kebaikan (al-Ṯayyib) dan balasannya dalam...

81
KEBAIKAN (AL-AYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’AN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh Dwi Siska NIM: 1113034000195 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 M

Upload: trannga

Post on 03-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA

DALAM AL-QUR’AN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh

Dwi Siska

NIM: 1113034000195

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,
Page 3: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,
Page 4: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,
Page 5: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

i

ABSTRAK

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana kebaikan

(ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an, dari masalah pokok tersebut bertujuan

untuk mengungkap masalah kebaikan (ṯayyib). Untuk menjawab permasalahan

pokok di atas maka perlu dilakukan penelitian pustaka (library research) secara

keseluruhan data bersumber dari referensi- referensi tertulis yang berhubungan

dengan topik pembahasan. Kemudian melihat tafsir ayat dalam beberapa kitab

tafsir yaitu kitab tafsir al-Maragi karya Ahmad Mustafa al-Maragi, tafsir al-

Mishbah karya M.Quraish Shihab, Shafwatut Tafsir: tafsir-tafsir pilihan karya

Muhammad Ali al-Shabuni.

Mengenai hasil, setelah diadakan pengkajian terhadap permasalahan

tersebut, bahwa dalam al-Qur‟an kata ṯayyib ditemukan dalam beberapa bentuk,

yaitu: pertama mufrad mudzakar. Kedua, Bentuk mufrâd muannats. Ketiga,

bentuk jama‟. Adapun dalam bentuk mufrad mudzakar diantaranya mengenai sifat

makanan dalam surah al-Baqarah[2]: 168. Adapun bentuk mufrâd muannats

semuanya disebutkan sebagai kata sifat untuk sesuatu yang tidak ada kaitannya

dengan makanan, diantaranya, dalam surah ali-Imrân[3]: 38. Adapun bentuk

jamak semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian, yaitu sifat makanan, sifat

usaha atau rezeki, sifat perhiasan, dan sifat perempuan seperti al-Mâidah[5]: 4-5.

Kata ṯayyib adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan, termasuk

di dalamnya apa yang diperintahkan dan dibolehkan oleh agama atau akal yang

sehat. Allah swt memberikan balasan kebaikan dari kata ṯayyib bagi orang yang

selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan-Nya, orang yang

beriman yang hatinya senantiasa menyebut nama Allah swt, dan orang yang

melakukan perbuatan yang dapat memperbaiki diri dalam akhlaknya, yaitu

balasan yang Allah swt berikan berupa ditumbuhkan tanaman yang subur,

disediakannya berbagai rezeki, dan disediakannya surga.

Page 6: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya. Dan atas kehendak-Nya, alḥamdulillāh penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu

tercurahkan kepada makhluk terbaik-Nya, Nabi Muhammad saw., yang telah

menunjukkan kepada kita Tuhan itu Allah dan mengajarkan syariat-Nya kepada

seluruh umat agar tetap di jalan yang dikehendaki-Nya hingga akhirnya sampai ke

tempat yang abadi. Semoga semua orang yang mengenal dan mengaguminya

mendapatkan syafa‟atnya, di hari saat matahari hanya beberapa senti dari ujung

rambut.

Skripsi yang berjudul “KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA

DALAM AL-QUR’AN” akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan

penulis. Kebahagiaan yang tidak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat

mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga, dan pihak-

pihak yang andil dalam mensukseskan harapan penulis.

Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini selesai bukan semata dari

hasil karya tangan penulis sendiri, tetapi juga karena bantuan dari beberapa pihak

yang dengan tulus meluangkan waktu meski hanya sekedar menuangkan aspirasi

ataupun hanya sekedar memberi motivasi kepada penulis. Tanpa mereka,

penulisan skripsi ini akan terasa sangat berat. Karena itu, sudah sepantasnya pada

kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Segenap civitas akademi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Dede

Page 7: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

iii

Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis

sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan

arahan, bimbingan, kritikan, pelajaran, dan lain-lain. Semoga dirahmati

Allah, sehat, dimudahkan segala urusannya, Amin. Ucapan terima kasih

teruntuk Dra. Banun Binaningrum, M. Pd., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir

Hadis yang selalu bersedia membantu dan melayani semua proses. Semoga

selalu diberi kesehatan jasmani dan rohani.

4. Segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan

birokrasi. Segenap staf Perpustakaan Umum (PU), Perpustakaan fakultas

(PF), dan Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) yang telah membantu

meminjamkan buku-buku dan beberapa literatur dalam penulisan skripsi

ini.

5. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku dosen pembimbing penulis yang

telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga

skripsi dapat terselesaikan. Semoga Bapak selalu sehat dan diberikan

kelancaran dalam segala urusannya.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, terimakasih atas ilmu dan bait-bait

nasihat yang telah diberikan dengan tulus kepada saya.

7. Kepada keluarga besar Pon-Pes Raudhatul Mujawwidin teruntuk Abi

Burhan Jamil dan Ummi Ulil Azmi Dewi Chafsoh, betapa sabarnya dalam

Page 8: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

iv

mendidik dan memberi nasihat kepada penulis.

8. Kepada orang tua kami di Padepokan Ayatirrohman Ngasah Roso, bapak

Mustofa dan ibu Lilik Ummi Kaltsum beserta Putra-putrinya, Arifah Liqa

Rabbani, Irfan Ayatirrahman Mushaffa, dan Ahmad Ubayd Fazlurrahman.

Semoga Allah swt senantiasa memberikan kesehatan, semangat belajar,

dan ketaatan kepada-Nya. Kepada seluruh guru saya baik yang formal

maupun nonformal tempat penulis menuntut ilmu dari tingkat dasar hingga

sekarang. Semoga Allah swt memberikan keberkahan usia dan ilmu yang

manfa‟at.

9. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas pengorbanan kedua orang tua

tercinta penulis, Bapak Supardi dan Ibu Painten yang telah memberikan

segala dukungan baik materil maupun immateril serta doanya sehingga

penulis dapat menyelesaikan masa studi S1. Teruntuk kakak saya

Pariyanto, adik Silvia Yuningsih, dan keluarga besar penulis yang maaf

tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga keberkahan selalu menyertai

keluarga besar kita.

10. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2013 khususnya kelas F, teman-teman

KKN PLATINUM (khususnya addi), seperjuangan skripsi Anggi,

Hasanah, Azza, Silma, Nova, serta keluarga besar di Padepokan, Rossa

(oca) yang bersedia membantu nerjemahin kitab, Ni‟mah, Maimun, Anita,

Rif‟ah, Fatimah, Diana, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu

persatu, terimakasih tiada tara untuk kalian yang selalu mendukung,

memberikan semangat kepada penulis.

11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

Page 9: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

v

ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah

memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka.

Amin.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini.

Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu agama,

khususnya pengembangan ilmu al-Qur‟an dan Hadis.

Ciputat, Desember 2018

Dwi Siska

Page 10: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................................... I

KATA PENGANTAR........................................................................................................ II

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... VI

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................. VIII

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ............................................................. 1

B. IDENTIFIKASI MASALAH ............................................................................... 8

C. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH .................................................. 8

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................................................ 8

E. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 9

F. METODE PENELITIAN .................................................................................. 11

BAB II KEBAIKAN (ṮAYYIB) DALAM AL-QUR’AN ....................................... 15

A. PENGERTIAN ṮAYYIB .................................................................................... 15

B. DERIVASI ṮAYYIB ......................................................................................... 18

C. SINONIMITAS KATA ṮAYYIB .......................................................................... 19

1. Al-Birr .................................................................................................... 19

2. Al- Ma‟rûf ............................................................................................... 22

3. Al-Iẖsân .................................................................................................. 26

4. Al-Khair .................................................................................................. 29

Page 11: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

vii

5. Al-Sâlih ................................................................................................... 31

BAB III NISBAH KATA ṮAYYIB, OBJEK DAN BALASANNYA DALAM

PENAFSIRAN .................................................................................................................... 33

A. NISBAH KATA ṮAYYIB ................................................................................... 33

1. Kota QS. al-A‟râf[7]: 58 ........................................................................ 33

2. Makanan QS. al-A‟râf[7]: 32 ................................................................. 38

3. Sikap Malaikat yang Mencabut Nyawa QS. al-Nahl[16]: 32 ................. 41

4. Angin QS. Yûnus[10]: 22 ....................................................................... 45

5. Akidah QS. al-Mâidah[5]: 100 ............................................................... 48

B. OBJEK KATA ṮAYYIB .................................................................................... 50

1. Orang yang Bersyukur ............................................................................ 50

2. Orang yang Beriman .............................................................................. 51

3. Orang yang Mengerjakan Amal Shalih .................................................. 52

C. BALASAN KATA ṮAYYIB ............................................................................... 53

1. Ditumbuhkan Tanaman yang Subur ....................................................... 53

2. Disediakan Berbagai Rezeki................................................................... 54

3. Disediakan Surga .................................................................................... 55

BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 57

A. KESIMPULAN ............................................................................................... 57

B. SARAN......................................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 59

Page 12: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab-Latin pada skripsi ini menggunakan buku

Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013.

A. Padanan Aksara

HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN

tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ث

ts te dan es د

j je ج

h h dengan garis bawah ح

kh ka dan ha ر

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis di bawah ص

d de dengan garis di bawah ض

t te dengan garis di bawah ط

Page 13: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

ix

z zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan „ ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ه

m em م

n en ى

w we

h ha

apostrof ‟ ء

y ye ي

B. Vokal

Vokal dalam bahasa arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal, ketentuan alih

aksaranya adalah sebagai berikut:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

a fathah ـ

i kasrah ـ

u dammah ـ

Page 14: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

x

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai

berikut:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

ai a dan i ـ ي

au a dan u ـ

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN

â ىا

a dengan topi di

atas

î ىي

i dengan topi di

atas

û ى

u dengan topi di

atas

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan

huruf, yaitu اه, dialihaksarakan menjadi huruf/I/, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-

dîwân.

E. Syaddah (Tasydîd)

Page 15: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

xi

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini

tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata

sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata رة ر tidak الض

ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya.

F. Ta marbûta

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata

yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf/h/ (lihat

contoh di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti

oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut

diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf/t/

(lihat contoh 3).

G. Huruf Kapital

Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam

alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan

yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara

lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

NO KATA ARAB ALIH AKSARA

قطري 1 tarîqah

al-jâmi‟ah al-islamiyyah الجاهعتاإلسالهيت 2

wahdat al-wujûd ددةالجد 3

Page 16: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

xii

nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata

sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri

tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî

bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan

dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)

atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak

miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal

dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarankan meskipun akar

katanya berasal dari bahasa arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbânî,

tidak „Abd al- Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Ranîrî, tidak Nûr al-Dîn al-

Rânîrî.

H. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)

ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-

kalimat dalam bahasa arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

KATA ARAB ALIH AKSARA

dzahaba al-ustâdzu ذةاألسخاذ

األجرثبج tsabata al-ajru

al-harakah al-„asriyyah الذرمالعصريت

هللا asyhadu an lâ ilâha illâ allâh أشدأىالإلإال

الاهللالصالخ maulânâ malik al-sâlih ه

Page 17: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

xiii

yu‟atstsirukum allâh يؤثرمنهللا

رالعقلي تالوظا al-mazâhir al-„aqliyyah

يت al-âyât al-kauniyyah اآلياثالن

راث رةحبيخالوذظ ر al-darûrat tubîhu al-mahzûrât الض

Page 18: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Segala bentuk tindakan manusia mengacu pada pandangannya tentang

baik dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan menjadi sumber

rujukan dalam melakukan berbagai tindakan hidupnya. Aristoteles menyatakan

bahwa manusia dalam semua perbuatannya bagaimanapun juga mengejar sesuatu

yang baik. Oleh sebab itu, definisi baik adalah sesuatu yang dikejar atau dituju

yang pada intinya terbagi ke dalam dua macam nilai yaitu: kebaikan sebagai alat

dan kebaikan sebagai nilai tersendiri.1

Kebaikan dan keburukan menjadi persoalan yang sering mengundang

perdebatan disebabkan kekeliruan manusia dalam memaknai kehidupan yang

sesungguhnya, karena mereka mengukur segala sesuatu dari sudut pandang

duniawi yang menurut mereka merupakan tujuan akhir dari kehidupan ini. Dunia

merupakan tujuan akhir bagi selain orang mukmin, karena mereka tidak meyakini

adanya akhirat.2

Berusaha memperoleh sesuatu yang baik dengan tangannya sendiri dan

menikmati kekayaan yang berada di bumi, karena kekayaan itu merupakan nikmat

Allah swt yang wajib disyukuri. Manusia ditempatkan di bumi di tengah-tengah

makhluk Allah swt yang lain agar berusaha memperoleh penghidupan dan sebagai

1 Burhanudin Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta,

2000), h. 31. 2 Mohammad Motawalli as-Sya‟rawi, Meluruskan Paradigma Tentang Baik dan Buruk.

Penerjemah Usman Hatim (Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah, 2010), h. 9.

Page 19: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

2

imbalannya iapun dibebani kewajiban baik terhadap Allah swt maupun terhadap

sesama makhluk-Nya di dunia.3

Perintah yang harus dilaksanakan, larangan yang harus dijauhi, dan

peraturan yang harus ditaati oleh manusia yang pada saatnya akan dimintai

pertanggung jawaban. Dari suatu perbutan manusia tersebut ada hikmah dan

rahasia di balik sesuatu yang ditetapkan Allah swt, yang tidak bisa diketahui

manusia. Semua amal manusia akan diperhitungkan kemudian mendapatkan

balasan dari Allah swt.4 Allah swt menjanjikan adanya balasan atas kebaikan

sebagaimana yang dijelaskan dalam sûrah al-Mâidah/5: 9.

“Allah swt telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang

beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Balasan bagi orang-orang yang baik atas kesenangan kehidupan dunia

yang mereka lewatkan demi melaksanakan tugas mulia dengan melaksanakan

perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ampunan dan pahala yang besar tersebut

merupakan bukti keridhaan Allah swt terhadap mereka.5 Allah swt telah

menjanjikan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang sesuai dengan isi hati

mereka dan membuktikannya dengan beramal saleh, bagi mereka ampunan

terhadap dosa-dosa mereka dan pahala yang besar baik di dunia maupun di

akhirat.6

Di antara tujuan syariat Islam adalah perhatian terhadap kebersihan

manusia dan pembebasannya dari berbagai kotoran, baik yang tampak maupun

3 Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia diungkap al-Qur‟ân, h. 32-34.

4 Anwar Sutoyo, Manusia Dalam Perspektif al-Qur‟ân, cet 1 (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2015), h. 65-67. 5 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟ân di Bawah Naungan al-Qur‟ân. Penerjemah.

Ainur Rafiq Shaleh Tamhid vol. III (Jakarta: Rabbani Press, 2002), h. 537-538. 6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Vol. III

(Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 43.

Page 20: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

3

yang tidak tampak dan mempersiapkannya dari sisi rohaninya yang benar-benar

suci dan bersih agar dapat naik ke puncak kemuliaan, keagungan, dan

kesempurnaan.7 Al-Qur‟an secara tegas menyeru kepada umat manusia mencari

dan mengambil yang baik dengan mempergunakan kata ṯayyib seperti dalam QS.

al-A„râf[7]: 157

“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang

(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi

mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma„ruf dan melarang mereka

dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik

dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka

beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang

yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya

yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur‟an), mereka itulah orang-orang

yang beruntung.”

Sebagaimana dijelaskan Hamka Haq dalam bukunya bahwa masalah yang

cukup peka bagi kehidupan keseharian umat islam adalah persoalan halal dan

haram seperti fasilitas kebutuhan jasmani misalnya tempat tinggal, pakaian,

kendaraan, dan termasuk makanan dan minuman.8

Dalam al-Qur‟an Allah swt menyuruh para Rasul untuk makan dari yang

ṯayyib (baik) QS. al-Mu‟minûn[23]: 51

7 Muhammad „Alî al-Șabûnî, Qabas min Nûr al-Qur‟an, juz 1-2 (Beirut: Dar al-Qalam,

1988), h. 79. 8 Hamka Haq, syari„at Islam: Wacana dan Penerapannya (Makassar: Yayasan al-Ahkam,

2003), h. 101.

Page 21: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

4

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah

amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Kata al-Ṯayyib âh adalah bentuk jamak dari kata al-Ṯayyib dari segi

bahasa berarti baik, lezat, menentramkan paling utama dan sehat. Makna kata

tersebut dalam konteks makanan adalah makanan yang tidak kotor dari segi

zatnya, rusak, atau tercampur najis. Dapat juga dikatakan ṯayyib dari makanan

adalah yang mengandunng selera yang memakannya, tidak membahayakan fisik

dan akalnya serta halal.9 Sabda Rasulullah saw:

“Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: wahai sekalian

manusia sesungguhnya Allah swt baik tidak menerima kecuali yang baik pula.”

Ṯayyib adalah sebuah kata sifat yang merupakan fungsi semantik yang

paling dasar untuk menunjukkan kualitas yang menjelaskan perasaan-perasaan

untuk rasa dan bau seperti, sangat menggembirakan, senang, dan manis.

Sebagaimana yang dinyatakan kata ini seringkali digunakan untuk menunjukkan

makanan, air, wangi-wangian, dan semacamnya.11

Semua manusia pasti mencari kebaikan akan tetapi sedikit sekali diantara

mereka yang mengetahui secara persis kebaikan yang hakiki. Kebanyakan

manusia mencari kebaikan dunia dan lupa akan kebaikan akhirat. Hal ini jelas

merupakan sebuah pandangan yang keliru, sebab orang Islam yang melakukan

9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 199.

10 Abu al-Hasan Muslim bin al-Hallaj bin Muslim al-Qusyairy, Șaẖîẖ Muslim, juz 1

(Bandung: Maktabah Dahlan, t.th), h. 406. 11

Toshiko Izutsu, Etico-Religius Concepts in the Qur’an. Penerjemah. Agus Fahri Husein (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 282.

Page 22: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

5

perbuatan yang seperti itu berarti telah menukar sesuatu yang dikira-kira untuk

memperoleh sesuatu yang diyakini.12

Seperti dalam surah al-Baqarah[2]: 201

“Dan diantara mereka ada yang berdoa, Tuhan kami anugrahilah kami

hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah (kebaikan) di akhirat dan peliharalah

kami dari siksa neraka.”

Yang mereka mohonkan bukan segala kesenangan dunia, tetapi yang

sifatnya hasanah bahkan bukan hanya di dunia tetapi juga memohon hasanah di

akhirat. Oleh karena itu perolehan hasanah belum termasuk keterhindaran dari

keburukan, bisa jadi hasanah itu diperoleh setelah mengalami siksa maka mereka

menambahkan permohonan mereka dengan berkata, dan pelihara pulalah kami

dari siksa neraka.13

Dalam kehidupan manusia disebut sebagai makhluk terpuji dan makhluk

tercela, dibebani taklif (kewajiban) maka dari itu dapat menjadi makhluk yang

berbuat baik dan dapat pula menjadi makhluk yang berbuat buruk, manusia

bertanggung jawab atas perbuatannya.14

“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan,

(berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan

meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan

tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai,

dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin

bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah

12

Mutawalli Sya„rawi, al-Khair wa al-Syar. Penerjemah. Tajuddin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1994), h. 58.

13 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. vol. I,

h. 412. 14

Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia diungkap Qur‟ân, cet 1 (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1991), h. 11.

Page 23: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

6

dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata):

“Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami

akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Ayat ini dapat menjadi salah satu bukti cepatnya Allah swt membalas

makar dengan menampilkan contoh pengalaman manusia ketika berada dilautan

ayat ini juga menjadi bukti bagaimana Allah swt dengan cepat mengubah nikmat

atau rahmat-Nya dengan petaka serta betapa buruk sifat manusia yang tidak tahu

berterima kasih. Kata (ريخ) rîh adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya yaitu

riyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang bentuk tunggal(رياح)

untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk tunggal,

kendati yang dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Hal ini

dipahami dari penyebutan sifat angina itu, yaitu (طيبت) ṯayyibah yang maknanya

adalah yang sesuai dengan yang diinginkan.15

Al-Sya„râwî menjelaskan kata rîh juga digunakan makna kekuatan

sebagaimana dalam Sûrah al-Anfâl[8]: 46 “wa tadzhabu rîhukum” (“dan hilang

kekuatanmu”).16 Perjalanan darat dikenal luas di kalangan masyarakat Arab

apalagi daerah Arabia yang dipenuhi oleh padang pasir. Adapun pelayaran yang

mereka lakukan antar lain dalam perjalanan musim dingin ke Yaman. Al-Qur‟an

menyebut dua macam perjalanan mereka. Musim panas yaitu ke daerah Syam

(Syria, Palestina, dan Yordania) dan musim dingin ke Yaman. Adapun redaksi

15

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an vol.

VI (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 52-54. 16

Muhammad Mutawalî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya„râwî (al-Azhar: Mujamma„ al-Buhûs

al-Islamiyyah), h. 5849.

Page 24: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

7

yang digunakan dalam ayat ini adalah balasan atas kemantapan syukur yang luar

biasa.17 Firman Allah swt dalam Sûrah al-Mujâdalah[58]: 7

“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa

yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,

melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang,

melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang

kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di

manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka

pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui segala sesuatu.”

M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan ayat tersebut

bahwa Allah swt akan memberitakan kepada mereka lalu memberi mereka

balasan dan ganjaran menyangkut apa yang telah mereka kerjakan, memberinya

secara sempurna pada hari kiamat nanti.18

Bahasa al-Qur‟an sebagai bahasa yang paling murni, keluasan, dan

kedalaman makna yang dikandung al-Qur‟an dengan uslub dan bahasa yang

dipergunakannya, sehingga kedalaman makna itu tidak dapat diukur oleh

kejeniusan manusia. al-Qâdî Abu Bakr al-Baqillâni mengemukakan bahwa segi

kemukjizatan al-Qur‟an terletak pada susunan kalimat serta kepadatan isinya.19

Bahwasanya setiap perbuatan kebaikan itu akan mendapat balasan, baik di

dunia maupun di akhirat. Pengungkapan kata kebaikan dalam al-Qur‟an

17

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 54. 18

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 71. 19

Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur‟an Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam

al-Qur‟an, cet. 5 (Jakarta: Penamadani, 2008), h. 189-190.

Page 25: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

8

menggunakan kata yang berbeda-beda antara lain: ṯayyib, birr, ma‟rûf, ihsân,

khair, sâlih, dengan berbagai derivasi dalam menyampaikan pesan-pesannya.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan agar skripsi ini

mengarah kepada pembahasan yang diharapkan, maka penulis membatasi

permasalahan hanya pada kata kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an.

B. Identifikasi Masalah

Bila diidentifikasi, maka masalah yang akan muncul dari topik di atas

adalah:

1. Apa saja kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an?

2. Bagaimana kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an?

3. Bagaimana mufassir menafsirkan kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam

al-Qur‟an?

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan agar skripsi ini

mengarah kepada pembahasan yang diharapkan, maka penulis membatasi

permasalahan kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an hanya pada QS.

al-A‟râf[7]: 32 dan 58, al-Nahl[16]: 32, Yûnus[10]: 22, al-Mâidah[5]: 100.

2. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas

yaitu: bagaimana kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah:

Page 26: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

9

1. Memberikan informasi mengenai kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam

al-Qur‟an.

2. Melengkapi salah satu tugas akhir perkuliahan program strata satu (S-1)

pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan tafsir Hadis, Universitas Islam Negeri

Syarif hidayatullah Jakarta.

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Menambah pengetahuan dan khazanah keislaman.

2. Agar memperdalam ilmu pengetahuan penulis, khususnya dalam kajian al-

Qur‟ân.

E. Tinjauan Pustaka

Dari tinjaun pustaka yang telah penulis telusuri dari penelitian terdahulu

yang relevan ditemukan beberapa penelitian sebagai berikut:

1. Skripsi karya Ahmad Toib yang berjudul Mutaradif dalam al-Qur‟an Studi

kata ṯayyib dan Hasan dalam Tafsi

2. r al-Bahr al-Muhit, Fakultas UshuluddinUIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

2018. Dalam skripsinya ia menjelaskan mutaradif kata ṯayyib dan hasan.

Abu Hayyan dalam tafsir al-Bahr al-Muhit menafsirkan makna kata ṯayyib

memiliki makna sesuai dengan kata apa yang digandengnya. Bisa

bermakna sesuatu yang baik, sesuatu yang suci dan bersih, sesuatu yang

halal, amal shalih, orang yang beriman, dan bias bermakna kalimat tauhid

dan kalimat tahmid. Begitu pun dengan kata hasan memiliki makna sesuai

dengan kata apa yang digandengnya. Bisa bermakna sesuatu yang baik,

niat yang tulus, taat dan patuh, sesuatu yang bagus dan indah, sesuatu yang

disenangi dan disukai, sesuatu yang halal.

Page 27: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

10

3. Disertasi karya Abd Syukur Abu Bakar yang berjudul Konsep al-Ṯayyib

Perspektif al-Qur‟an, Program Pascasarjana UIN Alauddin, Makassar

2013. Dalam disertasinya menjelaskan tentang bagaimana hakekat al-

Ṯayyib , usaha-usaha untuk memperoleh dan urgensi al-Ṯayyib dalam al-

Qur‟an adalah kesempurnaan iman dan taqwa, kebulatan tekad dalam

setiap tingkah laku yang baik semata-mata karena Allah swt. Pencapaian

yang al-Ṯayyib diupayakan dengan kerja keras dan penuh keikhlasan

dalam mencari karunia yang disediakan Allah swt dengan cara yang baik

dan benar, meningkatkan segala amal ibadah kepada Allah swt.

Dengimplementasikan al-Ṯayyib dalam kehidupan, akan memiliki makna

yang urgen terhadap perolehan keberkahan, keridhaan, kemuliaan, dan

kesejahteraan.

4. Skripsi karya Kasmawati yang berjudul, Makanan Halal dan ṯayyib

Perspektif al-Qur‟an: Kajian Tahlili dalam QS. al-Baqarah[2]:168,

Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin, Makassar 2014.

Dalam skripsinya ia menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam QS. al-

Baqarah[2]:168 yaitu jenis makanan yang halal dan ṯayyib. Makanan halal

merupakan sesuatu yang dibolehkan menurut syara‟, selain itu makanan

halal harus dilihat dari segi halalnya yakni: makanan halal secara zatnya,

cara memperolehnya, cara prosesnya. Selain itu makanan halal mempunyai

kriteria yang harus diperhatikan menurut ajaran Islam. Sedangkan ṯayyib

merupakan sesuatu yang baik tidak membayakan tubuh bila dikonsumsi.

Dalam al-Qur‟an juga memiliki ruang lingkup tentang makanan bernutrisi

Page 28: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

11

dan serta macam-macam makanan yang bergizi. Serta dilihat juga dari

pandanagan ulama dan medis dalam menjelaskan ẖalâlan ṯayyiban.

Berangkat dari tinjauan pustaka di atas, maka penelitian yang akan penulis

lakukan belum pernah diteliti secara mendalam karenanya menjadi penting

penelitian ini dilakukan.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah menggunakan penelitian kepustakaan (library

research) yang bersifat murni,20 yang berarti bahwa secara keseluruhan data

bersumber dari referensi- referensi tertulis yang berhubungan dengan topik

pembahasan.

2. Sumber Data

a. Sumber Primer

Sumber primer yaitu sumber-sumber yang memberikan data secara

langsung dari tangan pertama atau merupakan sumber asli.21 Menurut Sumadi

Suryabrata, sumber primer adalah sumber yang langsung dikumpulkan oleh

peneliti dari sumber pertamanya.22 Dalam penelitian ini, sumber primernya adalah

ayat-ayat al-Qur‟an.

b. Sumber Sekunder

20

Library murni yang berarti semua bahan yang dibutuhkan bersumber dari bahan-bahan

tertulis. Lihat Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1990), h. 257-

258. 21

S. Nasution, Metodologi Research: Penelitian Ilmiah (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.

150. 22

Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 39.

Page 29: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

12

Sumber Sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari sumber yang

kedua dari data yang kita butuhkan.23 Terkait tema yang akan dibahas, sumber

data ini berupa kitab-kitab atau buku-buku, jurnal, karya ilmiah lainnya terkait

dengan masalah yang akan dibahas. Kitab-kitab tafsir yang digunakan dan

dijadikan rujukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah tafsir al-Maragi karya

Ahmad Mustafa al-Maragi, tafsir al-Mishbah karya M.Quraish Shihab, Shafwatut

Tafsir: tafsir-tafsir pilihan karya Muhammad Ali al-Shabuni.

Selanjutnya mengenai literatur tentang makna kata ṯayyib penulis

menggunakan kamus seperti: kamus Mu‟jam al-Mufradât li al-Fâḏ al-Qur‟an

karya Al-Râghib al-Asfahânî, Mu'jam Maqâyis al-Lughah karya Abu Husain

Ahmad ibn Fâris ibn Zakaria.

3. Teknik Pengolahan Data

Data-data yang telah dikumpulkan akan diolah dengan metode deskriptif yaitu

dengan mendeskripsikan data-data dan diikuti dengan analisis dan interpretasi terhadap

data tersebut.24

Adapun langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam pengolahan data,

penulis merujuk kepada metode Abdul al-Hayy al-Farmawi.25

a. Menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara mauḏû‟i, yaitu

tema tentang kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an.

b. Menghimpun ayat-ayat yang membicarakan topik yang di maksud.

c. Menyusun ayat-ayat menurut kronologi masa turunnya atau sebab-

sebab (asbab al-Nuzul) jika ada.

23

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian kuantitatif: Komunikasi Ekonomi, dan

Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 132. 24

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik

(Bandung: Tarsito, 1990), h. 139. 25

„Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i. Penerjemah. Suryan A. Jamrah

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 45.

Page 30: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

13

d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-

masing suratnya.

e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,

sempurna, dan utuh.

f. Melengkapi pembahasan dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga

pembahasan semakin sempurna dan jelas.

g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dengan cara

menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,

mengkompromikan antara yang umum dan khusus, antara yang tak

terbatas (mutlaq) dengan yang terbatas (muqayyad), mensinkronkan

ayat-ayat yang tampaknya saling bertentangan. Maka dari itu, tidak

akan ditemukan perbedaan dan pertentangan ayat-ayat serta pemaksaan

pengertiannya yang tampak sangat jauh dari kandungan ayat yang

sebenarnya.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan, penulis mengacu kepada Pedoman Akademik,

sub-sub Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Bagian Biro

Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri Program

Strata 1 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah.

5. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya dalam empat bab, dimana

setiap babnya mempunyai spesifikasi dan penekanan mengenai topik tertentu,

yaitu:

Page 31: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

14

Bab pertama berupa pendahuluan yng menjelaskan gambaran umum dan

pentingnya penelitian ini dilakukan. Pada bab ini terdiri dari latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.

Bab kedua tentang kebaikan (ṯayyib) dalam al-Qur‟an yang terdiri dari

pengertian kata ṯayyib, derivasi kata ṯayyib, sinonimitas kata ṯayyib: al-birr, al-

ma‟rûf, al-ihsân, al-Khair dan al-Sâlih.

Bab ketiga, menjelaskan tentang kata ṯayyib dalam penafsiran yang terdiri

dari tiga sub bab. Sub bab pertama berisi tentang nisbah kata ṯayyib yaitu kota

dalam QS. al-A‟râf[7]: 58, makanan dalam Q.S al-A‟râf[7]: 32, sikap malaikat

yang mencabut nyawa dalam Q.S al-Nahl[16]: 32, angin dalam Q.S Yûnus[10]:

22, dan Akidah dalam Q.S al-Mâidah[5]: 100. Sub bab kedua tentang objek kata

ṯayyib yaitu orang yang bersyukur, orang yang beriman, orang yang mengerjakan

amal shalih. Sub bab ketiga tentang balasan kata ṯayyib yaitu ditumbuhkan

tanaman yang subur, disediakan berbagai rezeki, disediakan surga.

Bab keempat merupakan penutup yang berisi kesimpulan hasil penelitian

dan saran-saran yang dibutuhkan untuk pengembangan penelitan selanjutnya.

Page 32: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

15

BAB II

KEBAIKAN (ṮAYYIB) DALAM AL-QUR’AN

Sebelum berbicara lebih jauh tentang konsep kebaikan (ṯayyib) dalam al-

Qur‟an, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang definisinya agar dalam

penjelasan lebih jauhnya nanti tidak ada kerancuan.

A. Pengertian Ṯayyib

Kata ṯayyib dalam bahasa Arab ( ) adalah masdar dari akar kata

yang terdiri dari tiga huruf yaitu ṯa, alif, dan ba yang bermakna halal, suci, lezat,

subur, memperkenankan, dan membiarkan. Kemudia pola tasrîfnya

yang secara kebahasaan mengandung arti

(lezat, halal, baik, indah, dan jiwa yang baik).1

Kamaluddin Nurdin dalam kamus syawarifiyyah menjelaskan kata (ṯayyib):

“kebaikan, kebajikan, kemuliaan nikmat, berkah, kehalusan.”2

Dalam Mu‟jam Maqâyis al-Lughah oleh Ibn Zakaria, menjelaskan bahwa

asal kata ṯayyib yaitu ṯa, ya, dan ba asalnya hanya satu yang shahih yang

1 Fuad Afrain al-Bustanî, Munjid al-Ṯullâb (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986), h. 450.

2 Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-

Indonesia (Jakarta: Ciputat Press Group, 2007), h. 401.

Page 33: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

16

menunjukkan atas lawan dari pada yang kotor.3 Pengertian ṯayyib dalam kitab

Mu‟jam al-Mufradâtli al-Fâḏ al-Qur‟an ṯayyib berasal dari kata ṯâba-yatîbu, ṯâba

al-Syai‟u, sesuatu itu baik, Allah berfirman: maka nikahilah perempuan-

perempuan yang baik bagi kamu, kemudian jika mereka menyerahkan kepada

kamu, da asal kata ṯayyib makna pokoknya sesuatu yang enak dirasakan oleh

pancaindra, dan dirasakan enak oleh jiwa. Makanan yang ṯayyib menurut syar‟i

adalah yang diperoleh dari jalan yang diperbolehkan dan kemampuan yang

diperbolehkan.4

Dalam kamus al-Munjid kata ṯayyib diartikan dengan baik yaitu sesuatu

yang telah mencapai kesempurnaan.5 Tayyîb adalah kata sifat, yang memiliki

fungsi semantik yang paling dasar untuk menunjukkan berbagai kualitas (sifat)

yang melahirkan suatu pengertian rasa dan bau, khususnya sebagai suatu hal yang

sangat menyenangkan, indah, dan ceria. Akan tetapi kata ṯayyib sering digunakan

untuk menunjukkan sifat makanan, air, wewangian, dan sebagainya. Selain itu

ṯayyib juga digunakan berbagai kombinasi seperti: rîh ṯayyibah6 (angin yang baik)

kebalikan dari rîh „âshifa7 (angin badai) QS.Yunus/10: 22.

8

3 Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakaria, Mu„jam Maqâyis al-Lughah (Beirut: Dâr al-

Turâs al-Arabî, 2001), h. 605. 4 Al-Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam al-Mufradât li al-Fâḏ al-Qur‟an (Beirut: Dâr al-Fikr,

2008), h. 321. 5 Lûwîs Ma‟lûf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: T.pn., 1908), h. 476.

6 Kata (ريخ) rîh adalah bentuk tunggal. Biasanya al-Qur‟an menggunakan bentuk

jamaknya yakni (رياح) riyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang bentuk tunggal

untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk tunggal, kendati yang

dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Ini dipahami dari penyebutan sifat angina

itu, yakni ( يبتط ) Ṯayyibah yang maknanya adalah yang sesuai dengan yang diinginkan. Lihat M.

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an vol. VI QS yunus: 22

(Jakarta: Lentera Hati, 2002(, h. 54. 7عاصف adalah angin yang sangat kencang dan menggerakkan dedaunan serta pepohonan.

Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-Tafsir Pilihan Jilid 2 (Jakarta: Pustaka

al-Kautsar, 2011), h. 614. 8 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an. Penerjemah. Mansurddin Djoely

(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 385-387.

Page 34: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

17

ṯayyiban berasal dari bahasa Arab ṯabâ yang artinya baik, lezat,

menyenangkan, enak dan nikmat atau berarti pula bersih atau suci.9 Gulan Reza

dalam mengartikan baik dalam bukunya yaitu hati yang bersih merupakan kunci

ketenangan jiwa, menjelaskan bahwa kendati manusia melalui inspirasi ilmiah

atau insting alami dapat menemukan akar kebaikan dan keburukan, melalui

petunjuk Allah swt. Dapat menbedakan antara hal yang disukai dan dibenci.10

Allah swt berfirman dalam surah al-Baqarah[2]: 267.

“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari

hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari

bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu

menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya

melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah

maha kaya lagi maha terpuji.”

Ada dua pendapat yang memberikan penjelasan tentang kata pada

ayat diatas. Pendapat yang pertama mengatakan dengan makna yang

artinya sesuatu yang baik dari harta. Maka atas pengertian ini, yang dimaksud

dengan kata khabits pun bermakna sesuatu yang buruk. Pendapat kedua yaitu

pendapat Ibnu Mas‟ud dan Mujahid bahwa yang dimaksud dengan kata ṯayyib

adalah sesuatu yang halal dan khabits diartikan sesuatu yang haram.11

9 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir

al-Qur‟an (Jakarta: T.pn., 1990), h. 244. 10

Gulan Reza sultan, Hati yang Bersih: Kunci Ketenangan Jiwa (Jakarta: Pustaka Zahra,

2004), h. 1. 11

Rahmat Hidayatullah, “Infak dan Sadaqah dalam al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 38-39.

Page 35: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

18

Menurut M. Quraish Shihab kata (الطية) al-Ṯayyib pada QS. al-

Mâidah/5:100 yaitu termasuk di dalamnya apa yang diperintahkan dan dibolehkan

oleh agama atau akal yang sehat. Karena apa yang dibolehkan agama pasti tidak

buruk. Bentuk apapun dari keburukan, pasti tidak disukai oleh Allah, Rasul, dan

tidak diterima oleh akal yang sehat.12

B. Derivasi Ṯayyib

Kata ṯayyib dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 46 kali dalam 21 surah.

Terdapat sebanyak 21 kata ṯayyib yang terdapat dalam surah Makkiyyah adalah sebagai

berikut: Q.S. al-A‟râf[7]: 32, 58, 157, dan 160. Q.S. al-Hajj[22]: 24, Q.S. Fâṯir[35]: 10,

Q.S. al-Mu‟minûn[23]: 51, Q.S. al-Nahl[16]: 32, 72, 97, 114, Q.S. al-Isrâ[17]: 70, Q.S.

Ṯâhâ[80]: 81, Q.S. al-Jâtsiyyah[45]: 16, Q.S. al-Ahqâf[46]: 20, Q.S. Ghâfir[40]: 64, Q.S.

al-Nûr[24]: 26, Q.S. Yûnus[ 10]: 22 dan 93, Q.S. Ibrâhîm[14]: 24, Q.S. Sâba‟[34]: 15.

Terdapat 20 kata ṯayyib yang terdapat dalam surah Madaniyyah adalah sebagai berikut:

Q.S. ali-Imrân[3]: 38 dan 179, Q.S. al-Nisâ[4]: 2, 43, 160, Q.S. al-Mâidah[5]: 4,5,6,87,88

dan 100, Q.S. al-Taubah[9]: 72, Q.S. al-Anfâl[8]: 37, 29, 69, Q.S. al-Baqarah[2]: 57,

168, 172, 267, Q.S. al-Saff[61]: 12.13

Al-Qur‟an menyebutkan kata ṯayyib dalam bentuk mufrad mudzkakkar (laki-laki

tunggal), sebanyak 6 kali, dan 4 diantaranya mengenai sifat makanan, contohnya yang

terlihat dalam surat al-Baqarah[2]:[2] : 168 “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal

lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-

langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. Dan

12

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an

(Jakarta: Lentera Hati, 2002 (, h. 215.

13

Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-

Karîm (al-Qohirah; Dar al-Hadis, t.t), h. 432-433.

Page 36: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

19

dalam al-Mâidah[5]: 88 (halâlan ṯayyiban), al-Anfâl[8]: 69 (halâlan ṯayyiban), dan al-

Nahl[16]:114 (halâlan ṯayyiban).

Bentuk mufrâd muannats (perempuan tunggal), yaitu ṯayyibah sebanyak 9

kali. Semuanya disebutkan sebagai kata sifat untuk sesuatu yang tidak ada

kaitannya dengan makanan, yaitu: dalam surah ali-Imrân[3]: 38 (ḏurriyyah

ṯayyibah), al-Taubah[9]: 72 (masâkin ṯayyibah), Yûnus[10]: 22 (birîhin ṯayyibah),

Ibrahim: 24 (kalimah ṯayyibah), Ibrahim[14]: 24 (syajarah ṯayyibah), dan al-

Nahl[16]: 97 (hayah thayyibah). Bentuk jamak al-Qur‟an menyebutkan sebanyak

21 kali. Semuanya merujuk pada 4 pengertian: sifat makanan, sifat usaha atau

rezeki, sifat perhiasan, dan sifat perempuan seperti al-Mâidah[5]: 4-5.

C. Sinonimitas kata Ṯayyib

Al-Qur‟an mengungkapkan kata-kata yang mengandung arti kebaikan

(ṯayyib) diantaranya juga menggunakan al-birr, al-ma‟rûf, al-ihsan, al-khair, dan

al-Sâlih:

1. Al-Birr

Kata birr dalam Kamus Populer Istilah Islam dirtikan dengan kebaikan,14

kata al-birr yang berarti terungkap dalam al-Qur‟an sebanyak 19 kali yang berasal

dari kata barra, yabirru, barran yang artinya menurut, patuh, berbuat baik.15

al-birr bisa dihubungkan kepada Allah dan bisa dihubungkan kepada

hamba (manusia). Dihubungkan kepada Allah seperti, innahu huwa al-barru ar-

Rahim16

yakni begitu luas banyak menganugerahkan kebaikan kepada manusia

14

Intan Tri Aisyah, “Baik dan Buruk dalam al-Qur‟an: Penafsiran Lafadz al-Ṯayyib dan

al-Khabith,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Uneversitas Islam Negeri Jakarta, 2015), h. 26 15

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977), h. 22.

16 Al-Ṯur/52: 28

Page 37: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

20

dan makhluk lainnya. Jika al-birr dihubungkan kepada manusia “barra al-abdu

rabbahu” artinya Allah akan memberikan pahala kepada ketaatan seseorang

hamba yang begitu luas. Ketaatan dan kebaikan hamba kepada Allah tergambar

dalam dua hal yaitu kebaikan dalam amal perbuatan dan kebaikan dalam akidah

(keimanan kepada Allah swt).17 Kata birr yang menunjukkan kebaikan dalam

amal perbuatan sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Maryam[19]: 32

“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang

sombong lagi celaka.”

Kata al-birr menunjukkan kepada Akidah (keimanan kepada Allah swt)

sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah[2]: 177. Dalam suatu

riwayat ayat tersebut turun berkenaan dengan pertanyaan seorang laki-laki kepada

Rasulullah saw tentang al-birr.

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu

kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,

hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta

yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,

musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;

dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;

dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang

sabar dalam kesem pitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah

orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang

bertakwa.”

17

Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,

t.t.), h. 40.

Page 38: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

21

Kebajikan dalam ayat tersebut dinamakan al-birr, al-birr terambil dari

kata barra- yabirru- barran- wa barratan mengandung arti taat, bersikap baik,

benar, banyak berbuat baik. Al-Birru seperti al-barru (daratan). Daratan berbeda

dengan lautan, daratan adalah tempat yang luas untuk bisa banyak berbuat baik.

Kata al-birr juga bisa berarti memperbanyak kebaikan. Menurut istilah syari„ah,

al-birr berarti sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah

yakni iman, amal, shaleh, dan akhlak mulia.18

Kebajikan bukan sekadar mengarahkan wajah ke timur atau ke barat.

Seseorang tidak dinamai orang baik hanya karena shalat semata-mata, tetapi orang

baik, antara lain adalah yang menghiasi jiwanya dengan keimanan serta

membuktikan kebenaran imannya dengan interaksi harmonis dengan Allah swt,

sesama manusia khususnya dengan para dhuafa, memegang teguh komitmen serta

sabar dan tabah melaksanakan tugas, menghadapi kesulitan, dan penderitaan.19

Kata al-birr memiliki makna yang mencakup semua jenis kebaikan dapat

juga diartikan dengan segala sesuatu yang mengantarkan manusia dekat kepada

Allah, baik itu berupa keimanan, kesalehan amal, maupun kemuliaan akhlak.

Kebaikan yang hakiki bisa diraih dengan dua syarat: Pertama, harus dilandasi

keimanan. Beriman kepada Allah swt, percaya kepada hari akhir, iman kepada

malaikat-malaikat, iman kepada kitab-kitab suci, dan percaya kepada nabi-nabi

Allah swt. Kedua, faktor amaliah-lahiriah. Syarat kedua untuk mendapatkan

kebaikan yang hakiki adalah dengan mengaplikasikan keimanan dalam bentuk

18

Dudung Abdullah, “Konsep Kebajikan (al-Birr) dalam al-Qur‟an: Suatu Analisis QS.

al-Baqarah[2]:/2: 177 ,” no. 1 (Juni 2015): h.194. 19

Quraish Shihab, al-Lubâb Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah al-Qur‟an,

(Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 56.

Page 39: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

22

amal shaleh, seperti: memberikan hartanya kepada kerabat, anak yatim, orang-

orang miskin, dan lain-lainnya.20

Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah ali-Imrân[3]:92 al-birr lebih

diartikan dengan ganjaran kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Kata al-birr

pada mulanya “keluasan dalam kebaikan”, dan dari akar kata yang sama “daratan”

dinamai al-bar karena luasnya. Kebaikan mencakup segala hal seperti; keyakinan

yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniah, serta menginfakkan harta di jalan

Allah. Kata al-birr adalah sesuatu yang tenang hati dan tenteram jiwa

mengahadapinya.21

2. Al- Ma‟rûf

Ma‟rûf adalah bentuk ism maf‟ûl (objek) dari kata „arafa ( ) yang

tersusun dari huruf „ain, ra, dan fa. Dalam al-Qur‟an terulang sebanyak 71 kali

dalam 11 surat.22

Kata „urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak

dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan.23

Berupa

(adat istiadat) atau hal-hal yang umum diketahui dan diakui oleh masyarakat. Ada

juga yang mengartikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan nalar.24

20

Abd Kholiq Hasan, Tafsir Ibadah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), h. 204-205. 21

M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an vol. II

(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 142-143. 22

Muhammad Fuad Abdul Bâqiy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm

(Kohiroh: Dâr al-ẖadîts, t.t.), h. 458-459. 23

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h.

123. 24

Ali Nurdin, Qur‟anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur‟an

(Jakarta: Erlangga, 2006), h. 165.

Page 40: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

23

Dalam kamus Arab – Indonesia ma‟rûf adalah “kebaikan, yang masyhur,

yang dikenal.”25

Kata Ma‟rûf menurut Ibn Zakaria dalam Mu‟jam Muqayis al-

Lughah bahwa kata ma‟ruf mengandung makna bau yang harum yang dirasakan

setiap orang.26

Menurut al-Ashfahani:

“(ma‟ruf adalah

menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal maupun

agama).”27

Menurut Ibnu Manẕûr:

“Ma‟rûf adalah Ism Jâmi‟ bagi setiap hal yang dikenal, baik itu berupa

keta‟atan kepada Allah, bertaqarrub kepada-Nya, dan berbuat baik sesama

manusia, dan juga termasuk setiap hal-hal baik yang dianjurkan agama untuk

melakukannya dan manjauhkan diri dari hal-hal buruk. Kata ma‟ruf merupakan

suatu hal yang umum dikenal, artinya perkara tersebut sudah lumrah dalam

masyarakat, jika mereka lihat, maka mereka tidak akan mengingkari

kebaikannya.”28

Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah ali-Imrân[3]: 104

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟rûf dan mencegah dari yang

munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Sebagaimana Ibn Katsir dalam tafsirnya:

25

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 263. 26

Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakaria, Mu„jam Maqâyis al-Lughah, h. 732. 27

Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an, h. 331. 28

Ibnu Manẕûr, Lisân al-Arab (T.tp.: Dâr al-Ma‟ârif, t.t.), h. 2900.

Page 41: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

24

Allah swt berfirman: dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang

atau umat bangkit untuk berwasiat dengan perintah Allah swt dalam dakwah

mengajak kepada kebajikan dan menyeruh kepada yan ma‟rûf (baik) dan

melarang dari yang keji. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Al-

Ḏuẖâk berkata: mereka dikhususkan kepada sahabat dan juga khusus kepada

yakni para mujahidin dan para ulama. Dan Abû Bâqir berkata: Rasulullah saw

membaca ayat tersebut kemudian beliau bersabda: kebaikan yaitu mengikuti al-

Qur‟an dan mengikuti pula sunahku (H.R. Ibn Mardawaihi).

Ma‟rûf adalah yang baik menurut pandangan suatu masyarakat umum dan

yang telah mereka kenal luas, selama ia sejalan dengan al-khair (kebajikan), yaitu

nilai-nilai Ilahi. Sebagaimana QS. ali-Imrân[3]: 104 “ hendaklah semua kamu

menjadi umat yang mengajak kepada kebaikan, yakni niulai-nilai Ilahi

memerintahkan yang ma‟rûf dan mencegah yang mungkar.” Nilai-nilai Ilahi tidak

boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasive dalam bentuk ajakan yang

baik dan bersifat sekedar mengajak. Selanjutnya setelah mengajak, siapa yang

akan beriman silahkan beriman, dan siapa yang kufur silahkan pula, masing-

masing mempertanggungjawabkan pilihannya.30

al-Zamakkhsyari menambahkan bahwa memerintah yang ma‟rûf itu

tergantung dari obyeknya, bisa hukumnya wajib jika obyeknya wajib dan bias

hukumnya sunah jika obyeknya sunah. Sedangkan melarang yang munkar

29

Abû al-Fidâ Muhammad bin Ismâ‟îll bin Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Aḏîm al-musammâ

Tafsir ibn Katsir (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), h. 482. 30

M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 144-145.

Page 42: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

25

semuanya adalah wajib, karena semua kemunkaran wajib ditinggalkan, sebab

kemunkaran adalah buruk.31

Sementara Toshihiko Izutsu memandang bahwa kata ma‟rûf berasal

daridan didasarkan pada tipe moralitas Jahiliyyah. Ini menunjukkan bahwa al-

Qur‟an mengambil terminologi kesukuan dan menjadikannya suatu bagian yang

integral dalam suatu sistem etika yang baru. Ma‟rûf secara etimologis berarti

terkenal, yakni apa yang dianggap sebagai terkenal dan sudah lazim, serta diakui

dalam konteks kehidupan sosial. Antitesanya adalah munkar yang berarti apa

yang tidak terkenal dan asing. Tampak bahwa masyarakat kesukuan Arab

Jahiliyah telah menggunakan kata ma‟rûf untuk menunjukkan suatu yang terkenal

dan sudah lazim sebagai hal yang baik dan suatu yang asing sebagai hal yang

buruk.32

Adapun al-Qur‟an menggunakan kata ma‟rûf ini dalam pengertian yang

lebih terbatas dari pengertian yang lazim. Semantikisme kata ma‟rûf menurut al-

Qur‟an dilakukan dengan memeriksa terlebih dahhulu beberapa ayat yang juga

menggunakan kata ma‟rûf dengan tujuan memperoleh petunjuk penting bagi kita

mengenai apa yang dimaksudkan oleh al-Qur‟an itu sendiri jika ia menggunakan

kata ini, diantaranya: QS. al-Baqarah[2]: 231,33

23334

, QS. al-Nisâ‟[4]: 1935

, QS.

al-Ahzâb[33]: 3236

dan Lukmân[31]: 13-15.37

31

M. Matsna, Orientasi SemantiK al-Zamakhsyari (Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 144. 32

Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.

348. 33

Artinya berbunyi: “apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati waktu

iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟rûf , atau ceraikanlah mereka dengan cara

yang ma‟rûf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan karena dengan

demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sesungguhnya ia telah

berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”

Page 43: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

26

Secara kontekstual, QS. al-Ahzâb[33]: 32 menjelaskan bahwa ungkapan

yang baik disini menunjukkan cara-cara bertutur kata yang benar-benar pantas

bagi para istri Nabi, yaitu dengan cara yang cukup terhormat, memiliki

kewibawaan dan martabat yang cukup tinggi agar tidak memberikan kesempatan

kepada orang-orang yang dihatinya ada penyakit, yakni orang-orang yang

senantiasa dipengaruhi oleh gejolak hawa nafsu untuk berbuat hal-hal yang tidak

senonoh terhadap mereka. Sedangkan QS. al-Baqarah[2]: 231 mempertentangkan

merujuki perempuan yang ditalak dengan dengan merujuki mereka dengan paksa

atau memberi kemudharatan. Hal ini mengesankan bahwa dengan ma‟rûf berarti

melakukan dengan cara yang baik-baik. Baik di sini dimaksudkan dengan apa

yang terkenal dan diakui secara tradisi.38

3. Al-Iẖsân

Kata iẖsan berasal dari bahasa Arab, yaitu aẖsana-yuẖsinu-iẖsan artinya

berbuat baik. Kata iẖsan disebut dalam al-Qur‟an sebanyak 193 kali dalam 50

surat.39 Al-Ashfahani, menyebutkan bahwa kata al-husnu merupakan segala

34

Artinya berbunyi: “para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, yaitu bagi orang-orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah

memberi makan dan pakaian kepada para oibu dengan cara yang ma‟rûf.” 35

Artinya berbunyi: “hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai

wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil

kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka melakukan

pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak

menyukai mereka, maka bersabarlah. Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal

Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” 36

Artinya berbunyi: “hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,

jika kamu benar-benar bertakwa kepada Allah maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara

sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan

yang ma‟rûf .” 37

Artinya berbunyi: “bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dia ibu bapakmu. Dan jika

keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan-Ku sesuatu yang tidak ada

pengetahuanmu tentang itu (yaitu berhala), maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan

pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” 21760014 38

Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an, h. 349. 39

Muhammad Fuad Abdul Bâqiy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm

(Kohiroh: Dâr al-Hadîs, t.t.), h. 202-205.

Page 44: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

27

sesuatu yang menyenangkan dan disukai, baik berdasarkan pandangan akal, hawa

nafsu, dan dari segi pandangan secara fisik. Pengertian lain penggunaan al-

hasanah adalah digunakan untuk pahala. Sedangkan al-hasanah menggambarkan

kenikmatan manusia pada dirinya, badannya, dan keadaannya.40 Sebagaimana

yang dijelaskan dalam Sûrah al-Nisâ‟/4: 78 berikut:

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,

kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka

memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau

mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi

kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka

mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami

pembicaraan sedikitpun?”.

Menurut Quraish Shihab ayat tersebut meluruskan kekeliruan seseorang

dalam menikmati hidup duniawi sebanyak mungkin, padahal nilai kehidupan

dunia dan kesenangannya tidak sebanding dengan kehidupan setelah kematian,

yakni di akhirat. Selain itu ayat di atas mereka menduga bahwa mereka dapat

terhindar dari kematian atau memperlambat datangnya ajal dengan menghindari

peperangan. Bahwa kematian akan datang kepada meraka yang sudah ajalnya

kendati pun mereka di dalam benteng-benteng yang kokoh dan tersusun dengan

rapi. Kekeliruan lain mereka mengatakan bahwa jika memperoleh kebajikan,

yakni sesuatu yang menggembirakan, mereka mengatakan, “ini dari sisi Allah”,

40

Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,

t.t), h. 118.

Page 45: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

28

dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, yakni sesuatu yang tidak

menyenangkan, mereka mengatakan, “ini dari sisi engkau Muhammad.”41

Penggunaan al-husnu di dalam al-Qur‟an adalah untuk segala sesuatu yang

dipandang baik berdasarkan bashirah (hati nurani), sebagaimana yang dijelaskan

dalam Sûrah al-Zumar/39: 18. Dijelaskankan pula dalam Sûrah al-„Ankabût/29: 8,

Sûrah al-Taubah/29: 52, Sûrah al-Mâidah/5: 50, bahwa kebaikan Allah hanya

akan terang dan jelas bagi orang yang yakin terhadapnya dengan memelihara dan

mempelajari serta menjauhkan dirinya jauh dari kebodohan.42

Kata ihsan adalah isyarat terhadap pengawasan dan ketaatan yang baik.

ihsan adalah berbuat baik dalam segenap pekerjaan, yaitu mengerjakan amal

perbuatan dengan tulus, ikhlas, bagus, dan rapi, baik yang wajib maupun yang

sunnah. Yakni segala perbuatan dilakukan dengan perasaan penuh tanggung

jawab kepada Allah swt. Seluruh prilaku yang mendatangkan manfaat dan

menghindarkan kemudharatan merupakan prilaku yang baik.43

41

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 494. 42

Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam al-Qur‟an,” no. 1

(Januari 2007): h. 31. 43

Ahmady, “Konsep Ihsan dalam al-Qur‟an: Pendekatan Semantik,” (Tesis S2 Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2012), h.

135-136.

Page 46: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

29

Dari hadis tersebut terlihat bahwa susunan dasar agama islam terdiri dari

iman, islam, dan iẖsan. Ketiganya merupakan tiga satuan ajaran islam, yang

antara satu dengan yang lain saling terkait. Iman tidak sempurna tanpa islam, dan

islam tidak sempurna tanpa iẖsan. Sebaliknya iẖsan mustahil ada tanpa iman dan

islam.45

Iẖsan adalah bentuk masdar dari kata aẖsana-yuẖsinu-iẖsânan. Terkadang

maknanya muta‟addi dengan tambahan huruf hamzah, seperti sebuah ungkapan

“ahsanta kadzâ artinya engkau telah berbuat baik dengan melakukan sesuatu.

Aẖsanta ilâ fulân artinya engkau telah memberikan sesuatu yang bermanfaat

baginya. Namun, pengertian iẖsan disini yang pertama, melakukan ibadah dengan

baik. Makna kedua seperti orang yang ikhlas beribadah, sebenarnya ia telah

melakukan kebaikan dengan niat ikhlas atas dirinya. Iẖsan dalam ibadah adalah

ikhlas, khusyu‟, dan merasa dalam pengawasan Allah swt.46

4. Al-Khair

Kata khâra jamaknya khuyûr lawan dari kata syirr.47

Kata khair

merupakan bentuk masdar dari kata (khâra-yakhîru), dalam

penggunaannya kata ini bisa berfungsi sebagai ism (kata benda), sebagai ism tafḏîl

(tingkat perbandingan), dan bisa pula berfungsi sebagai sifah musyabbahah (kata

44

„Abî „Abdillah Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Shaẖîẖ al-Bukhârî (Kohiroh: al-

Qudus,2014) h. 33. 45

„Abdul „Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve,

1997), h. 650. 46

Falih bin Muhammad bin Falih Ash-Shughayyir, Meraih Puncak Ihsan. Penerjemah.

Darwis (Jakarta: Darus Sunah, 2009), h. 29-30. 47

Lûwîs Ma‟lûf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: T.pn., 1908), h. 201.

Page 47: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

30

yang serupa dengan kata sifat). Dalam al-Qur‟an kata khair disebut 176 kali.48

Sedangkan kata khair yang ada kaitannya dengan rezeki atau harta terulang

sebanyak 9 kali diantaranya adalah: Meninggalkan harta yang banyak hendaknya

berwasiat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Sûrah al-Baqarah[2]: 180.

Menginfakkan harta untuk diri sendiri, orang tua, dan kaum kerabat terdapat

dalam Sûrah al-Baqarah[2]: 215 dan 273.49

Khair adalah segala sesuatu yang disenangi semua orang seperti, keadilan

yang disenangi akal dan sesuatu yang bermanfaat. Kebaikan berdasarkan kata ini

dibagi dua, yaitu khair mutlaq dan khair muqayyad. Khair mutlaq yaitu sesuatu

yang dipandang lebih baik oleh Allah dan dianggap baik dalam setiap keadaan

dan situasi oleh setiap orang, seperti surga. Sebagaimana yang dijelaskan dalam

Sûrah al-Nahl[16]: 30. Sedangkan khair Muqayyad yaitu baik dan buruk yang

berhubungan, terutama dalam arti yang khusus yang bisa memberikan kebaikan

dan keburukan seperti: harta yang banyak.50

Sebagaimana yang dijelaskan dalam

Sûrah al-Baqarah[2]: 180:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)

maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib

kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Harta yang banyak bisa memberikan manfaat kepada diri sendiri dan orang

lain, dengan harta yang banyak seseorang bisa bersedekah, membantu yang

48

M. Quraish Shuhab, Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati,

2007), h. 448. 49

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama

RI, “Suhuf: Jurnal Kajian al-Qur‟an dan Kebudayaan,” 1, no. 1 (2008): h. 48. 50

Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,

t.t), h. 160

Page 48: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

31

sedang membutuhkan. Di sisi lain dengan harta yang banyak seseorang bisa

menjadi sombong dan lupa akan segalanya. Al-Khair yang diartikan harta untuk

kepentingan wasiat.

Dalam pemakaiannya kata al-khair dapat diartikan sebagai ism

sebagaimana yang dijelaskan dalam Sûrah ali-Imrân[3]: 104, dan dapat pula

sebagai sifat pada wazan af‟ala dalam sûrah al-Baqarah[2]: 106 dan 197.

Sedangkan pada Sûrah al-Baqarah[2]: 184 dapat diartikan kedua-duanya.51

Kata

al-Khair secara umum diartikan dengan sesuatu yang disukai. Dalam kata ini

mengandung tiga hal yaitu: sesuatu yang baik, sesuatu yang lebih baik, dan

sesuatu yang paling baik atau terbaik.52

5. Al-Sâlih

Kata sâlih dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 180 kali.53

secara

etimologi, kata shâlih berasal dari sâluha-yasluhu-salahan yang artinya baik,

tidak rusak dan patut. Sedangkan shâlih merupakan ism fail dari kata tersebut

berarti orang yang baik, orang yang tidak rusak dan orang yang patut. Sedangkan

shâlih menurut al-Qur‟an adalah orang yang senantiasa membaca al-Qur‟an di

waktu malam, melaksanakan shalat malam, beriman dan beramal, menyuruh

kepada kebaikan, mencegah perbuatan munkar.54

Sebagaimana yang dijelaskan

dalam surah ali-Imrân[3]: 113-114 dan al-ankabût[29]: 9.

51

Enoh, “Konsep baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-Qur‟an, no.1 (Januari

2007): h. 32. 52

Yulia Rahmi, “Makna Khair dalam al-Qur‟an,”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Pemikiran Agama, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2014), h. 3. 53

Muhammad Fuad Abdul Bâqiy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm

(Kohiroh: Dâr al-Hadîs, t.t.), h. 410-412 54

Muhammad Hisyam, “Shalih Menurut al-Qur‟an,” artikel diakses pada 20 Maret 2017

dari http://beritalangitan.com>fakta-opini

Page 49: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

32

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang

berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam

hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah

dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari

yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu

termasuk orang-orang yang saleh.”

Kata sâlihât adalah bentuk jamaknya dari bentuk tunggal al-Sâlih. Dalam

konsepsi al-Qur‟an sering diantonimkan dengan kata fasid yang berarti rusak.

Namun dalam al-Qur‟an al-Sâlih dipertentangkan dengan khabihat yang berarti

negatif, keburukan, kejelekan atau ketidak patutan sehingga amal shalih adalah

perbuatan yang menutup segala bentuk keburukakn dan kenegatifan manusia.55

55

Muhammad Shalikhin, Menyatu Diri dengan Ilahi (Yogyakarta: Penerbit Narasi,

2010), h. 397-398.

Page 50: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

33

BAB III

NISBAH KATA ṮAYYIB, OBJEK DAN BALASANNYA DALAM

PENAFSIRAN

A. Nisbah kata Ṯayyib

1. Kota QS. al-A‟râf[7]: 58

“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin

Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.

Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang

yang bersyukur.”1

Ayat diatas merupakan gambaran bagi hati yang baik dan yang buruk,

yang tidak terlepas dari suasana pemandangan yang ditampilkan, tujuannya hanya

untuk menjaga keharmonisan pandangan dan pemandangan pada tabiat dan

hakikatnya. Hati yang baik di dalam al-Qur‟an dan hadis Nabi Muhammad saw

diserupakan dengan negeri yang baik dan tanah yang subur, adapun hati yang

buruk diserupakan dengan negeri yang buruk dan tanah yang tandus.2

Tanah yang subur dan mengeluarkan buah-buahan yang baik adalah

perumpamaan bagi orang mukmin yang mau mendengarkan nasehat, lalu nasehat

itu bermanfaat baginya sedangkan tanah yang mengandung garam dan bebatuan

yang tidak ada faedahnya adalah perumpamaan bagi orang-orang kafir yang tidak

mau mengambil nasehat dan dakwah islam. Orang-orang yang bersyukur kepada

1 Q.S al-A‟râf[7]: 58.

2 Sayyid Qutb, Fi Dzilal al-Qur’an: di Bawah Naungan al-Qur’an. Penerjemah As’ad Yasin

(Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 221-222.

Page 51: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

34

Allah swt atas segala nikmat-Nya khusus disebut, karena merekalah orang-orang

yang mengambil manfaat dengan mendengar al-Qur‟an.3 Al-Alûsi berkata, seperti

pengaturan yang indah, Kami ulangi ayat-ayat yang menunjukkan kepada

kekuasaan yang luar biasa, dan Kami senantiasa mengulang-ulanginya kepada

orang-orang yang bersyukur kepada nikmat-Nya, bersyukur dengan berangan-

angan (tadabbur) dan mengambil pelajaran.4

Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ada perbedaan antara

tanah dengan tanaman, demikian pula juga ada perbedaan antara kecenderungan

dan potensi jiwa manusia dengan jiwa manusia yang lain. Tanah yang baik yakni

tanah yang subur dan selalu dipelihara, tanaman-tanamannya tumbuh subur

dengan seizin Allah yakni berdasar kehendak Allah swt yang

ditetapkan-Nya melalui hukum-hukum alam, adapun tanah yang buruk adalah

tanah yang tidak subur dan Allah swt tidak memberinya potensi untuk

menumbuhkan buah yang baik. Demikian ini adalah balasan bagi orang-orang

yang bersyukur yakni yang mau menggunakan anugerah Allah swt sesuai dengan

fungsi dan tujuannya.5

Bumi itu diantaranya ada yang tananhya baik dan pemurah, yang tanam-

tanamannya keluar dengan mudah dan tumbuh dengan cepat. Dan ada pula

diantaranya yang tanahnya buruk, seperti tanah hitam berbatu, dan tanah tandus

yang tanam-tanamannya tidak tumbuh karena jumlahnya tidak seberapa. Ibnu

3 Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,

jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 316-317. 4 Mahmûd al-Alûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm wa al-Sab‟î

al-Matsânî (Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1985), h. 148. 5 M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an vol. II

(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 124.

Page 52: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

35

Abbas, sebagaimana yang ditulis al-Maragi, perumpamaan ini dimisalkan oleh

Allah swt antara orang mukmin dengan orang kafir, yakni orang yang berbuat

baik dan orang yang berdosa. Demikian bagi mereka yang bersyukur atas nikmat-

nikmat-Nya berhak menerima tambahan dari Allah dan dibalasi pahala. Ayat ini

diakhiri dengan kata karena sasaran ayat ini adalah agar orang mengambil

petunjuk dari ilmu, amal, dan bimbingan yang lurus.6

“Perumpamaan dari petunjuk dan ilmu yang dengan itu Allah swt

membangkitkan aku adalah seperti halnya hujan yang banyak. Hujan itu mengenai

bumi, di antara bumi itu ada tanahnya yang bersih, ia menerima air lalu

ditumbuhkanya tumbuh-tumbuhan dan rumput yang banyak. Dan ada pula tanah

yang tandus yang tidak mau menyerap dan menampung air, lalu Allah

memanfaatkan tanah itu bagi oranng lain. Mereka dapat minum, mengairi sawah

dan menanam, bahkan air itu mengenani bagian tanah yang lainnya, yang tidak

lain adalah tanah yang datar yang tidak menahan air dan tidak menumbuhkan

rumput. Hal itu merupakan perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah

swt dan bermanfaat padanya yang dengan itu Allah swt membangkitkan aku.

Orang itupun berilmu dan mengajarkannya kepada orang lain. Perumpamaan

orang yang dengan adanya ilmu dan petunjuk itu tidak sombong dan tidak

menerima petunjuk Allah swt, yang dengan itu aku telah diutus disini.”

6 Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar.

(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992), h. 329-330.

7 Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Shaẖîẖ al-Bukhârî, (T.tp.: Dâr al-Alamiyyah, 2014),

h. 35.

Page 53: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

36

Negara yang dalam bahasa Arabnya adalah al-bilâd ditemukan dalam al-

Qur‟an dengan berbagai bentuk derivasinya sebanyak 19 kali dengan perincian

kata balada berulang sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata biladî 5 kali, kata

baldatun diulang sebanyak 5 kali.8

Khusus kata baldatun ṯayyibatun yang disebutkan dalam Q.S. Sâba‟[34]:

15 menjelaskan sebuah konsep Negara yang baik dan ideal. Konsep Negara

seperti ini harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

Pertama: agama yang dihayati. Agama pada suatu Negara yang diperlukan

sebagai penyeimbang dan pengendali hawa nafsu serta pengawas melekat atas hati

manusia, karenanya merupakan sendi yang terkuat bagi kesejahteraan dan

ketenangan Negara. Kedua: penguasa yang beribawa. Dengan wibawa seorang

pemimpin atau penguasa dapat mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda,

dan membina Bangsa dan Negara untuk mencapai saran-sarannya yang luhur.

Ketiga, keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat dapat

menikmati ketenangan batin dan daya kreasi akan berkembang dikalangan rakyat.

Keempat, kesuburan tanah. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan rakyat akan

bahan makananan dan kebutuhan materi yang lain dapat terpenuhi.9 Kelima:

keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan menciptakan persatuan

dan kesatuan bangsa, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri

8 Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-

Karîm (al-Qohirah; Dar al-Hadis, t.t), h.170. 9 Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 61-62.

Page 54: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

37

yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa serta menjamin stabi litas

dalam negeri.10

Keenam, harapan yang optimis. Generasi sekarang hanya punya kaitan erat

dengan generasi yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris generasi yang

lalu.11

Dengan mencukupkan pada enam kriteria baldatun ṯayyibatun seperti yang

disebutkan di atas akan terwujud Negara tersebut masyarakat yang zuhud, yakni

sekelompok yang mementingkan ibadah. Keadilan sebagai ciri khas Negara yang

ideal. Keadilan merupakan hokum Allah swt dimuka bumi, keadilan mencakup

melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah swt dan Rasul-

Nya, yaitu menemmpatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikannya kepada

yang berhak.12

Ciri khas Negara seperti yang disebutkan, telah terimplementasi sejak

masa Nabi Muhammad saw yang diistilahkan dengan Negara Madinah al-

Munawwarah, dicetuskan sejak adanya akad piagam Madinah, yang diistilahkan

dengan Madinah Charter.

Pada awalnya, piagam Madinah terdiri atas dua bagian. Satu bagian

berkaitan dengan perjanjian damai Nabi Muhammad saw dengan orang-orang

yahudi, dan yang kedua, menguraikan komitmen, hak-hak dan kewajiban antara

kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar). Namun para ahli sejarah

menggabungkan kedua dokumen itu menjadi satu. Dokumen pertama ditulis

10

J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, dan Pemikiran (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 277.

11 Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Kairo: Dar al-Syibah, 1950), h. 122.

12 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, dan Pemikiran, h. 226.

Page 55: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

38

sebelum terjadinya perang badar, dokumen kedua, ditulis setelah perang badar.13

Berkenaan dengan dokumen, sumber-sumber sejarahkan menyebutkan bahwa

perjanjian damai antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi, ditanda tangani

oleh Nabi Muhammad saw pertama kali tiba di Madinah. Dokumen ini mencatat

dua kejadian penting: pertama, adalah kedatangan Nabi Muhammad saw ke

Madinah sebelum islam menjadi kuat dan sebelum diperintahkan jizyah dari para

ahl al-Kitab. Kedua, Islam menjadi kuat setelah terjadinya perang Badar.

Berkenaan dengan dokumen kedua, perjanjian antara kaum Muhajirin dengan

kaum Anshar yang ditulis pada tahun kedua hijrah.14

Muhammad Jamaluddin Surur menyimpulkan delapan prinsip, yaitu

menyatakan bahwa segenap kaum Muslimin adalah mengakui hak asasi kaum

Yahudi, sekaligus mengajak mereka memeluk islam, mengakui kebebasan

beragama bagi kaum Yahudi, menetapkan bahwa penyelesaian segala sengketa

berada ditangan Nabi Muhammad saw sebagai kepala Negara, memperkuat

pertahanan dan bersikap waspada terhadap kaum Quraisy, pertahanan Negara

adalah tanggung jawab seluruh warga Negara, Madinah sebagai Negara harus

dipertahankan dan dijunjung kehormatannya.15

2. Makanan Q.S al-A‟râf[7]: 32

13

Lihat Arkam Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet: Its

characteristics and Organization. Penerjemah. Mun‟in A. Sirry dengan judul Masyarakat Madani:

tinjauan Hidtoris Kehidupan Zaman Nabi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 108. 14

Lihat Arkam Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet: Its

characteristics and Organization. Penerjemah. Mun‟in A. Sirry dengan judul Masyarakat

Madanii: tinjauan Hidtoris Kehidupan Zaman Nabi, h. 115. 15

Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-„Arabiyyah al-islamiyyah (Kairo:

Dâr al-Nahdah, 1952), h. 78-79.

Page 56: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

39

“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang

telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang

mengharamkan) rezeki yang baik? Katakanlah: Semuanya itu (disediakan) bagi

orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di

hari kiamat. Demiki anlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang

mengetahui.”16

Kata الطيباث (al-Ṯayyib ) dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat,

menentramkan dan paling utama. Firman-Nya mengisyaratkan

bahwa ada rezeki yang dinamakan tidak baik dan sifatnya buruk serta diharamkan

Allah swt. Manusia dituntun untuk menggunakan rezeki yang baik dan

mengandung apa yang sesuai dengan kondisi manusia, baik dalam kedudukannya

sebagai jenis, maupun pribadi demi pribadi. Manusia sebagai makhluk yang

memiliki ciri-ciri tertentu mempunyai kebutuhan bagi kelanjutan dan kenyamanan

ruhani dan jasmani, sehingga tidak semua rezeki yang terhampar di bumi dapat

digunakan. Hal ini dapat digambarkan dengan ilustrasi bahwa ada hyang sesuai

dengan kondisi anak kecil, tetapi tidak sesuai dengan orang dewasa dan pakaian

untuk pria dan adapula yang tidak wajar yang dipakai oleh wanita. Begitupula

dengan kata al-Ṯayyib mengandung makna proprosional.17

Allah swt menyuruh Nabi Muhammad saw untuk menyatakan kepada

kaum musyrikin yang telah mengharamkan segala yang dihalalkan, bahwa yang

berhak menentukan halal dan haram hanya Allah swt semata. Selain itu, Allah swt

menyatakan bahwa semua perhiasan pakaian itu dihalalkan bagi orang yang

16

Q.S al-A‟râf[7]: 32 17

M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an, h. 78.

Page 57: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

40

beriman, demikian pula makanan yang baik lezat, sedang di akhirat hanya khusus

orang yang beriman.18

Perhiasan, makanan dan minuman yang baik di dunia itu disediakan bagi

orang-orang mukmin, meskipun meskipun orang-orang kafir menikmati juga, dan

pada hari kiamat semuanya itu hanya dikhususkan kepada orang-orang mukmin

saja, sedang orang-orang kafir tidak seorangpun dari mereka yang menikmati di

akhirat, karena sesungguhnya Allah swt mengharamkan surga kepada orang-orang

kafir. Demikian ini tanda-tanda syariat kepada orang-orang yang mau berangan-

angan kepada hikmah Allah swt dan mengetahui syariat-Nya.19

Allah mengeluarkan perhiasan yang dimaksud ialah, Allah telah

menciptakan bahan-bahan dan mengajarkan cara-cara pembuatannya dengan hal

yang telah Allah swt titipkan pada fitrah mereka, berupa menyukai pada

perlengkapan hidup dan cenderung memakainya. Karena Allah swt telah

menciptakan manusia dengan bakat menampakkan tanda-tanda kekuasaan Allah

swt pada seluruh yang Dia ciptakan di alam yang mereka tempati. Sesungguhnya

perhiasan dan rejeki yang baik-baik adalah untuk orang yang beriman dalam

kehidupan dunia, yang dalam hal itu mereka dibarengi pula oleh umat lain yang

ikut menikmati perhiasan dan rejeki yang baik-baik itu, sekali pun mereka tidak

patut menerimanya, seperti halnya orang-orang yang beriman. Perhiasan dan

18

Abû al-Fidâ Muhammad bin Ismâ‟îl bin Katsîr, Tafsir al-Qur‟an al-Adzîm al-

Musammâ Tafsîr ibn Katsîr (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), h. 399. 19

Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,

jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 297.

Page 58: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

41

rejeki yang baik-baik itu akan diberikan secara khusus kepada orang-orang yang

beriman kelak di hari kiamat.20

3. Sikap Malaikat yang Mencabut Nyawa Q.S al-Nahl[16]: 32

“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para

malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun‟alaikum, masuklah

kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”21

Sayyid Qutb menjelaskan ayat di atas adalah gambaran bagi orang–orang

yang bertakwa yaitu peristiwa yang penuh dengan kelembutan, kemudahan, dan

kemuliaan.22

Menurut al-Raghib al-Ashfahani, orang yang baik adalah orang yang

membersihkan dirinya dari kotoran kebodohan, kefasikan, dan sifat-sifat yang

buruk, serta berhias diri dengan ilmu, iman dan perbuatan-perbuatan yang baik.23

Ayat tersebut menegaskan bahwa sesorang yang wafat, yakni mati dalam

ṯayyibîn, kelak disambut dengan ucapan salam dan dimasukkan ke surga.

Kematian menurut al-Qur‟an, sesuatu kejadian yang tidak bias dihindari oleh

setiap makhluk yang bernyawa.24

Ketika manusia mati, ia menuju kea lam akhirat

dan tidak seorangpun yang akan dapat menebus dosa orang lain,25

tiada tolong

menolong, bahkan semuanya pasrah.26

Al-Qur‟an menyebut kematian dengan kata

(maut) yang akar katanya, mâta, yamûtu, mawtan mengandung arti

20

Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar. h. 238-

239. 21

Q.S al-Nahl[16]: 32 22

Sayyid Qutb, Fi Dzilal al-Qur‟an: di Bawah Naungan al-Qur‟an. Penerjemah As‟ad

Yasin (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 269-270. 23

Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,

t.t), h. 309. 24

QS. ali Imrân[3]: 185. 25

QS. al-An’âm[6[: 164. 26

QS. al-Shaffât[37]: 25-26.

Page 59: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

42

27

(suatu keadaan yang dengannya orang meninggal,

daan berpisahnya ruh dengan jasad). Kematian dengan kata al-Mawt dalam al-

Qur‟an beserta derivasinya berjumlah 145 kata.28

Jumlah tersebut sebanding

dengan kata al-hayah yang juga disebut sebanyak 145 kali dalam al-Qur‟an.

Definisi yang dikemukakan al-Asfahani dengan merujuk pada yat-ayat al-

Qur‟an, makna kematian tersebut sekurang-kurangnya memiliki empat batasan:

a. Kematian adalah hilangnya kekuatan yang menimpa pada diri

manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan sebagaimana dalam QS. al-

Rûm[30]: 19 dan Qâf[50]: 11.

b. Kematian adalah hilangnya kekuatan dalam merasakan sesuatu

sebagaimana dalam QS. Maryam[19]: 23 dan 66.

c. Kematian adalah hilangnya kekuatan akal untuk mengingat

sebagaimana dalam QS. al-An‟âm[6]: 122 dan QS. al-Naml[27]: 80.

d. Kematian adalah hampir sama dalam keadaan tidur, dan karena itu

tidur disebut kematian kecil sebagaimana yang dipahami dalam QS. al-

An‟âm[6]: 60 dan al-Zumar[39]: 42.29

Menurut al-Ghazali, kematian adalah pemutus segala kelezatan

duniawi, dia adalah pemisah sahabat dan pengaruh kenyamanan hidup

orang di dunia.30

Dengan demikian, kematian dianggap bayang-bayang

dalam benak manusia, ia amat dikenal, ia terlihat dan terdengar sehari-

hari, bahkan ditayangkan selalu keadaan kematian tersebut. Namun

27

Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dâr al-Masriq, 1977), h. 778. 28

Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-

Karîm (Beirut; Dâr al-Fikr,1992), h. 842-853. 29

Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an, h. 781. 30

Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin. terjemahan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 821.

Page 60: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

43

pada hakikatnya kehadiran kematian itu menjadi rahasia Allah swt

sebagaimana dalam QS. Luqman[31]: 34.

“Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang

akan dikerjakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi

mana diaa akan mati. Sesungguhnya Allah swt maha mengetahui lagi maha

mengenal.”

M. Quraish Shihab menyatakan bahwa kematian dalam al-Qur‟an disebut

pula al-yaqin sebab menurutnya kematian adalah keyakinan dan semua orang

yakin akan mati, tidak disertai keraguan sedikitpun.31

Sejalan dengan QS. al-

Hir[15]: 99 (“dan sembahlah Tuhanmu sampai dating kepadamu yang diyakini

(ajal)”, ayat ini bahwa masalah kematian harus diyakini, walaupun ia menjadi

rahasia Allah swt kapan waktu dan tempatnya. Dimanapun orang bersembunyi,

tidak ada tabir yang menghalangi rahasia tentang pengetahuan Allah swt

terhadapnya, dan karena itu pula walau ada benteng yang menutup untuk

bersembunyi dari jangkauan manusia, pasti kematian seorang tetap akan dating

sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nisâ‟[4]: 78.

“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendatipun

kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.”

Seseorang yang mati dalam keadaan ṯayyib sebagaimana yang disebutkan

dalam QS. al-Nahl[16]: 32, dimasukkan dalam surga yang disebut dengan al-

jannah, penuh kenikmatan yang tiada taranya, kenikmatan yang bias digambarkan

31

M. Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 12.

Page 61: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

44

dengan bahasa manusia. Surga ini disediakan kepada mereka yang mati dalam

keadaan ṯayyib dan bertakwa kepada Allah swt, mereka tergolong di dalamnya

adalah orang-orang yang beriman dan tetap melaksanakan amal shalih saat di

dunia.

(ṯayyib) adalah kata yang singkat tetapi padat dengan makna-makna,

termasuk melaksanakan segala perintah, menghindari segala larangan, memiliki

akhlak yang utama dan perangai yang indah, bersih dari segala perbuatan yang

kotor, tidak menyibukkan diri dengan alam syahwat dan kelezatan jasmaniyah.

Kebaikan ini diikuti oleh kebaikan keadaan ketika nyawa mereka dicabut, karena

pencabutan nyawa mereka disertai pemberian kabar gembira dengan surga,

sehingga mereka seakan benar-benar menyaksikannya. Dengan keadaan seperti

ini, orang yang bertakwa tidak merasakan sakitnya kematian. Mereka masuk surga

yang telah disediakan dan dijanjikan Allah swt, karena perbuatan, ketakwaan serta

ketaatan yang telah mereka kerjakan.32

Ayat di atas adalah gambaran bagi orang-orang yang mempertahankan

ketakwaannya hingga akhir umurnya. Kata ṯayyibîna ( ) adalah bentuk jamak

dari kata ṯayyib ( ). Kata ini dipahami juga dalam arti bebasnya segala sesuatu

dari yang menganugerahkannya. Bila manusia menyifati kehidupan dengan sifat

ini, berarti kehidupan itu nyaman dan sejahtera dan tidak disentuh oleh rasa takut

atau sedih dan bila ia menyifati ucapan seperti ungkapan al-qaul al- ṯayyib

(ucapan yang baik) maka kata-kata yang halus tidak mengandung kebohongan

32

Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, h. 135-

136.

Page 62: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

45

serta baik susunan kalimatnya. Sementara orang-orang bertakwa dimatikan dalam

keadaan ṯayyibîn berarti mereka mati dalam keadaan yang sangat baik.

Kematiannya tidak disertai oleh sesuatu yang menyensarakan. Mereka akan

terhindar dari su‟ul al-khâtimah dan kesulitan sakarat al-maut. Berbeda dengan

orang-orang yang mininggal dalam keadaan menganiaya diri mereka, mereka

akan mati dalam keadaan sangat sulit.33

4. Angin Q.S Yûnus[10]: 22

“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di

lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu

membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka

bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap

penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka

mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata.

(Mereka berkata): “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini,

pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”34

Dalam ayat ini Allah swt menunjukkan kemampuan, kekuasaan dan

anugerah-Nya kepada manusia seraya berfirman, “Dialah Allah swt yang telah

memberikan kepadamu (manusia) kesanggupan berjalan di darat, berlayar di

lautan, dan terbang di udara dengan memberikan kepadamu kesempatan untuk

mempergunakan beraneka macam sarana seperti bintang, kapal dan sebagainya.

Dengan alat angkutan tersebut kamu dapat mencapai berbagai keinginanmu dan

untuk bersenang-senang.”

33

M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an, h. 219-220.

34 Q.S Yûnus[10]: 22

Page 63: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

46

Dengan kesanggupan dan kemampuan yang diberikannya itu, manusia

diuji dan dicoba oleh Allah swt sehingga tampak jelas watak dan tabiatnya, yang

diibaratkan Allah swt sebagai berikut: dengan kesanggupan yang diberikannya itu,

manusia membuat sebuah bahtera yang dapat mengarungi samudera luas. Tatkala

mereka telah berada dalam bahtera itu dan berlayar membawa mereka dengan

bantuan hembusan angin yang baik dan ombak yang tenang, merekapun

bergembira. Tiba-tiba datanglah angina badai kencang dan ombak menghempas

dari segenap penjuru, sehingga timbulah kecemasan dalam hati mereka. Karena

itu mereka berdoa seraya merendahkan diri dengan penuh keikhlasan, agar Allah

swt melepaskan mereka dari gulungan ombak yang dahsyat itu, lalu berkata

“wahai Tuhan kami, sesungguhnya jika engkau lepaskan kami dari malapetaka

yang akan menimpa kami, tentulah kami menjadi orang-orang yang mensyukuri

nikmat yang telah engkau berikan.”35

Dengan angin yang lembut mejalankan kapal mereka sehingga para

penumpang gembira karena angina yang baik itu. Tiba-tiba kapal itu diterpa angin

yang sangat kencang, mereka dikelilingi oleh ombak lautan dari segala penjuru

dan mereka yakin akan binasa. Mereka memurnikan doa kepada Allah swt saja

dan meninggalkan apa yang mereka sembah selama ini.36

Mereka hanya memohon kepada Allah swt dan lupa memohon kepada

sesembahannya, hal ini menjadi dalil yang menjelaskan bahwa apabila dalam

keadaan terdesak maka mereka hanya memohon kepada Allah swt. Orang yang

35

Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h.

293-294. 36

Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,

jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 615-616.

Page 64: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

47

memohon itu akan dijawab doanya meskipun dia orang kafir. Mereka berjanji

akan menjalankan perintah dan menaati-Nya dengan penuh keikhlasan.37

Ayat ini dapat menjadi salah satu bukti cepatnya Allah swt membalas

makar dengan menampilkan contoh pengalaman manusia ketika berada dilautan

ayat ini juga menjadi bukti bagaimana Allah swt dengan cepat mengubah nikmat

atau rahmat-Nya dengan petaka serta betapa buruk sifat manusia yang tidak tahu

berterima kasih. Kata (ريخ) rîh adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya yaitu

riyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang bentuk tunggal(رياح)

untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk tunggal,

kendati yang dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Hal ini

dipahami dari penyebutan sifat angin itu, yaitu (طيبت) ṯayyibah yang maknanya

adalah yang sesuai dengan yang diinginkan.38

Al-Sya„râwî menjelaskan kata rîh juga digunakan makna kekuatan

sebagaimana dalam Sûrah al-Anfâl[8]: 46 “wa tadzhabu rîhukum” (“dan hilang

kekuatanmu”).39

Perjalanan darat dikenal luas di kalangan masyarakat Arab

apalagi daerah Arabia yang dipenuhi oleh padang pasir. Adapun pelayaran yang

mereka lakukan antar lain dalam perjalanan musim dingin ke Yaman. Al-Qur‟an

menyebut dua macam perjalanan mereka. Musim panas yaitu ke daerah Syam

(Syria, Palestina, dan Yordania) dan musim dingin ke Yaman. Adapun redaksi

37

Imam al-Qurthubi, Tafsiral-Qurthubi. Penerjemah. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008), h. 800-801. 38

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an vol.

VI (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 52-54. 39

Muhammad Mutawalî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya„râwî (al-Azhar: Mujamma„ al-Buhûs

al-Islamiyyah), h. 5849.

Page 65: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

48

yang digunakan dalam ayat ini adalah balasan atas kemantapan syukur yang luar

biasa.40

(al-Rîh) adalah udara bergerak (angin). Angin itu ada empat penjuru,

yaitu angin utara dan angin selatan. Kedua angin itu disebut menurut nama arah

dari mana keduanya mengalir. Ketiga angin saba atau angin qabul, yang

dimaksud adalah angin timur. Mereka beranggapan angin ini dating dari Nejed,

sebagaimana angin selatan mereka anggap dari Yaman, sedang angina utara dari

Syam. Keempat, angin dabur yaitu angin barat. Dalam al-Qur‟an Allah swt

menyebutkan tentang dikirimkannya angin dengan lafad mufrad, maka yang

dimaksud ialah angin azab. Sedangkan penyebutan tentang dikirimkannya angin

dengan lafad jama‟ maka yang dimaksud ialah angin rahmat.41

5. Akidah Q.S al-Mâidah[5]: 100

“katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya

yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah swt, hai orang-orang

yang berakal agar kamu mendapat keberuntungan.”42

Ayat ini adalah sebuah peringatan untuk orang-orang yang memiliki akal

sehat agar menjauhi dan meninggalkan perkara yang haram dan selalu cukup

dengan yang halal. Karena yang sedikit namun halal dan bermanfaat itu lebih baik

40

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 54. 41

Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, h. 319 42

Q.S al-Mâidah[5]: 100

Page 66: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

49

daripada banyak tapi haram dan merugikan. Peringatan ini agar mereka mendapat

keberuntungan di dunia dan di akhirat.43

Dalam hidup ini ada yang baik dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah,

ada tuntunan setan, dan ada rayuan nafsu. Peringatan jangan sampai kuantitas

memperdaya, sehingga memilih dan meninggalkan yang baik yang kuantitasnya

sedikit. Sedikit tapi berkualitas lebih baik daripada yang banyak tetapi tidak

berkualitas. Tercakup dalam kata al-khabîs (keburukan), hal-hal yang buruk

dari segi keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Lawannya adalah al-Ṯayyib

(kebaikan) termasuk di dalamnya apa yang diperintahkan dan dibolehkan oleh

agama atau akal yang sehat. Karena apa yang dibolehkan agama pasti tidak buruk

atau bentuk apapun dari keburukan pasti tidak disukai Allah swt, Rasulullah saw,

dan tidak juga diterima oleh akal yang sehat.44

Perumpamaan yang dibuat Allah swt utuk membedakan yang halal dan

haram. Hal ini berlaku umum dalam semua urusan yang berkenaan dengan

pekerjaan, amal perbuatan manusia dan sebagainya. Keburukan yang berasal dari

semua itu tidak akan mendapatkan keberuntungan dan tidak menghasilkan sesuatu

yang baik walaupun banyak, sedangkan kebaikan walaupun sedikit pasti akan

bermanfaat, terpuji, dan berakhir dengan indah. Allah swt akan memberikan

keridhaan dan surga-Nya apabila manusia-manusia yang berakal melaksanakan

perintah dan larangan-Nya.45

Nampak bahwa keburukan dan kebaikan keduanya

43

ShafiyyurrahmanAl-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Abu Ihsan al-

Atsari (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2014), h. 234.

44 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h.

197. 45

Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,

jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 109.

Page 67: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

50

bersifat umum, dari keduanya memiliki turunan di bawahnya, yaitu harta dan

keharamannya, amal shalih dan kerusakannya, kebaikan manusia dan

keburukannya, kebenaran akidah dan kesesatannya.46

Ada dua hakikat yang berbeda dari masing-masing balasan yang sesuai

dengan perbuatan, yaitu tidaklah sama yang buruk dengan yang baik di antara

macam-macam hal, perbuatan dan harta. Walaupun telah ditentukan bahwa

banyaknya yang buruk itu telah menarik hatimu, namun sesungguhnya yang

sedikit dari yang halal itu lebih baik daripada yang banyak tetapi haram, dilihat

dari akibatnya yang baik di dunia dan di akhirat. Demikian halnya dengan manu

sia. Manusia yang sedikit tetapi baik adalah lebih baik daripada yang banyak

tetapi buruk. Golongan yang sedikit dari orang-orang yang berakal dan pandai

dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat dilakukan oleh golongan yang

banyak dari orang-orang bodoh. Sebab itu, yang dijadikan pengangan ulama

adalah sifat, bukan jumlah. Jumlah yang banyak tidak menjadi jaminan yang lebih

baik, kecuali jika mempunyai kesamaan dalam sifat keutamaan.47

B. Objek Kata Ṯayyib

1. Orang yang Bersyukur

Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas

apa yang dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kata kufur 48

hakikat

syukur adalah menampakkan nikmat yang berarti menggunakannya pada tempat

46

Muhammad bin Yûsuf al-Syahîr bin Abû Hayyan al-Andalusiy, Tafsîr Bahr al-Muhît

(Beirut: Dâr al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1993), h. 30.

47 Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar.

(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992), h. 62. 48

Amir an-Najar, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Penerjemah. Ija Suntana (Bandung: PT Mizan Publika, 2004), h. 90.

Page 68: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

51

dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut

nikmat dan pemberinya dengan lidah.49

Menurut sebagian ulama, syukur berasal dari kata syakara yang artinya membuka

atau menampakkan. Jadi, hakikat syukur adalah menampakkan nikmat Allah swt yang

dikaruniakan padanya baik dengan cara menyebut nikmat tersebut atau dengan cara

mempergunakan di jalan yang dikehendaki oleh Allah swt.50

Imam al-Ghazâlî

menegaskan bahwa disebutnya perintah bersyukur secara bergandengan dengan perintah

berdzikir (mengingat Allah swt) menunjukkan kepada kedudukan yang penting.51

Sebagaimana dalam surah al-Baqarah[2]: 152.

“Maka ingatlah kepada-Ku, Akupun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah

kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”

Ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Allah swt melalui dzikir,

hamdalah, tasbih, dan membaca al-Qur‟an dengan penuh penghayatan, perenungan, serta

pemikiran yang mendalam sehingga menyadari kebesaran, kekuasaan, dan keesaan Allah

swt. Menjauhi larangan yang Allah swt tetapkan, sehingga dibukakan pintu kebaikan.52

2. Orang yang Beriman

“Berkata musa: hai kaumku, jika kamu breriman kepada Allah swt maka

bertawakallah kepada-Nya saja jika kamu benar-benar orang yang beserah diri.”53

49

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), h. 216.

50 Aura Husna, Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna Sejati, Bahagia, dan

Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 110-111.

51 Abû Hâmid al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulum al-Dîn (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 80.

52 Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah. Bahrun Abu Bakar.

(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 30. 53

QS. Yunus[10]: 84.

Page 69: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

52

Kata خن yang kata kerjanya هسلويي itu sama dengan arti kata (kamu beriman) اه

sehingga orang yang bertawakal kepada Allah swt itu adalah orang yang diakui اسلن

keimanan dan keislamanannya, dan sebaliknya orang yang tidak bertawakal kepada Allah

swt tidak dapat diakui keimanan dan keislamannya.54

Orang beriman adalah orang-orang yang taat, yang hatinya senantiasa menyebut

nama Allah swt sehingga mampu menimbulkan rasa kagum yang sangat kuat, dan

sepanjang hidupnya ditentukan oleh suasana hati ketaatan yang mendalam. Sehingga

perwujudan ini meupakan suatu indikasi bahwa orang mukmin adalah orang yang taat.55

Seorang mukmin yang akan taat akan selalu menjalankan perintah agama. Orang

yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah swt maka

bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka

bertambahlah keimanan mereka, dan mereka hanya bertawakal kepada-Nya.56

3. Orang yang Mengerjakan Amal Shalih

Secara etimologis, amal shalih bermakna perbuatan baik. Dan secara

terminologis maknanya ialah semua aktifitas yang bermuara pada ketaatan yang

dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya kepada orang-orang beriman untuk

dipatuhi.57

Amal shalih adalah amal-amal perbuatan yang dapat memperbaiki diri

54

Mahmud Sujuthi, Hasanuddin Amin, Akidah Akhlak (Surabaya: Sinar Wijaya, 1984), h.

5. 55

Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an. Penerjemah. Mansuruddin

Djoely (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 300. 56

Nanda Cita Aliffah, “Representasi Orang Beriman dalam Kartun Animasi Upin dan

Ipin Episode Puasa dan Zakat Fitrah,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas

Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), h. 2. 57

M. Said Mahmud, “Konsep Amal Shaleh dalam al-Qur‟an: Telaah Etika Qur‟ani

dengan Pendekatan Metode Tafsir Tematik,” (Disertasi Institut Agama Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 1995), h. 266.

Page 70: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

53

manusia dalam akhlaknya, adab sopan santunnya dan hal ihwalnya, baik secara

pribadi maupun sosial.58

Kata shalih biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan good atau

berarti baik dalam bahasa Indonesia. Izutsu menyoroti kata itu harus terpisah

terhadap konteks al-Qur‟an memaknai kata shalih seperti apa adanya dan al-

Qur‟an memberi pemahaman atau menjelaskan dirinya sendiri. Bahwa kata shalih

mempunyai kaitan dengan kata iman, iman atau keyakinan yang dimiliki manusia

yang berada dalam hati dapat dimanifektasikan dalam perbuatan tertentu yaitu

shalih itu sendiri. Hubungan yang sangat erat tersebut berasumsi bahwa iman dan

shalih menjadi persoalan yang serius karena disamping berlawanan juga

melahirkan penyempitan penafsiran, hanya sebatas religious saja.59

C. Balasan Kata ṯayyib

1. Ditumbuhkan Tanaman yang Subur

Al-Qur‟an sering menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai bukti kekuasaan Allah

dan perumpamaan untuk menyampaikan suatu hikmah.60

Allah menegaskan dalam

banyak ayat bahwa Dialah yang sesungguhnya menghidupkan bumi, mengeluarkan biji-

bijian, menumbuhkan tanaman, mengalirkan air sungai, dan menurunkan hujan. Ayat-

58

Muhammad Rasyid Ridâ, Tafsir al-Manar (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, t.t), h. 436. 59

Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an. Penerjemah. Mansuruddin

Djoely, h. 245-246. 60

QS. Ibrâhîm[14]: 24-26 artinya “tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah

membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya

menjulang ke langit….”, QS. al-„An‟âm[6]: 99 artinya “dan Dialah yang menurunkan air hujan

dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami

keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau.”

Page 71: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

54

ayat al-Qur‟an sebenarnya telah jelas menggambarkan mukjizat dalam pertumbuhan

tanaman.61

Sebagaimana dalam surah al-Nahl[16]: 10-11 dan QS. al-Mu‟minun[23]: 19

“Dialah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu

sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-

tumbuhan, yang pada tempat tumbuhnya kamu menggembalakan ternakmu. Dia

menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanaman-tanaman: zaitun, kurma,

anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu

benar-benar tanda kekuasan Allah bahi kaum yang memikirkan.”62

“Lalu dengan air itu Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma

dan anggur, di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak

dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan.”63

Ayat-ayat tersebut menunjukkn bahwa sistem pertanian yang disebut al-

Qur‟an berkaitan dengan beragamnya hasil pertanian. Ayat-ayat itu secara khusus

menyebutkan jenis-jenis tumbuhan yaitu, zaitun, kurma, dan anggur yang

merupakan gambaran variasi jenis tanaman yang ditanam, yaitu jenis rerumputan

dan pepohonan.64

2. Disediakan Berbagai Rezeki

Kata rezeki yang dalam al-Qur‟an disebutkan berulang-ulang sebanyak 123 kali

dalam 44 surat dengan berbagai derivasinya.65

61

Nadia Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur’an:Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman Allah (Jakarta: Zaman, 2013), h. 652.

62 QS. al-Nahl[16]: 10-11

63 QS. al-Mu‟minun[23]: 19

64 Nadia Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur’an:Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman

Allah, h. 658. 65

Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-

Karîm (al-Qohirah; Dar al-Fikr, t.t), h. 394.

Page 72: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

55

Rezeki dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan segala sesuatu yang

dipakai untuk memelihara kehidupan yang diberikan Tuhan, dapat berupa makanan

sehari-hari, nafkah, pendapatan, keuntungan dan sebagainya.66

Sebagaimana dalam surah

al-Baqarah[2]: 22

“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai

atap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu

segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan

sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.”

Masalah rezeki adalah masalah yang begitu dekat dengan kehidupan manusia

sehari-hari, bahkan masyarakat memandang ini sebagai hal yang paling penting,

khususnya berkaitan dengan persepsi manusia yakni tentang kesejahteraan hidupnya

sehari-hari, susah ataupun senanag hidup seseorang tidak bisa terlepas dari masalah ini.67

Manusia dianuger ahi Allah swt sarana yang lebih sempurna yaitu akal, ilmu, pikiran dan

sebagainya, sebagai bagian dan jaminan rezeki Allah swt. Tetapi sekali-kali jaminan

rezeki yang dijanjikan itu bukan berarti memberinyaa tanpa usaha. 68

3. Disediakan Surga

Kenikmatan surga adalah kenikmatan abadi yang terdiri dari berbagai aspek

sebagaimana kehidupan dan kenikmatan dunia. Perbedaan bukan hanya pada tempat

tinggal, pelayanan, makanan, minuman, pakaian, dan perhiasan, tetapi juga pada hakikat

dari segala kenikmatan tersebut. 69

66

Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 747.

67 Yusuf Abdussalam, Bertanya Tuhan tentang Rezeki (Yogyakarta: Media Insani, 2004),h.

5. 68

M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata (jakarta: lentera Hati, 2007), h. h. 828.

69 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Keniscayaan Hari Akhir: Tafsir al-Qur’an

Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2010), h. 454.

Page 73: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

56

Al-Qur‟an dan sunnah menegaskan bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa

menandingi surga. Tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka,

yaitu bermacam-macam nikmat yang menyengkan hati sebagai balasan terhadap apa yang

mereka kerjakan (QS. al-Sajdah[32]: 17). Tidak seorangpun yang mengetahui betapa

besar nikmat yang akan diberikan kepada mereka dan betapa besar kelezatan yang akan

mereka peroleh sebagai pembalasan atas amalan-amalannya yang shalih.70

Kekekalan

surga ditunjukkan al-Qur‟an, hadis, dan kesepakatan ulama Ahlu Sunnah. Dian tara dalil

al-Qur‟an yang menegaskan kekekalan surga sebagaimana dalam surah al-Nisâ[4]: 57.

“Adapun orang-orang yang beriman dan megerjakan kebaikan kelak akan Kami

masukkan ke surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya

selama-lamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami

masukkan mereka ketempat yang teduh lagi nyaman.”

70

Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur (Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000), h. 3240.

Page 74: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

57

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Segala bentuk tindakan manusia mengacu pada pandangannya tentang baik

dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan menjadi sumber rujukan

dalam melakukan berbagai tindakan hidupnya. Bahwasanya setiap perbuatan

kebaikan itu akan mendapat balasan, baik di dunia maupun di akhirat.

Kata ṯayyib merupakan kata yang lebih komprehensif dalam

mengungkapkan sesuatu yang baik, yang diperintahkan dan dibolehkan oleh

agama atau akal yang sehat. Kata ṯayyib juga diartikan dengan kata sifat, yang

memiliki fungsi semantik yang paling dasar untuk menunjukkan berbagai kualitas

(sifat) yang melahirkan suatu pengertian rasa dan bau, khususnya sebagai suatu

hal yang sangat menyenangkan, indah, dan ceria. Akan tetapi kata ṯayyib sering

digunakan untuk menunjukkan sifat makanan, air, wewangian, dan sebagainya.

Allah swt memberikan balasan kebaikan dari kata ṯayyib bagi orang yang

selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan-Nya, orang yang

beriman yang hatinya senantiasa menyebut nama Allah swt, dan orang yang

melakukan perbuatan yang dapat memperbaiki diri dalam akhlaknya, yaitu

balasan yang Allah swt berikan berupa ditumbuhkan tanaman yang subur,

disediakannya berbagai rezeki, dan disediakannya surga.

Page 75: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

58

B. Saran

Terdapat banyak sekali kekurangan serta kelemahan yang tidak terhitung

jumlahnya, yang senantiasa memenuhi bagian demi bagian dari keseluruhan

penelitian ini. Hal tersebut bisa jadi disebabkan pembacaan penulis yang masih

kurang terhadap literatur-literatur yang berkaitan, baik secara langsung maupun

tidak langsung, dengan tema kajian. Penyebab lainnya, bisa jadi karena

penguasaan penulis yang masih lemah terhadap teori yang diaplikasikan dalam

penelitian ini. Berbagai kekurangan tersebut biasanya dapat dengan mudah

ditemukan, terutama bukan oleh penulis sendiri, melainkan lewat pembaca. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk mengkritik,

mengkoreksi, melengkapi, maupun memberikan saran serta masukan yang

membangun. Untuk itu penulis menyarankan kepada peneliti-peneliti selanjutnya

agar membahas lebih komprehensif mengenai kebaikan (al-Ṯayyib ) dan

balasannya dalam al-Qur‟an.

Page 76: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

59

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Dudung. “Konsep Kebajikan (al-Birr) dalam al-Qur‟an: Suatu Analisis

QS. al-Baqarah/2: 177 .” Juni 2015.

Abdussalam, Yusuf. Bertanya Tuhan tentang Rezeki. Yogyakarta: Media Insani,

2004.

Ahmady. “Konsep Ihsan dalam al-Qur‟an: Pendekatan Semantik.” Tesis S2

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Program Pascasarjana, Universitas Islam

Negeri Yogyakarta, 2012.

Aisyah, Intan Tri. “Baik dan Buruk dalam al-Qur‟an: Penafsiran Lafadz al-Tayyib

dan al-Khabith.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Uneversitas Islam

Negeri Jakarta, 2015.

Aliffah, Nanda Cita. “Representasi Orang Beriman dalam Kartun Animasi Upin

dan Ipi n Episode Puasa dan Zakat Fitra.” Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan

Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.

Amin, Mahmud Sujuthi, dan Hasanuddin. Akidah Akhlak. Surabaya: Sinar

Wijaya, 1984.

Al-Andalusiy, Muhammad bin Yûsuf al-Syahîr bin Abû Hayyan. Tafsîr Bahr al-

Muhît. Beirut: Dâr al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1993.

Al-Aqqad, Abbas Mahmud. Manusia diungkap al-Qur‟ân. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1991.

Al-Asfahânî, Al-Râghib. Mu‟jam al-Mufradât li al-Fâḏ al-Qur‟an. Beirut: Dâr al-

Fikr, 2008.

Al-Ashfahani, Al-Raghib. al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-

Ma‟rifah, t.t.

Al-Baghdâdî, Mahmûd al-Alûsî. Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm wa

al-Sab‟î al-Matsânî. Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1985.

Al-Bâqîy, Muhammad Fuâd „Abdul. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an

al-Karîm. al-Qohirah; Dar al-Hadis, t.t.

-------, Muhammad Fuâd „Abdul. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-

Karîm. Beirut; Dâr al-Fikr,1992.

Page 77: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

60

Al-Bukhârî, „Abî „Abdillah Muhammad bin Ismâ‟îl. Shaẖîẖ al-Bukhârî. Kohiroh:

al-Qudus, 2014.

Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ‟îl. Shaẖîẖ al-Bukhârî. T.tp.: Dâr al-Alamiyyah,

2014.

Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian kuantitatif: Komunikasi Ekonomi, dan

Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2011.

Al-Bustanî, Fuad Afrain. Munjid al-Ṯullâb. Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986.

Dahlan, „Abdul „Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve,

1997.

Departemen Agama RI. al-Qur‟an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.

Enoh. “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam al-Qur‟an.” no. I,

Januari 2007.

Al-Farmawi, „Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu‟i. Penerjemah. Suryan A.

Jamrah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Al-Ghazâlî, Abû Hâmid. Ihyâ‟ „Ulum al-Dîn. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.

-------, Imam. Ihya Ulumuddin. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.

Haq, Hamka. Syari„at Islam: Wacana dan Penerapannya. Makassar: Yayasan al-

Ahkam, 2003.

Hasan, Abd Kholiq. Tafsir Ibadah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008.

Hidayat, Rahmat. “Infak dan Sadaqah dalam al-Qur‟an: Kajian Tafsir Tematik.”

Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011.

Husna, Aura. Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna Sejati, Bahagia, dan

Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2013.

Izutsu,Toshiko. Etico-Religius Concepts in the Qur‟an, Penerjemah. Agus Fahri

Husein. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1993.

-------, Toshihiko. Etika Beragama dalam al-Qur‟an, Penerjemah. Mansurddin

Djoely. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

-------, Toshihiko. Etika Beragama dalam Al-Qur‟an. Penerjemah. Mansuruddin

Djoely. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Page 78: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

61

Katsîr, Abû al-Fidâ Muhammad bin Ismâ‟îl bin. Tafsir al-Qur‟an al-Adzîm al-

Musammâ Tafsîr ibn Katsîr. Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang,

1994.

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen

Agama RI. “Suhuf: Jurnal Kajian al-Qur‟an dan Kebudayaan.” I, no. I.

2008.

------- Pentashihan Mushaf al-Qur‟an. Keniscayaan Hari Akhir: Tafsir al-Qur‟an

Tematik. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2010.

Mahmud, M. Said. “Konsep Amal Shaleh dalam al-Qur‟an: Telaah Etika Qur‟ani

dengan Pendekatan Metode Tafsir Tematik.” Disertasi Institut Agama

Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995.

Ma‟luf, Lûwîs. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977.

-------, Lûwîs. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: T.pn., 1908.

Manẕûr, Ibnu. Lisân al-Arab. T.tp.: Dâr al-Ma‟ârif, t.t.

Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Penerjemah. Bahrun Abu Bakar.

Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992.

Marjuni,Kamaluddin Nurdin. Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim

Arab-Indonesia. Jakarta: Ciputat Press Group, 2007.

Matsna, M. Orientasi SemantiK al-Zamakhsyari. Jakarta: Anglo Media, 2006.

Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-DinI. Kairo: Dar al-Syibah, 1950.

Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah. Abu

Ihsan al-Atsari. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2014.

Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an

al-Karîm (al-Qohirah; Dar al-Fikr, t.t), h. 394.

Nadia. Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur‟an: Mengerti Mukjizat Ilmiah

Firman Allah.

An-Najar, Amir. Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Penerjemah. Ija

Suntana. Bandung: PT Mizan Publika, 2004.

Nasution, S. Metodologi Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara,

2001.

Page 79: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

62

Nurdin, Ali. Qur‟anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-

Qur‟an. Jakarta: Erlangga, 2006.

Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah, Ajaran, dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1995.

Al-Qurthubi, Imam. Tafsiral-Qurthubi. Penerjemah. Ahmad Rijali Kadir. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008.

Al-Qusyairy, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hallaj bin Muslim. Șaẖîẖ Muslim.

Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.

Qutb, Sayyid. Fi Dzilal al-Qur‟an: di Bawah Naungan al-Qur‟an. Penerjemah.

As‟ad Yasin. Jakarta: Gema Insani, 2003.

-------, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur‟ân di Bawah Naungan al-Qur‟an.

Penerjemah. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, vol. III. Jakarta: Rabbani Press,

2002.

Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an (Beirut: Dar al-

Ma‟rifah, t.t), h. 309.

Rahmi, Yulia. “Makna Khair dalam al-Qur‟an.”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin

dan Pemikiran Agama, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2014.

Ridâ, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, t.t.

Al-Șabûnî, Muhammad „Alî. Qabas min Nûr al-Qur‟an, juz. I-XI. Beirut: Dar al-

Qalam, 1988.

Salam, Burhanudin. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka

Cipta, 2000.

Shalikhin, Muhammad. Menyatu Diri dengan Ilahi. Yogyakarta: Penerbit Narasi,

2010.

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Tafsir al-Qur‟an al-Majid al-Nur.

Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000.

Shihab, M. Quraish. Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata. Jakarta: lentera

Hati, 2007.

-------, M. Quraish. Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt.

Jakarta: Lentera Hati, 2002.

-------, M. Quraish. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-

ayat Tahlil. Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Page 80: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

63

-------, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an.

vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2004.

-------, Muhammad Quraish. Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai

Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.

-------, Umar. Kontekstualitas al-Qur‟an Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum

dalam al-Qur‟an. Jakarta: Penamadani, 2008.

Ash-Shughayyir, Falih bin Muhammad bin Falih. Meraih Puncak Ihsan.

Penerjemah. Darwis. Jakarta: Darus Sunah, 2009.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1993.

Sultan, Gulan Reza. Hati yang Bersih: Kunci Ketenangan Jiwa. Jakarta: Pustaka

Zahra, 2004.

Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik.

Bandung: Tarsito, 1990.

Surur, Muhammad Jamaluddin. Qiyam al-Daulah al-„Arabiyyah al-islamiyyah.

Kairo: Dâr al-Nahdah, 1952.

Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press, 2013.

Sutoyo, Anwar. Manusia Dalam Perspektif al-Qur‟ân. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2015.

As-Sya‟rawi, Mohammad Motawalli. Meluruskan Paradigma Tentang Baik dan

Buruk. Penerjemah Usman Hatim. Jakarta: Yayasan Alumni Timur

Tengah, 2010.

Al-Sya„râwî, Muhammad Mutawalî. Tafsîr al-Sya„râwî. al-Azhar: Mujamma„ al-

Buhûs al-Islamiyyah, 1991.

Sya„rawi, Mutawalli. al-Khair wa al-Syar, Penerjemah. Tajuddin. Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 1994.

Thayyarah, Nadia. Buku Pintar Sains dalam al-Qur‟an:Mengerti Mukjizat Ilmiah

Firman Allah (Jakarta: Zaman, 2013), h. 652.

Tim Penyusun Pusat Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta: Balai

Pustaka, 1989.

Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an, h. 349.

Umari, Arkam Dhiyauddin. Madinan Society at the Time of the Prophet: Its

characteristics and Organization. Penerjemah. Mun‟in A. Sirry.

Page 81: KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA DALAM AL-QUR’ANrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45338/1/Skripsi Dwi Siska.pdf · semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian,

64

Masyarakat Madani: Tinjauan Hidtoris Kehidupan Zaman Nabi. Jakarta:

Gema Insani Press, 1999.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah

Penafsir al-Qur‟an. Jakarta: T.pn., 1990.

Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990.

Zakaria, Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn. Mu„jam Maqâyis al-Lughah. Beirut:

Dâr al-Turâs al-Arabî, 2001.

WEBSITE

Muhammad Hisyam, “Shalih Menurut al-Qur‟an,” artikel diakses pada 20 Maret

2017 dari http://beritalangitan.com>fakta-opini