kasus
DESCRIPTION
kasus sarapTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia hemolitik merupakan suatu kerusakan sel eritrosit yang lebih awal. Anemia
hemolitik autoimun (AIHA) terjadi ketika terdapat autoantibodi yang berikatan dengan eritrosit,
sehingga menghancurkan sel darah merah dan berujung pada manifestasi anemia. Anemia
hemolitik autoimun menandakan adanya kegagalan dalam mekanisme pengenalan antigen diri.
Mekanisme spesifik dari AIHA sendiri belum jelas sampai saat ini. Sindrom AIHA secara umum
dibagi berdasarkan hubungan antara aktivitas antibodi dan suhu. Antibodi tipe hangat yaitu
molekul IgG mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu tubuh. Sedangkan antibodi tipe
dingin yaitu molekul IgM, mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu rendah.1
Anemia hemolitik autoimun merupakan penyakit yang jarang dijumpai. Angka
kejadiannya berkisar 1-3 per 100.000 orang per tahun. Pada masa anak-anak kejadian penyakit
ini mencapai 1 per 1 juta anak dan manifestasinya secara primer sebagai proses ekstravaskuler.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120 hari (umur
eritrosit normal). Hemolisis mungkin asimptomatik, tapi bila eritropoesis tidak dapat
mengimbangi kecepatan rusaknya sel darah merah dapat terjadi anemia. Autoimmune hemolytic
1
anemia (AIHA) adalah suatu kondisi dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem
komplemen terikat pada antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel
darah merah melalui Sistem Retikulo Endotelial (RES).1
B. Epidemiologi
Penyakit autoimun di masyarakat mencapai 5-7% dan seringkali merupakan penyakit
kronik. Kelainan imunologi yang terjadi merupakan gambaran suatu penyakit yang heterogen
yang dapat dikelompokkan dalam penyakit sistemik (misalnya arthritis reumatoid) dan penyakit
organ spesifik (misalnya anemia hemolitik autoimun).2
Anemia hemolitik terjadi sekitar 5% dari keseluruhan anemia. Angka kejadian tahunan
anemia hemolitik autoimun dilaporkan mencapai 1-3 per 100.000 orang pada populasi secara
umum. Anemia hemolitik autoimun merupakan kondisi yang jarang dijumpai pada masa anak-
anak, kejadiannya mencapai 1 per 1 juta anak dan bermanifestasi primer sebagai proses
ekstravaskuler.2,3
C. Tipe AIHA
Antibodi yang khas pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu
yang berbeda-beda.2 AIHA tipe hangat diperantarai IgG, yang mengikat sel darah merah secara
maksimal pada suhu 37oC. Pada AIHA tipe dingin diperantarai oleh IgM (cold aglutinin), yang
mengikat sel darah merah pada suhu yang rendah (0 sampai 4oC).3 AIHA tipe hangat lebih sering
dijumpai dari pada tipe dingin. Wanita lebih sering terkena daripada laki-laki. Direct Coomb’s
tes dapat menunjukkan adanya antibodi atau komplemen pada permukaan sel darah merah dan
merupakan tanda dari autoimun hemolisis.4
D. Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem
komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.5
Aktivasi sistem komplemen
2
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran
sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan hemoglobinemia dan
hemoglobinuria.5
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi
yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM
disebut sebagai aglutinin tipe dingin sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida
pada permukaan sel darah merah pada suhu dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin
hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritosit pada suhu tubuh.5
Aktivasi komplemen jalur klasik
Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C1
akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu
mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2
menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3
menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformasional sehingga mampu
berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen . C3 juga akan
membelah menjadi C3d,g dan c3c. C3d dan C3g akan tetrap berikatan pada membrane sel darah
merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b
menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin)
dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur
membrane terdiri dari molekul C5b, C6, C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan
menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu saluran transmembran sehingga permeabilitas
membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel
membengkak dan ruptur.5
Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan
dengan membran sel darah merah. Factor B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D factor B
dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan
C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan
3
dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi c5a dan c5b. Selanjutnya C5b berperan dalam
penghancuran membran.5
Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular
Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komponen-komplemen
namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan
dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi
perusakan eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR
akan menyebabkan fagositosis.5
E. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, fungsi imun yang abnormal dapat menyebabkan tubuh
menyerang sel darah merah yang normal. Beberapa penyebab tidak normalnya sistem imun
antara lain:2,6,8
1. Obat-obatan:
- Alpha-methyldopa
- L-dopa
- Asam mefenamat
- Penisilin
- Sulfonamide
2. Infeksi
- Infeksi virus
- Mycoplasma pneumonia
3. Keganasan
- Leukemia
- Lymphoma (Non-Hodgkin’s tapi kadang juga pada Hodgkin’s)
4. Penyakit Collagen-vascular (autoimun) misal: Lupus
Kerusakan sel eritrosit pada anak maupun dewasa sering disebabkan oleh adanya
mediator imun, baik autoimun maupun aloimun antibodi. Berbagai faktor yang berperan dalam
proses kerusakan eritrosit :7
4
1. Antigen sel eritrosit
2. Antibodi-anti sel eritrosit
3. Komponen non imunoglobulin, misalnya protein komplemen serum
4. Sistem fagosit mononuklear, khususnya reseptor fc pada makrofag limpa
F. Klasifikasi
Gambaran klinis anemia hemolitik autoimun dikelompokkan berdasar autoantibodi
spesifik yang dimilikinya atau reaksi warm atau cold yang terjadi.
Klasifikasi anemia hemolitik autoimun :5
1. Warm reactive antibodies
a. Primer (idiopatik)
b. Sekunder :
1). Kelainan limfoproliferatif
2). Kelainan autoimun (Sistemik lupus eritematosus/SLE)
3). Infeksi mononukleosis
c. Sindroma evan
d. HIV
2. Cold reactive antibodies
a. Idiopatik (Cold agglutinin diseases)
b. Sekunder :
1). Atipikal atau pneumonia mikoplasma
2). Kelainan limfoproliferatif
3). Infeksi mononukleosis
5
3. Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH)
a. Sifilis
b. Pasca infeksi virus
4. Drug induce hemolytic anemia
a. Hapten mediated
b. Imun komplek (kinin)
c. True autoimmune anti RBC type
d. Metabolite driven
G. Gambaran Klinis
Gejala dan tanda yang timbul tidak tergantung dari beratnya anemia tetapi juga proses
hemolitik yang terjadi. Anemia hemolitik autoimun menunjukkan gejala berupa mudah lelah,
malaise, demam, ikterus dan perubahan warna urin. Seringkali gejala disertai dengan nyeri
abdomen dan gangguan pernafasan. Tanda-tanda lain yang ditemukan ialah hepatomegali dan
splenomegali. Gambaran klinis anemia hemolitik dengan antibodi tipe warm berupa pucat,
ikterik, splenomegali dan anemia berat. Dua per tiga dari kasus dihubungkan dengan IgG,
merupakan antibodi langsung yang bereaksi terhadap antigen sel eritrosit dari golongan Rh.2,5
Berbeda dengan IgG autoantibodi, IgM pada cold reactive antibody tidak menimbulkan
kerusakan secara langsung terhadap sel retikuloendotelial pada sistem imun.5
H. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa sferositosis,
polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulositopeni pada awal anemia. Kadar
hemoglobin 3-9 g/dL, jumlah leukosit bervariasi disertai gambaran sel muda (metamielosit,
mielosit dan promielosit), kadang disertai trombositopeni.2,5
6
Gambar 1. Realoux.8
Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik normoblastik. Kadar
bilirubin indirek meningkat.
Pemeriksaan Direct Antiglobulin Test (DAT) atau lebih dikenal dengan Direct Coomb’s
test menunjukkan adanya antibodi permukaan atau komplemen permukaan sel eritrosit. Pada
pemeriksaan ini terjadi reaksi aglutinasi sel eritrosit pasien dengan reagen anti IgG menunjukkan
permukaan sel eritrosit mengandung IgG (DAT positif).5 Sel eritrosit pasien dicuci dari protein-
protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibody monoclonal terhadap
berbagai immunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. bila pada permukaan
sel terdapat salah satu atau kedua nya maka akan terjadi aglutinasi.
Indirect antiglobulin test (indirect coomb’s test). Untuk mendeteksi autoantibodi yang
terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Immunoglobulin yang
beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin
sera dengan terjadinya aglutinasi.
7
Gambar 2. Mekanisme Direct Coomb’s test.9
J. Penatalaksanaan
Penderita dengan anemia hemolitik autoimun IgG atau IgM ringan kadang tidak
memerlukan pengobatan spesifik, tetapi kondisi lain di mana terdapat ancaman jiwa akibat
hemolitik yang berat memerlukan pengobatan yang intensif.5
Tujuan pengobatan adalah mengembalikan nilai-nilai hematologis normal, mengurangi
proses hemolitik dan menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.5
Penatalaksanaan yang dapat diberikan :
1. Kortikosteroid
Pada penderita dengan anemia hemolitik autoimun, IgG mempunyai respon yang baik
terhadap pemberian steroid dengan dosis 2-10 mg/kgBB/hari.2 Dari sumber lain pemberian
kortikosteroid (misalnya prednison 1 mg/kg p.o. atau dosis yang lebih tinggi) adalah pengobatan
pilihan dalam AIHA antibodi idiopatik tipe hangat. Pada hemolisis yang sangat parah, dosis
muatan awal 100 sampai 200 mg dianjurkan. Kebanyakan pasien memiliki respon yang sangat
baik, yang pada sekitar 1/3 ditopang setelah 12 sampai 20 minggu terapi.8 Bila proses hemolitik
menurun dengan disertai peningkatan kadar Hb (monitor kadar Hb dan retikulosit), maka dosis
kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Pemberian kortikosteroid jangak panjang perlu
8
mendapat pengawasan terhadap efek samping, dengan monitor kadar elektrolit, peningkatan
nafsu makan, kenaikan berat badan, gangguan tumbuh kembang, serta risiko terhadap infeksi.2,5
2. Gammaglobulin intravena
Pemberian gammaglobulin intravena dengan dosis 2 g/kgBB pada penderita anemia
hemolitik autoimun dapat diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.2,5
3. Tranfusi Darah
Pada umumnya, anemia hemolitik autoimun tidak membutuhkan tranfusi darah. Tranfusi
sel eritrosit diberikan pada kadar hemoglobin yang rendah (misal Hb < 3g/dl), yang disertai
dengan tanda-tanda klinis gagal jantung dengan dosis 5ml/kgBB selama 3-4jam.2,5
4. Plasmafaresis atau Tranfusi Tukar
Plasmafaresis untuk pengobatan anemia hemolitik autoimun yang disebabkan oleh IgG
kurang efektif bila dibandingkan dengan hemolitik yang disebabkan oleh IgM meskipun sifatnya
hanya sementara.5
5. Splenektomi
Penderita yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid dianjurkan untuk
splenektomi. Tetapi mengingat komplikasi splenektomi (seperti sepsis), maka tindakan ini perlu
dipertimbangkan.5
6. Imunosupresi
Azatioprin 50-200mg/hari (80mg/m2), siklofosfamid 60 mg/m2/hari.5
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS
Nama : Nuratiqah
9
Umur : 3 tahun 1 bulan
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Desa Sei. Sebesi – Kec. Kundur
Tanggal masuk : 10 februari 2012
Alloanamnesis
Diberikan oleh ibu pasien
Keluhan utama
Pucat sejak 3 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
3 bulan sebelum masuk rumah sakit orang tua pasien mengeluhkan anaknya tampak pucat, badan
lemah dan nafsu makan berkurang. Pasien juga mengalami demam namun tidak tinggi. Pasien
tidak ada batuk, pilek, sakit menelan. Pasien tidak ada mimisan dan gusi berdarah maupun
pendarahan spontan. Pasien juga tidak ada mengeluh sesak nafas. Pasien tidak ada mengeluhkan
nyeri perut. Pasien tidak ada merasakan sakit dan bengkak pada sendi-sendi. BAK dan BAB
pasien normal.
Karena kondisi pasien yang lemah orang tua pasien membawa pasien ke RS Tanjung Batu. Di
RS tersebut pasien diperiksa darah dan didapatkan Hb pasien 3 g/dl. Pasien kemudian di rujuk ke
RS di Tanjung Balai untuk dilakukan transfusi.
Di RS Tj. Balai pasien mendapat transfusi sebanyak 2 kantong (@200cc), setelah transfusi
pasien tidak ada demam atau menggigil maupun gatal-gatal dan kondisi pasien membaik. Pasien
dapat bermain kembali, nafsu makan baik dan tidak pucat lagi. Pasien diperbolehkan pulang.
2,5 bulan SMRS (± 2 minggu setelah transfusi), pasien kembali tampak pucat, lemah, nafsu
makan menurun, tidak demam. BAK dan BAB normal. Pasien kemudian ditransfusi sebanyak 1
kantong dan kondisi pasien kemudian membaik kembali. Pasien dianjurkan untuk transfusi 2 kali
sebulan atau apabila tampak pucat dan lemah.
1 minggu SMRS pasien kembali mendapat transfusi. Hb pasien saat itu 4 g/dl setelah transfusi
menjadi 9 g/dl .
10
Selama 3 bulan terakhir pasien telah mendapat transfusi sebanyak 5 kali, dan kondisi pasien
kembali pucat dan lemah setelah mendapat transfusi kurang lebih 2 minggu setelah transfusi.
Pasien telah menjalani pemeriksaan darah dan dikirim ke Jakarta namun penyakit pasien masih
diragukan. Pasien dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan di RSUD Arifin
Achmad.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.
Pasien tidak ada mengkonsumsi obat-obatan.
Pasien tidak ada sakit kuning sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien.
Riwayat orangtua
- Ayah pasien bekerja sebagai pengumpul getah karet
- Ibu mengurus rumah tangga
Riwayat kehamilan
Saat hamil ibu pasien tidak ada sakit, kontrol kehamilan dengan bidan, keputihan (-), konsumsi
alkohol (-), jamu-jamuan (-).
Pasien lahir secara normal dengan bidan, BBL 2900 gram, langsung menangis.
Riwayat makan dan minum
ASI diberikan hingga usia 2 tahun
MP ASI mulai diberikan umur 6 bulan
Saat ini makanan sama dengan makanan keluarga
Riwayat imunisasi
Imunisasi lengkap
11
Riwayat pertumbuhan
- Usia 2 bulan sudah bisa tengkurap
- Usia 4 bulan sudah mulai duduk
- Usia 9 bulan sudah merangkak
- Usia 12 bulan sudah bisa berjalan sendiri
Kesan tumbuh normal
Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum : tampak sakit ringan
- Kesadaran : komposmentis
Tanda-tanda vital
- TD : 90/60
- Suhu : 36,7 c
- Nadi : 140 x/menit
- Nafas : 64 x/menit
Gizi
- TB : 83 cm
- BB : 9 kg
- LILA : 14 cm
- Lingkar kepala : 49 cm
- Lingkar perut : 48 cm
Status gizi menurut BB/TB NCHS persentil 50
- BB/TB : 9/11,2 x 100% = 81 % (mild malnutrition)
- BB/U : 9/14 x 100% = 64 %
- TB/U : 83/95 x 100% = 87%
Kulit : tampak pucat, ikterik (-)
Kepala : normosefal
12
Rambut : hitam, tidak kusam, tidak mudah dicabut
Mata
- Konjunctiva : pucat (+/+)
- Sclera : ikterik (-/-)
- Pupil : isokhor 3mm/3mm
- Reflex cahaya : langsung (+/+)
Telinga : DBN
Hidung : DBN
Mulut
Bibir : basah
Selaput lendir : basah
Palatum : utuh
Lidah : tidak kotor
gigi : karies (+)
Leher
KGB : tidak membesar
Kaku kuduk : (-)
Dada
- Inspeksi : simetris
- Palpasi : fremitus kiri = kanan
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-). BJ I dan BJ II normal. Bising
jantung (-)
Abdomen
- Inspeksi : cembung, venektasi (-)
13
- Palpasi : hepar teraba 1 jari dibawah arcus costarum, lien schuffner 2
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
Alat kelamin
Perempuan, DBN
Ektremitas
Akral hangat, CRT < 3”
Pemeriksaan laboratorium
Tanggal 10 Februari 2012
Darah
- Hb : 7,2 g/dl
- Ht : 17,2 %
- Leukosit : 10.400/mm3
- Trombosit : 237.000/mm3
Kimia darah
- BUN : 14 mg/dl
- CR-S : 0,27mg/dl
- SGOT ; 85 IU/L
- SGPT : 131 IU/L
Gambaran Darah Tepi (11 Februari 2012)
- Eritosit : normositik, normokrom, anisopoikilositosis, retikulosit (+), reauloux (+)
- Leukosit : kesan jumlah dan morfologi DBN
- Trombosit : kesan jumlah dan morfologi DBN
- Kesan : anemia normositik normokrom hemolitik
14
Hal hal yang penting dari anamnesis
- Pucat dan lemah sejak 3 bulan SMRS
- Nafsu makan menurun
- Penurunan hemoglobin yang bermakna dalam rentang waktu yang singkat (± 2 minggu)
Hal hal yang penting dari pemeriksaan fisik
- Konjunctiva anemis (+/+)
- Hepar teraba 1 jari di bawah arcus costarum
- Lien schuffner 1
Hal-hal penting dari penunjang
- Hb : 7,2 g/dl
- SGPT : 85 IU/L
- SGOT : 131 IU/L
- Gambaran darah tepi : kesan anemia normositik normokrom e.c hemolitik
Diagnosa kerja
Anemia hemolitik ec?
Diagnosa banding
- AIHA
- Thalasemia
- Defisiensi G6PD
Pemeriksaan anjuran
Coomb’s test
HPLC (high performance liquid chromatography)
G6PD
Hasil pemeriksaan anjuran :
15
Tanggal 13 Februari 2012
Direct Coomb’s test
- Pemeriksaan crossmatch dengan donor-donor golongan darah B incompability Mayor
dan Minor.
- Os golongan darah B Rhesus positif
- Pada sel os terdapat sensitisasi invivo (sel os diselubungi oleh immune antibody (IgG)
dan factor complement (C3)
- Dalam serum os ditemukan adanya free antibody irregular antibody. Spesifikasi belum
dapat ditentukan.
HPLC
- HbA2 4,1 %
- HbF 0,8%.
G6PD : 23,8 (normal)
Diagnosa :
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat
Terapi
- Transfusi darah dengan PRC washing eritrosite
Kebutuhan : ▲Hb x 4 x BB 4,8 x 4 x 9
172 cc 200 cc
Pemberian I : 10 x 9
: 90 cc 100 cc
Pemberian II : 100 cc
- Metilprednisolon 2 x 1 tab (4 mg)
Diit
- Makanan biasa
16
- Kebutuhan kalori : 100 (RDA usia 3 tahun) x 11,2 kg (BB ideal)
: 1120 kkal
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Follow up:
Tanggal Perjalanan penyakit Terapi
11/2/2012 S: pucat (+), lemah (+), nafsu makan menurun
(+), BAK (+), BAB (+) normal
O: konjuctiva anemis (+/+)
TD: 100/60
Nadi : 108 x/mnt
RR : 26x/menit
T : 36,6 C
A: anemia hemolitik ec?
-
12/2/2012 S: pucat (+), lemah (+), nafsu makan menurun
(+), BAK (+), BAB (+) normal
O: konjuctiva anemis (+/+)
TD: 100/60
Nadi : 108 x/mnt
RR : 26x/menit
T : 36,6 C
A: anemia hemolitik ec?
-
13/2/2012 S: pucat (+), lemah (+), nafsu makan menurun
(+), BAK (+), BAB (+) normal
Transfusi PRC washing
eritosite 100 cc
17
O: konjuctiva anemis (+/+)
TD: 100/60
Nadi : 104 x/mnt
RR : 26x/menit
T : 36,6 C
Coomb’s test (+)
A: susp. AIHA
Metilprednisolon 2 x 4 mg
14/2/2012 S: pucat (-), lemah (-), nafsu makan baik,
demam (-), menggigil (-), BAK (+), BAB (+)
normal
O: konjuctiva anemis (-/-)
TD: 100/60
Nadi : 104 x/mnt
RR : 23 x/menit
T : 36,5 C
A: AIHA
Transfusi PRC washing
eritosite 100 cc
Metilprednisolon 2 x 4 mg
15/2/2012 S: pucat (-), lemah (-), nafsu makan baik, BAK
(+), BAB (+) normal
O: konjuctiva anemis (-/-)
TD: 90/60
Nadi : 108 x/mnt
RR : 26x/menit
T : 36,5 C
A: AIHA
Metilprednisolon 2 x 4 mg
16/2/2012 S: pucat (-), lemah (-), nafsu makan baik, BAK
(+), BAB (+) normal
O: konjuctiva anemis (-/-)
TD: 100/60
Metilprednisolon 2 x 4 mg
18
Nadi : 108 x/mnt
RR : 26x/menit
T : 36,5 C
Coomb’s tes (+)
HPLC Normal
G6PD Normal
A: AIHA
17/2/2012 Pasien pulang
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis anemia hemolitik autoimun (AIHA) pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui keluhan
pasien yaitu pucat sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga lemah dan nafsu makan berkurang. Hal
ini kemungkinan pasien mengalami anemia yang menyebabkan terganggunya hantaran oksigen
19
yang bermanifestasi pucat dan lemah. Hal ini dikuatkan dengan hasil anamnesis lain yang
menyebutkan 3 bulan yang lalu saat diperiksa kadar Hb pasien sebesar 3 g/dl. Pasien selama 3
bulan telah mendapat transfusi darah sebanyak 5 kantong. Penurunan kondisi pasien yang
ditandai dengan lemah, pucat dan nafsu makan yang menurun, dan ditunjang pada hasil
pemeriksaan kadar Hb yang cenderung menurun sekitar 2 minggu setelah transfusi,
memungkinkan adanya proses hemolitik pada darah pasien.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di bangsal didapatkan pasien tampak pucat dan
konjunctiva yang anemis. Terdapat juga pembesaran hepar yang teraba 1 jari dibawah arcus
costae dan pembesaran limpa (schuffner 1) dapat mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas
sistem retikuloendotelial (RES). Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan
dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel
darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence
ini sangat penting bagi perusakan eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama
yang diperantarai IgG-fcR akan menyebabkan fagositosis.
Dari hasil pemeriksaan penunjang di dapatkan kadar hemoglobin 7,2 g/dl. Saat dilakukan
pemeriksaan darah tersebut (10/2/2012) pasien telah mendapat transfusi darah 1 minggu
sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan penurunan Hb yang cukup signifikan.
Dari hasil pemeriksaan gambaran darah tepi didapatkan eritrosit: normositik, normokrom,
anisopoikilositosis, retikulosit (+), reauloux (+). Anemia normositik normokrom dapat terjadi
salah satunya oleh karena hemolitik selain itu dapat juga pada pasca perdarahan akut, anemia
aplastik, sindrom mielodisplasia, alkoholisme dan anemia pada penyakit hati kronik. Produksi
eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda
seperti retikulosit dapat ditemukan. Rouleaux adalah gambaran pada darah tepi berupa empat
atau lebih eritrosit yang membentuk seperti tumpukan koin. Peningkatan protein plasma
berkontribusi terhadap meningkatnya pembentukan rouleaux. Pembentukan rouleaux ini
disebabkan peningkatan protein cathodal seperti immunoglobulin dan fibrinogen. Rouleaux biasa
dijumpai pada anemia berat. Hal-hal tersebut mengesankan adanya anemia hemolitik, namun
belum diketahui penyebabnya. Diagnosis banding yang mungkin pada kasus ini yaitu AIHA,
thalasemia dan defisiensi G6PD. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostik
berupa Coomb’s test, analisa Hb atau HPLC (high performance liquid chromatography), dan
20
G6PD. Hasil pemeriksaan direct Coomb’s tes didapatkan adanya antibodi berupa IgG dan
komplemen C3 pada sel eritrosit pasien. Hasil pemeriksaan HPLC didapatkan HbA2 4,1 % dan
HbF 0,8%. Nilai tersebut dalam batas normal. Hal ini dapat menyingkirkan kemungkinan
thalasemia pada pasien tersebut. Pada thalasemia kadar HbF (hemoglobin fetal) bernilai tinggi.
Nilai G6PD 23,8 (normal) dan ini menyingkirkan adanya defisiensi G6PD (glukosa 6-fosfat
dehidrogenase). Sehingga ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah anemia hemolitik
autoimun tipe hangat.
Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa transfusi darah berupa PRC washing
eritrocyte dengan kebutuhan sebesar 170 cc atau 200 cc. Penggunaan washed red cell ini
bertujuan untuk mencegah atau mengurangi reaksi yang timbul dari transfusi. Washed red cell
diperoleh dengan mencuci packed red cell 2-3 kali dengan larutan saline, sisa plasma terbuang
habis. Sehingga pada washed red cell ini tidak tersisa plasma yang mengandung protein seperti
immunoglobulin yang berperan pada proses imun. Kelemahan washed red cell yaitu bahaya
infeksi sekunder yang terjadi selama proses serta masa simpan yang pendek (4-6 jam). Washed
red cell dipakai dalam pengobatan aquired hemolytic anemia dan exchange transfusion.
Transfusi dianjurkan jika pasien anemis. Pada pasien ini juga diberikan terapi kortikosteroid
dengan dosis rendah berupa metilprednisolon 2 x 4 mg. IgG mempunyai respon yang baik
terhadap pemberian steroid. Bila proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan kadar
Hb (monitor kadar Hb dan retikulosit), maka dosis kortikosteroid dapat diturunkan secara
bertahap. Pasien dapat dipulangkan ke daerah asal dengan anjuran kontrol apabila anak
mengalami anemia dan mengatasi dengan cepat apabila terjadi infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic anemia. Am fam Physician. 2004.
2. Tamam M, Sudarmanto B. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005.
3. Schick P. Hemolytic anemia. 2011. http://emedicine.medscape.com/article/201066-overview [diakses tanggal 19 Februari 2012]
21
4. Vorvick L. Coomb’s test. 2010. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/003344.htm [ diakses tanggal 20 Februari 2012]
5. Parjono E. Widayati K. Anemia Hemolitik Autoimun. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2004. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Baldy CM. Gangguan Sel Darah Merah. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Jakarta: EGC. 2006
7. Davey P. Anemia Hemolitik Autoimun. Dalam: At A Glance Medicine. Jakarta: EGC. 2005.
8. Abramson N. Realoux formation. 2006. http://bloodjournal.hematologylibrary.org/content/107/11/4205/F1.expansion.html [ diakses tanggal 9 Maret 2012]
9. Lichtin AE. Autoimmune Hemolytic Anemia. 2009. http://www.merckmanuals.com/professional/hematology_and_oncology [ diakses tanggal 20 Februari 2012]
22