ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

24
Ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh Indonesia Ratifikasi adalah proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya. Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional. Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression). Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma). Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma yang diadopsi pada tanggal 17 Juli 1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” di kota Roma, Italia. Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan

Upload: hidayat-muhtar

Post on 24-Jan-2017

149 views

Category:

Law


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Ratifikasi Statuta Roma 1998 oleh Indonesia

Ratifikasi adalah   proses  adopsi perjanjian internasional,   atau konstitusi atau  dokumen   yang 

bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap konstitusi) melalui persetujuan dari tiap 

entitas kecil di dalam bagiannya.

Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk mengadili 

kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional. Kejahatan yang dimaksud 

terdiri dari empat jenis, yaitu kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap 

kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi 

(the crime of aggression).

Berbeda   dengan   mahkamah   internasional   sebelumnya   yang   sifatnya   ad   hoc,   seperti 

International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal

for Rwanda (ICTR),  Mahkamah Pidana  Internasional  merupakan pengadilan  yang permanen 

(Pasal  3(1)  Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi  kejahatan yang terjadi  setelah 

Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma).

  Mahkamah  Pidana   Internasional   (International Criminal Court -   ICC)  didirikan  berdasarkan 

Statuta Roma yang diadopsi  pada tanggal  17  Juli  1998 oleh 120 negara yang berpartisipasi 

dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an

International Criminal Court” di kota Roma, Italia. 

Statuta Roma memuat banyak pengaman yang menjamin penyelidikan dan penuntutan hanya 

dilakukan untuk kepentingan keadilan, bukan kepentingan politik. Meskipun Dewan Keamanan 

PBB   dan   negara   dapat  merujuk   kepada   Jaksa   Penuntut  Mahkamah   Pidana   Internasional, 

keputusan untuk melaksanakan penyelidikan merupakan wewenang Jaksa Penuntut. Namun, 

Jaksa Penuntut tidak hanya akan bergantung pada Dewan Keamanan PBB atau rujukan negara 

saja,   tetapi   juga   akan  mendasarkan   penyelidikannya   berdasarkan   informasi   dari   berbagai 

sumber.   Jaksa   Penuntut   harus   meminta   kewenangan   dari  Pre-Trial Chamber baik   untuk 

melakukan  penyelidikan  maupun  penuntutan  dan  permintaan   tersebut  dapat   digugat  oleh 

negara

Page 2: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

URGENSI Ratifikasi Statuta Roma

Keharusan ratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008 tidak hanya karena alasan normatif bahwa 

hal tersebut sudah disebutkan dalam RANHAM 2004 – 2009. Ratifikasi Statuta Roma juga akan 

memberikan kontribusi yang sangat positif penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia dan 

perdamaian   kawasan   dan   dunia.   Selain   itu,   ratifikasi   Statuta   Roma   juga   akan  menjadikan 

Indonesia   dipandang   sejajar   dengan   bangsa-bangsa   lain   di   dunia   yang   sudah   lebih   dulu 

mengikatkan dirinya pada tatanan keadilan internasional.

Secara terperinci, arti penting dan keuntungan-keuntungan ratifikasi Statuta Roma pada tahun 

ini dijelaskan sebagai berikut:

Pada   tahun   2004,   Presiden  Megawati   Sukarnoputeri  mengesahkan   Rencana   Aksi   Nasional 

tentang   Hak-Hak   Asasi  Manusia   (RANHAM)   2004   -2009.   Rancangan   tersebut  menyatakan 

bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008. Untuk melaksanakan 

Rancangan   tersebut,   Presiden   membentuk   sebuah   Komite   Nasional.   Dalam   beberapa 

kesempatan, pemerintah juga menyatakan bahwa Statuta Roma sedang dipelajari dan bahwa 

legislasi nasional perlu dibuat demi keperluan kerjasama dengan Mahkamah sebelum ratifikasi 

dilaksanakan.

Pada Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia berpartisipasi  dalam konferensi regional 

dengan   seluruh  parlemen  Asia   tentang  Mahkamah  Pidana   Internasional   dan   berjanji   akan 

bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Tahun 2007 

telah   didirikan   pula  Parliamentarian for Global Action (PGA)  Indonesia Chapters,   dimana 

sekretariat   internasional   PGA   selama   ini   sangat   aktif  mendukung   universalitas  Mahkamah 

Pidana Internasional .

Page 3: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Manfaat Meratifikasi Statuta Roma Bagi Indoensia

a. Menghapuskan Berbagai Praktik Impunitas

Peratifikasian   Statuta   Roma   sangat   diperlukan   oleh   Indonesia,   apalagi   ketika   kita  melihat 

contoh-contoh penanganan kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Indonesia yang 

berakhir   dengan   kegagalan   Pengadilan   untuk   menemukan   dan   menghukum  “the most

responsible persons”.

Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk menghentikan dan mencegah 

praktik impunitas terhadap pelaku kejahatan internasional yang serius yang diatur oleh Statuta 

Roma serta  membuat  perubahan  signifikan  atas  perilaku  aktor  negara-bangsa.  Para  pelaku 

kejahatan demikian tidak dapat bebas dari penuntutan sekalipun mereka adalah representasi 

dari   kedaulatan  negaranya.  Dengan  kata   lain   terdapat  tiga  hal  penting   karena  keberadaan 

Mahkamah Pidana  Internasional  sebagai  pencegah  terjadinya kejahatan serius   internasional 

sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. 

Pertama, para penguasa tidak dapat lagi melakukan praktik dengan alasan apapun termasuk 

melakukan impunitas dengan maksud melindungi menggunakan mekanisme hukum nasional 

baik   dengan   jalan  menggelar   pengadilan   yang   bertujuan  melindungi   pelaku   yang   ataupun 

pengampunan (amnesty).

Para penguasa itu harus berpikir panjang untuk membuat kebijakan politiknya yang berakibat 

pada   munculnya   kejahatan   serius   karena   Mahkamah   Pidana   Internasional   memiliki 

kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan yang serius 

yang terjadi  serta menentukan peradilan nasional yang digelar telah memenuhi persyaratan 

independen dan imparsial. 

Kedua, sehubungan dengan jangkauan Mahkamah Pidana Internasional yang sangat luas dalam 

menerapkan yurisdiksinya sekalipun kehadirannya bersifat komplementer. Para pelaku selain 

tidak dapat berlindung melalui mekanisme perundangan nasional negaranya juga tidak dapat 

berlindung  pada negara   lain   sekalipun negara   itu  bukan  menjadi  pihak  dari   statuta.  Dalam 

praktiknya,  negara-negara yang telah menjadi  pihak telah melakukan transformasi   terhadap 

Page 4: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional sehingga ketentuan-ketentuan statuta 

menjadi bagian dari hukum nasional secara penuh.

Ketiga, khusus bagi negara-negara yang mengirimkan pasukan perdamaian, Mahkamah Pidana 

Internasional   justeru  melindungi   personil   pasukan   penjaga   perdamaian   dari   kemungkinan 

tindakan-tindakan   yang   dikategorikan   sebagai   kejahatan   serius   internasional   dan   bukan 

sebaliknya mengancam eksistensi pasukan penjaga perdamaian yang melakukan operasinya di 

daerah konflik. Dengan kata lain, Mahkamah Pidana Internasional memberikan perlindungan 

hukum bagi personel pasukan penjaga perdamaian.

b. Mengatasi Kelemahan Sistem Hukum Indonesia

Membawa pelaku kejahatan internasional ke pengadilan dan menghukumnya adalah bentuk 

dari   kewajiban  Negara  (state responsibility) dan  wujud   perlindungan  HAM   yang   diberikan 

Negara kepada warganegaranya. Namun, untuk melaksanakan kewajiban tersebut, Indonesia 

sering terhambat oleh berbagai kelemahan dan tidak memadainya sistem hokum yang ada.

c. Perlindungan Saksi dan Korban

Proses peratifikasian Statuta Roma merupakan upaya pencegahan terjadinya kejahatan dengan 

akibat  yang  lebih besar di  kemudian hari,   juga memberikan perlindungan dan reparasi  bagi 

korban. Selain melaksanakan penghukuman bagi pelaku, pemberian kompensasi kepada korban 

adalah merupakan salah satu bentuk tanggung jawab Negara ketika terjadi pelanggaran HAM 

yang berat di wilayahnya. 

Aturan perlindungan korban untuk pelanggaran berat HAM di Indonesia diatur dalam Pasal 34 

UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan diikuti oleh PP No. 2 Tahun 2002 tentang 

Perlindungan   Saksi   dan   Korban   sebagai   aturan   pelaksanaannya.   Namun   jika   dibandingkan 

dengan Statuta Roma, banyak aturan dalam Statuta Roma tidak terakomodasi dalam peraturan 

tersebut. Misalnya, adanya  Trust Fund untuk kepentingan saksi dan korban yang didapat dari 

hasil denda atau penebusan, yang pengaturannya diserahkan kepada Majelis Negara Pihak

Page 5: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

d.Percepatan Proses Reformasi Hukum di Indonesia

Konsekuensi   logis   dari   peratifikasian   suatu   ketentuan   internasional   yaitu   bahwa   negara 

peratifikasi terikat dengan aturan dalam konvensi tersebut. Dengan meratifikasi Statuta Roma, 

maka Indonesia akan segera terdorong untuk membenahi  instrumen hukumnya yang belum 

memadai  agar  selaras  dengan aturan dalam Statuta Roma. Hal   ini  dikarenakan prinsip non-

reservasi  dalam peratifikasian  Statuta Roma,  yang berarti bahwa negara peratifikasi   tunduk 

pada semua aturan dalam Statuta Roma. Untuk mengefektifkan implementasi Statuta Roma, 

Negara   yang   telah  meratifikasi   diwajibkan  membuat   aturan   implementasi   yang   dilakukan 

melalui   proses   harmonisasi   perangkat   hukum   nasional   disertai   dengan   sosialisasi   aturan 

tersebut kepada berbagai elemen yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia.

e. Efektivitas Sistem Hukum Nasional

Dalam Statuta Roma ditegaskan bahwa penyelesaian suatu perkara tetap mengutamakan upaya 

hukum nasional baik secara formal maupun material dengan prinsip dan asas-asas yang sesuai 

dengan   hukum   internasional.   Artinya,   Mahkamah   Pidana   Internasional   justru   membuka 

kesempatan yang besar untuk mengefektifkan sistem hukum nasional dan pengadilan domestik 

dalam menuntut para pelaku kejahatan. 

Ini  yang  disebut  pendekatan komplementer  melalui  pola  yang  strategis  dan   lebih   terfokus. 

Artinya,  hal   ini  dapat  mendorong para  penegak  hukum dan pemerintah serta  semua pihak 

untuk turut aktif dalam penegakan hukum dan perlindungan HAM. Sehingga dengan menjadi 

pihak Mahkamah Pidana Internasional  mau tidak mau suatu negara akan termotivasi  untuk 

melaksanakan penegakan HAM melalui pengefektifan hukum dan sistem peradilan nasionalnya 

yang  dilatarbelakangi   salah  satu  prinsip   fundamental  Mahkamah Pidana   Internasional   yaitu 

prinsip complement

f. Peningkatan Upaya Perlindungan HAM

Adanya Mahkamah Pidana Internasional dapat menjadi motivator untuk terus menggiatkan dan 

meningkatkan peran Indonesia dalam upaya perlindungan HAM internasional,  seperti tujuan 

negara  yang  tertuang  dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu   turut  aktif  dalam upaya  menjaga 

ketertiban dan perdamaian dunia.  Serta  menunjukan komitmen  Indonesia  bahwa  Indonesia 

Page 6: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

dapat  melaksanakan  perlindungan  HAM melalui  pengadilan  HAM secara  efektif  dan  efisien 

dengan menjamin prinsip pertanggungjawaban individu, penuntutan dan penghukuman bagi 

pelaku kejahatan.

g. Posisi Diplomatik

Ratifikasi   Indonesia   akan   menempatkan   Indonesia   sebagai   salah   satu   pendukung   utama 

keadilan  internasional.  Dalam pelaksanaannya,   Indonesia akan bergabung dengan  lebih dari 

setengah   masyarakat   dunia   untuk   meyakinkan   bahwa   sistem   keadilan   yang   efektif   akan 

mencegah   kejahatan   terburuk  yang  pernah   terjadi   terhadap  kemanusiaan  dan  memastikan 

adanya perlindungan bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk Indonesia sendiri.

Page 7: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Landasan Yuridis bagi ratifikasi statute roma

Undang Undang Dasar 1945

UUD 1945  telah  merumuskan  pengaturan  perlindungan  HAM dalam UUD 1945  baik  dalam 

Pembukaan maupun batang tubuh. Dalam Pembukaan, secara eksplisit dan implisit Indonesia 

mengemukakan pernyataan dan komitmennya dalam upaya perlindungan HAM. Dimana salah 

satunya   dilakukan  melalui   peran   aktif   dalam   upaya  melaksanakan   ketertiban   dunia   yang 

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang juga merupakan salah 

satu tujuan bangsa Indonesia.

Bahwa   paska   reformasi,   UUD   1945   mengalami   perubahan   penting   dalam   rangka   untuk 

menjamin perlindungan hak asasi manusia baik dalam bidang hak-hak sipil dan politik maupun 

yang termasuk dalam hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Pada tahun 2002, perubahan Kedua 

UUD 1945 menambahkan aturan yang lebih rinci berkenaan dengan pengaturan perlindungan 

HAM khususnya di bidang hak-hak sipil dan politik, yaitu dalam BAB X A Pasal 28A – Pasal 28J. 

Sebelumnya pengaturan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan HAM secara rinci 

hanya diatur dalam Undang Undang dan perangkat hukum lainnya di bawah UUD. Kemudian 

pada tahun 2002, perlindungan HAM lebih menitikberatkan pada perlindungan HAM 

di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

RANHAM 2004-2009

Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009 berdasarkan Keppres No.40 

Tahun 2004 tanggal 11 Mei 2004 diantaranya mencakup persiapan ratifikasi instrumen HAM 

internasional dan penerapan norma dan standar HAM. Peratifikasian Statuta Roma merupakan 

hal   yang   sejalan   dengan   pelaksanaan   RANHAM   2004-2009  menegaskan   itikad   baik   serta 

komitmen   Indonesia   dalam   rangka   perlindungan   HAM   internasional   yang   selaras   dengan 

hukum nasional. Agenda ratirikasi Statuta Roma dalam RANHAM akan dilaksanakan pada tahun 

2008, dan hal itu berarti tahun ini. 

Page 8: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Urgensi peratifikasian Statuta Roma sudah semakin mendesak, untuk melengkapi mekanisme 

penyelesaian   pelanggaran   HAM   dan   komitmen   Indonesia   dalam   upaya   perlindungan   dan 

penegakan hukum HAM. Ratifikasi Statuta Roma diperlukan agar dapat mendorong kemajuan 

perlindungan HAM dan penegakan hukum terutama dalam konteks perbaikan sistem peradilan 

Indonesia.

KUHP, RUU KUHP dan KUHAP

KUHP   Indonesia   belum   mengatur   tentang   Kejahatan   Genosida,   Kejahatan   Terhadap 

Kemanusiaan, dan Kejahatan Perang sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. Baru pada tahun 

2000, Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan masuk dalam leksikon hukum 

nasional  sebagai  pelanggaran HAM yang berat  yang diatur  secara khusus dalam UU No. 26 

Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun demikian, Prinsip-prinsip dalam hukum pidana 

yang dianut oleh ICC yang juga telah diatur dalam KUHP Indonesia, yakni prinsip legalitas (non-

retroactive principle), pertanggungjawaban individual, hal tentang penyertaan, percobaan dan 

pembantuan serta pemufakatan. 

Dari sisi hukum acara, terdapat perbedaan yang cukup besar. Dalam Statuta Roma semua unsur 

penegak   hukum   dalam   sistem   peradilan   ICC   bersifat   independen,   berdiri   sendiri   tanpa 

pengaruh   pihak  manapun,   begitu   juga   dengan   proses   beracaranya   yang   berbeda   dengan 

perkara pidana biasa yang merupakan gabungan antara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. 

Sedangkan dalam Pengadilan HAM kita yang diatur oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2000, 

hukum acara yang digunakan adalah sama dengan acara yang terdapat dalam KUHAP dengan 

sistem kita yang menganut Eropa Kontinental.

Dalam Rancangan UU KUHP Tahun 2006, telah dimasukkan kejahatan-kejahatan yang menjadi 

jurisdiksi   ICC  (kejahatan genosida,  kejahatan terhadap kemanusiaan,  dan kejahatan perang) 

menjadi bagian RKUHP. Pengaturan ini diantaranya terdapat dalam Buku Kedua

Page 9: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

UU No. 39 Tahun 1999

Undang-Undang   ini  merupakan awal   tonggak  pengaturan HAM karena  Undang  -Undang  ini 

mengatur mengenai hak-hak mendasar yang wajib mendapat perlindungan diantaranya yang 

termasuk dalam hak-hak sipil dan politik serta yang termasuk dalam hak-hak ekonomi, sosial 

dan   budaya.   Undang-Undang   ini  mengatur   tentang   KOMNAS  HAM   sebagai   lembaga   yang 

independen.   Lembaga   independen   ini   diantaranya   memiliki   fungsi   pengkajian,   penelitian, 

penyuluhan, pemantuan dan meditasi tentang hak asasi manusia. 

Berkaitan dengan forum internasional, Undang Undang ini pun tidak menentang adanya upaya 

yang dilakukan ke forum internasional dalam rangka perlindungan HAM bilamana upaya yang 

dilakukan di forum nasional tidak mendapat tanggapan. Pasal 7 ayat (1) Undang Undang No. 39 

Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak  untuk mengajukan semua upaya 

hukum nasional   dan   forum   internasional   atas   semua  pelanggaran  hak   asasi  manusia   yang 

dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah 

diterima negara Republik Indonesia. Maksudnya bahwa mereka yang ingin menegakan HAM 

dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum Indonesia terlebih 

dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum di tingkat regional maupun 

internasional. Hal ini seiring dengan prinsip komplementer yang dianut ICC

Page 10: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Beberapa asas yang ada dalam penerapan ICC dan statute roma

(1)  Hukum Pidana   Internasional   dalam  arti   lingkup   territorial pidana   nasional (internasional

criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) ;

(2) Hukum Pidana Internasional dalam arti kewenangan  internbasional yang terdapat di dalam 

hukum   pidana internasional (international criminal law in the meaning of internationally

priscribel municipal criminal law); 

(3)  Hukum Pidana   Internasional   dalam arti   kewenangan internasional   yang   terdapat  dalam 

hukum   pidana   nasional (international criminal law in the meaning of internationally

authorized municipal criminal law);

(4)   Hukum   Pidana   Internasional   dalam   arti   ketentuan   hukum  pidana nasional   yang   diakui 

sebagai   hukum   yang   patut   dalam kehidupan   masyarakat   bangsa   yang 

beradab (internationalcriminal law in the meaning of municipal criminal law common

to civilised nations);

(5)   Hukum   Pidana   Internasional   dalam   arti   kerja   sama   internasional dalam   mekanisme 

administrasi   peradilan   pidana   nasional (international criminal law in the meaning of

international co-operation in the administration of municipal criminal justice);

(6) Hukum Pidana International dalam arti materiil (international criminal law in the material

sense of the word

Kontralitas ratifikasi statute roma 1998

1. Bahwa   insonesia   adalah  Negara   hukum   yang   berdaulat   dan   berdiri   dengan   kekuasaan   ke 

hakiman sendiri tanpa campur tangan Negara dan organisasi lain, yang mengisaratkan bahwa 

segala sesuatu penegakan hukum harus di lakukan dan di selesaikan menurut hukum nasional 

dan di lakukan di wilayah Indonesia.

2. Bahwa Indonesia sebagai Negara dengan dasar pancasila memiliki falsafah dasar yaitu persatuan 

Indonesia dimana persatuan Indonesia ini berarti kita sebagai bangsa adalah satu kesatuan dan 

tidak   pantas   jika   ada   saudara   kita   yg   bersalah   maka   melaporkannya   ke   bangsa   lain 

(kesetiakawanan nasional) 

3. Bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah satu satunya keuasaan yg berwenang menurut 

UUD 45 sebagai pengadil dalam hal terjadinya pelanggaran hukum. 

Page 11: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

4. Bahwa denagn adanya  uu no 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM secara keseluruhan telah 

mengakomodir semua yg ada dalam statute roma dalam lingkungan  hukum nasional sehingga 

tidak perlu membuat ratfikasi, karena secara yuridis segalapelanggaran ham yang di akomodir 

oleh statute roma telah dapat di pidana oleh pengadilan HAM nasional

Salah  satu  opini   lainya   tentang  penolakan   ratifikasi   statute   roma dating dari  AS  adalah 

bahwa Mahkamah akan dapat menerapkan yurisdiksinya atas peristiwa yang terjadi di dalam 

wilayah   sebuahnegara   yang   telah   menerima   yurisdiksi   Mahkamah.   AS   mendesak   agar 

Mahkamahhanya   dapat   menerapkan   yurisdiksinya   jika   negara   dimana   tersangka   adalah 

warganyatelah   menerima   yurisdiksi.   Dubes   Scheffer   mencela   basis   teritorial   bagi 

yurisdiksiMahkamah sebagai  “sebuah bentuk yurisdiksi  yang dipaksakan atas negara-negara

yang bukan Negara Pihak” ini menurutnya, “bertentangan dengan prinsip paling mendasar

dari hukum perjanjian”. Meskipun ungkapan itu bias dibilang keras, tidak ada yang luar biasa 

jika sebuah negara punya kuasa untuk memutuskan bagaimana menghakimi sebuah kejahatan 

yang terjadi di dalam wilayahnya, terutama jika kejahatan itu termasuk diantara yang paling 

serius yang bisa dibayangkan. Memang kenyataannya, basis teritorial bagi yurisdiksi memang 

sangat kuat, bahkan lebih kuat dari kewarganegaraan. Sangat mengejutkan jika pemerintah AS 

mengklaim  bahwa  negaranegara   yang   berdaulat   punya   yurisdiksi   yang   terbatas   di  wilayah 

mereka sendiri.

Page 12: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Ratifikasi Statuta Roma oleh Indonesia

Masih sangat jelas di ingatan rakyat Indonesia peristiwa 1965, Semanggi I, Semanggi II,

Tragedi Trisakti, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok, Penembak Misterius, Penculikan

Aktivis 1998, Kasus-Kasus di Papua dan Aceh, Timor Leste, dan masih banyak lagi. Bagaimana

kemudian kejadian-kejadian tersebut membawa perubahan dalam pandangan masyarakat Indonesia

tentang Hak Asasi Manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut menyadarkan masyarakat Indonesia

mengenai pentingnya perlindungan terhadap HAM di negara ini. Namun ternyata jatuhnya ribuan

(bahkan jutaan) korban jiwa tidak mampu menghukum pelaku-pelaku pelanggaran HAM berat

tersebut. Hal ini terbukti dari tidak ada satupun pelaku pelanggaran HAM yang dijatuhi putusan

hukum yang mengikat. Dari total 34 orang tertuduh dari bebagai kasus yang dibawa ke pengadilan,

hanya 18 orang yang dinyatakan bersalah, dan semua pada akhirnya dibebaskan dalam tahap banding

atau kasasi. Hal ini menyebabkan keprihatinan rakyat Indonesia di bidang penegakan hukum

terhadap pelanggaran HAM berat. Dari sinilah muncul dorongan-dorongan agar pemerintah

Indonesia meratifikasi Statuta Roma yang mengatur mengenai pengadilan HAM internasional yaitu

International Criminal Court (ICC).

Indonesia sendiri telah berkali-kali berjanji akan meratifikasi Statuta Roma dan

menjadikannya sebagai hukum nasional, namun hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Statuta

Roma sehingga Indonesia belum termasuk dalam negara pihak ICC. Dengan demikian dapat ditarik

sebuah pokok permasalahan dari latar belakang tersebut, yaitu: mengapa Indonesia harus meratifikasi

Statuta Roma? Sebelum masuk kedalam pembahasan, terlebih dahulu akan dijelaskan megenai

Statuta Roma. Statuta Roma menjelaskan tentang kejahatan, tentang bagaimana pengadilan akan

bekerja, dan negara-negara mana saja yang harus bekerjasama dalam hal tersebut.3 Pada 17 Juli 1998,

120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries

on the Establishment of an International Criminal Court menyetujui dibentuknya International

Criminal Court (ICC) yang diadopsi dari Statuta Roma tersebut.

Page 13: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Pengadilan Pidana Internasional (ICC = The International Criminal Court) merupakan

sebuah lembaga yudisial independen yang permanen, yang diciptakan oleh komunitas negara-negara

internasional, untuk mengusut kejahatan yang mungkin dianggap sebagai yang terbesar menurut

hukum internasional seperti: genosida, kejahatan lain terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.

ICC berhak menuntut dan mengadili pelaku-pelaku pelanggaran HAM di negara-negara pihak.

Namun keberlakuan ICC tidaklah surut, artinya ICC hanya dapat mengadili dan menuntut peristiwa

pelanggaran HAM yang terjadi setalah ICC terbentuk. Prinsip yang dianut oleh ICC adalah prinsip

saling melengkapi atau komplementer yang berarti ICC hanya akan bertindak untuk mengadili kasus

pelanggaran HAM berat tersebut apabila pengadilan nasional tidak mau (unwilling) atau tidak

mampu (unable) melakukan penuntutan dan peradilan suatu pelanggaran HAM berat.5

Alasan pertama untuk menjawab pokok permasalahan adalah ratifikasi Statuta Roma oleh Indonesia

adalah bentuk perlindungan hak asasi manusia dari warga negara Indonesia oleh negara dan sebagai

bentuk pembayaran utang pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh negara. Kegagalan

negara untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM di masa lalu menjadi pendorong utama bagi

pemerintah untuk meratifikasi Statuta Roma. Padahal UUD 1945 telah jelas mengatur dan

melindungi HAM rakyat Indonesia, dan dalam pasal 28 I ayat 4 dinyatakan: “Perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama

pemerintah.” Jelas dinyatakan bahwa negara harus berperan aktif melindungi dan menegakkan HAM

warga negaranya. Bentuk penegakkan dan perlindungan terhadap HAM adalah hukuman bagi

pelaku-pelaku pelanggaran HAM. Memang Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 26 tahun

2000 tentang Pengadilan HAM yang adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi

manusia yang berat (UU NO. 26 tahun 2000 pasal 1 angka 3). Pengadilan ini bersifat ad hoc

(sementara) dan mampu mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau (berlaku

surut). Namun sesuai dengan fakta yang telah saya sampaikan di awal, hingga saat ini tidak ada

satupun pelaku pelanggaran HAM berat yang dihukum. Hal ini menunjukan tidak memadainya

perlindungan HAM yang disediakan pemerintah melalui pengadilan HAM.

Page 14: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Dengan diratifikasinya Statuta Roma, maka Indonesia akan menjadi negara pihak yang tunduk pada

yuridiksi ICC. Namun, sifat menundukkan diri ini bukanlah bersifat mutlak (absolute) melainkan

bersifat pelengkap (complementary). Artinya, pengadilan pidana internasional hanya berwenang

mengadili bila pengadilan umum dalam sistem hukum nasional suatu negara tidak bersedia

(unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk mengadili suatu perkara.Adapun patokan dari negara

yang tidak bersedia mengadili suatu perkara jika terdapat keputusan nasional yang melindungi orang

bersangkutan, keterlambatan yang tidak dapat dibenarkan, dan perkara-operkara tersebut sedang

tidak atau tidak diselesaikan secara independen (pasal 17 ayat 2 Statuta Roma). Sedangkan patokan

tidak mampu sesuai pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah apabila terdapat ketidakmampuan secara

menyeluruh atau kegagalan substansial dari sistem yudisial nasional negara tersebut. Ketika salah

satu syarat dalam pasal tersebut terpenuhi, maka ICC berhak mengadili perkara pelanggaran HAM

berat di negara tersebut (negara pihak yang meratifikasi Statuta Roma).

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa alasan dari berbagai aspek yang menyebabkan tidak

ada pelaku pelanggaran HAM yang dihukum. Praktek impunitas yang masih sangat mengakar di

Indonesia terlalu sulit untuk dipecahkan oleh sistem peradilan nasional, apalagi mengingat pelaku

pelanggaran HAM adalah orang-orang yang berkuasa. Masalah mengenai impunitas ini sudah lama

didaulat sebagai alasan mengapa sangat sulit untuk menjerat pelaku-pelaku pelangggaran HAM kelas

kakap. Dan bukannya melihat orang-orang yang kuat diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM

menjalankan hukumannya, kita malah bisa melihat mereka di TV ataupun baliho kampanye. Begitu

ironis.

Karena itulah sudah saatnya pemerintah menyadari bahwa merupakan suatu keharusan untuk

melengkapi sistem peradilan HAM nasional di Indonesia dengan ICC demi terwujudnya suatu

kepastian hukum bagi pelanggaran HAM berat di Indonesia. Walaupun tidak berlaku surut,

keberadaan Indonesia sebagai negara ICC memastikan bahwa tidak akan ada pelaku pelanggaran

HAM di masa depan yang lepas dari tanggung jawabnya karena sistem peradilan HAM Indonesia

yang masih lemah. Keberadaan UU No. 26 tahun 2006 jelas tidak cukup. Walaupun banyak pihak

yang menganjurkan revisi UU Pengadilan HAM, namun menurut saya hal tersebut masih belum

cukup untuk memutus rantai impunitas di Indonesia. Contohnya adalah dugaan pelanggaran HAM di

Aceh saat pra-GOM (gerakan Operasi Militer), pelaksanaan GOM, dan paska GOM7 yang bahkan

terjadi setelah UU Pengadilan HAM disahkan. Yang terjadi ternyata para petinggi negara yang patut

diduga berada di belakang kasus tersebut tetap dapat melenggang bebas. Jika Indonesia tidak segera

meratifikasi Statuta

Page 15: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Roma, bayangkan harus berapa orang lagi yang jatuh menjadi korban pelanggaran HAM berat dan

berapa orang lagi yang akan dapat melenggang bebas dengan segala pelanggaran HAM berat yang

dilakukannya. Utang pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara di masa lalu

seharusnya sudah cukup memaksa pemerintah untuk mengambil langkah konkrit untuk melindungi

HAM warga negaranya, setidaknya untuk masa mendatang. Dengan meratifikasi Statuta Roma dan

menjadi negara yang tunduk pada yuridiksi ICC, maka akan ada kepastian adanya pelaku yang akan

dihukum walaupun hukum nasional tidak mampu menjangkaunya karena alasan tidak mampu

(unable) maupun tidak mampu (unwilling). Mengapa? Karena ICC adalah pengadilan internasional

yang independen, imparsial, dan tidak memiliki kepentingan lain selain menegakkan keadilan dalam

kasus pelanggaran HAM berat.

Alasan berikutnya adalah dengan meratifikasi Statuta Roma, maka negara telah mengambil

langkah nyata untuk mwujudkan salah satu tujuan Negara Indonesia yang termaktub dalam Alinea IV

Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Indonesia telah mengakui bahwa sbegai bagian

dari masyarakat internasional, Indonesia harus ikut berperan secara aktif untuk menjaga ketertiban

dan perdamaian dunia. Usaha untuk mengirimkan pasukan perdamaian PBB memang baik, namun

tidaklah cukup karena hanya bersifat teknis dan sementara. Sementara dengan meratifikasi Statuta

Roma, maka Indonesia berada dibawah yuridiksi ICC. Bukan hanya ICC dapat mengadili

pelanggaran HAM berat yang ada di Indonesia, ICC juga dapat melakukan penyidikan yang

berkaitan dengan pelanggaran HAM di negara lain di Indonesia. Negara peratifikasi berkewajiban

untuk bekerjasama dalam investigasi dan penuntutan dalam bentuk penerapan dalam hukum

nasional.Dengan demikian, Indonesia jelas telah membantu penegakkan HAM bukan hanya di

Indonesia saja tetapi juga di negara-negara lain demi tercapainya international justice. Hal ini

ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 3074 yang menyatakan bahwa penerapan jurisdiksi

internasional mengikat semua Negara anggota PBB, “setiap negara berkewajiban untuk bekerjasama

satu sama lain secara bilateral atau multilateral untuk mengadili mereka yang dianggap

bertanggungjawab melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.” Dengan

meratifikasi Statuta Roma, Indonesia juga dapat memiliki posisi yang menguntungkan Indonesia

sendiri di dalam ICC sendiri. Indonesia bisa mendapat hak preferensi secara aktif dan langsung

dalam segala kegiatan ICC dan kesempatan untuk menjadi bagian dari organ ICC. Dengan hal-hal

tersebut Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup kuat, bahkan untuk melindungi warga

negaranya yang menjadi subjek ICC.

Page 16: Ratifikasi statuta roma_1998_oleh_indonesia

Meratifikasi Statuta Roma menjadi bukti komitmen Indonesia sebagai negara yang

demokratis untuk melindungi HAM warganya dan menjaga keamanan dunia. Jadi Indonesia tidak

akan lagi dinilai sebagai negara yang hanya berkoar-koar akan melindungi HAM tanpa ada langkah

yang nyata. Bahkan Kamboja yang masih muda dalam demokrasi dan upaya perlindungan HAM

telah meratifikasi Statuta Roma. Karena itulah, menurut saya Indonesia sudah seharusnya

meratifikasi Statuta Roma jika dilihat dari segi upaya mencapai kedamaian dunia. Dengan menjadi

negara pihak dalam Statuta Roma, Indonesia juga harusnya termotivasi untuk tidak menjadi negara

yang “unwilling” dan “unable” untuk menghukum pelanggaran HAM di negara kita sendiri.

Sebelum meratifikasi Statuta Roma harus dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi Statuta Roma

dengan perturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini harusnya tidaklah sulit jika mengingat

Statuta Roma hanya bersifat komplemen (pelengkap) dan pada dasarnya semangat perlindungan

HAM Statuta Roma dan Peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sama. Juga harus

dilakukan diseminasi aturan-aturan dalam Statuta Roma melalui penyebarluasan aturan-aturan dalam

Statuta Roma dengan cara memberikan pengarahan dan pendidikan kepada penegak hukum di

Indonesia.

Dengan demikian saya meyakini bahwa sudah seharusnya Indonesia sesegera mungkin

meratifikasi Statuta Roma dengan dua alasan mendasar. Pertama, ratifikasi Statuta Roma adalah

bentuk awal yang nyata dari pemerintah Indonesia untuk melunasi utang masa lalunya dengan

melindungi HAM warga negaranya, bahkan seluruh penduduk yang menempati wilayah Indonesia.

Kedua, dengan meratifikasi Statuta Roma, Indonesia menunjukkan komitmennya untuk turut

menjaga perdamaian dunia sesuai dengan tujuan negara. Saya akan mengakhiri esai saya dengan

ungkapan: justice delayed is justice denied. Semakin lama Indonesia menunda ratifikasi Statuta

Roma, semakin lama pula keadilan dapat ditegakkan.