pasangan ideal menurut al-qur’anrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · surah...
TRANSCRIPT
PASANGAN IDEAL MENURUT AL-QUR’AN
(KAJIAN QS. AL-NŪR AYAT 26 DAN QS. AL-TAḤRĪM
AYAT 10-11).
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Khalisoh Qadrunnada
11150340000190
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
iv
ABSTRAK
Khalisoh Qadrunnada
“Pasangan Ideal Menurut al-Qur‟an (Kajian QS. al-Nūr ayat 26 dan
QS. al-Taḥrīm ayat 10-11).”
Pasagan ideal adalah upaya dalam menjalin erat antara kedua anak
manusia untuk terus-menerus berada dalam cinta, kesetiaan, ketulusan,
kerjasama, dan saling menghargai satu dengan lainnya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif analitik dan merupakan penelitian kepustakaan (library
research). Jenis penelitian ini kualitatif sesuai untuk diterapkan pada
penelitian ini, karena penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan
secara komprehensif sumber-sumber kepustakaan, dan digunakan untuk
menjawab pokok permasalahan yang telah di rumuskan.
Adapun hasil dari penilitian ini menyimpulkan bahwasanya dalam
surah al-Nūr ayat 26 menjelaskan setiap perkara yang keji baik ucapan
maupun perbuatan akan cocok, sejalan dan sesuai dengan yang keji pula,
begitupun sebaliknya. Sedangkan dalam surah al-Taḥrīm ayat 10-11
adalah secara khusus Allah membuat perumpamaan sebagaimana orang
baik mendapatkan pasangan yang tidak baik, hal ini dapat dilihat pada
kisah Nabi Nūh, Nabi Lūth yang medapatkan istri yang durhaka, lalu
kedua suaminya tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Allah.
Lalu di ayat selanjutnya menemukan perumpamaan lain tentang suami
yang tidak baik (fasik) dengan istri salehah yaitu Asiyah.
Sehingga ketiga ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ketiganya
tidak memiliki keterkaitan, dan tidak ada hubungan nya dengan pasangan
ideal karna pada dasarnya di dalam surah al-Nūr ayat 26 hanya
menjelaskan tentang baik buruknya seseorang dilihat dari perkataan,
maupun perbuatannya. Sedangkan di surah al-Taḥrīm ayat 10 menjelaskan
perumpamaan tentang kebaikan seseorang tidak dapat menolong dari api
neraka atas kekejian sesorang tersebut sekalipun pasangannya ataupun
keluarganya karna yang dapat menolong hal tersebut hanya dari diri kita
sendiri.
Kata Kunci : Pasangan, Menurut al-Qur‟an
v
KATA PENGANTAR
بسمميحرلا نمحرلا هللا
Segala puja dan puji syukur hanya untuk Allah SWT, karena
berkat rahmat nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “Pasangan Ideal Menurut al-Qur‟an (Kajian QS. al-
Nūr [24] ayat 26 dan QS. al-Taḥrīm [66] ayat 10-11).” Shalawat serta
salam penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad
SAW yang selalu memberi syafaat kepada umatnya dari setiap lafal
shalawat yang terucap.
Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput
dari dukungan, arahan dan bantuan banyak pihak, dengan segala
kerendahan hati dan rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih
kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, MA., Selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., Selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, MA., Selaku Ketua Jurusan Ilmu al-
Qur‟an Dan Tafsir dan Bapak Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH
Selaku Sekertaris Jurusan Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Muslih, Lc., M.Ag., Selaku Dosen Pembimbing
akademik yang telah memberikan banyak nasihat dan
kemudahan bagi penulis dalam mengurus administrasi dan
penyelesaian skripsi.
5. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA., Selaku Dosen
pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktunya
vi
untuk membimbing dan mengarahkan serta mengkoreksi dalam
penulisan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan serta
pengalaman kepada penulis. Serta para staf dan para karyawan
Ushuluddin yang sudah memberikan kemudahan dalam
mengurus administrasi dan berkaitan dengan skripsi penulis.
7. Untuk kedua orang tua yang penulis cintai Alm. Abuyah KHR.
Thabrani Rasyidi, SH, MH, dan Ummi Hj. Anisatus Sa‟diyah,
S.Pd., yang selalu mendoakan kebaikan dalam segala aktivitas
penulis dan selalu memberikan support, perhatian, kasih
sayang dan doa yang tak pernah putus selama ini. Terimakasih
atas segalanya semoga selalu dapat membahagiakan dan
membanggakan sehingga dapat menjadi anak yang berbakti.
8. Untuk abang saya Muhammad Shofwan Nidhami, SH dan adik
saya Muhammad Athief Fawwaz yang selalu memberikan
support dan doanya kepada penulis di saat penulis terbentur
pada kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini. Sekali lagi
terimakasih atas segalanya semoga kelak kita akan menjadi
anak yang membanggakan bagi Abuyah dan Ummi.
9. Untuk diri saya sendiri, terimakasih banyak telah mau berjuang
hingga titik akhir perkuliahan. Semoga semakin giat belajar
kembali mendalami apa yang sudah dipelajari selama
perkuliahan.
10. Untuk teman seperjuangan penulis dibangku kuliah Siti
Nafisah Ahmad, Nada Silvia ady Sanusi, Ulfa Fauziah, Fiza
Intan Naumi, Winda Ayu Pertiwi, Fitrah Amaliah, Nabila
Bulqois, terimakasih telah berbagi canda, tawa, suka maupun
vii
duka kepada penulis selama ini, dan terimakasih juga kepada
Rian Syaputra Lubis atas segala bantuannya dalam
merampungkan penulisan ini.
11. Untuk saudara kost dari awal semester baru sampai saat ini Nur
Ilhamilaili FM, terimakasih telah menemani penulis dua puluh
empat jam di perantauan selama empat tahun ini.
12. Untuk teman-teman tafsir hadist 2015, terkhusus bagi teman-
teman TH E yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,
semoga silaturrahim kita tetap terjaga dan takkan retak
walaupun jarak memisahkan kita.
13. Terakhir saya juga berterimakasih kepada Riza Muhammad, ka
fairuz dan ka ghoffar, Arafat Ibnu Sabil, ka kholis Bidayati dan
ka itsbat sudah banyak membantu memberikan ide dan
motivasi dalam penyelesaian skripsi ini dan semoga
silaturrahim tetap terjaga sampai kapanpun.
Besar harapan penulis, semoga skripsi yang penulis susun ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis, para akademisi, maupun masyarakat umum.
Wassalamu‟alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh.
Ciputat, 20 November 2019
Penulis
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan
bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543/U/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam
huruf Latin dapat dilihat pada halaman berikut:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ṡ Es (dengan titik di atas) ث
J Je ج
ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Ż Zet (dengan titik di atas) ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
Ṣ Es (dengan titik di bawah) ص
Ḍ De (dengan titik di bawah) ض
Ṭ Te (dengan titik di bawah) ط
Ẓ (Zet dengan titik di bawah) ظ
„ عkoma terbalik di atas hadap
kanan
ix
G Ge غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
՚ Apostrof ء
Y Ye ي
Hamzah (ء) ang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa
diberi tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis
dengan tanda (’).
a. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti dalam bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk
vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Vokal tunggal Vokal panjang Vokal rangkap
Fatḥah A أ : Ā ى...´ : ai
Kasrah I ى : Ī و....´ : au
Ḍammah U و : Ū
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan
antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf yaitu:
x
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي Ai a dan i
و Au a dan i
b. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā ىآa dengan garis di
atas
Ī i dengan garis di atas ىي
Ū ىىu dengan garis di
atas
Huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijal,
bukan ar-rijal, al-diwān bukan ad-diwān.
c. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang
diberi syaddah itu. Akan tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti
oleh huruh-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-
darûrah melainkan al-ḍarūrah, demikian seterusnya.
d. Ta marbūṭah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṭah terdapat
pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan
xi
menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga
berlaku jika ta marbūṭtersebut diikuti oleh datkata sifat (na’t) (lihat contoh
2). Namun, jika huruf ta marbūṭah diikuti kata benda), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Tanda Vokal Latin Keterangan
ṭarīqah طريقت 1
al-Jāmi’ah al-Islāmiyyah الجامعت اإلسالميت 2
waḥdat al-wujūd وحدة الىجىد 3
e. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan
mengikuti ketentuan yang berlaku Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama
bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abū Hāmid Al-
Ghazālī bukan Abū Hāmid al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dari EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya,
demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin
al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
xii
f. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l) , kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
atas kalimat-kalimat dalam Bahasa Arab, dengan berpedoman pada
ketentuan di atas.
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustādzu ذهب األستاذ
tsabata al-ajru ثبت األجر
al-ḥarakah al-„asriyyah الحركت العصريت
asyhadu an lā ilāha illā Allāh أشهد ان ال إله إال هللا
maulāna Malik al-sāliẖ مىالنا ملك الصالح
yu‟atstsirukum Allāh يؤثركم هللا
Al-maẓāhir al-„aqliyyah المظاهر العقليت
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri
mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak
perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nūr Khālis
Majīd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rūm; Fazlur Rahman, bukan
Fadl al-Rahmān.
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ............................................................. 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................. 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PASANGAN IDEAL
A. Definisi Pasangan Ideal .......................................................... 16
B. Kriteria Pasangan Ideal .......................................................... 18
1. Pemilihan atas Dasar Agama ........................................... 19
2. Pemilihan atas Dasar kecantikan ....................................... 20
3. Pemilihan atas Dasar Keturunan ....................................... 21
4. Pemilihan atas Dasar Harta .............................................. 23
5. Pemilihan atas Dasar Kesehatan Jasmani Dan Rohani .... 23
6. Pemilihan atas Dasar Rasa Tanggung Jawab .................... 25
C. Faktor Yang Mempengaruhi Pasangan Ideal........... ............... 25
1. Ikatan Emosional ............................................. ............... 25
2. Peran Gender .................................................... ................ 28
xiv
3. Status Sosial .................................................................... 31
D. Konsep Keluarga Sakinah ...................................................... 32
1. Definisi Keluarga Sakinah ................................ .............. 32
2. Ciri-Ciri Keluarga Sakinah .............................. .............. 34
3. Fungsi Keluarga Sakinah ................................. ............... 35
BAB III KAJIAN QS. Al-NŪR AYAT 26 DAN QS. Al-TAḤRĪM
AYAT 10-11
A. Tafsir QS. al-Nūr ayat 26 ........................................................ 41
1. Asbabun nuzul QS. al-Nūr ayat 26 ................................... 41
2. Munasabah QS. al-Nūr ayat 26 ........................................ 42
3. Berbagai Tafsiran QS. al-Nūr ayat 26 .............................. 43
4. Makna kata al Khabīṡāt .................................................... 43
5. Makna kata al-Ṭayyibāt ................................................... 44
6. Makna kata al Bīrr ........................................................... 45
B. Tafsir QS. al-Taḥrīm ayat 10-11 ............................................. 46
1. Asbabun nuzul QS. al-Tarḥīm ayat 10-11 ....................... 47
2. Munasabah QS. al-Taḥrīm ayat 10-11 ............................. 48
3. Berbagai Tafsiran QS. al-Taḥrīm ayat 10-11 .................. 49
4. Sikap Istri Nabi Nūh As .................................................. 49
5. Sikap Istri Nabi Lūth As ................................................. 50
6. Kelembutan Istri Fir‟aun ................................................. 50
7. Makna Perumpaman dalam al-Qur‟an ............................ 51
BAB IV ANALISIS PENAFSIRAN QS. Al-NŪR AYAT 26 DAN QS.
Al-TAḤRĪM AYAT 10-11
A. Penafsiran QS. al-Nūr ayat 26 ............................................. ...53
B. Penafsiran QS. al-Taḥrīm ayat 10 .......................................... 61
C. Penafsiran QS. al-Taḥrīm ayat 11 ........................................... 67
xv
D. Relasi penafsiran QS. al-Nūr ayat 26 dan QS. al- Taḥrīm ayat
10-11 ...................................................................................... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 76
B. Saran ....................................................................................... 78
Daftar Pustaka ......................................................................................... 80
Lampiran ......................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang paling benar dan
sempurna bagi kaum muslim, karena isi di dalam al-Qur‟an dapat
mencakup segala aspek kehidupan yang dapat dikaji secara mendalam
dan semakin diyakini kebenaran dalil-dalilnya. Kandungan di dalam
al-Qur‟an juga mencakup dalam berbagai segala aspek kehidupan
yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa. Secara garis
besar kandungan al-Qur‟an mencakup juga masalah akidah, akhlak,
dan amaliah, al-Qur‟an berlaku bagi semua umat di dunia dan tidak
hanya untuk satu umat saja, selain itu al-Qur‟an berlaku sepanjang
masa. Dengan demikian, ajaran yang diajarkan di dalam al-Qur‟an
sangat lah luas yang melebihi luasnya semua umat manusia.1
Al-Qur‟an di sini juga merupakan petunjuk bagi seluruh umat
manusia dan juga merupakan undang-undang di dalam kehidupannya.
yang mana dapat memberikan petunjuk kepada manusia agar
mengikuti jalan yang benar yang dapat mengantarkan kepada mereka
agar menjadi manusia yang sempurna serta menjadi manusia yang
mulia, sehingga dapat menjadi petunjuk yang lurus yaitu dapat
mengajarkan manusia cara untuk berhubungan dengan Tuhannya,
serta berhubungan dengan sesama manusia juga dengan lawan
jenisnya serta manusia dengan alam, dengan demikian apabila
manusia dapat menjaga dengan lawan jenisnya yang bukan mahram
1 Abd. Wahhāb Khallāf, Usul Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da‟wah al-Islāmiyyah
Syabab al-Azhar, 2002), 21.
2
maka ia juga harus menjaga pandangannya agar tidak terjadi atau
terjerumus dalam kemaksiatan.2
Agama merupakan tuntunan hidup bagi manusia, agar sejalan
dengan pikiran (logik) dan perasaan umum manusia. Sebagaimana
manusia diciptakan oleh Tuhan yang dilengkapi dengan fitrah yang
cenderung memiliki keinginan yang bersifat secara global.
Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam al-Qur‟an:
ت من ٱلنساء وٱلبن هب وٱلفضة زين للناس حب ٱلشهو طري ٱلمقنطرة من ٱلذ ني وٱلقنيا وٱلل ن ة ٱلد ع ٱلي و لك مت م وٱلرث ذ ع ۥح حسن وٱليل ٱلمسومة وٱلن نند
ٱلمئاب
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-
apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak
dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah
lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Āli Imrān[3]: 14).
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa jika manusia
tertarik terhadap lawan jenis wajar saja jika ia bangga memiliki
sesuatu yang banyak dan menjadi orang yang sukses. Sebagaimana ia
juga senang jika memiliki barang yang berharga dan harta yang
banyak dan itu sangat wajar, karena di dalam diri manusia itu ada rasa
atau keinginan itu semua.
Di dalam kehidupan ada berbagai macam ketertarikan
sebagaimana yang dimiliki setiap orang, ia dapat memiliki daya tarik
tersebut seperti paras yang rupawan, harta yang berlimpah dan juga
pangkat yang tinggi, akan tetapi sifat daya tarik yang ada di dalam diri
manusia itu hanyalah ada dalam diri seseorang seperti sifat yang
2 Muhammad bin Muhammad Amir, Fikih Wanita Kumpulan Fatwa Lengkap
Seputar Permasalahan Wanita (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2010), 1.
3
lemah lembut, ramah, setia dan sebagainya. Namun di dalam diri
setiap manusia itu terdapat selera yang berbeda seperti ia yang hanya
tertarik terhadap rupa nya saja, ada juga yang melihat dari harta dan
jabatannya saja serta status sosial, dan juga ada yang melihat dari segi
kualitas hati. Dengan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa
ketertarikan inilah yang membuat seseorang berharap dapat
bersanding dengan orang yang sesuai dengan kriterianya, dan
mayoritas orang juga berharap dapat bersanding dengan pasangan
yang baik yang dapat dilihat dari segi perilakunya itu sendiri.3
Setiap orang tentu akan berharap bersanding dengan pasangan
yang berperilaku baik, dan belakangan ini ada pemahaman yang
beredar di tengah masyarakat yang sering kali didengar bahwa untuk
mendapat pasangan yang baik maka orang tersebut harus terlebih
dahulu memperbaiki kualitas akan dirinya sendiri. Seseorang yang
baik pasti dipertemukan dengan pasangan yang baik pula. begitu
bunyi kutipan yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari kita
belakangan ini.
Pemahaman semacam itu, lumrahnya dilandaskan pada surah
al-Nūr [24] ayat 26 yang berbunyi:
ولئك ٱلبيثت للخبيثني وٱلبيثون للخبيثت وٱلطيبت للطيبني وٱلطيبون للطيبت أ لم مغفرة
كرمي ورزق مب رءون ما ي قولون
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-
laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula). Sedangkan
perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-
laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih
dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan
rezeki yang mulia (surga).” (QS. al-Nūr[24]: 26).
3 Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga
Bangsa (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 2005), 119.
4
Hal inilah yang menimbulkan asumsi di masyarakat bahwa
orang yang baik akan mendapatkan pasangan yang baik atau juga bisa
dikatakan bahwa jodoh atau pasangan kita nantinya merupakan
cerminan dari diri kita sendiri.
Asumsi awal inilah yang dibangun oleh penulis berdasarkan
gambaran di atas bahwa tidak semua orang-orang yang baik akan
selalu mendapatkan pasangan yang baik, begitu pula sebaliknya.
Seandainya dalam masyarakat memahami jodoh di dalam al-Qur‟an
seperti halnya dalam surah al-Taḥrīm [66] ayat 10-11 yang berbunyi:
ت كان تا لوط وٱمرأت نوح ٱمرأت كفروا للذين ضرب ٱلل مثال نبادن من نبدين تهما من ٱلل شي ص خلني ٱلد مع ٱلنار ٱدخال وقيل ا لحني فخان تاها ف لم ي غنيا نن
ف ٱلنة نندك ب يتا ل ٱبن رب قالت إذ فرنون ٱمرأت ءامنوا للذين وضرب ٱلل مثالن من ٱلقوم ٱلظلمني ن من فرنون ونملهۦ ون ون
“Allah memberikan perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nȗh
dan istri Lȗth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang
hamba yang sholeh di antara hamba-hamba kami; lalu kedua istri itu
berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak
dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan
(kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama
orang-orang yang masuk (Neraka).” (QS. al-Taḥrīm[66]: 10).
Dan Allah memberikan perumpamaan bagi orang-orang beriman. Istri
Fir‟aun, kretika dia berkata, Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku
sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari
Fir‟aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang
zalim.”(QS. al-Taḥrīm[66]: 11).
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa tidak semua orang yang baik
akan disandingkan dengan pasangan yang memiliki sifat atau perilaku
yang bertolak belakang darinya.
Jodoh atau pasangan di dalam al-Qur‟an surah al-Nūr ayat 26
mengandung arti bahwa pasangan yang baik akan mendapatkan
5
pasangan yang baik pula, begitu pula sebaliknya. Sedangkan dalam
ayat lain yang terdapat di dalam surah al-Taḥrīm ayat 10-11
dijelaskan akan kisah Nabi Nūh dan Nabi Lūth yang mendapatkan
seorang istri yang durhaka seperti Wahilah dan Wali‟ah, dan juga
Asiyah binti Muzahim yang mendapat seorang suami yang ẕalim
seperti Fir‟aun, yang mana seolah-olah dari kedua surah tersebut
memiliki arti dan pemahaman yang berbeda.
Sehingga dari permasalahan pemahaman masyarakat ini lah
yang mengatakan bahwa orang baik akan mendapatkan pasangan
yang baik, begitu pula sebaliknya seperti yang telah disebutkan di
atas, sehingga untuk menyeimbangkan kembali mengenai pasangan
ideal menurut al-Qur‟an, maka berdasarkan penelusuran terhadap
beberapa karya ilmiah yang berkaitan tentang pemaknaan terhadap
ayat-ayat al-Qur‟anyang memiliki makna berlawanan, Sehingga
pembahasan di atas dianggap mampu untuk dikaji secara mendalam
dan komprehensif dan tidak hanya dilihat dari satu sisi saja.
Dengan demikian dari beberapa permasalahan dan tujuan yang
ingin dicapai dalam pemaknaan pasangan ideal menurut al-Qur‟an
seperti yang telah diuraikan di atas, oleh karena itu dalam karya tulis
ini penulis menawarkan pembahasan baru tentang pasangan ideal
menurut al-Qur‟an dengan menggunakan pendapat dari beberapa
mufasir. Maka dari itu penulis mengangkat judul dan membahas
tentang “PASANGAN IDEAL MENURUT AL-QUR‟AN (KAJIAN QS.
AL-NŪR AYAT 26 DAN QS. AL-TAḤRĪM AYAT 10-11).”
6
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka
ada beberapa permasalahan yang dapat di identifikasi dalam
penelitian skripsi dengan judul “Pasangan ideal menurut al-
Qur‟an (Kajian QS. al-Nūr ayat 26 dan QS. al-Taḥrīm ayat 10-
11), dengan demikian peneliti ini dapat di identifikasikan
masalahnya sebagai berikut:
a. Apa yang dimaksud Pasangan Ideal Menurut Al-Qur‟an?
b. Apa asbabun nuzul surah al-Nūr ayat 26?
c. Apa asbabun nuzul surah al-Taḥrīm ayat 10-11?
d. Bagaimana para Mufasir memahami surah al-Nūr ayat 26?
e. Bagaimana para Mufasir memahami surah al-Taḥrīm ayat
10-11?
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sebagaimana identifikasi masalah di atas untuk
mempermudah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, maka
yang telah disebutkan dalam identifikasi masalah sebelumnya
tidak akan dikaji seluruhnya, maka perlu adanya batasan yang
difokuskan pada:
a. Menganalisis pemahaman tentang Pasangan ideal menurut
Al-Qur‟anberdasarkan surah al-Nūr ayat 26 dan surah al-
Taḥrīm ayat 10-11.
b. Mengetahui asbabun nuzul dari kedua surah tersebut.
c. Mengetahui pemahaman para mufassir terhadap kedua
surah tersebut.
Agar pembahasan dalam penulisan skripsi ini lebih
mudah dan akurat maka penulis merumuskan masalah sebagai
7
berikut Bagaimana pemahaman para mufasir terhadap surah
al-Nūr ayat 26 dan surah al-Taḥrīm ayat 10-11 mengenai
pasangan ideal menurut al-Qur‟an?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Mengetahui bagaimana Pasangan Ideal Menurut al-Qur‟an
berdasarkan kajian surah al-Nūr ayat 26 dan surah al-
Taḥrīm ayat 10-11.
b. Mengetahui penafsiran surah al-Nūr ayat 26 dan surah al-
Taḥrīm ayat 10-11.
c. Mengetahui pendapat mufasir mengenai pasangan ideal
menurut al-Qur‟an berdasarkan surah al-Nūr ayat 26 dan
surah al-Taḥrīm ayat 10-11.
d. Untuk memenuhi Syarat mendapatkan Gelar S1 di Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Penelitian
a. Kegunaan teoritis dalam segi akademisi dapat memberikan
sumbangsih penelitian dan pemikiran baru serta dapat
melengkapi hasil dari penelitian-penelitian yang terdahulu.
Dari berbagai jurnal, artikel, skripsi dan tesis masih
kurangnya pembahasan mengenai pasangan ideal menurut
al-Qur‟an baik secara teori maupun praktiknya. Dengan
demikian maka perlu adanya penelitian lebih lanjut
menganai hal tersebut agar dapat di carikan solusinya.
8
b. Kegunaan praktis dalam penelitian ini dapat memberikan
wawasan dan khazanah pengetahuan dibidang Tafsir terkait
persoalan pasangan ideal menurut al-Qur‟an.
D. Tinjauan Pustaka
Selama proses penelitian, penulis menadapati kurangnya
skripsi yang membahas mengenai pasangan ideal menurut al-
Qur‟an. Namun ada beberapa skripsi yang penulis rasa masih
relevan dengan tema yang penulis angkat. Sehingga dalam karya-
karya tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dan
perbandingan oleh penulis. Adapun skripsi tersebut ialah sebagai
berikut:
Pertama, skripsi Rofiq Rahardi, dalam skripsi ini
dijelaskan bahwa Quraish shihab dalam merumuskan sakinah
sebagai keluarga yang ditopang oleh berbagai unsur penting seperti
kesatuan akidah, kemampuan mewujudkan ketentraman, pergaulan
yang baik, kekuatan dalam melindungi anggota keluarga,
hubungan kekerabatan dan pembagian tuggas yang berimbang.
Skripsi ini bisa di jadikan wawasan bagi penulis nantinya.4
Kedua, Fitri Sari dan Euis Sunarti, Dalam jurnal ini
dijelaskan bahwa yang menjadi faktor kesiapan dalam menikah
adalah kesiapan atas emosi, sosial, finansial, dan juga kematangan
dalam usia. Karena setiap laki-laki dan perempuan tentu memiliki
kesiapan yang sangat berbeda, sehingga kesiapan dalam menikah
ini harus di persiapkan dengan matang. Sehingga yang perlu di
tekankan di sini yaitu bagaimana cara kita memilih atau mencari
pasangan yang baik, sebagaimana syarat-syarat yang di butuhkan
4 Rafiq Rahardi, “Konsep Keluarga Sakinah Dalam Tafsir al-Misbah (Studi Tematik
Atas Penafsiran M.Quraish Shihab Terhadap ayat-ayat Keluarga dalam Surah an-Nisa‟)”,
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008).
9
saat mencari pasangan. Sehingga dalam jurnal ini bisa di jadikan
wawasan pengetahuan penulis nantinya, karena dalam membangun
sebuah rumah tangga kesiapan emosional sangat diperlukan.5
Ketiga, skripsi Ahmad As‟ari, dalam skripsinya dijelaskan
bahwa dalam mencari pasangan hendaknya jika mencari pasangan
harus melihat dari empat sisi: pertama, mencari pasangan yang
seiman, kedua, mencari laki-laki dan perempuan yang baik, ketiga,
mencari laki-laki atau perempuan yang bukan kerabat dekat atau
saudara dan yang keempat adalah mencari jumlah idealnya dalam
berpasangan. Sehingga skripsi ini dalam penulis jadikan sebagai
wawasan karena dalam salah satu karya tulis yang akan penulis
bahas yaitu tentang kriteria dalam mencari pasangan akan tetapi
penulis tidak hanya memfokuskan pada pembahasan itu saja.6
Keempat, Eliyyil Akbar, dalam jurnal ini dijelaskan bahwa
batasan ta‟aruf yang mengacu pada pendapat Syafi‟i dan Ja‟fari
yaitu dalam hal memandang, melihat calon pasangan terbatas oleh
wajah dan telapak tangan, karena dengan kedua anggota tersebut
seorang wanita atau calon pasangan dapat dlihat dari sikap dan
karakternya. Sehingga dalam jurnal ini lebih banyak menjelaskan
tentang konsep dari pada ta‟aruf sedangkan penulis lebih fokus
kepada pasangan ideal menurut al-Qur‟an.7
Kelima, skripsi Siti Patimah, dalam skripsi ini dijelaskan
bahwa setiap pernikahan yang melalui proses ta‟aruf pasti akan
mengalami hal sulit terkait penyesuaian diri dalam awal
5 Fitri Sari dan Euis Sunarti, “Kesiapan Nikah Pada Dewasa Muda Dan
Pengaruhnya Dengan Usia Menikah”, Jurnal ilm, vol.6, no.3 (September 2013). 6 Ahmad As‟ari, “Konsep Mencari Pasangan Ideal Dalam Tafsir al-Misbah Karya
Muhammad Quraish Shihab”. (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga, 2015). 7 Elliyil Akbar, “Ta‟aruf Dalam Khitbah Perspektif Syafi‟i dan Ja‟fari”, Jurnal
Musawa, vol.15, no.1 (Januari 2015).
10
pernikahan karena hal ini sudah banyak dialami oleh banyak orang
sehingga ini sudah sangat lumrah. Dari skipsi di atas tentu sangat
berbeda dengan apa yang akan penulis bahas akan tetapi skripsi ini
akan di jadikan sebagai tambahan bacaan untuk penulisan skripsi
nantinnya.8
Keenam, skripsi Selly Armaya, dalam skripsinya dijelaskan
bahwa sebelum kita membangun rumah tangga hendaknya bagi
pasangan suami istri melakukan proses pernikahannya melalui
Ta‟aruf agar mereka isa mengerti satu sama lain. Akan tetapi
dalam tulisan ini dijelaskan tentang proses penyesuaian diri dari
kalangan PKS yang mana di sini diajarkan tentang pemahaman dan
penyesuaian karakter dari masing-masing pasangan. Namun skripsi
yang akan penulis bahas tentu sangat berbeda dengan kajian ini
karena penulis lebih menekankan terhadap maksud dari pasangan
ideal menurut al-Qur‟an. Tentunya penulis akan banyak membahas
memilih pasangan yang baik.9
Ketujuh, skripsi Rosidatun Munawwarah, dalam skripsinya
dijelaskan tentang perbedaan antara Ta‟aruf dengan pacaran. Yang
dimaksud Ta‟aruf di sini adalah perkenalan antara lawan jenis
yang mengikuti aturan Syariat Islam. Sedangkan pacaran itu tidak
ada di dalamsyariat Islam. Salah satu contoh Ta‟aruf yaitu seperti
perkenalan antara lawan jenis akan tetapi ia tetap tahu mana batas-
batas yang diperbolehkan dalam agama Islam. Serta ia juga tahu
mana visi dan misi yang hendak dilakukan baik dari laki-laki
8 Siti Patimah, “Penyesuaian Diri Pasangan Suami Istri yang Melakukan Pernikahan
Melalui Proses Ta‟aruf di Purwokerto”, (Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri
Purwokerto, 2016). 9 Selly Armaya, “Penyesuaian Diri Pasangan Suami Istri yang Menikah Melalui
Proses Ta‟aruf Dikalangan Kader Pks Kota Binjai”, (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Sumatera Utara Medan, 2017).
11
maupun perempuan. Sehingga ia dapat melibatkan orang tua
didalamnya. Akan tetapi yang akan penulis bahas di sini adalah
tentang pasangan ideal menurut al-Qur‟an yang mana salah satu di
dalamnya terdapat kriteria dalam mencari pasangan. Sehingga
dalam pembahasan ini tentu sangat berbeda dengan apa yang
penulis bahas, oleh karena itu skripsi ini akan menjadi wawasan
bagi pembaca nantinya.10
Kedelapan, tesis Fitrah Thahir, dalam tesis ini dijelaskan
bahwa hakikat dari khitbah menurut hadist Nabi Muhammad yaitu
keberkahan pernikahan yang mana itu semua terdapat dalam dalam
proses khitbah ketika pelamar meminta kepada wali seorang
wanita. Sehingga dari tesis di atas tentu berbeda dengan apa yang
akan penulis bahas karena penulis akan lebih memfokuskan pada
pasangan ideal dalam al-Qur‟an dengan kajian QS. al-Nūr ayat 26
dan QS. al-Taḥrīm ayat 10-11.11
Kesembilan, skripsi Dwi Yulianti, dalam skripsinya
dijelaskan tentang cara penggunaan istikharah yang mana
istikharah ini sudah banyak dipahami masyarakat guna untuk
menunjukkan hasil yang diinginkan. Dalam istikharah ini juga
dapat menggunakan al-Qur‟an sebagai petunjuknya. Namun
penulis disini tidak mencantumkan cara penggunakan istikharat
sehingga penulisan ini tentu sangat berbeda dengan apa yang
penulis bahas.12
10
Rosidatun Munawwarah, “Konsep Ta‟aruf dalam perspektif pendidikan Islam”,
(Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2018). 11
Fitrah Thahir, “Konsep Khitbah Dalam Perspektif Hadist Nabi Muhammad Saw
(Analisis Maudhu‟i)”, (Tesis S2., Universitas Islam Negeri Alauddin Makasar, 2018). 12
Dwi Yulianti, “Penentuan Jodoh Menggunakan Pedoman Kitab “al-Fujrat al-
Wadhihah,(Studi Kasus di Jamsaren Kota Kediri)”, (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri
Maulana Ibrahim Malang, 2018).
12
Kesepuluh, Ahmad Arifuz Zaki, dalam skripsi ini
dijelaskan bahwa sebelum menikah bagi umat Islam harus seusi
dengan al-Qur‟an yang pertama mencari pasangan yang seagama,
kedua, dengan lawan jenis, ketiga, menikah bukan dengan
mahramnya dan yang keempat mempunyai kepribadian yang baik
dan yang kelima mempunya sifat tanggung jawab. Dengan
demikian dalam melangsungkan pernikahan hendaknya di
perhatikan terlebih dahulu aturan-aturan dalam Islam. Skripsi ini
lebih banyak menjelaskan kriteria sebelum menikah, akan tetapi
penulis dalam tulisannya akan membahas tentang pasangan ideal
menurut al-Qur‟an dengan menggunakan kajian QS. al-Nūr ayat 26
dan QS. al-Taḥrīm ayat 10-11, sehingga tentu sangat berbeda
dengan apa yang akan penulis bahas.13
Dari beberapa tinjauan pustaka yang penulis cantumkan,
belum ada yang membahas secara spesifik mengenai Pasangan
Ideal Menurut al-Qur‟an, Khususnya pada Kajian QS. al-Nūr ayat
26 dan QS. al-Taḥrīm ayat 10-11.
E. METODOLOGI PENELITIAN
Sebuah karya ilmiah tidak terlepas dari kerangka landasan
ilmiyahnya pula. Salah satu kriterianya adalah mempunyai
metodologi yang sistematis agar memudahkan dalam
penyusunannya serta dapat dipertanggung jawabkan. Berikut ini
adalah beberapa metode dan langkah yang ditempuh dalam
penelitian ini:
13
Ahmad Arifuz Zaki, “Konsep Pra-Nikah dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir
Tematik)”, (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
13
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kualitatif yang bersifat deskriptif analitik dan
merupakan penelitian kepustakaan (Library research). Jenis
penelitian ini kualitatif sesuai untuk diterapkan pada penelitian
ini, karena penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan
secara komprehensif sumber-sumber kepustakaan, dan
digunakan untuk menjawab pokok permasalahan yang telah
dirumuskan.14
2. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah
metode dokumentasi yaitu mencari data, catatan, transkrip,
buku dan lain sebagainya. Adapun sumber dari penelitian ini
memiliki dua jenis yaitu sumber primer dan sumber sekunder.
a. Sumber data primer
Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini
adalah al-Qur‟an al-Karīm dan beberapa tafsir lainnya.
Seperti Tafsir al-Mishbah, Tafsir al-Ṭabari, Tafsir al-
Qurṭubi dan Tafsir Ibnu Katsīr.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder yang penulis gunakan di sini
adalah buku-buku, karya ilmiah, jurnal dan literatur lain
yang terkait dengan tema penelitian ini. Karena penelitian
ini menggunakan al-Qur‟an sebagai kajian utama dan hal-
hal yang berkaitan dengan Pasangan Ideal Menurut al-
Qur‟an. Maka dalam hal ini penulis menggunakan beberapa
ayat al-Qur‟an, pendapat para ulama yang berkenaan
14
M. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), 27.
14
dengan unsur-unsur pasangan ideal serta beberapa teori
tentang pasangan ideal menurut al-Qur‟an sehingga dapat
diuraikan secara sistematis.
c. Metode Analisis
Data yang sudah ada akan penulis analisa dengan
menggunakan metode deskriptif analisis yang deskriptif
analisis ini diharapkan mampu untuk mendeskripsikan
permasalahan dan data yang berkaitan dengan tema
penelitian menurut kategori yang telah disusun guna
memperoleh kesimpulan tentang pasangan ideal menurut
al-Qur‟an (Kajian QS. al-Nūr ayat 26 dan QS. al-Taḥrīm
ayat 10-11).
d. Pedoman Penulisan Skripsi
Pedoman penulisan skripsi sesuai dengan SK Rektor
Nomor 507 Tahun 2017.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab pertama, Pendahuluan, berisi: Alasan mengapa
penelitian ini perlu untuk dilakukan; Permasalahan yang menjadi
konsentrasi peneliti untuk dijawab di kesimpulan; Permasalahan
meliputi Identifikasi Masalah, Batasan dan perumusan Masalah;
Tujuan dan Manfaat dari penelitian yang dilakukan, baik secara
teoritis maupun praktis, Metodelogi Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
Bab kedua, Mengenai tinjauan umum tentang pasangan
ideal yaitu berisi tentang pengertian pasangan ideal, kriteria
pasangan ideal, faktor yang mempengaruhi pasangan ideal dan
konsep keluarga sakinah.
15
Bab ketiga, gambaran umumnya yaitu membahas tentang
Kajian QS. al-Nūr ayat 26 dan QS. al-Taḥrīm ayat 10-11 yang
meliputi Tafsir QS. al-Nūr ayat 26 yang meliputi; Asbabun nuzul,
Munasabah, Berbagai Tafsiran, makna kata al Khabisāt, makna
kata al Ṭayyibat dan juga makna kata al Bīrr. dan Tafsir QS. al-
Taḥrīm ayat 10-11 yang meliputi; Asbabun nuzul, Munasabah,
Berbagai Tafsiran, sikap istri Nabi Nūh AS, sikap istri Nabi Lūth
AS, kelembutan istri Fir‟aun dan makna perumpamaan dalam al-
Qur‟an.
Bab keempat, yaitu membahas tentang analisis penafsiran
QS. al-Nūr ayat 26 dan QS. al-Taḥrīm ayat 10-11, yang meliputi
beberapa penafsiran para mufasir tentang QS. al-Nūr ayat 26 dan
QS. al-Taḥrīm ayat 10, QS. al-Taḥrīm ayat 11 dan Relasi
penafsiran QS. al-Nūr ayat 26 dan QS. al-Taḥrīm ayat 10-11.
Bab Kelima, yaitu penutup, kesimpulan dan saran. Dalam
bab ini penulis akan menyimpulkan permasalahan yang berkaitan
dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab
rumusan masalah di atas. Sehingga dalam uraian bab terakhir ini
dapat menjadi saran untuk kegiatan lebih lanjut yang berkaitan
dengan apa yang telah penulis kaji.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PASANGAN IDEAL
A. Definisi Pasangan Ideal
Ketentuan berpasangan pada manusia tidak hanya dalam
kehidupan dunia saja. Mereka, di kehidupan akhirat yang diyakini
sebagai masa kehidupan setelah kehidupan dunia dan merupakan
tujuan akhir kehidupan. Dengan demikian, pasangan hidup
merupakan penyatuan dua insan yang berbeda dengan orientasi dunia
dan akhirat. Jadi tidak bisa sembarang orang untuk dipilih menjadi
pasangan hidup.1
Menurut Lyken & Tellegen preferensi pemilihan hidup adalah
memilih seseorang yang nantinya diharapkan dapat menjadi teman
hidup, juga menjadi rekan untuk menjadi orang tua dari anak-anaknya
kelak. Selain keduanya tempat berkeluh-kesah dan saling melengkapi,
keberadaan pasangan hidup juga menentukan masa depan garis
keturunan mereka demi terbentuknya generasi yang bermanfaat dan
berakhlakul karimah.2
Pemilihan pasangan biasanya didasari dengan memilih calon
yang dapat melengkapi apa yang dibutuhkan dari individu tersebut
dan berdasarkan suatu pemikiran bahwa seorang individu akan
memilih pasangan yang dapat melengkapi kebutuhan yang diperlukan.
Namun, akhir-akhir ini keadaan antara perempuan dan laki-laki
dipertanyakan eksistensinya. Banyak problematika yang
menyebabkan ketika keduanya berpasangan mengalami „Disorientasi‟
1 Mohammad Fauzan, “Pasangan di Surga dalam Al-Qur‟an: Kajian Tematik
dengan Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce”, (Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), 1. 2 Devi Oktaviana Fajrin, “Preferensi Pemilihan Pasangan Hidup Ditinjau dari
Kedekatan Ayah dengan Anak Perempuan”, Jurnal Penelitian dan Pengukuran
Psikologi, vol.4, no.2 (Oktober 2015), 60.
17
baik itu dari sisi Agama, moral, politik, sejarah, ekonomi, sampai
psikologi.
Sebagai ilustrasi umum, adanya „pembelengguan‟ jiwa dan raga
dari pihak perempuan dengan adanya penutup gerak kehidupan,
politik, Agama, moral, dan sebagainya. Rasanya kisah raja Sahrayar
dan Syahrazad dapat menjadi tolak ukur terhadap pembentukan arti
dari pasangan ideal. Persoalannya, raja Syahrayar tidak menghormati
istrinya sebab hanya memenuhi hasrat „keinginan‟ suaminya yang
terus menuntut untuk dilayani tanpa mementingkan psikologis sang
istri.3
Memang keikut sertaan wanita dalam kehidupan
mempertemukan mereka dengan kaum laki-laki. Wanita memiliki
kepedulian yang tinggi dan rasa kasih sayang yang agak lebih
terhadap sesuatu. Justru ketika seorang wanita bertemu laki-laki
merupakan sarana untuk membangun wanita.4 Sedangkan, laki-laki
selalu dipandang sebagai makhluk superior dan perempuan inferior,
karena akal dan fisik laki-laki lebih unggul dari akal dan fisik
perempuan.5
Sehingga peran Agama diatur sebagai prinsip yang memberikan
keadilan dan kemaslahatan bagi keduanya. Ajaran Agama tidak hanya
dipandang secara ceremonial belaka, namun mesti dipahami secara
komperhensif dan diamalkan oleh keduanya, baik mulai dari memilih
pasangan hingga taraf pernikahan.6
3 Nawal al Sa‟dawi, Hibah Rauf Izzat, Perempuan Agama dan Mayoritas, terj. al-
Mar‟ah wa al Dīn wa al Akhlāk (Jakarta: Erlangga, 2000), 15. 4 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, terj. Taḥrīrul mar‟ah fi „Ishri al-
Risālah, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 23. 5 Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren,
cet. 1 (Yogyakarta: Lkis, 2004), 81. 6 Hasbi Indra dan Iskandar Ahza Husnani, Potret Wanita Solehah (Jakarta:
Penamadani, 2004), 70.
18
Dengan demikian, maksud dari pengertian pasangan ideal
adalah upaya dalam menjalin erat antara kedua anak manusia untuk
terus-menerus berada dalam cinta, kesetiaan, ketulusan, kerjasama,
dan saling menghargai satu dengan lainnya.7 Bukan berarti „sakinah‟
(ketenangan) selalu tenang dan damai saja tanpa konflik. Justru
karena konfliklah kedua yang berpasangan akan terus saling
membangun cinta bukan malah meruntuhkannya.
B. Kriteria Pasangan Ideal
Dalam membangun rumah tangga yang mana terdiri dari
suami dan istri tentu saja memerlukan banyak perhatian. Karena
dalam kehidupan rumah tangga juga menginginkan kebahagiaan
hidup di dunia dan juga di akhirat, dan juga berhubungan dengan
kualitas anak yang dilahirkan kelak, karena dalam hal mencari jodoh
dan menikah tidak lah mudah. Bahkan Islam juga mengajarkan
kepada kita agar berhati-hati dalam memilih pasangan karena tujuan
dari pada pernikahan adalah ikatan seumur hidup.8 Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw :
أب هري رة هنع هللا يضر نن النب صلى هللا نليه وسلم قال: )ت نكح المرأة لربع : لمالا، ونن ولسبها، ولمالا، ولدينها، فاظفر بذات الدين ت رتب يداك(.
“Wanita dinikahi karena empat sebab: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah
wanita yang berpegang teguh kepada agama agar kamu selamat.”
(Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu hurairah).
Berikut ini diuraikan penjelasan tentang kriteria dalam
mencari pasangan yang ideal baik calon suami maupun calon istri:
7 Ukasyah Atibi, Wanita Kenapa Merosot Akhlaknya, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani
Press, 2004), 91. 8 Faizah Ali Syibromalisi, “Kiat-Kiat Memilih Pasangan Menuju Perkawinan
Bahagia”, 4.
19
1. Pemilihan atas dasar agamanya
Sebagaimana Rasulullah Saw memberikan arahan kepada
kaum laki-laki agar ia mencari calon istri yang sesuai dengan
hadist Nabi sehingga seorang istri tersebut dapat menjadi istri yang
baik kelak dan bisa menjalani kewajibannya sebagai seorang istri.
Kecantikan, keturunan maupun harta juga termasuk salah
satu kriteria dalam mencari calon pasangan. Karena pada dasarnya
manusia itu mengharapkan paras yang cantik, sehingga dalam
mencari pasangan kebanyakan kaum laki-laki hanya melihat dari
segi fisiknya saja, salah satunya yaitu dari segi kecantikannya saja,
akan tetapi hal itu sudah lumrah bagi kaum laki-laki sehingga
banyak sekali dari mereka terjerumus dalam lembah kehinaan,
karena pada dasarnya jika hanya mencari pasangan yang dilihat
dari segi kecantikan dan kekayaannya saja maka itu dapat
menjadikan mereka menjadi manusia yang angkuh dan sombong.9
Oleh karena itu wanita yang taat beragama pasti berahlak
mulia, dan ia juga senantiasa menjaga kehormatan dirinya dan
menjaga perilaku nya dihadapan teman-teman nya, sehingga dari
pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwasanya dalam mencari
calon istri hendaknya terlebih dahal dicari dari segi agamanya
karena apabila seorang wanita jika dilihat dari segi agama dan
akhlaknya bagus maka ia dapat menjaga kehormatannya untuk
calon suaminya, tetapi jika hanya dilihat dari segi kecantikannya
saja, maka semua itu tidak menjamin bahwa wanita itu baik.
Hal ini juga berlaku bagi wanita yang ingin mencari calon
suami, sebaiknya kita melihat dari segi agama dan akhlaknya
terlebih dahulu. Karena pada dasarnya jika hanya dilihat dari segi
9 Faizah Ali Syibromalisi, Kiat-Kiat, 5.
20
ketampanan saja itu bukan dasar utama dalam menentukan ia
sebagai calon suami. Oleh karena itu sebaiknya orang tua
diikutsertakan dalam penentuan mencari jodoh. Sehingga orang tua
di sini dapat bertindak tegar terhadap pemilihan calon untuk anak
gadisnya.10
sabda Nabi Saw: “Apabila datang kepadamu seorang
yang kamu senangi agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah dia
dengan anak perempuanmu, jika tidak, niscaya akan
mendatangkan fitnah di bumi ini dan akan menimbulkan kerusakan
yang mengerikan.” (Riwayat al-Tirmidzi, Ibnu Mājah dan al-
Hākim dari Abi Hurairah).
Sehingga dalam pendapat beliau hendaknya bagi seseorang
yang ingin mencari pasangan, baik mencari calon istri maupun
calon suami hendaknya dilihat dari sisi agama dan akhlaknya.
Karena jika hanya dilihat dari kecantikkan dan ketampananya saja
tidak bisa menjadikan patokan sebagai calon istri maupun calon
suami yang baik. Maka dari itu ada beberapa pendapat ulama yang
menyatakan hendaknya jika mencari pasangan yang baik
agamanya agar bisa menuntun kejalan yang baik.
2. Pemilihan Atas Dasar kecantikannya
Dalam memilih calon pasangan baik calon istri maupun
suami hendaknya dilihat dan dicermati fisiknya. Sebagaimana
sabda Nabi Saw dalam Riwayat Ibn Mājah yaitu sebagai berikut.11
“Dari al-Mugirah Ibn Syu‟bah berkata: “Aku menemui Nabi Saw
lalu aku sebutkan perihal wanita yang akan aku pinang. Beliau
bersabda: “Pergilah dan Lihatlah ia, sebab itu akan membuat
rumah tanggamu kekal.” Setelah itu aku mendatangi dan
10
Faizah Ali Syibromalisi, “Kiat-Kiat, 4. 11
Nurun Najwah, “Kriteria Memilih Pasangan Hidup, Jurnal Studi Ilmu Al-
Qur‟anDan Hadist, vol.17 (1 januari 2016), 102.
21
meminangnya melalui kedua orang tuanya, dan aku sampaikan
kepada keduanya tentang sabda Nabi SAW. Namun sepertinya
mereka berdua kurang menyukainya.” Al-Mughȋrah juga berkata:
“Percakapan itu didengar oleh anak wanitanya yang ada di balik
satir, hingga ia berkata: “Jika memang Rasulullah SAW
memerintahkanmu untuk melihat maka lihatlah namun jika tidak
maka aku akan menyumpahimu!.” Seakan wanita itu benar-benar
menganggap besar perkara tersebut, al-Mugīrah juga berkata:
“Maka aku pun melihat dan menikahinya.” al-Mugīrah lalu
menyebutkan persetujuannya.”
3. Pemilihan Atas Dasar Keturunannya
Setiap manusia berharap untuk memiliki impian
mempunyai pasangan yang baik. Baik mempunyai istri yang baik
maupun mempunyai suami yang baik. Karena hal itu sudah lumrah
untuk semua kalangan. Sebagaimana kriteria yang disebutkan
dalam Islam.
Selain itu istri juga sangat berperan dalam rumah tangga,
karena istri merupakan manusia pendamping yang kelak akan
mendampinginya seumur hidup, serta menyayangi dan mendidik
anak-anaknya. sehingga dalam mencari pasangan hendaknya
mencari pasangan yang baik sesuai dengan perintah agama.
Pada dasarnya seorang wanita yang berasal dari nasab yang
baik maka ia akan membentuk keharmonisan di dalam rumah
tangga. hal ini yang disampaikan oleh Rasulullah SAW tentang
larangan bagi laki-laki untuk mengawini perempaun cantik tapi
berasal dari keturunan yang tidak baik.12
Sebagaimana hadistnya:
“Waspadalah kamu terhadap sayur yang tumbuh di timbunan
12
Faizah Ali Syibromalisi, Kiat-Kiat, 5.
22
kotoran binatang. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang
dimaksud dengan sayur yang tumbuh di timbunan kotoran
binatang? Rasulullah berkata: Wanita yang cantik tapi berasal dari
turunan yang tidak baik.” (Riwayat al Dāruquthnī dari al-Wāqidy).
Karena pada dasarnya apabila calon pasangan kita nantinya
berasal dari keluarga yang baik di sinilah kita bisa melihat
bagaimana keadaan silsilah keturunanya. Yang mana kriteria ini
senada dengan hadist yang dijelaskan “Karena Keturunannya”.
Dari situ jelas bahwa wanita yang baik itulah untuk dijadikan istri,
ia wanita yang berasal dari keturunan yang baik atau dari keluarga
yang baik. Di samping itu wanita yang baik berasal dari
lingkungan yang baik pula.
Begitu pula sebaliknya suami merupakan manusia atau
pemimpin dalam keluarga yang kelak akan mendampinginya
seumur hidup, serta mengayomi dan menyayangi anak-anaknya.
Sebagaimana kriteria calon suami yang dijelaskan dalam al-Qur‟an
salah satunya yaitu memilih calon suami yang berasal dari
keterunannya, karena apabila calon suami yang nantinya berasal
dari keturunan yang baik, maka keluarga yang baik biasanya
bergaul dan berkumpul dengan lingkungan masyarakat yang baik
pula.
Sehingga dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
dalam mencari calon istri maupun calon suami hendaknya mencari
pasangan dari kelurga yang baik karena salah satu pengaruh yang
besar dalam pernikahan yaitu dari keluarga dan lingkungan juga.
Karena apabila kita dikelilingi orang yang baik maka kita akan
menjadi baik pula.
23
4. Pemilihan atas dasar hartanya
Salah satu faktor dalam kriteria mencari pasangan yaitu
memilih calon suami atau istri atas dasar kekayaannya. Harta di
sini menjadi pertimbangan seseorang dalam memilih calon
pasangan nanti, terutama dalam menentukan kesejahteraan
keluarga di masa depan nanti, karena dalam beberapa kasus
seseorang yang berorientasi memilih pasangan atas dasar harta
biasanya akan mudah tergoncang rumah tangganya nanti, terutama
saat mengalami krisis ekonomi. Orientasi ini menandakan bahwa
faktor harta sebenarnya adalah faktor yang bisa stabil atau labil.
5. Pemilihan atas dasar kesehatan rohani dan jasmani
Islam menaruh perhatian yang sangat besar terhadap dunia
kesehatan. Karena kesehatan merupakan modal utama dalam
bekerja, beribadah dan juga ketika melakukan aktivitas yang
lainnya. Di samping itu juga Islam selalu menekankan agar setiap
orang memakan makanan yang halal dan baik. Oleh karena itu
makanan merupakan penentu sehat tidaknya seseorang. 13
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah [2]
ayat 168 yang berbunyi:
ي ها ٱلناس كلوا ما ف ٱلرض حلال ت ت تبعوا ول طيبا ي لكم إنهح ٱلشيطن خطو مبني ندو
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan. Karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.” (QS.al-Baqarah[2]: 168).
13
Eka Febrianti, “Perspektif Hukum Islam Tentang Pemeriksaan Kesehatan
Pranikah”, (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2017), 33.
24
Dari kesimpulan di atas dapat diuraikan bahwasanya
sebagai umat muslim hendaknya menjaga kesehatan yaitu dengan
cara memakan makanan yang halal dan juga baik. karena jika
memakan makanan yang halal dan baik maka akan berpengaruh
besar untuk kesehatan jasmani dan rohani.
Begitu pula dalam menjaga kesehatan ibu dari anaknya,
hendaknya menjaga kesehatan untuk calon ibu karena itu sangat
berpengaruh terhadap kesehatannya dan juga untuk kesehatan anak
yang akan dilahirkannya. Karena jika seorang ibu mengalami stres,
depresi dan mempunyai penyakit mental lainnya pada waktu hamil
maka itu sangat berpengaruh terhadap psikologis dan juga anak
yang dikandungnya. Karena kesehatan jasmani seorang ibu itu
nanti akan berpengaruh juga terhadap air susu yang merupakan
makanan pokok untuk bayi dan juga menjadi proses tumbuh
kembang sang anak.
Begitu pula untuk calon suami hendaknya mempunyai
calon suami yang tidak mempunyai penyakit seperti stres, depresi
atau bahkan gila. karena jika memilih calon suami seperti di atas
maka ia tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami yang
berkewajiban menjaga istri dan anak-anaknya kelak. Sehingga
dalam memilih pasangan hendaknya sehat jasmani dan rohaninya
agar dapat melindungi istri dan anak-anaknya kelak.14
Oleh karena itu menjaga kesehatan bagi calon istri maupun
calon suami itu sangat diperlukan agar kelak bisa menjaga
kesehatan jasmani maupun rohaninya dan menjaga calon anaknya
agar kelak menjadi anak yang sehat.
14
Al-Sayyid al-Sābiq, Fiqh Sunnah, Jilid II, 20.
25
6. Pemilihan Atas Dasar Tanggung Jawab
Manusia memiliki konteks kewajiban dan tugas yang mesti
dijalani oleh dirinya masing-masing. Kewajiban manusia terhadap
dirinya sendiri, kewajiban kepada keluarga, dan kewajiban kepada
masyarakatnya. Kawajiban manusia terhadap keluarganya,
diantaranya mencari rezeki, menyediakan tempat tinggal, mendidik
anak, membina hubungan baik dengan pasangan, dan memberikan
pendidikan yang layak.15
Dalam mencari pasangan hendaknya yang perlu
diperhatikan adalah sifat bertanggung jawab, dan juga bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan keluarganya, karena seorang
suamilah yang akan menjadi kepala keluarga di dalam rumah
tangga sekaligus mencari nafkah, juga sangat berperan besar bagi
suami karena dalam memberi hak nafkah kepada istri merupakan
kewajiban bagi suami untuk memberikan itu semua. Salah satunya
memberikan kebutuhan setiap biaya dalam rumah tangga serta
pendidikan untuk anaknya dan lain sebagainya.
C. Faktor yang Mempengaruhi Pasangan Ideal
1. Ikatan Emosional
Hamka menyatakan bahwa setelah pernikahan
dilangsungkan, maka diperlukan persiapan waktu untuk adaptasi
bagi keduanya. Dua karakter yang berbeda mesti melakukan
penyesuaian yang relatif lama. Bisa enam bulan hingga tiga tahun.
Tenggat waktu ini lah digunakan untuk membangun pemahaman
dan ikatan emosional.16
15
Mulyadi Kartanegara, Hubungan Alam, Tuhan, dan Manusia (Jakarta: Mizan,
2011), 100. 16
Hasbi Indra dan Iskandar Ahza Husaini, Potret Wanita, 67.
26
Al-Ghazalī mendefinisikan emosi (ghadab) dengan obor
yang ditungkunya terdapat api, yakni percikan api yang terbakar
dari apinya Tuhan yang menyala dimana api tersebut akan
terpancar di dalam hati. Nyalanya api tersebut „bertempat‟ di
bagian kecil persis di dalam hati. Emosi yang telah menyala akan
berakhir seperti abu kemudian akan mengeluarkan sifat „sombong‟
yang terus bersemayam di dalam diri manusia.17
Daniel Goleman18
dan Chaplin berbeda pendapat soal
definisi emosi yang ada pada diri manusia, Daniel Goleman
misalnya, ia berpendapat bahwa emosi adalah pergolakan
pemikiran, perasaan, dan nafsu di setiap keadaan yang meluap-
luap. Sedangkan Chaplin mendefiniskan emosi sebagai suatu
keadaan yang merangsang dari organisme yang sebenarnya
disadari namun sifatnya mendalam dan akan berdampak pada
perilaku.19
Jika dilihat dari kedua definisi tersebut, emosi merupakan
pergolakan batiniah yang bisa terjadi dari faktor internal atau
eksternal yang menyebabkan perubahan fisiologis dan
kecendrungan untuk bertindak sebagai bagian dari letupan.
Goleman menjelaskan sudah banyak sekali pakar yang
mencoba menjelaskan hal tersebut, namun kenyataannya emosi
17
Abi Ahmad Muhammad bin Muhammad al-Ghazalī, Iḥya‟ Ulūmuddīn, Juz.3
(Kairo: Dārl al Rayyān), 175. 18
Daniel Goleman adalah seorang penulis dan jurnalis sains. Selama dua belas
tahun, ia menulis untuk The New York Times, melaporkan tentang otak dan ilmu
perilaku. Lahir, 7 Maret 1946 (usia 73 tahun), Stockton, California, Amerika Serikat
Pasangan, Pendidikan: AmherstCollage, UniversitasHarvard.` 19
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan
Peserta Didik, cet.12 (Jakarta: Bumi Aksara, Maret 2017), 62.
27
lebih kompleks dan halus daripada kata yang dibuat untuk definisi
semata.20
Fluktuatifnya emosi antar pasangan sangat mempengaruhi
„jiwa‟/mental keduanya, baik dalam jenjang menuju pernikahan
dan keadaan setelah menikah. Relasi pasangan memberikan
landasan dan menentukan warna bagi kerukunan nantinya setelah
berkeluarga. Maka penyesuaian emosi diantara keduanya
merupakan kunci kelanggengan dan ketenangan dalam
perkawinan. Sifat tersebut sangat „dinamis‟, bisa jadi penyesuaian
melalui interaksi dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.21
Menurut Al Ghazalī ada dua faktor yang mempengaruhi
emosi, yaitu faktor internal (Al-Dākhilī) dan faktor eksternal (Al-
Khārijāh). Faktor internal biasanya dikendalikan oleh hawa panas
(Harārah) dan dingin/lembab (Raṭūbah), sebab di antara keduanya
merupakan musuh dan saling berlawanan. Sedangkan ekstenal, Ia
mengilustrasikannya dengan pedang dan seluruh hal-hal yang
dapat menghancurkan. Maka, kita mesti berhati-hati untuk
bersemangat sekuat tenaga untuk melawan hal-hal yang dapat
menghancurkan atau menyulut emosi.22
Maka niat untuk menikah bukan hanya didasari cinta yang
buta, tetapi disertai pertimbangan-pertimbangan rasional,
mengingat perbedaan „dunia‟ antar pasangan berbeda. Perlu
pengamatan, penyesuaian diri, baik dari diri sendiri, penerimaan
pasangan, penyelesaian konflik, dan perencanaan masa depan.23
20
Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, 6. 21
Sri Lestari, Psikologi keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik
dalam Keluarga, cet.1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, Juni 2013), 10. 22
Al Ghazalī, Iḥya‟ Ulūmuddīn, 178. 23
Kusdwiratri, Psikologi Keluarga, cet.1 (Jakarta: Ikapi, 2011), 13.
28
Sebab, jika muda-mudi yang ingin menjadi calon pengantin
perlu memahami integritas diri dan berani mengatakan isi hati
secara lebih intens serta memperoleh tanggapan dari pasangan,
sehingga terjadi ikatan emosi sehingga ketika pasca menikah antar
pasangan bisa saling peduli, yakni saling memperhatikan dan
saling memikirkan satu dengan lainnya.24
Di antara penyelesaiaanya dalam menahan emosi, al
Ghazalī berpendapat dengan jalur „Riyāḍoh‟ (Pelatihan Spiritual).
Sekalipun ada ulama yang menurutnya tidak harus ditempuh
melalui training spiritual dengan alasan bahwa „emosi‟ diciptakan
sama seperti Tuhan menciptakan makhluk, namun Al Ghazalī
cendrung kepada pendapat yang melakukan pelatihan „menahan
diri‟. Sebab, pelatihan spiritual (Mujâhadah al Nafs) dapat
mengeluarkan bentuk emosi dari dalam hati.
Pendapat kedua, menurut Al Ghazalī dianggap lemah. Akan
tetapi pendapat ini dicantumkan juga olehnya, sebab untuk
mengukur sejauh mana akal sehat berfungsi untuk membangun
citra yang baik di dalam diri manusia.25
Dengan demikian sensitivitas antar pasangan dapat segera
diselesaikan. Sebab ikatan emosi dapat dipelajari dan dikaji
eksistensinya. Di samping itu, saling mengutarakan harapan dan
perlakuan setidaknya dapat menimbulkan komunikasi dua arah
antar suami istri.
2. Peran Gender
Allah SWT menciptakan segala sesuatu berpasang-
pasangan. Dengan begitu kesetaraan antar ciptaan Tuhan dijadikan
24
Kusdwiratri, Psikologi Keluarga, 17. 25
Al Ghazalī, Iḥya‟ Ulūmuddīn, 180.
29
bahan untuk mutual understanding (saling bekerja sama) menuju
cita-cita kemanusiaan. Begitu juga antara laki-laki dan perempuan.
Keduanya mesti menciptakan suasanan harmonis dalam
masyarakat, tentu saja dengan keistimewaan dan kekurangan
masing-masing sehingga mereka dapat mengaplikasikan
kemampuannya masing-masing dengan asas „kesetaraan sosial‟.26
Prinsip persamaan merupakan doktrin tauhid, sebab sudah
banyak ayat-ayat al-Qur‟an mencantumkan doktrin keadilan dan
hal tersebut sudah menjadi prinsip yang mesti dibangun dalam
kehidupan manusia, baik itu di ranah pribadi, sosial, maupun
keluarga. Keadilan harus ditegakan, karena itu hal esensial dan
mendasar dalam ajaran Islam.27
Allah SWT berfirman dalam QS. al-Nisā‟ [4] ayat 135 :
مني ي ها ٱلذين ءامنوا كونوا ق و بٱلقسط شهداء لل ولو نلى أنفسكم أو ۞يربني إن يكن غنيا أو فقري لدين وٱلق أن ٱلوى ت تبعوا فال بما أول فٱلل اٱلو
ت عدلوا
ا أو ت عرضوا فإن ٱلل اكان با ت عملون خبري وإن ت لوح“Hai orang-orang yang beriman, dijadikanlah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah Swt,
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih
tahukemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa
nafsumu karena ingin menyimpang dari kebenaran,dan jika kamu
memutarbalikan kata-kata atau enggan menjadi saksi. Maka
sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Nisā‟ [4]:135).
Bisa ditarik garis besarnya, bahwa antara perempuan dan
laki-laki itu setara sama-sama manusia biasa. Dalam artian, hal-hal
26
M. Quraish Shihab, Perempuan … dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut‟ah
sampai Nikah Sunnah dari Bias lama sampai Bias baru, cet. IV, (Ciputat: Lentera Hati,
2010), 2-3. 27
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah, 20.
30
yang sifatnya memandang perempuan sebagai subjek intelektual
yang memiliki hak yang sama dengan kaum pria, baik dalam
pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan.
Dalam konteks dunia Islam, isu ini sangat polemik dan
cukup rumit. Isu ini mendobrak patriarki - yang bagi kaum
perempuan untuk berkecimpung dalam segala aspek. Misalnya saja
dalam konteks sejarah, ibadah, pernikahan, politik sampai
perempuan dibebaskan untuk menjadi wanita karir, waris, saksi,
hak memilih pasangan, aborsi, nikah beda agama, dan beban ganda
lainnya.28
Istilah gender merupakan atribut yang melekan pada laki-
laki dan perempuan yang dibentuk secara kultural. Berarti ia
seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku
yang dibentuk dari kebudayaan terlepas dari pembagiannya yang
bersifat nature (alamiah/biologis) atau nurture (karakter). Jika
yang pertama melihat aspek biologis, maka yang kedua membuang
aspek biologis dan mengkonstruksi lewat budaya, yakni kerja
antara laki-laki dan perempuan tidak dilihat dari faktor biologis,
tapi keahlian dan karakteristik.29
Hari ini di dunia modern, isu gender sudah menjadi
komoditi umat. Sudah sangat lazim mempertimbangkan aspek ini
dalam memilih pasangan. Sebab, eksistensi perempuan sudah tidak
perlu dipertanyakan lagi. Dengan demikian pemilihan calon
pasangan membutuhkan „illat (alasan) tersebut.
Survei di Mesir sudah membuktikan dan menemukan;
28
Jamal Ma‟mur, Rezim Gender di NU (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 3. 29
Ernah Marhumah, Konstruksi Sosial Gender di Pesantrem Studi Kuasa Kiai
atas Wacana Perempuan, cet.1 (Jogjakarta: Lkis, 2010), 4-5.
31
“Bahwa meski sekitar 60% mendukung perempuan bekerja di luar
rumah, lebih dari tiga perempat dari mereka disurvei – termasuk
mayoritas perempuan – percaya bahwa ketika pekerjaan menjadi
langka, laki-lakilah yang harus mendapatkan pekerjaan. Sementara
hampir setengah dari mereka yang disurvei dalam jajak pendapat
sebelumnya sepakat bahwa pernikahan yang lebih memuaskan
adalah pernikahan dimana suami dan istri bekerja dan mengurus
anak-anak, dan dalam praktiknya perempuan seperti „Azza‟ pada
akhirnya melakukan tugas ganda di rumah dan di tempat kerja”.
3. Status Sosial
Stasus sosial merupakan kepentingan dasar yang dimiliki
manusia dalam kehidupan masyarakat seperti pekerjaan, sistem
kekerabatan, jabatan dan juga agama yang dianut. Dengan status
ini seseorang mampu berinteraksi dengan baik terhadap
sesamanya, bahkan banyak pergaulan sehari-hari seseorang tidak
mengenal orang lain secara individu, melainkan hanya mengenal
statusnya saja.30
Definisi status sosial menurut Ralph Linton yaitu
sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam
masyarakat. Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan
ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan
dengan orang yang status sosialnya rendah.
Sedangkan status sosial menurut Mayor Polak yaitu status
yang dimaksudkan sebagai kedudukan sosial seorang oknum dalam
kelompok serta dalam masyarakat. Status itu mempunyai dua
30
Abdul Syani, Sosiologi Sistematika, Teori, dan Penetapan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2012), 93.
32
aspek. Pertama, aspeknya yang agak stabil, dan kedua, aspeknya
yang lebih dinamis.31
Dari penjelasan di atas sudah jelas, bahwa kedudukan sosial
merupakan kumpulan-kumpulan kedudukan yang sangat berbeda-
beda. Karena seseorang yang berada di dalam kelompok sosial
yang mempunyai peran penting dalam mempengaruhi kedudukan
orang tersebut, maka ia mempunyai pengaruh yang lebih banyak.
Akan tetapi untuk mendapatkan penjelasan yang mudah untuk
kedua istilah tersebut maka kita akan menggunakan pengertian
yang sama, yaitu kedudukan (status).
D. Konsep Keluarga Sakinah
1. Definisi Keluarga Sakinah
Agama adalah ketentuan-ketentuan Tuhan yang dapat
membimbing dan mengarahkan manusia menuju kebahagiaan
dunia dan akhirat. Ia juga berperan ketika para pemeluknya
memahami dengan baik dan benar, menghayati, dan mengamalkan
ketentuan itu. Agama akan lumpuh serta hilang fungsi dan
perannya jika pemahaman, penghayatan, dan pengalaman itu tidak
mendapat tempat dalam kehidupan pemeluknya. 32
Keluarga sakinah terdiri dari dua suku kata yaitu dari kata
keluarga dan kata sakinah. Yang dimaksud dari keluarga di sini
yaitu masyarakat terkecil yang terdiri dari pasangan suami dan istri
dan anak-anaknya dari pasangan tersebut. Jadi pada intinya
keluarga itu terdiri dari suami dan istri meskipun tidak memiliki
anak tetap dikatakan keluarga.
31
Abdul Syani, Sosiologi Sistematika, 91-92. 32
Quraish Shihab, Perempuan, 151.
33
Sebagaimana kata sakinah juga diambil dari al-Qur‟an yang
terdapat pada QS. al-Rūm ayat 21 yang diambil dari lafadz
“litaskunu Ilaiha”, yang mempunyai bahwasanya Allah itu
menciptakan manusia berpasang- pasangan agar dapat
menciptakan ketentraman dan kasih sayang diantara keduanya.
Sedangkan dalam bahasa arab, kata sakinah juga mempunyai
banyak arti salah satunya yaitu tenang, terhormat, aman, penuh
kasih sayang dan juga memperoleh pembelaan.Pengertian ini pula
yang dipakai dalam ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadis dalam konteks
kehidupan manusia.33
Jadi pada intinya yang dimaksud dengan keluarga sakinah
yaitu kondisi kehidupan keluarga yang sangat ideal, yang mana di
dalamkehidupan ini sangat jarang terjadi, karena keluarga sakinah
merupakan subsistem dari sistem sosial menurut al-Qur‟an, bukan
bangunan yang berdiri di atas lahan kosong.
Menurut M. Quraish Shihab kata Sakinah ini berarti
ketenangan. Sedangkan ketenangan di sini berarti ketenangan yang
dinamis dalam setiap rumah tangga. Ada masa dimana gejolak,
namun dapat segera tertanggulangi dan akan melahirkan sakinah.
Sakinah bukan hanya yang tampak pada ketenangan yang lahir,
tetapi harus disertai dengan kelapangan dada, budi bahasa yang
halus dilahirkan oleh ketenangan batin akibat menyatunya
pemahaman kesucian hati dan bergabungnya kejelasan pandangan
dengan tekad yang kuat. Kehadiran sakinah tidak datang begitu
saja, tetapi ada syarat kehadirannya, hati harus disiapkan dengan
kesabaran dan ketakwaan.34
33
Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga, 148. 34
M. Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur‟an: kalung Pertama Buat anak-
Anakku, cet.1, (Jakarta: Lentera, 2007), 80-82.
34
2. Ciri-Ciri Keluarga Sakinah
Allah menciptakan lelaki dan perempuan dengan sifat dan
kecenderungan tertentu yang tidak dapat menghasilkan ketenangan
dan kesempurnaan kecuali dengan memadukan kecenderungan-
kecenderungan itu, lalu menjadikan antara mereka mawaddah dan
rahmat, yakni menganugerahi mereka potensi yang harus mereka
asah dan kembangkan sehingga dapat melahirkan pernikahan
mereka yang sakinah, mawaddah dan rahmat.35
Sehingga agar
terciptanya keluarga sakinah maka terdapat ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Pembentukan Rumah Tangga
Ketika menyetujui pembentukan rumah tangga. Suami
dan istri bukan sekedar ingin melampiaskan kebutuhan seksual
mereka saja, namun tujuan utamanya yaitu saling melengkapi
dan menyempurnakan satu sama lain
1) Hubungan antara kedua pasangan
Dalam membina rumah tangga, hendaknya suami
dan istri berupaya untuk saling melengkapi dan
menyempurnakan satu sama lain, agar terciptanya
kenyamanan di dalam membina rumah tangga dan terdapat
keharmonisan di dalamnya.
2) Hubungan dengan anak-anak
Sebagai orang tua anak di pandang sebagai bagian
dari dirinya. Asas dan dasar yang dibangun dengan anak-
anak adalah sebuah penghormatan. penjagaan anak, hak-
hak dan pembimbingan yang layak buat mereka itu sangat
diperlukan. Karena pada dasarnya anak itu harus dibimbing
35
M. Quraish Shihab, Perempuan … dari Cinta, 160.
35
dan diperhatikan, sehingga anak bisa lebih tahu bagaimana
cara berperilaku baik dan mempunyai akhlak yang mulia.
3) Kerja sama dan saling membantu
Setiap keluarga mempunyai masing-masing cara
untuk melakukan hal yang terbaik untuk dirinya dan baik
untuk yang lain. Karena persahabatan antar mereka adalah
persahabatan yang murni tanpa pamrih, sehingga tindakan
yang mereka lakukan semata-mata untuk kerelaan dan
kebahagiaan untuk dirinya dan yang lain, bukan untuk
mengganggu akan tetapi untuk menjalin rasa kasih sayang
antar satu dan yang lainnya.
3. Fungsi Keluarga Sakinah
Keluarga di sini berfungsi sebagai benteng oral bangsa.
yang mana bangsa yang sejahtera itu tercermin dari keluarga-
keluarga yang harmonis, sehingga makna dan fungsi keluarga serta
pelaksanaannya dipengaruhi dapat dipengaruhi dari budaya sekitar.
Sebagaimana dalam kehidupan keluarga hendaknya turut
ikut serta dengan kebudayaan dan lingkungannya. Hal ini terjadi
agar terciptanya manajemen keluarga dalam sebuah rumah tangga.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan di atas terkait
unsur-unsur di dalam keluarga. Oleh karena itu peranan dalam
keluarga mempunyai beberapa fungsi, antara lain:
a. Fungsi Religius
Relegius di sini sangat berfungsi untuk keluarga, yang
mana keluarga berkewajiban dalam memperkenalkan dan
mengajak anaknya serta anggota keluarga lainnya untuk hidup
beragama sesuai keyakinan yang dianut. Di sini peran orang tua
sangat penting, karena orang tua sebagai orang pertama yang
36
melakukan kontak langsung dengan anak-anaknya, sehingga
orang tua wajib menanamkan nilai-nilai agama kepada anak-
anak mereka sejak kecil untuk bekal dalam kehidupannya kelak.
Islam juga menegaskan bahwa manusia hidup bukan
hanya di dunia ini saja, namun mereka juga akan menjalani
kehidupan lain setelah meninggalkan dunia ini, sehingga bekal
agama yang mereka dapat dari orang tuanya ini akan mampu
menuntun mereka menjalani hidup yang lebih baik saat ini
sehingga mereka tidak menyesal di kemudian hari.
b. Fungsi Biologis
Kebutuhan seks merupakan salah satu kebutuhan
biologis bagi manusia. yang mana dorongan seksual ini apabila
tidak tersalurkan sebagaimana mestinya akan menimbulkan
perzinahan yang menimbulkan dampak negatif bagi yang
melakukannya. Islam sendiri sangat mengecam pada orang-
orang yang berbuat zina. Sehingga dengan adanya keluarga
mereka dapat menyalurkan kebutuhannya tersebut. Islam
terbukti paling tahu dengan seluk beluk manusia dan paling
bijak dalam menanganinya, tatkala diberikan keleluasaan bagi
manusia untuk menjalankan aktivitas seksual mereka dalam
batas-batas legal dengan cara berkeluarga.36
1) Fungsi Edukasi
Jika manusia menuntut untuk memiliki keturunan,
maka ia harus siap menyediakan fasilitas pendidikan dan
pengembangan diri bagi anak-anaknya, karena yang
menjadi sumber lingkungan pendidikan yang utama bagi
36
Ulfatmi, Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Kementrian
Agama RI, 2011), 11.
37
anak adalah keluarga, dan keberagamaan kebiasaan hidup
mapun sikap dalam keluarga akan memberikan kontribusi
yang besar bagi pembentukan kepribadian anak kelak.37
Ini merupakan tanggung jawab orang tua untuk
selalu mendidik anak-anak mereka yang harus dilakukan
sampai anak-anak mereka tumbuh dewasa dan mampu
menyongsong hidup di tengah masyarakat sebagai orang
yang siap bekerja dan memberi manfaat bagi orang lain.
Keluarga dalam hal ini adalah satu-satunya lingkungan
yang mampu mendidik anak-anak menjadi sosok muslim
yang saleh.
Keluarga adalah lahan istimewa untuk menanamkan
rasa cinta kepada Allah dan Rasul, juga perasaan cinta
kasih dan gotong royong. Dari keluarga yang saleh inilah
kelak akan terbangun sebuah masyarakat muslim yang
bersolidaritas dan berlandaskan cinta yang melenyapkan
segala faktor pemicu konflik dan ketegangan.
2) Fungsi Sosialisasi
Jika Islam di sini bertujuan membangun masyarakat
yang kuat dan rekat solidaritasnya, di sinilah keluarga
memiliki peran yang besar dalam mewujudkan tujuan ini,
karena secara teknis keluarga membentuk dan
mengembangkan hubungan sosial baru melalui garis nasab
dan pernikahan. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
Adanya fungsi sosialisasi di dalam keluarga,
diharapkan dapat menjadi upaya dalam membantu anak
mempersiapkan dirinya menjadi anggota masyarakat.
37
Ulfatmi, Keluarga Sakinah, 21.
38
Istilah sosialisasi ini tidak diartikan sebagai peleburan anak
ke dalam nilai-nilai sosial begitu saja, melainkan lebih
dalam arti membantu anak mempersiapkan diri agar dapat
menempatkan dirinya sebagai pribadi yang kokoh dalam
masyarakatnya dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat secara konstruktif.
Di sini rumah bukan hanya sekedar tempat untuk
membentuk tulang dan daging, serta membangun
kecerdasan dan pengetahuan. Akan tetapi, rumah juga
menjadi lingkungan yang kondusif untuk menanamkan
keutamaan-keutamaan sosial, sehingga di tengah-tengah
tembok segi empatnya seluruh anggota keluarga, baik yang
besar maupun yang kecil pun memiliki karakter dasar yang
sesuai dengan prinsip al-Qur‟an.
3) Fungsi Perlindungan dan Pemeliharaan
Di tengah iklim keluarga, masing-masing pasangan
suami istri bisa menemukan rasa kasih, cinta, sayang dan
simpati yang tidak akan bisa mereka rasakan di tempat lain.
Di sini pula anak-anak memperoleh perhatian dan kasih
sayang luar biasa dari orang tuanya yang mana tidak ada
selain mereka yang mampu memberikannya. Adanya
fungsi perlindungan dan pemeliharaan ini, berarti bahwa
semua anggota keluarga merasa nyaman, tenang dan damai
berada di tengah-tengah keluarganya. 38
Bukan yang terjadi malah sebaliknya, istri atau
suami dan anak merasa takut, tertekan dan tidak senang
saat berkumpul bersama keluarganya. Perlindungan yang
38
Ulfatmi, Keluarga Sakinah, 23.
39
diberikan terhadap semua anggota keluarga tersebut adalah
perlindungan fisik, ekonomi, jasmani dan rohani.
Perlindungan yang diberikan terhadap anggota keluarga ini
haruslah secara proposional dan wajar.
Sebab jika perlindungan yang diberikan terlalu
berlebihan akan berakibat negatif kepada yang
bersangkutan baik terhadap orang tua, maupun anak yang
pada akhirnya menimbulkan kesulitan psikologi. memberi
kehangatan, sebaliknya bila gerah, dengan pakaian lembut
dan halus kegerahan dikurangi. Jika demikian halnya,
pakaian dan masing-masing pasangan dinamai al-Qur‟an
sebagai “pakaian”, maka tidak diragukan lagi bahwa salah
satu dari fungsi keluarga adalah untuk melindungi satu
sama lainnya.
4) Fungsi Ekonomi
Keluarga di sini juga merupakan wadah atau
kesatuan ekonomis, yang mana fungsi keluarga di sini
meliputi pencarian nafkah, perencanaannya, pembelanjaan
dan pemanfaatannya. Posisi suami di dalam keluarga
memang bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga,
sementara istri dan anak yang memanfaatkannya.
Istri juga berperan sebagai pengelola ekonomi
rumah tangga, yang mengatur belanja rumah tangga sesuai
dengan pengeluaran dan penghasilan secara baik. Keadaan
ekonomi keluarga juga mempengaruhi terhadap harapan
orang tua akan masa depan anaknya serta harapan anak itu
sendiri. Keluarga yang ekonominya sangat lemah, akan
40
menganggap anak sebagai beban hidup dari pada pembawa
kebahagiaan keluarga.39
5) Fungsi Individual
a) Meningkatkan derajat kemanusiaan dan ibadah
Merupakan salah satu fungsi individual yang
mana keluarga merupakan sarana untuk meningkatkan
derajat kemanusiaan dan untuk memelihara diri dari
perbuatan keji dan mungkar, sehingga keluarga dapat
dijadikan sebagai wadah untuk beribadah kepada Allah
dan sebagai pemeliharaan fitrah manusia.
b) Memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa
Merupakan salah satu fungsi individual yang
mana keluarga merupakan lembaga interaksi dalam
ikatan batin yang kuat antar anggotanya. Ikatan batin
yang kuat dapat dirasakan oleh anggota keluarga
sebagai bentuk kasih sayang.
c) Meneruskan Keturunan
Merupakan salah satu fungsi individual yang
mana keluarga merupakan benteng moral bangsa.
Bangsa yang sejahtera tercermin dari keluarga-keluarga
yang harmonis yang hidup pada masyarakat.
39
Ulfatmi, Keluarga Sakinah, 22.
41
BAB III
KAJIAN QS. Al-NŪR AYAT 26 DAN QS. Al-TAḤRĪM
AYAT 10-11.
A. Tafsir QS. al-Nūr ayat 26
ولئك ٱلبيثت للخبيثني وٱلبيثون للخبيثت وٱلطيبت للطيبني وٱلطيبون للطيبت أ لم مغفرة
كرمي رزقو مب رءون ما ي قولون
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-
laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula). Sedangkan
perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-
laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih
dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan
rezeki yang mulia (surga).” (QS. Al-Nūr[24]: 26).
1. Asbabun nuzul QS. al-Nūr ayat 26
Al-Ṭabranī meriwayatkan dengan sanad yang para
perawinya Tsiqat dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam tentang
Firman-Nya, “perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki
yang keji,” bahwa ayat ini turun tentang „Āisyah yang merupakan
istri Nabi ketika difitnah orang munafik, lalu Allah menyatakan
kebersihannya dari tuduhan itu.1
Al-Ṭabranī meriwayatkan dengan dua sanad, yang kedua-
duanya mengandung kelemahan, dari Ibnu Abbās bahwa ayat,
“perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji,” turun
tentang orang orang yang membicarakan gosip dusta mengenai
istri Nabi SAW.2
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini untuk
menyatakan tentang kesucian „Āisyah ra yang merupakan istri
Nabi SAW dari tuduhan keji yang tersiar bahwa „Āisyah ra
1 Al-Ṭabrani, al-Mu‟jamul Kabiir (Yogyakarta: Ensiklopedia al-mu‟jamul al-
Ṣagīr), 156. 2 Al-Ṭabrani, al-Mu‟jamul, 159.
42
berselingkuh dengan Sufyan bin Muatthal sehingga Allah
membersihkan tuduhan mereka, karna tidak mungkin seorang
„Āisyah yang merupakan istri Nabi yang sangat mulia melakukan
perbuatan keji, sehingga turunlah ayat ini.
2. Munasabah QS. al-Nūr ayat
QS. al-Nūr ayat 26 ini mempunyai pertalian dengan ayat
ketiga dari surat ini, bahwa:
وحرم مشرك أو زان إل ينكحها ل وٱلزانية أو مشركة ٱلزان ل ينكح إل زانية لك مؤمنني ٱل نلى ذ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang
berzina tidak mengawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki yang musyrik, dengan demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mukmin. (QS. al-Nūr[24]: 3).
Ayat ini tidak difahami dengan begitu saja bahwa
perempuan yang keji itu tidak boleh dikawini, atau haram
dikawini, namun ayat ini bertujuan memberikan penegasan akan
buruknya prilaku zina tersebut, karena pada hakikatnya perempuan
muslimah yang berzinapun tidak boleh dinikahi oleh orang orang
musyrik yang beda agama.
Hal yang menjadi perbedaan di antara ulama‟ adalah terkait
dengan pernikahan seorang zina:
a. Pendapat pertama
Kalangan Hanāfiyah mensahkan pernikahan ini, baik
yang menikahinya itu dia yang menzinahi atau orang lain.
Mereka manambahkan boleh bagi yang menzinahi untuk
melakukan hubungan suami istri setelah akad tersebut, akan
tetapi jika yang menikahi orang lain, maka dia tidak boleh
43
melakukan hubungan suami istri sampai si perempuannya
melahirkan.3
b. Pendapat kedua
Kalangan Syāfi‟iyah juga membolehkan pernikahan ini,
hanya saja makruh hukumnya menggauli istrinya yang sedang
hamil itu setelah akad.4
Tentunya pendapat yang mensahkan ini tidak mesti
merestui hubungan perzinahan yang sudah terjadi. Tidak. Zina
tetap haram, dan akan tetapi antara zina dengan nikah itu tidak
ada hubungan sama sekali, dan yang haram tidak bisa
mengharamkan yang halal.
3. Berbagai Tafsiran QS. al-Nūr ayat 26
Jadi penafsiran dari surah al-Nūr ayat 26 tersebut secara
global terbagi menjadi tiga yaitu :
a. Kata kata jelek atau kurang baik itu timbul dari orang yang tidak
baik, begitu juga dengan kata kata yang baik ia timbul dari
orang yang baik pula.
b. Kata kata jelek jangan ditunjukan ke orang yang baik (jangan
membuli orang).
c. Laki laki yang baik itu cocok atau pantasnya menikahi wanita
yang baik pula (ini sifat anjuran).
4. Makna kata al Khabīṡāt
Kata al Khabīṡāt pada QS. al-Nūr ayat 26 difahami dengan
dua makna: perkataan keji atau perempuan keji, pun begitu dengan
al-Ṭayyibāt dan al-Ṭayyibūn bisa difahami dengan dua makna yang
sama: perkataan yang baik atau laki-laki yang baik. Jika kita
3 Al Kasa‟i, bada‟i as-shona‟i, vol. II (Beirut: Dār fikr), 269.
4 Al Mawardi, al Hawi al-Kabir, cet.I, vol.9 (Beirut: Dār al-Kutub al- Ilmiyah,
1994), 191.
44
fahami bahwa al Khabīṡāt itu bermakna perkataan keji, maka kira-
kira makna ayat tersebut akan seperti ini: perkataan keji itu hanya
untuk laki-laki yang keji dan laki-laki keji itu memang layak
mendapatkan perkataan yang keji, sedangkan perkataan yang baik
itu untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu memang
layak untuk mendapatkan perkataan yang baik.5
Dengan demikian bahwa kedua pemaknaan ini saling
melengkapi, yang mana kedua makna ini mengarah kepada satu
tema yaitu tentang pensucian „Āisyah ra dari perkataan keji yang
dituduhkan oleh orang-orang munafik kepadanya, yang mestinya
perkataan keji dalah isu panas yang tersebar dimana-mana untuk
perempuan yang keji bukan untuk perempuan yang suci.
5. Makna kata al-Ṭayyibāt
Jika kita memahami kata al Khabīṡāt itu bermakna
perkataan keji, maka kira-kira makna ayat tersebut yaitu :
perkataan keji itu hanya untuk laki-laki yang keji dan laki-laki keji
itu memang layak mendapatkan perkataan yang keji, sedangkan
kita memahami kata al-Ṭayyibāt yaitu perkataan yang baik itu
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik itu layak untuk
mendapatkan perkataan yang baik, maka hal tersebut sesuai
dengan apa yang kita fahami.
Maksudnya, hal yang layak adalah orang yang keji
berpasangan dengan orang yang keji, dan orang baik berpasangan
dengan orang yang baik. (mereka itu) yaitu: kaum laki laki yang
baik dan kaum wanita yang baik, antara lain ialah „Ᾱisyah ra dan
Sofwan yang bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka.
5 Wahbah Zuhaili, Al-Munīr fȋ al-„Āqidah wa al-syari‟ah wa al-manhaj, 23.
45
6. Makna kata al Birr
Al Birr yaitu kebaikan atau kebajikan, berdasarkan sabda
Rasulullah SAW: (artinya) al-Birr adalah baik akhlaqnya. Berikut
ini konteks penggunaan kata tersebut dalam al-Qur‟an QS. al-
Baqarah[2]: 177 yang berbunyi :
۞ليس ٱلب أن ت ولوا وجوهكم قبل ٱلمشرق وٱلمغرب ولكن ٱلب من ءامن بٱلل ئكة وٱلكتب وٱلنبي ال نلى حبهۦ ذوي ٱلقرب ن وءاتى ٱلم وٱلي وم ٱلخر وٱلمل
ة وءاتى كني وٱبن ٱلسبيل وٱلسائلني وف ٱلرقاب وأقام ٱلصلو وٱلي تمى وٱلمسساء وٱلضرا
بين ف ٱلبأ وٱلص
هدوا ة وٱلموفون بعهدهم إذا ن س ٱلزكو
ء وحني ٱلبأ
وأولئك هم ٱلمت قون أولئك ٱلذين صدقوا
“ Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) bagi orang yang
beriman kepada Allah Swt, hari akhir dan juga malaikat-malaikat,
kitab-kitab Nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang dalam
perjalanan (musafir), orang yang meminta-minta dan untuk
mendekatkan hamba sahaya, yang mendirikan sholat, dan juga
orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan masa
peperangan. Mereka itulah orang yang benar dan mereka itulah
orang-orang yang bertaqwa.”(QS. al-Baqarah[2]: 177).
Kebajikan yang dimaksud dalam ayat tersebut yaitu
dinamakan al-Birr yang terambil dari kata tashrif (barra-yabirru-
birran-wa barratan) mengandung arti taat, berbakti, baik, benar.
al-Birru seperti al-Barru (daratan). Daratan berbeda dengan lautan,
daratan adalah area yang luas untuk bisa banyak berbuat baik, jadi
al Birr banyak berbuat baik.6
6 Al Rāgib al-Asfahānī, Mufradat Alfad Al-Qur‟an(Beirut: Dᾱr al-Syariyah,
1412H/1992M), 114.
46
Kata al Bȋrr juga bisa berarti memperbanyak kebaikan.
Menurut istilah syariah, al Bȋrr berarti setiap sesuatu yang
dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah yakni iman,
amal sholeh, dan akhlaq mulia.7
B. Tafsir QS. al-Taḥrīm ayat 10-11
ت كان تا لوط وٱمرأت نوح ٱمرأت كفروا للذين ضرب ٱلل مثال نبادن من نبدين تلحني هما ي غنيا ف لم فخان تاها ص خلني مع ٱلنار ٱدخال وقيل اشي ٱلل من نن ٱلد
“Allah memberikan perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nūh
dan istri Lūth. Keduanya berada dibawah pengawasan dua orang
hamba yang sholeh diantara hamba-hamba kami; lalu kedua istri itu
berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak
dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan
(kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama
orang-orang yang masuk (Neraka).” (QS. al-Taḥrīm[66]: 10).
Penafsiran dari ayat di atas, Allah berfirman : ”Allah membuat
perumpamaan” yakni sesuatu yang sangat menakjubkan yang dapat
diambil pelajaran, bagi orang-orang kafir, yaitu perihal istri Nabi Nūh
yang konon namnya Walihah yang umatnya dibinasakan Allah dan
dijungkir balikkan negerinya akibat kedurhakaan mereka, “keduanya
berada di bawah” pengawasan dan ikatan perkawinan, ”Keduanya
orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami,” yaitu Nabi
Nȗh dan Nabi Lȗth “lalu keduanya , yaitu istri-istri itu, “menghianati”
suami, mereka berdua dalam kehidupan rumah tangga seperti
berselingkuh tetapi dalam penerimaan ajaran agama, maka keduanya
yakni suami masing masing tidak dapat membantu mereka berdua
sekalipun dari jatuhnya siksa Allah.
7 Ahmad mustafa al-Maragī, Tafsir al maragī, juz. I (Mesir: Mustafa al-Bābi al-
Halabi wa auladuh, 1985 ), 97.
47
Dan dikatakan oleh malaikat atau yang ditugaskan Allah
kepada kedua istri Nabi itu: masuklah ke neraka bersama orang-orang
yang masuk neraka kami tidak peduli di tempat manapun di neraka
kamu masuk karena kamu adalah sampah yang diabaikan.8
مثال ٱلنة ف اٱمرأت فرنون إذ قالت رب ٱبن ل نندك ب يت ءامنوا للذين وضرب ٱللن ن ونملهۦ فرنون من ون ٱلظلمني ٱلقوم من ون
“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman
istri fir‟aun ketika ia berkata: Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah
rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‟aun dan
perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.” (QS.
al-Taḥrīm[66]: 11).
Tafsiran dari ayat di atas adalah: “Dan Allah membuat istri
Fir‟aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia
berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untuku sebuah rumah di sisi-Mu
dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir‟aun dan perbuatannya,
dan selamtkanlah aku dari kaum yang dzalim.9
1. Asbabun nuzul QS. al-Taḥrīm ayat 10-11
Sufyan al-Ṡauri meriwayatkan dari Musa bin Abu „Ᾱisyah
dari Sulaiman bin Qaram, ”Aku mendengar Ibnu „Abbās ra
mengatakan, kemudian keduanya mengkhianati dua orang suami
itu beliau mengatakan, kedua isteri itu bukan berzina, karena
pengkhianatan istri Nabi Nūh atas pemberitahuannya bahwa
suaminya itu orang gila.
Sedangkan pengkhianatan istri Nabi Lūth adalah
memberitahukan kepada masyarakat tentang tamu-tamu yang
datang ke rumahnya. Pengkhianatan kedua istri itu adalah tidak
mau memeluk agama suami mereka.
8 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 176
9 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 177.
48
Kemudian Ibnu Jarīr meriwayatkan bahwa Abu Buzzah
berkata, istri Fir‟aun pernah bertanya kepada seseorang, siapakah
yang berkuasa? Lalu dia menjawab, yang berkuasa itu adalah
Tuhan Musa dan Harun. Tidak lama kemudian Fir‟aun mengutus
seseorang kepadanya dan mengatakan, carilah batu yang paling
besar. Bila dia tetap dengan ucapannya itu maka lemparkanlah batu
itu kepadanya, namun bila mencabut perkataanya itu maka dia
tetap istriku.
Ketika mereka datang menjemputnya maka mengarahkan
ke langit ternyata dia melihat rumahnya dalam surga. Sehingga dia
berpegang teguh dengan ucapannya itu dan nyawanya pun
melayang, sedangkan batu itu dilemparkannya ke jasad yang sudah
tak bernyawa lagi. Sehubungan dengan ucapannya, Tuhanku,
bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu, para ulama
mengatakan, dia telah memilih tetangga dulu sebelum membangun
rumah.10
2. Munasabah QS. al-Taḥrīm ayat 10-11
Ayat ini bermunasabah dengan ayat-ayat sebelumnya yang
menceritakan kehidupan Nabi SAW. Dengan istri-istrinya yang
melanggar perjanjian rahasia dengan beliau, lalu kemudian Nabi
menyuruh mereka bertaubat dengan taubatan nasuha, kemudian
ayat ini bermunasabah yang masih membahas istri-istri yang
membangkang dan istri-istri yang sholehah. Ayat ini sejalan
dengan ayat nomer lima yang mengancam istri-istri Nabi yang
10
Imaduddin Abul Fidā‟ Isma‟ȋl bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin Katsīr al-
Syafi'i al-Quraisyī al-Dimasyqī, Tafsir Al-Qur‟anAl-Karīm, Juz. IV (Beirut: Dār al-Kutub
al- Ilmiyah, 1996), 755-757.
49
tidak taat dan akan diganti dengan istri-istri yang lebih shalihah
dan taat baik dari perawan maupun janda.11
3. Berbagai Tafsiran QS. al-Taḥrīm ayat 10-11
Qatadah mengatakan bahwa Fir‟aun adalah orang yang
melampaui batas dari kalangan penduduk bumi dan paling fakir di
antara mereka. Tetapi demi Allah, kekafiran suaminya itu tidak
membahayakan istrinya karena ia selalu taat kepada Tuhannya,
agar mereka mengetahui bahwa Allah SWT, adalah Hakim yang
maha adil, Dia tidak menghukum seseorang melainkan karena
dosanya sendiri.
ة ن ل اا ف ت ي ب ك د ن ن ل ن اب رب
Menurut para ulama‟ Istri Fir‟aun memilih tetangga
sebelum memilih rumah. Hal yang semakna telah disebutkan
dalam suatu hadits yang berpredikat marfu‟.
ن ه ل م ن و ن و ن ر ف من ون
Yakni bebaskanlah aku darinya, karena sesungguhnya aku
melepas diri kepada engkau dari semua perbuatannya.
4. Sikap Istri Nabi Nūh AS
Diriwayatkan bahwa istri Nabi Nūh AS bernama Wahilah
menyebarkan kepada kaumnya bahwa Nabi Nūh seorang yang gila
dan pembohong, Syihabuddin al-Alussy mengemukakan suatu
riwayat mengenai istri Nabi Nūh bahwa pengkhianatan mereka
adalah suka menfitnah dan tidak dapat dipercaya. Bila diketahui
wahyu turun, mereka siarkan kepada kaum musyrik dengan
11
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz. XXVIII (Depok: Gema Insani, 1965), 297.
50
kebohongan, Menurut suatu pendapat mereka termasuk golongan
kafir dan pendapat lain menyebutkan kaum munafik.12
5. Sikap Istri Nabi Lūth AS
Sedangkan istri Nabi Lȗth AS bernama Wali‟ah yang
menceritakan kepada kaumnya bahwa Nabi Lūth melakukan
perbuatan tak senonoh (cabul) dengan para tamunya. Syihabuddin
al-Alussy mengemukakan suatu riwayat mengenai istri Nabi Nūh
AS bahwa pengkhianatan mereka adalah suka menfitnah dan tidak
dapat dipercaya. Bila diketahui wahyu turun, mereka siarkan
kepada kaum musyrik dengan kebohongan. Menurut suatu
pendapat mereka termasuk golongan kafir dan pendapat lain
menyebutkan kaum munafik.13
6. Kelembutan Istri Fir‟aun
Dikenal sebagai Asiyah, ibu angkat Nabi Musa dari sekian
panjang perjalanan hidup Nabi Musa, istri Fir‟aun memegang
peranan penting di dalamnya, karena Musa diasuh dan dibesarkan
Fir‟aun, atas kecerdasan, kelembutan, dan kebijaksanaan Asiyah.
Kebenaran Asiyah sebagai perempuan beriman juga tercantum
dalam al-Qur‟an.14
Menurut Burhanuddin al-Biqa‟i istri Fir‟aun yang bernama
Asiyah binti Muhazim merupakan seorang wanita mu‟minah yang
taat. Dengan iman yang dimilikinya tidak bisa menolong atau
bahkan meringankan siksaan bagi suaminya yang kafir.15
Asiyah binti Muhazim adalah perempuan Bani Israil
keturunan Nabi. Ia sangat menyayangi orang-orang miskin, ia juga
12
Wahana karya ilmiah (Kajian Wanita Muslimah, 2019), Di akses 05-10-2019. 13
Wahana karya ilmiah, (Kajian Wanita Muslimah, 2019), Di akses 05-10-2019. 14
Salimah, (Kajian Wanita Muslimah, 2017), Di akses 05-10-2019. 15
Wahana karya ilmiah,2019. (Kajian Wanita Muslimah, 2019), Di akses 05-10-
2019.
51
sering sedekah kepada mereka. Pada diri „Asiyah, ada permisalan
yang indah bagi para istri yang mengharapkan perjumpaan dengan
Allah dan hari akhir. Mereka dijadikan contoh untuk mendorong
berpegang teguh dengan ketaatan dan kokoh di atas agama.16
7. Makna Perumpamaan dalam al-Qur‟an
Allah membuat perumpamaan untuk keadaan orang-orang
kafir dalam pergaulan mereka dengan kaum muslimin, kedekatan
mereka dari kaum muslimin dan persinggungan mereka dengan
kaum muslimin, bahwa hal itu tidak berguna bagi mereka karena
kekafiran mereka kepada Allah, dengan keadaan istri Nabi Nūh AS
dan istri Nabi Lūth AS, keduanya berada dalam pernikahan dengan
dua hamba salih dari hamba hamba kami, tetapi keduanya adalah
wanita kafir, Lalu keduanya Nabi Nūh dan Nabi Lūth tidak bisa
menolak sedikitpun adzab Allah dari keduanya. Kepada kedua istri
tersebut dikatakan,” Masuklah kalian berdua ke dalam neraka
bersama orang-orang yang memasukinya.” Dalam perumpamaan
ini terdapat dalil bahwa kekerabatan dengan para Nabi dan orang-
orang salih sama sekali tidak memberikan manfaat jika tetap
berbuat keburukan.17
Perumamaan dalam al-Qur‟an dalam surah al-Taḥrīm ayat
11 adalah dan Allah membuat perumpamaan bagi keadaan orang-
orang yang beriman (yang membenarkan Allah, menyembah-Nya
semata, bahwa pergaulan mereka dengan orang-orang kafir tidak
berdampak buruk terhadap mereka) dengan istri Fir‟aun yang
dalam berada dalam pernikahan dengan laki-laki yang paling kafir
kepada Allah. Ketika dia berkata “Wahai Tuhanku, bangunkanlah
16
Abū „Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakr al-Qurṭubi, al Jāmi‟ li
Ahkām al-Qur‟an, vol. 2 (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), 132. 17
Tafsir web,1105 (http:///tafsirweb.com), Diakses tgl 5-10-2019.
52
untukku sebuah rumah di surga. Selamatkanlah aku dari fitnah dan
kekuasaan Fir‟aun, serta dari perbuatan buruk yang dilakukan
terhadapku. Selamatkanlah aku dari kaum yang mengikutinya
dalam kedzaliman dan kesesatan dan siksa mereka.18
18
Tafsir web,1105 (http:///tafsirweb.com), Diakses tgl 5-10-2019.
53
BAB IV
ANALISIS PENAFSIRAN QS. Al-NŪR AYAT 26 DAN QS. Al-
TAḤRĪM AYAT 10-11
A. Penafsiran QS. al-Nūr ayat 26
Dalam ayat ini dijelaskan tentang kata baik dan buruk
seseorang yang mana apabila wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita yang
keji. Demikian pula wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki
yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik
(pula). Sehingga dalam ayat ini akan dijelaskan secara rinci dalam
tabel berikut.
Tabel 4.1: Pemaknaan lafaẓ Al-Khabīṡāt dan Al-Ṭayyibāt
Ayat Diksi terkait Tafsir Kesimpulan
QS. Al-Nūr
ayat 26
Al-Khabīṡāt
Al-Ṭayyibāt
Al-Misbah Al-Khabīṡāt
Al-Ṭayyibāt
“Baik dan buruknya
seseorang dilihat dari
perbuatan maupun
perkataanya.”
Sifat
Al-Ṭabari Al-Khabīṡāt
Al-Ṭayyibāt
“Perkataan yang baik
untuk orang yang
baik, perkataan yang
buruk untuk orang
yang buruk.”
Perkataan
Al-Qurṭubi Al-Khabīṡāt
Al-Ṭayyibāt
“orang yang keji
untuk orang yang keji
dan orang yang baik
untuk orang yang baik
pula.”
Perbuataan
54
Ibn Katsir Al-Khabīṡāt
Al-Ṭayyibāt
“perkataan yang keji
hanya keluar dari
orang-orang yang keji
dan perkataan yang
baik hanya keluar dari
orang-orang yang baik
pula.”
Perkataan
ثت والطيبت للطيبني والطيب ون للطي ث ون للخبي ثت للخبيثني والبي ك بت البي ىاول
لم مغفرة ورزق كرمي مب رءون ما ي قولون
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-
laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula),
sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik
dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik
(pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka
memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).”(QS. al-
Nūr[24]: 26)
Ayat ini menjelaskan tentang baik dan buruknya seseorang
dilihat dari perkataan maupun perbuatannya tergantung dari diri
mereka masing-masing karna dalam ayat ini tidak menjelaskan
tentang pasangan dalam artian yang baik untuk yang baik sedangkan
yang buruk untuk pasangan yang buruk juga.
Sebagaimana Menurut M. Quraish Shihab bahwa (wanita-
wanita yang keji) baik perbuatannya maupun perkataannya (adalah
untuk laki-laki yang keji), dan (laki-laki yang keji) di antara manusia
(adalah untuk wanita-wanita yang keji) pula sebagaimana yang
sebelumnya tadi (dan wanita yang baik) baik perbuatan baik
perkataannya (adalah untuk laki-laki yang baik) di antara manusia
55
(dan laki-laki yang baik) di antara mereka (adalah untuk wanita-
wanita yang baik pula) baik perbuatan maupun perkataannya.1
Maksudnya, hal yang layak adalah orang keji akan
mendapatkan orang yang keji pula dan sebaliknya orang baik
berpasangan dengan orang yang baik pula. Sebagaimana yang telah
diuraikan di atas.
Mereka itu yaitu kaum laki-laki yang baik dan kaum wanita
yang baik, antara lain „Āisyah dan Sofwan, (bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka) yang keji dari kalangan kaum laki-laki dan
wanita. (bagi mereka) yakni laki-laki yang baik dan wanita yang baik
itu (ampunan dan rezeki yang mulia) di surga. Sehingga „Āisyah
merasa puas dan bangga dengan beberapa hal yang ia peroleh, antara
lain ia diciptakan dalam keadaan baik, dan dijanjikan mendapat
ampunan dari Allah serta diberi rezeki yang mulia.2
Sedangkan menurut Abu „Abdillah Muhammad bin Ahmad
bin Abu Bakr al-Qurṭubi dalam Tafsirnya al-Jāmi‟ li Ahkām al-
Qur‟an dijelaskan dari Ibnu Zaid yang mengatakan bahwa makna
firan Allah tersebut adalah, wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita yang
keji. Demikian pula wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki
yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik
(pula).3
Begitupula an-Nuhas berkata dalam Ma‟anil Al-Qur‟an,
bahwasanya pentakwilan ini pentakwilan terbaik yang dikatakan
1 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, kesan, dan keserasian al-
Qur‟an, vol.9 (Jakarta: Lentera hati, 2002), 169. 2 Shihab, al-Mishbah, 169.
3 Aṡar dari Ibn Zaid disebutkan oleh Al Mawardi dalam tafsirnya (3/117) dan
Ibn Kaṡī dalam tafsirnya (6/35), Abū „Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abū Bakr al-
Qurṭubi, al Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟an, juz. 15, (Beirut: Al-Resalah, 1427 H/2006 M),
185.
56
tentang ayat ini, yaitu keabsahan pentakwilan ini ditunjukkan oleh
firman Allah SWT, ب يقىلىن ءون مم ئك مبز Mereka (yang dituduh) itu“ أول
bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu)‟,
yakni „Āisyah dan Sofwan dari apa yang dikatakan oleh laki-laki dan
perempuan yang keji itu. 4
ء ئك مبز ب يقىلىن أول Mereka (yang dituduh) itu bersih dari“ ون مم
apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). yang
dimaksud dari lafadz أولئك di sini adalah jenis. Tapi menurut satu
pendapat, yang dimaksud adalah „Āisyah dan Sofwan yang kemudian
dijadikan bentuk jamak (mereka), sebagaimana Makna مبزءون adalah
yang dibersihkan dari apa yang dituduhkan oleh orang-orang yang
menuduh itu kepada mereka.5
Sebagian ahli tahqiq berkata, Ketika Yusuf dituduh melakukan
perbuatan keji, Allah SWT membebaskannya melalui lidah anak kecil
yang masih di dalam buaian. Ketika Maryam dituduh melakukan
perbuatan keji, Allah SWT membebaskannya melalui lidah puteranya
yaitu Nabi Isa. Ketika „Āisyah dituduh melakukan perbuatan keji,
Allah SWT membebaskannya dengan al-Qur‟an. Untuk „Āisyah,
Allah SWT tidak meridhoi pembebasan melalui anak kecil atau
seorang Nabi, sehingga Allah SWT membebaskannya dari tuduhan
berzina dan kebohongan dengan firman-Nya.
Diriwayatkan dari Ali bin Zaid bin Ju‟dan, dari neneknya dari
„Āisyah, dia berkata, aku telah diberikan sembilan perkataan yang
tidak diberikan kepada seorang wanita pun, yaitu (1) Jibril AS pernah
turun dengan rupaku saat dia berkunjung, ketika memerintahkan
Rasulullah SAW untuk mengawini aku, (2) Rasulullah SAW
4 Al-Qurṭubi, al Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟an, 185.
5 Al-Qurṭubi, al Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟an, 186.
57
mengawiniku dalam keadaan perawan, sementara beliau tidak pernah
mengawini seorang pun dalam keadaan perawan selain aku, (3)
Rasulullah SAW wafat dan kepalanya berada dalam pangkuanku, (4)
Rasulullah SAW dimakamkan di rumahku, dan (5) malaikat
mengelilingi rumahku, (6) Apabila wahyu diturunkan kepada beliau
dan saat itu beliau sedang bersama keluarganya, maka mereka
menyingkir dari sisinya. Tapi apabila wahyu diturunkan kepada beliau
dan saat itu aku sedang bersama beliau di dalam selimut, maka beliau
tidak menjauhkan aku dari tubuhnya, (7) aku adalah anak perempuan
khali fah sekaligus sahabatnya, (8) pembebasanku dalam kasus
tuduhan bohong berbuat zina turun dari langit, (9) aku diciptakan
sebagai wanita yang baik dan menjadi istri laki-laki yang baik, serta
(10) aku dijanjikan ampunan dan rezeki yang mulia ‟‟Maksud „Āisyah
adalah firman Allah SWT, غفزة ورسق كزيم bagi mereka ampunan لهم م
dan rezeki yang mulia (Surga).6
Sehingga dalam penjelasan ini telah disebutkan sedemikian
panjang tentang tuduhan yang disandarkan kepada „Āisyah istri Nabi
akan tetapi „Āisyah dibersihkan dari tuduhan tersebut, karna tidak
mungkin seorang „Āisyah melakukan hal keji tersebut karna beliau
merupakan orang yang baik sehingga beliau layak untuk mendapatkan
suami yang baik pula seperti Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan menurut Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-
Ṭabari (Jāmi‟ al Bayān „an Ta‟wīl Āyi al-Qur‟an). Bahwasanya Para
ahli takwil berbeda pendapat dalam mentakwilkan ayat tersebut,
sebagian pendapat, wanita-wanita yang selalu berucap keji adalah
untuk laki-laki keji, dan laki-laki yang keji untuk wanita yang keji
dalam ucapan mereka, wanita-wanita yang baik dalam ucapan mereka
6 Al-Qurṭubi, al Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟an, 186.
58
adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik dalam ucapan mereka, dan yang berpendapat
demikian. 7
Sedangkan Muhammad bin Sa‟ad menceritakan kepadaku, ia
berkata: Bapakku menceritakan kepadaku ia berkata: Pamanku
menceritakan kepadaku ia berkata: bapakku menceritakan kepadaku
dari bapaknya, dari Ibnu Abbas, tentang firman Allah:
ت ت للخبيثيه وٱلخبيثىن للخبيث ٱلخبيث
“wanita yang keji dalam ucapan mereka adalah untuk laki-laki yang
keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji
dalam ucapan mereka.
ت ل يب يبيه وٱلط لط
Maksudnya adalah wanita-wanita yang baik dalam ucapan
mereka adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik
untuk wanita yang baik dalam ucapan mereka. Ayat ini diturunkan
berkenaan dengan mereka yang memfitnah istri Nabi SAW.
ت للخبيثيه ٱل خبيث
Maksudnya adalah mereka yang melakukan perbuatan keji
adalah untuk laki-laki keji, dan wanita-wanita yang melakukan
perbuatan baik adalah untuk laki-laki yang baik.
Ibnu basyar menceritakan kepada kami, ia berkata:
Abdurrahman menceritakan kepada kami ia berkata: Sufyan
menceritakan kepada kami dari Utsman bin al-Aswad, dari Mujahid,
ia berkata: wanita-wanita yang ucapannya keji, adalah untuk laki-laki
7 Abū Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Ṭabari, Jāmi‟ al Bayān „an Ta‟wīl Āyi Al-
Qur‟an, juz. 5, (Beirut: al-Resalah,1415 H/1994M), 41.
59
yang keji, dan wanita-wanita yang ucapannya baik adalah untuk laki-
laki yang baik.8
Pendapat yang tepat dalam penakwilan ayat tersebut adalah
yang mengatakan bahwa makna للخبيثيه adalah wanita-wanita yang
keji dalam ucapan mereka, karena hal ini adalah perbuatan buruk
adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang jelek adalah untuk
wanita-wanita yang keji dalam perkataan mereka, dan mereka lebih
tepat bagi wanita itu karena ia termasuk di dalamnya. Sementara
wanita-wanita yang baik ucapannya dan itu adalah yang baik untuk
laki-laki, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik dalam ucapan mereka, karena mereka satu golongan dengannya
dan mereka lebih berhak terhadap wanita-wanita tersebut.
Kami katakan bahwa pentakwilan ayat ini lebih tepat, karena
ayat sebelumnya mengandung kecaman bagi mereka yang
mengatakan berita bohong bagi Aisyah, dan tentang orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik, lengah, dan beriman. Serta
pemberitahuan tentang balasan yang dikhususkan kepada mereka
karena kebohongan mereka jadi, berita itu ditutup dengan berita
tentang dua golongan yang lebih utama dalam hal berita bohong itu,
yaitu menuduh dan yang dituduh, menyerupai berita tentang lain.
Sedangkan menurut Imaduddin Abul Fidā‟ Isma‟īl bin al-
Khatib Abu Hafs Umar bin Kaṡīr al-Syafi'i al-Quraisyī al-Dimasyqī
Dalam Tafsir al-Qur‟an al-Karīm dari Ibnu Abbās ra berkata, maksud
ayat di atas adalah perkataan yang keji hanya mungkin keluar dari
orang-orang yang keji, dan hanya laki-laki yang keji yang pantas
dituduh dengan perkataan yang keji. Demikian pula perkataan yang
baik akan keluar dari orang-orang yang baik dan hanya orang-orang
8 Al-Ṭabari, Jāmi‟ al Bayān „an Ta‟wīl Āyi al-Qur‟an, 414.
60
yang baik-baik yang pantas dialamatkan kepada mereka perkataan
yang baik.9
Ayat ini turun berkaitan dengan „Āisyah dan orang-orang yang
menyebarkan berita bohong tentang dirinya, riwayat yang sama juga
bersumber dari Mujahid, Atha‟, Sa‟id bin Jubair, al-Asya‟bi, al-Hasan
bin Abil Hasan al-Bashri, Hubaib bin Abi Tsabit, dan al-Dahhak, Ibnu
Jarir lebih memilih pendapat ini.10
Penafsiran di atas berdasarkan (dalil secara logika) bahwa
ucapan perkataan yang keji sangat pantas meluncur dari manusia-
manusia yang keji, begitu pun sebaliknya perkataan yang baik sangat
pantas meluncur dari manusia-manusia yang baik. Tuduhan orang-
orang munafik yang tidak pantas dialamatkan kepada „Āisyah, justru
pantasnya dialamatkan kepada mereka manusia keji dan „Āisyah jauh
lebih pantas untuk mendapatkan kesucian diri dari pada mereka. Oleh
karena itu, Allah berfirman: ولئك مبزءون ممب يقىلىن أ “mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang
menuduh itu).
Sementara Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata,
perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-
laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji pula, sedangkan
perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-
laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik pula.
Penafsiran ini juga secara otomatis merujuk pula kepada apa yang
disebutkan di atas. Maksudnya tidak mungkin Allah menyandingkan
Rasulullah kepada „Āisyah terkecuali telah digariskan dalam
9 Imaduddin Abul Fidā‟ Isma‟īl bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin Kaṡīr al-
Syafi'i al-Quraisyī al-Dimasyqī, Tafsir al-Qur‟anal-Karīm, (Beirut: Dār ibn Hazm,
1420/2000), 1324. 10
al-Dimasyqī, Tafsir al-Qur‟an al-Karīm, 1324.
61
ketentuan-Nya bahwa „Āisyah adalah orang baik, karena Rasulullah
yang menjadi pendamping hidupnya adalah laki-laki terbaik dari
kalangan manusia, Seandainya „Āisyah tergolong manusia kotor,
niscaya menurut pandangan Syara‟ dan takdir Allah ia tidak pantas
bersanding dengan Rasulullah.
Oleh sebab itu Allah berfirman “Mereka itu bersih dari apa
yang dituduhkan orang”, maksudnya mereka sangat jauh dengan apa
yang dituduhkan oleh para penyebar berita bohong dan para pelaku
kezaliman.
B. Penafsiran QS. al-Taḥrīm ayat 10
Dalam ayat ini Allah berfirman yang mana Allah membuat
perumpamaan bagi orang-orang kafir, perihal istri Nabi Nūh yang
mana Kedua berada di bawah pengawasan dan ikatan perkawinan dua
orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba kami, yaitu Nabi
Nūh dan Nabi Lūth itu lalu keduanya itu mengkhianati suami mereka.
Sehingga dalam pembahasan ayat ini akan dijelaskan secara rinci
tentang penafsiran ayat berikut :
Tabel 4.2 : Pemaknaan lafadẓ Khānatāhuma
Ayat Diksi terkait Tafsir Kesimpulan
QS.al-
Taḥrīm ayat
10
“Khānatāhuma”
Al-Misbah “Khānatāhuma” “perihal istri Nabi
Nūh yang umatnya
dibinasakan oleh
Allah dengan angin
topan dan banjir
besar, sedangkan istri
Nabi Lūth dijungkir
balikkan negerinya
akibat
Kedurhakaan
62
kedurhakaannya.”
Al-Ṭabari “Khānatāhuma” “Pengkhianatan istri
Nūh dalam perkataan
nya dia menyebut
“Nūh itu gila”,
sedangkan bentuk
pengkhianatan istri
Lūth yaitu tentang
pemberitahuannya
kepada umatnya
tentang tamu Nabi
Lūth.”
Pengkhianatan
Al-Qurṭubi “Khānatāhuma” “ayat ini memberikan
peringatan bahwa
tidak seorangpun
yang dapat membela
kerabat dan sanak
keluarganya di
akhirat kelak, jika
kedua nya berbeda
agama.”
peringatan
Ibn Katsir “Khānatāhuma” Sebagaimana Firman
Allah فخبوتبهمب “lalu
kedua istri itu
berkhianat kepada
suaminya, yaitu tidak
seimannya mereka
dan tidak
membenarkan risalah
yang mereka bawa
dan berbuat keji.
Kedurhakaan
63
كان تا تت نبدين من نبادن مثال للذين كفروا امرات ن وح وامرات لوط ضرب الل
هما هما ف لم ي غنيا نن خلني صالني فخان ت من الل شي ا وقيل ادخال النار مع الد“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan
istri Lut. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba
yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu
berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak
dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan
dikatakan (kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka
bersama orang-orang yang masuk (neraka).” (QS. al-Taḥrīm[66]: 11)
Sebagaimana yang telah disebutkan ayat-ayat yang lalu, Allah
telah menganjurkan untuk mendidik istri dan anak, dan
memerintahkan untuk bersikap tegas dan keras terhadap orang-orang
munafik dan kafir, ayat-ayat di atas dan berikutnya kembali berbicara
tentang istri para nabi yaitu sitri dari istri Nabi Nūh dan istri Nabi
Lūth yang menceritakan tentang pengkhianatan keduanya yang mana
kedua nya berkhianat kepada kedua suaminya. Sehingga dalam ayat
ini akan dijelaskan secara rinci tentang kisah dari kedua istri Nabi
tersebut.
Dalam ayat ini Allah berfirman yang mana Allah membuat
perumpamaan bagi orang-orang kafir, perihal istri Nabi Nūh yang
konon namanya Wahilah yang umatnya dibinasakan Allah dengan
Tofan dan banjir besar dan istri Nabi Lūth yang namanya Wali‟ah dan
yang dijungkir balikkan negerinya akibat kedurhakaan mereka. Kedua
berada di bawah pengawasan dan ikatan perkawinan dua orang hamba
yang saleh di antara hamba-hamba kami, yaitu Nabi Nūh dan Nabi
Lūth itu; lalu keduanya itu mengkhianati suami mereka dalam
kehidupan rumah tangga seperti berselingkuh tetapi dalam
penerimaan ajaran agama, maka keduanya, yakni suami masing-
masing tidak dapat membantu mereka berdua sedikitpun dari jatuhnya
64
siksa Allah. Sehingga masuklah ke neraka bersama orang-orang yang
masuk neraka.11
Sebagaimana Ibn „Āsyūr menduga bahwa khianat istri Nabi
Nūh AS itu terjadi setelah banjir dan tofan yang menenggelamkan
semua umatnya yang durhaka. Ini karena dalam perjanjian lama
disebutkan bahwa istri Nabi Nūh as ikut bersama beliau dalam perahu
yang menyelamatkan umatnya itu, atau boleh jadi juga Nabi Nūh
kawin lagi sesudah banjir besar.12
Sehingga perumpamaan yang dimaksud di atas yaitu bahwa
ikatan apapun baik ikatan darah maupun ikatan persahabatan maupun
ikatan perkawinan sama sekali tidak akan membantu seseorang
selama itu tidak disertai oleh pelaksanaan tuntunan Allah dan Rasul-
Nya. Ia juga tidak bermanfaat walaupun yang berupaya menolongnya
adalah Nabi dan hamba Allah yang saleh.
Sebagaimana menurut Abū „Abdillah Muhammad bin Ahmad
bin Abū Bakr al-Qurṭubi dalam Tafsirnya al-Jāmi‟ li Ahkām al-
Qur‟an). bahwa dalam ayat ini Allah membuat perumpamaan ini
sebagai peringatan bahwa tidak seorang pun yang dapat membela
kerabat dan sanak keluarganya di akhirat kelak, jika kedua nya
berbeda agama. Dalam Tafsir al-Qurṭubi disebutkan bahwa nama istri
Nūh adalah wahilah sedangkan nama istri Lūth adalah Wali‟ah. Hal
ini dikemukakan oleh Muqatil.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sulaiman bin Qattah
yang meriwayatkan dari Ibnu Abbās: Bahwa istri Nabi Nūh
mengatakan kepada orang-orang bahwa Nūh adalah orang gila,
sementara istri Nabi Lūth memberitahu tentang tamu-tamu (yang
11
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, kesan, dan keserasian al-
Qur‟an, vol. 14, (Jakarta: Lentera hati, 2002), 184. 12
Quraish Shihab, al-Mishbah, 185.
65
sebenarnya malaikat) kepada orang-orang.”13
Sedangkan menurut
pendapat yang lain juga disebutkan bahwa apabila Lūth menerima
tamu, maka istrinya membuat asap untuk memberitahukan kaumnya
bahwa tamu tengah menemui Lūth. Sebab kebiasaan mereka pada
waktu itu adalah melakukan hubungan (seks) dengan kaum laki-laki.
Sedangkan menurut Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-
Ṭabari dalam Tafsirnya Jāmi‟ al Bayān „an Ta‟wīl Āyi Al-
Qur‟anmenjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah memberikan
perumpamaan untuk orang-orang kafir dan semua makhluk yang
mana berupa kisah tentang istri Nūh dan istri Lūth, yang keduanya
dalam bimbingan صلحيه “Dua orang hamba yang salih”, yaitu Nūh
dan Lūth, tapi mereka justru mengkhianati suami-suami mereka.
Dalam ayat ini juga disebutkan bahwa status istri Nūh adalah orang
kafir yang mana dalam perkataan nya dia menyebut “Nȗh itu gila”,
sedangkan bentuk pengkhianatan istri Lūth yaitu tentang
pemberitahuannya kepada umatnya tentang tamu Nabi Lūth.
Dengan demikian kedua ayat di atas menjelaskan bahwa kedua
istri nabi itu tidak selingkuh melainkan pengkhianatan mereka kepada
suaminya yaitu Nabi Nūh dan Nabi Lūth yang mana mereka itu tidak
berada di agama yang sama. jika bentuk pengkhianatan istri Nabi
Nȗh yaitu menyebarkan rahasia Nūh yang mana dia menyebutkan
bahwa “Nūh itu gila” sedangkan bentuk pengkhianatan istri Nabi Lūth
yaitu bila ada tamu yang datang kepada Lūth dan memberitahu
kepada umatnya tentang tamu yang datang kepada Lȗth lalu dia
13
Abū „Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abū Bakr Al-Qurṯhubi, al Jāmi‟ li
Ahkȃm Al-Qur‟an, juz. 21, (Beirut: Al-Resalah, 1427 H/2006 M), 103.
66
menyalakan asap sebagai bentuk pemberitahuannya kepada
umatnya.14
Sedangkan Penafsiran selanjutnya yaitu menurut Imaduddin
Abūl Fidā‟ Isma‟īl bin al-Khatib Abū Hafs Umar bin Katsīr al-Syafi'i
al-Quraisyī al-Dimasyqī dalam Tafsirnya al-Qur‟an al-Karīm
menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah berfirman لذيه مثلا ل ضزة ٱلل
yaitu “Allah memberikan perumpamaan kepada orang-orang كفزوا
kafir” yaitu dalam berinteraksi dengan orang-orang mukmin. Dalam
hal ini dijelaskan bahwa tidak akan bermanfaat bagi mereka selama
keimanan mereka belum terpatri dalam diri mereka. Kemudian di sini
Allah memberi perumpamaan seraya berfirman امرات ن وح وامرات لوط
yaitu tentang kisah istri Nabi Nūh dan كان تا تت نبدين من نبادن صالني
istri Nabi Lūth yang mana keduanya berada dibawah naungan
diantara hamba-hamba kami, yaitu kedua Nabi.15
Sebagaimana Firman Allah تاهماان
خ
lalu kedua istri itu“ ف
berkhianat kepada kedua suaminya, yaitu tidak seimannya mereka dan
tidak membenarkan risalah yang mereka bawa, sehingga semua itu
sama sekali tidak dapat membantu mereka dan kedekatan itu tidak
akan mampu mencegah murka Allah kepada keduanya. Adapun yang
dimaksud berkhianat di sini yaitu keduanya berbuat keji akan tetapi
berkat kehormatan suaminya keduanya terjaga dari perbuatan
tersebut.
14
Abū Ja‟far Muhammad bin Jarir Al-Ṭabari, Jāmi‟ al Bayān „an Ta‟wīl Āyi Al-
Qur‟an, juz. 6, (Beirut: al-Resalah,1415 H/1994M), 332. 15
Imaduddin Abūl Fidā‟ Isma‟ȋl bin al-Khatib Abū Hafs Umar bin Kaṡīr al-
Syafi'i al-Quraisyī Al-Dimasyqī, Tafsir al-Qur‟an al-Karīm, (Beirut: Daar ibn Hazm,
1420/2000), 1896.
67
C. Penafsiran QS. al-Taḥrīm ayat 11
Dalam ayat ini Allah memberikan perumpamaan kepada
seorang wanita yang taat kepada Allah dan tidak terpengaruh kepada
suaminya yang durhaka, yaitu perihal istri Fir'aun yang bernama
'Asiyah dan suaminya yang merupakan penguasa mesir yang sangat
kejam dan mengaku Tuhan, lalu „Asiyah berdoa kepada Allah untuk
dibangunkan sebuah rumah dan dijauhkan dari Fi'aun dan orang-
orang yang zalim agar ia tidak dipaksa atas perbuatannya sehingga ia
tidak terpengaruh dan terkena dampak buruknya. Sehingga dalam ayat
ini akan dijelaskan secara rinci dalam setiap makna yang ada di dalam
pembahasan berikut.
Tabel 4.3
Ayat Diksi terkait Tafsir Kesimpulan
QS. Al-Taḥrīm
ayat 11
“Imroah”
Al-Misbah “Imroah” “ayat ini memberikan
perumpamaan kepada
seorang wanita yang taat
kepada Allah dan tidak
terpengaruh kepada
suaminya yang durhaka,
perihal istri Fir'aun berdoa
kepada Allah untuk
dibangunkan sebuah
rumah dan dijauhkan dari
Fi'aun dan orang-orang
yang zalim agar ia tidak
dipaksa atas perbuatannya
sehingga ia tidak
terpengaruh dan terkena
dampak buruknya.”
Peringatan
68
Al-Ṭabari “Imroah” “Allah memberi
permisalan bagi orang-
orang beriman dan
mentauhidkan Allah
berupa kisah isteri
Fir‟aun, dalam kisah ini
bahwa istri Fir‟aun itu
beriman kepada Allah
sedangkan Fir‟aun
merupakan musuh Allah
yang kafir, Kekafiran
suaminya itu justru
membahayakan bagi dia
karena dia beriman
kepada Allah.”
Peringatan
Al-Qurṭubi “Imroah” “Allah memberikan
peringatan untuk „Āisyah
dan Hafshah menyangkut
penentangan mereka,
ketika mereka
bekerjasama dalam
menyusahkan Rasulullah.
Setelah itu, Allah
menjadikan istri Fir‟aun
dan Maryam putri Imran
sebagai perumpamaan
bagi keduanya, agar
keduanya berpegang
teguh pada ketaatan dan
konsisten dalam agama
(Islam).
Peringatan
Ibn Katsir “Imroah” “Dahulu istri Fir‟aun
disiksa dibawah terik
matahari apabila
suaminya
meninggalkannya, maka
malaikat memayunginya
dengan sayapnya, dan dia
melihat rumahnya di
surga.”
Pemberitahuan
69
تا ف ال مثال للذين امنوا امرات فرنون اذ قالت رب ابن ل نندك ب ي نة وضرب اللن من فرنون ونمله ن ون الظلمنين القوم من ون
“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman,
istri Fir„aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku
sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari
Fir„aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang
zalim.” (QS. al-Taḥrīm[66]: 11).
Dalam ayat ini Allah memberikan perumpamaan kepada
seorang wanita yang taat kepada Allah dan tidak terpengaruh kepada
suaminya yang durhaka, hal ini merupakan sesuatu yang sangat
menakjubkan yang dapat diambil darinya pelajaran bagi orang-orang
beriman, perihal istri Fir'aun yang bernama 'Asiyah dan suaminya
yang merupakan penguasa mesir yang sangat kejam dan mengaku
Tuhan, lalu „Asiyah berdoa kepada Allah untuk dibangunkan sebuah
rumah dan dijauhkan dari Fi'aun dan orang-orang yang zalim agar ia
tidak dipaksa atas perbuatannya sehingga ia tidak terpengaruh dan
terkena dampak buruknya.
Menurut M. Quraish Shihab dijelaskan bahwa permohonan
„Asiyah agar dibangunkan rumah di surga, boleh jadi karena sebelum
disiksa Fir‟aun mengusirnya dari istana dan tidak memberinya
penghormatan untuk dimakamkan dalam satu bangunan yang
berbentuk piramid. 16
Sedangkan menurut satu riwayat dari Bisyr yang menceritakan
kepada Yazid ia berkata bahwa Fir‟aun adalah penghuni bumi yang
paling ingkar terhadap Allah dan manusia yang paling jauh dari Allah,
akan tetapi itu tidak mengubah keimanan istrinya kepada Allah,
karena ia tahu bahwa Allah Maha Adil dan tidak menghukum
hambanya melainkan dosa pribadinya.
16
Shihab, Tafsir al-Mishbah,187.
70
Sehingga menurut beberapa pendapat yang lain ayat ini juga
merupakan firman Allah untuk mendorong orang-orang yang beriman
agar mereka bersabar dalam kesulitan. Maksudnya yaitu janganlah
kalian lebih lemah dalam bersabar menghadapi kesulitan dari pada
istri Fir‟aun ketika dia bersabar atas siksaan Fir‟aun. Saat itu Asiyah
beriman kepada Musa. Sehingga dalam kisah ini sangatlah jelas
bahwa istri Fir‟aun itu beriman kepada Allah sedangkan Fir‟aun
merupakan musuh Allah yang kafir, Kekafiran suaminya itu justru
tidak membahayakan bagi dia karena dia beriman kepada Allah.
D. Relasi Penafsiran QS. al-Nūr ayat 26 dan QS. al-Taḥrīm ayat 10-
11.
Dalam kajian yang sudah tertera di atas bahwasanya di surah
al-Nūr ayat 26 hanya menjelaskan tentang baik dan buruknya perilaku
seseorang, yang mana apabila seseorang yang mempunyai perkataan,
maupun perbuatannya yang keji maka ia akan dihadapkan dengan
seseorang yang memiliki sifat yang keji juga, sedangkan seseorang
yang mempunyai perilaku baik maka ia akan dihadapkan dengan
seseorang yang memiliki sifat yang baik pula.
Sedangkan pemahaman mufasir tentang surah al-Nūr ayat 26
adalah setiap yang keji dari kaum laki-laki dan kaum perempuan,
ucapan dan perbuatan akan cocok, sejalan dan sesuai dengan yang
keji pula. Dan setiap yang baik dari kaum lelaki dan kaum
perempuan, ucapan dan perbuatan akan cocok dan sesuai dengan yang
baik pula. Para laki-laki dan perempuan yang baik-baik bersih dari
tuduhan buruk yang dilontarkan oleh orang-orang keji. Mereka akan
mendapatkan ampunan dari Allah SWT yang akan menutupi dosa-
dosa mereka dan mendapatkan rezeki yang baik di surga.
71
Sedangkan Kata ت biasa dipakai untuk makna ucapan ٱلخبيث
yang kotor (keji), juga kata Ṭayyibāt dalam al-Qur‟andi artikan
sebagai kalimat yang baik, begitu pun pada ayat ini ayat 26 inilah
penutup dari ayat wahyu membersihkan istri Nabi yaitu „Āisyah dari
tuduhan keji itu. Adapun ucapan yang baik adalah keluar dari orang
yang baik, memang orang baik yang menciptakan perkara baik.
Sedangkan di akhir ayat Tuhan menutup perkara tuduhan dengan
ucapan bersih dari yang dituduhkan, ayat tersebut bukanlah
merupakan janji Allah kepada manusia yang baik akan ditakdirkan
dengan pasangan yang baik. Sebaliknya ayat tersebut merupakan
peringatan agar umat Islam memilih manusia yang baik untuk
dijadikan pasangan hidup.
Sehingga dalam kajian surah al-Nūr ayat 26 ini hanya
membahas tentang perilaku seseorang saja. Sebagaimana dalam Tafsir
al-Misbah disebutkan bahwa wanita-wanita yang keji baik
perbuatannya maupun perkataanya adalah untuk laki-laki yang keji
pula dan laki-laki yang keji diantara manusia adalah untuk wanita-
wanita yang keji pula sebagaimana yang sebelumnya yaitu wanita
yang baik, baik perbuatan maupun baik perkataannya adalah untuk
laki-laki yang baik di antara manusia dan laki-laki yang baik di antara
mereka adalah untuk wanita-wanita yang baik pula, baik perbuatan
maupun perkataannya. Sedangkan buruk dalam artian perilaku dan
perkataan buruk. Sehingga menurut dari empat mufasir di atas orang
baik cocoknya dengan orang baik, sedangkan orang buruk sebaliknya.
Ayat ini mengisahkan tentang peristiwa „Āisyah istri Nabi
yang merupakan istri Nabi Muhammad SAW yang dituduh oleh orang
kafir berselingkuh dengan shofwan lalu turunlah ayat ini yang
mengatakan bahwa Allah membersihkan „Āisyah dari tuduhan
72
tersebut, karna tidak mungkin seorang „Āisyah melakukan hal keji
tersebut yang mana „Āisyah juga merupakan istri Nabi yang sangat
mulia.
Dengan demikian ayat ini tidak membahas tentang pasangan
ideal akan tetapi lebih membahas tentang perilaku seseorang apabil ia
berbuat baik dan berbuat keji sehingga turunlah ayat ini yang
menunjukkan kesucian „Āisyah dan Sofwan dari segala tuduhan yang
di tunjukkan kepada keduanya. Allah juga berfirman, sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik, yang lengah
lagi beriman. Hal ini terdapat dalam surah al-Nūr ayat 23 yang
menegaskan bahwa orang yang menuduh zina dilaknat oleh Allah
SWT di dunia dan di akhirat.
Sedangkan dalam surah al-Taḥrīm ayat 10 menjelaskan bahwa
ayat ini bersifat peringatan, semisal ada istri saleh berpasangan
dengan perempuan yang musyrik maka suaminya tidak dapat
menolong istri tersebut dari api neraka sekalipun suaminya
merupakan orang yang saleh, seperti kisah dari Nabi Nūh AS dan
Nabi Lūth AS.
Untuk sepemahaman penulis Asbabun nuzul dari surah al-
Taḥrīm ayat 10 yaitu bahwa keduanya mengkhianati dua orang yang
baik yaitu Nabi Nūh dan Nabi Lūth itu beliau mengatakan, kedua istri
itu bukan berzina karena pengkhianatan istri Nabi Nūh atas
pemberitahuannya bahwa suaminya itu orang gila. Sedangkan
pengkhianatan istri Nabi Lūth adalah memberitahukan kepada
masyarakat tentang tamu-tamu yang datang ke rumahnya.
Pengkhianatan kedua istri itu adalah tidak mau memeluk agama suami
mereka.
73
Adapun bentuk pengkhianatan istri Nabi Nūh yaitu
menyebarkan rahasia Nūh yang mana dia menyebutkan bahwa “Nūh
itu gila” sedangkan bentuk pengkhianatan istri Nabi Lūth yaitu bila
ada tamu yang datang kepada Lūth dan memberitahu kepada umatnya
tentang tamu yang datang kepada Lȗth lalu dia menyalakan asap
sebagai bentuk pemberitahuannya kepada umatnya.
Sebagaimana Firman Allah تاهماان
خ
SWT “lalu kedua istri itu ف
berkhianat kepada kedua suaminya, yaitu tidak seimannya mereka dan
tidak membenarkan risalah yang mereka bawa, sehingga semua itu
sama sekali tidak dapat membantu mereka dan kedekatan itu tidak
akan mampu mencegah murka Allah kepada keduanya. Adapun yang
dimaksud berkhianat di sini yaitu keduanya berbuat keji akan tetapi
berkat kehormatan suaminya keduanya terjaga dari perbuatan
tersebut.
Sehingga dalam ayat ini sangat lah jelas bahwa apabila
keimanan seseorang tidak dapat membantu sedikitpun orang yang
mempunyai perilaku keji dari siksa api neraka, karna suami maupun
istri, ataupun yang mempunyai ikatan sedarah ia juga tidak bisa
membantu seseorang yang berbuat keji. Sehingga dalam ayat sangat
jelas akan kisah kedua Nabi yang sangat mulia yaitu Nabi Nūh dan
Nabi Lūth yang tidak bisa membantu kedua istrinya dari siksa api
neraka yang mana kedua istri dari Nabi tersebut berkhianat kepada
suaminya dan berperiku keji. Sehingga Allah memasukkan nya ia ke
dalam neraka.
Sedangkan dalam surah al-Taḥrīm ayat 11 menjelaskan
tentang perumpamaan lain tentang suami yang tidak baik (fasik)
dengan istri salehah yaitu Asiyah atau istri Fir‟aun, Asiyah mampu
menjaga Aqidah dan harga dirinya sebagai muslimah. Asiyah lebih
74
memilih istana di surga dari pada istana di dunia yang di janjikan
Fir‟aun sehingga Allah menjadikan istri Fir‟aun seorang yang teladan
bagi orang-orang beriman.
Kemudian seperti yang diriwayatkan Ibnu Jarīr, bahwa Abu
Buzzah berkata, istri Fir‟aun pernah bertanya kepada seseorang,
siapakah yang berkuasa? Lalu dia menjawab, yang berkuasa itu
adalah Tuhan Musa dan Harun. Tidak lama kemudian Fir‟aun
mengutus seseorang kepadanya dan mengatakan, carilah batu yang
paling besar bila dia tetap dengan ucapannya itu maka lemparkanlah
batu itu kepadanya, namun bila mencabut perkataannya itu maka dia
tetap istriku, ketika mereka datang menjemputnya maka mengarahkan
ke langit ternyata dia melihat rumahnya dalam surga. Sehingga dia
berpegang teguh dengan ucapannya itu dan nyawanya pun melayang,
sedangkan batu itu dilemparkannya ke jasad yang sudah tak bernyawa
lagi.
Dengan demikian, surah al-Taḥrīm ayat 11 ini hanya
menjelaskan tentang kisah istri Fir‟aun akan keimanannya kepada
Allah meskipun ia bersanding dengan suami yang mempunyai sifat
keji. Sehingga dalam ayat ini „Asiyah hanya meminta doa kepada
Allah agar di buatkan sebuah rumah di surga dan dijauhkan dari
Fir‟aun dan orang-orang yang zalim.
Sehingga dari ketiga ayat di atas tidak menjelaskan tentang
pasangan ideal akan tetapi hanya menjelaskan tentang perbuatan
seseorang yang baik maka ia akan dihadapkan dengan seseorang yang
yang baik begitupula sebaliknya. Hal ini berdasarkan surah al-Nūr
ayat 26. Sedangkan dalam surah al-Taḥrīm ayat 10 hanya menjelaskan
kisah istri Nabi Nūh dan Nabi Lūth yang mana kedua suaminya tidak
dapat membantu istri mereka sedikitpun dari siksa neraka sehingga
75
masuklah kedua istri tersebut ke dalam neraka. Sedangkan dalam
surah al-Taḥrim hanya menceritakan tentang Asiyah istri Fir‟aun yang
ingin dibangunkan sebuah rumah di surga dan diselamatkan dari
Fir‟aun dan orang-orang yang zalim, lalu Allah mengabulkan doa istri
Fir‟aun lalu dibangunkan lah ia rumah di surga.
76
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dalam kajian surah al-Nūr ayat 26 sudah tertera bahwa setiap
yang keji dari kaum lelaki dan kaum perempuan, ucapan dan
perbuatan akan cocok, sejalan dan sesuai dengan yang keji pula,
setiap yang baik dari kaum lelaki dan kaum perempuan, ucapan dan
perbuatan akan cocok dan sesuai dengan yang baik pula. Para lelaki
dan perempuan yang baik-baik bersih dari tuduhan buruk yang
dilontarkan oleh orang-orang keji. Begitupun pada ayat ini ayat 26
inilah penutup dari ayat wahyu membersihkan istri Nabi, „Āisyah dari
tuduhan keji itu. Adapun ucapan yang baik adalah keluar dari orang
yang baik, memang orang baik lah yang menciptakan perkara baik.
Sedangkan di akhir ayat ini Allah menutup perkara tuduhan dengan
ucapan bersih dari yang dituduhkan, ayat tersebut bukanlah
merupakan janji Allah kepada manusia yang baik karna tidak
mungkin seorang „Āisyah melakukan hal yang keji.
Sehingga dalam kajian surah al-Nūr ayat 26 ini hanya
membahas tentang perilaku seseorang saja. Sebagaimana dalam Tafsir
al-Misbah disebutkan bahwa wanita-wanita yang keji baik
perbuatannya maupun perkataanya adalah untuk laki-laki yang keji
pula dan laki-laki yang keji diantara manusia adalah untuk wanita-
wanita yang keji pula sebagaimana yang sebelumnya yaitu wanita
yang baik, baik perbuatan maupun baik perkataannya adalah untuk
laki-laki yang baik di antara manusia dan laki-laki yang baik di antara
mereka adalah untuk wanita-wanita yang baik pula, baik perbuatan
maupun perkataannya. Sedangkan buruk dalam artian perilaku dan
perkataan buruk. Sehingga menurut dari empat mufassir di atas orang
77
baik dihadapkan dengan orang baik, sedangkan orang buruk dengan
orang yang buruk pula.
Sedangkan dalam kajian surah al-Taḥrīm ayat 10 adalah
secara khusus Allah membuat perumpamaan orang yang baik
mendapatkan pasangan yang tidak baik, hal ini dapat dilihat pada
kisah Nabi Nūh, Nabi Lūth yang mana keduanya mempunyai seorang
istri dari orang-orang kafir yang tidak beriman yang tidak mau
mengikuti keimanan suaminya dari dua orang hamba yang saleh di
antara hamba-hambanya. Lalu kedua istri itu berkhianat kepada
suami-suaminya, maka kedua suaminya tidak dapat membantu
mereka sedikitpun dari siksa Allah.
Hal ini merupakan perumpamaan bagi semua orang bahwa
apabila seseorang berbuat keji maka kekejian orang tersebut tidak
dapat membantu dirinya sendiri ketika masuk neraka karna sekalipun
kita disandingkan dengan orang-orang yang baik maka pasangan
kitapun tidak dapat menolong kita untuk dijauhkan dari api neraka.
Lalu di ayat selanjutnya surah al-Taḥrīm ayat 11 menemukan
perumpamaan lain tentang suami yang tidak baik (fasik) dengan istri
salehah yaitu Asiyah, sebagaimana Asiyah mampu menjaga aqidah
dan harga dirinya sebagai muslimah dan lebih memilih istana di surga
dari pada istana di dunia yang di janjikan Fir‟aun. Allah menjadikan
istri Fir‟aun seorang yang teladan bagi orang-orang beriman.
Sehingga ketiga ayat di atas dapat disimpulkan bahwa
ketiganya tidak memiliki keterkaitan, karna pada dasarnya di dalam
surah al-Nūr ayat 26 hanya menjelaskan tentang baik buruknya
seseorang dilihat dari perkataan, maupun perbuatannya. Sedangkan di
surah al-Taḥrīm ayat 10 menjelaskan perumpamaan tentang kebaikan
seseorang tidak dapat menolong dari api neraka atas kekejian
78
sesorang tersebut sekalipun pasangannya ataupun keluarganya karna
yang dapat menolong hal tersebut hanya dari diri kita sendiri.
B. SARAN
Sebagai akhir dari pembahasan skripsi ini, penulis ingin
memberikan beberapa saran yang di tunjukkan kepada:
1. Para pemerhati dan peneliti tafsir, dengan munculnya opini dan
reinterpretasi dari pemikir-pemikir tafsir mengenai hukum Islam
kiranya perlu dicermati dan dikaji lebih dalam, lebih-lebih
masalah pernikahan dalam Islam. agar tidak terjadi prakti-praktik
penyelewengan hukum pada masyarakat muslim Indonesia,
apalagi sampai mendarah daging. Hadirnya opini dan
reinterpretasi tesebut dapat dipertimbangkan dalam menentukan
suatu hukum selama tetap berlandaskan pada ketentuan di dalam
Islam dan dengan semangat menjaga keutuhan dan orisinilitas
hukum Islam yang rahmatan lil al-„ᾱlamῑna.
2. Semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama dan masyarakat,
praktisi hukum, serta seluruh pemerhati tafsir, Khususnya para
pihak yang memiliki kewenangan terhadap keberlaluan pakar
hukum tafsir hadis untuk lebih giat dalam melakukan sosialisasi
dan penyuluhan hukum terutama dalam mencari pasangan. Hal
ini untuk menghindari kesalahpahaman dan ketidakadilan
khususnya masyarakat muslim Indonesia.
79
3. Bagi para akademisi dan ilmuwan diharapkan terus menerus
melakukan kajian keilmuan terutama di bidang fiqh dan tafsir
hadits karena potensi pahala yang sangat besar dari ibadah ini,
dengan tetap berlandaskan pada ketentuan agama Islam.
80
DAFTAR PUSTAKA
Akabar, Eliyyil. “Ta‟aruf dalam Khitbah Perspektif Syafi‟i dan Ja‟fari.”
Jurnal Musawa. vol. 15, no. 1 (Januari 2015).
Amir, Muhammad bin Muhammad. Fikih Wanita Kumpulan Fatwa
Lengkap Seputar Permasalahan Wanita. Jakarta: Pustaka as-
Sunnah, 2010.
Armaya, Selly, “Penyesuaian diri Pasangan Suami Isteri yang Menikah
Melalui Proses Ta‟aruf dikalangan Kader PKS Kota Binjai.”
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan,
2017.
As‟ari, Ahmad, “Konsep Mencari Pasangan Ideal dalam Tafsir al-Misbah
karya Muhammad Quraish Shihab.” Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Al-Aṣfahani, al-raqib. “Mufradat Alfaz al-Qur‟an.” Beirut: Dār al-
Syariyah, 1412H/1992M.
Asrori, Mohammad dan Ali, Mohammad. Psikologi Remaja
Perkembangan Peserta Didik, cet. 12, Jakarta: Bumi Aksara,
Maret 2017.
Atibi, Ukasyah. Wanita Kenapa Merosot Akhlaknya, Jakarta: Gema Insani
Press, 2004.
Al-Dimasyqī, Imaduddin Abūl Fidā‟ Isma‟īl bin al-Khatib Abū Hafs Umar
bin Kaṡīr Asy-Syafi'i Al-Quraisyī. Tafsir al-Qur‟an al-Karīm,
Beirut: Daar ibn Hazm, 1420/2000.
Fauzan, Mohammad, “Pasangan di Surga dalam al-Qur‟an: Kajian
Tematik dengan Analisis Semiotika Charles Sanders Pierce.”
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018.
Fajrin, Devi Oktaviana. “Prefensi Pemilihan Pasangan Hidup ditinjau dari
Kedekatan Ayah dengan Anak Perempuan.” Jurnal Penelitian
dan Pengukuran Psikologi, vol. 4, no. 2 (Oktober 2015).
81
Febrianti, Eka, “Perspektif Hukum Islam Tentang Pemeriksaan Kesehatan
Pranikah.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung, 2017.
Al-Gazalī, Muhammad, bin Muhammad, Abi Ahmad. Iḥya‟ Ulūmuddīn,
Juz. 3, Kairo: Dārl al Rayyān.
Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz XXVIII, Depok: Gema Insani, 1965.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Jakarta: Perpustakaan Nasional: Katalog
dalam Terbitan (KDT), 1996.
Indra, Hasbi dan Husnani, Iskandar Ahza. Potret Wanita Solehah. Jakarta:
Penamadani, 2004.
Kartanegara, Mulyadi. Hubungan Alam, Tuhan, dan manusia, Jakarta:
Mizan, 2011.
Al-Kasa‟i. “bada‟i as-shona‟I.” vol. II, Beirut : Dᾱr fikr, 1996.
Khallāf, Abd. Wahhāb. Usul Fiqh. Kairo: Maktabah al-Da‟wāh al-
Islāmiyah Syabab al-Azhar, 2002.
Kusdwiratri, Psikologi Keluarga, cet. 1, Jakartaa: Ikapi, 2011.
Kementrian agama RI, Al-Qur‟andan terjemahnya, Jakarta: PT. Sinergi
Pustaka Indonesia, 2012.
Lestari, Sri. Psikologi keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan
Konflik dalam Keluarga, cet. 1, Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, Juni 2013.
Al-Mawardi. “al Hawi al-Kabir.” cet. 1, vol. 9, Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyah.” 1994.
Al-Maragī, Ahmad mustafa. Tafsir Al maragi, juz. I Mesir: Mustafa al-
Babi al-Halabi wa auladuh, 1985.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyur Rahman. terj Tafsir Ibnu Katsir, jil. 6,
Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2006.
82
Mubarok, Achmad. Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah hingga
Keluarga Bangsa. Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 2005.
Muhammad, Husein. “Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai
Pesantren, Cet. 1, Yogyakarta: Lkis, 2004.
Munawwarah, Rosidatun. “Konsep Ta‟aruf dalam Perspektif Pendidikan
Islam.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung, 2018.
Ma‟mur, Jamal. Rezim Gender di NU, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Marhumah, Ernah. Konstruksi Sosial Gender di Pesantrem Studi Kuasa
Kiai atas Wacana Perempuan, cet.1 (Jogjakarta: Lkis, 2010).
Patimah, Siti. “Penyesuaian Diri Pasangan Suami Isteri yang Melakukan
Pernikahan Melalui Proses Ta‟aruf di Purwokerto.” Skripsi S1.,
Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, 2016.
Al-Qurṭubi, Abū „Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abȋ Bakr. al
Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟an, juz. 15, (Beirut: Al-Resalah, 1427
H/2006 M).
Al-Qurṭubi, Syaikh Imam. terj Tafsir al-Qurṭubi, vol. 12, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009.
Rahardi, Rafiq. “Konsep Keluarga Sakinah dalam Tafsir al-Misbah (Studi
Tematik atas Penafsiran M. Quraish Shihab Terhadap Ayat-Ayat
Keluarga dalam Surah an-Nisa‟).” Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008.
Al-Sa‟dawi, Nawal. Hibah Rauf Izzat,Perempuan Agama dan Moralitas,
terj. Al-Mar‟ah wa al Din wa al Akhlak, Jakarta: Erlangga, 2000.
Syibromalisi, Faizah Ali. “Kiat-Kiat Memilih Pasangan Menuju
Perkawinan Bahagia.”
Sabiq, al-Sayyid. Fiqh Sunnah, Jilid II.
Sari, Fitri dan Sunarti, Euis. “Kesiapan Nikah pada Dewasa Muda dan
Pengaruhnya dengan Usia Menikah.” Jurnal Ilm, vol.6, no.3,
(September 2013).
83
Shihab, M. Quraish. Perempuan … dari Cinta sampai Seks dari Nikah
Mut‟ah sampai Nikah Sunnah dari Bias lama sampai Bias baru,
cet. VI, Ciputat: Lentera Hati, 2010.
Shihab, M. Quraish. Pengantin al-Qur‟an: kalung Pertama Buat anak-
Anakku, cet. 1, Jakarta: Lentara, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan, kesan, dan keserasian al-
Qur‟an, Vol. 14, Jakarta: Lentera hati, 2002.
Syūqqah, Abd Halim Abu. Kebebasan Wanita, terj. Tahrirul Mar‟ah fi
Ashir Risalah, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Syani, Abdul. Sosiologi Sistematika, Teori, dan Penetapan, Jakarta: Bumi
Aksara, 2012.
Salimah, Kajian Wanita Muslimah, 2017. Diakses 05-10-2019 jam 01:00.
Al-Ṭabrani. al-Mu‟jamul Kabīr, Yogyakarta: Ensiklopedia al-Mu‟jam al-
Sagir, (Teras, 2009).
Thahir, Fitrah. “Konsep Khitbah dalam Perspektif Hadist Nabi
Muhammad SAW (Analisis Maudhu‟i).” Tesis S2., Universitas
Islam Negeri Alauddin Makasar, 2018.
Al-Ṭabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir, Jāmi‟ al Bayān „an Ta‟wīl Āyi
Al-Qur‟an, juz. 5, Beirut: al-Resalah, 1415 H/1994M.
Al-Ṭabari, Abū Ja‟far Muhammad bin Jarir. terj, Tafsir Al-Ṭabari, Jil. 25,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Ulfatmi. Keluarga Sakinah dalam Perspektif Islam, Jakarta: Kementrian
Agama RI, 2011.
Wahana karya ilmiah, (Kajian Wanita Muslimah, 2019). di akses 05-10-
2019 jam 01:00.
Wahana karya ilmiah, (Kajian Wanita Muslimah, 2019), Di akses 05-10-
2019.
84
Yuliana, Dwi. “Penentuan Jodoh Menggunakan Pedoman Kitab “al-
Fujrat al-Wadhihah” (Studi Kasus di Jamsaren Kota Kediri).”
Malang: Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2018.
Zaki, Ahmad. Ariful. “Konsep Pra-Nikah dalam al-Qur‟an (Kajian Tafsir
Tematik).” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017.
Zuhaili, Wahbah. Al-munir fi al-„Aqidah wa al-syari‟ah wa al-manhaj,
cet. 1, Jakarta: Gema Insani, 2001.