analisis kisah nabi nuh dalam al-qur’anrepository.uinjkt.ac.id › dspace › bitstream ›...

81
ANALISIS KISAH NABI NUH DALAM AL-QUR’AN (PENDEKATAN NARRATIVE CRITICISM: A. H. JOHNS) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Perawati 1113034000113 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020 M / 1441 H

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ANALISIS KISAH NABI NUH DALAM AL-QUR’AN

    (PENDEKATAN NARRATIVE CRITICISM: A. H. JOHNS)

    SKRIPSI

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

    Oleh:

    Perawati

    1113034000113

    PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

    FAKULTAS USHULUDDIN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2020 M / 1441 H

  • ANALISIS KISAH NABI NUH DALAM AL-QUR’AN

    (PENDEKATAN NARRATIVE CRITICISM: A. H. JOHNS)

    Skripsi

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

    Oleh:

    Perawati

    NIM : 1113034000113

    Pembimbing

    Dr. Yusuf Rahman, MA

    NIP.19670213 199203 1 002

    PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

    FAKULTAS USHULUDDIN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1441 H / 2020 M

  • PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

    Skripsi yang berjudul Analisis Kisah Nabi Nuh Dalam Al- Qur'an

    (Pendekatan Narrative Criticism: A. H. Johns) telah diujikan dalam Sidang

    Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai

    salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program

    Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

    Jakarta, 14 Agustus 2020

    Sidang Munaqasyah

    Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

    D ra. Banun Binaningrum, M.Pd.

    NIP. 19680618 199903 2 001

    Anggota,

    Penguji I, Penguji II,

    Pembimbing,

    D r. Yusuf Rahman, M.A

    NIP. 19670213 199203 1 002

    D r. M. Suryadinata, M.Ag.

    NIP. 19600908 198903 1 005

    M oh. Anwar Syarifuddin, M.A.

    NIP. 19720518 199803 1 003

    D r. Eva Nugraha, M.Ag.

    dcNIP. 19710217 199803 1 002

  • MOTTO

    “Don’t let yourself be controlled by three things :

    People, Money, and Past Experiences”

    ( Mel Chor Lim )

  • PERSEMBAHAN

    Untuk suami dan anak tercinta,

    Al hufny dan Rumaisha Qorinia Nazla

  • i

    ABSTRAK

    Perawati 1113034000113

    Analisis Kisah Nabi Nuh Dalam Al-Qur’an (Pendekatan Narrrative

    Criticism: A. H. Johns)

    Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa, teori-teori Narrative Criticism

    yang dikemukakan oleh A. H. Johns dapat diaplikasikan untuk mengkaji

    kisah-kisah dalam al-Qur’an, dan salah satunya yaitu kisah Nabi Nuh.

    Dalam al-Qur’an kisah Nabi Nuh yaitu QS. Al- A’rāf: 59, QS. Al-

    Mu’minûm: 23, QS. Nûh: 1-20, QS. Hûd 26-31 sebagai Dakwah Nabi Nuh

    kepada kaumnya, QS. Hûd : 36-37 sebagai perintah Allah kepada Nabi Nuh

    untuk membuat bahtera (perahu), QS. Al-A’rāf: 64, QS. Hûd: 37, QS. Al-

    Mu’minûn: 27, QS. Al-Furqân: 37, QS. Al-‘Ankabût: 14, dan QS. Yûnus:

    71-73 terselamatkannya kaum Nabi Nuh yang berada di atas kapal,dan QS.

    Mu’minûn: 28, QS. Hûd: 37, QS. Hûd: 42, dan QS. Al-Ankabût: 14

    selamatnya kaum Nabi Nuh.

    Tujuan penelitian ini ialah menggambarkan kisah Nabi Nuh dan berusaha

    memunculkan maksud dari kisah Nabi Nuh di dalam al-Qur’an agar

    mencapai objektifitas hikmah dari kisah Nabi Nuh dalam al-Qur’an.

    Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan

    teknik deskriptif analitik. Hal ini agar tidak jauh dari objek yang dituju, yaitu

    menggambarkan kisah Nabi Nuh dan membagi menjadi beberapa fragmen

    dan memunculkan tokoh-tokoh yang ada pada kisah juga dengan

    mengaplikasikan teori Narrative Criticism yang dipakai oleh A. H. Johns

    untuk melihat isi dari kisah dengan jelas.

    Adapun jenis narasi yang terdapat di dalam al-Qur’an berbeda-beda yaitu

    narasi informatik, ekspositorik, dan artistik, dan terdapat pernyataan

    langsung (Direct speech) dan model narasi (Narrative).

    Kata Kunci: Narrative Criticism, Bahtera, Kisah Nabi Nuh, Direct speech,

    Narrative.

  • ii

    KATA PENGANTAR

    بسم هللا الرمحان الرحيم

    Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, tuhan semesta alam. Yang

    berkat hidayah dan inayahnya diberikan kesehatan dan kemuliaan untuk

    menjalani kehidupan ini. Sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang

    berjudul “Analisis Kisah Nabi Nuh Dalam Al-Qur’an (Pendekatan

    Narrrative Criticism: A. H. Johns)”. Sholawat dan Salam semoga

    senantiasa tercurah limpahkan atas Baginda Nabi besar Muhammad Saw

    beserta keluarga, sahabat, sampai pengikutnya hingga akhir zaman.

    Penulisan skripsi ini tidak akan tercapai dengan maksimal tanpa bantuan

    motivasi, materil maupun nonmateril. Maka dari itu penulis ingin

    mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada :

    1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA. sebagai Rektor

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Dr. Yusuf Rahman, MA. sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

    3. Dr. Eva Nugraha, M.Ag. sebagai Ketua Jurusan Ilmu Al-Quran dan

    Tafsir, dan Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH. sebagai Sekretaris Jurusan

    Ilmu Al-Quran dan Tafsir beserta segenap jajaran pengurus Fakultas

    Ushuluddin yang telah banyak membantu mempermudah administrasi

    dalam perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi.

    4. Dr. Yusuf Rahman, MA. sebagai dosen pembimbing skripsi yang sudah

    memberikan atensi penuh dengan kesabarannya membimbing,

    memotivasi, dan mengoreksi setiap detail penulisan skripsi ini.

    5. Kusmana. MA, Ph.D. sebagai penasihat akademik yang telah

    membantu selama dalam masa perkuliahan.

  • iii

    6. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam

    Negeri Syarif Hidayatullah yang sudah membantu tercapainya

    penulisan skripsi ini.

    7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang senantiasa memberikan

    dukungan doa, materil dan nonmateril. Semoga Allah panjangkan

    usianya dalam kebaikan.

    8. Kepada Al hufny dan Rumaisha sebagai suami dan anak yang selalu

    mencurahkan separuh waktunya demi terselesaikan-nya skripsi ini.

    9. Kakanda Titi Suhartini dan adinda Ani, Sinta dan Azam yang selalu

    memberikan motivasi demi terselesaikan-nya skripsi ini.

    10. Kawan-kawan dan teman seperjuangan yang tidak bisa disebutkan

    semua, serta keluarga besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir angkatan

    2013.

    Akhirnya penulis berharap penulisan skripsi ini dapat bermanfaat

    khususnya bagi penulis sendiri dan memberikan sumbangsih ilmu untuk

    para peminat pembaca. Dengan harapan skripsi ini menjadi amal baik bagi

    penulis, Âmīn yâ rabb al-â’lamīn.

  • iv

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Padanan Aksara

    Berikut adalah daftar aksara Arab dab padanannya dalam aksara latin:

    Huruf Arab Huruf latin Keterangan

    ا

    Tidak dilambangkan

    b Be ب

    ta Te ت

    ts Te dengan es ث

    j Je ج

    h h dengan garis bawah ح

    kh Ka dan ha خ

    d De د

    dz De dengan zet ذ

    r Er ر

    z Zet ز

    s Es س

    sy Es dan ye ش

    ṣ Es dengan titik bawah ص

    ḏ De dengan garis bawah ض

    ṯ T dengan garis bawah ط

    ẕ Z dengan titik bawah ظ

  • v

    Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع

    gh Ge dan ha غ

    f Ef ف

    q Ki ق

    k Ka ك

    l El ل

    m Em م

    n En ن

    w We و

    h Ha ه

    Apostrof ` ء

    y Ye ي

    Vokal

    Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

    vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal

    tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    A Fatḥah

    I Kasrah

    ُ ُ ُ U Ḍammah

  • vi

    Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    Ai a dan i ي

    Au a dan u و

    Vokal Panjang

    Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab dilambangakan

    dengan harkat dan huruf, yaitu:

    Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

    Â a dengan topi di atas ىا

    Î i dengan topi di atas ىي

    Û u dengan topi di atas ىو

    Kata sandang

    Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan

    huruf,yaitu ,ال dialihaksarakan menjadi huruf /l/ ,baik diikuti huruf syamsiyah

    maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.

    Syaddah(Tasydīd)

    Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan

    dengan sebuah tanda (ّـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,

    yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan

    tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu

    terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.

    Misalnya, kata ةر و ر الض tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.

  • vii

    Tā’Marbūṯah

    Kata Arab Alih Aksara Keterangan

    Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة

    ةعة اإلسالمي ماالجAl-jāmiah al- Islāmiyyah

    Diikuti oleh kata sifat

    waḥdat al-wujūd Diikuti oleh kata benda وحدة الوجود

    Huruf Kapital

    Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih

    aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang

    berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan

    permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama seseorang,

    dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata sandang, maka yang

    ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama tersebut. Misalnya: Abū

    ‘Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū ‘Abdullāh Muhammad Al-

    Qurṭubī.

    Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian

    halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait nama, untuk

    nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan

    tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.

    Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn al-Rānīrī.

    Cara Penulisan Kata

    Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara

    terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan

    diatas:

  • viii

    Kata Arab Alih Aksara

    ج ۡزن ااو Wa jâwaznâ و

    ٰٓ أ ۡصن ام ل ى Alâ aṣnâmi‘ ع

    ل ون إ ن ك ۡم ق ۡوم Innakum qawmun tajhalûna ت ۡجه

    ب ل اه ۡم ف يه و Hum fīhi wa bâṭilun ط

    Singkatan

    Huruf Latin Keterangan

    Swt, Subḥāh wa ta‘ālā

    Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa

    sallam

    QS. Quran Surah

    M Masehi

    H Hijriyah

    w. Wafat

  • ix

    DAFTAR ISI

    ABSTRAK ……………………………………………………….... i

    KATA PENGANTAR …………………………………………….. ii

    PEDOMAN TRANSLITERASI …………………………………. iv

    DAFTAR ISI ……………………………………………………..... ix

    DAFTAR TABEL ………………………………………………… xi

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah…………………………………...... 1

    B. P embatasan dan Perumusan Masalah ………........................ 5

    C. Tujuan Penelitian ………………………………………........ 6

    D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………. 6

    E. Metodelogi Penelitian ………………………………………. 9

    F. Sistematika Penulisan ……………………………………..... 11

    BAB II DISKURSUS SEPUTAR NARRATIVE CRITICISM

    A. Narrative Criticism Sebagai Kritik Sastra ………………….. 14

    B. Narrative Sebagai Metode Kisah…………………………..... 17

    C. Narrative Criticsm A. H. Johns ……………………………. 20

    D. Analisis Naratif atas Kisah Nabi Ayyub dalam al-Qur’an

    sebuah contoh Aplikatif ……………………………………..

    22

    BAB III GAMBARAN UMUM KISAH NABI NUH DALAM

    AL-QUR’AN

    A. Nabi Nuh As Menyeru Kaumnya Hanya Menyembah Allah.. 28

    B. Nabi Nuh As Membuat Perahu untuk Menyelamatkan

    Kaumnya…………………………………………………….

    32

    C. Nabi Nuh As Beserta Kaum yang beriman Berada dalam

    Perahu dan Terselamatkan dari Banjir Bandang ………........

    34

    D. Nabi Nuh As Beserta Kaumnya Terselamatkan…………….. 36

  • x

    BAB IV: ANALISA KISAH NABI NUH AS PENDEKATAN

    NARRATIVE CRITICSM

    A. Kesejarahan Figur Nabi Nuh As (Story) ……………………. 40

    B. Citra Nabi Nuh As sebagai Ulul Azmi ……………………... 52

    BAB V: PENUTUP

    A. Kesimpulan …………………………………………………. 58

    B. Saran ………………………………………………………... 58

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 61

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Struktur Biner Komplimenter ........................................ 26

    Tabel 4.1 ......................................................................................... 40

    Tabel 4.2 ......................................................................................... 45

    Tabel 4.3 ......................................................................................... 48

    Tabel 4.4 ......................................................................................... 50

    Tabel 4.5 ......................................................................................... 51

    Tabel 4.6 ......................................................................................... 56

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Dalam al-Qur’an terdapat beberapa aspek penting yang salah satunya

    yaitu kisah. Kisah merupakan salah satu isi kandungan lain dalam al-

    Qur’an. Kitab samawi terakhir ini menaruh perhatian serius akan

    keberadaan masalah kisah di dalamnya. Dalam al-Qur’an tersebut 26 kali

    kata qiṣah dan yang seakar dengannya, tersebar dalam 12 surah dan 21 ayat.

    Lebih dari itu, dalam al-Qur’an ada surah khusus yang dinamakan surah al-

    Qaṣaṣ, yakni surah ke-28 yang terdiri atas 88 ayat, 1.441 kata.1

    Al-Qur’an dalam pemaparan kisahnya tidak seperti dengan kisah-kisah

    yang ada dalam kitab-kitab sebelumnya (Taurat dan Injil). Al-Qur’an dalam

    memaparkan kisahnya hanya mengambil bagian-bagian yang memberi

    kesan, tidak menyebutkan semua nama-nama tokoh yang terlibat dalam

    peristiwa tersebut. Al-Qur’an memilih beberapa fragmen yang berkaitan

    dengan substansi tema dan berisi pelajaran.2

    Kisah merupakan salah satu jenis prosa naratif (al-adab al-nathri).

    Kisah dalam pengertian sastra modern didefinisikan sebagai narasi berbagai

    kejadian yang disusun berdasarkan waktu.3 Ia seni memberi (form of

    giving), yaitu menyampaikan ke hadapan publik; menjadi media untuk

    menanamkan nilai atau bahkan memaksakan (mendokrinkan) segala

    1 Muḥammad al-Ghāzalī, Berdialog Dengan al-Qur’an (Bandung: Mizan): 108. 2 Mursalim, “Gaya Bahasa Pengulangan Kisah Nabi Musa Dalam al-Qur’an: Suatu

    Kajian Stilistika”Jurnal Lentera 1, no. 1 (2017): 86. 3 M. Faisol,“Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif Naratologi Al-Quran”.

    Islamica: Jurnal Study Keislaman 2, no. 2 (Maret 2017): 1. Lihat juga Muhammad al-

    Tûnjî, al-Mu’jam al-Mufahṣṣal fî al-Adab, Vol. 2 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1993),

    706.

  • 2

    sesuatu kepadanya.1

    Eksistensi kisah dalam al-Qur’an diproyeksikan demi tujuan mulia

    terkait dengan risalah yang diemban oleh Nabi Muhammad dan sekaligus

    sebagai bukti kenabian (daláil al-nubuwwah). Sayyid Qutb berpendapat

    bahwa kisah-kisah al-Qur’an, dalam segala objek, cara pemaparan dan

    penarasiannya tunduk dalam kepentingan agama Islam.2

    Ayat-ayat kisah dalam al-Qur’an tidaklah sedikit, bahkan mencapai

    seperempat lebih banyak dibanding ayat-ayat hukum di mana menurut

    hitungan A. Hanafi ada sekitar 1600 ayat tentang kisah, sementara ayat

    tentang hukum hanya 330 ayat.3

    Salah satu kisah yang termuat dalam al-Qur’an yaitu kisah Nabi Nuh

    As. Kisah Nabi Nuh As memang kisah yang spektakuler dan direkam oleh

    sejarah. Islam sendiri di dalam al-Qur’an menyebutkan kisah ini, baik

    secara global maupun detail dari berbagai surah. Nabi Nuh As, dalam versi

    Islam, juga bukanlah seorang nabi biasa. Ia dimasukkan dalam kategori

    Nabi-Nabi Ulul ‘Azmi, sebuah gelar istimewa kenabian yang diberikan

    kepada nabi-nabi yang memiliki kedudukan yang khusus karena ketabahan

    dan kesabaran yang luar biasa dalam menyebarkan ajarannya, selain Nabi

    Ibrahim As, Musa As, Isa As, dan Nabi Muhammad Saw.

    Selanjutnya, kisah Nabi Nuh As dan kisah lain yang diulang-ulang

    (tikrâr) pada beberapa surah dan ayat dalam Al-Qur’an, menurut Mannâ’

    al-Qaṯṯan, memiliki beberapa maksud, diantaranya adalah untuk

    menunjukan kualitas balâgah al-Qur’an yang tinggi, untuk peneguhan dan

    penguatan makna kisah dalam jiwa, serta menunjukan adanya perbedaan

    1 Amy E. Spaulding, The Art of Storytelling (United Kingdom: The Scarecrow Press,

    2011), 91. 2 Sayyid Quṯb, al-Taṣwîr al-Fannî fî al-Qur’ân (Kaito: Dâr al-Ma’ârif, t.th.), 120. 3 A. Hanafi, Segi-segi Kesusasteraan pada Kisah-kisah al-Qur’an (Jakarta : Pustaka

    al-Husna, 1983), 22.

  • 3

    tujuan berbagai penceritaan.4

    Oleh karena itu, kisah Nabi Nuh As sebagai bagian dari rantai kenabian

    dan kerasulan serta direkam oleh al-Qur’an selain menarik untuk dikaji juga

    perlu dimaknai.

    Pemahaman kisah sendiri dalam al-Qur’an menimbulkan perdebatan di

    antara kalangan sejarah muslim awal hingga sekarang. Manna’ Khalil al-

    Qaṯṯân dalam karyanya Mabâhis fî’ Ulûm al-Qur’ân menyatakan bahwa

    kisah al-Qur’an merupakan fakta sejarah.5Sementara sarjana kontemporer

    Muhammad Ahmad Khalaf al-lâh dengan karyanya al-Fann al-Qasasî fî al-

    Qur’ân al-Karîm menolak pandangan tersebut dengan keyakinan bahwa al-

    Qur’an bukan kitab sejarah dan kemungkinan kisah al-Qur’an tidak benar-

    benar terjadi.6

    Terlepas dari perdebatan problem ontologis di atas, pada hakikatnya

    ayat-ayat kisah dalam al-Qur’an bukanlah untuk menganalisis bahwa ayat-

    ayat tersebut merupakan data sejarah atau bukan, apakah kisah tersebut

    benar-benar terjadi atau tidak, melainkan untuk menguak pesan tuhan yang

    terekam dalam ayat-ayat kisah tersebut. Untuk itu dibutuhkan metodologi

    penafsiran khusus yang mumpuni dan objektif agar tidak terjadi

    kesalahpahaman pemaknaan.7

    Secara intrinstik nash al-Qur’an memang tidak berubah, tetapi

    penafsiran akan teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan

    waktu. Karenanya, al-Qur’an membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi,

    4 Muhammad Rusydi, “Makna Kisah Nuh AS Dalam Al-Quran (Perspektif

    Hermeneutika Filosofis)”. Al-Banjari 17, no. 1 (Januari-Juni 2017), 2. Lihat juga Mannâ

    al-Qaṯṯân, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân (tt.: al-Manshûrât al-‘Aṣr al-Ḥadîts, 1973), 308. 5Muhammad Mahmud Hijazi, Fenomena Keajaiban al-Qur’an; Kesatuan Tema

    dalam al-Qur’an. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dan Sutrisno Hadi (Jakarta : Gema

    Insani, 2010), 342. 6Manna’ Khalil al-Qattân, Mabâhis fî Ulûm al-Qur’ân, terj, H. Aunur Rafiq El-

    Mazni, Lc. MA (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2006), cet. 1, 390-391. 7Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

    2008), 93.

  • 4

    dan diinterpretasi (ditafsirkan) dengan berbagai metode dan pendekatan

    sebagai cara atau alat dalam mengungkapan makna. Begitu pula dalam

    mengungkapkan makna ayat kisah, tanpa adanya metode dan pendekatan

    dalam menggambarkan suatu makna, maka kebenaran dan pesan yang

    diterima hanyalah bersifat tekstual, literal dan spiritual.8 Lantas bagaimana

    nash al-Qur’an dapat dipahami, ditafsirkan, dan didialogkan demi

    menghadapi realitas sosial saat ini.

    Penafsiran manusia selalu berkembang seiring dengan perkembangan

    zaman, sehingga tidak ada satu metode atau bentuk penafsiran yang bisa

    diklaim sebagai penafsiran yang mutlak benar.9 Alih-alih ingin

    menghilangkan kesubjektifan penafsiran dan mengklaim bahwa

    penafsirannya merupakan tafsiran yang objektif, keputusan tersebut

    merupakan kesalahan fatal. Karena hakikatnya, seorang mufassir sulit untuk

    menghilangkan kesubjektivan mereka dan hanya berusaha meminimalisir

    hal tersebut.10 Pandangan ini merupakan sudut pandang alamiah dan tidak

    bahaya asalkan sudut pandang tersebut tidak mendistorsi objek pandangan

    dan terbuka bagi visi-visi orang yang memandangnya.11

    Dalam rangka memahami al-Qur’an, mendialektiskan suatu ayat

    bukanlah hal yang mudah mengingat bahwa setiap metode dan tafsir, setiap

    cara dan pendekatan, secanggih apapun ia digunakan, bisa jadi ia selalu

    dalam posisi : “lain di teks, lain pula di konteks.” Mencari titik temu dan

    merelevansikan antara teks dan konteks merupakan tugas berat yang

    8Ahmad Taufik, MA. Hum, Tekstualitas Penafsiran al-Qur’an Kritik Metodologi

    Tafsir (Ciputat: Cinta Buku Media, 2014), cet. I, 8-17. Lihat juga Labib Muttaqin,

    “AplikAsi Teori Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Dokrin Kewarisan Islam

    Klasik,” Jurnal al-Manâhij (jurnal kajian hukum Islam)VII, no. 2(Juli 2013), 199.. 9Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an)

    (Yogyakarta: Titian Ilahi Perss, 1997), 74. 10Amina Wadud Muhsin, “Qur’an and Woman”, dalam Charlez Khuzman (ed.).

    Liberal Islam. (New Work: Oxford University press, 1998), 127-128. 11Taufik Adnal Amal, Islam dan Tantangan Modernitas (Study atas Pemikiran

    Hukum Fazlur Rahman) (Bandung : Mizan, 1989), 193.

  • 5

    diemban para mufassir dan hal ini sudah berlangsung sedari tafsir era

    formatif hingga reformatif.12 Problema inilah yang nantinya akan

    melahirkan metode-metode dan tafsir-tafsir dengan berbagai corak dan

    ragamnya, dengan berbagai dinamika dan pergulatan yang terjadi saat ini.13

    Menanggapi permasalahan di atas, bahwasanya pada penelitian ini

    penulis membutuhkan metodologi tafsir yang bisa digunakan untuk

    memahami makna kisah dalam al-Qur’an secara kritis, dialektis, reformatif,

    dan transformatif sehingga penafsiran tersebut mampu menyingkap

    kandungan nilai dan ajaran al-Qur’an sesuai dengan situasi dan tuntutan

    zaman.

    Dari penuturan di atas, peneliti tertarik terhadap metodologi yang

    dimiliki oleh A.H. Johns dengan menggunakan pendekatan Narrative

    Criticism sebagai pisau analisis untuk menguak makna kisah dalam al-

    Qur’an secara objektif dan aktual.

    Dari pemaparan di atas maka penulis mengangkat skripsi yang berjudul

    “Analisis Kisah Nabi Nuh Dalam Al-Qur’an (Pendekatan Narrrative

    Criticism: A. H. Johns).

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat berbagai macam

    metodelogi penafsiran kisah dalam al-Qur’an. Salah satunya pendekatan

    sastra, yaitu kritik naratif, stilistiks, dll. Tak jauh berbeda dengan penulis

    yang ingin mencoba mengaplikasikan pendekatan kritif naratif secara

    umum, hanya saja pendekataan kritik sastra ini adalah pendekatan yang

    12Dr. Abdul Mustaqim. Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : LkiS Group,

    2010), 35-53. Lihat juga Nasr Hâmid Abû Zayd. Naqd al-Khitâb al-Dînî, (Kairo : Sina li

    an-Nasyr, 1994), 142-143. 13Fazlur Rahman, Islam and Moderity; Transformation of Intellectual Tradition, (US

    : Chicago & London University of Chicago, 1982 Press), 145. Lihat juga Prof. Dr. Umar

    Shihab, MA, Kontekstuaitas Al-Qur’an Kajian Tematik Atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-

    Qur’an (Jakarta : Penamadani, 2005), cet. III, . 3-4.

  • 6

    diterapkan oleh A. H. Johns untuk mencapai pemahaman kisah yang

    termuat di dalam Al-Qur’an.

    Oleh karena itu, penulis akan membatasi penelitian ini dengan hanya

    membahas kisah Nabi Nuh As dengan pendekatan Narrative Criticism

    (kritik naratif) A. H. Johns. Maka penelitian ini akan difokuskan pada

    rumusan masalah berikut:

    1. Bagaimana gambaran kisah Nabi Nuh As dengan pendekatan

    Narrative Criticism?

    C. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak

    dicapai dalam penulisan ini adalah:

    Menganalisis kisah Nabi Nuh dengan pendekatan Narrative

    Criticism yang dipakai A. H. Johns, sehingga dapat

    memunculkan isi dari kisah tersebut.

    2. Manfaat Penelitian

    1. Secara akademis, penelitian ini menguatkan Wardatun

    Nadhiroh untuk mengkaji kisah dalam al-Qur’an dengan

    pendekatan Narrative Criticism khususnya yang dimiliki A. H.

    Johns.

    2. Secara praktis, skripsi ini dapat digunakan sebagai rujukan

    alternatif dan bahan bacaan dalam mendukung mata kuliah

    Pendekatan Modern dalam al-Qur’an, dan Kajian Barat

    Terhadap al-Qur’an.

    D. Tinjaun Pustaka

    Beberapa literatur penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kisah

    Nabi Nuh As atau metode kritik naratif bersumber dari buku-buku, skripsi,

    tesis, artikel, dll.

  • 7

    Pertama, Wardatun Nadhiroh “ Memahami Narasi Kisah al-Qur’an

    dengan Narrative Criticism (Studi atas Kajian A. H. Johns). Dalam artikel

    ini, Wardatun mencoba untuk merespon kepada A. H. Johns selaku Guru

    Besar Study Keislaman di Australia National University, Canberra yang

    mencoba untuk mengungkapkan makna kisah dalam al-Qur’an dengan

    mengadopsi pendekatan Narrative Criticism yang diterapkan oleh

    kesarjanaan gereja ketika menafsirkan kisah dalam al-Kitab.

    Saya mengacu kepada Warda terhadap pendekatan yang saya ambil

    untuk metode penafsiran. Hal yang membedakan saya menjadikan Nabi

    Nuh sebagai objek penelitian sedangkan Warda mengulas perihal Narrative

    Criticism sebagai pendekatan kisah secara menyeluruh Oleh karenanya,

    penulis menjadikannya sebagai tolok ukur atau pijakan dalam mengungkap

    kisah dengan menggunakan pendekatan Narrative Criticism.14

    Kedua, Asep Sopian “Stilistika Dialog Qur’ani Dalam Kisah Nabi Nuh

    AS”. Asep mencoba menggambarkan kisah Nabi Nuh dengan mengunakan

    metode Stilistika, yakni gaya bahasa yang digunakan seseorang bertujuan

    untuk mengungkapkan pikiran yang dapat mencerminkan jiwa dan

    kepribadian pengarang. Gaya bahasa mencakup diksi, struktur kalimat,

    majas, citraan dan rima.

    Sedangkan penulis menarasikan kisah nabi Nuh dengan aspek kisah

    dan discoure dengan pendekatan Narrative.15 Hal ini terlihat jelas bahwa

    14Wardatun Nadhiroh, “Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative

    Criticism (Studi atas Kajian A.H. Johns)”, Jurnal Ilmu Ushuluddin 12, no. 2 (Juli 2013). 15 Dalam praktiknya, kritik naratif ini menekankan pada pemahaman dua aspek.

    Pertama, aspek kisah (story), yaitu isi dari narasi tersebut, yang menekankan pada 1)

    peristiwa yang terjadi di dalamnya, 2) tokoh-tokoh, 3) latar yang meliputi waktu, tempat,

    dan kondisi sosial, serta 4) alur. Kedua, Aspek penuturan (discourse), yaitu cara isi narasi

    tersebut diceritakan, yang memuat 1) gaya penceritaan, 2) sudut pandang (point of view),

    3) pengarang tersirat (implied author), dan 4) pembaca tersirat (implied reader). Keduanya

    dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan dalam suatu narasi. Baca Wardatun Nadhiroh,

    Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative Criticism (Studi atas Kajian A. H.

    Johns), 218.

  • 8

    penulis dan Asep memiliki kesamaan dalam objek penelitian hanya metode

    pendekatan dalam menafsirkannya yang berbeda.16

    Ketiga, Muhammad Rusydi “Makna Kisah Nuh AS Dalam Al-Qur’an

    (Perspektif Hermeneutika Filosofis)”.Dalam jurnal ini, Rusydi mencoba

    maknai kisah Nuh dengan sudut pandang hermeneutika filosofis yang

    dipelopori oleh Heidegger dan Gadamer.

    Sedangkan penelitian yang penulis garap adalah memaknai kisah nabi

    Nuh dengan penarasian Naratif. Terlihat jelas perbedaan dan kesamaan

    yang ada dalam jurnal Rusydi dan penulis, bahwa keduanya menjadikan

    objek penelitian yang sama yakni nabi Nuh dengan menggunakan

    pendekatan yang berbeda.17

    Keempat, M. Faisol dalam “ Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif

    Naratologi Al-Quran”. Pada penelitiannya, Faisol menginterpretasikan

    kisah nabi Musa dengan analisis naratif berpijak pada teori naratologi yang

    berfokus untuk menganalisis sesuatu yang berurutan, yang memiliki awalan

    dan akhiran atau awal-tengah-akhir.

    Sepintas bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Faisol dan penulis ada

    kesamaan yakni menarasikan kisah dan keduanya berkutat dalam bidang

    sastra, tetapi yang lebih spesifik bahwa penulis mengadopsi pendekatannya

    terhadap pemikiran A. H. Johns dan perbedaan hanya dalam segi objek

    penelitiannya. Hal ini menjadikan sedikit banyaknya jurnal ini sebagai tolok

    ukur penulis.18

    Kelima, Muhammad Khatib dalam “Penafsiran Kisah-Kisah al-Qur’an:

    Telaah Terhadap Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullah dalam al-

    16 Asep Sopian, “Stilistika Dialog Qur’ani Dalam Kisah Nabi Nuh AS)”, Jurnal

    Bahasa dan Seni, no. 2 (Agustus 2017). 17 Muhammad Rusydi, “Makna Kisah Nuh AS Dalam Al-Quran (Perspektif

    Hermeneutika Filosofis)”, Al-Banjari 17, no. 1 (Januari-Juni 2017) 18M. Faisol,“Interpretasi Kisah Nabi Musa Perspektif Naratologi Al-Quran,”

    Islamica: Jurnal Study Keislaman 2, no. 2 (Maret 2017).

  • 9

    Fann al-Qaṣaṣî fî al-Qur’ân al-Karîm”. Penelitian ini membahas penafsiran

    kisah-kisah al-Qur’an dalam al-Fann al-Qaṣaṣî fî al-Qur’ân al-Karîm,

    karya Muhammad Khatib dengan penulis memiliki kesamaan, yakni

    pembahasannya sama-sama berkaitan dengan kisah al-Qur’an.

    Adapun perbedaannya adalah Muhammad Khatib dengan penulis

    terlihat jelas bahwa Muhammad Khatib hanya merujuk kepada pemikiran

    Khalafullah dan tidak menyebutkan kisah secara khusus, sedangkan penulis

    menitikkan kepada kisah Nabi Nuh dengan pendekatannya Narrative

    Criticism.19

    Keenam, Moh. Wakhid Hidayat dalam “Qasas Al-Qur’an Dalam Sudut

    Pandang Prinsip-Prinsip Strukturalisme dan Narasi (Pengantar Studi Sastra

    Narasi al-Qur’an).” Dalam jurnal Moh. Wakhid dijabarkan perbedaan

    Pendekatan strukturalisme dan narasi dalam menafsirkan kisah-kisah dalam

    al-quran.

    Secara sepintas Penulis menjadikan penelitian ini sebagai tolok ukur

    penarasian kisah dalam al-quran dan hanya melihat secara umum

    penarasian kisah dalam penelitian ini dan membandingkan dengan

    penelitian penulis, yakni penarasian yang dimiliki oleh A. H. Johns.20

    E. Metodologi Penelitian

    Metode penelitian merupakan cara yang dipakai untuk mencari.

    Mencatat, menemukan, dan menganalisis sampai menyusun laporan guna

    mencapai tujuan.21 Adapun metode penelitian yang digunakan dalam

    melakukan penelitian ini diuraikan sebagai berikut:

    19Muhammad Khotib, ”Penafsiran Kisah-Kisah Al-Qur’ân: Telaah Terhadap

    Pemikiran Muhammad Ahmad Khalafullah Dalam Al-Fann Al-Qasasi fī Al-Qur’ân Al-

    Karim,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

    2009). 20 Moh. Wakhid Hidayat, “Qasas al-Qur’an Dalam Sudut Pandang Prinsip-Prinsip

    Strukturalisme Dan Narasi, “ Adabiyyat, 8, no. 1, (Juli 2009). 21Cholid Nur Boko dan Abu Ahmadi, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara

    Pustaka),1.

  • 10

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah

    penelitian library research, merupakan penelitian yang mengambil bahan-

    bahan kajiannya pada berbagai sumber, baik yang ditulis oleh tokoh yang

    diteliti itu sendiri atau disebut dengan sumber primer, maupun sumber yang

    ditulis oleh orang lain mengenai yang ditelitinya. Karena penelitian ini

    bertujuan menelaah atau mengkaji suatu kitab atau buku mengenai kisah

    Nabi Nuh As dalam al-Qur’an, maka jenis penelitian yang sesuai adalah

    penelitian pustaka yang bercorak deskriptif-analitis.22

    2. Teknik Pengumpulan Data

    Adapun sumber data yang peneliti gunakan untuk keperluan penelitian

    ini adalah sebagai berikut:

    a. Data Primer

    Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus

    menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya. Data dikumpulkan

    sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek

    penelitian dilakukan.23

    Data primer ini merupakan sumber utama yang berperan dalam

    pengumpulan data untuk kepentingan peneliti untuk penelitiannya. Karena

    penelitian ini berjenis kajian pustaka, maka sumber utamanya yaitu al-

    Qur’an dan kitab Tafsir yang memuat kisah Nabi Nuh As.

    b. Data Sekunder

    Data sekunder merupakan data yang dijadikan penunjang dalam

    pengumpulan data yang peneliti butuhkan. Data sekunder yang penulis

    gunakan berupa buku-buku, jurnal, buku tafsir-tafsir terjemahan dan yang

    22Abdurrahman Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi

    (Jakarta: PT. Renika Cipta, 2006, Cet. I), 95-96. 23 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta,

    2009, Cet. VIII), 137.

  • 11

    lainnya yang berkaitan dengan kisah Nabi Nuh As.

    c. Pengolahan Data

    Dalam penelitia ini, data-data yang dikumpulkan kemudian diolah

    dengan cara-cara berikut:

    1. Deskripsi

    Yaitu mengumpulkan dan mengelompokkan ayat-ayat yang menjadi

    bagian dari kisah Nabi Nuh As serta menguraikan kisah tersebut dengan

    pendekatan kritik naratif.

    2. Analisis

    Analisis data merupakan proses memilih dari beberapa sumber maupun

    permasalahan yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan.24 Setelah

    mendeskripsikan teori kritik naratif (narrative criticism), langkah

    selanjutnya adalah menganalisa teori kritik naratif (narrative criticism)

    yang nantinya mendapatkan kesimpulan teori siapa yang paling tepat untuk

    menggambarkan kisah Nabi Nuh As.

    a. Metode Penulisan

    Dalam Penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada Buku “Pedoman

    Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang disusun oleh

    tim Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun

    2007.25

    F. Sistematika Penulisan

    Untuk Keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi

    dalam menyusun skripsi ini, maka penulis membaginya dalam lima bab.

    Setiap bab mempunyai spesifik mengenai topik tertentu, diantaranya:

    Bab I Pendahuluan, terdiri dari : Latar Belakang Masalah, Pembatasan

    24Sedarmayanti dan Syarifuddin Hidayat, Metodologi penelitian (Bandung: CV.

    Mandar Maju, 2011), 166. 25Hamim Nasuhi, dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan

    DisertAsi), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: CeQda, 2007), cet.1.

  • 12

    dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi

    Penelitian dan Sistematika. Sebelum meranjak kepada pembahasan dalam

    bab pendahuluan penulis mengungkapkan alasan, tujuan, metode yang

    digunakan, sampai pada sistematika penulisan karya ilmiah / skripsi yang

    sedang dikerjakan.

    Bab II setelah melihat latar belakang dan menemukan masalah yang

    ada pada bab I, maka dibutuhkan metodologi dan teori yang dipakai adalah

    diskursus seputar narrative criticism, dalam bab ini memuat, narrative

    criticism sebagai kritik sastra, narrative criticism sebagai metode kisah,

    narrative criticism A. H. Johns.

    Bab III, setelah menemukan latar belakang, masalah, metodologi dan

    teori yang dipakai pada bab I dan II maka dalam bab ini penulis membahas

    tetang bagaimana gambaran umum kisah Nabi Nuh dalam al-Qur’an, dan

    memuat di dalamnya yaitu Nuh menyeru kaumnya hanya menyembah

    Allah, Nuh membuat perahu untuk menyelamatkan kaumnya, Nuh beserta

    kaum yang beriman berada dalam kapal dan terselamatkan dari banjir

    bandang, dan Nuh beserta seluruh kaumnya terselamatkan.

    Bab IV, setelah menggambarkan kisah Nabi Nabi Nuh secara umum

    yang terdapat dalam al-Qur’an pada bab III maka kisah tersebut di analisis

    memakai metode dan teori pada bab II dan sebagai objeknya yaitu kisah

    Nabi Nuh pada bab III, dalam bab ini penulis membahas tentang analisis

    kisah Nabi Nuh dalam al-Qur’an dan di dalamnya mencangkup kesejarahan

    figur Nabi Nuh, citra Nabi Nuh sebagai ulul ‘azmi: 1. Suami dan ayah yang

    taat kepada Allah, 2. Nabi yang sabar, dan 3. Nabi yang optimis.

    Bab V setelah penulis menganalisis kisah Nabi Nuh yeng terdapat pada

    bab IV lalu pada bab ini merupakan bagian penutup. Bab ini berisi

    kesimpulan yang telah didapatkan dari beberapa bab sebelumnya sebagai

    hasil dari penelitian dan merupakan jawaban secara singkat dan padat

  • 13

    terhadap pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan terdahulu. Bab ini

    diakhiri dengan saran penulis guna penelitian selanjutnya.

  • 14

    BAB II

    DISKURSUS SEPUTAR NARRATIVE CRITICSM

    Kisah atau narasi merupakan jenis paragraf penceritaan atas dasar

    pengamatan atau perekaan. Narasi berciri berorientasi pada tokoh.

    Rangkaian perbuatan bersifat logis, melahirkan kausalitas atau sebab-

    akibat. Tuturan-tuturan atau pernyataan di dalamnya memiliki hubungan

    kronologis, berstruktur stimulus-respons. Tuturan-tuturan itu mempunyai

    hubungan rangkaian waktu atau time sequence. Narasi berisi kisah kejadian

    atau peristiwa yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu.1

    A. Narative Criticsm Sebagai Kritik Sastra

    Dalam kajian Alkitab, telah berkembang pendekatan kritik naratif

    sebagai pisau analisis untuk memahami kisah yang ada dalam Alkitab.

    Pendekatan kritik naratif (narrative criticism) yang mendasarkan

    pemahaman dalam dunia teks itu sendiri, diharapkan kemudian agar mampu

    menguak makna teks secara objektif. Pendekatan ini kemudian juga

    diterapkan oleh sarjana Barat dari Inggris yang sekarang menjadi Guru

    Besar Studi Keislaman di Australian National University, Canberra, A. H.

    Johns, untuk memahami narasi kisah para nabi dalam al-Qur’an. Ayat-ayat

    kisah dalam al-Qur’an sendiri, itu mengambil porsi yang sangat banyak,

    mencapai seperempat al-Qur’an dan terdapat dalam 1.453 ayat. Kisah-kisah

    tersebut mencakup narasi tentang sejumlah Nabi dan Rasul, orang-orang

    bijak, sejarah, historiografi mitis, serta orang tersohor di masa lalu.2

    1Joseph E. Grimes, The Thread of Discourse (The Hague: Mouton, 1975), 261, lihat

    juga Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982),

    136, Anton M. Moeliono, Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar (Jakarta:

    Penerbit PT Gramedia, 1989), 124. 2 Claude Gilliot, “Narratives” dalam Jane Dammen Mc Auliffe, Encylopedia of the

    Qur’an, vol 3 (Leiden: Brill, 2004), 517.

  • 15

    Pada dasarnya, pendekatan ini merupakan cabang dari kritik literasi

    (literary criticism) dan konteks sastra (literary kontext) teks, yang mendapat

    tempatnya dalam kesarjanaan Gereja, untuk memahami kisah-kisah yang

    ada dalam Alkitab. Tanpa bermaksud mengesampingkan metode-metode

    kajian lain dalam memahami teks, kritik naratif ini ingin mendapatkan

    makna teks dari dalam teks itu sendiri. Jadi, jika ditanya apa yang

    membedakan antara kritik sejarah (historical criticism), ialah karena

    berkembang lebih dahulu dengan narrative criticism yang muncul

    belakangan, para sarjana akan mengibaratkan keduanya dengan jendela dan

    cermin.3

    Sementara, narrative criticism mengandaikan teks sebagai sebuah

    cermin, sehingga pemahaman hanya akan didapatkan dengan melihat teks

    itu sendiri. Dunia tekstual yang diciptakan oleh pengarang, sebagai sarana

    perantara mengajak pembaca untuk melihat dunia “sesungguhnya” tempat

    pembaca itu hidup dan menyadari bahwa dunia tekstual itu mengatakan

    sesuatu yang benar tentang dunia yang sesungguhnya itu. Pemahaman

    sebelumnya, dicukupkan hanya pada apa yang diungkapkan oleh teks (text

    centered approach), tanpa memperhatikan secara langsung kenyataan di

    belakangnya, merupakan ciri khas pendekatan naratif ini.4

    Adapun, historical criticism menganggap sebuah teks itu sebagai

    jendela, sehingga untuk mendapatkan suatu pemahaman, seorang penafsir

    harus melihat jauh ke belakang teks, kepada sejarah teks, sejarah pengarang

    dan komunitasnya – tafsir ini disebut dengan pendekatan diakronik

    (melintasi waktu). Entah itu melalui kritik teks atau melalui kritik bentuk,

    entah itu lewat kritik tradisi atau lewat kritik redaksi, entah itu berkaitan

    3 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor, Dan

    O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 11. 4 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor, Dan

    O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 15.

  • 16

    dengan ‘sejarah di dalam teks’ atau berhubungan dengan ‘sejarah dari teks’,

    pembaca diajak menggunakan teks sebagai ‘jendela’ untuk memandang

    dunia penulis teks.5

    Ketika pengarang asli teks (original author) dan pembaca/penafsir masa

    kini tidak diberi tempat dalam penafsiran, maka dimunculkan penggantinya,

    masing-masing disebut pengarang tersirat (implied author) dan pembaca

    tersirat (implied reader). Implied author berfungsi atau bertindak sebagai

    narator yang sedang berkisah atau memberi petunjuk-petunjuk atau catatan-

    catatan kepada pembaca kekinian tersebut (implied reader). Dalam

    pandangan dunia pembaca atau para kritikus naratif, pengarang tersirat itu,

    harus juga mumpuni karena dia sudah dianggap menghasilkan kisah dari

    awal sampai akhir, adalah sebagai tokoh yang serba-tahu (tahu hal-hal yang

    sudah terjadi maupun yang masih akan terjadi), sebagaimana maksud dalam

    narasi-narasi kitab suci, mempunyai sudut pandang (point of view) yang

    sama dengan sudut pandang Allah sendiri sebagai tokoh utama dalam

    narasi.6

    Dengan kritik ini, penafsir memusatkan perhatian bukan pada sejarah

    teks atau pada pengarang teks yang hidup di zaman dulu, melainkan pada

    dunia teks (text world) atau dunia kisah (story world) yang ada pada teks.

    Teks sebagai kisah-yang-berjalan, itulah yang hendak diikuti penafsir.

    Maksud dan pesan teks timbul dari dunia kisah yang disampaikan teks,

    bukan dari pengarang teks yang hidup di zaman lampau. Pengarang teks

    diabaikan (‘karena dia sudah mati’) dan kini teks dengan dunianya berdiri

    sendiri secara otonom sebagai satu kesatuan kisah bermakna di hadapan si

    5 Lihat, Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series,

    Editor, Dan O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 2-5. 6 Wardatun Nadhiroh, “Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative

    Criticism: Studi atas Kajian A. H. Johns”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Juli 2013, Vol. 12, No.

    2, 215.

  • 17

    pembaca/penafsir. Namun, pembaca atau penafsir masa kini juga tidak

    diberi tempat dan peran untuk menentukan makna teks.7

    B. Narrative Sebagai Metode Kisah

    Metode ini mensyaratkan pembacaan yang berulang kali agar kisah itu

    menjadi hidup dan seakan-akan merupakan suatu dunia tersendiri dengan

    hukum-hukumnya. Karena pusat perhatian kritik naratif adalah dunia kisah,

    maka untuk mengerti dan menangkap pesan dan maksud teks, kisah ini

    harus diikuti dengan seksama dan dipahami dengan benar, dengan cara

    mengikuti peristiwa (event) yang terjadi di dalamnya, mengenali tokoh-

    tokoh (character) yang digambarkan terlibat dalam berbagai peran dan

    aktivitas dalam dunia kisah, melihat latar (setting) sebagai konteks cerita

    tentang terjadinya sesuatu di dalam dunia kisah, mengikuti alur cerita (plot)

    yang sedang bergerak dari tahap awal, menuju klimaks dan berakhir pada

    anti-klimaks dan ending atau akhir kisah.8

    Peristiwa (event), dalam narasi, merupakan peralihan kisah dari satu

    keadaan kepada keadaan yang lain. Peralihan ini seringkali terjadi melalui

    suatu konflik. Di dalam Injil, peristiwa-peristiwa biasanya dikisahkan

    melalui adegan-adegan atau perikop-perikop. Peralihan tokoh atau latar,

    baik itu tempat maupun waktu menandai adegan baru mulai disajikan.

    Tokoh (character), adalah subjek atau pelaku yang melakukan kegiatan

    yang merubah situAsi dalam suatu kisah, atau bisa juga sebagai objek

    (pelengkap penderita) dari suatu kegiatan, yang pada prinsipnya juga dapat

    melakukan kegiatan. Tokoh bisa jadi merupakan satu oknum ataupun suatu

    kelompok.

    7 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor,

    Dan O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 5 8 Wardatun Nadhiroh, “Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative

    Criticism:Studi atas Kajian A. H. Johns”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, (Juli 2013, Vol. 12, No.

    2), 217.

  • 18

    Latar (setting) waktu menjelaskan tentang waktu suatu peristiwa atau

    suatu rentetan peristiwa yang terjadi dalam narasi tersebut. Latar waktu

    dapat dibedakan menjadi dua, yaitu latar waktu secara kronologis dan latar

    waktu tipologis. Adapun latar tempat (latar ruang) menjelaskan tentang

    tempat suatu peristiwa terjadi. Dan latar sosial merupakan situasi yang

    terdapat dalam suatu kisah. ‘Sosial’ di sini dipakai dalam arti luas yang

    meliputi situasi politis, ekonomi, kultural, dan lain-lain.

    Alur (plot) adalah perkembangan sebuah kisah dari awal hingga akhir

    melalui peristiwa-peristiwa yang ada di dalam kisah tersebut. Dapat

    disimpulkan bahwa alur adalah hasil interaksi dari peristiwa-peristiwa,

    tokoh-tokoh, latar waktu, latar tempat, dan latar social dalam suatu kisah.

    Gaya penuturan (style) meliputi pemakaian bahasa secara beragam,

    yang hendak memperoleh efek tertentu. Gaya penuturan tersebut dapat

    diungkapkan dalam bermacam cara, seperti ironi atau pola-pola sastra tetap

    yang telah diketahui oleh pembaca, semisal repitisi dan lain-lain.

    Pengarang tersirat pasti berusaha meyakinkan pembaca tersirat akan

    kebenaran berita yang hendak disampaikannya melalui kisah, karena itu,

    dalam kritik naratif perhatian juga harus diberikan kepada retorika (seni

    mempersuasi atau meyakinkan pembaca atau pendengar) yang dipakai di

    dalam gaya penuturan (style).9

    Layaknya content al-Qur’an keseluruhan, ayat-ayat kisah juga

    mengemban fungsi al-Qur’an secara umum, yakni menyimpan petunjuk

    yang relevan sepanjang masa terekam dalam ayat-ayat kisah tersebut,

    dibutuhkan metodologi penafsiran khusus yang mumpuni dan objektif agar

    tidak terjadi kesalahpahaman pemaknaan. Selama ini, kajian tentang ayat-

    ayat kisah hanya sampai pada pembicaraan ontologis, apakah itu merupakan

    9 Adji A. Sutama, Mengapa Kamu Menengadah Ke Langit; Analisis Naratif Kisah

    Kenaikan Yesus (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, t.th), 8-9.

  • 19

    data sejarah atau bukan, apakah kisah-kisah tersebut benar-benar terjadi

    atau tidak. Padahal, terlepas dari semua itu, yang harus selalu diingat adalah

    peran kisah itu sendiri, sebagai salah satu metode al-Qur’an untuk

    menjelaskan ajarannya, baik itu tentang keimanan ataupun pengetahuan

    akan Tuhan dan Alam Semesta.10

    Jadi, dalam praktiknya, kritik naratif ini menekankan pada pemahaman

    dua aspek. Pertama, aspek kisah (story), yaitu isi dari narasi tersebut, yang

    menekankan pada 1) peristiwa yang terjadi di dalamnya, 2) tokoh-tokoh, 3)

    latar yang meliputi waktu, tempat, dan kondisi sosial, serta 4) alur. Kedua,

    aspek penuturan (discourse), yaitu cara isi narasi tersebut diceritakan, yang

    memuat 1) gaya penceritaan, 2) sudut pandang (point of view), 3) pengarang

    tersirat (implied author), dan 4) pembaca tersirat (implied reader).

    Keduanya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan dalam suatu narsi.11

    Dari sisi hermeneutisnya, kritik teks dengan pendekatan naratif ini

    meniscayakan beberapa implikasi pemahaman. Pertama, ketika kritik

    naratif ini memfokuskan pemahaman pada teks itu sendiri, hal ini bukan

    berarti meniadakan fakta-fakta yang ada di luar teks tersebut. Penggunaan

    kritik naratif akan menjadi efektif jika penafsir mengetahui kenyataan

    sosio-historis yang diasumsikan oleh narasi tersebut. Selain itu, mengingat

    teks itu sendiri juga berperan sebagai konteksnya, maka seorang penafsir

    tidak cukup hanya membaca teks ini sekali, melainkan harus dibaca

    berulang kali untuk mendapatkan pemahaman utuh yang dikehendaki dalan

    konteks naratif.12

    10 Wardatun Nadhiroh, “Memahami Narasi Kisah al-Qur’an dengan Narrative

    Criticism: Studi atas Kajian A. H. Johns”, Jurnal Ilmu Ushuluddin, (Juli 2013, Vol. 12,

    No. 2), 214. 11 Adji A. Sutama, Mengapa Kamu Menengadah Ke Langit; Analisis Naratif Kisah

    Kenaikan Yesus (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, t.th), 9. 12 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor, Dan

    O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 85.

  • 20

    Kedua, kritik naratif juga menawarkan ‘angin segar’ penafsiran yang

    beragam dari suatu teks, mengingat suatu kisah dapat ‘berbicara’ kepada

    pembacanya tanpa dibatasi oleh waktu dan jarak. Ketiga, dengan kritik

    naratif ini, kekuatan dari kisah-kisah kitab suci mampu ditransformasikan

    dalam kehidupan pribadi dan sosial. Pada praktiknya, kritik ini juga dapat

    digunakan untuk membaca teks-teks yang memiliki latar belakang historis

    yang tidak pasti.13

    C. Narrative Criticsm A. H. Johns

    Dalam mengaplikasikan metode kritik naratifnya, atas kisah para Nabi

    misalnya, Johns meyakini bahwa kisah-kisah para nabi dalam al-Qur’an,

    merupakan salah satu cara al-Qur’an mengkomunikasikan pesan-pesannya.

    Karenanya, dapat dipastikan pula Johns akan melacak semua informasi

    yang tersedia agar unsur dan struktur kisah menjadi lengkap, sehingga

    walaupun teks al-Qur’an hanya menghadirkan sedikit informasi, dia akan

    menelusurinya melalui riwayat-riwayat yang diasumsikan oleh teks kisah.14

    Al-Qur’an telah melewati suatu proses pewahyuan yang berangsur-

    angsur selama kurang lebih 23 tahun, dalam bentuk wahyu yang dibawa

    oleh Jibril kepada Muhammad. Al-Qur’an di masa turunnya inilah yang

    disebut Johns dengan al-Qur’an as process. Al-Qur’an dalam mode process,

    bermakna God’s locution (kalam Tuhan) yang diturunkan kepada Nabi

    Muhammad dalam peristiwa-peristiwa tertentu dalam hidupnya, dimulai

    ketika dia mendapat wahyu pertama di Gua Jabal Nūr sekitar tahun 610 M

    dan berlanjut sampai sebelum wafatnya pada tahun 632 M. Untuk

    mengetahui eksistensi al-Qur’an sebagai process ini, dapat diidentifikasi

    13 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticsm: New Testament Series, Editor, Dan

    O. VIA, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 91. 14 Wardatun Nadhiroh, “Memahami NarAsi Kisah al-Qur’an dengan Narrative

    Criticism:Studi atas Kajian A. H. Johns, “Jurnal Ilmu Ushuluddin” (Juli 2013, Vol. 12,

    No. 2), 220.

  • 21

    melalui asbāb al-nuzūl, walaupun tidak keseluruhan ayat al-Qur’an

    memiliki asbāb al-nuzūl.15

    Dalam tahapan selanjutnya, menurut Johns al-Qur’an mengalami

    bentuk event ketika ia telah menjadi ‘Mushaf Utsmani’ yang secara

    universal telah diketahui, tersusun dalam 114 surah yang tidak didasarkan

    atas kronologi pewahyuan. Proses transformasi al-Qur’an ini, yang awalnya

    masih berbentuk proses, kemudian beralih dan tersusun dalam bentuk

    mushaf (al-Qur’an as event), masih merupakan misteri dalam pikiran Johns.

    Namun, ia mencoba menampilkan pendapat al-Suyūṭi dan al-Rāzī untuk

    memberikan sedikit gambaran penjelasan tentangnya.16

    Dalam hal ini, Johns terkesan mengamini pendapat sarjana Muslim

    kebanyakan yang meyakini bahwa bentuk al-Qur’an dalam mode mushaf

    sekarang memang berasal dari petunjuk Nabi atau tauqīfī, sehingga

    walaupun hubungan antar bagian-bagian al-Qur’an masih menjadi misteri,

    tetapi diyakini pasti ada rahasia di baliknya. Pendapat ini sangat jelas

    berbeda dengan tokoh sejawatnya, Angelika Neuwirth yang memandang

    bahwa susunan al-Qur’an dalam mushaf itu murni hasil karya para redaktur

    di masa kanonisasi, disusun bukan berdasarkan pertimbangan kronologis

    atau teologis, tetapi sekedar berdasarkan ketentuan teknis dan eksterior

    semata.17 Dalam pandangan ini, setelah mengalami kodifikasi, al-Qur’an

    hanyalah gabungan teks yang tidak memiliki bukti hubungan yang jelas satu

    sama lainnya.

    Jika Neuwirth menganggap bahwa al-Qur’an yang “ideal” adalah

    15 Lien Iffah Naf’atu Fina, “Pre-Canonical Reading of the Qur’an (Studi atas Metode

    Angelika Neuwirth dalam Analisis Teks al-Qur’an berbasis Surah dan Intertekstualitas)”,

    Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011, 77. 16 A.H. Johns, “Holy Ground; A Space to Share”, 64. 17 Lien Iffah Naf’atu Fina, “Pre-Canonical Reading of the Qur’an (Studi atas Metode

    Angelika Neuwirth dalam Analisis Teks al-Qur’an berbasis Surah dan Intertekstualitas)”,

    Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011, 99.

  • 22

    seperti yang hidup pada masa Nabi dan karenanya harus dilihat dalam

    kerangka perjalanan turunnya, maka Johns menghargai kedua bentuk al-

    Qur’an tersebut, baik ketika hidup di masa Nabi ataupun setelah kodifikasi,

    bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Lebih lanjut,

    Johns berpendapat bahwa hubungan antara dua mode di atas merupakan

    suatu bagian dari dinamika internal al-Qur’an itu sendiri. Ibaratnya, dua

    mode tersebut adalah sepasang paru-paru al-Qur’an. Kinerja al-Qur’an

    dapat ditingkatkan secara produktif asalkan kedua paru-paru tersebut

    menyediakan ‘udara’ pemahaman. Jadi, sangat signifikan untuk berusaha

    menyusun kembali teks al-Qur’an dan menghadirkan perikopnya dalam

    susunan pewahyuan semula sebelum dia tersusun dalam mushaf.18

    Selanjutnya, terlepas dari konteksnya yang khusus sebagaimana ia

    diturunkan, al-Qur’an seharusnya juga ditempatkan dalam posisi

    kontekstual mereka dalam Mushaf Utsmani, yang mana mereka berada

    dalam surah tertentu dan dalam kitab secara keseluruhan, agar menemukan

    aksentuasi dan resonansi yang akan memberikan akses pada berbagai level

    pemahaman. Dua konsep al-Qur’an ini menandai adanya dua prinsip dasar

    kajian al-Qur’an yang keduanya memiliki peran masing-masing dalam

    upaya memahami suatu teks al-Qur’an dan harus diterapkan secara

    bersamaan.

    D. Analisis Naratif atas Kisah Nabi Ayyub dalam al-Qur’an; Sebuah

    Contoh Aplikatif

    Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang memuat narasi kisah para nabi,

    terdapat beberapa ayat yang menceritakan tentang sosok Ayyub. Dalam

    membaca kisah Nabi Ayyub yang terdapat dalam sejumlah ayat di beberapa

    18 Lien Iffah Naf’atu Fina, “Pre-Canonical Reading of the Qur’an (Studi atas Metode

    Angelika Neuwirth dalam Analisis Teks al-Qur’an berbasis Surah dan Intertekstualitas)”,

    Tesis, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011, 79.

  • 23

    surah yang berbeda, Johns memulai kajiannya dengan membagi kisah ini ke

    dalam empat perikop, yaitu QS. Sād [38]: 41-44, QS. al-Anbiyā’ [21]: 83-

    84, QS. al-An’ām [6]: 83-87, dan QS. al-Nisā’ [4]: 163-165. Dua perikop

    pertama memberikan informasi naratif tentang sosok Ayyub, sedangkan

    dua yang lain hanya menampilkannya sebagai salah seorang anggota dari

    majelis para nabi.19

    Terkait urutan pembahasan, A. H. Johns nampaknya menganalisis kisah

    ini berdasarkan kronologi pewahyuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibn

    ‘Abbas yang menyatakan bahwa dua surah pertama yang memuat kisah

    Ayyub tersebut tergolong surah Makkiyah dan secara kronologis, surah Sād

    lebih dahulu diturunkan, yang dalam perhitungan Ibn Abbas menempati

    urutan surah ke-37, sedangkan surah al-Anbiyā menempati urutan surah ke-

    100.20

    QS. Sād [38]: 41-44, menurut Johns merupakan statement utama yang

    menjelaskan tentang kenabian Ayyub sementara tiga perikop lainnya adalah

    komplemen cerita yang berfungsi sebagai penegasan bahwa Ayyub

    merupakan salah seorang nabi. Hal ini diindikasikan dari segi redaksinya,

    pemaparan kisah Ayyub dalam surah Sād lebih detail dibanding bagian

    lainnya.

    Johns pada bagian ini, mulai menganalisis aspek isi (story) dari kisah

    ini, yang mencakup peristiwa, tokoh, setting, dan alur kisah ini. Johns

    mempertanyakan: siapakah Ayyub? Apa yang membuatnya merintih dalam

    kepedihan? Bagaimana setan menyebabkan kesulitan dan kesedihan?

    Mengapa dia dititahkan untuk menggali tanah dengan kakinya? Mengapa

    dia membutuhkan air? Kapan dan bagaimana ia dipisahkan dari

    19 A. H. Johns, “Job” dalam Jane Dammen Mc.Auliffe, Encylopedia of the Qur’an,

    Vol. 3(Leiden: Brill. 2004), 50. 20 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an (Yogyakarta: FKBA, 2001),

    49.

  • 24

    keluarganya? Mengapa Ayyub diperintahkan mengambil sebuah ranting

    daun untuk memukul seseorang atau sesuatu? Apakah sumpah yang harus

    dia jaga? Apakah hubungan antara dua bagian kumpulan cerita yang tampak

    tidak berhubungan tersebut? Dan terakhir, mengapa Tuhan memujinya

    begitu tinggi pada kesimpulan di akhir ayat?21 Dalam hal ini, Johns telah

    menggunakan serangkaian pertanyaan yang kerap kali dimunculkan ketika

    melakukan kritik naratif terhadap suatu teks narasi.

    Ketiadaan informasi dari dalam teks itu sendiri, karena perikop lainnya

    tentang Ayyub ini juga tidak memberikan banyak data, mengharuskan

    adanya pencarian sumber lain terkait teks yang menyimpan informasi

    tentang Ayyub. Di sinilah letak pentingnya seorang kritikus naratif

    mengetahui setting sosio-historis teks ketika diturunkan. Al-Qur’an sebagai

    kitab suci yang diturunkan dalam masa tertentu dan komunitas tertentu,

    jelas memiliki setting ini, yang sering disebut dengan asbāb al-nuzūl (sebab

    turunnya ayat al-Qur’an), baik itu yang sifatnya mikro ataupun makro.

    Keterangan tentang hal ini dapat ditemukan melalui data riwayat atau

    informasi yang tersebar di kitab asbāb al-nuzūl, kitab Hadis, ataupun kitab

    Tafsir.22

    Dengan keterangan tersebut, konteks tentang peristiwa yang disebutkan

    dan dimaksudkan dalam perikop pertama tersebut menjadi jelas, bahkan

    identifikasi dramatis personae23 pun dapat dilakukan. Inilah pentingnya

    analisis story yang dikehendaki dari aplikasi kritik naratif, yaitu untuk

    merekonstruksi data yang sangat ringkas agar menghadirkan informasi yang

    lengkap tentang suatu narasi. Hal ini menjadi mungkin tentunya tidak lepas

    dari peran al-Qur’an dalam posisinya as process.

    21 A. H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion in the Qur’anic Presentation of Job”,3. 22 A.H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion in the Qur’anic Presentation of Job”, 3. 23 Yang dimaksud dengan dramatis personae adalah tokoh-tokoh yang mengambil peran

    dalam suatu kisah,

  • 25

    Berdasarkan data riwayat tersebut, bahasa al-Qur’an yang ringkas

    dengan tangkas menampilkan sebuah gambaran nyata bagaimana Ayyub,

    seorang nabi yang dihadapkan pada ujian kehilangan harta bendanya,

    binatang-binatang ternak, keluarga serta harus mengidap penyakit fisik

    yang begitu menyiksa, tetap beriman kepada Tuhan meskipun dalam

    kondisi hidup yang sulit, sebagaimana dia beriman kepada-Nya saat

    mengalami kejayaan, dengan tanpa mempertanyakan kebijaksanaan Tuhan.

    Saat ia mengadukan penderitaan dan kesepiannya setelah mengusir istrinya

    yang secara tidak sadar telah jatuh ke dalam perangkap bujukan setan,

    Tuhan menjawab. Dia bebaskan Ayyub dan hilangkan penderitaannya

    dengan sebuah sumber mata air untuk menyembuhkan penyakitnya serta

    memuaskan dahaganya; berkat kemurahan-Nya, Tuhan mengembalikan

    keluarganya serta rejeki sebanyak anggota keluarganya tersebut. Dengan

    menjawab pengaduan Ayyub tersebut, Tuhan menjadikan kesabaran dan

    ketabahan Ayyub sebagai pelajaran dan teladan bagi mereka yang memiliki

    pikiran (QS. Sād [38]: 43). Dia memerintahkan Ayyub untuk mengambil

    sebuah ranting dari seratus daun, sehingga dengan satu pukulan saja

    menggunakan ranting tersebut, dia dapat memukul istrinya dengan seratus

    cambukan, sebagaimana sumpah yang akan dia lakukan saat sembuh.

    Perintah ini merupakan peringatan Tuhan baginya agar tidak melanggar

    sumpah yang telah dia buat. Setelah itu, Tuhan memuji Ayyub.24

    Selanjutnya, Johns membagi fragmen pertama ini dalam dua bagian.

    Pada setiap bagian terdapat perpaduan antara pernyataan langsung (direct

    speech) dan model narasi (narrative). Bagian pertama mencakup doa

    Ayyub kepada Tuhan agar dia dibebaskan dari penderitaan yang ditimpakan

    oleh setan kepadanya dan respon Tuhan. Bagian kedua adalah perintah

    Tuhan agar dia mengambil ranting dedaunan dan menggunakannya untuk

    24 A.H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion in the Qur’anic Presentation of Job”,4.

  • 26

    memukul. Untuk pemahaman lebih jelas, lihat tabel berikut:

    Tabel 2.1

    Struktur Biner Komplimenter.

    Bagian Pertama

    Direct Speech

    Direct Speech

    Narrative

    Bagian Kedua Dirrect Speech

    Narrative

    Dua bagian ini disebut juga sebagai struktur biner komplimenter25

    karena kalimatnya berpasangan. Lebih jauh, dalam struktur biner ini juga

    memuat antitesis.26 Pada bagian pertama, Ayyub mengalami penderitaan

    dan kesulitan, air dapat membawa kebersihan dan memuaskan dahaga;

    sesuatu yang berbahaya dihilangkan, sesuatu yang bermanfaat diberikan;

    keluarga Ayyub diambil, kemudian mereka dikembalikan. Pada bagian

    kedua pun demikian, Ayyub diperintahkan untuk melakukan sesuatu

    (mengambil ranting dan memukul), dia dilarang melakukan sesuatu yang

    lain (melanggar sumpah).27

    Setelah memperoleh pemahaman mengenai sosok Ayyub dari perikop

    tersebut, makna ini akan dibawa dalam konteksnya yang lebih luas dengan

    mempertanyakan bagaimana letak perikop ini dalam keseluruhan alur surah

    tempatnya berada. QS. Ṣâd yang menceritakan tentang Ayyub juga memuat

    kisah-kisah Nabi lainnya dalam perikop-perikop. Selanjutnya, perikop ini

    masih perlu dibawa pada konteks yang lebih luas, yakni konteks surah Ṣâd,

    sebagai implikasi dari al-Qur’an as event.28

    25 Dalam kajian narrative criticism, struktur ini disebut juga sebagai interchange. 26 Dalam kajian narrative criticism, hubungan antar struktur ini disebut juga contrast. 27 Baca A.H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion in the Qur’anic Presentation of

    Job”,4-5. 28 A.H. Johns, “Narrative, Intertext and Allusion, 8.

  • 27

    BAB III

    Gambaran Umum Kisah Nabi Nuh dalam al-Qur’an

    Dia adalah Nûh bin Lawak bin Matulsyalkha bin Idris As. Imam al-

    Kisai berkata: “Nama sebenarnya nabi Nuh adalah Abdul Ghaffar atau

    Yasykur”. Dinamakan Nuh, menurut suatu pendapat adalah karena ia

    melihat anjing yang mempunyai empat mata. Lalu nabi Nuh mengatakan:

    “anjing itu sangat buruk, menjijikkan”

    Ternyata anjing itu berkata pada nabi Nuh: “wahai Abdul Ghaffar,

    engkau menghina ukiran ataukah yang mengukir? Jika hinaan itu kau

    utarakan pada ukiran, maka jelas (memang demikian adanya). Namun jika

    itu ditunjukkan padaku maka hinaan itu tidaklah layak, karena Ia Maha

    Berkehendak atas apa yang dikehendaki-Nya.”

    Oleh karena kata-kata itu Abdul Ghaffar pun terus menangis,

    menangisi kesalahan dan dosanya. Karena seringnya menangis maka

    dinamakanlah dia dengan sebutan “Nuh” (menangis), sebagaimana yang

    diceritakan oleh Imam al-Saddi.1

    Nabi Nuh di utus Allah Swt ketika manusia menyembah berhala dan

    thaghut, serta tenggelam dalam ke-sesatan dan kekafiran. Kemudian Allah

    Swt mengutusnya sebagai rahmat bagi umat manusia. Dia adalah Rasul

    pertama yang di utus Allah ke muka bumi. Sebagaimana yang dikatakan

    manuasia kelak pada hari kiamat. Allah Swt telah menceritakan kisah Nabi

    Nuh dan kaumnya serta adzab berupa angin topan yang diturunkan-Nya

    kepada mereka yang kafir, juga kisah selamanya Nabi Nuh beserta orang-

    orang yang berada di dalam perahunya. Adapun kisah Nabi Nuh As termuat

    di dalam al-Qur’an diantaranya yaitu QS. Al-A’râf, Yûnus, Hûd, al-

    1Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar Al-Suyuthiy, “Badi’ul ‘Alam fī

    Dzikri Qishshati Nuh ‘Alaihissalam”, diterjemahkan: Sya’roni Al-Samfuriy, (Cilangkap,

    18 Februari), 4.

  • 28

    Anbiyâ’, al-Mu’minûn, al-Syu’arâ, al-Ankabût, al-Ṣâffat, al-Qamar, Nûh,

    Ibrahīm, al-Isrâ’, al-Ahdzâb, Ṣâd, dll.2

    Kisah-kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, dan para Nabi lainnya, adalah

    perumpamaan hakikat-hakikat masa para Nabi lainnya. al-Qur’an tidak

    menyebutkan kisah-kisah hanya sekedar hiburan atau penguat peristiwa-

    peristiwa sejarah. Tetapi lebih dari itu, al-Qur’an menyebutnya

    perumpamaan hakikat hakikat serupa yang terjadi. Masa yang dilalui oleh

    risalah Islam. Perumpamaan yang sama berlaku pada hukum-hukum

    syari’ah, akhlak Islam, sejarah dan peristiwa-peristiwa alam, seluruhnya

    berbicara tentang kebenaran teori-teori ilmiyah, bahkan peristiwa yang

    terjadi disetiap masa dan zaman.3

    Dari pemaparan di atas maka penulis merangkum gambaran umum

    kisah Nabi Nuh As sebagai berikut:

    A. Nabi Nuh As Menyeru Kaumnya Hanya Menyembah Allah

    Kisah Nuh dalam Al-Qur’an diawali dengan penjelasan tentang

    dakwah Nabi Nuh kepada kaumnya dalam al-Qur’an, sebagaimana berikut:

    QS. Al-A’râf: 59

    “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata:

    "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-

    Nya". Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu

    akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).”

    QS. Al-Mu’minûn: 23

    2 Lihat Muhammad Yusuf Nasution, Memahami Do’a Nabi Nuh: Analisis atas Surah

    Nuh Ayat 26-28 (UIN Syarif Hidayatullah: Skripsi, 2018) 39-42. 3 M. Baqir Hakim, Ulum al-Qur’an, yang diterjemahkan oleh Nashirul Haq, dengan

    judul Ulum al-Qur’an, Cet I, (Jakarta; Pustaka Firdaus, 2006, 480.

  • 29

    “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan

    bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?"

    QS. Nûh: 1-20

    1. Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan

    memerintahkan): "Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya

    azab yang pedih"

    2. Nuh berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan

  • 30

    yang menjelaskan kepada kamu

    3. (yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah

    kepadaku

    4. niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan

    menangguhkan kamu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya

    ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu

    mengetahui"

    5. Nuh berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku

    malam dan siang

    6. maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)

    7. Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar

    Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke

    dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap

    (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat

    8. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman)

    dengan cara terang-terangan

    9. kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-

    terangan dan dengan diam-diam

    10. maka aku katakan kepada mereka: ´Mohonlah ampun kepada Tuhanmu,

    -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-

    11. niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat

    12. dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu

    kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai

    13. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah

    14. Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa

    tingkatan kejadian

    15. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh

    langit bertingkat-tingkat

    16. Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan

    matahari sebagai pelita

    17. Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya

    18. kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan

    kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya

    19. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan

    20. supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu"

    Dan QS. Hûd: 26-31

  • 31

    26. agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut

    kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan".

    27. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: "Kami

    tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti

    kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan

    orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan

    kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami,

    bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".

    28. Berkata Nuh: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada

    mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari

    sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah

    kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?"

    29. Dan (dia berkata): "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada

    kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah dan aku

    sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman.

    Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku

    memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui".

    30. Dan (dia berkata): "Hai kaumku, siapakah yang akan menolongku dari

    (azab) Allah jika aku mengusir mereka. Maka tidakkah kamu mengambil

    pelajaran?

    31. Dan aku tidak mengatakan kepada kamu (bahwa): "Aku mempunyai

    gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui

    yang ghaib", dan tidak (pula) aku mengatakan: "Bahwa sesungguhnya aku

  • 32

    adalah malaikat", dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang

    dipandang hina oleh penglihatanmu: "Sekali-kali Allah tidak akan

    mendatangkan kebaikan kepada mereka". Allah lebih mengetahui apa yang

    ada pada diri mereka; sesungguhnya aku, kalau begitu benar-benar

    termasuk orang-orang yang zalim.

    Dari ayat-ayat diatas bahwa Nabi Nuh As menyeru kaumnya untuk

    menyembah Allah yang Esa dan bertaqwa kepada-Nya. Dengan demikian,

    dapat disimpulkan bahwa ketika itu, masyarakat di tempat Nabi Nuh tinggal

    menyembah Tuhan selain Allah. Mereka sedang mengalami penyimpangan

    akidah, sehingga Allah menurunkan utusan-Nya, akan tetapi adanya

    pembangkangan dari kaumnya sendiri.4

    B. Nabi Nuh As Membuat Perahu untuk Menyelamatkan Kaumnya

    Setelah Nabi Nuh menyeru agar kaumnya menyembah hanya kepada

    Allah Swt dan mendapatkan respon pembangkangan dari kaumnya, lalu

    Nabi Nuh diperintahkan oleh Allah Swt untuk membuat bahtera yang

    termuat di dalam al-Qur’an sebagai berikut:

    QS. Hûd: 36.

    “Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwAsanya sekali-kali tidak akan beriman

    di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu

    janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.”

    Ayat di atas adalah sebagai pelipur hati bagi Nuh atas apa yang

    diperbuat oleh kaumnya Ini merupakan dorongan bagi Nabi Nuh dalam

    menghadapinya, bahwasanya tidak akan beriman dari mereka, kecuali

    orang-orang yang sudah beriman. Janganlah engkau merasa putus asa atas

    4 Ulumuddin dan Azkiya Khikmatiar, Kisah Nabi Nuh dalam Al-Qur’an, “At-Tibyan:

    Jurnal Ilmu Al- Qur’an dan Tafsir”, Vol. 4 No. 2, Desemeber 2019

  • 33

    apa yang kamu alami, karena kemenangan sudah dekat, dan berita besar pun

    akan segera tiba.5

    QS. Hûd: 37

    “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami,

    dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim

    itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”

    Ayat di atas menjelaskan ketika Nabi Nuh As merasa putus asa untuk

    menyeru kaumnya dan melihat tidak adanya kebaikan pada diri mereka.

    Lebih dari itu mereka sudah berbuat diluar batas kewajaran, menentang dan

    mendustakannya dengan berbagai macam cara, baik berupa ucapan maupun

    perbuatan. Maka Nabi Nuh mendoakan keburukan bagi mereka, yaitu doa

    yang di panjatkan karena kemarahan, sehingga Allah pun mengabulkan

    do’a dan permintaannya

    Maka kesalahan akibat kekufuran, kejahatan, dan kutukan Nabi atas

    mereka pun menyatu dan menimpa mereka. Pada saat itu, Allah Ta’ala

    memerintahkan Nabi Nuh untuk membuat perahu dalam ukuran besar yang

    belum pernah ada sebelumnya dan tida akan pernah ada sesudahnya perahu

    sebesar ukuran perahu yang dibuat Nabi Nuh tersebut.6

    Allah Swt memberitahukan Nabi Nuh, jika telah datang perintah-Nya

    dan adzab-Nya pun telah menimpa kaumnya, maka sekali-kali Ia tidak akan

    menarik atau mengembalikannya.

    5 Lihat Muhammad Yusuf NAsution, Memahami Do’a Nabi Nuh: Analisis atas Surah

    Nuh Ayat 26-28 (UIN Syarif Hidayatullah: Skripsi, 2018) 51. 6 Muhammad Yusuf Nasution, Memahami Do’a Nabi Nuh: Analisis atas Surah Nuh

    Ayat 26-28…….51-52.

  • 34

    C. Nabi Nuh As Beserta Kaum yang Beriman Berada dalam Perahu

    dan Terselamatkan dari Banjir Bandang

    Setelah dibuatnya bahtera oleh Nabi Nuh As atas perintah Allah Swt,

    lalu naiklah Nabi Nuh As keatas kapal bersama kaumnya yang beriman, dan

    selamatnya kaum Nabi Nuh dari adzab Allah Swt berupa banjir bandang

    yang menenggelamkan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah,

    termuat di dalam al-Qur’an sebagai berikut:

    QS. Al-A’râf: 64

    “Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian kami selamatkan dia dan

    orang-orang yang bersamanya dalam bahtera, dan kami tenggelamkan

    orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka

    adalah kaum yang buta (mata hatinya).”

    QS. Hûd ayat 37

    “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim

    itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”

    QS. Al-Mu’minûn: 27

    فََأو

  • 35

    “Lalu kami wahyukan kepadanya: "Buatlah bahtera di bawah pemilikan dan petunjuk kami, maka apabila perintah kami telah datang dan tanur telah

    memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari

    tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih

    dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah

    kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim, karena

    sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.

    QS. Al-Furqán: 37

    “Dan (telah Kami binasakan) kaum Nuh tatkala mereka mendustakan rasul-rasul. Kami tenggelamkan mereka dan kami jadikan (cerita) mereka itu

    pelajaran bagi manusia. Dan kami telah menyediakan bagi orang-orang

    zalim azab yang pedih”

    QS. Al-Ankabût: 14

    “Dan sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia

    tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka

    mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”

    QS. Yunus: 71-73

  • 36

    71. Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia

    berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal

    (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka

    kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan

    (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). Kemudian

    janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku,

    dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.

    72. Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah

    sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan

    aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri

    (kepada-Nya)".

    73. Lalu mereka mendustakan Nuh, maka kami selamatkan dia dan orang-

    orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu

    pemegang kekuasaan dan kami tenggelamkan orang-orang yang

    mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesesudahan

    orang-orang yang diberi peringatan itu.

    Dari ayat-ayat diatas yang ditenggelamkan oleh Allah yaitu hanya

    orang-orang yang dikategorikan zalim dan yang tidak mau beriman, akan

    tetapi Allah tetap menyelamatkan orang-orang yang beriman.

    D. Nabi Nuh Beserta Seluruh Kaumnya Terselamatkan

    Setelah diturunkan-nya azab terhadap kaum Nabi Nuh yang zalim

    berupa banjir bandang (air bah), lalu terbentuklah tatanan baru dari kaum-

    kaum yang diselamatkan, hal ini termuat di dalam al-Qur’an sebagai

    berikut:

    QS. Al-Mu’minûn: 28

  • 37

    “Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, maka ucapkanlah: "Segala puji bagi Allah yang telah

    menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim".

    QS. Hûd: 37

    “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan aku tentang orang-orang yang zalim

    itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.

    QS. Hûd: 42

    “Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya, sedang anak itu berada di tempat

    yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan

    janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir".

    Setelah tenggelam penghuni bumi kecuali hamba-hamba Allah dan

    mahkluk-Nya yang berada di dalam bahtera Nuh, turunlah perintah Allah

    kepada bumi agar menelan airnya yang dipancarkan dan kepada hujan agar

    menghetikan curahan airnya ini menujukan kekuasaan Allah sehinggah

    hanya Allah yang patut disembah.

  • 38

    QS. Al-Ankabût: 14

    “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka

    mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”

    Ayat-ayat diatas menjelaskan tentang diselamatkan nya kaum yang

    beriman dari adzab Allah yaitu banjir bandang (air bah), setelah surutnya

    air lalu membuat tatanan kehidupan yang baru dari kaum yang berada di

    bahtera Nabi Nuh As.

  • 39

    BAB IV

    Analisa Kisah Nabi Nuh Pendekatan Narrative Criticism

    Narrative Criticism Pada dasarnya pendekatan ini merupakan cabang

    dari literary criticism1 yang mana kritik naratif ini ingin mendapatkan

    makna teks dari dalam teks itu sendiri.

    Narrative criticism mengandaikan teks sebagai sebuah cermin,

    sehingga pemahaman hanya akan didapatkan dengan melihat teks itu

    sendiri. Dunia tekstual yang diciptakan oleh pengarang mengajak pembaca

    untuk melihat dunia “sesungguhnya” tempat pembaca itu hidup dan

    menyadari bahwa dunia tekstual itu mengatakan sesuatu yang benar tentang

    dunia yang sesungguhnya itu. Pemahaman dicukupkan hanya pada apa yang

    diungkapkan oleh teks (text centered approach), tanpa memperhatikan

    secara langsung kenyataan di belakangnya, merupakan ciri khas pendekatan

    naratif ini.2

    Jadi, dalam praktiknya, kritik naratif ini menekankan pada pemahaman

    dua aspek. Pertama, aspek kisah (story), yaitu isi dari narasi tersebut, yang

    menekankan pada

    1. peristiwa yang terjadi di dalamnya,

    2. tokoh-tokoh,

    3. latar yang meliputi waktu, tempat, dan kondisi sosial, serta

    4. alur.

    Kedua, aspek penuturan (discourse), yaitu cara isi narasi tersebut

    diceritakan, yang memuat

    1. gaya penceritaan,

    1 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticism?,New Testament Series, Editor,

    Dan O. Via, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990)…… 12. 2 Mark Allan Powell, What is Narrative Criticism? New Testament Series, Editor,

    Dan O. Via, JR (Augsberg: Fortress Press, 1990), 8.

  • 40

    2. sudut pandang (point of view),

    3. pengarang tersirat (implied author), dan

    4. pembaca tersirat (implied reader).

    Keduanya dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan dalam suatu

    narasi.

    Dalam al-Qur’an banyak termuat kisah dan kisah-kisah tersebut adanya

    pengulangan, hal ini yang membuktikan bentuk kepedulian konstan Tuhan

    terhadap ciptaan-Nya, dengan mengutus para nabi kepada mereka. Untuk

    menggambarkan rekaman intervensi Tuhan dalam urusan-urusan manusia

    tersebut, al-Qur’an telah membentuk sebuah kerangka cerita penyelamatan

    umat manusia (the Divine economy of salvation for humankind) dari

    rangkaian kisah para Nabi dan Rasul-Nya. Dengan kesadaran penuh akan

    keindahan sastra al-Qur’an, A. H. Johns mulai mengkaji struktur kisah para

    Nabi yang disusun dalam al-Qur’an tersebut dengan metode narrative

    criticism.3

    Dari pemaparan diatas maka penulis memba