kasus jco

5
DONAT SEBAGAI GAYA HIDUP J.CO Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, persaingan DD dengan KK sudah lama terjadi, sepanjang kelahirannya masing- masing. Orang Amerika biasa menyingkat Dunkin’ Donuts dengan DD. Demikian pula Krispy Kreme disingkat KK saja. Dua-duanya perusahaan donat, penganan ringan yang sejak awal kelahirannya dianggap sebagai simbol gaya hidup. Sejak awal kehadirannya di Indonesia, DD yang lahir dari kreativitas William Rosenberg tahun 1950 di Quincy, Massachusetts, lekat dengan kudapan kelas menengah perkotaan. Tetapi ia tidak menjadi histeria massa, dalam arti orang harus rela antre berjam-jam hanya untuk menenteng makanan itu. KK yang diciptakan oleh Vernon Rudolph di Nashville 13 tahun lebih dulu dibandingkan dengan DD, saat pertama kali hadir di Jakarta, juga tidak menjadi histeria massa yang mencolok mata. Bagaimana dengan J.CO? Sejak gerai donat ini dibuka untuk pertama kalinya 26 Juli 2005 lalu di Jakarta, sampai sekarang orang masih rela antre atau berebut meja dan tempat duduk demi beberapa keping donat. Mereka yang antre adalah kalangan kelas menengah atas karena gerai berada di mal-mal berkelas, seperti Senayan City, Mal Taman Anggrek, atau Plaza Semanggi. Mereka tidak sekadar memuaskan lidah mengunyah “Al Caponne” sambil menyeruput kopi pekat Arabica, tetapi mereka sedang mempertontonkan sebuah gaya hidup.

Upload: destiny2fate

Post on 13-Aug-2015

154 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

jcoo

TRANSCRIPT

Page 1: kasus JCO

DONAT SEBAGAI GAYA HIDUP

J.CO

Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, persaingan DD dengan KK sudah lama

terjadi, sepanjang kelahirannya masing-masing. Orang Amerika biasa menyingkat Dunkin’

Donuts dengan DD. Demikian pula Krispy Kreme disingkat KK saja. Dua-duanya perusahaan

donat, penganan ringan yang sejak awal kelahirannya dianggap sebagai simbol gaya hidup.

Sejak awal kehadirannya di Indonesia, DD yang lahir dari kreativitas William Rosenberg tahun

1950 di Quincy, Massachusetts, lekat dengan kudapan kelas menengah perkotaan. Tetapi ia tidak

menjadi histeria massa, dalam arti orang harus rela antre berjam-jam hanya untuk menenteng

makanan itu. KK yang diciptakan oleh Vernon Rudolph di Nashville 13 tahun lebih dulu

dibandingkan dengan DD, saat pertama kali hadir di Jakarta, juga tidak menjadi histeria massa

yang mencolok mata.

Bagaimana dengan J.CO? Sejak gerai donat ini dibuka untuk pertama kalinya 26 Juli 2005 lalu di

Jakarta, sampai sekarang orang masih rela antre atau berebut meja dan tempat duduk demi

beberapa keping donat.

Mereka yang antre adalah kalangan kelas menengah atas karena gerai berada di mal-mal

berkelas, seperti Senayan City, Mal Taman Anggrek, atau Plaza Semanggi. Mereka tidak sekadar

memuaskan lidah mengunyah “Al Caponne” sambil menyeruput kopi pekat Arabica, tetapi

mereka sedang mempertontonkan sebuah gaya hidup. “Mereka adalah J.COmmunity yang

sedang J.COing,” kata Gita Herdi Hastarani, seorang eksekutif muda.

Banyak orang mengira J.CO yang bernama dagang lengkap J.CO Donuts & Coffee adalah

setanah kelahiran dengan DD maupun KK, setidak-tidaknya itu produk asing. Mungkin karena

histeria massa yang ditimbulkannya sehingga orang berkesimpulan J.CO adalah produk “bule”.

J.CO adalah produk dalam negeri yang diciptakan putra asli Indonesia, Johnny Andrean! “J.CO

saya create untuk menyerbu asing,” kata Johnny saat ditemui di salah satu gerainya di Senayan

City.

Johnny memiliki sejumlah unit usaha yang semuanya bergerak dalam life style atau gaya hidup.

Mulai dari usaha salon dengan nama bisnis sesuai namanya yang kini sudah memiliki 202

cabang, sejumlah produk kecantikan dan sampo, waralaba roti BreadTalk dari Singapura, dan

terakhir J.CO. Tidak ada satu pun unit usaha itu yang ia anak tirikan. “Semua penting,” katanya.

Page 2: kasus JCO

Kelahiran donat bukan tiba-tiba, tetapi berasal dari sebuah ide yang sudah dikandung pikirannya

selama lebih dari lima tahun. Di mana letak donat sebagai sebuah gaya hidup? Ini pertanyaan

mendasar. Johnny menjawabnya dengan apa yang dialaminya sendiri. “Orang suka donat, saya

juga makan donat, maka saya melihat ini sebagai peluang. Donat yang ada sekarang umumnya

berat dan manis. Maka saya create donat yang ringan, sehat, dan bergaya,” katanya.

Tidak cukup sampai di situ, donat sebagai sebuah gaya hidup dikembangkan dengan memberi

kesan bahwa konsumen bangga berhubungan dengan J.CO. Tempat yang baik dan khas, cara

menghidangkannya yang elegan dan disajikan dengan cara yang baik adalah sesuatu yang lekat

dengan gaya hidup. Maka itu pun dilakukan.

Bagaimana bisa menangkap gaya hidup yang dalam pandangan sosiologi lekat dengan

konsumtivisme sebagai peluang bisnis? Kuncinya ternyata ada pada survei. Hasil survei

menyimpulkan, banyak orang jualan donat tetapi tidak punya minuman yang enak. J.CO melihat

ini sebagai peluang. Makanan dan minuman pun harus disatukan sehingga cocok sebagai gaya

hidup. Jika mau menang, kualitas jangan diabaikan. Terciptalah 20 varian donat plus 20 varian

minuman.

Untuk menakar sekaligus mempertahankan kesetiaan komunitas, misalnya, manajemen J.CO

memberlakukan “seleksi alamiah” atas semua jenis varian. Kompetisi “tangga lagu” yang lekat

dengan anak-anak muda perkotaan diberlakukan.

Ada yang “in” dan ada yang “out”. Ukurannya adalah bila satu varian makanan atau minuman

hanya disukai kurang dari 30 persen, maka ia akan terlempar untuk diganti varian baru. Seleksi

itu dilakukan setiap tiga bulan sekali.

Tentang nama, Johnny menjelaskan, J.CO diciptakan dan dipersiapkan untuk go international.

Kalau sudah di luar negeri, nama haruslah yang mudah diingat dan mudah disebut. Lagi-lagi

survei menunjukkan, nama J.CO mudah diingat oleh orang. “Very simple, enggak complicated,”

kata Johnny yang berencana mewaralabakan bisnisnya itu atau dengan menggunakan cara kerja

sama (profit sharing) dalam waktu dekat. Singapura adalah negara tujuan pertama untuk

mengenalkan produknya.

Agar produk gaya hidup dapat diterima negara-negara lain, uji coba dilakukan di Jakarta. Di

Jakarta pusat yang banyak bule dan orang Jepang, menjadi ukuran ketika di antara mereka juga

rela antre. Untuk sampai kepada kondisi seperti itu, konsumen harus dimanjakan total. Segala

yang terbaik dihidangkan di meja.

Page 3: kasus JCO

“Kita datangkan cokelat Belgia karena mereka jagoan bikin cokelat. Kita datangkan almond dari

California, corn flakes dari Amerika, keju dari Selandia Baru, kopi dari Italia, dan green tea dari

Jepang. Kita bikin mereka tergila-gila biar balik lagi. Kita punya donat yang lembut, ringan,

tidak terlalu manis, dan sehat. Semua itu life style, orang membeli mutu, membeli suasana, dan

membeli tempat,” papar Johnny yang melibatkan enam konsultan asing dengan berbagai

keahlian berbeda.

Histeria J.CO tidak hanya sebatas di Jakarta dan itu berlangsung sepanjang satu tahun. Di mana

gerai itu dibuka di beberapa daerah seperti Bandung, Makassar, dan Surabaya, warga masyarakat

kota setempat juga tersengat histeria. Mereka rela antre sebagaimana dilakukan oleh orang

Jakarta. “JCOing coming soon,” demikian seruan di situs resmi perusahaan yang mengabarkan

segera dibukanya gerai baru di beberapa kota.

Jenis makanan dan minuman, cara menanak atau memasak, cara menyajikan, menata ruang,

sampai pada menciptakan sebuah komunitas, bagi Johnny adalah gaya hidup dan dalam gaya

hidup terkandung peluang bisnis. Soal tudingan bahwa apa yang ditawarkannya telah mendorong

orang bersikap konsumtif, Johnny punya pembelaan.