan Quad yang pertama setelah kembali beroperasi
dilaksanakan pada 12 November 2017. Pertemuan tersebut
dilatarbelakangi oleh ketakutan India terhadap proyek Tiongkok di
Pakistan yang dapat mengganggu kepentingan India di zona strategis;
kewaspadaan Jepang dikarenakan kemampuan Tiongkok untuk
mempengaruhi rantai suplai energi sehingga meyebabkan Asia Timur
mengalami ketergantungan; perhatian Australia terkait proyek-proyek
bantuan dari Tiongkok kepada negara-negara kecil dapat menyebabkan
negara tersebut rentan mengalami koersi; dan AS yang berusaha mencari
cara mengantisipasi perluasan pengaruh Tiongkok, tertutama setelah AS
keluar dari TPP (Gale & Shearer, 2018: 1). Setidaknya pertemuan Quad
pada November 2017 bertujuan membahas tujuh tema inti, yakni tatanan
Asia yang berlandaskan aturan, kebebasan navigasi dan penerbangan,
penghormatan kepada hukum internasional, meningkatkan konektivitas,
ancaman korea utara dan non-profliferasi nuklir, dan terorisme. Adapun
104
secara khusus penulis mendata beberapa agenda penting yang dialamatkan
AS selama pertemuan tersebut sebagai berikut.
Tabel 5.4
Detil Agenda AS Selama Pertemuan Quadrilateral
Agenda Keterangan
Free and Open Indo-
Pacific
Menyamakan visi untuk meningkatkan kesejahteraan
dan keamanan kawasan Indo-Pasifik yang terbuka dan
bebas.
Tatanan aturan Memegang teguh tatanan peraturan di Indo-Pasifik.
Kebebasan navigasi
dan penerbangan
Menjaga kebebasan navigasi kelautan dan penerbangan.
Hukum internasional Menghormati hukum internasional dan resolusi damai
bagi sengketa-sengketa.
Konektivitas Meningkatkan keterhubungan yang sesuai dengan
hukum internasional dan berdasarkan kepada
pembiayaan yang tepat.
Keamanan maritim Berkoordinasi terkait keamanan maritim di Indo-
Pasifik.
Korea Utara Mengurangi rudal dan nuklir Korea Utara, dan
kebijakan-kebijakan yang ilegal di mata hukum
internasional.
Terorisme Berkoordinasi dalam program anti-terorisme.
Langkah selanjutnya Berkomitmen untuk memperdalam komitmen
quadriteral yang berdasarkan kepada nilai demokrasi.
Berangkat dari pembentukan dan agenda Quad, dapat dilihat
bahwasannya kebijakan AS selalu tertinggal setidaknya satu langkah dari
kebijakan RRT. Hal ini menjadi tidak mengherankan mengingat Free and
Open Indo-Pacific diperuntukan sebagai kebijakan politik reaksioner AS
terhadap persebaran pengaruh Tiongkok di kawasan. Implikasi dari
fenomena ini kemudian terlihat jelas dari peranan Quad yang masih berada
pada ranah penetapan retorika, agenda dan tujuan; atau dengan kata lain,
Quad belum mampu mengeksekusi agenda tersebut layaknya program
operasional dari kebijakan Chinese Dream. Bila hal ini terus
Sumber: Ankit Panda, “US, Japan, India, and Australia Hold Working-Level
Quadrilateral Meeting on Regional Cooperation”, 2017, diolah.
105
dipertahankan, maka pengaruh politik AS di kemudian hari akan terus
tergerus oleh manuver politik RRT seperti grafik berikut.
Selain menggunakan cara kolektif melalui inisiatif Quad, kebijakan
Free and Open Indo-Pacific guna menjadi hegemon di Indo-Pasifik tidak
akan lengkap tanpa usaha menjaga stabilitas Semenanjung Korea seperti
halnya yang dilakukan Tiongkok. Oleh karena itu, bagian kedua dari usaha
hegemoni politik AS ialah dengan melakukan pendekatan-pendekatan
politik terhadap dua negara Korea. Secara khusus bagi Korea Utara,
pendekatan Trump terbagi menjadi dua babak besar pada tahun 2017 dan
2018. Selama tahun 2017, Presiden Trump memainkan pendekatan
tekanan maksimum (maximum pressure) dengan mengembargo ekonomi
Korea Utara; mempersuasi anggota PBB sampai menghasilkan resolusi
sanksi terhadap Korea Utara; dan mengeluarkan sanksi nasional –
CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act) –
dalam rangka memutus segala jenis hubungan dengan Korea Utara, seperti
ekspor-impor, aliran investasi dan kemungkinan pertukaran teknologi dan
informasi. Selanjutnya, di tahun 2018 administrasi Trump beralih pada
Gambar 27.
Transisi Kekuasaan AS-RRT
Sumber: Amrita Jash, “Emerging International Security Environment In
Indo-Pacific Region”. The Centre for Land Warfare Studies.
106
penggunaan diplomasi yang mana memuncak pada pertemuan Donald
Trump dan Kim Jong Un di Singapura. Pertemuan antara dua kepala
negara ini menghasilkan tiga kesepakatan utama, yaitu normalisasi
konektivitas dengan berkomitmen membangun relasi bilateral; bekerja
sama mendirikan rezim perdamaian antara AS dan Korea Utara; dan
denuclearization atau pelucutan nuklir di Semenanjung Korea, walaupun
tidak berarti melucuti senjata pemusnah massal lainnya – misalnya rudal
balistik (Chanlett-Avery, dkk., 2018: 5).
Tabel 5.5
Kronologi Negosiasi AS Untuk Mendamaikan Semenanjung Korea
Waktu Keterangan
1 Juni 2017 AS menjatuhkan sanksi kepada individu dan entitas yang
berkaitan dengan program nuklir dan rudal Korea Utara.
29-30 Juni 2017 Moon Jae-in bertemu Presiden Trump di Washington,
DC untuk pertama kalinya setelah dilantik sebagai
Presiden Korea Selatan.
8 Agustus 2017 Trump mengancam Korea Utara agar tidak mengancam
AS: “North Korea best not make any more threats to the
United States...they will be met with fire and fury like the
world has never seen.”
19 September 2017 Dalam Sidang Umum PBB, Presiden Trump mengecam
Korea Utara dan menyatakan sikap AS yang akan
mendukung aliansinya.
8 November 2017 Moon Jae-in dan Trump mengadakan pertemuan di
Seoul.
1 Juni 2018 Setelah bertemu dengan perwakilan Korea Utara,
Jenderal Kim Yong Chol di Gedung Putih, Trump
mengumumkan pertemuan Korea Utara-AS yang akan
berlangsung pada 12 Juni mendatang.
12 Juni 2018 Kim Jong Un dan Donald Trump bertemu di Singapura
untuk menandatangani deklarasi pembaharuan relasi dan
pembangunan stabilitas rezim perdamaian di
Semenanjung Korea.
5-7 Juli 2018 Sekretaris Negeri AS, Mike Pompeo bertemu Kim Yong
Chol di Pyongyang.
7 Oktober 2018 Mike Pompeo bertemu Kim Jong Un di Pyongyang guna
menindaklanjuti progres pasca pertemuan damai di
Singapura.
Sumber: Caroline Kearney, “Seizing a Window of Opportunity for Peace on the
Korean Peninsula: New Dynamics, New Opportunities”, 2019, diolah.
107
5.3 Rivalitas Hegemoni Militer
Bagian penting terakhir yang sulit dilewatkan bilamana mendiskusikan
usaha-usaha dalam mencapai hegemoni ialah seberapa kuat kemampuan militer
yang dimiliki oleh suatu negara. Hal ini selain sejalan dengan pertimbangan teori
kebijakan luar negeri, juga didukung oleh asumsi realisme struktural ofensif –
bahkan realisme secara umum – seperti yang telah dijabarkan pada bab-bab
sebelumnya, khusunya pada Bab II Tinjauan Pustaka. Secara praktis, baik RRT
dan AS menyadari peran penting kekuatan militer sebagai bagian integral rivalitas
mencapai hegemoni Indo-Pasifik. Xi Jinping selama pidatonya pada pertemuan
Partai Komunis Tiongkok, 18 Oktober 2017 menyatakan Chinese Dream – yang
di dalamnya terdapat tujuan kembar satu abad – hanya bisa tercapai melalui
pembangunan kekuatan militer (Communist Party of China, 2017: 5-21).
Sebaliknya, Donald Trump memetakan ancaman Tiongkok di kawasan Indo-
Pasifik sehingga kekuatan militer yang bertugas melaksanakan fungsi deterrent,
dan bila dibutuhkan berkemampuan mengalahkan militer asing – potensi ekspansi
Tiongkok (The White House, 2017: 45-47).
Gambar 28.
Persaingan Persebaran Pangkalan Militer RRT-AS di Indo-Pasifik
Sumber: David Tweed & Adrian Leung, “China Is Making a Bold
Military Power Play”. Bloomberg.
108
Gambar 30 menunjukan rivalitas RRT dan AS yang semakin intens di
kawasan Indo-Pasifik. Seperti permainan catur, pangkalan militer kedua kubu
saling diperhadapkan dalam rangka antisipasi dan menahan aktivitas militer
rivalnya. Indo-Pasifik sendiri telah berubah menjadi arena kompetisi di mana
Tiongkok mencoba berekspansi militer di Asia Selatan melalui Pakistan, Sri
Lanka, Maladewa, Korea Utara dan Laut Tiongkok Selatan; sedangkan AS
konsisten menjalin relasi militer dengan India, Jepang, Korea Selatan dan
Australia. Relasi militer kedua negara dengan aliansi-aliansinya kemudian
menuntut kemampuan atau kapabilitas militer domestik terlebih dahulu. Oleh
karena itu, selanjutnya penulis menilik rivalitas hegemoni militer antara RRT dan
AS melalui kapabilitas militer tiap-tiap negara, dan dilanjutkan dengan temuan
empiris rivalitas yang tercermin jelas, yakni dalam sengketa Laut Tiongkok
Selatan. Laut Tiongkok Selatan dipilih sebab mampu mengambarkan rivalitas
secara nyata antara RRT dan AS di kawasan Indo-Pasifik dan saat ini menjadi
poros fokus militer kedua negara semenjak sengketa ini kian memuncak di tahun
2015, bahkan berlanjut di periode 2017-2018 di bawah komando Xi Jinping dan
Donald Trump. Adapun perbandingan garis besar kekuatan militer kedua negara
ialah sebagai berikut:
109
Tabel 5.6
Perbandingan Kekuatan Militer RRT dan AS
Indikator RRT AS
Populasi
(penduduk)
1.386.000.000 325.700.000
Luas
(km2)
9.596.961 9.857.306
Senjata Nuklir
(hulu ledak)
260 7.200
Anggaran Militer
(miliar dolar)
228 700
Tenaga Manusia (orang)
Personel aktif
Personel cadangan
Tersedia untuk militer
2.300.000
8.000.000
385.821.101
1.281.900
811.000
73.270.043
Armada Angkatan Darat:
Tank
Kendaran tempur lapis baja
Artileri
Artileri otomatis
Artileri roket
7.760
6.000
9.726
1.710
1.770
6.393
41.760
3.269
950
1.197
Armada Angkatan Laut:
Kapal militer
Kapal induk
Kapal penghancur
Kapal pengawal
Kapal korvet
Kapal Selam
780
2
36
54
42
76
437
20
85
0
0
71
Armada Angkatan Udara:
Pesawat militer
Pesawat tempur
Pesawat multiperan
Pesawat penyerbu
Helikopter
4.182
1.150
629
270
1.170
12.304
457
2.192
587
4.889
Sumber: Armed Forces, “Military power of USA and China”, 2016; Global Fire
Power, “Comparison Results of World Military Strength, 2019”,
diolah.
110
5.3.1 Rivalitas hegemoni militer Chinese Dream
Searah dengan tujuan mencapai Chinese Dream, telah dijelaskan
bagaimana Xi Jinping selama pertemuan Partai Komunis Tiongkok pada
Oktober 2017 menekankan untuk memperkuat kekuatan militer. Kekuatan
militer tersebut menjadi tidak bisa dipisahkan dari peran People’s
Liberation Army (PLA) sebagai satu-satunya instrumen Partai Komunis
Tiongkok dalam rangka menjaga stabilitas keamanan-pertahanan domestik
dan regional Indo-Pasifik. People’s Liberation Army dikatakan sebagai
instrumen Partai Komunis Tiongkok sebab PLA pada dasarnya bukan
merupakan lembaga nasional seperti tentara di negara lain. Fenomena ini
disebabkan lantaran PLA (disebut juga Red Army) merupakan adalah
bentukan Mao Zedong – pendiri Partai Komunis Tiongkok – pada tahun
1927 guna melawan pasukan nasionalis yang dipimpin oleh Chiang Kai-
shek. Berangkat dari faktor kesejarahan ini, Xi Jinping sebagai pimpinan
Partai Komunis Tiongkok saat ini diuntungkan, sebab penerapan rivalitas
hegemoni militer yang terkandung dalam kebijakan Chinese Dream
menjadi lebih mudah lantaran posisi PLA yang langsung berada di bawah
komandonya, tanpa memerlukan jalur birokrasi panjang dan berkenaan
dengan fakta bahwa tujuan Partai Komunis Tiongkok (Chinese Dream)
sudah dipastikan sama dengan tujuan PLA itu sendiri.
111
PLA terdiri dari empat divisi utama dan dua divisi tambahan –
Divisi Bantuan Strategis dan Divisi Bantuan Logistik. Empat divisi utama
tersebut ialah PLA Angkatan Darat (PLAA), PLA Angkatan Laut (PLAN),
PLA Angkatan Udara (PLAAF) dan PLA Angkatan Roket (PLARF).
Keempat divisi utama ini kemudian menjadi kekuatan sentral bagi
kapabilitas kekuatan militer Tiongkok. Mulai dari April 2017 PLAA
merupakan angkatan darat terbesar di dunia dengan personel aktif
mencapai 915.000 (DIA, 2019: 55; Department of Defense of the United
States of America, 2018: 24-123). Pertama, setiap kelompok PLAA terdiri
dari unit infanteri baja, unit artileri, unit pertahanan udara, unit
Gambar 29.
Alur Komando PLA RRT
Sumber: Secretary of Defense, “Annual report To Congress: Military
and Security Developments Involving the People’s Republic of
China 2018”. Department of Defense of the United States of
America.
112
penanggulangan elektronik, unit pasukan khusus, unit penerbang dan unit
bantuan logistik (DIA, 2019: 58-59). Kedua, PLAN ialah pasukan
angkatan laut terbesar di regional dengan lebih dari 300 kombatan darat,
kapal selam, kapal amphibi, kapal patroli dan unit khusus (Department of
Defense of the United States of America, 2018: 28). Ketiga, PLAAF
berperan sebagai penutup ketimpangan antara fasilitas angkatan udara AS
dan Barat dengan teknologi penerbangan Timur. Sebagai contoh, pada
tahun 2017 PLAAF mempublikasikan Pesawat Penyerbu J-20 generasi ke-
lima guna menandingi dan mengalahkan spesifikasi Pesawat Penyerbu
terbaik AS, F-22 (US Raptor) dengan radius pertempuran lebih luas, yakni
sekitar 1.100 km – mengalahkan F-22 yang memiliki radius pertempuran
800km (Liu Zhen, 2019). Divisi utama terakhir dari PLA Tiongkok
bertugas untuk mengembangkan dan mengoperasikan senjata dengan data
destruktif tinggi, yaitu rudal dan nuklir balistik dari kemampuan jangkau
pendek hingga kemampuan jangkau antar-benua seperti yang ditunjukan
Gambar 32 dan Gambar 33.
113
Gambar 30.
Kapabilitas Serangan Konvensional RRT
Sumber: Secretary of Defense, “Annual report To Congress: Military
and Security Developments Involving the People’s Republic of
China 2018”. Department of Defense of the United States of
America.
114
Gambar 31.
Kapabilitas Rudal Balisik Nuklir RRT
Sumber: Secretary of Defense, “Annual report To Congress: Military
and Security Developments Involving the People’s Republic of
China 2018”. Department of Defense of the United States of
America.
115
Diperkuat dengan berbagai dukungan perangkat militer, penerapan
Chinese Dream sebagai bentuk rivalitas hegemoni diperjelas melalui
fenomena sengketa Laut Tiongkok Selatan. Bahkan militerisasi Tiongkok
di Laut Tiongkok Selatan mencerminkan beberapa layar target, di mana
AS merupakan target utama (Cheng-Chwee, 2016: 15). Melalui tulisan
tersebut, Cheng-Chwee menggabarkan bahwa manuver RRT di Laut
Tiongkok Selatan dapat diartikan sebagai bentuk usaha deterrent terhadap
eksistensi AS yang sejak berakhirnya Perang Dingin ini tidak pernah
ditantang oleh kekuatan militer manapun. Di samping itu, menurut hemat
penulis keputusan ekspansionis RRT lebih mengedepankan pertimbangan
penciptaan tujuan kembar satu abad yang terimplementasi melalui Chinese
Dream, walaupun kemudian diperhalus Xi Jinping bila: “China was not
expansionist nor does it seek to colonise others, but its position was "firm
and clear" on issues relating to its sovereignty and territorial integrity”
(Cheong, 2018). Presiden Xi menampik narasi tentang Tiongkok sebagai
negara ekspansionis, namun pada saat yang sama menegaskan kepentingan
Tiongkok guna menjaga teritorial mereka, walaupun menimbulkan
kecaman internasional.
Hingga saat ini PLA RRT telah memiliterisasi dua kepulauan
utama di Laut Tiongkok Selatan, yakni Kepulauan Spratly dan Kepulauan
Paracel. Laporan terakhir di tahun 2016 mencatat Spratly mampu
menampung 24 pesawat tempur dan beberapa pesawat besar lainnya,
armada kapal dan telah mengasramakan 200 pasukan di Fiery Cross –
bagian dari kepulauan Spratly; selanjutnya Kepulauan Paracels
memberikan Tiongkok kemudahan memantau Asia Tenggara dikarenakan
negara tersebut telah menerjunkan 1.400 personel militer lengkap dengan
fasilitas Angkatan Udara, yakni hanggar, landasan pacu, dan radar
(Friedman, Snyder & Ligon., 2017: 2-6).
116
Gambar 32.
Militerisasi RRT di Fiery Cross, Kepulauan Spratly
Sumber: CSIS, “Comparing Aerial and Satellite Images of China’s
Spratly Outposts”. Center for Strategic & International Studies.
117
Gambar 33.
Militerisasi RRT di Pulau Woody, Kepulauan Paracels
Sumber: CSIS, “Update: China’s Continuing Reclamation in the
Paracels”. Center for Strategic & International Studies.
118
Aktivitas militer Tiongkok sebagai bentuk pencarian hegemoni di
kawasan Indo-Pasifik, khususnya di Laut Tiongkok Selatan hingga tahun
2018 menunjukan peningkatan pembanguan fasilitas kemiliteran. Secara
lebih spesifik, temuan empirikal baik di Kepulauan Spratly maupun
Kepulauan Paracels mengindikasikan keseriusan Xi Jinping dalam
menerapkan kebijakan Chinese Dream, terutama mengenai prinsip
mempertahankan teritorial de facto terlepas dari tekanan interasional,
dalam hal ini berkenaan dengan respon Amerika Serikat.
5.3.2 Rivalitas Hegemoni Militer Free and Open Indo-Pacific
Salah satu perbedaan penting dari proses restrukturalisasi kekuatan
militer AS selama masa pemerintahaan Donald Trump ialah pembagian
komando geografis baru dan khusus untuk kawasan Indo-Pasifik (US Indo-
Pacific Command, USINDOPACOM). Pembentukan komando khusus di
kawasan Indo-Pasifik selanjutnya bertujuan untuk mendukung beberapa
tujuan AS, tiga di antaranya adalah pertama menjaga arsitektur keamanan
yang dipimpin oleh AS, atau dengan kalimat lain AS ingin
mempertahankan status quo sebagai negara hegemon; kedua,
mempertahankan perimbangan kekuatan (balance of power) yang
menguntungkan AS dan aliansinya sehingga memudahkan AS mengontrol
Indo-Pasifik; dan ketiga, mencegah Tiongkok menjadi hegemoni di
regional dan secara khusus mengontrol Laut Tiongkok Selatan (CRS,
2019: 33). Sebelum berlanjut pada bagaimana respon AS di bawah
kebijakan Free and Open Indo-Pacific terkait kemelut Laut Tiongkok
Selatan, maka terlebih dahulu penulis mengantar kepada kapabilitas militer
AS dalam rangka mempertahankan hegemoni militer.
Berbeda dengan militer RRT yang langsung berada dalam
komando Presiden sebagai pemimpin tertinggi Partai Komunis Tiongkok,
militer AS berada dalam wilayah komando Kementerian Pertahanan.
Kementerian Pertahanan AS memiliki tiga divisi militer, yakni Angkatan
Darat (Army), Angkatan Laut (Navy) dan Angkatan Udara (Air Force).
119
Adapun Angkatan Laut AS kemudian dibagi lagi menjadi navy dan marine
corps yang mana secara sederhana Navy bertugas sama dengan Angkatan
Darat di darat, sedangkan korps marinir (marine corps) merupakan
pasukan amfibi sehingga dapat mengeksekusi operasi militer di laut dan di
darat.
Pasukan Angkatan Darat AS tidak hanya beroperasi di daratan AS,
melainkan telah tersebar pada hampir semua negara dan terbagi
berdasarkan regional operasinya, seperti regional Eropa, Amerika Utara,
Afrika dan Indo-Pasifik. Pertama, AS hingga 2017 AS memiliki 1.018.000
prajurit Angkatan Darat yang terbagi atas 476.000 prajurit aktif, 199.000
prajurit cadangan dan 343.000 pasukan penjaga nasional (Cancian, 2017:
7). Selama pertarungan darat, militer AS utamanya menggunakan
kendaraan darat, seperti tank generasi ketiga M1A2 Abrams dan M2 atau
M3 Bradley (Wood, 2018: 323). Kedua, laporan Center for Strategic and
International Studies menunjukan kekuatan Angkatan Laut AS mengalami
peningkatan dari 275 kapal perang di tahun 2016 menjadi 292 di akhir
tahun 2018, dan walaupun jumlah kapal-kapal dewasa ini hanya berjumlah
Gambar 34.
Struktur Organisasi Kementerian Pertahanan AS
Sumber: AUSA, “Profile of the United States Army”. Association of the
United States Army.
120
setengah dari jumlah di tahun 1980-an, namun kapal-kapal kontemporer
memiliki kapasitas lebih besar bila dibandingkan kapal sejenis di masa
silam (Cancian, 2017: XI). Ketiga, Korps Marinir dapat dikatakan sebagai
divisi khusus dari Angkatan Laut AS. Dikatakan sebagai divisi khusus
karena misi yang dijalankan Korps Marinir bersifat amfibi dan mandiri
yang artinya setiap alutsista – di luar yang berkaitan dengan laut dan
perairan – yang digunakan (pesawat, helikopter, tank dan sebagainya)
tidak meminjam dari angkatan bersenjata lain sehingga menjadi lebih
efisien.
Terakhir, Angkatan Udara AS kini berfokus pada lima misi utama,
yakni superioritas udara dan angkasa; intelegensi, pengawasan dan
pengintaian; mobilitas; serangan global; dan kontrol dan komando. Guna
menjalankan misi tersebut, Angkatan Udara AS memiliki 329.000 prajurit
aktif yang dilengkapi dengan setidaknya tiga alustista utama, yaitu pesawat
tempur F-35 Lightning II, tanker KC-46, dan pesawat bomber B-21 Raider
(Gertler, 2018: 2). Adapun kapabilitas militer negara dewasa ini ditetukan
dari keberadaan rudal dengan jangkauan antar-benua yang menjadi senjata
pemusnah massal dikarenakan dapat mengangkut hulu ledak nuklir. Secara
spesifik dengan tujuan menjaga stabilitas hegemoni, AS hingga tahun 2018
diestimasikan memiliki 6.550 senjata nuklir dan di sisi lain memiliki
teknologi rudal dengan daya jangkau 11.300 km (Davenport & Reif, 2018:
1; DW, 2017).
121
Gambar 35.
Jumlah Senjata Nuklir AS, 1962-2017
Sumber: Kelsey Davenport & Kingston Reif “Nuclear Weapons: Who
Has What at a Glance”. Arms Control Assocation.
Gambar 36.
Jangkauan Misil Balistik Antar-Benua
Sumber: DW, “What is an intercontinental ballistic missile?”. Deutsche
Welle.
122
Secara spesifik, didorong oleh kapasitas militer yang mumpuni dan
demi menjaga posisi hegemon di kawasan, maka AS harus ikut terlibat
dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan di kawasan Indo-Pasifik.
Keharusan untuk terlibat dalam segketa Laut Tiongkok Selatan termaktub
dalam pengertian Free and Open Indo-Pacific, yang mana diartikan
Asisten Deputi Sekretaris Biro Hubungan Asia Timur dan Pasifik AS,
Alex Wong bahwasannya free merupakan intensi AS guna membebaskan
Indo-Pasifik dai praktek koersi dan open adalah keterbukaan jalur kelautan
dan jalur udara (Wong, 2018). Adapun tujuan khusus AS selama terlibat
dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan adalah menahan RRT membangun
pangkalan militer lebih lanjut; menahan RRT dari penambahan
penempatan personel militer, peralatan militer dan suplai lainnya; dan
menahan RRT melakukan reklamasi di Kepulauan Spratly dan Paracels
(CRS, 2019: 33-34). Langkah utama dan pertama yang diambil Presiden
Donald Trump ialah mengkhususkan dan menempatkan komando militer
di regional Indo-Pasifik.
Gambar 37.
Komando Regional Militer AS
Sumber: AUSA, “Profile of the United States Army”. Association of the
United States Army.
123
Administrasi Trump sejauh ini terbilang paling serius melakukan
pendekatan dan konfrontasi terhadap Tiongkok akibat kemelut Laut
Tiongkok Selatan. Pada 9 Januari 2018 AS menuding RRT telah
melakukan “militerisasi provokatif” sehingga AS akan turun tangan
melakukan patroli, yang kemudian diteruskan Juru Bicara Gedung Putih,
Sarah Sanders pada 3 Mei 2018 bila AS segera memberikan konsekuensi
jangka pendek dan jangka pandang (Lo, 2018; Brunnstrom & Ali, 2018).
Keseriusan Trump dan kebijakan Free and Open Indo-Pacific terbukti
dengan setidaknya sembilan operasi patroli kebebasan navigasi Angkatan
Laut AS di kepulauan-kepulauan Laut Tiongkok Selatan, seperti dalam
tabel 5.7 berikut.
Tabel 5.7
Operasi Patroli AS di Laut Tiongkok Selatan
Tanggal Lokasi Jenis Kapal
25 Mei 2017 Pulau Mischief di Kepulauan
Spratly
Dewey (DDG-105)
2 Juli 2017 Pulau Triton di Kepulauan
Paracels
Stethem (DDG-63)
10 Agustus 2017 Pulau Mischief di Kepulauan
Spratly
John S. McCain (DDG-
56)
10 Oktober 2017 Kepulauan Paracels Chaffee (DDG-90)
17 Januari 2018 Pulau Mischief di Kepulauan
Spratly
Hopper (DDG-70)
23 Maret 2018 Pulau Mischief di Kepulauan
Spratly
Mustin (DDG-89)
27 Mei 2018 Pulau Tree, Lincoln, Triton dan
Woody di Kepulauan Paracels
Antietam (CG-54) dan
Higgins (DDG-76)
30 September
2018
Pulau Gaven dan John di
Kepulauan Spratly
Decatur (DDG-73)
26 November
2018
Kepulauan Paracels Chancellorsville (CG-62)
Sumber: CRS “China’s Actions in South and East China Seas: Implications for
US Interests – Background and Issues for Congress”, 2019, diolah.
124
Pada analisis Bab 5, penulis menemukan adanya rivalitas kebijakan
Chinese Dream dan Free and Open Indo-Pacific yang terwujud melalui tiga aspek
implementasi, yakni aspek ekonomi, aspek politik dan aspek militer. Selanjutnya,
pada aspek ekonomi penulis mendapati rivalitas Chinese Dream dan Free and
Open Indo-Pacific aspek bermaktub dalam persaingan antara implementasi Belt
and Road Initiative (BRI) milik RRT dengan tujuan menguasai empat-tempat
strategis di kawasan Indo-Pasifik, yakni di antaranya daerah pelabuhan, rel
keretam jalan antarnegara dan jembatan. Di pihak lain implementasi persaingan
ekonomi milik AS terwujud melalui kontrol AS terhadap Bank Dunia untuk
menghadirkan proyek infrastrukur serupa (jalan dan jembatan) di kawasan Indo-
Pasifik, khususnya di Bangladesh dan India.
Aspek politik dari rivalitas RRT dan AS dapat dilihat pada bagaimana
kedua negara menjalin kerja sama multilateral dan fokus pada stabilitas politik di
Semenanjung Korea. Di sisi RRT, Chinese Dream diterapkan melalui kerja sama
multilateral CICA sebagai instrumen pemindah ketegangan politik dan RCEP
untuk mencitrakan niat baik RRT; sedangkan fokus penciptaan stabilitas politik
Semenanjung Korea dilakukan RRT melalui pertemuan berkala dengan Korea
Selatan dan Korea Utara (lihat tabel 5.3). Adapun aspek politik AS dalam
kebijakan Free and Open Indo-Pacific dilancarkan melalui pembentukan satuan
kerja Quadrilateral beranggotakan AS, Australia, Jepang dan India; serta
melakukan inisiatif negosiasi dengan Korea Utara dan Korea Selatan (lihat tabel
5.5).
Aspek rivalitas terakhir yang ditemukan penulis ialah persaingan militer
Chinese Dream dan Free and Open Indo-Pacific. RRT berusaha memaksimalisasi
teknologi persenjataan angkatan bersenjata serta melakukan proliferasi fasilitas
rudal balistik berkekuatan nuklir, dan membangun pangkalan militer di Kepulauan
Spratly dan Paracels. Kemudian, berkaca dari manuver RRT, AS menempatkan
komando militer khusus di Indo-Pasifik – USINDOPACOM – dan menggelar
patroli militer berkala di sekitar Laut Tiongkok Selatan, dalam hal ini di Spratly
dan Paracels.