kasus

29
BAB I PENDAHULUAN Anemia hemolitik merupakan suatu kerusakan sel eritrosit yang lebih awal. Anemia hemolitik autoimun (AIHA) terjadi ketika terdapat autoantibodi yang berikatan dengan eritrosit, sehingga menghancurkan sel darah merah dan berujung pada manifestasi anemia. Anemia hemolitik autoimun menandakan adanya kegagalan dalam mekanisme pengenalan antigen diri. Mekanisme spesifik dari AIHA sendiri belum jelas sampai saat ini. Sindrom AIHA secara umum dibagi berdasarkan hubungan antara aktivitas antibodi dan suhu. Antibodi tipe hangat yaitu molekul IgG mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu tubuh. Sedangkan antibodi tipe dingin yaitu molekul IgM, mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu rendah. 1 Anemia hemolitik autoimun merupakan penyakit yang jarang dijumpai. Angka kejadiannya berkisar 1-3 per 100.000 orang per tahun. Pada masa anak-anak kejadian penyakit ini mencapai 1 per 1 juta anak dan manifestasinya secara primer sebagai proses ekstravaskuler. 2 1

Upload: dany-prabowo

Post on 26-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

kasus sarap

TRANSCRIPT

Page 1: kasus

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia hemolitik merupakan suatu kerusakan sel eritrosit yang lebih awal. Anemia

hemolitik autoimun (AIHA) terjadi ketika terdapat autoantibodi yang berikatan dengan eritrosit,

sehingga menghancurkan sel darah merah  dan berujung pada manifestasi anemia. Anemia

hemolitik autoimun menandakan adanya kegagalan dalam mekanisme pengenalan antigen diri.

Mekanisme spesifik dari AIHA sendiri belum jelas sampai saat ini. Sindrom AIHA secara umum

dibagi berdasarkan hubungan antara aktivitas antibodi dan suhu. Antibodi tipe hangat yaitu

molekul IgG mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu tubuh. Sedangkan antibodi tipe

dingin yaitu molekul IgM, mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu rendah.1

Anemia hemolitik autoimun merupakan penyakit yang jarang dijumpai. Angka

kejadiannya berkisar 1-3 per 100.000 orang per tahun. Pada masa anak-anak kejadian penyakit

ini mencapai 1 per 1 juta anak dan manifestasinya secara primer sebagai proses ekstravaskuler.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Hemolisis adalah kerusakan sel darah merah pada sirkulasi sebelum 120 hari (umur

eritrosit normal). Hemolisis mungkin asimptomatik, tapi bila eritropoesis tidak dapat

mengimbangi kecepatan rusaknya sel darah merah dapat terjadi anemia. Autoimmune hemolytic

1

Page 2: kasus

anemia (AIHA) adalah suatu kondisi dimana imunoglobulin atau komponen dari sistem

komplemen terikat pada antigen permukaan sel darah merah dan menyebabkan pengrusakan sel

darah merah melalui Sistem Retikulo Endotelial (RES).1

B. Epidemiologi

Penyakit autoimun di masyarakat mencapai 5-7% dan seringkali merupakan penyakit

kronik. Kelainan imunologi yang terjadi merupakan gambaran suatu penyakit yang heterogen

yang dapat dikelompokkan dalam penyakit sistemik (misalnya arthritis reumatoid) dan penyakit

organ spesifik (misalnya anemia hemolitik autoimun).2

Anemia hemolitik terjadi sekitar 5% dari keseluruhan anemia. Angka kejadian tahunan

anemia hemolitik autoimun dilaporkan mencapai 1-3 per 100.000 orang pada populasi secara

umum. Anemia hemolitik autoimun merupakan kondisi yang jarang dijumpai pada masa anak-

anak, kejadiannya mencapai 1 per 1 juta anak dan bermanifestasi primer sebagai proses

ekstravaskuler.2,3

C. Tipe AIHA

Antibodi yang khas pada AIHA antara lain IgG, IgM atau IgA dan bekerja pada suhu

yang berbeda-beda.2 AIHA tipe hangat diperantarai IgG, yang mengikat sel darah merah secara

maksimal pada suhu 37oC. Pada AIHA tipe dingin diperantarai oleh IgM (cold aglutinin), yang

mengikat sel darah merah pada suhu yang rendah (0 sampai 4oC).3 AIHA tipe hangat lebih sering

dijumpai dari pada tipe dingin. Wanita lebih sering terkena daripada laki-laki. Direct Coomb’s

tes dapat menunjukkan adanya antibodi atau komplemen pada permukaan sel darah merah dan

merupakan tanda dari autoimun hemolisis.4

D. Patofisiologi

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem

komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.5

Aktivasi sistem komplemen

2

Page 3: kasus

Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran

sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan hemoglobinemia dan

hemoglobinuria.5

Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi

yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM

disebut sebagai aglutinin tipe dingin sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida

pada permukaan sel darah merah pada suhu dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin

hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritosit pada suhu tubuh.5

Aktivasi komplemen jalur klasik

Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C1

akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu

mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2

menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3

menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformasional sehingga mampu

berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen . C3 juga akan

membelah menjadi C3d,g dan c3c. C3d dan C3g akan tetrap berikatan pada membrane sel darah

merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b2b

menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilatoksin)

dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur

membrane terdiri dari molekul C5b, C6, C7,C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan

menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu saluran transmembran sehingga permeabilitas

membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel

membengkak dan ruptur.5

Aktivasi komplemen jalur alternatif

Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan berikatan

dengan membran sel darah merah. Factor B kemudian melekat pada C3b, dan oleh D factor B

dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan

C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan

3

Page 4: kasus

dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi c5a dan c5b. Selanjutnya C5b berperan dalam

penghancuran membran.5

Aktivasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular

Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komponen-komplemen

namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan

dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi

perusakan eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai IgG-FcR

akan menyebabkan fagositosis.5

E. Etiologi

Pada sebagian besar kasus, fungsi imun yang abnormal dapat menyebabkan tubuh

menyerang sel darah merah yang normal. Beberapa penyebab tidak normalnya sistem imun

antara lain:2,6,8

1. Obat-obatan:

- Alpha-methyldopa

- L-dopa

- Asam mefenamat

- Penisilin

- Sulfonamide

2. Infeksi

- Infeksi virus

- Mycoplasma pneumonia

3. Keganasan

- Leukemia

- Lymphoma (Non-Hodgkin’s tapi kadang juga pada Hodgkin’s)

4. Penyakit Collagen-vascular (autoimun) misal: Lupus

Kerusakan sel eritrosit pada anak maupun dewasa sering disebabkan oleh adanya

mediator imun, baik autoimun maupun aloimun antibodi. Berbagai faktor yang berperan dalam

proses kerusakan eritrosit :7

4

Page 5: kasus

1. Antigen sel eritrosit

2. Antibodi-anti sel eritrosit

3. Komponen non imunoglobulin, misalnya protein komplemen serum

4. Sistem fagosit mononuklear, khususnya reseptor fc pada makrofag limpa

F. Klasifikasi

Gambaran klinis anemia hemolitik autoimun dikelompokkan berdasar autoantibodi

spesifik yang dimilikinya atau reaksi warm atau cold yang terjadi.

Klasifikasi anemia hemolitik autoimun :5

1. Warm reactive antibodies

a. Primer (idiopatik)

b. Sekunder :

1). Kelainan limfoproliferatif

2). Kelainan autoimun (Sistemik lupus eritematosus/SLE)

3). Infeksi mononukleosis

c. Sindroma evan

d. HIV

2. Cold reactive antibodies

a. Idiopatik (Cold agglutinin diseases)

b. Sekunder :

1). Atipikal atau pneumonia mikoplasma

2). Kelainan limfoproliferatif

3). Infeksi mononukleosis

5

Page 6: kasus

3. Paroxysmal cold hemoglobinuria (PCH)

a. Sifilis

b. Pasca infeksi virus

4. Drug induce hemolytic anemia

a. Hapten mediated

b. Imun komplek (kinin)

c. True autoimmune anti RBC type

d. Metabolite driven

G. Gambaran Klinis

Gejala dan tanda yang timbul tidak tergantung dari beratnya anemia tetapi juga proses

hemolitik yang terjadi. Anemia hemolitik autoimun menunjukkan gejala berupa mudah lelah,

malaise, demam, ikterus dan perubahan warna urin. Seringkali gejala disertai dengan nyeri

abdomen dan gangguan pernafasan. Tanda-tanda lain yang ditemukan ialah hepatomegali dan

splenomegali. Gambaran klinis anemia hemolitik dengan antibodi tipe warm berupa pucat,

ikterik, splenomegali dan anemia berat. Dua per tiga dari kasus dihubungkan dengan IgG,

merupakan antibodi langsung yang bereaksi terhadap antigen sel eritrosit dari golongan Rh.2,5

Berbeda dengan IgG autoantibodi, IgM pada cold reactive antibody tidak menimbulkan

kerusakan secara langsung terhadap sel retikuloendotelial pada sistem imun.5

H. Pemeriksaan Penunjang

Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa sferositosis,

polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulositopeni pada awal anemia. Kadar

hemoglobin 3-9 g/dL, jumlah leukosit bervariasi disertai gambaran sel muda (metamielosit,

mielosit dan promielosit), kadang disertai trombositopeni.2,5

6

Page 7: kasus

Gambar 1. Realoux.8

Gambaran sumsum tulang menunjukkan hiperplasi sel eritropoitik normoblastik. Kadar

bilirubin indirek meningkat.

Pemeriksaan Direct Antiglobulin Test (DAT) atau lebih dikenal dengan Direct Coomb’s

test menunjukkan adanya antibodi permukaan atau komplemen permukaan sel eritrosit. Pada

pemeriksaan ini terjadi reaksi aglutinasi sel eritrosit pasien dengan reagen anti IgG menunjukkan

permukaan sel eritrosit mengandung IgG (DAT positif).5 Sel eritrosit pasien dicuci dari protein-

protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibody monoclonal terhadap

berbagai immunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG dan C3d. bila pada permukaan

sel terdapat salah satu atau kedua nya maka akan terjadi aglutinasi.

Indirect antiglobulin test (indirect coomb’s test). Untuk mendeteksi autoantibodi yang

terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen. Immunoglobulin yang

beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin

sera dengan terjadinya aglutinasi.

7

Page 8: kasus

Gambar 2. Mekanisme Direct Coomb’s test.9

J. Penatalaksanaan

Penderita dengan anemia hemolitik autoimun IgG atau IgM ringan kadang tidak

memerlukan pengobatan spesifik, tetapi kondisi lain di mana terdapat ancaman jiwa akibat

hemolitik yang berat memerlukan pengobatan yang intensif.5

Tujuan pengobatan adalah mengembalikan nilai-nilai hematologis normal, mengurangi

proses hemolitik dan menghilangkan gejala dengan efek samping minimal.5

Penatalaksanaan yang dapat diberikan :

1. Kortikosteroid

Pada penderita dengan anemia hemolitik autoimun, IgG mempunyai respon yang baik

terhadap pemberian steroid dengan dosis 2-10 mg/kgBB/hari.2 Dari sumber lain pemberian

kortikosteroid (misalnya prednison 1 mg/kg p.o. atau dosis yang lebih tinggi) adalah pengobatan

pilihan dalam AIHA antibodi idiopatik tipe hangat. Pada hemolisis yang sangat parah, dosis

muatan awal 100 sampai 200 mg dianjurkan. Kebanyakan pasien memiliki respon yang sangat

baik, yang pada sekitar 1/3 ditopang setelah 12 sampai 20 minggu terapi.8 Bila proses hemolitik

menurun dengan disertai peningkatan kadar Hb (monitor kadar Hb dan retikulosit), maka dosis

kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Pemberian kortikosteroid jangak panjang perlu

8

Page 9: kasus

mendapat pengawasan terhadap efek samping, dengan monitor kadar elektrolit, peningkatan

nafsu makan, kenaikan berat badan, gangguan tumbuh kembang, serta risiko terhadap infeksi.2,5

2. Gammaglobulin intravena

Pemberian gammaglobulin intravena dengan dosis 2 g/kgBB pada penderita anemia

hemolitik autoimun dapat diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.2,5

3. Tranfusi Darah

Pada umumnya, anemia hemolitik autoimun tidak membutuhkan tranfusi darah. Tranfusi

sel eritrosit diberikan pada kadar hemoglobin yang rendah (misal Hb < 3g/dl), yang disertai

dengan tanda-tanda klinis gagal jantung dengan dosis 5ml/kgBB selama 3-4jam.2,5

4. Plasmafaresis atau Tranfusi Tukar

Plasmafaresis untuk pengobatan anemia hemolitik autoimun yang disebabkan oleh IgG

kurang efektif bila dibandingkan dengan hemolitik yang disebabkan oleh IgM meskipun sifatnya

hanya sementara.5

5. Splenektomi

Penderita yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid dianjurkan untuk

splenektomi. Tetapi mengingat komplikasi splenektomi (seperti sepsis), maka tindakan ini perlu

dipertimbangkan.5

6. Imunosupresi

Azatioprin 50-200mg/hari (80mg/m2), siklofosfamid 60 mg/m2/hari.5

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS

Nama : Nuratiqah

9

Page 10: kasus

Umur : 3 tahun 1 bulan

Jenis kelamin : perempuan

Alamat : Desa Sei. Sebesi – Kec. Kundur

Tanggal masuk : 10 februari 2012

Alloanamnesis

Diberikan oleh ibu pasien

Keluhan utama

Pucat sejak 3 bulan SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

3 bulan sebelum masuk rumah sakit orang tua pasien mengeluhkan anaknya tampak pucat, badan

lemah dan nafsu makan berkurang. Pasien juga mengalami demam namun tidak tinggi. Pasien

tidak ada batuk, pilek, sakit menelan. Pasien tidak ada mimisan dan gusi berdarah maupun

pendarahan spontan. Pasien juga tidak ada mengeluh sesak nafas. Pasien tidak ada mengeluhkan

nyeri perut. Pasien tidak ada merasakan sakit dan bengkak pada sendi-sendi. BAK dan BAB

pasien normal.

Karena kondisi pasien yang lemah orang tua pasien membawa pasien ke RS Tanjung Batu. Di

RS tersebut pasien diperiksa darah dan didapatkan Hb pasien 3 g/dl. Pasien kemudian di rujuk ke

RS di Tanjung Balai untuk dilakukan transfusi.

Di RS Tj. Balai pasien mendapat transfusi sebanyak 2 kantong (@200cc), setelah transfusi

pasien tidak ada demam atau menggigil maupun gatal-gatal dan kondisi pasien membaik. Pasien

dapat bermain kembali, nafsu makan baik dan tidak pucat lagi. Pasien diperbolehkan pulang.

2,5 bulan SMRS (± 2 minggu setelah transfusi), pasien kembali tampak pucat, lemah, nafsu

makan menurun, tidak demam. BAK dan BAB normal. Pasien kemudian ditransfusi sebanyak 1

kantong dan kondisi pasien kemudian membaik kembali. Pasien dianjurkan untuk transfusi 2 kali

sebulan atau apabila tampak pucat dan lemah.

1 minggu SMRS pasien kembali mendapat transfusi. Hb pasien saat itu 4 g/dl setelah transfusi

menjadi 9 g/dl .

10

Page 11: kasus

Selama 3 bulan terakhir pasien telah mendapat transfusi sebanyak 5 kali, dan kondisi pasien

kembali pucat dan lemah setelah mendapat transfusi kurang lebih 2 minggu setelah transfusi.

Pasien telah menjalani pemeriksaan darah dan dikirim ke Jakarta namun penyakit pasien masih

diragukan. Pasien dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan di RSUD Arifin

Achmad.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya.

Pasien tidak ada mengkonsumsi obat-obatan.

Pasien tidak ada sakit kuning sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien.

Riwayat orangtua

- Ayah pasien bekerja sebagai pengumpul getah karet

- Ibu mengurus rumah tangga

Riwayat kehamilan

Saat hamil ibu pasien tidak ada sakit, kontrol kehamilan dengan bidan, keputihan (-), konsumsi

alkohol (-), jamu-jamuan (-).

Pasien lahir secara normal dengan bidan, BBL 2900 gram, langsung menangis.

Riwayat makan dan minum

ASI diberikan hingga usia 2 tahun

MP ASI mulai diberikan umur 6 bulan

Saat ini makanan sama dengan makanan keluarga

Riwayat imunisasi

Imunisasi lengkap

11

Page 12: kasus

Riwayat pertumbuhan

- Usia 2 bulan sudah bisa tengkurap

- Usia 4 bulan sudah mulai duduk

- Usia 9 bulan sudah merangkak

- Usia 12 bulan sudah bisa berjalan sendiri

Kesan tumbuh normal

Pemeriksaan fisik

- Keadaan umum : tampak sakit ringan

- Kesadaran : komposmentis

Tanda-tanda vital

- TD : 90/60

- Suhu : 36,7 c

- Nadi : 140 x/menit

- Nafas : 64 x/menit

Gizi

- TB : 83 cm

- BB : 9 kg

- LILA : 14 cm

- Lingkar kepala : 49 cm

- Lingkar perut : 48 cm

Status gizi menurut BB/TB NCHS persentil 50

- BB/TB : 9/11,2 x 100% = 81 % (mild malnutrition)

- BB/U : 9/14 x 100% = 64 %

- TB/U : 83/95 x 100% = 87%

Kulit : tampak pucat, ikterik (-)

Kepala : normosefal

12

Page 13: kasus

Rambut : hitam, tidak kusam, tidak mudah dicabut

Mata

- Konjunctiva : pucat (+/+)

- Sclera : ikterik (-/-)

- Pupil : isokhor 3mm/3mm

- Reflex cahaya : langsung (+/+)

Telinga : DBN

Hidung : DBN

Mulut

Bibir : basah

Selaput lendir : basah

Palatum : utuh

Lidah : tidak kotor

gigi : karies (+)

Leher

KGB : tidak membesar

Kaku kuduk : (-)

Dada

- Inspeksi : simetris

- Palpasi : fremitus kiri = kanan

- Perkusi : sonor

- Auskultasi : vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-). BJ I dan BJ II normal. Bising

jantung (-)

Abdomen

- Inspeksi : cembung, venektasi (-)

13

Page 14: kasus

- Palpasi : hepar teraba 1 jari dibawah arcus costarum, lien schuffner 2

- Perkusi : timpani

- Auskultasi : Bising usus (+) normal

Alat kelamin

Perempuan, DBN

Ektremitas

Akral hangat, CRT < 3”

Pemeriksaan laboratorium

Tanggal 10 Februari 2012

Darah

- Hb : 7,2 g/dl

- Ht : 17,2 %

- Leukosit : 10.400/mm3

- Trombosit : 237.000/mm3

Kimia darah

- BUN : 14 mg/dl

- CR-S : 0,27mg/dl

- SGOT ; 85 IU/L

- SGPT : 131 IU/L

Gambaran Darah Tepi (11 Februari 2012)

- Eritosit : normositik, normokrom, anisopoikilositosis, retikulosit (+), reauloux (+)

- Leukosit : kesan jumlah dan morfologi DBN

- Trombosit : kesan jumlah dan morfologi DBN

- Kesan : anemia normositik normokrom hemolitik

14

Page 15: kasus

Hal hal yang penting dari anamnesis

- Pucat dan lemah sejak 3 bulan SMRS

- Nafsu makan menurun

- Penurunan hemoglobin yang bermakna dalam rentang waktu yang singkat (± 2 minggu)

Hal hal yang penting dari pemeriksaan fisik

- Konjunctiva anemis (+/+)

- Hepar teraba 1 jari di bawah arcus costarum

- Lien schuffner 1

Hal-hal penting dari penunjang

- Hb : 7,2 g/dl

- SGPT : 85 IU/L

- SGOT : 131 IU/L

- Gambaran darah tepi : kesan anemia normositik normokrom e.c hemolitik

Diagnosa kerja

Anemia hemolitik ec?

Diagnosa banding

- AIHA

- Thalasemia

- Defisiensi G6PD

Pemeriksaan anjuran

Coomb’s test

HPLC (high performance liquid chromatography)

G6PD

Hasil pemeriksaan anjuran :

15

Page 16: kasus

Tanggal 13 Februari 2012

Direct Coomb’s test

- Pemeriksaan crossmatch dengan donor-donor golongan darah B incompability Mayor

dan Minor.

- Os golongan darah B Rhesus positif

- Pada sel os terdapat sensitisasi invivo (sel os diselubungi oleh immune antibody (IgG)

dan factor complement (C3)

- Dalam serum os ditemukan adanya free antibody irregular antibody. Spesifikasi belum

dapat ditentukan.

HPLC

- HbA2 4,1 %

- HbF 0,8%.

G6PD : 23,8 (normal)

Diagnosa :

Anemia hemolitik autoimun tipe hangat

Terapi

- Transfusi darah dengan PRC washing eritrosite

Kebutuhan : ▲Hb x 4 x BB 4,8 x 4 x 9

172 cc 200 cc

Pemberian I : 10 x 9

: 90 cc 100 cc

Pemberian II : 100 cc

- Metilprednisolon 2 x 1 tab (4 mg)

Diit

- Makanan biasa

16

Page 17: kasus

- Kebutuhan kalori : 100 (RDA usia 3 tahun) x 11,2 kg (BB ideal)

: 1120 kkal

Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Follow up:

Tanggal Perjalanan penyakit Terapi

11/2/2012 S: pucat (+), lemah (+), nafsu makan menurun

(+), BAK (+), BAB (+) normal

O: konjuctiva anemis (+/+)

TD: 100/60

Nadi : 108 x/mnt

RR : 26x/menit

T : 36,6 C

A: anemia hemolitik ec?

-

12/2/2012 S: pucat (+), lemah (+), nafsu makan menurun

(+), BAK (+), BAB (+) normal

O: konjuctiva anemis (+/+)

TD: 100/60

Nadi : 108 x/mnt

RR : 26x/menit

T : 36,6 C

A: anemia hemolitik ec?

-

13/2/2012 S: pucat (+), lemah (+), nafsu makan menurun

(+), BAK (+), BAB (+) normal

Transfusi PRC washing

eritosite 100 cc

17

Page 18: kasus

O: konjuctiva anemis (+/+)

TD: 100/60

Nadi : 104 x/mnt

RR : 26x/menit

T : 36,6 C

Coomb’s test (+)

A: susp. AIHA

Metilprednisolon 2 x 4 mg

14/2/2012 S: pucat (-), lemah (-), nafsu makan baik,

demam (-), menggigil (-), BAK (+), BAB (+)

normal

O: konjuctiva anemis (-/-)

TD: 100/60

Nadi : 104 x/mnt

RR : 23 x/menit

T : 36,5 C

A: AIHA

Transfusi PRC washing

eritosite 100 cc

Metilprednisolon 2 x 4 mg

15/2/2012 S: pucat (-), lemah (-), nafsu makan baik, BAK

(+), BAB (+) normal

O: konjuctiva anemis (-/-)

TD: 90/60

Nadi : 108 x/mnt

RR : 26x/menit

T : 36,5 C

A: AIHA

Metilprednisolon 2 x 4 mg

16/2/2012 S: pucat (-), lemah (-), nafsu makan baik, BAK

(+), BAB (+) normal

O: konjuctiva anemis (-/-)

TD: 100/60

Metilprednisolon 2 x 4 mg

18

Page 19: kasus

Nadi : 108 x/mnt

RR : 26x/menit

T : 36,5 C

Coomb’s tes (+)

HPLC Normal

G6PD Normal

A: AIHA

17/2/2012 Pasien pulang

BAB III

PEMBAHASAN

Diagnosis anemia hemolitik autoimun (AIHA) pada pasien ini ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis diketahui keluhan

pasien yaitu pucat sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga lemah dan nafsu makan berkurang. Hal

ini kemungkinan pasien mengalami anemia yang menyebabkan terganggunya hantaran oksigen

19

Page 20: kasus

yang bermanifestasi pucat dan lemah. Hal ini dikuatkan dengan hasil anamnesis lain yang

menyebutkan 3 bulan yang lalu saat diperiksa kadar Hb pasien sebesar 3 g/dl. Pasien selama 3

bulan telah mendapat transfusi darah sebanyak 5 kantong. Penurunan kondisi pasien yang

ditandai dengan lemah, pucat dan nafsu makan yang menurun, dan ditunjang pada hasil

pemeriksaan kadar Hb yang cenderung menurun sekitar 2 minggu setelah transfusi,

memungkinkan adanya proses hemolitik pada darah pasien.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di bangsal didapatkan pasien tampak pucat dan

konjunctiva yang anemis. Terdapat juga pembesaran hepar yang teraba 1 jari dibawah arcus

costae dan pembesaran limpa (schuffner 1) dapat mengindikasikan adanya peningkatan aktivitas

sistem retikuloendotelial (RES). Jika sel darah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan

dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka sel

darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retikuloendotelial. Proses immune adherence

ini sangat penting bagi perusakan eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama

yang diperantarai IgG-fcR akan menyebabkan fagositosis.

Dari hasil pemeriksaan penunjang di dapatkan kadar hemoglobin 7,2 g/dl. Saat dilakukan

pemeriksaan darah tersebut (10/2/2012) pasien telah mendapat transfusi darah 1 minggu

sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan penurunan Hb yang cukup signifikan.

Dari hasil pemeriksaan gambaran darah tepi didapatkan eritrosit: normositik, normokrom,

anisopoikilositosis, retikulosit (+), reauloux (+). Anemia normositik normokrom dapat terjadi

salah satunya oleh karena hemolitik selain itu dapat juga pada pasca perdarahan akut, anemia

aplastik, sindrom mielodisplasia, alkoholisme dan anemia pada penyakit hati kronik. Produksi

eritrosit yang meningkat sebagai kompensasi banyaknya eritrosit yang hancur sehingga sel muda

seperti retikulosit dapat ditemukan. Rouleaux adalah gambaran pada darah tepi berupa empat

atau lebih eritrosit yang membentuk seperti tumpukan koin. Peningkatan protein plasma

berkontribusi terhadap meningkatnya pembentukan rouleaux. Pembentukan rouleaux ini

disebabkan peningkatan protein cathodal seperti immunoglobulin dan fibrinogen. Rouleaux biasa

dijumpai pada anemia berat. Hal-hal tersebut mengesankan adanya anemia hemolitik, namun

belum diketahui penyebabnya. Diagnosis banding yang mungkin pada kasus ini yaitu AIHA,

thalasemia dan defisiensi G6PD. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang diagnostik

berupa Coomb’s test, analisa Hb atau HPLC (high performance liquid chromatography), dan

20

Page 21: kasus

G6PD. Hasil pemeriksaan direct Coomb’s tes didapatkan adanya antibodi berupa IgG dan

komplemen C3 pada sel eritrosit pasien. Hasil pemeriksaan HPLC didapatkan HbA2 4,1 % dan

HbF 0,8%. Nilai tersebut dalam batas normal. Hal ini dapat menyingkirkan kemungkinan

thalasemia pada pasien tersebut. Pada thalasemia kadar HbF (hemoglobin fetal) bernilai tinggi.

Nilai G6PD 23,8 (normal) dan ini menyingkirkan adanya defisiensi G6PD (glukosa 6-fosfat

dehidrogenase). Sehingga ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah anemia hemolitik

autoimun tipe hangat.

Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa transfusi darah berupa PRC washing

eritrocyte dengan kebutuhan sebesar 170 cc atau 200 cc. Penggunaan washed red cell ini

bertujuan untuk mencegah atau mengurangi reaksi yang timbul dari transfusi. Washed red cell

diperoleh dengan mencuci packed red cell 2-3 kali dengan larutan saline, sisa plasma terbuang

habis. Sehingga pada washed red cell ini tidak tersisa plasma yang mengandung protein seperti

immunoglobulin yang berperan pada proses imun. Kelemahan washed red cell yaitu bahaya

infeksi sekunder yang terjadi selama proses serta masa simpan yang pendek (4-6 jam). Washed

red cell dipakai dalam pengobatan aquired hemolytic anemia dan exchange transfusion.

Transfusi dianjurkan jika pasien anemis. Pada pasien ini juga diberikan terapi kortikosteroid

dengan dosis rendah berupa metilprednisolon 2 x 4 mg. IgG mempunyai respon yang baik

terhadap pemberian steroid. Bila proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan kadar

Hb (monitor kadar Hb dan retikulosit), maka dosis kortikosteroid dapat diturunkan secara

bertahap. Pasien dapat dipulangkan ke daerah asal dengan anjuran kontrol apabila anak

mengalami anemia dan mengatasi dengan cepat apabila terjadi infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dhaliwal G, Cornet PA, Tierney LM. Hemolytic anemia. Am fam Physician. 2004.

2. Tamam M, Sudarmanto B. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005.

3. Schick P. Hemolytic anemia. 2011. http://emedicine.medscape.com/article/201066-overview [diakses tanggal 19 Februari 2012]

21

Page 22: kasus

4. Vorvick L. Coomb’s test. 2010. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/003344.htm [ diakses tanggal 20 Februari 2012]

5. Parjono E. Widayati K. Anemia Hemolitik Autoimun. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2004. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6. Baldy CM. Gangguan Sel Darah Merah. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. Jakarta: EGC. 2006

7. Davey P. Anemia Hemolitik Autoimun. Dalam: At A Glance Medicine. Jakarta: EGC. 2005.

8. Abramson N. Realoux formation. 2006. http://bloodjournal.hematologylibrary.org/content/107/11/4205/F1.expansion.html [ diakses tanggal 9 Maret 2012]

9. Lichtin AE. Autoimmune Hemolytic Anemia. 2009. http://www.merckmanuals.com/professional/hematology_and_oncology [ diakses tanggal 20 Februari 2012]

22