bab 3-naskah akademis

55
LAPORAN AKHIR Penyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis BAB III NASKAH AKADEMIS KRITERIA TEKNIS BAKU 3.1 KETENTUAN UMUM Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi : 1. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan 2. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi : 1. Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan 2. Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional. Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi : 1. Kriteria umum baku kerusakan tanah mineral yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; 2. Kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; 3. Kriteria umum baku kerusakan flora yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; dan 4. Kriteria umum baku kerusakan fauna yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional didasarkan pada kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional. Hal. III - 1

Upload: mipakesumri

Post on 04-Jul-2015

3.712 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

BAB IIINASKAH AKADEMIS

KRITERIA TEKNIS BAKU

3.1 KETENTUAN UMUM

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi :

1. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan

2. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah.

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi :

1. Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional; dan

2. Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional.

Kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional meliputi :

1. Kriteria umum baku kerusakan tanah mineral yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

2. Kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

3. Kriteria umum baku kerusakan flora yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan; dan

4. Kriteria umum baku kerusakan fauna yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

Kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional didasarkan pada kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional.

Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup daerah berdasarkan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional

Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup daerah ditetapkan dengan ketentuan sama atau lebih ketat daripada ketentuan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup nasional.

Hal. III - 1

Page 2: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Baku mutu pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi :

1. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup nasional; dan

2. Baku mutu pencemaran lingkungan hidup daerah.

3.1.1. Istilah dan Pengertian

1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan;

2. Lahan adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau kegiatan ladang dan atau kebun bagi masya ra kat;

3. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap;

4. Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

5. Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mempertahankan fungsi hutan dan atau lahan melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

6. Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

7. Pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mengembalikan fungsi hutan dan atau lahan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan daya dukungnya;

8. Dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan;

9. Kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan hutan dan atau lahan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;

Hal. III - 2

Page 3: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

10.Pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan atau lahan sehingga kualitas lingkungan hidup menjadi turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;

11.Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang;

12.Orang adalah orang perorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;

13.Penanggung jawab usaha adalah orang yang bertanggung jawab atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi;

3.1.2.Ruang Lingkup

Ruang lingkup pedoman umum Naskah Akademik Penyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan meliputi :

1. Identifikasi dampak dan unsur-unsur (obyek) lingkungan hidup yang terkena dampak akibat kebakaran hutan dan lahan.

2. Besaran dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan.

3.2. KRITERIA TEKNIS BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

3.2.1.Kriteria Teknis Baku Kerusakan Tanah Mineral Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan

1. Sifat Fisik Tanah

No.

Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

1 Struktur tanah

Struktur tanah Rusak Berat : > 80 %Sedang : 40 - 80 %Baik : 0 - 40 %

Pengamatan langsung (visual)

2 Porositas (%)

<30%:>70%Rusak Ringan : 40–60%Sedang : 30-40%; 60-70%Berat : <30% ; >70%

Perhitungan dari bobot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum

3 Bobot isi (g/cm3)

>1,4 gr/cm3Ringan : 1,0-1,4Sedang : 0,9-1,0; 1,4-1,5Berat : <0,9; > 1,4

Ring sample-gravimetri

Hal. III - 3

Page 4: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

No.

Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

4 Kadar air tersedia (%)

Titik layu permanentBerat : > 4,2 pF Sedang : 4,2 pF Ringan : 4,0 - 4,2 pF

Pressure plate-gravimetri

5 Potensi mengembang- mengkerut

Berat : < 1Sedang : 1 - 2Ringan : > 2

COLE

6 Penetrasi tanah (kg/cm2) Berat : 3,5 - 4,5 Sedang : 2,5 - 3,5Ringan : 1,5 - 2,5

Penetrometer

7 Konsistensi tanah

Berat : tidak lekat, tidak plastisSedang : agak lekat, agak plastisRingan : lekat,plastis

Piridan tangan

2. Sifat Kimia Tanah

No.

Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

1 C-organik (%) < 1 %Berat : <1 %Sedang : 1 - 2 % Ringan : 2 - 3 %

Walkley and Black atau dengan alat CHNS Elementary Analisis

2 N total (%) < 0,1 %Berat : < 0,1 Sedang : 0,1 - 0,3Ringan : 0,3 - 0,5

Kjeldahl atau dengan alat CHNS Elementary Analisis

a. Amonium (ppm) Berat : < 1000Sedang : 1.000 - 5.000Ringan : 5000 - 8.000

Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator

b. Nitrat (ppm) Berat : < 1.000Sedang : 1.000 - 5.000Ringan : 5000 - 8000

Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator

3 P (ppm) < 10 ppmRingan : 16 - 25Sedang : 10 – 15Berat : < 10

Spectrofotometer atau autoanalisator

4 pH (H2O) 1:2,5 <4,5:>8,5Berat : > 8,5 ; < 4,5Sedang : 8,0-8,5; 4,5 - 5,0Ringan : 7,5 - 8,0; 5,0 - 5,50

pH-meter

5 Daya Hantar Listrik (µ S/cm) >4 mS/cmBerat : > 4Sedang : 3 - 4Ringan : 2- 3

Konduktometer

3. Sifat Biologi Tanah

No.

Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

1 Carbon mikroorganisme (mg C kg-1)

Berat : 1Sedang : 2 - 3Ringan : 3 – 4

CFE-TOC atau CFE-Walkley and Black (Joergensen, 1995; Vance, et.al., 1987)

2 Respirasi (mgC-CO2 / kg Berat : <5 Metode Stoples seperti

Hal. III - 4

Page 5: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

tanah/hari) Sedang : 5 - 8Ringan :8 - 10

dalam : Joergensen, 1995; Djajakirana, 1996; Verstraete, 1981

3 Metabolic quotien (qCO2) Berat : > 3Sedang : 2-3Ringan : < 2

Perhitungan dari respirasi dan karbon mikroorganisme

4 Total mikroorganisme (SPK/g)

Berat : < 10 Sedang : 10 - 100Ringan : 100 – 1000

Plate counting

5 Total Fungi (SPK/g) Berat : < 10Sedang : 10 - 100Ringan :100 – 1000

Plate counting

3.2.2.Kriteria Teknis Baku Kerusakan Tanah Gambut Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan

1. Sifat Fisik Tanah

No. Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

1 Porositas (%) Berat : > 80 %Sedang : 60 - 80 %Ringan : 50 - 60 %

Perhitungan dari bobot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum

2 Bobot isi (g/cm3) Berat : < 0,15Sedang : 0,15 - 0,20 Ringan : 0,20 - 0,25

Ring sample - gravimetri

3 Kadar air tersedia (%) Ringan : 100 – 110%Sedang ; 90 – 100 Berat : < 90%

Pressure plate-gravimetri

4 Penetrasi tanah(kg/cm2)

Berat : < 0,5Sedang : 0,5 - 1,5 Ringan : 1,5 - 2,5

Penetrometer

5 Subsidence (kedalaman gambut terbakar)

Berat : > 10 cmSedang : 5 - 10 cm Ringan : 2 - 5 cm

Patok subsidence di lapang

2. Sifat Kimia

No. Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

1 C-organik (%) Berat : < 20 Sedang : 20 - 40 Ringan : 40 - 50

Walat CHNS Elementary Analisis jeldahl atau dengan alat HNS Elementary Analisis

2 N total (%) Berat : < 0,1Sedang : 0,1 - 0,5Ringan : 0,5 - 0,8

KC

a. Amonium (ppm) Berat : < 1.000Sedang : 1.000 - 5.000 Ringan : 5.000 - 8.000

Kjeldahl atau elektroda spesifik

b. Nitrat (ppm) Berat : < 1.000Sedang : 1000 - 5000Ringan : 5000 - 8000

Katau autoanalisator jeldahl atau elektroda spesifik tau autoanalisator

3 P (ppm) Berat : < 10 Sedang : 10 -50 Ringan : 50 - 80

autoanalisator Spectrofotometer atau

4 pH Berat : < 3,0Sedang : 3,0 - 3,5

pH-meter

Hal. III - 5

Page 6: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Ringan : 3,5 - 4,55 Daya Hantar Listrik (µ

S/cm) Berat : > 4Sedang : 3 - 4Ringan : 2 - 3

Konduktometer

Hal. III - 6

Page 7: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

3. Sifat Biologi

No. Parameter Kerusakan Yang Terjadi Metode Pengukuran

1 Carbon mikroorganisme (mg C kg-1)

Berat : 400 Sedang : 400-800Ringan : 800-1000

CFE-TOC atau CFE-Walkley and Black (Joergensen, 1995; Vance, et.al., 1987)

2 Respirasi (mgC-CO2 / kg tanah/hari)

Berat : <5Sedang : 5 - 8Ringan :8 - 10

Metode Stoples seperti dalam : Joergensen, 1995; Djajakirana, 1996; Verstraete, 1981

3 Metabolic quotient (qCO2) Berat : > 3Sedang : 2-3Ringan : < 2

Perhitungan dari respirasi dan karbon mikroorganisme

4 Total mikroorganisme (SPK/g)

Berat : < 10 Sedang : 10 - 100Ringan : 100 - 1000

Plate counting

5 Total Fungi (SPK/g) Berat : < 10Sedang : 10 - 100Ringan :100 - 1000

Plate counting

3.2.3.Kriteria Teknis Baku Kerusakan Flora Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan

No. Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

1. Tutupan vegetasi Ringan : Tutupan vegetasi setelah terbakar > 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Sedang : Tutupan vegetasi setelah terbakar 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Berat : Tutupan vegetasi setelah terbakar < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Intepretasi citra satelit dan pengecekan lapangan (sampling)

2 Keragaman spesies Ringan : Nilai indeks keragaman jenis vegetasi setelah terbakar > 75% sama dengan kondisi sebelum terbakar (nilai H’>2)

Sedang : Nilai indeks keragaman jenis vegetasi setelah terbakar 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (nilai H’ = 1-2)

Berat : Tutupan vegetasi setelah terbakar < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (nilai H’ < 1)

Pengukuran sampling yang mewakili untuk menghitung indeks keragaman jenis dengan shannon-wiener indeks.

Kajian data sebelum terbakar

3. Indeks kesamaan komunitas

Ringan : Nilai indeks kesamaan komunitas > 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (IS > 75 %)

Pengukuran sampling yang mewakili untuk menghitung indeks kesamaan komunitas sebelum terbakar dan

Hal. III - 7

Page 8: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

No. Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

Sedang : Nilai indeks kesamaan komunitas 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (IS 30-75 %)

Berat : Nilai indeks kesamaan komunitas < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (IS <%)

setelah terbakar (IS)

Kajian data sebelum terbakar

4. Kerapatan/struktur horizontal vegetasi

Ringan : Nilai kerapatan pohon per ha berdiameter > 10 cm > 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (atau kerapatan pohon berdiameter > 10 cm > 200 pohon)

Sedang : Nilai kerapatan pohon per ha berdiameter > 10 cm 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (atau kerapatan pohon berdiameter > 10 cm 25 -200 pohon)

Berat : Nilai kerapatan pohon per ha berdiameter > 10 cm < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (atau kerapatan pohon berdiameter > 10 cm : < 25 pohon)

Pengukuran sampling yang mewakili untuk menghitung kerapatan pohon

Kajian data sebelum terbakar

5. Lapisan tajuk/struktur vertikal vegetasi

Ringan : lapisan tajuk hutan > 3 strata

Sedang : lapisan tajuk hutan > 1-3 strata

Berat : lapisan tajuk hutan > 3 strata hanya 1 strata

Pengukuran sampling yang mewakili untuk membuat profil hutan

Kajian data sebelum terbakar

6. Keberadaan jenis vegetasi dilindungi/ langka /endemik

Ringan : masih ditemukan jenis vegetasi dilindungi/ langka /endemik dengan komposisi dan struktur > 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Sedang : masih ditemukan jenis vegetasi dilindungi/ langka /endemik dengan komposisi dan struktur 30- 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Berat : masih ditemukan jenis vegetasi dilindungi/ langka /endemik dengan komposisi dan struktur < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Pengukuran sampling analisis vegetasi yang mewakili untuk untuk mengecek keberadaan jenis dilindungi/

langka/endemik

Kajian pustaka

Kajian data sebelum terbakar

7. Biomassa dan kandungan karbon

Ringan : Kandungan biomassa dan karbon 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (untuk hutan primer sebelum terbakar

Pengukuran sampling dengan analisis vegetasi yang mewakili untuk untuk mengecek kandungan biomassa

Hal. III - 8

Page 9: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

No. Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

biomassa > 100 ton/ha)

Sedang : Kandungan biomassa dan karbon 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (untuk hutan primer sebelum terbakar biomassa 50-100 ton/ha)

Berat : Kandungan biomassa dan karbon < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar (untuk hutan primer sebelum terbakar biomassa < ton/ha)

dan karbon

Kajian pustaka

Kajian data sebelum terbakar

Catatan : 50 % dari biomassa adalan nilai karbon

3.2.4.Kriteria Teknis Baku Kerusakan Fauna Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan

No. Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

1. Tutupan vegetasi habitat satwa

Ringan : Tutupan vegetasi setelah terbakar > 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Sedang : Tutupan vegetasi setelah terbakar 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Berat : Tutupan vegetasi setelah terbakar < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Intepretasi citra satelit dan pengecekan lapangan (sampling)

2. Tingkat fragmentasi tutupan vegetasi

Ringan : Tingkat fragmentasi tutupan vegetasi setelah terbakar > 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Sedang : Tingkat fragmentasi tutupan vegetasi setelah terbakar 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Berat : Tingkat fragmentasi tutupan vegetasi setelah terbakar < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Intepretasi citra satelit dan pengecekan lapangan (sampling)

Kajian data sebelum terbakar

3. Keragamanan fauna arboreal

Ringan : Jenis dan jumlah satwa arboreal setelah terbakar > 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Sedang : Jenis dan jumlah satwa arboreal setelah terbakar 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Pengukuran sampling inventarisasi satwaliar yang mewakili untuk fauna arboreal

Kajian data sebelum terbakar

Wawancara

Hal. III - 9

Page 10: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

No. Parameter Ambang Kritis Metode Pengukuran

Berat : Jenis dan jumlah satwa arboreal setelah terbakar < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

4. Keragamanan fauna terrestrial (reptilia dan mamalia daratan)

Ringan : Jenis dan jumlah satwa terestrial setelah terbakar > 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Sedang : Jenis dan jumlah satwa terestrial setelah terbakar 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Berat : Jenis dan jumlah satwa terestrial setelah terbakar < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Pengukuran sampling inventarisasi satwaliar yang mewakili untuk fauna arboreal

Kajian data sebelum terbakar

Wawancara

5. Keberadaan satwa dilindungi/langka/ endemik

Ringan : Jenis dan jumlah satwa dilindungi/langka/ endemik setelah terbakar > 75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Sedang : Jenis dan jumlah satwa dilindungi/langka/ endemik setelah terbakar 30-75 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Berat : Jenis dan jumlah satwa dilindungi/langka/ endemik setelah terbakar < 30 % sama dengan kondisi sebelum terbakar

Pengukuran sampling inventarisasi satwaliar yang mewakili untuk satwaliar dilindungi/langka/

endemik

Kajian data sebelum terbakar

Wawancara

Hal. III - 10

Page 11: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

3.3. TATACARA PENGUKURAN

3.3.1.Tatacara Pengukuran Kriteria Teknis Baku Kerusakan Tanah Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan

3.3.1.1. Pengambilan Contoh Tanah

Metode pengambilan contoh tanah dilakukan dengan 2 cara yaitu :

1. Terusik, menggunakan bor tanah atau membuat profil tanah. Tiap lapisan tanah (hingga lapisan pembatas) diambil satu contoh untuk kepentingan analisis pH, Daya Hantar Listrik (DHL), porositas total, komposisi fraksi, dan penghitungan jumlah mikroba tanah;

2. Tidak terusik, menggunakan ring sampler atau bongkah tanah. Digunakan untuk analisis Berat Isi (BI).

3.3.1.2. Analisis Contoh Tanah

1. Parameter Sifat Fisik

a. Struktur Tanah

Struktur tanah merupakan gumpalan dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil ini mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda-beda :

Bentuk Struktur Tanah :

1. Lempeng (platy) : sumbu vertikal lebih pendek dari sumbu horisontal. Membentuk lapisan-lapisan halus

2. Prismatik (prismatic) : sumbu vertikal lebih panjang dari sumbu horisontal. Sisi atas tidak membulat

3. Tiang (columnar) : sumbu vertikal lebih panjang dari sumbu horisontal. Sisi atas membulat

4. Gumpal bersudut : sumbu vertikal sama dengan sumbu horisontal. Sisi-sisi membentuk sudut tajam

5. Gumpal membulat: sumbu vertikal sama dengan sumbu horisontal. Sisi-sisi membentuk sudut membulat

6. Granuler (granular) : membulat atau banyak sisi. Masing-masing butir butir struktur tidak porous

7. Remah : membulat atau banyak sisi sangat porous. Masing-masing butir butir struktur bersifat porous

Hal. III - 11

Page 12: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Tingkat perkembangan atau kemantapan struktur :

1. Lemah : butir-butir struktur dapat dilihat, tetapi mudah rusak dan hancur waktu diambil dari profil tanah untuk diperiksa

2. Sedang : butir-butir struktur agak kuat dan tidak hancur waktu diambil dari profil tanah untuk diperiksa

3. Kuat : butir-butir struktur tidak rusak waktu diambil dari profil tanah untuk diperiksa dan tetap tidak hancur walaupun digerak-gerakkan

Tabel 3.1. Ukuran atau Kelas Struktur

KelasUkuran (mm)

Lempeng Prisma dan Tiang

Gumpal Granular Remah

Sangat Halus < 1 < 10 < 5 < 1 < 1Halus 1-2 10 – 20 5 – 10 1-2 1-2Sedang 2-5 20 – 50 10 – 20 2-5 2-5Kasar 5-10 50 – 100 20 – 50 5-10 -Sangat Kasar > 1 > 100 > 50 > 1 -

b. Kadar Air Tersedia

Bahan dan Alat :1. Cangkul2. Bor Tanah3. Kantung Plastik4. Metil atau etil alcohol 70%5. Cawan Tanah6. Timbangan

Cara Kerja :

Di lapangan kadar air tanah dapat ditetapkan dengan cara membakar tanah menggunakan metal atau etil alcohol 70% sampai beratnya tetap dengan prosedur sebagai berikut :

1. Ambil 100-200 g contoh tanah terganggu dari lapisan tanah yang dikehendaki dan tempatkan segera dalam kantung plastic untuk menghindari penguapan.

2. Timbang 10 g tanah sebanyak 5-10 ulangan dan tempatkan segera dalam cawan tanah yang sudah diketahui beratnya.

3. Siram masing-masing sampel tanah tersebut dengan metal atau etil alkohol 70% secukupnya (sekitar 10-20 cm3)

Hal. III - 12

Page 13: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

4. Bakar masing-masing sampel tanah tersebut sampai beratnya tetap selama 10 10 menit

5. Biarkan tanah sampai dingin, kemudian contoh tanah berikut cawan ditimbang kembali

6. Kandungan air tanah dihitung dengan cara sebagi berikut :

Kandungan Air Tanah (% berat) =

Berat Basah-Berat Kering X 100%

Berat kering

c. Potensi Mengembang-Mengkerut

Menurut Franzmeier dan Ross (1986), faktor yang mempengaruhi

pengembangan tanah, yaitu jenis tanah liat, kandungan liat, soil fabrik dan

absorpsi kation. Faktor-faktor di atas akan mempengaruhi kemampuan tanah

mengikat air, sehingga menimbulkan perbedaan kemampuan pengembangan

dan pengerutan tanah. Untuk menentukan potensi mengembang-mengkerut

digunakan nilai COLE (coeficient of linear extensibility). Nilai COLE dapat

digambarkan dalam persamaan sebagai berikut (Brasher dalam Groosman,

Brasherm Franzmeier dan Walker, 1968) :

COLE =Lm - Ld

=Lm

- 1Ld Ld

Dimana :

Lm = panjang bongkahan tanah dalam keadaan lembab 1/3 atmosfirLd = panjang bongkah pada keadaan kering oven (105°C)

Pada keadaan diameter tanah tanpa material lebih besar dari 2 mm,

persamaan menjadi

COLE 3 Vm - 1 = 3 Dbd -1Vd Dbm

Dimana :

Vm = panjang bongkahan tanah dalam keadaan lembab 1/3 atmosfirVd = panjang bongkah pada keadaan kering oven (105°C)Dbm= berat volume bongkah dalam keadaan lembab 1/3 atmDbd = berat volume bongkah dalam keadaan kering oven (105°C)

Alat dan bahan :1. Pisau2. Pressure plate aparatus

Hal. III - 13

Page 14: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

3. Botol semprot4. Gelas ukur5. Timbangan6. Oven7. Cawan porselin8. Api bunson9. Tungku besi10.Kakatua11.Oven12.Rak13.Ember plastik kecil14.Contoh bongkah tanah tidak terganggu, air bebas ion, benang, parafin

padat

Gambar 1. Pressure Plate Aparatus

Cara Kerja :

1. Ambil 2 bongkah contoh tanah yang berdiameter kira-kira 5-8 cm dan tidak terganggu

2. Masing-masing contoh diikat dengan benang

3. Letakkan di atas Pressure plate aparatus dan masukkan ke dalam bak perendam untuk dijenuhkan (kira-kira satu malam)

4. Masukkan piring dan contoh ke dalam Pressure plate aparatus

5. Berikan tekanan 1/3 atm dalam Pressure plate aparatus sampai air pada pipa pembuangan tidak menetes lagi

6. Keluarkan contoh-contoh tanah dari Pressure plate aparatus dan timbang berat masing-masing contoh tanah

7. Contoh yang satu masukkan ke dalam oven dengan temperatur 105°C sampai beratnya tetap

Hal. III - 14

Page 15: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

8. Contoh yang satu lagi celupkan beberapa detik ke dalam parafin padat yang telah dicairkan (dipanaskan sehingga seluruh permukaan tertutup rata oleh parafin). Biarkan sampai dingin

9. Timbang contoh tanah dan parafin (no 8). Disini akan didaptakan berat parafin.

10.Ukur volume contoh dan parafin (no 8) dengan jalan mencelupkan ke dalam ember yang berisi air. Jumlah air yang keluar sama dengan volume contoh dan parafin

11.Cari berat jenis parafin padat. Dari No.9 dapat dihitung volume parafin. Kemudian dapat dihitung pula volume contoh 1/3 atm, yaitu selisih volume air yang dipindahkan dikurangi volume parafin.

12.Contoh tanah pada No. 7 ditimbang setelah kira-kira beratnya tetap. Kemudian hitung persentase kadar airnya

13.Persentase kadar air ini digunakan untuk menghitung berat contoh tanah no. 10 pada 105°C. Dari sini dapat dihitung dengan persamaan :

Dbm =Berat contoh tanah pada 105°C

Volume contoh tanah pada 1/3 atm

14.Contoh tanah pada no. 12 setelah ditimbang, kemudian lapisi pula dengan parafin padat yang dicairkan sampai merata ke seluruh permukaan. Kemudian dinginkan seperti No. 8

15.Timbang lagi contoh tanah 105°C dan parafinnya. Didaptkan berat parafin yang dipergunakan untuk menghitung volume parafin padat seperti pada No. 11

16.Ukur volumenya seperti yang dilakukan pada No. 10 dan 11

17.Dari sini dapat dihitung dengan persamaan :

Dbd =

Berat contoh tanah pada 105°CVolume contoh tanah pada 105°C

d. Penetrasi Tanah

Alat : Penetrometer Saku

Cara Kerja :Tanda geser (skala) pada tangkai penetrometer dipindahkan ke pembacaan paling rendah, yaitu 0 (nol). Tangkai penetrometer dipegang, kemudian didorong masuk ke dalam tanah dengan kekuatan tetap sampai mencapai tanda garis 6 mm dari bagian ujung alat yang tumpul. Selanjutnya keluarkan tangkai penetrometer dari dalam tanah dan baca nilai pengukuran pada skala.

Hal. III - 15

Page 16: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Bersihkan batang penetrometer, kembalikan tanda geser ke posisi nol. Ulangi pengukuran beberapa kali pada daerah yang berbeda untuk mendapatkan nilai penetrasi rata-rata.

Hal. III - 16

Page 17: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Gambar 2. Penetrometer Saku

e. Berat IsiBerat isi/berat volume (BI) atau kerapatan bongkah tanah (bulk density) adalah perbandingan antara berat bongkah tanah dengan isi/volume total tanah, diukur dengan metode lilin (bongkah tanah dilapisi lilin). Tanah dikatakan bermasalah bila BI tanah tersebut > 1,4 g/cm³ dimana akar sulit menembus tanah tersebut.

Metode Pengukuran :Gravimetrik pada satuan volume

Alat :1. Tabung ukur 100 ml.2. Pipet ukur 5 ml.3. Termometer.4. Lilin.

Gambar 3. Termometer

Cara pengukuran:

1. Ambil sebongkah tanah asli (1–2 cm³), ikat dengan benang hingga dapat digantung, timbang bongkah tanah ini (a gram). Tentukan kadar air tanah tersebut (KA);

Hal. III - 17

Page 18: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

2. Cairkan lilin dalam cawan pemanas sampai suhu 60 ºC. Matikan api kemudian masukkan bongkah tanah seluruhnya ke dalam lilin cair (± 30 detik), angkat dan biarkan sampai lilin membeku. Semua permukaan bongkah harus tertutup lilin. Timbang bongkah tanah berlilin ini (b gram);

3. Isi tabung ukur (volume 100 ml) dengan air sampai 50 ml (p ml).

4. Bongkah tanah berlilin dimasukkan ke dalam air sehingga permukaan air naik. Dengan pipet ukur tambah air sampai permukaan tepat tanda volume tertentu (q ml).

5. Catat penambahan air dari pipet (r ml).

B I =87 x a gram

g/cm³(100 + KA) x 0,87 x {(q-r-p)-(b-a)}

Keterangan:Kadar Air (KA) adalah jumlah air yang ada dalam tanah pada saat dilakukan pengukuran.

Cara pengukuran kadar air tanah:

1. Timbang tanah yang telah kering dengan cara diangin-anginkan ke dalam botol timbang (a gram);

2. Masukkan ke dalam oven pada suhu 105 ºC selama 48 jam. Selanjutnya timbang berat kering tanah tersebut (b gram);

3. Kadar air dihitung dengan membandingkan jumlah air yang ada (b – a) dengan berat tanah kering mutlak.

KA =(b – a) X

100%a

Cara pengukuran lain:

Nilai BI dapat juga didekati dengan ring sampel dari besi stainless steel (anti karat, biasanya tinggi 5 cm dan Ø 4,8 cm atau 2 inci) yang diketahui volumenya (V= 22/7 X 2,4 X 2,4 X 5 Cm3) dan berat kosongnya (a gram), dibenamkan ke dalam tanah dan diiris kelebihan tanah pada sisi atas dan bawah ring sampel. Keringkan ring sampel berisi tanah tersebut dengan menggunakan oven/hotplate selama 4 jam pada suhu 105°C atau hingga kering mutlak. Kemudian timbang beratnya (b gram). Menghitung nilai BI:

BI =(b – a)

g/cm³V

Dimana:V = Volume ring sample (V=22/7 x 2,4 x 2,4 x 5 cm³)

Hal. III - 18

Page 19: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

f. Porositas Total

Porositas total tanah adalah persentase ruang pori yang ada dalam tanah terhadap volume tanah.

Metode Pengukuran :

Perhitungan berat isi (BI) dan berat jenis (BJ)

Alat : Piknometer

Cara pengukuran:

Porositas total tanah diberi indeks n, diukur berdasarkan perbandingan berat isi (BI) tanah dengan berat jenis/kerapatan partikel (BJ) tanah.

Porositas Total =

1-

BI X 100%BJ

Berat jenis partikel (BJ) atau particle density adalah ukuran kerapatan zarah-zarah tanah yang merupakan perbandingan antara berat partikel tanah dengan volume partikel tanah, diukur dengan piknometer.

Pengukuran berat jenis (BJ)

Cara pengukuran:

1. Timbang piknometer kosong bersumbat (a gram), isi dengan aquades penuh menggunakan botol semprot;

2. Timbang piknometer penuh air (b gram), ukur suhu air saat itu. Baca dalam daftar berapa BJ air pada suhu itu (BJ1);

3. Buang air dalam piknometer, bersihkan tetes-tetes air. Tuangi alkohol sedikit demi sedikit sampai semua tetes air larut, kemudian dibuang. Biarkan piknometer tegak terbuka untuk memasukkan contoh tanah seberat kurang lebih 5 gram dengan bantuan corong gelas. Pasang sumbat dan timbang piknometer berisi tanah ini (c gram);

4. Isi piknometer dengan aquades sampai separuh, tanah diaduk. Gunakan kawat pengaduk halus untuk menghilangkan udara tersekap dalam tanah. Biarkan piknometer dan isinya semalaman dengan sumbat terpasang;

5. Kocok piknometer agar tidak ada gelembung-gelembung udara, biarkan sebentar, tambah air suling sampai penuh (hati-hati jangan sampai tumpah);

6. Timbang piknometer berisi tanah dan air penuh tersebut (d gram). Ukur suhu air saat itu dan lihat berat jenis (BJ2) air pada suhu tersebut dari tabel 1 berat jenis (BJ) air pada berbagai suhu.

Hal. III - 19

Page 20: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

BJ =Berat tanah kering mutlak

Volume total butir-butir tanah

BJ =100 (c – a) x BJ1 x BJ2

g/cm³(100 + KA) x {(BJ2 (b – a) – BJ1 (d-c)}

Tabel 3.2. Berat Jenis (BJ) Air Pada Berbagai Suhu

ºC 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

200.99

80.99

80.99

80.99

80.99

70.99

70.99

70.99

70.99

60.99

6

300.99

50.99

50.99

50.99

50.99

40.99

40.99

40.99

30.99

30.99

3

400.99

20.99

20.99

10.99

10.99

10.99

00.99

00.98

90.98

90.98

8Contoh: Berat Jenis air pada suhu 28º C adalah 0,996 g/cm³

g. Derajat Pelulusan Air

Derajat pelulusan air atau permeabilitas tanah adalah kecepatan air melewati tubuh tanah secara vertikal dengan satuan cm/jam.

Metode Pengukuran : Permeabilitas

Alat :

1. Double ring permeameter atau single ring permeameter.Dalam pengukuran ini yang digunakan adalah single ring permeameter dengan diameter 3 inchi, ketinggian ring 30 cm. Bahan berupa pelat metal dengan ketebalan 3 mm dan ujung bawah tajam ke dalam. Ring diberi penutup dengan poros menonjol ke luar yang digunakan sebagai tumpuan pukulan untuk memasukkan ring tersebut ke dalam tanah.

2. Palu dengan berat sekitar 2 kg.3. Stopwatch.4. Meteran plastik/kayu 30 cm.

Gambar 4. Ring Sampler

Hal. III - 20

Page 21: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Cara pengukuran:

1. letakkan ring secara vertikal di permukaan tanah yang rata;

2. benamkan ring ke dalam tanah dengan cara memukul penutup ring secara vertikal pada poros tutup ring hingga mencapai 10 cm. Usahakan agar kontak antara dinding ring dengan tanah sangat rapat. Untuk tanah yang dangkal, ring dimasukkan sedalam 5 cm;

3. buat parit mengelilingi ring dengan jarak 10 cm dari ring dan kedalaman 5 cm yang dibatasi oleh tanggul di tepi luar parit (tinggi tanggul ±10 cm). Tuangkan air ke dalam parit (±10 cm), ulangi penambahan air hingga tanah di sekitar ring menjadi jenuh;

4. tuangkan air ke dalam ring hingga mencapai 5 cm dari mulut ring, ulangi penambahan air hingga tanah di dalam ring menjadi jenuh;

5. kondisi jenuh ditandai dengan penurunan muka air dalam ring lebih lambat dari pada penurunan muka air di luar ring;

6. untuk pengukuran, tuangkan air ke dalam ring hingga mencapai 5 cm dari mulut ring;

7. ukur kecepatan aliran penurunan muka air di dalam ring selama 1 jam dengan menggunakan stopwacth. Ulangi pengamatan sampai ditemukan angka yang tetap minimal 2 kali pengukuran terakhir;

Gambar 5. Contoh pengukuran derajat pelulusan air

Hal. III - 21

Page 22: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

h. Subsidensi Gambut

Subsidensi gambut adalah laju penurunan permukaan tanah gambut akibat adanya saluran drainase pada pembukaan lahan, dihitung dengan satuan tebal (cm) untuk tiap satuan waktu (tahun). Tanah gambut yang dibuka menyebabkan terhentinya proses penumpukan gambut. Tanah gambut dikatakan rusak bila kumulatif penurunan muka gambut > 35 cm/5 tahun.

Metode Pengukuran : Pengukuran langsung

Alat : Patok subsidensi.

Cara pengukuran:

1. Pancangkan patok subsidensi (tongkat kayu tahan lapuk, seperti kayu ulin) yang bertera (berskala) secara permanen ke dalam tanah sampai mencapai dasar yang stabil (di atas muka air tanah ladung);

2. Tentukan titik nol pada patok susidensi yang menandakan batas permukaan gambut;

3. Amati dan catat secara periodik penurunan muka gambut per 5 tahun.

2. Parameter Sifat Kimia Tanah

a. C-organik

Karbon sebagai senyawa organik akan mereduksi Cr6+ yang berwarna jingga menjadi Cr3+ yang berwarna hijau dalam suasana asam. Intensitas warna hijau yang terbentuk setara dengan kadar karbon dan dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm.

Peralatan :

1. Neraca analitik2. Spektrofotometer3. Labu ukur 100 ml4. Dispenser 10 ml5. Pipet volume 5 ml

Gambar 6. Spektrofotometer

Pereaksi :

Hal. III - 22

Page 23: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

1. Asam sulfat pekat

2. Kalium dikromat 1 N

Larutkan 98,1 g kalium dikromat dengan 600 ml air bebas ion dalam piala gelas, tambahkan 100 ml asam sulfat pekat, panaskan hingga larut sempurna, setelah dingin diencerkan dalam labu ukur 1 l dengan air bebas ion sampai tanda garis.

3. Larutan standar 5.000 ppm C

Larutkan 12,510 g glukosa p.a. dengan air suling di dalam labu ukur 1 l dan diimpitkan.

Cara kerja :

Timbang 0,500 g contoh tanah ukuran <0,5 mm, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml. Tambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N, lalu dikocok. Tambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat, dikocok lalu diamkan selama 30 menit. Diencerkan dengan air bebas ion, biarkan dingin dan diimpitkan. Keesokan harinya diukur absorbansi larutan jernih dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm. Sebagai pembanding dibuat standar 0 dan 250 ppm, dengan memipet 0 dan 5 ml larutan standar 5.000 ppm ke dalam labu ukur 100 ml dengan perlakuan yang sama dengan pengerjaan contoh.

Catatan: Bila pembacaan contoh melebihi standar tertinggi, ulangi penetapan dengan menimbang contoh lebih sedikit. Ubah faktor dalam perhitungan sesuai berat contoh yang ditimbang.

Perhitungan :

Kadar C-organik (%)

= ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml-1 x 100 mg contoh-1 x fk

= ppm kurva x 100 1.000-1 x 100 500-1 x fk

= ppm kurva x 10 500-1 x fk

Keterangan:

ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.

100 = konversi ke %fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air)

b. Penetapan N-Total

Senyawa nitrogen organic dioksidasi melalui pemanasan dalam lingkungan asam sulfat pekat dengan katalis campuran selen membentuk (NH4)2SO4 . Kadar amonium dalam ekstrak dapat ditetapkan dengan cara destilasi atau spektrofotometri. Pada cara destilasi, ekstrak dibasakan dengan penambahan larutan NaOH. Selanjutnya , NH3 yang di bebaskan diikat oleh asam borat daan

Hal. III - 23

Page 24: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

dititar dengan larutan baku H2SO4 menggunakan petunjuk Conway. Cara spektrofotometri menggunakan metode pembangkit warna indofenol biru.

Paralatan :1. Neraca analitik ketelitian tiga decimal2. Tabung digestion & blok digestion3. Labuh didih 250 ml4. Erlenmeyer 100 ml bertera5. Buret 10 ml6. Pengaduk magnetik7. Dispenser8. Tabung reaksi9. Pengocok tabung10.Alat destilasi atau spektrofotometer

Pereaksi

Destruksi :

1. Asam sulfat pekat (95-97%)

2. Campuran selen p.a. (tersedia di pasaran) atau buat dengan mencampurkan dengan 1,55 g CuSO4 anhidrat 96,9 g Na2SO4 anhidrat dan 1,55 g selen kemudian dihaluskan.

Destilasi :

1. Asam borat 1%

Larutkan 10 g H3BO3 dengan 11 air bebas ion.

2. Natrium Hidroksida 40%

Larutkan 400 g NaOH dalam piala gelas dengan air bebas ion 600 ml, setelah dingin dincerkan menjadi 11.

3. Batu didih

Buat dari batu apung yang dihaluskan

4. Penunjuk Conway

Larutkan 0,100 g merah metil (metil red) dan 0,150 g hijau bromokresol (bromocresol green) dengan 200 ml etanol 96%.

5. Larutan baku asam sulfat 1 N (Titrisol)

6. H2SO44N

Masukan 111 ml H2SO4 P.A. PEKAT (95-97%0 sedikit demi sedikit melalui dinding labu-labu ukur 1000 ml yang telah berisi sekitar 700 ml air bebas

Hal. III - 24

Page 25: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

ion, kocok dan biarkan menjadi dingin. Tambahkan lagi air bebas ion hingga 1000 ml kocok

7. Larutan baku asam sulfat 0,050 N

Masukkan 111 ml H2SO4 1 N titrisol ke dalam labu ukur 11 encerkan dengan air bebas ion hingga 11 atau

Pipet 12,5 ml asam sulfat 4 N ke dalam labu ukur 11 diencerkan sampai 11 dengan air bebas ion, kocok. Kenormalannya ditetapkan dengan bahan baku boraks

Spektrofotometri :

1. Standar 0

Encerkan ekstrak blanko dengan air bebas ion menjadi 50 ml. Jumlah blanko yang dikerjakan disesuaikan dengan volume standar 0 yang diperlukan.

2. Standar pokok 1 000 ppm N

Timbang 4,7143 serbuk (NH4)2SO4 p.a. ( yang telah dikeringkan pada 100 oC selama 4 jam) ke dalam labu ukur 11. Tambahkan air bebas ion hingga tepat 11 dan kocok hingga larutan homogen.

3. Standar 20 ppm N

Dibuat dengan memipet 2 ml standar pokok 1000 ppm N ke dalam labu ukur 100 ml dan encerkan dengan standar 0 hingga tepat 100 ml.

4. Deret standar 0 – 20 ppm N

Pipet 0; 1; 2; 4; 6; 8; dan 10 ml standar N 20 ppm masing-masing ke dalam tabung reaksi. Tambahkan standar 0 hingga semuanya menjadi 10 ml Deret standar ini memiliki kepekatan 0; 2; 4; 8; 12; 16; dan 20 ppm N. Lakukan pengocokan pada setiap pencampuran.

5. Larutan Na- fenat

Timbang 100 g serbuk NaOH p.a. dan larutkan secara perlahan sambil diaduk dengan sekitar 500 ml air bebas ion di dalam labu ukur 11. Setelah dingin tambahkan 125 g serbuk fenol dan aduk hingga larut. Diencerkan dengan air bebas ion samapai 11.

6. Larutan sangga Tartrat

Timbang 5 g serbuk NaOH p.a. dan dilarutkan secara perlahan sambil diaduk dengan sekitar 500 ml air bebas ion di dalam labu ukur 11. Setelah dingin tambahkan 50 g serbuk K, Na-Tartrat dan aduk hingga larut. Encerkan dengan air bebas ion sampai 11.

7. Natrium hipoklorit (NaOCL) 5%

Hal. III - 25

Page 26: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Cara Kerja :

Destruksi contoh

Timbang 0,500 g contoh tanah ukuran < 0,5 mm, masukkan ke dalam tabung digestion tambahkan 1 g campuran selen dan 3 ml asam sulfat pekat, didestruksi hingga suhu 350oC ( 3-4 jam). Destruksi selesai bila keluar uap putih dan didapat ekstrak jernih (sekitar 4 jam).

Tabung diangkat, didinginkan dan kemudian ekstrak diencerkan dengan air bebas ion hingga tepat 50 ml. Kocok samapai homogen, biaran semalam agar partikel mengendap. Ekstak digunakan untuk pengukuran N dengan cara destilasi atau cara kolorimetri

Pengukuran N

Pengukuran N dengan cara destilasi

Pindahkan secara kualitatif seluruh ekstrak contoh ke dalam labu didih (gunakan air bebas ion dan labu semprot). Tambahkan sedikit serbuk batu didih dan aquades hingga setengah volume labu. Dsiapkan penampung untuk NH3

yang dibebaskan yaitu Erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat 1% yang ditambah tiga tetes indicator Conway (berwarna merah) dan dihubungkan dengan alat destilasi. Dengan gelas ukur, tambahkan NaOH 40% sebanyak 10 ml ke dalam labu didih yang berisi contoh dan secepatnya ditutup. Didestilasi hingga volume penampung mencapai 50 – 75 ml (berwarna hijau). Destilasi dititrasi dengan H2SO4 0,050 N hingga warna merah mudah. Catat volume titar contoh (Vc) dan blanko (Vb)

Pengukuran N dengan spektrofotometer

Pipet ke dalam tabung reaksi masing-masing 2 ml ekstrak jernih dan deret standar. Tambahkan berturut-turut larutan sangga Tartrat dan Na-fenat masing-masing sebanyak 4 ml, kocok dan biarkan 10 menit. Tambahkan 4 ml NaOCL 5%, kocok dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 636 nm setelah 10 menit sejak penberian pereaksi ini.

Catatan : warna biru indofenol yang terbentuk kurang stabil. Upayakan agar diperoleh waktu yang sama anata pemberian pereaksi dan pengukuran untuk setiap deret standard an contoh.

Perhitungan :

Cara destilasi

Kadar Nitrogen (%) = (Vc - Vb) x N x bst N x 100 mg contoh -1 x fk

= (Vc - Vb) x N x 14 x 100 500-1 x fk

= (Vc - Vb) x N x 2,8 x fk

Hal. III - 26

Page 27: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Keterangan :

Vc,b = ml titar contoh dan blankoN = normalitas larutan baku H2SO4 14 = bobot setara nitrogen100 = konversi ke 100%fk = factor koreksi kadar air = 100/(100 - % kadar air)

Cara Spektrofotometri :

Kadar nitrogen (%) = ppm kurva x (ml ekstrak) (1000 ml)-1 x 100 (mg contoh)-1 x fp x fk

= ppm kurva x 500 1.000-1 x 100 500-1 x fp x fk

= ppm kurva x 0,01 x fpx fkKeterangan :

ppm kurva= kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaanya setelah dikoreksi blanko

100 = konversi ke %fp = factor pengencer (bila ada)fk = factor koreksi kadar air 100/(100 - % kadar air)

c. Phospor

Phospor dalam suasana netral/alkalin, dalam tanah akan terikat sebagai Ca, Mg-PO4. Pengekstrak NaHCO3 akan mengendapkan Ca, Mg-CO3 sehingga PO4 3- dibebaskan ke dalam larutan. Pengekstrak ini juga dapat digunakan untuk tanah masam. Fosfat pada tanah masam terikat sebagai Fe, Al-fosfat. Penambahan pengekstrak NaHCO3 pH 8,5 menyebabkan terbentuknya Fe, Al-hidroksida, sehingga fosfat dibebaskan. Pengekstrak ini biasanya digunakan untuk tanah ber-pH >5,5.

Peralatan :1. Neraca analitik2. Botol kocok 50 ml3. Kertas saring W 914. Tabung reaksi5. Pipet 2 ml6. Dispenser 20 ml7. Dispenser 10 ml8. Mesin pengocok9. Spektrofotometer UV-VIS

Pereaksi :

1. Pengekstrak NaHCO3 0,5 M, pH 8,5Larutkan 42,0 g NaHCO3 dengan air bebas ion menjadi 1 l, pH larutan ditetapkan menjadi 8,5 dengan penambahan NaOH.

Hal. III - 27

Page 28: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

2. Pereaksi P pekatLarutkan 12 g (NH4)6 Mo7O24.4H2O dengan 100 ml air bebas ion dalam labu ukur 1 l. Tambahkan 0,277 g K (SbO)C4H4O6 0,5 H2O dan secara perlahan 140 ml H2SO4 pekat. Jadikan 1 l dengan air bebas ion.

3. Pereaksi pewarna PCampurkan 1,06 g asam askorbat dan 100 ml pereaksi P pekat. Tambahkan 25 ml H2SO4 4N, kemudian dijadikan 1 l dengan air bebas ion. Pereaksi P ini harus selalu dibuat baru.

4. Standar induk 1.000 ppm PO4 (Titrisol)Pindahkan secara kuantitatif larutan standar induk PO4 Titrisol di dalam ampul ke dalam labu ukur 1 liter. Impitkan dengan air bebas ion sampai dengan tanda garis, kocok.

5. Standar induk 100 ppm PO4Pipet 10 ml larutan standar induk 1.000 ppm PO4 ke dalam labu 100 ml. Impitkan dengan air bebas ion sampai dengan tanda garis lalu kocok.

6. Deret standar PO4 (0-20 ppm)Pipet berturut-turut 0; 2; 4; 8; 12; 16; dan 20 ml larutan standar 100 ppm PO4 ke dalam labu ukur 100 ml, diencerkan dengan pengekstrak Olsen hingga 100 ml.

Cara kerja :

Timbang 1,000 g contoh tanah <2 mm, dimasukkan ke dalam botol kocok, ditambah 20 ml pengekstrak Olsen, kemudian dikocok selama 30 menit. Saring dan bila larutan keruh dikembalikan lagi ke atas saringan semula. Ekstrak dipipet 2 ml ke dalam tabung reaksi dan selanjutnya bersama deret standar ditambahkan 10 ml pereaksi pewarna fosfat, kocok hingga homogen dan biarkan 30 menit. Absorbansi larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm.

Perhitungan :

Kadar P2O5 tersedia (ppm)

= ppm kurva x ml ekstrak/1.000 ml x 1.000 g/g contoh x fp x 142/90 x fk

= ppm kurva x 20/1.000 x 1.000/1 x 142/90 x fk

= ppm kurva x 20 x 142/90 x fk

Keterangan :

ppm kurva = kadar contoh yang didapat dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko.

fp = faktor pengenceran (bila ada)142/190 = faktor konversi bentuk PO4 menjadi P2O5

Hal. III - 28

Page 29: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Fk = faktor koreksi kadar air = 100/(100 – % kadar air)

d. pH Tanah

pH adalah tingkat keasaman tanah yang dicerminkan oleh konsentrasi H+ dalam tanah. Nilai pH menjadi bermasalah jika pH <4,5 atau > 8,5 untuk tanah di lahan kering dan pH < 4,0 atau > 7,0 untuk tanah di lahan basah.

Metode Pengukuran : Potensiometrik

Nilai pH dihitung berdasarkan nilai logaritmatik negatif dari konsentrasi H+ pH = - log [H+] pH tanah diukur dengan metode pengukuran secara potensiometrik dengan menggunakan pH-meter atau pH-stick skala 0,5.

Alat : pH meter atau pH-stick

Gambar 7. pH Stick

Cara pengukuran :

1. Campur 5 gram contoh tanah dengan 12,5 ml aquades (bila tidak ada aquades, dapat menggunakan air minum kemasan, atau air sumur yang layak minum dengan pH antara 6-7);

2. Aduk sampai larut hingga tercampur dengan baik, kemudian biarkan selama 15 menit;

3. Ukur pH dengan pH meter yang telah dikalibrasi, atau dengan pH stick (sekurang-kurangnya dengan 3 warna banding).

e. Daya Hantar Listrik (DHL)

Nilai DHL adalah pendekatan kualitatif dari kadar ion yang ada di dalam larutan tanah, di luar kompleks serapan tanah. Semakin besar kadar ionik larutan akan semakin besar DHL-nya. DHL dinilai dengan satuan mS/cm atau µS/cm, pada suhu 25º C. Nilai DHL > 4 mS mengkibatkan akar membusuk karena terjadi plasmolisis.

Metode Pengukuran : Tahanan listrik

Alat : EC meter

Hal. III - 29

Page 30: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Gambar 8. EC meter

Pengukuran DHL dilakukan dengan melihat tahanan listrik di dalam larutan tanah, menggunakan alat ukur Electrical Conductivity meter (EC-meter).

Cara kerja pengukuran DHL :

1. Campur 5 gram contoh tanah dengan 12,5 ml aquades (aquades dapat diganti dengan air sumur atau air mineral dalam kemasan, dengan syarat nilai DHL air tersebut < 100 µS/cm);

2. Aduk sampai larut hingga tercampur dengan baik, biarkan mencapai keseimbangan sekurang-kurangnya 30 menit;

3. Ukur DHL dengan memasukkan elektroda ke dalam larutan sampai kedua kutub metal terendam air. Setelah itu baca nilainya (bila < 1 mS baca dengan satuan µS/cm).

3. Parameter Sifat Bilogi Tanah

a. Karbon Mikroorganisme

Biomassa mikroba didefinisikan sebagai bagian dari bahan organic tanah yang terdiri atas makhluk hidup berukuran ≤ 5 – 10 µm3 (Alef & Nannipieri, 1995). Pada umumnya biomassa mikroba dinyatakan dalam mg C kg -1 tanah atau µg C mg -1 tanah, terutama pada tanah yang mempunyai kadar C-organik 1 – 5%. Kadar C-mikroba tanah relative kecil disbanding dalam keberlangsungan siklus hara. Para peneliti berusaha untuk mengetahui biomasssa mikroba sehubungan dengan peran pentingnya dalam menyimpan nutrisi dan energi (Parkinson & Paul), 1982) salah satu pembentuk struktur dan stabilitas tanah, penanda ekologis dan tempat berkumpulnya (pool) hara sebagai cadangan nutrisi (Alef & Nannipieri, 1995).

Pendugaan biomasssa mikroba biasanya menggunakan perlakuan biomassa sebagai komponen tunggal, walaupun diketahui bahwa terdapat keragaman populasi berbagai jenis mikroba dengan berbagai jenis mikroba dengan berbagai perbedaan karakter biokimia tanah. Beberapa metode telah digunakan untuk mengestimasi biomassa mikroba tanah. Untuk menghindari

Hal. III - 30

Page 31: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

kesalahan perlu ditetapkan bahwa pendugaan biomassa tanah terdiri atas dua aspek (Alef & Nannipieri, 1995) yaitu :

1. Kriteria indikator biomassa mikroba : indicator kuantitatif biomassa mikroba hanya diperuntukkan bagi sel-sel mikroba yang hidup dan secara cepat dapat terurai, terlepas ke dalam lingkungan tanah. Kadar senyawa yang terlepas ke lingkungan tanah bersifat konstan dan secara kuantitatif dapat diekstraksi dari tanah. Metode yang dapat dipercaya untuk estimasi indicator ini harus tersedia.

2. Tersedia cara-cara yang memungkinkan untuk mengkalibrasi metode yang digunakan dan perhitungan data ke dalam biomassa.

Aspek-aspek ini saling tergantung sebab teknik estimasi indicator biomassa tanah yang sangat sensitive dan handal akan tidak berguna jika terdapat kelemahan dan cacat bagi metode kalibrasi yang digunakan.

Metode Fumigasi dan Ekstraksi (Vance et al, 1987)

Prinsip :

Fumigasi dengan kloroform membunuh dan melarutkan sel mikroba dengan lepasnya sitoplasma ke dalam lingkungan tanah. Bahan-bahan sel dapat diekstraksi dari tanah. Alef & Nannipieri (1995) mengemukakan bahwa C-organik, total N dan NH4-N, ninhydrin-reaktif N, C-karbohidrat. C-fenol reaktif dapat diekstraksi dengan 0,5 M K2SO4

Alat :

- Incubator- Neraca analitik ketelitian 3 desimal- Desikator hampa udara (gambar 1)- Pompa listrik- Penggoyang (shaker)- Alat pendingin- Kertas saring whatman No.42- Labu ukur 100 ml- Dispenser 10 ml- Spektrofotometer

Bahan :

- Kloroform (CHCl3) bebas alcohol- Kapur soda (p.a)- 0,5 M K2SO4

Larutkan 87,135 g K2SO4 dengan aquades sampai volume 100 ml- Asam sulfat

Hal. III - 31

Page 32: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

- Kalium dikromat 1 NLarutkan 98,1 g K2Cr2O7 dengan 600 ml aquades dalam gelas piala, tambah 100 ml asam sulfat pekat, panaskan hingga larut sempurna, dinginkan dan tambah aquades sampai volume menjadi 1.000 ml

- Larutan standar 5.000 ppm CLarutkan 12,51 g glukosa (p.a) di dalam labu ukur 1.000 ml dengan aquades sampai volume 1.000 ml

Prosedur :

- Bagi contoh tanah yang masih lembab (50 g berat kering), menjadi 2 (tiap contoh 25 g berat kering).

- Masukan contoh tanah yang tidak difumigasi (sebagai control) ke dalam botol ukuran 250 ml dan segera ekstraksi dengan 100 ml 0,5 M K2SO4 dengan rasio pengekstrak : berat kering tanah = 4 : 1 (v/w)

- Goyang dengan penggoyang selama 30 menit pada 200 rpm dan saring dengan kertas saring Wahtman No. 42.

- Masukkan contoh tanah yang akan difumigasi ke dalam botol ukuran 50 ml

- Letakkan botol ukuran 50 ml yang berisi contoh tanah basah bersama beker gelas yang berisi 25 ml kloroform bebas alcohol dan botol kapur soda di dalam desikator yang dialasi kertas tisu basah

- Keluarkan udara dari dalam desikator dengan pompa listrik sampai kloroform mendidih selama 2 menit

- Inkubasi desikator di tempat gelap selama 24 jam pada suhu 25oC

- Setelah fumigasi, keluarkan kloroform dan pindahkan tanah ke dalam botol ukuran 250 ml dan segera ekstraksi dengan 100 ml 0,5 M K2SO4 dengan rasio pengekstrak : berat kering tanah = 4: 1 )v/w)

- Goyang dengan penggoyang selama 30 menit pada 200 rpm, saring dengan kertas saring Whatman No. 42

- Tambahkan 10 ml K2Cr2O7 1 N pada filtrate hasil ekstraksi, kocok dan tambah 10 ml asam sulfat pekat, kocok diamkan selama 30 menit

- Ukur absorbansi larutan tersebut dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 561 nm

- Sebagai pembanding, buat larutan standar 0 dan 250 ppm C, dengan memipet 0 dan 5 ml larutan standar 5.000 ppm C ke dalam labu ukur 100 ml (Sulaeman et al, 2005)

Catatan: jika pembacaan contoh melebihi standar tertinggi, penetapan diulangi dengan menimbang contoh lebih sedikit, factor dalam perhitungan diubah sesuai berat contoh yang ditimbang. Semua fitrat jika tidak bias langsung dikerjakan lebih lanjut disimpan pada suhu -5oC.

Hal. III - 32

Page 33: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Perhitungan :

Kadar C-organik ( mg kg-1 tanah) = ppm kurva x ml ekstrak 1.000 ml-1 x 100 mg contoh-1 x fk

= ppm kurva x 0,25 x 100. 2500-1 x fk

= ppm kurva x 0,1 x fk

Keterangan :

ppm kurva = kadar contoh dari kurva hubungan antara kadar deret standar dengan pembacaannya setelah dikoreksi blanko

fk = factor koreksi kadar air tanah

S- CC-biomassa (µg g-1 tanah) = --------------

0,35

Keterangan :

S = nilai rata-rata kadar C-organik contoh (dengan kloroform)C = nilai rata-rata kadar C-organik control (tanpa kloroform)0,35 = factor kec (konversi aliran C ke C-mikroba)

Ulasan

Bobot contoh tanah yang dapat dipakai antara 200 mg – 200 g dengan kelembaban 30%, pada tanah kering sebagian mikroba tanah tidak terpengaruh/mati oleh fumigasi kloroform. Aktivitas enzim maupun autolysis pada kelembaban < 30% akan menurun. Kadar air tanah dapat berfluktuasi, biomassa C-mikroba tanah pada kadar air 40 50% hampir sama dengan tanah jenuh air, tetapi jangan diinkubasi dalam suasana anaerob.

Penetapan biomassa juga dapat dilakukan pada tanah lumpur atau tanah sawah, tetapi pada tanah yang padat (dipadatkan) sehingga tidak dapat pecah, pengukuran biomassa tidak dapat dilakukan dengan metode fumigasi dan ekstraksi.

Selama inkubasi dan fumigasi, kapur soda dapat mengikat CO2 sehingga membuat tingkat CO2 tetap rendah, hal ini dapat mempengaruhi hasil pengukuran C-organik. Hasil pengukuran C-organik juga dipengaruhi oleh waktu fumigasi dan suhu saat inkubasi. Waktu fumigasi yang lebih pendek dan suhu yang lebih rendah akan menghasilkan pengukuran C-organik yang lebih rendah.

Sel-sel akar muda tanaman juga dipengaruhi oleh fumigasi kloroform, sehingga bahan sel akar – muda juga akan terekstraksi oleh K2SO4. Oleh karena itu pada contoh tanah yang mengandung banyak akar muda, sebelum diekstraksi akar tersebut aharus dibuang lebih dahulu.

Hal. III - 33

Page 34: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

Metode fumigasi dan ekstraksi dapat digunakan pada tanah yang baru saja diberi pembaik tanah zat organic seperti jerani atau glukosa. Pada tanah yang mempunyai kadar bahan organic > 20% menggunakan rasio tanah ; pengekstrak = 1 : 4 dan pada tanah (serasah) berkadar 94% rasio tersebut menjadi 1 : 20.

b. Respirasi

Respirasi tanah merupakan suatu proses yang terjadi karena adanya kehidupan mikrobia yang melakukan aktifitas hidup dan berkembang biak dalam suatu masa tanah. Mikrobia dalam setiap aktifitasnya membutuhkan O2 atau mengeluarkan CO2 yang dijadikan dasar untuk pengukuran respirasi tanah. Laju respirasi maksimum terjadi setelah beberapa hari atau beberapa minggu populasi maksimum mikrobia dalam tanah, karena banyaknya populasi mikrobia mempengaruhi keluaran CO2 atau jumlah O2 yang dibutuhkan mikrobia. Oleh karena itu, pengukuran respirasi tanah lebih mencerminkan aktifitas metabolik mikrobia daripada jumlah, tipe, atau perkembangan mikrobia tanah. Bahan organik (tanaman dan binatang) tersusun atas 45 sampai 50 % bobot kering adalah karbon. Bahan organik dirombak oleh mikrobia dihasilkan CO, air, hasil antara, bahan sel, dan energi. Proses perombakan aerobik dibutuhkan O2, dan dihasilkan sekitar 60 sampai 80 % CO. Sebagai indek aktifitas mikrobia dikenal RQ (respirasi quotient), yaitu volume CO2 yang dihasilkan atau volume O2 yang dikonsumsi. Besarnya RQ sangat ditentukan oleh C/O substrat, lingkungan dan jenis mikrobia yang terlibat. Sebagai gambaran karbohidrat mempunyai RQ sekitar satu, bahan yang kaya oksigen (asam organik) mempunyai RQ lebih dari satu, dan bahan yang sedikit mengandung oksigen (lemak) mempunyai RQ kurang dari satu.

Penentuan respirasi tanah lebih sering mengukur keluaran CO2 dibanding kebutuhan O2 disebabkan karena : 1. Mikrobia anaerobik tetap menghasilkan CO2 walaupun tidak menghasilkan O2. 2. Mikrobia mengandung enzim dekarbosilase aktif, sehingga walaupun tidak mengkonsumsi O2, tetap menghasilkan CO2. 3. Terjadinya dekarbosilasi kimia oleh enzim bebas. 4. Sulit untuk membuat kondisi benar-benar aerob.

Penetapan respirasi tanah didasarkan pada :

1. Penetapan jumlah CO2 yang dihasilkan oleh mikroba tanah. 2. Jumlah O2 yang digunakan oleh mikroba tanah.

Respirasi mikroba tanah sangat kompleks, banyak metode yang telah diusulkan untuk menangkap gas yang dihasilkan dan menganalisisnya sesuai dengan tujuan dan lingkungan peneliti, bisa dikatakan tidak ada metode yang sepenuhnya memuaskan. Adapun cara penetapan respirasi tanah di laboratorium lebih disukai. Prosedur di laboratorium meliputi penetapan pemakaian O2 atau jumlah CO2 yang dihasilkan dari sejumlah contoh tanah

Hal. III - 34

Page 35: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

yang diinkubasi dalam keadaan yang diatur di laboratorium. Dua macam inkubasi di laboratorium adalah :

1. Inkubasi dalam keadaan yang stabil (steady-stato) 2. Keadaan yang berfluktuasi

Untuk keadaan yang stabil, kadar air, temperatur, kecepatan, aerasi, dan pengaturan ruangan harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Peningkatan respirasi terjadi bila ada pembasahan dan pengeringan, fluktuasi aerasi tanah selama inkubasi. Oleh karena itu, peningkatan respirasi dapat disebabkan oleh perubahan lingkungan yang luar biasa. Hal ini bisa tidak mencerminkan keadaan aktivitas mikroba dalam keadaan lapang, cara steady-stato telah digunakan untuk mempelajari dekomposisi bahan organik, dalam penelitian potensi aktivitas mikroba dalam tanah dan dalam perekembangan penelitian. (Iswandi A. 1989).

Alat : Bahan :1. 3 toples 1. tanah Inceptisol2. 2 beaker kecil 2. 0,2 N KOH3. pipet tetes 3. aquqdes4. alat tritasi 4. phenolptalin5. alat tulis 5. 0,1 N HCL6. label 6. metal orange

Metode penetapan CO2 tanah sederhana (verstraete, 1981).

1. 2 beaker kecil diisi dengan 20 ml 0,2 N KOH dan 25 ml air. Kemudian dimasukkan ke dalam toples yang sebelumnya sudah diisi dengan tanah yang tersedia dengan keadaan lembab sebanyak 1,0 kg dan ditutup sampai kedap udara. Ulangi sebanyak 3 kali contoh dan 1 blangko. Toples tersebut diinkubasi di tempat yang gelap selam seminggu pada suhu kamar. Jumlah CO2 yang dihasilkan ditentukan dengan cara titrasi.

2. Setelah satu minggu, beaker yang berisi KOH ditetesi dengan penolptalin 2-3 tetes. Untuk menghilangkan warna merah ditetesi dengan 0,1 N HCL. Jumlah HCL yang diperlukan dicatat.

3. Kemudian 2-3 tetes metil orange ditambahkan. Rubah warna kuning menjadi pink dengan dititrasi dengan 0,1 N HCL dan dicatat jumlah tetesan. Reaksi : a. Perubahan warna merah (pp) menjadi tidak berwarna : KOH + CO2 K2CO3 (+ pp: merah) + HCL KCL + KHCO3 b. Perubahan warna kuning (mo) menjadi pink : KHCO3 (+ mo:merah) + HCL KCL + H2O + CO2 dimana 1,0 me HCL = 1,0me 1 ml 0,1 N HCL = 4,4 mg CO2(=44) = 1,2 mg C-CO2(C=12)

4. Kemudian jumlah yang dihasilkan per kilogram tanah lembar per hari (r), dihitung dengan rumus.

Hal. III - 35

Page 36: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

c. Metabolic Quotient (qCO2)

Metabolic quotient (qCO2) dihitung dari jumlah respirasi untuk setiap satu satuan karbon mikroorganisme. Menurut Anderson (2003) nilai qCO2 yang lebih besar dari 2 menunjukkan bahwa penggunaan energi yang tidak efisien pada suatu komunitas mikoroba tanah.

d. Jumlah Mikroba Tanah

Jumlah mikroba tanah adalah total populasi mikroba di dalam tanah yang diukur dengan colony counter. Pada umumnya jumlah mikroba normal adalah 107 cfu/g tanah. Tanah dikatakan rusak bila jumlah tersebut < 102 cfu/g tanah baik untuk di lahan kering maupun di lahan basah. Pengukuran ini sulit untuk dilaksanakan di lapangan, untuk itu pengukuran parameter ini hanya dilakukan pada kondisi spesifik, misalnya tanah tercemar limbah B3.

Metode Pengukuran : Plating technique

Alat:1. Tabung reaksi.2. Cawan petri yang sudah berisi media nutrien agar.3. Colony counter.

Cara pengukuran:

1. Timbang contoh tanah 1 gram, masukkan ke dalam tabung reaksi berisi 99 ml aquades steril, kocok hingga tercampur. Siapkan tabung reaksi untuk ulangan dan pengencer larutan tanah induk. Tuangkan berbagai volume larutan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 50 ml aquades steril, setelah itu volume dibuat 100 ml dengan menambahkan aquades steril dengan tingkat pengenceran 10², 10³, 104, 105, dan 106;

2. Tuangkan masing-masing larutan sebanyak 0,1 ml di atas cawan petri yang telah diisi media nutrien agar secara aseptik dan ratakan. Inkubasikan sekitar 1 minggu sampai kemunculan koloni;

3. Hitung koloni dengan colony counter;

Pilih populasi yang memiliki jumlah koloni antara 20 – 300 koloni/cawan petri tanpa ada spreader. Kalikan dengan tingkat pengenceran dari masing-masing populasi yang terpilih (memenuhi syarat). Nilai rata-rata dari seluruh populasi merupakan populasi per jumlah mikroba tanah.

3.3.2. Tatacara Pengukuran Kriteria Teknis Baku Kerusakan Flora Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan

Persiapan alat, bahan, dan tenaga kerja sebelum melakukan analisis vegetasi adalah sebagai berikut :

1. Menyediakan peta lokasi, peta kerja dan atau peta penutupan lahan (peta penafsiran vegetasi)

Hal. III - 36

Page 37: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

2. Tali plastik (60 m per regu)3. Alat ukur tinggi pohon seperti Haga meter atau chrysten meter4. Alat ukur diameter pohon seperti : Diameter tape (phi band) atau pita

meter 100 cm5. Meteran 10 m atau 20 m6. Patok dengan tinggi 1 (satu) meter, dimana ujung bawah runcing dan

ujung atas7. sepanjang 3 cm dicat merah putih8. Tally sheet dan alat tulis menulis9. Kompas10.Pengenal jenis pohon

Gambar 9. Haga Hypsometer

Gambar 10. Phi Band

Setelah bahan dan alat yang diperlukan tersedia maka kegiatan di lapangan dilakukan sebagai berikut :

1. Kegiatan analisis vegetasi dilakukan secara berkelompok. Kelompok ini terdiri dari pembersih areal, penunjuk arah, pengukur pohon, pengenal pohon, dan pembawa perbekalan.

2. Menentukan lokasi jalur yang akan disurvei (unit contoh) di atas peta, panjang masing-masing jalur ditentukan berdasarkan lebar hutan (dalam survei ini panjang jalur 500 meter per regu). Jalur dibuat dengan arah tegak lirus kontur (memotong garis kontur).

3. Membuat contoh unit jalur dengan desain seperti Gambar 9.

4. Mengidentifikasi jeniss dan jumlah serta mengukur diameter (DBH) dan tinggi (tinggi total dan bebas cabang) untuk tingkat tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat semai dan panjang hanya mengidentifikasi jenis

Hal. III - 37

Page 38: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

dan jumlahnya saja. Data hasil pengukuran dicatat dalam tally sheet. Dalam kegiatan survei ini digunakan kriteria pertumbuhan sebagai berikut :

a. Semai adalah anakan pohon mulai kecambah sampai setinggi < 1,5 meter

b. Pancang adalah anakan pohon yang tingginya > 1,5 cm dan diameter < 7 cm

c. Tiang adalah pohon muda yang diameternya mulai 7 cm sampai diameter < 20 cm

d. Pohon adalah pohon dewasa berdiameter > 20 cm

Gambar 11. Desain Petak Contoh Analisis Vegetasi

Keterangan :

a. Petak contoh semai (2 m X 2 m )b. Petak contoh tiang ( 10 m X 10 m )c. Petak contoh pancang ( 5 m X 5 m )d. Petak contoh pohon ( 20 m X 20 m )

Data yang telah diperoleh dari kegiatan pengukuran di lapangan kemudian diolah dengan menggunakan formulasi metode petak kuadrat untuk menghitung besarnya kerapatan (individu/ha), frekuensi dan dominasi (m2/ha) dan indeks nilai penting (INP) dari masing-masing jenis dengan formulasi sebagai berikut :1. Kerapatan Jenis (K) dan Kerapatan Relatif (KR)

2. Frekuensi Jenis (F) dan Frekuensi Relatif (FR)

Hal. III - 38

Page 39: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

3. Dominansi Jenis (D) dan Dominansi Relatif (DR)

Hal. III - 39

Page 40: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

4. Indeks Nilai Penting (INP)

INP = KR + FR + DR

5. Indeks Keanekaragaman Jenis mengekspresikan tingkat keragaman di dalam suatu komunitas dan dihitung dengan rumus :

nH' = - {ni/N x Log (ni/N)}

i=1

Dimana :Ni = Kerapatan individu jenis iN = Kerapatan seluruh jenis

Nilai keanekaragaman jenis ini dapat digunakan untuk menilai tingkat kemantapan suatu ekosistem dengan kriteria sebagai berikut (Odum, 1988) :

Tabel 3.3. Kriteria Tingkat Kemantapan Ekosistem

Klasifikasi Nilai H KriteriaKemantapan Ekosistem

≥ 3.5 Sangat Baik Sangat Mantap2.5 – 3.5 Baik Mantap

1.25 – 2.5 Sedang Sedang1 – 1.25 Kurang Kurang Mantap

< 1 Buruk Tidak Mantap

Tabel 3.4. Contoh Tallysheet untuk Analisis Vegetasi Pohon

No Spesies

Nama Lokal

Nama Jenis

Diamter (m)

Tinggi Total (m)

Tinggi Bebas

Cabang (m)

Keterangan

Hal. III - 40

Page 41: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

3.3.3. Tatacara Pengukuran Kriteria Teknis Baku Kerusakan Fauna Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan

Kelompok satwa liar yang ditelaah adalah komposisi dan keanekaragaman jenis, kelimpahan relatif, jenis-jenis satwa liar dilindungi dan tidak dilindungi serta kondisi habitat.

Pengumpulan data satwa liar dilakukan dengan perjumpaan langsung dan perjumpaan secara tidak langsung, yaitu melalui penelaahan jejak, kotoran, suara dan tanda-tanda lainnya. Pengamatan dilakukan untuk jenis satwa liar, burung, mamalia, primata, reptilia, amphibia serta ikan. Data mengenai satwa liar akan dilengkapi dengan data sekunder baik dari beberapa literatur dan hasil wawancara dengan penduduk setempat serta para ahli yang pernah melakukan penelitian di kawasan tersebut.

1. Inventarisasi Satwa

a. Burung

Pengamatan burung dilakukan dengan Belt Transect (Emlen, l971). Pengamatan langsung dilakukan pada sebuah jalur transek di setiap wilayah sepanjang 1 Km kekiri dan kekanan jalur pada jarak pandang selebar 20 meter berjalan perlahan-lahan dilakukan pada pagi hari mulai jam 06.00-10.00 WIB.

b. Primata

Pengumpulan jenis primata dilaksanakan dengan metoda jalur (Line Transect Method) dimulai pada jam 08.00-12.00 WIB, berjalan perlahan-lahan, rata-rata 6 menit/100 m pada jalan setapak. Di lokasi tempat ditemukannya primata dilakukan pengamatan jenis primata tersebut, jumlah kelimpahan, jumlah individu dan arah gerak.

c. Mamalia

Pengamatan di jalur transek dengan cara identifikasi suara, jejak, kotoran dan sisa-sisa makanan atau sarang.

d. Reptilia dan Amphibia

Pengamatan dilakukan dengan cara penjelajahan umum pada lokasi di dalam dan di luar jalur transek. Setiap jenis yang dijumpai di catatat. Informasi tentang ular sanca (Phyton reticulatus) perlu diperhatikan mengingat bahwa hewan ini merupakan satwa yang dilindungi.

e. Ikan

Pengamatan dilakukan dengan cara pengambilan jenis-jenis ikan dengan mempergunakan pancing, jala atau melakukan wawancara dengan para pemancing atau penjala ikan yang kebetulan bertemu di lokasi pengamatan. Lokasi pengamatan ikan dilakukan di sungai dan danau yang ada di kawasan G. Karang.

Hal. III - 41

Page 42: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

2. Metoda Analisis Data Fauna

Analisis data besarnya populasi secara semi kuantitatif meliputi dominasi relatif (indeks kelimpahan), indeks keanekaan dan indeks kesamaan kumunitas. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung nilai indeks-indeks tersebut adalah :

a. Indeks Kelimpahan Jenis Jorgensen (l974)

Di (Ab) =Ni

X 100%N

Disini :Di = Indeks kelimpahan jenis iNi = Jumlah individu jenis iN = Jumlah total individu seluruh jenis.

Dimana : Di < 2,5 = Tergolong tidak dominan2,5< Di <-5= Tergolong sub dominanDi > 5 = Tergolong dominan.

b. Indeks Keanekaan Jenis Shannon & Weaver (l949)

H’ =-( Ni ) Ln ( Ni )N NDimana :

H' = Indeks keanekaan jenis Shannon-Wiaver ni = Jumlah individu jenis iN = Jumlah individu total jenis

c. Indeks Kesamaan Komunitas Sorensen (l948)

Di (Ab) =2 MC

X 100%MA + MB

Dimana :SS = Indeks kesamaan komunitasMA = Jumlah total individu dari seluruh jenis yang terdapat di lokasi A dikalikan dengan

jumlah jenisnyaMB = Jumlah total individu dari seluruh jenis yang terdapat di lokasi B dikalikan dengan

jumlah jenisnyaMC = Jumlah total individu dari seluruh jenis-jenis yang sama yang terdapat di lokasi A dan

lokasi B dikalikan dengan jumlah jenisnya.

Untuk mengetahui status perlindungan setiap jenis satwa dilakukan dengan penyelusuran peraturan dan pustaka.

Hal. III - 42

Page 43: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

3.3.4.Parameter Kunci Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan

Parameter-parameter kerusakan lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan atau lahan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan tidak semuanya dapat diaplikasikan dengan mudah di lapangan atau di laboratorium, terutama yang berkaitan dengan sifat mikrobiologis tanah. Oleh karena itu apabila PP tersebut akan disempurnakan perlu memperhatikan aspek kepraktisan penilaian di lapangan serta ketersediaan alat analisisnya. Untuk pengembangan kepraktisan dalam menilai kerusakan lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan atau lahan tersebut perlu memperhatikan beberapa parameter kunci. Parameter kunci kerusakan lingkungan akibat hutan dan atau lahan dari sifat fisik tanah, kimia tanah, biologi tanah, flora, dan fauna yang diusulkan disajikan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Parameter Kunci Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Kebakaran Hutan dan atau Lahan

No Parameter Kunci

A. TANAH MINERAL

Sifat Fisik Tanah Mineral1 Struktur tanah 2 Porositas (%) 3 Bobot isi (g/cm3) 4 Penetrasi tanah (kg/cm2) 5 Konsistensi tanah

Sifat Kimia Tanah Mineral1 C-organik (%) 2 pH (H2O) 1:2,5

Sifat Kimia Tanah1 Total mikro organisme (SPK/g) 3 Total Fungi (SPK/g)

B. TANAH GAMBUTSifat Fisik Tanah Gambut

1 Porositas (%) 2 Bobot isi (g/cm3) 3 Penetrasi tanah (kg/cm2) 4 Subsidence (kedalaman gambut terbakar)

Sifat Kimia Tanah Gambut1 C-organik (%) 2 pH

Sifat Biologi Tanah Gambut1 Total mikro organisme (SPK/g) 2 Total Fungi (SPK/g)

C. FLORA

Hal. III - 43

Page 44: Bab 3-Naskah Akademis

LAPORAN AKHIRPenyusunan Kriteria Teknis Baku Kerusakan Lingkungan HidupAkibat Kebakaran Hutan dan Lahan Naskah Akademis

No Parameter Kunci

1 Tutupan vegetasi2 Keragaman spesies 3 Indeks kesamaan komunitas4 Kerapatan/struktur horizontal vegetasi5 Lapisan tajuk/struktur vertikal vegetasi6 Keberadaan jenis vegetasi dilindungi/ langka /endemik7 Biomassa dan kandungan karbon

D. FAUNA1 Tutupan vegetasi habitat satwa2 Tingkat fragmentasi tutupan vegetasi 3 Keragamanan fauna arboreal4 Keragamanan fauna terrestrial (reptilia dan mamalia daratan)5 Keberadaan satwa dilindungi/langka/endemik

Kerusakan lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan atau lahan bersifat sistemik, artinya kerusakan salah satu kriteria akan merusak kriteria yang lainnya. Dengan demikian apabila satu kriteria dinyatakan rusak, maka ekosistem atau lingkungan hidup yang mengalami kebakaran hutan dan atau lahan dinyatakan rusak pula.

Hal. III - 44