kasus jco
DESCRIPTION
jcooTRANSCRIPT
DONAT SEBAGAI GAYA HIDUP
J.CO
Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, persaingan DD dengan KK sudah lama
terjadi, sepanjang kelahirannya masing-masing. Orang Amerika biasa menyingkat Dunkin’
Donuts dengan DD. Demikian pula Krispy Kreme disingkat KK saja. Dua-duanya perusahaan
donat, penganan ringan yang sejak awal kelahirannya dianggap sebagai simbol gaya hidup.
Sejak awal kehadirannya di Indonesia, DD yang lahir dari kreativitas William Rosenberg tahun
1950 di Quincy, Massachusetts, lekat dengan kudapan kelas menengah perkotaan. Tetapi ia tidak
menjadi histeria massa, dalam arti orang harus rela antre berjam-jam hanya untuk menenteng
makanan itu. KK yang diciptakan oleh Vernon Rudolph di Nashville 13 tahun lebih dulu
dibandingkan dengan DD, saat pertama kali hadir di Jakarta, juga tidak menjadi histeria massa
yang mencolok mata.
Bagaimana dengan J.CO? Sejak gerai donat ini dibuka untuk pertama kalinya 26 Juli 2005 lalu di
Jakarta, sampai sekarang orang masih rela antre atau berebut meja dan tempat duduk demi
beberapa keping donat.
Mereka yang antre adalah kalangan kelas menengah atas karena gerai berada di mal-mal
berkelas, seperti Senayan City, Mal Taman Anggrek, atau Plaza Semanggi. Mereka tidak sekadar
memuaskan lidah mengunyah “Al Caponne” sambil menyeruput kopi pekat Arabica, tetapi
mereka sedang mempertontonkan sebuah gaya hidup. “Mereka adalah J.COmmunity yang
sedang J.COing,” kata Gita Herdi Hastarani, seorang eksekutif muda.
Banyak orang mengira J.CO yang bernama dagang lengkap J.CO Donuts & Coffee adalah
setanah kelahiran dengan DD maupun KK, setidak-tidaknya itu produk asing. Mungkin karena
histeria massa yang ditimbulkannya sehingga orang berkesimpulan J.CO adalah produk “bule”.
J.CO adalah produk dalam negeri yang diciptakan putra asli Indonesia, Johnny Andrean! “J.CO
saya create untuk menyerbu asing,” kata Johnny saat ditemui di salah satu gerainya di Senayan
City.
Johnny memiliki sejumlah unit usaha yang semuanya bergerak dalam life style atau gaya hidup.
Mulai dari usaha salon dengan nama bisnis sesuai namanya yang kini sudah memiliki 202
cabang, sejumlah produk kecantikan dan sampo, waralaba roti BreadTalk dari Singapura, dan
terakhir J.CO. Tidak ada satu pun unit usaha itu yang ia anak tirikan. “Semua penting,” katanya.
Kelahiran donat bukan tiba-tiba, tetapi berasal dari sebuah ide yang sudah dikandung pikirannya
selama lebih dari lima tahun. Di mana letak donat sebagai sebuah gaya hidup? Ini pertanyaan
mendasar. Johnny menjawabnya dengan apa yang dialaminya sendiri. “Orang suka donat, saya
juga makan donat, maka saya melihat ini sebagai peluang. Donat yang ada sekarang umumnya
berat dan manis. Maka saya create donat yang ringan, sehat, dan bergaya,” katanya.
Tidak cukup sampai di situ, donat sebagai sebuah gaya hidup dikembangkan dengan memberi
kesan bahwa konsumen bangga berhubungan dengan J.CO. Tempat yang baik dan khas, cara
menghidangkannya yang elegan dan disajikan dengan cara yang baik adalah sesuatu yang lekat
dengan gaya hidup. Maka itu pun dilakukan.
Bagaimana bisa menangkap gaya hidup yang dalam pandangan sosiologi lekat dengan
konsumtivisme sebagai peluang bisnis? Kuncinya ternyata ada pada survei. Hasil survei
menyimpulkan, banyak orang jualan donat tetapi tidak punya minuman yang enak. J.CO melihat
ini sebagai peluang. Makanan dan minuman pun harus disatukan sehingga cocok sebagai gaya
hidup. Jika mau menang, kualitas jangan diabaikan. Terciptalah 20 varian donat plus 20 varian
minuman.
Untuk menakar sekaligus mempertahankan kesetiaan komunitas, misalnya, manajemen J.CO
memberlakukan “seleksi alamiah” atas semua jenis varian. Kompetisi “tangga lagu” yang lekat
dengan anak-anak muda perkotaan diberlakukan.
Ada yang “in” dan ada yang “out”. Ukurannya adalah bila satu varian makanan atau minuman
hanya disukai kurang dari 30 persen, maka ia akan terlempar untuk diganti varian baru. Seleksi
itu dilakukan setiap tiga bulan sekali.
Tentang nama, Johnny menjelaskan, J.CO diciptakan dan dipersiapkan untuk go international.
Kalau sudah di luar negeri, nama haruslah yang mudah diingat dan mudah disebut. Lagi-lagi
survei menunjukkan, nama J.CO mudah diingat oleh orang. “Very simple, enggak complicated,”
kata Johnny yang berencana mewaralabakan bisnisnya itu atau dengan menggunakan cara kerja
sama (profit sharing) dalam waktu dekat. Singapura adalah negara tujuan pertama untuk
mengenalkan produknya.
Agar produk gaya hidup dapat diterima negara-negara lain, uji coba dilakukan di Jakarta. Di
Jakarta pusat yang banyak bule dan orang Jepang, menjadi ukuran ketika di antara mereka juga
rela antre. Untuk sampai kepada kondisi seperti itu, konsumen harus dimanjakan total. Segala
yang terbaik dihidangkan di meja.
“Kita datangkan cokelat Belgia karena mereka jagoan bikin cokelat. Kita datangkan almond dari
California, corn flakes dari Amerika, keju dari Selandia Baru, kopi dari Italia, dan green tea dari
Jepang. Kita bikin mereka tergila-gila biar balik lagi. Kita punya donat yang lembut, ringan,
tidak terlalu manis, dan sehat. Semua itu life style, orang membeli mutu, membeli suasana, dan
membeli tempat,” papar Johnny yang melibatkan enam konsultan asing dengan berbagai
keahlian berbeda.
Histeria J.CO tidak hanya sebatas di Jakarta dan itu berlangsung sepanjang satu tahun. Di mana
gerai itu dibuka di beberapa daerah seperti Bandung, Makassar, dan Surabaya, warga masyarakat
kota setempat juga tersengat histeria. Mereka rela antre sebagaimana dilakukan oleh orang
Jakarta. “JCOing coming soon,” demikian seruan di situs resmi perusahaan yang mengabarkan
segera dibukanya gerai baru di beberapa kota.
Jenis makanan dan minuman, cara menanak atau memasak, cara menyajikan, menata ruang,
sampai pada menciptakan sebuah komunitas, bagi Johnny adalah gaya hidup dan dalam gaya
hidup terkandung peluang bisnis. Soal tudingan bahwa apa yang ditawarkannya telah mendorong
orang bersikap konsumtif, Johnny punya pembelaan.