konsep bala perspektif...
TRANSCRIPT
KONSEP BALA PERSPEKTIF Al-QUR’AN
(Kajian Tematik dengan Pendekatan Semiotik Charles
Sanders Peirce)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memproleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
Muhammad Iqbal
Nim: 1113034000127
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
iii
ABSTRAK
Muhammad Iqbal
1113034000127
Penelitian ini ingin menguji pertanyaan tentang bagaimana proses semiosis kata al-balā
dalam al-Qur’an jika menggunakan analisis semiotika Carles Sanders Peirce dan apa makna
yang dikandungnya. Hal ini dilakukan karena adanya perbedaan dalam pemaknaan kata al-
balā. Sebagaimana yang sering disebutkan dalam praktek kebudayaan masyarakat Indonesia,
lebih cenderung berdekatan atau dimaknai sepadan dengan bencana. Padahal dalam
penelusuran awal penulis terhadap lafaẓ al-balā di dalam al-Qur’an memiliki makna yang
tidak hanya sebagai ujian yang bersifat keburukan ataupun tidak disenangi melainkan juga
bisa berupa hal kebaikan serta disenangi.
Data yang penulis gunakan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan di atas
adalah kumpulan ayat-ayat yang terkait dengan kata al-balā di dalam al-Qur’an yang
berjumlah tiga puluh ayat. Berdasarkan hasil bacaan tiga puluh ayat tersebut ditemukan dua
klasifikasi al-balā yaitu:
1. Kumpulan ayat-ayat al-balā berdasarkan tinjauan objek.
2. Kumpulan ayat-ayat al-balā berdasarkan tinjauan subjek.
Kumpulan ayat-ayat al-balā berdasarkan tinjauan objek terbagi menjadi dua yakni
objek kesenangan dan kesusahan. Sedangkan al-balā berdasarkan tinjauan subjek terbagi atas
subjek orang beriman dan orang kafir.
.Hasil temuan di atas penulis baca dengan menggunakan metode semiosis semiotik
Charles Sanders Peirce yang sangat bertumpu pada sistem triadik. Sistem semiosis triadik
terdiri atas 3 unsur yakni representament, objec, dan interpretant. Semua kerja semiosis yang
dilakukan oleh Charles Sanders Peirce digunakan oleh penulis untuk menganalisis ayat-ayat
yang terkait dengan makna lafaẓ al-balā di atas.
Pada proses semiosis triadik ini, menempatkan lafaẓ al-bala dalam ayat al-Qur’an
menjadi tanda awal dalam proses semiosis yang dikenal dengan representament, yang
berhubungan dengan tanda selanjutnya berupa objek kesenangan sehingga menghasilkan
pemahaman atau interpretant berupa diuji dengan hal kesenangan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah setiap objek kesenangan dan kesusahan
merupakan bentuk ujian yang bisa menimpa kepada siapa saja, baik terhadap diri orang
beriman maupun terhadap diri orang yang tidak beriman selama meraka masih hidup.
Ujian kesenangan akan menuntut sikap bersyukur sedangkan ujian kesusahan akan
menuntut sikap bersabar. Sikap bersyukur akan menghasilkan perolehan tambahan
kenikmatan dan sikap bersabar akan menghasilkan balasan pahala yang lebih besar dari
Allah. Sebaliknya sikap tidak bersyukur atau kufur nikmat akan mengakibatkan
disempitkanya rezeki serta sikap tidak sabar akan menyebabkanya mendapatkan aẓab serta
siksa yang pedih dari Allah.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt. Atas
segala rahmat dan karunia-Nya serta tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad Saw. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi yang berjudul Konsep al-Balā’ Perspektif al-Qur’an (Kajian Tematik
dengan Pendekatan Semiotik Carles Sanders Pierce).
Skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan,
dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
saya ucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr Dede Rosyada, M.A Selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Beliau telah banyak membuat kebijakan-kebijakan
kampus yang mendukung kajian keilmuan mahasiswa.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah dengan sigap dan cepat
membuat jurusan IQTAF mendapatkan Akreditasi A.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir (IQTAF) yang mengesahkan proposal ini sehingga diterima dalam
rapat persetujuan proposal.
4. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir (IQTAF).
5. Bapak Eva Nugraha, M.A dan bapak Dr. Fariz Pari, M.Fils. selaku dosen
pembimbing pertama dan kedua yang telah membimbing saya dalam
menyelesaikan skripsi ini berdasarkan cara penulisannya, tujuannya, dan
v
manfaatnya bagi civitas akademik. Jikalau tanpa bimbingannya, sulitlah
kiranya skripsi ini dapat terselesaikan tepat waktu.
6. Seluruh dosen pada program studi Ilmu Al-Qur’an (IQTAF) atas segala
motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang
mendorong penulis selama menempuh studi, serta seluruh staff Fakultas
Ushuluddin.
7. Orang Tua di Rumah, Ibu Saniah dan Bapak Kuraisyin yang sudah
mendukung dan berjuang sehingga saya bisa sampai seperti sekarang ini.
8. Kedua adik saya, yakni Prada Furqan dan Uswatun Hasanah yang tidak
pernah berhenti untuk menyemangati dan mensupport saya, serta kaka
Reni dan Nurmi yang telah banyak membantu saya juga.
9. Bapak Dr.dr. Kasyunil Kamal, Sp.PK, Pak Surya, Pak Alvi, Pak Gatot,
Pak dr. Budi Kurniawan, Pak Suratidjo, Pak Yusril, Pak H. Rofiuddin, Pak
H. Hari Purnomo, Pak H. Wanda, Pak Dasep, Pak Herry Teken, Pak
Kukuh, serta seluruh DKM dan jama’ah masjid al-Aqsha Delatinos yang
tidak dapat saya sebut satu persatu namanya, tapi tidak mengurangi rasa
hormat saya.
10. Teman-teman Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2013 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, khususnya kelas IQTAF-D yang telah bersama-sama
berjuang selama bangku kuliah.
11. Terkhusus kepada saudara Feisal Adam, yang sudah sangat banyak
membantu dan direpotkan waktunya.
12. Semua Keluarga Besar IPAH Jakarta dan Nasional, yang sudah sangat
banyak memberikan motivasi dan nilai kekeluargaan.
vi
13. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang
tidak dapat penulis satu persatu.
Kemudian saya sadar bahwa keilmuan yang saya miliki masih sangat kurang
sehingga dalam penelitian ini tidak jauh dari kesalahan. Dengan demikian saya
memohon maaf atas segala kesalahan dalam penelitian ini.
Kepada Allah lah saya berharap ridha dan bersyukur. Semoga tulisan ini bisa
menjadi manfaat kepada para pembaca agar selalu berpegang pada ajaran-ajaran
Rasulullah Saw. Āmīn
Wassalamualaikum Wr.Wb
Ciputat, 04 Januari 2018
Muhammad Iqbal
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Transliterasi Arab-Latin berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri
Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan
0543 b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab Nama Latin Huruf Keterangan
Alif - Tidak dilambangkan ا
- Ba B ب
- Ta T ت
Sa Ṡ s dengan titik di atasnya ث
- Jim J ج
Ha Ḥ h dengan titik di bawahnya ح
- Kha Kh خ
- Dal D د
Zal Z z dengan titik di atasnya ذ
- Ra R ر
- Za Z ز
- Sin S س
- Syin Sy ش
Sad Ṣ s dengan titik di bawahnya ص
Dad Ḍ d dengan titik dibawahnya ض
Ta Ṭ t dengan titik di bawahnya ط
Za Ẓ z dengan titik di bawahnya ظ
viii
Ain ‘ Koma terbalik di atasnya‘ ع
- Gain G غ
- Fa F ف
- Qaf Q ق
- Kaf K ك
- Lam L ل
- Mim M م
- Nun N ن
- Wawu W و
- Ha H ه
Hamzah ‘ Apostrof ء
- Ya Y ي
B. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap, termasuk tanda Syad|d|ah, ditulis lengkap
ditulis Ah}madiyyah :أحمد ی ة
C. Ta’ Marbutah di akhir Kata
1. Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah
terserap menjadi bahasa Indonesia
ditulis jamā‘ah : ج ماعة
2. Bila dihidupkan karena berangkai dengan kata lain, ditulis t.
ditulis ni‘matullāh :نعمة هللا
ix
ditulis zakātul-fitri :زاكة افلرط
D. Vokal Pendek
Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u
E. Vokal Panjang
1. a panjang ditulis ā, i panjang ditulis ī dan u panjang ditulis ū, masing-masing
dengan tanda ( ˉ ) di atasnya
2. Fathah + ya’ tanpa dua titik yang dimatikan ditulis ai, dan fathah + waw> u mati
ditulis au.
F. Vokal-vokal Pendek yang Berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof (‘)
تنم ditulis a’antum : أأ
|ditulis mu’annas : م ؤن ث
G. Kata Sandang Alief + Lam1.
1. Bila diikuti huruf Qamariyyah ditulis al-
ditulis al-Qur’an :القرا ن
2. Bila diikuti huruf syamsiyyah, huruf i diganti dengan huruf syamsiyah
yang mengikutinya
ditulis asy-syī‘ah : ا لشیعة
H. Huruf Besar
Penulisan huruf besar disesuaikan dengan EYD
x
I. Kata dalam Rangkaian Frase dan Kalimat
1. Ditulis kata per kata, atau
2. Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya dalam rangkaian tersebut
ditulis syaikh al-Islām atau syaikhul-Islām :شیخ اإلسال
J. Lain-Lain
Kata-kata yang sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (seperti kata ijmak, nas, dll.), tidak mengikuti pedoman transliterasi ini
dan ditulis sebagaimana dalam kamus tersebut.
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iii
LEMBAR NAMA-NAMA TIM PENGUJI .......................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. v
ABSTRAK ............................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 9
D. Metodologi Penelitian ................................................................... 10
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 13
F. Sistematika Penelitian ................................................................... 16
BAB II. TEORI DAN ANALISA SEMIOTIK CHARLES S. PEIRCE
A. Asal-Usul dan Pengertan Semiotika .............................................. 19
B. Biografi Charles Sanders Peirce .................................................... 20
C. Teori Semiotik Charles Sanders Peirce ......................................... 22
D. Aplikasi Teori Semiotika Peirce .................................................... 27
BAB III. DEFINISI DAN MAKNA KATA AL-BALĀ’ SERTA
PENAFSIRAN PARA ULAMA
A. Definisi Kata al-Balā’ .................................................................... 33
B. Makna al-Balā’ Menurut Para Ulama… ....................................... 35
1. Makna al-Balā’ Menurut Ulama Tafsir.. ................................. 36
2. Makna al-Balā’ Menurut Ulama Fuqaha ................................. 37
C. Kata yang Maknanya mirip dengan al-Balā’ dalam al-Qur’an ..... 38
1. Al-Mihnah .............................................................................. 39
xii
2. Al-Fitnah ................................................................................. 41
3. Musibah .................................................................................. 42
4. Azab ........................................................................................ 43
D. Macam-Macam al-Balā’ dalam al-Qur’an .................................... 45
1. Ujian Berupa Kenikmatan ...................................................... 45
2. Ujian Berupa Keburukan ........................................................ 52
BAB IV. ANALISIS SEMIOTIKA MAKNA Al-BALĀ’ DI DALAM
AL-QUR’AN
A. Aplikasi Teori Semiotik Peirce .................................................. 60
B. Jenis-Jenis al-Balā’ Beradasarkan Semiosis Peirce .................... 61
1. Ujian Al-Balā’ Berdasarkan Tinjauan Obyek ........................... 61
a. Ujian Berupa Obyek Kesenangan ........................................ 62
b. Ujian Berupa Obyek Kesusahan .......................................... 65
2. Al-Balā’ Berdasarkan Subyek Penerima ................................... 68
a. Ujian Terhadap Orang Beriman ........................................... 68
b. Ujian Terhadap Orang Kafir ................................................ 70
C. Analisis Semiotik Peirce ............................................................ 72
1. Ujian Kesenangan ................................................................... 72
a. Sikap Syukur Orang Beriman atas Ujian Kesenangan ......... 72
b. Sikap Tidak Bersyukur Orang Beriman atas Ujian
Kesenangan .......................................................................... 73
c. Sikap Orang Kafir atas Ujian Kesenangan ........................... 75
2. Ujian Kesusahan ..................................................................... 76
a. Sikap Sabar Orang Beriman atas Ujian Kesusahan ............. 76
b. Sikap Tidak Sabar Orang Beriman atas Ujian Kesusahan ... 77
c. Sikap Orang Kafir atas Ujian Kesusahan ............................. 79
D. Tinjauan Kritis ............................................................................. 81
1. Penggunaan Metode Peirce ...................................................... 81
2. Perbedaan dengan Mufassir Lainya ......................................... 84
3. Kesimpulan (Dampak Pada al-Qur’an) ................................... 85
xiii
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 86
B. Saran-Saran ................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 88
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an merupakan petunjuk dan sumber hukum bagi umat manusia
dalam kehidupannya. Dalam menyampaikan penjelasan terhadap berbagai
persoalan, ayat-ayat al-Qur‟an terkadang dipaparkan secara rinci dan tegas yang
dikenal dengan istilah ayat-ayat muḥkamāt, tetapi tidak jarang hanya dipaparkan
dalam bentuk global atau sekilas saja yang tentu mengundang banyak penafsiran
dan pemaknaanya atau yang dikenal dengan istilah ayat-ayat mutasyābihāt1. Hal
seperti ini bisa diambil salah satu contohnya adalah pemaknaan lafaẓ al-balā‟
yang cenderung dimaknai “ujian” yang berkonotasi negatif.
Al-balā‟ dalam artian (ujian dan cobaan) merupakan hal yang pasti terjadi
dalam kehidupan manusia di dunia.2 Di dalam al-Qur‟an, ujian dibahasakan
menggunakan lafadz al-balā‟ yang dalam konteks penggunaannya bisa berbentuk
ujian kebaikan maupun keburukan.3 Tetapi dalam praktek kebudayaan sosial
bangsa Indonesia seringkali kata bala (ujian) diartikan sebagai hal yang bermakna
konotasi negatif baik dari segi bentuk maupun efeknya. Hal ini dapat kita lihat
pada pengertian kata balā‟ yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia dan
kamus bahasa daerah lainya yang memaknai kata bala dengan konotasi negatif.
1 Hal ini dijelaskan dalam al-Qur‟an surat Ali-Imrān/3: 7. “Dia-lah yang menurunkan al-
Kitab (al-Quran) kepada kamu. diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamāt, itulah pokok-pokok isi
al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyābihāt. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaābihāt dari
padanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang
mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyābihāt, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal. 2 Abdul Qodir Abu Faris, Ujian, Cobaan, Fitnah Dalam Dakwah (Jakarta: Gema Insani
Press, 1992), h. 20. 3 Lihat: al-Fakhr al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr , vol. 2, (Mesir: Dār al-Fikr, 1985), h. 74.
2
Hal ini setidaknya menimbulkan asumsi awal bahwa dalam praktek kebudayaan
masyarakat Indonesia, ada kecenderungan untuk memaknai kata bala dengan
ujian yang berkonotasi negatif atau keburukan.
Kata al-balā‟ berasal dari akar kata Bahasa Arab, yang kemudian diserap
kedalam Bahasa Indonesia menjadi kata bala. Kata bala diserap dengan
menggunakan aturan serapan yang berbentuk antara asal kata dengan kata hasil
serapan memiliki model kata yang sama tetapi berbeda dalam pemaknaanya.4
Contohnya: (kata abad dalam bahasa Arab diartikan sebagai kekal atau abadi,
sedangkan kata serapan Indonesia mengartikan kata abad adalah rentang waktu
100 tahun, kalimat dalam bahasa arab diartikan sebagai “kata” sedangakan dalam
serapan bahasa Indonesia kata kalimat bermakna susunan kata-kata, termasuk kata
al-balā‟ dalam bahasa Arab yang dasarnya memiliki makna ujian yang bisa
berupa kebaikan maupun keburukan, berbeda halnya dengan kata bala dalam
serapan bahasa Indonesia mengandung arti ujian yang cenderung bersifat
keburukan saja dengan beberapa objeknya seperti, kemalangan, kelaparan, dan
lain-lain.5
Dalam kebudayaan Bangsa Indonesia seringkali kata bala (ujian) diartikan
sebagai hal yang bermakna konotasi negatif baik dari segi bentuk maupun
efeknya. Kecenderungan pemaknaan kata bala dengan konotasi negatif tersebut
tergambar jelas dalam praktek kebudayaan dibeberapa tempat bangsa Indoneisa
yang melaksanakan ritual dan acara keagamaan “tolak bala” yang ditujukan untuk
mengusir atau menangkal kemalangan, musibah, bencana dan keburukan yang
akan menimpa daerah tersebut. Praktek ritual acara tolak bala ini dapat kita
4 Kamus Serapan Arab Indonesia.
5 Kamus Bahasa Serapan.
3
jumpai di daerah Aceh dengan nama ritual “Makmegang”6 dan daerah Bima
dengan nama “Do‟a Dana”7. Pergeseran makna bala dalam kebudayaan
masyarakat Indonesia ini tercermin juga dalam pemaknaan kata bala yang terdapat
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaknai sebagai malapetaka,
kemalangan, cobaan, kena, mendapat, menolak, lalu dibawa singgah, sengaja
mencari kesusahan (kecelakaan), bencana malapetaka, kesengsaraan.8 Hal senada
juga terlihat dalam beberapa kamus bahasa daerah Indonesia. Hal inilah
memunculkan asumsi awal dari sebagian masyarakat Indonesia bahwa bala
merupakatan kata yang seringkali dikonotasikan negatif. Asumsi awal ini
dibangun oleh penulis berdasarkan gambaran di atas bahwa tidak mungkin akan
ada ritual tolak bala, seandainya dalam kebudayaan Bangsa Indonesia memahami
makna kata al-balā‟ sebagai sebuah ujian berupa kebaikan. Sangat tidak logis jika
ada kebaikan yang ditolak.
Hal inilah yang membuat kita tidak jarang tendengar ucapan setiap kali
Bangsa Indonesia ditimpa berbagai macam bencana yang mengakibatkan
banyaknya kerugian dan kesedihan, seperti: Tsunami Aceh,9 letusan Gunung
Merapi, Gempa Bumi, dan berbagai kejadian alam lainya disebut sebagai balā‟
(ujian), azab, laknat, dan musibah dari Allah SWT. Tetapi berbanding terbalik
dengan pemahaman terhadap segala kenikmatan dan kesenangan yang dianggap
bukan sebagai al-balā‟ (ujian). Kebiasaan itu memberikan kesan bahwa
6 Tradisi “Makmegang” adalah sebuah tradisi tolak bala yang dilakukan oleh warga Aceh.
Tradisi ini berupa pembacaan do‟a-do‟a yang dipimpin oleh seorang tokoh Agama. 7 Ritual “Do‟a Dana” dilaksanakan oleh masyarakat Bima dengan cara mengadakan do‟a
ditengah lapangan kampung yang di pimpin oleh pemuka agama, yang di tengah lapanganya sudah
di penuhi oleh berbagai hasil olahan makanan dari hasil pertanian dan peternakan. 8 Tim Penyusun Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi ke-2, cet. ke-10, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 82. 9 Biro Humas & Luar Negeri BPK, Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pasca Tsunami”, artikel yang di akses dari laman web,
http:www.bpk.go.id/web/p=3985 pada tanggal 17 Januari 2017.
4
pemaknaan al-balā‟ (ujian) dalam al-Qur‟an sebagai asal kata serapan al-balā‟
adalah hal atau kejadian yang selalu berkonotasi negatif baik dalam bentuk
maupun proses terjadinya.
Kata al-balā‟ dalam al-Qur‟an sangat berbeda sekali dengan kata Bala yang
dipahami dalam kosa kata bahasa Indonesia. Dalam al-Qur‟an kata al-balā‟
mengandung arti “ujian” yang model ujian itu sendiri berbeda-beda. Sedangkan
kata al-balā‟ yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan ejaan
Indonesia, dimaknai sebagai sebuah kata yang mengandung makna yang
berkonotasi negatif, seperti bala bencana, tolak bala, dan lain-lain.
Al-balā‟ berasal dari Bahasa Arab yang maknanya adalah al-Ikhtibār,10
yang
artinya menguji, mencoba dan mentes.11
Kata al-balā‟ dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia diartikan sebagai malapetaka, kemalangan, cobaan, kena,
mendapat, mendapat, menolak, kecelakaan, bencana, malapetaka dan
kesengsaraan.12
Sementara jika diteliti lebih mendalam pada al-Qur‟an, ditemukan bahwa
kata al-balā‟ tidak selalu berhubungan dengan hal-hal yang negatif. Al- Balā‟
dalam al-Qur‟an juga berkaitan dengan hal-hal yang bersifat positif dan
menyenangkan seperti contohnya; keselamatan, kemenangan, kekayaan, jabatan
dan kenikmatan. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
10
Abi Fadl Jamāl al-dīn Muḥammad bin Makrim Ibn Manẓur al-Miṣri, Lisān al-„Arab, vol.
7 ( Libanon, Dār Ṣādir: 1414 M), h. 304. 11
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 109. 12
Tim Penyusun Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi kedua, cet. ke-10, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 82.
5
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan,35.13
al-Rāzy dalam kitab tafsirnya juga mengatakan bahwa al-balā‟ memiliki
dua macam makna yang berbeda yakni bisa “baik dan buruk”. Kedua makna
tersebut mempunyai nama yang sama yaitu al-balā‟.14
Di dalam buku Ujian,
Cobaan dan Fitnah Dalam Dakwah‟ dijelaskan makna al-balā‟ dan derivasinya
adalah mengujinya atau mencobainya.15
Dalam al-Qur‟an sendiri kata al-balā‟
dan al-Ibtala‟ baik dalam bentuk masdar maupun fi‟il diulangi kurang lebih tiga
puluh kali dalam al-Qur‟an. Pengkajian kata al-balā‟ sendiri telah dibanyak
dilakukan dengan metode penafsiran maudhu‟i, yang salah satunya pernah
dipraktikan oleh Abdul Rasyid Sabirin dalam penulisan tesisnya yang berjudul
“al-balā‟ Dalam al-Qur‟an: Kajian Tentang Makna al-balā‟Serta Sikap Manusia
Dalam Menghadapi Ujian”.
Berangkat dari permasalahan pemahaman dalam praktek kebudayaan
masyarakat Indonesia yang cenderung memaknai kata al-balā‟ sebagai hal yang
berkonotasi negatif, sepeti yang telah disebutkan di atas, sehingga untuk
menyeimbangkan kembali pemaknaan al-balā‟ yang bisa berupa ujian kebaikan
maupun keburukan. Maka, berdasarkan penulusuran terhadap beberapa karya
ilmiah yang berkaitan dengan pemaknaan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an yang
mampu menghadirkan pemahaman yang lebih menyeluruh, semiotika dianggap
mampu menjadi alat pendekatan dan pengkajian terhadap pemahaman ayat-ayat
al-Qur‟an secara mendalam dan komprehensif. Hal ini bisa dirujuk dari beberapa
13
QS. Al-Anbiyā/21: 35. 14
Fakhr al-Dīn al-Rāzy, al-Tafsir al-Kabir, vol. 2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1985), h. 74. 15
Abdu al-Qodir Abu Faris, Ujian, Cobaa, Fitnah Dalam Dakwah (Jakarta: Gema Insani
Press, 1992), h. 14
6
karya ilmiah yang ditulis oleh: Ali Imron,16
yang merupakan pria kelahiran Pati
Jawa Tengah, tanggal 26 Juni 1983 silam. Ia juga merupakan alumni sarjana S1
dan S2 dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Bandung. Beliau juga
merupakan seorang dosen sampai saat sekarang ini. Irpan Sanusi,17
yang
merupakan alumni sarjana S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Serta Pipit Aidul Fitriyana,18
yang telah menggunakan
metode semiotika dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an.
Hal konkret yang membuat penulis tertarik menggunakan pisau analisis
semiotika sebagai alat pendekatan dalam memahami makna kata al-balā‟ yang
sering kali hanya dipahami dari segi konotasi negatifnya saja. Berangkat dari
beberapa karya ilmiah yang ditulis oleh para akademisi. Dalam hal ini penulis
mengambil sebuah contoh karya ilmiah dari skripsi Irpan Sanusi yang berjudul
“Pesan Semiotis al-Qur‟an: Analisis Strukturalisme Q.S. Al-Lahab. Dalam kajian
pembahasanya Irpan Sanusi mampu mengahadirkan pemahaman makna gelar Abū
Lahb yang diberikan kepada paman Rasulullah yakni „Abdu al-„Uzzā berbeda
dengan para mufassir pada umumya.
Pertama-tama Irpan Sanusi menggambarkan sosok „Abdu al-„Uzzā yang
pada masa pra-Islam terkenal sebagai sosok yang sangat berpengaruh, ganteng,
pemberani, bangsawan Qurais, hartawan, keturunan „Abdu al-Muṭālib yang
terkenal sebagai pengatur logistik warga Mekah, yang memang pantas
mendapatkan gelar Abū Lahb.
16
Ali Imron, Semiotika AL-Qur‟an: Metode Dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf
(Yogyakarta: Teras, 2011) 17
Irpan Sanusi, “Pesan Semiotis al-Qur‟an : Analisis Strukturalisme Q.S Al-Lahab,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016) 18
Irpan, “Pesan Semiotis al-Qur‟an,”
7
Gelar Abū Lahb telah ada sebelum Islam datang dan memiliki makna yang
positif, tetapi hal ini berbanding terbalik ketika Islam datang yang memandang
makna Al-Lahb dengan konotasi negatif berupa perlawanan dan kehancuran.
Pemahaman yang muncul dari pelabelan ini memberikan kesan bahwa gelar
Abū Lahb merupakan lambang kebinasaan yang didapat dari perlawanan terhadap
dakwah Rasulullah. Padahal menurut Teori Mitologi Roland Barthes yang
dipraktekan oleh Irpan Sanusi dalam skripsinya menyatakan bahwa gelar Abu
Lahb diberikan kepada „Abd al-„Uzzā disebabkan perbuatanya sebagai salah satu
pemimpin kota Mekkah yang bersifat kapitalis-monopolis.19
Hal inilah yang
membuat penulis tertarik untuk menggunakan pendekatan semiotika dalam
mengkaji al-Qur‟an, terkhusus makna kata al-balā‟ yang dibahas dalam penulisan
skripsi ini.
Semiotika adalah ilmu tentang tanda.20
Dalam skripsi Irpan Sanusi,
semiologi atau semiotika diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda-
tanda lain, pengiriman dan penerimanya, oleh mereka yang menggunakanya.21
Sedangkan dalam buku Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, yang di tulis oleh
Benny H. Hoed bahwa semiotika didefinisikan sebagai ilmu yang membahas
tanda-tanda dalam kehidupan.22
Ilmu semiotika dapat digunakan untuk membaca
tanda dari berbagai aspek kehidupan manusia. Pembacaan ayat-ayat dalam al-
Qur‟an berdasarkan tanda melalui pendekatan semiotika.
19 Irpan Sanusi, “Pesan Semiotis al-Qur‟an : Analisis Strukturalisme Q.S Al-Lahab,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016) 20
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu,
2014), h. 5. 21
Irpan Sanusi, “Pesan Semiotis al-Qur‟an,” h. 6. 22
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu,
2014), h. 3.
8
Semiotika yang digunakan oleh Charles Sanders Peirce lebih umum dikenal
dengan “Semiotika Struktur Triadik”.23
Hal ini disebabkan oleh selalu munculnya
tiga dimensi pemaknaan tanda oleh Pierce sendiri. Tiga dimensi ini berupa
representamen, object dan interpretant, yang juga memiliki bagian masing-
masing lagi.24
Dari beberapa permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam
pemaknaan al-balā‟ seperti yang telah diuraikan di atas, penulis mencoba
menawarkan pembacaan baru terhadap konsep al-balā‟ perspektif al-Qur‟an
dengan menggunakan pendekatan analisis pisau semiotika. Terkhusus semiotika
yang ditawarkan oleh Charles Sanders Pierce dalam skripsi yang akan penulis
bahas dengan judul “KONSEP BALA PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian
Tematik dengan Pendekatan Semiotika Carles Sanders Peirce)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Penelitian ini, penulis fokuskan pada problem pemahaman terhadap
pemaknaan kata al-balā‟dalam al-Qur‟an dengan realisasi makna kata bala dalam
praktek budaya masyarakat Indonesia. Kata al-balā‟ bersinonim dengan kata al-
ikhtibār yang bermakna ujian dan cobaan dalam bahasa Indonesia. Kata al-balā‟
dalam bahasa Arab yang telah menjadi kosa-kata baku dalam Bahasa Indonesia,
memiliki makna ujian dan cobaan yang pada dasarnya bisa bermakna positif dan
negatif. Hal ini berbeda sekali dengan kata bala yang telah diserap ke dalam
praktek kebudayaan Bahasa Indonesia, yang cenderung borkonotasi makna
23
Marcel Danesi, Pesan,Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan
Teori Komunikas. Penerjemah Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
h. 36. 24
Marcel Danesi, Pesan,Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan
Teori Komunikas. Penerjemah Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
h. 37.
9
negatif. Dengan melihat problem sebelumnya, penulis ingin coba
menyeimbangkan kembali makna kata al-balā‟ dalam al-Qur‟an, dengan makna
kata al-balā‟ dalam praktek kebudayaan masyarakat Indonesia, yang nantinya bisa
memberikan pemahaman makna al-balā‟ dalam al-Qur‟an se-proporsional
mungkin.
Dalam proses pembacaan lafaẓ al-balā‟ yang terdapat di dalam al-Qur‟an
dengan menggunakan metode semiotik Peirce ini, hanya ditujukan untuk melihat
alur logis penceritaan dalam teks ayat itu sendiri. Hal yang berikaitan dengan
asbab al-nuzul dalam ayat tersebut tidaklah dibahas dan diteliti.
Dalam membahas masalah ini penulis mengajukan pertanyaan sebagai
rumusan masalah mendasar. Pertanyaannya adalah bagaimana proses semiosis
kata al-balā‟ dalam al-Qur‟an jika menggunakan analisis semiotika Carles
Sanders Peirce dan apa makna yang dikandungnya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Melihat dari permasalahan di atas dapat dijelaskan tujuan penulisan skripsi
ini adalah:
a. Menjelaskan makna al-balā‟ menurut para ulama tafsir baik berupa ujian
kebaikan maupun ujian keburukan.
b. Mengklasifikasi ayat-ayat al-balā‟ berdasarkan obyek dan penerimaan
subyek-nya.
c. menganalisis makna al-balā‟ dalam al-Qur‟an dengan metode
pemahaman semiotika Charles Sanders Peirce.
2. Manfaat Penelitian
10
Dengan penelitian ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi teoritis
maupun praktis antara lain:
a. Kegunaan teoritis adalah untuk memperkuat penafsiran para ulama tafsir
yang mengatakan bahwa al-balā‟ memiliki makna ganda yakni ujian
kebaikan maupun keburukan.
b. Untuk melengkapi tesis yang pernah di tulis oleh Abdul Rasyid Sabirin
dalam segi alur logis al-Qur‟an menceritakan subyek penerima ujian.
c. Sebagai cara untuk mengembangkan makna kata al-balā‟ yang
sebelumnya cenderung dikaitkan dengan hal-hal negatif dalam praktek
kehidupan budaya masyarakat Indonesia .
d. Sebagai bahan tambahan yang menunjukan bahwa kajian Barat
(semiotik) dapat digunakan untuk memahami makna al-Qur‟an secara
konprehensif tanpa harus mengubah makna al-Qur‟an.
e. Kegunaan praktis adalah sebagai bahan tambahan ajar pada mata kuliah
Tafsir seperti, Semiotika, Metodologi Penelitian Tafsir dan Hadits, serta
Pendekatan Modern di dalam Penafsiran al-Qur‟an.
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kajian semiotika yang
bersumber dari teori-teori semiotika Charles Sanders Peirce, dengan asumsi
bahwa semiologi ini mampu menghadirkan pemahaman ayat yang lebih
mendalam dan konprehensif.
2. Jenis Penelitian
11
Penelitian ini merupakan penelitian yang berbentuk kualitatif25
yang
menggunakan data-data kepustakaan (library research). Objek utama dalam
penelitian ini adalah al-Qur‟an dan penafsiranya. Penulis akan menggunakan teori
semiotika triadik Charles Sanders Peirce.26
Sebagaimana yang di sampaikan oleh
Benny H. Hoed bahwa Peirce mengusung konsep pemahamanya dengan istilah
unlimited semiosis27
(pemahaman tanpa batas) dalam pemahaman kata al-balā‟.
Jadi dalam penelitian akan berkonsentrasi pada pengelolaan dari sumber data-data
pustaka, baik berupa buku, jurnal, maupun semua artikel yang berkaitan dengan
pembahasan al-balā‟ dan teori semiotika.
3. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yang dijadikan rujukan adalah al-Qur‟an, terutama teks-
teks ayat yang terkait dengan makna al-balā‟. Terdapat 30 ayat yang penulis
temukan di dalam al-Qur‟an yang berkaitan dengan laafaẓ tersebut.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder sebagai rujukan pembantu dalam penelitian ini adalah
merupakan buku-buku atau jurnal ilmiah yang berkaitan dengan penafsiran-
penafsiran al-Qur‟an, teori semiotika triadik dan studi tentang tafsir ayat-ayat al-
balā‟ dalam al-Qur‟an. Seperti kitab-kitab tafsir yang direpresentasikan oleh
mufassir dari berbagai latar belakang, seperti: Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Āyi al-
25 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2017). 26
26Marcel Danesi, Pesan,Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan
Teori Komunikas. Penerjemah Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
h. 30. 27
Unlimited Semiosis adalah proses pemahaman makna tanda yang terus berulang-ulang
tanpa batas berdasarkan sistem triadik semiotika Peirce, yang dikutip dari tulisan Ali-Imron yang
berjudul Semiotika al-Qur‟an: Metode dalam Kisah Yusuf.
12
Qur‟ān karya Imam Al-Ṭābarī dan Tafsir Al-Miṣbah karya Quraish Shihab, guna
untuk menemukan makna kata al-balā‟ yang sesuai dengan tuntunan al-Qur‟an
dan kebudayaan serta bahasa Indonesia. Penggunaan karya tafsir Imam Al-Ṭābarī
didasarkan pada pandang bahwa tafsir Al-Ṭābarī merupakan tafsir yang bercorak
bil ma‟tsur, yang dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an selalu bertumpu pada
dalil-dalil yang shahih. Sedangkan Tafsir Al-Miṣbah karya Quraish Shihab
digunakan berdasarkan pandangan bahwa kitab tafsir tersebut bercorak adabul
ijtima‟i (sosial kemasyarakatan), yang dalam pandangan penulis sangat cocok
untuk menggali makna kata bala yang dipahami dalam kebudayaan msyarakat
Inonesia. Buku-buku yang berkaitan dengan ilmu semiotika, terutama teori
semiotika Charles Sanders Pierce seperti: Pesan,Tanda, dan Makna: Buku Teks
Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi karya Marcel Danesi yang
diterjemahkan oleh Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari. Kemudian buku
Semiotika al-Qur‟an yang di tulis oleh Ali Imron, beserta juga buku Semiotika
Budaya yang di tulis oleh T. Christomy dan Untung Yuwono.
c. Teknis Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini dirujuk berdasarkan buku “Pedoman Penulisan
Skripsi”.28
Dalam hal penulisan transliterasi, skripsi ini menggunakan transliterasi
berdasarkan Surat Keputusan Bersama Mentri Agama RI dan Mentri Pendidikan
dan Kebudayaan RI nomor 158/1987 dan 0543 b/U/1987, tanggal 22 Januari
1988. Beserta juga menggunakan al-Qur‟an dan Terjemahanya berdasarkan data
al-Qur‟an in Word.
28
Hamid Nasuhi, dkk. “Pedoman Penulisan Skripsi” dalam Tim Penyusun, Pedoman
Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta 2013-
2014 (Ciputat: Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan, dan Kerjasama Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 361-394.
13
E. Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka skripsi ini di bagi pada dua besaran. Pertama terkait tulisan-
tulisan para sarjana atau ulama yang membahas tentang al-balā‟ atau istilah yang
sejenis, seperti musibah, cobaan dan lain-lain. Kedua adalah kumpulan karya-
karya yang terkait dengan penggunaan metode atau pendekatan kebahasaan untuk
memahami teks al-Qur‟an. Seperti pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce,
semiotika Saussure dan lain-lain.
Kajian al-balā‟ dalam al-Qur‟an bukanlah kajian yang murni penulis
temukan sendiri, melainkan kelanjutan dari beberapa karya ilmiah yang pernah
dibahas dan ditulis oleh beberapa sarjana yang berkompeten dalam penulisannya.
Karya ilmiah pertama yang penulis temukan adalah tulisan Ibn Qayyim al-
Jauziyah dalam bukunya Hikmah Al-Ibtila‟. Karya Abdul Rasyid Sabirin dengan
dengan judul “al-Balā‟ Dalam al-Qur‟an: Kajian Tentang Makna dan Macam-
Macam al-balā‟ serta Sikap Manusia Dalam Menghadapi Ujian”.29
Karya ini
merupakan Tesis yang diajukan sebagai tugas untuk memperoleh gelar Magister
Ilmu Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. al-balā‟ dalam al-Qur‟an
disajikan secara umum dan lengkap sekali, mulai dari arti kata al-balā‟, macam-
macam al-balā‟ beserta cara mengahadapi al-balā‟ itu sendiri. Di samping itu ada
sebuah buku yang di tulis oleh Dr. Abdul Qodir Abu Faris dengan judul Ujian,
Cobaan, Fitnah Dalam Dakwah.30
Buku ini banyak membahas bagaimana tentang
perbedaan peruntukan kata ujian, cobaan dan fitnah, dan bagaimana cara tepat
untk menanganinya. Selain itu penulis juga menemukan beberapa tulisan skripsi
29
Abdul Rasyid Sabirin, “al-Balā‟ Dalam al-Qur‟an: Kajian Tentang Makna dan Macam-
Macam al-Bala‟, Serta Sikap Manusia Dalam Menghadapi Ujian,” (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin
dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011). 30
Abdul Qodir Abu Faris, Ujian, Cobaan, Fitnah Dalam Dakwah (Jakarta: Gema Insani
Press, 1992)
14
yang memang tidak langsung membahas al-balā‟ tetapi, masih berkaitan dan
relevan dengan pembahasan al-balā‟, seperti: Ismail Amir31
dalam skripsiya
tentang “Laknat Dalam Pandangan al-Qur‟an: Analisis Ayat-Ayat Laknat Dalam
al-Qur‟an”. Dalam penulisan skripsi ini banyak membahas bagaimana
pemahaman dan penafsiran kata “Laknat” dalam al-Qur‟an yang diusung oleh
Mustafa al-Marāghi dalam karya tafsirya. Dalam penulisan skripsi ini juga sedikit
dibahas tentang perbedaan antara makna azab, laknat, dan musibah. Ade Tisna
Subarata juga menulis skripsi tentang “Perspektif al-Qur‟an Tentang Musibah:
Telaah Tafsir Tematik Tentang Ayat-Ayat Musibah”, yang difokuskan pada
pemahaman ayat-ayat tentang musibah berdasarkan kajian tafsir tematik, baik
musibah yang berbentuk keburukan saja maupun musibah yang berbentuk
keburukan juga kebaikan.
Dalam hal kajian semiotika, telah ada beberapa karya yang telah penulis
lihat menggunakan kajian semiotika dalam pemahaman tanda pada teks al-Qur‟an,
seperti: skripsi yang ditulis oleh Irpan Sanusi, “Pesan Semiotis Al-Qur‟an:
Analisis Struktural Q.S. Al-Lahab”,32
juga skripsi “Penggunaan Semiotika
Naratologi A.J. Greimas Dalam Pembacaan Kisah Dalam Al-Qur‟an”, yang di
tulis oleh Ja‟far Shiddiq,33
. Dalam skripsi ini dibahas mengenai bagaimana
semiotika naratologi menghadirkan pemahaman yang lebih kompleks dan
menyuluruh dalam pembacaan kisah dalam al-Qur‟an, yang dikhususkan dengan
menganalisis kisah Nabi Ibrāhim dalam al-Qur‟an. Di samping itu, Pipit Aidul
31
Ismail Amir, “Laknat Dalam Pandangan Al-Qur‟an:Analisis Ayat-Ayat Laknat Dalam
Tafsir Al-Maraghi,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2011). 32
Irpan Sanusi, “Pesan Semiotis al-Qur‟an : Analisis Strukturalisme Q.S Al-Lahab,”
(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016) 33
Ja‟far Shiddiq, “Penggunaan Semiotika Naratologi A.J. Greimas Dalam Pembacaan
Kisah Al-Qur‟an,” (Jakarta Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2016)
15
Fitriyana juga menulis skripsis yang berjudul Kisah Yusuf Dalam Al-Qur‟an:
Perspektif Semiologi Roland Barthes.34
Dalam skripsinya tersebut, dibahas kisah
Yusuf dengan pendekatan Analisis Teori Mitos Roland Barthes. Namun dalam
pembahasanya skripsi ini terkesan hanya mengulang metode penafsiran tematik.
Sebuah buku yang ditulis oleh Ali Imran dengan judul Semiotika Al-Qur‟an:
Metode dan Aplikasi terhadap Kisah Yusu.35
Objek kajian dalam buku ini
membahas kisah Yusuf dalam al-Qur‟an dengan menggunakan pendekatan teori
semiologi/semiotika yang dikembangkan oleh tokoh semiotika Charles Sanders
Peirce. Sebagaimana yang diketahui bahwa semiotika Peirce lebih menekankan
pada aspek produksi tanda secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir
(unlimited semiosis).
Luthfi Firdaus, “Relevansi Semiotika Dalam Kajian Tafsir Kontemporer”.36
Dalam skripsi ini, Luthfi mengemukakan bahwa metode semiotika sangatlah
relevan dengan kajian tafsir al-Qur‟an, sehingga dengan lantang Luthfi
mengambil kesimpulan bahwa semiotika adalah jawaban bagi penafsiran yang
bersifat artificial dan letterlux, disebabkan penafsiran dengan metode semiotika
mengusung historisitas teks.
Rony Subayu juga menulis skripsi yang membahas bahwa bahwa semiotika
mitos Barthes hanya cocok diterapkan dalam menafsirkan ayat-ayat mu‟amalah
saja, tidak untuk menafsirkan ayat-ayat „ubudiyah.37
34
Pipit Aidul Fitriyana, “Kisah Yusuf Dalam AL-Qur‟an: Perspektif Semiologi Roland
Barthes,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2014) 35
Ali Imran, Semiotika AL-Qur‟an: Metode Dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf
(Yogyakarta: Teras, 2011) 36
Luthfi Firdaus, Relevansi Semiotika Dalam Kajian Tafsir Kontemporer (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005) 37
Rony Subayu, “Al-Qur‟an Sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland Barthes Sebagai
Metode Penafsiran Al-Qur‟an,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2005)
16
Ada beberapa kesamanaan yang dapat mendukung antara rujukan kajian
pustaka yang telah dimunculkan di atas dengan teori aplikasi semiotika Peirce
yang akan penulis jelaskan dalam pembahasan skripsi ini. Yang pertama adalah
persamaan dengan karya-karya yang telah menulis tentang al-balā‟ dengan skripsi
karya penulis ini adalah sama-sama ingin menunjukan bahwa makna lafaẓ al-
balā‟ dalam al-Qur‟an adalah ujian dan cobaan yang bisa berbentuk kebaikan
maupun keburukan. Sedangakan perbedaanya adalah terletak pada cara
memahami ujian yang didasarkan pada obyek dan sikap penerimaan subyeknya.
Yang kedua persamaan dengan karya yang menggunakan teori semiotika dalam
kajiannya adalah sama-sama menggunakan metode semiotika Peirce yang lebih
condong kearah pembahasan masalah makna kata yang di lihat dari sifat potensial
sebuah tanda.
F. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan saya sajikan menjadi lima bab. Masing-masing bab
memiliki beberapa sub bab.
Bab pertama: Pendahuluan. Bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran
awal isi pembahasan dalam skripsi ini. Oleh karenanya di isi dengan sejumlah sub
bab yang terdiri dari batasan dan rumusan masalah yang berfungsi untuk
memfokuskan kajian yang dibahas, kemudian sub bab tujuan dan manfaat
penelitian yang memberikan penjelasan mengenai kegunaan dan manfaat dari
penulisan skripsi ini, sub bab metodologi penelitian guna menunjukan bahwa
tulisan ini bersifat penelitian kepustakaan, sub bab kajian pustaka yang
memapakar tulisan-tulisan yang relevan dan mendukung dalam pembahasan
17
skripsi ini, serta sub bab sistematika penulisan yang bertujuan memberikan
gambaran umum yang pembahas setiap bab yang dibahas.
Bab kedua: Semiotika. pada bab ini akan dibahas mengenai teori semiotika,
yang dimulai dengan sub bab asal-usul dan pengertian semiotika yang berguna
memberikan pemahaman tentang awal muncul dan permulaan teori semiotika,
kemudian diikuti sub bab tentang biografi Carles Sanders Peirce yang bertujuan
menjelaskan siapa Peirce, dan sub bab teori semiotika Carle Sanders Peirce yang
menjelaskan bagaiamana teori semiotika yang dikembangkan oleh Peirce, serta
sub bab aplikasi teori semiotika peirce yang membahas mengenai cara penerapan
teori semiotika Peirce dengan metode semiosisnya.
Bab tiga: Definisi dan penggunaan kata al-balā‟ serta penafsiran para
ulama. Pada bab ini akan membahas tentang makna al-balā‟ (ujian) secara bahasa,
penggunaannya di dalam al-Qur‟an dan Hadis serta penafsiran-penafsiran ulama
yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna al-balā‟ yang ditafsirkan
oleh para ulama. Bab ini juga akan menjadi pembanding isi bab sesudahnya yang
akan memunculkan makna al-balā‟ berdasarkan teori semiotika Peirce.
Bab empat: Analisis semiotika terhadap makna al-balā‟ di dalam al-
Qur‟an. Pada bab ini akan membahas deskripsi-analisis atas penerapan semiotika
Charles Sanders Peirce terhadap teks ayat-ayat yang berbicara tentang al-balā‟
(ujian) dalam al-Qur‟an. Pada bab ini juga akan dimunculkan pembahasan
pembanding antara makna yang dipahami oleh para mufassir pada bab
sebelumnya dengan makna al-balā‟ berdasarkan aplikasi teori semiosis Peirce.
Bab ini utamanya akan membahas hasil penggunaan teori semiotika Peirce dalam
18
pembacaan makna al-balā‟yang nantinya akan menjadi kesimpulan teori pada bab
sesudahnya.
Bab kelima adalah penutup yang menyajikan Kesimpulan dan Saran
Rekomendasi. Al-balā‟ dalam alQur‟an memiliki makna ujian dan cobaan yang
bentuknya bisa berupa kebaikan dan keburukan. Makna ujian kebaikan dan
keburukan dapat dilihat berdasarkan dua aspek yakni aspek obyek dan sikap
penerimaan subyek. Aspek obyek berkaitan dengan bentuk-bentuk obyek seperti
kesenangan dan kesusahan. Sedangkan aspek sikap penerimaan subyek berupa
nilai keimanan dan kekafiran subyek.
19
BAB II
TEORI SEMIOTIK
A. Asal-usul dan Pengertian Semiotika
Semiotika biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda1 (the study
of signs), yang berupa kode-kode dengan entitas makna tertentu.2 Mengikuti
pemahaman Charles S. Peirce, semiotika hanyalah nama lain dari logika, yakni
“doktrin formal tentang tenda-tanda”, sementara ketika mengikuti pemahaman
Ferdinand de Saussure, semiologi adalah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu
yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat”. Maka bagi Peirce
semiotika adalah sebuah cabang dari filsafat, sedangkan bagi Saussure semiologi
adalah bagian dari disiplin ilmu Psikologi Sosial.
Semiotika juga merupakan bentuk ilmu sosial dalam memahami dunia
dengan menggunakan unit dasar yang disebut “tanda”.3 Secara definitif semiotika
berasal dari kata semion, yang berarti tanda. Sehingga sering disebut sebagai ilmu
yang mengkaji tentang tanda-tanda.4 Semiotika sendiri diyakini kemunculanya
sebagai bentuk tidak berkembangnya peran strukturalisme dalam memahami
realitas persoalan kehidupan. Istilah semiotka sendiri pertama kali dimunculkan
oleh tokoh filsuf berkebangsaan Jerman yang bernama Lambert pada abad ke 18,
1 Tanda adalah segala sesuatu yang bermakna, baik berupa warna, isyarat, kedipan mata,
objek rumus matematika, dan lain-lain. Setiap hal yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain
dirinya. Kata red, seperti yang telah kita tulis di atas, dikategorikan sebagai tanda karena ia bukan
merepresentasikan bunyi r-e-d yang menyusunya, melainkan sejenis warna dan hal lainya. Lihat:
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori
Semiotika (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 7. 2 Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas (Yogyakarta:
Jalasutra, 2011), h. 3. 3 Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika Dalam Memahami Bahasa Agama (Malang:
UIN-Malang Prees, 2007), h. 9. 4 Ali Imran, Semiotika AL-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf
(Yogyakarta: Teras, 2011), h. 9.
20
dan mulai booming dikalangan masyarakat secara sistematis pada abad ke 20.5
Ada beberapa definisi semiotika (semiologi) yang dikemukakan oleh para ahli.
Antara lain :
1. Charles S. Peirce dalam Hawkes, mengungkapkan bahwa batasan
semiotika adalah sebagai berikut: “Logic, in its general sense, is a believe i
have shawn, only another name of semiotics, the quasi-necessary, or
formal doctrine of sign”. (Dalam pengertian yang umum, logika -
sebagaimana yang saya percaya dan saya tunjukan – merupakan nama lain
dari semiotika, yaitu doktrin tanda yang “pura-pura penting” atau doktrin
tanda yang formal). Lebih dari itu, Peirce juga menjelaskan bahwa yang
dimaksud doktrin tanda adalah tanda yang lahir dari pengamatan kita
terhadap sifat-sifat tanda yang betul-betul kita ketahui.6
2. Ferdinand de Saussure, mendefinisikan semiologi sebagai sebuah ilmu yang
mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan sosial. Ilmu ini merupakan bagian
penting dari psikologi sosial. Sedangkan linguistik merupakan cabang dari
semiologi.7
B. Biografi Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce lahir pada tanggal 10 Saleptember 1839 di
Cambridge, merupakan anak dari pasangan Benjamin Peirce, seorang ahli
matematika dan astronom yang sangat jenius di Harvard dan ibunya bernama
Sarah Mills, anak dari seorang senator Elijah Hunt Mills. Peirce memiliki lima
orang saudara dan dia merupakan anak kedua. Keluarga besar Peirce memang
5 Ali Imran, Semiotika Al-Qur’an, h. 10.
6 Wildan Taufiq, Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-Qur’an, (Bandung: Penerbit
Yrama Widya, 2016), h. 9.
7 Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu,
2014). h. 22.
21
dikenal sebagai ahli intelektual, hal ini bisa dilihat dari salah satu kakaknya, yang
bernama James Mills Peirce, yang menjadi profesor matematika di Harvard.
Selain itu saudaranya, Herbert Henry Davis Peirce yang mendapatkan karir
terhormat di Foreign Service, sedangkan adiknya yang terkecil, Benjamin Mills
Peirce, menunjukkan bakatnya menjadi seorang insinyur. Akan tetapi, ia
meninggal saat masih muda. Bakat keilmuan yang dimiliki Peirce bersaudara,
merupakan bagian kemampuan intelektual yang luar biasa, yang sedikit banyak
dipengaruhi juga oleh kemampuan ayah mereka.8
Peirce merupakan seorang filsuf terkemuka di Amerika yang paling orisinil
dan multidimensosial. Namun, Peirce memiliki sebuah kekurangan yang tidak
dapat dia jaga, berupa mudah marah dan tempramental yang diakibatkan oleh
penyakit syaraf yang diidapnya, sehingga membuatnya banyak dijauhi oleh kawan
dan koleganya. Hal ini juga yang menyebabkan Peirce dikeluarkan sebagai dosen
dari Universitas John Hopkins.9
Peirce merupakan ilmuan yang sangat produktif menghasilkan berbagai
macam karya, namun dari sejumlah besar karyanya yang diterbitkan, tidak ada
yang spesifik menelaah tentang masalah yang menjadi objek bidangnya. Dalam
kaitan dengan karyanya tentang tanda, pemikiran Peirce haruslah selalu dianggap
berada dalam proses semiosis10
yang terus dapat diperbaharui maknanya secara
berlanjut.11
8 Lexi Zulkarnain, “Hadis Tentang Keutamaan Ibu: Suatu Tinjauan dan Analisis Semiotik
Charles S. Peirce,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2009), h. 24. 9 Wildan Taufuq, Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-Qur’an (Bandung: Penerbit
Yrama Widya, 2016), h. 28.
10 Semiosis adalah proses pembentukan tanda yang bertolak dari representament yang
secara spontan berkaitan dengan object dalam kognisi manusia dan kemudian diberi penafsiran
tertetu oleh manusia tersebut sebagai interpretan. 11
Wildan Taufiq, Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-Qur’an, h. 29.
22
C. Teori Semiotik Charles Sanders Peirce
Mengawali pembahasan mengenai pemikiran dan teori aplikasi yang
ditawarkan oleh semiotik Charles Sanders Peirce, terlebih dahulu penulis akan
mencoba memahami tiga garis besar yang dimiliki oleh semiotik itu sendiri yakni:
struktural, pragmatis, dan gabungan keduanya.12
1. Semiotik Struktural didasarkan pada pemikiran Ferdinand D. Saussure
yang mengatakan bahwa tanda adalah tersusun atas dasar penanda
(signifiant) dan petanda (signifie).
2. Semiotik Pragmatis didasarkan pada pemikiran yang dikembangkan oleh
Charles Sanders Peirce yang mengatakan bahwa tanda dan pemaknaan
merupakan suatu proses kognitif atau yang lebih populer disebut
semiosis.
Lebih lanjut mengenai teori semiotik Peirce, dituntut untuk mengetahui
perbedaan pengujian teori dalam terapan; antara teori sebagai hasil analisa dari
hubungannya dengan fakta-fakta, dengan teori sebagai hasil pengujian dari
metode (metodologi). Pengujian teori yang pertama bertujuan untuk verifikasi
atau falsifikasi terhadap teori tersebut, karena teori yang pertama berisi preposisi-
preposisi yang menjelaskan realitas fakta sehingga pengujiannya diukur dengan
teori kebenaran korespondensi. Jika terdapat kesesuaian antara preposisi teori
dengan realitas fakta maka teori tersebut terbukti (terverifikasi), tetapi sebaliknya
jika tidak ada kesesuaian maka teori tersebut adalah salah (falsifikasi). Sedangkan
pengujian teori yang kedua, yaitu metodologi, tidak dapat membuat verifikasi atau
falsifikasi, karena jenis teori ini berisi proses-proses dalam penelitian dan asumsi-
12
Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu,
2014), h. 5.
23
asumsi yang dibangun dari proses tersebut, sehingga dari aplikasi yang akan
dihasilkan proses-proses tersebut adalah kelebihan dan kekurangan, atau kekuatan
dan kelemahan teori tersebut. Sedangkan asumsi-asumsi yang dikembangkan
dalam teori tersebut yang dapat diuji adalah ketersambungannya.13
Peirce mendefinisikan tanda sebagai berikut:
“saya mendefinisikan tanda sebagai apapun yang ditentukan oleh
sesuatu yang lain, yang disebut objek, dan menentukan suatu pada
seseorang, yang pengaruh saya sebut Interpretant, yang mana interpretan itu
ditentukan oleh objek.”14
Dalam hal ini, objek yang diacu oleh tanda, atau sesuatu yang kehadiranya
digantikan oleh tanda adalah “realitas”atau apa saja yang dianggap ada. Artinya
objek tersebut tidak mesti konkret, tidak harus berupa hal yang kasat mata
(observable) atau eksis sebagai realitas empiris, tetapi bisa pula hal lain yang
abstrak, bahkan imajiner dan fiktif.
Definisi tanda dari Peirce berkaitan dengan kategori firstness, secondness,
dan thirdness. Dengan demikian, Peirce membedakan tiga tipe tanda dasar
kategori fenomenologinya. Tanda sebagai firstness yaitu tanda sebagai tanda itu
sendiri, yang disebut representament. Tanda sebagai secondness yaitu objeknya,
dan tanda sebagai thirdness, yaitu tanda sebagai interpretant (hasil interpretasi).
Tiap hubungan ini tidak menunjukan bentuk keberadaan yang berbeda ataupun
mewakili kelas fenomena yang berbeda.
13
Lexi Zulkarnain Hikmah, “Hadis Tentang Keutamaan Ibu: Suatu Tinjauan dan Analisis
Semiotik Charles S. Peirce,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2008). 14
Lexi Zulkarnain Hikmah, Hadis Tentang Keutamaan Ibu..., h. 19.
24
Representament adalah tanda yang mewakili objek lain. Antara tanda yang
diacunya merupakan objek. Hubungan ini melalui proses representasi.
Representament juga merupakan “bentuk fisik sebuah tanda”15
Sebagaimana yang
telah disebutkan, bahwa semua yang dapat terpikirkan dan yang tidak dapat
terpikirkan dapat merupakan objek. Objek ini mempunyai hubungan langsung
dengan interpretasi. Interpretasi merupakan hubungan antara tanda dan subjek
penerima tanda yang menginterpretasikan tanda tersebut sehingga membuat tanda
baru yang disebut interpretant. Interpretant adalah tanda yang berkembang dari
tanda yang telah terlebih dahulu ada dalam benak orang yang
menginterpretasikanya. Interpretasi dapat dilakukan setelah obyek yang diwakili
oleh tanda (representament) tersebut diketahui. Interpretant ini dapat menjadi
representament baru yang merepresentasikan object yang lain sehingga
memerlukan interpretan kembali. Dengan kata lain, proses semiosis adalah
sebuah rangkaian yang tidak berujung-pangkal, tanpa awal dan akhir; sebuah
semiosis yang tanpa batas (unlimited semiosis). Proses yang tidak terbatas tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:
15 T. Christomy dab Untung Yuwono, “Semiotika Budaya”, C. 2 (Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia)
(O) (O) (O)
(R) (I/R
al-Keterangan: R: Representament, (O): Objec, (I): Interpretant
(I/R
al-
(I/R
al-
Gambar 2. 1: Segi Tiga Semiosis
25
Jika kita arahkan perhatian kita pada sifat dari tanda itu sendiri sebagai
representament, terpisah dari objeknya atau interpretanya, maka terdapat tiga
macam tanda. Tanda dalam hubungannya dengan firstness, yaitu qualisign,
sinsign, dan legisign. Pertama, qualisign diambil dari kata quality adalah
merupakan tanda-tanda yang berdasarkan suatu sifat, contohnya merah. Karena
merah merupakan tanda pada apa yang mungkin, seperti sosialisme, cinta.
Qualisign atau tone (sifat) adalah tanda yang merupakan kualitas atau
penampakan belaka. Suatu Qualisign tidak dapat beroperasi secara simbolis
sampai tanda itu diberi bentuk atau diwujudkan, namun tidak mempengaruhinya
sebagai suatu tanda. Kedua, sinsign diambil dari kata singular adalah tanda yang
merupakan dasar tampilanya dalam kenyataan, seperti jeritan, tertawa, nada suara,
metafora, juga termasuk segala pernyataan individual yang tidak dilembagakan.
Sinsign hanya dapat menunjukan diriya melalui kualitasnya, suatu qualisign atau
lebih tepat lagi kelompok qualisign, karena ditentukan oleh beberapa kausalitas.
Ketiga, legisign diambil dari kata legitimation adalah tanda-tanda yang
merupakan tanda dasar sebuah peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi,
sebuah kode, misalnya mengangguk berarti “iya”, tanda lalu lintas, jabat tangan.
Aturan ini biasanya dibuat atau ditetapkan oleh manusia. Setiap tanda
konvensional adalah suatu legisign. Legisign bukan merupakan objek tunggal,
tapi suatu tipe umum, yang telah disetujui mempunyai arti. Karena legisign
Gambar 2.2
R I
O
26
bersifat umum, dan hanya dapat berfungsi melalui contoh atau replika dari dirinya
sendiri. Tapi replika ini harus suatu yang melibatkan qualisign.
Dalam hubungannya antara representament dan objeknya, Peirce
membedakan antara icon, index dan symbol. Icon merupakan tanda yang mewakili
objeknya berdasarkan „kemiripan‟ karakter yang dimiliki, tanpa mempedulikan
apakah objek tersebut eksis atau tidak, contohnya adalah diagram dan peta. Index
adalah tanda yang memiliki kaitan fisik dan eksistensial di antara representamen
dan objecnya sehingga seolah-olah akan kehilangan karakter yang menjadikanya
tanda jika objeknya dipindahkan atau dihilangkan. Contohnya asap adalah index
dari adanya api. Sedangkan simbol adalah tanda yang representamenya merujuk
kepada objek tertentu tanpa motivasi (unmotivated); simbol terbentuk melalui
konvensi-konvensi atau kaidah-kaidah tanpa adanya kaitan langsung di antara
representamen dan objeknya, contohnya adalah kata “pohon” yang dalam bahasa
Inggris „tree‟ adalah simbol. Karena relasi di antara kedua tanda tersebut sebagai
representament dan pohon betulan yang menjadi objeknya tidak bermotivasi alias
arbitrer, semata-mata kesepakatan (konvensional).16
Dalam hubungannya dengan interpretan yang ditandainya suatu tanda
adalah rheme, dicent, dan argument, atau sesuai dengan term, preposisi, dan
argumen. Pertama: Rheme adalah suatu tanda kemungkinan kualitatif, yakni tanda
apapun yang tidak benar dan tidak pula salah. Sebuah huruf atau fonem yang
berdiri sendiri adalah rheme, bahkan nyaris semua kata tunggal – dari kelas
apapun baik kata kerja, kata benda dan kata sifat, dan yang lainnya adalah rheme,
kecuali kata „ya‟ dan „tidak‟ atau „benar‟ dan „salah‟. Kedua: Disign atau Dicent
16
T. Christomy dab Untung Yuwono, Semiotika Budaya, C. 2 (Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia), h. 119.
27
adalah tanda eksistensial aktual, suatu tanda faktual yang biasanya berupa
preposisi. Sebagai preposisi, dicent adalah tanda yang bersifat informasional
seperti pada pernyataan “tom adalah seekor kucing”. Ketiga: Argumen adalah
tanda hukum atau kaidah, suatu tanda nalar yang didasari oleh leading principle
yang menyatakan bahwa peralihan dari premis-premis tertentu kepada kesimpulan
tertentu adalah cenderung benar. Apabila tanda dicent hanya menegaskan
eksistensi sebuah objek, maka argumen mampu membuktikan kebenaranya.
Contoh yang paling jelas dari sebuah argumen adalah silogisme.17
Tipologi Tanda Peirce.
Relasi dengan
representament
Relasi
dengan objek
Relasi dengan
Interpretan
Kepertamaan
(firtness)
Bersifat potensial
(qualisign)
Berdasarka
keserupaan
(ikonis)
Terms
(rheme)
Keduaan
(secondness)
Bersifat
keterkaitan
(sinsign)
Berdasarkan
penunjukan
(indeks)
Suatu pernyataan
yang bisa benar
dan bisa salah
(proposisi atau
dicent)
Ketigaan
(thirdness)
Bersifat
kesepakatan
(legisign)
Berdasarkan
kesepakatan
(simbol)
Hubungan
proposisi yang
dikenal dalam
bentuk logika
tertentu (inter
argumen)
D. Aplikasi Teori Semiotika Peirce
Dalam pembahasan ini, penulis akan melakukan pengujian dalam
pemaknaan sebuah tanda dengan menggunakan Teori Semiotika Peirce yang
bersifat trikotomis. Dalam hal ini juga, akan dibahas kembali bagaimana
17
T. Christomy dab Untung Yuwono, Semiotika Budaya, C. 2 (Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia), h. 121.
GAMBAR 2.3
28
pemaknaan sebuah tanda dilihat dari tiga sudut pandangan yakni, Representamen,
Objec, Intrepretan dalam tanda itu sendiri.
Untuk mempermudah penerapan Teori Semiotik Peirce dalam memahami
tanda, maka penulis mencoba membaca sebuah tanda mengenai pandangan umat
Islam dan dunia terhadap kewajiban menutup aurat bagi wanita muslim dengan
menggunakan kerudung, seperti yang dipraktekan oleh Wildan Taufiq.
Wildan Taufiq, dalam bukunya Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-
Qur’an, memberikan sebuah contoh penggunaan teori semiotik Peirce dengan
mengambil contoh penggunaan Jilbab untuk umat Islam. Menurutnya menutup
aurat adalah kewajiban setiap wanita muslim. Jilbab atau kerudung merupakan
salah satu cara yang digunakan wanita muslim untuk menutupi auratnya dari
bagian kepala sampai dada. Hal ini merupakan bagian tanda ketakwaan
pemakainya terhadap perintah Allah. Sebagaimana yang termaktub dalam al-
Qur‟an surat Al-Ahzāb/59 dan Al-Nūr/24: 33.18
Dalam perjalananya sendiri, pemaknaan terhadap pemakaian jilbab atau
kerudung sebagai sebuah lambang ketaatan terhadap perintah agama, sedikit
bergeser nilainya menjadi sebuah tradisi umat Islam. Ketika makna kerudung
menjadi tradisi, maka akan dipandang dari beberapa sudut pandang yang
menghasilkan pemaknaan bahwa kerudung adalah pakaian kuno atau kolot. Hal
ini terlihat disekitar Tahun 80-90 an, banyak perusahaan dan perkantoran yang
melarang karyawatinya berkerudung dan bahkan cenderung tidak menerima
pelamar karyawati pemakai kerudung. Akan tetapi di era tahun 2000-an,
pandangan tentang kerudung sebagai pakaian kolot bergeser lagi. Sekarang ini,
18
Wildan Taufiq, Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-Qur’an, (Bandung: Penerbit
Yrama Widya, 2016), h. 38
29
kerudung atau jilbab dipandang sebagai sebuah tren fashion dunia yang bahkan
memiliki nilai ekonomis yang tinggi untuk dunia pasar dan bisnis.19
Dari beberapa uraian di atas, jika dianalisis menggunakan Semiotika Peirce,
akan menghasilkan sebagai berikut:
1. Representament : dilambangkan dengan huruf (R)
2. Objek : dilambangkan dengan huruf (O), dan
3. Interpretant : dilambangkan dengan huruf (I)
Proses penerapan Teori Peirce dalam pembacaan tanda disebut dengan
istilah “Semiosis”. Semiosis dari tanda yang penulis sebutkan di atas dapat
digambarkan sebagai berikut: kata kerudung menjadi (R (1)), yang objeknya (O
(1))adalah penutup kepala wanita muslim, menjadi tanda kesalehan atau ketaatan
terhadap perintah agama (I (1)). Kerudung kemudian menjadi (R (2)) ketika
dianggap sebagai busana kolot atau kuno (I (2)). Kerudung menjadi (R (3)), ketika
menjadi salah satu tren busana dunia (I (3)). Objek kedua (O (2)) dan objek ketiga
(O (3)) adalah sama dengan objek yang pertama (O (1)).20
O (1): O (2): O (3):
Penutup kepala Penutup kepala Penutup kepala
Wanita muslim Wanita muslim Wanita muslim
R (1): I (1): (I- (2)) (I- (3))
Kerudung ketaatan terhadap Busana kolot /kuno Tren Busana
Perintah agama (R- (3)) dunia
Kesalehan (R-(4))
(R (2))
19
Wildan Taufiq, Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-Qur’an, h.39 20
Wildan Taufiq, Semiotika: Untuk Kajian Sastra dan al-Qur’an., h.40.
30
Lebih lanjut penerapan teori dapat dilihat ketika Peirce mencoba
menjelaskan bagaimana sebuah proses berpikir dalam diri manusia terjadi. Hal ini
terjadi ketika manusia berinteraksi dengan tanda, karena bagi Peirce semuanya
adalah tanda, maka baik bunyi, tulisan, bau, warna, atau apapun itu yang dapat
dipahami manusia adalah tanda. Proses tanda tersebut terdiri dari tiga langkah;
pencerapan tanda, penggambaran objek, dan interpretasi. Sebagai contoh hal ini
dapat dilihat dari seorang pengendara motor menginterpretasi salah satu lampu
dari tiga lampu lalu lintas sebagai sebuah tanda. Lampu tersebut terdiri dari tiga
warna yang berbeda, yang masing-masing lampu mewakili perintah tertentu;
merah (merah perintah untuk berhenti), hijau (perintah untuk jalan), dan kuning
(perintah untuk hati-hati). Ketika pengendara motor melihat lampu berwarna
merah maka secara otomatis sang pengendara motor tersebut langsung berhenti.
Proses berpikir pengendara motor dapat digambarkan dengan semiotik:
(O) Perintah untuk berhenti
Lampu berwarna merah Berhenti
(R) (I)
Lampu berwarna merah merupakan tanda yang dipahami sang pengendara
motor, yang kemudian berelasi dengan dengan objek “perintah untuk berhenti”
yang pada akhirnya membentuk interpretasi “berhenti”.
Tanda yang sama boleh jadi memiliki objek yang berbeda sehingga
menimbulkan interpretasi yang berbeda. hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Sebagai contoh adalah ketika tiga orang mendengar kata “mie” dalam
sebuah pertanyaan “kalian mau makan mie apa?” maka setidaknya terdapat tiga
31
interpretasi mengenai kata “mie” dalam pertanyaan tersebut. Proses tersebut dapat
digambarkan dengan semiotok sebagai berikut21
:
Mie Goreng Mie Rebus Mie Kari
Kata“mie” mie goreng Kata“mie” mie rebus Kata“mie” mie kari
Orang 1 Orang 2 Orang 3
Selain itu, sebuah tanda yang berbeda boleh jadi memiliki objek yang sama
sehingga menghasilkan interpretan yang sama pula. Proses ini dapat dilihat pada
rumusan berikut ini:
Sebagai contoh adalah ketika seseorang menyebutkan beberapa merek
kendaraan seperti Avanza, xenia, innova, maka hal tersebut akan mengacu kepada
satu interpretasi jenis kendaraan roda empat yang disebut dengan “mobil”. Proses
ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Mobil Mobil Mobil
Avanza Mobil Xenia Mobil Innova Mobil
Orang 1 Orang 2 Orang 3
Semiotik merupakan suatau epistemologi pragmatis. Hal ini tercermin dari
teori kebenaranya. Benar bagi semiotik adalah apabila berfungsi dan efektif dalam
kehidupan, yang berarti dapat dimanfaatkan dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Oleh karena, semiotik sebagai epistemologi bertumpu pada pengalaman. Dari
21
Lexi Zulkarnain Hikmah, “Hadis Tentang Keutamaan Ibu: Suatu Tinjauan dan Analisis
Semiotik Charles S. Peirce,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2008), h. 25.
32
pengalaman ini dengan melalui proses semiosis, diperoleh struktur rinci. Dari
pengalaman ini pula diperoleh wawasan dan pengembangan pengetahuan yang
dinamis, artinya pengetahuan ini bertambah dan berubah terus seiring dengan
pengalaman hidup sehingga pengetahuan manusia berkembang pesat.
33
BAB III
DEFINISI DAN PENGGUNAAN KATA AL-BALĀ’ SERTA PENAFSIRAN
PARA ULAMA
A. Definisi Kata Al-Balā’
Al-balā‟ merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab. Asal katanya
adalah balā ( بال ) atau baliya (بلى) yang artinya Jaraba (جرب), imtahana (امتحن),
ikhtabara (اختبر), sehingga al-balā‟ maknanya al-ikhtibāru wa al-imtahānu wa
aṭṭakhrību.1yang berarti ujian dan cobaan. Ibn Manẓur al-Miṣri, Lisān al-„Arab
mencontohkan بلوت الر جل بلوا وبالء وبتليته: أختبرته؛ وباله بلوا أذا جربه وختبره ا artinya
“balawtu dan ibtalaytu: saya menguji seseorang”, “balā-yablū: ia mencoba dan
mengujinya.
al-Balā‟ yang berarti ujian..Kata tersebut berasal dari empat huruf ba‟-lam-
ya‟-wau, yang secara morfologis berasal dari kata balā-yablū-balwan wa balā‟an,
berarti: tampak jelas, rusak, menguji, dan sedih. Kata balā‟ dalam al-Qur‟an
terulang enam kali. Bentuk jamaknya adalah balayā, dengan segala derivasinya
dipakai dalam al-Qur‟an sebanyak 33 kali, tersebar dalam berbagai surat 16.
Dalam al-Qur‟an al-balā‟ mempunyai makna yang sama dengan kata الألبتالء
yang berasal dari kata ابتلى yang berarti اختبروامتحن 2 (ujian dan cobaan). Meskipun
demikian, dalam ayat-ayat al-Qur‟an penggunakan kata al-balā‟ lebih sering
menunjukan ujian kebaikan. Sedangkan al-Ibtalā lebih sering menggunakan ayat-
ayat yang berkaitan dengan ujian keburukan. Pada dasarnya kedua kata tersebut
1 Abi Fadl Jamāl al-dīn Muḥammad bin Makrim Ibn Manẓur al-Miṣri, Lisān al-„Arab, vol.
14 ( Libanon, Dār Ṣādir: 1414 M), h. 83-84. 2 Abdul Rasyid Sabirin, “al-Bala‟ Dalam al-Qur‟an: Kajian Tentang Makna dan Macam-
Macam al-balā, Serta Sikap Manusia Dalam Menghadapi Ujian,” (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin
dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011), h. 23. Sabirin menulis bahwa dalam
bukunya Ibn Faris, berpendapat bahwa al-balā‟memiliki kata asal بلوى yang terdiri dari dua makna
yaitu “sesuatu yang usang” dan “sebuah ujian”. Lihat: Abū al-Husain Ibn Fāris, cet. ke-2, vol. 1,
Mu‟jam Maqāyis al-Lughah (Mesir: Mustafa Bāby al-Halaby, 1962), h. 293-294.
34
dapat menunjukan pengertian ujian kebaikan maupun keburukan. Seperti Firman
Allah dalam QS. al-Anbiyā/21: 35.
“35. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji
kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-
benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan”.
Menurut para ulama Ulumul al-Qur‟an, al-khithāb bil fi‟il yadullu „alā al-
tajaddud wal hudūts (bahwa khitab dengan fiil mudlari‟ menunjukkan peristiwa
yang selalu mengalami pembaharuan). Hal itu memberi isyarat bahwa bala atau
ujian dalam kehidupan manusia ini akan terus berlangsung dan dialami oleh
manusia. Apabila manusia mampu menyikapinya dengan sikap terbaik dan
bersabar, niscaya akan dilimpahkan rahmat Tuhan dan digolongkan sebagai
orang-orang yang memperoleh petunjuk (Q.S. al-Baqarah/2: 157).
Term balā‟ dengan makna ikhtibār (ujian) yang menunjukkan bentuk
cobaan yang menyenangkan, misalnya dalam Surat al-Anfāl/8: 17, yakni ketika
umat Islam diberi kemenangan pada waktu perang Badar. Dalam ayat tersebut,
kemenangan dalam peperangan disebut dengan kata balā‟an hasanā (ujian
kemenangan). Demikian pula ketika Nabi Sulaiman diberikan berbagai kemuliaan
berupa kekayaan dan kekuasaan serta kemampuan berkomunikasi dengan
hewan/binatang (Q.S. al-Anfāl/27:40).3 Sementara balā‟ dalam konteks yang
tidak menyenangkan terungkap dalam kisah umat Nabi Musa, ketika mereka diuji
oleh Allah melalui Fir‟aun yang menyiksa mereka serta membunuh anak-anak
3 Abū Ja‟fār Muḥammad bin Jarīr Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān.
Penerjemah Ahmad Affandi, vol. 10 (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2008), h. 854-877.
35
mereka (Q.S al-Baqarah/2: 49, al-A‟rāf/7: 141, dan kisah Nabi Ibrahim ketika
diuji oleh Allah untuk menyembelih puteranya Isma‟il (Q.S. al-Shaffāt: 104-106).
B. Makna al-Balā’ Menurut Para Ulama
Pemaknaan kata al-balā‟ di dalam kalangan ulama sangat beragam. al-
Fairuzabady mengatakan bahwa al-balā‟ adalah ujian yang bisa berupa kebaikan
(minhah) maupun keburukan (mihnah).4 Pendapat yang senada juga disampaikan
oleh Ibn Manẓūr dalam kamus Lisān al-„Arāb-nya yakni al-balā‟bermakna (al-
Ikhtibār) ujian, baik yang berbentuk kebaikan maupun keburukan.5
Hampir sama dengan pendapat sebelumnya, al-Rāghib al-Isfahāny
menambahkan sedikit penekanan terhadap pemaknaan al-balā‟yang berarti ujian
kebaikan dengan ujian keburukan. menurut beliau, ujian dengan kebaikan lebih
berat posisinya ketimbang ujian dengan keburukan.6 Hal ini didasarkan pada
kewajiban seorang hamba ketika mendapatkan ujian kebaikan adalah bersyukur,
sedangkan ketika ujian keburukan adalah bersabar. Maka pada praktek, realisasi
ataupun bentuk nyata dari rasa syukur pada kenikmatan lebih sulit untuk
dipraktekan ketimbang realisasi kesabaran dalam hal keburukan.
Berbeda dengan pandangan ulama yang disebutkan di atas, Abū Hilāl al-
„Asykāry mengatakan bahwa al-balā‟ ataupun al-Ibtalā merupakan identifikasi
terhadap mubtala (orang yang diuji) dalam hal ketaatan dan kemaksiatan dengan
cara Allah memberikan ujian yang susah, tidak disenangi dan menyulitkan.7
4 Al-Fairuzabādy, Qāmus al-Muhith (Beirut: Dār al-Fikr, 1995), h. 1138
5 Ibn Manẓur al-Miṣri, Lisān al-„Arab, h. 83.
6 Al-Asfahāny, Mu‟jam Mufradat Alfāzh al-Qur‟an, h.
7 Abū Hilal al-„Asykariy, al-Furūq al-Lughawiyyah, cet. ke-3, (Beirut: Dār al-Afāq al-
Jadidah, 1997), h. 210.
36
Dari beberapa pendapat ulama di atas tentang makna al-balā‟ sangat
beragam, dapat disimpulkan bahwa kata al-balā‟ dan al-Ibtalā adalah memiliki
makna yang sama yakni ujian dan cobaan dari Allah berupa kebaikan maupun
keburukan yang dibebankan kepada semua manusia dalam rangka untuk
mengetahui sejauh mana kualitas keimanan, ketakwaan, dan kecintaan serta
kepatuhan manusia kepada Allah.
1. Makna al-Balā’ menurut Ulama Tafsir
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-„Arab menyatakan, bahwa
musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana)8
Sedangkan menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua
kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan
pada sabda Rasulullah Saw, “Setiap perkara yang menyakiti manusia
adalah musibah.”9
Imam Ibn Katsir menjelaskan bahwa asal makna al-balā‟ adalah
ujian atau cobaan.10
Ujian atau cobaan bisa berupa kebaikan atau
keburukan. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Al-Anbiyā‟: 35.
35. tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.
Dan juga pada surah QS. Al-A‟rāf: 168
8Ibnu Mandzur, Lisân al-„Arab, juz 1, hal. 535.
9Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431).
10Syekh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir. Cet. Ke 2. (Jakarta: Darus Sunnah,
2014). h. 197. Diterjemahkan oleh Agus Makmun, Suharlan, Suratman, (Darus Sunnah)
37
168. dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa
golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada
yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-
baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada
kebenaran).
Ibnu Jarir mengatakan “Jika untuk suatu keburukan maka lebih
banyak menggunakan Lafazh “balā an, ablauhu, balautuhu, sedangakan
untuk kebaikan menggunakan lafazh (ablaituhu), wabalā an, iblā an,
ublīhi.
Sebagaimana Zuhair bin Abi Sulami berkata:
“jazallahu bil ihsāni mā fa‟alā bikum ... wa ablā humā khoiro al-
balā i alladzi yablū”
“ Semoga Allah membalas apa yang mereka berdua lakukan
terhadap kalian dengan kebaikan ... dan menimpakan bala‟ kepada
keduanya dengan sebaik-baik bala yang ditimpakan”
2. Makna al-Balā’ menurut Ulama Fuqaha
Imam Abu Hanifah (150 H) menghadapi ujian dan cobaan berupa
dicambuk 110 kali dan jebloskan ke dalam penjara sampai akhir hayat
beliau. Ujian penyiksaan ini diderita oleh imam Abu Hanifah lantaran
beliau tidak mau menerima jabatan Qadhi yang dibeban kepadanya
dengan mengatakan bahwa “aku tidak layak”.Penyiksaan dan penjara
yang dialami oleh imam Abu Hanifah ini, terjadi pada masa khalifah
Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani Umayyah.
Imam Malik bin Anas juga pernah mendapat hukuman karena
mempertahankan prinsip yang dia yakini. Malik bin Anas (179 H)
adalah seorang ulama hadits dan fiqh, penulis kitab al-Muwatha. Ia
dikenal dengan kehati-hatianya dalam berfatwa. Imam Malik
mengatakan, “perisai seorang yang berilmu adalah „aku tidak tahu‟ dan
seseorang melalaikanya, dia binasa”.
38
Imam Malik mendapatkan ujian keburukan berupa didera dan
dicambuk serta ditarik salah satu tanganya, hingga persendian bahunya
lepas. Hal ini dilakukan oleh Gubernur Madinah yang bernama Ja‟far
bin Sulaiman yang hendak memperbolehkan adanya hukum talaq
meskipun dalam keadaan terpaksa, sedangkan imam Malik
menyampaikan hadits “tidak ada talaq atas orang yang dipaksa”.
Imam Ahmad ibn Hanbal menghadapi mihnah yang artinya cobaan
dan ujian yang terberat adalah ketika handak disuruh oleh Khalifah Al-
Makmun dari dinasti Abbasiyah untuk mengatakan bahwa al-Qur‟an
adalah makhluk Allah. Namun imam Ahmad ibn Hanbal tidak mau
menuruti perintah dari Khalifah Al-Makmun, sehingga Imam Ahmad
ibn Hanbal, harus dipenjara dan disiksa.
Dalam keteguhan hati imam Ahmad bin Hanbal ini, para ulama
berkomentar bahwa Imam Ahmad bin Hanbal adalah benteng terakhir
akidah umat islam saat itu. Sebab seandainya imam Ahmad bin Hanbal
mengikuti perintah Khalifah Al-Makmun, maka umat islam sudah
hampir dipastikan seluruhnya akan manganut paham Muktazilah.
Dengan melihat beberapa ujian dan cobaan yang menimpa
terhadap di para fuqaha, dapat penulis menyimpulkan bahwa ujian dan
cobaan yang terberat dan terburuk dalam pandangan para fuqaha adalah
istiqamah dalam mengatakan kebenaran meskipun harus mendapatkan
penyiksaan dan kesengsaraan dari para penguasa.
C. Kata yang maknanya mirip dengan al-balā’ dalam al-Qur’an
39
Kata ujian dan cobaan di dalam al-Qur‟an selain diketahui lewat kata al-
balā‟ dapat pula kita ketahui melalui kata al-mihnah, al-fitnah, musibah,dan azab.
1. Al-Miḥnah
Kata al-mihnah berasal dari kata Arab yaitu “maḥana” yang
artinya menguji dan mencoba. Abū Fāris menjelaskan bahwa kata “ma-
ha-na” mengandung beberapa makna, yaitu: pertama, al-ikhtibār (ujian),
kedua, al-„I‟tha‟ (pemberian), dan ketiga, al-Dharbu (cambukan).11
Di dalam al-Qur‟an ayat yang menunjuk kepada kata “maḥana”
yang bermakna ujian yang terdapat pada surat al-Hujurāt/49:3, dan al-
Mumtaḥanah/60:10.
QS. al-Hujurāt/49:3
2.Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah
mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk
bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.
Ibn „Athiyyah mengatakan bahwa “امتحن” pada ayat di atas artinya
menguji.12
„Abū Bakr al-Jazāiry menjelaskan bahwa imtaḥana Allah
qulūbahum li al-Taqwa artinya Allah melapangkan hati mereka dan
meluaskanya untuk dapat bertakwa kepada-Nya. Saīd Hawa dan al-
Farrā‟ menambahkan, artinya Allah mensucikan hati mereka untuk
11
Abu Fāris, Mu‟jam Maqāyīs al-Lughah, op. cit. Jilid 5, h. 302. 12
Ibn „Athiyyah al-Andalusy, al-Muharrir al-Wajīz fi Tafsīr al-Kitaāb al-„Azīz, Juz 5
(Beirūt: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), h. 145
40
bertakwa sebagaimana emas yang disucikan dengan api maka akan
tampak yang murni dari yang jelek dan buruk.13
QS. Al-Mumtaḥanah/60:10.
10. Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-
suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan
berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka
bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Al-Jazāiry menjelaskan bahwa famtaḥinūhunna maksudnya, adalah
“maka ujilah mereka dengan sumpah. Sebagaimana yang yang diartikan
oleh al-Farrā‟, “mintalah mereka bersumpah”.14
2. Al-Fitnah
13
Abdul Rasyid Sabirin, “al-Bala‟ Dalam al-Qur‟an: Kajian Tentang Makna dan Macam-
Macam al-balā, Serta Sikap Manusia Dalam Menghadapi Ujian,” (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin
dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011), h. 26. 14
Abdul Rasyid Sabirin, “al-Bala‟ Dalam al-Qur‟an: Kajian Tentang Makna dan Macam-
Macam al-balā, Serta Sikap Manusia Dalam Menghadapi Ujian,” (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin
dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011), h. 26.
41
Kata al-Fitnah berasal dari Arab yaitu : فتن, yang artinya
membakar. Ibn Fāris menjelaskan bahwa fa-ta-na merupakan tiga huruf
shahih (ashl shahih) yang artinya menunjukan pada ibtilā‟ dan
ikhtibār.15
Al-Fairūzabady kemudian menjelaskan bahwa al-Fitnah
mempunyai banyak arti seperti: al-Dhalāl (kesesatan), al-„Itsm (dosa),
al-Kufr (kekafiran), al-Fadhīhah (keburukan), al-Adzāb (siksa), Idzābat
al-Dzahab (melarutkan emas), al-Fidhah (perak), al-„Idhal
(penyesatan), al-Junun (gila), al-Mihnah (ujian), al-Māl (harta), al-
Awlād (anak).16
Al-Ashfaḥāny mengatakan bahwa makna al-Fatn adalah
memasukkan emas ke dalam api untuk mengetahui apakah murni atau
tidak. Kemudian kata tersebut dipergunakan dalam arti memasukkan
manusia ke dalam neraka (QS. al-Dzāriyāt/51: 13 dan 14). Terkadang
juga digunakan untuk menunjukan azab (QS. al-Taubah/9:49), juga bisa
untuk merujuk kepada makna ujian (QS. Al-Thāḥa/20:40).
Dalam al-Qur‟an, ayat-ayat yang menunjukan kepada kata fatana
dengan berbagai perubahanya berjumlah lima puluh lima ayat dalam tiga
puluh surat. Dari lima puluh lima ayat tersebut, duapilih delapan ayat
diantaranya mengandung arti ujian dan cobaan. Salah satunya terdapat
pada QS. Al-An‟ām/6:53.
15
Abu Fāris, Mu‟jam Maqāyīs al-Lughah, op. cit. Jilid 5, h. 302. 16
Abdul Rasyid Sabirin, “al-Bala‟ Dalam al-Qur‟an: Kajian Tentang Makna dan Macam-
Macam al-balā, Serta Sikap Manusia Dalam Menghadapi Ujian,” (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin
dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2011), h. 27.
42
53. Dan demikianlah telah kami uji sebahagian mereka orang-orang kaya dengan
sebahagian mereka orang-orang miskin, supaya orang-orang yang kaya itu berkata:
"Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada
mereka. Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang
yang bersyukur (kepadaNya)?"
3. Musibah
Kata musibah berasal dari bahasa Arab yang di ambil dari kata
dasar asaba yang memiliki arti menimpa atau mengenai17
. Dalam al-
Qur‟an kata musibah disebutkan di sepuluh ayat, dan semuanya
bermakna kemalangan, musibah, dan bencana yang dibenci manusia.
Namun demikian, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk
menyakini, bahwa semua musibah itu datang dari Allah SWT, dan atas
ijinNya. Allah SWT berfirman: Qs. al-Taghâbun/[64]:11.
11. tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan
ijin Allah; dan Barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan
memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-„Arab menyatakan, bahwa
musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana)18
Sedangkan
menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang
17
A.W.Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, edisi kedua,
(Surabaya: Pustaka Progressif,1997), h. 800. 18
Ibnu Mandzur, Lisân al-„Arab, juz 1, hal. 535.
43
dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah
Saw, “Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah.”19
4. Azab
Kata „azab disebutkan dalam al-Qur‟an sebanyak 373 kali yang
terdiri atas 69 surat. Sebanyak 221 kata di antaranya terdapat dalam ayat-
ayat makkiyah, dan selebihnya 152 kata terdapat dalam ayat-ayat
madaniyyah.4 Secara umum, Alquran menggunakan kata „azab diartikan
sebagai segala sesuatu yang mendatangkan rasa sakit, rasa tidak enak,dan
ketidakbebasan. Terdapat yang mengatakan bahwa „azab pada dasarnya
berarti menyekap dan menahan (al-habs wa al-man‟). Dengan demikian,
air jernih disebut údzubat al-ma‟ karena ia telah ditahan dan disekap
dalam bejana sampai kotorannya mengendap. Jadi, setiap yang ditahan dan
disekap disebut di-„azab. Siksa disebut „azab karena orang yang disiksa,
ditahan dan dicegah dari segala yang mendatangkan keenakan dan
kebaikan.5 Ada juga yang mengatakan „azab berasal dari kata „azabat
ash-shawth (ujung cambuk). Jadi, „azab berkaitan dengan siksaan dengan
pukulan ujung cambuk yang mendatangkan rasa sakit.6 Apa pun asal
katanya, namun „azab secara umum dapat dirujukkan pada arti yang
dikemukakan di atas.7
Kata „azab tidak saja digunakan untuk siksa dan hukuman di
akhirat, tetapi digunakan pula untuk siksa dan hukuman di dunia. Contoh
yang terakhir ini adalah siksaan atau hukuman dera terhadap pezina yang
19
Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431).
44
oleh Allah, dianjurkan agar disaksikan oleh sekelompok orang-orang
mukmin, perhatikan Q.S.al-Nur/24:2.
2. perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman.
Juga Q.S.al-Zumar/39:26:
26. Maka Allah merasakan kepada mereka kehinaan pada kehidupan dunia.
dan Sesungguhnya azab pada hari akhirat lebih besar kalau mereka
mengetahui.
Adapun kemunculan „azab adalah terkait dengan perbuatan
manusia, dalam hal ini perbuatan negatif atau jahat. Kejahatan-kejahatan
itulah yang menjadi penyebab munculnya „azab dan yang tebanyak adalah
kufr. Lebih dari tiga puluh kali kata kufr ini muncul bersama „azab, di
antaranya perhatikan Q.S.Ali Imran/3: 56:
Selain berkenaan dengan kufr, kemunculan kata „azab juga berkenaan
dengan nifaq,8 takabbur,9 zhulm10 dan lain-lainya. Semuanya itu
menunjukkan bahwa Allah mengazab seseorang disebabkan oleh
kejahatan yang telah dilakukan. Dia tidak akan menyiksa orang yang tidak
berbuat kejahatan. Hal ini tidak berarti bertentangan dengan ayat yang
menyatakan bahwa Allah akan menyiksa orang yang dikehendaki-Nya.11
45
Ayat-ayat tentang hal itu, tidak berarti bahwa Allah akan menyiksa siapa
saja, temasuk orang-orang baik yang tidak melakukan kejahatan. Menurut
az-Zamakhsyari,12 pengertian man yasya‟ pada ayat itu adalah orang-
orang yang berbuat maksiat. Mereka itulah orang-orang yang pas dan tepat
mendapat siksaan, dan mereka itulah yang dikehendaki Allah menerima
sasaran siksaan-Nya. Demikianlah kata „azab dalam Alquran yang
semakna dengan kata musibah, kendatipun tidak persis sama.
D. Macam-macam Al-balā’ dalam al-Qur’an
Kata al-balā‟ dalam Al-Qur‟an yang bermakna ujian atau cobaan
menggunakan lafadz al-balā‟ dan al-ibtilā‟, baik untuk menunjukan ujian berupa
kebaikan maupun keburukan.
1. Ujian Berupa Kebaikan
a. Jabatan dan Kekuasan
Dalam hal ini tercermin dalam Q.S. Al-Naml/27: 38 – 40
“38. berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara
kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum
mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". 39.
berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu
dengan membawa singgsana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari
tempat dudukmu; Sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya
46
lagi dapat dipercaya". 40. berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI
Kitab. "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu
berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di
hadapannya, iapun berkata: "Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba
aku Apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan
Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia bersyukur untuk
(kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka
sesungguhnya Tuhanku maha kaya lagi maha mulia". Pada ayat di atas menceritakan tentang ujian kenikmatan yang diberikan
kepada Nabi Sulaimān as, untuk mengetahui apakah Nabi Sulaimān as,
merupakan orang yang bersyukur atau mengingkari terhadap nikmat yang Allah
berikan kepadanya, dengan menganggap bahwa dirinya adalah orang yang paling
hebat dan istimewa di antara yang lainya.
Dalam ayat ini menceritakan tentang Nabi Sulaimān as, dan Ratu Balqis.
Nabi Sulaimān, menyeru kepada para pembesar kaumnya baik dari golongan
bangsa jin maupun dari golongan bangsa manusia, supaya dapat memindahkan
singgasana yang dimiliki Ratu Balqis yang disimpan di tempat paling aman di
kerajaanya. Hal ini dilakukan ketika Nabi Sulaimān mendengar berita bahwa Ratu
Balqis akan datang bersama seluruh raja-raja pembesar yang ada di Yaman, untuk
menyerahkan diri seraya berbai‟at dan mengikuti agama yang diajarkan dan
dibawa oleh Nabi Sulaimān as. Mendengar permintaan Nabi Sulaimān tersebut,
maka berkatalah Jin Ifrit, yang merupakan pembesar dari pada jin, bahwa dia
sanggup memindahkan singgasana Ratu Balqis, kehadapan Nabi Sulaimān as,
sebelum beliau berdiri dari tempat pijakanya atau tempat duduknya. Tapi, berkata
pula salah seorang kaum Nabi Sulaimān as, yang diberi kelebihan dari Al-Kitab.
Bahwasanya, dia dapat memindahkan singgasana tersebut sebelum Nabi Sulaimān
mengedipkan matanya. Tatkala orang tersebut berdo‟a kepada Allah, maka
munculah singgasana Ratu Balqis kehadapan Nabi Sulaimān. Melihat hal itu,
47
Nabi Sulaimān, berkata bahwa ini adalah benar-benar kenikmatan dari Tuhan-ku,
untuk menguji kesyukuran terhadap diriku.20
b. Kemenangan dalam Perang
Dalam hal ini tercermin dalam Q.S. Al-Anfāl/8: 17.
“17. Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,
akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang
melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah
berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi
kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Imam Al-Ṭābarī menjelaskan bahwa dalam ayat di atas membahas tentang
perang Badar. Dalam ayat ini Allah memberikan pernyataan kepada hamba-Nya
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bahwa kemenangan yang mereka raih
dalam perang Badar, bukanlah semata-semata hasil kerja keras mereka sendiri,
melainkan ada bantuan Allah kepada mereka.21
Allah menyatakan bahwa diri-Nyalah yang telah membunuh orang-orang
musyrik itu, bukan orang-orang mukmin yang memerangi orang-orang musyrik
itu, karena Allah lah yang memberikan sebab pembunuhan terhadap mereka.
Allah juga menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad melemparkan pasir atau
debu ke arah kaum kafir, musuh kaum muslim. Kemudian pasir tersebut yang
menyebabkan mata kaum kafir menjadi sakit dan sulit untuk melihat, sejatinya
kejadian tersebut adalah perbuatan Allah. Sebab dalam pandangan logika, tidak
20
Abū Ja‟fār Muḥammad bin Jarīr Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān.
Penerjemah Ahmad Affandi, vol. 10 (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2008), h. 854-877. 21
Abū Ja‟fār Muḥammad bin Jarīr Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān.
Penerjemah Ahmad Affandi, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2008), h. 130-133.
48
mungkin pasir atau debu segenggam mampu membuat mata ribuan orang sakit
kecuali dengan kuasa Allah. Maka kemenangan yang diraih kaum muslim dalam
perang Badar tersebut merupakan ujian yang baik untuk mereka (al-balā‟ al-
Hasan), agar kaum muslimin dapat bersyukur kepada Allah terhadap nikmat yang
mereka terima.22
Kata (ليبلي) liyubliya terambil dari kata (بالء) balā‟ yang berarti menguji.
Huruf lām pada kata tersebut adalah lām al-Aqibah yang mengandug arti hasil,
kesudahan atau akibat. Sedangkan kata (اباله) ablāhu bermakna memberi anugrah.
Kata ini pada awalnya berarti ujian, kemudian digunakan untuk menunjukan hasil
perolehan. Hasil perolehan ini biasanya bersifat negatif, tetapi tidak selalu
demikian.
Ujian yang dimaksud dalam ayat ini adalah ujian terjun ke medan
pertempuran atau peperangan, karena ujian yang dilukiskan berupa ujian yang
baik, maka ini berarti bahwa hasil peperangan yang didapat adalah kemengan.
Ayat ini membahas kemengangan dalam peperangan Badar yang diperoleh
kaum muslimin. Kemenangan yang diperoleh ini adalah murni atas bantuan Allah
terhadap kaum muslimin. Sebab dalam hitungan logika manusia mustahil,
pasukan muslim yang hanya berjumlah 300 orang dan hanya bersenjata terbatas,
mampu mengalahkan kaum Kafir Qurais yang berjumlah seribu orang yang
memiliki persenjataan lengkap pada saat itu.23
c. Selamat dari Musuh
Hal ini tercermin dalam QS. Al-Baqarah/2: 49.
22
Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān, h. 130-133. 23
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Miṣbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, vol. 5
(Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2001), h. 402-403.
49
“49. Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari Fir'aun dan
pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang
seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan
membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. dan pada yang demikian
itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu”.
Pada ayat ini, sejatinya Allah mengingatkan terhadap kenikmatan yang
diberikan kepada Bani Isra‟il berupa keselamatan dan terbebas dari kekejaman
Fir‟aun. Kekajaman Fir‟aun terhadap Bani Isra‟il bermula, ketika Fir‟aun dan
para pengikutnya menyadari apa yang dijanjikan oleh Allah terhadap Nabi
Ibrahim, bahwa Allah akan menjadikan keturunan Nabi Ibrahim menjadi Nabi dan
Raja. Hal ini-lah yang membuat Fir‟aun memerintahkan pengawal dan bala
tentaranya untuk membunuh setiap bayi laki-laki yang baru dilahirkan oleh para
wanita Bani Isra‟il dan membiarkan hidup setiap bayi-bayi perempuan yang
dilahirkan. Sehingga hampir-hampir saja seluruh kaum Bani Isra‟il punah akibat
dari perintah Fir‟aun tersebut.24
Maka Allah menyelamatkan Bani Isra‟il terhadap kekejaman siksaan
Fir‟aun dengan menghancurkan dan menenggelamkannya di dalam laut. Pada
penyelamatan Allah tersebut merupakan ujian dan cobaan yang besar bagi Bani
Isra‟il berupa untuk selalu bersyukur kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya
dengan yang lain.25
Dalam ayat 49 surat al-Baqarah ini, mengandung makna pemberian
keselamatan saat terjadinya siksaan dan penderitaan, sehingga kaum Bani Isra‟il
24
Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān, h. 695. 25
Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān, h. 701-702.
50
terhindar dari siksa. Sedangkan dalam surat al-A‟rāf ayat 141, merupakan
pemberian keselamatan dengan cara menjauhkan siksaan tersebut secara
keseluruhan. Dengan demikian, ada dua keselamatan yang diperoleh Bani Isra‟il
dalam konteks ayat ini. Yang pertama menghindarkan (sebagian mereka), berarti
dalam pelaksanaan terhadap siksaan Fir‟aun, ada di antara mereka yang tidak
tersiksa. Hal ini disebabkan pada setahun penuh Fir‟aun memerintahkan untuk
membunuh setiap bayi laki-laki yang lahir dari kaum Bani Isra‟il, dan pada tahun
berikutnya membiarkan semuanya hidup tanpa ada yang dibunuh. Dalam
keselamatan yang pertama ini Allah hendak menguji kesabaran kaum Bani
Isra‟il.26
Keselamatan kedua yang diperoleh Bani Isra‟il adalah ketika Allah
meruntuhkan dan membinasakan Fir‟aun dan segala bala tentaranya ke dalam laut.
Sehingga umat Bani Isra‟il mendapatkan kebebasan dalam kehidupanya. Dalam
penyelamatan kedua ini, sejatinya Allah hendak menguji kesyukuran terhadap diri
para kaum Bani Isra‟il.27
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa ujian bukan hanya terbatas pada
bentuk hal-hal yang merugikan atau yang dinilai negatif saja, tetapi juga bisa
berupa kenikmatan. Dalam hal ujian keburukan Allah hendak menuntut
kesabaran, dan sedangkan dalam ujian kenikmatan Allah hendak menuntut
kesyukuran. Biasanya ujian dalam hal kesyukuran lebih berat dilaksanakan
ketimbang ujian yang menuntut kesabaran. Seringkali ujian keburukan
26
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 183-184 27
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, h. 185.
51
mendekatkan seorang hamba dengan Allah dan sebaliknya ujian kenikmatan tidak
jarang membuat hamba lupa dan mengkufuri Allah.28
QS. Al-A‟rāf/7: 141.
“141. Dan (ingatlah Hai Bani Israil), ketika Kami menyelamatkan
kamu dari Fir'aun dan kaumnya, yang mengazab kamu dengan azab yang
sangat jahat, Yaitu mereka membunuh anak-anak lelakimu dan membiarkan
hidup anak anak perempuanmu. dan pada yang demikian itu cobaan yang
besar dari Tuhanmu."
QS. Ibrahim/14: 6.
“6. Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Ingatlah
nikmat Allah atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari Fir'aun dan
pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih,
mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu, membiarkan hidup anak-anak
perempuanmu; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari
Tuhanmu".
d. Kemudahan dalam Hidup
Hal ini tercermin dalam QS. Al-Dukhan/44: 33.
“33. Dan Kami telah memberikan kepada mereka di antara tanda-
tanda kekuasaan (Kami) sesuatu yang didalamnya terdapat nikmat yang
nyata”.
Abū Ja‟far mengatakan dalam ayat ini bahwasanya Allah memberikan ujian
terhadap hambanya, bisa berupa ujian kebaikan maupun ujian keburukan. Dalam
hal ini juga sebagian ulama, seperti yang diriwayatkan dari Qatādah, memberikan
28
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, h. 187.
52
tanggapan bahwa ayat ini menjelaskan ujian berupa kenikmatan. Seperti Bani
Isra‟il mendapatkan banyak ujian kenikmatan yang diberikan Allah. Diantaranya
Nabi Musa dengan izin Allah bisa membelah laut untuk menyelamatkan mereka
dan memberi naungan awan ketika kepanasan serta menurunkan manna dan
salwa untuk Bani Isra‟il. 29
e. Kemudahan Rezeki
QS. Al-Māidah/5: 94.
“94. Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya Allah akan
menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat
oleh tangan dan tombakmu, supaya Allah mengetahui orang yang takut
kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. barang siapa yang
melanggar batas sesudah itu, Maka baginya azab yang pedih”.
2. Ujian Berupa Keburukan
a. Kekalahan dalam Perang
QS. Muḥammad/47: 4.
“4. Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan
perang) Maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu telah
mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh
membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir.
Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan
mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian
yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan
menyia-nyiakan amal mereka”.
29
Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān, h. 231-232.
53
QS. Ali-„Imrān/3: 152.
“152. Dan Sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada
kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada sa'at
kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah
(Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. di
antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang
yang menghendaki akhirat. kemudian Allah memalingkan kamu dari
mereka, untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah mema'afkan
kamu. dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang orang
yang beriman”.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwasanya Allah telah memenuhi janji-
janji Allah terhadap orang mukmin. Pada saat Perang Uhud terjadi, kaum
muslimin hampir saja mencapai kemenangan dalam peperangan tersebut. Hal ini
ditandai dengan mampunya kaum muslimin membunuh pembawa panji kaum
Kafir Qurais, bahkan sampai tujuh orang setelahnya. Dan bahkan Allah menaruh
rasa takut di dalam dada kaum kaum Kafir Qurais yang ikut berperang. Tetapi
ketika kemenangan sudah hampir didapat, maka Allah membalikkan keadaan
dengan mencabut rasa takut yang ada di dalam dada kaum Kafir Qurais sehingga
mereka mempunyai keberanian kembali untuk berperang. Hal ini terjadi lantaran
kemaksiatan dan tidak patuhnya kaum muslimin terhadap perintah Rasulullah
untuk tidak tergoda dengan harta duniawi yang didapatkan dalam rampasan
peperangan. Peristiwa kekalahan kaum muslimin pada Perang Uhud ini, jelas
54
Allah jadikan sebagai ujian untuk kaum muslim dalam mengetahui siapa yang
kuat keimanan dan kesabaranya serta siapa juga yang imanya rapuh dan lemah.30
b. Penyembelihan Anak
QS. Ash-Shāffāt/37: 104-106.
“104. dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, 105. Sesungguhnya
kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.106. Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata”.
Dalam ayat ini, berkaitan dengan perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk
menyembelih anaknya (Isma‟il), melalui mimpi yang benar (wahyu). Ayat ini
juga menggambarkan bahwa ujian yang menimpa Nabi Ibrahim, merupakan
benar-benar ujian yang sangat berat dan besar.31
Ibn Zaid memberikan tanggapanya bahwa “lafazh بالء ditempat ini artinya
keburukan, bukan termasuk ikhtibār (ujian untuk mengetahui kadar iman),
disebabkan ujian ini merupakan hal yang dibenci, dan itu buruk, bukan termasuk
ikhtibār.32
Dalam ayat ini menceritakan tentang keadaan Nabi Ibrahim as, yang tengah
menghadapi ujian yang sangat berat, berupa perintah penyembelihan anaknya
yang bernama Ismail, sebagai wujud ketaatan terhadap perintah Allah. Perintah ini
merupakan ujian yang sangat berat, disebabkan oleh kenyataan bahwa Nabi
Ibrahim telah menunggu kehadiran sosok anak dalam kehidupanya sekian tahun
30
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 2 , h. 231. 31
Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān, h. 894. 32
Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān, h. 185.
55
lamanya. Kemudian ketika mendapatkan keturunan, maka Nabi Ibrahim harus
menyembelihnya lagi dengan tangannya sendiri juga.33
c. Kegundahan Hati
Q.S. Al-Ahzab/33: 11.
“9. Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah yang
telah dikaruniakan kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu
Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat
kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha melihat akan apa yang kamu
kerjakan. 10. (Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari
bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik
menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah
dengan bermacam-macam buruksangka. 11. Disitulah diuji orang-orang
mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat”.
Dalam ayat ini, menjelaskan tentang keadaan umat muslim yang sedang
dilanda ujian dan cobaan yang membimbangkan hati mereka. Kebimbangan ini
disebabkan oleh beredarnya fitnah dan propaganda yang dilakukan kaum munafik.
Umat muslim benar-benar diuji dengan ujian yang membingungkan hati.
Sehingga terkadang umat muslim berpikir apakah mengikuti atau mengingkari
ujian yang ada. Intinya ujian ini dijadikan oleh Allah untuk melihat siapa yang
tetap teguh terhadap perintah Allah dan Rasulnya, serta siapa yang berpaling dan
berkhianat terhadap perintah tersebut.34
d. Harta dan Jiwa (Umur)
33
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 12 , h. 65. 34
Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān, h. 23-24.
56
Q.S. Ali-„Imran/3: 186.
“186. Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan
dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-
orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang
mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati.
jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya yang demikian itu
Termasuk urusan yang patut diutamakan”.
Dalam ayat ini Allah mengingatkan umat Islam, bahwasanya umat Islam
benar-benar akan diuji dalam urusan harta, baik berupa kekurangan harta,
kehilangan atau dalam bentuk kewajiban berzakat dan bersedakah, dan bahkan
juga akan diuji dengan dirinya sendiri, baik berupa luka dan kesakitan yang
disebabkan peperangan, penganiayaan dari musuh atau akibat penyakit. Bukan
hanya ujian harta dan jiwa yang akan di lewati dirasakan oleh umat Islam,
melainkan juga ujian yang datang atau disebabkan oleh orang yang diberi al-Kitab
yakni Yahudi dan Nasrani, serta kaum Musyrik Mekah, yang banyak mengganggu
dan melecehkan Agama Islam. Dalam ayat ini juga menyiratkan bahwa ujian yang
paling berat yang akan menimpa umat Islam adalah ujian dalam permasalahan
Agama. Sehingga pada waktunya, harta dan jiwa akan dikorbankan, untuk
menolong Agama yang telah tersentuh kehormatan dan kesakralanya.35
e. Larangan Menikmati Kemudahan
Q.S. Al- Baqarah/2: 259.
35
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 2, h. 286.
57
“259. Apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu
negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata:
"Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka
Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya
kembali. Allah bertanya: "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?" ia
menjawab: "Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari." Allah berfirman:
"Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah
kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah
kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan
menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada
tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali,
kemudian Kami membalutnya dengan daging." Maka tatkala telah nyata
kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun
berkata: "Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Q.S. al-A‟rāf/7: 163.
“163. Dan Tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang
terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di
waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka
terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-
ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka
disebabkan mereka Berlaku fasik”.
f. Ketakutan, Kelaparan, Kemiskinan, Kematian dan Gagal Panen.
Q.S. Al-Baqarah/2: 155.
58
“155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan
sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”.
Dalam ayat di atas Allah ingin memberitahukan kepada umat Nabi
Muhammad, bahwa dunia merupakan tempat ujian. Mereka benar-benar akan
diuji dengan uijan yang sangat berat, untuk mengetahui siapa yang tetap
mengikuti dan siapa yang berpaling dari Rasulullah. Hal ini terlihat dalam
peristiwa, ketika Allah menguji mereka dengan memalingkan qiblat dari semula
menghadap Baitul Maqdis menjadi menghadap ke arah Ka‟bah.
Ujian berat yang ditimpakan Allah kepada umat Nabi Muhammad Saw,
merupakan ujian yang berbentuk ketakutan terhadap ancaman musuh,
kekurangan harta dan kelaparan yang disebabkan masa-masa oleh kemarau
panjang dan masa paceklik, banyak terjadi kematian yang diakibatkan oleh
peperang yang terjadi di antara umat Islam dan kaum Kafir, dan juga hama yang
selalu menyerang tanaman dan buah-buahan sehingga menyebabkan terjadinya
gagal panen dan kekurangan pangan. Ujian yang sangat berat ini dijadikan oleh
Allah, untuk melihat siapa umat Nabi Muhammad yang tetap bersabar terhadap
ujian dan juga siapa yang mengingkari atau tidak terima terhadap ujian dari
Allah.36
Maka untuk umat yang bersabar mendapatkan berita gembira berupa
ganjaran pahala surga yang akan didapatkanya.
Ujian atau cobaan yang dihadapi pada hakikatnya sedikit, sehingga
betapapun besaranya, akan sedikit jika dibandingkan dengan imbalan dan
36
Al-Ṭābarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-Qurān, vol. 2, h. 675-676.
59
ganjaran yang akan diterima. Ujian itu sedikit, karena betapapun besarnya ujian,
ia dapat terjadi dalam bentuk yang lebih besar dari pada yang telah terjadi.
Bukankah setiap mengalami bencana, ucapan yang sering terdengar adalah
“untung hanya begitu” Ia sedikit, karena ujian yang paling besar adalah kegagalan
mengahadapi ujian, khususnya ujian dalam kehidupan beragama.37
Setiap ujian yang diberikan Allah kepada hambanya, pastilah sudah diukur
dengan kadar kemampuan hambanya. Sehingga setiap ujian pada dasarnya bisa
dilewati oleh setiap hamba. Ujian yang Allah berikan kepada hambanya bisa
berupa yang baik maupun yang buruk. Ujian yang buruk kepada hamba berupa
diberikan rasa takut akan kekurang harta benda, kelaparan, jiwa, dan buah-
buahan.
37
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol. 1, h. 341-342.
60
BAB IV
ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP MAKNA Al-BALĀ’ DI DALAM
AL-QUR’AN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan proses semiosis yang terjadi dalam
pola pikir terhadap pembacaan dan pemaknaan makna al-balā’. Penguraian ini
sendiri akan melewati beberapa tahap.
A. Aplikasi Teori Semiotik Peirce.
Pada langkah ini, penulis memaparkan langkah awal yang dilalui dalam
menerpakan metode semiotik Peirce dalam pembacaan dan pemaknaan ayat al-
Qur‟an, terkhusus kepada ayat-ayat yang terkandung lafadz al-balā’ di dalam
susunan kalimatnya. Proses pembacaan ini dapat dilakukan, disebabkan dalam
teori semiotik Peirce menjadikan setiap yang terdapat di bumi dan dapat diindera
adalah tanda. Ayat al-Qur‟an sendiripun merupakan hal yang dapat diindera,
sehingga layak disebut sebagai sebuah tanda yang memiliki makna. Dari
kesamaan inilah yang mendorong penulis menjadikan metode semiotik Peirce
yang populer dikenal dengan istilah semiosis, dipakai untuk membaca makna
tanda pada lafadz al-balā’ di dalam ayat-ayat al-Qur‟an.
Pada langkah awal, penulis mengumpulkan seluruh tanda al-balā’ dalam hal
ini semua ayat al-Qur‟an yang didalamnya terdapat lafadz al-balā’ dengan
menggunakan kitab Mu’jām al-Mufaḥrās li al-fāẓ al-Qur’ān.
Dalam al-Qur‟an terdapat tiga puluh lafaẓ al-balā’ dan derivasinya. Seperti
data di bawah ini.
Surat Al-Baqarah/2: 49, 124, 155, 249, Al-Māidah/5: 48, 94, Al-Anfāl/8: 17,
Al-Kahfi/18: 7, Al-Naml/27: 40, Al-Qālam/68: 17, Hūd/11: 7, Al-Fajr/89: 15, Ali-
„Imrān/3: 152, 154, 186, Al-A‟rāf/7: 141, 163, Ash-Shāffāt/37: 106,
61
Muhammad/47: 4, 31, An-Nahl/16: 92, Al-Ahzab/33: 11, Al-Fajr/89: 16, Al-
A‟rāf/7: 168, Al-Mulk/67: 2, An-Nisā/4: 6, Yunus/10: 3, Aṭ-Ṭāriq/ 86: 9,
Ibrāhim/14: 6, Ad-Dukhān/44: 33.
Dari data di atas, penulis memuat klasifikasi kata al-balā’ beradasarkan
obyeknya serta berdasarkan sikap penerimaan subyek terhadap obyek al-balā’,
seperti yang akan dijelaskan pada pembahasan sub bagian selanjutnya.
B. Jenis-Jenis Ujian (al-Balā’) Berdasarkan Teori Semiosis Peirce.
Dalam penerapan Teori Semiotik Peirce, mengharuskan adanya tiga unsur
yang ada di dalam segitiga. Unsur pertama yang terlihat adalah Representament
yang dilambangkan dengan huruf (R), yang kedua adanya Objec yang
dilambangkan dengan huruf (O), dan yang terakhir melahirkan Interpretant yang
dilambangkan dengan huruf (I).
Untuk kasus lafaẓ al-balā’ yang ada di dalam al-Qur‟an, maka yang harus
dipetakan pertama kali adalah representament. Representament sendiri merupakan
hal yang penting dalam penerapan teori semiotik ini. Dalam ayat-ayat al-balā’,
representament menjadi lafaẓ al-balā’ itu sendiri. Oleh karena itu, maka jenis al-
balā’ yang pertama kali akan dilihat adalah ujian berdasarkan tinjauan objeknya
atau dengan kata lain representament yang dikaitkan dengan objek
representament itu sendiri.
1. Ujian Berdasarkan Tinjauan Obyeknya
Hasil dari merelasikan representament yang berupa balā’ pada objeknya ,
terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah representament yang objeknya berupa
ujian kesenangan dan yang kedua adalah representament yang objeknya berupa
ujian kesusahan. Sebagaimana yang akan dipaparkan pada tabel di bawah ini.
62
a. Ujian Berupa Objek Kesenangan
Pembahasan ujian berupa objek kesenangan hanya akan difokus pada ayat-
ayat yang terdapat di dalam tabel dibawah ini.
Tabel. 1: Data ayat aL-Balā' Tinjauan Obyek
Posisi lafaz balā Obyek
Surah Al-Baqarah /2: 49 Dibebaskan dari siksaan Fir‟aun Ali-„Imrān/3: 186 Harta dan Jiwa Al-Māidah/5: 94 Kemudahan mendapatkan hewan buruan Al-Anfāl/8: 17 Kemenangan dalam peperangan Al-Kahfi/18: 7 Perhiasan yang ada di Bumi
Al-Naml/27: 40 Kekuasaan dan kedudukan
Al-Qālam/68: 17 Hasil kebun yang melimpah
Hūd/1: 7 Kesempurnaan dan keindahan ciptaan
Allah
Al-Fajr/89: 15 I. Kemuliaan dan kesenangan
Setelah selesai memetakan ayat al-balā’ berdasarkan obyeknya. Agar lebih
mempermudah pemahaman terhadap lafaẓ al-balā’ ini, penulis juga menjabarkan
proses semiosis pada lafaẓ ini, seperti yang terlihat pada tabel selanjutnya di
bawah ini.
Tabel 4. 2: Lafaẓ al-Balā’ Obyek Kesenangan Nama
Surah
Representam
ent
Obyek Interpretant Subyek Sikap Dampak
(Subyek/
Obyek)
Al-
baqarah/2
: 49
(cobaan-
cobaan)
Dibebaskan
dari siksaan
Fir‟aun
Diuji dengan
dibebaskan
dari siksaan
Fir‟aun
Kaum
Bani
Isra’il
Bersyukur S:
Mendapatkan
kenikmatan
yang
melimpah
O:
Ali-
„Imrān/3:
186
(kamu
sungguh-
sungguh akan
diuji)
Harta dan
jiwa
Harta dan jiwa
merupakan
ujian
Orang
mukmin
bersyukur
Ground: ayat ini menjelaskan tentang ujian yang pasti didapat oleh orang-orang mukmin
sahabat Rasulullah
63
Al-
Māidah/5
: 94
(Allah akan
menguji
kamu)
Kemudahan
dalam
mendapatkn
hewan
buruan
kemudahan
dalam
menangkap
hewan buruan
ketika sedang
melaksanakan
haji dan
umrah adalah
ujian
Orang
mukmin
Tetap
menang-
kap dan
mem-
bunuh
binatang
saat
sedang
berihram
haji dan
umrah
S: Membayar
kafarat
(denda)
O:
Ground: ayat ini menjelaskan tentang bahwa orang-orang yang sedang berihram untuk haji dan
umrah dilarang untuk membunuh bnatang buruan, meskipun binatang-binatang tersebut mudah
untuk di tangkap.
Al-
Anfāl/8:
17
(memberi
kemenangan)
Ke-
menangan
dalam
peperangan
Diuji dengan
mendapatkan
kemenangan
dalam
peperangan
Orang
mukmin
Bersyukur S:
Mendapatkan
kemenangan
dalam
berperang.
O:
Ground: ayat ini menjelaskan tentang bantuan allah terhadap orang-orang mukmin sehingga
mendapatkan kemengangan dalam Perang Badar
Al-
kahfi/18:
7
(agar Kami
menguji)
Perhiasan
yang ada di
bumi
Diuji dengan
perhiasan
yang ada di
bumi
Orang
mukmin
Bersyukur S: Menjadi
orang yang
paling baik
amalnya
(mukmin
sejati)
O:
Ground: ayat ini menjelaskan tentang pemanfaatan hasil alam.
An-
Naml/27:
40
(untuk
mencoba aku)
Kekuasaan Diuji dengan
kekuasan dari
bangsa jin,
manusia dan
hewan
Nabi
Sulaiman
Bersyukur S:
Mendapatkan
tambahan
nikmat
O:
Al-
Qālam/6
8: 17
(mencobai)
Subjek :
Musyrik
Mekah.
Hasil kebun
yang
melimpah
Ujian dengan
mendapat
hasil kebun
yang
melimpah
Orang
musyrik
Mekah
Menerima
objek bala
dengak
sikap
Licik dan
Curang.
S: Hasil
kebun tidak
sesuai harapan
O: Kebun
terbakar atau
rusak
Ground: ayat ini ditunjukan kepada kaum musyrik Mekkah yang diberikan ujian berupa masa
peceklik dan kelaparan.
Hūd/11:
7
(agar Dia
menguji)
Kesempurna
an dan
keindahan
ciptaan
Allah
Diuji dengan
kesempurnaan
dan keindahan
ciptaan Allah
Musyrik
Mekkah
Ingkar S: Kufur
nikmat
O:
64
Al-
Fajr/89:
15
(Tuhannya
mengujinya)
Kemuliaan
dan
kesenangan
Diuji dengan
kemuliaan dan
kesenangan
Orang
mukmin
Diterima
dengan
penuh
Bersyukur
S: Bersyukur
O:
Dari analisis ayat di atas dapat disimpulkan bahwa makna al-balā’
“ujian”, berdasarkan obyeknya adalah hal-hal yang disenangi. Secara substansi
segala bentuk obyek kenikmatan dan kesenangan yang diberikan Allah kepada
manusia adalah merupakan ujian untuk menentukan nilai kesyukuran dan nilai
amal shaleh.
Berdasarkan data ayat di atas, dapat digambarkan hasil semiosisnya
dengan menempatkan lafaẓ dan sebagai Representament yang
bersifat (Qualisign) berupa tanda awal yang berhubungan dengan Obyek (Sinsign)
yang berbentuk kesenangan dan kenikmatan berupa (diselamatkan dari musuh,
mendapat kemenangan dalam peperangan dan memperoleh harta benda yang
banyak), sehingga menghasilkan Interpretan “ kesenangan dan kenikmatan dalam
hidup adalah merupakan bentuk ujian dari Allah” yang dalam proses ini disebut
sebagai Legisign.
O
Kesenangan dan kenikmatan
R I
kesenangan dan kenikmatan dalam
hidup merupakan bentuk ujian dari
Allah
Sinsign
Qualisign
Legisign
65
b. Ujian Berupa Obyek Kesusahan
Pembahasan ujian berupa obyek kesusahan pada langkah ini, hanya akan
difokus pada ayat-ayat yang terdapat dibawah ini.
1. Al-Baqarah/2 : 155 A. Sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan.
2. Ali-„Imrān/3: 152 B. Kekalahan dalam berperang.
3. Al-A‟rāf/7: 163 C. Perjanjian hari sabtu.
4. Ash-Shāffāt/37: 106 D. Perintah menyembelih anak.
5. Muhammad/47: 4 E. Peperangan.
6. Muhammad/47: 31 F. taat kepada Allah dan Rasul.
7. An-Nahl/16: 92 G. Perselisihan antar golongan.
8. Al-Baqarah/2: 124 H. Perintah menjalankan Syari‟at.
9. Al-Baqarah /2: 249 I. Larangan meminum air di sungai.
10. Ali-‟imrān/3: 154 J. Kecemasan dalam berperang.
11. Al-Ahzāb/33: 11 K. Keraguan dalam hati.
12. Al-Fajr/89: 16 L. Membatasi rezeki.
Tabel 4. 3: Ayat al-Balā' Obyek Kesusahan Nama
Surah
Representam
ent
Obyek Interpretant Subyek Sikap Dampak
(Subyek/
Obyek)
Al-
Baqarah/
2: 155
(Kami berikan
cobaan
kepadamu)
Sedikit
Ketakutan,
kelaparan,
kekurangan
harta, jiwa
dan buah-
buahan.
Diuji dengan
Sedikit
Ketakutan,
kelaparan,
kekurangan
harta, jiwa
dan buah-
buahan.
Orang
mukmin
Menerima
dengan
sabar
S:
Memperoleh
ampunan
dan rahmat
serta
petunjuk
dari Allah
O:
Ali-
„Imrān/3:
152
(untuk
menguji
kamu)
Kekalahan
dalam
berperang
Ujian
mendapatkan
kekalahan
dalam
berperang
Orang
mukmin
yang
lemah
imanya
Me-
langgar
perintah
Rasulullah
S :
Kematian
dan
kesulitan
dalam
berperang
O :
Ground: ayat ini menjelaskan tentang peristiwa dalam Perang Uhud
66
Al-
A‟rāf/7:1
63
(Kami
mencoba
mereka)
Perjanjian hari
sabtu
Diuji dengan
perjanjian hari
sabtu
Bani Israil
yang fasik
Langgar
perjanjian
S: Menjadi
orang-orang
yang fasik
O:
Ground: ayat ini menceritakan tentang peristiwa Bani Isra’il yang melanggar perjanjian hari
Sabtu
Ash-
shāffāt/3
7: 106
(benar-benar
suatu ujian)
Perintah
penyembelih
anak
Diuji dengan
perintah untuk
menyembelih
anak
Nabi
Ibrahim
Melaksan
akan
perintah
S: Menjadi
orang yang
sabar dan
mendapat
kebaikan
O :
Ground: ayat ini menjelaskan tentang ketaatan Nabi Ibrah im terhadap perintah Allah untuk
mengorbankan Nabi Ismail
Muham
mad/47:
4
(Allah hendak
menguji)
Subjek :
mukmin yang
bejihad
Peperangan Diuji dengan
peperangan
Orang-
orang
mukmin
yang
lemah
imanya
Ikut
berjihad
dalam
perang
S:
Memperoleh
mati syahid
O:
Ground: ayat ini di turunkan ketika terjadi perang uhud, bahwa allah menguji orang-orang yang
beriman dengan adanya peperangan.
Muham
mad/47:
31
(Kami benar-
benar akan
menguji
kamu)
Taat kepada
Allah dan
Rasul serta
senantiasa
menjaga amal
Diuji dengan
menaati
perintah Allah
dan Rasul
serta
senantiasa
menjaga amal
Orang
mukmin
Menerima
dan patuh
S: Menjadi
golongan
orang-orang
yang
berjihad dan
bersabar
O:
An-
Nahl/16:
92
(Allah hanya
menguji
kamu)
Perselisihan
antar
golongan
Diuij dengan
perselisihan
antar
golongan
Orang
mukmin
Tidak
mentatati
perintah
Allah
S: Banyak
orang yang
berselisih
O:
Ground: ayat ini menjelaskan tentang penciptaan langit serta bumi dalam waktu enam hari dan
juga hari kebangkitan.
Al-
Baqarah/
2: 124
(diuji)
Perintah
menjalankan
syari‟at
Nabi Ibrahim
diuji dengan
perintah untuk
menjalankan
syari‟at
S : Nabi
Ibrahim
Melaksan
akan
perintah
S: Nabi
Ibrahim
menjadi
seorang
pemimpin
O:
67
Al-
Baqarah/
2: 249
(menguji
kamu)
Larangan
meminum air
di sungai
Diuji dengan
laranagan
meminum air
di sungai
Bani
Israi’l
yang fasik
Melnggar
larangan
S: Menjadi
orang fasik
dan merugi
O:
Ali-
„Imrān/3:
154
(untuk
menguji)
Kecemasan
dalam
berperang
Diuji dengan
kecemasan
dalam
berperang
Orang
mukmin
yang
lemah
imanya
Banyak
muslim
yang
masih
ragu
S: Tidak
percaya
kepada
Allah dan
Rasul
O:
Ground: ayat ini menjelaskan tentang Peristiwa dalam Perang Badar
Al-
Ahzāb/
33: 11
(diuji)
Keraguan
dalam hati
Diuji dengan
keraguan
dalam hati
Orang
mukmin
yang
lemah
imanya
Tidak
tawaqal
S:
Meragukan
kepastian
datangnya
pertolongan
Allah
O:
Al-
Fajr/89:
16
(Tuhannya
mengujinya)
Membatasi
rezeki
Diuji dengan
pembatasan
rezeki
Tidak
diterima
dengan
penuh
syukur
S: Kerugian
O:
Dari analisis ayat di atas dapat disimpulkan bahwa makna al-balā‟
(“ujian”), berdasarkan objeknya adalah bermakna kesusahan. Secara substansi
segala bentuk objek kesusahan yang diberikan Allah kepada manusia adalah
merupakan ujian untuk menentukan nilai kesabaran dan ketabahan dalam
menjalani kehidupan.
Berdasarkan data ayat di atas, dapat digambarkan hasil semiosisnya dengan
menempatkan lafaẓ dan sebagai Representament yang bersifat
(Qualisign) berupa tanda awal yang berhubungan dengan Obyek (Sinsign) yang
berbentuk kesenangan dan kenikmatan berupa (diselamatkan dari musuh,
mendapat kemenangan dalam peperangan dan memperoleh harta benda yang
banyak), sehingga menghasilkan Interpretan “ kesenangan dan kenikmatan dalam
68
hidup adalah merupakan bentuk ujian dari Allah” yang dalam proses ini disebut
sebagai Legisign.
O
Kesusahan dan keburukan
R I
kesusahan dan keburukan dalam
hidup merupakan bentuk ujian dari
Allah
2. Ujian Berdasarkan Subyek Penerima.
a. Ujian Terhadap Orang Beriman
Al-Baqarah/2: 155, Ali-„Imrān/3: 152, Ali-„Imrān3: 186, Ash-Shāffāt/37:
106, Muhammad/47: 4, Muhammad/47: 31, Al-Baqarah/2: 124, Al-Baqarah/2:
249, Al-Anfāl/8: 17, Al-Māidah/5: 48, An-Naml/27: 40, Al-Fajr/89: 15, Al-
Kahfi/18: 7.
Tabel 4. 4: Ayat al-Balā' Subyek Orang Beriman Nama Surah Representame
nt
Obyek
(Subyek)
Interpretant Sikap Obyek
Dampak
(Subyek/
Obyek)
Al-
Baqarah/2:
155
(Kami berikan
cobaan
kepadamu)
Orang
mukmin
Orang
beriman pasti
diuji
Menerima
dengan
sabar
Sedikit
Ketakutan
kelaparan,
kekurngan
harta, jiwa
dan buah-
buahan.
S: Mendapat
ampunan
dan rahmat
serta
petunjuk
dari Allah
O:
Ali-
„Imrān/3:
152
(untuk
menguji
kamu)
Orang
mukmin
yang lemah
imanya
Orang
mukmin yang
lemah imanya
juga tetap
diuji
Menerima
dengan
sabar
Kekalahan
dalam
berperang
S: Kematian
dan
kesulitan
dalam
berperang
:
Qualisign
Legisign
Sinsign
69
Ground: ayat ini menjelaskan tentang peristiwa dalam Perang Uhud
Al-
„Imrān/3:1
86
(kamu
sungguh-
sungguh akan
diuji)
Orang
mukmin
Orang
mukmin pasti
diuji
Bersabar Harta dan
jiwa
S:
O:
Ground: ayat ini menjelaskan tentang ujian yang pasti di dapat oleh orang-orang mukmin
sahabat rasulullah
Ash-
Shāffāt/37:
106
(benar-benar
suatu ujian)
Nabi
Ibrahim
Nabi Ibrahim
juga diuji
Melak
sanakan
perintah
Perintah
menyemb
elih anak
S : Menjadi
orang yang
sabar dan
mendaptkan
kebaikan
O :
Ground: ayat ini menjelaskan tentang ketaatan Nabi Ibrahim terhadap perintah Allah untuk
menyembelih atau mengorbankan Nabi Ismail
Muhamma
d/47:4
.
(Allah hendak
menguji)
Subjek :
mukmin yang
bejihad
Orang-
orang
mukmin
yang lemah
imanya
Orang-orang
mukmin yang
lemah imanya
juga diuji
Ikut
berjihad
dalam
perang
Perang S: Meraih
mati syahid
O:
Ground: ayat ini di turunkan ketika terjadi perang uhud, bahwa allah menguji orang-orang yang
beriman dengan adanya peperangan
Muhamma
d/47:31
(Kami benar-
benar akan
menguji
kamu)
Orang
mukmin
Orang
mukmin akan
diuji
Menerima
dan patuh
Taat
kepada
Allah dan
Rasul
serta
senantiasa
menjaga
amal
S: Menjadi
golongan
orang-orang
yang
berjihad dan
bersabar
O:
Al-
Baqarah/2:
124
(diuji)
Nabi
Ibrahim
Nabi Ibrahim
diuji dengan
perintah untuk
menjalankan
syari‟at
Melak
sanakan
perintah
Perintah
menjalank
an syari‟at
S : Nabi
Ibrahim
menjadi
seorang
pemimpin
Al-
Baqarah/2:
249
(menguji
kamu)
Bani Israi’l
yang fasik
Bani Isra’il
akan diuji
Melangar
larangan
Larangan
meminum
air di
sungai
S: Menjadi
orang fasik
dan merugi
O :
70
Al-
Anfāl/8:17
(memberi
kemenangan)
Orang
mukmin
Orang
mukmin akan
mendapatkan
ujian
Tawaqal
kepada
janji Allah
Menang
dalam
perang
S :
Mendapat
kemenangan
dalam
berperang.
O :
Ground: ayat ini menjelaskan tentang bantuan allah terhadap orang-orang mukmin sehingga
mendapatkan kemengangan dalam Perang Badar
Al-
Māidah/5:
48
(tetapi Allah
hendak
menguji
kamu)
Orang
mukmin
yang lemah
imanya
Orang yang
lemah imanya
juga tetap
diuji
Ada yang
mengikuti
petunjuk
dan ada
yang tidak
mengikuti
petunjuk
dari al-
Qur‟an
Kebenarn
Al-Qur‟an
(Syari‟at)
S: Terjadi
perselisihan
diantara
umat islam
O
An-
Naml/27:
40
(untuk
mencoba aku)
Nabi
Sulaiman
Nabi
Sulaiman juga
tetap diuji
Bersyukur
Kekuasaan S :
Mendapat
tambahan
nikmat
O :
Al-Fajr/89:
15
(Tuhannya
mengujinya)
Orang
mukmin
Orang
mukmin akan
tetap diuji
Diterima
dengan
penuh
bersyukur
Kemulian
dan
kesnangan
S:
Bersyukur
O :
Al-
Kahfi/18: 7
(agar Kami
menguji)
Orang
mukmin
Orang
mukmin juga
akan diuji
Mengikuti
perintah
allah
Perhiasan
yang ada
di bumi
S : Menjadi
orang yang
paling baik
amalnya
(mukmin
sejati)
O :
Ground: ayat ini menjelaskan tentang pemanfaatan hasil alam.
b. Ujian Terhadap Orang Kafir
Surah Al-Baqarah/2: 49, Al-Māidah/5: 94, Al-Qālam/68: 17, Hūd/1: 7,
Al-A‟rāf/7: 163, An-Nahl/16: 92, Ali-„Imrān/3: 154, Al-Ahzab/33: 11, Al-
Fajr/89: 1.
Tabel 4.5: Ujian Subyek Orang Kafir Nama
Surah
Representa
ment (R1)
Obyek
(O1)
Interpretant
R2
Subyek
(O2)
Sikap
(O3)
Dampak
(Subyek/
Obyek)
71
Al-
Baqarah/2:
49
(cobaan-
cobaan)
Selamat
dari
siksaan
Fir‟aun
Diuji dengan
diselamatkan
dari siksaan
Fir‟aun
Kaum Bani
Isra’il
Kufur
terhadap
nikmat
Allah
S:
Mendapatkan
kenikmatan
yang
melimpah
O:
Al-
Māidah/5:
94
(Allah akan
menguji
kamu)
Mudah
dalam
mendapat
hewan
buruan
Ujian
kemudahan
dalam
menangkap
hewan buruan
S: Orang
mukmin
(sahabat
Rasulullah)
O :
Tetap
menagkap
dan
membnuh
binatang
saat
sedang
berihram
haji dan
umrah
S: Membayar
kafarat
(denda)
O :
Ground: ayat ini menjelaskan tentang bahwa orang-orang yang sedang berihram untuk haji dan
umrah dilarang untuk membunuh binatang buruan, meskipun binatang-binatang tersebut mudah
untuk di tangkap.
Al-
Qālam/68:
17
(mencobai)
Subjek :
Musyrik
Mekah.
Hasil kebun
yang
melimpah
Ujian dengan
mendapat
hasil kebun
yang
melimpah
Orang
musyrik
Mekah
Menerima
objek bala
dengak
sikap Licik
dan Curang.
S: Hasil
kebun tidak
sesuai harapan
O: Kebun
terbakar atau
rusak
Ground : ayat ini ditunjukan kepada kaum musyrik mekkah yang diberikan ujian berupa masa
peceklik dan kelaparan.
Hūd/11: 7
(agar Dia
menguji)
Kesempur
naan dan
keindahan
ciptaan
Allah
Diuji dengan
kesempurnaan
dan keindahan
ciptaan Allah
Musyrik
Mekah
Ingkar S: Kufur
nikmat
O:
Al-A‟rāf/7:
163
(Kami
mencoba
mereka)
Perjanjian
hari sabtu
Diuji dengan
perjanjian hari
Sabtu
Bani Israil
yang fasik
Melanggar
perjanjian
S : Menjadi
orang-orang
yang fasik
O :
Ground: ayat ini menceritakan tentang peristiwa Bani Isra‟il yang melanggar perjanjian hari
Sabtu
An-Nahl
[16]:92
(Allah
hanya
menguji
kamu)
Perselisih
an antar
golongan
Diuij dengan
perselisihan
antar
golongan
Orang
mukmin
Tidak
mentatati
perintah
Allah
S: Banyak
orang yang
berselisih
O:
Ground: ayat ini menjelaskan tentang penciptaan langit serta bumi dalam waktu enam hari dan
juga hari kebangkitan.
72
Ali-‟imrān
[3]: 154
(untuk
menguji)
Kecemasa
n dalam
berperang
Diuji dengan
kecemasan
dalam
berperang
Orang
mukmin
yang
lemah
imanya
Banyak
muslim
yang masih
ragu
S: Tidak
percaya
kepada Allah
dan Rasul
O
Ground: ayat ini menjelaskan tentang peristiwa dalam Perang Badar
Al-Ahzab
[33]: 11
(diuji)
Keraguan
dalam hati
Diuji dengan
keraguan
dalam hati
Orang
mukmin
yang
lemah
imanya
Tidak
tawaqal
S: Meragukan
lepastian
datangnya
pertolongan
Allah
O:
Al-Fajr
[89]: 16
(Tuhannya
mengujinya)
Membatas
i rezeki
Diuji dengan
pembatasan
rezeki
Tidak
diterima
dengan
kesyukuran
S: Kerugian
O:
C. Analisis Semiotik Peirce
1. Ujian Kesenangan
a. Sikap Syukur Orang Beriman atas Ujian Kesenangan
Lafaẓ al-balā’ yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur‟an menjadi
representament/tanda (R) yang dikategorikan sebagai Qualisign yang
berhubungan dengan object (O1) Sinsign yang berbentuk “kesenangan”, dan
menghasilakan interpretant (I1) berupa Legisign “diuji dengan nikmat
kesenangan”. Kemudian interpretant “diuji dengan nikmat kesenangan” (I1
“Icon”) juga menjadi representament baru (R2), bagi munculnya object “orang
beriman” (O2 ), yang menghasilkan interpretant (I2) “orang beriman diuji dengan
nikmat kesenangan”. Interpretant (I2) “orang beriman diuji dengan nikmat
kesenangan” ini juga menjadi Representament baru (R3), yang memunculkan
object “bersyukur” (O3), dan memberikan interpretant baru “ orang beriman akan
bersyukur terhadap kesenangan dan kenikmatan (I3). Interpretant (I3) menjadi
representament baru (R4), yang memunculkan object (O4) “mendapat tambahan
73
kenikmatan di dunia”, yang kemudian menghasilkan interpretant (I4) “bersyukur
akan mendatangkan tambahan nikmat di dunia”. Kemudian Interpretant (I4)
“bersyukur akan mendatangkan tambahan nikmat di dunia” menjadi
representament baru (R5) yang berhubungan dengan object (O5) “memperoleh
ganjaran pahala”, dan menghasilkan interpretant (I5) “orang yang bersyukur, di
akhirat akan memperoleh ganjaran pahala. Hal ini bisa dilihat pada proses
semiosis dengan segitiga getok tular dibawah ini.
kesenangan orang beriman bersyukur
Ujian diuji dengan orang beriman orang beriman
Kesenangan diuji dengan akan
kesenangan bersyukur
terhadap
kesenangan
Mendapat tambahan
Kenikmatan di dunia memperoleh ganjaran pahala
Bersyukur akan di akhirat akan
mendatangkan tambahan memperoleh ganjaran
Kenikmatan di dunia pahala yang besar
b. Sikap Tidak Bersyukur Orang Beriman atas Ujian Kesenangan
Lafaẓ al-balā’ yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur‟an menjadi
representament/tanda (R) yang berhubungan dengan object (O1) “kesenangan”,
dan menghasilakan interpretant (I1) “diuji dengan nikmat kesenangan”. Kemudian
Interpretant (I2) “diuji dengan nikmat kesenangan” juga menjadi tanda baru
O1
V
O2
V
O3
V
R1
Qualisign
I1/R2 Sinsign
O4
V O5
V
I2/R3
legisign
I3/R4 Icon
I4/R5 Index
I5/R6
Symbol
74
representament (R2) bagi munculnya object “orang beriman” (O2), yang
menghasilkan interpretant (I2) “orang beriman diuji dengan nikmat kesenangan”.
Interpretantnt (I2) “orang beriman diuji dengan nikmat kesenangan” ini menjadi
Representament baru (R3), yang memunculkan object “ tidak bersyukur atau kufur
nikmat” (O3), dan memberikan interpretant baru “orang beriman ada yang tidak
bersyukur terhadap ujian kesenangan” (I3). Interpretant (I3) “orang beriman ada
yang tidak bersyukur terhadap ujian kesenangan” menjadi representament baru
(R4), yang memunculkan object (O4) “mendapat kesengsaraan”, yang kemudian
menghasilkan interpretant (I4) “tidak bersyukur akan membuat hidup sengsara di
dunia”. Interpretant (I4) “tidak bersyukur akan membuat hidup sengasara di dunia
menjadi representament baru (R5) yang berhubungan dengan object (O5)
“ditimpakan azab yang pedih”, dan menghasilkan interpretant (I5) “orang yang
tidak bersyukur, di akhirat akan ditimpakan azab yang pedih. Hal ini bisa dilihat
pada proses semiosis dengan segitiga getok tular dibawah ini.
kesenangan orang beriman tidak bersyukur/ kufur
nikmat)
Ujian diuji dengan diuji dengan tidak mampu
kesenangan kesenangan melewati
untuk mengetahui ujian untuk kadar keimanan bersyukur
O1
V
I1/R2
O3
V
O2
V
R1
V
I2/R3 I3/R4
75
mendapatkan
kesengsaraan ditimpakan azab yang pedih
akan mendapatkan dibalas dengan azab yang
ujian kesengsaraan pedih
c. Sikap Orang Kafir atas Ujian Kesenangan.
Lafaẓ al-balā’ yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur‟an menjadi
representament/tanda (R) yang berhubungan dengan object (O1) “kesenangan”,
dan menghasilakan interpretant (I1) “diuji dengan nikmat kesenangan”. Kemudian
Interpretant (I1) “diuji dengan nikmat kesenangan”, menjadi tanda representament
baru (R2), bagi munculnya object “orang kafir” (O2), yang menghasilkan
interpretant (I2) “orang kafir diuji dengan nikmat kesenangan”. Interpretantnt (I2)
“orang kafir diuji dengan nikmat kesenangan” menjadi representament baru (R3),
yang memunculkan object “kufur nikmat” (O3), dan memberikan interpretant
baru “orang kafir tidak akan pernah bersyukur dengan nikmat kesenangan” (I3).
Interpretant (I3) “orang kafir tidak akan pernah bersyukur dengan nikmat
kesenangan” menjadi representament baru (R4), yang memunculkan object (O4)
“mendapat mendapat tamabahan kenikmatan”, yang kemudian menghasilkan
interpretant (I4) “orang kafir kan selalu diuji dengan tambahan kenikmatan
didunia”. Interpretant (I4) “orang kafir kan selalu diuji dengan tambahan
kenikmatan didunia” menjadi representament baru (R5) yang berhubungan
dengan object (O5) “ditimpakan azab yang pedih dan kekal”, dan menghasilkan
interpretant (I5) “orang kafir akan ditimpakan azab yang pedih dan kekal di
O4
V O5
V
I4/R5 I5/R6
76
akhirat nanti. Hal ini bisa dilihat pada proses semiosis dengan segitiga getok tular
dibawah ini.
kesenangan orang kafir bersyukur
Ujian diuji dengan orang kafir orang kafir
Kesenangan juga tetap diuji bersyukur
kesenangan dengan
kesenangan
mendapatkan
tambahan kenikmatan ditimpakan azab yang pedih
orang kafir akan orang kafir akan mendapat
selalu diuji dengan balasan azab yang pedih
tambahan kenikmatan di akhirat.
di dunia
2. Ujian Kesusahan
a. Sikap Sabar Orang Beriman atas Ujian Kesusahan.
Lafadz al-balā’ yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur‟an menjadi
representament/tanda (R) yang berhubungan dengan object (O1) “kesusahan”, dan
menghasilkan Interpretant (I1) “diuji dengan kesusahan”. Kemudian Interpretant
(I1) “diuji dengan kesusahan”, menjadi tanda baru representament (R2) bagi
munculnya object “orang beriman” (O2), yang menghasilkan interpretant (I2)
“orang beriman juga tetap diuji dengan kesusahan”. Interpretantnt (I2) ini juga
menjadi representament baru (R3), yang memunculkan object “bersabar” (O3),
O1
V
I1/R2
O3
V
O2
V
R1
V
I2/R3 I3/R4
O4
V O5
V
I5/R6
I4/R5
77
dan memberikan interpretant baru “orang beriman akan bersabar terhadap ujian
kesusahan” (I3). Interpretant (I3) “orang beriman akan bersabar terhadap ujian
kesusahan” menjadi representament baru (R4), yang memunculkan object (O4)
“mendapat balasan terbaik (pahala)”, yang kemudian menghasilkan interpretant
(I4) “orang beriman percaya akan mendapatkan balasan terbaik dari Allah atas
sikap sabarnya. Hal ini bisa dilihat pada proses semiosis dengan segitiga getok
tular dibawah ini.
kesusahan orang beriman bersabar
Ujian diuji dengan orang beriman orang beriman
Kesusahan juga tetap diujiakan akan bersabar
kesusahan terhadap ujian
kesusahan
mendapatkan
balasan terbaik (pahala)
orang beriman
percaya akan mendapatkan
balasan terbaik dari Allah
b. Sikap Tidak Sabar Orang Beriman atas Ujian Kesusahan.
Lafadz al-balā’ yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur‟an
menjadi representament/tanda (R) yang berhubungan dengan object (O1)
I1/R2
O1
V
O2
V
O3
V
R1
V
I3/R4
I2/R3
O4
V
I4/R5
78
“kesusahan”, dan menghasilkan interpretant (I1) “diuji dengan
kesusahan”. Kemudian Interpretant (I1) “diuji dengan kesusahan”, menjadi
tanda baru representament (R2) bagi munculnya object “orang beriman”
(O2), yang menghasilkan interpretant (I2) “orang beriman juga tetap diuji
dengan kesusahan”. Interpretantnt (I2) ini juga menjadi Representament
baru (R3), yang memunculkan object “tidak bersabar” (O3), dan
memberikan interpretant baru “orang yang lemah imanya tidak akan
bersabar terhadap ujian kesusahan” (I3). Interpretant (I3) “orang yang
lemah imanya tidak akan bersabar terhadap ujian kesusahan” menjadi
representament baru (R4), yang memunculkan object (O4) “semakin
disusahkan”, yang kemudian menghasilkan interpretant (I4) “orang yang
tidak bersabar, akan semakin disusahkan oleh Allah. Hal ini bisa dilihat
pada proses semiosis dengan segitiga getok tular dibawah ini.
kesusahan orang beriman tidak bersabar
Ujian diuji dengan orang beriman orang yang lemah
Kesusahan juga tetap diuji imanya tidak
kesusahan bersabar terhadap
ujian kesusahan
semakin disusahkan
orang yang tidak
bersabar, akan semakin
disusahkan oleh Allah
O1
V
I1/R2
O3
V
O2
V
R1
V I2/R3
I3/R4
R1
V
I3/R4
79
c. Sikap Orang Kafir atas Ujian Kesusahan.
Lafadz al-balā’ yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur‟an menjadi
representament/tanda (R) yang berhubungan dengan object (O1) “kesusahan”, dan
menghasilkan Interpretant (I1) “diuji dengan kesusahan”. Kemudian interpretant
(I1) “diuji dengan kesusahan”, menjadi tanda baru representament (R2) bagi
munculnya object “orang kafir” (O2), yang menghasilkan interpretant (I2) “orang
Kafir juga tetap diuji dengan kesusahan”. Interpretantnt (I2) ini juga menjadi
Representament baru (R3), yang memunculkan object “tidak bersabar” (O3), dan
memberikan interpretant baru “orang Kafir tidak akan bersabar terhadap ujian
kesusahan” (I3). Interpretant (I3) “orang Kafir tidak akan bersabar terhadap ujian
kesusahan” menjadi representament baru (R4), yang memunculkan object (O4)
“semakin disusahkan”, yang kemudian menghasilkan interpretant (I4) “orang
yang tidak bersabar, akan semakin disusahkan oleh Allah. Hal ini bisa dilihat pada
proses semiosis dengan segitiga getok tular dibawah ini.
kesusahan orang kafir tidak bersabar
Ujian diuji dengan orang kafir orang kafir
Kesusahan juga tetap di uji tidak akan
dengan kesusahan bersabar
terhadap
ujian
kesusahan
O1
V
I1/R2
O3
V
O2
V
R1
V
I3/R4
I2/R3
80
semakin disusahkan
z
orang yang tidak
bersabar, akan semakin
disusahkan oleh Allah.
Hasil semiosi terhadap keseluruhan ayat al-balā’ berdasarkan teori
semiotik Peirce dapatlah penulis gambarkan sebagai berikut.
(O)
kesenangan
(Sinsign)
(R) (I)
(Balā’) Ujian Allah menguji seluruh hambanya
(Qualisign) dengan nikmat kesenangan untuk
mengetahui
siapa yang bersyukur dan paling
baik amalnya dalam mengahadapi
ujian kenikmatan tersebut
(Legisign)
Pada proses semiosis terhadap seluruh lafaẓ al-balā’ yang menjadi
Representament awal yang pada proses ini di kategorikan sebagai Qualisign
(karena kata ini memiliki potensial makna yang bisa ditafsirkan dengan beragam)
yang kemudian berhubungan dengan obyek “kesenangan” yang pada proses ini di
sebut sebagai Sinsign (hal ini dikarenakan tanda al-balā’ akan dimaknai
berdasarkan hubungannya dengan obyek lain) yang menghasil Interpretant yang
bersposisi sebagai Legisign“Allah menguji seluruh hambanya dengan nikmat
O4
V
I4/R5
81
kesenangan supaya untuk mengetahui siapa yang bersyukur dan paling baik
amalnya terhadap ujian kesenangan tersebut.
(O)
kesusahan
(Sinsign)
(R) (I)
(Balā’) Ujian Allah menguji seluruh hambanya
(Qualisign) dengan ujian kesusahan untuk mengetahui
siapa yang bersabar dan paling
baik amalnya dalam mengahadapi
ujian kesusahan tersebut
(Legisign)
Pada proses semiosis terhadap seluruh lafaẓ al-balā’ yang menjadi
Representament awal yang pada proses ini di kategorikan sebagai Qualisign
(karena kata ini memiliki potensial makna yang bisa ditafsirkan dengan beragam)
yang kemudian berhubungan dengan obyek “kesusahan” yang pada proses ini di
sebut sebagai Sinsign (hal ini dikarenakan tanda al-balā’ akan dimaknai
berdasarkan hubungannya dengan obyek lain) yang menghasil Interpretant yang
bersposisi sebagai Legisign“Allah menguji seluruh hambanya dengan ujian
kesusahan supaya untuk mengetahui siapa yang bersabar dan paling baik amalnya
terhadap ujian kesusahan tersebut.
D. Tinjauan Kritis.
1. Penggunaan Metode Peirce (manfaat)
Penggunaan metode semiotik Peirce untuk pembacaan lafaẓ al-
balā’ dalam al-Qur‟an memunculkan dua segi cara pandang yakni
berdasarkan obyek al-balā’ dan yang kedua berdasarkan subyek
penerima al-balā’. Dari dua pandangan tersebut memberikan
82
kesimpulan pemahaman bahwa lafaẓ al-balā’ bermakna ujian dan
cobaan yang bentuknya bisa berupa kebaikan maupun keburukan.
Sikap Menerima Ujian Kebaikan dan Keburukan
kebaikan Mukmin dan bersyukur
dan keburukan Kafir dan bersabar
Ujian kebaikan dan orang Mukmin orang Mukmin
keburukan dan orang kafir dan Kafir,
bentuk ujian tetap akan diuji bisa bersyukur
dengan kebaikan dan besbar
dan keburukan terhadap ujian
kebaikan dan
keburukan
Mendapat tambahan kenikmatan
z
orang yang bersyukur dan
bersabar, akan semakin
mendapatkan tambahan kenikmatan
Allah
I1/R2 Sinsign
R1 Qualisign
I3/R4 Icon
I2/R3
legisign
O4
V
I4/R5 Index
O1 O3 O2
83
Sikap Tidak Terima terhadap Ujian Kebaikan dan Keburukan
kebaikan Mukmin dan tidak bersyukur
dan keburukan Kafir dan tidak bersabar
Ujian kebaikan dan orang Mukmin orang Mukmin
keburukan dan orang kafir dan Kafir,
bentuk ujian tetap akan diuji tidak
dengan kebaikan bersyukur
dan keburukan dan bersabar
terhadap
ujian
kebaikan dan
keburukan
Disempitkan rezeki oleh Allah
z
Allah akan mempersempit
Rezeki, terhadap setiap
Orang yang tidak bersyukur
Dan bersabar terhadap ujian
Kebaikan dan keburukan
Dari hasil penggunaan analisis metode semiotic Peirce terhadap makna
lafaẓ al-balā’ di dalam al-Qur‟an mengandung pengertian ujian dan cobaan yang
dialami oleh seluruh manusia baik yang muslim maupun non muslim, yang
bentuknya bisa berupa kebaikan maupun keburukan yang apabila disikapi dengan
kesabaran dan kesyukuran akan mendatangkan tambahan kenikmatan terhadap
subyeknya dan sebaliknya apabila ujian dan cobaan terhadap kebaikan maupun
R1
V
O4
V
I4/R5 Index
I3/R4 Icon
I2/R3
legisign
I1/R2 Sinsign
O1
V
O3
V
O2
V
84
keburukan yang disikapi dengan tidak bersabar dan bersyukur, akan menyebabkan
subyeknya mendapatkan timpaan siksaan dan azab yang pedih. Sehingga
kesimpulan umum yang dapat di ambil adalah ujian dan cobaan yang dikatakan
baik maupun buruk, sungguh sangat bergantung terhadap cara pandang dan sikap
yang ditunjukan oleh subyek penerima ujian tersebut.
2. Perbedaan dengan Mufassir lainya.
Dalam pengamatan penulis menunjukan bahwa kecenderungan para
mufassir dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an adalah bertumpu pada persoalan
perintah dan larangan. Dalam hal ini penulis mengambil penafsiran yang di tulis
dalam dua kitab tafsir klasik dan modern yakni Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āyi al-
Qur’ān karya Imam Al-Ṭābarī dan Tafsir Al-Miṣbah karya Quraish Shihab.
Padahal dalam al-Qur‟an sendiri telah sangat lengkap menggambarkan
yang bukan hanya persoalan perintah dan larangan melainkan juga sikap dan
respon umat terhadap al-Qur‟an itu sendiri. Sehingga penulis juga berkesimpulan
bahwa mufassir dalam menafsirkan dan memaknai lafaẓ al-balā’ cenderung
berpatokan kepada obyek keburukan yang ada dalam ayat itu sendiri.
Hal di atas inilah yang menurut penulis menjadi perbedaan antara teori
semiotik Peirce yang telah digunakan dalam pembacaan makna lafaẓ al-balā’
yang dapat ditinjau baik dari segi obyek maupun subyek al-balā’ itu sendiri.
Dalam segi obyek yang dilihat adalah bentuk kejadian atau peristiwa yang
dianggap sebagai ujian. Sedangkan dalam segi subyek adalah ujian yang dilihat
berdasarkan pelaku atau orang yang mengalaminya. Seperti yang terlihat pada
tebel di bawah ini.
85
Manhaj Ayat/Teks Tafsir
Quraish
Shihab
Kesenangan (بالء)
dan kesusahan
Ujian bisa terjadi dalam
bentuk kesenangan maupun
kesusahan
Al-Thabari (بالء) Kesenangan
dan kesusahan
Manusia akan diuji untuk
mengetahui keimananannya
dengan ujian kesenangan dan
kesusahan
Ibn Katsir (بالء) Kesenangan
dan kesusahan
Kesenangan dan kesusahan
adalah bentuk ujian dari
Allah
Charles S.
Peirce
Kesenangan (بالء)
dan kesusahan
Ujian merupakan ketetapan
Allah yang bentuknya bisa
berupa hal yang disenagani
maupun yang dibenci.
Yang bisa menimpa kepada
orang beriman maupun orang
kafir. Yang apabila bersabar
dan bersyukur terhadap ujian
tersebut akan menjadikan
subyeknya mendapatkan
tambahan kenikmatan dari
Allah.
3. Dampak pada al-Qur‟an.
Dari hasil pembacaan metode semiotik Peirce memberikan dampak
pemahaman bahwa sesungguhnya di dalam al-Qur‟an sendiri telah dijelaskan
setiap makna tanda pada lafaẓ-lafaẓ ayat yang kebenaranya selalu absolut dan
terpelihara sepanjang zaman.
Dari pembacaan semiotik ini juga menunjukan bahwa dalam penceritaan
alur logis makna al-balā’ dalam al-Qur‟an sudah sangat sempurna sekali. Mulai
dari muncul kata al-balā’ dan derivasinya, kemudian obyek-obyek ujian, saran-
saran untuk menghadapi ujian, sampai bahkan perilaku subyek dalam
mengahadapi ujian.
86
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Proses Semiosis Charles Sanders Peirce selalu bertumpu pada pada
tiga unsur tanda yang dikenal dengan nama representament (R), objec (O)
dan interpretant (I). Ketiga unsur tanda ini akan selalu berhubungan secara
terus menerus dalam memberikan makna terhadap sebuah tanda. Ketiga
unsur inilah yang penulis terapkan dalam pembacaan makna tanda terhadap
lafaẓ al-balā’ yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Proses pemaknaan ayat-ayat al-balā berdasarkan metode semiosis
Charles Sanders Peirce menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa setiap
objek kesenangan dan kesusahan merupakan bentuk ujian yang bisa
menimpa kepada siapa saja, baik terhadap diri orang beriman maupun
terhadap diri orang yang tidak beriman selama meraka masih hidup.
Ujian kesenangan akan menuntut sikap bersyukur sedangkan ujian
kesusahan akan menuntut sikap bersabar. Sikap bersyukur akan
menghasilkan perolehan tambahan kenikmatan dan sikap bersabar akan
menghasilkan balasan pahala yang lebih besar dari Allah. Sebaliknya sikap
tidak bersyukur atau kufur nikmat akan mengakibatkan disempitkanya
rezeki serta sikap tidak sabar akan menyebabkanya mendapatkan aẓab serta
siksa yang pedih dari Allah.
B. SARAN
Penulis menyadari sekali, bahwa dalam tulisan ini masih sangat
banyak kekurangan. Baik itu dalam segi tehnik penyusunan kata-kata
87
perkalimat maupun kekurangan dalam hal kepadatan dan kedalam
pemabahasan yang penulis sajikan. Sehingga dari itu, penulis sangat
mengaharapkan saran dan kritik dari setiap pembaca skripsi ini, guna untuk
menyempurnakan skripsi ini baik dalam tehnik penulisan maupun
kedalaman dan kepadatan materi yang disajikan di dalamnya.
88
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Ismail. “Laknat Dalam Pandangan Al-Qur‟an:Analisis Ayat-Ayat Laknat
Dalam Tafsir Al-Maraghi.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsasat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Biro Humas & Luar Negeri BPK, Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan
Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Pasca Tsunami”, artikel
yang di akses dari laman web, http:www.bpk.go.id/web/p=3985 pada
tanggal 17 Januari 2017
Cawidu, Harifudin. Konsep Kufr Dalam al-Qur‟an: Suatu Kajian Teologis
Dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Danesi, Marcel. Pesan,Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikas. Penerjemah Evi Setyarini dan Lusi
Lian Piantari. Yogyakarta: JALASUTRA, 2010.
Faris, Abdul Qodir Abu. Ujian, Cobaa, Fitnah Dalam Dakwah. Jakarta: Gema
Insani Press, 1992.
Firdaus, Luthfi. “Relevansi Semiotika Dalam Kajian Tafsir Kontemporer.”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Fitriyana, Pipit Aidul. “Kisah Yusuf Dalam AL-Qur‟an: Perspektif Semiologi
Roland Barthes.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Hoed, Benny H. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu, 2014.
Hikmah, Lexi Zulkarnaen. “Hadis Tentang Keutamaan Ibu: Suatu Tinjauan dan
Analisis Semiotik Charles Sanders Peirce.” Skripsi S1 Fakultas
89
Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016.
Imran, Ali Semiotika AL-Qur‟an: Metode Dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf.
Yogyakarta: Teras, 2011.
Mandzur, Ibn. Lisan al-Arab. Cairo: Jilid 14.
Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir. Yogyakarta: Krapyak, 1984.
Muzakki, Akhmad. Kontribusi Semiotika Dalam Memahami Bahasa Agama.
Malamg: UIN-Malang Press, 2017.
Pari, Fariz. Epistemologi Semiotik Peirce. Bogor: Yayasan Kajian Otentik
Peradaban Islam (Kopi Center), 2012.
Al-Razy, al-Fakhr. al-Tafsir al-Kabir. Beirut: Dar al-Fikr, 1985.
Sabirin, Abdul Rasyid. “al-Bala‟ Dalam al-Qur‟an: Kajian Tentang Makna
dan Macam-Macam al-Bala‟, Serta Sikap Manusia Dalam Menghadapi
Ujian.” Tesis S2 Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Sandjaja, B. dan Heriyanto, Albertus. Panduan Penelitian. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2006.
Sanusi, Irpan “Pesan Semiotis Al-Qur‟an: Analisis Struktural Q.S. Al
Lahab.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Shiddiq, Ja’far. “Penggunaan Semiotika Naratologi A.J. Greimas Dalam
Pembacaan Kisah Al-Qur‟an.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Filsasat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
90
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Miṣbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an.
Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2001.
Subarata, Ade Tisna. “Perspektif al-Qur‟an Tentang Musibah:Telaah Tafsir
Tematik Tentang Ayat-Ayat Musibah.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Subayu, Rony. “Al-Qur‟an Sebagai Narasi Mitis: Konsep Mitos Roland
Barthes Sebagai Metode Penafsiran al-Qur‟an.” Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsasat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016.
Al-Ṭābarī, Abū Ja’fār Muḥammad bin Jarīr. Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āyi al-
Qurān. Penerjemah Ahmad Affandi, Jakarta Selatan: Pustaka Azzam,
2008.
Tim Penyusun Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Tommy Christomy & Untung Yuwono. Semiotika Budaya. Depok: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya. Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia, 2010.