kata pengantarwahyuakhirzaman.com/wp-content/uploads/2016/04/umat-yang-layak-bagi... · pelbagai...

42

Upload: hoangdan

Post on 26-May-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Bagaimana kita harus mempersiapkan diri kita

dan seluruh anggota keluarga untuk menyambut

kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali menjadi

pokok pikiran yang cukup membebani penulis sejak

ia mempelajari akhir zaman, khususnya ketika ia

menyadari bahwa saat ini kita telah berada di

akhir dari akhir zaman.

Persiapan diri menghadapi akhir zaman bisa

berupa persiapan secara fisik, walaupun tentunya

yang terpenting adalah persiapan secara rohani.

Lukas 1:7 menyampaikan agar kita mempersiapkan

diri agar dapat menjadi umat yang layak bagi

Tuhan. Seperti apa umat yang layak bagi Tuhan

dan bagaimana kita melakukannya merupakan pokok

bahasan buku ini.

Puji Tuhan, sungguh Allah kita maha pemurah,

yang dengan limpahnya terus menerus membukakan

pengertian-pengertian akan firman-Nya bagi kita

agar kita dapat makin diperkaya sehingga kita

dapat lebih mengenal Tuhan dan segala hukum

serta jalan-Nya sehingga kita akan menjadi umat

Tuhan yang tetap kuat dan setia.

Dan 11:32 Dan orang-orang yang berlaku fasik terhadap Perjanjian

akan dibujuknya sampai murtad dengan kata-kata licin; tetapi umat

yang mengenal Allahnya akan tetap kuat dan akan bertindak.

Soli Deo Gloria,

Penulis

UMAT YANG LAYAK BAGI TUHAN

Judul buku ini telah menjadi tema yang populer

dan banyak dibahas di gereja-gereja pada saat

ini, khususnya dalam rangka menghadapi

kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Ada

yang menjadikannya sebagai tema bulanan, tema

tahunan, tapi banyak juga yang menganggapnya

sebagai sebuah tema yang penting untuk

disampaikan di akhir zaman ini karena pokok

pembahasannya mencakup pembinaan berbagai aspek

dalam kehidupan umat Tuhan dalam upaya untuk

menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak

bagi-Nya.

Penulis yakin sebagai orangtua, kita pasti

mengasihi keluarga kita, terutama anak-anak

kita. Dalam proses membesarkan anak, kita

biasanya dan selalu memperhatikan dan mengamati

dengan saksama perkembangan dan pertumbuhan

anak-anak kita sejak kecil sampai dewasa dari

pelbagai aspek, seperti aspek sosial, emosional,

akademis, dan religius. Kita akan menelusurinya

satu demi satu.

Aspek Sosial

Ketika anak kita masih bayi, kita perhatikan,

apakah ia sudah mampu melafalkan suara tertentu,

atau bisa berkata-kata dan kalau mereka mampu

berkata-kata, “Ngeh, neh, erth, heh dan eh,”

kita senang, apalagi kalau ia bisa memanggil

kita, “Papa! Mama!” Wah, kita benar-benar

bahagia.

Begitu juga kalau anak itu sudah agak besar,

biasanya kita juga ingin tahu apakah ia mampu

menjalin persahabatan dengan teman-temannya,

bersosialisasi, ngobrol, guyon, bekerja sama,

bermain dengan mereka. Demikian juga kalau ia

bertemu dengan orang yang lebih dewasa, kita

juga bisa mengamati dan mungkin mengajarkan,

“Ayo, kasih tangan,” dan kalau mereka mampu

melakukannya, kita juga senang bahkan bangga.

Kita menganggap bahwa aspek sosial dari anak-

anak kita sudah berkembang dengan baik.

Aspek Emosional

Selain aspek sosial kita biasanya juga

memperhatikan aspek emosional dari anak kita.

Itulah sebabnya bayi-bayi sering kita ganggu

supaya mereka tertawa. Kalau anak kita tertawa,

kita merasa senang. Selain anak yang tertawa

itu menyenangkan, kita juga bisa melihat aspek

emosionalnya.

Bahkan di satu pihak, kalau anak kita suka

menangis, kita menganggap itu sesuatu yang baik

karena aspek emosionalnya berkembang, tetapi di

pihak lain, ada beberapa orang tua yang

khawatir kalau anaknya terlalu sering menangis.

Tentu saja yang lebih mengkhawatirkan ialah

kalau anak kita, tidak pernah menangis, tidak

pernah tertawa, dan kita akan menganggap hal itu

lebih mengkhawatirkan daripada anak yang banyak

menangis.

Begitu juga kalau anak itu kelihatan agak

penakut, kita tetap menganggap itu sesuatu yang

baik, walaupun tentu kita akan mengajarkan dan

menjelaskan agar ia tidak usah terlalu takut

menghadapi suatu situasi atau masalah dan bisa

menceritakan pada kita apa yang membuatnya

takut. Itu adalah aspek-aspek yang kita anggap

baik secara emosional.

Aspek Akademis

Setelah aspek emosional, kita juga mem-

perhatikan aspek akademis anak kita. Kita

mencoba melihat apakah anak kita bisa mengikuti

pelajaran dengan baik, mengamati bagaimana

tingkat kecerdasannya, memperhatikan nilai-nilai

ulangannya –apakah baik atau buruk. Terkadang

kita juga terpaksa harus memarahi dan menegur

anak kita, kalau ia lalai dalam melakukan hal-

hal yang berkaitan dengan tugas dan kegiatan

akademis. Dan kalau anak kita sudah kuliah dan

diwisuda, ini biasanya merupakan momen penting

dan kita sebagai orang tua sedapat mungkin akan

menghadiri Hari Wisuda itu. Diwisudanya anak

kita sering dianggap sebagai suatu tanda dan

bukti bahwa kita selaku orang tua sudah berhasil

mendidik anak kita, membesarkannya dengan baik.

Aspek Religius

Selain ketiga aspek tersebut masih ada

sebuah aspek lain, yang sebenarnya termasuk

salah satu aspek yang tak kalah pentingnya,

yaitu yang berkaitan dengan keyakinan. Apakah

kita menyediakan waktu dan memperhatikan aspek

religius dari anak-anak kita? Kita seharusnya

lebih memfokuskan hal ini karena aspek religius

sangat penting dalam perkembangan dan pertum-

buhan kehidupan rohaninya selaku keluarga

Kristen.

Lukas 1:13-17 menjelaskan salah satu aspek

yang berkaitan dengan aspek religius dari anak-

anak kita.

Selengkapnya Lukas 1:13-17 adalah:

1:13 Tetapi malaikat itu berkata kepadanya: "Jangan takut, hai

Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, isterimu, akan

melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau

menamai dia Yohanes.

1:14 Engkau akan bersukacita dan bergembira, bahkan banyak orang

akan bersukacita atas kelahirannya itu.

1:15 Sebab ia akan besar di hadapan Tuhan dan ia tidak akan minum

anggur atau minuman keras dan ia akan penuh dengan Roh Kudus

mulai dari rahim ibunya;

1:16 ia akan membuat banyak orang Israel berbalik kepada Tuhan,

Allah mereka,

1:17 dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia

untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati

orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan

demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya.

Memang kalau kita baca sekilas, ayat-ayat di

atas berkaitan dengan kelahiran Yohanes

Pembaptis, tapi kalau kita baca di ayat 17-nya,

ada firman Allah yang menyatakan tentang

“menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya”. Dan

menyiapkan suatu umat yang layak bagi Tuhan itu

terutama berkaitan erat dengan proses pem-

belajaran aspek-aspek religius dalam keluarga

dari orang tua kepada anak-anaknya.

Lukas 1:17 lengkapnya berbunyi:

1:17 dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa

Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik pada anak-anaknya dan

hati orang-orang durhaka pada pikiran orang-orang benar dan dengan

demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya.”

Kedatangan Tuhan Yesus yang Pertama Kali

Kalau kita perhatikan ayat tersebut, maka ada

dua hal penting: Yang pertama, menyiapkan bagi

Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya berkaitan

dengan kedatangan Tuhan Yesus yang pertama.

Kalau kita pelajari, maka perikop ini

menjelaskan bahwa Yohanes Pembaptis akan lahir

lebih dahulu daripada Tuhan Yesus, di mana salah

satu tugas yang diberikan padanya adalah

mempersiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak

bagi-Nya.

Yang kedua ialah bahwa menyiapkan bagi Tuhan

suatu umat yang layak bagi-Nya berkaitan dengan

bapak-bapak, dimana dikatakan, Yohanes Pembaptis

akan membuat hati bapak-bapak beralih pada anak-

anaknya. Apa artinya? Dengan kata lain, tugas

ini harus dimulai dari keluarga sebagai bagian

terkecil dari masyarakat dan para bapak akan

berperan serta dalam memperhatikan perilaku dan

meningkatkan kualitas kehidupan rohani anak-anak

mereka. Mengapa frase, “membuat hati bapak-bapak

berbalik pada anak-anaknya” ini bisa disampaikan atau

dimunculkan di sini?

Kegagalan Umat Israel

Frase di atas sebenarnya berkaitan dengan

mempersiapkan kerohanian anak-anak yang meru-

pakan perintah Tuhan, dan sayangnya orang

Israel gagal melakukannya. Kalau kita per-

hatikan di Ulangan 6: 6-9, jelas dikatakan

bahwa Tuhan memerintahkan pada orang Israel

untuk mengajarkan pada anak-anak mereka agar

mereka menjadi umat Tuhan.

Ulangan 6:6: Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah

engkau perhatikan,

6:7 haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-

anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu,

apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring

dan apabila engkau bangun.

6:8 Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada

tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu,

6:9 dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan

pada pintu gerbangmu.

Perintah ini disampaikan Musa sebelum ia

meninggal, dan kita tahu bahwa bangsa Israel

gagal menjalankan perintah Tuhan tersebut.

Bangsa Israel bukan hanya gagal ketika zaman

Tuhan Yesus, melainkan jauh sebelumnya , yaitu

sejak masa Perjanjian Lama. Sepeninggal Yosua

perintah ini tidak pernah dijalankan lagi karena

dalam kitab Hakim-hakim dijelaskan bahwa ketika

Yosua sudah meninggal, umat Israel mulai

menyembah berhala.

Kedatangan Tuhan Yesus yang Kedua Kalinya

Jika perikop di atas berkaitan dengan

kedatangan Tuhan Yesus yang pertama, mengapa

mempersiapkan suatu umat yang layak bagi Tuhan

merupakan tema yang penting berkaitan dengan

kedatangan Tuhan Yesus kedua kali? Ternyata

ayat yang tertulis dalam Lukas 1:17 itu ada juga

di Maleakhi 4:5-6.

Mal 4:5 Sesungguhnya Aku akan mengutus nabi Elia padamu

menjelang datangnya hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu.

6 Maka ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik pada anak-anaknya

dan hati anak-anak pada bapa-bapanya supaya jangan Aku datang

memukul bumi sehingga musnah.

Penulis meyakini bahwa Maleakhi 4:5-6 ini

berkaitan dengan kedatangan Tuhan Yesus yang

kedua kalinya. Kalau yang tertulis dalam Lukas

1:17 sebelumnya berkaitan dengan kedatangan

Tuhan Yesus yang pertama kali, maka yang ada di

Maleakhi 4:5-6 berkaitan dengan kedatangan Tuhan

Yesus yang kedua kalinya; mengapa demikian?

Pertama, di Maleakhi 4: 5 dikatakan, “Datangnya

hari TUHAN yang besar dan dahsyat itu.” Kata-kata ini

bukan berkaitan dengan kedatangan Tuhan Yesus

yang pertama.

Mari kita bandingkan dengan ayat-ayat yang

berkaitan dengan kedatangan Tuhan Yesus yang

pertama :

Mat 1:23 "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan

melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia

Imanuel" — yang berarti: Allah menyertai kita.

Luk 2: 10 Lalu kata malaikat itu kepada mereka: "Jangan takut, sebab

sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk

seluruh bangsa:

Kedatangan Tuhan Yesus yang pertama digambarkan

sebagai sesuatu yang sukacita, sedangkan

kedatangan-Nya yang kedua kali digambarkan

sebagai sesuatu yang dahsyat dan mengerikan.

Mat 24:27 Sebab sama seperti kilat memancar dari sebelah timur dan

melontarkan cahayanya sampai ke barat, demikian pulalah kelak

kedatangan Anak Manusia.

28 Di mana ada bangkai, di situ burung nazar berkerumun."

29 "Segera sesudah siksaan pada masa itu, matahari akan menjadi

gelap dan bulan tidak bercahaya dan bintang-bintang akan

berjatuhan dari langit dan kuasa-kuasa langit akan goncang.

30 Pada waktu itu akan tampak tanda Anak Manusia di langit dan

semua bangsa di bumi akan meratap dan mereka akan melihat Anak

Manusia itu datang di atas awan-awan di langit dengan segala

kekuasaan dan kemuliaan-Nya.

31 Dan Ia akan menyuruh keluar malaikat-malaikat-Nya dengan

meniup sangkakala yang dahsyat bunyinya dan mereka akan

mengumpulkan orang-orang pilihan-Nya dari keempat penjuru bumi,

dari ujung langit yang satu ke ujung langit yang lain.

Kedua, kalau di Lukas hanya dikatakan, ”Hati bapak-

bapak berpaling pada anak-anaknya, maka di Maleakhi 4:4

disebutkan 2 hal secara timbal-balik, yaitu: hati

bapak-bapak berbalik pada anak-anaknya dan hati anak-anaknya

berbalik pada bapak-bapaknya.

Kini tugas untuk menjalankan perintah Tuhan,

menyatakan kebenaran, meneruskan tradisi,

membimbing, memelihara, dan mengayomi anak-anak,

sanak saudara, dan orang tua dalam keluarga

bukan hanya dilakukan oleh orang tua pada anak,

tetapi juga bisa dilakukan dari pihak anak pada

orang tua.

Kalau kita perhatikan di Perjanjian Lama,

segala tugas yang berkaitan dengan keselamatan

biasanya disampaikan dari angkatan yang lebih

tua, dari orang tua pada anak. Misalnya,

menyunatkan anak pada usia 8 hari merupakan

tugas orang tua. Begitu juga perintah Tuhan

dalam Ulangan 6:6-9 di atas. Sedang di ayat

ini dituliskan tentang upaya yang dilakukan

angkatan yang lebih muda terhadap angkatan yang

lebih tua.

Hubungan seperti ini tercatat di Perjanjian

Baru, antara lain di Kisah Para Rasul 16:19-40,

sebuah perikop yang menjelaskan ketika Rasul

Paulus dan Silas ditangkap. Mereka kemudian

dibelenggu dalam pasungan yang kuat. Pada

tengah malam ketika mereka berdoa dan memuji

Tuhan, terjadilah gempa bumi, pintu-pintu

penjara terbuka. Kepala pasukan penjara begitu

melihat pintu penjara terbuka, ia menganggap

semua tahanan sudah melarikan diri sehingga ia

mau membunuh diri.

Tetapi kemudian Paulus berkata, “Jangan

celakakan dirimu, sebab kami semuanya masih ada di sini!”

Kemudian kepala penjara ini berkata pada Paulus

dan Silas, "Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat, supaya

aku selamat?" Dan kemudian mereka menjawab,

“Percayalah pada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat,

engkau dan seisi rumahmu." Kata “engkau dan seisi rumahmu”

mengandung arti, kepala penjara dan seluruh

anggota keluarganya.

Rasul Paulus dalam 1 Korintus 7:16

menegaskan,

Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau

tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau

mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan

isterimu?

2 Kasus dalam Keluarga Penulis

Kejadian seperti itu pernah dialami penulis

sampai dua kali. Kasus yang pertama berkaitan

dengan ayah kandung penulis. Ayah kandung

penulis sudah dibaptis ketika masih muda, tapi

di kemudian hari almarhum tidak mau ke gereja.

Namun, Papa masih mengizinkan kami -anak-

anaknya- untuk pergi ke gereja, walaupun kadang-

kadang tidak mengizinkan kami untuk terlalu

aktif, tapi sayangnya, Papa melarang Mama untuk

pergi ke gereja.

Jadi kami anak-anaknya terus berdoa, agar

Papa mau lagi pergi ke gereja dan juga

mengizinkan Mama. Dan ternyata Tuhan membuka

jalan. Papa sakit dan dua atau tiga bulan

sebelum meninggal, Papa mau kembali lagi pergi

ke gereja dan juga mengizinkan Mama pergi ke

gereja sehingga mereka dapat berbakti bersama-

sama.

Kasus yang kedua, ialah ayah mertua

penulis, yang tidak pernah mau ke gereja dan

tidak pernah mau menerima Tuhan Yesus sebagai

Tuhan dan Juruselamatnya. Kami, anak-anak sering

membujuk, bahkan kadang-kadang juga mengajak

pergi ke gereja dan sebagainya. Almarhum kadang-

kadang mau juga datang ke gereja, tetapi ia

menyatakan dengan tegas bahwa ia mau pergi ke

gereja karena anak-anak menginginkannya, tapi

hatinya ada pada dewa-dewa sembahannya, karena

almarhum adalah pengikut agama lain. Terakhir

ketika Papa Mertua dirawat di rumah sakit, adik

ipar penulis mencoba untuk mengingatkannya lagi

tentang keselamatan melalui Tuhan Yesus namun

Papa kami bukannya menerima malahan memarahi

adik kami habis-habisan. Kami semua yang hadir

sangat terkejut karena kemarahan beliau sangat

luar biasa walaupun dalam kondisi tubuh yang

sakit.

Namun, kami terus berdoa, dan luar biasa,

kira-kira seminggu sebelum Papa meninggal, ia

mau menerima Tuhan Yesus. Kejadian itu terjadi

ketika almarhum akan dipasang ventilator (alat

bantu nafas bermesin), istri penulis berkata

pada penulis, “Ayo Pih, Pih, injili sekali

lagi.”

Terus terang penulis sendiri saat itu agak

enggan karena belum berapa lama adik ipar

dimarahi habis-habisan, tapi istri penulis

mengatakan bahwa mungkin ini kesempatan terakhir

karena banyak pasien yang kalau sudah dipasang

ventilator, tidak pernah bangun lagi.

Akhirnya penulis mendatanginya, penulis

pegang tangannya, “Pah, Papah harus percaya

Tuhan Yesus.” Dan almarhum yang sudah tidak

mampu berbicara mengangguk-angguk. Penulis

terkejut dan tidak memercayainya. Karena penulis

masih ragu-ragu maka penulis melanjutkan,

“Papah harus mau dibaptis” dan almarhum

mengangguk-angguk lagi. Penulis masih tidak

yakin apakah almarhum benar-benar percaya dan

mau dibaptis, oleh karena itu penulis ulangi

sekali lagi dan jawabannya tetap sama. Tapi,

penulis khawatir apakah almarhum benar-benar

paham atau tidak sehingga akhirnya penulis

mencoba menghubungi seorang hamba Tuhan yang

bisa berbahasa Mandarin untuk bicara langsung

dengan almarhum. Dan ternyata almarhum benar-

benar mengerti dan bersedia menerima Tuhan Yesus

dan akhirnya dibaptis.

Itulah sebabnya kami sekeluarga akhirnya

sepakat untuk mengutip ayat "Percayalah pada Tuhan

Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu."

baik untuk di surat kabar maupun di batu nisan

almarhum.

Jadi, apa kesimpulannya?

Penulis yakin bahwa apa yang telah dilakukan

seluruh anak-anak terhadap ayah serta ayah

mertua merupakan mengejawantahan dari ayat di

Maleakhi 4:5, yaitu “ia akan membuat hati anak-anak

(berbalik) kepada bapa-bapanya”.

Bagaimana dengan Persiapan Kita?

Kembali ke Maleakhi 4:5, ayat itu berkaitan

dengan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua

kalinya. Itulah sebabnya kita perlu memper-

siapkan diri untuk menyambut kedatangan-Nya, dan

seperti apakah dan bagaimanakah cara kita

mempersiapkan diri?

Kita bisa belajar dan coba membahas perintah

Tuhan kepada umat Israel seperti yang tertulis

di Ulangan 6:4-9.

4 Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!

5 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan

segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.

6 Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau

perhatikan,

7 haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-

anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu,

apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring

dan apabila engkau bangun.

8 Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada

tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu,

9 dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang pintu rumahmu dan

pada pintu gerbangmu.

Ulangan 6: 7 mengatakan bahwa kita harus

mengajarkan pada anak-anak kita berulang-ulang,

kemudian membicarakannya apabila kita sedang

duduk di rumah, apabila kita sedang berbaring,

apabila kita sedang bangun. Kita bukan hanya

harus menyatakannya berulang-ulang, tapi pada

setiap kesempatan. Kita bukan hanya membahasnya

ketika ada ibadah keluarga, melainkan setiap

saat ketika kita ada kesempatan, bahkan juga

disampaikan apabila kita sedang dalam per-

jalanan.

Penulis pernah melakukan ini, ketika penulis

membawa anak-anaknya berlibur. Pada waktu itu,

kami sekeluarga berada dalam satu mobil dan

memang penulis lebih senang mengajar anak-anak

ketika berada di dalam mobil. Pada waktu itu

penulis sepakat dengan istri bahwa di liburan

tersebut, kami akan lebih membahas tentang hal

spiritual, yang berkaitan dengan dua hal.

Pertama adalah apakah mereka mengerti bahwa

keselamatan itu hanya ada dalam Tuhan Yesus.

Kedua, penulis harus yakin bahwa mereka sudah

benar-benar menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan

dan Juruselamat mereka.

Jadi selama liburan, penulis membahas topik

topik tersebut. Ada tanya jawab dan penulis

senang ketika mengetahui bahwa mereka bukan

hanya sudah ke Sekolah Minggu sejak kecil, tapi

penulis yakin bahwa mereka juga sudah menerima

Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat

mereka.

Membahas Khotbah setelah Kebaktian

Membaca, mendengar, dan mempraktikkan firman

Tuhan merupakan satu paket yang tak terpisahkan,

terutama dalam mengikuti ibadah di hari Minggu.

Sering setelah ibadah selesai, kita jarang

merenungkannya kembali dan membahasnya dan

akhirnya melupakannya begitu saja seperti angin

lalu.

Dalam keluarga penulis, kami memiliki dan

menjalani suatu kebiasaan yang berbeda. Ketika

anak penulis yang kedua belum menikah,

biasanya kami pergi ke gereja bersama-sama,

sekeluarga. Jadi, yang pergi adalah penulis,

istri penulis, anak penulis yang sulung dengan

suaminya, kemudian anak penulis yang kedua waktu

itu dengan calon istrinya, dan kalau kebetulan

anak penulis yang bungsu juga ada, kami pergi

berbakti ke gereja yang sama pada waktu yang

sama.

Mengapa kami harus pergi bersama-sama?

Karena biasanya selesai kebaktian, dalam

perjalanan pulang kami membahas materi atau

khotbah yang disampaikan tersebut apakah tepat

atau tidak. Artinya bukannya kami meragukan,

tapi menurut penulis, setiap khotbah itu

seharusnya kita pelajari, bahas, dan itu yang

biasa kami lakukan. Penulis juga ingin

mendengar komentar mereka, apakah mereka

memahaminya atau tidak.

Selanjutnya ayat 8 menyatakan, “Haruslah juga

engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu

menjadi lambang di dahimu,” Jadi orang Israel biasanya

suka melilit lengannya dan juga di dahinya ada

tanda seperti itu.

Ada orang yang menafsirkan mengapa dibuat

lilitan di tangan ialah karena pada masa itu

tidak banyak yang memiliki salinan firman Allah,

belum banyak barang cetakan sehingga mereka

membuat salinan tulisan di atas kulit untuk

selalu dibawa-bawa, dan ini berfungsi sebagai

tanda untuk selalu mengingatkan mereka. Tapi

ketika penulis mencoba untuk mempelajarinya,

penulis yakin bahwa maksud tanda di tangan dan

lambang di dahi bukan sekadar memiliki makna

harafiah, melainkan ada arti yang lebih men-

dalam.

Pertama, “mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu”

bukan sekadar memiliki makna harafiah, namun

memiliki makna yang lebih luas, yakni

melambangkan hasil karya tangan kita atau

nafkah kita. Ayat ini menjelaskan bahwa nafkah

kita atau apa yang kita hasilkan melalui tangan

kita harus sesuai dengan firman Allah. Jadi

nafkah kita, haruslah jenis usaha atau pekerjaan

yang sesuai dengan firman Allah dan dilakukan

juga sesuai dengan firman Allah.

Kedua, “lambang di dahimu” adalah apa yang

menjadi pemikiran kita, dan itu juga harus

sesuai juga dengan firman Allah. Apa yang ada

dalam pemikiran kita biasanya mewujud dalam

ucapan-ucapan kita. Jadi, apa yang ada dalam

pemikiran kita, apa yang kita ucapkan, semuanya

harus sesuai dengan firman Allah.

Kemudian yang ketiga adalah ”haruslah engkau

menuliskannya pada tiang pintu rumahmu“. Beberapa keluarga

Kristen, biasanya memajang tembok rumahnya

dengan hiasan atau plakat-plakat ayat dan itu

tidak salah. Namun “tiang pintu rumahmu” merujuk pada

rumah kita, apa yang ada di dalamnya, yaitu

kehidupan keluarga kita dan ini juga haruslah

suatu kehidupan keluarga yang sesuai dengan

firman Allah. Keluarga kita harus dijalankan

sesuai dengan prinsip-prinsip yang alkitabiah.

Kekristenan kita bukan hanya sekadar sesuatu

yang terjadi atau berlaku di gereja saja, atau

di kelompok-kelompok Kristen, tapi terutama di

dalam keluarga sehingga orang luar maupun orang

dalam bisa merasakan bahwa inilah keluarga

Kristen, keluarga yang berlandaskan Firman.

Rasul Paulus dalam 2 Korintus 3:2 dan 3

mengatakan, “Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam

hati kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang.

Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis

oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari

Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh

daging, yaitu di dalam hati manusia.”

Dan yang keempat adalah “pada pintu gerbangmu”.

Kita tahu bahwa pada zaman Israel kuno pintu

gerbang merupakan tempat masyarakat berkumpul.

Jadi frase ini mengacu bahwa pada saat kita

bersosialisasi di masyarakat pun, kita harus

menyampaikan dan menunjukkan gaya hidup serta

pemikiran kristiani kita pada mereka. Dengan

demikian orang bisa membaca melalui diri kita,

perilaku kita, tutur kata kita dan perbuatan

kita bahwa kita adalah orang Kristen.

Kekristenan harus bisa terpampang di hadapan

orang lain atau di dalam komunitas, orang bisa

melihatnya dengan jelas.

Pada dasarnya, Ulangan 6: 7-9 terdiri dari dua

bagian. Ulangan 6:7 berkaitan dengan ucapan:

“mengajarkan” , “membicarakan”.

Sedangkan Ulangan 6:8-9 berkaitan dengan

perbuatan: “mengikatkannya”, “menuliskannya”.

Hal itu berarti bahwa kita harus mendidik anak

kita bukan hanya dengan ucapan saja, tapi juga

dilakukan melalui perbuatan kita. Sebagai Anak

Tuhan kita tidak hanya sekadar mengerti firman

Allah, tapi juga yang utama ialah bahwa kita

juga adalah pelaku Firman.

Tanggung Jawab Ayah dan Ibu

Dalam 2 Timotius 1:5, Rasul Paulus menyampaikan

sesuatu yang berkaitan dengan Timotius,

“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang

pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike

dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.”

Artinya bahwa Timotius memiliki iman yang

tulus yang sama dengan iman yang terdapat pada

ibunya maupun pada neneknya. Hal itu me-

nunjukkan bahwa Timotius dididik oleh ibunya,

selain juga oleh neneknya. Jadi, ayat ini

menjelaskan bahwa mendidik iman atau kerohanian

anak bukan semata-mata tugas dari ayah, tapi

ibu juga memiliki peran yang sama.

Kalau anak-anak kita sudah ikut Sekolah

Minggu, maka kita harus sadar bahwa jangan

sekali-kali kita menganggap bahwa tugas mendidik

anak secara rohani sudah diserahkan atau sudah

dilakukan oleh guru Sekolah Minggu sehingga kita

tidak perlu bertanggung jawab lagi. Tidak, itu

juga masih menjadi tugas utama kita. Dan kelak

kepada kita akan dimintakan pertanggungjawaban

berkaitan dengan kewajiban tersebut.

Tuhan Berikhtiar Untuk Membunuh Musa

Kelalaian Musa dalam mendidik dan mempersiapkan

anaknya berdampak fatal terhadap Musa. Hampir-

hampir Musa dibunuh Tuhan karena ia lalai

menyunatkan putranya.

Kita tahu bahwa setelah Musa membunuh

seorang Mesir, ia kemudian melarikan diri ke

Midian. Pada suatu hari ketika sedang

menggembalakan di gunung Horeb, Musa melihat

ada semak yang terbakar, tapi tidak hangus, dan

kemudian Tuhan menjumpai Musa, dan menugaskannya

untuk membawa keluar bangsa Israel dan hal itu

tercatat di Keluaran 3:10 Allah berfirman, “Jadi

sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau pada Firaun untuk membawa

umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir."

Selanjutnya Musa membawa keluarganya, anak

istrinya, meninggalkan tanah Midian untuk

berangkat ke Mesir, tapi di Keluaran 4: 24-26

dikatakan,

24 “Tapi di tengah jalan, di suatu tempat bermalam, TUHAN bertemu

dengan Musa dan berikhtiar untuk membunuhnya.”

25 Lalu Zipora mengambil pisau batu, dipotongnya kulit khatan

anaknya, kemudian disentuhnya dengan kulit itu kaki Musa sambil

berkata: "Sesungguhnya engkau pengantin darah bagiku."

26 Lalu TUHAN membiarkan Musa. "Pengantin darah," kata Zipora

waktu itu, karena mengingat sunat itu.

Di ayat 24, Tuhan berikhtiar untuk membunuh

Musa, karena ia lalai menyunatkan anaknya.

Mengapa hal itu dianggap suatu kesalahan yang

besar sehingga Tuhan berikhtiar untuk mem-

bunuhnya?

Kita tahu di perjanjian lama bahwa sunat adalah

lambang seseorang menjadi umat Tuhan sehingga

ketika anaknya belum disunatkan, maka anaknya

itu belum menjadi umat Tuhan, dan Tuhan

menganggap hal ini suatu kesalahan yang besar

sehingga Tuhan berikhtiar untuk membunuh Musa.

Oleh karena itu sebagai orang tua, kita

wajib memperhatikan atau meyakinkan diri kita

dengan melakukan pengecekan berulang-ulang

apakah anak-anak kita sudah menjadi umat Tuhan

atau belum. Kita tidak bisa menjadikan

kesibukan pekerjaan atau bahkan kesibukan

pelayanan sebagai alasannya. Dalam kasus Musa,

kapan Tuhan berikhtiar untuk membunuh Musa,

apakah sesudah atau sebelum Tuhan menugaskan

Musa? Peristiwa itu terjadi sesudah Tuhan me-

nugaskannya. Jadi ayat-ayat ini menjelaskan

bahwa kita jangan sekali-kali melalaikan apa

yang sudah menjadi tugas serta kewajiban kita

sebagai orang tua.

Jika kita mengasihi anak-anak kita, maka

memastikan anak-anak kita telah menerima Tuhan

Yesus sebagai Juruselamat mereka merupakan wujud

kasih kita yang paling besar dan paling nyata

dari orang tua pada anaknya. Jadi kalau kita

benar-benar mengasihi anak-anak kita, maka kita

harus membawa dan memastikan mereka benar-benar

menjadi anak Tuhan.

Bukan Hanya Mempersiapkan Anak

Menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak

bagi-Nya tidak hanya berfokus pada anak-anak

kita, tapi termasuk meningkatkan kehidupan

rohani kita sendiri. Kita bukan sekadar

mempersiapkan anak kita, tapi kita sendiri harus

mempersiapkan diri kita, karena kita sendiri

harus siap untuk menjadi umat yang layak bagi

Tuhan. Kita bukan sekadar berbicara atau

mengerti, melainkan kita harus menjadi pelaku

Firman, karena di Yakobus 2:26 disampaikan,

“Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman

tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.”

Artinya kalau kita tidak mempelajari Firman dan

menjadi pelaku Firman, kalau kita tidak

melakukan Firman yang tertulis, maka sebenarnya

iman kita mati dan kalau iman kita mati, maka

kita tentunya tidak akan menjadi umat yang layak

bagi Tuhan.