gugatan masyarakat melalui pengadilan terhadap kasus-kasus lingkungan

21
GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP KASUS-KASUS LINGKUNGAN STUDI KASUS TERHADAP CLASS ACTION DAN LEGAL STANDING Oleh : A.Tirta Irawan, SH., MH. (Calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung) A. Pendahuluan Perkembangan pembagunan, teknologi, industrialisasi dan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat tak pelak lagi semakin memperbesar risiko kerusakan lingkungan. Karenanya, upaya pelestarian dan perlindungan seyogyanya juga harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga tetap mampu mewadahi dan mengakomodir kebutuhan akan lingkungan hidup yang sehat. Kecenderungan pembangunan di bawah globalisasi untuk menjadi the development that meet the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own need atau pembangunan yang tidak berkelanjutan, tampaknya harus segera mendapatkan perhatian serius tidak hanya dari para pakar dan pemerhati lingkungan belaka, tetapi juga harus melibatkan

Upload: atirta-irawan

Post on 10-Jun-2015

7.250 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

gugatan masyarakat melalui pengadilan terhadap kasus-kasus lingkungan khususnya berkaitan dengan class action dan legal standing.

TRANSCRIPT

Page 1: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP KASUS-KASUS LINGKUNGAN

STUDI KASUS TERHADAP CLASS ACTION DAN LEGAL STANDINGOleh : A.Tirta Irawan, SH., MH.

(Calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung)

A. Pendahuluan

Perkembangan pembagunan, teknologi, industrialisasi dan

pertumbuhan penduduk yang semakin pesat tak pelak lagi

semakin memperbesar risiko kerusakan lingkungan. Karenanya,

upaya pelestarian dan perlindungan seyogyanya juga harus

dikembangkan sedemikian rupa sehingga tetap mampu mewadahi

dan mengakomodir kebutuhan akan lingkungan hidup yang sehat.

Kecenderungan pembangunan di bawah globalisasi untuk

menjadi the development that meet the needs of the present

without compromising the ability of future generation to meet

their own need atau pembangunan yang tidak berkelanjutan,

tampaknya harus segera mendapatkan perhatian serius tidak

hanya dari para pakar dan pemerhati lingkungan belaka, tetapi

juga harus melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses

monitoring dan kontrol terhadap pelestarian lingkungan.

Perhatian yang serius itu semakin diperlukan terlebih

dalam beberapa kasus pembangunan –terutama di negara-negara

Page 2: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

berkembang termasuk Indonesia- cenderung bermetamorfosa

menjadi The Development that seek the economic profit for the

present without compromising the right of the people to get

the good and clean environment atau pembangunan yang melulu

mengejar keuntungan ekonomis tanpa memperhitungkan akibat

atau dampak yang dapat merusak dan merampas hak masyarakat

untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih. Kasus

lumpur PT. Lapindo Brantas yang terjadi belakangan ini

merupakan contoh sempurna betapa pembangunan yang dilakukan

secara sembrono dan sekedar berorientasi keuntungan ekonomis

belaka dapat memberikan akibat yang catastrophic dan begitu

menghancurkan.

Persoalan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup

tentu saja tidak dapat serta merta diserahkan pada kesadaran

masing-masing individu anggota masyarakat maupun kepada

badan-badan hukum semata. Instrumen hukum sebagai salah satu

strategi pengelolaan, pelestarian, dan perlindungan

lingkungan, dalam kajian Indonesia sebagai Negara yang

berdasarkan Hukum’ harus pula dikembangkan sehingga mampu

mewadahi kepentingan masyarakat banyak akan lingkungan yang

sehat, nyaman dan bersih.

Page 3: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

Penggunaan instrumen hukum khususnya litigasi hukum

melalui jalur peradilan merupakan salah satu jalan yang mau

tidak mau harus dipilih dan dijalani oleh anggota setiap

individu yang memberian perhatian pada pelestarian

lingkungan. Logika kebutuhan penggunaan instrumen peradilan

ini dalam konteks Indonesia sebagai sebuah negara yang

berdasarkan hukum tentunya tidak perlu dipandang aneh atau

ditanggapi secara berlebihan. Dalam pranata hukum kita,

peradilan merupakan sarana bagi masyarakat dalam mencari

keadilan, termasuk di dalamnya keadilan dalam bentuk

pelestarian lingkungan hidup.

Terlepas dari kecurigaan terhadap dunia peradilan yang

tidak bersih, tetap saja peradilan harus kita jadikan sebagai

the last bastion of the order and justice atau benteng

terakhir bagi ketertiban dan keadilan. Melalui serangkaian

upaya litigasi hukum khususnya di bidang linkungan, bukan

tidak mungkin peradilan kita pun justru mendapat dorongan

motivasi baru untuk tetap menjaga dan berpihak pada keadilan

serta tetap pula membela hak-hak masyarakat khususnya di

bidang lingkungan.

Page 4: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

Melalui paparan singkat di muka, penulis berharap kita

mendapatkan sedikit gambaran betapa masyarakat sebagai pihak

yang paling intens bersinggungan dengan lingkungan benar-

benar membutuhkan sarana hukum dalam rangka menegakkan hak-

hak masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan hidup.

Sarana hukum yang dimaksud dalam tulisan ini secara

spesifik dibatasi dalam kajian mengenai gugatan masyarakat di

muka pengadilan terhadap kasus-kasus lingkungan. pilihan

pokok bahasan ini diambil penulis dengan alasan masih

rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk menggunakan

sarana hukum khususnya melalui gugatan di muka peradilan

sebagai salah satu alternatif penyelesaian kasus lingkungan

yang secara langsung maupun tidak telah merugikan masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, penulis merumuskan

permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini dalam

rumusan masalah sebagai berikut:

1. apa saja bentuk gugatan di pengadilan terhadap kasus-

kasus lingkungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup?

Page 5: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

2. apa saja kendala-kendala yuridis terhadap pelaksaan

gugatan adakah bentuk gugatan di pengadilan terhadap

kasus-kasus lingkungan sebagaimana yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup?

C. Pembahasan

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “Setiap

orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat

tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” sebenarnya telah

menunjukkan betapa hukum benar-benar memperhatikan kebutuhan

dan hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan

sehat. Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 itu seyogyanya pula

memberikan kita pijakan fumdamental dasar bagi gugatan

lingkungan di muka peradilan berkenaan dengan mencuatnya

kasus-kasus lingkungan saat ini.

Konsep tentang hak atas lingkungan yang baik dan sehat

dapat pula kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 5 ayat (1)

Page 6: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

UUPLH menyebutkan: “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas

lingkungan hidup yang baik dan sehat”.

Gugatan di muka pengadilan terhadap kasus-kasus

lingkungan diwadahi dalam UUPLH No. 23/1997 khususnya pada

Pasal 34 sampai dengan Pasal 39 UUPLH. Secara singkat dapat

disebutkan bahwa UUPLH memberikan dua bentuk gugatan terhadap

kasus-kasus lingkungan, yaitu: Class action dan Legal

standing atau Ius Standi.

Class action dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1)

disebutkan bahwa yang dimaksud class action adalah hak

kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat

dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan

permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan

karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Gugatan class action dalam sejarahnya pertama kali

diadopsi oleh hukum Indonesia melalui UUPLH Nomor 23 tahun

1997. Class action sesungguhnya tidak dikenal dalam sistem

hukum Eropa Kontinental atau civil law seperti yang dianut

oleh Indonesia. Class action lebih cenderung diterapkan di

negara-negara yang mengadopsi sistem anglo saxon atau comon

Page 7: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

law. Meskipun melalui UUPLH class action dan legal standing

telah diadopsi, tetap saja gugatan class action selalu

menemukan kendala-kendala yuridis sebagaimana yang nanti akan

dibahas dalam makalah ini.

Sementara itu, dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan

definisi secara jelas dan rinci mengenai pengertian legal

standing. Beberapa perundang-undangan memberikan istilah

legal standing secara berbeda-beda. Legal standing dalam UU

Lingkungan Hidup diistilahkan sebagai Hak Gugat Organisasi

Lingkungan. Dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999

Pasal 46 ayat 1 huruf b class action dikenal sebagai gugatan

atas pelanggaran pelaku usaha yang dilakukan oleh Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pengaturan mengenai

gugatan class action dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan diatur dalam Pasal 71 ayat 1 yang mendefinisikan

Legal standing sebagai gugatan perwakilan oleh organisasi

bidang kehutanan.

Definisi secara bebas dari legal standing adalah suatu

tata cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan

oleh satu atau lebih lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat atas suatu tindakan atau perbuatan atau keputusan

Page 8: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

orang perorangan atau lembaga atau pemerintah yang telah

menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan

antara pengertian gugatan perwakilan kelompok (classaction)

dan konsep hak gugat lembaga swadaya masyarakat (LSM)/legal

standing/Ius Standi. Sesungguhnya gugatan perwakilan

kelompok/class action dan hak gugat LSM memiliki perbedaan.

Gugatan perwakilan kelompok terdiri dari unsur wakil

kelas yang berjumlah satu orang atau lebih

(classrepresentative) dan anggota kelas yang pada umumnya

berjumlah besar (class members). Baik wakil kelas maupun

anggota kelas pada umumnya merupakan pihak korban atau yang

mengalami kerugian nyata. Sedangkan dalam konsep Legal

standing, LSM sebagai penggugat bukan sebagai pihak yang

mengalami kerugian nyata,namun karena kepentingannya ia

mengajukan gugatannya. Misalkan dalam perkara perlindungan

lingkungan hidup, LSM sebagai penggugat mewakili kepentingan

perlindungan lingkungan hidup yang perlu diperjuangkan karena

posisi lingkungan hidup sebagai ekosistem sangat penting.

Lingkungan Hidup tentu tidak dapat memperjuangkan

kepentingannya sendiri karena sifatnya yang in-animatif

Page 9: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

(tidak dapat berbicara) sehingga perlu ada pihak yang

memperjuangkan.

Pihak yang dapat mengajukan class action dapat orang

perorangan atau beberapa orang atau kelompok orang yang

mewakili beberapa orang dalam jumlah yang banyak. Sedangkan

pihak yang dapat mengajukan legal standing hanyalah LSM /

Kelompok Organisasi yang memenuhi syarat-syarat.

Perbedaan lainnya adalah tuntutan ganti rugi dalam class

action pada umumnya adalah berupa ganti rugi berupa uang,

sedangkan dalam legal standing tidak dikenal tuntutan ganti

kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau

terbatas pada ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh

organisasi tersebut.

Tidak semua organisasi atau LSM yang dapat mengajukan

hak gugat LSM (legal standing). Pasal 38 ayat (3) UUPLH

menyebutkan bahwa hanya organisasi Lingkungan Hidup /LSM

Lingkungan Hidup yang memenuhi beberapa persyaratan yang

dapat mengajukan gugatan Legal standing, yaitu :

1. Berbentuk badan hukum atau yayasan;

2. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang

bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

Page 10: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk

kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;

3. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran

dasarnya.

Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (3) disebutkan: Tidak

setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan

lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan

tertentu. Dengan adanya persyaratan tersebut, maka secara

selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui

memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama

lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum

ataupun peradilan tata usaha negara, tergantung pada

kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa dan

mengadili perkara yang dimaksud.

Dalam gugatan pada lingkungan Hidup, hak mengajukan

gugatan terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan

tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau

pengeluaran riil.

Proses adopsi prosedur class action dalam UUPLH ternyata

banyak menimbulkan masalah dalam prakteknya, mengingat Pasal

39 UUPLH menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan

Page 11: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

adalah hukum acara yang berlaku di Indonesia dalam hal ini

adalah Het Herziene Indonesisch Regelement (HIR) dan

Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering(RBg), padahal HIR

dan RBg tidak mengenal prosedur class action. Kendala-kendala

yuridis itu sangat mempengaruhi gugatan class action terutama

sebelum lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun

2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

Sebelum terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara

gugatan perwakilan kelompok, dapat disebtkan beberapa

permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatan class

action di peradilan di Indonesia, antara lain :

a. Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada

perwakilan kelompok.

Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa,

dapat dicatat bahwa bantahan pertama yang sering dikemukakan

oleh tergugat terhadap penggunaan prosedur class action

adalah tidak adanya surat kuasa dari anggota kelompok kepada

anggota kelompok. Dalam ketentuan hukum acara perdata yang

berlaku (HIR/RBg) mensyaratkan bahwa untuk dapat bertindak

sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus memperoleh suart

kuasa istimewa dari orang/pihak yang diwakilinya.

Page 12: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

b. Tentang surat gugatan.

Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak

menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang

menggunakan prosedur class action, dalam hal ini tidak

mendeskripsikan secara jelas definisi kelas, posita gugatan

tidak menjelaskan secara rinci dan jelas kesamaan tentang

fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil kelompok

dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian

ganti kerugian. Di samping itu, dalam menentukan wakil

kelompok, penggugat cenderung mengajukan jumlah wakil

kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan menyulitkan

penggugat dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan

antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.

c. Mempersamakan gugatan class action dengan gugatan

legal standing.

Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun

pengadilan masih terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan

prosedur class action adalah identik dengan gugatan atas

dasar hak gugat LSM atau “NGO’s standing to sue”.

Page 13: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

d. Tentang prosedur acara pemeriksaan.

Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan

yang menggunakan prosedur class action dalam berbagai

putusan, dilakukan dalam tahap pemeriksaan yang berbeda-beda.

Ada yang mengesahkan penggunaan prosedur ini diperiksa dan

diputus pada akhir putusan bersama-sama dengan pokok perkara,

sedangkan pada putusan perkara lainnya diputus pada tahapan

putusan sela.

e. Tentang notifikasi atau pemberitahuan.

Belum adanya aturan atau petunjuk mengenai tata cara

pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan

perdata melalui prosedur class action, mengakibatkan perintah

notifikasi atau pemberitahuan (yang dalam sistem hukum negara

lain merupakan suatu kewajiban) tidak menjadi suatu prioritas

atau suatu keharusan.

f. Tentang implemantasi putusan pengadilan dalam hal

distribusi ganti kerugian.

Dalam pengajuan gugatan secara class action, yang

khususnya mengajukan tuntutan ganti rugi berbentuk uang,

Page 14: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

posita penggugat tidak secara jelas tentang usulan mekanisme

distribusi ganti kerugian.

Setelah lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara

gugatan perwakilan kelompok beberapa kendala yuridis

sebagaimana disebutkan di atas relatif dapat diatasi meskipun

bukan berarti tidak lagi tersisa kendala yuridis sama sekali.

Kendala yuridis yang masih tersisa misalnya dalam PERMA

No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok

hanya mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar

(opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan

sebagai bagian class action (opt in) tidak diatur. Pada

mekanisme pemberitahuan ini membuka kesempatan bagi anggota

kelompok untuk menyatakan diri keluar dari class action

apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan.

Kendala lain setelah terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002

tentang acara gugatan perwakilan kelompok misalnya juga

terlihat pada bagian pemeriksaan dan pembuktian. Dalam hal

ini pembuktian secara umum dilakukan menurut hukum acara

perdata yang berlaku di Indonesia. Meski demikian, PERMA No.

1 Tahun 2002 terkesan cenderung memberikan titik tekan

terhadap pemeriksaan kejujuran dan keabsahan keterwakilan

Page 15: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

Penggugat serta pada pembuktian kesamaan fakta hukum dan

kejadian yang menimpa banyak orang.

Pengaturan ini cenderung terlihat memberatkan dan

membebankan pembuktian pada penggugat. Secara sosiologis

masyarakat Indonesia cenderung kurang mahir bermain dengan

hukum, sehingga masyarakat sering kali terlihat lemah dalam

pembuktian. Karenanya, perlu dilakukan terobosan baru untuk

mengatasi kendala pembuktian ini, misalnya pembuktian

dilakukan menurut mekanisme pembuktian terbalik dimana

tergugat dibebankan pembuktian apakah ia melakukan pencemaran

atau tidak.

Kendala berikutnya yang menghambat proses gugatan class

action adalah keseimbangan antara pelestarian lingkungan

dengan kepentingan pembangunan khususnya kesiapan investasi

di Indonesia. Gugatan class action jika dimenangkan oleh

majelis hakim seringkali berakibat pada pailitnya perusahaan

yang bersangkutan.

Hal ini tentunya memberikan efek buruk bagi iklim

ekonomi Indonesia, dalam beberapa kejadian bahkan hingga

mendorong pemerintah untuk ikut campur membela kepentingan

investor.

Page 16: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

Kasus Lapindo Brantas bahkan menunjukkan betapa kerugian

yang ditimbulkan oleh kelalaian seuah perusahaan dengan

berbagai dalih dapat dialihkan menjadi publik loss yang

dipersamakan dengan bencana alam sehingga beban

pertangungannya dipikul oleh pemerintah.

D. Kesimpulan

1. Dalam UUPLH dikenal gugatan class action dan legal

standing atau Ius Standi.

2. sebelum keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara

gugatan perwakilan kelompok, gugatan class action dan

legal standing menghadapi kendala yuridis terutama yang

berkaitan dengan hukum acara perdata yang diterapkan di

Indonesia.

3. setelah terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara

gugatan perwakilan kelompok, kendala yuridis terutama

terletak pada kemampuan masyarakat dalam hal

pemeriksaan dan pembuktian.

Page 17: GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP Kasus-Kasus Lingkungan

Daftar Pustaka

Buku:

1. Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar Seri Bahan Bacaan Kursus Ham Untuk Pengacara X Tahun

2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), tidak diterbitkan, Jakarta, 2005.

2. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002.

3. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1998.

Peraturan Perundang-undanganUUD 1945UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan HidupUU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan KonsumenUU No. 41 Tahun 1999 tentang KehutananPERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok