humanisme dalam...
TRANSCRIPT
HUMANISME DALAM AL-QUR’AN:
Studi Penafsiran Murtada Mutahhari
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh :
Mochammad Abdul Kholiq
NIM:1111034000109
PROGRAM STUDI ILMU QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLLAH
JAKARTA
2018
HUMANISME DALAM AL“ QUR'AN:5ングθ″Pθ4qダむノンα″″レr17励αル勧′乃α乃乃αrノ
Skripsi
Dittukan untuk Memenuhi PcFSyaratan Memperoleh
Gelar Sattana Agama(S.Ag)
C)lch:
Mochammad AbdulIQ01iqNIM。 1111034000109
Di bawah bimbingan
Pembilnbing
NIP。 196504241995031001
Program Studi 1lmu Al― Qur'an danTafsirFakultas ushuluddin
Universitas lslam Negeri
SyarifHidayatuHah
Jaktta
2018
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJlぶ
Skripsi yang b(義iudul “HUMANISME DALAM A、 L―lQUR'AN: Sttdi
Pena価鶴菫 MI山駐da Mutahha五"軸 di可撫臨 山LIn sid彎 平umq郷山
F鋼山血饉s暮盛鵬1動 ,UniT錮畿総 L山轟 N饗騨il神側 )鞠轟f
pada韓聯 1 24 Jl■ 2018.Skriptt hi telah dtte山 腱 sめatti sttah satt waFat
ll■lelm凛幾 hl要舞 詭攀 mS協 曲 Sa無 (Sl)評山 F喫押撻 釦戯i詭隠 ぉIくT'詭 d腱
T識計。
Jttk鞠随a,30 Juli 2018
Sidang Mttnaqa軸
軸 lnel・ngkap ttggota
IゝIP,197110031999032001
Dr Htt A.Sdd、 MANIP_198202212009011024 NIP_197804242015031001
Kuttnttma,MA.,Ph(De
NIP.196504241995031001
■ Lilik協面 劇 tsum.血181999『32∞ 1
PttiI
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1' Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang alaiukan untuk rnemenuhi
salah satu persyaratan mernperoleh gelar strata 1 di uIN syarifHidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan daiam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di uIN SyarifHidayatullah Jakarta.
3' Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berraku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mocnattlnad Abdul iCh01iq
i
ABSTRAK
Mochammad Abdul Kholiq: “HUMANISME DALAM AL-QUR’AN: Studi
Penafsiran Murtada Mutahhari”
Skripsi ini membahas kaitannya humanisme dalam al-Qur‘an menurut pemikir Islam Murtada Mutahhari. Adanya moralitas baru yang ditawarkan pemikir Barat seperti Bertrand Russell memaksa umat Islam melakukan kritik ulang. Hal itulah yang kemudian dilakukan Mutahhari, ia menyebut teori pemikir Barat tersebut tidak memiliki relevansi untuk menciptakan harmoni sosial seperti yang diharapkan Islam. Krisis masyarakat modern seperti bunuh diri, merusaknya penyakit mental dan jiwa, kenakalan remaja, pudarnya kasih sayang, kelaparan hingga pencemaran lingkungan merupakan indikasi lemahnya teori moralitas Barat tersebut.
Sementara itu, dalam melakukan studi ini, selanjutnya dianalisa dengan menggunakan kerangka teoritis. Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori humanisme Nurcholish Madjid, ia menyebut bahwa humanisme adalah hubungan primordial antara Tuhan dengan makhluknya. Sedangkan metode penafsiran yang digunakan adalah teori Tafsir bi al-Ra‟y M. Quraish Shihab, ia membagi Tafsir bi al-Ra‟y menjadi dua macam, yakni Tafsir bi
al-Ra‟y al-Mahmud (berdasarkan nalar yang terpuji) dan Tafsir bi al-Ra‟y al-
Mazmum (berdasarkan nalar yang tercela).
Melalui analisa kedua teori tersebut, secara beruntun diperoleh beberapa kesimpulan termasuk diantaranya; Mutahhari menyebut bahwa permasalahan yang kini menjangkiti masyarakat dunia pada umumnya lebih dikarenakan spiritualitas yang kering. Untuk itu, Ia mengingatkan supaya umat Islam memperkuat keimanan dan keilmuan untuk mencapai taraf spiritualitas yang sesungguhnya. Konklusi yang kemudian ditawarkan Mutahhari terhadap kritik moralitas Barat—yang menggunakan legitimasi humanisme dan kebebasan—bahwa kebebasan manusia sebagai seorang hamba memiliki batasnya.
Kata kunci : humanisme, moralitas, harmonitas, spiritualitas.
ii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan B Be T Te Ts Te dan es J Je H H dengan garis di bawah Kh Ka dan ha D De Dz De dan zet R Er Z Zet S Es Sy Es dan Ye S Es dengan garis di bawah D De dengan garis di bawah T Te dengan garis di bawah Z Zet dengan garis di bawah ‗ Komater balik diatas hadap kanan
Gh Ge dan ha F Ef Q Ki K Ka L El M Em
iii
N En W We H Ha ` Apostrof Y Ye
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U ḏ و ammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي Au a dan u و
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di atas ا Ī i dengan daris di atas ي Ū u dengan garis di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
iv
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-syamsiyyah,
al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Tasydīd
Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-
turut, seperti .al-sunnah = الس.ت
6. Ta marbūṯ ah
Jika ta marbūṯ ah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو هريرة= Abū Hurairah.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf
awal atau kata sandangnya, seperti البخاري= al-Bukhāri.
v
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan kehendak-Nya, menyinari hambaNya dengan cahaya al-Qur`an, dan
menjadikan al-Qur`an sebagai obat penyakit hati, petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang mukmin, sehingga dengan taufiq-Nya penulisan skripsi yang berjudul
―Humanisme dalam al-Qur‘an; Studi Penafsiran Murtada Mutahhari‖ ini,
alhamdulillah dapat diselesaikan. Demikian juga, Salawat serta Salām semoga
selalu tercurahkan untuk baginda Muẖ ammad Saw. Sebagai karya tulis yang
jauh dari kata sempurna, tentunya di dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kekeliruan. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti
keterbatasan penulis dalam melakukan penelitian ini.
Penelitian ini merupakan wujud kepedulian penulis terhadap krisis
kemanusiaan. Penulis mencoba memberi solusi atas permasalahan itu melalui
pendekatan sosial keagamaan dengan melakukan usaha mendapatkan pengetahuan
yang lebih mendalam terkait ―Humanisme dalam al-Qur`ān”, penulis juga
menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan,
bantuan, arahan, motivasi dan kontrubusi dari banyak pihak. Ucapan terima kasih
yang tulus dan penulis haturkan kepada para dosen, keluarga, para sahabat dan
teman-teman, sehingga penulis mampu mengatasi segala hambatan. Oleh karena
itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
vi
1. Segenap Civitas Akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta: Bapak Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta jajarannya dan Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku
Dekan Fakultas Ushuluddin, Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua
Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.
selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir.
2. Bapak Kusmana, M.A., Ph. D. selaku dosen pembimbing penulis yang telah
memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses
bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga bapak selalu sehat dan diberikan
kelancaran dalam segala urusan. Amin.
3. Bapak Dr. Abdul Moqsith, M.Ag. selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing penulis dari semester satu hingga selesai.
4. Dosen penguji pada sidang skripsi penulis. Bimbingan, masukan serta
kritikan yang membangun sangat penulis harapkan untuk menghasilkan skripsi
yang lebih berkualitas.
5. Seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu
al-Qur`an dan Tafsir atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan wawasan
dan pengalaman yang telah diberikan. Kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
7. Kedua orang tua terkasih, Ayahanda Suwoto dan Ibunda Munasih yang
telah merangkai doa-doa, memotivasi, menginspirasi, membiayai, mendidik,
mendukung, memberi semangat dan nasehat-nasehat istimewa untuk penulis. Tak
lupa do‘a dan harapan penulis haturkan untuk adik Melinda Lailatun Nisfah
semoga menjadi anak yang sholihah.
8. Guru-guru penulis di Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati,
Jawa Tengah. Tanpa mengurangi rasa hormat karena penulis tidak bisa
menyebutkan satu demi satu. KH. Najib Suyuthi, KH. Faruq Suyuthi, Kyai
Supirso dan seluruh pihak yang mendermakan waktunya untuk pesantren, semoga
diberikan kesehatan dan rezeki yang melimpah berkah.
9. Seluruh pihak yang selama ini menjadi tempat penulis untuk mencurahkan
isi pikiran. Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum (Ikamaru Jakarta
dan sekitarnya), Silaturrahmi Mahasiwa Pati (Simpati Jakarta dan sekitarnya),
Forum Lingkar Pena Ciputat (FLP-C), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII Ciputat) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-Ciputat).
10. Teman-teman seperjuangan Jurusan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta angkatan 2011. Terima kasih sudah menjadi teman diskusi
dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi penulis selama ini.
11. Segenap pihak yang banyak membantu dalam proses mengejar gelar
sarjana. Terima kasih pada Basit Zein, Hilman Maulana, Ahmad Zaim, Faqih Nur
Sofyan, Khoirul Umam, Irfan Sanusi, Rumadi, Said Nur Rahmatullah, Darwin
Nursyam, Ali Bazdawie, Anis Ummah, Siti Heni Rohamna, Syaifa Rodliah, Kyai
Purnomo dan handai taulan yang tidak bisa penulis sebutkan satu demi satu.
viii
12. Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan pada Majelis Rajin dan
beberapa guru kinasih penulis. KH. Humaidi, KH. Ruhani, Kyai Susilo Ali
Shodiqin, Gus Sahaluddin, Bib Rosyid Basyaiban. Serta segenap Pengurus Besar
Majelis Dzikir Hubbul Wathon (PB MDHW) dan Monitor Indonesia, terima kasih
atas dukungannya teruntuk KH. Musthofa Aqil Siraj, Bapak Hery Haryanto
Azumi, Bapak Ngasiman Djoyonegoro, Bapak Ali Rif‘an, Bapak Nilmada Azmi,
Syaiful Huda dan Sulaiman.
13. Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu atas bantuan moril, materil dan doa sehingga saya dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
Jakarta, 16 Juli 2018
Mochammad Abdul Kholiq
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ..................................................................................................... i
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ................................................... 9
1. Identifikasi Masalah ................................................................. 9
2. Batasan Masalah....................................................................... 9
C. Rumusan Masalah .......................................................................... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ....................................................... 10
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 11
F. Metodologi Penelitian .................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 14
BAB II BIOGRAFI, KARYA DAN PEMIKIRAN MURTADA
MUTAHHARI ................................................................................................ 16
A. Biografi Murtada Mutahhari ......................................................... 16
B. Karya Murtada Mutahhari ............................................................. 20
1. Hijab Gaya Hidup Wanita Islam ............................................. 21
x
2. Jejak-jejak Ruhani ................................................................... 21
3. Falsafat Akhlak ....................................................................... 22
4. Hak-hak Wanita dalam Islam .................................................. 23
5. Etika Seksual dalam Islam ...................................................... 23
6. Bedah Tuntas Fitrah ................................................................ 24
7. Filsafat Materialisme ............................................................... 25
8. Manusia dan Agama ................................................................ 26
C. Pemikiran Murtada Mutahhari ...................................................... 27
1. Agama ..................................................................................... 27
2. Seksual .................................................................................... 29
3. Fitrah ....................................................................................... 31
BAB III HUMANISME: PENGERTIAN, SEJARAH, TEORI DAN
PENAFSIRAN AYAT HUMANISME ......................................................... 33
A. Definisi Humanisme....................................................................... 33
B. Sejarah Humanisme ....................................................................... 35
C. Teori Humanisme ........................................................................... 40
D. Penafsiran Klasik dan Modern Terhadap Ayat Humanisme .......... 46
1. Tafsir Ibnu Katsir ..................................................................... 47
2. Tafsir al-Misbah ....................................................................... 52
BAB IV PENAFSIRAN DAN PEMAHAMAN AYAT HUMANISME
MURTADA MUTAHHARI ........................................................................ 59
A. Penafsiran Ayat Humanisme Murtada Mutahhari.......................... 59
B. Kebebasan Menurut Murtada Mutahhari ....................................... 66
xi
C. Penyimpangan Seksual Menurut Murtada Mutahhari .................... 70
D. Relevansi Pemikiran Murtada Mutahhari ...................................... 76
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 82
A. Kesimpulan .................................................................................... 82
B. Saran dan Rekomendasi ................................................................. 83
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 85
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam upaya mengembalikan al-Qur‘an sebagai kitab petunjuk (hudan li a-
nas), para mufassir berpandangan bahwa al-Qur‘an adalah kitab suci yang tidak
lagi dipahami sebagai sesuatu yang mati, tapi sebagai kitab suci yang hidup.
Menurut mereka, kemunculan al-Qur‘an tidak terlepas dari konteks kesejarahan
umat manusia yang tidak hampa budaya. Pemikiran tersebut menguat sejak
memasuki era modern, salah satu diantranya Nasr Hamid Abu Zayd (1942 M).
Dia menganggap bahwa al-Qur‘an diwahyukan dalam struktur budaya Arab abad
ketujuh selama lebih dari dua puluh tahun.1 Lebih lanjut, dia mengatakan
sebagaimana dikutip oleh M. Nur Ichwan: ―I treat the Quran as the texs in the
Arabic language to be studied by muslim, Christians and Atheists alike.‖2
Statement Nasr Hamid Abu Zayd ini kemudian mempunyai tiga pengertian,
pertama al-Qur‘an adalah sebuah teks, terutama sebuah teks linguistik, dan pasti
bahasa tidak bisa dipisahkan dari budaya dan sejarah. Pada tataran ini, al-Qur‘an
merupakan qath‟iyah al-tsubut (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau dalil
naqli) sebagai ketentuan hukum Islam.3
1 Musholli Ready, ―Arus Baru Kecenderungan Penafsiran Kontemporer,‖ Journal of
Qur‟an and Hadith Studies (Vol. 1, No. 1, 2012), hal. 86. 2Terj ―Cara memahami teks al-Qur‘an dalam bahasa Arab yang menjadi kajian orang
Muslim, Kristen dan Atheis sekalipun‖. 3Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006),
hal. 127.
2
Kedua mengkaji teks harus menggunakan pendekatan linguistik dan sastra
yang memerhatikan aspek-aspek kultural dan historis teks. Penggunaan aspek
historis dalam mengungkap teks dalam kajian hermeneutik sering disebut
penafsiran rekognitif. Penafsiran rekognitif sendiri memanfaatkan filologi,
naturalisasi makna simbol dan mitos dan penafsiran historis. Filologi fokus pada
pencarian ulang makna murni/asli atau makna yang diinginkan pengarang.
Dengan kata lain filologi mencoba mengungkap kembali apa yang sebenarnya
terjadi di awal kejadian. Penafsiran rekognitif juga memanfaatkan penafsiran
historis untuk mengungkap penafsiran objektif dan menghindarkan diri dari
penafsiran subyektif.4
Untuk itu diperlukan beberapa catatan seperti diungkapkan Syafi‘i Ma‘arif
mengutip pendapat Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982) bahwa
penting mensistematiskan materi ajaran al-Qur‘an. Boleh jadi penerapan atau
pemahaman ayat-ayat secara individual dan terpisah dalam berbagai situasi akan
menyesatkan, seperti yang dilakukan oleh para da‘i dan intelektual Muslim. Cara
seperti inilah yang disebut sebagai pendekatan parsial dan ad hoc terhadap
perintah-perintah al-Qur‘an, sebuah pendekatan yang tidak akan memberi solusi
terhadap problem-problem masa kini yang sedang dihadapi oleh umat.5
Ketiga, titik berangkat penafsiran al-Qur‘an bukan dari keimanan akan
tetapi objektivitas keilmuan, sehingga baik muslim maupun non-muslim dapat
4Kusmana, “Hermeneutika Modern; Sebuah Pengenalan Awal,‖ Jurnal Refleksi (Vol. 7,
No. 3, 2005), hal. 224. 5Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, Fazlur Rahman, Islam dan Pemikiran Islam (Bandung: Penerbit
Pustaka), hal. 8-9.
3
memberikan kontribusi terhadap kajian al-Qur‘an.6Sejarah dalam hal ini
membuktikan bahwa sekian banyak yang berhasil menjadi pakar dan rujukan
dalam bidang al-Qur‘an dan bahasa Arab, meskipun budaya dan bahasa ibu yang
bersangkutan bukanlah bahasa Arab. Itu dikarenakan mereka mau belajar dan
mengetahui cara belajar yang benar dan sesuai.7
―Sungguh Kami bersumpah bahwa Kami telah mempermudah al-Qur‘an untuk menjadi pelajaran, maka adakah yang ingin bersungguh-sungguh mengambil pelajaran sehingga Allah SWT melimpahkan karunia dan membantunya memahami kitab suci itu? (QS. Al-Qamar, 54)"
Sementara itu, Fazlur Rahman mengatakan bahwa al-Qur‘an dan
masyarakat Islam terbentuk dalam realitas sejarah kala itu. Substansi al-Qur‘an
terdiri dari dimensi moral, keagamaan dan aturan sosial kemasyarakatan. Lebih
jauh, ia hadir sebagai respon terhadap persoalan-persoalan tertentu. 8
Sebagai contoh kasus misalnya, perlakuan al-Qur‘an terhadap lembaga
perbudakan yang berkembang dalam masyarakat Arab. Mula-mula al-Qur‘an
secara hukum menerima perbudakan karena tak ada alternatif lain waktu itu,
karena perbudakan telah terkandung dalam struktur masyarakat. Pelarangannya
secara mendadak akan menimbulkan masalah-masalah yang tak akan mungkin
bisa diselesaikan. Tetapi pada waktu yang sama setiap usaha moral dan hukum
dilakukan untuk membebaskan dan menghilangkan praktik perbudakan.9
6Musholli Ready, ―Arus Baru Kecenderungan Penafsiran Kontemporer,‖ Journal of Qur‟an
and Hadith Studies (Vol. 1, No. 1, 2012), hal. 86. 7M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Penerbit Lentera Hati), hal. 2-3. 8Ahmad Syukri, ―Metodologi Tafsir al-Qur‘an Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur
Rahman,‖Jurnal Pendidikan Sosial Keagamaan (Vol. 20, N0. 1, 2005), hal. 55. 9Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 2010), hal. 44.
4
―Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan kejahatan)[10] Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar?[11] Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?[12] melepaskan perbudakan (hamba sahaya) [13]atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan [14] anak yatim yang ada hubungan kerabat [15] atau orang miskin yang sangat fakir [16]‖
Membebaskan dan menghilangkan praktik perbudakan dalam ayat tersebut
tidak hanya dipuji sebagai suatu kebajikan, tetapi berkonotasi pula pada pilar
pokok kebudayaan yaitu sistem nilai, pandangan umum dan estetika.10Dengan
demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan tempat dan waktu
(Shalihun li kulli zamanin wa makanin).11
Kembali pada tesis awal Nasr Hamid Abu Zayd yang mengatakan bahwa al-
Qur‘an adalah kitab suci yang hidup, statement tersebut berimplikasi pada
hubungan antara al-Qur‘an dengan ilmu pengetahuan, termasuk diantaranya
humanisme. Humanisme sendiri merupakan aliran filsafat yang beranjak dari
pandangan yang sering dianggap bertentangan dengan Islam karena menegasikan
adanya Tuhan dan keimanan.12
Humanisme (kemanusiaan) dalam kamus umum diartikan sebagai ―sebuah
sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik dan tindak
tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural
manapun.13
10Anwar WMK, ―Kanopi Kebudayaan,” Jurnal Bayan (Vol. IV, No. 2, 2015), hal. 41. 11Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute,
2006), hal. 126. 12Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Terj. Yudhi Murtanto (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hal. 103. 13The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13 (New York: The Incyclopaedia Britannica, Inc.,
1911), hal. 872.
5
Sementara itu, Harold R. Rafton menganggap bahwa humanisme erat
kaitannya dengan komitmen memilih jalan dengan sudut pandang yang objektif,
mengedepankan ilmu pengetahuan modern, rasionalitas dan kemanusiaan.
―deeply commited to current superstitions about ‗objective standpoints,‘ the supremacy ‗modern science,‘ ‗rationalism,‘ and –perhaps callowest of all—‗humanism‘ (in the Bahm sense)14.15
Humanisme menurut pandangan Muhammad Anis, Doktor bidang
Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengakui
bahwa manusia dengan segala kemampuannya merupakan sumber kekuatan yang
melebihi kekuatan lainnya, sehingga menyisihkan peran dan kedaulatan Tuhan.
Agama dalam humanisme terjadi alienasi atau disubordinasi karena dipandang
melemahkan daya krativitas dan otoritas manusia sebagai pusat alam semesta.16
Muhammad Anis mengungkapkan meskipun tidak semua corak humanisme
mengarah pada ateisme, tetapi secara prinsipil humanisme –sebagai anak kandung
modernisme—menempatkan kedaulatan manusia pada taraf yang tinggi.
Humanisme pada tataran ini, disinyalir mampu menumpas mitologi yang dinilai
telah lebih dahulu merampas kebebasan dan kreativitas manusia.
14
Terj. Komitmen yang tinggi pada takhayul yang tengah terjadi saat ini tentang ‗pendirian yang berimbang‘ tentang supremasi ‗pengetahuan modern,‘ ‗rasionalis,‘ dan—terhadap sesuatu yang dianggap masih baru—‗humanisme‘ (menurut perspektif Bahm).
15Harold R. Rafton, ―Humanism,‖ The Scientific Monthly (Vol. 64, No. 1, 1947), hal. 90. 16Muhammad Anis, ―Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan,‖ Jurnal Bayan (Vol. II,
No. 4, 2013), hal. 144.
6
Menanggapi hal demikian, Islam dalam al-Qur‘an mengisyaratkan bahwa
kehadiran Tuhan (sesuatu yang supranatural) ada dalam diri setiap insan. Hal
tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.17
―Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Al-Rum, 30)‖
Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:
―Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‗Bukankah Aku ini Tuhanmu?‘ mereka menjawab ‗betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan (QS. Al-A‘raf,7)‖
Terkait humanisme Islam, menurut Iqbal meliputi tiga hal; prinsip
kebebasan (liberty), persaudaraan (fraternity), dan persamaan (equality). Ketiga
prinsip tersebut merupakan inti ajaran Islam. Selanjutnya Iqbal menjelaskan
bahwa intisari tauhid adalah persamaan, solidaritas, dan kebebasan.18
Konsep tauhid berimplikasi kepada upaya mewujudkan persamaan. Adanya
persamaan itu akan menumbuhkan solidaritas dan persaudaraan. Selanjutnya,
solidaritas menuntut pemberian kebebasan kepada manusia dalam hidupnya.
Kebebasan, persaudaraan, dan persamaan inilah yang menjadi nilai humanisme
Islam.
17M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Tafsir Tematik atas Perbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan Pustaka, 1996), hal. 17. 18Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Asyraf
Publication, 1971), hal. 154.
7
Sementara itu Nurcholish Madjid menilai dasar humanisme Islam bertolak
dari ikatan manusia dengan Pencipta, atau suatu perjanjian primordial antara
makhluk dengan Tuhannya.19
Al-Qur‘an sebagai pandangan hidup seorang muslim merupakan dasar dari
humanisme Islam. Abdulkarim Soroush meyakini bahwa al-Qur‘an memiliki
aspek kemanusiaan yang tak terbantahkan, ia mengungkapkan bahwa umat Islam
kontemporer perlu mengakui aspek kemanusiaan dalam pewahyuan. Tanpa hal
itu, manusia akan sulit membedakan aspek-aspek keagamaan yang kekal (al-
tsawabit) dan yang bisa berubah (al-mutaghayyirat).20
Penafsiran dan pengaplikasian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang
humanisme Islam dalam tiga tema besar tadi (kebebasan, persaudaraan dan
persamaan), dalam konteks keindonesiaan akan berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia yang beragam, baik dalam segi agama, ras maupun budaya
yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pembahasan mengenai kebebasan,
persaudaraan dan persamaan dalam merajut tenun-tenun kebangsaan harus terus
disuarakan.
Dalam konteks Indonesia, polarisasi antara filsafat Barat dan Timur terjadi
misalnya saat isu undang-undang lesbi, guy, biseksual dan transgender (LGBT)
berkembang. Orang-orang atheis atau non-muslim cenderung menolak legitimasi
dari al-Qur‘an dan hal yang berkaitan dengan penafsirannya. Untuk itu, perlu
19 Nurcholish Madjid, The Islamic Concept of Man and Its Implications for the Muslims‟
Appreciation of the Civil and Political Right, seminar on Enriching the Universalities of Human
Rights: Islamic Perspectives on the Universal Declaration of Human Right, (Geneva, 9-10 November 1998), hal. 4.
20Abdullah Saeed, al-Qur‟an Abad 21, (Bandung: Mizan, 2016), hal. 94.
8
adanya kritik konstruktif dengan menggunakan argumentasi ilmu filsafat untuk
mematahkan serangan tersebut.
Pembahasan tentang humanisme Islam dalam perspektif al-Qur‘an akan
menemukan signifikansinya jika yang membahas tentang hal tersebut merupakan
ahli dalam perkembangan ilmu filsafat. Untuk itu, pemahaman seorang filosuf
Muslim dari Iran Mutahhari penting untuk dikaji. Hal ini dikarenakan Mutahhari
merupakan salah satu intelektual Muslim yang terang-terangan membela agama
Islam dari serangan orientalis Barat.
Mutahhari sendiri merupakan ilmuan yang menelurkan banyak karya berupa
buku filsafat. Kebanyakan bukunya berupa kritikan terhadap egoisitas Barat yang
beranjak dari pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur‘an. Dengan adanya
benturan budaya dan keilmuan tersebut, pemahaman Mutahhari tentang ayat-ayat
al-Qur‘an mengenai humanisme menarik untuk didalami lebih lanjut.
Melalui karya-karya Mutahhari inilah penulis ingin meneliti humanisme
dari sudut pandang al-Qur‘an. Belum adanya penelitian yang mengangkat ayat-
ayat humanistik dari sudut pandang Mutahhari juga menjadi alasan penelitian ini
menemukan relevansinya. Terlebih, sikap sebagian umat Islam di Indonesia yang
cenderung memandang buruk golongan Syi‘ah menjadi salah satu urgensi penulis
tertarik mendalami pemikiran pemikir Syi‘ah tersebut.
9
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Penulis mengidentifikasi beberapa masalah dalam penulisan skripsi ini,
diantaranya sikap sebagian umat Islam di Indonesia yang cenderung memandang
negatif golongan Syi‘ah. Syi‘ah –tokoh dan pemikiran—masih dianggap tabu
untuk dikaji dan ditelisik lebih dalam. Bahkan, ada sebagian masyarakat
menganggap bahwa ajaran atau dogma Syi‘ah sudah keluar dari ajaran yang
disampaikan oleh Rasulullah Muhammad Saw.
Lebih lanjut, konsentrasi Mutahhari dalam kajian filsafat dan
penguasaannya terhadap disiplin ilmu pengetahuan Islam menarik untuk ditelisik
lebih jauh. Sehingga, dengan begitu Mutahhari mempunyai legitimasi saat
membicarakan humanisme (kritik filsafat) dalam perspektif al-Qur‘an.
Merebaknya isu moralitas baru di bidang seksual yang dikemukakan
pemikir Barat hingga lesbi, guy, biseksual dan transgender (LGBT) pernah dan
yang terus menerus terjadi di Indonesia merupakan hasil aplikasi dari nilai
humanisme, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM). Sehingga dengan begitu,
diperlukan pemahaman yang komprehensif agar masyarakat tidak terjebak dalam
arus pemikiran yang salah.
2. Batasan Masalah
Dari penjelasan latar belakang penelitian yang dikemukakan diatas,
ditemukan arah pembahasan dan batasan permasalahan yang akan dibahas.
Humanisme yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan humanisme Islam yang
10
berasaskan ayat-ayat al-Qur‘an. Untuk menemukan konsep humanisme dalam al-
Qur‘an khususnya konteks keislaman, cara yang ditempuh menggunakan studi
tematik melaluiayat-ayat al-Qur‘an. Sedangkan teori yang digunakan dalam
skripsi ini adalah suatu teori yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid bahwa
dasar humanisme Islam bertolak dari ikatan manusia dengan Sang Pencipta, atau
suatu perjanjian primordial antara makhluk dengan Tuhannya21
Dalam hal ini, penulis akan meneliti karya-karya Mutahhari yang berjudul;
Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci. Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal
Jati Diri, Hakikat dan Potensi Kita. Etika Seksual dalam Islam. Filsafat Agama
dan Kemanusiaan: Perspektif al-Qur‟an dan Rasionalisme Islam. Filsafat
Materialisme: Kritik Filsafat Islam Tentang Tuhan, Sejarah dan Konsep Tentang
Sosial Politik, Filsafat Moral Islam.
C. Rumusan Masalah
Dengan membatasi kajian dalam teori dan prinsip diatas, maka masalah
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana Mutahhari memahami dimensi makna humanisme dalam
al-Qur‘an?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini diantaranya;
21
Nurcholish Madjid, Humanisme Islam [database on-line] (nurcholishmadjid.org, 2017); tersedia di http://nurcholishmadjid.org/; Internet; diunduh Juni 2017.
11
1. Menjelaskan corak dan kecenderungan Mutahhari dalam menafsirkan
dan memahami ayat-ayat tentang nilai-nilai humanisme Islam.
2. Mengklasifikasi ayat-ayat al-Qur‘an yang dijadikan legitimasi dalam
humanisme Islam (perjanjian primordial antara Tuhan dengan
manusia).
3. Menambah khazanah keilmuan al-Qur‘an, terutama sumbangsih
Mutahhari terhadap penafsiran dan pemahaman al-Qur‘an.
4. Serta untuk memenuhi tugas akademik sebagai prasyarat kelulusan
strata (1) satu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan manfaat skripsi ini diantaranya;
1. Mengetahui corak dan kecenderungan yang digunakan oleh Mutahhari
dalam menafsirkan ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai humanisme
Islam.
2. Menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar strata (1) satu UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian akademisi Indonesia terkait Mutahhari sangat beragam. Hal
tersebut menandakan nilai positif, setidaknya alergi sektarian (mazhab dalam
Islam) semakin tipis lantaran terbukanya tabir keilmuan. Meskipun begitu,
penelitian yang membahas penafsiran Mutahhari dalam ranah humanisme Islam
belum ada. Hal demikian wajar mengingat Mutahhari bukan beranjak dari seorang
mufassir.
12
Kaitannya dengan hal itu, penulis menemukan studi tentang humanisme
Islam, diantaranya;
1. Konsep Humanisme dalam Al-Qur‘an (Studi Penafsiran Nawawi al-
Bantani terhadap Ayat-ayat Humanistik).
Penelitian tersebut merupakan tesis Naufal Chalily yang diajukan untuk
memperoleh gelar magister pada program studi ilmu keislaman konsentrasi Tafsir
Hadis di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Dalam tesis itu, Naufal Chalily menggunakan teori humanisme Islam
Muhammad Iqbal meliputi tiga hal; prinsip kebebasan, prinsip persaudaraan,
prinsip persamaan. Sedangkan disiplin ilmu penafsiran al-Qur‘an yang digunakan
dalam tesis tersebut memakai metode maudhu‟i.
Sementara itu, penulis juga belum menemukan studi kritis tentang
humanisme Mutahhari dan relevansinya dalam kehidupan di Indonesia. Terlebih
tinjauan corak atau kecenderungan Mutahhari dalam menginterpretasi ayat-ayat
tentang nilai kemanusiaan. Untuk itu, penting kiranya dilakukan studi yang cukup
mendalam dan komprehensif untuk menambah khazanah keilmuan Islam
sekaligus sebagai kritik sosial terhadap permasalahan yang berkembang ditengah-
tengah masyarakat.
F. Metodologi Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metodologi penelitian
kepustakaan (library research). Sebuah upaya mencari dan mengumpulkan
literatur yang relevan, kemudian menelaah dengan pokok yang dibahas.
13
Sementara, buku yang menjadi rujukan utama atau sumber primer dalam
penulisan skripsi ini adalah ―Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Jati Diri, Hakikat
dan Potensi Kita”, “Falsafah Agama dan Kemanusiaan: Perspektif al-Qur‟an
dan Rasionalisme Islam”, “Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama”,
“Filsafat Materialisme: Kritik Filsafat Islam tentang Tuhan, Sejarah dan Konsep
tentang Sosial Politik”, “Etika Seksual dalam Islam” dan”Filsafat Moral Islam”,
kesemuanya merupakan karya Mutahhari.
Sedangkan metode pembahasan skripsi ini adalah diskriptif analisis
menggunakan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah untuk rujukan penulisan skripsi.
Suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang
metodologi penafsiran al-Qur‘an secara jelas, kemudian metodologi itu dianalisa
sesuai dengan sumber data yang penulis peroleh.
Kaitannya dengan humanisme dan metode penafsiran al-Qur‘an, nantinya studi ini
akan menggunakan dua teori. Pertama, teori humanisme sebagai bagian dari
kajian ilmu sosial dan filsafat. Konsep humanisme Islam yang dijadikan bangunan
dalam skripsi ini merupakan konsep humanisme Islam Nurcholish Madjid, bahwa
dasar humanisme Islam bertolak dari ikatan manusia dengan Sang Pencipta, atau
suatu perjanjian primordial antara makhluk dengan Tuhannya.22
Kedua, teori penafsiran bi al-Ra‟y (nalar pikiran manusia) yang telah
banyak diketahui oleh pemikir Islam (khususnya mufassir). M. Quraish Shihab
mengungkapkan bahwa penafsiran bi al-Ra‟y atau nalar digunakan oleh Nabi
22
Nurcholish Madjid, Humanisme Islam [database on-line] (nurcholishmadjid.org, 2017); tersedia di http://nurcholishmadjid.org/; Internet; diunduh Juni 2017.
14
Muhammad dan sahabat-sahabatnya, meskipun pada waktu yang bersamaan hal
demikian tidak disebut Tafsir bi al-Ra‟y. Quraish Shihab sendiri membagi Tafsir
bi al-Ra‟y menjadi dua macam, yakni Tafsir bi al-Ra‟y al-Mahmud (berdasarkan
nalar yang terpuji) dan Tafsir bi al-Ra‟y al-Mazmum (berdasarkan nalar yang
tercela).23
Kedua teori tersebut memungkinkan untuk dijadikan penulis kerangka
teoritis. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan Mutahhari bukanlah
seorang mufassir dan penafsir al-Qur‘an secara keseluruhan.
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab akan
terdapat beberapa sub-bab yang menjelaskan pembahasan yang saling terkait.
Bab pertama akan dijelaskan latar belakang pengambilan masalah, rumusan
masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, kerangka teoritis dan sistematika penulisan.
Bab kedua akan memaparkan biografi singkat sosok Mutahhari, pemikiran
serta karya-karya Mutahhari.
Sedangkan bab ketiga akan mengurai tentang istilah humanisme secara
umum sesuai dengan pemahaman para pemikir Barat maupun Timur, sejarah
kemunculannya, teori tentang humanisme serta tafsir humanisme klasik dan
modern.
23
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2013), hal. 368.
15
Sementara itu, bab keempat akan menganalisis ayat-ayat yang mengandung
nilai-nilai humanisme dalam perspektif al-Qur‘an dari sudut pandang Mutahhari.
Menganalisis metodologi, corak maupun kecenderungan pemikir Iran tersebut.
Terakhir bab kelima akan berupa kesimpulan beserta saran atau
rekomendasi dari ayat yang mengandung nilai-nilai humanisme Islam. Penulis
akan memaparkan pemahamannya tentang humanisme Islam dan kaitannya
dengan masalah yang sedang dibahas. Sehingga benang merah antara satu variabel
dengan variabel lain bisa disatukan menjadi pemahaman yang utuh.
16
BAB II
BIOGRAFI, KARYA DAN PEMIKIRAN MURTADA MUTAHHARI
A. Biografi Murtada Mutahhari
Ayatullah Mutahhari seorang pengagum teosofi (filosuf agama) Mulla
Shadra (penulis al-Asraf al-Arba‘ah). Mutahhari lahir pada 2 Februari 1920 di
Fariman, suatu dusun di Kota Praja yang terletak sekitar 60 km dari Marsyhad
(pusat belajar dan ziarah kaum Syiria di Iran Timur). Mutahhari kecil berguru
dengan ayahnya sendiri yaitu Muhammad Husein Mutahhari, seorang ulama yang
alim yang dihormati banyak kalangan. Dari embrio keilmuan Muhammad Husein
Mutahhari itulah kemudian Mutahhari dalam perkembangan keilmuannya juga
gigih memperjuangkan nilai-nilai keislaman.
Seperti kebanyakan pemikir Islam, narasi yang dibangun Mutahhari tidak
bisa lepas dari argumen teosofi (filosuf agama) pendahulunya, termasuk
diantaranya Mulla Shadra.
Ayahnya Mutahhari, Husain Mutahhari memiliki corak pemikiran yang
berbeda dibanding putranya, Mutahhari dianggap lebih cemerlang dari ayahnya.
Sang ayah tekun menggeluti karya-karya pakar hadist kondang, seperti Mulla
Muhammad Baqir Majlisi. Sedangkan sang putra, Murtada Mutahhari sangat
mengagumi Mulla Shadra, seorang diantara ulama kenamaan masa lalu yang
17
dalam khazanah perkembangan filsafat dikenal melahirkan karya besar berjudul
al-Asfar al-Arba‟ah.24
Semasa menjadi mahasiswa, ketertarikannya terhadap keilmuan modern dan
filsafat semakin terasah. Guru utama Mutahhari dalam bidang filsafat adalah
Allamah Thabathabai, meskipun secara langsung Mutahhari juga belajar dari dua
orang ayatullah: Boroujerdi dan Khomeini sejak usia 12 di Qum. Tak ayal
ketertarikan dan kedekatannya dengan dua ayatullah tersebut membawa
Mutahhari menyelami perkembangan aliran filsafat sejak Aristoteles hingga
Sartre. Bahkan, dikemudian hari Mutahhari terlibat aktif dalam Revolusi Islam di
Iran dan sempat pula mengalami penahanan serta pembuangan.
Ketika Mutahhari menimba ilmu di Qum, kuliah-kuliah Ayatullah Khomeini
menarik banyak audiens dari luar maupun dalam lembaga pengajar agama
tersebut. Mutahhari mengungkapkan kesan awalnya yang sangat mendalam
terhadap Ruhullah Khomeini, Mutahhari mengatakan ;
―Ketika aku pindah ke Qum, aku menemukan objek keinginanku pada sesosok pribadi yang memiliki seluruh sifat Mirza Mahdi (Syahidi Razavi) disamping lain-lainnya yang secara istimewa ia miliki. Aku menyadari bahwa dahaga jiwaku akan terpuaskan tahap-tahap pendahuluan dari studi-studiku dan belum memenuhi syarat untuk naik ke jenjang studi ilmu-ilmu rasional (ma‘qulat), tetapi aku sudah bisa merasakan kuliah-kuliah tentang etika yang diberikannya. Kuliah yang disampaikan oleh pribadi tercinta itu, pada setiap Kamis dan Jum‘at, tidak terbatas pada etika dalam pengertian kering dan akademik, tapi menyentuh masalah ‗irfan‘ dan pengetahuan-pengetahuan spiritual yang lebih mendalam. Dan bagiku, kuliah-kuliah seperti itu sungguh membuatku lebih bersemangat. Tanpa melebih-lebihkan dapat kukatakan bahwa kuliah (Kamis dan Jum‘at) itu menimbulkan sedemikian besar kegairahanku sehingga efeknya masih tetap kurasakan sampai hari Senin atau Selasa. (Terus terang) suatu bagian penting dari kepribadian intelektual dan spiritualku terbentuk dibawah
24Irman Abdurrahman, ―Sekali Lagi, Belajar pada Ustadz Mutahhari,‖ Jurnal Bayan (Vol.
II, No. 1, Th. 2012), hal. 139
18
pengaruh kuliah-kuliah itu dan pelajaran-pelajaran lain yang aku ikuti selama dua belas tahun bersama ustadz tersebut (Ayatullah Khomeini)‖25
Mutahhari membaca sebelas jilid Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat dan
buku-buku lainnya yang ditulis oleh Will Durant. Ia menelaah tulisan Sigmund
Freud, Bertrand Russel, Albert Einstein, Erich Fromm, Alexis Carrel dan pemikir-
pemikir lainnya dari Barat. Tetapi, berbeda dengan sebagian cendekiawan
pesantren yang mempelajari Barat karena rasa rendah diri—lalu bersuara lantang
mengutip pakar-pakar Barat dan malu-malu menyebut pemikir-pemikir Islam—
Mutahhari tampil dengan suara Islam yang fasih.26
Kegigihan Mutahhari dalam memerjuangkan nilai Islam memang tidak
perlu dipertanyakan lagi, khususnya dari serangan orientalis Barat yang cenderung
memojokkan Islam. Pemahaman Islam yang luas dalam kajian ilmu seperti Fiqh,
al-Ushul, al-Irfan, ilmu kalam, logika, filsafat serta keahliannya membaca kritik
filsafat Barat menjadi senjata ampuh Mutahhari mematahkan argumen
Orientalisme.
Perjuangan Mutahhari bukan saja melalui pena dan lidahnya, namun ia aktif
dalam Revolusi Islam di Iran hingga pada tahun 1963. Murtada Mutahhari
mengalami penahanan bersama Ayatullah Khomeini. Disaat Khomeini diasingkan
di Turki, Mutahhari mengambil alih imamah dan mendirikan Husainiya-yi Irsyad
untuk mengasah kemampuan intelektual muslim. Melalui wadah Husainiya-yi
25Irman Abdurrahman, ―Sekali Lagi, Belajar pada Ustadz Mutahhari”, 141-142. 26Jalaluddin Rachmat, Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2007), hal. 13.
19
Irsyad inilah kemudian lahir intelektual yang progresif, sebut saja diantaranya
sosiolog muda Ali Syari‘ati.27
Konfrontasi serius Mutahhari dengan rezim terjadi saat kebangkitan
Khardad 6 Juni 1963 lantaran ia dengan terang-terangan mengikuti jejak Imam
Khomeini. Atas usahanya itulah Mutahhari ditahan selama 43 hari. Beberapa
bulan setelah penahanan tersebut, Mutahhari mendirikan Tahiyyat-e Ruhanniyat-e
Mubarriz (Himpunan Ulama Pejuang), agenda politik yang diusung diantaranya
mengorganisir perlawanan rezim syah dalam negeri.
Saat meletus Revolusi Islam di Iran pada 1978-1979 yang dikomandoi oleh
Ayatullah Khomeini, Mutahhari terlibat sebagai arsitektur terjadinya revolusi.
Bahkan ketika Revolusi Islam di Iran hampir benar-benar selesai, Ayatullah
Khomeini menunjuk Murtada Mutahhari untuk memimpin Syuraye Inqilab Islami
(Dewan Revolusi Islam) yang bertugas mengendalikan roda politik Iran.28
Sebelum Mutahhari menerapkan konsep-konsep politiknya pada
pemerintahan yang baru lahir, ia menghembuskan nafas terakhir karena ditembak
oleh anggota Furqon. Kelompok Furqon sendiri merupakan ekstrimis kiri yang
sering mengatasnamakan diri sebagai representasi Islam.
Ancaman pembunuhan sebelumnya santer diberitakan oleh kelompok
Furqon terhadap mereka yang berseberangan sudut pandang, termasuk Mutahhari.
27Jalaluddin Rachmat, ―Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama‖, hal. 13. 28Murtada Mutahhari, Kritik Islam terhadap Materialisme, terj. Ahmad Kamil, (Jakarta: al-
Huda, 2001), hal. 9.
20
Teror, intimidasi dan ancaman sudah terlebih dulu disampaikan melalui publikasi-
publikasi yang berafiliasi dengan ekstrimis Furqon.
Hingga akhirnya pada Selasa, 1 Mei 1979 bersama anggota-anggota Dewan
Revolusi Iran Murtada Mutahhari bertandang ke rumah Dr. Yadullah Sahabi.
Selepas pertemuan itu bersama insinyur Katira‘i, Mutahhari pulang sekitar pukul
10:30 malam waktu setempat. Sesaat ketika Murtada Mutahhari berjalan
sendirian melewati sebuah gang untuk menghampiri mobilnya, tiba-tiba ada suara
yang memanggil namanya dari sudut sudut sempit gang. Tiba-tiba sebutir peluru
menembus tengkorak kepalanya. Mutahhari hampir meninggal seketika meskipun
sempat dibawa ke rumah sakit terdekat.29
Selang beberapa jam setelah kejadian tersebut, tepatnya pada Kamis, 3 Mei
1979 M, Mutahhari dibawa ke Universitas Teheran untuk disholatkan dan dibawa
ke Qum untuk kemudian dikebumikan bersebelahan dengan makam Syekh
Abdulkarim Ha‘iri.30
B. Karya Murtada Mutahhari
Mutahhari adalah penulis yang produktif. Kedalamannya dalam
menyelesaikan permasalahan sosial banyak dituangkan dalam karya tulis dengan
ide-ide cemerlang. Ia terbiasa mengangkat isu-isu yang dibutuhkan masyarakat
luas, seperti masalah-masalah filsafat, sosial, agama dan etika.
29
Jalaluddin Rachmat, ―Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama‖, hal. 14. 30 Irman Abdurrahman, ―Sekali Lagi, Belajar pada Ustadz Mutahhari‖, hal. 151.
21
Lebih dari itu, Mutahhari memiliki banyak karya yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, Arab, Urdu, Persia hingga Indonesia. Artinya sosok
Murtada Mutahhari telah diakui dalam ruang lingkup yang luas, tidak hanya di
Iran saja. Diantara karya Mutahhari adalah;
1. Hijab Gaya Hidup Wanita Islam
Merupakan buku yang diterjemahkan dari ―On The Islamic Hijab‖ karya
Mutahhari yang diterbitkan oleh ―Islamic Propagation Organoization‖ Teheran.
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Agus Efendi dan Alwiyah Abdur
Rahman, cetakan IV Maret 1977 M oleh Mizan Bandung.
Dalam buku ini, Mutahhari ingin menggugat moral modern terkait gaya
hidup perempuan. Ia juga mempersoalkan pergerakan antara laki-laki dan
perempuan, penampilan perempuan, partisipasi perempuan dalam pertemuan-
pertemuan umum sampai dalam hal berjabat tangan antara laki-laki dan
perempuan, hingga ekspos suara perempuan dan perilaku keseharian perempuan.31
2. Jejak-jejak Ruhani
Buku ini diterjemahkan dari bahasa Persia ―Hikmatha Vaandaruzka‖
Mutahhari terbitan Intisyarat Shard, Teheran. Diterjemahkan oleh Ahmad
Subandi tahun 1996, penerbit Pustaka Hidayah Bandung. Buku ini Murtada
Mutahhari mengatakan bahwa nasihat merupakan bagian penting dalam hidup
manusia.
31 Murtada Mutahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 1988),
hal. 4.
22
―Allah SWT mengatakan manusia akan senantiasa dirundung kerugian didalam hidup ini kecuali mereka yang beriman, beramal sholeh, menasihati tentang kebenaran dan kesabaran (QS. 103, 1-3)‖32
Meskipun begitu, memberi nasihat dan menerima nasihat pada orang lain
bukanlah sesuatu yang mudah. Pertama, nasihat yang disampaikan pasti berisi
bukan mengulang-ulang apa yang telah disampaikan. Kedua, cara menyampaikan
juga dibuat sedemikian menarik sehingga tidak membosankan pendengar. Ketiga,
nasihat harus yang benar dengan penuh keikhlasan supaya apa yang disampaikan
bermanfaat untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi.
3. Falsafat Akhlak (Kritik atas Moralitas Barat)
Buku ini diterjemahkan dari buku berbahasa Persi Falsafe Akhlaq karya
Mutahhari terbitan Intisyarat Shard, Teheran. Diterjemahkan oleh Faruq Bin
Dhiya pada Oktober 1995 dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung.
Mutahhari mengungkapkan bahwa persoalan akhlak sangat penting dalam
Islam. Menyempurnakan akhlak merupakan keutamaan diutusnya nabi berada
ditengah-tengah manusia. Lebih lanjut, ia mengkritik pandangan barat atas kriteria
etis menggunakan pendapat Islam. Bahkan, ia mengatakan Islam memiliki
bangunan yang kokoh karena didasarkan pada kemuliaan diri serta pengenalan
Tuhan.33
32 Al-Qur‟an al-Karim, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema), hal. 601. 33 Murtada Mutahhari, Filsafat Akhlak, (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2005), hal. 7.
23
4. Hak-hak Wanita dalam Islam
Buku ini diterjemahkan dari ―The Highs of Women Islam‖ karya Murtada
Mutahhari terbitan ―World Organization of Islamic Sewics‖ (Wofis) di Teheran
pada 1981. Kemudian diterjemahkan oleh M. Hasen dan diterbitkan oleh Lentera
Jakarta, cetakan ke-III pada Oktober 1995.
Unsur yang terkandung dalam buku ini mengatakan tentang latar belakang
serta falsafah dibalik aturan Islam tentang perempuan, diantaranya terkait hukum
warisan, lamaran, mahar, nafkah, poligami dan lain sebagainya. Konklusi yang
dikatakan Murtada Mutahhari bahwa syari‘at Islam betul-betul sesuai dengan
kodrat dan martabat manusia. Lebih lanjut, gagasan Barat dianggap hanyalah
sebentuk propaganda dan hasutan belaka.34
5. Etika Seksual dalam Islam
Buku ini diterjemahkan dari ―Sexual Ethics in Islam and in The Western
World‖ karya Mutahhari yang diterbitkan oleh ―Islamic Propagation Mission‖,
Teheran. Menjadi judul buku dengan Etika Seksual dalam Islam diterjemahkan
oleh M. Hashem, cetakan I pada tahun 1982 dan diterbitkan oleh Penerbit Lentera
Jakarta.
Mutahhari dalam buku ini mengkritik pandangan Bertrand Russell tentang
etika kebebasan seksual.35 Russell sendiri misalnya mengakui bahwa cinta sama
34 Murtada Mutahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2001), hal.
5. 35
Murtada Mutahhari, Etika Seksual dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1993), hal. 10.
24
sekali tidak bisa disamakan dengan nafsu untuk melakukan hubungan seks
semata; cinta mempunyai ideal-ideal serta standar moralnya sendiri, yang kabur
dalam ajaran Kristen maupun dalam ―pemberontakan seks‖ baru.
Mutahhari kemudian mengajukan ajaran Islam dalam menanggulangi
permasalahan seks, cinta dan etika sekaligus secara tuntas.
6. Bedah Tuntas Fitrah
Buku ini diterjemahkan dari al-Fithrah karya Mutahhari terbit di Mu‘assasah
al-Bi‘tsah, Teheran. Kemudian dialihbahasakan oleh H. Afif Muhammad dan
diterbitkan oleh Penerbit Citra pada tahun 2011 di Yogyakarta.
Mutahhari dalam al-Fithrah mengungkapkan bahwa kajian tentang fitrah
memiliki dua cabang, yang satu mengacu pada manusia dan satunya mengacu
pada Tuhan. Sementara itu di sisi lain, ia merupakan pusat kajian yang cukup
mendalam berkenaan dengan sumber-sumber pengetahuan keislaman, al-Qur‘an
dan Hadist.36
Mutahhari bahkan sampai mempelajari sejarah kosa kata fitrah dan makna
yang berkembang serta penggunaan kata tersebut sebelum al-Qur‘an.
36 Murtada Mutahhari, Bedah Tuntas Fitrah, (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2011), hal. 1.
25
7. Filsafat Materialisme
Buku yang diterjemahkan dari ―The Causes Responsible for Materialist
Tendencies in The West‖ (I of IV) karya Mutahhari. Alih bahasa Indonesia oleh
Arif Mulyadi dan diterbitkan oleh Rausyanfikr Institute pada 2014 di Yogyakarta.
Filsafat Materialisme merupakan kritik filsafat Islam tentang Tuhan
berkaitan dengan sejarah dan konsep sosial politik yang melingkupinya.
Mutahhari meyakini bahwa setiap ajaran yang memercayai dan meyakini
kebenarannya, harus melindungi kebebasan berpikir dan berkepercayaan.
Dalam Filsafat Materialisme, Mutahhari mengatakan bahwa kecenderungan
beriman pada Tuhan merupakan sesuatu yang sifatnya natural, sama halnya
dengan kesehatan. Orang tak pernah bertanya tentang alasan kesehatan, karena
kesehatan termasuk program alam secara umum. Berbeda misalnya dengan
sekelompok orang yang tidak memercayai Tuhan, kita cenderung bertanya
penyebab kelompok tersebut sakit dan apa penyebab mereka sakit?37
Mutahhari mengkritik orang yang tidak beriman bahwa yang bersangkutan
sebenarnya sedang mengalami sakit, dikarenakan tidak sesuai dengan program
alam secara normal.
37
Murtada Mutahhari, Filsafat Materialisme, (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2016), hal. 12.
26
8. Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci
Sebuah karya yang diterjemahkan dari buku berbahasa Arab dan Inggris
karya Mutahhari terbitan Free Islamic Literatures, Houston, Texas. Haidar Bagir
kemudian kemudian melakukan penyuntingan dan mengalihbahasakan menjadi
Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci yang diterbitkan oleh Mizan
Pustaka pada 2007 di Jakarta.
Mutahhari mengatakan bahwa agama mengalami pertumbuhan mula-mula,
setidaknya ia berasusmsi dan melakukan kritik terhadap beberapa hipotesis
diantaranya; agama adalah produk rasa takut, rasa takut manusia dari alam, dari
gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari luasnya lautan dan debur ombaknya
yang menggulung serta gejala-gejala alamiah lainnya. Agama adalah produk
kebodohan, sebagian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama
adalah kebodohan manusia sebab sesuai wataknya, selalu cenderung untuk
mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku atas alam ini serta
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Agama sebagai pendambaan akan keadilan dan keteraturan, sebagian orang
memperkirakan bahwa motivasi keterikatan antara agama dan manusia tak lain
dikarenakan pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Agama sebagai
hipotesis kaum Marxis, Marxisme percaya bahwa agama diwujudkan agar kelas
penindas tetap dapat mempertahankan previlese, kedudukan dan kekuasaannya.
27
Agama sebagai hipotesa Freud, jadi faktor yang mendorong timbulnya agama
merupakan penekanan dan pelarangan seksual.38
Kritik Mutahhari terhadap kesemuanya yang menyimpang terhadap
pemahaman agama tertata rapi dalam ―Agama dan Manusia: Membumikan Kitab
Suci‖.
Sementara itu, dari beberapa karya-karya Mutahhari yang dipaparkan di
atas, masih banyak lagi karya lainnya seperti; Keadilan Ilahi, Filsafat Kenabian,
Pengantar Menuju Logika, Masyarakat dan Sejarah Kritik Islam atas Marxisme.
Namun, meskipun begitu masih banyak lagi karya Murtada Mutahhari yang tidak
bisa disebutkan dalam skripsi ini.
C. Pemikiran Murtada Mutahhari
Membahas pemikiran Mutahhari sama halnya seperti menemukan kepingan-
kepingan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat. Dalam beberapa
pemikirannya bisa dimungkinkan memiliki keterkaitan dengan fenomena sosial.
Menariknya, narasi yang dibangun Mutahhari tidak melulu lewat legitimasi kitab
suci, namun banyak juga nalar edukasi yang sifatnya kritik terhadap pemikir
sebelumnya, khususnya para pemikir Barat.
1. Agama
Mutahhari meyakini bahwa agama memiliki pengaruh yang positif.
Keyakinan keagamaan menyebabkan energi yang luar biasa, sifatnya bisa
38
Murtada Mutahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, (Bandung: Mizan Pustaka, 20017), hal. 55.
28
dipandang mampu memberikan kebahagiaan dan kegembiraan bahkan
memperbaiki hubungan-hubungan sosial. Agama bagi Mutahhari merupakan satu-
satunya cara pemenuhan semua kebutuhan.39
Berbeda halnya dengan orang yang menolak keyakinan beragama, bahwa
seorang kafir di dunia ini seperti seorang manusia yang hidup di suatu negeri yang
menganggap hukum-hukum dan pranata-pranata negeri sebagai sesuatu yang
korup dan kejam.
Agama juga berfungsi dalam hubungan-hubungan interaksi sosial.
kehidupan kemasyarakatan yang sehat adalah yang di dalamnya individu-individu
menghargai hak individu lainnya, menghargai aturan-aturan dan pembatasan-
pembatasan, menganggap keadilan sebagai sesuatu yang suci, dan menawarkan
cinta kepada orang lain.
Asosiasi secara alamiah merupakan watak dari sosialitas: kecenderungan
manusia untuk berhimpun dan bekerjasama, berinteraksi dalam memproduksi
formasi makna bersama, pijakan bersama untuk memberi bentuk bagi ―dunia
kehidupan‖. Kesukarelaan mencirikan perhimpunan ini, suatu formasi makna
yang didasarkan pada kebutuhan psikologis dan spiritual.40
Mutahhari beranggapan bahwa tidak ada sesuatu yang lain melebihi agama
dalam hal menghargai kebajikan, menganggap suci keadilan, melunakkan hati
seseorang kepada sesamanya, menciptakan rasa saling percaya antara individu,
39
Murtada Mutahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, (Bandung: Mizan Pustaka, 20017), hal. 60.
40Muhammad al-Fayyadl, Filsafat Negasi (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2016), hal. 92-93.
29
menyebabkan kebajikan dan ke-rahim-an lebih mengakar di dalam kesadaran
manusia, menghargai nilai-nilai moral, dan menciptakan dorongan untuk
melangkah melawan kekejaman.
Terlebih, agama merupakan penawar bagi tekanan jiwa manusia. Seorang
beriman tahu bahwa segala sesuatu di dunia ini berada dalam pola tertentu, jika ia
bereaksi terhadap suatu kepahitan secara tepat, Allah yang Mahakuasa akan
memberinya jalan lain meskipun sebelumnya jalan itu tampak mustahil.41
Pemaparan agama dan korelasi dengan manusia tersebut merupakan kritik
Mutahhari terhadap anggapan pemikir Barat yang menyebut bahwa agama telah
membawa dampak negatif bagi (menghilangkan kreativitas) manusia. 42
2. Seksual
Para moralis tradisional non-Islam memandang seks dan cinta sebagai
manifestasi yang menjijikan dan harus dijauhi. Sebaliknya, masyarakat modern
cenderung berasumsi cinta bebas bukan saja sesuatu yang baik tetapi juga patut
dihormati. Bahkan, cinta bebas telah mulai memperoleh preferensi dan dorongan
untuk tumbuh dan meluas ke seluruh dunia. Untuk itu, Murtada Mutahhari
mengajukan moralitas Islam dengan pokok-pokoknya.
Moralitas Islam dan keselarasannya merupakan tuntutan obyektif
pertumbuhan alami seksualitas sebagai bagian dari naluri dan potensi bawaan
41Murtada Mutahhari, Agama dan Manusia: Membumikan Kitab Suci, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2007), hal. 97-103. 42Muhammad Anis, ―Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan,‖ Jurnal Bayan (Vol. II,
No. 4, 2013), hal. 144.
30
manusia. Terkait dengan seksual modern, Islam menganggap praktik tersebut
merupakan penyelewengan atau penyimpangan perilaku seksual manusia dalam
upaya mencegah pertumbuhan naluri dan potensi individu yang alami secara
harmonis.
Dalam cinta, sebagaimana beberapa hal lain, orang Barat dan orang Timur
berbeda dalam pendekatan intelektual mereka. Seorang Barat yang tipikal sering
tidak mampu memupuk cinta dalam kerangka yang abstrak di luar proses mekanis
yang menyangkut masalah kehidupan yang rutin. Karena itu, sulit baginya untuk
membedakan cinta dan hawa nafsu, dan untuk percaya pada penghayatan dan
harmonitas spiritual yang bisa lahir darinya.
Bagi orang Barat, cinta datang sebagai bakat yang alami dan praktis yang
mengantarkan pada perkawinan dan hidup bersama sesuai tuntutan sosial
kehidupan. Sementara, orang Timur tipikal yang berusaha memupuk cinta di luar
batas tuntutan kehidupan rutin.
Pemuasan naluri seksual bukanlah satu-satunya hal yang menyertai cinta,
karena pemenuhan nafsu seksual saja tidaklah cukup untuk memelihara kehidupan
cinta, yang memerlukan kepuasan psikologis.
Cinta kasih dan ketulusan timbal balik, juga kasih sayang dan kelembutan
manusiawi merupakan atribut-atribut yang sangat diinginkan dalam pasangan
suami istri, dalam konteks interaksi timbal balik dan sosial mereka. Sifat-sifat
31
demikian sering terlihat dalam masyarakat yang diatur oleh moral Islami. Dalam
masyarakat lain, seperti masyarakat Barat, sifat-sifat ini jarang ditemukan. 43
3. Fitrah
Di dalam diri manusia terdapat fitrah yang merupakan pengabulan dari
keinginan dan dorongan yang ada dalam diri manusia. Pada hakikatnya, apa yang
dicari dan diusahakan oleh manusia dengan fitrahnya itu adalah ajaran yang
diberikan para nabi kepadanya.
Salah satu yang tidak dapat diragukan adalah bahwa masalah fitrah betul-
betul dibicarakan dalam Islam. Hanya saja, para ulama terkadang berbeda dalam
mengungkapkan pengertian dan maksud fitrah tersebut. Akan tetapi, prinsip yang
mengatakan adanya fitrah dan bahwasanya Islam adalah agama fitrah, dan
seterusnya fitrah dan tauhid adalah bagian dari watak manusia, suatu prinsip yang
sama sekali tidak dipertentangkan kaum muslim.
Murtada Mutahhari mendifinisikan fitrah itu ada dua, dan tidak ada satupun
yang dapat mencegah penyatuannya. Pertama adalah fitrah menalar (al-fitrah al-
idrakiyyah) dan fitrah merasa (al-fithrah al-ihsasiyyah).44
Fitrah menalar bisa diasumsikan bahwa agama atau tauhid dilihat dari
penalaran pemikiran merupakan sesuatu yang bersifat fitrah pada diri manusia.
Dia adalah konsep yang bisa diterima oleh akal manusia. Artinya, untuk
43Murtada Mutahhari, Etika Seksual dalam Islam (Jakarta: Penerbit Lentera, 1982), hal. 56-
57. 44
Murtada Mutahhari, Bedah Tuntas Fitrah, (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2011), hal. 182.
32
menerima kebenaran konsep-konsep tersebut tidak dibutuhkan pengajaran dan
pendidikan di sekolah-sekolah.
Kemudian fitrah merasa (al-ihsasiyyah) berkenaan dengan menghadapkan
diri pada Allah SWT dan agama dengan perasaan-perasaan dan kesadaran-
kesadarn fitri. Dengan demikian, kita bisa mengatakan, ―Sesungguhnya manusia
mengetahui Allah SWT dengan fitrahnya,‖ dan pada kesempatan lain kita
mengatakan bahwa manusia cenderung pada Allah SWT dan tertarik kepadaNya.
Murtada Mutahhari mengajak untuk mengkaji, apakah yang dimaksud dengan
fitrah agama dan tauhid dalam ayat-ayat al-Qur‘an, sunnah Rasul, dan ucapan-
ucapan para Imam atau ulama adalah fitrah menalar dan fitrah merasa.
33
BAB III
HUMANISME: PENGERTIAN, SEJARAH, TEORI DAN PENAFSIRAN
AYAT HUMANISME
A. Difinisi Humanisme
Humanisme dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) merupakan aliran
yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan
pergaulan hidup yang lebih baik. Humanisme suatu paham yang menganggap
manusia sebagai objek studi terpenting. Berkaitan dengan suatu zaman atau masa,
humanisme termasuk aliran zaman Renaissance yang menjadikan sastra klasik
(dalam bahasa latin dan Yunani) sebagai dasar seluruh peradaban manusia.45
Secara terminologi, humanisme dalam bahasa Arab sering dipersepsikan
sebagai : al-Adab, al-Adabiyat, Anwa al-Adab, Durub al-Adab, Funun al-Adab,
„Ilm al-Adab, „Ilm al-„Arab, „Ilm al-„Arabiya, al-Ulum al-„Arabiya, „Ilm al-Lisan.
Humanisme dalam perkembangannya sering juga disebut ilmu etika (norma,
aturan).46
Humanisme (kemanusiaan) dalam kamus umum diartikan sebagai ―sebuah
sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik dan tindak
45
https://kbbi.web.id/humanisme 46George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West,
(Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990), hal. 89.
34
tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural
manapun‖.47
Sementara itu, Harold R. Rafton menganggap bahwa humanisme erat
kaitannya dengan komitmen memilih jalan dengan sudut pandang yang objektif,
mengedepankan ilmu pengetahuan modern, rasionalitas dan kemanusiaan.
―deeply commited to current superstitions about ‗objective standpoints,‘ the supremacy ‗modern science,‘ ‗rationalism,‘ and –perhaps callowest of all—‗humanism‘ (in the Bahm sense)48.49
Terkait humanisme, Edward W. Said mempunyai pendapat yang cukup
menarik bahwa humanisme selalu beradaptasi dengan kondisi apapun, dalam
pengertian humanisme cenderung berdialektika dengan konsep lain. Lebih lanjut,
humanisme mampu mengeneralisir dan membaur dengan oposisi yang berbeda,
bukan malah sebaliknya.
―Humanism for Said was always dialectical concept, generating oppositions it could neither absorb nor avoid.50
‖51
Bagi Edward W. Said humanisme setidaknya sering kali mengakomodir
kritik dari pihak oposisi. Hal itulah yang memungkinkan humanisme diterima di
banyak tempat, aliran dan kondisi yang berbeda.
47The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13 (New York: The Incyclopaedia Britannica, Inc.,
1911), hal. 872. 48
Terj. Komitmen yang tinggi pada takhayul yang tengah terjadi saat ini tentang ‗pendirian yang berimbang‘ tentang supremasi ‗pengetahuan modern,‘ ‗rasionalis,‘ dan—terhadap sesuatu yang dianggap masih baru—‗humanisme‘ (menurut perspektif Bahm).
49Harold R. Rafton, ―Humanism,‖ The Scientific Monthly (Vol. 64, No. 1, 1947), hal. 90. 50
Terj. Humanisme menurut Said selalu memiliki konsep berdialektika, meskipun generasi oposisi sangat sulit dihindari.
51W. J. T. Mitchell, Secular Divination: Edward Said‟s Humanism, Vol. 31, No. 2, (Chicago: Critical Inquiry, Inc. 2005), hal. 462.
35
Lebih lanjut, Edward W. Said mengatakan humanisme sendiri memiliki dua
wajah. Pertama, sesuatu yang dipandang sebagai keleluasan belajar termasuk
untuk mengasah kecerdasan. Kedua, semacam sikap sentimental berupa
penolakan terhadap kesalehan jati diri (etika) sebagai manusia.
"Humanism shows a double face. It is, in the one hand, the capacious learning, the extended intelligence that provides the materials and archives for human self-knowledge, but, on the other hand, it can be a stuffy, sterile antiquarianism, a sentimental, hollow piety about the human a development that has in turn produced various shallow antihumanism and posthumanism”.
52
Beranjak dari beberapa pendapat pakar tersebut, bisa diartikan humanisme
merupakan kajian ilmu filsafat yang mengedepankan ilmu pengetahuan untuk
mencapai objektifitas tertentu, juga termasuk bentuk dari penghormatan terhadap
manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diamanahi akal pikiran oleh Tuhan.
B. Sejarah Humanisme
Ada kecenderungan suatu tendensi yang mengatakan bahwa sosiologi –
termasuk humanisme-- hanyalah fenomena Barat zaman modern. Padahal dalam
kenyataannya, para sarjana telah mengembangkan ide-ide dan teori-teori
sosiologis lama yang berada di belahan-belahan dunia lainnya, termasuk Abdul
Rahman Ibn Khaldun yang lahir di Tunis, Afrika Utara pada 27 Mei 1332.
Pada 1406 ketika Ibn Khaldun meninggal, ia telah menghasilkan suatu
himpunan karya dengan banyak ide mengagumkan. Ia melakukan studi ilmiah
52
Terj. Humanisme memperlihatkan dua sisi yang berbeda. Pertama, yang dijadikan pegangan, termasuk luasnya pembelajaran, kecerdasan yang menyediakan materi dan penyimpanan memori bagi pengetahuan seseorang. Namun, hal lain yang tidak dijadikan pegangan dapat juga menjadi sesuatu yang kaku, yang bersih dari segala sesuatu berbau kuno, memiliki rasa sentimen yang tinggi, peluang kesalihan tentang pembentukan sikap manusia bisa dibentuk dengan prosedur yang berbeda pemahaman yang dangkal tentang antihumanisme dan poshumanisme.
36
terhadap masyarakat, riset empiris dan penyelidikan sebab-sebab fenomena sosial
(politik dan ekonomi) dan hubungan diantara mereka. Ia tertarik membandingkan
masyarakat primitif dan masyarakat modern. Ibn Khaldun seperti sarjana pada
umumnya, dan sarjana Islam khususnya, ia bisa dilihat mempunyai signifikasi
historis yang besar terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial dan filsafat.53
Humanisme sebagai ilmu sosial dan filsafat, seperti diungkapkan Professor
James L. Battersby pengajar di Universitas Ohio, memiliki keterkaitan dengan
helenisme (kebudayaan Yunani) dan zaman pencerahan di Eropa. Bahkan,
proffesor yang menulis tentang Paradigm Regained: Pluralism and the Practice
of Criticism (1991) itu mengatakan bahwa humanisme terpengaruh pandangan
skeptisisme dan relativisme Protagoras, transendentalisme Plato hingga
essensialisme Aristoteles.
―In the Western tradition, there is a line of subject metter, as well as a disparate assortment of doctrines, beliefs, attitudes, and ends, that has been associated with humanism in the broadest sense. In one or another conceptions of the term, humanism stretches from Hellenistic Greece (in the skeptical and relativistic views of Protagoras, in the Transcendentally significant Forms Plato, in the intrinsic and essential properties of metter in Aristoteles, and so on)54
‖55
Dalam perkembangannya, humanisme muncul lantaran merebaknya
modernisme yang sedang dialami masyarakat Barat. Humanisme menurut
pandangan Muhammad Anis, Doktor bidang Pemikiran Islam Universitas Islam
53George Ritzer, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 6. 54
Terj. Dalam konteks tradisi Barat, ada sebuah permasalahan yang harus digarisbawahi, seperti banyaknya doktrin yang beredar, kepercayaan, etika, dan yang terakhir, semua itu diasosiasi dengan pengertian paling luas. Menurut konsep lainnya, humanisme termasuk bagian dari Helenisme yang berasal dari Yunani (seperti sikap skeptis dan teori relativitas menurut pemahaman Protagoras, yang sangat sulit dipahami, dibentuk oleh Plato, dalam unsur intrinsik dan perlu menjadi bahan diskusi lanjutan oleh Aristoteles, dan lainnya.
55 James L. Battersby, ―The Inescapability of Humanism,‖ College English (Vol.58, No. 5, 1996), hal. 556.
37
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengakui bahwa manusia dengan segala
kemampuannya merupakan sumber kekuatan yang melebihi kekuatan lainnya,
sehingga menyisihkan peran dan kedaulatan Tuhan.
Antara agama dan humanisme terjadi alienasi atau disubordinasi karena
dipandang melemahkan daya krativitas dan otoritas manusia sebagai pusat alam
semesta.56
Muhammad Anis mengungkapkan meskipun tidak semua corak humanisme
mengarah pada ateisme, tetapi secara prinsipil humanisme –sebagai anak kandung
modernisme—menempatkan kedaulatan manusia pada taraf yang tinggi.
Humanisme pada tataran ini, disinyalir mampu menumpas mitologi yang dinilai
telah lebih dahulu merampas kebebasan dan kreativitas manusia.
Sementara itu, memperbincangkan gerakan humanisme di Eropa, setidaknya
diwakili oleh Humanisme Renaisans (abad XIV-XVII) di Italia bagian selatan dan
Renaisans Jerman bagian utara. Humanisme Renaisans Italia mempunyai
keinginan untuk membebaskan individualitas dari belenggu agama dan
feodalisme. Coraknya lebih mengedepankan pemekaran kemanusiaan lewat
kesusasteraan Yunani dan Latin Kuno.
Beberapa sarjana Barat seperti Paul M. Laporte dan Alan Gowans dalam
tesis yang pernah mereka tulis bersama dengan judul A-Humanism
mengungkapkan ketersinggungan dan korelasi antara humanisme dengan
Renaisans. Meskipun, tidak menutup kemungkinan anggapan demikian hanyalah
56Muhammad Anis, ―Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan,‖ Jurnal Bayan (Vol. II, No. 4, 2013), hal. 144.
38
interpretasi dari orang yang memandang humanisme dari satu sudut pandang.
Sehingga, tidak menutup kemungkinan adanya interpretasi lain atas humanisme
itu sendiri.
―I realize that the world humanist in the minds of many scholars stems from the time of the Renaissance and that in this case i have given it a personal interpretation.
57”
58
Kembali lagi pada humanisme Renaisans di Italia, ciri umum yang bisa
dilihat dari humanisme Italia diantaranya lebih merepresentasikan diri sebagai
elite literasi aristokrat yang berperan sebagai penjaga khazanah pengetahuan (bagi
kalangan aristokrat). Berbeda dengan humanisme Renaisans Italia, meskipun
sama-sama melawan feodalisme, Humanisme Renaisans Jerman terus
menekankan pada kehidupan agama dengan terkesan individualistik dan subjektif.
Jadi kesan yang terlihat adalah bagaimana aktor humanisme tersebut mencoba
mengawinkan sastra klasik dengan Alkitab.
Humanisme Renaisans yang ada disaat yang bersamaan mengarahkan
pendidikan untuk menciptakan pribadi yang utuh dan berjiwa merdeka. Kendati
begitu, Humanisme Renaisans masih berlatar elitis dan terbatas bagi kaum
bangsawan.59
Sementara itu, humanisme dalam Islam merupakan ukuran standar moral
dan intelektual untuk menjawab bahaya ekspansionisme Barat. Hal ini bermula
57
Terj. Saya meyakini, dunia humanis dalam konteks pemimkiran para sarjana muncul sejak masa Renaisans, pada konteks ini saya juga memiliki intrepretasi sendiri.
58Paul M. Laporte and Alan Gowans, ―A-Humanism,‖ College Art Journal (Vol. 12, No. 1, 1952), hal. 76.
59A. Ferry T. Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), hal. 5-6.
39
dari dikeluarkannya seruan umum pertama kali oleh Jamaluddin al-Afghani
(1839-1897 M), seorang modernis Muslim pertama yang konsen terhadap isu-isu
kemajuan Islam.
Ia menggugah kaum Muslim untuk mengembangkan dan menyuburkan
disiplin-disiplin filosofis dan ilmiah dengan memperluas kurikulum lembaga-
lembaga pendidikan, dan melakukan pembaharuan-pembaharuan pendidikan
secara umum. Tujuan puncaknya adalah untuk memperkuat dunia Islam secara
politis dalam menghadapi Barat.
Humanisme pada level keagamaan ini adalah pernyataan populisme al-
Afghani pada level politik, suatu warisan yang telah merupakan faktor yang kuat
dalam membentuk pemikiran sosial dan politik modernis-modernis Muslim.60
Jika al-Afghani memberi pernyataan bahwa Islam tidak bertentangan
dengan akal dan ilmu pengetahuan, maka tugas membuktikan pernyataan tersebut
dilakukan oleh Muhammad Abduh dari Mesir dan Sayyid Ahmad Khan dari India.
Kedua tokoh ini mengakui bahwa Islam sebagaimana yang diyakini oleh
pemeluk-pemeluknya pasti akan diancam oleh kemajuan-kemajuan modern dalam
pemikiran dan ilmu pengetahuan. Sayyid Ahmad Khan pernah berujar sebagai
berikut;
―Jika masyarakat tidak menghentikan pemahaman agama secara membuta, apabila mereka tidak mencari cahaya yang ada dalam al-Qur‘an, dan Hadits yang tidak diperselisihkan lagi kebenarannya, dan tidak menyesuaikan agama dengan ilmu pengetahuan zaman sekarang, maka Islam akan lenyap dari India"
60Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2010), hal. 316-317.
40
Kaitannya dengan hal tersebut, humanisme merupakan suatu peradaban
yang sedang dibangun umat manusia, khususnya Islam. Jalaluddin Rumi misalnya
mendiskripsikan peradaban bukanlah zona netral yang steril dari kehadiran pesan
Tuhan semata, namun bisa jadi adanya kehadiran Iblis. Humanisme bisa jadi pada
taraf dan wilayah tersebut, bahwa;
―Such envy, such evil imaginings and dark thoughts in your heart, such drawing, such tasting, such munificence by him!61
‖62
Dalam masalah perbudakan misalnya, saat semangat humanisme bisa
meniadakan perbudakan, maka peradaban berupa humanisme telah menyuluh
cahaya terang Ilahiah bagi eksistensi umat manusia. Namun, jika sebatas
merendahkan manusia lain, maka peradaban berupa humanisme hadir hanya untuk
menyuguhkan orientasi hidup manusia berwatak Iblis, dengan segala dampak
buruknya. 63
C. Teori Humanisme
Humanisme yang berkembang dalam agama Kristen dan Islam memiliki
keterkaitan yang bisa dibilang cukup banyak dan sangat mencolok. Setidaknya,
tokoh-tokoh dari kedua belah pihak (Kristen dan Islam) banyak yang memiliki
sudut pandang yang sama dalam merepresentasikan humanisme, termasuk
diantaranya keterikatan dalam sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan hingga
perkembangan sastra.
61
Terj. Sangat iri, sangat jahat perilakunya dan memiliki firasat hati yang buruk, sangat menggambarkan, sangat merasakan, dan sangat murah hati dengannya!
62A.J. Arberry, Mystical Poems of Rumi (Chicago: Chicago University Press, 2009), hal. 37. 63Anwar WMK, ―Kanopi Kebudayaan,‖ Jurnal Bayan (Vol. IV, No. 2, 2015), hal. 50-51.
41
―The representatives of humanism in both cultures were divided into amateurs and professionals, with the same posts, functions and occupations: secretaries, chancellors, tutors, boon companions and so on. The positions occupied by al-Qadi ‗I-Fadil al-Baisani in the court of Saladin are those occupied later by Piero della Vigna, in the court of Frederick II. Both secretaries of State had the same relationship with their sovereign and played the same role, Baisani holding the key to the heart of Saladin, as Dante said Piero held the key to the heart of Frederick II; and the relations of Frederick and his royal court, with al-Kamil and his royal court, are well known.
64”
65
Lebih lanjut, Kuntowijoyo memiliki perspektif bahwa humanisme sejatinya
terekam langsung dalam al-Qur‘an. Jadi menurut al-Qur‘an pun ilmu itu bukannya
dua macam, kauniyah (ilmu-ilmu alam, nomotetic) dan qauliyah (ilmu-ilmu al-
Qur‘an, theological) seperti yang biasa dipersepsikan selama ini. Namun, yang
ketiga itu nafsiyah yang berkenaan dengan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu
nafsiyah inilah yang disebut dengan sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan,
hermeneutical).
―Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri‖ (QS. Fushshilat, 41: 53)
Ilmu mengenai manusia (anfusihim) inilah yang kemudian dijadikan
legitimasi bahwa al-Qur‘an mengakomodir sudut pandang humanisme. Untuk itu,
64
Terj. Representasi humanisme dalam kedua lingkungan dibagi menjadi amatir dan profesional, dalam tingkat yang sama, fungsi dan jabatannya: sekretaris, kedutaan, tutor, sales, dlsb. Penempatan posisi tersebut diatur oleh al-Qadi ‗I-Fadil al-Baisani di pengadilan Saladin yang nantinya akan ditempati oleh Piero della Vigna, di pengadilan Frederick II. Kedua, sekretaris negara memiliki hubungan yang sama dengan rajanya, dan memiliki peran yang sama, Baisani berharap memiliki kunci bagian tengah dari Saladin, seperti yang pernah diucapkan Dante kepada Piero bahwa dirinya menginginkan kunci bagian tengah dari Frederick II. Frederick II dan raja pengadilannya, dengan Kamil dan raja pengadilannya telah diketahui memiliki hubungan yang baik.
65George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990), hal. 351.
42
Kuntowijoyo menginginkan perkembangan ilmu nafsiyah yang tidak terlepas dari
agama, sehingga dengan begitu bisa at home didalamnya.66
Kuntowijoyo mengakui, seperti yang banyak diketahui oleh khalayak bahwa
ada upaya semacam manipulasi terhadap ilmu humaniora (humanisme) ke arah
hegemoni Barat atas Islam, terbukti dalam buku Edward Said, Orientalism
(Harmondsword: Penguin, 1978).
Dalam buku The Strukture of Scientific Revolution Thomas S. Kuhn
(Chicago: The University of Chicago Press, 1970) mengatakan ilmu-ilmu yang
ada, yang sudah menjadi paradigma (normal science) sedang mengalami krisis,
lalu timbul apa yang disebut revolusi ilmu. Selanjutnya ilmu yang memberontak
itu menjadi sebuah paradigma baru. Hal ini pula yang terjadi dalam konsep
humanisme sebagai suatu kajian keilmuan.
Jaquet Maritain membagi humanisme ke dalam dua kelompok, yaitu
humanisme teosentris (theocentric humanism) dan humanisme antroposentris
(anthropocentric humanism).67
Humanisme antroposentris tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-politik
pemikir Barat pada saat itu, saat kecenderungan rasionalisme para tokoh Barat
66Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika (Jakarta: Penerbit
Teraju, 2004), hal. 27. 67Jaquet Maritain, Integral Humanism: Temporal And Spiritual Problem of a New Christen
Don, terj. Joseph W. Evan (USA: University of Rorte Dome, 1973), hal. 37.
43
yang melahirkan Renaisans. Renaisans sendiri merupakan gerakan terhadap
kesadaran diri atas keterkungkungan mitologi dan dogma.68
Kebanyakan humanis Barat atau antroposentris menganggap bahwa manusia
seharusnya memiliki satu kehidupan yang diisi dengan kreatifitas dan
kebahagiaan, yang tidak membutuhkan persetujuan ataupun dukungan dari entitas
supranatural manapun, dimana entitas supranatural sama sekali tidak ada.
Manusia dengan kecerdasan dan saling bekerjasama, dapat membangun sebuah
kedamaian dan keindahan di muka bumi ini.
Dari definisi humanisme di atas, para humanis menganggap bahwa manusia
adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam
kehidupannya. Di Eropa, sudut pandang ini pada hakikatnya telah melahirkan,
bahkan memperkuat, pandangan materialisme yang berujung pada pencarian
kenikmatan hidup (hedonisme) yang menciptakan absurdisme hingga merasuki
seluruh bidang ilmu seperti seni, sastra dan filsafat.
Meskipun harus diakui tidak semua corak humanisme mengarah pada
ateisme, tetapi secara prinsipil humanisme –sebagai anak kandung modernisme—
menempatkan kedaulatan manusia pada taraf yang tinggi.69
Sementara itu, Humanisme teosentris sebagai humanisme-religius
bersumber dari ajaran Islam. Nurcholish Madjid menilai dasar humanisme Islam
bertolak dari ikatan manusia dengan Sang Pencipta, atau suatu perjanjian
68M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy: With Short Accounts of Other
Disciplines and the Modern Renaissance in Muslims Lands, Vol II, (Weisbaden: Otto Harrasowitz, 1966), hal. 1625.
69Muhammad Anis, ―Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan”, hal. 144.
44
primordial antara makhluk dengan Tuhannya70. Hal tersebut menurut Iqbal
disebut sebagai puncak realitas (the Ultimate Reality).71
Humanisme religius sama seperti yang dikembangkan Muhammad Iqbal
bahwa humanisme Islam meliputi tiga hal; prinsip kebebasan (liberty),
persaudaraan (fraternity), dan persamaan (equality). Ketiga prinsip tersebut
merupakan inti ajaran Islam. Selanjutnya Iqbal menjelaskan bahwa intisari tauhid
adalah persamaan, solidaritas, dan kebebasan.72
Humanisme teosentris menjadikan Tuhan sebagai pusat manusia dengan
pandangan dasar bahwa manusia memperoleh keistimewaan dari Tuhan berupa
kemampuan akal pikiran sehingga manusia diberi keleluasaan untuk mengatur
alam ini. Dalam hal ini manusia diangkat Tuhan sebagai khalifah-Nya di muka
bumi. Berbeda dengan humanisme antroposentris yang menjadikan manusia
sebagai pusat segala sesuatu bahkan tidak meyakini kekuatan lain selain manusia
itu sendiri.
Humanisme teosentrisme sendiri tidak menyangkal bahwa manusia
memiliki tugas untuk membangun kembali gambaran ilmiah dari realitas obyektif.
Terlebih untuk ikut campur didalamnya dan menciptakan suatu tatanan moral
70
Nurcholish Madjid, Humanisme Islam [database on-line] (nurcholishmadjid.org, 2017); tersedia di http://nurcholishmadjid.org/; Internet; diunduh Juni 2017.
71Nurcholish Madjid, The Islamic Concept of Man and Its Implications for the Muslims‟
Appreciation of the Civil and Political Right, seminar on Enriching the Universalities of Human
Rights: Islamic Perspectives on the Universal Declaration of Human Right, (Geneva, 9-10 November 1998), hal. 4.
72 Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Asyraf Publication, 1971), hal. 154.
45
yang berdasarkan pengetahuan ilmiah. Aktivitas ini –membangun gambaran
ilmiah dari realitas obyektif—tidak bisa berlangsung tanpa struktur ilmiah.73
Struktur ilmiah kaitannya dengan hal ini sama seperti ungkapan bahwa „aql
(penalaran ilmiah) tanpa „isyq (kretivitas moral positif) adalah perbuatan setan
yang sesat (pemikir Barat banyak yang terjerumus ke dalam hal tersebut).
Sementara „isyq tanpa „aql bukan hanya merupakan sesuatu yang steril tetapi
bahkan sesuatu yang jelas sekali merupakan penipuan terhadap diri sendiri (orang
muslim cenderung melakukan hal demikian lantaran mengaplikasikan selama
beberapa abad terakhir).
―Kami tawarkan amanat ini kepada langit bumi dan gunung-gunung tetapi mereka enggan memikulnya dan enggan melakukannya karena takut, tetapi manusia memikulnya –sesungguhnya ia teramat bodoh‖ (QS. Al-Ahzab, 33 : 72)
Sehingga dengan pemahaman seperti itu, akan nampak al-Qur‘an seperti
yang diyakini Fazlur Rahman, tentang karakter al-Qur‘an yang memiliki dimensi
ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme).74
Untuk itu, satu hal yang juga perlu dijelaskan adalah bagaimana
kecenderungan humanisme Barat dan humanisme dalam perspektif Islam.
Mengurai perbedaan sudut pandang dan memahami perspektif yang dibangun
antara humanisme Barat dan humanisme Islam akan banyak membantu pembaca
agar tidak memiliki pandangan yang eksklusif –menganggap semua yang berasal
73Taufiq Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur
Rahman(Bandung: Penerbit Mizan, 1994), hal. 82. 74Abdullah Saeed, al-Qur‟an Abad 21, Tafsir Kontekstual (Bandung, Penerbit Mizan,
2016), hal. 92.
46
dari ilmu pengetahuan (khususnya ilmu yang berkembang dari Barat) sebagai
sesuatu yang buruk.
Dalam perkembangan ilmu sosial, paradigma baru struktur ilmiah itu
meliputi Ilmu Sosial Barat yang digugat oleh Marxisme Ortodoks, Marxisme
Ortodoks digugat oleh Marxisme Barat (Italia, Prancis, Jerman). Sementara itu,
Filsafat ilmu sosial Barat menekankan idealisme dan Marxisme Ortodoks
menekankan materialisme. Marxisme Ortodoks digugat Marxisme Barat dalam
strategi perubahan; Marxisme Ortodoks menggunakan jalan revolusi, sedangkan
Marxisme Barat melalui jalan demokrasi.75
Kaitannya dengan humanisme, setidaknya Kuntowijoyo memiliki perbedaan
yang cukup signifikan antara humanisme Barat dan humanisme Islam.
Kecenderungan tersebut nampak misalnya, Ilmu Barat (modern) bersumber dari
akal pikiran yang mengarah pada etika humanisme melalui proses sejarah
deferensiasi dan bermuara pada ilmu sekuler atau otonom.
Sedangkan Ilmu Islam berada pada periode pasca-modern yang bersumber
dari wahyu dan akal pikiran, mengarahkan etika humanisme teosentris secara
bertahap melalui proses sejarah dediferensiasi dan menjadi ilmu yang
integralistik.
D. Penafsiran Klasik dan Modern Terhadap Ayat-ayat Humanisme
Beberapa penafsir klasik dan modern memilik corak pandang beragam
terhadap ayat-ayat humanisme. Ayat-ayat humanisme dalam skripsi ini
75Kuntowijoyo, ―Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika‖, hal. 60-61.
47
merupakan ayat-ayat dalam al-Qur‘an yang dimaksud oleh Nurcholish Madjid
sebagai perjanjian primordial antara makhluk dan Tuhannya. Untuk itu, akan
dipaparkan tafsir dari Ibn Katsir dan Tafsir al-Misbah tentang nilai-nilai
humanisme yang terdapat pada (Surat al-A‘raf ayat 172, Surat al-Ahzaab ayat 72,
Surat al-Luqman ayat 25, Surat Fushilat ayat 53, Surat ad-Dzaariyaat ayat 20-21
dan Surat Yasin ayat 60).
1. Tafsir Ibnu Katsir
فسهى أنسث بسبكى وإذ أخ ظهىزهى ذزيحهى وأشهدهى عهى أ ي آدو ي ب ر زبك ي
هرا غبفهي ب ع ب ك جمىنىا يىو انميبية إ ب أ لبنىا بهى شهد
―Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : ‗Bukankah Aku ini Rabbmu?‘ mereka menjawab : ‗Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi, (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : ‗Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)‖ (QS. Al-‗A‘raf, 7 : 172)
Allah Ta‘ala telah memberitahu dan mengeluarkan anak keturunan Adam
dari tulang sulbi dan dalam keadaan bersaksi bahwa Allah adalah Rabb dan
penguasa mereka. Disebutkan dalam Shahih al-Bukhori dan Shahih Muslim
bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. –dalam riwayat lain disebutkan: ‗Dalam keadaan memeluk agama ini.‘—Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,Nasrani atau Majusi. Sebagaimana seekor binatang dilahirkan dalam keadaan utuh (sempurna), apakah kalian mendapatinya dalam keadaan terpotong (cacat)?‖
Sementara itu dalam Shahih Muslim dari ‗Iyadh bin Himar berkata bahwa
Rasulullah Saw. pernah bersabda:
48
―Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus). Maka datanglah setan-setan kepada mereka, lalu menyimpangkan mereka dari agamanya dan mengharamkan bagi mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.‖
Ada pula hadits tentang keturunan manusia dari tulang sulbi Adam as. yang
dibedakan menjadi ash-haabul yamiin dan ash-haabusy syimal (golongan kanan
atau Surga dan golongan kiri atau Neraka). Dalam Shahih al-Bukhori dan Shahih
Muslim misalnya:
―Ditanyakan kepada salah seorang penghuni Neraka pada hari Kiamat kelak: ‗Bagaimana pendapatmu jika engkau mempunyai sesuatu di atas bumi, apakah engkau bersedia untuk menjadikannya sebagai tebusan?‘ maka ia menjawab: ‗Ya, bersedia.‘ Kemudian Allah berfirman: Sesungguhnya Aku telah menghendaki darimu, sesuatu yang lebih ringan dari itu. Aku telah mengambil perjanjian darimu ketika masih berada di punggung Adam, yaitu agar engkau tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, tetapi engkau menolak, dan tetap mempersekutukan-Ku.‖
Beberapa ulama Salaf dan Khalaf mengindikasikan bahwa maksud dari
pengambilan kesaksian itu berkaitan dengan penciptaan mereka atas fitrah
tauhid.76
بوات ة عهى انس ب عسضب انؤيب إ هب وأشفم ه يح أ وانؤزض وانجببل فؤبي
ظهىيب جهىنب ه كب إ سب ههب انإ هب وح ي
―Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.‖ (QS. Al-Ahzaab, 33 : 72)
Al-‗Aufi berkata dari Ibnu ‗Abbas bahwa yang dimaksud dengan ―amanat‖
merupakan ketaatan yang kemudian diterima oleh Adam. Ali bin Abi Thalhah
berkata pula dari Ibnu ‗Abbas bahwa yang dimaksud ―amanat‖ adalah sebuah
76Abdullah bin Abdurrahman Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, Jil. III (Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, 2008), hal. 475-478.
49
kewajiban-kewajiban yang ditawarkan oleh Allah SWT dan diterima oleh Adam
as.77
Sementara itu, Malik meriwayatkan bahwa Zaid bin Aslam berkata: Amanat
itu tiga; shalat, puasa dan mandi besar.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin ‗Amr bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
―Empat hal, jika ada pada dirimu, maka tidak membahayakanmu dunia yang luput darimu; menjaga amanat, jujur dalam tutur kata, berakhlak baik dan menjaga diri dalamkesucian.‖
د نهه بم أكثسهى نب انهه لم انح بوات وانؤزض نيمىن خهك انس سؤنحهى ي ونئ
ى يعه
―‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?‘, niscaya mereka menjawab, ‗Allah.‘Katakanlah:‘Segala puji bagi Allah‘:tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui‖ (QS. Luqman, 31 : 25)
Dalam ayat ini Allah SWT mengabarkan pada orang-orang musyrik bahwa
sebenarnya mereka mengetahui Allah pencipta langit dan bumi Yang Mahaesa,
tidak ada sekutu bagi-Nya. Disamping itu mereka menyembah sekutu-sekutu
bersama-Nya yang mereka akui bahwa Dia-lah yang menciptakan dan
memilikinya.78
ه انحك أونى يكف بسبك أ نهى أ فسهى ححى يحبي ب في انآفبق وفي أ ه سسيهى آيبج
عهى كم شيء شهيد
77Alu Syaikh, ―Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir”, Jil. VII, hal. 347-349. 78Alu Syaikh, ―Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir”, Jil. VII, hal. 214.
50
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk (al-afaq) dan pada diri mereka sendiri (anfusuhim), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur‘an itu benar.‖ (QS. Fushilat, 41 : 53)
Mujahid, al-Hasan dan as-Saudi mengatakan: ―Bukti-bukti pada diri mereka
sendiri adalah perang Badar, pembebasan kota Makkah dan kejadian-kejadian
lainnya yang menampakkan pertolongan Allah kepada Muhammad Saw. dan para
sahabatnya, serta menghinakan kebathilan dan golongannya. Bisa jadi yang
dimaksud dalam ayat tersebut merupakan kondisi fisik manusia, struktur dan
susunannya berupa bahan-bahan, campuran dan bentuk-bentuk aneh yang terdapat
dalam dirinya, seperti dalam ilmu anatomi yang menunjukkan kebijaksanaan
Mahapencipta.
Demikian pula akhlak-akhlak yang saling berbeda yang tercipta dalam diri
mereka, berupa baik atau buruk, seluruh aktivitas yang berada dalam ketentuan
takdir yang tidak mampu dilakukan dengan kemampuan, kekuatan, kehebatan dan
kekhawatirannya.
Ibnu Abid Dun‘ya dalam kitabnya at-Tafakkur wa al-I‘tibaar dari gurunya,
Abu Ja‘far al-Qurasyi, dia berkata:
―Jika engkau memandang karena ingin mengambil pelajaran, pandanglah dirimu. Karena pada dirimu terdapat pelajaran. Engkau yang hidup pagi dan petang di dalam dunia, semuanya mengandung pelajaran. Engkau yang dibina di waktu kecil kemudian mandiri di waktu besar. Engkaulah makhluk yang kematiannya diberitahukan oleh bentuk kejadiannya, diberitahukan oleh rambut dan kulit kasar. Engkau yang diberi dan ditolak, tidak ada yang menyelamatkannya walaupun penuh waspada. Engkau yang tidak berhak memiliki sesuatu sedikitpun dan yang paling dimiliki oleh takdir.‖79
ي ىل 0وفي انؤزض آيبت نه فسكى أفهب جبصسو وفي أ
79Abdullah bin Abdurrahman Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, Jil. VIII
(Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, 2008), hal. 265-267.
51
―Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memerhatikan?‖ (QS. Adz-Dzaariyaat, 51 : 20-21)
Maksudnya, di dalam bumi itu terdapat berbagai tanda yang menunjukkan
keagungan Penciptaannya dan kekuasaan-Nya yang sangat jelas berupa
bermacam-macam tumbuhan, binatang, hamparan bumi, gunung, tanah kosong,
sungai, lautan dan berbagai macam bahasa dan warna kulit umat manusia, serta
sesuatu yang telah ditakdirkan berupa keinginan dan kekuatan. Dan apa yang
terjadi diantara mereka berupa perbedaan tingkat dalam hal pemikiran,
pemahaman, dinamika kehidupan, kebahagiaan, kesengsaraan, dan hikmah yang
terdapat dalam anatomi tubuh mereka, yaitu dalam menempatkan setiap anggota
tubuh dari keseluruhan tubuh mereka pada tempat yang benar-benar mereka
perlukan.
Sementara itu, Qatadah mengemukakan bahwa barang siapa bertafakkur
(memikirkan) penciptaan dirinya sendiri, maka ia akan mengetahui bahwa dirinya
itu hanya diciptakan dan dilenturkan persendiannya semata-mata untuk
beribadah.80
ه نكى عدو يبي إ نب جعبدوا انشيطب ي آدو أ أنى أعهد إنيكى يب ب
“Bukankah Aku telah mengikat janji dengan kalian, wahai anak Adam bahwa kalian tidak akan menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.‖ (QS. Yasin, 36 : 60)
Ayat ini merupakan ejekan dari Allah Ta‘ala pada orang-orang kafir dari
golongan Bani Adam yang mentaati setan. Padahal setan itu adalah musuh yang
80Abdullah bin Abdurrahman Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, Jil. IX (Jakarta
: Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, 2008), hal. 146.
52
nyata bagi mereka, serta bermaksiat pada Allah Yang Mahapemurah. Dia-lah
yang menciptakan mereka dan memberikan rizki pada mereka. 81
2. Tafsir al-Misbah
فسهى أنسث بسبكى ظهىزهى ذزيحهى وأشهدهى عهى أ ي آدو ي ب وإذ أخر زبك ي
هرا غبفهي ب ع ب ك جمىنىا يىو انميبية إ ب أ لبنىا بهى شهد
―Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : ‗Bukankah Aku ini Rabbmu?‘ mereka menjawab : ‗Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi, (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : ‗Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)‖ (QS. Al-‗A‘raf, 7 : 172)
Ayat di atas dijelaskan dalam Tafsir al-Misbah sebagai pengingkaran janji
kaum musyrik yang telah mempersekutukan Tuhan sebagaimana Bani Israil.
Meskipun Bani Israil sendiri menolak telah mempersekutukan Tuhan. Hubungan
erat yang terdapat di sini adalah pengingkaran janji dan penyampaian tuntutan
Allah melalui rasul dan kitab-Nya yang bisa dibaca.
Al-Baqa‘i sendiri menghubungkan ayat tersebut dengan perjanjian yang
sifatnya khusus bagi Bani Israil. Sementara masih ada perjanjian-perjanjian yang
sifatnya umum yang mencakup seluruh putra-putri Adam. Perjanjian khusus Bani
Israil diantaranya ketika diingatkan bahwa Allah telah mengangkat bukit ke atas
mereka sambil memerintahkan apa yang diperintahkan Tuhan dalan Taurat.
Adapun perjanjian umum tersebut adalah ketika Tuhan mengeluarkan putra-putri
Adam dari tulang punggung atau sulbi orang tua mereka. Hal demikian agar
putra-putri Adam di hari kiamat tidak mengingkari keesaan Tuhan dengan
81Alu Syaikh, ―Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir”, Jil. VIII, hal. 29.
53
mengatakan: Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap
keesaan Tuhan.
Kata akhadza menurut Thabathaba‘i mengisyaratkan adanya pemisahan dari
sesuatu sehingga yang diambil itu terpisah dari asalnya, serta menunjukkan
adanya kemandirian yang diambil. Baru setelah mengambil dan menjadikan
masing-masing mandiri, Allah mempersaksikan mereka tentang keesaan-Nya
melalui potensi yang mereka miliki serta bukti-bukti keesaan yang Dia
hamparkan.82
هب وأشفم ه يح أ بوات وانؤزض وانجببل فؤبي ة عهى انس ب عسضب انؤيب إ
ظهىيب جهىنب ه كب إ سب ههب انإ هب وح ي
―Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.‖ (QS. Al-Ahzaab, 33 : 72)
Dalam Tafsir al-Misbah, menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan
ilustrasi berupa tawaran Tuhan yang bukan suatu pemaaksaan. Tentu saja yang
ditawari itu dinilai mampu untuk mengemban tugas. Sebagian ulama menganggap
bahwa Tuhan yang menawarkan pada langit, bumi dan gunung-gunung itu
merupakan pertanda bahwa mereka sebenarnya bukanlah makhluk yang bisa
memikul amanah dari Tuhan.
Ibn ‗Asyur cenderung memahami kata amanah pada ayat tersebut dalam arti
hakiki, yakni apa yang diserahkan kepada seseorang untuk dipelihara dan
82 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. V (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 292-294.
54
ditunaikan sebaik mungkin, serta menghindari segala bentuk penyia-nyiaannya
secara sengaja maupun lupa.
Sementara itu Thabathaba‘i menyatakan bahwa apapun yang dimaksud
dengan amant, ia pada hakikatnya adalah sesuatu yang dititipkan kepada orang
lain untuk dipelihara dan kemudian dikembalikan pada penitipnya. Berarti Allah
menitipkan pada manusia untuk kemudian harus dikembalikan kepada-Nya.83
د نهه بم أكثسهى نب انهه لم انح بوات وانؤزض نيمىن خهك انس سؤنحهى ي ونئ
يعه ى
―‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?‘, niscaya mereka menjawab, ‗Allah.‘Katakanlah:‘Segala puji bagi Allah‘:tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui‖ (QS. Luqman, 31 : 25)
Ayat tersebut,Tafsir al-Misbah menuturkan sikap kekeraskepalaan kaum
musyrikin dalam mempertahankan kedunguannya meskipun tidak memiliki
pegangan. Allah melalui ayat tersebut melukiskan kebodohan dan inkonsistensi
kaum musyrikin. Anehnya, ketika mereka ditanya siapa yang menciptakan langit
yang berlapis-lapis? niscaya mereka akan menjawab ―Allah‖.
Sedangkan perintah mengucapkan alhamdulillah dianggap oleh Al-Qurtubhi
dalam arti pujian atas hidayah-Nya, sehingga nabi umat Islam mengesakan Allah
dan mengikuti agama-Nya. 84
ه انحك أونى يكف بسبك أ نهى أ فسهى ححى يحبي ب في انآفبق وفي أ ه سسيهى آيبج
عهى كم شيء شهيد
83Shihab, ―Tafsir al-Misbah”, Vol.XI, hal. 331-333. 84Shihab, ―Tafsir al-Misbah”, Vol.XI, hal. 148-149.
55
―Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk (al-afaq) dan pada diri mereka sendiri (anfusuhim), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur‘an itu benar.‖ (QS. Fushilat, 41 : 53)
Tafsir al-Misbah mengungkapkan bahwa ayat di atas merupakan ancaman
bagi pendurhaka yang mengingkari kebenaran al-Qur‘an. Bahkan, lewat ayat itu
diajaklah untuk kembali berpikir dan merenungkan al-Qur‘an serta menjanjikan
bantuan bagi siapa saja yang berpikir secara objektif.
Allah berfirman: Apakah mereka tidak menggunakan pikiran mereka untuk
memahami bukti-bukti yang terdapat dalam al-Qur‘an sendiri dan apakah belum
cukup bahwa Tuhan Pemelihara dan Pembimbing-mu wahai Nabi?
Pada masa Nabi Muhammad Saw. termasuk ayat-ayat yang dijanjikan oleh
ayat ini untuk dipelihara antara lain peristiwa kemenangan dalam peperangan
beliau hingga menewaskan tokoh-tokoh kau musrikin.
Sementara itu, ayat-ayat dari segala ufuk dan dari mereka yang
diperlihatkan Allah itu merupakan rahasia-rahasia alam serta keajaiban ciptaan-
Nya. Sayyid Quthub memilih bahwa Allah telah membuktikan kebenaran janji-
Nya. Allah telah mengungkap buat manusia ayat-ayat-Nya di ufuk sepanjang
empat belas abad sejak penyampaian janji. Dia telah mengungkap ayat-ayat-Nya
yang terdapat pada diri manusia dan hingga kini Allah masih mengungkapnya
karena setiap saat lahir suatu penemuan hakikat baru yang belumdikenal
sebelumnya.
56
Quraish Shihab mengungkapkan bahwa penggunaan bentuk jamak yang
menunjukkan pada Allah mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam hal yang
dibicarakan. 85
ي ىل 0وفي انؤزض آيبت نه فسكى أفهب جبصسو وفي أ
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memerhatikan?‖ (QS. Adz-Dzaariyaat, 51 : 20-21)
Allah telah bersumpah demi langit serta hal-hal yang ada dilangit sebagai
bukti kuasa-Nya. Disamping itu ada pula tanda-tanda kuasa Allah pada diri
manusia itu sendiri, maka tidakkah manusia melihat ayat-ayat itu dengan mata
kepala dan hati?
Diantara bukti-bukti keesaan Allah yang terdapat di bumi termasuk sistem
kerja bumi dan keseimbangan yang terdapat di dalamnya, disamping keindahan
dan kelanggengannya, kesemuanya terjadi secara berulang-ulang yang menampik
dugaan kebetulan. Kesemuanya terjadi dengan teratur dan konsisten. Tafsir al-
Misbah juga menyebutkan jika saja Tuhan ada dua, maka keharmonisan dan
kesinambungan tidak mungkin terjadi.
Bukti lainnya adalah kejadian manusia yang sangat unik dan organ-organ
tubuhnya yang demikian serasi tapi kompleks. Tingkah laku yang sangat rumit
yang hingga kini masih menimbulkan banyak tanda tanya tentang manusia.
85 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. XII (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 440-
441.
57
―Hai manusia engkau mengira dirimu benda yang kecil, padahal dalam
dirimu terkandung alam yang amat besar‖, demikian diungkapkan sastrawan Arab
yang sangat masyhur. 86
ه نكى عدو يبي إ نب جعبدوا انشيطب ي آدو أ أنى أعهد إنيكى يب ب
―Bukankah Aku telah mengikat janji dengan kalian, wahai anak Adam bahwa kalian tidak akan menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.‖ (QS. Yasin, 36 : 60)
Ayat tersebut ditunjukan oleh orang-orang musyrikin dan para pendurhaka,
meskipun begitu dalam ayat itu menggunakan nama putra-putri Adam. Suatu hal
yang dimaksudkan untuk mengingatkan pesan yang telah ditujukan sejak dahulu,
kepada semua putra-putri Adam yang pertama hingga yang terakhir.
Adapula pesan untuk mengingatkan semua pihak bahwa permusuhan antara
setan dengan manusia telah mengakar jauh, sehingga tidak mungkin akan sirna
atau berkurang. Allah telah mengingatkan manusia dalam Surat al-‗A‘raf ayat
172.
Tampak jelas permusuhan setan pada manusia. Hal itu bisa disadari oleh
siapapun yang memperhatikan dampak buruk dari rayuan dan bisikannya. Semua
yang dilarang Allah lalu dilakukan oleh manusia, maka di sana akan ditemukan
rayuan setan. Padahal, semua yang dilarang Allah membawa dampak buruk bagi
manusia.
86 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. XIII (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 334-
335.
58
Kejadian yang terjadi berulang-ulang tersebut mengindikasikan bagi siapa
pun yang berfikir bahwa memang setan musuh yang sangat jelas.87
87 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.XI (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 562.
59
BAB IV
PENAFSIRAN DAN PEMAHAMAN AYAT HUMANISME MURTADA
MUTAHHARI
A. Penafsiran Ayat Humanisme Murtada Mutahhari
Perspektif Mutahhari dalam menafsirkan ayat-ayat humanisme banyak
ditemukan dalam beberapa literatur. Banyak tulisan Mutahhari yang mengkritik
permasalahan sosial masyarakat dan mengandung muatan-muatan humanisme.
Diantara sekian banyak karya Mutahhari yang bisa dijadikan rujukan dalam
meniti unsur-unsur humanisme adalah; Manusia dan Agama: Membumikan Kitab
Suci. Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Kita. Etika
Seksual dalam Islam. Filsafat Agama dan Kemanusiaan: Perspektif al-Qur‘an dan
Rasionalisme Islam. Filsafat Materialisme: Kritik Filsafat Islam Tentang Tuhan,
Sejarah dan Konsep Tentang Sosial Politik, serta Filsafat Moral Islam.
Beranjak dari beberapa buku itulah identifikasi ayat-ayat humanisme Islam
dalam perspektif Mutahhari akan penulis paparkan satu demi satu, diantara
pemahaman Mutahhari adalah;
فسهى أنسث بسبكى ظهىزهى ذزيحهى وأشهدهى عهى أ ي آدو ي ب وإذ أخر زبك ي
هرا غبفهي ب ع ب ك جمىنىا يىو انميبية إ ب أ لبنىا بهى شهد
―Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : ‗Bukankah Aku ini Rabbmu?‘ mereka menjawab : ‗Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi, (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : ‗Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
60
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)‖ (QS. Al-‗A‘raf, 7 : 172)
Mutahhari dalam memaknai agama meminjam istilah William James,
seorang filosof termasyhur asal Amerika dan ahli psikologi abad kedua puluh
bahwa dunia yang ditafsirkan secara keagamaan bukanlah dunia materialistis.
William James memiliki ungkapan lain, suatu susunan alami yang berbeda di
beberapa tempat dari apa yang termasuk dalam dunia materialistis.88
Lebih lanjut, adanya kecenderungan alami di dalam diri setiap manusia
menuju kebenaran-kebenaran dan wujud-wujud suci tertentu. Manusia dianggap
William James sebagai pusat dari serangkaian bakat dan kecenderungan potensial
nonmaterialistis yang bisa berkembang.
Al-Qur‘an –dalam kacamata Mutahhari—menganggap bahwa keyakinan
keagamaan sebagai unsur sifat manusia itu sendiri.89
Sementara itu, terkait ayat 172 Surat al-‗A‘raf tersebut, Mutahhari pernah
melakukan kritik terhadap teori ketakutan yang diungkapkan Russell, bahwa
agama muncul dari kelemahan dan ketidakberdayaan manusia, yaitu dari rasa
takut.
―Kepercayaan tentang adanya Tuhan dan kehidupan lain setelah mati menyebabkan kita hidup menjadi kurang berani dan terlalu berhati-hati dibanding orang-orang yang meragukannya. (Artinya, keyakinan terhadap agama mengurangi keberanian dan kekuatan kita). Banyak orang kehilangan kepercayaan mereka terhadap hukum-hukum agama dalam tahun-tahun yang disitu manusia dicekam keputusasaan. Karena itu, orang-orang yang tidak dididik dengan pendidikan agama sama sekali, pasti akan menghadapi kehidupan yang jauh lebih mencekik dan keras.
88Murtada Mutahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2007), hal. 95. 89Mutahhari, ―Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 97.
61
Di dalam agama Masehi, kita temukan firman-firman yang mendorong kita untuk tidak takut terhadap kematian atau makhluk apa pun. Akan tetapi, untuk sampai pada tingkat tersebut tidak cukup dengan sekedar mengobarkan keberanian, sementara kita melihat bahwa semangat untuk berpegang pada agama pada dasarnya melahirkan ketakutan manusia. Para pemeluk agama, tentu saja cenderung pada konsep ini, seraya menduga bahwa sebagian bentuk ketakutan itu tidak terlalu penting. Akan tetapi menurut hemat saya, mereka telah melakukan kesalahan besar. Pendapat yang mengatakan bahwa jika kita ingin menghindarkan manusia dari rasa takut maka kita mesti menguatkan pegangannya pada keyakinan-keyakinan yang kuat, tidak mungkin menjadi cara hidup terbaik. Sebab, sepanjang agama itu bernuansa takut, ia akan terur menggerogoti nilai-nilai dan martabat manusia."
Menanggapi hal tersebut, Mutahhari menganggap teori ketakutan digunakan
untuk menyerang manusia beragama. Bahwa, sejak awal –orang-orang seperti
Russel—berasumsi logika yang satu tidak mungkin muncul sebagai sumber bagi
pemikiran keagamaan. Untuk itulah teori ketakutan, ketidaktahuan dan sejenisnya
dianggap sebagai sumber agama. Padahal, betapapun manusia keliru dalam
penggunaan logika, tetap saja manusia kembali pada logika bukan pada sesuatu di
luar logika.
Lantas, jika logika telah cukup mengantarkan pada Tuhan, penyakit apa
yang menyebabkan orang harus melakukan analisis dan interpretasi lagi?
Mutahhari mengibaratkan dengan orang yang berada dalam sebuah ruangan dan
semua pintu terbuka, dengan kondisi seperti itu tidak mungkin mengatakan, ―ia
turun dari atap‖.
Mutahhari menunjukkan dalam al-Qur‘an dengan kisah Nabi Ibrahim yang
terasing dari manusia selama kurun waktu 15-16 tahun. Al-Qur‘an ingin
mengatakan bahwa manusia yang primitif sekalipun, bisa berpikir tentang adanya
yang supranatural atau Tuhan dengan logikanya.90 Bahkan, lewat intuisi manusia
mengetahui bahwa hanya ada satu Tuhan. Kalau manusia tidak percaya dan ragu,
90Mutahhari, ―Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Diri Kita‖,
hal. 135.
62
Murtada Mutahhari mengatakan hal demikian adalah abnormal dan merupakan
penyelewengan.91
هب وأشفم ه يح أ بوات وانؤزض وانجببل فؤبي ة عهى انس ب عسضب انؤيب إ
ظهىيب جهىنب ه كب إ سب ههب انإ هب وح ي
―Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.‖ (QS. Al-Ahzaab, 33 : 72)
―‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?‘, niscaya mereka menjawab, ‗Allah.‘Katakanlah:‘Segala puji bagi Allah‘:tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui‖ (QS. Luqman, 31 : 25)
Para penafsir menginterpretasikan ayat tersebut dengan dua pemahaman.
Pertama, al-Qur‘an mengatakan bahwa orang kafir meyakini Allah yang
menciptakan segala sesuatu, akan tetapi kekeliruan mereka menyekutukan Allah
dalam peribadatan. Itu menjelaskan keyakinan umum yang berlaku pada kaum
musyrik pada masa Rasulullah Saw.
Pendapat kedua, al-Qur‘an bermaksud bahwa kaum musyrik dengan akidah
yang keliru itu menyekutukan Allah, bahkan dalam hal menciptakan sesuatu.
Akan tetapi mereka tidak meyakini adanya sekutu yang sebenar-benarnya.
Berkaitan dengan masalah itu, Mutahhari mengungkapkan tiga pernyataan.
Pertama, Rasulullah Saw. bersabda: Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah,
kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau
91 Murtada Mutahhari, Filsafat Agama dan Kemanusiaan : Perspektif al-Qur‟an dan
Rasionalisme Islam (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2013), hal. 70.
63
Majusi. Mutahhari menginterpretasikan ―kedua orang tua‖ sebagai unsur-unsur
eksternal yang kemudian menyimpangkan fitrah Islam menjadi agama lain.
Pernyataan kedua disampaikan Imam Ali as dalam suatu khutbahnya, beliau
berkata, ― Kemudian Allah mengutus para Rasul-Nya ditengah mereka (manusia)
dan berturut-turut mengirimkan para nabi-Nya, agar mereka merealisasikan
perjanjian fitrah mereka, dan mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat-Nya
yang telah mereka lupakan; serta agar mereka (para rasul dan nabi) dapat berhujah
kepada manusia bahwa mereka telah menyampaikan risalah, membangkitkan
pendaman-pendaman akal mereka (manusia), dan memperlihatkan kepada mereka
(manusia) tanda-tanda kekuasaan-Nya.‖
Sementara itu, mengapa Allah mengutus para rasul secara estafet satu demi
satu? Mutahhari mengatakan justru itulah letaknya hubungan dua teori yang
disebutkan. Yaitu, apakah rasul itu diutus Allah untuk menyampaikan sesuatu
untuk pertama kalinya, ataukah datang untuk mengingatkan manusia akan janji
yang telah mereka buat—yang tersembunyi dalam watak mereka?
Tentang fitrah dalam khutbah Imam Ali tersebut diartikan bahwa para rasul
datang untuk menuntut manusia agar melaksanakan perjanjian yang dibuat.
Dengan demikian Mutahhari beranggapan para nabi tidak memulai tugas dari
tempat kosong, melainkan dengan menyalakan sesuatu yang telah ada dalam diri
manusia.
Sedangkan, Mutahhari menganggap tugas utama nabi adalah mengingatkan
fitrah manusia. Meskipun nabi juga memiliki tugas sebagai pengajar dalam al-
64
Qur‘an, namun manusia dikarunia tanggung jawab. Manusia diperintahkan Tuhan
untuk mencari nafkah dengan inisiatif dan jerih payahnya sendiri.92
Mutahhari juga menginterpretasikan ―pendaman-pendaman‖ dari khutbah
Imam Ali as sebagai upaya para nabi yang diutus Allah untuk memperlihatkan
kepada manusia bahwa didalam pendaman (atau simpanan) roh dan akal mereka
terdapat ―harta kekayaan‖ yang telah mereka (manusia) lupakan.
―Membangkitkan pendaman-pendaman akan mereka‖ berarti membongkar harta
yang terdalam itu dan membangkitkan keheranan dalam diri mereka akan adanya
harta terpendam itu.
Dalam hal itu Mutahhari menafsirkan ungkapan Imam Ali as dari kata
―pendaman-pendaman‖ atau dafa‟in sebagai harta yang dipendam dalam tanah,
bukan dengan maksud agar harta itu rusak, melainkan agar tidak dilihat orang.
Pemiliknya menutupinya dengan tanah agar orang lain yang melewatinya tidak
mengetahuinya.93
Dalam ayat tersebut, Mutahhari menyebut kepribadian manusia itu
independen dan merdeka. Sebagai khalifah (wakil) yang diangkat Tuhan sehingga
memiliki misi dan tanggung jawab. Untuk itu, manusia dituntut untuk
memperbaiki bumi dengan cara dan prakarsanya. Manusia juga diberi kebebasan
memilih antara kebahagiaan atau kesengsaraan.94
92Mutahhari, ―Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 131. 93Mutahhari, ―Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Diri Kita‖,
hal. 177-179 94Mutahhari, ―Filsafat Agama dan Kemanusiaan : Perspektif al-Qur‘an dan Rasionalisme
Islam‖, hal. 71-72.
65
ه انحك أونى يكف بسبك أ نهى أ فسهى ححى يحبي ب في انآفبق وفي أ ه سسيهى آيبج
عهى كم شيء شهيد
―Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk (al-afaq) dan pada diri mereka sendiri (anfusuhim), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur‘an itu benar.‖ (QS. Fushilat, 41 : 53)
ي ىل 0وفي انؤزض آيبت نه فسكى أفهب جبصسو وفي أ
―Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memerhatikan?‖ (QS. Adz-Dzaariyaat, 51 : 20-21)
Mutahhari menyebut ada dua kategori ayat dalam al-Qur‘an. Ayat-ayat
afaqiyah, merupakan ayat yang berbicara tentang hal-hal yang berada di luar diri
manusia seperti gunung, lautan, tumbuhan, bumi, bintang-gemintang dan lain
sebagainya. Dan ayat-ayat anfusiyah yang merupakan ayat-ayat terkait di dalam
kalbu dan batin manusia. Mutahhari beranggapan bahwa ayat-ayat anfusiyah lebih
banyak ketimbang ayat-ayat afaqiyah.
Al-Qur‘an sendiri menyebut jiwa manusia termasuk sumber khas
pengetahuan. Disebutkan pula seluruh alam raya ini manifestasi Allah,
didalamnya terdapat tanda-tanda untuk mengunkap dan mencapai kebenaran.
Mutahhari beranggapan bahwa al-Qur‘an mendifinisikan dunia eksternal sebagai
al-ayat dan dunia intenal sebagai jiwa. Mutahhari menyebut Surat Fushilat ayat 53
sebagai sumber kepustakaan Islam.95
Mutahhari juga tak segan-segan mengutip pendapat Kant berkaitan dengan
jiwa manusia tersebut, Kant berkata: ―Ada dua hal yang memenuhi pikiran dengan
95 Mutahhari, ―Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 125.
66
keajaiban yang senantiasa bertambah dan yang semakin sering menarik pikiran ke
arahnya: langit yang bertabur bintang di atasku dan hukum moral dalam diriku.‖
Selanjutnya pada ayat berikutnya, para rasul diutus mengingatkan manusia
atas risalah Allah yang telah melengkapi mereka dengan pengetahuan, sehingga
kelak mereka tidak memiliki alasan (jika ditanyakan tentang risalah yang
disampaikan para rasul). Dua ayat diatas, Mutahhari menegaskan risalah yang
disampaikan para rasul itu terkait erat dengan sesuatu yang berada dalam diri
manusia, seperti akal pikiran untuk mengembangkan pengetahuan.96
ه نكى إ نب جعبدوا انشيطب ي آدو أ أنى أعهد إنيكى يب ب عدو يبي
―Bukankah Aku telah mengikat janji dengan kalian, wahai anak Adam bahwa kalian tidak akan menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.‖ (QS. Yasin, 36 : 60)
Mutahhari menganggap ayat ini berkaitan dengan perjanjian antara Allah
dengan anak Adam, perjanjian dengan seluruh umat manusia. Allah meminta janji
seluruh umat manusia bahwa mereka tidak akan menyembah setan. Menyembah
setan yang dimaksud tentunya adalah tidak mengikuti jalan setan, sehingga
manusia menyembah Allah dengan mengikuti risalah-Nya yang lurus dan
mengantarkan mereka pada kebahagiaan.97
B. Kebebasan Menurut Murtada Mutahhari
Mutahhari dalam menginterpretasi kebebasan yang dihubungkan dengan
qadha dan qadar ilahi. Ia mempertanyakan apakah dalam kasus keumumannya,
96Mutahhari, ―Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Diri Kita‖, hal. 180.
97Mutahhari, ―Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Diri Kita‖, hal. 182.
67
dimana posisi kebebasan manusia dan kehendak bebas? Apakah qadha dan qadar
ilahi menjadi umum dan mencakup semuanya dan bagi manusia memiliki peran
bebas disaat yang sama? Jawabannya adalah, iya. Dari sudut pandang Islam, iman
dan kepercayaan pada Tuhan itu setara dengan kebebasan manusia dan kehendak
bebas. Meskipun, keagungan Tuhan meliputi segalanya, melalui al-Qur‘an Tuhan
membela kebebasan manusia.
―Bukanlah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya, karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. Al-Insaan, 76 :1-3)‖
Pada tataran kebebasan inilah, Mutahhari mengkritik Jean Paul Sartre
lantaran mendasarkan filsafatnya pada pilihan, kehendak bebas dan kebebasan,
sehingga menolak Tuhan. Sartre berkata: Karena saya percaya dan beriman pada
kebebasan, saya tidak bisa percaya dan beriman kepada Tuhan, karena jika saya
menerima Tuhan, saya elalu harus menerima nasib, dan jika saya menerima nasib,
saya tidak bisa menerima kebebasan individu, dan karena saya ingin menerima
kebebasan dan saya menyukainya dan mengimaninya, saya tidak bisa beriman
kepada Tuhan.98
Pandangan filsuf abad kedua puluh seperti Sartre telah membayangkan
bahwa mereka bisa bebas jika menolak Tuhan. Dalam kasus ini, mereka
memutuskan hubungan kehendak dari masa lalu dan masa kini. Padahal,
Mutahhari beranggapan dengan menerima Tuhan disaat bersamaan
98
Murtada Mutahhari, Filsafat Materialisme : Kritik Filsafat Islam tentang Tuhan, Sejarah
dan Konsep tentang Sosial Politik (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2016), hal. 100.
68
memungkinkan peran aktif dan bebas bagi kehendak manusia. Mutahhari juga
menganggap penerimaan terhadap Tuhan sama halnya menantang konsep
kehendak bebas berdasarkan hukum universal sebab-akibat.99
Dalam hukum sebab-akibat, Mutahhari mengkritik pandangan Bertrand
Russell yang disinyalir membentuk area konflik antara sains dan agama. Russell
melalui bukunya The Scientific Outlook di bawah judul Science and Religion
menganggap kehendak bebas dan kebebasan dalam konteks manusia untuk
menunjukkan kebebasan dari hukum kausalitas dan keniscayaan sebab-akibat.
―Memang benar bahwa kita tidak dapat memprediksi tindakan manusia secara lengkap, tetapi sangat cukup dihitung dengan kerumitan mekanisme dan sama sekali tidak menuntut hipotesis ketidakpatuhan pada hukum sepenuhnya, yang ditemukan salah bilamana dapat diuji dengan hati-hati. Mereka yang menginginkan ketidakpastian di dunia fisik tampaknya bagi saya telah gagal untuk menyadari apa yang akan terlibat dalam hukum sebab-akibat ini. Segala kesimpulan sehubungan dengan jalannya alam adalah saling terkait. Seandainya alam tidak tunduk pada hukum sebab-akibat, segala penyimpulan semacam ini pasti gagal. Kita tidak bisa, dalam kasus itu, mengetahui apa pun di luar pengalaman pribadi kita; sesungguhnya, tegasnya, kita hanya bisa mengetahui pengalaman kita pada saat ini, karena semua memori tergantung pada hukum kasual. Jika kita tidak bisa menyimpulkan eksistensi orang lain, atau bahkan dari masa lalu kita sendiri, bagaiman kita bisa menyimpulkan (adanya) Tuhan, atau apapun lainnyayang para teolog inginkan...
Pada kenyataannya, tidak ada alasan baik apapun untuk berpandangan bahwa perilaku atom tidak tunduk pada hukum. Hanya baru-baru ini bahwa metode eksperimental telah mampu menerangkan perilaku atom-atom individu, dan tak heran jika hukum perilaku ini belum ditemukan‖.
Menanggapi pendapat Russell tersebut, Mutahhari mengungkapkan siapa
pun, meskipun dengan sedikit pengenalan terhadap metafisika Islam sekalipun,
tahu bahwa penerimaan prinsip sebab-akibat dan keniscayaan kausalitas serta
99 Murtada Mutahhari, Filsafat Materialisme : Kritik Filsafat Islam tentang Tuhan, Sejarah
dan Konsep tentang Sosial Politik (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2016), hal. 99-102.
69
keselarasan antara sebab dan akibat merupakan bagian dari inti metafisika itu
sendiri.
Sanggahan Mutahhari selanjutnya, yang bersangkutan membayangkan satu-
satunya pukulan sains terhadap penolakan hukum kausalitas merupakan
ketidakmampuan kita untuk menggeneralisasi hasil-hasil eksperimen ilmiah
karena eksperimen tersebut tergantung teori ―sebab-akibat yang mendukung
dalam keadaan yang mendukung bertindak dengan cara yang sama‖. Russell tidak
menyadari terkait meniadakan prinsip sebab-akibat, bahkan dalam kasus disaat
seluruh aspek telah dieksperimenkan, kita tidak bisa mendapatkan pengetahuan
tentang sesuatu itu dalam batas-batas yang dieksperimenkan.100 Mutahhari
menekankan pengetahuan tentang realitas eksternal yang diperoleh melalui indra
dan eksperimen itu sendiri bergantung pada prinsip sebab-akibat. Jika hukum
sebab-akibat tidak ada, kita tidak akan sampai pada sesuatu apapun.
Sehingga pada tataran sebab-akibat, Mutahhari ingin mengatakan bahwa
hukum sebab-akibat bukanlah hukum fisika melainkan hukum filsafat. Akibatnya
fisika tidak mampu membuktikannya atau membantahnya. Russell dianggap
Mutahhari terjebak pada ketidakyakinannya pada hukum filosofis (yang) terlepas
dari pencapaian sains.
Sementara itu kembali pada permasalahan kehendak bebas itu sendiri,
Mutahhari menjelaskan bahwa kebebasan atau kemerdekaan manusia itu sifatnya
relatif. Ada beberapa segi keterbatasan manusia, diantaranya; pertama, faktor
100
Murtada Mutahhari, Filsafat Materialisme : Kritik Filsafat Islam tentang Tuhan,
Sejarah dan Konsep tentang Sosial Politik (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2016), hal. 107.
70
keturunan dimana manusia mewarisi pendahulunya. Kedua, yang
melatarbelakangi keterbatasan manusia merupakan faktor lingkungan alam dan
geografis. Ketiga, suasana sosial termasuk faktor penting yang membentuk
karakteristik spiritual dan moral. Dan keempat adalah faktor sejarah dan waktu
manusia dalam membentuk wataknya. Secara umum, ada mata rantai antara setiap
wujud sekarang dan wujud dahulu sebagai proses yang berkesinambungan. 101
Bagi Mutahhari, manusia sebagai makhluk sosial harus menyandarkan
kebebasan melalui kesadaran moral untuk membedakan yang baik dan yang
buruk. Inspirasi tersebut merupakan fitrah atau bawaan yang ada pada manusia.102
―Demi jiwa dan penyempurnaanya, maka Allah telah mengilhamkan ke dalam jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Al-Syams : 91, 7-8)
C. Penyimpangan Seksual Menurut Murtada Mutahhari
Banyak kalangan yang menggunakan justifikasi humanisme dan kebebasan
untuk melakukan tindakan yang menyimpang, termasuk etika seksual. Sikap
negatif seksual tersebut didasarkan pada nilai dan prinsip diantaranya; Pertama,
kebebasan pribadi setiap individu, tanpa pandang bulu haruslah dihormati dan
dilindungi selama kebebasan itu tidak melanggar kebebasan pribadi orang lain.
Dengan kata lain, kebebasan seorang individu tidaklah dibatasi oleh pertimbangan
apapun selain kebebasan individu lain.
101
Mutahhari, ―Filsafat Agama dan Kemanusiaan : Perspektif al-Qur‘an dan Rasionalisme Islam‖, hal. 99-100.
102 Mutahhari, ―Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 132.
71
Prinsip kedua, kesejahteraan manusia terletak pada pemeliharaan dan
pemenuhan dorongan nafsu dan kecenderungan bawaannya. Apabila
kecenderungan yang alami ini dirintangi, maka hal itu akan membawa kepada
egoisme dan gangguan kepribadian, yang timbul terutama dari frustasi seksual.
Naluri dan dorongan itu akan menjadi salah tingkah apabila tidak dipenuhi dan
dipuaskan.
Sementara prinsip ketiga, pembatasan dan pengekangan atas naluri dan
nafsu manusia akan menyebabkan naluri dan nafsu tersebut semakin meningkat
dan berkobar. Pemenuhan tanpa kekangan akan mendatangkan kepuasan yang
memungkinkan manusia tidak mencurahkan perhatian yang berlebihan pada suatu
dorongan alami, seperti dorongan seks. 103
Prinsip-prinsip tersebut dikemukakan sebagai pembenaran atas apa yang
dipandang oleh penganut kebebasan seksual baru sebagai jalan yang benar, yakni
penyingkiran moral, kekangan, dan batasan-batasan konvensional untuk
menjamin kebebasan individu dan meningkatkan kepuasan seksual, bukan
memfrustasikannya.
Padahal Islam menolak hubungan seksual yang tidak bermoral, karena
mengumbar hawa nafsu akan merintangi perkembangan rohani. Mengumbar hawa
nafsu merugikan kesehatan jiwa dan kesehatan jasmani. Bahkan, mengumbar
103 Murtada Mutahhari, Etika Seksual dalam Islam (Jakarta: Penerbit Lentera, 1996), hal.
41-42.
72
hawa nafsu bisa memunculkan sikap yang berlebihan. Padahal, sikap berlebihan
pada dasarnya mengganggu seluruh sistem tubuh.104
Mutahhari mengkritik prinsip-prinsip dan logika moralitas orang Barat
terhadap seksualitas tersebut. Ia menganggap prinsip itu berkenaan tentang
filsafat, pendidikan dan psikologi manusia.
Prinsip kebebasan individu sesungguhnya adalah dasar dari realisasi
sosiologi hak-hak manusia. Namun, yang tidak terpikirkan dari moralitas baru
terkait kebebasan individu bahwa kebebasan seks tidak mengandung implikasi
sosial. Meskipun, mereka yang menganjurkan moralitas baru tersebut
menginginkan pengamanan bagi kepentingan masyarakat bahkan dalam ruang
lingkup yang terbatas. Misalnya, seorang istri hanya boleh melahirkan anak dari
suaminya saja, sehingga ia bebas mengikuti motivasi seksualnya dengan
mempergunakan alat kontrasepsi.
Mutahhari menganggap tindakan tersebut mengabaikan kekangan moral
yang berkenaan dengan kesucian dan kesetiaan yang selama ini dihormati.
Berkaitan dengan kebebasan individu tersebut, Mutahhari mengajak
masyarakat pada umumnya dan masyarakat Islam khususnya memeriksa secara
detail gagasan tersebut. Diantaranya adalah gagasan bahwa kebebasan pribadi
tidak dapat dibatasi kecuali oleh kebebasan pribadi orang lain dan perlunya
menghormati kebebasan pribadi orang lain. Dan implikasi lainnya berupa klaim
104 Mutahhari, ―Filsafat Agama dan Kemanusiaan : Perspektif al-Qur‘an dan Rasionalisme
Islam‖, hal. 93.
73
bahwa hubungan seksual yang menuntut kepastian posisi keayahan dan
keterpautan anak yang mungkin lahir dari hubungan tersebut tidak melibatkan
hubungan lebih lanjut apapun dengan masyarakat, kehidupan umum dan hak-hak
prerogatif masyarakat.
Mutahhari mengajak mempertimbangkan filsafat yang ada dibalik
kebebasan individu. Bahwa hal esensial pengelolaan kebebasan individu
merupakan kebutuhan kualitatifnya untuk mengembangkan secara berangsur-
angsur cara yang harmonis dan terhormat untuk memajukan kehidupan
individunya ke arah peningkatan daya kemampuan yang lebih tinggi.
Pata tataran tersebut, ia mensinyalir bahwa kebebasan seksual
memungkinkan seseorang berbuat sesukanya mengikuti dorongan seksual dan
nafsunya yang egosentris.105 Pandangan kebebasan individu yang membawa
kehendak diri dan hasrat harus dihormati selama ia menghormati hak orang lain
lebih merupakan gagasan yang menyesatkan. Adalah perlu bagi setiap masyarakat
untuk mengakui bahwa kepentingan yang lebih tinggi dan besar dari seseorang
haruslah dengan sadar membatasi kebebasan individualnya. Pengabaian atas
tuntutan moral dapat memperparah kerusakan pada konsep dasar moralitas itu
sendiri.
Jadi, filsafat moral Bertrand Russel terkait kebebasan individu bisa
dipandang sebagai sarana melestarikan kediktatoran, bahwa kekuatan adalah
kebenaran. Bertrand Russel telah mengabdikan hidupnya secara aktif untuk
105
Mutahhari, ―Etika Seksual dalam Islam‖, hal. 44.
74
membela cita kebebasan dan hak kaum tertindas. Ironisnya, filsafat moralnya
cenderung mengkonsolidasikan kediktatoran dalam masyarakat. Mutahhari
beranggapan kontradiksi seperti ini biasa ditemui dalam filsafat Barat, sehingga
nampak apa yang digaungkan didepan khalayak tidak sesuai dengan yang
dipraktikkan.106
Implikasi selanjutnya menyangkut perkawinan dan kehidupan berkeluarga,
dalam menentukan aspek-aspek pribadi dan sosialnya. Timbul pertanyaan
kemudian, apakah kenikmatan hidup dapat dicapai lewat lingkungan keluarga?
Atau, haruskah pencarian kenikmatan hidup berupa seksual diperluas melampaui
lingkungan keluarga, sehingga mencakup pertemuan umum, sosial, hiburan dan
lain sebagainya?
Islam mengajarkan kenikmatan timbal balik suami istri yang dibatasi dalam
lingkungan keluarga saja, sehingga mereka berorientasi sepenuhnya satu sama
lain. Islam juga menetapkan bahwa usaha mencari kenikmatan seksual di
lingkungan masyarakat, termasuk mempertontonkan aurat wanita, tidaklah
diperkenankan.
Dalam dunia Timur yang notabene pemeluk agama Islam, cinta merupakan
sesuatu yang diidam-idamkan dan tidak dapat ditawar-tawar. Cinta mampu
memberikan perspektif yang menyeluruh kepada pribadi manusia sehingga
meluruhkan dan memberikan inspirasi pada ruh.
106
Mutahhari, ―Etika Seksual dalam Islam‖, hal. 49.
75
Sementara itu, masyarakat Barat nampak jelas lebih memilih alternatif yang
dinyatakan dalam pertanyaan kedua yang disebutkan diatas.107 Masyarakat Barat
kebanyakan menganggap cinta berharga sejauh termanifestasikan dalam
kenikmatan kedua belah pihak. Mereka memiliki tujuan agar meningkatkan
kenikmatan hidup semaksimal mungkin.
Dalam pemahaman terhadap cinta sebagaimana beberapa hal lain, orang
Barat dan Timur berbeda pendekatan secara intelektual. Mutahhari
mengindikasikan orang Barat tidak mampu memupuk cinta melalui kerangka
abstrak di luar proses mekanis menyangkut masalah kehidupan yang rutin. Oleh
karenanya sulit bagi orang Barat membedakan cinta dan hawa nafsu, serta untuk
percaya terhadap penghayatan dan harmonitas spiritual yang bisa lahir darinya.
Lebih lanjut, Mutahhari melihat lingkungan sosial yang permisif telah
mendorong sensualitas dan keserbabolehan. Hal semacam ini bagi Mutahhari
tidak mendorong cinta ke arah yang bermanfaat seperti pandangan filosof dan
sosiolog, dalam batasan efeknya yang mendalam, sangat responsif dan tidak
egois.
Singkatnya, cinta dalam kondisi sosial yang cocok dapat memungkinkan
pribadi yang dirasukinya mengkonsentrasikan energi individualnya ke arah tujuan
yang baik, menjadikan persepsi yang terang dan tajam, mampu menanamkan rasa
107 Mutahhari, ―Etika Seksual dalam Islam‖, hal. 45-49.
76
yang mendalam pada yang dicintai serta meningkatkan kesejatian kekuatan
pikiran dan prestasi. 108
Pada tataran ini, cinta seperti yang digambarkan dalam kesusastraan dunia
penuh dengan sifatnya yang luhur, termasuk sebagai katalisator, guru dan pemberi
inspirasi. Melalui kesusastraan Parsi, Sa‘di pernah menulis;
―Siapa yang jatuh pada yang di luar dirinya, Akan menyerahkan seluruh dirinya kepada cintanya. Yang tidak cinta, belumlah ia manusia sepenuhnya, Permata tak bergosok tak akan memancarkan sinarnya‖.
Penyair Parsi lain yang kesohor, Hafizh juga melantunkan puisinya yang
indah tentang cinta burung punguk pada mawar;
Dengan kemurahan hati mawar Punguk menyanyikan lagu indah Lebih dari yang dapat dikicaukan paruhnya!
D. Relevansi Pemikiran Murtada Mutahhari di Indonesia
Pembahasan perihal humanisme atau kemanusiaan di Indonesia selalu
menemukan relevansinya dibanyak bidang. Abdurrahman Wahid atau yang akrab
disapa Gus Dur dalam beberapa kesempatan misalnya mengatakan bahwa politik
harus dikembalikan pada unsur kemanusiaan, Islam dikatakan sebagai agama
yang menjunjung nilai kemanusiaan.109 Hal tersebut timbul lantaran banyak
penyimpangan terkait isu-isu radikalisme, terorisme dan intoleransi.
108
Mutahhari, ―Etika Seksual dalam Islam‖, hal. 91. 109
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hal. 121.
77
Media massa di Indonesia juga dibanjiri isu-isu humanisme. Hal demikian
menandakan permasalahan yang sedang dihadapi Indonesia, meskipun disaat
bersamaan tidak menutup kemungkinan adanya tawaran-tawaran berupa jalan
keluar.
Diantara isu humanisme yang berkembang di media massa ada yang berupa
wacana dan opini. Pergulatan opini dan wacana tersebut menarik untuk ditelisik
sedikit demi sedikit. A Prasetyantoko yang menjabat sebagai Rektor Universitas
Katolik Indonesia Atma Jaya misalnya menulis opini ―Transhumanisme‖110. Indra
Trenggono seorang pemerhati kebudayaan dan sastrawan menulis tentang
―Mengakhiri Dehumanisme‖111. Sementara itu, M. Alfan Alfian yang bertindak
sebagai Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Unas dan Pengurus Pusat HIPIIS
menulis masalah humanisme dengan judul ―Merayakan Kemanusiaan‖112.
Singkatnya, humanisme di Indonesia tidak saja dibahas oleh orang dengan
satu disiplin ilmu tertentu. Para akademisi, politisi, sastrawan hingga budayawan
saling memberi perhatian terhadap masalah-masalah kemanusiaan.
Isu yang menarik untuk dikaji dalam humanisme sendiri adalah konsep
kebebasan. Di Indonesia praktik kebebasan bisa dijumpai dalam sistem politik
demokrasi, pada ruang-ruang privat (keagamaan) hingga kehidupan sehari-hari
seperti hubungan seksual dan lain sebagainya. Bahkan, tak jarang kebebasan
110 A Prasetyantoko, ―Transhumanisme.‖ Kompas, 21 Februari 2018 111 Indra Trenggono, ―Mengakhiri Dehumanisasi.‖ Kompas, 16 April 2018 112 M. Alfan Alfian, ―Merayakan Kemanusiaan.‖ Kompas, 20 Juni 2018
78
tersebut tampak begitu mengindahkan norma sosial masyarakat, moralitas
individu hingga kepatuhan terhadap ajaran agama.
Dari pelbagai permasalah kebebasan di Indonesia itulah kemudian
pemikiran Mutahhari menemukan relevansinya. Mutahhari tidak saja melakukan
studi akademis terhadap isu-isu kebebasan yang masuk melalui legitimasi
humanisme, namun ia juga melakukan kritik terhadap mereka yang menyerang
kemapanan paham keagamaan dan norma sosial masyarakat Timur.
Mutahhari misalnya menghubungkan antara kebebasan dan demokrasi harus
berpijak pada penguasaan moral.113
―Bahwa prinsip kemerdekaan manusia dan demokrasi harus pula menguasai moral, adalah benar dan tepat, sebagaimana halnya dalam politik. Maknanya yang intrinsik ialah bahwa manusia harus memimpin naluri dan nafsu alami bawaannya sebagaimana pemerintah yang adil dan demokratis menghadapi massa rakyatnya.‖
Untuk itu Mutahhari menyarankan agar manusia mampu menyetujui atau
melawan keinginannya. Hal tersebut berkaitan dengan kapabilitas-kapabilitas
tertentu yang melekat pada diri manusia berupa hasrah-hasrah dan pesona-pesona
spiritual khas yang tidak dimiliki makhluk hidup lainnya. Sehingga dengan begitu,
manusia seharusnya bertindak atas dasar kearifan dan intelektualitas.
―Manusia, sebaliknya, mampu menyetujui atau melawan keinginan-dalamnya dan mampu menyalahi kehendak dirinya. Oleh karena itu, mereka dapat bertindak atas dasar kuasa-iradah yang ada di bawah komando kearifan dan intelek mereka—kearifan akan mengenali dan memberi putusan, sedangkan kuasa-iradah akan mewujudkannya.
Jelaslah sekarang bahwa pada manusia terdapat kapabilitas-kapabilitas tertentu yang tidak dimiliki oleh jenis binatang lain. Pada mereka melekat hasrat-hasrat dan pesona-pesona spiritual yang khas, yang tidak dimiliki oleh jenis makhluk
113
Murtada Mutahhari, Filsafat Moral Islam (Jakarta: al-Huda, 2004), hal. 194.
79
hidup lain. Ini membekali mereka dengan kemampuan untuk memperluas ruang gerak mereka ke luar batas alam materi, dan membimbing geraknya ke arah Kerajaan Agung.‖
114
Mutahhari melanjutkan bahwa adanya kuasa intelektual dan kuasa-iradah
pada manusia memungkinkan melawan nafsu, menjadikan diri mereka merdeka
dari pengaruh menekan yang muncul dari dalam, bahkan menguasainya.
Mutahhari menganggap manusia dapat menjadikan nafsunya patuh terhadap
inteleknya, mengalokasikan porsi tertentu pada keduanya, sehingga manusia dapat
mencapai kebebasan spiritual, suatu kebebasan paling bernilai dibandingkan jenis
kebebasan lainnya.
Intelektualitas sebagai ciri manusia merupakan alasan bagi beban tanggung
jawab yang diberikan Tuhan. Ia juga sekaligus sebagai sumber kemampuan
manusia untuk memilih. Intelektulitas, dianggap Mutahhari merupakan kekuatan
yang mengubah manusia menjadi makhluk yang bebas, lengkap dengan
kebebasan untuk memilih.
Mutahhari menilai nafsu dan keinginan suatu pertalian antara manusia dan
pusat eksternal yang menariknya. Makin kuat penghambaan terhadap nafsu,
makin lemah tujuan mereka. Namun, intelek dan kuasa-iradah merupakan daya
internal yang membangun karakter sejati manusia. Jika manusia mampu bersandar
pada keduanya, maka mereka akan mampu menguasai potensi-potensi yang ada,
menahan pengaruh-pengaruh eksternal dan membentuk diri menjadi pribadi yang
114
Mutahhari, ―Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 145.
80
―merdeka‖. Sehingga dengan begitu, manusia akan memiliki dirinya sendiri,
pemilik suatu karakter paripurna.115
Sederhananya, pengendalian dan pembebasan diri dari pesona nafsu yang
dilakukan secara sadar, merupakan tujuan fundamental ajaran Islam. Tujuan
utama ajaran Islam adalah ―kemerdekaan spiritual‖.116
Selain krisis ekonomi dan politik, Mutahhari menganggap permasalahan
yang dihadapi masyarakat modern dan industri –seperti Indonesia—adalah krisis
spiritual dan hilangnya akhlak. Lebih lanjut, krisis yang datangnya dari eksternal
meskipun seolah tidak datang dari spiritual, namun jika ditelisik akan kembali
pada sebab-sebab spiritual.
―Satu-satunya krisis dunia yang masih melanda dunia kita saat ini adalah krisis spiritual yang menggerogoti hati manusia. Adakalanya sebagian krisis yang tampak dari luar tidak berkaitan dengan spiritualitas manusia, namun akhirnya akan kembali juga kepada sebab-sebab spiritual.‖
Mutahhari mendiskripsikan krisis yang menjangkiti masyarakat modern
sangatlah beragam, diantaranya; bunuh diri, waktu kosong, merusaknya penyakit
mental dan jiwa, kebrutalan dan kenakalan remaja, pudarnya kasih sayang,
kelaparan hingga pencemaran lingkungan. 117
Melihat fenomena Indonesia akhir-akhir ini, agaknya yang diutarakan
Mutahhari banyak menemukan relevansinya. Untuk itu, Ia mengajak semua
bangsa-bangsa di dunia pasrah total pada Tuhan agar keluar dari beragam krisis
yang sedang terjadi. Lebih lanjut, Mutahhari melihat krisis tersebut memiliki akar
115
Mutahhari, ―Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 146. 116
Mutahhari, ―Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 145-146. 117
Murtada Mutahhari, Filsafat Moral Islam (Jakarta: al-Huda, 2004), hal. 194-201.
81
spiritual dan moralitas yang disebabkan hilangnya keimanan serta pemberontakan
manusia terhadap kehendak penguasa tunggal.
Mutahhari kemudian memberikan keterangan lebih lanjut bahwa keimanan
tidak akan mampu mengangkat derajat seseorang tanpa ilmu pengetahuan, bahkan
tanpa keduanya berjalan beriringan bisa jadi membawa bencana kemanusiaan.
Iman diungkapkan Mutahhari dapat menaklukan benteng jiwa manusia.
Penaklukan tersebut dalam disiplin ilmu akhlak disebut jihad akbar. Penamaannya
sendiri beranjak dari hadis yang diakui banyak kalangan diantaranya sunni dan
syi‘ah. Rasulullah bersabda, ―Selamat datang kaum yang telah melaksanakan
jihad kecil dan akan melaksanakan jihad akbar.‖ Sahabat bertanya, ―Wahai Rasul
apa itu jihad akbar?‖ Beliau menjawab, ―Jihad itu perang melawan hawa
nafsu.‖118
Semangat Mutahhari pada tataran inilah yang menemukan relevansinya.
Bahwa untuk menanggulangi krisis yang terjadi dalam masyarakat Indonesia saat
ini diperlukan keimanan dan keilmuan. Keduanya penting agar manusia mampu
menemukan dirinya menuju spiritualitas hakiki.
118 Mutahhari, ―Filsafat Moral Islam‖, hal. 210.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan kajian dan penelitian terkait humanisme dalam al-Qur‘an
dengan fokus pemikiran tokoh Mutahhari, penulis menemukan beberapa poin
penting berkaitan dengan ayat humanisme. Pemahaman ayat humanisme
Mutahhari tidak bisa dilepaskan dari perjanjian fitrah manusia dengan Tuhannya.
Untuk itu Mutahhari sejalan dengan khutbah Imam Ali yang menyebut akal
manusia sebagai pendaman-pendaman untuk segera dibangkitkan.
Dalam menginterpretasi ayat-ayat humanisme, Mutahhari sering mengkritik
pemikir Barat. Meskipun pada tataran tertentu ia juga mengakomodir pemikir
Barat yang tidak bertentangan dengan nilai luhur Islam. Lebih dari itu, seperti
kebanyakan pemikir Syi‘ah lainnya, ia juga mengutip pendapat Imam Ali untuk
kemudian dijadikan justifikasi atas pendapatnya.
Diantara kritik humanisme Mutahhari terhadap materialisme Barat adalah
tentang adanya Tuhan. Mutahhari mengibaratkan dengan orang yang berada
dalam sebuah ruangan dan semua pintu terbuka, dengan kondisi seperti itu tidak
mungkin ada pertanyaan ―ia turun dari atap‖.
Humanisme sendiri erat kaitannya dengan konsep kebebasan. Kebebasan itu
nampak misalnya dalam kasus moralitas baru seksual. Mutahhari mengkritik
prinsip-prinsip dan logika moralitas Barat terhadap seksualitas. Ia menganggap
83
prinsip itu berkenaan tentang filsafat, pendidikan dan psikologi manusia. Prinsip
kebebasan individu yang dijadikan justifikasi kebebasan seksual termasuk LGBT
sesungguhnya adalah dasar dari realisasi sosiologi hak-hak manusia. Namun, yang
tidak terpikirkan dari moralitas baru Barat terkait kebebasan individu tersebut
bahwa kebebasan seks tidak mengandung implikasi sosial.
B. Saran dan Rekomendasi
Beberapa hal terkait penelitian dan penulisan ―Humanisme dalam Al-
Qur‘an: Studi Penafsiran Murtada Mutahhari‖ adalah bahwa masyarakat Islam
pada umumnya haruslah lebih menghargai al-Qur‘an sebagai wahyu agung. Hal
itu misalnya berupa pengaplikasian pesan tersurat maupun tersirat al-Qur‘an
dalam konstruksi sosial. Konstruksi sosial tentu tidak bisa dilepaskan dari
pembahasan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Sementara itu, konsep humanisme yang terlebih dahulu dikenal sebagai
manifestasi filsafat dan ilmu pengetahuan harus sesuai dan selaras dengan nilai
positif agama Islam.
Humanisme yang semula mengesampingkan peran agama dan Tuhan telah
bertransformasi sedemikian rupa sehingga lahirlah gagasan humanisme Islam.
Humanisme Islam inilah yang kemudian mengangkat gagasan seperti
persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Bahkan pada tataran lebih lanjut,
humanisme Islam merupakan ikatan perjanjian antara manusia dengan Tuhannya.
Akhirnya, Mutahhari mempunyai asumsi menarik terkait kebebasan
individu di Barat. Ia mengatakan di Eropa rasa keadilan sangat besar, namun rasa
84
kesetiakawanan sangat terbatas, bahkan terhadap saudara kandung sekalipun.
Mengapa demikian? Mutahhari menganggap hal tersebut akibat rasa cinta dan
simpati manusiawi merupakan sifat-sifat yang berkaitan erat dengan pendidikan
yang sehat bagi anak oleh keluarga yang benar-benar saling mencintai satu sama
lain.
Mutahhari menganggap bahwa keluarga di Eropa tidak lagi mampu dan
secara efektif memelihara sifat semacam itu. Hal demikian bisa dilihat dari
kesetiaan antara suami-istri yang jarang ditemui di Eropa.
Mutahhari menilai krisis yang menjangkiti masyarakat modern sangatlah
beragam. Menurut penulis, Indonesia mengalami fase seperti yang diutarakan
Mutahhari, untuk itu layak kiranya pemikiran Mutahhari dijadikan sebagai kritik
sosial. Sehingga untuk keluar dari permasalah tersebut diperlukan kesinambungan
antara keimanan dan keilmuan. Keduanya harus berjalan beriringan tanpa
memprioritaskan satu diantara lainnya untuk menemukan jati diri manusia yang
sesungguhnya.
Konklusi yang bisa diambil dari pemikiran Mutahhari terkait humanisme
yang berimplikasi pada kebebasan individu seksual adalah bahwa kebebasan atau
kemerdekaan manusia itu sifatnya relatif.
85
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Irman. ―Sekali Lagi, Belajar pada Ustadz Mutahhari.‖ Jurnal
Bayan (Vol. II, No. 1, Th. 2012): 140-152. Adnan Amal, Taufiq.Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur
Rahman. Bandung: Penerbit Mizan, 1994. Al-Fayyadl, Muhammad.Filsafat Negasi. Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2016. Alu Syaikh, Abdullah bin Abdurrahman.Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, Jil.
V,VII,VIII, XI, XII, XIII, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, 2008. Anis, Muhammad. ―Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan.‖ Jurnal Bayan
(Vol. II, No. 4, Th. 2013): 141-149. Arberry, A.J.Mystical Poems of Rumi. Chicago: Chicago University Press, 2009. Battersby, James, L. ―The Inescapability of Humanism.‖ College English (Vol.58,
No. 5, Inc., 1996): 555-566. Iqbal, Muhammad.Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Asyraf
Publication, 1971. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika. Jakarta:
Penerbit Teraju, 2004. Kusmana. “Hermeneutika Modern; Sebuah Pengenalan Awal.” Jurnal Refleksi
(Vol. 7, No. 3, 2005): 195-210. Laporte, Paul, M and Gowans, Alan. ―A-Humanism.‖ College Art Journal (Vol.
12, No. 1, 1952): 75-79. Makdisi, George.The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian
West. Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990. Maritain, Jaquet. Integral Humanism: Temporal And Spiritual Problem of a New
Christen Don, terj. Joseph W. Evan. USA: University of Rorte Dome, 1973.
Mitchell, W. J. T. ―Secular Divination: Edward Said‘s Humanism.‖ Critical
Inquiry (Vol. 31, No. 2, Inc. 2005): 461-471.
86
Mutahhari, Murtada . Agama dan Manusia: Membumikan Kitab Suci. Bandung: Mizan Pustaka, 2007.
Mutahhari, Murtada . Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan
Potensi Diri Kita. Yogyakarta : Penerbit Citra, 2012. Mutahhari, Murtada . Etika Seksual dalam Islam. Jakarta: Penerbit Lentera, 1982. Mutahhari, Murtada . Kritik Islam terhadap Materialisme. Jakarta: al-Huda, 2001. Mutahhari, Murtada . Filsafat Akhlak. Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2005. Mutahhari, Murtada . Hak-hak Wanita dalam Islam. Jakarta: Penerbit Lentera,
2001. Mutahhari, Murtada . Hijab Gaya Hidup Wanita Islam. Bandung: Mizan Pustaka,
1988. Mutahhari, Murtada . Filsafat Moral Islam. Jakarta: al-Huda, 2004. Madjid, Nurcholish. Humanisme Islam [database on-line] (nurcholishmadjid.org,
2017); tersedia di http://nurcholishmadjid.org/; Internet; diunduh Juni 2017.
Paul Sartre, Jean. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002. R. Rafton, Harold. ―Humanism.‖ The Scientific Monthly (Vol. 64, No. 1, Inc.,
1947): 88-91. Rachmat, Jalaluddin.Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama. Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2007. Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 2010. Ready, Musholli. ―Arus Baru Kecenderungan Penafsiran Kontemporer.” Journal
of Qur‟an and Hadith Studies (Vol. 1, No. 1, 2012): 85-117. Ritzer, George. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Saeed, Abdullah. al-Qur‟an Abad 21. Bandung: Mizan, 2016. Sharif, M.M. (ed.), A History of Muslim Philosophy: With Short Accounts of
Other Disciplines and the Modern Renaissance in Muslims Lands, Vol II. Weisbaden: Otto Harrasowitz, 1966.
87
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2010. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Vol. V. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur‟an, Tafsir Tematik atas Perbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan Pustaka, 1996. Syafi‘i Ma‘arif, Ahmad. Fazlur Rahman, Islam dan Pemikiran Islam. Bandung:
Penerbit Pustaka, 2017. Syukri, Ahmad. ―Metodologi Tafsir al-Qur‘an Kontemporer dalam Pemikiran
Fazlur Rahman.‖ Jurnal Pendidikan Sosial Keagamaan (Vol. 20, N0. 1, 2005): 53-78.
T. Indratno, A. Ferry. Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya. Jakarta:
Kompas Media Nusantara, 2009. The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13. New York: The Incyclopaedia Britannica,
Inc., 1911. Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid
Institute, 2006. WMK, Anwar. ―Kanopi Kebudayaan.‖ Jurnal Bayan (Vol. IV, No. 2, 2015): 39-
62.