kasus-kasus obatototoksik

34
1. Seorang penderita berumur 28 tahun dirawat di Rumah Sakit Umum dengan sesak nafas. Hasil diagnosis dokter adalah pneumonia. Terapi yang didapat adalah injeksi penisilin prokain 2 x 2.4 juta unit IM, gentamisin 2 x 80 mg iv, asam salisilat 500 mg sehari tiga kali. Setelah dirawat selama lima hari penderita mengeluh pusing berputar-putar dan tinitus. Diagnosa tambahan vertigo. Diberi obat flunarizin 1 x 10 mg dan obat suntik diteruskan. Dua hari kemudian penderita mengeluh pendengaran berkurang. o Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus diatas Obat yang bersifat toksik pada telinga dalam kasus di atas adalah Gentamisin dan Asam salisilat. o Sebutkan obat-obat antibiotik yang bersifat ototoksik Aminoglikosida Streptomisin Dihidrostreptomisin Neomisin Gentamisin Tobramisin Amikasin Antibiotik lain Vankomisin Eritromisin Kloramfenikol Ristosetin Polimiksin B Viomisin Farmasetin

Upload: mufidah-fida

Post on 24-Nov-2015

167 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

ototoksik

TRANSCRIPT

1. Seorang penderita berumur 28 tahun dirawat di Rumah Sakit Umum dengan sesak nafas. Hasil diagnosis dokter adalah pneumonia. Terapi yang didapat adalah injeksi penisilin prokain 2 x 2.4 juta unit IM, gentamisin 2 x 80 mg iv, asam salisilat 500 mg sehari tiga kali. Setelah dirawat selama lima hari penderita mengeluh pusing berputar-putar dan tinitus. Diagnosa tambahan vertigo. Diberi obat flunarizin 1 x 10 mg dan obat suntik diteruskan. Dua hari kemudian penderita mengeluh pendengaran berkurang. 0. Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus diatasObat yang bersifat toksik pada telinga dalam kasus di atas adalah Gentamisin dan Asam salisilat.

0. Sebutkan obat-obat antibiotik yang bersifat ototoksik Aminoglikosida Streptomisin Dihidrostreptomisin Neomisin Gentamisin Tobramisin Amikasin Antibiotik lain Vankomisin Eritromisin Kloramfenikol Ristosetin Polimiksin B Viomisin Farmasetin Kolistin

0. Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada penggunaan obat tersebut.Patomekanisme ototoksisitas aminoglikosida:Gentamisin merupakan salah satu antibiotik dari golongan aminoglikosida yang bersifat ototoksik. Kadar aminoglikosida di cairan telinga dalam bertahan lebih lama dari kadar di serum, sehingga ada efek ototoksik aminoglikosida yang bersifat laten. Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida terjadi melalui gangguan pada proses sintesis protein di mitokondria dan pembentukan radikal bebas. Pada tingkatan seluler, gangguan pendengaran terjadi akibat kerusakan sel-sel rambut koklea, terutama sel-sel rambut luar. Aminoglikosida dapat menghasilkan radikal bebas di telinga dalam dengan mengaktifkan nitric oxide synthetase sehingga meningkatkan konsentrasi nitric oxide. Kemudian terjadi reaksi antara oksigen radikal dengan nitric oxide membentuk peroxynitrite radical yang bersifat destruktif dan, mampu menstimulasi kematian sel (apoptosis) secara langsung (Sinxadi, Poumla; Blockman, Marc, 2009).Apoptosis merupakan mekanisme kamatian sel yang utama dan terutama diperantarai oleh kaskade intrinsic yang diperantarai oleh mitokondria. Dan tampaknya interaksi aminoglikosida dengan zat besi dan tembaga semakin menambah pembentukan radikal bebas. Sebagai hasil akhir dari mekanisme tersebut, terjadi kerusakan permanen sel rambut luar koklea yang berakibat gangguan pendengaran permanen (Mudd, 2008). Selain itu, adanya mutasi DNA mitokondria yang spesifik (mis. A1555G) juga dapat meningkatkan risiko ototoksisitas aminoglikosida (Sinxadi, Poumla; Blockman, Marc, 2009).

Patomekanisme ototoksisitas aminoglikosida:Asam salisilat yang biasa digunakan sebagai antiinflamasi, antipiretik dan analgetik ini diketahui juga ternyata memiliki efek ototoksik. Asam salisilat dapat masuk dengan cepat ke koklea dan kadar di perilimfe setara dengan kadar di serum (Sinxadi, Poumla; Blockman, Marc, 2009). Kadar yang semakin meningkat dapat menyebabkan tinitus dan biasanya gangguan dengar sensorineural yang sementara dengan gambaran audiogram yang datar. Mekanismenya multifaktorial dan multilokasi. Kelainan morfologi minimal pernah dilaporkan, hasil OAE juga menunjukkan adanya abnormalitas sel-sel rambut luar koklea, dan penurunan aliran darah koklea yang diduga juga mempunyai peranan dalam efek ototoksik ini. Selain itu, perubahan biokimia dan permeabilitas sel rambut luar yang tidak normal juga dapat berpengaruh (Mudd, 2008).

0. Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada penggunaan obat pada kasus tersebut. Tanda dan gejala ototoksisitas gentamisin (aminoglikosida):Secara klinis gejala yang muncul akibat kerusakan akut pada koklea adalah tinnitus. Pada tahap awal penurunan pendengaran mungkin tidak disadari oleh pasien dan dapat berupa penurunan ambang dengan pada frekuensi tinggi yang dapat semakin memberat dan mempengaruhi frekuensi bicara, dan pasien dapat mengalami penurunan pendengaran yang berat jika terapi tetap dilanjutkan, Apabila terapi dihentikan pada tahap awal, kerusakan lebih lanjut dapat dicegah dan perbaikan sebagian dari ambang dengar dapat terjadi meskipun sering kali kerusakan bersifat permanen (Mudd, 2008).Gejala toksisitas vestibuler biasanya berupa gangguan keseimbangan dan gejala gangguan visual. Gejala memberat pada keadaan gelap atau pada keadaan dimana pijakan kaki tidak stabil. Gejala gangguan visual berupa oscillopsia muncul ketika kepala bergerak yang berdampak pandangan kabur untuk sementara waktu (Mudd, 2008). Khususnya pada gentamisin, efek vestibulotoksik lebih dominan (Hann, 2009).

Tanda dan gejala ototoksisitas asam salisilat:Tinitus adalah gejala yang paling sering terjadi. Gejala lain seperti gangguan dengar, mual muntah, nyeri kepala, juga pernah dilaporkan. Gangguan dengar yang terjadi biasanya derajat ringan sampai sedang dan simetris bilateral. Pemulihan biasanya terjadi dalam 24-72 jam setelah penghentian obat. (Mudd, 2008)

0. Apakah risk untuk penggunaan obat ototoksik tersebutGentamisin (gol. Aminoglikosida) Pasien dengan penurunan fungsi ginjal Pasien dengan peningkatan serum level (kadarpuncakdan kadar lembah meningkat) Pasien yang mengkonsumsi lebih dari satuobat ototoksik (biasanya aminoglikosidaditambah loop diuretic) Pasien dengan riwayat pernah megkonsumsiobat ototoksik Pasien yang minum obat ototoksik lebih dari14 hari Pasien dengan gejala koklea dan vestibular yang menjadi nyata selama pengobatan Pasien yang lebih dari 65 tahunAsam salisilat:1. Dosis tinggi2. Usia tua3. dehidrasi

Efek toksik aminoglikosid pada saraf otak N. VIII mengenai komponen vestibular maupun akustik. Setiap aminoglikosid berpotensi menyebabkan dua efek toksis tersebut tetepi dalam derajat yang berbeda. Streptomisin dan gentamisin lebih mempengaruhi komponen vestibular; sebaliknya neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin lebih mempengaruhi komponen akustik.; tobramisin sama pengaruhnya pada kedua sistem. Studi permulaan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa netilmisin kurang ototoksik dibanding dengan aminoglikosid lain. Pendapat tersebut perlu pembuktian lebih lanjut karena pada salah satu uji klinik 10% pasien mendapat komplikasi ototoksisitas.Ototoksisitas aminoglikosid ditingkatkan oleh berbagai faktor antara lain: besarnya dosis, adanya gangguan faal ginjal, usia tua, penggunaan obat ototoksik lain, pemberian bersama asal etakrinat (suatu deuretik kuat), kadar puncak dan kadar lembah yang meningkat, terapi berkepanjangan dan demam.Gangguan vestibular. Pada streptomisin dan gentamisin, gejala dininya ialah sakit kepala, yang kemudian diikuti oleh fase akut dengan gejala pusing, mual, muntah dan gangguan keseimbangan. Selanjutnya, pada fase kronik, gejala bersifat laten dan hanya menjadi nyata bila menutup mata. Tidak ada terapi khusus terhadap efek toksik ini. Pemulihan sempurna memerlukan waktu 12-18 bulan, dan pada beberapa pasien bisa tersisa kerusakan menetap (sequelae) pada sistem vestibular. Efek samping ini dapat dikurangi bila pemberian aminoglikosid cepat dihentikan setelah diketahui timbulnya gejala ototoksik. Dari sudut patologi, kerusakan terdapat pada nukleus kohlearis ventral di batang otak yang meluas keujung serabut saraf di kohlea.Gangguan vestibular oleh streptomisin cukup tinggi frekuensinya yaitu 25 % pada dosis 1 g sehari. Insidens ototoksisitas gentamisin 2%, 66% di antaranya berupa gangguan vestibular, sedangkan insidens ototoksisitas kanamisin 7%.Gangguan akustik. Gangguan ini tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap gelombang frekuensi tinggi akan berkurang; dan ini tidak disadari oleh pasien. Pada fase permulaan ini, gangguan dapat terungkap dengan pemeriksaan audiometrik beruntun. Lambat laun, gangguan yang berkembang terus secara klinis menjadi jelas sebagai tuli-saraf. Mungkin pasien baru menyadari ketuliannya justru beberapa waktu setelah pengobatan dihentikan. Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi dapat bertahan sampai dua minggu setelah pemberian aminoglikosid dihentikan. Patologi kerusakan akustik terutama berupa degenerasi berat sel rambut organ Corti mulai di bagian basiliar menjalar ke apeks. Gangguan akustik jarang terjadi pada anak.Frekuensi kejadian gangguan akustik akibat streptomisin 4-15% bila terapi lebih dari 1 minggu; gentamisi, tobramisin dan amikasin sampai 25% tergantung dosis dan faktor lain; kanamisin 30% berdasarkan serangkaian pemeriksaan audiometrik. Neomisin, paling mudah menimbulkantuli saraf dibandingkan dengan aminoglikosid lainnya. Penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan neomisin 5%, pada pasien dengan faal ginjal normal juga dapat menumbilkan tuli saraf.Dengan tobramisin terjadi gangguan vestibular sebanyak 0,4%. Dengan amikasin, yang baru tercatat hanyalah gangguan pendengaran; terjadi terutama bila pengobatan lebih dari 14 hari. 0. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik disebabkan obat dan bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab ototoksik disebabkan oleh obat tersebut5. Anamnesis Keluhan utama telinga. Singkirkan penyebab lain, misalnya riwayat trauma kepala, telinga tertampar, trauma kustik, terpajan bising, atau pernah menderita penyakit infeksi virus seperti parotitis, influenza berat, dan meningitis. Gali riwayat penggunaan obat ototoksik.

5. Pemeriksaan Telinga Uji pendengaran dengan menggunakan garpu talla, terdiri atas 3 tes kualitatif : Tes Rinne: positif Tes Weber: lateralisasi ke telinga sehat Tes Scwabach: memendek Hasil Pemeriksaan : Ototksisitas umumnya menyebabkan tuli sensorineural. Pemeriksaan Audiometri Nada Murni, yaitu pemeriksaan pendengaran secara kuantitatif dengan alat audiometer. Hasil Audiogram : Tuli Sensorineural AC dan BC > 25 dB, AC dan BC berhimpit (tidak ada gap).

0. Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik. Monitoring kadar obat dalam serum dan fungsi ginjal sebelum, saat dan setelah pengobatan 10-12 mcg/mL Fungsi pendengaran dievaluasi sebelum, selama, dan setelah pengobatan minimal 6 bulan Pesankan kepada pasien menghindari lingkungan bising selama 6 bulan Identifikasi pasien dengan faktor resiko tinggi dan pilih antibiotik alternatif yang dapat diberikan Vitamin E & Ginkgo biloba mungkin berguna untuk pencegahan efek ototoksikSecara umumnya :a. Sebelum Mempertimbangkan penggunaan obat-obat Ototoksik Menilai kerentanan pasien Monitoring level serum obat dan fungsi ginjal Evaluasi pendengaran sebelum, saat dan setelah terapi Memonitor efek samping secara dinib. Sesudah Menghindari lingkungan bising selama 6 bulan setelah terapi

0. Apakah alternatif untuk pengantian obat untuk terapi tersebut ?1. Aminoglikosida:1. Framesitin2. Paramomisin2. Asam salisilat: paracetamol3. Flunarizin pada kasus diatas hanya digunakan sebatas pengobatan simptomatik pada vertigo akibat injeksi obat ototoksik, yang sebenarnya tidak perlu.Sefalosporin golongan 3 :1. Sefotaksim2. Seftazidim 3. Seftriaxon

KASUSSeorang penderita berumur 50 tahun menderita osteomyelitis dan gagal jantung. Mendapat terapi natrium diklofenak 3 x 50 mg, ciprofloksasin 3 x 750 gram, furosemid 1 x 20 mg, Aspar K (Kalium aspartat) 1 x 1 tablet. Obat furosemid dan aspar K sudah diminumnya selama satu tahun. Setelah minum obat selama 2 minggu ia merasa pendengaran sering berdenging dan pendengaran berkurang.

PEMBAHASAN1. Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus diatas.Obat yang bersifat ototoksik pada telinga pada kasus di atas ada 3 yaitu natrium diklofenak, ciprofloksasin, dan furosemid.

2. Sebutkan obat-obat NSAID yang bersifat ototoksikObat-obat NSAID yang bersifat ototoksikNSAID yang dapat menyebabkan hearingloss : Diklofenak Etocolak Fenprofen Ibuprofen Indomethacin Naproxen Piroxicam SulindacNSAID yang dapat menyebabkan tinitus : Aspirin Acematacine Benorilate Benoxaprofen Carprofen Diflunisal MethylSalisilat Piroxicam Salicilate Tolmetin Zomepirac Diklofenak Fenoprofen Ibuprofen Indomethacin Naproxen D-Penicilliamin Proglumetacin Proquazone Rofecoxib Feprazon Isoxicam Ketoprofen Phenylbutazone Sulindac

3. Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada penggunaan obat tersebutFurosemidKetulian sementara dapat terjadi dalam penggunaan furosemid, ketulian ini disebabkan oleh oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Efek ototoksik pada obat loop diuretic berhubungan dengan stria vascularis yang di pengaruhi oleh perubahan kadar ion di antara endolymph dan perilymph. Edema pada epitel stria vaskularis di akibatkan oleh perubahan ion tersebut. Kondisi ketulian ini biasanya bergantung terhadap jumlah pemberian dosis yang di ikuti oleh pemberian obat melalui injeksi IV. pada Kebanyakan kasus kondisi ini merupakan self limiting dan reversible pada pasien usia dewasa akan tetapi efek dari terapi ini terhadap neonates adalah kondisi irreversible hearing loss.NSAID Dosis tinggi menginhibisi pergerakan koklea. Asam salisilat masuk dengan cepat ke koklea dan cairan perilimfa meningkat menyebabkan tinnitus dan menyebabkan tuli sensorineural. Mekanisme ototoksiknya disebabkan oleh banyak faktor, namun kerusakan yang disebabkan bersifat metabolik bukan bersifat kerusakan anatomi dari koklea.CiprofloksasinPenggunaan yang berkelanjutan dengan dosis yang tinggi pada banyak pasien menunjukkan perubahan hilangnya sel-sel rambut luar, dan pada penelitian tampak mempengaruhi sirkulasi darah sekitar koklea yaitu mengurangi perfusi, dan menyebabkan perubahan biokimia. Ciprofloksasin juga dapat melalui plasenta sehingga dapat menyebabkan tuli congenital dan hipoplasia koklea yang selanjutnya menurunkan potensi fungsional endolimfatik.

4. Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada penggunaan obat pada kasus tersebut.a. NSAID (Natrium Diclofenac):1. Tinnitus frekuensi tinggi (7-9 kHz)2. SNHL (Sensory Neural Hearing Loss/tuli sensorineural) ringan sampai sedang, jarang permanen.b. Loop diuretic (Furosemide):1. Pasien biasanya akan mengeluhkan kehilangan pendengaran segera setelah menerima pengobatan. Biasanya bersifat reversible, namun dapat juga bersifat permanen, terutama apabila pasien memiliki gagal ginjal, menerima obat dalam dosis tinggi, atau bila dibarengi dengan pemberian antibiotic golongan aminoglikosida. 2. Pasien juga dapat mengeluhkan tinnitus dan gangguan vestibular seperti disequilibrium, namun gejala ini jarang ditemui tanpa disertai dengan kehilangan pendengaran.c. Ciprofloksasin : 1. Tinitus 2. Hearing Loss, bersifat reversibel dan sensory neural yang terjadi pada frekuensi 4000Hz3. Dizziness4. Vertigo5. Nyeri kepala 6. Nausea7. Pengurangan penglihatan

5. Apakah risiko untuk penggunaan obat ototoksik tersebut ?Natrium diklofenakMerupakan suatu turunan asam fenilasetat yang relatif tidak selektif sebagai penghambat COX. Efek samping terjadi pada sekitar 20 % pasien dan meliputi gangguan saluran cerna, perdarahan samar saluran cerna, dan ulkus lambung, meskipun ulkus lebih jarang terjadi daripada beberapa OAINS lainnya. Suatu sediaan yang menggabungkan diklofenak dengan misoprostol menurunkan kejadian ulkus saluran cerna bagian atas tapi dapat menyebabkan diare. Kombinasi lainnya yakni diklofenak dengan omeprazole, juga efektif mencegah perdarahan rekuren, tapi efek sampingnya pada ginjal sering ditemui pada pasien berisiko tinggi. Diklofenak pada dosis 150 mg/hari tampaknya mengganggu aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus. Peningkatan amino transferase serum dapat terjadi lebih sering pada obat ini daripada OAINS lainnya. Dari referensi berbeda menyebutkan efek samping dari penggunaan diklofenak yang lazim adalah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama seperti OAINS. Kontra Indikasi dari obat ini adalah pasien dengan tukak lambung, juga pada pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan.Furosemid Efek sampingnya adalah Alkalosis metabolik hipokalemik, Ototoksisitas seperti gangguan pendengaran yang erat hubungannya dengan dosis dan biasanya reversibel. Hal ini paling sering terjadi pada pasien yang telah mengalami penurunan fungsi ginjal atau yang juga mendapatkan agen ototoksik lain, seperti antibiotik aminoglikosid, obat ini juga dapat menyebabkan hiperurisemia, hipomagnesemia, dan reaksi alergik seperti ruam di kulit, eosinofilia, dan nefritis interstisial (jarang terjadi) merupakan efek samping yang kadang timbul pada penggunaan obat ini. Kontra indikasi dari penggunaan obat ini adalah pada penderita sirosis hepatik, gagal ginjal borderline, atau gagal jantung.Ciprofloksasin Efek samping paling sering muncul adalah mual, muntah, diare. Sesekali timbul nyeri kepala, pusing, insomnia, ruam kulit, dan uji fungsi hati yang abnormal. Obat ini dapat melukai kartilago yang sedang bertumbuh dan menyebabkan artropati. Kontra Indikasi obat ini adalah pada penderita berusia dibawah 18 tahun. Akan tetapi artropati ini bersifat reversibel, penggunaan obat ini juga harus dihindari dalam kehamilan selama tidak terdapat data spesifik yang menunjukkan keamanannya. Dari referensi berbeda menyebutkan efek samping dari penggunaan ciprofloksasin yaitu halusinasi, kejang dan delirium.

6. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik disebabkan obat dan bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab ototoksik disebabkan oleh obat tersebutDiagnosis untuk ototoksik pada pasien akibat obat-obatan mengikuti alur anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.a. AnamnesisAnamnesis lengkap sangat diperlukan dalam diagnosis ototoksisitas. Anamnesis meliputi: Keluhan utama (SOCRATES) Riwayat penyakit sekarang berupa keterangan lengkap gejala-gejala ototksisitas (kapan terjadinya, mendadak, unilateral atau bilateral) Riwayat penyakit dahulu (apa pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya) Riwayat medis dahulu (pernah trauma, riwayat perawatan di RS, riwayat sakit telinga) Riwayat pengobatan (obat-obatan apa saja yang sedang dikonsumsi, dosisnya, dan sudah berapa lama menggunakan obat tersebut) Riwayat penyakit keluarga (apa di keluarga juga ada yang mengalami gejala seperti yang dikeluhkan pasienBerikut ciri gangguan pendengaran akibat ototoksisitas: Tinitus yang terjadi kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz-6 KHz. Bila kerusakan menetap, tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga tidak pernah hilang. Tuli akibat ototoksik dapat menetap berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan setelah pengobatan. Biasanya bersifat bilateral, tetapi dapat juga unilateral. Tuli yang terjadi bersifat sensorineural. Bila akibat penggunaan antibiotika menyebabkan penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram. Bila akibat diuretik menyebabkan audiogram mendatar atau sedikit menurun. Gangguan pendengaran akibat gentamisin dan streptomisin terjadi perlahan-lahan dan beratnya sebanding dengan lama dan jumlah obat yang diberikan serta keadaan fungsi ginjal.b. Pemeriksaan fisikPemeriksaan fisik dilakukan berupa tes pendengaran, yaitu tes penala dan tes bisik. Tes penala meliputi tes Rinne, tes Schwabach, dan tes stenger. Tes Rinne dilakukan untuk membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pasien. Tes Weber digunakan untuk membandingkan hantaran tulang kanan dan kiri. Tes Scwabach dilakukan untuk membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Gangguan pendengaran akibat ototoksik biasanya adalah tuli sensorineural sehingga akan didapatkan hasil tes Rinne positif, tes weber terjadi lateralisasi ke telinga yang sehat, dan tes scwabach memendek.c. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan penunjang dilakukan dengan menggunakan audiometer untuk membuat audiogram. Kriteria ototoksisitas yang digunakan adalah Penurunan ambang nada murni sebesar 20db atau lebih dalam 1 frekuensi Penurunan 10db atau lebih di dua frekuensi Kehilang respon pada 3 frekuensiBerikut adalah derajat ototoksisitas menurut Brock. Grade 0- ambang pendengaran kurang dari 40 dB di semua frekuensi Grade 1-ambang 40 dB atau lebih di frekuensi 8000 Hz Grade 2-ambang 40 dB atau lebih di frekuensi 4000-8000 Hz Grade 3-ambang 40 dB atau lebih di frekuensi 2000 Hz Grade 4-ambang 40 dB atau lebih di frekunesi 1000-8000 Hz

7. Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik ? Penggunaan dosis terendah untuk mencapai efek yang diinginkan dan menghindari laju infuse yang cepat, dan meminimalisir efek samping yang ditimbulkan. Mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik dengan menilai kerentanan atau faktor resiko pasien dan mempertimbangkan pemilihan obat alternatif lainnya. Sebelum memulai pengobatan, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan audiometri, serta ditentukan tingkat pendengaran dasar dari pasien dan dilakukan juga uji keseimbangan, selama pengobatan, serta setelah pengobatan. Memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang pendengaran dan vertigo yang di timbulkan selama pemakaian obat. Selama masa pengobatan, dilakukan monitoring fungsi pendengaran. Jika pasien menunjukan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga, harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatan atau mengganti dengan obat alternatif lain.

8. Apakah alternatif untuk pengantian obat untuk terapi tersebut ?Penyebab ototoksik pada kasus diatas adalah furosemid yang digunakan untuk terapi pasien gagal jantung dengan mekanisme diuretik. Obat lain yang dapat digunakan sebagai agen diuretik signifikan pengganti furosemid pada kasus gagal jantung adalah hydrochlorothiazide 1x25 mg dikonsumsi secara oral pagi hari.Ciprofloksasin pada kasus diatas dapat menjadi penyebab keluhan tinitus pada pasien. Terapi antibiotik alternatif untuk pasien osteomyelitis dengan tinitus pada pemberian antibiotik ciprofloksasin adalah clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, atau rifampin yang tidak mempunyai efek samping pada telinga dan merupakan pilihan terapi yang juga efektif terhadap osteomyelitis. Clindamycin dapat diberikan secara oral setelah terapi melalui IV selama 1-2 minggu. Cloxacillin dari golongan penicillin dapat pula dibelikan pada pasien osteomyelitis akut dengan dosis 250-500 mg selama 6 hari per oral, diberikan 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Dapat pula dipertimbangkan terapi antibiotik dari golongan cephalosporin generasi 3 jika diduga kuman penyebabnya gram negatif.Sedangkan penggunaan Natrium Diklofenak 3 x 50 mg aman untuk dikonsumsi. Jikapun diganti, dapat diganti dengan Paracetamol 3 x 500 mg ataupun obat anti inflamasi yang lain seperti Piroxicam1. Seorang penderita berumur 20 tahun 45 Kg mederita TBC, mendapat pengobatan obat paket RHZES di puskesmas, setelah tiga minggu pengobatan penderita mengeluh telingganya berdenging dan pendengaran berkurang. Mendapat pengobatan tersebut selama satu bulan, ia mendapat penyakit malaria dan dirawat di Rumah sakit. Di RS obat TBC diteruskan dan mendapat terapi kinin (quinine), untuk obat penurun panas ia mendapat parasetamol 3 x 500 mg. Pada hari ketiga pengobatan ia merasa telinganya berdenging dan pendengaran berkurang serta kadang-kadang pusing berputar. 1. Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus diatas2. Sebutkan obat-obat antimalaria yang bersifat ototoksik3. Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada penggunaan obat tersebut.4. Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada penggunaan obat pada kasus tersebut.5. Apakah risk untuk penggunaan obat ototoksik tersebut6. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik disebabkan obat dan bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab ototoksik disebabkan oleh obat tersebut7. Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik.8. Apakah alternatif untuk pengantian obat untuk terapi tersebut ?

Jawaban :

1. Sebutkan obat-obat toksik pada telinga pada kasus diatas a. Streptomisin b.Kina

2. Sebutkan obat-obat antimalaria yang bersifat ototoksik a. Chloroquineb. Quininec. Quinidine

3. Patomekanisme toksik pada telinga karena penggunaan streptomisin

Streptomisin merupakan salah satu obat golongan Aminoglikosida. Toksisitas aminoglikosida terutama ke organ target ginjal dan sistem cochleovestibular, namun tidak jelas ada korelasi antara tingkat nephrotoxicity dan ototoxicity. Toksisitas koklea yang mengakibatkan gangguan pendengaran biasanya dimulai dalam frekuensi tinggi dan sekunder untuk kerusakan ireversibel luar sel-sel rambut pada organ Corti, terutama pada pergantian basal koklea. Mekanisme aminoglikosida ototoxicity diperantarai oleh gangguan sintesis protein mitokondria, dan pembentukan radikal oksigen bebas. Mekanisme awal aminoglikosida dalam merusak pendengaran adalah penghancuran sel-sel rambut koklea, khususnya sel-sel rambut luar. Aminoglikosida muncul untuk menghasilkan radikal bebas di dalam telinga bagian dalam dengan mengaktifkan nitric oksida sintetase yang dapat meningkatkan konsentrasi oksida nitrat. Radikal oksigen kemudian bereaksi dengan oksida nitrat untuk membentuk radikal peroxynitrite destruktif, yang dapat secara langsung merangsang sel mati. Apoptosis adalah mekanisme utama kematian sel dan terutama diperantarai oleh kaskade mitokondria intrinsik. Nampaknya aminoglikosida berinteraksi dengan logam transisi seperti sebagai besi dan tembaga mungkin terjadi pembentukan radikal bebas tersebut. Akhirnya fenomena ini menyebabkan kerusakan permanen pada sel-sel rambut luar koklea, yang mengakibatkan kehilangan pendengaran permanen.Beberapa penelitian sedang menyelidiki chelators besi dan antioksidan sebagai agen mungkin untuk mencegah gangguan pendengaran selama terapi, sementara studi lain mengeksplorasi bentuk terapi gen sebagai pilihan pengobatan di masa depan.Saat ini, tidak ada perawatan yang tersedia selain dari amplifikasi dan implantasi koklea, karena itu, pencegahan sangat penting.

Streptomisin adalah aminoglikosida yang pertama diterapkan secara klinis dan berhasil digunakan untuk melawan bakteri gram negatif di masa lalu. Lebih mempengaruhi sistem vestibular daripada sistem pendengaran. Kerusakan Vestibular akibat streptomisin adalah umum dengan penggunaan jangka panjang dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Karena sifatnya yang ototoksik agen ini jarang digunakan saat ini. Namun, penggunaan streptomisin meningkat untuk pengobatan TB. Biasanya sterptomisin menyebabkan tuli bilateral nada tinggi. Potensiasi ototoksisitas dengan pemberian bersama-sama diuretikkuat.

Mekanisme: kehilangan sel-sel rambut pada putaran basal koklea

Dihidrostreptomisin (DHS) sbgselaput penghambat disaluranmekanotransduser (met)Akumulasi DHS di sel2 rambutsensorik hingga level toksikDegenerasi sel2 rambutApoptosis sel2 rambut

Patomekanisme toksik pada telinga karena penggunaan kuininKuinin telah lama diketahui berkaitan dengan terjadinya tinnitus, gangguan pendengaran sensorineural, dan gangguan penglihatan. Sindrom tinnitus, nyeri kepala, mual, dan gangguan penglihatan disebut cinchonism. Dosis yang lebih besar dapat menyebabkan sindrom ini menjadi lebih parah. Obat ini digunakan sebagai tambahan dalam pengobatan malaria. Efek ototoksik dari kuinin tampaknya terjadi terutama pada fungsi pendengaran dan biasanya bersifat sementara. Gangguan pendengaran yang permanen dapat terjadi dengan dosis yang lebih besar atau pada pasien yang sensitive. Mekanisme: mengganggu motilitas sel2 rambut luar (OHC). Kinin menambah ukuran panjang & diameter OHC sehingga menyebabkan motilitas menurun. Kinin juga reversibel melewati sawar plasenta menyebabkan tuli kongenital & hipoplasi koklea

4. Obat Anti TB ( Streptomycin )Dapat dibagi menjadi 3 kelompok :a.AlergiReaksi alergi yang timbul dengan intensitas beragam mulai dari pruritis, urtikaria, eritema, ruam morbiliform dan makulopapular. Pada berat ialah dermatitis eksfoliativa. Terhadap komponen darah ialah eosinofilia, trombopenia.Gejala lain ialah stomatitis dan demam. Reaksi hipersensitivitas jarang terjadi pada Tobramisin,Kanamisin, dan Gentamisin.b.Reaksi iritasi dan toksik.Timbulnya reaksi iritasi dan rasa nyeri terjadi ditempat suntik. Efek ototoksik; terutama terhadap saraf N VIII mengenai vestibuler dan akustik. Streptomisin dan Gentamisin lebih mempengaruhi komponen vestibuler, sedangkan pada Neomisin, Kanamisin dan Amikasin lebih mempengaruhi komponen akustik. Ototoksisitas arninoglikosida dapat ditingkatkan oleh pelbagai faktor, antara lain besarnya dosis, gangguan faal ginjal, usia lanjut. Pada penderita yang pernah mendapat suatu obat ototoksik dan juga bila diberikan asam etakrinat (diuretika kuat).Gangguan vestibular gejala dininya ialah sakit kepala yang kemudian diikuti fase akut dengan gejala pusing, mual, muntah dan gangguan keseimbangan. Pada fase kronik, gejala nyata waktu berjalan. Pada fase kompensasi, gejala bersifat laten dan hanya menjadi nyata bila menutup mata. Gejala gejala ini bersifat reversibel dan kadang-kadang juga pada beberapa penderita timbul sekuele. Pemulihan sempuma 12 sampai 18 bulan.Secara patologis, kerusakan terdapat pada nuklei koklearis ventrikuler di batang otak yang meluas ke ujung serabut saraf di koklea. Dengan dosis 2 gram per hari selama 60 sampai 120 hari, gejala terlihat pada 75% penderita. Dan dengan dosis 1 gram per hari, gejala terlihat pada 25% penderita. Gentamisin mempunyai angka ototoksisitas 2%, dan 66% di antaranya berupa gangguan vestibuler, sedangkan untuk Kanamisin sekitar 7%.Pada gangguan akustik, tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap golongan frekuensi tinggi akan berkurang dan ini tidak disadari oleh penderita. Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi.Patologi kerusakan akustik terutama berupa degenerasi berat sel-sel rambut luar pada telinga dalam. Sel organ Corti juga mengalami kerusakan. Frekuensi gangguan akustik akibat Streptomisin 4 sampai 15%, bila terapi lebih dari 1 minggu. Gentamisin 34% dari 2% ototoksisitas. Kanamisin 30%. Neomisinpaling mudah menimbulkan tuli saraf. Penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan Neomisin 5% pada penderita dengan ginjal normal, juga dapat menimbulkan tuli saraf. Pada Tobramisin terjadinya gangguan vestibuler dan akustik masing -masing sebanyak 0,4%. Amikasin bila diberikan lebih dari 14 hari juga akan menimbulkan gangguan pendengaran. Selain efek ototoksik, juga timbul efek nefrotoksik dan neurotoksik.c.Perubahan biologikAdanya pola mikroflora tubuh dan gangguan absorpsi di usus. Adanya interaksi obat yang perlu diperhatikan ialah, golongan aminoglikosida dengan suatu diuretika kuat akan menaikkan ototosik dan nefrotoksik.

Obat anti malariaNyeri kepala, pusing, tinitus, pandangan kabur, rasa bingung, badan terasa lemah, mengantuk, keringat banyak, mual, muntah dan diare. Pada intoksikasi yang lebih berat ialah gangguan susunan saraf pusat, erupsi kulit, gangguan keseimbangan dan pendengaran berupa ketulian. Gangguan tersebut bersifat reversibel bila obat dihentikan.

5. StreptomicinObat ini berefek vestibulotoksik sehingga manyebabkan vertigo sebelum terjadinya tinitus dan gangguan pendengaran. Efek ototoksik dan nefrotoksik terjadi bila diberikan dalam dosis besar dan lama. Penggunaan 1 gram/ hari selama 10 hari tidak mengakibatkan sindrom vestibular. Penggunaan 2 gram/ hari selama 14 hari dilaporkan menyebabkan sindrom vestibular sebanyak 60-70 % pasien atau pada pasien yang mendapatkan dosis total 10-12 gram dapat mengalami hal di atas hingga dianjurkan untuk pemeriksaan audiometri basal dan berkala.Angka kejadian ototoksik sangat tinggi pada usia 65 tahun dan pada wanita hamil tidak boleh melebihi dosis 20 gram dalam 5 bulan terakhir kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi (tuli congenital). Berdasarkan temuan histologik efek ototoksik streptomisin adalah kehilangan rambut bagian luar secara terpencar di lengkung basal atas koklea, kerusakan berat pada epitel sensoris krista semua saluran, streosilia di dalam ampula saluran mengalami pembengkakan clan diameternya menjadi dua kali lebih besar.Kinin Efek ototoksiknya berupa gangguan pendengaran sensorineural dan tinitus. Kuinin dapat menyebabkan sindroma berupa gangguan pendengaran sensorineural, tinitus dan vertigo. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya pendengaran akan kembali pulih dan tinitus menghilang. Pada pemakaian dosis tinggi (lebih dari 250mg/hari) atau penggunaan lama (diatas 1 tahun) efek sampingnya lebih hebat yaitu rambut rontok, tuli menetap dan kerusakan menetap. Kina dan kloroquin juga dapat menembus sawar darah plasenta dan pernah ada laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karena pengobatan malaria waktu ibu sedang hamil.6. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik disebabkan obat dan bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab ototoksik disebabkan oleh obat tersebut?Pada dasarnya segala diagnosis penyakit ditegakkan berdasarkanhasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperoleh.Diagnosis ototoksisitas sangat bergantung pada riwayat pasien, gejala dan hasil serangkaian tes. Tidak ada tes khusus untuk ototoksisitas, hal ini membuatadanya riwayat positif terpajan ototoxin sangat penting untukpenegakkan diagnosis. (P.J. Haybach, 2002). Anamnesis untuk mengekslusi diagnosa banding lainnnya, kemudian melakukan pemeriksaan telinga luar dan tengah menggunakan otoskop, serta pemeriksaan sederhana dengan garpu tala.Ototoksisitasseringkali tidak terdiagnosis karena pasien mungkin tidak mengetahui keterkaitan antara pengobatan terhadap perubahan yang terjadi pada pendengaran dan keseimbangan mereka. Hal ini umum bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ototoksik melaporkan adanya gangguan pendengaran, sensasi penuh di telinga, suara berdering atau mendengung, dari keluhan yang ringan sampai keluhan gangguan keseimbangan yang lebih signifikan. Perubahan ini dapat terjadi secara bertahap dan mungkin lebih sulit bagi seorang pasien untuk memperhatikannya. Inilah sebabnya mengapa pre-treatmentbaselinehearingtestdirekomendasikan sebagai monitoringhearing testinguntuk menelusuri setiap perubahan yang mungkin terjadi. Pemantauan setiap perubahan selama perawatan akan memungkinkan dokter untuk menentukan apakah perubahan dalam pengobatan, dosis atau waktu pemaparan bisa bermanfaat bagi pasien (Department of Otolaryngology and Communication Sciences ).Evaluasi terhadap kondisi sebelum munculnya gangguan pendengaran harus dilakukan sebelum meresepkan antibiotik ototoksik. Kemampuan mendengar harus dipantau melalui pemeriksaan audiometri selama terapi. Menurut American SpeechLanguageHearing Association (ASHA) pemeriksaan audiometriharus dilakukan 24 jam setelah pengobatan pertama dan setiap dua atau tiga hari selama pengobatan (Cianfrone, et al., 2011).Frekuensi tinggi umumnya lebih sensitif terhadap pengobatan,tinnitusbernada tinggi atau vertigo mungkin dapat terjadi, tetapi mereka tidak selalu dapat diandalkan sebagai tanda-tandapre-alert (Cianfrone, et al., 2011).Kerusakan ototoksik dapat diketahui dengan anamnesis rutin, namun kehilangan pendengaran akibat ototoksikhanya dapat ditentukan oleh perbandingan audiogram antara sebelum dan setelah pengobatan. Untuk mendiagnosa ketulian akibatfarmakologi, maka perlu untuk dipastikan melalui audiometri, yaitu terjadinya peningkatan kenyaringan sebesar15dB pada satu atau lebih frekuensi. Bagaimanapun juga, sulit untuk menetapkanetiologifarmakologis tanpa pemeriksaan dengan audiogram dari sebelum dan setelah terapi(Cianfrone, et al., 2011).Diagnosa ototoksikbisa berdasarkan gambaran audiometri nada murni dimana terjadi penurunan pendengaran biasanya bilateral dan simetris pada frekuensi tinggi, maupun dapat meluas ke frekuensi sedang dan dapat bersifat permanen (Sihotang, 2007).Saat ini TransientEvokedOtoacousticEmission(TEOAE) anddistortionproductotoacousticemission (DPOAE) Test dianggap sebagai pemeriksaan-standar emas dalam pengendalian ototoksisitas, memungkinkan penilaian fungsi koklea pada frekuensi tinggi hanya dalam beberapa menit(Cianfrone, et al., 2011).

Beberapa tes audiologikspesifik yang tersedia mungkin dilakukan, termasuk berbagai tes pendengaran dan keseimbangan. Hal ini harus dilakukan sebelum pengobatan awal dengan agen ototoksikyang dikenal, serta selama pengobatan dan setelah pengobatan dihentikan(Ototoxicity, 2008). Pure tone air conduction test: Dapat mendeteksi perubahan yang sangat kecil bahkan sebelum munculnyatinnitus, karena kebanyakan agen ototoksik menghasilkan gangguan pendengaran pada frekuensi tertinggi terlebih dahulu. Deteksi dini memungkinkan modifikasi perawatan sebelum frekuensi berbicara terpengaruh. Pure tone bone conduction: Digunakan untuk menentukan fungsi sensorineural. Tes pengenalan kata Rombergs test: uji keseimbangan untuk mendeteksi kerusakan vestibular.Untuk bayi dan pasien sakit kritis yangbed-boundatau koma, tes alternatif yang tersedia adalah: Emisi otoakustik (OAE): Melibatkan penggunaan mikrofon untuk mengukur sinyal yang dihasilkan oleh koklea. Auditory brainstem response (ABR): Mengukur fungsi pendengaran dengan memanfaatkan responsyang dihasilkan oleh saraf pendengaran dan batang otak. Membantu membedakan tuli sensorik dengan tuli neural. Beberapa tes lainnya yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar fungsi pendengaran atau keseimbangan yang telah hilang adalah Vestibular Autorotation Test (VAT), Vestibulo-Ocular Reflex Testing Equipment (VORTEQ), Electronystagmography (ENG), Computerized Dynamic Posturography (CDP), Rotary Chair (SHAT), head-shaking, Electrocochleography (EcoG), beserta beberapa tes lainnya yang cukup sering digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur masalah telinga bagian dalam (P.J. Haybach, 2002).

7. Pencegahannya adalah dengan tidak Mengkonsumsi obat ototoksik tersebut, namun jika harus menggunakan obat tersebut, dosisnya disesuaikan agar tidak mengakibatkan ototoksik pada pasien yang mengkonsumsi obat tersebut.

8. Terapi Alternatif Penggantian OtotoksikAlternatif untuk penggantian obat untuk terapi pada kasus di atas, yaitu diberikan terapi golongan sefalosporin. Golongan ini umumnya kurang aktif terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh lebih aktif terhadap enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penisilinase. Seftazidim aktif terhadap pseudomonas dan beberapa kuman gram negative lainnya. Seftriakson memiliki waktu paruh yang lebih panjang dibandingkan sefalosporin yang lain, sehingga cukup diberikan satu kali sehari. Obat ini diindikasikan untuk infeksi berat seperti septicemia, pneumonia, dan meningitis. Garam kalsium seftriakson kadang-kadang menimbulkan presipitasi di kandungempedu. Tapi biasanya menghilang bila obat dihentikan. Sefoksitinaktif terhadap flora usustermasukBacteriodesfragilis, sehinggadiindikasikanuntuk sepsis karena peritonitis.SefotaksimObat ini sangat aktif terhadap berbagai kuman Gram-positf maupun Gram-negatif aerobic. Aktifitasnya terhadap B. fragilis sangat lemah dibandingkan dengan klindamisin dan metronidazol. Waktu paruh plasma sekitar 1 jam dan diberikan tiap 6-12 jam. Metabolitnya ialah desasetil sefotaksim yang kurang aktif. Obat ini efektif untuk pengobatan meningitis oleh bakteri Gram-negatif. Sefotaksim tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 1,2 dan 10 g.SeftriaxonObat ini umumnya aktif terhadap kuman Gram-positif, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan sefalosporing enerasi pertama. Waktu paruhnya mencapai 8 jam. Untuk meningitis, obat ini diberikan 2 kali sehari. Obat ini sekarang merupakan pilihan utama untuk urethritis oleh gonokokus tanpa komplikasi. Jumlah seftriakson yang terikat pada protein plasma umumnya sekitar 83-96%. Pada peningkatan dosis, persentase yang terikat protein menurun cepat. Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik 0,25; 0,5; dan 1 g.