kata pengantar...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program keluarga berencana dan...

73

Upload: others

Post on 08-Jul-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga
Page 2: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

i

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan “Riset Operasional Advokasi Keluarga Berencana untuk Meningkatkan Metode Ragam Kontrasepsi di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat” yang dilaksanakan dari Bulan April hingga Mei 2013. Laporan ini berisi hasil studi kualitatif di Kabupaten Tuban yang merupakan satu dari enam laporan studi kualitatif di tingkat kabupaten. Enam laporan tersebut berisi informasi terkait Keluarga Berencana di 3 kabupaten di Provinsi Jawa Timur yakni Kabupaten Kediri, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Tuban; serta 3 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa. Pengumpulan data dilaksanakan dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Secara garis besar, informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga Berencana, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa Metode Kontrasepsi Jangka Panjang tinggi dan rendah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar informasi upaya advokasi dan intervensi untuk meningkatkan ragam kontrasepsi di lokasi penelitian. Berlangsungnya penelitian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Susan Krenn, Direktur Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs

2. Duff Gillespie dari Bill & Melinda Gates Institute for Population and Reproductive Health 3. J. Douglas Strorey, Sarah V. Harland, Priya Emmart dan Jennifer Kreslake dari John

Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs

4. Fitri Putjuk, Eugenita Garot dan Anggita Florenita dari John Hopkins University Bloomberg School of Public Health Center for Communication Programs Indonesia Office

5. Mayun Pudja, Dini Haryati dan Christiana Tri Desintawati dari Cipta Cara Padu Foundation

6. Sabarinah Prasetyo (Direktur) dan seluruh staff Pusat Penelitian Kesehatan UI 7. Ruth Stella, Anwar Fachmy, Cahyowati, Halimatus Sa’diyah, Menik Aryani, Rosmilawati,

dari Universitas Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat;sertaWindhu Purnomo, Irma Prasetyowati, Ni’mal Baroya, Annis Catur Adi, Riris Diana Rachmayanti, Nurul Fitriyah, dan Dini Ririn Andrias dari Universitas Airlangga sebagai mitra lokal di Provinsi Jawa Timur

8. Serta semua informan yang bersedia berkontribusi dalam penelitian ini.

Secara khusus, kami memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua peneliti yang terlibat, yakni Agus Dwi Setiawan, Christiana R. Titaley, Dadun, Dini Dachlia, Dwi Astuti Yunita Saputri, Ferdinand Siagian, Heru Suparno, dan Yudarini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Donal Husni, Hafizah, Vetty Yulianty, dan Ade W. Prastyani yang telah membantu proses akhir penyelesaian laporan ini. Kami berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk memajukan program keluarga berencana di Indonesia, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Jawa Timur. Depok, 31 Maret 2014 Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH Peneliti Utama

Page 3: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

ii

RINGKASAN EKSEKUTIF UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI JAWA TIMUR

1. Cakupan KB dan permasalahannya

Pencapaian angka-angka terkait Keluarga Berencana (KB) di Provinsi Jawa Timur lebih tinggi dari rata-rata nasional. Sebagai contoh, peserta KB aktif pada tahun 2010 adalah 59,4%, sementara rata-rata untuk Indonesia 55,8%. Namun demikian, Total Fertility Rate (TFR) masih 2,3 sementara target Millenium Development Goals (MDGs) 2,1, demikian pula dengan unmet need yang masih berkisar pada 6,7% sementara targetnya adalah 5%. Permasalahan yang dihadapi adalah sulitnya menggeser penggunaan metode kontrasepsi jangka pendek (non-MKJP) menjadi Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) di masyarakat Jawa Timur.

2. Non-MKJP versus MKJP

Angka kepesertaan KB di Jawa Timur cenderung meningkat namun tidak diikuti dengan penurunan TFR. Hal ini menimbulkan pertanyaan pada para pemegang program KB. Data menunjukkan penggunaan kontrasepsi jenis non-MKJP jauh lebih tinggi dibandingkan MKJP karena masyarakat menggunakan KB untuk menjaga jarak anak dan bukan untuk membatasi anak. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap rendahnya cakupan MKJP adalah karakteristik masyarakat, aksesibilitas terkait letak geografis wilayah, jumlah, dan kinerja petugas/penyuluh KB, kondisi sosial ekonomi, kepercayaan masyarakat setempat, dan isu yang beredar. Namun demikian, semua kabupaten merasakan adanya peningkatan MKJP, terbukti dengan sering terjadinya kekurangan stok implan.

• Mengarahkan program momentum KB hanya untuk MKJP, dengan pelayanan yang tidak dilakukan di tempat-tempat darurat seperti pasar atau mobil pelayanan KB (kecuali untuk daerah terpencil). Hal ini untuk menjaga mutu serta mengurangi kesulitan dalam melacak dan menangani komplikasi.

Rekomendasi:

• Meningkatkan jumlah stok implan. • Meningkatkan kualitas pemasangan MKJP melalui pelatihan dan praktek pemasangan alat

kontrasepsi MKJP seperti Intra Uterine Device (IUD) dan implan. • Memperluas akses masyarakat terhadap MKJP melalui Bidan Praktek Swasta (BPS). • Mempertegas kewenangan bidan dalam layanan pemasangan alat kontrasepsi MKJP.

Khususnya alat kontrasepsi IUD dan implan karena adanya kesimpangsiuran interpretasi peraturan kewenangan bidan dalam melakukan pemasangan IUD dan implan.

• Meningkatkan promosi MKJP melalui strategi inovatif seperti melibatkan tokoh agama atau tokoh masyarakat, khususnya untuk menghadapi tantangan terkait rumor negatif tentang ketidaknyamanan saat pemasangan dan efek samping dari masing-masing alat kontrasepsi.

3. Kebijakan dan alokasi anggaran

Dukungan pemerintah kabupaten di Jawa Timur terhadap program KB cukup bervariasi namun relatif baik, misalnya Kabupaten Tuban yang berkomitmen untuk menyediakan alat kontrasepsi gratis bagi seluruh penduduknya. Alokasi anggaran KB juga cukup memadai dan program KB dimasukkan kedalam jaminan kesehatan daerah. Namun ada pula kabupaten yang membuat peraturan daerah tentang tarif jasa dan bahan habis pakai sehingga memberatkan masyarakat.

Page 4: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

iii

• Meninjau ulang peraturan daerah yang menghambat keterjangkauan alat kontrasepsi KB bagi seluruh lapisan masyarakat, seperti di Kediri, tentang tentang tarif jasa, dan bahan habis pakai.

Rekomendasi:

Kebijakan desentralisasi menyebabkan ketidaksinambungan program dari pusat ke provinsi dan kabupaten. Program-program yang dicanangkan dari pusat sering kali tidak mendapatkan anggaran dari pemerintah tingkat kabupaten sehingga tidak dapat dilaksanakan. Untuk tingkat kabupaten/kota, telah dibentuk unit yang salah satu tugasnya menangani KB seperti Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB).

• Meningkatkan koordinasi antara tiga instansi di tingkat kabupen/kota, mengingat dengan adanya satu instansi lagi yang menangani KB, sehingga program KB dapat dilaksanakan di tingkat kabupaten/kota.

Rekomendasi:

4. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

Pengadaan alat kontrasepsi dilakukan di tingkat pusat. Kewenangan provinsi dan kabupaten adalah hanya pada pendistribusiannya saja, walau pemerintah daerah kadang memiliki dana untuk melakukan pengadaan untuk menutupi kekurangan alat kontrasepsi dalam jumlah yang tidak banyak. Alat kontrasepsi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) langsung didistribusikan melalui jalur BKKBN dan unit KB di tingkat kabupaten. Dari Unit KB kabupaten ada dua cara yang dapat digunakan. Pertama, Puskesmas diminta mendistribusikan alat kontrasepsi baik ke bidan didesa maupun BPS. Kedua, Unit Pelaksana Teknis (UPT) KB langsung mendistribusikan alat kontrasepsi ke Puskesmas, bidan di desa dan bidan klinik swasta. Dari kedua cara ini, Dinas Kesehatan tidak dilibatkan dimana hal ini menimbulkan rentang koordinasi yang lemah dengan petugas kesehatan yang melayani KB.

• Melibatkan pihak Dinas Kesehatan dalam pendistribusian alat kontrasepsi mulai dari tingkat provinsi hingga Puskesmas.

Rekomendasi:

5. Pelayanan KB dan biayanya

Ada tiga tingkat pelayanan KB berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan. Tingkat pertama adalah Pondok Bersalin Desa(Polindes) yang hanya menyediakan pelayanan KB sederhana seperti pil dan suntik. Tingkat berikutnya adalah Puskesmas, dimana pada tempat ini pelayanan pemasangan IUD dapat dilakukan. Sementara Rumah Sakit dapat menyediakan pelayanan KB yang kompleks seperti sterilisasi baik pada pria maupun wanita. Sementara unit pelayanan dapat berada di bawah naungan pemerintah maupun non-pemerintah. Keterlibatan dan dukungan klinik non-pemerintah terhadap MKJP cukup baik sehingga dapat menjadi perpanjangan tangan pelayanan KB.

• Meningkatkan keterlibatan pihak swasta dalam pelayanan KB.

Rekomendasi:

• Memperbaiki sistem pelaporan klinik swasta atau BPS. • Melakukan pelatihan Contraceptive Technology Update(CTU) juga pada pihak pelayanan

KB swasta sehingga dapat di update pula pengetahuannya dan ketrampilannya.

Page 5: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

iv

Kabupaten Tuban dan Lumajang sudah menerapkan KB gratis bagi seluruh penduduknya, bukan hanya untuk mereka yang miskin saja. Ada dua komponen biaya pelayanan dalam perhitungan pembiayaan: komponen biaya alat kontrasepsi dan bahan habis pakai, dan komponen biaya pelayanan. Untuk non-MKJP seperti pil, pasien hanya membayar biaya pendaftaran, sedangkan alat kontrasepsi sudah dibiayai oleh BKKBN namun tidak termasuk untuk obat jika ada efek samping. Untuk MKJP, pasien membayar biaya registrasi, konsultasi, pelayanan medis dan bahan habis pakai. Jika pasien tidak ingin merek yang disediakan BKKBN, maka pasien harus membayar biaya alat kontrasepsisendiri; kecuali untuk pasien miskin dimana biaya ini di tanggung pemerintah.

• Mendorong masuknya biaya pelayanan medis MKJP dalam skema Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat.

Rekomendasi:

Standar pelayanan bagi peserta KB pertama adalah sebelum memutuskan untuk KB dilakukan konseling oleh petugas kesehatan dan idealnya sudah dimotivasi oleh Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Dalam konseling idealnya prinsip kafetaria dilaksanakan, namun pada kenyataannya sulit karena keterbatasan jenis alat kontrasepsi yang tersedia, sementara masyarakat masih sulit untuk membayar sendiri. Dalam konseling banyak keluhan dari akseptor non-MKJP, karena yang digunakan adalah jenis hormonal, sedangkan MKJP masih belum populer di masyarakat.

• Melakukan pelatihan konseling bagi petugas yang belum mendapatkan pelatihan maupun penyegaran bagi yang sudah, untuk menekankan pentingnya edukasi terutama untuk alat kontrasepsi MKJP.

Rekomendasi:

6. Sumber Daya Manusia

Jumlah tenaga bidan untuk pelayanan KB cukup memadai, namun untuk PLKB jumlahnya sudah sangat berkurang sebagai efek dari desentralisasi. Namun demikian, pada tingkat kecamatan dan desa ada sub Petugas Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD), walaupun kemampuan para petugas ini masih jauh di bawah PLKB.

• Menambah jumlah tenaga PLKB perlu menjadi perhatian penting bagi BPPKB di berbagai kabupaten, sesuai dengan rasio ideal satu PLKB bagi dua desa. Di samping itu, upaya untuk meningkatan kualitas dan kemampuan manajerial tenaga PLKB juga perlu diperhatikan.

Rekomendasi:

• Meningkatkan kapasitas PPKBD dan sub-PPKBD sehingga setara dengan PLKB.

Dana pelatihan untuk peningkatan keterampilan petugas kesehatan (Contraceptive Technology Update) yang melayani MKJP, lebih banyak dianggarkan oleh BKKBN dibanding Dinas Kesehatan.Pelatihan ini dikelola langsung oleh JNPK-KR (Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi) dan P2KS (Pusat Pelatihan Klinik Sekunder) untuk tingkat provinsi.Namun, pengelolaan pelatihan tersebut kurang melibatkan Dinas Kesehatan sehingga Dinas Kesehatan kurang dapat memantau pengembangan kapasistas dari tenaga kesehatannya.

Page 6: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

v

• Melibatkan Dinas Kesehatan dalam perencanaan pelatihan sehingga pengembangan kapasitas tenaga kesehatan dapat lebih efisien dan tepat sasaran.

Rekomendasi:

Adanya peraturan yang tidak mengizinkan bidan untuk melalukan pelayanan MKJP secara mandiri sehingga kurang mendukung peningkatan akses MKJP. Namun dilain pihak, pil dapat di distribusikan oleh orang awam, mengingat cukup banyak petugas kesehatan yang mendapatkan pasien pengguna kontrasepsi pil yang datang dengan efek samping kesehatan akibat pengabaian sistem penapisan sebelum penggunaan alat kontrasepsi pil.

• Mengkaji ulang peraturan yang tidak mengizinkan bidan melakukan pelayanan MKJP secara mandiri, mengingat sebagaian besar pelayanan KB dilakukan oleh bidan.

Rekomendasi:

• Membuat sanksi bagi orang awam yang ikut memperjualbelikan pil KB karena dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

• Mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan konseling medis, sehingga PLKB juga dapat memahami persyaratan medis yang dibutuhkan untuk metode kontrasepsi tertentu.

7. Kerjasama antar instansi

Walaupun pembagian tugas telah ditetapkan, dimana BKKBN bekerja pada demand side dan Dinas Kesehatan pada supply side, namun koordinasi antara keduanya kurang berjalan dengan baik.Kurangnya harmonisnya koordinasi antara Dinas kesehatan dan BKKBN bukan hanya ditemui ditingkat provinsi namun juga diantara unit KB Kabupaten (misalnya BPPKB atau Bapemas) dan Dinas Kesehatan kabupaten. Aspek yang muncul dalam diskusi adalah terkait pendataan, pendistribusian alat kontrasepsi, pelatihan, dan koordinasi tenaga kesehatan yang langsung melayani KB.

• Mengembangkan District Working Group (DWG) yang hanya ada di tingkat kabupaten, di tingkat provinsi karena kelompok ini dapat menjadi sarana koordinasi dan kerjasama antar instansi di tingkat provinsi. Karena itu diperlukan dana operasional bagi DWG di tingkat provinsi.

Rekomendasi:

• Menentukanan target bersama perlu dilakukan, sehingga terjadi sinergi antara pihak pemberi pelayanan dan pihak yang menggarap masyarakat. Misalnya dalam hal ini Dinas Kesehatan menganggap bahwa penurunan unmet need bukan menjadi tugas pokok dan fungsi mereka, namun lebih fokus pada penanganan efek samping dan komplikasi.

• Meningkatkan koordinasi yang lebih baik antara unit KB di tingkat kabupaten dan Dinas Kesehatan untuk lebih memaksimalkan peran masing-masing dalam pelaksanaan program KB sesuai dengan tupoksinya sehingga tidak terjadi kesalahan persepsi dalam implementasi program di lapangan.

• Membuat kesepakatan pembagian kerja yang jelas melalui rapat koordinasi di tingkat kecamatan antara PLKB dan bidan Puskesmas terkait pencatatan dan pelaporan.

Kerjasama dengan sektor swasta belum banyak digarap, walaupun di Jawa Timur hal ini sangat potensial untuk dikembangkan karena banyak pabrik yang padat karya.Demikian pula bidan praktek swasta (BPS) juga cukup besar jumlahnya dan banyak pula masyarakat yang mendapatkan pelayanan KB dari BPS.

• Mengembangkan inovasi kerjasama dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukandengan melakukan advokasi pada pemerintah

Rekomendasi:

Page 7: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

vi

daerah yang memiliki pabrik padat karya untuk mengajak pihak swasta agar terlibat dalam program KB misalnya melalui Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO).

• Meningkatkan kerjasama dengan pihak swasta yang mendapatkan distribusi alat kontrasepsi gratis untuk juga menerima peserta Jamkesda/Jamkesmas.

8. Menciptakan kebutuhan

Secara umum demand creation atau menciptakan kebutuhan di masyarakat atau lebih kongkritnya promosi KB, lebih banyak dilakukan oleh BKKBN. Walaupun dana promosi tidak besar, namun BKKBN selalu memiliki anggaran untuk promosi KB. Beberapa kegiatan yang dilakukan promosi KB diantaranya promosi melalui TV, pengecetan genteng hingga mendapatkan penghargaan MURI, penggambaran mobil, becak, dll. Sementara Dinas Kesehatan, lebih tepatnya bidang atau seksi promosi kesehatan tidak memiliki dana khusus untuk promosi KB. BKKBN juga mengandalkan momentum KB untuk mendongkrak MKJP. Berbeda dengan BKKBN, Dinas Kesehatan tidak menyukai momentum KB dengan target yang ditetapkan terlalu besar karena tidak sebanding dengan jumlah tenaga kesehatan sehingga kualitas pelayanan yang diberikan dipertanyakan. Dalam momentum ini, PLKB membawa calon akseptor, namun terkadang harus ditolak bidan karena tidak memenuhi persyaratan medis. Hal ini menimbulkan kekecewaan pihak PLKB.

• Melaksanakan kegiatan momentum KB hanya untuk MKJP. Penetapan momentum ini membuat target-target kecil bagi PLKB untuk mengajak masyarakat menggunakan MKJP.

Rekomendasi:

• Melaksanakan kegiatan momentum KB hanya di Puskesmas, klinik atau Rumah Sakit. Dengan kata lain, kegiatan ini tidak perlu dilakukan di pasar, sehingga jika terjadi komplikasi akan lebih mudah menanganinya. Persyaratan tempat untuk melakukan tindakan pun menjadi lebih baik.

• Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan momentum KB dengan tenaga kesehatan dan pihak Dinas Kesehatan karena momentum KB sering mengganggu aktivitas rutin Puskesmas.

Pada umumnya masyarakat menggunakan KB untuk menjarangkan anak dan bukan untuk membatasi anak. Pengetahuan yang masih terbatas tentang MKJP dan banyaknya isu buruk di masyarakat menyebabkan keengganan mereka untuk menggunakan MKJP. Pola kebergantungan pada kelompok masih cukup kental di Jawa Timur sehingga jika ada satu yang menggunakan MKJP dan berhasil maka dapat menarik akseptor lainnya untuk berpindah. Pendekatan agama juga dilakukan oleh BKKBN dengan melatih Penyuluh Agama Islam dengan pengetahuan KB sehingga jika ada pasangan baru yang akan menikah maka garda terdepan sudah melakukan edukasi tentang KB.

• Meningkatkan peran serta tokoh agama dan masyarakat untuk menjadi menjadi akseptor Metode Operasi Pria (MOP)/ Metode Operasi Wanita (MOW) sehingga bisa menjadi stimulus bagi masyarakat luas.

Rekomendasi:

• Menggunakan teknik promosi dari mulut ke mulut, dimana petugas kesehatan menawarkan MKJP dengan memberi contoh teman atau kerabat yang dikenalnya yang menggunakan MKJP dan tidak mengalami masalah.

Page 8: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

vii

9. Pencatatan dan pelaporan

Adnya dua sistim pelaporan antara BKKBN dan Dinas Kesehatan menyebabkan angka-angka kepesertaan KB berbeda. Pada umumnya, data angka kepesertaan dari BKKBN lebih tinggi daripada Dinas Kesehatan. Ini terjadi karena terdapat perbedaan definisi operasional dan cara perhitungan akseptor baru di lapangan. Hal ini menjadi masalah dalam penentuan target untuk program BKKBN.

Kedua instansi tersebut juga memiliki fokus pendataan dan kepedulian yang berbeda. BKKBN berfokus kepada kepesertaan KB aktif dan unmet need, sedangkan Dinas Kesehatan lebih kepada penanganan efek samping. Dari wawancara muncul pula Dinas Kesehatan merasakan beban bidan sebagai pelayan kesehatan semakin bertambah dengan adanya kewajiban membuat pelaporan cakupan KB.

• Menetapkan kesepakatan mengenai pendataan peserta KB dan merancang satu sistim pelaporan yang didukung oleh kedua instansi. Sistim pelaporan ini di mulai dari tingkat pusat terlebih dahulu untuk menghindari beban ganda bidan di desa dan menghindari perbedaan cakupan.

Rekomendasi:

• Menetapkan standarisasi definisi operasional dari indikator KB untuk mencegah terjadinya perbedaan angka dalam pencatatan dan pelaporan.

• Menyelenggarakan pelatihan penyegaran untuk pendataan terkait indikator KB.

Page 9: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

viii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................................................i

RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................................................................... ii

UNTUK KABUPATEN STUDI DI PROVINSI JAWA TIMUR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL ..................................................................................................................................................................x

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................................................... xi

1. PENDAHULUAN ....................................................................................................................................................... 1

1.1 Latar belakang ................................................................................................................................................. 1

1.2 Tujuan ................................................................................................................................................................. 2

2. METODOLOGI ........................................................................................................................................................... 3

2.1 Rancangan penelitian ................................................................................................................................... 3

2.2 Lokasi penelitian ............................................................................................................................................ 3

2.3 Metode penelitian .......................................................................................................................................... 4

A. Kerangka sampel .................................................................................................................................. 4

B. Populasi penelitian .............................................................................................................................. 4

C. Pengambilan sampel ........................................................................................................................... 5

D. Metode pengumpulan data ............................................................................................................... 5

E. Kerangka konsep .................................................................................................................................. 8

F. Pedoman diskusi kelompok dan wawancara ............................................................................ 8

G. Data Analisis ........................................................................................................................................... 9

H. Etik .............................................................................................................................................................. 9

3. KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI ..................................................................... 11

3.1 Provinsi Jawa Timur .................................................................................................................................. 11

3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat ............................................................................................................... 13

4. TEMUAN DI PROVINSI JAWA TIMUR DAN KABUPATEN TUBAN .................................................... 16

4.1 Provinsi Jawa Timur .................................................................................................................................. 16

A. Pendahuluan ........................................................................................................................................ 16

B. Manajemen Program Keluarga Berencana ............................................................................. 18

4.2. Kabupaten Tuban ........................................................................................................................................ 24

A. Pendahuluan ........................................................................................................................................ 24

B. Manajemen Program Keluarga Berencana ............................................................................. 29

C. Pendapat Masyarakat ...................................................................................................................... 40

D. Pembelajaran Dari Desa Mkjp Tinggi Dan Rendah .............................................................. 51

4.3. Diskusi, Kesimpulan dan Saran Provinsi Jawa Timur .................................................................. 54

Page 10: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

ix

A. Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten ...................................... 54

B. Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) ........................... 56

C. Kesimpulan dan saran tingkat provinsi ................................................................................... 57

D. Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten .............................................................................. 58

REFERENSI ....................................................................................................................................................................... 60

Page 11: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daerah penelitian .................................................................................................................................... 4

Tabel 2.2 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 6

Tabel 2.3 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif ..................... 7

Tabel 2.4 Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif .......................................................................... 8

Tabel 4.1 Indikator pencapaian dan target Provinsi Jawa Timur ......................................................... 16

Tabel 4.2 CPR, unmet need, TFR dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tuban ............... 25

Tabel 4.3 Cakupan KB menurut jenis alat kontrasepsi Kabupaten Tuban ....................................... 27

Tabel 4.4 Faktor pemilihan MKJP dan Non-MKJP di Kabupaten Tuban ............................................ 27

Tabel 4.5 Alokasi penganggaran kegiatan program KB di Kabupaten Tuban tahun 2012 ........ 31

Tabel 4.6 Perkiraan jumlah akseptor di berbagai tempat layanan Kabupaten Tuban ................ 34

Tabel 4.7 Tarif layanan KB di berbagai tempat layanan Kabupaten Tuban ..................................... 35

Tabel 4.8 Proporsi KB aktif menurut jenis MKJP di Kecamatan Rengel dan Parengan, 2012 .. 51

Tabel 4.9 Proporsi cakupan peserta KB baru di Kecamatan Rengel dan Parengan, 2012 ......... 51

Tabel 4.10 Proporsi jumlah unmet need di Kecamatan Rengel dan Parengan, 2012 ...................... 51

Tabel 4.11 Analisa kualitatif beberapa faktor yang berhubungan dengan cakupan MKJP di Kecamatan Rengel dan Parengan ................................................................................................... 52

Tabel 4.12 Ringkasan hasil penelitian kualitatif ............................................................................................ 54

Tabel 4.13 Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi) .............................. 56

Page 12: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

xi

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional ........................................................................................................................... 1

Gambar 2.1 Lokasi penelitian .................................................................................................................................... 3

Gambar 2.2 Kerangka sampel studi kualitatif .................................................................................................... 4

Gambar 2.3 Kerangka konsep ................................................................................................................................... 8

Gambar 3.1 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur ............................................................................ 11

Gambar 3.2 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur ................................................................................ 12

Gambar 3.3 Provinsi Nusa Tenggara Barat ....................................................................................................... 13

Gambar 3.4 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat ............................................................. 13

Page 13: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

1

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Implementasi program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia.Walaupun demikian, masih ditemukan berbagai tantangan terkait keragaman penggunaan metode kontrasepsi.Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1987-2012 menunjukkan bahwa presentase pasangan yang menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan jenis kontrasepsi jangka panjang dan permanen (MKJP) seperti IUD, implan, dan metode operasi wanita (MOW)/pria (MOP). Lebih jauh lagi, sebagian besar pasangan yang ingin membatasi kehamilan (tidak ingin punya anak lagi) masih memilih menggunakan kontrasepsi pil dan suntik, yang sebenarnya lebih bertujuan untuk menjarangkan kehamilan. Data SDKI 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 78% pasangan pengguna kontrasepsi modern menggunakan kontrasepsi jangka pendek (suntik dan pil) dan hanya 27% yang menggunakan kontrasepsi jangka panjang/permanen (Gambar 1.1). Selain rendahnya keragaman kontrasepsi, data SDKI 2007 juga menunjukkan bahwa angka ketidakberlanjutan metode kontrasepsi pil dan suntik lebih tinggi dibandingkan MKJP. Dalam 12 bulan pertama sejak menggunakan alat kontrasepsi, angka ketidakberlanjutan akseptor pil mencapai hampir 40% dan suntik lebih dari 20%, dibandingkan IUD sebesar 10% dan implan yang hanya 5%.

Gambar 1.1 Cakupan KB Nasional

Penggunaan alat kontrasepsi oleh masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk adanya izin dari pasangan, kualitas pelayanan, keramahan pemberi pelayanan kesehatan, dan pengetahuan wanita tentang. Selain itu, tingkat pendapatan, akses terhadap pelayanan, dan kepercayaan yang dianut juga berpengaruh pada besarnya penggunaan KB di suatu daerah (Okech, et. al, 2011).Di Indonesia sendiri, studi BKKBN menunjukkan umur Pasangan Usia Subur (PUS), lama menikah, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal, tingkatan keluarga sejahtera, tujuan ber-KB, dan sumber pelayanan mempengaruhi penggunaan MKJP di Indonesia. Studi kualitatif BKKBN pada tahun 2011 ini juga mengungkapkan banyaknya rumor yang beredar di masyarakat terkait kegagalan IUD menjadi hambatan dalam upaya peningkatan MKJP (BKKBN, 2011). Untuk mempromosikan KB termasuk MKJP di Indonesia, berbagai upaya telah dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan memperkuat aspek pelayanan dan aspek penggerakan program KB (menciptakan kebutuhan/demand creation). Pada aspek pelayanan, pemerintah memperkuat kerjasama dengan mitra pelayanan program KB, memastikan

42 45 48 51 52 10 10 9 6 6

0

20

40

60

80

100

1994 1997 2002/3 2007 2012

%

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

Non-MKJP MKJP

Page 14: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

2

ketersediaan sarana-prasarana dan alat kontrasepsi di semua pelayanan kesehatan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia penyedia pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2013). Dari aspek penggerakkan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), merubah kembali moto “Dua Anak Lebih Baik” ke moto sebelumnya yang lebih popular yaitu “Dua Anak Cukup” untuk menumbuhkan pola pikirkeluarga kecil bahagia sejahtera (BKKBN, 2013). Walaupun demikian, terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan program KB di Indonesia, masih sedikitnya penggunaan MKJP di antara pasangan yang ingin membatasi kehamilan atau tidak ingin hamil menunjukkan masih diperlukannya upaya peningkatan penggunaan keragaman metode/alat kontrasepsi sesuai dengan tujuan penggunaan. Menyikapi hal tersebut, Center for Communication Program of Johns Hopkins University (JHU-CCP) bekerja sama dengan Yayasan Cipta Cara Padu, Kementerian Kesehatan RI, dan BKKBN, serta Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) mengadakan kegiatan Operational Research (OR) yang diharapkan dapat mendemonstrasikan upaya di tingkat kabupaten dalam meningkatkan ketersediaan dan penggunaan pelayanan Keluarga Berencana di daerah. Kegiatan ini dilakukan di enam kabupaten yaitu Kabupaten Kediri, Tuban, Lumajang (Provinsi Jawa Timur), dan Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur dan Sumbawa (Provinsi Nusa Tenggara Barat). Dalam kegiatan OR ini, pengumpulan data dasar dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Laporan ini hanya mendiskusikan hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh PPK UI bekerja sama dengan mitra lokal di masing-masing provinsi. Data dasar ini akan dipergunakan oleh Yayasan Cipta Cara Padu untuk melakukan intervensi advokasi di enam kabupaten tersebut. 1.2 Tujuan A. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan, sikap, dan perlaku masyarakat terkait penggunaan alat kontrasepsi Keluarga Berencana. B. Tujuan khusus

• Untuk mengetahui prevalensi penggunaan kontrasepsi khususnya Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP).

• Untuk menilai pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terkait MKJP. • Untuk mengetahui alasan masyarakat menggunakan atau tidak menggunakan metode

kontrasepsi. • Untuk mengetahui hambatan yang dialami masyarakat dalam mengakses pelayanan

keluarga berencana.

Page 15: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

3

2. METODOLOGI

2.1 Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dengan informan dan informan kunci. Penelitian kualitatif ini dilakukan sebelum penelitian kuantitatif. 2.2 Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakaan di dua provinsi: Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2.1). Di masing-masing provinsi dipilih tiga kabupaten sebagai lokasi penelitian: Kabupaten Tuban, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Lumajang untuk Provinsi Jawa Timur; serta Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Sumbawa untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Gambar 2.2 Lokasi penelitian

Penelitian kualitatif dilaksanakan di dua desa terpilih dari masing-masing kabupaten untuk mewakili gambaran desa dengan tingkat penggunaan MKJP tinggi dan rendah (Tabel 2.1). Data dikumpulkan dari tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.

Provinsi Jawa Timur

Provinsi Nusa Tenggara Barat

Page 16: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

4

Tabel 2.1 Daerah penelitian

Provinsi Jawa Timur Kabupaten Kediri Lumajang Tuban Cakupan MKJP Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Kecamatan Pagu Tarokan Tekung Candipuro Rengel Parengan Desa Semanding Tarokan Wonogriyo Jarit Maibit Sidangrejo Provinsi Nusa Tenggara Barat Kabupaten Lombok Barat Lombok Timur Sumbawa Cakupan MKJP Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Kecamatan Kediri Narmada Jerowaru Selong Rhee Seketeng

Desa Banyumulek, Lelede

Dasan Tereng Paro Mas Kelayu

Utara Sampe Seketeng

2.3 Metode penelitian A. Kerangka sampel

Enam sampai delapan wawancara mendalam dilaksanakan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Selain itu, kurang lebih empat wawancara mendalam dan empat diskusi kelompok diselenggarakan di tingkat desa.Lebih lanjut, kerangka sampel dapat dilihat di Gambar 2.2.

PROVINSI(6 wawancara)

KABUPATEN 1(6 wawancara)

KABUPATEN 2(6 wawancara)

KABUPATEN 3(6 wawancara)

Desa 1(Prevalensi MKJP

rendah)(5 wawancara dan 4

FGDs)

Desa 2(Prevalensi MKJP tinggi)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Kecamatan 1(6 wawancara)

Kecamatan 2(6 wawancara)

Desa 1(Prevalensi MKJP rendah)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Desa 2(Prevalensi MKJP tinggi)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Kecamatan 1(6 wawancara)

Kecamatan 2(6 wawancara)

Desa 1(Prevalensi MKJP rendah)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Desa 2(Prevalensi MKJP tinggi)

(5 wawancara dan 4 FGDs)

Kecamatan 1(6 wawancara)

Kecamatan 2(6 wawancara)

Gambar 2.3 Kerangka sampel studi kualitatif

B. Populasi penelitian

Untuk mengetahui tingkat pengetahan, sikap, dan perilaku terkait penggunaan MKJP, populasi penelitian yang diambil adalah sebagai berikut:

• Wanita menikah (15-49 tahun) bertempat tinggal di lokasi penelitian, memiliki setidaknya satu orang anak, dan yang memenuhi kriteria berikut: a. Menggunakan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) b. Menggunakan metode kontrasepsi lain c. Tidak menggunakan metode kontrasepsi jenis apapun (tidak ber-KB)

• Pihak lain yang berperan: a. Suami dari wanita yang menggunakan MKJP b. Suami dari wanita yang menggunakan metode lain

Page 17: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

5

c. Suami dari wanita yang tidak ber-KB d. Pria yang menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi (15-49 tahun) e. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan MKJP f. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang menggunakan metode lain g. Ibu atau mertua dari suami atau wanita yang tidak ber-KB

• Pembuat kebijakan atau tokoh masyarakat terkait program keluarga berencana, termasuk: a. Tingkat provinsi: pegawai pemerintah daerah, Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah (Bappeda), BKKBN provinsi, PKK, Ikatan Bidan Nasional (IBI) b. Tingkat kabupaten: wakil bupati, pegawai pemerintah daerah, Bappeda, Badan

Keluarga Berencana (BKB), PKK c. Tingkat kecamatan: kepala kecamatan, BKB, PKK, KUPT-KB d. Tingkat desa: kepala desa dan tokoh masyarakat/agama

• Pemberi layanan kesehatan a. Tingkat provinsi: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, pegawai rumah sakit

swasta b. Tingkat kabupaten: pegawai dinas kesehatan, pegawai RSUD, RS swasta c. Tingkat kecamatan: pegawai dinas kesehatan dan bidan koordinator, Bidan Praktek

Swasta (BPS) d. Tingkat desa: petugas lapangan keluarga berencana (PLKB), sub-PPKBD, kader,

bidan desa, BPS.

C. Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dari populasi penelitian menggunakan metode non-probabilitas. Pengambilan sampel di tingkat desa dilakukan dengan meminta bantuan dari kader atau bidan desa. Detail informasi terkait informan disajikan di Tabel 2.2 dan 2.3. D. Metode pengumpulan data

Penelitian kualitatif ini menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terarah (Focus Group Discussion/FGD) untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat. Setiap diskusi kelompok melibatkan enam hingga delapan peserta. FGD dilaksanakan secara terpisah untuk pria dan wanita di tingkat desa. Di setiap desa, dilakukan dua FGD untuk kelompok wanita yang terdiri dari satu FGD ibu yang ber-KB dan satu FGD ibu yang tidak ber-KB. Pada FGD ibu ber-KB, baik ibu yang menggunakan MKJP ataupun metode lain dilibatkan sebagai peserta FGD. Hal serupa juga berlaku untuk FGD pria, satu FGD bapak untuk bapak atau pasangannya yang ber-KB dan satu FGD bapak untuk bapak dan pasangannya yang tidak ber-KB. Lebih lanjut, kategori responden dan metode pengumpulan data dapat dilihat di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3. Data dikumpulkan dari total 453 informan yang terdiri atas 237 informan di provinsi Jawa Timur dan 216 informan di provinsi Nusa Tenggara Barat. Lebih lanjut, detail jumlah informan untuk masing-masing kabupaten di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat disajikan di Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.

Page 18: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

6

Tabel 2.2 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif

Provinsi Jawa Timur

Kegiatan Jumlah Informan

Provinsi Jawa Timur

WM: Wakil bupati 1 WM: Pemda 1 WM: Dinkes 1 WM: BKKBN 1 WM: RS swasta 1 WM: IBI 1

Kabupaten Kediri Lumajang Tuban

WM: Pemda 1 1 WM: Bappeda 1 1 1 WM: Dinkes 1 1 1 WM: Institusi KB 1 1 1 WM:PKK Digabung dengan inst KB 1 1 WM: RSUD 1 1 WM: RS swasta 1 1 1 Lainnya 1 Kecamatan Pagu Tarokan Candipuro Tekung Parengan Rengel

WM: Bidan koordinator 1 1 1 1 1 1

WM: KUPT-KB 1 1 1 Sama dengan PLKB

WM: PKK 1 1 1 1 1 1

WM: BPS 1 Sama dengan bidan 1 1 1

Desa Semanding Tarokan Jarit Wonogriyo Sidangrejo Maibit

FGD: Ibu KB 6 8 6 8 8 6 FGD: Ibu non-KB 8 6 6 6 7 6 FGD: Bapak KB 6 8 6 6 7 5 FGD: Bapak non-KB 6 6 6 6 6 6 WM: Kades 1 1 1 1 1 1 WM: kader 1 1 1 1 1 1 WM: Toga/toma 1 1 1 1 1 1 WM: Bidan desa 1 1 1 1 1 1 WM: PLKB Sama dengan KUPT KB 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS KB 1 1 1 1 1 1

WM: ibu/mertua dari PUS non KB 1 1 1 1 1 1

Lainnya 1 1 1 1

Total 82 76 79 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion

Page 19: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

7

Tabel 2.3 Kategori informan dan metode pengumpulan data dalam studi kualitatif

Provinsi Nusa Tenggara Barat

Kegiatan Jumlah Informan

Provinsi Nusa Tenggara Barat

WM: Pemda 1 WM: Bappeda 1 WM: Dinkes 1 WM: BKKBN 1 WM: PKK 1 WM: RSUD 1 WM: RS swasta 1 WM: IBI 1

District Sumbawa Lombok Timur Lombok Barat

WM: Pemda 1 1 1 WM: Bappeda 1 1 1 WM: Dinkes 1 1 1 WM: Institusi KB 1 1 1 WM:PKK 1 1 1 WM: RSUD 1 1 1 WM: RS swasta 1 Tidak ada RS swasta Lainnya 1 1

Sub-district: Rhee Seketeng Jerowaru Selong Kediri Narmada

WM: Bidan koordinator 1 1 1 1 1 1 WM: KUPT-KB 1 1 1 1 1 1 WM: PKK 1 1 1 1 1 1 WM: BPS 1 1 1 1 1

Village: Sampe Seketeng Paro Mas Kelayu Utara

Banyumulek, Lalede

Dasan Tereng

FGD: Ibu KB 6 6 6 6 7 6 FGD: Ibu non-KB 6 3 6 5 6 6 FGD: Bapak KB 5 5 6 5 7 6 FGD: Bapak non-KB 3 4 6 6 7 7 WM: Kades 1 1 1 1 1 1 WM: kader 1 1 1 1 1 1 WM: Toga/toma 1 1 1 1 1 1 WM: Bidan desa 1 1 1 1 1 1 WM: PLKB 1 1 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS KB 1 1 1 1 1 1 WM: ibu/mertua dari PUS non KB 1 1 1 1 1

Total 64 76 81 WM = Wawancara Mendalam FGD = Focus Group Discussion

Page 20: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

8

E. Kerangka konsep

Kerangka konsep yang digunakan pada penelitian ini disesuaikan dari Theory of Diffusion of Innovations (Rogers, 1962) dan Health Belief Model (Rosenstock, 1966) yang telah banyak digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan. Kerangka konsep penelitian ini terlihat di Gambar 2.3

Antecedents Proses

Dampak

Gambar 2.4 Kerangka konsep

F. Pedoman diskusi kelompok dan wawancara

Variabel, indikator, dan metode penilaian pada penelitian ini disajikan di Tabel 2.4. Tabel 2.4 Topik utama pertanyaan dalam studi kualitatif

No Topik Informan

1 Kondisi SES (kuesioner pendek) Perempuan usia subur Suami Ibu atau mertua dari PUS

2 Pengetahuan, pengalaman masyarakat mengenai penggunaan alat kontrasepsi

Perempuan usia subur Suami Ibu atau mertua dari PUS Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama

3 Faktor pendorong maupun penghambat penggunaan metode kontrasepsi

Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan Tokoh masyarakat/agama

4 Pandangan masyarakat mengenai Keluarga Berencana dan alat/cara kontrasepsi

Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan

Page 21: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

9

No Topik Informan

Tokoh masyarakat/agama 5 Ketersediaan, keterjangkauan, dan akses untuk

mendapatkan alat kontrasepsi Perempuan usia subur Suami Tenaga kesehatan Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya Tokoh masyarakat/agama

6 Kebijakan KB di daerah tersebut, kerja sama lintas institusi dan sektor terkait program KB, ketersediaan dan keterjangkauan metode kontrasepsi, promosi program KB dan MKJP, sumber pendanaan program KB, SDM yang ada, pelatihan bagi SDM yang ada, pemantauan dan evaluasi.

Tenaga kesehatan Pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya Tokoh masyarakat/agama

G. Data Analisis

Semua hasil diskusi kelompok terarah atau Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam direkam audio dan kemudian ditranskrip oleh petugas lapangan. Wawancara dan FGD yang dilakukan dalam bahasa daerah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Analisis isi dan tematik dilakukan untuk mengidentifikasi tema yang muncul dari transkrip tersebut. Analisis dilakukan secara terpisah untuk setiap provinsi dan kabupaten. Identifikasi tema mengacu kepada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.

Secara umum analisis data yang terkumpul dilakukan dalam beberapa tahapan. Pertama, konseptualisasi informasi yang terkumpul dan identifikasi hasilke dalam beberapa area utama seperti cakupan program KB dan permasalahannya, manajemen program KB, pendapat masyarakat terhadap KB, serta pembelajaran yang diperoleh dari desa MKJP tinggi dan rendah. Proses ini berguna untuk mempermudah analisis selanjutnya ke dalam tema yang teridentifikasi. Kemudian dilakukan penilaian kritis terhadap kondisi program termasuk kekuatan, kelemahan, hambatan, area yang perlu ditingkatkan, dan faktor-faktor yang berhubungan sertaberguna agar dapat diajukan sebagai saran nyata. Selanjutnya, kutipan teks dari transkrip yang relevan diletakkan dibawah tema yang diidentifikasi.

Selain itu, untuk meningkatkan kevalidan data, hasil wawancara mendalam dan FGD dianalisis dengan menggunakan:

1. Triangulasi sumber, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai sumber penelitian.

2. Triangulasi metode, yakni membandingkan konsistensi hasil yang diperoleh dari berbagai metode pengumpulan data.

3. Triangulasi teori, yakni membandingkan hasil yang diperoleh dengan teori yang ada.

H. Etik Perizinan etik untuk penilitian ini diperoleh dari Komite Etik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Izin penelitian juga diperoleh dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri, Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat

Page 22: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

10

dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. Perizinan pelaksanaan studi juga diperoleh dari tingkat desa dan kecamatan. Dalam pengambilan data, fasilitator FGD dan pewawancara lebih dahulu menjelaskan protokol penelitian kepada informan/peserta FGD. Selain itu, informan dan peserta FGD yang terlibat juga telah mengerti bahwa informasi yang diberikan dalam penelitian ini bersifat rahasia. Untuk itu, informan dan peserta FGD yang terlibat diminta menandatangi informed consent sebelum wawancara mendalam atau FGD dilaksanakan. Informed consent ini berfungsi sebagai bukti kebersediaan informan dan peserta FGD untuk terlibat dalam peneitian serta kebersediaan informan dan peserta FGD bahwa proses wawancara mendalam atau FGD direkam secara audio.

Page 23: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

11

3. KARAKTERISTIK SOSIAL DEMOGRAFI DAERAH STUDI

3.1 Provinsi Jawa Timur A. Provinsi

Provinsi Jawa Timur terletak di bagian timur Pulau Jawa dan berbatasan dengan Pulau Kalimantan, Pulau Bali, perairan terbuka Samudera Indonesia dan Provinsi Jawa Tengah (Gambar 3.1). Provinsi Jawa Timur dari permukaan laut terbagi menjadi tiga bagian dimana sebagian besar (20 kabupaten/kota) terletak di daratan rendah (< 45 meter) dan sisanya tersebar di dataran tinggi dan sedang. Dari sudut kepulauannya, Provinsi Jawa Timur terbagi atas dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan dan Pulau Madura dengan luas wilayah 47.281 km2. Provinsi ini terbagi atas 29 kabupaten dan sembilan kota, dengan 658 kecamatan dan 8.497 desa/kelurahan.

Gambar 3.5 Wilayah administratif Provinsi Jawa Timur

Jumlah penduduk di Jawa Timur sebanyak 37.476.757 jiwa (BPS, 2010) dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,76. Perbandingan urban dan rural adalah 47,6% tinggal di perkotaan dan sisanya di perdesaan. Di bawah ini (Gambar 3.2) adalah gambaran dari piramida penduduk di Jawa Timur, yang menggambarkan jumlah penduduk usia anak-anak masih cukup tinggi. Seks rasio di Jawa Timur adalah 98 yang berarti terdapat 98 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Median umur penduduk Provinsi Jawa Timur tahun 2010 adalah 31,03 tahun atau tergolong dalam kategori tua dengan rasio ketergantungan penduduk: 46,33. Dengan kata lain, setiap 100 orang usia produktif terdapat sekitar 46 orang usia tidak produkif, yang menunjukkan banyaknya beban tanggungan penduduk suatu wilayah.

Page 24: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

12

Gambar 3.6 Piramida penduduk Provinsi Jawa Timur

Rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki di Jawa Timur adalah 26,6 tahun dan perempuan lebih muda empat tahun yakni 22 tahun. Di atas kertas, angka ini sudah menunjukkan tercapainya anjuran Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk menunda perkawinan hingga usia 25 tahun bagi laki-laki dan 20 tahun bagi perempuan. B. Kabupaten Tuban

Pada bulan Agustus 2005, Kabupaten Tuban mengalami pemekaran kecamatan dari 19 menjadi 20 . Jumlah penduduk Kabupaten Tuban pada tahun 2011 adalah 1.258.816; dengan komposisi laki-laki 630.576 jiwa dan perempuan berjumlah 628.240 jiwa. Kepadatan penduduk Kabupaten Tuban meningkat dibandingkan tahun lalu. Kepadatan penduduk tahun 2011 adalah 684 jiwa/km2. Kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Tuban dengan kepadatan 4.297 jiwa/km2 (Kabupaten Tuban Dalam Angka Tahun 2011, BPS Kabupaten Tuban).

C. Kabupaten Lumajang

Kabupaten Lumajang memiliki 21 kecamatan yang meliputi 197 desa dan tujuh kelurahan. Jumlah total penduduk di Kabupaten Lumajang adalah 1.006.563 jiwa dengan kepadatan penduduk 567 jiwa/km². Jumlah penduduk pria adalah 490.490 jiwa dan penduduk wanita berjumlah 516.073 jiwa. D. Kabupaten Kediri

Pada tahun 2011, Kabupaten Kediri memiliki 26 kecamatan, 343 desa, dan satu kelurahan (Sumber: Kabupaten Kediri dalam Angka, 2012). Berdasarkan hasil sensus penduduktahun 2000, Proyeksi Penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur menyatakan jumlah penduduk Kabupaten Kediri sebesar 1.546.782 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 771.675 jiwa dan perempuan sebanyak 775.107 jiwa.

Page 25: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

13

3.2 Provinsi Nusa Tenggara Barat A. Provinsi

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki perbatasan di sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Samudera Hindia, sebelah timur dengan Selat Sepadan dan sebelah barat dengan Selat Lombok. NTB terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Secara total NTB memiliki luas wilayah 20.153,15 km2 dengan delapan kabupaten, dua kota, dan 116 kecamatan serta 1.110 desa.

Gambar 3.7 Provinsi Nusa Tenggara Barat

NTB memiliki jumlah penduduk sebesar 4,5 juta jiwa (Profil NTB 2010) dengan tingkat kepadatan penduduk 225 kilometer persegi. Jumlah penduduk usia produktif sebanyak 2,99 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah angkatan kerja berjumlah 2,03 juta jiwa dan yang bukan angkatan kerja sebanyak 968.64 ribu jiwa.

Gambar 3.8 Piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat

Jumlah penduduk miskin NTB pada tahun 2007 sebanyak 25% yang tersebar merata baik di perkotaan maupun pedesaan. Pada tahun 2010 NTB tercatat sebagai provinsi dengan IPM kedua terendah setelah Papua dengan laju pertumbuhan penduduk (2000-2010) sebesar 1,17. Gambaran piramida penduduk di provinsi NTB yang menggambarkan rata-rata usia penduduk berusia 25,4 tahun dapat dilihat di Gambar 3.4 (Sensus, 2010). Angka ini menunjukkan bahwa

Page 26: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

14

penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk kategori menengah (median antara 20-30 tahun). Rasio ketergantungan penduduk NTB adalah 55,5 atau untuk setiap 100 orang usia produktif (15-64 tahun) terdapat sekitar 56 orang usia tidak produkif (dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun). Hal ini menunjukkan beban tanggungan penduduk suatu wilayah. Sementara rasio ketergantungan di daerah perkotaan adalah 51,5 dibandingkan dengan daerah perdesaan 58,5. Perkiraan rata-rata umur kawin pertama penduduk laki-laki sebesar 24,8 tahun dan perempuan 22,1 tahun. Di atas kertas tampak bahwa anjuran dari BKKBN untuk usia menikah laki-laki 25 tahun dan perempuan 20 tahun tampaknya telah tercapai. Seks rasio di NTB adalah 94, berarti terdapat 94 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Seks rasio menurut kabupaten/kota yang terendah adalah Kabupaten Lombok Timur sebesar 87 dan tertinggi adalah Kabupaten Sumbawa sebesar 104. B. Kabupaten Lombok Barat

Presentase wanita berstatus kawin usia 15-49 tahun yang menggunakan alat kontrasepsi KB di Indonesia (KB aktif) adalah sebesar 64,2%. Angka ini di atas angka nasional 61,9% (SDKI 2007 dan 2012 dalam Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2012). Kabupaten Lombok Barat saat ini memiliki 10 kecamatan, 88 desa, dan 657 dusun. C. Kabupaten Lombok Timur

Kabupaten Lombok Timur terdiri dari 20 kecamatan. Pada tahun 2010, jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Lombok Timur tercatat sebanyak 215 desa/kelurahan, sedangkan pada bulan Desember 2011 jumlah desa/kelurahan dimekarkan menjadi 252. Satuan pemerintahan di bawah desa yakni dusun/lingkungan tercatat berjumlah sekitar 1.271 pada akhir tahun. Berdasarkan buku Penduduk Lombok Timur Dalam Angka 2011, jumlah penduduk Kabupaten Lombok Timur tahun 2011 sekitar 1.116.745 jiwa. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sekitar 1,01% jika dibandingkan jumlah penduduk tahun 2010. Apabila dirinci menurut jenis kelamin, penduduk Lombok Timur tahun 2011 terdiri dari 519.898 laki-laki dan 596.847 perempuan. Dengan demikian, rasio jenis kelamin penduduk Lombok Timur sebesar 87,11 artinya terdapat 87 laki-laki setiap 100 penduduk perempuan. Sementara itu perkembangan tingkat kepadatan penduduk juga mengalami perubahan dimana pada tahun 2005 Kabupaten Lombok Timur tercatat memiliki 644 jiwa/km2 dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 689 jiwa/km2. Jumlah ini terus meningkat dimana pada tahun 2011 tingkat kepadatan penduduk tercatat menjadi 696 jiwa/km2. Hal ini menunjukkan ketersediaan ruang bagi penduduk di Kabupaten Lombok Timur semakin terbatas. D. Kabupaten Sumbawa

Penduduk Kabupaten Sumbawa pada tahun 2011 berjumlah sekitar 419.989 jiwa, terdiri dari 214.387 laki-laki dan 205.602 perempuan dengan sex rasio 104. Bila jumlah penduduk dibandingkan dengan luas wilayah Kabupaten Sumbawa yakni 6.643,98 km2, maka setiap km2 dihuni oleh 63 jiwa. Ini memperlihatkan penduduk Kabupaten Sumbawa masih jarang. Jika dilihat keadaan masing-masing kecamatan, maka kecamatan Sumbawa merupakan yang

Page 27: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

15

terpadat yaitu sebesar 1.269 jiwa/km2, diikuti Kecamatan Alas dan Unter Iwes dengan masing-masing sebesar 231 dan 223 jiwa/km2. Sumbawa mempunyai beberapa wilayah remote dan pulau-pulau kecil yang didiami oleh beberapa etnis yang berbeda, etnis terbesar adalah suku Sumbawa, dan pendatang dari Lombok, Bali serta Jawa.

Kabupaten Sumbawa cukup berhasil melakukan pengendalian laju pertumbuhan penduduk, hal ini terbukti dengan hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 (SP-2010) yang menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa sebanyak 415.789 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 0,94 % (LLP 2000-2010).

Page 28: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

16

4. TEMUAN DI PROVINSI JAWA TIMUR DAN KABUPATEN TUBAN

4.1 Provinsi Jawa Timur

A. Pendahuluan

A.1. Cakupan program Keluarga Berencana (KB) dan permasalahannya di Provinsi Jawa

Timur

Semua dinas terkait di tingkat provinsi menganggap bahwa Keluarga Berencana (KB) adalah sesuatu yang penting untuk ditingkatkan. Dinas Kesehatan (Dinkes) menganggap bahwa KB penting karena sejalan dengan tugas utamanya dalam mencapai Millenium Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan angka kematian ibu. Jika tidak ada ibu yang hamil, maka tidak akan ada persalinan, jika tidak ada persalinan maka tidak ada kematian ibu atau bayi. Hal ini didukung oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) yang percaya bahwa untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, Dinkes harus bermain di hulu yaitu KB dan jangan berkutat di hilir saja atau hanya memperhatikan Angka Kematian Ibu dan Bayi saja. Peserta KB aktif 59,4% atau berada di atas rata-rata peserta KB aktif di Indonesia (57,9%) Jawa Timur memang menempati ranking ke 14 dari 33 provinsi (Pusat Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan RI, 2012). Tabel 4.5 Indikator pencapaian dan target Provinsi Jawa Timur

Indikator

Capaian Jawa Timur Capaian Nasional

Target MDGs

Sensus Penduduk

(2010) SDKI 2012 Susenas

(2010)

Tingkat Pertumbuhan Penduduk 0,76 0,49 1,49

(SP, 2010) 1,1

Total Fertility Rate (TFR) 2,3 2,6 (SDKI, 2012,

hasil sementara)

2,1

Contraception Prevalence Rate (CPR)

62,4% 57,9 (SDKI, 2012,

hasil sementara)

65%

Age Specific Fertility Rate (ASFR) untuk 15-19 tahun

50/1000 (Gabungan

Susenas, 2003-2005)

48/1000 (SDKI, 2012,

hasil sementara)

30/1000 perempuan

Unmet need 6,7% 11,4% (SDKI, 2012,

hasil sementara)

5%

Rata-rata umur pertama menikah

Laki-laki: 26,6

Perempuan: 22,0

Perempuan: 19

Perempuan: 19 tahun

21 tahun

Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pencapaian Provinsi Jawa Timur selalu lebih baik dari rata-rata nasional (Tabel 4.1). Dalam data/informasi kesehatan untuk Provinsi Jawa Timur, Pusat Data Kesehatan Kementrian Kesehatan dengan menggunakan data Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, mengeluarkan angka peserta KB aktif 59,4%, sementara rata-rata

Page 29: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

17

untuk Indonesia 55,8% (Pusat Data dan Informasi, Kementrian Kesehatan RI, 2010). Namun demikian, jika dikaitkan dengan target MDGs, maka beberapa indikator perlu diperbaiki seperti misalnya Total Fertility Rate (TFR) dan unmet need. Dari wawancara yang dilakukan, ditemukan angka-angka terkait KB berbeda-bedadari sumber yang berbeda misalnya dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan dari Dinkes, maupun dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI). Di lapangan, adanya angka yang berbeda ini membawa kerancuan, mana yang harus dijadikan acuan? Hal ini juga menimbulkan tanda tanya, mengapa angka akseptor KB baru naik terus, namun angka TFR dari 2,1 naik menjadi 2,3. Dari diskusi ditemukan bahwa ternyata terdapat perbedaan definisi operasional dan cara perhitungan akseptor baru di lapangan. Perbedaan definisi operasional di lapangan terjadi karena adanya perbedaan target. Pencapaian akseptor baru bagi BKKBN terkait dengan dana pelayanan dan pembelian kontrasepsi, sedangkan pencapaian akseptor baru bagi Dinkes tidak terkait dengan hal tersebut. Dengan demikian akseptor baru bagi BKKBN adalah siapa saja yang menggunakan alat kontrasepsi termasuk akseptor yang berganti alat, sementara Dinkes tidak menganggap pergantian KB sebagai peserta baru. Dalam hal perhitungan, terdapat perbedaan rumus perhitungan untuk akseptor baru:

• Dinkes: (Jumlah peserta KB baru/jumlah PUS) X 100% • BKKBN: (Jumlah peserta KB baru/Perkiraan Permintaan Masyarakat) X 100%

Kedua hal ini menyebabkan perbedaan angka akseptor baru dari Dinkes maupun dari unit KB di tingkat kabupaten/kota. Menurunkan angka unmet need hingga 7% merupakan salah satu target dari BKKBN di Jawa Timur. Namun dalam kenyataannya, angka ini masih berkisar pada 12,2%, menurun sedikit namun signifikan (12,4% untuk tahun yang lalu). Dengan kata lain, masih ada 900.000 Pasangan Usia Subur (PUS) yang belum menggunakan KB walaupun mereka sudah tidak ingin punya anak lagi atau mereka ingin menunda anak. Menurut Dinkes, sebagian perempuan masih menggunakan KB alamiah karena takut atau tidak diijinkan suami. Fenomena ini banyak terjadi pada kelompok miskin dan kurang berpendidikan. Namun ada kecenderungan saat ini, kelompok berpendidikan juga tidak menggunakan alat KB karena alasan keyakinan agama. BPPKB sebagai bagian dari aparat pemerintah daerah mencoba membuat peraturan daerah untuk menurunkan unmet need, namun belum selesai karena banyaknya kegiatan lain yang lebih diprioritaskan. A.2. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (non-MKJP)

Gambaran pemilihan alat kontrasepsi di Jawa Timur juga masih menunjukkan tingginya pemilihan alat kontrasepsi jangka pendek, dimana laporan SDKI 2012 menunjukan bahwa suntik (34,7%) dan pil (14,7%) merupakan yang tertinggi. Suntik menjadi alat kontrasepsi yang paling diminati masyarakat walaupun keluhan efek samping seperti menjadi gemuk, kurus, bercak-bercak, dsb.sering terdengar di masyarakat. Banyaknya efek samping ini sering menimbulkan rumor terkait non-MKJP dimana alat kontrasepsinon-MKJP mengandung hormon yang berkaitan dengan timbulnya efek samping tersebut. Namun demikian, BKKBN mengakui kecenderungan penggunaan MKJP seperti implan, Intra Uterine Device (IUD), Metode Operasi Wanita (MOW) dan Metode Operasi Pria (MOP) dalam tiga tahun terakhir mulai meningkat. Hal ini didorong dengan seringnya diadakan pelayanan serentak, dimana ditargetkan tujuh kali pelayanan serentak diadakan selama seminggu berturut-turut dalam setahun. Prioritas dari pelayanan serentak ini adalah pelayanan MKJP dan memperkuat Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tentang MKJP.

Page 30: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

18

B. Manajemen Program Keluarga Berencana B.1. Kebijakan dan alokasi anggaran

Pemerintah Jawa Timur menganggap KB sebagai hal yang penting mengingat jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur adalah yang terbanyak kedua setelah Provinsi Jawa Barat.Oleh karena itu, pemerintah daerah membentuk satuan kerja perangkat daerah yang baru yaitu BPPKB di tingkat provinsi. Anggaran untuk unit ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi,dana yang dialokasikan memang bukan hanya dipergunakan untuk KB, melainkan untuk pemberdayaan perempuan juga. Tahun ini anggaran yang disediakan sebesar Rp.2 Milyar. Anggaran ini sangatlah kecil jika dibandingkan dengan anggaran BKKBN Provinsi Jawa Timur yang mencapai sekitar Rp.38 Milyar. Karena itu diharapkan BPPKB tidak mengulangi kegiatan yang sudah ada anggaraannya dari BKKBN, namun mengisi kegiatan yang tidak teranggarkan. Anggaran di Dinkes tahun 2012 sebesar Rp.71 Milyar dengan penyerapan 62%. Anggaran Dinkes difokuskan untuk mencapai MDGs, terutama untuk menurunkan angka kematian ibu (sekitar 60%), untuk menangani masalah kesehatan remaja (30%) dan untuk Kesehatan Reproduksi dan KB yang hanya sekitar 10%. Hal ini memang terkait dengan tugas pokok dan fungsi dari Dinkes. Dalam kegiatan KB, Dinkes menangani disisi supply, yakni menyediakan provider pelayanan KB, sementara pengadaan alat kontrasepsi dan jalur distribusinya ditangani oleh BKKBN. Dengan kondisi seperti ini, Dinkes menjadi kesulitan untuk berperan dalam meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan. Dengan kebijakan desentralisasi, program dari pusat yang turun ke provinsi, akan terputus jika tidak ada dana. Hal ini karena belum tentu pemerintah daerah di tingkat kabupaten memprioritaskan program tersebut. Karena itu ketika provinsi mengadakan pelatihan untuk petugas tekait di kabupaten, hal ini tidak diteruskan di tingkat kabupaten karena tidak adanya dana. Selain itu, pola segitiga terbalik, dimana di tingkat pusat dan provinsi tenaganya lebih banyak di bandingkan di tingkat kabupaten, membuat tenaga di tingkat kabupaten yang sama yang mendapatkan pelatihan dari berbagai program terkait. Belum lagi di tingkat lapangan, terutama bidan di desa, mereka terbebani banyak pekerjaan dari berbagai program walaupun pelaksana program-program ini adalah orang-orang yang sama. Mekanisme pengusulan anggaran sama seperti provinsi lainnya dimana anggaran diperjuangkan berdasarkan musyawarah perencanaan dan pembangunan. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait kemudian mengkompilasi dan mengusulkannya rencana dan anggarannya ketingkat provinsi. Untuk menggeser anggaran alat kontrasepsi di tingkat pusat agak sulit karena anggaran disusun berdasarkan permintaan yang banyak di masyarakat sehingga sulit untuk diubah. Pendapat lain mengatakan bahwa permintaan ini adalah provider driven, dengan kata lain, provider kesehatanlah yang mengarahkan masyarakat untuk memiliki jenis alat kontrasepsi tertentu, sehingga sebenarnya permintaan ini dapat digeser. Namun dalam kenyataan di lapangan jika tidak sesuai permintaan maka akan terjadi overstock karena masyarakat tidak menyukainya. B.2. Kebijakan KB dalam asuransi kesehatan

KB akhirnya sudah masuk dalam Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), namun yang ditanggung oleh jaminan kesehatan daerah terbatas pada pelayanannya saja. Permasalahan yang muncul adalah siapa yang menanggung alat kontrasepsi sementara alat kontrasepsi dari BKKBN hanya mencukupi kelompok masyarakat miskin saja. BKKBN hanya menyediakan kurang lebih satu juta kontrasepsi, namun sebenarnya estimasi termasuk peserta KB baru dan

Page 31: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

19

akseptor lama diperkirakan berjumlah Rp.4,3 juta. Siapa yang menanggung sisanya? Situasi ini dapat meningkatkan unmet need. Persoalan lain timbul dari kurang baiknya sosialisasi tentang program jaminan kesehatan. Dengan kebijakan satu pintu maka semua dana harus masuk ke kas kabupaten terlebih dahulu, baru kemudian disalurkan ke SKPD setelah adanya klaim dari tingkat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tentang pelayanan KB yang diberikan. Berdasarkan klaim inilah kemudian pemerintah mereimburse biaya pelayanan yang telah dikerjakan provider kesehatan. Mekanisme ini tampaknya belum diketahui oleh kepala dinas di tingkat kabupaten, sehingga klaim terlambat dirimkan. Untuk provider pemerintah daerah seperti bidan desa, klaim mereka tidak dapat dibayarkan penuh karena semua obat sudah disediakan di Puskemas. Hal ini menjadikan insentif bagi pelayanan KB menjadi kecil. Sementara, untuk bidan swasta, klaim mereka dapat dibayarkan penuh karena obat-obatan dibeli sendiri, sementara bidan di desa harus dipotong dengan obat-obatan yang sudah disediakan. Namun demikian sekarang Dana Alokasi Khusus (DAK) sudah menanggung obat-obatannya. B.3. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

Sesuai dengan peraturan yang ada, pengadaan alat kontrasepsi dilakukan oleh BKKBN Pusat. BKKBN Provinsi tidak boleh mengadakan pembelian alat kontrasepsi sendiri.

Mekanisme pengadaan dan peruntukan

Alat kontrasepsi jenis pil dan kondom yang diberikan dari pusat dapat didistribusikan untuk semua orang. Namun demikian, alat kontrasepsiimplan, IUD dan suntik hanya diberikan untuk masyarakat yang tergolong miskin yaitu golongan KS I dan pra KS1. Demikian juga bagi pemegang kartu RTSM (Rumah Tangga Sangat Miskin) dan Jamkesmas/Jamkesda gratis untuk semua alat kontrasepsi termasuk jasa pelayanannya. Skema bantuan KB yang dikaitkan dengan persalinan adalah Jampersal (Jaminan Persalinan) KB pasca persalinan. Dalam hal ini, ibu yang baru melahirkan akan mendapatkan pelayanan KB gratis terutama untuk pemasangan IUD atau MOW sampai dengan 42 hari setelah persalinan. Skema ini tampaknya belum optimal digunakan oleh masyarakat karena ditemukan baru sekitar 39% menggunakan skema tersebut. Kecukupan alat kontrasepsi

Secara umum stok alat kontrasepsi terkendali karena ada tim penjamin ketersediaan alat kontrasepsi yang memantau stok alat kontrasepsi untuk jangka waktu ketersediaan tiga bulan ke depan. Namun, tahun lalu pernah terjadi kekurangan alat kontrasepsi karena sistem pelaporan yang kurang akurat.Setelah sistem pelaporan diperbaiki kekurangan alat kontrasepsi tidak pernah terjadi lagi.

Untuk acara-acara khusus seperti momentum KB seperti hari ulang tahun instansi tertentu atau perayaan lainnya, kabupaten akan mengajukan permohonan tambahan alat kontrasepsi pada BKKBN Provinsi dan mengambil sendiri stok tersebut. Yang kerap terjadi adalah kekurangan stok implan. Alat kontrasepsi implan ternyata mulai diminati masyarakat di Provinsi Jawa Timur.

Setiap bulan unit KB tingkat kabupaten mendapatkan informasi dari Puskesmas desa dan koordinator PLKB tentang stok KB yang ada. Kemudian unit KB tingkat kabupaten mengisi form evaluasi F5 dan melaporkannya ke tingkat provinsi.

Pelaporan stok alat kontrasepsi

Page 32: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

20

Dari BKKBN Pusat, alat kontrasepsi langsung didistribusikan ke BKKBN Provinsi. Dalam hal ini Dinkes Provinsi sama sekali tidak terlibat dalam pendistribusian alat kontrasepsi. Namun pemeriksa keuangan sering kali datang dan menanyakan tentang pengadaan dan pendistribusian alat kontrasepsi. Bagi Dinkes, hal ini tidak begitu nyaman karena yang melayani pemasangan KB adalah petugas kesehatan di bawah kendali Dinkes. Dinkes pernah menyarankan agar alat kontrasepsi dititipkan di gudang obat Dinkes, namun usulan ini ditolak karena dianggap hanya memperlambat pendistribusian alat kontrasepsi

Distribusi alat kontrasepsi

Dari BKKBN Provinsi alat kontrasepsi kemudian didistribusikan ke unit KB tingkat kabupaten yang kemudian mendistribusikannya ke seluruh Puskesmas dan rumah sakit di tingkat kabupatenseperti Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, RS/Klinik Polres dsb.Puskesmas lalu mendistribusikan alat kontrasepsi ke bidan di desa dan ke klinik swasta yang berada di wilayahnya.Untuk mendistribusikan ke tingkat desa, Puskesmas sering dibantu oleh PLKB. B.4. Pelayanan KB dan pembiayaanya

Secara umum ada tiga tingkat pelayanan KB. Tingkat yang paling dasar adalah Pondok Bersalin Desa (Polindes), dimana poli ini hanya dapat melayani KB sederhana seperti suntik. Tingkat yang lebih tinggi adalah Puskesmas, dimana klinik ini dapat melayani pemasangan IUD dan implan. Tingkat yang lebih tinggi lagi adalah Rumas Sakit, dimana pelayanan KB yang kompleks seperti MOP dan MOW hanya dapat dilaksanakan di rumah sakit.

Unit Pelayanan KB

Dalam studi ini peneliti mengunjungi salah satu RS swasta.Bulan Maret 2013, RS swasta ini melayani 87 pasien KB dengan rincian 60% suntik, 11% pil dan sisanya memilih MKJP. Rata-rata pasiennya adalah pasangan muda karena pendidikan mereka relatif lebih tinggi. Dengan demikian kesadaran mereka untuk ber-KB lebih baik dibanding dengan angkatan orang tua mereka.

Ada dua komponen biaya untuk pelayanan KB, yaitu biaya alat kontrasepsi dan bahan habis pakai lain serta biaya untuk pelayanan atau tindakan.

Pembiayaan

Untuk alat kontrasepsi jangka pendek seperti pil, pasien hanya membayar biaya pendaftaran karena alat kontrasepsi sudah dibiayai oleh BKKBN. Namun demikian, jika diperlukan obat tertentu untuk mengatasi efek samping maka pasien harus membayar sendiri obat tersebut. Sebagai contoh, di klinik tersebut biaya untuk suntik KB berkisar antara Rp.6.000,- hingga Rp.16.000,-. Untuk Metode Kontrasepsi Jangka Pendek (non-MKJP), pasien membayar biaya registrasi, konsultasi, pelayanan medis dan bahan habis pakai. Alat kontrasepsinya sendiri ditanggung oleh BKKBN. Namun jika pasien tidak ingin menggunakan alat kontrasepsi yang disediakan BKKBN maka pasien harus membayar sendiri alat kontrasepsi yang diinginkan. Sebagai contoh biaya pemasangan IUD di klinik tersebut berkisar antara Rp.150.000,- hingga Rp.300.000,-. Klinik swasta tidak menerima pasien Jamkesda/Jamkesmas. Klinik tersebut hanya menerima pasien yang kebanyakan bekerja di pabrik dan telah memiliki asuransi dari tempatnya bekerja.

Page 33: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

21

B.5. Sumber daya manusia

Dinkes Jawa timur memiliki kurang lebih 5000 bidan yang tersebar di 956 Puskesmas. Dalam kenyataannya memang bidanlah yang lebih banyak memberikan pelayanan KB dari pada dokter. Hanya sepertiga dokter yang tertarik untuk memberikan pelayanan KB.

Jumlah tenaga terkait program KB

Sementara di BKKBN Provinsi, jumlah Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) sangat berkurang setelah kebijakan desentralisasidiberlakukan. Hal ini disebabkan karena pihak kabuptenlah yang harus menanggung tenaga PLKB. Pemerintah pusat hanya menanggung tenaga BKKBN di tingkat provinsi. Saat ini 1 PLKB memegang kurang lebih 4 desa. Pemerintah tingkat kabupaten sendiri sudah membentuk sub Petugas Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD) di setiap dusun, namun supervisi dari PLKB masih dibutuhkan karena kompetensi PPKBD tidak sekuat PLKB. Salah satu unit di tingkat provinsi yang menangani KB adalah Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB).Unit ini baru dibentuk sekitar tahun 2009. Tenaga yang ada hanya 13 orang dan tujuh diantaranya bekerja khusus untuk seksi KB. Namun demikian, unit ini mempunyai perpanjangan tangan di kabupaten.

Untuk pelatihan BKKBN Provinsi memiliki anggaran pelatihan CTU (Contraceptive Technology Update) untuk 5000 bidan dan dokter dengan perbandingan 7:3 karena yang banyak melayani KB adalah bidan. Selain pelatihan CTU, BKKBN juga memiliki anggaran untuk pelatihan bagi penyuluh agama Islam (Penais). Saat ini di setiap kabupaten ada empat orang Penais yang telah dilatih.Sudah ada empat angkatan Penais yang dilatih tentang pengetahuan KB sehingga diharapkan mereka dapat ikut memotivasi masyarakat untuk ber-KB.

Pelatihan

Dinkes sendiri memiliki anggaran untuk 20 kali pelatihan. Dari sekitar 5000 bidan baru, setengahnya telah terlatih untuk melakukan KB pasca nifas. Demikian juga dengan IUD kit dimana baru setengah bidan yang memilikinya. Koordinasi antara BKKBN dan Dinkes dalam hal pelatihan masih lemah karena BKKBN langsung bekerja sama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinis (JNPK) dan Pusat Pelatihan Klinik Tertier (P2KT) tanpa melibatkan Dinkes sementara bidan yang akan dilatih berada dalam koordinasi Dinkes. Dinkes merasa tidak pernah mendapatkan laporan jumlah bidan/dokter yang sudah dilatih. Ikatan Bidan Indonesia

IBI merupakan kelompok profesi yang menaungi para bidan.IBI melakukan pembinaan di cabang-cabangnya bagi para bidan dan memberikan orientasi pada mahasiswa baru tentang etika bidan. Pelatihan yang dilakukan IBI utamanya bertujuan untuk meningkatkan keterampilan bidan dalam hal manajemen bagi bidan praktek swasta atau disebut sebagai bidan delima. Hal ini untuk menjembatani kurang terlatihnya Bidan Praktek Swasta (BPS), sementara untuk bidan yang bekerja pada pemerintah seperti bidan di desa sering mendapatkan pelatihan-pelatihan.

(IBI)

Setiap bulan IBI mengundang BPS secara bergantian untuk mendapatkan pelatihan. Sebagai tenaga profesional, bidan yang baru lulus harus lolos uji kompetensi yang difasilitasi oleh Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP). Dalam hal ini, soal-soal dibuat oleh IBI dan dikoreksi oleh MTKP. IBI juga turun ke daerah untuk menjelaskan uji kompetensi ini dengan mengumpulkan para calon bidan di institusi-institusi pendidikannya. Siswa yang tidak lulus uji kompetensi dilatih lagi oleh IBI agar dapat mengikuti ujian berikutnya.

Page 34: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

22

Walaupun terdapat Keputusan Mentri tentang kewenangan bidan, kewenangan bidan dalam melakukan pelayanan KB di Provinsi Jawa Timur masih beragam antar kabupaten. Bidan praktek di Kabupaten Tuban tidak diperkenankan memberikan pelayanan IUD dan implan. Pelayanan kedua jenis alat kontrasepsi tersebut harus dilakukan di Puskesmas atau RS. Di Kabupaten Lumajang belum jelas kewenangan bidan untuk melakukan praktek pemasangan IUD dan implan di rumah atau di klinik pribadi. Di Kabupaten Kediri pelayanan KB termasuk MKJP masih dilakukan bidan praktek swasta di klinik masing-masing.

Kewenangan untuk memberikan pelayanan KB

B.6. Kerjasama antar instansi

Di tingkat provinsi, ada tiga institusi yang bekerja untuk program KB dengan pembagian tugas masing-masing.

Instansi pemerintah terkait KB

BBKBN Provinsi

BKKBN Provinsi bekerja di sisi permintaan (demand side), yaitu dengan mengkoordinir dan menggerakkan masyarakat. PLKB memotivasi dan menggerakkan masyarakat agar ikut ber-KB. BKKBN juga memiliki anggaran untuk melakukan pelatihan bagi petugas kesehatan yang melayani KB. Dinas Kesehatan (Dinkes)

Dinas Kesehatan (Dinkes) bekerja pada sisi penyediaan (supply side) dalam hal ini menyediakan tenaga untuk melayani KB. Hal yang membuat ganjalan bagi Dinkes adalah sering tidak dilibatkannya Dinkes dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pelatihan. Dinkes mengaku bahkan tidak dilibatkan dalam pendistribusian alat kontrasepsi.Namun, yang mengherankan adalah Dinkes diminta untuk menjadi leading sektor dalam penjaminan mutu pelayanan KB. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

Unit ini didirikan sejak sejak tahun 2009. KB hanya merupakan sebagian dari pekerjaan mereka selain pemberdayaan perempuan. Pembagian kerjanya adalah unit ini mengerjakan aktivitas yang tidak mendapatkan pendanaan dari BKKBN Provinsi. Karena tenaga yang sedikit dan anggaran yang tidak besar, unit ini belum banyak berperan walaupun unit ini memiliki perpanjangan tangan di tingkat kabupaten.

Pembagian antara sektor swasta dan bukan, sering kali menjadi rancu karena sebagian besar bidan di desa atau bidan Puskesmas juga membuka praktek mandiri pada sore hari. Namun bidan-bidan ini juga harus terdaftar jika akan mengklaim Jampersal.

Peran sektor swasta

Klinik swasta juga menerima alat kontrasepsi yang dapat digunakan untuk klien yang memiliki asuransi swasta untuk karyawan pabrik. Hal ini karena kondom dan suntik diperuntukan bagi semua lapisan masyarakat. Klinik yang memperoleh alat kontrasepsi juga harus melaporkan pelayanan yang diberikan ke masyarakat.

B.7. Menciptakan kebutuhan

Menciptakan kebutuhan di masyarakat memerlukan promosi program KB. Dalam hal ini, BKKBN memiliki anggaran untuk promosi KB walaupan jumlahnya tidak besar. Contoh kegiatan

Page 35: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

23

yang dilakukan untuk mempromosikan KB adalah acara di TV. Salah satu promosi yang dilakukan karena dana yang terbatas diantaranya pengecetan genteng (gentengisasi) rumah-rumah masyarakat. Banyaknya rumah yang di cat untuk promosi KB membuat BKKBN Provinsi Jawa timur mendapat penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI). Bentuk promosi lain selain gentengisasi adalah penggambaran mobil, becak, bus dan angkot. BKKBN mengandalkan momentum KB untuk meningkatkan minat ber-KB di masyarakat. Hal ini terutama untuk mendongkrak penggunaan MKJP. Momentum ini pernah mendapatkan MURI untuk pemasangan alat kontrasepsi terbanyak, dimana tenaganya dikerahkan dari IBI.

Untuk meningkatkan MKJP terutama untuk Metode Operasi Wanita (MOW) dan Metode Operasi Pria (MOP), disediakan dana pengayoman. Akseptor yang bersedia melakukan operasi KB akan diberi kompensasi untuk hilangnya waktu kerja mereka sebesar Rp.150,000 baik untuk MOW maupun MOP. Untuk Dinkes, dana untuk promosi kesehatan juga sangat terbatas. Dana tersebut dipergunakan untuk Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti mencuci tangan dan lain-lainnya, namun difokuskan untuk KB karena dianggap bahwa program Komunikasi Informasi dan Edukasinya diselenggarakan oleh BKKBN. Namun demikian promosi KB dapat dilakukan dengan menumpang pada kegiatan lain seperti Komda lanjut usia (lansia). Dalam program ini para lansia menjadi Kakek Nenek Asuh yang menjadi pembimbing bagi keluarga muda. Dalam hal ini, pesan KB dapat dititipkan pada mereka untuk disampaikan pada pasangan muda yang diasuhnya. Berbeda dengan BKKBN, Dinkes tidak menyukai momentum KB sebagai cara mempromosikan KB. Hal ini disebabkan target yang ditetapkan untuk momentum KB terlalu besar dan tidak seimbang dengan tenaga yang disediakan sehingga kualitas pelayanannyadipertanyakan. Jika terjadi komplikasi, yang harus bertanggung jawab adalah Dinkes, sementara sulit melacak siapa yang melakukan pelayanan KB sebelumnya. Dalam melakukan momentum KB, BKKBN sering bekerjasama dengan IBI untuk tenaga pelayanannya tanpa memberitahukan Dinkes. Padahal tenaga yang ikut serta dalam momentum KB banyak pula yang berasal dari bidan Puskesmas. Akibatnya, hal ini mengganggu pelayanan di Puskesmas. Hal lain yang sering menjadi masalah di lapangan adalah sering ditolaknya masyarakat yang telah dimotivasi oleh PLKB untuk ikut datang dalam acara momentum KB. Masyarakat ini harus ditolak oleh bidan karena tidak terpenuhinya persyaratan medis. Dengan waktu yang sangat sempit dan jumlah pasien yang banyak, screening dalam momentum KB ini juga menjadi pertanyaan; apakah masih ada waktu untuk melakukan screening kesehatan sebelum melakukan pelayanan KB. Untuk mempromosikan KB, BPPKB memiliki website sendiri dan membuat buku tentang KB untuk 10 ribu dasa wisma. Dikaitkan dengan tupoksinya, BPPKB juga membuat permainan simulasi KB yang responsif gender.

Salah satu standar mutu yang telah ditetapkan adalah konseling KB. Sebelum memutuskan untuk menjadi akseptor KB, pasien perlu dikonseling oleh bidan untuk mendapatkan penjelasan mengenai metode yang dipilih. Secara prosedur, prinsip cafetaria seharusnya dilaksanakan, dimana pasien setelah mendapatkan penjelasan, dapat memilih metode apa yang paling cocok menurut pasien. Namun hal ini hanya terjadi di atas kertas. Di lapangan hal ini sulit diterapkan karena jenis alat kontrasepsi yang terbatas. Jika alat kontrasepsi yang dipilih tidak tersedia, masyarakat pada umumnya masih banyak yang sulit untuk membayar sendiri.

Konseling KB

Page 36: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

24

Konseling juga diperlukan untuk mengantisipasi keluhan yang akan terjadi. Keluhan banyak terjadi jika pasien memilih metode non-MKJP dimana alat kontrasepsi metode ini mengandung hormon, sedangkan MKJP sendiri belum terlalu populer di masyarakat. Walaupun secara prosedur bidan seyogyanya melakukan konseling terutama pada pasien baru, namun petugas kesehatan mengharapkan agar PLKB yang merupakan motivator KB di masyarakat dapat lebih banyak memberikan penjelasan. Kadang-kadang terjadi konflik antara PLKB dan bidan. Beberapa kasus terjadi dimanacalon akseptor baru yang dibawa oleh PLKB ditolak oleh bidan karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Untuk mengatasi hal ini, Dinkes mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan-pelatihan sehingga PLKB lebih memahami persyaratan kesehatan yang perlu diperhatikan untuk metode kontrasepsi tertentu.

B.8. Pencatatan dan pelaporan

Ada dua sistem pencatataan terkait KB: dari BKKBN dan dari Dinkes. Sistem pencatatan dari BKKBN lebih rinci dibandingkan dari Dinkes.Dinkes melaporkan peserta KB aktif, namun tidak sampai menghitung unmet need. Dinkes lebih memfokuskan pada efek samping dan komplikasi. Sementara BKKBN memiliki pencatatan tentang KB yang lebih rinci karena fokusnya memang hanya pada kependudukan dan KB. Angka peserta KB aktif yang dikeluarkan Dinkes kerap berbeda dengan angka yang dikeluarkan dari BKKBN. Sebab dalam kohort ibu, akseptor baru didefinisikan sebagai yang pertama kali menggunakan KB, sementara sebagian PLKB mempersepsikan, akseptor baru adalah penggunaan alat kontrasepsi yang baru, sehingga pasangan yang mengganti cara juga dihitung sebagai akseptor baru. Hal ini tentu saja menyebabkan adanya dua versi pencatatan dengan angka yang berbeda. Untuk memperbaiki kualitas pencatatan, dua bulan yang lalu BKKBN menyelenggarakan pelatihan bagi bidan di desa untuk mengisi formulir KB yang baru.Target dari pusat dibagi untuk KB pasca persalinan atau pergantian dari non-MKJP ke MKJP. BKKBN akan memberikan insentif bagi bidan untuk pengisian form tersebut. Kurangnya koordinasi dengan Dinkes menyebabkan ketidaknyamanan, belum lagi jika insentif pengisian formulir hanya bersifat insidentil, maka hal ini akan menyulitkan Dinkes Provinsi. Untuk memantau program KB, mekanisme pemantauan yang dilakukan oleh Dinkes dilakukan setiap tiga bulan sekali. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut, dilakukan validasi data serta pemberian umpan balik bagi Puskesmas. Untuk mekanisme pemantauan dilakukan umpan balik bulanan dari BPPKB di tingkat kecamatan. Hal ini perlu dilakukan karena kualitas pelaporan dari PLKB masih harus di tingkatkan. 4.2. Kabupaten Tuban A. Pendahuluan

A.1. Cakupan program Keluarga Berencana (KB) dan permasalahannya

Jumlah penduduk Kabupaten Tuban pada tahun 2011 adalah 1.258.816 dengan komposisi laki-laki 630.576 orang dan perempuan berjumlah 628.240 orang. Kepadatan penduduk tahun 2011 adalah 684 jiwa/km2. Kecamatan yang paling padat adalah Kecamatan Tuban dengan kepadatan 4.297 jiwa/km2 dan mengalami peningkatan kepadatan bila dibandingkan dengan tahun 2010 (Kabupaten Tuban dalam angka 2011).

Cakupan KB, angka penggunaan kontrasepsi dan unmet need di kabupaten

Page 37: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

25

Data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan angka kelahiran (Total Fertility Rate) Kabupaten Tuban sebesar 1.9 (rata-rata satu perempuan memiliki 1-2 orang anak). Angka ini lebih kecil dibanding dengan angka kelahiran Provinsi Jawa Timur (2,3) dan juga angka kelahiran nasional. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tuban (0,62) sedikit lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Timur (0,76) (Tabel 4.2). Tabel 4.6 CPR, unmet need, TFR dan laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tuban

Tuban Jawa Timur Nasional

Total Fertility Rate (TFR) 1,911) 2,34) 2,64) Laju pertumbuhan penduduk 0,621) 0,765) 1,495) Pasangan Usia Subur (PUS) 244,9272) Contraception Prevalence Rate (CPR) 80,98%2) 62,44) 58%4) Unmet need 12,783) 10,14) 11,4%4)

Sumber: 1)Sensus Penduduk 2010-BPS; 2)Indikator Kinerja SPM Dinkes Kab. Tuban, 2012; 3)Jumlah peserta KB dan Unmet need per kab/kota. Provinsi Jatim, 2009; 4) Survei Demografi Kesehatan Indonesia, 2010; 5)BPS (Sensus Penduduk 2010) Dari data Bidang Kesga Dinkes Tuban tahun 2012, diperoleh angka peserta KB aktif sebanyak 80,98%, dengan capaian KB baru 10,61% dari total seluruh Pasangan Usia Subur (PUS) sebanyak 244.927. Proporsi pemakaian non-MKJP (88,13%) jauh lebih besar dibanding MKJP (11,87%). Dibandingkan tahun 2011, terjadi peningkatan jumlah KB baru di Kabupaten Tuban pada tahun 2012, yaitu dari 30.034 menjadi 36.073. Sebaliknya, terjadi penurunan jumlah KB aktif dari 188.894 pada tahun 2011 menjadi 186.426 pada tahun 2012 (Operasinalisasi program KB & KR, BKKBN Provinsi Jawa Timur Tahun 2013). Angka unmet need sebesar 12,78% juga mengindikasikan masih diperlukannya peningkatan upaya promosi dan penjangkauan pelayanan KB dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi di Kabupaten Tuban.

Kabupaten

Penerimaan program KB di masyarakat

Program KB di Kabupaten Tuban pada umumnya mendapat respon positif dari masyarakat setempat dan tidak ada hambatan berarti dalam pelaksanaannya. Informasi tersebut diungkapkan oleh Kepala bidang (Kabid) KB Badan Pemberdayaan Masyarakat(Bapemas) dan Kabid Kesga Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tuban, yang juga diperkuat oleh informasi dari berbagai pemangku kebijakan terkait di wilayah tersebut. Tingginya respon masyarakat terhadap program KB terlihat dari cakupan akseptor KB baru di wilayah Kabupaten Tuban yang melebihi target nasional. Sebagai gambaran adalah cakupan akseptor KB baru di Kabupaten Tuban tahun 2011-2012 mencapai 110,60% dan 109,08%. Selain dari tingginya cakupan akseptor KB baru, tingginya animo masyarakat dalam mengakses fasilitas KB ke beberapa tempat layanan juga menjadi indikasi respon positif masyarakat. Pemerintah daerah sangat mendukung pelaksanaan program KB karena hal tersebut sesuai dengan visi tahun 2015 yaitu menciptakan pertumbuhan penduduk seimbang melalui pengendalian jumlah penduduk guna menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.

Page 38: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

26

Kecamatan

Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa pemangku kepentingan di Kecamatan Rengel dan Parengan (lokasi studi) memperlihatkan tingkat penerimaan masyarakat juga sudah cukup baik terkait pelayanan KB. Sebagian masyarakat sudah mengetahui bahwa manfaat KB adalah untuk mengatur jarak kelahiran dan membatasi jumlah anak. Pandangan masyarakat terkait dengan konsepsi banyak anak banyak rezeki sudah mulai terkikis oleh tekanan permasalahan ekonomi. Pada umumnya pada beberapa tahun terakhir, masyarakat sudah berinisiatif untuk datang sendiri ke bidan guna memperoleh layanan KB. Koordinator KB Kecamatan Parengan menyebutkan bahwa jumlah akseptor KB dalam lima tahun terakhir cenderung meningkat dan diprediksi semakin meningkat beberapa tahun ke depan. Dukungan pemerintah daerah dalam menunjang peningkatan program KB semakin terlihat jelas seperti dengan adanya program Jampersal, pemberian honor kader dan pemberian reward untuk akseptor MKJP. Tidak jarang pada saat Posyandu, motivator terkait KB juga banyak dilakukan oleh kader, PLKB ataupun dari ibu-ibu peserta akseptor KB sendiri. Seorang petugas PLKB di Kecamatan Parengan menyebutkan meskipun secara keseluruhan kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi terkait dengan program KB, tetapi di daerah-daerah pelosok harus mendapatkan perhatian dan motivasi khusus karena biasanya sedikit lebih rendahnya cakupan pada daerah pelosok sangat dipengaruhi oleh luas daerah dan tingkat pendidikan masyarakat bersangkutan. Desa

Tingkat penerimaan pelayanan KB di tingkat masyarakat sejalan dengan pemikiran mereka bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga kecil yang bisa tercukupi segala kebutuhan keluarga dan terjaminnya tingkat pendidikan anak. Keluarga sejahtera bisa direncanakan melalui program KB untuk membatasi jumlah anak dengan pandangan anak laki-laki dan perempuan sama saja. Dengan KB, seorang ibu juga bisa mengatur jarak kelahiran anak sehingga bisa mempunyai waktu yang tepat untuk mengatur anak-anak mereka.

“Yang sejahtera 2 anak cukup…bisa mengurus anak dengan baik, bisa memberi nafkah setiap hari...hidupnya terjamin, banyak anak sekolahnya kan lupa, pendidikan terjamin...terus kalo kita uraikan, disamping ada laki ada perempuan tidak masalah.”(Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Saat ini KB dirasa sebagai kebutuhan bagi sebagian besar masyarakat. Hal ini terkait dengan semakin banyaknya tekanan biaya hidup keluarga dan semakin meningkatnya peran serta perempuan dalam bekerja.

“Mm.. KB dalam arti menunda kehamilan itu untuk usia subur, pasangan usia subur itu, hampir semua keluarga, hampir semuanya itu menjalankan atau mengikuti…Ya... Alhamdulillah gitu… Karena mungkin, karena kesibukan, mungkin juga karena kebutuhan, kalau ndak ditunda itu, juga, biaya hidupnya... Wilayah maibit itu, laki-laki atau perempuan, bapak atau ibu itu sama-sama bekerja Pak.”(Kepala Desa Maibit, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Kesadaran masyarakat terhadap program KB saat ini sudah sangat baik, mayoritas mereka mengakses ke layanan KB atas kesadaran sendiri. Berbeda dengan zaman dulu, masyarakat cenderung dipaksa untuk ikut ber-KB.Banyak cara-cara pemerintah yang dipakai untuk memaksa masyarakat ikut ber-KB, bahkan tidak jarang melalui koramil atau babinsa.

“Program KB sekarang ini berjalan baik. Orang-orang ber-KB sekarang tanpa ada paksaan. Saya kira cukup sukses karena ber-KB dengan kesadaran, tanpa ada tekanan. Berbeda dengan jaman dulu, masih dengan paksaan, dengan mengerahkan koramil/babinsa untuk pelaksanaan program KB.”(Tokoh agama, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Page 39: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

27

Tingginya kesadaran masyarakat terhadap KB sangat mendorong peningkatan cakupan.Apalagi layanan KB saat ini sudah digratiskan oleh pemerintah daerah bagi semua elemen masyarakat.

“…kalau di sini, yang dulu... yang dulu mbayar. Pokoknya yang tidak punya JPS mbayar, tapi yang punya JPS tidak... gitu... Tapi sekarang semua gratis.”(Kader, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

A.2. Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) versus Jangka Pendek (non-MKJP)

Persentase penggunaan kontrasepsi di Kabupaten Tuban dapat dilihat pada Tabel 4.3 di bawah ini. Penggunaan kontrasepsi masih didominasi oleh penggunaan non-MKJP, terutama suntikan dan pil. Tren yang sama dijumpai di tingkat provinsi dan nasional. Walaupun demikian secara umum persentase penggunaan MKJP di Kabupaten Tuban lebih tinggi dibandingkan Provinsi Jawa Timur dan nasional.

Kabupaten - Kecamatan

Tabel 4.7 Cakupan KB menurut jenis alat kontrasepsi Kabupaten Tuban

Tipe kontrasepsi Tuban2) Jawa Timur3) Nasional3)

Non-MKJP1) Suntik 65,7 34,7 31,9 Pil 15,9 14,7 13,6 Kondom 4,9 1,3 1,8 MKJP1) Implan 6 3,1 3,3

IUD 5,6 5,0 3,9 MOW 1,7 3,5 3,2 MOP 0,1 0,3 0,2

Sumber: 1Persentase dari jumlah total PUS; 2Rakerda Kab.Tuban 2013-Kabid KB Bapemas, Pemerintah desa, dan KB, 3Survei Demografi Kesehatan Indonesia Hasil wawancara mendalam dengan pemangku kepentingan di Kabupaten Tuban menunjukkan beberapa faktor yang dapat melatarbelakangi masih tingginya penggunaan non-MKJP di Kabupaten Tuban, seperti yang dirangkum di Tabel 4.4. Tabel 4.8 Faktor pemilihan MKJP dan Non-MKJP di Kabupaten Tuban

Faktor Non-MKJP MKJP

Cara pemasangan Lebih praktis dan sederhana Lebih sulit dalam pemasangan dan menimbulkan rasa malu terutama pemasangan IUD

Menimbulkan rasa takut terutama pemasangan dengan operasi (MOW dan MOP)

Efek samping dan kenyamanan

Lebih nyaman dan tidak ada efek samping

Bisa berganti jenis non-MKJP lain lebih mudah

Khawatir pemasangan implan, IUD dan bekas opersai MOW dan MOP mengganggu fungsi tubuh sehingga mengganggu aktivitas

IUD mengganggu kenyamanan hubungan seks

Akses dan keterjangkauan

Lebih mudah diperoleh di beberapa fasilitas layanan (bidan, Puskesmas, apotik, dsb)

Harga lebih murah dan

Hanya bisa diperoleh di beberapa layanan KB tertentu (biasanya hanya di Puskesmas dan RS)

Akses dan jarak untuk memperoleh layanan MKJP di daerah tertentu cukup jauh

Page 40: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

28

Faktor Non-MKJP MKJP

terjangkau Harga MKJP lebih mahal apabila mengeluarkan biaya sendiri

Kepercayaan Tidak bertentangan dengan agama

Lebih mudah dihentikan kalau nantinya ingin punya anak lagi

Khawatir MKJP bisa mengurangi keperkasaan pria (MOP)

Tabu memasang alat kontrasepsi dengan membuka aurat

MKJP masih kurang diminati oleh masyarakat terkait dengan beberapa isu efek samping yang ditimbulkan dan cara pemasangannya yang lebih sulit dan rumit. Beberapa persepsi yang sering muncul di masyarakat antara lain akibat dari pemasangan IUD bisa mengganggu hubungan seks, khawatir benangnya putus dan sulit melepasnya kalau sudah terpasang lama di dalam rahim. Pemasangan MKJP juga harus melalui operasi, seperti pemasangan implan, MOP dan MOW dikhawatirkan akan menimbulkan efek yang lebih besar seperti sakit pada waktu bekerja. Pemasangan implan, selain terlihat di bawah kulit lengan seringkali juga menimbulkan efek nyeri pada lengan pada waktu mengangkat beban. Demikian juga dengan MOP dan MOW, mayoritas masyarakat takut dengan operasi yang harus dilakukan sehingga harus beristirahat lama dan tidak bisa bekerja. Selain itu, ada anggapan bahwa MOP bisa mengurangi keperkasaan pria.

Pada dasarnya setiap masyarakat mempunyai alasan masing-masing terhadap pemilihan MKJP dan non-MKJP. Hal tersebut terkait dengan berbagai pengalaman sendiri ataupun orang lain terkait dengan pemakaian berbagai jenis alat kontrasepsi tersebut.

Desa

Beberapa masyarakat memilih MKJP karena menganggap bahwa MKJP lebih praktis karena tidak perlu berulang-ulang ke tempat pelayanan KB, lebih kecil tingkat kegagalannya (terutama steril) dan menstruasi masih teratur.

“Sekarang kontrasepsi apa yang digunakan IUD, suntik, pil, steril yang belum susuk thok (saja)…sekarang sudah semua terakhir steril sudah tidak ada keluhan lagi... Sudah cukup anak yang terakhir operasi takut biayanya akhirnya pilih steril.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Berikut adalah pengalaman seorang ibu yang memakai MKJP jenis IUD yang beralih dari non-MKJP jenis pil yang dipakai sebelumnya;

“Sekarang KB pil, terus suntik terus kebobolan…hahahahaa…terus sakniki nderek IUD niku, terus sekarang ikut IUD itu.”(Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Sedangkan masyarakat yang memilih non-MKJP karena masih ingin punya anak lagi sehingga lebih mudah untuk berhenti dari non-MKJP. Alasan lain adalah ketakutan terhadap jenis MKJP yang menimbulkan berbagai efek negatif, akses dan keterjangkauannya lebih mudah.

“Cara pasangnya, kita orang desa pekerja berat, takut berisiko…pernah ada pengalaman dari tetangga yang implatnya bisa keluar sendiri.” (Ibu non-KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Seorang kader di salah satu kecamatan pada lokasi studi menyatakan bahwa cakupan MKJP di wilayahnya sudah mengalami peningkatan. Hal ini tidak terlepas dari adanya program pelayanan MKJP gratis.

Page 41: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

29

“… ada program IUD dan implant gratisan, sekarang mulai ada peningkatan.” (Kader, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Selain pelayanan gratis, efek positif MKJP juga dirasakan oleh sebagian akseptor, sehingga diprediksi bisa meningkatan cakupan.

“Ya seneng ae… soale kan jangka panjang itu bisa menstruasi… kalau IUD bisa menstruasi, ndak terlalu gemuk.” (Kader Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Hal serupa juga diungkapkan oleh kader di kecamatan lainnya, di mana sudah banyak akseptor yang merasa cocok dengan MKJP.

“Kebanyakan sekarang sudah mulai menunjukkan hasil yang memuaskan. Yang spiral itu.. yang sekarang… tadinya tidak cocok sama pil, sudah mau ke IUD.” (Kader, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Meskipun MKJP sudah mulai mengalami peningkatan cakupan, tetapi secara umum proporsinya jauh lebih kecil dibanding cakupan non-MKJP. Hal tersebut dimungkinkan karena masih banyak beredar persepsi negatif tentang MKJP di masyarakat.

“Kalau IUD katanya takut... Nanti kalau ada copotnya... ndak tahu, katanya gitu.” (Kader, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Seorang tokoh masyarakat menyebutkan sudah banyak tokoh agama yang menerima program KB. Terkait dengan pemakaian alat kontrasepsi untuk mengatur dan membatasi jumlah anak masih bisa diterima dan hal tersebut masih sesuai dengan syariat agama yang dianut. Tetapi satu hal yang tidak diperbolehkan adalah pemakaian MKJP berjenis steril, karena menurut pendapat mereka hal tersebut sama dengan memutus kehendak Tuhan yang menghalangi seseorang untuk mempunyai anak lagi.

“Masih bisa diterima... soalnya kalau memang ada niatan bismillah saya ingin punya anak, dihentikan. Kalau memang yang kuasa itu memberi, kan masih bisa. Tapi kalau diputus, kan katanya sudah memutus kehendak atau kodrat Tuhan, katanya... hehe… katanya…itu pak, yang diputus itu... steril.” (Kades Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Sterilisasi hanya boleh dilakukan apabila ada indikasi penyakit yang membahayakan akseptor.

“Boleh sifatnya (niatnya) memutuskan (tidak bisa punya anak lagi), kecuali ada penyakit tertentu daripada membahayakan.”(Tokoh agama, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Seorang tokoh agama juga menyebutkan bahwa pemasangan IUD tidak diperbolehkan apabila tidak didampingi oleh suami calon akseptor karena hal tersebut dilarang oleh agama.

“Menurut ulama-ulama NU pada saat itu sesuai dengan syariat…. Namun untuk kontrasepsi KB spiral (IUD), dalam pemasangannya harus disertai suami. Jika tanpa disertai suami tidak diperbolehkan karena melihat aurat orang lain. Sehingga pada saat itu sebagian masih ada yang berpendapat jangan dipakai karena melihat Aurat mugholadoh.” (Tokoh agama, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

B. Manajemen Program Keluarga Berencana

B.1. Kebijakan dan alokasi anggaran terkait KB

Hasil wawancara dari berbagai informan pemangku kebijakan tingkat kabupaten diperoleh informasi yang sama bahwa pada dasarnya program KB menjadi salah satu prioritas program di wilayah tersebut.

Kebijakan

Page 42: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

30

Menurut informasi yang disampaikan oleh Kasubid Kesos Bappeda Kabupaten Tuban, meskipun saat ini yang menjadi prioritas utama pemerintah daerah adalah pengentasan kemiskinan, tetapi program KB tidak bisa dikesampingkan karena secara tidak langsung program KB menjadi sarana untuk pembatasan jumlah kelahiran yang akan berimbas pada peningkatan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal serupa juga disampaikan oleh Kabid Kesga Dinkes Kabupaten Tuban yang menggarisbawahi bahwa dalam skala nasional kebijakan program KB sangat tepat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya di wilayah Kabupaten Tuban. Kepala bidang KB Bapemas menyebutkan bahwa program KB menjadi prioritas dan dimasukkan ke dalam program sektor kesehatan di semua wilayah Kabupaten Tuban yang terdiri dari 17 kecamatan dan 328 desa. Dalam pelaksanaan program KB selama ini dirasa sudah berjalan cukup baik dengan ditunjang oleh kemampuan petugas lapangan yang sudah berpengalaman sehingga cakupan akseptor KB baru tahun 2012 mencapai lebih 100%. Secara umum Pemda memberikan dukungan positif terhadap program KB. Hal ini terlihat dari sebagian besar kebutuhan program KB yang sudah diakomodir oleh pemerintahan daerah. Bentuk kepedulian pemerintah daerah diwujudkan dalam berbagai bentuk dukungan program, seperti pemberian pelayanan KB secara gratis kepada semua masyarakat di Kabupaten Tuban, pemberian insentif kepada PPKBD dan sub PPKBD sebagai kepanjangan tangan PLKB di tingkat desa, pengadaan alat kontrasepsi dari dana APBD dan beberapa beberapa bentuk dukungan lainnya. Bahkan dalam upaya untuk membantu pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Tuban, pemerintah daerah juga melibatkan perguruan tinggi yang ada di wilayah tersebut sebagai mitra kerja dalam melakukan monitoring dan evaluasi program. Meskipun pada saat ini output terkait program KB di Kabupaten Tuban sudah cukup baik, tetapi dalam implementasinya masih banyak keterbatasan yang perlu dibenahi untuk menjamin keberlanjutan program KB di tahun mendatang, terutama peningkatan kuantitas dan kualitas SDM yang kurang memadai. Kebijakan desentralisasi yang memisahkan Bapemas dengan Dinkes dalam pelaksanaan program KB perlu ditinjau kembali karena hal tersebut menyebabkan terganggunya sistem koordinasi dalam pelaksanaan program KB yang sedang dijalankan saat ini.

Kondisi umum kemampuan fiskal Kabupaten Tuban cukup besar dengan perkiraan APBD tahun 2012 sekitar Rp.1,2 Trilliun. Dana APBD diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) ditambah dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. PAD Kabupaten Tuban terbesar diperoleh dari sumber pendapatan pajak daerah dan hasil retribusi daerah yang meningkat seiring dengan semakin berkembangnya pabrik dan perusahaan di Kabupaten Tuban.

Alokasi anggaran

Kemampuan fiskal pemda yang cukup besar sangat berpengaruh terhadap dukungan pengalokasian program KB di wilayah tersebut. Hal ini terlihat dari realisasi anggaran lebih dari 90% dari perencanaan dan alokasi yang diajukan. Perencanaan penganggaran program KB dilakukan secara bottom up olehSatuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Bapemas, pemerintah desa (pemerintah desa) dan KB Kabupaten Tuban. Pada saat ini program KB di Kabupaten Tuban bukan berupa badan yang berdiri sendiri tetapi terintegrasi dalam sebuah badan atau SKPD dengan nama Bapemas, pemerintah desa dan KB. Seorang Kepala bidang (Kabid) KB yang langsung membawahi dalam pelaksanaan program KB di Kabupaten Tuban secara keseluruhan. Sektor KB (Bapemas, Pemerintah desa dan KB

Alokasi anggaran untuk sektor Bapemas, Pemerintah desa dan KB Kabupaten Tuban tahun 2013 berjumlah sekitar Rp. 3,7 Milyaryang bersumber dari dana APBD. Program KB tidak berdiri sendiri tetapi terintegrasi dengan Bapemas dan pemerintah desa. Menurut Kasubid Kesos

)

Page 43: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

31

Bappeda, dari total anggaran dana tersebut sekitar Rp. 2 Milyardiperuntukkan untuk kegiatan program KB. Pelaksanaan program KB tidak hanya bersumber dari APBD tetapi ditunjang pula dari dana DAK untuk pengadaan notebook beserta modem, belanja alat kedokteran dan kebidanandan juga buat belanja modal. Perhatian pemerintah daerah terhadap program KB juga diwujudkan dengan pemberian insentif PPKBD sebesar Rp. 100.000,-/bulan dan sub PPKBD sebesar Rp. 50.000,-/bulan. Total PPKBD dan sub PPKBD yang ada di Kabupaten Tuban tahun 2012 adalah sebanyak 1.987 orang, sehingga pengalokasian dana buat pembayaran insentif juga cukup besar. Pembentukan PPKBD dan sub PPKBD merupakan upaya untuk meningkatkan cakupan akseptor KB baru di tingkat desa dan sebagai perpanjangan tangan dalam mendukung kinerja PLKB yang jumlahnya sudah banyak berkurang. Tabel 4.9 Alokasi penganggaran kegiatan program KB di Kabupaten Tuban tahun 2012

No Nama Kegiatan Biaya Pekerjaan (Rp.) Sumber Dana 1 Pengadaan sarana pengolahan dan

pelaporan data/informasi Bidang KB: Pengadaan notebook beserta modem support (DAK Rp. 127.500.000,-)

150.000.000

APBD (DAK)

2 Pengadaan sarana pelayanan KB: Belanja alat kedokteran, kebidanan dan penyakit kandungan (DAK Rp. 357.000.000,-)

420.000.000

DAK

3 Pembangunan balai penyuluhan KB: belanja modal pengadaan konstruksi/ pembelian bangunan

475.862.500

DAK

4 Pengadaan gudang alat/ obat kontrasepsi: belanja modal pengadaan konstruksi/ pembelian bangunan (DAK Rp. 106.845.000,-)

125.700.000

DAK

5 Pengadaan alat kontrasepsi 275.000.000 APBD Menurut Kasubid Kesos Bappeda Kabupaten Tuban, pengalokasian anggaran untuk pengadaan alat kontrasepsi pada tahun 2013 sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2012 yaitu sekitar Rp. 350.000.000,-. Hal ini berdasarkan dari pengajuan Kasubid KB Bapemas dengan asumsi terjadi kenaikan akseptor KB di Kabupaten Tuban.

Sektor Kesehatan (Dinas Kesehatan)

Total alokasi anggaran dari APBD untuk sektor kesehatan Kabupaten Tuban tahun 2013 cukup besar yaitu sekitar Rp.150 Milyar, dengan proporsi 52% untuk Dinkes dan 48% untuk RSUD. Sedangkan pendapatan dari sektor kesehatan Kabupaten Tuban tahun 2012 hanya sekitar Rp.50 Milyar, yang terdiri dari pendapatan RSUD sekitar Rp.44 Milyar dan Dinkes Rp.6 Milyar. Terkait dengan pelaksanaan program KB, peran Dinkes hanya sebatas pada pelayanan, sehingga pengalokasian anggaran juga terbatas pada kegiatan supervisi (transport) terkait dengan pelayanan KB. Menurut Kasubid Kesos Bappeda Kabupaten Tuban, alokasi anggaran untuk kegiatan supervisi Dinkes pada tahun 2013 sekitar Rp.75.000.000,-.

Jaminan kesehatan Dukungan pemerintah daerah terhadap program KB di Kabupaten Tuban adalah memasukkan KB dalam skema jaminan kesehatan. Bahkan, semua masyarakat Tuban berhak memperoleh layanan KB secara gratis pada semua layanan kesehatan pemerintah (RS pemerintah dan Puskemas) dengan melampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk.

Page 44: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

32

Dalam pelayanan KB, pemda Kabupaten Tuban melalui program KB Bapemas juga sudah mempunyai Memorandum of Understanding (MOU) dengan bidan praktek swasta dan RS swasta yang ada, yaitu RS Nahdlatul Ulama, RS Medika Mulia dan RSAB Muhamadiyah untuk menunjang pelayanan KB bagi masyarakat di wilayah sekitar. Bentuk MOU tersebut diimplementasikan dalam berbagai bentuk kerjasama, misalnya pengiriman bidan dalam pelatihan Contraceptive Technology Update (CTU), pelatihan ABPK yang diselenggarakan oleh program KB Bapemas dan Dinkes, ataupun keikutsertaan dalam pelayanan KB gratis pada momentum tertentu. Pelayanan KB juga sudah terintegrasi dalam Jampersal, yaitu KB pasca persalinan yang disediakan secara gratis bagi mereka yang akan menggunakan alat kontrasepsi dalam 42 hari pertama setelah melahirkan. Dengan terintegrasinya pelayanan KB dalam Jampersal sangat berpengaruh terhadap peningkatan cakupan MKJP khususnya akseptor IUD. Meskipun demikian, seringkali banyak terjadi penundaan pemasangan KB pasca persalinan dengan berbagai alasan. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Kabid Kesga Dinkes Tuban, banyak alasan yang sering muncul seperti belum diizinkan suami untuk pasang IUD, dirasa masih becek hingga 42 hari pasca melahirkan, ataupun kekhawatiran pemasangan IUD akan mengganggu hubungan suami istri. Dengan kondisi demikian seharusnya pernyataan yang tertera dalam Jampersal ditinjau dan direvisi lebih lanjut dengan suatu ketentuan di mana pasien tidak bisa mengelak untuk pemasangan KB pasca persalinan. Menurut informasi dari Pokja IV PKK Kabupaten Tuban, diidentifikasi bahwa dalam 5 tahun terakhir terjadi kenaikan cakupan akseptor KB meskipun khusus untuk cakupan MKJP masih rendah. Pada umumnya, rendahnya cakupan MKJP disebabkan oleh berbagai rumor yang beredar di masyarakat terkait efek negatif dan kerumitan pemasangan MKJP. Hal lain yang terjadi adalah sebagian besar masyarakat hanya beranggapan yang terpenting adalah ikut KB secara praktis. Dalam kondisi demikian, dikhawatirkan program KB di Kabupaten Tuban berjalan di tempat (stagnant) karena kurangnya kontrol di lapangan terhadap masyarakat untuk ikut KB. Terlebih lagi di Kabupaten Tuban sekarang jumlah SDM terkait program KB sudah banyak berkurang. Terlebih masalah terkendalanya koordinasi karena pelaksanaan program KB terbagi di Bapemas dan Dinas kesehatan. Hambatan lain adalah keterbatasan sarana dan prasarana (jumlah dokter spesialis dan ruangan) untuk pelayanan MOW/MOP di RSUD R. Koesman mempengaruhi keterlambatan pencapaian target. Selama ini pelayanan MOP dan MOW hanya bisa dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis dengan jumlah pasien dibatasi antara 4-5 orang per hari pelayanan. Menurut seorang dokter obgyn di RSUD Tuban, seharusnya pemasangan MOW dianggarkan dengan dana lebih, khususnya untuk perawatan pasca operasi yang mencakup biaya menginap, makan dan kompensasi pengganti hilangnya produktivitas waktu kerja pasien. Tetapi kenyataannya selama ini banyak pasien yang dipulangkan lebih cepat dari RS pasca operasi dengan alasan keterbatasan dana dan ruangan sehingga banyak pasien yang masih merasakan kesakitan pasca pemasangan MOW. B.2. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

Mekanisme pengadaan alat kontrasepsi diajukan oleh Kabid KB Bapemas berdasarkan usulan kebutuhan dari PLKB. Data kebutuhan yang dihitung oleh PLKB adalah hasil rekapitulasi dari berbagai Puskesmas, bidan praktek swasta (BPS) dan RS dengan menghitung perkiraan permintaan masyarakat (PPM) tahun sebelumnya menurut jenis alat kontrasepsi dengan melebihkan 10% sebagai rencana pengadaan alat kontrasepsi seluruh Kabupaten Tuban.

Mekanisme pengadaan

Page 45: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

33

Pengadaan alat kontrasepsi dilakukan dengan sistem pelelangan umum (biding) oleh unit lelang dan pengadaan barang jasa (ULP) Bappeda sesuai dengan jumlah dan spesifikasi yang diajukan oleh Kabid KB Bapemas. Berikut adalah proses pengadaan alat kontrasepsi di Kabupaten Tuban: 1. Program KB melalui Kabid KB Bapemas menghitung kebutuhan alat kontrasepsi sesuai

dengan jenis dan jumlah 2. Mengajukan kebutuhan alat kontrasepsi kepada Bappeda berdasarkan PPM ditambah 10% 3. Bappeda menindaklanjuti permintaan tersebut yang diteruskan pada Unit Lelang dan

Pengadaan Barang Jasa (ULP) 4. ULP Bappeda membuat pengumuman lelang pengadaan alat kontrasepsi melalui Layanan

Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sesuai dengan spesifikasi dan jenis barang yang diperlukan

5. ULP Bappeda menerima dan menyeleksi calon penyedia barang menurut kriteria baku yang sudah ditentukan

6. ULP Bappeda melibatkan staf dari program KB Bapemas sebagai panitia penerima barang jasa (PPBJ) yang bertugas memeriksa kuantitas dan kualitas alat kontrasepsi yang diajukan oleh perusahaan pemenang lelang sesuai dengan spesifikasi alat kontrasepsi yang sudah ditentukan oleh Bapemas

7. Setelah spesifikasi alat kontrasepsi sesuai, selanjutnya perusahaan pemenang lelang akan memproduksi alat kontrasepsi yang diperlukan dan selanjutnya akan menyerahkan kepada ULP Bappeda sebagai penyelenggara pengadaan barang jasa

8. Selanjutnya alat kontrasepsi akan diserahkan kepada Kabid KB Bapemas sesuai dengan permintaan yang diajukan

9. Program KB Bapemas melakukan pendistribusian alat kontrasepsi ke berbagai tempat layanan KB.

Alat kontrasepsi yang diterima oleh Bapemas akan didistribusikan kepada klinik KB (termasuk Puskesmas dan rumah sakit) melalui PLKB di tingkat kecamatan. Pendistribusian alat kontrasepsi dilakukan berdasarkan permintaan yang diajukan oleh oleh klinik KB melalui PLKB. Untuk jalur Puskesmas, Bapemas akan menyerahkan alat kontrasepsi kepada Puskesmas Induk (melalui PLKB), yang kemudian akan mendistribusikannya kepada Pustu/Polindes atau Bidan Praktek Swasta (BPS). Untuk rumah sakit, Bapemas akan menyerahkan alat kontrasepsi kepada rumah sakit dengan bantuan PLKB kecamatan setempat.

Tingkat Kabupaten dan Kecamatan

Pelayanan KB dan pembiayaannya

Akses layanan KB sangat mudah diperoleh oleh masyarakat di seluruh wilayah Kabupaten Tuban, baik jenis alat kontrasepsi ataupun keterjangkauan tempat layanan. Ketersediaan alat kontrasepsi di Kabupaten Tuban tidak pernah mengalami kekurangan baik jenis MKJP maupun non-MKJP. Tempat pelayanan KB bisa diakses di RS, Puskesmas, klinik KB, ataupun bidan praktek mandiri/swasta. Bahkan masyarakat bisa memperoleh layanan KB gratis di RSUD, Puskesmas dan beberapa klinik bidan mandiri/swasta yang sudah mempunyai MOU dengan program KB Bapemas. Khusus pelayanan MOP dan MOW hanya bisa diperoleh di RS yang ditangani oleh dokter spesialis obgyn, yaitu di RSUD R. Koesman, RSAB Muhamadiyah, RS Medika Mulia dan RS Nahdhatul Ulama.Terdapat keterbatasan prasarana pemasangan MOP dan MOW, hal ini terkait dengan terbatasnya jumlah dokter obgyn dan prasarana ruangan di RS sehingga pelayanan MOP dan MOW di RSUD hanya setiap hari selasa dan kamis saja. Setiap akseptor MOP dan MOW diberikan insentif Rp.50 s/d Rp.100 ribu rupiah sebagai pengganti hilangnya waktu kerja selama perawatan. Hal ini diprediksi bisa menjadi rangsangan untuk peningkatan cakupan tetapi juga dikhawatirkan bisa menjadi boomerang di kemudian hari, dalam pengertian

Page 46: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

34

masyarakat ikut KB karena mengharapkan insentif bukan karena kesadaran terkait manfaat program KB itu sendiri. Seharusnya MOW disediakan dana lebih untuk perawatan pasca operasi yang mencakup biaya menginap, makan dan kompensasi pengganti hilangnya produktivitas waktu kerja pasien. Tetapi kenyataannya banyak pasien yang dipulangkan lebih cepat dari RS pasca operasi dengan alasan keterbatasan dana sehingga banyak pasien yang masih merasakan kesakitan pasca pemasangan MOW. Selain di RS, pemasangan IUD dan implan bisa dilakukan di Puskesmas dan beberapa klinik atau bidan praktek swasta.Tidak semua bidan praktek swasta mempunyai kewenangan memberikan layanan IUD dan implan, meskipun mereka sudah mendapatkan pelatihan CTU. Kewenangan bidan praktek dalam pemasangan MKJP (implan dan IUD) hanya boleh dilakukan di Puskesmas ataupun RS, tidak bisa di tempat praktek. Meskipun demikian ada juga bidan praktek swasta (pensiun) yang boleh memberikan pelayanan implan dan IUD di tempat praktek. Bidan Puskesmas dan RS yang belum mendapatkan pelatihan CTU hanya diperbolehkan memasang IUD dan implan di Puskesmas atau RS dibawah pengawasan bidan yang sudah mendapatkan pelatihan CTU Secara umum tempat pelayanan KB di Kabupaten Tuban sudah sangat memadai, sampai pada tahun 2012 tercatat terdapat satu RSUD, tiga RS swasta, 33 Puskesmas yang terdiri dari enam Puskesmas perawatan dan 27 Puskesmas non perawatan. Disamping itu terdapat juga sebanyak 54 puskemas pembantu dan 59 Puskesmas keliling, dengan jumlah bidan sebanyak 456 orang yang terdistribusi hampir di semua desa yang ada di wilayah Kabupaten Tuban (Jawa Timur dalam angka, 2012). Rata-rata usia akseptor KB adalah usia 20-35 tahun. Biasanya mereka datang ke tempat layanan KB sendiri, hanya sebagian kecil yang diantar oleh suami, orang tua/ mertua, ataupu saudara. Perbandingan jumlah akseptor yang datang ke tempat layanan jauh lebih tinggi di tempat BPS dibandingkan tempat lainnya seperti Puskesmas ataupun rumah sakit. Berikut adalah perbandingan cakupan akseptor KB di beberapa tempat layanan: Tabel 4.10 Perkiraan jumlah akseptor di berbagai tempat layanan Kabupaten Tuban

No Tempat Layanan Jenis Alat kontrasepsi Jumlah akseptor 1 Bidan praktek swasta (BPS) Pil dan suntik 10-15 orang/hari

2 Puskesmas Sebagian besar suntik dan pil

Sebagian kecil implan dan IUD 20-30 orang/minggu

3 RSUD R. Koesman Tahun 2012 Kondom Suntik IUD Implan MOW

Tahun 2013

Kondom IUD MOW

Tahun 2012 2 orang 10 orang 175 orang 2 orang 493 orang

Tahun 2013

12 orang 447 orang 168 orang

4 RSAB Muhamadiyah Tahun 2012 Suntik IUD MOW

Tahun 2012 36 orang 30 orang 40 orang

Page 47: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

35

Biaya pelayanan KB di bidan praktek swasta dan RS swasta sangat bervariasi menurut jenis alat kontrasepsi. Sedangkan untuk pelayanan di Puskesmas dan da RSUD seluruhnya gratis untuk semua jenis alat kontrasepsi. Berikut adalah tarif layanan KB di beberapa tempat layanan: Tabel 4.11 Tarif layanan KB di berbagai tempat layanan Kabupaten Tuban

No Tempat Layanan Jenis Alat kontrasepsi Tarif layanan

1 Bidan praktek swasta (BPS)

Suntik

Implan IUD

• Jenis Progestine Rp.15.000,-, Andalan Rp.15.000,-, Triclopen Rp.20.000,- (tarif layanan terdiri dari jasa 25% dan obat/alat 75%)

• Rp.300.000,- (jasa 10% dan obat/alat 90%) • Jenis Nova T Rp.300.000,- dan Coper T

Rp.100.000,- (jasa 30% dan obat/alat 70%)

2 RSAB Muhamadiyah IUD MOW

• Rp.150.000,-(jasa 30% dan obat/alat 70%) • Rp.2 juta-an (khusus penanganan MOW)-

tetapi biasanya MOW satu paket dengan pasca persalinan

3 Puskesmas dan RSUD

R. Koesman Semua jenis

MKJP dan non-MKJP

• Gratis bagi semua masyarakat Kabupaten Tuban hanya dengan menunjukkan foto copy KTP (identitas penduduk)

Desa Dengan adanya dukungan pemerintah daerah yang bersifat total coverage, sebenarnya masyarakat bisa memperoleh pelayanan KB secara gratis diPuskesmasataupun RSUD. Tetapi pada umumnya masyarakat lebih memilih mengakses layanan KB di BPS dengan alasan tempatnya dekat dan sudah mengenal baik bidan yang ada meskipun konsekuensinya harus membayar sendiri. Bagi sebagian besar masyarakat yang mengakses di BPS tidak mempermasalahkan masalah tarif alat kontrasepsi, menurut mereka harganya masih terjangkau apalagi yang mereka akses adalah suntik ataupun pil. Menurut informasi dari BPS, menyebutkan tidak sedikit masyarakat yang masih punya anggapan bahwa alat kontrasepsi gratis kualitasnya lebih rendah dibanding kalau membeli sendiri. Ada juga yang merasa malu kepada bidan apabila menggunakan pelayanan KB gratis di tempat praktek mandiri. Dari hasil wawancara di tingkat desa pada dua kecamatan yang menjadi lokasi studi, ditemukan masalah yang sama bahwa masih banyak masyarakat yang mengakses layanan KB suntik ke mantri desa. Padahal secara kewenangan sebenarnya mantri tidak boleh memberikan layanan KB. Di salah satu lokasi studi ditemukan kasus yang cukup unik, dimana seorang bidan yang membuka praktek bersama dengan suaminya yang juga seorang mantri. Hal yang menarik adalah, beberapa pasien yang akan mengakses suntik KB tidak sedikit yang mendapat pelayanan suntik KB oleh mantri bukan bidan yang bersangkutan. Hal tersebut sering terjadi apabila bidan sedang tidak ada di tempat. Menurut informasi yang diperoleh dari bidan yang bersangkutan, hal tersebut tidak menjadi masalah karena pada dasarnya mantri juga mempunyai kemampuan untuk menyuntik. Pasienpun rata-rata juga tidak keberatan karena mereka sudah saling mengenal dan terbiasa, apalagi mantri tersebut adalah suami dari bidan yang mereka kenal juga. Dari hasil wawancara dengan salah seorang kepala desa di Kecamatan Rengel, diperoleh informasi bahwa kemungkinan besar tingginya angka cakupan KB suntik karena tidak terlepas

Page 48: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

36

dari pandangan masyarakat desa yang menganggap bahwa setiap kali berobat harus disuntik. Karena bagi sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa berobat kalau belum disuntik berarti belum diobati.

“... Suntik itu menurut imej, orang sini kalau sakit Pak, kalau belum disuntik itu belum diobati. Diperiksa atau dikasih obat itu belum… Sugesti atau kebiasaan... Sepertinya itu belum berobat kalau belum disuntik, sehingga, ... Mungkin sugestinya lewat jenis suntik, itu mungkin lebih bisa.. lepas gitu.. Trus itu mungkin yang pil itu pak... Mungkin itu yang takut suntik, karena kanada yang takut suntik, jadi ke pil.”(Kepala desa Maibit, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Menurut informasi dari Pokja IV PKK kabupaten, seringkali masih banyak ditemukan beberapa hambatan di masyarakat terkait program KB yaitu terkait faktor budaya dan karakteristik geografis masyarakat. Pada beberapa tahun pelaksanaan program KB di Kabupaten Tuban, pada umumnya hambatan paling besar ditemukan pada masyarakat daerah pesisir yang rata-rata lebih tertutup dengan karakter masyarakatnya yang kaku dan sulit menerima program KB. Anggapan sebagian besar pria bahwa masalah KB menjadi urusan wanita juga sangat mempengaruhi rendahnya peran serta pria dalam ber-KB. Sedangkan faktor budaya yang masih berkembang disebagian masyarakat adalah masih ada anggapan banyak anak banyak rejeki, kekhawatiran orang tua terhadap anak gadisnya akan menjadi perawan tua sehingga berusaha menikahkannya di usia muda dan masih beredar rumor terkait kegagalan pemakaian beberapa jenis alat kontrasepsi dimasyarakat. B.3. Sumber daya manusia

Pelaksanaan program KB pada dasarnya terbagi menjadi 2 bagian penting, yaitu terkait dengan pelayanan dan penyuluhan untuk penyampaian KIE dengan tujuan meningkatkan cakupan KB di masyarakat.

Jumlah tenaga

Terkait pemberian layanan pemasangan alat KB, hanya bidan dan dokter yang diberikan kewenangan di bawah koordinasi Dinkes. Untuk saat ini, jumlah bidan di Kabupaten Tuban dirasa sudah mencukupi, dari 328 desa yang ada hanya 11 desa yang belum terisi bidan desa. Meskipun demikian, desa yang belum terisi bidan letak geografisnya dekat dengan kota kabupaten sehingga tidak sulit bagi masyarakat untuk memperoleh layanan KB. Dinas kesehatan masih bisa mengoptimalkan peran bidan Pegawai Tidak Tetap (PTT) apabila diperlukan, karena jumlah bidan PTT untuk saat ini cukup memadai yaitu sebanyak 74 orang. Jumlah tenaga dokter spesialisobgyn di Kabupaten Tuban juga masih terbatas, sehingga pelayanan MOP dan MOW di RS belum maksimal. Selama ini pelayanan MOP dan MOW di RSUD hanya dilakukan selama dua hari (Selasa dan Kamis) dengan pembatasan jumlah pasien antara 4-5 orang per hari pelayanan. Kompetensi bidan dalam pelayanan KB masih perlu ditingkatkan terutama pelayanan MKJP (implan dan IUD). Dari seluruh bidan yang ada, hanya 45% yang sudah pernah mendapatkan pelatihan CTU dan baru 35% yang mendapatkan pelatihan ABPK. Dalam rangka peningkatan kompetensi petugas pelayanan, tentunya juga harus dilakukan penambahan anggaran oleh pemerintah daerah kepada Dinas kesehatan untuk keperluan penyelenggaraan pelatihan dan refreshing. Tenaga penyuluh lapangan KB di Kabupaten Tuban masih sangat kurang jumlahnya.Dari 328 desa yang ada, hanya tersedia 74 orang PLKB; itupun rata-rata sudah senior dan banyak yang mendekati masa pensiun.Perbandingan ideal jumlah PLKB adalah satu orang membawahi dua

Page 49: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

37

desa. Namun, kondisi saat ini perbandingannya adalah satu PLKB bertanggung jawab terhadap ± 4 desa. Kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan terhadap keberlanjutan program KB apabila tidak ada penambahan tenaga PLKB. Menurut Kabid KB Bapemas Tuban, pernah diugusulkan penambahan jumlah PLKB sebanyak 90 orang dengan kompetensi pendidikan minimal D3, tetapi belum ada realisasinya. Strategi Pemda yang saat ini diterapkan untuk menutupi kekurangan PLKB adalah dibentuknya Petugas Penyuluh Keluarga Berencana Desa (PPKBD) dan sub PPKB yang menyebar hampir di seluruh desa yang ada. Dalam jangka pendek mungkin strategi ini bisa efektif, tetapi untuk jangka panjang mungkin sudah tidak sesuai lagi karena pada dasarnya tidak ada persyaratan minimal yang harus dipenuhi bagi PPKBD dan sub PPKBD. Sedangkan dalam upaya memberikan penyuluhan dan motivasi masyarakat, seharusnya seorang petugas mempunyai kompetensi yang memadai sesuai dengan SOP yang ditetapkan. Untuk saat ini, jumlah PPKBD dan sub PPKBD di Kabupaten Tuban sudah mencukupi, yaitu sekitar 1.987 orang yang tersebar di semua desa. Secara umum kinerja PPKBD dan sub PPKBD selama inisudah cukup baik dan bertanggung jawab. Hal ini terlihat dari cakupan KB baru di tingkat desa yang cukup tinggi. Perhatian Pemda terhadap keberadaan mereka juga sangat mendukung dengan diberikannya insentif per bulan pada setiap petugas. Untuk mengevaluasi cakupan dan peningkatan keterampilan PPKBD dan sub PPKBD, biasanya dilakukan pertemuan di kecamatan setiap tiga bulan sekali dengan metode arisan yang dikoordinir oleh PLKB di setiap wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan.

Pelatihan terkait program KB yang pernah dilakukan antara lain pelatihan Contraceptive Technology Update (CTU) untuk dokter, pelatihan CTU bidan dan pelatihan Alat Bantu Pengambil Keputusan (ABPK) untuk bidan. Pelatihan terakhir dilaksanakan pada bulan Oktober 2012, dimana semua pelatihan yang pernah dilakukan bersumber dari anggaran program KB Bapemas.

Pelatihan

Pelatihan CTU terakhir dilakukan di kantor Dinkes Kabupaten Tuban selama lima hari penuh, mulai dari pagi hingga sore hari yang diakhiri dengan praktek pemasangan MKJP di klinik KB. Peserta pelatihan khusus bidan dari berbagai Puskesmas dan RS, tidak hanya RSUD tetapi juga dari beberapa RS swasta yang ada di Kabupaten Tuban (RSAB Muhamadiyah, RS Nadhatul Ulama dan RS Medika Mulia) yang diminta oleh program KB Bapemas dan Dinkes untuk mengirimkan peserta pelatihan. Fasilitator pelatihan berasal dari tim P2KT tingkat Provinsi Jawa Timur dengan kualitas nasional (pelatih senior dari RS Dr. Soetomo Surabaya). Menurut Kabid Kesga Dinkes Kabupaten Tuban, kualitas pelatih sangat bagus dan memuaskan. Materi tidak saja terbatas pada bagaimana cara memasang alat kontrasepsi, tetapi juga diberikan pelatihan bagaimana cara melakukan komunikasi yang efektif untuk memotivasi klien untuk MKJP. Secara umum, pelatihan CTU dan ABPK masih sangat perlu ditingkatkan dengan lebih intensif karena hal tersebut dirasa sangat perlu bagi bidan untuk bisa memberikan pelayanan dengan lebih mantap dan percaya diri. Proporsi bidan yang sudah mendapatkan peatihan CTU ataupun ABPK masih sangat rendah yaitu di bawah 50%. Hal ini sudah mendapat perhatian khusus dari program KB Bapemas dengan merencanakan pelatihan serupa untuk tahun anggaran 2013.

Page 50: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

38

B.4. Kerjasama antar instansi

Pada dasarnya instansi yang terlibat dalam program KB di Kabupaten Tuban adalah Bapemas, pemerintah desa dan KB di bawah koordinasi langsung oleh Kabid KB. Dalam hal ini, fungsi yang dijalankan Bapemas adalah sebagai penyuluh terkait dan juga penyedia alat kontrasepsi terkait program KB di seluruh wilayah Kabupaten Tuban. Bapemas sangat berperan penting sebagai leading sektor yang mengkoordinir pelaksanaan program KB secara keseluruhan di wilayah tersebut.

Instansi pemerintah

Sedangkan penyedia pelayanan KB berada di bawah Dinkes Kabupaten, yang dikoordinir oleh Kabid Kesga Dinkes Kabupaten Tuban.Bidan dan dokter sebagai tenaga ahli di bawah Dinkes berwenang memberikan pelayanan pemasangan alat KB.Pelayanan KB gratis berlaku bagi semua masyarakat Kabupaten Tuban tanpa terkecuali, dengan syarat mempunyai kartu identitas untuk mendapatkan pelayanan di Puskesmas dan RSUD. Dalam momentum tertentu, Bapemas juga melibatkan berbagai instansi yang ada dalam pelaksanaan program KB, misalnya dengan TNI/Polri, dengan tim penggerak PKK, Dharma wanita, IBI dan beberapa instansi lainnya, dalam kegiatan safari KB. Menurut Kasubid Kesos Bappeda, adanya desentralisasi menyebabkan pelaksanaan program KB menjadi sedikit kurang fokus. Hal ini disebabkan program KB Kabupaten Tuban tidak berdiri sendiri dalam satu badan tetapi terintegrasi dengan Bapemas dan pemerintah desa sehingga dikhawatirkan kontrol di lapangan menjadi berkurang. Belum lagi terkendala masalah rumitnya koordinasi antara Dinkes dan bidang KB Bapemas sebagai pelaksana program KB di lapangan. Hal ini berbeda dengan sebelum desentralisasi, dimana program KB hanya berada di bawah satu koordinasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan alokasi anggaran sangat besar dari APBN. Efek dari desentralisasi adalah program KB sekarang tergantung kebijakan pemerintah daerah dengan anggaran bersumber pada APBD masing-masing daerah. Hambatan utama terkait masalah koordinasi adalah terkadang masih ada ketidakjelasan koordinasi terkait kegiatan di daerah antara program KB Bapemas dengan Dinkes. Kasus yang sering terjadi adalah keterlambatan disposisi surat pemberitahuan kegiatan dari kabupaten ke kecamatan/desa sehingga terjadi salah koordinasi waktu pelaksanaan program di daerah. Misalnya, terjadi kegiatan yang tumpang tindih (overlap) pada hari yang sama antara Dinkes dan program KB Bapemas. Masalah lainnya adalah perbedaan definisi operasional dalam penentuan akseptor KB baru, sehingga seringkali terjadi perbedaan hasil cakupan antara program KB Bapemas dan Dinkes Kabupaten Tuban.

Selain sektor pemerintah, keterlibatan pihak swasta juga terasa penting dalam program KB di Kabupaten Tuban. Peran rumah sakit Swasta sangat besar terkait pelayanan MOW dan MOP. Selain itu, pihak TNI/Polri juga dinilai aktif berpartisipasi melalui kegiatan pelayanan mobile dan Safari KB di Kabupaten Tuban.

Sektor swasta

Banyaknya perusahaan swasta di Kabupaten Tuban belum dilibatkan dengan maksimal terkait pelaksanaan program KB di wilayah tersebut. Menurut informasi yang diperoleh dari seorang bidan di Kecamatan Rengel, selama ini hanya pernah sekali mendapat bantuan alat kontrasepsi dari PT. Petrocina melalui Dinkes yang selanjutnya didistribusikan ke Puskesmas dengan wilayah kerja yang dilewati pipa minyak dari perusahaan tersebut, yaitu Desa Ngadirejo dan Bulurejo.

Page 51: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

39

B.5. Menciptakan kebutuhan

Belum ada program khusus untuk promosi KB di Kabupaten Tuban yang bersifat intensif dan berkesinambungan. Sarana promosi yang dilakukan selama ini masih bersifat insidentil melalui berbagai media seperti seperti poster, pengecatan genteng dengan slogan dua anak cukup, ataupun stiker yang ditempel pada kendaraan PLKB terkait program KB. Promosi KB di tingkat kabupaten dilakukan oleh bidang KB Bapemas dengan memberikan penyuluhan melalui pemutaran film dengan menggunakan mobil penerangan keliling ke beberapa desa.Namun, sifatnya masih insidentil dan belum terjadwal secara rutin. Sarana informasi lain yang pernah digunakan adalah kerjasama dengan stasiun radio swasta untuk mempromosikan program KB, tetapi hal tersebut sudah tidak berlanjut lagi.

Promosi program

Di tingkat kecamatan dan desa, pengembangan promosi program KB sangat tergantung pada inisiatif masing-masing pemegang program bersangkutan. Seperti, halnya yang pernah dilakukan oleh koordinator PLKB Kecamatan Parengan yang membuat website/ blog terkait program KB. Hal serupa juga pernah dilakukan oleh koordinator PLKB Kecamatan Rengel yang membuat lagu tentang program KB untuk dimasukkan dalam lomba cipta lagu tingkat provinsi. Cara lain yang dilakukan oleh PLKB adalah memberikan pembekalan informasi KB pada tokoh agama/dan tokoh masyarakat (natural leader) untuk penyebaran informasi KB. Promosi yang dilakukan oleh PPKBD dan sub PPKBD lebih banyak langsung menyentuh masyarakat melalui beberapa kegiatan pertemuan warga, seperti pengajian ataupun acara kemasyarakatan lainnya.

Dalam setiap pelayanan KB, bidan selalu menerapkan prinsip cafetaria, yaitu dengan menawarkan berbagai pilihan jenis KB, terutama untuk peserta KB baru. Untuk calon akseptor, pemilihan kontrasepsi dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, termasuk keadaan umum pasien, keadaan klinis dan psikologis, jumlah anak dan keinginan pasien. Meskipun prinsip cafetaria selalu diberikan, biasanya pasien yang datang sudah dengan pilihan alat kontrasepsi sendiri.

Konseling KB

Sebelum melakukan pelayanan, bidan selalu melakukan konseling kepada calon akseptor dengan menggunakan lembar balik untuk menjelaskan tentang berbagai jenis alat kontrasepsi. Hal ini dilakukan terutama untuk akseptor baru atau yang akan ganti metode alat kontrasepsi baru. Belum semua bidan desa mempunyai kelengkapan konseling seperti lembar balik ataupun peralatan KB set. Mereka yang mempunyai lembar balik dan KB set biasanya bidan delima ataupun yang pernah ikut pelatihan ABPK ataupun CTU. Bidan yang tidak mempunyai lembar balik melakukan konseling dari beberapa gambar yang ada dan juga menunjukkan contoh alat kontrasepsi yang tersedia. Klien KB yang mencari pelayanan ke BPS sebagian besar berasal dari wilayah setempat, meskipun ada juga yang dari luar wilayah.Hal tersebut terkait dengan faktor jarak ataupun kenyamanan akseptor dalam mendapatkan layanan pada bidan tertentu. Jenis alat kontrasepsi yang ditawarkan pada akseptor berbeda-beda.Bagi akseptor yang sudah mempunyai anak cukup banyak, usia lanjut ataupun risiko tinggi disarankan untuk menggunakan MKJP. Sebagian besar akseptor yang datang ke BPS menginginkan kontrasepsi jenis suntik ataupun pil. Bila menginginkan MKJP, akseptor akan diarahkan kePuskesmas ataupun RSUD karena BPS tidak diberikan kewenangan untuk melayani MKJP di tempat praktek.

Page 52: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

40

Menurut informasi dari beberapa bidan, mayoritas tingkat kedisiplinan klien dalam ber-KB cukup baik, kecuali akseptor pil.Terkadang mereka masih sering lupa untuk minum setiap hari, bahkan masih ada yang meminum pilhanya jika mau berhubungan seks sehingga terkadang terjadi kegagalan.

C. Pendapat Masyarakat C.1. Sikap masyarakat

Akseptor KB

Sikap pasangan usia subur

Hampir semua ibu akseptor KB di dua wilayah studi mempunyai pandangan yang sama, bahwa dalam keluarga yang mempunyai banyak anak identik dengan kurang sejahtera dan dapat berdampak pada perlunya biaya yang besar, termasuk untuk keperluan sekolah anak. Persepsi mereka terkait keluarga sejahtera adalah keluarga yang cukup secara ekonomi, tidak memiliki banyak anak, bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyekolahkan anak dan bisa hidup sehat.

“Anaknya kebanyakan kurang sejahtera….anak banyak bingung sekolahnya.”(Ibu KB Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Keluarga yang sejahtera itu ekonomi cukup, tidak banyak anak, bisa sejahtera…Bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyekolahkan anak, bisa hidup sehat.”(Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Yang ini kalo bisa, 2 anak cukup tidak repot, bisa mengurus anak dengan baik, bisa memberi nafkah setiap hari, hidupnya terjamin, banyak anak sekolahnya kan lupa, pendidikan terjamin….2 anak cukup yang penting sehat.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Sebagian besar ibu berpendapat salah satu cara untuk menciptakan keluarga yang sejahtera adalah dengan program KB sehingga bisa merencanakan jumlah anak dan jarak kelahiran yang dikehendaki. Meskipun ada sebagian kecil ibu yang masih ragu dengan program KB karena masih ada kasus kebobolan padahal sudah ikut KB.

“Keluarga yang sejahtera bisa di rencanakan…Insyaallah bisa, bisa pak yaitu dengan caraber-KB.” (Ibu KB Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Kadang-kadang ada, Pak.. sudah ikut KB masih kebobolan…”(Ibu KB Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Non-akseptor KB

Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara masyarakat akseptor KB ataupun non akseptor terkait dengan pandangan mereka terhadap keluarga sejahtera. Hampir sama dengan pendapat akseptor KB, hampir semua non akseptor mempunyai pandangan yang sama bahwa keluarga sejahtera adalah keluarga yang harmonis dengan jumlah anak sedikit yaitu dua anak sehingga bisa mendidik anak dengan pendidikan setinggi mungkin sesuai kemampuan kedua orang tuanya.

“Keluarga yang harmonis dengan jumlah anak sedikit yaitu dua anak sehingga bisa mendidik anak dengan pendidikan setinggi mungkin sesuai kemampuan kedua orang tuanya.” (Ibu non-KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Ada sebagian yang berpendapat bahwa keluarga sejahtera apabila tercukupi kebutuhan sandang, pangan dan perumahan, keluarga yang rukun dan tidak bertengkar, keluarga yang dilengkapi dengan anak-anak baik laki-laki atau perempuan dan ditambah dengan kemampuan ekonomi yang cukup serta suami istri yang saling menyayangi.

Page 53: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

41

“Keluarga yang tercukupi baik sandang, pangan serta perumahan…keluarga yang rukun dan tidak bertengkar… pokoke keluarga sejahtera.” (Ibu non- KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Kalau menurut saya keluarga harmonis itu kita hidup berdua ya, pak ya… Seperti gambar tadi gambar 1 banyak anak, gambar 2 dua anak… punya anak laki terus punya perempuan itu harmonis juga apalagi ditambah ekonomi yang cukup, suami sangat menyayangi… nah itu baru sejahtera.” (Ibu non-KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Dari hasil FGD pada kelompok ibu dan bapak non akseptor di dua wilayah studi, diperoleh informasi bahwa hampir semua mendukung program KB. Rata-rata mereka sekarang tidak ber-KB karena masih ingin mempunyai anak lagi danakan kembali ikut KB kalau keinginannya sudah terwujud. Dengan KB keluarga sejahtera bisa direncanakan, bahkan mereka setuju dengan slogan KB yang dipakai saat ini, yaitu “Dua anak cukup”.

“Ya kepengen tambah anak lagi, kan anaknya sudah 1, pengen 1 lagi.” (Ibu non-KB,Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Salah seorang ibu non akseptor juga mengungkapkan kalau saat ini tidak ber-KB karena menginginkan anak dengan jenis kelamin tertentu.

“Ya kalo punyanya laki, ya pengennya perempuan. Kalo perempuan pengennya laki. Kalo nggak dikasih ya pasrah...hahahaa..”(Ibu non-KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Meskipun hampir semua setuju dengan program KB, tetapi ada sebagian dari mereka yang tidak suka dengan efek KB, seperti haid tidak teratur, pusing dan mengakibatkan kegemukan.

“Nggak setujunya kan karena efeknya, pusing….Badan jadi gemuk gitu.”(Ibu non-KB,Kec. Rengel, Kab. Tuban)

“KB ada manfaat merencanakan jumlah dan jarak lahir anak. Tapi kerugiannya ketidaknyamanan khususnya pada wanita pada siklusnya seharusnya bisa keluar tapi ndak bisa keluar sehingga mengalami pusing,capek dan faktor kegemukan. Kalau sudah datang itunya pasti merasa ndak nyaman, kesakitan. Saya mau tanya kenapa ada yang 1 bulan dan 3 bulan, pernah istri saya pakai yang 1 bulan haid lancar tapi kalau tanggalnya lupa tidak nyaman lagi.”(Bapak non-KB,Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Dari hasil wawancara dengan beberapa orang ibu mertua di dua wilayah studi, diperoleh informasi bahwa pada umumnya tidak ada orang tua yang melarang anaknya ikut KB. Karena menurut pendapat mereka KB adalah cara untuk mengatur dan merencanakan jumlah dan jarak kelahiran anak.

Sikap orang tua

Menurut informan, keluarga sejahtera adalah keluarga dengan dua anak cukup. Oleh karena itu, keluarga sejahtera adalah sesuatu yang dapat direncanakan dengan cara mengatur kelahiran anak, supaya pengeluaran rumah tangga, terutama untuk kebutuhan anak, dapat diatur dengan baik (misalnya tidak mengeluarkan biaya mulai masuk sekolah secara bersamaan). Meskipun setuju dengan program KB, ada seorang informan yang mengatakan bahwa sebenarnya keluarga sejahtera adalah jika kebutuhan rumah tangga tercukupi secara ekonomi. Tidak selamanya keluarga dengan jumlah anak banyak tidak sejahtera, tetapi memang kasus seperti ini proporsinya jauh lebih kecil. Informan mengatakan bahwa adiknya, seorang pamong desa juga memiliki memiliki lima anak dan dulu terlihat susah. Namun, informan tidak secara tegas menilai bahwa keluarga besar selalu identik dengan kesulitan. Menurut informan, keluarga dengan banyak anak akan terasa enaknya jika sudah tua dan anak-anak mereka sudah besar dan bekerja.

Page 54: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

42

“Ada… adik saya… malah pamong desa… sampek 5 ya…keadaannya ya susah… sulit…Nek (kalau) ekonomi sedang-sedang gitu ya enak… tapi susahnya kalau sudah tua gitu ya nggak seperti kalau punya anak banyak… hehe…”(Ibu/mertua PUS KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban).

C.2 Pengetahuan alat kontrasepsi

Jenis non-MKJP yang paling banyak diketahui oleh PUS baik suami ataupun istri adalah suntik dan pil. Selain itu, ada sebagian kecil suami yang juga mengetahui bahwa kondom adalah non-MKJP. Jumlah akseptor non-MKJP jauh lebih besar dibanding MKJP, terutama jenis suntik dan pil yang paling banyak digunakan oleh ibu dari PUS.

Pengetahuan non-MKJP pada PUS dan orang tua/mertua

Pengetahuan suami tentang non-MKJP adalah non-MKJP lebih praktis dan mudah diperoleh sehingga rata-rata mereka lebih setuju kalau istri mereka memakai pil atau suntik. Peran serta suami sendiri dalam penggunaan non-MKJP jenis kondom juga masih sangat rendah, dengan alasan malu menggunakan kondom, tidak nyaman dan malu untuk membeli kondom. Pengetahuan orang tua terkait dengan non-MKJP tidak jauh berbeda dengan PUS, di mana sebagian besar dari mereka hanya mengetahui pil dan suntik. Hal ini disebabkan karena memang dari dulu kedua jenis non-MKJP tersebut sudah ada dan banyak digunakan. Bahkan sebagian besar orang tua sudah sangat percaya dengan pil dan suntik karena sebagian dari mereka juga pernah memakai jenis non-MKJP tersebut. Alasan lain yang dikemukakan oleh ibu PUS mengapa memilih pil dan suntik karena menurut mereka kedua cara tersebut lebih mudah berhenti apabila masih ingin punya anak lagi. Tetapi tingkat kegagalan terhadap pemakaian pil dan suntik cukup besar karena lupa minum pil atau suntik dengan tepat waktu. Keluhan lain adalah efek samping yang ditimbulkan bisa menyebabkan pusing, haid tidak teratur dan menyebabkan kegemukan.

Pengetahuan ibu akseptor terkait MKJP jauh lebih baik dibanding ibu non akseptor. Pada umumnya ibu akseptor mengetahui beberapa jenis MKJP dan penggunaannya, tetapi ibu non akseptor banyak yang tidak mengathui tentang MKJP. Demikian juga kelompok bapak/suami hanya sedikit yang mengetahui tentang MKJP. Pengetahuan orang tua/mertua tentang MKJP juga masih rendah, dimana umumnya mereka hanya tahu tentang IUD saja karena alat kontrasepsi semacam ini sudah ada dari dulu.

Pengetahuan MKJP pada PUS dan orang tua/mertua

Masih banyak rumor negatif tentang MKJP yang menyebabkan banyak akseptor yang tidak mau memilih jenis tersebut. Dari hasil FGD dengan kelompok bapak-bapak non akseptor di salah satu lokasi studi didapatkan bahwa mereka tidak mau merekomendasikan istrinya untuk memilih MKJP dengan alasan kasihan dan merasa khawatir kalau nantinya istrinya kesakitan.Alasan lainnya adalah rasa takut karena harus memasukkan alat ke dalam tubuh sehingga sulit untuk diambil lagi dan bisa menimbulkan efek samping. Efek pemasangan IUD dan implant misalnya bisa menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari dan tidak boleh mengangkat beban berat. Mereka yang belum pernah memakai MKJP tidak mempunyai keberanian untuk mencobanya.Meskipun sebagian besar masyarakat sudah tahu bahwa pelayananan KB termasuk MKJP di Puskesmasdan RSUD Kabupaten Tuban gratis. Sebenarnya menurut pendapat sebagian besar ibu-ibu akseptor di 2 wilayah studi mempunyai pendapat yang hampir sama bahwa pemakaian MKJP lebih praktis dan tidak perlu bolak-balik ke tempat pelayanan. Ada

Page 55: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

43

salah seorang ibu yang mengaku memilih implan dengan alasan karena jangka waktunya lama. Kemudian ada juga yang memilih steril karena tidak ingin punya anak lagi dan mengkhawatirkan biaya semakin meningkat apabila punya anak lagi. Ada juga yang memilih steril karena sebelumnya memakai pil tapi efeknya pusing terus-menerus. Dari segi kepraktisan, steril, implan dan IUD dinilai sebagai alat kontrasepsi yang lebih praktis. Peserta FGD juga menyadari, bahwa antara alat kontrasepsi jangka pendek dan jangka panjang, risiko gagal lebih tinggi pada alat kontrasepsi jangka pendek. Ada peserta FGD yang memberikan alasan dan contoh, kadang-kadang lupa dan apabila uang pas-pasan, maka waktunya suntik pun ditunda sehingga bisa “kebobolan”. Pengetahuan masyarakat tentang MOP/MOW masih sangat kurang sehingga hampir semua peserta FGD menyatakan takut dengan metode tersebut. Tidak ada satupun bapak-bapak peserta FGD yang bersedia untuk MOP dengan alasan takut. Belum menyebarnya informasi tentang MOP tersebut terlihat dari ungkapan salah seorang bapak peserta FGD yang merasa aneh dengan adanya metode tersebut. Menurutnya MOP bisa disalahgunakan oleh akseptor karena bisa berhubungan dengan banyak perempuan tanpa takut hamil.

“ Enek pancen KB gawe uwong lanang, MOP…. Iso ngicipi ngalor ngidul gak iso ngetengi uwong…(Ada memang KB untuk laki-laki…. Bisa “nyoba” kesana kemari tapi tidak bisa menghamili perempuan.“(Bapak non-KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

C.3. Penerimaan jenis alat kontrasepsi

Berdasarkan teori diffusion of innovation, beberapa karakteristik yang berhubungan dengan alat kontrasepsi dikelompokkan ke dalam: (1) keuntungan relatif; (2) kompatibilitas; (3) kepraktisan dan kemudahan penggunaan; (4) kemungkinan bisa mencoba; dan (5) hasil yang nyata, seperti yang diuraikan berikut ini:

Untuk mengetahui bagaimana tingkat penerimaan masyarakat terhadap berbagai jenis alat kontrasepsi, dalam studi ini dilakukan penggalian informasi secara mendalam terkait MKJP dan non-MKJP kepada berbagai informan yang terdiri dari PUS di dua lokasi studi, baik yang saat ini sedang ikut KB (akseptor) ataupun non akseptor. Non akseptor dalam studi ini adalah mereka yang pernah ikut KB tetapi saat ini sedang tidak ber-KB karena sebagian besar menginginkan untuk punya anak lagi. Berbagai informasi terkait MKJP dan non-MKJP dikelompokkan dalam beberapa isu pokok sebagai berikut.

Non-Metode Kontrasepsi Jangka Panjang

Keuntungan relatif

Banyaknya akseptor yang memilih pil dan suntik karena sangat mudah diperoleh dan harganyapun terjangkau. Selain di bidan, pil sangat mudah dibeli di apotek sehingga akseptor tidak perlu harus mendapatkannya di tempat layanan bidan.

“Suntik, pil ada di bidan.” (Ibu non-KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Kalo pil biasa dapat di bidan, apotik-apotik.” (Ibu non-KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Pil Rp. 10.000,- dapat 3.“(Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Bagi akseptor yang kehabisan pil juga tidak perlu melakukan pemeriksaan ke bidan, tetapi cukup hanya membeli di apotik untuk bisa melanjutkan program KB.

Page 56: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

44

“Pakai pil ga pernah periksa...soalnya kalo habis beli lagi di apotik, di bidan cukup…” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Sedangkan bagi akseptor suntik, jaraknya bisa sedikit lebih lama yaitu ada satu bulan dan tiga bulan jadi terasa lebih nyaman. Disamping untuk layanan suntik KB tarifnya juga relatif lebih murah.

“Sini itu kebanyakan suntik…kalo suntik itu kan gampang 3 bulan sekali, ya murah gitu, lebih enak gitu loh.” (Ibu non-KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “(pilih suntik) lebih nyaman.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Suntik Rp. 15.000,- “(Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Kondom sebagai salah satu jenis non-MKJP yang seharusnya bisa dimaksimalkan pemakaiannya untuk meningkatkan peran pria dalam program KB, ternyata juga masih sangat rendah cakupannya. Menurut informasi yang diperoleh dari hasil FGD dengan kelompok bapak PUS, ternyata salah satu alasannya karena mereka merasa risih untuk memakainya.

“Kalau kondom nggak nyoba karena risih mbak….nggak nyaman.” (Bapak KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Kompatibilitas

Rendahnya cakupan pemakaian kondom juga ditegaskan oleh beberapa ibu peserta FGD bahwa memang selama ini masih jarang bapak-bapak yang pakai kondom.

“Jarang ada yang pakai kondom.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) Sedangkan suntik, selain karena memang banyak diminati dan dipilih oleh ibu PUS sendiri, ternyata banyak juga suami yang menyetujuinya dengan alasan kasihan terhadap istri jika harus menggunakan alat kontrasepsi jenis lainnya.

“Suami setuju pakai suntik karena kasihan ibunya…he..he.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) Kepraktisan dan kemudahan penggunaan Kepraktisan dalam penggunaan pil menjadi nilai lebih tersendiri bagi sebagian besar masyarakat untuk memilih jenis ini. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang ibu peserta FGD yang memilih pil supaya lebih praktis dalam masa menyusui.

“Karena menyusui lebih baik pil.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) Meskipun penggunaan pil dan suntik menurut sebagian besar akseptor praktis dan mudah penggunaannya, tetapi dalam pemakaiannya diperlukan kepatuhan dan kedisiplinan yang tinggi. Seringkali terjadinya kebobolan dari kedua jenis alat kontrasepsi tersebut karena akseptor tidak patuh dalam pemakaiannya ataupun lupa jadwal kadaluwarsa masa pakainya.

“Pil tiap hari habis eee…ya lupa itu.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “…(ganti suntik) biar praktis.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Suntik.. tetapi jadi anak.. hehe..tanggal suntik lupa.” (Bapak KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Kebanyakan yang bobol itu mau suntik ndak punya uang jadi terus kebobolan.” (Bapak non-KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Page 57: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

45

Kemungkinan bisa mencoba

Menurut keyakinan sebagian besar ibu di semua lokasi studi, penggunaan pil dan suntik mudah untuk dihentikan apabila suatu saat mereka ingin punya anak lagi.

“(pilih pil) biar katanya cepat punya anak lagi.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Biar mudah punya anak, habis punya anak langsung suntik…” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Jangka pendek untuk yang anaknya baru satu, yang masih ingin punya anak lagi.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Gak mesti, kadang lepas suntik sudah setahun baru punya anak lagi.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Hasil yang nyata

Pengalaman terhadap pemakaian berbagai jenis non-MKJP sangat beraneka ragam pada setiap akseptor. Biasanya efek samping ataupun keberhasilan terhadap jenis non-MKJP yang paling banyak diungkapkan. Seperti halnya efek samping dari pil yang sering dirasakan oleh akseptor, yaitu mual, pusing, badan kelihatan kering kurang segar dan sulit untuk kembali mendapatkan masa subur.

“Lha kalau nanti minum pil itu pengen muntah…mual.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Aku dulu kan pakai pil nggak enak.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Pil pertama pusing kayak migran gitu lho, cuma beberapa hari habis itu biasa.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Perbedaan orang yang menggunakan jangka pendek seperti pil…rasanya kering nggak segar.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Pil kembalinya masa subur lebih susah.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Pil susah punya anak.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Selain berbagai efek samping yang ditimbulkan, pemakaian pil juga seringkali mengalami kegagalan/kebobolan yang disebabkan kelalaian akseptor sendiri. Dengan demikian bisa dikatakan tingkat keberhasilan pemakaian pil tidak bisa menjamin 100% aman untuk mencegah kehamilan.

“Pakai pil cuma kalo ada keluhan baru periksa.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Kalo ngepil takut kebobolan, jadi milih suntik…” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Pil takut kebobolan, soalnya saya malas minum obat.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Efek samping dari pemakaian suntik yang banyak dirasakan oleh sebagian besar akseptor adalah haid tidak teratur, bahkan ada yang sama sekali tidak menstruasi, badan jadi gemuk, pusing dan ada yang merasa kulit jadi hitam.

“Suntik…ya cuma haidnya nggak teratur, kadang 5 bulan sekali haid, kadang 5 bulan sama sekali nggak haid.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Kalo saya dulu suntik yang 3 bulan kan nggak cocok, kurus sama pusing.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Kerugian suntik tidak menstruasi..tambah gemuk.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Page 58: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

46

“Kalo kerugiannya [suntik]...ya itu gemuk…kalo menstruasi tidak lancar, ada yang sama sekali tidak haid…tambah hitam.” (Ibunon-KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Meskipun kondom jarang digunakan, tetapi menurut seorang bapak peserta FGD menyatakan bahwa dia merasa yakin pemakaian kondom untuk menccegah kehamilan cukup aman asal tidak mengalami kebocoran.

“Insya Allah kondom aman… kalau ndak bocor ya aman..”(Bapak non-KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Keuntungan relatif

Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP)

Menurut akseptor MKJP, hampir semua jenis MKJP lebih memberikan kenyamanan baik dari sedikitnya efek yang ditimbulkan ataupun akses untuk mendapatkannya. Berbagai jenis MKJP seperti implan, IUD, bahkan steril bisa diperoleh secara gratis di Puskesmas ataupun RS.

“Implan di RS, Puskesmas.” (Ibunon-KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Bila mau pakai implan harus tanya bidannya dulu ada atau nggak, tapi biasanya langsung ada.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Implan gratis dulu Rp. 25.000,-…IUD gratis.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Memuaskan.. Dulu ada steril gratis pelayanannya juga bagus kakak ipar saya juga ikut.” (Bapak KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Salah seorang bapak peserta FGD mengungkapkan pendapatnya bahwa untuk meningkatkan cakupan MKJP sudah bagus dengan pelayanan gratis, tetapi dengan catatan harus didukung dengan obat yang berkualitas juga. Karena apabila kualitas alat kontrasepsinya tidak bagus, maka masyarakat tidak akan mau memanfaatkan layanan. Hal tersebut dicontohkan dengan pelayanan Jamkesmas yang pada umumnya masyarakat tidak banyak menggunakan obatnya karena dianggap tidak ampuh/mujarab.

“Kalau KB gratis, obatnya yang berkualitas… Sama pak, kayak Jamkesmas itu dibiarkan saja... obatnya tidak mujarab... Banyak yang ndak mau karena obatnya tidak mujarab.” (Bapaknon-KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Beberapa akseptor IUD menyampaikan mereka merasa lebih nyaman dengan MKJP yang dipakai karena tidak ada efek samping yang ditimbulkan dan menstruasi bisa teratur setiap bulannya. Demikian juga dengan seorang peserta yang memilih steril merasa sudah cocok dan tidak ada keluhan sama sekali.

“Pakai IUD sekarang ya merasa nyaman.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “IUD nggak terasa apa-apa, cuma menstnya itu terus sampai 7 bulan habis itu normal.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “..IUD katanya nggak ada efek sampingnya, bebas gitu itu.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Pakai IUD tidak ada kerugian..bisa mens tiap bulan lancar nggak hormonnya..” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “…[memilih steril] sudah tidak ada keluhan lagi, maksudnya sudah cocok..kalau pil pusing.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Page 59: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

47

Kompatibilitas

Terkait dengan pemasangan IUD, sebagian bapak-bapak peserta FGD merasa malu karena pemasangannya harus membuka aurat, sehingga seringkali membuat ibu-ibu takut apalagi belum banyak sosialisasinya. Berbeda halnya dengan implan yang pemasangannya tidak perlu buka aurat dan sudah banyak sosialisasinya.

“…[IUD]Biasanya pada takut mbak.. belum ada sosialisasi.” (Bapak KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Kalau susuk sudah… Kalau yang itu kan [IUD] dimasukkan di sini [menunjuk bagian tubuh tertentu]. Biasanya kan malu…”(Bapak KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Kepraktisan dan kemudahan penggunaan

Pemakaian IUD, implan, terlebih lagi steril di rasa sangat praktis yaitu dengan sekali pasang manfaatnya bisa panjang sampai beberapa tahun. Dengan MKJP sudah tidak perlu repot lagi untuk bolak-balik ke tempat pelayanan KB.

“Kalau IUD setiap bulan kan pasti teratur.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Malas suntik, kadang suntik kadang tidak terus akhirnya pilih IUD.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Paling praktis pakai IUD karena jangka waktunya lama…10 tahun.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Pakai implan praktis tidak KB tiap bulan.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

“Sudah cukup anak yang terakhir operasi takut biayanya akhirnya pilih steril.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Kemungkinan untuk mencoba

Meskipun MKJP dirasakan banyak keuntungannya, tetapi ada juga kerugian yang mungkin akan dirasakan apabila ingin punya anak lagi karena harus dilakukan operasi untuk melepas MKJP yang dipakai.

“Keuntungannya sekali cukup…Tidak bolak balik ke rumah sakit. Kerugiannya, kalau pengen punya anak lagi harus operasi lagi.” (Bapak KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Pengalaman serupa pernah dialami oleh seorang ibu peserta FGD yang menceritakan bahwa dulu pernah berkeinginan melakukan sterilisasi, tetapi diberikan saran oleh bidan untuk mempertimbangkannya kembali karena usia akseptor masih muda. Menurut penjelasan bidan tersebut, kalau sudah steril maka seorang ibu sudah tidak bisa mempunyai anak lagi.

“Dulu waktu masih umur 30 belum boleh ikut steril, kata bidannya apa nggak kepingin punya anak lagi…”(Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Hasil yang nyata

Keberhasilan dari pemakaian MKJP untuk mencegah kehamilan sudah banyak dirasakan oleh akseptor MKJP, terlebih lagi akseptor steril (MOW). Biasanya mereka yang steril adalah mereka yang sudah mempunyai anak lebih dari cukup, sudah usia lanjut, ataupun karena ada gangguan dengan kandungannya sehingga disarankan oleh bidan/dokter untuk steril.

“Steril untuk yang sudah usia lanjut dan anak sudah cukup.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Setelah ikut steril dibuat angkat yang berat sakit, tapi sekarang sudah tidak…”(Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Page 60: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

48

“Karena waktu hamil yang ketiga mengalami gangguan, terus ikut Caesar.. kembar, lantas saya pilih steril aja, karena anak sudah 4 ternyata Allah berkehendak lain, dua anak saya meninggal dunia jadi sekarang anak saya tinggal dua.” (Bapak KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Demikian juga dengan IUD yang dirasa sangat aman tingkat keberhasilannya karena jarang terjadi kebobolan. Biasanya pemasangan IUD menjadi satu paket dengan pasca persalinan. Efek yang ditimbulkannya juga cenderung kecil, meskipun ada seorang akseptor yang mengaku terganggu siklus menstruasinya akibat memakai IUD.

“IUD nggak takut kebobolan.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Kalau… IUD itu kok.. kadang 1 bulan datang bulan, satu bulan ndak.” (Bapaknon-KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Keuntungan pakai IUD bisa menstruasi setiap bulan..tidak ada kerugian.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Setelah melahirkan langsung pasang IUD…ya tidak ada rasanya karena memang sudah niat dan juga disarankan bidan.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

“Setelah kebobolan….ya pindah yang jangka panjang seperti IUD, implan…”(Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Terkait dengan pemasangan implan, ada beberapa keluhan terjadinya efek samping seperti tangan terasa sakit buat angkat beban berat, ada yang mengalami menstuasi tidak teratur, menyebabkan kegemukan dan ada yang mau melepas implannya sangat sulit.

“Susuk…kadang gak boleh kena air, sama gak boleh..angkat-angkat benda.” (Ibu KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban) “Keluhan pakai implan kadang ada yang tidak menstruasi.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Halaahhh…sama saja, saya pakai implan juga gemuk.” (Ibu KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban) “Implan..efeknya itu seperti kemarin waktu periksa, ngambilnya kok susah…”(Bapaknon-KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

C.3. Proses pengambilan keputusan

Keputusan terhadap pemakaian alat kontrasepsi bagi PUS sangat bervariasi di masyarakat. Ada beberapa orang yang berperan penting dalam pengambilan keputusan, baik pihak internal keluarga ataupun di luar keluarga. Dalam studi ini akan melihat proses pengambilan keputusan PUS di dua lokasi studi, yaitu Kecamatan Rengel dan Kecamatan Parengan. Dari beberapa informasi yang dikumpulkan terlihat ada sedikit perbedaan pada dua lokasi tersebut.

Dari hasil FGD pada kelompok bapak dan ibu PUS di Kecamatan Rengel, diperoleh informasi bahwa pengambilan keputusan untuk ber-KB pada dasarnya karena keputusan bersama antara istri dan suami, bahkan ada sebagian karena pengaruh orang tua dan mertua. Demikian juga bagi PUS yang tidak ber-KB, keputusan sudah diambil dengan persetujuan suami.

Pengambil keputusan dalam ber-KB

Page 61: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

49

PUS yang tidak ber-KB saat ini rata-rata karena masih dalam program untuk punya anak lagi. Mereka mengatakan bahwa nantinya akan kembali ber-KB setelah keinginannya tercapai. Terkait dengan keputusan alat kontrasepsi yang akan dipakai nanti, sebagian besar bapak-bapak peserta FGD lebih menyerahkan kepada istri mereka untuk memilih sendiri jenis alat kontrasepsinya. Hal ini dilakukan karena menurut mereka nantinya yang ber-KB adalah perempuan, sebagian besar bapak menyatakan tidak mau ber-KB apalagi MOP. Meskipun keputusan untuk memilih alat kontrasepsi lebih diserahkan kepada istri, tetapi pada dasarnya banyak bapak-bapak yang merasa keberatan kalau istri mereka pakai MKJP dengan alasan takut dengan risikonya. Informasi yang sedikit berbeda diperoleh dari peserta FGD ibu KB di Kecamatan Parengan, yang menyatakan bahwa keputusan untuk memilih alat kontrasepsi dipengaruhi oleh bidan dan kader. Sebagian lagi lebih dipengaruhi oleh diri sendiri dan keluarga. Hasil FGD pada kelompok ibu yang tidak ber-KB di Kecamatan Parengan juga menyebutkan bahwa selain dengan suami, mereka juga biasanya mengkomunikasikan masalah KB dengan tetangga, teman, keluarga dan juga bidan.

“….yang paling berpengaruh ketika memutuskan menggunakan jenis alat kontrasepsi… Bidan atau kader-kader, keluarga, sendiri…”(IbuKB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Hampir sama dengan di Kecamatan Rengel, sebagian besar bapak-bapak peserta FGD di Kecamatan Parengan juga lebih cenderung menyerahkan pemilihan alat kontrasepsi kepada istri meskipun pada dasarnya mereka lebih suka kalau istri memilih suntik.

Dari kedua lokasi studi diperoleh hasil yang sama bahwa hampir semua peserta FGD mempunyai persepsi yang sama bahwa apabila tidak ber-KB maka risiko terjadinya kehamilan akan semakin besar.

Keyakinan terhadap berkurangnya risiko jika ber-KB

Sebagian besar peserta FGD percaya bahwa KB adalah salah satu cara untuk bisa mencegah terjadinya kehamilan. Menurut mereka, MKJP lebih aman untuk mencegah kehamilan karena non-MKJP seperti suntik dan pil terkadang masih banyak kegagalannya. Kalaupun ada kegagalan MKJP biasanya tidak terlalu banyak. Kegagalan terhadap pemakaian IUD pernah dialami oleh salah satu keluarga dari ibu peserta FGD di Kecamatan Parengan. Menurut pendapat dari ibu tersebut, terjadinya kegagalan IUD disebabkan karena pemasangannya yang kurang tepat.

“Bisa juga, soalnya kakak dulu ikut IUD bisa hamil, IUDnya gak pas pemasangannya…” (Ibunon-KB, Kec. Parengan, Kab. Tuban)

Kegagalan non-MKJP biasanya karena ketidakpatuhan akseptor dalam penggunaannya, meskipun ada seorang bapak peserta FGD di Kecamatan Rengel yang menyebutkan keyakinannya terhadap suntik dalam mencegah kelahiran hanya 80%. Menurut sepengetahuannya, pernah terdengar isu bahwa dalam satu kotak obat suntik pasti ada yang tidak paten/manjur sehingga bisa menyebabkan kegagalan.

“….pakai alat KB jangka pendek, missal suntik yakin… ya 80% lah. Nah…20% nya nggak yakin pak...”(Bapak KB Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Page 62: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

50

Hambatan informasi

Hambatan dalam pengambilan keputusan

Salah satu hambatan dalam pemakaian alat kontrasepsi adalah terbatasnya pengetahuan PUS terhadap berbagai jenis alat kontrasepsi. Menurut beberapa peserta FGD kelompok ibu non-KB di Kecamatan Rengel, sebagian besar dari mereka hanya menerima informasi terkait suntik. Sedangkan untuk alat kontrasepsi jenis lain lebih banyak beredar rumor negatif sehingga menimbulkan ketakutan untuk menggunakan alat kontrasepsi jenis lain.

“Jadi yang mendapat informasi selama ini lebih banyak ke suntik… Yang steril belum nyoba, ya dibilangi katanya kan takut sendiri gitu lho…”(Ibunon-KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Informasi serupa juga ditemukan dari hasil FGD kelompok ibu non-KBKecamtan Parengan yang masih sangat mengharapkan adanya informasi yang jelas dan cukup dari petugas kesehatan mengenai penggunaan dan kemungkinan efek samping dari berbagai jenis alat kontrasepsi yang ada. Hambatan medis

Hambatan medis yang sering dialami dalam pemasangan alat kontrasepsi biasanya terkait dengan tensi darah calon akseptor yang terlalu tinggi sehingga tidak diperbolehkan menggunakan jenis alat kontrasepsi tertentu. Beberapa kasus yang sering terjadi biasanya terkait dengan MOW, di mana calon akseptor yang sebelumnya sudah siap melakukan operasi tetapi setelah sampai di RS dan diperiksa oleh dokter ternyata tensinya meningkat yang kemungkinan besar disebabkan karena ketakutan melakukan operasi sehingga gagal dilakukan MOW. Hambatan lain yang menyebabkan rendahnya cakupan MKJP juga disebabkan karena adanya contoh kasus beberapa pemasangan MKJP yang menimbulkan efek negatif, seperti sulit melepas IUD, efek implan yang menyebabkan kesakitan pada lengan dan beberapa efek lainnya. Hambatan akses

Tidak ada hambatan/kendala pada ketersediaan dan aksesibilitas layanan KB. Layanan KB selama ini dinilai sudah cukup terjangkau. Kendala yang ada berkaitan dengan perubahan perilaku dari pemilihan alat kontrasepsi jangka pendek ke jangka panjang. Alat kontrasepsi jangka panjang masih belum dapat diterima oleh sebagian besar informan, dengan alasan utama takut. Hambatan norma

Masih rendahnya peran serta pria dalam ber-KB lebih disebabkan karena sebagian besar pria mempunyai anggapan kalau masalah KB adalah urusan wanita.Sehingga seharusnya wanita yang harus lebih banyak mencari tahutentang KB ataupun terlibat dengan berbagai kegiatan KB termasuk dalam pelayanan alat kontrasepsi. Bagi beberapa orang pria juga masih mempunyai anggapan terkait pemakaian kondom yang secara psikologis menimbulkan rasa tidak nyaman dan risih untuk memakainya.

“Hehe.. gitu…meskipun pakai yang ini [menunjuk kondom] ndak.. ndak setuju.. hehe..ya… itu kan karet… hehe..”(Bapaknon-KB, Kec. Rengel, Kab. Tuban)

Hambatan ekonomi

Secara ekonomi, masalah KB di Kabupaten Tuban seharusnya sudah bukan menjadi kendala karena adanya kebijakan pemerintah daerah yang menerapkan pelayanan KB gratis bagi semua

Page 63: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

51

masyarakat tanpa ada pengecualian.Akses terhadap pelayanan KB secara rutin juga tersedia di berbagai tempat.Belum lagi ditambah dengan berbagai pelayanan yang sifatnya insidentil pada momentum khusus seperti HUT TNI, HUT Bayangkara, satuan gerak PKK, HUT IBI dan berbagai momentum lainnya. D. Pembelajaran Dari Desa Mkjp Tinggi Dan Rendah Studi ini mencoba melihat pelaksanaan program KB di dua lokasi dengan kriteria cakupan MKJP tinggi dan rendah. Cakupan MKJP tinggi mengambil lokasi di Kecamatan Parengan dan MKJP rendah di Kecamatan Rengel. Perbedaan cakupan MKJP di kedua lokasi tersebut sangat mencolok, yakni cakupan MKJP di Kecamatan Parengan mencapai 25,11% sedangkan di Kecamatan Rengel hanya 8,24%. Tabel 4.12 Proporsi KB aktif menurut jenis MKJP di Kecamatan Rengel dan Parengan, 2012

No Kecamatan Jenis MKJP (%) IUD MOP MOW Implan Jumlah

1 Rengel 4,87 0,12 1,53 1,73 8,24 2 Parengan 16,56 0,23 2,02 6,30 25,11 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban, Indikator Kinerja SPM tahun 2012 Proporsi terhadap cakupan akseptor KB baru juga terlihat sedikit lebih tinggi di Kecamatan Parengan dibanding Kecamatan Rengel. Proporsi angka cakupan dihitung berdasarkan perbandingan antara perkiraan permintaan masyarakat (PPM) dengan pencapaian. Tabel 4.13 Proporsi cakupan peserta KB baru di Kecamatan Rengel dan Parengan, 2012

No Kecamatan PPM Pencapaian Proporsi (%) 1 Rengel 1.642 1.763 107,37 2 Parengan 1.227 1.420 115,73

Sumber: Rakerda program KB, Kab. Tuban tahun 2012 Jumlah pasangan usia subur (PUS) di kedua lokasi studi hampir sama, tetapi angka unmet need terlihat jauh lebih tinggi di Kecamatan Rengel dibanding Kecamatan Parengan. Berikut adalah angka unmet need di kedua lokasi studi; Tabel 4.14 Proporsi jumlah unmet need di Kecamatan Rengel dan Parengan, 2012 No Kecamatan Jumlah PUS Unmet need Proporsi (%) 1 Rengel 7.5131) 2.8492) 37,9 2 Parengan 7.9361) 1.0063) 12,7 Sumber: 1) Dinkes Kab. Tuban, indikator kinerja SPM, 2012; 2) Dok CI kec. Rengel, 2012; 3) Dok CI kec. Parengan Dari tabel di atas terlihat unmet need di kedua lokasi tergolong tinggi terutama di Kecamatan Rengel. Berdasarkan hasil wawancara dengan koordinator PLKB di kedua kecamatan, diperoleh informasi bahwa tingginya angka unmet need kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: • Ada anggapan dari masyarakat terutama mereka yang sudah mendekati usia lanjut dan

merasa sudah tidak subur lagi sehingga tidak ber-KB karena merasa sudah tidak berisiko hamil lagi.

• Ada juga beberapa akseptor KB yang merasa sudah tidak subur lagi setelah melepas alat kontrasepsi yang dipakai (biasanya jenis implan). Karena dalam beberapa bulan pasca pelepasan alat kontrasepsi sudah tidak hamil lagi, maka selanjutnya memutuskan untuk tidak ber-KB meskipun masih tergolong PUS.

• PUS yang habis melahirkan atau dalam masa menyusui yang beranggapan belum subur dan tidak mungkin hamil lagi sehingga memutuskan untuk tidak ber-KB.

Page 64: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

52

Mencermati beberapa data di atas, berikut adalah peta analisa kualitatif yang coba dikembangkan untuk melihat beberapa faktor yang kemungkinan besar berpengaruh terhadap perbedaan cakupan angka MKJP di kedua lokasi studi tersebut. Tabel 4.15 Analisa kualitatif beberapa faktor yang berhubungan dengan cakupan MKJP di Kecamatan Rengel dan Parengan

No Faktor Pendukung Kecamatan Rangel Kecamatan Parengan

1 Karakteristik Masyarakat

• Menurut informasi dari salah satu kades di Kecamatan Rengel, mayoritas kondisi suami-istri dalam satu keluarga di wilayah tersebut banyak yang keduanya sama-sama bekerja sehingga banyak akseptor yang memilih KB non-MKJP dengan alasan kalau MKJP bisa menimbulkan efek samping yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Disamping itu, pandangan masyarakat sudah terbentuk bahwa sesuatu yang berhubungan dengan pengobatan harus disuntik sehingga secara tidak langsung hal ini sedikit banyak mempengaruhi terhadap pilihan alat kontrasepsi jenis suntik.

• Letak Kecamatan Rengel yang lebih dekat dengan pusat kota dengan kondisi lebih strategis dan akses transportasi lebih mudah ternyata cukup leluasa memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengakses dan memilih layanan KB. Mayoritas masyarakat lebih banyak mengakses ke klinik KB ataupun BPS dengan memilih layanan non-MKJP.

Letak geografis beberapa desa terpencil di Kecamatan Parengan juga ditandai dengan banyaknya masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Masyarakat sangat memerlukan seorang tokoh masyarakat yang bisa dijadikan panutan termasuk dalam penentuan sebuah keputusan/ pilihan. Terkait dengan program KB, hal ini bisa dijadikan peluang positif untuk memotivasi penggunaan MKJP di masyarakat melalui seorang tokoh masyarakat ataupun tokoh agama setempat. Metode semacam ini sudah cukup efektif, sehingga dalam pelayanan KB selama ini seringkali dilakukan safari KB dengan MKJP di beberapa daerah tersebut setelah sebelumnya masyarakat diyakinkan dengan pilihan MKJP.

2 Akses dan letak geografis

Daerah dengan akses transportasi mudah dan lebih dekat dengan pusat kota tidak menjamin tingginya cakupan MKJP. Bahkan hal sebaliknya bisa terjadi, hal ini dapat diidentifikasi dari informasi di lapangan di mana banyak akseptor yang tidak bisa memperoleh layanan implan ataupun IUD di BPS. Hal ini terkait dengan pembatasan kewenangan bidan yang hanya boleh memasang kedua jenis alat kontrasepsi tersebut di Puskesmas. Seringkali bidan menyarankan calon akseptor untuk mendapatkan layanan, tetapi hal tersebut terkadang membuat mereka membatalkan keinginannya karena selama ini rata-rata akseptor lebih

Secara geografis, jarak Kecamatan Parengan lebih jauh dari pusat kota Tuban dibanding Kecamatan Rengel. Kondisi beberapa desa di Kecamatan Parengan masih banyak yang terpencil dengan kondisi daerah pegunungan sehingga jauh dari akses pelayanan kesehatan. Dengan kondisi demikian, seringkali tim penggerak PKK Kecamatan Parengan bekerja sama dengan dokter dan bidan Puskesmas ataupun sektor swasta melakukan pelayananan KB ke beberapa desa tersebut. Biasanya pelayanan KB yang banyak dilakukan di beberapa desa terpencil tersebut adalah implan dan KB dan hasilnya terlihat dengan tingginya cakupan MKJP di Kecamatan Parengan.

Page 65: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

53

No Faktor Pendukung Kecamatan Rangel Kecamatan Parengan

nyaman mendapat pelayanan KB di rumah bidan/ tempat praktek bidan.

3 Kinerja petugas dan penyuluh KB

• Peran kader cenderung pasif dan belum maksimal. Hal ini terlihat dari tidak adanya sosialisasi oleh kader atau petugas penyuluh melalui metode kunjungan rumah. Biasanya sosialisasi hanya dilakukan di waktu-waktu tertentu seperti kegiatan Posyandu. Sehingga kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi KB, khususnya MKJP belum bisa diperoleh secara maksimal.

• Masih minimnya penyebaran informasi KB khususnya kepada suami atau bapak-bapak PUS. Seharusnya informasi tersebut bisa dilakukan melalui berbagai aktivitas kemasyarakatan ataupun keagamaan, misalnya pengajian dengan menghadirkan dokter ataupun tenaga penyuluh lainnya. Di contohkan dulu pernah dilakukan penyuluhan tentang kusta di Kecamatan Rengel melalui kegiatan pengajian dan hasilnya cukup efektif, tetapi terkait program KB selama ini belum pernah dilakukan.

• Evaluasi dari kades di Kecamatan Rengel, petugas PLKB masih sangat kurang hal tersebut terlihat dari aktivitas PLKB yang belum tentu sebulan sekali berkunjung ke desa, biasanya kunjungan hanya dilakukan apabila ada program-program tertentu saja.

Menurut salah satu kades di Kecamatan Parengan, kader dan bidan di wilayah tersebut sering mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk melakukan sosialisasi KB termasuk MKJP, sehingga banyak masyarakat yang sudah beralih menggunakan MKJP (khususnya implan dan IUD).

Kinerja kader cukup maksimal termasuk melakukan kunjungan rumah untuk memotivasi masyarakat menggunakan MKJP dengan memprioritaskan PUS yang sudah mempunyai banyak anak dan juga ibu-ibu yang habis melahirkan untuk segera memakai MKJP.

4 Kondisi sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat

• Sejauh ini program KB bisa diterima oleh masyarakat, bahkan banyak toma yang ikut serta dalam program KB. Tetapi di masyarakat tertentu masih berkembang kepercayaan bahwa tidak diperbolehkan menggunakan alat kontrasepsi yang sifatnya memutus (steril) sehingga menyebabkan seseorang tidak bisa mempunyai anak lagi. Menurut pendapat Toga dan Toma setempat, jenis metode tersebut bertentangan dengan agama yang mereka yakini karena dengan steril sama saja dengan memutus kehendak Tuhan.

• Menurut salah satu Toma di kec.

Menurut kader Kec. Parengan pengetahuan masyarakat sudah cukup baik terkait MKJP, hal ini terkait dengan pengalaman beberapa akseptor MKJP yang tidak ada efek samping setelah pemasangannya.Pengetahuan dan pengalaman yang mereka peroleh memberikan motivasi bagi sebagian besar masyarakat untuk memakai MKJP. Pernyataan kader terkait intensifnya penyuluhan dan pemberian informasi KB kepada masyarakat juga diperkuat dari hasil FGD kelompok ibu di Kecamatan Parenagan yang menyatakan hal yang sama.

Page 66: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

54

No Faktor Pendukung Kecamatan Rangel Kecamatan Parengan

Rengel, sterilisasi hanya boleh dilakukan dalam situasi dan kondisi khusus, misalnya apabila ada penyakit tertentu yang bisa membahayakan nyawa seseorang.

• Toma setempat juga menyampaikan bahwa banyak ulama-ulama NU yang menyarankan pemasangan IUD dan MOW harus disertai dengan suami, karena cara pemasangannya harus dengan membuka aurat wanita. Menurut keyakinan yang berkembang adalah diharamkan untuk melihat aurat orang lain selain suami (muhrim), karena hal tersebut termasuk hal yang dilarang oleh agama (mugholadoh).

Sumber: Analisa kualitatif ini bersumber dari hasil wawancara mendalam dengan Kepala Desa, Tokoh Agama/ masyarakat, Kader, PKK dari kedua lokasi studi dan juga diperkaya dari hasil observasi selama pengambilan data di lapangan. 4.3. Diskusi, Kesimpulan dan Saran Provinsi Jawa Timur

A. Ringkasan hasil penelitian di tingkat provinsi dan kabupaten

Selain melakukan wawancara pada pemangku kepentingan ditingkat provinsi, dilakukan pula penelitian kualitatif di tingkat kabupaten. Tiga kabupaten terpilih adalah Kabupaten Tuban, Lumajang dan Kediri. Di bawah ini di tampilkan matriks ringkasan dari hasil penelitian kualitatif, dimana laporan lebih rinci untuk masing-masing kabupaten akan diuraikan pada bagian selanjutnya. Tabel 4.16 Ringkasan hasil penelitian kualitatif

No. Topik bahasan Provinsi Kabupaten

Tuban Lumajang Kediri A. Gambaran Umum Cakupan KB 1. Cakupan KB

dan permasalah annya

• Akseptor naik tapi TFR juga naik

• Melebihi target tapi TFR tetap naik

• Beda definisi dalam menghitung akseptor baru

• Unmet need rendah (< 5%)

• Cakupan kurang dari 100%

• Beda definisi dalam menghitung akseptor baru

• CPR naik TFR naik • Beda definisi dalam

menghitung akseptor baru

2. Persepsi tentang MKJP versus non-MKJP

• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi

• Rumor efek samping non-MKJP banyak

• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi

• Peran KB laki-laki belum tercapai walau ada kompensasi

• Mispersepsi: pil hanya diminum saat suami pulang saja.

• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi

• Minat masyarakat terhadap implan cukup tinggi

• MKJP mulai naik walau non-MKJP masih tinggi

• Miskonsepsi MKJP masih tinggi

• MKJP dianggap tidak sejalan dengan ajaran agama

B. Manajemen Program KB 1. Kebijakan dan

alokasi anggaran

• Dinkes tidak menargetkan MKJP atau unmet need hanya CPR

• Ada dana

• Dinkes tidak menarget kan MKJP atau unmet need hanya CPR

• KB total coverage

• KB gratis untuk semua

• MOP/MOWnya lebih tinggi dari daerah lain (1.17%

• Dinkes tidak menargetkan MKJP atau unmet need hanya CPR

• Alokasi APBD

Page 67: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

55

No. Topik bahasan Provinsi Kabupaten

Tuban Lumajang Kediri pengayoman: Akseptor MOP/MOW diberi kompensasi hilangnya waktu kerja 150 ribu

• Budget cukup tinggi • Setiap pasangan

yang akan menikah dibagikan kondom.

dan 12.83%, tahun 2012)

Dinkes menurun dari 6.3% 4.5%

2. Pengadaan dan distribusi alat kontrasepsi

• Dinkes tidak mengetahui sama sekali tentang pendistribusiannya

• Dinkes tidak mengetahui sama sekali tentang pendistribusiannya

• Bapemas pengadaan alat kontrasepsi melalui lelang di Bappeda

• Stok implan pernah kurang karena banyak peminat

• Dinkes tidak mengetahui sama sekali tentang pendistribusiannya

• Pil KB ada yang dijual bebas tanpa resep oleh pegawai pabrik

3. Pelayanan KB • Walaupun alat

kontrasepsi gratis tapi alat, tenaga dan bahan habis pakai dikenakan biaya

• Prinsip cafetaria sulit diterapkan karena alat kontrasepsi terbatas dan masyarakat masih sulit untuk membayar sendiri

• Klien mengakses BPS 75% pasien mandiri-25% Jamkesmas

• Masih banyak perawat yang melayani KB

• Klinik swasta menyediakan 2 macam sumber alat kontrasepsi: dari BKKBN dan pengadaan sendiri

• Perda (2011) mengatur jasa pelayanan KB dan barang habis pakai di Puskesmas. Implementasi dilakukan secara bertahap.

• Masih ada masyarakat yang tidak dicover asuransi & tidak mampu membayar pelayanan KB terutama MKJP

4. Sumber Daya Manusia

• Tumpuan pelayanan KB ada pada bidan karena hanya sepertiga dokter tertarik melayani KB

• Kurangnya PLKB, 1 orang untuk 4 desa

• Bidan swasta tidak punya kewenangan untuk pasang implan dan IUD

• KurangnyaPLKB, 1 untuk 2-4 desa

• Bidan tidak memahami mengapa layanan IUD dan implan harus di Puskesmas

• Pelatihan CTU kurang praktek

• Kurangnya PLKB, 1 untuk 13 desa

• Ketidak jelasan wewenang bidan untuk pemasangan impant dan IUD

• Bidan kurang dilatih ABPK

5. Kerjasama antar institusi

• Ada konflik antara BKKBN dan Dinkes ditambah pemain baru BPPKB

• Bapemas dan Dinkes konflik masalah koordinasi

• CSR belum maksimal padahal potensi sangat besar

• Koordinasi antar instansi pemerintah perlu ditingkatkan

• Kerjasama dengan sektor swasta belum optimal

• Di tingkat kabupaten tidak ada konflik, namun di tingkat kecamatan ada konflik antara PLKB dan bidan Puskesmas yang mengumpulkan data

• Belum ada kerjasama dengan swasta

6. Menciptakan kebutuhan

• Anggaran promosi KB ada di BKKBN walau kecil, di Dinkes tidak ada khusus untuk KB

• Menjangkau karyawan pabrik-pabrik besar

• Pengecetan genteng: gerbangmas

• Dinkes berharap agar PLKB bukan hanya membawa akseptor baru saja namun juga dibekali dengan screening.

• Pengecetan genteng: dua anak cukup

• Mengandalkan bentuk-bentuk momentum dan pelayanan mobile

• Pengecetan genteng: KB Dua anak cukup

7. Pencatatan dan pelaporan

• Insentif untuk bidan yang mengumpulkan laporan 600 ribu/tahun

• Insentif untuk bidan yang mengumpulkan laporan 600 ribu/tahun

• Pelaporan bulanan sering terlambat

• Pelaporan PUS tahunan sering terlambat sehingga dinkes menggunakan estimasi PUS

Page 68: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

56

B. Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi)

Tabel 4.17 Penerimaan masyarakat terhadap alat kontrasepsi (difusi inovasi)

Penilaian masyarakat Alat kontrasepsi

Pil Suntik Kondom IUD Implan MOW MOP

Keuntungan relatif

Murah dalam jangka pendek +++ + ++ +/- +/-- +/--- +/---

Mudah diperoleh +++ ++ + + + +/-- +/--

Kenyamanan dalam penggunaan + - + + ++ ++

Kompatibilitas

Tidak perlu buka aurat +++ + --- ++ --- --- Banyak digunakan di masyarakat/keluarga ++ +++ -- ++ + - -

Tidak dilarang suami/istri ++ + +/-- +/- +/--- +/---

Tidak dilarang agama + + +/-- +/-- +/-- +/--

Kepraktisan dan kemudahan penggunaaan

Tidak perlunya kepatuhan --- -- + + ++ ++

Tidak perlu digunakan tiap hari --- + + + ++ ++ Mudah digunakan (tdk perlu operasi) +++ ++ +++ - -- --- ---

Kemungkinan bisa mencoba

Gampang berganti/berhenti +++ ++ +++ - -- --- ---

Hasil yang nyata

Keberhasilan --- -- + + ++ ++

Tanpa efek samping -- -- +/- +/-- +/-- +/--

Tabel di atas merupakan rangkuman perspektif masyarakat terhadap alat kontrasepsi. Berikut uraian perspektif masyarakat dari sisi keuntungan relatif, kenyamanan, kepraktisan, kemungkinan dicoba dan hasil yang nyata. Semakin banyak perspektif positif yang muncul di masyarakat menunjukkan umumnya alat kontrasepsi tersebut semakin digemari dan digunakan. Berdasarkan perspektif klien, metode kontrasepsi jangka pendek (non-MKJP) seperti pil dan suntik dinilai mudah diperoleh, murah, tidak perlu buka aurat, banyak digunakan masyarakat, mudah digunakan (tidak perlu operasi atau tindakan invasif) dan mudah berganti ke alat kontrasepsi lain bila menginginkannya atau bila ingin hamil lagi. Sedangkan pada Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti IUD, implan dan MOW, ditemukan adanya larangan dari suami. Hal iniberbeda dengan pil dan suntik yang secara umum tidak ditemui adanya larangan tersebut. Berdasarkan kepraktisannya, pil dinilai masih membutuhkan kepatuhan untuk minum setiap hari dan tingkat keberhasilan pil dinilai rendah. Sebagian informan menilai bahwa IUD dan implan cukup murah (bagi akseptor KB pemerintah), namun sebagian lain menyatakan cukup mahal (untuk akseptor KB mandiri). IUD dan implan mudah diperoleh, namun dalam pemasangan membutuhkan tindakan yang invasif oleh karena itu masyarakat cenderung takut untuk menggunakannya. Kedua alat kontrasepsi ini juga diasosiasikandengan berbagai efek samping. Dibandingkan non-MKJP, akseptor IUD dan implan

Page 69: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

57

disebutkan akan lebih sulit berganti alat bila suatu saat ingin memiliki anak. Tingkat keberhasilan IUD dan implan dinilai lebih baik dibandingkan non-MKJP. Diantara MKJP, informan yang menggunakan MOW/MOP berpendapat bahwa alat kontrasepsi yang digunakan cukup nyaman, hanya diperlukan sekali tindakan. MOW/MOP tidak memerlukan kepatuhan dan ketelatenan seperti non-MKJP yang harus diminum setiap hari atau disuntik secara rutin. Bagi akseptor KB Mandiri, tarif MOW dan MOP tergolong mahal. Kedua metode kontrasepsi ini disebutkan memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi, namun hampir tidak dapat berganti atau bila suatu saat akseptor ingin memiliki anak. Ditemukan adanya penilaian sebagian kecil masyarakat bahwa memasang MKJP (IUD, implan dan MOW/MOP) bertentangan dengan norma dan agama. Penilaian ini berkaitan dengan pendapat KB sebagai upaya menghalangi kehamilan sedangkan kehamilan merupakan ibadah dan pendapat terkait memasang IUD memperlihatkan aurat kepada orang lain. Umumnya informan menyadari bahwa dari aspek kepraktisan, MKJP dinilai lebih praktis karena tidak perlu harus mengingat waktu pemakaian.Namun dari aspek cara penggunaannya, pil dan suntik dinilai lebih praktis karena penggunaannyabisa dihentikan kapan saja. Pil dan suntik dinilai gampang untuk dicoba, mudah diperoleh dan murah. Sebaliknya, IUD, implan dan MOW/MOP dinilai cukup repot untuk dipasang. Alat ini tidak untuk dicoba karena akan repot melepasnya kembali bila ada masalah. Namun demikian mereka umumnya mengetahui bahwa MKJP lebih berhasil mencegah kehamilan dibanding non-MKJP. C. Kesimpulan dan saran tingkat provinsi

Dari studi kualitatif ini terlihat bahwa koordinasi antara BKKBN dan Dinas Kesehatan (Dinkes) masih lemah. Pembagian tugas yang telah ditetapkan adalah BKKBN bekerja pada demand side dan Dinkes pada supply side.Namun pada saat terjadi persentuhan kegiatan pelayanan KB, koordinasi antara BKKBN, yang memiliki anggaran untuk KB lebih besar dari pada Dinkes, kurang kuat. Misalnya dalam pelatihan atau ketika BKKBN melalukan kegiatan kegiatan momentum KB. Kerjasama dengan sektor swasta belum optimal walaupun tampak potensial untuk dikembangkan.

Terkait pencatatan dan pelaporan, terdapat sistem pelaporan yang berbeda, menyebabkan adanya angka-angka kepesertaan KB yang berbeda. Hal ini disebabkan ketidaksamaan formula dan persepsi dari definisi operasional di lapangan tentang peserta KB baru. Kebijakan desentralisasi menyebabkan ketidaksinambungan program dari pusat ke provinsi dan kabupaten. Program yang dicanangkan dari pusat sering kali tidak mendapatkan anggaran dari pemerintah tingkat kabupaten sehingga tidak dapat dilaksanakan.

• District Working Group (DWG) yang hanya ada di tingkat kabupaten, dapat dikembangkan di tingkat provinsi karena kelompok ini dapat menjadi sarana koordinasi dan kerjasama antar instansi. Karena itu disarankan untuk mencarikan dana operasional bagi DWG di tingkat provinsi.

Disarankan

• Program momentum KB dapat diarahkan hanya untuk MKJP saja dan dilaksanakan di Puskesmas saja namun dengan momentum khusus. Hal ini untuk menjaga mutu serta mengurangi kesulitan dalam melacak dan menangani komplikasi.

• Meningkatkan kerjasama dengan pihak swasta yang mendapatkan distribusi alat kontrasepsi gratis untuk juga menerima peserta Jamkesda/Jamkesmas.

Page 70: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

58

• Mengikutsertakan Dinkes sebagai panitia pelatihan dari BKKBN. Pihak Dinkes dapat mengatur dan mengetahui tingkat ketrampilan dari tenaga kesehatannya.

• Mengikutsertakan PLKB dalam pelatihan konseling medis, sehingga PLKB juga memahami persyaratan medis yang dibutuhkan untuk metode kontrasepsi tertentu.

D. Kesimpulan dan saran tingkat kabupaten

asil studi ini menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat akan alat kontrasepsi KB di Kabupaten Kediri mengalami perkembangan yang besar, dibandingkan waktu yang lampau. Hal ini dipengaruhi oleh semakin tingginya pemahaman masyarakat akan manfaat KB. Penggunaan alat kontrasepsi masih didominasi oleh penggunaan non-MKJP (suntik dan pil), walaupun jumlah pengguna MKJP sudah mulai meningkat, seiring maraknya kegiatan masal pemasangan MKJP seperti SAFARI KB serta kegiatan mobile untuk MOW dan MOP. Implan merupakan salah satu MKJP yang paling digemari oleh masyarakat. Beberapa faktor yang menghambat penggunaan MKJP diantaranya rumor negatif tentang MKJP, ketakutan perlunya tindakan yang invasif dan penolakan MKJP dari kelompok masyarakat agamis. Untuk jenis non-MKJP, alat kontrasepsi suntik dan pil merupakan alat kontrasepsi yang paling sering digunakan. Namun masalah distribusi pil secara bebas tanpa didahului dengan pemeriksaan oleh petugas kesehatan menimbulkan berbagai masalah efek samping. Untuk kondom, masih ada masyarakat yang belum mengetahui dimana bisa mendapatkan alat kontrasepsi tersebut dengan mudah. Pelayanan pemasangan alat kontrasepsi sebagian besar dilakukan oleh Bidan Praktek Swasta (BPS) dan Puskesmas. Akses ke klinik KB dianggap mudah oleh masyarakat. Untuk masyarakat yang menggunakan Jamkesmas/Jamkesda/Surat Keterangan Tidak Mampu/Keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera 1, pelayanan KB diberikan tanpa dipungut bayaran. Bagi pengguna Jampersal, layanan pemasangan alat kontrasepsi pasca-salin diberikan secara gratis. Sedangkan untuk masyarakat di luar kelompok ini (KB Mandiri), biaya pelayanan KB bervariasi tergantung tempat pelayanan. Di Puskesmas mulai diberlakukan tarif pelayanan KB yang cukup tinggi berdasarkan Perda Tahun 2011 yang mencakup jasa dan bahan habis pakai. Pemberlakuan tarif ini dilakukan secara bertahap. Jumlah petugas kesehatan yang menyediakan pelayanan KB di Kabupaten Kediri disebutkan cukup memadai dengan adanya satu bidan di setiap desa. Akan tetapi, jumlah PLKB disebutkan masih kurang memadai. Kualitas dan kemampuan manajerial PLKB juga masih menjadi kendala utama. Sebagian besar bidan telah mendapatkan pelatihan CTU sehingga mereka dapat memberikan pelayanan KB secara mandiri. Namun, beberapa pelatihan seperti ABPK dan KB pasca-salin masih belum diikuti oleh sebagian besar bidan. Secara umum dukungan pemerintah daerahterhadap program KB sudah cukup memadai. Pengadaan implan dalam jumlah kecil juga dilakukan untuk mengantisipasi berkurangnya alat kontrasepsi karena animo masyarakat yang tinggi terhadap implan. Sejauh ini tidak dijumpai adanya kekurangan alat kontrasepsi. BKKBN menyediakan alat kontrasepsi kondom dan IUD bagi seluruh anggota masyarakat. Jenis alat kontrasepsi lainnya disediakan secara gratis hanya bagi Keluarga Pra-Sejahtera dan Sejahtera 1. PLKB berperan penting dalam mekanisme permintaan dan distribusi alat kontrasepsi dari dan ke Puskesmas serta rumah sakit. Walaupun kerjasama antara sektor KB dan Dinkes di Kabupaten Kediri dianggap sudah baik, perbedaan definisi operasional terkait beberapa variabel menjadi salah satu masalah yang kerap ditemui. Dinkes tidak memiliki target yang spesifik untuk MKJP dan unmet need, berbeda dengan BPPKB. Distribusi alat kontrasepsi dari BPPB langsung ke klinik KB tanpa memberikan

Page 71: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

59

tembusan kepada Dinkes juga menjadi salah satu isu utama. Di tingkat kecamatan, pembagian pekerjaan antara bidan dan PLKB dalam kegiatan pencatatan dan pelaporan masih sering menjadi masalah.

• Mengembangkan strategi KIE yang inovatif untuk mengatasi rumor negatif terkait penggunaan kontrasepsi serta mengurangi penolakan masyarakat akan kontrasepsi MKJP. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam program promosi kesehatan.

Disarankan

• Advokasi untuk melaksanakan program penyediaan alat kontrasepsi BKKBN dengan prinsip "total coverage" terutama untuk MKJP perlu dilaksanakan di Kabupaten Kediri untuk memastikan keterjangkauan alat kontrasepsi KB bagi seluruh lapisan masyarakat. Pemberlakuan Perda 2011 tentang tarif jasa dan bahan habis pakai juga penting untuk ditinjau kembali.

• Memberlakuan peraturan distribusi pil, mengingat cukup banyaknya petugas kesehatan yang mengeluhkan pasien pengguna kontrasepsi pil yang datang dengan efek samping kesehatan akibat pengabaian sistem screening sebelum penggunaan alat kontrasepsi pil.

• Penambahan tenaga PLKB perlu menjadi perhatian penting bagi BPPKB di Kabupaten Kediri sesuai rasio 1 PLKB bagi 2 desa, di samping upaya peningkatan kualitas dan kemampuan manajerial tenaga PLKB. Kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas PPKBD dan sub-PPKBD juga perlu dilaksanakan. Bagi tenaga bidan, pelatihan CTU bagi tenaga bidan yang baru, ABPK dan KB pasca-salin juga penting dilakukan. Kejelasan kewenangan bidan dalam memberikan pelayanan MKJP juga diperlukan untuk mencegah terjadinya kebingungan tenaga bidan dalam memberikan pelayanan KB.

• Meningkatkan koordinasi antara BPPKB dan Dinkes tentang target terkait program KB. Selain itu, diperlukan upaya untuk melakukan standarisasi definisi operasional dari indikator KB untuk mencegah terjadinya perbedaan angka dalam pencatatan dan pelaporan. Dinkes perlu diinformasikan terkait distribusi konstrasepsi dari BPPKB kepada Puskesmas. Kesepakatan pembagian kerja yang jelas di tingkat kecamatan antara PLKB dan bidan Puskesmas berkenaan dengan pencatatan dan pelaporan perlu dilakukan. Kerjasama dengan sektor swasta juga dapat dan perlu ditingkatkan mengingat keberadaan berbagai perusahaan besar dengan dana CSR yang dapat digunakan.

Page 72: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

60

REFERENSI Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (Mei 17 2013). Aktifkan kembali

kampanye "Dua Anak Cukup". http://www.bkkbn.go.id/View Berita.aspx? BeritaID=813.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Petunjuk teknis tata cara pelaksanaan pelayanan kontrasepsi program kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jakarta: BKKBN.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2011). Analisis lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan MKJP di enam wilayah Indonesia.Jakarta: BKKBN

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. (2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012. Jakarta: BKKBN

BKKBN NTB. (2009). Selayang pandang program KB nasional, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Lombok Barat. (2013). Laporan bulanan pengendalian lapangan tingkat kabupaten/kota, Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (Siduga) Bulan Februari 2013. Lombok Barat: BKBPP

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kediri. (2013). Rapat kerja daerah (Rakerda) tahun 2013. Kediri: BPPKB

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kemenkes RI

Badan Pusat Statistik. (2010). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2010. http://sirusa.bps.go.id/index.php?r=sd/view&kd=1558&th=2010

Badan Pusat Statistik. (2010). Laporan eksekutif hasil Sensus Penduduk 2010.

Badan Pusat Statistik et.al. (Desember 2012). Laporan pendahuluan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang. (2012). Kabupaten Lumajang dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Barat. (2011). Lombok Barat dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok Timur. (2011). Lombok Timur dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumbawa. (2012). Sumbawa dalam angka

Badan Pusat Statistik KabupatenTuban. (2011). Kabupaten Tuban dalam angka.

Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri. (2011). Profil kesehatan Kabupaten Kediri Tahun 2010.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Data informasi kesehatan Provinsi JawaTimur

Okech, Timothy C., et.al. (2011). Empirical analysis of determinants of demand for family palnning services in Kenya's city slums. Global Journal of Health Science Vol.3, No.2, October 2011

Pemerintah Dearah Lombok Timur.(2011). Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.(2013). Ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. (Juni 13, 2013). Program KB Nasional perlu dukungan semua pihak. http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/2321-program-kb-nasional-perlu-dukungan-semua-pihak.html

Page 73: KATA PENGANTAR...informasi yang dikumpulkan adalah cakupan program Keluarga Berencana dan permasalahannya, manajemen program Keluarga Berencana, pendapat masyarakat terhadap Keluarga

61

Rogers, M. Everett.(1962). Diffusion of innovations. Illinois: Free Press of Glencoe

Rosenstock, IM. (1966). Why people use health services, Milbank Memorial Fund Quarterly 44, 94-124, 1966.

Rosenstock IM. (1974). Historical origins of the health belief model, Health Education Monographs 2:328-335, 1974.

Satriani.(2012). Septi Satriana dalam pergeseranmaknaperkawinanadatdalammasyarakatSasak.http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-lokal/629-amak-bangkol-inak-bangkol-dan-merariq-pergeseran-makna-perkawinan-adat-dalam-masyarakat-sasak.html

United Nations Development Program.(2008). Millennium Development Goals. Jakarta: UNDPhttp://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out%20for%20MDGs%20-%20ID.pdf