gugatan masyarakat melalui pengadilan terhadap kasus-kasus lingkungan
DESCRIPTION
gugatan masyarakat melalui pengadilan terhadap kasus-kasus lingkungan khususnya berkaitan dengan class action dan legal standing.TRANSCRIPT
GUGATAN MASYARAKAT MELALUI PENGADILAN TERHADAP KASUS-KASUS LINGKUNGAN
STUDI KASUS TERHADAP CLASS ACTION DAN LEGAL STANDINGOleh : A.Tirta Irawan, SH., MH.
(Calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandar Lampung)
A. Pendahuluan
Perkembangan pembagunan, teknologi, industrialisasi dan
pertumbuhan penduduk yang semakin pesat tak pelak lagi
semakin memperbesar risiko kerusakan lingkungan. Karenanya,
upaya pelestarian dan perlindungan seyogyanya juga harus
dikembangkan sedemikian rupa sehingga tetap mampu mewadahi
dan mengakomodir kebutuhan akan lingkungan hidup yang sehat.
Kecenderungan pembangunan di bawah globalisasi untuk
menjadi the development that meet the needs of the present
without compromising the ability of future generation to meet
their own need atau pembangunan yang tidak berkelanjutan,
tampaknya harus segera mendapatkan perhatian serius tidak
hanya dari para pakar dan pemerhati lingkungan belaka, tetapi
juga harus melibatkan masyarakat secara aktif dalam proses
monitoring dan kontrol terhadap pelestarian lingkungan.
Perhatian yang serius itu semakin diperlukan terlebih
dalam beberapa kasus pembangunan –terutama di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia- cenderung bermetamorfosa
menjadi The Development that seek the economic profit for the
present without compromising the right of the people to get
the good and clean environment atau pembangunan yang melulu
mengejar keuntungan ekonomis tanpa memperhitungkan akibat
atau dampak yang dapat merusak dan merampas hak masyarakat
untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih. Kasus
lumpur PT. Lapindo Brantas yang terjadi belakangan ini
merupakan contoh sempurna betapa pembangunan yang dilakukan
secara sembrono dan sekedar berorientasi keuntungan ekonomis
belaka dapat memberikan akibat yang catastrophic dan begitu
menghancurkan.
Persoalan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup
tentu saja tidak dapat serta merta diserahkan pada kesadaran
masing-masing individu anggota masyarakat maupun kepada
badan-badan hukum semata. Instrumen hukum sebagai salah satu
strategi pengelolaan, pelestarian, dan perlindungan
lingkungan, dalam kajian Indonesia sebagai Negara yang
berdasarkan Hukum’ harus pula dikembangkan sehingga mampu
mewadahi kepentingan masyarakat banyak akan lingkungan yang
sehat, nyaman dan bersih.
Penggunaan instrumen hukum khususnya litigasi hukum
melalui jalur peradilan merupakan salah satu jalan yang mau
tidak mau harus dipilih dan dijalani oleh anggota setiap
individu yang memberian perhatian pada pelestarian
lingkungan. Logika kebutuhan penggunaan instrumen peradilan
ini dalam konteks Indonesia sebagai sebuah negara yang
berdasarkan hukum tentunya tidak perlu dipandang aneh atau
ditanggapi secara berlebihan. Dalam pranata hukum kita,
peradilan merupakan sarana bagi masyarakat dalam mencari
keadilan, termasuk di dalamnya keadilan dalam bentuk
pelestarian lingkungan hidup.
Terlepas dari kecurigaan terhadap dunia peradilan yang
tidak bersih, tetap saja peradilan harus kita jadikan sebagai
the last bastion of the order and justice atau benteng
terakhir bagi ketertiban dan keadilan. Melalui serangkaian
upaya litigasi hukum khususnya di bidang linkungan, bukan
tidak mungkin peradilan kita pun justru mendapat dorongan
motivasi baru untuk tetap menjaga dan berpihak pada keadilan
serta tetap pula membela hak-hak masyarakat khususnya di
bidang lingkungan.
Melalui paparan singkat di muka, penulis berharap kita
mendapatkan sedikit gambaran betapa masyarakat sebagai pihak
yang paling intens bersinggungan dengan lingkungan benar-
benar membutuhkan sarana hukum dalam rangka menegakkan hak-
hak masyarakat yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Sarana hukum yang dimaksud dalam tulisan ini secara
spesifik dibatasi dalam kajian mengenai gugatan masyarakat di
muka pengadilan terhadap kasus-kasus lingkungan. pilihan
pokok bahasan ini diambil penulis dengan alasan masih
rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk menggunakan
sarana hukum khususnya melalui gugatan di muka peradilan
sebagai salah satu alternatif penyelesaian kasus lingkungan
yang secara langsung maupun tidak telah merugikan masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, penulis merumuskan
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini dalam
rumusan masalah sebagai berikut:
1. apa saja bentuk gugatan di pengadilan terhadap kasus-
kasus lingkungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup?
2. apa saja kendala-kendala yuridis terhadap pelaksaan
gugatan adakah bentuk gugatan di pengadilan terhadap
kasus-kasus lingkungan sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup?
C. Pembahasan
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” sebenarnya telah
menunjukkan betapa hukum benar-benar memperhatikan kebutuhan
dan hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan
sehat. Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945 itu seyogyanya pula
memberikan kita pijakan fumdamental dasar bagi gugatan
lingkungan di muka peradilan berkenaan dengan mencuatnya
kasus-kasus lingkungan saat ini.
Konsep tentang hak atas lingkungan yang baik dan sehat
dapat pula kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 5 ayat (1)
UUPLH menyebutkan: “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
Gugatan di muka pengadilan terhadap kasus-kasus
lingkungan diwadahi dalam UUPLH No. 23/1997 khususnya pada
Pasal 34 sampai dengan Pasal 39 UUPLH. Secara singkat dapat
disebutkan bahwa UUPLH memberikan dua bentuk gugatan terhadap
kasus-kasus lingkungan, yaitu: Class action dan Legal
standing atau Ius Standi.
Class action dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1)
disebutkan bahwa yang dimaksud class action adalah hak
kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat
dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan
karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Gugatan class action dalam sejarahnya pertama kali
diadopsi oleh hukum Indonesia melalui UUPLH Nomor 23 tahun
1997. Class action sesungguhnya tidak dikenal dalam sistem
hukum Eropa Kontinental atau civil law seperti yang dianut
oleh Indonesia. Class action lebih cenderung diterapkan di
negara-negara yang mengadopsi sistem anglo saxon atau comon
law. Meskipun melalui UUPLH class action dan legal standing
telah diadopsi, tetap saja gugatan class action selalu
menemukan kendala-kendala yuridis sebagaimana yang nanti akan
dibahas dalam makalah ini.
Sementara itu, dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan
definisi secara jelas dan rinci mengenai pengertian legal
standing. Beberapa perundang-undangan memberikan istilah
legal standing secara berbeda-beda. Legal standing dalam UU
Lingkungan Hidup diistilahkan sebagai Hak Gugat Organisasi
Lingkungan. Dalam UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999
Pasal 46 ayat 1 huruf b class action dikenal sebagai gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha yang dilakukan oleh Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Pengaturan mengenai
gugatan class action dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan diatur dalam Pasal 71 ayat 1 yang mendefinisikan
Legal standing sebagai gugatan perwakilan oleh organisasi
bidang kehutanan.
Definisi secara bebas dari legal standing adalah suatu
tata cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan
oleh satu atau lebih lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat atas suatu tindakan atau perbuatan atau keputusan
orang perorangan atau lembaga atau pemerintah yang telah
menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Tidak sedikit praktisi hukum yang mencampuradukkan
antara pengertian gugatan perwakilan kelompok (classaction)
dan konsep hak gugat lembaga swadaya masyarakat (LSM)/legal
standing/Ius Standi. Sesungguhnya gugatan perwakilan
kelompok/class action dan hak gugat LSM memiliki perbedaan.
Gugatan perwakilan kelompok terdiri dari unsur wakil
kelas yang berjumlah satu orang atau lebih
(classrepresentative) dan anggota kelas yang pada umumnya
berjumlah besar (class members). Baik wakil kelas maupun
anggota kelas pada umumnya merupakan pihak korban atau yang
mengalami kerugian nyata. Sedangkan dalam konsep Legal
standing, LSM sebagai penggugat bukan sebagai pihak yang
mengalami kerugian nyata,namun karena kepentingannya ia
mengajukan gugatannya. Misalkan dalam perkara perlindungan
lingkungan hidup, LSM sebagai penggugat mewakili kepentingan
perlindungan lingkungan hidup yang perlu diperjuangkan karena
posisi lingkungan hidup sebagai ekosistem sangat penting.
Lingkungan Hidup tentu tidak dapat memperjuangkan
kepentingannya sendiri karena sifatnya yang in-animatif
(tidak dapat berbicara) sehingga perlu ada pihak yang
memperjuangkan.
Pihak yang dapat mengajukan class action dapat orang
perorangan atau beberapa orang atau kelompok orang yang
mewakili beberapa orang dalam jumlah yang banyak. Sedangkan
pihak yang dapat mengajukan legal standing hanyalah LSM /
Kelompok Organisasi yang memenuhi syarat-syarat.
Perbedaan lainnya adalah tuntutan ganti rugi dalam class
action pada umumnya adalah berupa ganti rugi berupa uang,
sedangkan dalam legal standing tidak dikenal tuntutan ganti
kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau
terbatas pada ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh
organisasi tersebut.
Tidak semua organisasi atau LSM yang dapat mengajukan
hak gugat LSM (legal standing). Pasal 38 ayat (3) UUPLH
menyebutkan bahwa hanya organisasi Lingkungan Hidup /LSM
Lingkungan Hidup yang memenuhi beberapa persyaratan yang
dapat mengajukan gugatan Legal standing, yaitu :
1. Berbentuk badan hukum atau yayasan;
2. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
3. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya.
Dalam penjelasan Pasal 38 ayat (3) disebutkan: Tidak
setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan
lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan
tertentu. Dengan adanya persyaratan tersebut, maka secara
selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui
memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama
lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum
ataupun peradilan tata usaha negara, tergantung pada
kompetensi peradilan yang bersangkutan dalam memeriksa dan
mengadili perkara yang dimaksud.
Dalam gugatan pada lingkungan Hidup, hak mengajukan
gugatan terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan
tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau
pengeluaran riil.
Proses adopsi prosedur class action dalam UUPLH ternyata
banyak menimbulkan masalah dalam prakteknya, mengingat Pasal
39 UUPLH menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan
adalah hukum acara yang berlaku di Indonesia dalam hal ini
adalah Het Herziene Indonesisch Regelement (HIR) dan
Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering(RBg), padahal HIR
dan RBg tidak mengenal prosedur class action. Kendala-kendala
yuridis itu sangat mempengaruhi gugatan class action terutama
sebelum lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
Sebelum terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara
gugatan perwakilan kelompok, dapat disebtkan beberapa
permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatan class
action di peradilan di Indonesia, antara lain :
a. Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada
perwakilan kelompok.
Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa,
dapat dicatat bahwa bantahan pertama yang sering dikemukakan
oleh tergugat terhadap penggunaan prosedur class action
adalah tidak adanya surat kuasa dari anggota kelompok kepada
anggota kelompok. Dalam ketentuan hukum acara perdata yang
berlaku (HIR/RBg) mensyaratkan bahwa untuk dapat bertindak
sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus memperoleh suart
kuasa istimewa dari orang/pihak yang diwakilinya.
b. Tentang surat gugatan.
Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak
menjelaskan karakteristik dari sebuah gugatan yang
menggunakan prosedur class action, dalam hal ini tidak
mendeskripsikan secara jelas definisi kelas, posita gugatan
tidak menjelaskan secara rinci dan jelas kesamaan tentang
fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil kelompok
dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian
ganti kerugian. Di samping itu, dalam menentukan wakil
kelompok, penggugat cenderung mengajukan jumlah wakil
kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan menyulitkan
penggugat dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan
antara wakil kelompok dengan anggota kelompok.
c. Mempersamakan gugatan class action dengan gugatan
legal standing.
Dalam beberapa putusan baik penggugat, tergugat maupun
pengadilan masih terjebak pada pemikiran bahwa gugatan dengan
prosedur class action adalah identik dengan gugatan atas
dasar hak gugat LSM atau “NGO’s standing to sue”.
d. Tentang prosedur acara pemeriksaan.
Penentuan pengakuan atau keabsahan dari suatu gugatan
yang menggunakan prosedur class action dalam berbagai
putusan, dilakukan dalam tahap pemeriksaan yang berbeda-beda.
Ada yang mengesahkan penggunaan prosedur ini diperiksa dan
diputus pada akhir putusan bersama-sama dengan pokok perkara,
sedangkan pada putusan perkara lainnya diputus pada tahapan
putusan sela.
e. Tentang notifikasi atau pemberitahuan.
Belum adanya aturan atau petunjuk mengenai tata cara
pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara gugatan
perdata melalui prosedur class action, mengakibatkan perintah
notifikasi atau pemberitahuan (yang dalam sistem hukum negara
lain merupakan suatu kewajiban) tidak menjadi suatu prioritas
atau suatu keharusan.
f. Tentang implemantasi putusan pengadilan dalam hal
distribusi ganti kerugian.
Dalam pengajuan gugatan secara class action, yang
khususnya mengajukan tuntutan ganti rugi berbentuk uang,
posita penggugat tidak secara jelas tentang usulan mekanisme
distribusi ganti kerugian.
Setelah lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara
gugatan perwakilan kelompok beberapa kendala yuridis
sebagaimana disebutkan di atas relatif dapat diatasi meskipun
bukan berarti tidak lagi tersisa kendala yuridis sama sekali.
Kendala yuridis yang masih tersisa misalnya dalam PERMA
No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok
hanya mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar
(opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan
sebagai bagian class action (opt in) tidak diatur. Pada
mekanisme pemberitahuan ini membuka kesempatan bagi anggota
kelompok untuk menyatakan diri keluar dari class action
apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan.
Kendala lain setelah terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002
tentang acara gugatan perwakilan kelompok misalnya juga
terlihat pada bagian pemeriksaan dan pembuktian. Dalam hal
ini pembuktian secara umum dilakukan menurut hukum acara
perdata yang berlaku di Indonesia. Meski demikian, PERMA No.
1 Tahun 2002 terkesan cenderung memberikan titik tekan
terhadap pemeriksaan kejujuran dan keabsahan keterwakilan
Penggugat serta pada pembuktian kesamaan fakta hukum dan
kejadian yang menimpa banyak orang.
Pengaturan ini cenderung terlihat memberatkan dan
membebankan pembuktian pada penggugat. Secara sosiologis
masyarakat Indonesia cenderung kurang mahir bermain dengan
hukum, sehingga masyarakat sering kali terlihat lemah dalam
pembuktian. Karenanya, perlu dilakukan terobosan baru untuk
mengatasi kendala pembuktian ini, misalnya pembuktian
dilakukan menurut mekanisme pembuktian terbalik dimana
tergugat dibebankan pembuktian apakah ia melakukan pencemaran
atau tidak.
Kendala berikutnya yang menghambat proses gugatan class
action adalah keseimbangan antara pelestarian lingkungan
dengan kepentingan pembangunan khususnya kesiapan investasi
di Indonesia. Gugatan class action jika dimenangkan oleh
majelis hakim seringkali berakibat pada pailitnya perusahaan
yang bersangkutan.
Hal ini tentunya memberikan efek buruk bagi iklim
ekonomi Indonesia, dalam beberapa kejadian bahkan hingga
mendorong pemerintah untuk ikut campur membela kepentingan
investor.
Kasus Lapindo Brantas bahkan menunjukkan betapa kerugian
yang ditimbulkan oleh kelalaian seuah perusahaan dengan
berbagai dalih dapat dialihkan menjadi publik loss yang
dipersamakan dengan bencana alam sehingga beban
pertangungannya dipikul oleh pemerintah.
D. Kesimpulan
1. Dalam UUPLH dikenal gugatan class action dan legal
standing atau Ius Standi.
2. sebelum keluarnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara
gugatan perwakilan kelompok, gugatan class action dan
legal standing menghadapi kendala yuridis terutama yang
berkaitan dengan hukum acara perdata yang diterapkan di
Indonesia.
3. setelah terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara
gugatan perwakilan kelompok, kendala yuridis terutama
terletak pada kemampuan masyarakat dalam hal
pemeriksaan dan pembuktian.
Daftar Pustaka
Buku:
1. Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar Seri Bahan Bacaan Kursus Ham Untuk Pengacara X Tahun
2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), tidak diterbitkan, Jakarta, 2005.
2. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Class Action (Suatu Studi Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia), Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002.
3. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty Yogyakarta, 1998.
Peraturan Perundang-undanganUUD 1945UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan HidupUU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan KonsumenUU No. 41 Tahun 1999 tentang KehutananPERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok