surat dibacakan, belum ada pembahasan angket kpk di ... · kasus-kasus korupsi besar. khususnya...
TRANSCRIPT
Kamis 27 April 2017, 14:18 WIB
Surat Dibacakan, Belum Ada Pembahasan Angket KPK di Paripurna DPR Andhika Prasetia - detikNews
Paripurna DPR / Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta - Surat usulan hak angket kepada KPK yang digulirkan Komisi III DPR
dibacakan Fadli Zon selaku pimpinan sidang paripurna DPR hari ini. Tetapi selama
sidang, tidak ada pembahasan satu pun mengenai angket KPK.
Sidang paripurna ke-22 digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis
(27/4/2017). Saat awal sidang, Fadi sempat membacakan adanya surat masuk ke
pimpinan DPR, termasuk usulan hak angket KPK.
"Ada surat dari alat kelengkapan dewan, dalam hal ini Komisi III DPR pada tanggal 20
April 2017 perihal hak angket dan hasil pembahasan akan dibahas lebih lanjut sesuai
mekanisme yang berlaku," ujar Fadli saat membuka rapat.
idang yang berlangsung sekitar 2,5 jam ini membahas 10 agenda seperti pengesahan
calon anggota dewan pengawas BPKH, calon anggota BPH Migas, calon anggota
dewan pengawas LPP TVRI, permohonan perpanjangan pembahasan 8 RUU. Selain
itu juga penetapan susunan anggota Pansus RUU Pertembakauan dan RUU Sistem
Nasional Pengetahuan dan Teknologi.
Tiga agenda terakhir dalam sidang adalah pengesahan 3 RUU. Ketiganya adalah RUU
pengesahan persetujuan pemerintah RI-Filipina tentang ZEE 2014, RUU tentang
Sistem Perbukuan, dan RUU tentang Pemajuan Kebudayaan.
Usai pengesahan 3 RUU, sidang langsung ditutup oleh Fadli. Tidak ada pembahasan
soal angket KPK sama sekali.
Tidak dibahasnya angket KPK dalam sidang paripurna sebenarnya sudah disampaikan
Wakil Ketua DPR Agus Hermanto sebelum sidang. Dia mengatakan, ada kemungkinan
usulan angket kepada KPK akan dibacakan saat paripurna penutupan esok hari (28/4).
"Apabila surat sudah masuk, setelah paripurna kita akan Bamus dan akan diagendakan
paripurna besok Jumat," ucap Agus.
(dkp/imk)
Kamis 27 April 2017, 12:30 WIB
PKB Tolak Hak Angket KPK yang Digulirkan DPR Elza Astari Retaduari - detikNews
Wasekjen PKB Daniel Johan. (Foto: Rengga Sancaya/detikcom).
Jakarta - PKB menjadi fraksi pertama yang tegas menolak hak angket terhadap KPK.
Fraksi PKB pun memerintahkan seluruh anggota fraksi mereka di DPR untuk tidak
menandatangani hak angket yang digulirkan karena KPK menolak permintaan Komisi III
DPR untuk membuka rekaman BAP Miryam S Haryani terkait kasus e-KTP.
"PKB sepenuhnya menolak usulan hak angket KPK ini dan memerintahkan kepada
seluruh anggota F-PKB untuk menolak," ungkap Wasekjen PKB Daniel Johan kepada
detikcom, Kamis (27/4/2017).
PKB menilai, langkah sejumlah anggota dewan yang meminta KPK membuka rekaman
BAP sebelum pengadilan tidak termasuk dalam koridor DPR. Daniel meminta kepada
para koleganya di parlemen untuk menyerahkan proses hukum e-KTP ke pengadilan.
"Biarkan sistem pengadilan berjalan dan tugas kawan-kawan DPR mengawal penuh
proses pengadilan berjalan sebagaimana mestinya," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR
itu.
Apabila pada akhirnya hak angket terbentuk, Daniel menilai KPK bisa menolaknya
karena informasi dalam penyelidikan dan penyidikan adalah informasi yang
dikecualikan untuk dibuka kepada publik. Itu diatur dalam UU Keterbukaan Publik Pasal
2 ayat 4 yang mengatur mengenai informasi bersifat rahasia.
"Yang bisa membuka itu hanya pengadilan yang sekarang sedang menyidangkan
perkara e-KTP. PKB menyarankan perkembangan penyelesaian kasus ini bisa
diselesaikan di internal Komisi III saja," ujarnya.
PKB pun memastikan akan terus mendukung langkah KPK dalam menyelesaikan
kasus-kasus korupsi besar. Khususnya kasus-kasus yang menyita perhatian publik.
"Terutama kasus e-KTP. Dan kami berharap segera diungkap kebenaran dalam proses
persidangan yang sudah berjalan," tegas Daniel.
Seperti diketahui, pengajuan hak angket oleh DPR bergulir dikarenakan pernyataan
KPK yang tetap menolak membuka rekaman BAP Miryam. Ada dua kasus berbeda
yang melibatkan Miryam, yang pertama sebagai saksi untuk kasus dengan tersangka
Irman Gusman dan Sugiharto, yang kedua kasus yang menjerat Miryam sebagai
tersangka memberi keterangan palsu.
BAP Miryam untuk kasus kedua yang diminta DPR untuk dibuka. KPK menolak
rekaman pemeriksaan tersebut dibuka karena kasus masih belum sampai di
pengadilan. Di pengadilan, Miryam juga menyebut sejumlah nama anggota Komisi III
yang menurutnya menekan dia terkait kasus korupsi e-KTP.
Hak angket ini disuarakan dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III dan KPK
pada Rabu (19/4) dini hari. Saat itu Komisi III mendesak KPK membuka rekaman
pemeriksaan Miryam namun KPK bergeming.
Adapun fraksi yang menyatakan setuju digulirkan hak angket di antaranya Golkar,
Gerindra, Demokrat, PDIP, NasDem, dan PPP. Fraksi lain seperti Hanura, PAN, dan
PKS masih akan berkonsultasi ke pimpinan Fraksi. Sedangkan PKB absen saat rapat
sehingga belum ada sikap resmi. Namun kini PKB sudah menyatakan sikapnya.
Usulan hak angket sudah dibacakan di rapat paripurna DPR hari ini oleh Wakil Ketua
DPR Fadli Zon yang memimpin rapat. Padahal sebelumnya Wakil Ketua DPR Agus
Hermanto menyebut surat usulan dari Komisi III belum masuk ke meja pimpinan.
"Ada surat dari alat kelengkapan dewan, dalam hal ini Komisi III DPR pada tanggal 20
April 2017 perihal hak angket dan hasil pembahasan akan dibahas lebih lanjut sesuai
mekanisme yang berlaku," tutur Fadli saat paripurna di gedung DPR, Senayan, Jakarta
Pusat, Kamis (27/4/2017).
(elz/imk)
Kamis 27 April 2017, 11:12 WIB
Fadli Zon Bacakan Surat Komisi III soal Angket KPK di Paripurna DPR Andhika Prasetia - detikNews
Rapat Paripurna DPR pada Kamis (27/4) Foto: Gibran Maulana Ibrahim/detikcom
Jakarta - Wakil Ketua DPR Fadli Zon membacakan surat Komisi III DPR terkait dengan
pengajuan hak angket terhadap KPK saat rapat paripurna. Sebelumnya, pimpinan DPR
lainnya, yaitu Agus Hermanto, menyebut surat itu belum diterima.
"Ada surat dari alat kelengkapan Dewan, dalam hal ini Komisi III DPR, pada tanggal 20
April 2017 perihal hak angket dan hasil pembahasan akan dibahas lebih lanjut sesuai
mekanisme yang berlaku," ujar Fadli saat rapat paripurna di gedung DPR, Senayan,
Jakarta Pusat, Kamis (27/4/2017).
Surat lainnya yang disampaikan Fadli adalah surat dari DPD. Surat tersebut masuk
pada 31 Maret 2017.
"Surat dari DPD tanggal 31 Maret perihal hasil pengawasan DPD RI," kata Fadli.
Wacana hak angket itu muncul saat Komisi III menggelar rapat kerja dengan KPK. Saat
itu, anggota Komisi III meminta KPK membuka BAP politikus Hanura, Miryam Haryani,
saat diperiksa terkait dengan kasus e-KTP, tapi KPK menolak.
Mengenai surat ini, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto pagi tadi mengatakan pimpinan
DPR belum menerima surat masuk dari Komisi III soal hak angket KPK. Hal tersebut
disampaikan sebelum rapat paripurna digelar.
"Saat ini angket KPK kemarin belum masuk sehingga kemungkinan nanti setelah
paripurna kita akan Bamus apabila usulan sudah ada. Sampai kemarin, saya belum
dapat laporan sudah masuk," ujar Agus.
(dkp/imk)
Jumat 28 April 2017, 15:26 WIB
Ini Sederet Alasan DPR Gulirkan Hak Angket KPK Gibran Maulana Ibrahim - detikNews
Paripurna hak angket di DPR/Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta - Lewat ketok palu Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, paripurna akhirnya
menyetujui hak angket terhadap KPK. Paripurna ini diwarnai walk out saat hak angket
disetujui.
Beragam alasan yang jadi dasar usulan hak angket dari Komisi III DPR. Berawal dari
alasan penolakan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, hak angket
juga diajukan karena ingin menyelidiki kinerja KPK hingga urusan anggaran belanja.
Wakil pengusul hak angket KPK, Taufiqulhadi membeberkan laporan hasil pemeriksaan
(LHP) kepatuhan KPK tahun 2015 mengenai tata kelola anggaran. Dalam LHP KPK
tahun 2015, ada 7 indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
"Satu, kelebihan pembayaran gaji pegawai KPK yang belum diselesaikan atas
pelaksanaan tugas belajar. Dua, belanja barang pada direktorat monitor kedeputian
informasi dan data yang tak dilengkapi dengan pertanggungjawaban yang memadai
dan tak sesuai mata anggarannya. Tiga, pembayaran belanja perjalanan dinas, belanja
sewa, belanja jasa profesi pada biro hukum," ujar Taufiqulhadi dalam sidang paripurna
di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Keempat, kegiatan perjalanan dinas kedeputian penindakan yang tak didukung surat
perintah. Kelima, standar biaya pembayaran atas, honorarium kedeputian penindakan.
"Enam, realisasi belanja perjalanan dinas biasa tak sesuai dengan ketentuan minimal.
Ketujuh, perencanaan gedung KPK tak cermat sehingga mengakibatkan kelebihan
pembayaran," imbuh anggota Fraksi NasDem.
Selain terkait tata kelola anggaran, Komisi III juga mendapatkan masukan serta
informasi terkait tata kelola dokumentasi dalam proses hukum penindakan dugaan
korupsi. Seperti terjadi pembocoran dokumen dalam proses hukum tersebut seperti
BAP, sprindik dan surat cekal.
"Terdapat dugaan ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian dalam penyampaian
keterangan dalam proses hukum maupun komunikasi publik, termasuk dugaan
pembocoran informasi ke media tertentu sehingga beredar nama yang kebenarannya
belum dikonfirmasikan ke yang bersangkutan," jelas Taufiq.
Komisi III juga mendapat informasi ada perpecahan internal di tubuh KPK. "Elemen
masyarakat juga menyampaikan ada ketidakharmonisan bahkan sikap insubkoordinasi
dari kalangan internal dengan pimpinannya komisioner KPK," terangnya.
Menurut Taufiq, hal tersebut sebelumnya sudah disampaikan pada rapat dengar
pendapat antara Komisi III dengan KPK. Waktu itu wacana pengguliran angket berawal
dari keengganan KPK membuka rekaman BAP Miryam S Haryani yang diminta Komisi
III.
"Hal di atas terkemuka di RDP dengan KPK pada 17-18 April. Secara khusus dalam
rapat itu disoroti pencabutan BAP oleh saudari Miryam Haryani karena dugaan
mendapat tekanan dari enam anggota komisi III DPR. Hal ini disampaikan pada
persidangan Tipikor 30 Maret yang menghadirkan 3 orang penyidik KPK," sebut dia.
Adapun dasar hukum pengguliran angket sebagaimana disampaikan Taufiq, yaitu:
1. Pasal 20 ayat 1 dan 2 UUD 45
2. Pasal 79 ayat 1 huruf b jo pasal 79 ayat 3 UUD 17 tahun 2014 tentang MD3
4. Pasal 199 sampai 2009 UUD nomor 17 tahun 2014 tentang UU nomor 17 tahun 2014
tentang UU MD3
5. Pasal 164 ayat 1 huruf b jo pasal 164 ayat 3 peraturan DPR 1 tentang Tatib.
6. Pasal 169-177 peraturan DPR 1 tentang Tatib
7. Pasal 5 UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK
8. Pasal 15 UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK
9. Pasal 20 ayat 2 huruf c UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Adapun pokok materi angket menurut Taufiq adalah DPR berkewajiban menjaga
keberadaan KPK agar tak hanya kuat dalam melaksanakan tupoksinya namun juga
KPK cermat dan memperhatikan seluruh ketentuan hukum maupun HAM dan
menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang benar dalam tata kelola
termasuk terkait penggunaan anggaran.
Usul angket ini telah diketok oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meski mendapat
penolakan lisan lewat interupsi anggota dari Fraksi Gerindra, PKB dan Demokrat. Usai
usul disetujui, fraksi-fraksi akan diminta mengirim perwakilan untuk pansus angket
KPK.
(gbr/fdn)
jumat 28 April 2017, 11:23 WIB
Komisi III Bacakan Usulan Hak Angket terhadap
KPK Gibran Maulana Ibrahim - detikNews
Foto: Andhika Prasetia/detikcom
Jakarta - Dalam rapat paripurna DPR, Komisi III membacakan usulan hak angket untuk
KPK. Hak angket digulirkan karena KPK menolak membuka rekaman pemeriksaan
Miryam S Haryani dalam kasus korupsi e-KTP.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja KPK telah mendapatkan penilaian yang baik dari
masyarakat. Namun demikian, hal ini tidaklah berarti bahwa prinsip transparansi dan
akuntabilitas tidak perlu lagi menjadi perhatian ataupun pengawasan tidak perlu lagi
dilakukan dalam berbagai bentuknya," ungkap perwakilan Komisi III M Taufiqulhadi
dalam sidang paripurna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Taufiq pun menyampaikan adanya ketidakpatuhan KPK dalam segi anggaran. Ada 7
hal yang menurut Komisi III menjadi pelanggaran.
"Selain yang terkait dengan tata kelola anggaran, Komisi III DPR RI yang melakukan
pengawasan terhadap KPK juga mendapatkan masukan serta informasi yang terkait
dengan tata kelola dokumentasi dalam proses hukum penindakan dugaan kasus
korupsi, yakni terjadinya pembocoran dokumen dalam proses hukum," ujarnya.
"Seperti berita acara pemeriksaan (BAP), surat perintah penyidikan (sprindik), dan surat
cegah-tangkal (cekal) seperti yang juga dimuat dalam berbagai media. Selanjutnya juga
terdapat dugaan ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian dalam penyampaian
keterangan dalam proses hukum maupun komunikasi publik," sambungnya.
Taufiqul mengatakan hal-hal tersebut mengemuka dalam rapat dengar pendapat yang
sifatnya terbuka dengan KPK pada 17-18 April 2017. Secara khusus, dalam rapat
tersebut disoroti persoalan pencabutan BAP oleh Miryam S Haryani dalam persidangan
kasus e-KTP karena dugaan mendapat tekanan dari enam anggota Komisi III DPR.
"Hal ini disampaikan pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat tanggal 30
Maret 2017 yang menghadirkan tiga orang penyidik KPK. Hal ini tentu kemudian
menjadi polemik di masyarakat dan menempatkan DPR RI dalam sorotan sebagai
lembaga yang tidak pro terhadap program pemberantasan korupsi," bebernya.
"Berdasarkan hal-hal terurai di atas, maka dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR
RI dengan KPK disepakati secara internal untuk mengusulkan hak angket dalam rangka
mendalami permasalahan-permasalahan tersebut di atas," imbuh Taufiqul.
(elz/bag)
Sabtu 29 April 2017, 12:18 WIB
Panas Hak Angket KPK, Babak Baru Perseteruan Fahri Hamzah-PKS Elza Astari Retaduari - detikNews
Ilustrasi (Basith Subastian/detikcom)
Jakarta - Disetujuinya hak angket KPK oleh DPR memiliki berbagai cerita di baliknya.
Seperti babak baru Fahri Hamzah versus PKS yang kembali mengemuka.
Perseteruan antara PKS dan Fahri Hamzah bermula saat partai pimpinan Sohibul Iman
itu memecat Fahri dari seluruh keanggotaan partai pada April tahun lalu. Fahri dituduh
telah melanggar disiplin organisasi dan tak patuh terhadap kebijakan partai.
PKS pun bermaksud mengganti Fahri di parlemen dari kursi pimpinan DPR, namun
hingga saat ini masih terganjal dan anggota Dewan dari dapil NTB itu kini masih
menjadi Wakil Ketua DPR. Hal tersebut terjadi lantaran Fahri mengajukan perlawanan.
Dia membawa kasusnya ke pengadilan dan menang sehingga dinyatakan masih
menjadi kader PKS. Tak patah semangat, PKS membawa kasus itu ke tingkat banding
dan hingga saat ini keputusannya belum keluar. Akibatnya, PKS belum berhasil
menjegal Fahri dari kursi pimpinan DPR.
Meski dianggap masih menjadi kader PKS, hubungan Fahri dengan fraksinya tidak
tampak harmonis. Dalam beberapa kali kesempatan, mereka kerap bertentangan dalam
berbagai isu.
Terbaru, pilihan Fahri berbeda dengan PKS dalam usulan hak angket KPK yang baru
saja diketok kemarin, Jumat (28/4/2017). Fahri menjadi salah satu inisiator hak angket
yang diusulkan Komisi III karena KPK menolak membuka rekaman pemeriksaan
Miryam S Haryani, sedangkan PKS menolak usulan itu.
"Tadi Demokrat dengan PKS (yang menolak usulan), tapi PKS saya nekat. Fraksi
independen," kata Fahri seusai rapat badan musyawarah di DPR, Kamis (27/4).
"Saya PKS juga, saya neken. Saya nggak tahu, tapi saya teken," ujarnya setelah
usulan hak angket diketok di paripurna.
Padahal sejak awal, PKS sudah menyatakan menolak inisiasi tersebut. Ketua Fraksi
PKS Jazuli Juwaini menyatakan hak angket dapat berdampak langsung terhadap upaya
penegakan hukum oleh KPK.
"Sesuai kajian fraksi dan arahan DPP, Fraksi PKS memutuskan tidak ikut
menandatangani hak angket agar tidak terkesan mengganggu KPK dalam menegakkan
hukum (pemberantasan korupsi)," ujar Jazuli sebelum rapat paripurna dimulai melalui
keterangannya, Jumat (28/4).
Meski begitu, PKS tidak bisa menyampaikan aspirasinya secara resmi dalam sidang
paripurna karena tidak mendapat kesempatan. Sebab, Fahri Hamzah, yang memimpin
sidang, mengetok persetujuan secara sepihak.
Padahal saat sidang, baru beberapa fraksi yang menyampaikan pendapat. Fraksi PKS
menjadi salah satu fraksi yang belum mendapat giliran bicara. Bahkan Fahri tidak
menggubris protes-protes anggota DPR dan secara sepihak melakukan persetujuan.
Sikap Fahri membuat sejumlah anggota DPR berang. Fraksi Gerindra, yang juga
menolak, akhirnya walk out dari ruang sidang.
"Bukan tidak menyampaikan, tapi belum sempat sudah diketok," kata Jazuli seusai
sidang.
PKS pun tampaknya meradang karena ulah Fahri membuat kesan PKS seakan
menyetujui usulan hak angket itu. Jazuli pun melontarkan kritik pedas kepada kolega
yang hingga kini masih satu fraksi dengannya itu.
"Saya berharap pimpinan sidang bersikap arif dan bijaksana, harus mendengar suara
peserta rapat secara tuntas, minimal pendapat perwakilan semua fraksi-fraksi secara
lengkap dan utuh sebelum pengambilan keputusan," tutur Jazuli, Jumat (28/4) malam.
"Kalau mau mengambil keputusan tanpa mendengar suara peserta rapat, lebih baik
putuskan saja sendiri di ruangan sendiri, tidak usah pakai rapat," tuturnya.
Jazuli juga memastikan sikap Fahri bukanlah representasi dari fraksi maupun partai. Ini
termasuk dari penekenan usulan hak angket hingga sikap arogan Fahri saat memimpin
sidang paripurna.
"Yang pasti sikap Fahri Hamzah terkait angket tidak merepresentasikan sikap-sikap
DPP dan F-PKS!" kata anggota Komisi I DPR tersebut.
Menurut Jazuli, Fahri tak bisa menyebut tindakannya sebagai cerminan kelakuan PKS.
Fahri harus menyelesaikan konfliknya dulu dengan PKS.
"Semua orang tahu Saudara FH sedang bermasalah dengan DPP PKS," ujar Jazuli.
(elz/fdn)
Jumat 28 April 2017, 17:44 WIB
Fahri Hamzah Yakin Hak Angket Dapat Tambahan
Dukungan Hary Lukita Wardani – detikNews
Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berharap hak angket terhadap KPK dapat dilihat dari sisi positif. Fahri juga meyakini dukungan untuk hak angket akan bertambah meski terjadi penolakan secara lisan dalam paripurna persetujuan di DPR. "Saya berharap kita memandang hak angket ini menjadi hal yang positif karena apa pun ini kan hak bertanya. Ini untuk mengungkapkan dalam rapat komisi yang berlangsung maraton 2-3 hari," ujar Fahri kepada wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4/2017). Menurut Fahri, usulan hak angket ditandatangani lebih dari 20 anggota DPR. Dia yakin dukungan akan terus bertambah.
"Saya kurang tahu tambahan barunya, tapi saya kira 25 atau 26 sudah
menandatangani. Tapi, dengan melebarnya ke semua anggota di luar
Komisi III, saya rasa ini akan bertambah banyak," tutur Fahri.
Fahri mengatakan ada beberapa lembar formulir usulan hak angket.
Usulan tersebut sudah masuk ke Setjen DPR.
"Sekretariat jenderal mungkin, sekarang masih mengumpulkan
penandatangan-penandatangan yang datang dari komisi-komisi lain selain
Komisi III dan fraksi lainnya," kata Fahri.
Hak angket, ditegaskan Fahri, penting untuk menyelidiki kinerja KPK. Dia
menyebut banyak orang yang bertanya soal kinerja KPK.
"Kan kita sudah pengalaman hak angket, ini sebenarnya digunakan untuk
menyelidiki apa yang sebenarnya pertanyaan banyak orang. Ini hak yang
diperlukan oleh masyarakat untuk kita. Saya sendiri banyak pertanyaan
jujur tentang KPK dan saya akan titipkan pertanyaan saya terhadap
angket. Supaya ditanyakan kenapa ini begini dan lainnya," ucapnya.
Namun hak angket, kata Fahri, tidak mengikat. Terkecuali dalam hak
angket ditemukan fakta dan kebenaran.
"Jadi yang mengikat itu sebenarnya adalah penggunaan hak Dewan
lainnya. Kalau angket hanya menemukan fakta dan kebenaran. Itu saja
saya kira yang terjadi jadi toh pada akhirnya prosesnya kecuali kalau
presiden dan wapres. Kalau kepada presiden, wapres, kan ada proses
berlanjut berakhir di MK. Tapi kalau bukan lembaga kepresidenan, tidak
ada proses trial impeachment di MK," ujarnya.
"Ini prosesnya adalah rekomendasi pada pihak, misal ke presiden
rekomendasikan kepada KPK sendiri, juga kepada komite etiknya atau
penegak hukum, itu bisa. Berdasarkan temuan saja, artinya tidak ada yang
bersalah. Rekomendasi ini diperlukan untuk langkah pemberantasan
korupsi ke depannya," ujar Fahri.
(lkw/fdn)
Sabtu 29 April 2017, 09:22 WIB
Hak Angket KPK, DPR Dikritik Tak Tahu UU MD3 Andhika Prasetia – detikNews
Jakarta - Sidang paripurna DPR memutuskan untuk mengesahkan hak
angket KPK. Keputusan tersebut dinilai tidak sejalan dengan UU Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Mengapa?
Pakar hukum tata negara, Prof Mahfud MD mengkritik DPR tidak
mengetahui soal aturan main mengajukan angket. Hal tersebut dinilai
bertentangan dengan Pasal 79 ayat (3) UU MD3. KPK, menurut Mahfud,
bukan merupakan lembaga pemerintahan atau eksekutif.
"Pemerintah punya arti luas (mencakup semua lembaga negara) dan arti
sempit (hanya eksekutif). Dalam UUD kita, pemerintah hanya eksekutif.
Menurut penjelasan pasal 79 ayat (3) UU MD3, yang bisa diangket oleh
DPR adalah pemerintah dan lembaga pemerintah non-kementerian, KPK
bukan pemerintah," cetus Mahfud MD saat dikonfirmasi, Sabtu (29/4/2017).
Pasal 79 ayat (3) UU MD3 berbunyi:
Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR
untuk melakukan penyelidikanterhadap pelaksanaan suatu undang-undang
dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting,
strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
Mahfud MD meminta KPK tidak perlu menggubris soal angket yang
diajukan DPR. Soal hasil penyelidikan dan penyidikan, KPK dipersilakan
membuka semuanya di pemngadilan.
"KPK terus jalan saja sesuai dengan hak yang juga dijamin oleh UU untuk
tidak membuka hasil penyelidikan dan proses penyidikan, kecuali di
pengadilan. Angket DPR biarkan saja jalan terus, tapi KPK juga bisa
berjalan lebih kencang. Angket DPR tak harus dirisaukan, itu urusan
remeh. Ayo KPK! Silakan saja DPR menyelidiki KPK dengan hak angket,"
tutupnya.
(dkp/dkp)
Jumat 28 April 2017, 12:00 WIB
Hak Angket KPK Diketok Fahri Hamzah, Gerindra: Gegabah! Gibran Maulana Ibrahim – detikNews
Jakarta - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, yang memimpin sidang
paripurna DPR, tiba-tiba mengetok palu untuk menyetujui hak angket
terhadap KPK. Fraksi Partai Gerindra, yang menolak hak angket itu, pun
memilih keluar dari ruang sidang alias walk out (WO).
"Sebaiknya ini diskors untuk dilobi seperti yang sudah-sudah. Ini tidak,
langsung ambil keputusan. Kalau caranya begitu, kita tidak bisa terima.
Kita mendingan WO," kata Ketua Fraksi Gerindra Ahmad Muzani di gedung
DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Muzani belum bisa memastikan apakah jika ada forum lobi fraksinya akan
setuju dengan hak angket tersebut. Fraksi Gerindra terlebih dahulu
meminta penjelasan dari pengusul.
"Nggak ada lobi, yang ada dalam Bamus kemarin. Kalau bisa (keputusan)
jangan sekarang. Ada baiknya reses, jadi sarana mengambil pertanyaan
konstituen perlu atau tidak," tutur Muzani.
Sekjen Partai Gerindra itu juga belum bisa memastikan apakah partainya
bakal melakukan perlawanan. Namun dia menegaskan akan berupaya
menggagalkan angket tersebut.
"Menurut saya, tindakan pimpinan buru-buru dan gegabah terhadap
aspirasi," ucap Muzani.
Jumat 28 April 2017, 11:57 WIB
Abaikan Interupsi, Fahri: Mayoritas Setuju Hak Angket, Palu
Diketok Gibran Maulana Ibrahim, Hary Lukita Wardani - detikNews
Jakarta - Hak angket terhadap KPK diputuskan disetujui dalam paripurna
DPR. Meski ada anggota dewan yang berusaha interupsi, pimpinan
paripurna Fahri Hamzah langsung mengetok palu tanda persetujuan hak
angket.
Fahri menegaskan ketok palu dilakukan karena mayoritas fraksi menyetujui
hak angket terhadap KPK yang digulirkan karena kasus Miryam S Haryani.
Dalam paripurna, ada 3 fraksi yang menyampaikan penolakan hak angket
yakni Gerindra, Demokrat dan Fraksi PKB.
"Mayoritas setuju ya palu diketok. Yang disepakati tadi setuju pembentukan
angket," ujar Fahri kepada wartawan di gedung DPR, Senayan, Jakarta,
Jumat (28/4/2017).
Fahri menyebut hak angket berasal dari Komisi III yang usulannya masuk
ke Badan Musyawarah (Bamus) untuk dibahas dalam rapat paripurna
hingga akhirnya disetujui. Setelah hak angket disetujui, Bamus akan
membentuk Pansus.
"Kalau fraksi tak memasukkan anggotanya untuk pembentukan pansus
maka tidak ada meskipun DPR setuju menggunakan hak penyelidikan.
Kalau surat fraksi tak menyetujui angketnya tak ada, kan begitu prosesnya.
Kita tunggu saja," ujar Fahri.
Di rapat paripurna DPR, Komisi III membacakan usulan hak angket untuk
KPK. Hak angket digulirkan karena KPK menolak membuka rekaman
pemeriksaan Miryam S Haryani dalam kasus korupsi e-KTP.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja KPK telah mendapatkan penilaian
yang baik dari masyarakat. Namun demikian, hal ini tidaklah berarti bahwa
prinsip transparansi dan akuntabilitas tidak perlu lagi menjadi perhatian
ataupun pengawasan tidak perlu lagi dilakukan dalam berbagai
bentuknya," ungkap perwakilan Komisi III M Taufiqulhadi di sidang
paripurna.
Taufiq pun menyampaikan adanya ketidakpatuhan KPK dalam segi
anggaran. Ada 7 yang menurut Komisi III pelanggaran itu.
"Seperti Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Surat Perintah Penyidikan
(Sprindik) dan Surat Cegah-Tangkal (Cekal) seperti yang juga dimuat
dalam berbagai media. Selanjutnya juga terdapat dugaan ketidakcermatan
dan ketidakhati-hatian dalam penyampaian keterangan dalam proses
hukum maupun komunikasi publik," ujarnya.
Kamis 27 April 2017, 18:49 WIB
Dukung Angket KPK, Hanura Ingin Tahu Penekan Miryam Andhika Prasetia - detikNews
Jakarta - Fraksi Hanura di DPR menyatakan mendukung hak
angket KPK yang digulirkan Komisi III. Namun Fraksi Hanura
menegaskan tidak akan melindungi anggotanya, Miryam S
Haryani, jika terbukti bersalah.
"Jadi, insyaallah, dalam hak angket Hanura tidak akan melebar
ke mana-mana, apalagi melindungi yang bersalah, atau misalnya
bertujuan memukul balik KPK. Sama sekali bukan itu," kata
Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana melalui pesan
singkat, Kamis (27/4/2017).
Hak angket yang didukung Fraksi Hanura untuk mendesak KPK
membuka rekaman BAP Miryam. Fraksi Hanura juga ingin
mengetahui apakah Miryam ditekan beberapa anggota DPR.
"Hanura mendukung hak angket, tetapi hanya diarahkan pada
objektivitas penyidikan sehubungan dengan ada isu panas yang
dilempar bahwa ada penekanan terhadap saksi MH oleh
beberapa oknum anggota DPR," ujar Dadang.
"Kita ingin dalami itu, apakah benar ada itu penekanan?
kepentingannya apa? Kan mesti clear," sambung anggota Komisi
X DPR ini.
Jika terbukti tidak ada tekanan kepada Miryam, Dadang
mengatakan ada keterangan palsu yang disampaikan penyidik
KPK.
"Kalau ternyata tidak ada penekanan, berarti kan ada
pemutarbalikan fakta oleh salah seorang penyidik KPK. Kita akan
dalami pula kenapa mesti ada pemutarbalikan fakta seperti itu,
apa kepentingannya? Hukum kan butuh kepastian. Jangan
sampai yang tidak melakukan apa pun menjadi buruk namanya,"
ucap Dadang.
Mengenai usulan angket ini, DPR sepakat untuk membahasnya
dalam sidang paripurna besok (28/4). Wakil Ketua DPR Fahri
Hamzah mengatakan sudah ada delapan fraksi, kecuali PKS dan
Demokrat, yang belum meneken hak angket KPK.
"Dari komisi III DPR adalah lanjutan permohonan angket yang
ditandatangani 25 pengusul dari delapan fraksi. Besok
dipersilakan pengusul untuk dibacakan," ujar Fahri di gedung
DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/4).
(dkp/imk)
Kamis 27 April 2017, 21:55 WIB
Hak Angket Dibahas Besok, KPK: Kami Tetap Fokus Tangani
Perkara Dewi Irmasari - detikNews
Jakarta - DPR menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) sebelum
sidang paripurna penutupan besok. Hasil rapat memutuskan, usulan hak
angket dari Komisi III akan dibahas di rapat besok sebelum penutupan
masa sidang DPR. KPK menanggapi dingin soal usulan tersebut.
"KPK tentu tetap akan berfokus pada penangan perkara. Apakah perkara
indikasi korupsi dalam pengadaan KTP elektronik yang kita tangani saat ini
ataupun kasus yang terkait dengan pengadaan e-KTP tersebut, yaitu
pemberian keterangan palsu yang disampaikan di persidangan kasus e-
KTP. Kita tetap akan menangani perkara ini di jalur hukum," ujar Kabiro
Humas KPK Febri Diansyah di kantornya, Jalan Kuningan Persada,
Jakarta Selatan, Kamis (27/4/2017).
KPK juga berharap semua pihak ikut mengawal proses hukum dalam
penangan kasus ini. Bila ada pihak yang keberatan, KPK mengusulkan
untuk menggunakan jalur hukum.
"Jika memang ada hal-hal yang ingin disampaikan atau keberatan terhadap
proses hukum, baiknya menggunakan jalur hukum," kata Febri.
Febri menyatakan secara institusional, KPK cukup percaya, parpol-parpol
dan fraksi-fraksi akan mempertimbangkan proses hukum terkait kasus KTP
elektronik ini dengan serius. KPK juga berharap DPR mendukung upaya
pemberantasan korupsi.
"Kami cukup percaya, secara institusional parpol-parpol dan fraksi-fraksi
akan mempertimbangkan secara serius terkait dengan proses hukum yang
sedang berjalan saat ini," tuturnya.
"Secara institusional, tentu sepatutnya upaya pemberantasan korupsi kita
dukung bersama-sama dan penuntasan kasus e-KTP jadi bagian dari itu,"
imbuhnya.
Fraksi PKB Tolak Hak Angket KPK Kamis, 27 April 2017 15:02 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PKB menolak usulan hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wasekjen PKB Daniel Johan memerintahkan kepada seluruh anggota fraksi untuk menolak. "Menurut PKB langkah beberapa anggota DPR yang mengajukan angket rekaman KPK tersebut tidak dalam koridor tugas DPR," kata Daniel melalui pesan singkat, Kamis (27/4/2017). Daniel mengatakan PKB menyerahkan sepenuhnya kepada sistem pengadilan berjalan. Sedangkan DPR dapat mengawal proses di pengadilan tersebut. Bila hak angket terbentuk, kata Daniel, KPK dapat menolak hal tersebut karena UU Keterbukaan Informasi mengatur informasi dalam penyelidikan dan penyidikan adalah informasi yang dikecualikan untuk dibuka kepada publik "Seperti yang termaktub dalam Asas UU KIP Pasal. 2 ayat (4) UU no 14/2008 tentang pengecualian informasi public yang bersifat rahasia berdasarkan UU," kata Daniel. Daniel menuturkan pihak yang berwenang membuka rekaman hanya pengadilan yang sekarang sedang menyidangkan perkara e-KTP. "PKB menyarankan perkembangan penyelesaian kasus ini bisa diselesaikan di internal Komisi III saja," kata Wakil Ketua Komisi IV DPR itu. Daniel menegaskan PKB mendukung langkah KPK dalam menyelesaikan beberapa kasus besar yang menjadi perhatian publik, terutama kasus e-KTP. "Dan kami berharap segera diungkap kebenaran dalam proses persidangan yang sudah berjalan," kata Daniel. Penulis: Ferdinand Waskita Editor: Johnson Simanjuntak
Tandatangani Hak Angket KPK, Politikus NasDem Ini Tak Khawatir Dibully
Kamis, 27 April 2017 18:46 WIB Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR dari Partai NasDem Taufiqulhadi mengakui telah menandatangani usulan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Taufiqulhadi mengaku tidak masalah bila dibully orang yang tidak suka usulan hak angket tersebut. "Tidak masalah, enggak apa-apa. Silahkan kalau mau bully, persoalan mereka yang membully, kalau orang membully orang lain, Allah tidak ridho dan orang akan masuk neraka," kata Taufiqulhadi di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (27/4/2017). Taufiqulhadi menilai hak angket KPK bila tidak disetujui maka musibah bagi rakyat Indonesia. Sebab, KPK akhirnya tidak dapat diawasi. "Tidak ada chek and balances di lembaga tersebut. Ketika dilakukan fungsi pengawasan dari DPR yang ditolak ramai akan musibah, karena KPK tidak terkontrol," kata Taufiqulhadi. Taufiqulhadi mengaku tidak mengetahui jumlah pengusul hak angket. Ia juga tidak melakukan lobi-lobi terhadap anggota Komisi III DPR lainnya untuk menandatangani hak angket. Taufiqulhadi tak khawatir atas anggapan publik. "Terpenting saya tidak korupsi, ya kan kita bertindak diatas nurani kita, semua kasus yang sedang ditangani KPK, saya justru mengatakan berjalan terus, kalau dihubungkan itu salah," kata Taufiqulhadi. Ia juga membantah usulan hak angket merupakan pelemahan terhadap KPK. Taufiqulhadi mengatakan Komisi III dianggap melemahkan bila memotong anggaran KPK. Padahal, Komisi III DPR tidak melakukan hal iu. "Komisi III tidak mau menandatangani anggarannya, sudah selesai, itu misal kita kurangi, misal per kasus Rp 400 juta kita bilang Rp 40 juta, baru itu melemahkan," kata Taufiqulhadi. Penulis: Ferdinand Waskita Editor: Adi Suhendi
Dianggap Lemahkan KPK, Demokrat Tolak Hak Angket Kamis, 27 April 2017 18:42 WIB
Tribunnews.com/ Adiatmaputra Fajar Pratama
Wakil Ketua Fraksi partai Demokrat Benny K Harman (dua dari kiri) di ruang fraksi Demokrat, Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Adiatmaputra Fajar Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi partai Demokrat menegaskan menolak hak angket Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Alasannya hal itu bisa melemahkan KPK sebagai institusi negara penegak hukum.
"Hak angket bisa mengarah pada pelemahan KPK dalam upaya penegakan hukum pemberantasan
korupsi," ujar Wakil Ketua Fraksi partai Demokrat Benny K Harman di ruang fraksi Demokrat, Gedung
DPR RI, Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Menurut dia, hak angket KPK tidak tepat digulirkan saat ini.
Apalagi KPK saat ini sedang sibuk menangani banyak kasus dengan penyelewengan anggaran besar.
"Fraksi partai Demokrat berpendapat penggunaan hak angket pada saat ini tidak tepat waktu," katanya.
Untuk itu, Demokrat menegaskan pihaknya tidak setuju digulirkannya hak angket KPK.
"Sikap fraksi Partai Demokrat jelas tidak setuju dengan penggunaaan hak angekt tersebut," kata Benny.
Fraksi Partai Demokrat berpandangan klarifikasi terhadap penggunaan kewenangan-kewenangan luar
biasa yang saat ini dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi adalah sebuah kenisycayaan.
"Namun hal tersebut dapat dilakukan dengan cara dan mekanisme yang lain yang dimungkinkan UU
tanpa menganggu iklim pemberantasan korupsi," kata Benny. . Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama Editor: Adi Suhendi
Fraksi PDIP Pahami Dua Anggotanya Ikut Usulkan Hak Angket KPK Kamis, 27 April 2017 17:17 WIB
Tribunnews.com/Ferdinand Waskita
Politikus PDIP Masinton Pasaribu.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi PDI Perjuangan memahami anggotanya yang mengajukan hak
angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bendahara Fraksi PDIP Alex Indra Lukman mengatakan anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu
merasa dicemarkan nama baiknya terkait penyidikan KPK dalam kasus e-KTP.
"Dia menggunakan forum rapat komisi III untuk coba menjernihkan segala persoalan yang ada tetapi
terbentur," kata Alex Indra Lukman di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Karena itu Masinton menggunakan hak konstitusionalnya berupa hak angket untuk mencari kebenaran.
Indra mengakui ada dua anggota Komisi III DPR yang telah melaporkan usulan hak angket.
Kedua anggota tersebut yakni Masinton Pasaribu dan Edi Kusuma Wijaya.
Menurut Indra, keduanya ingin menanyakan lebih dalam mengenai proses penyelidikan dan penyidikan di
KPK.
Indra mengaku tidak mengetahui anggota fraksi yang telah menandatangi usulan hak angket selain
kedua anggota lainnya.
Indra menuturkan hak angket merupakan kewenangan yang dimiliki anggota dewan.
Sedangkan dari PDIP yakni Masinton Pasaribu dan Edi Kusuma Wijaya.
"Itu dengan argumen yang sudah saya sampaikan. Mereka punya argumentasi 'kami mohon izin ingin
ikut menandatangani hak angket' argumentasinya apa? Nih ini," kata Indra. Penulis: Ferdinand Waskita Editor: Adi Suhendi
Rapat Bamus DPR Putuskan Usulan Hak Angket KPK Dibahas Rapat Paripurna Besok
Kamis, 27 April 2017 21:18 WIB
"Tadi dibicarakan terkait bagaimana untuk paripurna besok. Itu bukan hak kita untuk menghalangi kalau
akan dibacakan besok, memang tadi pimpinan mengatakan akan memberikan kesempatan pada
pengusul untuk menyampaikan kepentingan hak angket," kata Waketum PPP Amir Uskara di Gedung
DPR, Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Usulan hak angket akan dibacakan pengusul pada rapat paripurna. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah
terdapat dua opsi mekanisme keputusan yang dapat diambil.
"Langsung tanggapan anggota setuju atau tidak setuju, atau pengambilan keputusannya itu ditunda,"
kata Fahri.
Opsi lain yang muncul dalam rapat Bamus yakni forum lobi. Fahri mengatakan usulan hak angket telah
ditandatangani 25 orang pengusul dari delapan fraksi. Tercatat, Demokrat dan PKS tidak
menandatangani usulan hak angket tersebut.
Selain itu, Fahri mengakui tidak menutup kemungkinan dinamika dalam pengambilan keputusan besok.
Keputusan pun disebut bisa melalui pemungutan suara maupun aklamasi.
"Kemungkinan besar ada interupsi pasti, ada anggota atau fraksi yang akan bertanya biasa, itu
dinamikanya. Tapi kita lihat aja," kata Fahri.
Agenda hak angket, kata Fahri, akan ditentukan ketika panitia khusus terbentuk. Ia mengatakan pansus
hak angket bisa saja fokus menyelidiki persoalan tertentu seperti rekaman keterangan Miryam S. Haryani
atau pembahasannya melebar ke hal lain.
Fahri mengklaim tidak ada fraksi yang menyatakan keberatan dalam usulan hak angket ini."Yang ada
hanya mengusulkan agar cara berkomunikasi yang lebih baik agar publik bahwa publik tahu ini
penggunaan hak biasa dari DPR dan tidak ada yang istimewa," kata Fahri.
Penulis: Ferdinand Waskita Editor: Malvyandie Haryadi
Rapat Paripurna, Fadli Zon Bacakan Surat Komisi III DPR untuk Usulan Hak Angket
Kamis, 27 April 2017 11:31 WIB TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon membacakan surat pengajuan hak
angket dari Komisi III DPR saat rapat paripurna. Fadli Zon memimpin rapat paripurna didampingi Taufik
Kurniawan, Fahri Hamzah dan Agus Hermanto.
Awalnya, Fadli membacakan agenda rapat paripurna pada hari ini. Kemudian, Fadli membacakan empat
surat yang masuk ke meja pimpinan DPR.
"Sidang dewan yang kami hormati kami beritahukan bahwa pimpinan menerima empat buah surat," kata
Fadli di ruang rapat Paripurna DPR, Jakarta, Kamis (27/4/2017).
Dua buat surat berasal dari DPD RI yakni HM.31/267/C/DPD/3/2017 tanggal 31 Maret 2017 perihal
penyampaian rekomendasi DPD RI. Kemudian surat HM.31/267/D/DPD/3/2017 tanggal 31Maret 2017
perihal hasil pengawasan DPD RI.
Lalu, Fadli membacakan surat masuk dari Komisi III DPR perihal permohonan hak angket.
"Dua buah surat dari alat kelengkapan DPR, yaitu surat komisi III DPR dengan nomor
032DW/KOM3/MP4/IV/2017 tanggal 20 April 2017 perihal permohonan hak angket," kata Fadli Zon.
"Surat komisi VI nomor TU/64/Kom6/DPR RI/4/ 2017 tanggal 18 April 2017 perihal hasil pembahasan
RUU Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat," tambah Fadli.
Politikus Gerindra itu menuturkan surat tersebut sesusai peraturan DPR nomor 1/2014 akan dibahas
sesuai mekanisme berlaku. Diketahui, rapat paripurna DPR pada hari ini dihadiri 302 dari 559 anggota
DPR.
.Editor: Sanusi
Alasan Masinton Tandatangani Usulan Hak Angket KPK
Kamis, 27 April 2017 23.16 WIB
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengakui
menandatangani usulan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pengusul hak angket terhadap KPK dari PDIP yakni Masinton dan Edhie Wijaya Kusuma.
Masinton lalu menjelaskan fraksi PDIP telah memanggilnya untuk mengklarifikasi terkait namanya yang
disebut menekan Miryam S Haryani.
Masinton mengaku telah membantah menekan Politikus Hanura.
"Ketika kami rapat Komisi III bersama KPK. Kami juga mendalami banyak hal yang berkaitan Tupoksi
Komisi III. Salah satunya penyebutan nama-nama Komisi III," kata Masinto di Gedung DPR, Jakarta,
Kamis (27/4/2017).
Masinton lalu menyampaikan kepada fraksi untuk menggunakan hak angket.
Fraksi PDIP, memahami hal tersebut.
Masinton menuturkan tujuan hak angket untuk mengklarifikasi proses penyelidikan KPK yang dianggap
tidak benar.
"Memahami dan mendukung langkah saya untuk mengusulkan hak angket dan mengklarifikasi bahwa
proses penyebutan nama saya tidak benar. Itu adalah bentuk penyimpangan yang dilakukan penyidik
KPK karena saya yakin itu tidak ada dan penyidik KPK memberikan kesaksian palsu di persidangan,"
kata Masinton.
Penulis: Ferdinand Waskita Editor: Eko Sutriyanto
Rapat Paripurna DPR, Pengusul Hak Angket Ungkap Ketidakpatuhan KPK Jumat, 28 April 2017 14:01 WIB TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus NasDem Taufiqulhadi menyampaikan alasan penggunaan
hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat rapat paripurna DPR.
Taufiqulhadi ditunjuk sebagai juru bicara pengusul hak angket KPK.
"Tidak perlu lagi dilakukan dalam berbagai bentuknya. Apalagi dalam kaitannya dengan pelaksanaan
tupoksi KPK, DPR (dalam hal ini Komisi III DPR RI) mendapatkan masukan dan informasi tentang tidak
selalu berjalannya pelaksanaan tupoksi KPK tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan tata
kelola kelembagaan yang baik," kata Taufiqulhadi di hadapan peserta rapat paripurna DPR, Jakarta,
Taufiqulhadi mengatakan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan KPK Tahun 2015 mencatat tujuh
indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
1. Kelebihan Pembayaran Gaji Pegawai KPK yang belum diselesaikan atas Pelaksanaan Tugas Belajar.
2. Belanja Barang pada Direktorat Monitor Kedeputian Informasi dan Data yang tidak dilengkapi dengan
Pertanggungjawaban yang Memadai dan Tidak Sesuai Mata Anggarannya.
3. Pembayaran Belanja Perjalanan Dinas, Belanja Sewa dan Belanja Jasa Profesi pada Biro Hukum.
4. Kegiatan Perjalanan Dinas pada Kedeputian Penindakan yang Tidak Didukung dengan Surat Perintah.
5. Standar Biaya Pembayaran atas Honorarium Kedeputian Penindakan.
6. Realisasi Belanja Perjalanan Dinas Biasa tidak sesuai dengan Ketentuan Minimal
7. Perencanaan Gedung KPK tidak cermat sehingga mengakibatkan kelebihan pembayaran.
"Selain yang terkait dengan tata kelola anggaran, Komisi III DPR RI yang melakukan pengawasan
terhadap KPK juga mendapatkan masukan serta informasi yang terkait dengan tata kelola dokumentasi
dalam proses hukum penindakan dugaan kasus korupsi," kata Anggota Komisi III DPR itu.
Contohnya, kata Taufiqulhadi, terjadinya “pembocoran” dokumen dalam proses hukum tersebut seperti:
Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan Surat Cegah-Tangkal (Cekal)
seperti yang juga dimuat dalam berbagai media.
Kemudian, kata Taufiqulhadi, terdapat dugaan ketidakcermatan dan ketidakhati-hatian dalam
penyampaian keterangan dalam proses hukum maupun komunikasi publik, termasuk dugaan
pembocoran informasi kepada media tertentu, sehingga beredar nama-nama penyelenggara atau pejabat
negara, termasuk anggota DPR RI yang kebenarannya belum pernah dikonfirmasikan kepada
penyelenggara atau pejabat negara yang bersangkutan.
"Selanjutnya, beberapa elemen masyarakat juga menyampaikan adanya ketidakharmonisan bahakan
ikap insubordinasi dari kalangan internal KPK terhadap pimpinannya, yakni para Komisioner KPK,"
kata Taufiqulhadi.
Ia menyebutkan berbagai hal tersebut mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat yang sifatnya terbuka
dengan KPK pada 17-18 April 2017.
Taufiqulhadi menuturkan secara khusus dalam rapat tersebut disoroti persoalan pencabutan BAP oleh
Miryam S. Haryani dalam persidangan kasus e-KTP karena dugaan mendapat tekanan dari enam
anggota Komisi III DPR RI.
Hal ini disampaikan pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat tanggal 30 Maret 2017 yang
menghadirkan tiga orang penyidik KPK.
"Hal ini tentu kemudian menjadi polemik di masyarakat dan menempatkan DPR RI dalam sorotan
sebagai lembaga yang tidak pro terhadap program pemberantasan korupsi," kata Taufiqulhadi.
Taufiqulhadi lalu menyebutkan sejumlah dasar hukum yang digunakan dalam mengusulkan hak angket
yakni UUD 1945, UU MD3, Tatub DPR dan UU KPK.
Ia mengatakan DPR berkepentingan untuk menjaga keberadaan KPK yang tidak saja kuat dalam
melaksanakan tupoksi-nya berdasarkan peraturan perundangan yang ada, namun juga KPK yang benar.
"Berdasarkan hal-hal yang telah menjadi asas dan ketentuan tersebut di atas, maka pengusul
mengajukan usul untuk penggunaan Hak Angket berdasarkan Konstitusi dan UU MD3 dalam rangka
melakukan pendalaman atas berbagai permasalahan atau penyelidikan atas pelaksanaan tugas dan
kewenangan KPK berdasarkan Konstitusi dan UU KPK," kata Taufiqulhadi.
. Penulis: Ferdinand Waskita Editor: Johnson Simanjuntak
DPR Ngotot Hak Angket e-KTP Kamis, 27 April 2017 05:24 WIB
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWSS.COM, JAKARTA -- Laju hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tidak terbendung. Surat pengajuan hak angket pun
telah disampaikan kepada pimpinan parlemen.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah memastikan, surat tersebut bakal dibaca pada sidang paripurna DPR
RI, Kamis (27/4).
"Yang jelas surat dari Komisi III kami perlu baca besok, karena surat sudah masuk," kata Fahri di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/4).
Kendati demikian, hak angket agar KPK membuka rekaman pemeriksaan mantan Anggota Komisi II DPR
RI, Miryam S Haryani, baru mendapat restu 26 anggota Komisi III DPR RI. Pimpinan parlemen baru
menerima surat usulan hak angket sebagai usulan komisi.
"Kami (akan) menyampaikan adanya surat tapi Bamus meminta supaya persyaratan dipenuhi. Syaratnya
lampiran tanda tangan itu," ujar Fahri.
Menurutnya, mengacu prosedur pengajuan hak angket, begitu usulan masuk maka dibawa ke rapat
Bamus untuk kemudian dibaca di sidang paripurna. Saat dibacakan di paripurna, usulan tersebut bisa
langsung ditanyakan ke fraksi-fraksi untuk dimintai tanggapan.
"Setelah itu dibentuk panitia angket, pansus angket. Kalau sudah, fraksi-fraksi menyerahkan nama maka
terbentuk panaus angket," ucapnya seraya mengatakan, usulan hak angket terhadap KPK justru demi
kebaikan lembaga antirasuah tersebut.
"Sebenarnya hak angket akan membuat KPK lebih clean supaya publik melihat apa yang sebenarnya
terjadi. Karena enggak ada maksud lain yang bisa dilihat," kata Fahri.
Juru bicara KPK Febri Diansyah enggan mengomentari hak angket yang bakal dibacakan pada sidang
paripurna DPR. Ia menyebut, KPK memilih fokus menangani perkara dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
"Kami berharap semua pihak lebih fokus pada bagaimana agar kasus e-KTP sekarang yang kita tangani
dapat dituntaskan tanpa hambatan di luar proses hukum," paparnya.
Terpisah, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Moermahadi Soerja Djanegara berencana
menindak tegas auditor dan anggota BPK yang turut serta dalam perkara dugaan korupsi pengadaan e-
KTP.
"Kalau kita bersih-bersih dari awal kan kita ada majelis kehormatan kode etik," tutur Moermahadi.
Untuk diketahui, dalam surat dakwaan jaksa KPK terhadap dua terdakwa mantan pejabat di Direktorat
Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto,
membeberikan sejumlah uang yang diterima staf BPK dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas).
Sugiharto mengemukakan, Wulung yang berprofesi sebagai auditor BPK yang memeriksa keuangan
Ditjen Dukcapil mendapatkan uang sebesar Rp 80 juta. Dana itu diberikan Sugiharto kepada Wulung
secara langsung.
Rencananya, KPK akan memanggil mantan Komisi II DPR RI Olly Dondokambey. Olly yang juga
Gubernur Sulawesi Utara akan dihadirkan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor)
Jakarta.
Selain Olly, ada pula keponakan Setya Novanto, Irvan Hendra Pambudi yang bakal menjadi saksi di PN
Tipikor Jakarta terkait perkara dugaan korupsi proyek e-KTP. Irvan pernah dipanggil pada sidang
sebelumnya. Namun, Irvan berhalangan hadir. (tribunnews/ferdinan waskita/fajar/kompas.com)
Gerindra Larang Anggotanya di DPR Tandatangan Hak Angket KPK Jumat, 28 April 2017 11:57 WIB
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Fraksi Partai Gerindra di DPR menolak usulan hak angket terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK).
Usulan hak angket itu diusulkan Komisi III DPR terhadap KPK terkait Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
mantan anggota Komisi II DPR, Miryam S. Haryani, dalam kasus korupsi e-KTP.
"Sikap resmi fraksi kami menolak," kata Sekretaris Fraksi Partai Gerindra Fary Djemy Francis di
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Salah satu anggota Fraksi Gerindra, Desmond Junaidi Mahesa menandatangani hak angket tersebut.
Namun, Fary mengatakan, tandatangan tersebut karena Desmond merupakan pimpinan Komisi III DPR.
Selain itu, nama Desmond menjadi salah satu yang disebut menekan Miryam.
"Tapi seluruh anggota fraksi, kami nyatakan larang (tandatangan)," tutur Ketua Komisi V DPR itu.
Ia mengimbau kepada seluruh anggota Komisi III, terutama Fraksi Gerindra untuk bertanya kepada KPK
lewat forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) jika ingkn ada hal-hal yang ingin didalami.
"Cukup di komisi tidak perlu angket," kata Fary.
Usulan hak angket yang ditujukan Komisi III DPR kepada KPK terkait rekaman pemeriksaan anggota
DPR Fraksi Hanura Miryam akan dibawa ke Paripurna untuk dimintai persetujuan ihwal kelanjutannya.
Pada Rapat Paripurna yang berlangsung hari ini, Komisi III selaku pengusul akan meminta persetujuan
kepada DPR apakah usulan tersebut bisa dilanjutkan hingga ke pembentukan Panitia Khusus (Pansus)
atau justru dibatalkan.
Sejauh ini, ada 25 anggota DPR dari 8 fraksi yang menandatangani usulan hak angket tersebut. Dua
fraksi yang tidak menandatangani ialah Fraksi Demokrat dan PKS. (Nabila Tashandra)
Editor: Hendra Gunawan
Fraksi Gerindra DPR Walk Out Tolak Hak Angket KPK, Fadli Zon Bilang Itu Biasa
Jumat, 28 April 2017 12:54 WIB
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama Editor: Hasanudin Aco TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam sidang rapat paripurna DPR RI, fraksi Gerindra menolak
adanya hak angket KPK.
Bahkan seluruh anggota Fraksi Gerindra kompak untuk keluar dari ruang sidang (walk out).
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menilai aksi koleganya di Gerindra itu sebagai hal biasa.
Karena setiap fraksi punya hak untuk walk out jika tidak setuju dengan usulan yang dibacakan dalam
rapat Paripurna.
"Kita melihat hal biasa proses hak semacam ini, biasa ada pro dan kontra," ujar Fadli di ruang rapat
Paripurna, Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menegaskan sikap fraksinya sudah tegas menolak.
Karena hal itu Fadli keluar dari rapat paripurna lebih dulu untuk melakukan koordinasi lebih lanjut.
"Sikap Gerindra sudah jelas. Saya mau koordinasi langkah-langkah selanjutnya," ungkap Fadli.
Keinginan Fadli untuk koordinasi sejalan dengan permintaan fraksi Gerindra.
Menurut Fadli tugasnya sebagai pimpinan di sidang Paripurna sudah terpenuhi sehingga bisa keluar lebih
dahulu.
"Saya diminta ikut koordinasi dan saya juga sudah pada pimpinan sidang ke fraksi," papar Fadli.
Sah! Fahri Hamzah Ketok Palu Hak Angket KPK dalam Rapat Paripurna DPR Jumat, 28 April 2017 12:48 WIB TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rapat Paripurna DPR memutuskan penggunaan hak angket terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah diwarnai interupsi anggota dewan dari berbagai fraksi.
Tiga fraksi yang melakukan interupsi yakni PKB, Demokrat dan Gerindra.
Ketiga fraksi tersebut menolak penggunaan hak angket KPK setelah mendapatkan penjelasan dari
pengusul.
“Keputusan belum kita ambil bapak ibu sekalian, jangan kita terlalu tegang. Kedua hak angket adalah
kostitusional secara sangat biasa, setelah hak bertanya dilakukan alat kelengkapan masing-masing. Ini
adalah eksistensi dari penggunaan hak secara konstitusional,” kata Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah
yang memimpin rapat diruang rapat Paripurna DPR, Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Fahri lalu menjelaskan kronologis usulan hak angket terhadap KPK.
Hal itu diawali rapat marathon di Komisi III DPR dengan KPK yang diikuti seluruh fraksi.
Kemudian, kesimpulan mengenai hak angket ditindaklanjuti Pimpinan DPR dan Rapat Badan
Musyawarah (Bamus) DPR.
Hasil Bamus kemudian dibawa dalam rapat paripurna hari ini.
"Pandangan sudah disampaikan, tetapi mengatakan dan menanyakan kepasa seluruh anggota apakah
usul penggunaan hak angket terhadap pelaksanan tugas dan kewenangan KPK yang diatur UU dapat
disetujui hak angket," kata Fahri.
"Setuju," kata peserta rapat.
Namun, sebagian anggota dewan ada yang melakukan interupsi.
Fahri langsung mengetuk palu rapat tanda persetujuan.
"Terima kasih baik kita sudah simpulkan penggunaan hak angket. Terimakasih telah disetujinya
penggunaan hak angket," kata Fahri.
Acara lalu dilanjutkan dengan pidato penutupan masa sidang oleh Ketua DPR Setya Novanto.
Rapat Paripurna DPR dipimpin Fahri Hamzah didampingi Agus Hermanto, Taufik Kurniawan, Fadli Zon
dan Setya Novanto.
Rapat diikuti 324 anggota DPR.
Penulis: Ferdinand Waskita Editor: Hasanudin Aco .
Hak Angket e-KTP Sama Saja Melemahkan KPK Jumat, 28 April 2017 09:26 WIB TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - DPR seharusnya tidak bersikeras mengajukan hak angket kasus
dugaan korupsi KTP elektronik untuk membuka rekaman pemeriksaan mantan Anggota Komisi II
DPR Miryam S Haryani.
Sebab kini kasus dugaan korupsi tersebut sudah masuk kepada proses hukum dan bukan lagi politik.
Pakar Hukum Universitas Trisakti Yenti Garnasih menjelaskan rekaman hasil penyidikan adalah
substansi hukum dan merupakan ranah penegakan hukum.
"Mestinya tidak boleh diangkat dan menurut saya, hal ini bisa diasumsikan pengintervensian atas proses
hukum," kata mantan panitia seleksi komisioner KPK ini.
Yenti Ganarsih menjelaskan, proses pemeriksaan itu pasti berkaitan dengan strategi pemeriksaan untuk
pengungkapan kasus e-KTP.
"Jadi bisa mengganggu dan jangan merugikan upaya pengungkapan kasus. Kok ternyata DPR
bersikukuh, ada apa sih," ujarnya.
Surat pengajuan hak angket terhadap KPK dari Komisi III DPR sudah disampaikan kepada Pimpinan
DPR.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menuturkan, surat itu akan dibacakan pada sidang paripurna DPR RI
hari ini.
"Yang jelas surat dari Komisi III kami perlu baca besok, karena surat sudah masuk," kata Fahri.
Namun, pimpinan DPR baru menerima surat usulan hak angket sebagai usulan komisi. Sedangkan tanda
tangan masih digulirkan.
Sedikitnya, tercatat 26 anggota Komisi III dari lintas fraksi sudah menandatangani angket tersebut.
Fraksi Partai Demokrat menyatakan menolak usulan hak angket terhadap KPK.
Wakil Ketua Fraksi PD Benny K Harman menyebut keputusan ini sesuai dengan perintah Ketua Umum
Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Pimpinan Fraksi PD telah melakukan konsultasi khusus dengan Ketum DPP, mengingat penggunaan
hak angket telah menjadi masalah sangat serius dan telah menjadi perhatian luas masyarakat," ujar
Benny.
"Hak angket bisa mengarah pada pelemahan KPK dalam upaya penegakan hukum pemberantasan
korupsi," tambah Benny.
Menurut dia, hak angket KPK tidak tepat digulirkan saat ini. Apalagi KPK saat ini sedang sibuk
menangani banyak kasus dengan penyelewengan anggaran besar.
"Fraksi Partai Demokrat berpendapat penggunaan hak angket pada saat ini tidak tepat waktu," katanya.
Untuk itu, Demokrat menegaskan pihaknya tidak setuju digulirkannya hak angket KPK.
"Sikap fraksi Partai Demokrat jelas tidak setuju dengan penggunaaan hak angket tersebut," kata Benny.
Fraksi Partai Demokrat berpandangan klarifikasi terhadap penggunaan kewenangan-kewenangan luar
biasa yang saat ini dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi adalah sebuah keniscayaan.
"Namun hal tersebut dapat dilakukan dengan cara dan mekanisme yang lain yang dimungkinkan UU
tanpa menganggu iklim pemberantasan korupsi," kata Benny.
Sekretaris Fraksi Demokrat, Didik Mukriyanto menambahkan, pihaknya akan menegur anggotanya yang
di tengah jalan mendukung hak angket tersebut.
Ia meyakini semua anggota Fraksi Demokrat akan mematuhi instruksi fraksi.
"Jika nanti ada yang mendukung, kami evaluasi, kami beri teguran dan bisa kami berikan sanksi pula,"
lanjut Didik.
PKB-Gerindra Tolak Hak Angket
Selain Partai Demokrat, fraksi PKB juga menolak usulan hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Wasekjen PKB Daniel Johan memerintahkan kepada seluruh anggota fraksi untuk menolak.
"Menurut PKB langkah beberapa anggota DPR yang mengajukan angket rekaman KPK tersebut tidak
dalam koridor tugas DPR," kata Daniel.
Daniel mengatakan PKB menyerahkan sepenuhnya kepada sistem pengadilan berjalan. Sedangkan DPR
dapat mengawal proses di pengadilan tersebut.
Bila hak angket terbentuk, kata Daniel, KPK dapat menolak hal tersebut karena UU Keterbukaan
Informasi mengatur informasi dalam penyelidikan dan penyidikan adalah informasi yang dikecualikan
untuk dibuka kepada publik.
"Seperti yang termaktub dalam Asas UU KIP Pasal. 2 ayat (4) UU no 14/2008 tentang pengecualian
informasi public yang bersifat rahasia berdasarkan UU," kata Daniel.
Daniel menuturkan pihak yang berwenang membuka rekaman hanya pengadilan yang sekarang sedang
menyidangkan perkara e-KTP.
"PKB menyarankan perkembangan penyelesaian kasus ini bisa diselesaikan di internal Komisi III saja,"
kata Wakil Ketua Komisi IV DPR itu.
Daniel menegaskan PKB mendukung langkah KPK dalam menyelesaikan beberapa kasus besar yang
menjadi perhatian publik, terutama kasus e-KTP.
"Dan kami berharap segera diungkap kebenaran dalam proses persidangan yang sudah berjalan," kata
Daniel.
Sementara itu Sekretaris Fraksi Gerindra Fary Djemy Francis mengaku belum melihat surat edaran tanda
tangan dukungan hak angket.
"Kalau fraksi tidak ada. Diperintahkan untuk tidak. Tapi saya tidak tahu setahu saya tidak ada tanda
tangan," kata Fary.
Fary mengaku belum mengetahui adanya anggota Fraksi Gerindra yang mendatangani usulan hak
angket selain Desmond J Mahesa.
Desmond merupakan Wakil Ketua Komisi III DPR.
Fraksi Gerindra, kata Fary, melihat Komisi III DPR cukup memanggil KPK kembali melalui rapat dengar
pendapat.
Gerindra juga belum melihat hak angket sesuai dengan UU MD3 yakni potensi melanggar UU dan
berdampak strategis bagi masyarakat umum.
"Kalau hanya ingin mendapat informasi kan sudah pernah dipanggil, ya panggil lagi. Sementara itu saja.
Saya kira kan KPK sekarang sedang menangani secara hukum ya. Jadi jangan diganggu dulu lah," kata
Fary.
Mengenai usulan hak angket oleh Desmond J Mahesa, Fary melihat hal itu sebagai pimpinan Komisi III
serta namanya disebut sebagai pihak yang menekan Miryam S Haryani.
"Tapi kan sebagai fraksi belum menyatakan pendapat, dan pendapat fraksi sampai sekarang ini
menolak," kata Fary. (fer/jar/mal/wly)
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Dewi Agustina
Madrasah AntiKorupsi: Loloskan Hak Angket, DPR Sedang Lawan Publik Sabtu, 29 April 2017 00:02 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat antikorupsi menegaskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sedang melawan rakyat atas disetujuinya hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Karena Wakil Direktur Madrasah Antikorupsi Pemuda Muhammadiyah, Virgo Sulianto melihat, di tengah
publik sedang melakukan penguatan terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK, DPR dengan
alat kekuasaanya malah melakukan perlawanan kepada KPK dan publik.
"DPR dengan ego kekuasaanya menggunakan politik sebagai alat untuk menghambat pemberantasan
korupsi demi kepentingan pribadi anggota DPR," tegas Virgo Sulianto kepada Tribunnews.com, Jumat
(28/4/2017).
Lebih lanjut ia menilai justru efek dari hak angket ini akan berakibat buruk pada DPR itu sendiri.
Karena publik akan menilai partai-partai pendukung hak angket KPK ini untuk tidak kembali mereka pilih
pada Pemilu mendatang.
"Publik diharapkan tidak memilih kembali partai atau anggota DPR yang menyetujui hak angket di pemilu
ke depan. Karena keputusan politik mereka sama sekali tidak mewakili keinginan publik,' katanya.
Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui usulan hak angket yang ditujukan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi, Jumat (28/4/2017).
Meski sejumlah fraksi menolak, namun rapat paripurna tetap menyetujui usulan hak angket yang
ditandatangani 25 anggota dari delapan fraksi itu.
“Apakah usulan hak angket ini dapat disetujui?” tanya pimpinan rapat Fahri Hamzah kepada 283 anggota
parlemen yang hadir.
“Setuju,” jawab sejumlah anggota.
Sejumlah fraksi yang menyampaikan penolakannya, yaitu Fraksi Demokrat, Fraksi PKB dan Fraksi
Gerindra.
Anggota Fraksi Demokrat, Erma Suryani Ranik menyatakan, hak angket yang digulirkan berpotensi
melemahkan KPK dalam upaya penegakkan hukum serta pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Demokrat menganggap tidak tepat waktu, sehingga Fraksi Partai Demokrat menyatakan tidak setuju,”
ujarnya.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Eko Sutriyanto
26 Anggota DPR Pengusul Hak Angket KPK, Terbanyak Golkar dan Hanura Sabtu, 29 April 2017 10:13 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang Paripurna DPR menyetujui usulan hak angket yang ditujukan
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (28/4/2017).
Mayoritas fraksi menyetujui pengajuan hak angket tersebut.
“Apakah usulan hak angket ini dapat disetujui?” tanya pimpinan rapat Fahri Hamzah kepada 283 anggota
parlemen yang hadir.
“Setuju,” jawab sejumlah anggota.
Meski menuai pro dan kontra, hak angket ini tetap resmi digulirkan dan akan ditindaklanjuti usai masa
reses DPR pada 17 Mei 2017.
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait
persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura Miryam S Haryani mendapat
tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.
Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi
tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
Hingga Kamis kemarin, tercatat sebanyak 26 anggota DPR menandatangani usulan hak angket tersebut.
Berikut nama dan daerah pemilihan (Dapil) 26 orang itu:
Fraksi PDI Perjuangan
- Masinton Pasaribu, Dapil DKI Jakarta II
- Eddy Wijaya Kusuma, Dapil Banten III
Fraksi Partai Golkar
- Nawafie Saleh, Dapil Jawa Barat V
- Adies Kadir, Dapil Jawa Timur I
- Ahmad Zacky Siradj, Dapil Jawa Barat XI
- Syaiful Bahri Ruray, Dapil Maluku Utara
- Agun Gunandjar, Dapil Jawa Barat X
- Anthon Sihombing, Dapil Sumatera Utara III
- Noor Achmad, Dapil Jawa Tengah II
- Endang Srikarti, Dapil Jawa Tengah V
- Ridwan Bae, Dapil Sulawesi Tenggara
- M.N. Purnamasidi, Dapil Jawa Timur IV
Fraksi Partai Gerindra
- Desmond Junaidi Mahesa, Dapil Banten II
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
- Rohani Vanath, Dapil Maluku
Fraksi Partai Amanat Nasional ( PAN)
- Daeng Muhammad, Dapil Jawa Barat VII
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ( PKS)
- Fahri Hamzah, Dapil Nusa Tenggara Barat
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
- Arsul Sani, Dapil Jawa Tengah X
Fraksi Partai Nasdem
- Taufiqulhadi, Dapil Jawa Timur IV
- Ahmad Sahroni, Dapil DKI Jakarta III
Fraksi Partai Hanura
- Dossy Iskandar Prasetyo, Dapil Jawa Timur VIII
- Dadang Rusdiana, Dapil Jawa Barat II
- Djoni Rolindrawan, Dapil Jawa Barat III
- Samsudin Siregar, Dapil Sumatera Utara III
- H.M. Farid Al Fauzi, Dapil Jawa Timur XI
- Ferry Kase, Dapil Nusa Tenggara Timur II
- Frans Agung Mula Putra, Dapil Lampung I
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memastikan bahwa KPK tidak akan menindaklanjuti hak
angket DPR itu.
Menurut Syarif, permintaan anggota DPR melalui hak angket itu dapat menghambat proses hukum.
"Rekaman dan BAP (berita acara pemeriksaan) hanya dapat diperlihatkan di pengadilan," ujar Syarif saat
dikonfirmasi, Jumat.
Menurut Syarif, jika bukti-bukti termasuk rekaman penyidikan dibuka, hal itu berisiko menghambat proses
hukum dan dapat berdampak pada penanganan kasus korupsi e-KTP.
"Segala upaya yang dapat menghambat penanganan kasus korupsi, termasuk e-KTP dan kasus
keterangan tidak benar di pengadilan tentu saja akan ditolak KPK," kata Syarif.(Nabilla Tashandra)
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ( PKS)
- Fahri Hamzah, Dapil Nusa Tenggara Barat
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
- Arsul Sani, Dapil Jawa Tengah X
Fraksi Partai Nasdem
- Taufiqulhadi, Dapil Jawa Timur IV
- Ahmad Sahroni, Dapil DKI Jakarta III
Fraksi Partai Hanura
- Dossy Iskandar Prasetyo, Dapil Jawa Timur VIII
- Dadang Rusdiana, Dapil Jawa Barat II
Editor: Johnson Simanjuntak
KPK Melawan Angket DPR
Sabtu, 29 April 2017 08:33 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui usulan hak
angket yang ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (28/4/2017).
Keputusan DPR ini langsung ditanggapi oleh Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif seraya
memastikan, institusinya tak akan menuruti keinginan DPR yang meminta membuka Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) Miryam S Haryani.
Syarif menegaskan, permintaan anggota DPR melalui hak angket itu dapat menghambat proses hukum.
"Rekaman dan BAP (berita acara pemeriksaan) hanya dapat diperlihatkan di pengadilan," ujar Syarif.
Dijelaskan jika bukti-bukti termasuk rekaman penyidikan dibuka, bisa menghambat proses hukum dan
berdampak pada penanganan kasus korupsi pengadaan KTP berbasis elektronik atau e-KTP.
"Segala upaya yang dapat menghambat penanganan kasus korupsi, termasuk e-KTP dan kasus
keterangan tidak benar di pengadilan tentu saja akan ditolak KPK," kata Syarif.
Dalam rapat paripurna DPR kemarin, meski sejumlah fraksi menolak, namun rapat paripurna tetap
menyetujui usulan hak angket yang ditandatangani 25 anggota dari delapan fraksi itu.
Usul penggunaan hak angket muncul dalam rapat dengar pendapat Komisi III bersama KPK yang
berlangsung Selasa (18/4/2017) hingga Rabu (19/4/2017) dini hari.
Dalam pertemuan itu, Komisi III yang membidangi masalah hukum ini mendesak KPK membuka rekaman
pemeriksaan Miryam S Haryani, yang kini tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus korupsi
pengadaan e-KTP.
Politikus NasDem Taufiqulhadi saat paripurna di DPR kemarin, menyampaikan alasan penggunaan hak
angket kepada KPK.
Ia juga mengungkapkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan KPK Tahun 2015 mencatat tujuh
indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
"Tidak perlu lagi dilakukan dalam berbagai bentuknya. Apalagi dalam kaitannya dengan pelaksanaan
tupoksi KPK, DPR (dalam hal ini Komisi III DPR RI) mendapatkan masukan dan informasi tentang tidak
selalu berjalannya pelaksanaan tupoksi KPK tersebut sesuai peraturan perundang-undangan dan tata
kelola kelembagaan yang baik," kata Taufiqulhadi di hadapan peserta rapat paripurna DPR.
"Selain yang terkait dengan tata kelola anggaran, Komisi III DPR RI yang melakukan pengawasan
terhadap KPK juga mendapatkan masukan serta informasi yang terkait dengan tata kelola dokumentasi
dalam proses hukum penindakan dugaan kasus korupsi," salah seorang Anggota Komisi III DPR itu
menjelaskan kembali.
Wakil Ketua KPK Laode Syarif menegaskan, sikap DPR terkait usulan (hak angket) yang banyak ditolak
oleh lintas fraksi di DPR, apakah hal itu berkonsekuensi terhadap sah atau tidaknya keputusan akan
pelajari terlebih dahulu oleh institusinya.
"Kami mendengar palu tentang hak angket diketok di paripurna DPR, namun terdapat penolakan dari
sejumlah anggota DPR dan bahkan ada fraksi yang walkout," ungkap Syarif.
"Apalagi sejumlah fraksi sudah mengatakan menolak hak angket dan ada syarat di UU MD3, bahwa Usul
menjadi Hak Angket jika dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengn
persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir," lanjutnya.
Hak Angket ini berawal dari keberatan yang disampaikan sejumlah anggota Komisi III DPR yang
namanya disebut oleh Penyidik KPK, Novel Baswedan saat menjadi saksi di persidangan kasus E-KTP,
30 Maret 2017.
Kemudian dalam RDP dengan KPK, Komisi III meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan BAP
Miryam.
Karena keterangan Novel Baswedan disampaikan di pengadilan, persidangan e-KTP masih berjalan,
bahkan penyidikan dengan tersangka Miryam S Haryani sedang dilakukan, maka KPK menyatakan tidak
bisa menyerahkan bukti-bukti yang terkait dengan kasus ini.
"Jika bukti-bukti dibuka hal itu berisiko akan menghambat proses hukum dan dapat berdampak pada
penanganan kasus E-KTP," katanya.
Laode mengatakan segala upaya yang dapat menghambat penanganan kasus korupsi, termasuk e-KTP
dan kasus keterangan tidak benar di pengadilan tentu saja akan ditolak KPK.
"Dalam masa reses ini, kami juga berharap banyak masukan dari masyarakat baik terhadap para
wakilnya di DPR ataupun terhadap KPK untuk memprioritaskan proses hukum penuntasan kasus e-KTP,"
ujarnya. (tribun/fer/jar/kompas/com)
.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Dewi Agustina
Anggota DPR Tak Paham Penggunaan Hak Angket
Sabtu, 29 April 2017 13:53 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Katolik
Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf mempertanyakan hak angket yang dipakai oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia menganggap para anggota DPR tak paham soal penggunaan hak angket.
"Apakah paham anggota DPR yang inginkan penggunaan hak angket ini?" kata Asep saat dihubungi,
Sabtu (29/4/2017).
Asep menilai, DPR telah melakukan penyalahgunaan instrumen kenegaraan.
Sebab, hak angket tidak ditujukan untuk menyelediki proses penegakan hukum.
Dalam pasal 79 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
(MD3), disebutkan hak angket bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu
undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan
berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
"Jelas itu definisi hak angket. Nah, ketika ini digunakan hanya untuk sekedar meminta penjelasan
terhadap penegakan hukum, maka tidak sesuai dengan kualifikasi penggunaan hak angket dalam UU
MD3," ucap Asep.
Hal senada disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Ia mengatakan, KPK adalah lembaga nonpemerintah yang tidak bisa ditujukan hak angket.
"Mnrt Pnjlsan Psl 79 ayat (3) MD yg bs diangket oleh DPR adl Pemerintah & lembaga pemerintah
nonkementerian. KPK bkn Pemerintah," kata Mahfud dalam akun twitternya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memastikan bahwa KPK tidak akan
menindaklanjuti hak angket yang diajukan DPR.
Menurut Syarif, permintaan anggota DPR melalui hak angket itu dapat menghambat proses hukum.
"Rekaman dan BAP (berita acara pemeriksaan) hanya dapat diperlihatkan di pengadilan," ujar Syarif saat
dikonfirmasi, Jumat.
Menurut Syarif, jika bukti-bukti termasuk rekaman penyidikan dibuka, hal itu berisiko menghambat proses
hukum dan dapat berdampak pada penanganan kasus korupsi proyek e-KTP.
"Segala upaya yang dapat menghambat penanganan kasus korupsi, termasuk e-KTP dan kasus
keterangan tidak benar di pengadilan tentu saja akan ditolak KPK," kata Syarif.
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait
persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam persidangan, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam S
Haryani, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak
mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP.
Menurut Novel, hal itu diceritakan Miryam saat diperiksa di Gedung KPK.
Para anggota DPR yang namanya disebut langsung bereaksi. Penggunaan hak angket kemudian
muncul.
Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi
tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
DPR kemudian menyetujui penggunaan hak angket tersebut.(Lutfy Mairizal Putra)
Editor: Johnson Simanjuntak