kasus iiidacsd

93
BAB 1 PENDAHULUAN A. Kasus 3 Laki-laki 37 tahun, batuk selama 3 minggu ini, batuk berdahak, kadang-kadang disertai sesak. Keringat dingin malam hari, nafsu makan menurun, berat badan turun 2 kg dalam 3 minggu ini, terkadang os merasakan demam, sudah berobat belum ada perubahan. B. Kata Kunci 1. Laki-laki 37 tahun 2. Batuk produktif 3. Dispneu 4. Keringat dingin malam hari 5. Anoreksia 6. Berat badan turun 7. Febris C. Definisi Kata Kunci 1. Batuk

Upload: jovan-octara

Post on 13-Apr-2016

232 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fadfdfsgad

TRANSCRIPT

Page 1: KASUS IIIdacsd

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Kasus 3

Laki-laki 37 tahun, batuk selama 3 minggu ini, batuk berdahak, kadang-

kadang disertai sesak. Keringat dingin malam hari, nafsu makan menurun, berat

badan turun 2 kg dalam 3 minggu ini, terkadang os merasakan demam, sudah

berobat belum ada perubahan.

B. Kata Kunci

1. Laki-laki 37 tahun

2. Batuk produktif

3. Dispneu

4. Keringat dingin malam hari

5. Anoreksia

6. Berat badan turun

7. Febris

C. Definisi Kata Kunci

1. Batuk

a. Definisi Batuk

Suatu ekspirasi eksplosif sebagai mekanisme protektif normal untuk

membersihkan cabang trakeobronkial dari secret dan zat-zat asing

(Weinberger, 2005).

Page 2: KASUS IIIdacsd

b. Klasifikasi Batuk

Menurut Dicpinigaitis (2009) batuk secara definisinya bisa

diklasifikasikan mengikut waktu yaitu batuk akut yang berlangsung selama

kurang dari tiga minggu, batuk sub-akut yang berlangsung selama tiga

hingga delapan minggu dan batuk kronis berlangsung selama lebih dari

delapan minggu.

1) Batuk Akut

Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan

merupakan simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik

dokter. Kebanyakan kasus batuk akut disebabkan oleh infeksi virus

respiratori yang merupakan self-limiting dan bisa sembuh selama

seminggu (Haque, 2005). Dalam situasi ini, batuk merupakan simptom

yang sementara dan merupakan kelebihan yang penting dalam proteksi

saluran pernafasan dan pembersihan mukus. Walau bagaimanapun,

terdapat permintaan yang tinggi terhadap obat batuk bebas yang

kebanyakannya mempunyai bukti klinis yang sedikit dan waktu yang

diambil untuk konsultasi ke dokter tentang simptom batuk

(Dicpinigaitis, 2009).

2) Batuk Kronis

Batuk kronis berlangsung lebih dari delapan minggu. Batuk yang

berlangsung secara berterusan akan menyebabkan kualitas hidup

menurun yang akan membawa kepada pengasingan sosial dan depresi

klinikal (Haque, 2005). Penyebab sering dari batuk kronis adalah

penyakit refluks gastro-esofagus, rinosinusitis dan asma. Terdapat juga

Page 3: KASUS IIIdacsd

golongan penderita minoritas yang batuk tanpa dengan diagnosis dan

pengobatan diklasifikasikan sebagai batuk idiopatik kronis. Batuk

golongan ini masih berterusan dipertanyakan apa sebenarnya

penyebabnya yang pasti (Haque, 2005).

Klafisikasi batuk berdasarkan tanda klinis adalah :

1) Batuk kering

Terjadi apabila tidak ada sekresi saluran nafas, iritasi pada

tenggorokan, sehingga timbul rasa sakit. Batuk kering sering kali

mengganggu dan pada beberapa kondisi tertentu berbahaya, misalnya

pasca operasi sehingga perlu ditekan.

2) Batuk produktif

Batuk yang terjadi karena adanya dahak pada tenggorokan.

2. Dispneu

a. Definisi Dispneu

Dispnea atau sesak nafas merupakan keadaan yang sering

ditemukan pada penyakit paru maupun jantung.

Secara umum yang dimaksud dispneu adalah kesulitan bernafas

yang terlihat dengan adanya kontraksi dari otot-otot pernafasan tambahan.

Perubahan ini biasanya terjadi dengan lambat, akan tetapi dapat pula terjadi

dengan cepat. Berat ringannya dispneu tidak dapat diukur dan kadang-

kadang sulit untuk dinilai.

Page 4: KASUS IIIdacsd

b. Klasifikasi Dispneu

Dispneu dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Inspiratori dispnea, yaitu kesukaran bernafas pada waktu inspirasi yang

disebabkan oleh karena sulitnya udara untuk memasuki paru-paru.

2) Ekspiratori dispnea, yaitu kesukaran bernafas pada waktu ekspirasi yang

disebabkan oleh karena sulitnya udara yang keluar dari paru-paru.

3) Kardiak dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan primer penyakit

jantung.

4) Exertional dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena olahraga.

5) Exspansional dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena

kesulitan ekspansi dari rongga toraks.

6) Paroksismal dispnea, yaitu dispnea yang terjadi sewaktu-waktu, baik

pada malam maupun siang hari.

7) Ortostatik dispnea, yaitu dispnea yang berkurang pada waktu posisi

duduk.

Pembagian tersebut di atas tidak berdasarkan atas klasifikasi etiologi

maupun tipe dispnea, akan tetapi istilah-istilah tersebut sering

dipergunakan.

Berdasarkan etiologi maka dispnea dapat dibagi menjadi 4 bagian,

yaitu :

1) Kardiak dispnea, yaitu dispnea yang disebabkan oleh karena adanya

kelainan pada jantung.

2) Pulmonal dispnea, dispnea yang terjadi pada penyakit paru.

Page 5: KASUS IIIdacsd

3) Hematogenous, dispnea yang disebabkan oleh karena adanya asidosis,

anemia atau anoksia, biasanya dispnea ini berhubungan dengan

exertional (latihan).

4) Neurogenik, dispnea terjadi oleh karena kerusakan pada jaringan otot-

otot pernafasan.

3. Keringat Malam Pada Malam Hari

a. Definisi

Suatu keluhan subyektif berupa berkeringat pada malam hari yang

diakibatkan oleh irama temperatur sirkadian normal yang berlebihan. Suhu

tubuh normal pada manusia memiliki irama sirkadian dimana paling rendah

pada pagi hari sebelum fajar yaitu 36.1°C dan meningkat menjadi 37.4°C

atau lebih tingi pada sre hari sekitar pukul 18.00 (Young, 1988; Boulant,

1991; Dinarello and Bunn, 1997) sehingga kejadian demam/keringat malam

mungkin dihubungkan dengan irama sirkadian ini. Variasi antara suhu

tubuh terendah dan tertinggi dari setiap orang berbeda-beda tetapi konsisten

pada setiap orang. Belum diketahui dengan jelas mengapa tuberculosis

menyebabkan demam pada malam hari.

4. Anoreksia

a. Definisi Anoreksia

Anoreksia berasal dari bahasa Yunani, “an” yang artinya tanpa, dan

“orexis” yang artinya hasrat untuk (makan). Jadi anoreksia memiliki arti

tidak memiliki hasrat untuk makan. Pada kasus ini disebabkan oleh adanya

infeksi Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan diproduksinya

Page 6: KASUS IIIdacsd

pirogen endogen. Pirogen endogen ini akan bersirkulasi sistemik dan

menembus masuk hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus

seingga mempengaruhi nafsu makan seseorang yang terinfeksi

Mycobacterium tuberculosis.

5. Berat Badan Turun

a. Pengertian

Berat badan turun adalah meningkatnya metabolisme tubuh karena

peningkatan penggunaan energi metabolic tetapi tidak disertai asupan nutrisi

yang memadai.

6. Febris

a. Pengertian

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal

sehari-hariyang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di

hipotalamus (Dinarello & Gelfand, 2005). Suhu tubuh normal berkisar

antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam adalah rectal

temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary temperature

≥37,2°C (Kaneshiro&Zieve, 2010). Istilah lain yang berhubungan dengan

demam adalah hiperpireksia. Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam

dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang

parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem

saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005).

Page 7: KASUS IIIdacsd

b. Tipe Demam

Adapun tipe-tipe demam yang sering dijumpai antara lain :

Tabel 1.1 Tipe-tipe demam

Jenis demam Penjelasan

Demam Septik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik

ke tingkat yang tinggi sekali pada malam

hari dan turun kembali ke tingkat di atas

normal pada pagi hari

Demam hektik Pada demam ini, suhu badan berangsur naik

ketingkat yang tinggi sekali pada malam

hari dan turun kembali ke tingkat yang

normal pada pagi hari

Demam remiten Pada demam ini, suhu badan dapat turun

setiap hari tetapi tidak pernah mencapai

suhu normal

Demam intermiten Pada demam ini, suhu badan turun ket

ingkat yang normal selama beberapa jam

dalam satu hari.

Demam kontinyu Pada demam ini, terdapat variasi suhu

sepanjang hari yang tidak berbeda lebih dari

satu derajat.

Demam siklik Pada demam ini, kenaikan suhu badan

selama beberapa hari yang diikuti oleh

periode bebas demam untuk beberapa hari

yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu

Page 8: KASUS IIIdacsd

seperti semula

(Sumber : Nelwan, Demam: Tipe dan Pendekatan, 2009)

Page 9: KASUS IIIdacsd

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru

1. Definisi dan Etiologi

Tuberkulosis paru adalah suatu infeksi menular saluran pernapasan yang

seringkali ditandai dengan batuk produktif lebih dari 3 minggu, nyeri dada,

hemoptisis dan keringat pada malam hari. Infeksi ini disebabkan oleh bakteri

Mtb, bersifat aerob obligat, berbentuk batang halus berukuran 3 x 0.5 µm, tidak

berspora dan tidak bersimpai. Kuman ini tergolong dalam bakteri tahan asam

(BTA) dan pada pewarnaan cara Ziehl-Nielsen terlihat berwarna merah dengan

latar biru.

2. Epidemiologi

Indonesia adalah negara penyumbang 6% dari total kasus TB paru dunia

dengan prevalensi TB paru tertinggi ketiga setelah China dan India.

3. Faktor Risiko

Narasimhan et al (2013) memaparkan bahwa ada beberapa faktor risiko

TB paru antara lain:

a. Faktor Risiko Individual

Faktor risiko individual adalah faktor risiko yang terkait dengan

masing-masing individu, adapun beberapa faktor risiko individual meliputi

kondisi imunosupresif, keadaan malnutrisi, usia, dan DM.

Page 10: KASUS IIIdacsd

1) Kondisi Imunosupresif

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah faktor risiko yang

paling potensial pada perkembangan TB paru aktif. Koinfeksi HIV

memperparah perjalanan penyakit TB, begitupun koinfeksi TB

mempercepat replikasi virus HIV pada organ yang terkena, termasuk

paru dan pleura. Individu dengan gangguan immune-mediated

inflammatory disorders (IMID) juga diketahui memiliki risiko terkena

infeksi TB, terutama setelah penggunaan Tumor Necrosis Factor

(TNF)-α inhibitor untuk mengatasi berbagai penyakit autoimun.

2) Malnutrisi

Beberapa studi menunjukkan bahwa malnutrisi, baik itu

defisiensi makronutrien maupun mikronutrien meningkatkan risiko TB

paru karena adanya gangguan pada respon imun. Sedangkan infeksi TB

sendiri dapat menyebabkan keadaan malnutrisi karena berkurangkan

nafsu makan dan perubahan proses metabolik.

3) Usia

Anak-anak sangat rentan terhadap berbagai macam jenis

penyakit terutama infeksi TB. Mayoritas anak-anak yang berusia

kurang dari 2 tahun terinfeksi melalui lingkungan dalam rumah

sedangkan yang berusia lebih dari 2 tahun lebih banyak tertular dari

lingkungan.

4) Diabetes Melitus

Diabetes telah terbukti meningkatkan risiko seseorang untuk

terkena infeksi TB aktif. Diperkirakan ada 70% orang penderita DM

Page 11: KASUS IIIdacsd

yang tinggal di negara dengan pendapatan rendah dan menengah,

angka ini terus meningkat terutama di negara yang merupakan endemis

TB. Penderita DM memiliki risiko infeksi 3 kali lebih besar untuk

terkena infeksi TB dibandingkan dengan orang yang tidak menderita

DM. Selain itu didapatkan bahwa pasien DM dengan infeksi TB paru

memiliki risiko kematian 1.89 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

pasien TB paru yang tidak menderita DM. Selain itu dalam sebuah

penelitian juga dinyatakan bahwa lama menderita DM berpengaruh

terhadap kejadian TB paru. Jenis kelamin pasien DM tipe 2 juga

berpengaruh terhadap kejadian TB paru.

b. Faktor Sosio-Ekonomi

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang untuk

menderita TB paru adalah faktor sosioekonomi. Faktor sosioekonomi

meliputi kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan polusi udara.

1) Merokok

Bates et al dalam studi meta analisisnya pada 24 studi tentang

pengaruh rokok terhadap TB paru menunjukkan bahwa relative risk TB

paru lebih tinggi pada perokok jika dibandingkan dengan yang bukan

perokok. Penjelasan biologis termasuk gangguan pada sekresi mukosa,

menurunnya kemampuan fagosit makrofag alveolar, dan menurunnya

respon imun karena kandungan nikotin dalam rokok.

2) Konsumsi Alkohol

Alkohol telah lama dikenal sebagai faktor risiko infeksi TB.

Sebuah ulasan terhadap 3 penelitian cohort dan 18 penelitian kasus

kontrol menyimpulkan bahwa risiko terkena infeksi TB paru meningkat

Page 12: KASUS IIIdacsd

pada orang yang minum lebih dari 40 gram alkohol per hari dan/atau

memiliki kebiasaan penyalahgunaan alkohol. Hal ini dapat terjadi

karena perubahan sistem imun terutama pada produksi sitokin.

3) Polusi Udara

Di negara-negara berkembang, presentasi penggunaan bahan

bakar padat untuk memasak lebih dari 80%.26 Kayu bakar sebelumnya

telah lama dikenal sebagai faktor risiko infeksi TB paru pada suatu

studi kasus kontrol di India Brazil. Asap kayu bakar dapat mengganggu

fungsi makrofag fagositik, surface adherence, dan bersihan bakteri.

4. Cara Penularan

Proses terjadinya infeksi oleh Mtb biasanya secara inhalasi, sehingga TB

paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya.

Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi droplet nuclei, khususnya

yang didapat dari pasien TB paru dengan hemoptisis atau berdahak yang

mengandung BTA.

5. Patogenesis

Umumnya penularan TB terjadi melalui droplet yang keluar dengan cara

batuk, bersin, atau percikan ludah orang terinfeksi TB paru. Droplet dapat

dengan mudah mengering dan bertahan di udara dalam waktu beberapa jam.

Diameter droplet yang sangat kecil (<5—10 µm) menyebabkan droplet tersebut

dapat mencapai jalan napas terminal jika terhirup dan membentuk sarang

pneumonia, yang dikenal sebagai afek primer.6,17 Ada sekitar 3000 bakteri per

kali seseorang yang menderita TB mengalami batuk. Kemungkinan seseorang

Page 13: KASUS IIIdacsd

terkena TB antara lain dipengaruhi oleh, adanya kontak yang erat dan lama

dengan penderita, derajat keparahan, dan faktor lingkungan.

Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja di dalam paru. Dari

sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus

(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah

bening di hilus (limfangitis regional). Afek primer bersama-sama dengan

limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini

dapat sembuh tanpa cacat (restitution ad integrum), sembuh dengan

meninggalkan bekas (fokus Ghon, garis fibrotik, dan perkapuran di hilus), atau

menyebar secara perkontinuatum, bronkogen, hematogen atau limfogen. Inilah

yang kemudian disebut sebagai TB primer. Tuberkulosis paru post-primer

muncul bertahun-tahun kemudian setelah TB primer. Bentuk TB inilah yang

terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber

penularan.TB post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak

di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya

berbentuk suatu sarang pneumonia kecil.

Tuberkulosis pasca primer terjadi bertahun-tahun setelah TB primer.

Bentuk ini menjadi masalah kesehatan karena dapat menjadi sumber penularan.

Tuberkulosis pasca primer diawali dengan pembentukan sarang dini (sarang

pneumonia), umumnya di segmen apical lobus superior maupun inferior.

Sarang pneumoni ini dapat diresorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan

cacat, membentuk jaringan fibrosis yang membentuk perkapuran, atau meluas

mengalami nekrosis kaseosa dan menjadi kavitas. Risiko berkembangnya

infeksi TB pasca infeksi sangatlah tergantung pada faktor-faktor endogen,

seperti imunitas bawaan dan pertahanan oleh Cell-Mediated Immunity (CMI).

Page 14: KASUS IIIdacsd

6. Klasifikasi

Klasifikasi TB paru menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)

tahun

2011 adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak BTA

Tuberkulosis paru dapat diklasifikasikan berdasarkan pemeriksaan

dahak melalui pewarnaan BTA dan pemeriksaan mikroskopis. Adapun

klasifikasi tersebut adalah TB paru BTA positif dan TB paru BTA negatif.

1) Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil

BTA positif atau hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan

BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran TB aktif

atau hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif

dan biakan positif.

2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Hasil pemeriksaan dahak tiga kali menunjukkan BTA negatif

dengan gambaran klinik dan kelainan radiologi menunjukkan TB aktif

atau hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan

biakan Mtb. Jika belum ada pemeriksaan dahak, tulis BTA belum

diperiksa.

b. Berdasarkan Tipe Pasien

Adapun klasifikasi TB paru berdasarkan tipe pasien meliputi pasien

kasus baru, pasien kasus kambuh, pasien kasus pindahan, pasien kasus lalai

Page 15: KASUS IIIdacsd

berobat, pasien kasus gagal, pasien kasus kronik, dan pasien kasus bekas

tuberkulosis.

1) Kasus Baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan

OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis

harian).

2) Kasus Kambuh

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap kemudian

kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau

biakan positif. Bila hasil pemeriksaan BTA negatif tetapi gambaran

radiologi dicurigai lesi aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis

maka harus dipikirkan apakah gambaran merupakan lesi non-TB seperti

pneumonia, bronkiektasis, jamur, dan keganasan atau TB paru kambuh

yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten menangani

kasus TB.

3) Kasus Pindahan

Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu

kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita

pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.

4) Kasus Lalai Berobat

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang satu bulan, dan

berhenti dua minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.

Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak

BTA positif.

Page 16: KASUS IIIdacsd

5) Kasus Gagal

Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan kelima atau penderita dengan hasil

BTA negatif gambaran radiologik positif dan menjadi BTA positif pada

akhir bulan kedua pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang

dengan hasil perburukan.

6) Kasus Kronik

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih

positif setelah selesai pengobatan ulang kategori dua dengan

pengawasan yang baik.

7) Kasus Bekas Tuberkulosis

Hasil pemeriksaan sputum mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)

negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,

terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang

menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih

mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi

TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama dua bulan

ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik.

7. Gejala

Gejala klinis TB paru dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni gejala lokal

dan gejala sistemik.

a. Gejala Respiratorik

Batuk ≥ 3 pekan disertai dengan batuk darah, sesak napas, dan nyeri

dada. Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala

Page 17: KASUS IIIdacsd

yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada

saat medical heck up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,

pasien mungkin tidak mengalami gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi

karena iritasi bronkus dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang

dahak ke luar.

b. Gejala Sistemik

Gejala sistemik yang tampak pada pasien TB paru pada umumnya

adalah demam dengan malaise, keringat malam, dan penurunan berat badan.

8. Diagnosis

a. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari

organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas

kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya

sulit sekali ditemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di

daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta

daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara

lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,

tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Pada pleuritis TB,

kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga

pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang

melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada

limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di

Page 18: KASUS IIIdacsd

daerah leher dan terkadang pada daerah aksila. Pembesaran kelenjar

tersebut dapat menjadi abses dingin.

b. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai

arti sangat penting dalam penegakan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan

radiologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,

bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urine, feses, dan

jaringan biopsi. Dahak diambil dalam tiga waktu, yakni sewaktu kunjungan,

keesokan paginya, dan sewaktu mengantarkan dahak pagi. Atau dapat

diambil setiap pagi selama tiga hari berturut-turut.

c. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto

lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apikolordotik, oblik, CT-Scan.

Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-

macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai lesi aktif :

1) Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas

paru dan segmen superior lobus inferior.

2) Kavitas terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak

berawan atau nodular.

3) Bayangan bercak milier.

4) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Page 19: KASUS IIIdacsd

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :

1) Fibrotik pada segmen apical dan atau posterior lobus atas.

2) Kalsifikasi atau fibrotic.

3) Kompleks ranke.

4) Schwarte atau penebalan pleura.

9. Tatalaksana

Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan

fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan

obat utama dan tambahan. Pemaparan di bawah ini adalah panduan pengobatan

TB berdasarkan konsesus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia:

a. Obat Anti Tuberkulosis

1) Obat Utama

a) INH

b) Rifampisin

c) Pirazinamid

d) Streptomisin

e) Etambutol

2) Kombinasi Dosis Tetap

a) Empat OAT dalam satu tablet, yaitu Rifamipisin 150 mg, Isoniazid

75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg.

b) Tiga OAT dalam satu tablet, yaitu Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75

mg, dan Pirazinamid 400 mg.

Page 20: KASUS IIIdacsd

b. Kombinasi Obat

1) Kasus Baru BTA Positif atau Lesi Luas

Kombinasi obat yang dapat diberikan antara lain 2 RHZE / 4 RH

dengan alternatif 2 RHZE / 4R3H3 atau 2 RHZE / 6 HE.

2) Kasus Baru BTA Negatif

Kombinasi obat yang dapat diberikan adalah 2 RHZ / 4 RH

dengan alternatof 2 RHX / 4 R3H3 atau 6 cRHE.

3) Kasus Kambuh

Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam

OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat

diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase

lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga

kombinasi obat yang diberikan adalah 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak

ada/tidak dilakukan uji resistensi, maka alternative diberikan paduan

obat : 2 RHZE/1, RHZE/5. R3H3E3.

4) Kasus Gagal

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan

minimal menggunakan 4-5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih

sensitif (Jika H resisyen, tetap diberikan) dengan lama pengobatan

minimal selama 1-2 tahun. Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan

dahulu 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi.

5) Kasus Lalai

Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan

kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

Page 21: KASUS IIIdacsd

a) Berobat ≥ 4 bulan, BTA negatif dan klinik, radiologik negatif,

pengobatan OAT stop.

b) Berobat ≥ 4 bulan, BTA positif. Pengobatan dimulai dari awal

dengan paduan pengobatan yang lebih kuat dan jangka waktu

pengobatan yang lebih lama.

c) Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan

tetapi klinik dan/atau radiologik positif. Pengobatan diulang dari

awal dengan paduan obat yang sama.

d) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2—4 minggu,

pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal.

10. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek

samping obat, serta evaluasi keteraturan obat.

a. Evaluasi Klinik

Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan

selanjutnya setiap satu bulan. Evaluasi respon pengobatan dan ada tidaknya

efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinis

meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisis.

b. Evaluasi Bakteriologik

Evaluasi bakteriologik dilakukan pada bulan ke 0-2-6/9 pengobatan.

Dengan tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak. Pemeriksaan

dan evaluasi mikroskopik dilakukan saat sebelum pengobatan di mulai,

setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif), dan pada akhir

Page 22: KASUS IIIdacsd

pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan, lakukan pemeriksaan biakan dan

uji resistensi.

c. Evaluasi Radiologi

Evaluasi radiologik dilakukan di waktu yang sama dengan evaluasi

bakteriologik. Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan saat sebelum

pengobatan dimulai, setelah dua bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang

juga dipikirkan kemungkinan keganasan), dan pada akhir pengobatan.

d. Evaluasi Efek Samping Secara Klinik

Bila memungkinkan sebaiknya pemeriksaan fungsi hati, fungsi

ginjal, dan darah lengkap dilakukan di awal. Pemeriksaan fungsi hati

meliputi SGPT, SGOT, dan bilirubin. Pemeriksaan fungsi ginjal meliputi

ureum dan kreatinin. Gula darah dan asam urat juga perlu dilakukan

pemeriksaan. Asam urat diperiksa bila pasien menggunakan pirazinamid,

pemeriksaan visus dan uji buta warna dilakukan apabila pasien

menggunakan etambutol (bila ada keluhan), pasien yang mendapat

streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada

keluhan), dan pada anak muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan

awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan

terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek

samping, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk

mengonfirmasinya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

Page 23: KASUS IIIdacsd

e. Evaluasi Keteraturan Berobat

Yang tidak kalah pentingnya adalah keteraturan berobat dan

diminum atau tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini penting sekali

penyuluhan atau edukasi mengenai penyakit dan keteraturan berobat.

Penyuluhan dan edukasi dilakukan pada pasien, keluarga, dan

lingkungannya karena ketidakteraturan mengonsumsi OAT akan

menyebabkan timbulnya resistensi. Seorang pasien TB paru dapat dikatakan

sembuh apabila :

1) BTA mikroskopis negatif dua kali, yakni pada akhir fase intensif dan

akhir pengobatan dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.

2) Pada foto toraks didapatkan gambaran radiologi serial yang tetap sama

atau menunjukkan perbaikan.

3) Bila ada fasilitas pembiakan, maka kriteria kesembuhan ditambah

dengan adanya biakan yang negatif.

f. Evaluasi Pasien yang Telah Sembuh

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi

minimal dalam dua tahun pertama setelah sembuh. Hal ini dimaksudkan

untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis

sputum BTA dan foto toraks. Pemeriksaan mikroskopis sputum BTA pada

bulan ke 3,6,12,24 bulan (sesuai indikasi/ bila ada gejala) setelah

dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks dilakukan pada bulan ke 6, 12, dan

24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).

Page 24: KASUS IIIdacsd

11. Komplikasi

Pada pasien TB dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum

pengobatan, dalam masa pengobatan, maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa

komplikasi tersebut adalah :

a. Hemoptisis

b. Penumotoraks

c. Luluh Paru

d. Gagal Napas

e. Gagal Jantung

f. Efusi Pleura

B. Bronkitis

1. Definisi Bronkitis

Bronktis adalah peradangan dari satu atau lebih pada saluran pernafasan

(bronkus). Peradangan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penyebabnya bisa dari,

bakteri, alergi, dan lainnya (Dorland, 1995: 22). Pada kelompok pertama gejalanya

hampir sama dengan pneumonia ringan berupa batuk-batuk dengan dahak

mukopurulen, peningkatan suhu badan yang belum terlalu tinggi, rasa tak seperti

biasanya pada dada dan dapat sesak nafas ringan (Mutaqqin, Arif, 2008: 119). Bila

bronkhitis itu lama berkepanjangan, bahkan cenderung untuk sesekali kambuh di

masa-masa tenang, itulah bronkhitis kronis. Penderita yang memang sudah menderita

bronkhitis kronis sebelumnya, dalam 1 tahun dapat 1-2 kali terkena serangan akut,

baik itu berupa super infeksi dengan kuman baru (virus, bakteri ataupun

Page 25: KASUS IIIdacsd

mikroorganisme lain) maupun haya suatu eksaserbasi akut dari radang kronis yang

memang sudah menghinggapi mukosa bronkusnya.

2. Klasifikasi Bronkitis

Bronkitis kronis dapat dibagi atas:

a. Simple chronic bronchitis : bila spatum bersifat mukoid.

b. Chronic atau recurrent muco purulent bronchitis : bila spatum bersifat

mukopuruler

c. Chronic obstructive bronchitis : bila disertai obstruksi saluran nafasyang timbul

apabila terpanjang zat iritan atau ada infeksi saluranpernafasan akut (Sibuea,

Herdin dkk, 2005:59).

Padahal yang dimaksud dengan bronkitis kronis adalah suatu sindrom klinik

berupa batuk-batuk kronis berdahak setiap hari selama paling sedikit 3 bulan dan

selama paling sedikti 2 tahun berturut-turut dengan demikian tidak dipersoalkan apa

yang menjadi etiologinya serta bagaimana perubahan patofisiologis anatominya

(Danusantoso, Halim, 2005:72).

3. Epidemiologi

Di Indonesia, belum ada angka morbiditas bronkitis kronis, kecuali di rumah

sakitsentra pendidikan. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat (National

Center for HealthStatistics) diperkirakan sekitar 4% dari populasinya didiagnosa

bronkitis kronis. Angkainipun diduga masih di bawah angka morbiditas yang

sebenarnya karena bronkitis kronisyang tidak terdiagnosis. Bronkitis akut merupakan

kejadian yang paling umum dalampengobatan rawat jalan, berkontribusi terhadap

Page 26: KASUS IIIdacsd

sekitar 2,5 juta kunjungan ke dokter di ASpada 1998. Di Amerika Serikat, biaya

pengobatan untuk bronkitis akut sangat besar;untuk setiap episode, pasien menerima

rata-rata dua resep untuk digunakan 2-3 hari.Bronkitis kronis dapat dialami oleh

semua ras tanpa ada perbedaan. Frekuensiangka morbiditas bronkitis kronis lebih

kerap terjadi pada pria dibanding wanita. Hanyasaja hingga kini belum ada angka

perbandingan yang pasti. Usia penderita bronkitiskronis lebih sering dijumpai di atas

50 tahun.

4. Etiologi

Secara umum penyebab bronkitis dapat dibagi berdasarkan faktor lingkungan

dan faktorhost/penderita. 

Penyebab bronkitis berdasarkan faktor lingkungan meliputi polusi udara,

merokok dan infeksi. Infeksi sendiri terbagi menjadi infeksi bakteri

(Staphylococcus,Pertusis,Tuberculosis, mikoplasma), infeksi virus (RSV,

Parainfluenza, Influenza, Adeno) dan infeksi fungi (monilia). Faktor polusi udara

meliputi polusi asaprokok atau uap/gas yang memicu terjadinya bronkitis. Sedangkan

faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi alergi dan riwayat penyakit paru

yang sudah ada (Setiawati, Makmuri dan Asih, 2006).

Berdasarkan penyebabnya bronkitis dibagi menjadi dua yaitu bronkitis

infeksiosa dan bronkitis iritatif.

a. Bronkitis infeksiosa

Bronkitis infeksiosa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, terutama

Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia. Serangan bronkitis berulang bisa terjadi

Page 27: KASUS IIIdacsd

pada perokok dan penderita penyakit paru dan saluran pernapasan menahun.

Infeksi berulang bisamerupakan akibat dari:

1) Sinusitis kronis

2) Bronkiektasis

3) Alergi

4) Pembesaran amandel dan adenois pada anak-anak

b. Bronkitis iritatif 

Bronkitis iritatif adalah bronkitis yang disebabkan alergi terhadap sesuatu

yang dapatmenyebabkan iritasi pada daerah bronkus. Bronkitis iritatif bisa

disebabkan olehberbagai jenis debu, asap dari asam kuat, amonia, beberapa

pelarut organik klorin,hidrogen sulfida, sulfur dioksida dan bromine, polusi udara

yang menyebabkan iritasiozon dan nitrogen dioksida, tembakau dan rokok

lainnya. Faktor etiologi utama adalah zat polutan (Rahmadani dan Marlina,

2011).

5. Patofisiologi

Invasi virus menyebabkan obstruktis bronkhitis akibat amukulasi mucus,

debresi dan edema terjadi resistensi aliran udara pernafasanberbanding terbalik

(dengan radius lumen pangkat empat), baik pada faseinpirasi maupun fese ekspirasi

terdapat mekanisme klep yaituterperangkapnya udara yang menimbulkan obserinflasi

dada. Pertukaranudara yang terganggu menyebabkan ventilasi terkurang dan

hipoksemia,peningkatan frekuensi nafas sebagai kompensasi pada keadaan

sangatberat dapat terjadi hiperkapnia obstruksi total dan terserapnya udara

dapatmenyebabkan atelaksasis.Gangguan respirotik jangka panjang pasca bronkhitis

Page 28: KASUS IIIdacsd

dapat timbulberapa batuk berulang mengi dan hiperaktivitas bronkus.

Cenderungmembaik sebelum usia sekolah. Komplikasi jangka panjang

yaitubronkhitis, obeliteris dan sindrom paru hiperlusen unilateral sering dihubungkan

dengan. adenovirus (Danusantoso,Halim,2005:72).

Patomekanisme

a. Kelenjar mukosa brankus akan beriritasi dan membentuk lendir yang lebih

banyak.

b. Rambut silia epitel bronkus yang bergerak terus menerus dan memindahkan

lendir dari bronkus dan trakea dengan perlahan-lahan. Kearah mulut mengalami

kelumpuhan.

c. Terjadi penumpukan lendir dan bakteri yang tidak dibuang akan berkembang

biak serta membangunkan lekosit untuk menyerang sputum yang purulenta akan

terbentuk, disusul oleh batuk yang produktif pada penderita dengan bronkus

yang peka, bronkus yang hiperaktif terjadi kekejangan otot-otot bronkus dan

edema mukosa (Sibuea, Herdin, 2005:60).

6. Manifestasi Klinis

Penderita selalu akan mengeluh batuk-batuk berdahak yang sudah bertahun-

tahun lamanya untuk kemudian disusul dengan bunyi nafas dan sesak. Berbeda

dengan astham, maka sesak nafas tidak bersifat hilang tumbuh dengan begitu nyata,

tetapi cenderung untuk selalu ada. Walaupun dapat bervariasi antara agak ringan

(bila tidak ada infeksi sekunder) sampai berat bila ada serangan infeksi sekunder

(Danusantoso,Halim, 2005:72).

Page 29: KASUS IIIdacsd

Biasanya didahului infeksi saluran nafas atas dengan batuk pilek, tanpa

demam atau hanya subfebris. Sesak nafas makin hebat disertai nafas cepat dan

dangkal terdapat dispnuding expiratory effort. Retraksi otot Bantuk nafas, nafas,

cepat dangkal disertai nafas cuping hidung sianosis sekitar hidung dan mulut,

gelisah, ekspirium memenjang atau mengi. Jika obstruksi hebat suara nafas nyaris,

tak terdengar, ronki basah halus nyaring kadang terdengar pada akhir/awal eksirasi,

suara perkusi paru hipersonor (Mutaqqin,Arif, 2008:120).

7. Diagnosis

a. Anamnesis

Keluhan utama pada klien dengan bronkhitis meliputi batuk kering,

produktif dengan sputum purulen, demam dengan suhu tubuh dapat mencapai

>40°C, dan sesak nafas (Sibuea, Herdin dkk, 2005:61).

b. Pemeriksaan Fisik

Pada stadium dini tidak di temukan kelainan fisik hanya kadang-kadang

terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi, kadang di sertai bising

mengi juga di dapatkan tanda-tanda overinflasi paru.

1) Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan bronkhitis

biasanya di dapatkan adanya peningkatan suhu tubuh lebih dari 40°C,

frekuensi napas meningkatkan dari frekuensi normal, nadi biasanya

meningkatkan seirama dengan peningkatkan suhu tubuh dan frekuensi

pernafasan, serta biasnya tidak ada masalah dengan tekanan darah

(Mutaqqin, Arif, 2008:120).

Page 30: KASUS IIIdacsd

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto thorak pasterio-anterior dilakukan untuk menilai derajat

progresivitas penyakit yang berpengaruh menjadi penyakit paru obstruktif

menahun (Mutaqqin, Arif, 2008).

d. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya perubahan pada

peningkatan eosinofil (berdasarkan pada hasil hitung jenis darah). Sputum

diperiksa secara mikroskopi untuk diagnosis banding dengan tuberkulosis paru.

1) Darah

Pemeriksaan darah rutin hanya dapat memperkuat dugaan saja, yaitu

lektosis ringan (tidak selalu) dengan pergeseran tekanan, yang sebenarnya tak

bersedia dengan keadaan-keadaan dengan infeksi kronis lain. Kultur darah

seringkali tak menunjukan adanya bakteriemi kadang-kadang dapat

memberikan hasil positif, sehingga kemungkinan timbulnya metostasis

pernanahan (terutama di otak) perlu diwaspadai.

2) Sputum

Pemeriksaan sputum memegang peranan yang sangat penting dan dapat

di kerjakan secara mikroskop dan kultur dengan tes resistensi. Pemeriksaan

sputum sewaktu secara mikroskopik dapat memberikan indikasi tentang

bagaimana keadaan penderita. Semakin purulen sputumnya. Semakin besar

pula bahaya bahwa sedang atau hampir terjadi suatu aksaserbasi akut ataupun

suatu infeksi sekunder yang baru (Mutaqqin, Arif, 2008:120).

Page 31: KASUS IIIdacsd

8. Penatalaksanaan

a. Umum

1) Hindari paparan faktor pencetus seperti udara dingin, debu, dll

2) Pakai masker saat beraktivitas

3) Istirahat yang cukup

4) Makan makanan yang bergizi

5) Banyak minum air hangat

b. Medikamentosa

Suatu studi penelitian menyebutkan bahwa beberapa pasien dengan

bronkitis akut sering mendapatkan terapi yang tidak tepat dan gejala batuk yang

mereka derita sering kali berasal dari asma akut, eksaserbasi akut bronkitis

kronik atau common cold . Beberapa penelitian menyebutkan terapi untuk

bronkitis akut hanya untuk meringankan gejala klinis saja dan tidak perlu

pemberian antibiotik dikarenakan penyakit ini disebabkan oleh virus.

1) Pemberian Antibiotik

Beberapa studi menyebutkan, bahwa sekitar 65–80 % pasien dengan

bronkitis akut menerima terapi antibiotik meskipun seperti telah diketahui

bahwa pemberian antibiotik sendiri tidak efektif. Pasien dengan usia tua

paling sering menerima antibiotik dan sekitar sebagian dari mereka

menerima terapi antibiotik dengan spektrum luas. Tren pemberian antibiotik

spektrum luas juga dapat dijumpai di praktek dokter–dokter pada umumnya.

Page 32: KASUS IIIdacsd

2) Bronkodilator

Dalam suatu studi penelitian dari Cochrane, penggunaan

bronkodilator tidak direkomendasikan sebagai terapi untuk bronkitis akut

tanpa komplikasi. Ringkasan statistik dari penelitian Cochrane tidak

menegaskan adanya keuntungan dari penggunaan β-agonists oralmaupun

dalam mengurangi gejala batuk pada pasien dengan bronkhitis akut.

Namun, pada kelompok subgrup dari penelitian ini yakni pasien bro

nkhitis akut dengan gejala obstruksi saluran napas dan terdapat wheezing,

penggunaan bronkodilator justru mempunyai nilai kegunaan. Efek samping

dari penggunaan β -agonists antara lain, tremor, gelisah dan tangan

gemetar. Penggunaan antikolinergik oral untuk meringankan gejala batuk

pada bronkitis akut sampai saat ini belum diteliti dan oleh karena itu tidak

dianjurkan.

Page 33: KASUS IIIdacsd

3) Antitusif

Dikarenakan pada penelitian sebelumnya, penggunaan kedua obat

tersebut terbukti efektif untuk mengurangi gejala batuk untuk pasien dengan

bronkitis kronik, maka penggunaan pada bronkitis akut diperkirakan

memiliki nilai kegunaan. Suatu penelitian mengenai penggunaan kedua

obattersebut untuk mengurangi gejala batuk pada common cold dan

penyakit saluran napas akibat virus, menunjukkan hasil yang beragam dan

tidak direkomendasikan untuk sering digunakan dalam praktek keseharian.

Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kedua obat ini juga efe

ktif dalam menurunkan frekuensi batuk per harinya. Dalam suatu penelitian,

sebanyak 710 orang dewasa dengan infeksi saluran pernapasan atas dan

gejala batuk, secara acak diberikan dosis tunggal 30mg Dekstromethorpan

hydrobromide atau placebo dan gejala batuk kemudian di analisa secara

objektif menggunakan rekaman batuk secara berkelanjutan. Hasilnya

menunjukkan bahwa batuk berkurang dalam periode 4 jam pengamatan.

Dikarenakan pada penelitian ini disebutkan bahwa gejala batuk lebih

banyak berasal dari bronkitis akut, maka penggunaan antitusif sebagai terapi

empiris untuk batuk pada bronkitis akutdapat digunakan.

 

Page 34: KASUS IIIdacsd

4) Agen mukokinetik

Penggunaan ekspektoran dan mukolitik belum memilki bukti klinis

yang menguntungkan dalam pengobatan batuk pada bronkitis akut di

beberapa penelitian, meskipun terbukti bahwa efek samping obat minimal. 

5) Lain–lain

Analgesik & antipiretik bila diperlukan dapat diberikan. Pada

penderita, diperlukan istirahat dan asupan makanan yang cukup,

kelembaban udara yang cukup serta masukan cairan ditingkatkan.

9. Prognosis

a. Quo ad vitam: bonam

b. Quo ad functionam: bonam

c. Quo ad sanationam: dubia ad bonam

C. Pneumonia

1. Definisi

Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang

disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Sedangkan

peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,

aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.

2. Epidemiologi

  Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam

bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.

Page 35: KASUS IIIdacsd

Dari data SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan

penyebab kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia,

nomor 3 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO

1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di

dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi

pneumonia komuniti di Amerika adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan

merupakan penyebab kematian utama akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu.

Angka kematian akibat pneumonia di Amerika adalah 10 %.

Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya ditemukan

50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari

untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian

bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan

antibiotika secara empiris.

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi

saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di

Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi juga merupakan

penyakit paru utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan

11,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus

infeksi dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkulosis. Di RSUP H. Adam Malik

Medan 53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkulosis. Di

RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti

dengan angka kematian antara 20 - 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat

keempat dan sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun.

Page 36: KASUS IIIdacsd

3. Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu

bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang

diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif,

sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif

sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-akhir

ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang

ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri

Gram negatif.

4. Patofisiologi

Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.

Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi

ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak

dan menimbulkan penyakit.

               Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme

untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara

mikroorganisme mencapai permukaan :

a. Inokulasi langsung

b. Penyebaran melalui pembuluh darah

c. Inhalasi bahan aerosol

d. Kolonisasi dipermukaan mukosa

 

Page 37: KASUS IIIdacsd

          Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi.

Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria

atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat

mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila

terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi

aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini

merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian

kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada

keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).

              Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,

sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer

inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia.

               Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau

aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama

dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di

temukan jenis mikroorganisme yang sama.

Patologi

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan

reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan

diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya

antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan

leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut

kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka

akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :

Page 38: KASUS IIIdacsd

a. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.

b. Zona permulaan  konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah

merah.

c. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan

jumlah PMN yang banyak.

d. Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,

leukosit dan alveolar makrofag.

Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan

'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas.

5. Klasifikasi Pneumonia

a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis

1) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

2) Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial

pneumonia)

3) Pneumonia aspirasi

4) Pneumonia pada penderita Immunocompromised

*pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.

b. Berdasarkan bakteri penyebab

1) Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa

bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya

Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca

infeksi influenza.

Page 39: KASUS IIIdacsd

2) Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

3) Pneumonia virus

4) Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama

pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)

c. Berdasarkan predileksi infeksi

1) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan

orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen

kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada

aspirasi benda asing atau proses keganasan

2) Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan

paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan

orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus

3) Pneumonia interstisial

6. DIAGNOSIS

a. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu

tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau

purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

b. Pemeriksaan Fisik

Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada

inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa

palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar

Page 40: KASUS IIIdacsd

suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki

basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Gambaran radiologis

Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama

untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat

sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan

interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas

menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah

diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering

disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia

sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang

terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

2) Pemeriksaan labolatorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih

dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis

leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk

menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah

dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak

diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada

stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

Page 41: KASUS IIIdacsd

7. Penatalaksanaan

8. Prognosis

Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,

bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan

yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita

yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada

penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi

20%. Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian

pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan

kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas

Page 42: KASUS IIIdacsd

V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita

pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan

pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999

adalah 21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.

D. Bronkiektasis

1. Definisi

Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen. Dilatasi dapat bersifat

fokal atau difus, biasanya diaibatkan oleh infeksi kronik, obstruksi pernapasan

proksimal, atau abnormalitas bronkus kongenital. Bronkiektasis dapat

dikelompokkan berdasarkan gambaran radiologi atau patologi jalur pernapasan

menjadi silinder, varicose, dan kistik. ‘

2. Epidemiologi dan Etiologi

Insidens bronkiektasis meningkat seiring bertambahnya usia, sekitar 272 per

100.000 orang dengan usia ≥75 tahun. Seiring ditemui pada perempuan berusia di

atas 50 tahun yang tidak merokok. Insidens perempuan lebih tinggi dibandingkan

laki-laki. Sebanyak 42% kasus disebabkan oleh post-infeksi, namun sekitar 50%

lainnya tidak diketahui penyebab pastinya.

3. Patogenesis

Bronkiektasis merupakan penyakit pada bronkus dan bronkiolus, yang

melibatkan infeksi transmural dan reaksi radang. Penyakit tersebut bersifat kronik

dengan eksaserbasi akut sepanjang perjalanannya. Infeksi, biasanya Pseudomonas

Page 43: KASUS IIIdacsd

aeruginosa atau Haemophilus influenza, menyebabkan proses peradangan dan

merusak dinding bronkus. Infeksi, khususnya oleh kedua mikroorganisme tersebut,

menghasilkan pigmen, protease, dan toksin yang dapat merusak epitel pernapasan

dan klirens mukosilier. Proses inflamasi dan gangguan klirens mukosiler

menyebabkan kolonisasi bakteri mudah terjadi sehingga terjadi infeksi berulang

yang akan terus menyebabkan proses inflamasi dan gangguan klirens mukosilier.

Proses tersebut dikenal dengan hipotesis “Vicious Cycle”. Proses tersebut

menyebabkan neutrofil dan mediator lainnya keluar dan menyebabkan kerusakan

epitel yang semakin berat, obstruksi, kerusakan jalur napas, dan infeksi berulang.

4. Manifestasi Klinis

Pada anamnesis perlu dicari beberapa hal, antara lain :

a. Pada umumnya batuk berdahak, beberapa batuk kering lama. Sputum mukoid,

mukopurulen (71-97%), kental atau campuran ketiganya yang dikenal dengan

sputum tiga lapis.

b. Hemoptisis (50-70% kasus).

c. Lemas, penurunan BB, mialgia.

d. Dipsneu, mengi.

e. Demam, nyeri dada pleuritik.

f. Kor pulmonal.

g. Tidak ada riwayat merokok.

h. Riwayat keluhan yang kronik.

Dari pemeriksaan fisis, dapat ditemukan takipneu ronki basah (hingga 70%

kasus), mengi dan jari tabuh. Jika disertai penyakit sistemik berat lainnya, dapat

terjadi hipoksemia kronik, kor pulmonal, atau gagal ventrikel kanan.

Page 44: KASUS IIIdacsd

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Foto toraks dada

Tidak sensitive dalam mendeteksi derajat dari penyakit (ringan/sedang).

Dari foto polos, dapat terlihat gambaran seperti jalur tram, cincin, garis paralel

dan struktur tubular. Pada bronkiektasis sakular, terdapat gambaran ruang

kistik, air-fluid level atau gambaran honeycomb.

b. CT scan

Standar baku dalam mendiagnosis bronkiektasis. Lebih sensitive

dibandingkan foto polos dada menggambarkan dilatasi salura napas pada kedua

lobus dan lingual.

Karakteristik : bronchial tapering menurun, bronkus terlihat 1 cm pada tepi

paru, rasio ukuran bronkoarteri meningkat (tanda signet-ring).

c. Bronkoskopi fiberoptik

Mengetahui penyebab penyumbatan endobronkial.

d. Pemeriksaan sputum, kultur sputum, pewarnaan

Dapat ditemukan neutrofilia dan kolonisasi. Selain itu dapatdilakukan tes

resistensi antibiotik (terutama pada infeksi Pseudomonas aeruginosa).

Page 45: KASUS IIIdacsd

6. Tatalaksana

Tujuan

a. Tatalaksana infeksi, terutama pada serangan akut.

b. Peningkatan klirens sekresi trakeobronkial.

c. Penurunan inflamasi.

d. Tatalaksana pada masalah lainnya yang teridentifikais.

Medikamentosa

Terapi antibiotik merupakan tatalaksana utama pada bronkiektasis. Terapi

antibiotic dapat dibagi menjadi terapi eksaserbasi akut dan jangka panjang.

Pemberian terapi antibiotik jangka panjang sebaiknya dilakukan oleh pelayanan

kesehatan tingkat sekunder atau diatasnya.

a. Eksaserbasi akut

Indikasi terapi antibiotik pada eksaserbasi akut, antara lain terjadi

perburukan keadaan umum mendadak, biasanya dalam beberapa hari, berupa

bertambahnya keluhan batuk, volume sputum atau terdapat keluhan sesak atau

hemoptisis. Terapi antibiotik bersifat empiris dan diberikan selama 10-14 hari.

Regimen antibiotic dapat iubah setelah mendapat hasil pemeriksaan

bakteriologis.

b. Jangka panjang

Indikasi terapi antibiotik jangka panjang, antara lain jika keluhan sangat

berat dan sering (eksaserbasi akut >3x/tahun). Regimen antibiotic ditentukan

berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis ketika tidak dalam eksaserbasi

akut.

Tatalaksana lainnya, yaitu pemberian bronkodilator dikatakan dapat

memperbaiki penyumbatan dan meninkatkan klirens. Sedangkan pemberian

Page 46: KASUS IIIdacsd

mukolitik untuk mengurangi secret dan memperbaiki klirens hingga saat ini masih

diperdebatkan. Tindakan rehabilitasi medic dapat membantu, seperti posisi tidur

dan cara mengeluarkan dahak.

Bedah ‘

Operasi hingga saat ini bukan pilihan utama, terutama jika terapi antibiotic

dan suportif masih efektif. Namun, jika keluhan meningkatkan morbiditas, reseksi

pada region paru yang terkena dapat menjadi pilihan jika lesi bersifat local atau

embolisasi jika lesi luas.

E. Emfisema

Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada paru dengan adanya

kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal

yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir

proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada

kenyataannya, ketika klien mengalami gejala emfisema, fungsi paru sudah sering

mengalami kerusakan permanen (irreversible) yang disertai dengan bronchitis

obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama kecacatan.

1. Definisi Emfisema

Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang

dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216)

Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-

ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.

(Robbins.1994.253).

Page 47: KASUS IIIdacsd

Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru

dan luas permukaan alveoli.(Corwin.2000.435)

2. Klasifikasi

Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan

perubahan yang terjadi dalam paru-paru :

a. Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus

alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak

membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki

dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan

berat badan.

b. Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada

pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi

kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia

(peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung

sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal

napas.

Pembagian Klinis

Paracicatricial Terdapat pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding

alveolus di tepi suatu lesi fibrotic paru

Lobular Pelebaran saluran udara dan kerusakan dinding alveolus di

asinus/lobules sekunder

Pembagian Menurut Lokasi Tempat Proses

Sentrolobular Kerusakan terjadi di daerah sentral asinus. Daerah distalnya

tetap normal

Page 48: KASUS IIIdacsd

Panlobular Kerusakan terjadi di seluruh asinus

Tak dapat ditentukan Kerusakan terdapat di seluruh asinus, tetapi tidak dapat

ditentukan dari mana mulainya

Pada emfisema paru, terdapat pelebaran secara abnormal saluran udara

sebelah distal bronchus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus.

3. Penyebab

Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus

sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada

penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang

yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru

terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin

adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini.

4. Gejala

Gejala Emfisema ringan semakin bertambah buruk selama penyakit terus

berlangsung. Gejala-gejala emfisema antara lain:

a. Sesak napas

b. Mengi

c. Sesak dada

d. Mengurangi kapasitas untuk kegiatan fisik

e. Batuk kronis

f. Kehilangan nafsu makan dan berat

g. Kelelahan

Page 49: KASUS IIIdacsd

5. Etiologi

a. Merokok

Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang

erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Norwak,

2004).

b. Keturunan

Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada

emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin.

Kerja enzim ini menetralkan enzim proteulitik yang sering dikeluarkan pada

peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan

jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu

kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita

emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. emfisema paru

akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.

c. Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-

gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada

seseorang penderita bronchitis kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru

bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi

bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi skunder oleh

bakteri.

d. Hipotesis Elastase – Antielastase

Page 50: KASUS IIIdacsd

Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan

antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan

antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru.

Struktur paru akan berubah dan timbulah emfisema. Sumber elastase yang

penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary

alveolar macropage—PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok

dan infeksi protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi

menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara

elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan

kemudian emfisema.

6. Manifestasi Klinis

a. Dispnea.

b. Pada inspeksi: bentuk dada ‘barrel chest’.

c. Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot

aksesori pernapasan (sternokleidomastoid).

d. Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.

e. Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan

ekspirasi.

f. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum.

g. Distensi vena leher selama ekspirasi.

Page 51: KASUS IIIdacsd

7. Patofisiologi

Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lender yang berlebihan,

kehilangan recoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan

redistribusi udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan

emfisema.

Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan

paru ke luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada)

dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru).

Keseimbangan timbul antara kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk

disebut sebagai fuctional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas paru

berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang lebih besar.

Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu

terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,

sehingga saluran bagian bawah paru akan tertutup.

Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih

cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran-saluran pernafasan

tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran

pernapasan menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi

dan perfusi yang tidak seimbang. Namun, semua itu bergantung pada

kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang / tidak ada,

tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah

ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada

keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).

Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbon dioksida mengalami

kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam

Page 52: KASUS IIIdacsd

darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding

alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal

berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk

mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area pulmonal. Dengan

demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasi

emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena

jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung

(Nowak, 2004).

Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu

melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis

menetap dalam paru yang mengalami emfisema, ini memperberat masalah.

Individu dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh

peningkatkan tahanan jalan nafas aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru.

Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.

Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru dibutuhkan tekanan

negative selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus

dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan

kerja keras otot-otot pernafasan yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga

terfikasi pada persendiannya dengan bermanifestasi pada perubahan bentuk dada

dimana rasio diameter AP,Tranversal mengalami peningkatan (barrel chest). Hal ini

terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang

berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.

Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang

belakang bagian atas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung.

Beberapa klien membungkuk ke depan untuk dapat bernafas, menggunakan otot-

Page 53: KASUS IIIdacsd

otot bantu nafas. Retraksi fosa supraklavikula yang terjadi pada inspirasi

mengakibatkan bahu melengkung ke depan.

Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat

inspirasi. Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi normal

menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak memingkinkan terjadi. Kapasitas vital total

(VC) mungkin normal, tetapi rasio dan volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan

kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas alveoli yang

mengalami kerusakan dan jalan nafas yang menyempit meningkatkan upaya

pernafasan (Smeltzer dan Bare, 2002).

8. Komplikasi

a. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan

b. Daya tahan tubuh kurang sempurna

c. Tingkat kerusakan paru semakin parah

d. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas

e. Pneumonia

f. Atelaktasis

g. Pneumothoraks

h. Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.

9. Pemeriksaan Diagnosis

a. Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;

peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula

Page 54: KASUS IIIdacsd

(emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama

periode remisi (asma).

b. Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk

menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk

memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis.,

bronkodilator.

c. TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma;

penurunan emfisema.

d. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.

e. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.

f. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun

pada bronkitis dan asma.

g. GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis.

h. h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi,

kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa

yang terlihat pada bronchitis.

i. JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan

eosinofil (asma).

j. Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan

diagnosa emfisema primer.

k. Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen;

pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.

l. EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia

atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis,

emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).

Page 55: KASUS IIIdacsd

m. EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru,

mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program

latihan.

10. Pencegahan dan Pengobatan

Jika penderita adalah perokok aktif, berhenti merokok dapat membantu

mencegah penderita dari penyakit ini. Jika emfisema sudah menjalar, berhenti

merokok mencegah perkembangan penyakit. Pengobatan didasarkan pada gejala

yang terjadi, apakah gejalanya ringan, sedang atau berat. Perlakuan termasuk

menggunakan inhaler, pemberian oksigen, obat-obatan dan kadang-kadang operasi

untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi.

Page 56: KASUS IIIdacsd

BAB III

PATOFISIOLOGI

A. Batuk

Pola dasar batuk bisa dibagi kepada empat komponen yaitu inspirasi dalam

yang cepat, ekspirasi terhadap glotis yang tertutup, pembukaan glotis secara tiba-

tiba dan terakhir relaksasi otot ekspiratori (McGowan, 2006).

Menurut Weinberger (2005) batuk bisa diinisiasi sama ada secara volunter

atau refleks. Sebagai refleks pertahanan, ia mempunyai jaras aferen dan eferen.

Jaras aferen termasuklah reseptor yang terdapat di distribusi sensori nervus

trigemineus, glossopharingeus, superior laryngeus, dan vagus. Jaras eferen pula

termasuklah nervus laryngeus dan nervus spinalis. Batuk bermula dengan inspirasi

dalam diikuti dengan penutupan glotis, relaksasi diafragma dan kontraksi otot

terhadap penutupan glotis. Tekanan intratorasik yang positif menyebabkan

penyempitan trakea. Apabila glotis terbuka, perbedaan tekanan yang besar antar

atmosfer dan saluran udara disertai penyempitan trakea menghasilkan kadar aliran

udara yang cepat melalui trakea. Hasilnya, tekanan yang tinggi dapat membantu

dalam mengeliminasi mukus dan mikroorganisme penyebab infeksi, dalam kasus

ini adalah Mycobacterium tuberculosis.

Page 57: KASUS IIIdacsd

B. Dispneu

Aktivitas bernapas dimulai dari neuron di medulla spinalis. Serat efferent

dari medulla spinalis merangsang mekanoreseptor pada saluran napas, paru,

dinding dada, dalam mengatur pola napas. Selanjutnya serat efferent dari medulla

spinalis juga merangsang perubahan pada pCO2 dan pO2 yang diatur oleh

kemoreseptor sentral pada medulla spinalis dan kemoreseptor tepi pada arteri

carotis dan aortic body. Sinyal dari kemoreseptor ini ditransmisikan kembali ke

pusat batang otak yang mengatur pernapasan untuk menjaga keseimbangan gas

darah dan keseimbangan asam-basa. Signal efferent dari mekanoreseptor dan

kemoreseptor akan dilanjutkan kembali ke pusat napas di cortex cerebri.

Sesak timbul ketika terjadi ketidakseimbangan oksigen dan karbondioksia.

Pada tuberculosis terjadi gangguan pada proses ventilasi yang disebabkan reaksi

peradangan pada alveolus oleh Mycobacterium tuberculosis. Fungsi alveolus

adalah sebagai tempat difusi (pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida).

Apabila fungsi ini terganggu maka akan terjadi ketidakseimbangan gas oksigen dan

karbondioksida. Hal ini akan merangsang peningkatan dari kerja otot pernapasan

untuk mengkompensasi keadaan tersebut, tetapi peningkatan kerja otot pernapasan

ini tidak diimbangi oleh kapasitas ventilasi yang memadai, sehingga timbul

dispneu.

C. Keringat Dingin Malam Hari

Ada pendapat keringat malam pada pasien tuberculosis aktif terjadi sebagai

respon salah satu molekul sinyal peptida yaitu tumour necrosis factor alpha (TNF-

α) yang dikeluarkan oleh sel-sel sistem imun dimana mereka bereaksi terhadap

Page 58: KASUS IIIdacsd

bakteri infeksius (M.tuberculosis). monosit yang merupakan sumber TNF-α akan

meninggalkan aliran darah menuju kumpulan kuman M.tuberculosis dan menjadi

makrofag migrasi. Walaupun makrofag ini tidak dapat mengeradikasi bakteri secara

keseluruhan, tetapi pada orang imunokompeten makrofag dan sel-sel sitokin

lainnya akan mengelilingi kompleks bakteri tersebut untuk mencegah penyebaran

bakteri lebih lanjut ke jaringan sekitarnya. TNF-α yang dikeluarkan secara

berlebihan sebagai respon imun ini akan menyebabkan demam, keringat malam,

nekrosis, dan penurunan berat badan dimana semua ini merupakan karakteristik

dari tuberculosis (Tramontana et al 1995).

D. Anoreksia dan Penurunan Berat Badan pada TB

Infeksi Mycobacterium tuberculosis

Aktivasi makrofag oleh IFN-γ produksi pirogen endogen

IL -1, IL-4, IL-6, TNF-α

Pirogen endogen bersirkulasi sistemik & menembus masuk

hematoencephalic barrier bereaksi terhadap hipotalamus.

Efek sitokin pirogen endogen pada hipotalamus menyebabkan

produksi prostaglandin.

Prostaglandin merangsang cerebral cortex

( respon behavioral) → nafsu makan menurun & leptin meningkat

menyebabkan stimulasi dari hipotalamus → nafsu makan disupresi

Page 59: KASUS IIIdacsd

Pada masa yang sama terjadi peningkatan metabolisme tubuh pada

pasien TB karena peningkatan penggunaan energi metabolik.

Penurunan nafsu makan dan peningkatan metabolisme tubuh pasien TB

menyebabkan penurunan BB

E. Febris

Demam terjadi karena adanya suatu pirogen (zat yang menyebabkan

demam) yang pada kasus ini adalah Mycobacterium tuberculosis atau disebut juga

dengan piroge eksogen. Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel

darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa

toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan

mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF α,

dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endothelium

hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005).

Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan thermostat di

pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang

lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-

mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit

dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi

peningkatan produksi panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh

naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).

Demam memiliki tiga fase yaitu : fase kedinginan, fase demam, dan fase

kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu

Page 60: KASUS IIIdacsd

tubuh yang ditandai dengan vasokostriksi pembuluh darah dan peningkatan

aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa

kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase

keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu

yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase

penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat

yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna

kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006).

Page 61: KASUS IIIdacsd

BAB IV

PENJELASAN DD (DIFFERENTIAL DIAGNOSIS)

TB BRONKITIS AKUT PNEUMONIA BRONKIEKTASIS EMFISEMA

Batuk Batuk produktif,

remiten

Batuk produktif,

remiten, disertai

dahak berwarna

kuning kehijauan

Demam tinggi

(hiperpireksia)

Batuk menahun,

produktif, berbau

busuk dan/atau

mengandung darah

Batuk ringan

Dispnea

- + +

Sesak berat, terdapat

otot pernafasan

tambahan

Sesak saat aktivitas Progresif bila

bergerak

Keringat dingin

malam hari+ - - - -

Anoreksia + + +

Penurunan BB + + + + +

Febris Demam subfebris + + + -